» » » » » » #KamiRakyat&BangsaIndonesiaTidakTakutTERORIS : Membongkar jaringan Teroris berkedok Bela Islam dan Palestina ??!!

#KamiRakyat&BangsaIndonesiaTidakTakutTERORIS : Membongkar jaringan Teroris berkedok Bela Islam dan Palestina ??!!

Penulis By on Senin, 14 Mei 2018 | No comments

Bara dalam Sekam

Jakarta - Teror bom kembali terjadi di Indonesia. Kali ini bom bunuh diri menyasar rumah-rumah ibadah umat Kristiani di Surabaya (13/5) yang menewaskan setidaknya 13 orang, dan puluhan lainnya luka. Tragisnya, tindakan teror bom atas nama agama ini melibatkan satu keluarga yang terdiri dari ayah, istri, dan keempat putra-putrinya.
Investigasi awal aparat Kepolisian mengkonfirmasi bahwa sang ayah, Dita Fukrianto, adalah Ketua Jemaah Ansharud Daulah (JAD) yang bersama keluarganya baru kembali dari Suriah setelah bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Beberapa hari sebelumnya, napi aktivis JAD juga terlibat kerusuhan di Rutan Mako Brimob yang menewaskan 5 anggota Polisi.
Belum selesai kita menangis untuk Surabaya, bom kembali meledak 'sebelum waktunya' di Rusunawa Sidoarjo malam harinya.
Menyikapi tindakan-tindakan teror seperti ini, para elite negara dan tokoh agama sering menyampaikan ungkapan: "Terorisme sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran agama apa pun. Kalau mengatasnamakan agama, sebenarnya agama hanya digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu." Benarkah demikian?


Intoleran
Kita semua sepakat bahwa secara normatif terorisme bukanlah bagian dari ajaran agama apa pun. Titik! Tapi, secara empirik fakta di lapangan mengkonfirmasi bahwa aksi-aksi teror dan bom bunuh diri sering terkait dengan jenis pemahaman dan tafsir ajaran agama yang intoleran, radikal, dan ekstrem.
Alih-alih menyelesaikan masalah, menyangkal aksi teror sebagai tidak ada kaitannya sama sekali dengan (tafsir) agama ibarat menyimpan bara dalam sekam. Kita akan baru tahu benar-benar ada kejahatan yang merusak saat sang bara keluar dari lubangnya.
Selain akibat adanya pemahaman keliru atas teks-teks normatif keagamaan, aksi-aksi teror atas nama agama juga masih terus terjadi karena sebagian kita masih suka 'excuse' atas nama 'konspirasi politik', dan bersikap permisif atas perilaku intoleransi beragama.

Saat sejumlah lembaga riset merilis hasil survei dan penelitian beberapa waktu lalu tentang cukup tingginya intoleransi beragama dan radikalisme di kalangan muslim Indonesia, tidak sedikit komentar miring yang menganggap bahwa survei semacam itu bertujuan untuk memojokkan kelompok agama tertentu, dan berseberangan dengan fakta bahwa mayoritas muslim Indonesia bersikap moderat.
Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) bersama UN Women dan Wahid Foundation (2017) misalnya, mengingatkan bahwa dari 1.500 responden sebanyak 57,1% di antaranya bersikap intoleran terhadap kelompok-kelompok lain yang tidak disukai, termasuk di dalamnya umat Yahudi, Kristen, Ateis, Cina, Wahabi, Katolik, dan Buddha.
Demikian juga survei nasional yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menemukan fakta mengejutkan. Bahwa, dari 2.181 responden, 37,71% di antaranya setuju bahwa jihad adalah berarti perang (qital) dan membunuh orang lain, 23,35% membenarkan tindakan bom bunuh diri sebagai salah satu bentuk jihad, serta 33,34% mengaku tidak masalah jika ada tindakan intoleran terhadap kelompok minoritas (PPIM, 2017).

Ini lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa kita memang punya pekerjaan rumah yang belum selesai terkait dengan sosialisasi pentingnya moderasi beragama yang kini giat dikumandangkan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
Moderasi beragama menjadi sangat penting karena misi utamanya adalah mencari jalan tengah (tawassuth) agar teks-teks agama, baik dalam tradisi Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya tetap menjadi rujukan seseorang dalam menjalani kehidupan sosial keagamaannya, tapi di sisi lain juga tetap menggunakan akal dan nalar dalam menafsirkan teks-teks keagamaan tersebut, sesuai dengan konteks zaman dan waktu.
Saya sendiri lebih ingin melihat survei-survei semacam itu sebagai peringatan dini atas adanya potensi intoleransi keagamaan dan radikalisme yang dapat merusak sendi-sendi kebinekaan, kesatuan, dan demokrasi kita. Tapi, kita juga harus adil melihat bahwa intoleransi dan radikalisme niscaya ada dalam semua tradisi agama, bukan hanya Islam, jadi survei yang dilakukan seyogianya juga mencakup umat beragama lain.

Sikap Kita
Tagar #PrayForSurabaya , #BersatuLawanTerorisme , dan #KamiTidakTakutTeroris di linimasa media sosial sudah cukup menggambarkan kemarahan dan keprihatinan kita semua dalam sepekan ini atas tindakan biadab, jahat, dan destruktif yang dilakukan oleh pelaku teror sejak di Rutan Mako Brimob, Gereja Surabaya, hingga Rusunawa Sidoarjo.
Tapi, marah dan prihatin saja jelas tidak cukup. Kita perlu memiliki sistem peringatan dini yang efektif untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya lagi teror-teror yang menjijikkan itu. Sistem peringatan dini ini dapat berupa perangkat keras seperti Undang-undang Antiterorisme, maupun perangkat lunak seperti program deradikalisasi yang lebih menyeluruh, terintegrasi antarlembaga, serta menyentuh sisi-sisi kemanusiaan mereka yang telanjur terdampak paham radikal.
Kita perlu bersama-sama mendesak lebih keras lagi agar DPR segera mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang sudah lebih dari satu tahun tak kunjung selesai. Para anggota dewan yang terhormat tidak sepatutnya menjadikan revisi UU Antiterorisme ini sebagai alat tarik ukur kepentingan politik sesaat; juga tidak perlu berpikir bahwa undang-undang ini akan memojokkan kelompok agama tertentu, karena yang sedang kita perangi adalah kejahatan kemanusiaan, sama sekali bukan kejahatan keagamaan!
Dan, yang tidak kurang pentingnya, kita perlu menjadikan momentum ini untuk kembali merajut kebersamaan kita yang sempat terkoyak akibat perbedaan pilihan politik. Dalam salah satu cuitan di akun Twitter kemarin, saya berpesan: "Mari tidak nyinyir sejenak. Segenap rakyat Indonesia perlu bersatu padu bersama-sama melawan ideologi teroris, terlepas dari partainya apa, dan ideologi keagamaannya apa."
Jangan biarkan bara menjadi api!

Oman Fathurahman Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta
Bara dalam Sekam Ilustrasi: Instagram
Sumber Berita : https://news.detik.com/kolom/d-4019970/bara-dalam-sekam

Benarkah Rancangan Undang-Undang Terorisme TERHALANG oleh 3 partai ini, yaitu Partai GERINDRA, PKS dan Partai DEMOKRAT ? 

Fraksi DPR Pro Jokowi Lobi Gerindra-PKS-PD Sepakati RUU Terorisme

Jakarta - Menko Polhukam Wiranto mengadakan pertemuan dengan petinggi partai pendukung pemerintah dan menyebut sudah ada kata sepakat terkait pengesahan revisi UU Terorisme, tanpa harus ada Perppu. Sekjen PPP Arsul Sani yang hadir dalam pertemuan itu, menyebut parpol pendukung Jokowi ditugaskan melobi 3 partai sisa.
"Semua fraksi parpol koalisi pendukung pemerintahan (sepakat mempercepat revisi UU Terorisme). Kami fraksi-fraksi ini diminta melobi 3 fraksi lainnya (Gerindra, PKS, Partai Demokrat)," kata Arsul, Senin (14/5/2018).



Arsul tak menampik kalau permasalahan di pembahasan revisi UU Terorisme tinggal soal definisi terorisme. Dia menyebut ada beberapa beda pendapat soal definisi ini.
"Beberapa fraksi meminta agar motif-motif masuk dalam definisi di batang tubuh RUU. Namun, beberapa fraksi, seperti PPP, menawarkan alternatif lain agar motif politik, ideologi, dan ancaman keamanan negara cukup di penjelasan umum," ucap dia.


Sebelumnya, Wiranto mengungkap ada dua pasal krusial revisi UU Terorisme. Pasal itu termasuk soal definisi terorisme dan pelibatan TNI. Wiranto mengatakan pemerintah dan DPR sudah menemui kesepakatan.
"Ada dua yang krusial yang belum selesai, pertama definisi, sudah selesai. Kita anggap selesai ada kesepakatan. Kedua, pelibatan TNI bagaimana. Sudah selesai juga. Dengan demikian, maka tidak perlu ada lagi yang perlu kita perdebatkan," kata Wiranto.
Fraksi DPR Pro Jokowi Lobi Gerindra-PKS-PD Sepakati RUU Terorisme Foto: Arsul Sani. (Tsarina Maharani/detikcom).
Sumber Berita : https://news.detik.com/berita/d-4019976/fraksi-dpr-pro-jokowi-lobi-gerindra-pks-pd-sepakati-ruu-terorisme

Dina Sulaeman: Aksi Bela Palestina Atau Teroris?

JAKARTA – Pengamat Timur Tengah, Dina Sulaeman menjelaskan fakta dibalik aksi Bela Palestina (11/05) yang diselenggarakan oleh Koalisi Indonesia Bela Baitul Maqdis, yang diketuai oleh Bachtiar Nasir. Seperti kita ketahui bersama bahwa Bachtiar Nasir dengan bendera IHR juga telah mengirimkan bantuan untuk teroris di Suriah, lantas apakah kita percaya kepada mereka, aksi bela Palestina atau bela teroris, berikut ulasannya:
Baca: Kapolri Ungkap Aliran Dana dari Bachtiar Nasir Diduga untuk Kelompok Pro ISIS di Turki

AKSI BELA PALESTINA, ATAU BELA TERORIS?
Saya sudah menulis ratusan, mungkin ribuan, artikel soal Suriah (saya menulis pertama kali tentang konflik Suriah Desember 2011, sekarang Mei 2018). Dan sering saya sampaikan: ada Israel di balik agenda penggulingan Assad.
Ini bukan teori konspirasi karena saya mengajukan bukti. Teori konspirasi itu kalau didasarkan khayalan, mencocok-cocokkan.
Antara lain buktinya adalah dokumen-dokumen CIA yang declassified (sudah boleh diakses publik) yang isinya rencana AS sejak tahun 1980-an untuk menggulingkan pemerintah Suriah demi Israel. Ada pula email Hillary Clinton yang dirilis Wikileaks (Maret 2016). Tertulis di dalam email itu, “Hubungan strategis antara Iran dan rezim Bashar Assad membahayakan keamanan Israe“. (baca buku Salju Di Aleppo)
Baca: Jaringan Terorisme Global Ancam Indonesia
Bukti lainnya adalah perilaku Israel selama konflik Suriah. Bila benar Israel adalah negara demokratis dan antiteroris (demikian kata fans Israel, terutama ZSM Indonesia), mengapa mereka tidak membombardir Golan saja, dimana banyak teroris ISIS dan Al Nusra, bercokol? Mengapa yang dilakukan Israel justru membombardir tentara Suriah yang hampir mengalahkan teroris, lalu merawat para teroris yang terluka di rumah sakit Israel, bahkan dibesuk oleh Netanyahu?. (Israel ‘giving secret aid to Syrian rebels’, report says)
Suriah adalah negara yang frontal melawan Israel. Selain mensuplai logistik ke Palesina, Suriah juga memberikan perlindungan kepada Hamas (milisi perjuangan kemerdekaan Palestina). Saat negara-negara Arab tak mau menerima Hamas (karena takut pada AS-Israel), Suriahlah yang menerima dan memberikan kesempatan kepada Hamas untuk berkantor di Damaskus.
Kemudian, sebagian elit Hamas berbalik melawan pemerintah Suriah dan mendukung “mujahidin”. Lihat di foto, pimpinan Hamas, Ismail Haniyeh mengibarkan bendera “mujahidin”/teroris Suriah (hijau-putih-hitam bintang 3).
“(Bendera yang sama yang juga pernah dikibarkan oleh lembaga-lembaga donasi yang aktif mengumpulkan dana untuk Suriah. Donasi untuk korban perang tentu baik. Tapi bila itu dilakukan dengan menggunakan narasi palsu, seperti “rezim Syiah membantai warga Sunni Suriah”, disertai foto-foto palsu (misalnya anak berdarah-darah korban tentara Israel di Gaza disebut sebagai korban pembantaian oleh Assad), serta video hoax buatan White Helmets, tentu amat wajar bila publik mempertanyakan: uang sumbangan rakyat Indonesia itu diberikan ke siapa?)”.
Baca: Fakta Bachtiar Nasir Bantu Teroris Suriah
Perubahan sikap Hamas ini dilatarbelakangi ideologi keagamaan mereka, yaitu Ikhwanul Muslimin. Mereka lebih memilih bergabung bersama jaringan IM transnasional (yang sedang punya misi menggulingkan Assad), daripada fokus pada perjuangan memerdekakan tanah airnya sendiri.
Tentu saja, akhir-akhir ini Hamas menunjukkan penyesalan dan menyatakan akan fokus pada urusan dalam negeri saja, lalu berupaya kembali mendekati Iran (yang sejak pengkhianatan Hamas telah menghentikan bantuan dana; padahal Hamas sangat butuh dana itu untuk mengelola pemerintahan di Gaza).
Karena yang angkat senjata di Suriah sebagian besarnya adalah anasir IM, plus Hizbut Tahrir, ISIS, dan Al Qaida (jadi, “mujahidin” alias teroris di Suriah itu banyak faksi, tapi ideologi dasarnya sama), dan semua ormas itu punya cabang di Indonesia, tak heran bila orang Indonesia berisik sekali soal Suriah (dengan narasi yang salah).
Baca: PKS Ikhwanul Muslimin Indonesia Berfaham Aliran Sesat Wahabi
Radikalisme dan terorisme yang marak akhir-akhir ini di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari maraknya narasi intoleran, hatespeech, dan fitnah yang disebarkan dalam upaya penggalangan dana dan rekrutmen petempur untuk “jihad” di Suriah.
ANEHNYA: kemarin, tiba-tiba saja, orang-orang yang sama, yang selama 7 tahun terakhir heboh sekali melakukan manipulasi informasi soal Suriah justru menggagas AKSI BELA PALESTINA.
Halooo?? Bela Palestina, tapi selama 7 tahun terakhir berperan penting dalam penghancuran pendukung utama Palestina, Suriah? Betapa kontradiktifnya!
Selain itu, bisa dilacak, sejak 2014, kelompok ini pula yang suka menggunakan isu SARA untuk politik dalam negeri. Mereka kemudian bikin film, berkeras menyatakan ini film soal cinta, padahal jelas konteks kelahiran karya ini adalah aksi bela ini-bela itu yang sejatinya demi pertarungan politik domestik.
Di sinilah pentingnya pemahaman geopolitik global, biar tak mudah dibodoh-bodohi oleh segelintir elit domestik yang membawa narasi sektarian demi agenda politik. Juga biar nyambung, saat saya mengaitkan Suriah dan kondisi politik dalam negeri, atau dengan film tertentu.
Pembelaan terhadap Palestina adalah amanah UUD kita. Tapi, mari bela Palestina dengan pemahaman yang utuh. Jangan sampai merasa sedang bela Palestina, eh, ternyata yang dibela malah teroris. (SFA)
Sumber: Fanpage Facebook Dina Sulaeman
Aksi 115
Sumber Berita : http://www.salafynews.com/dina-sulaeman-aksi-bela-palestina-atau-teroris.html

‘Teroris’ dan PKS Benci Jokowi, Ini Penjelasan Denny Siregar

JAKARTA – Pegiat media sosial Denny Siregar membuat sebuah tulisan yang ingin menjelaskan kepada masyarakat, kenapa pembenci Jokowi kebanyakan pendukung teroris dan kader PKS?, berikut ulasannya:
Kenapa kebanyakan pendukung teroris adalah pembenci Jokowi? Tidak perlu survey untuk ini. Perhatikan saja komen-komen yang muncul maupun status yang dibuat pada saat kerusuhan Mako Brimob berlangsung. Rata-rata mereka yang menganggap bahwa kerusuhan di Mako itu adalah settingan, selalu ada postingan #2019GantiPresiden di status mereka.
Baca: WOW! Inilah Ancaman Jokowi Kepada Teroris
Bahkan di grup-grup WA, teman-teman kecil saya dulu yang notabene adalah pembenci Jokowi sejak pilpres, turut menyuarakan bahwa kerusuhan Mako Brimob adalah bagian dari pengalihan isu karena lemahnya rupiah terhadap dollar AS. Mereka jangankan berempati kepada keluarga korban polisi, bahkan mereka membangun teori konspirasinya sendiri.
Sebenarnya mudah jawabannya, meski akan banyak yang menyangkalnya!
Kebencian kepada Jokowi dipicu karena tidak berkuasanya Prabowo. Prabowo bagi mereka adalah inang yang sempurna untuk berkembang biaknya virus ideologi yang sudah mereka tanam di negeri ini sejak lama. Ketika Jokowi memimpin, maka sesaklah dada mereka.
Jokowi menumpas terorisme di Indonesia mulai dari akar pertumbuhannya, yaitu pendanaan. Kelompok garis keras ini merasakan lesu darah ketika Jokowi menyetop dana bantuan sosial -bansos- dan dana hibah untuk mereka.
Dana bansos dan hibah yang selama ini dinikmati ormas-ormas dan LSM fiktif, dialihkan ke hal yang lebih berguna. Penghentian dana bansos ini dimulai sejak Jokowi menjadi Gubernur Jakarta dan diteruskan oleh Ahok. Ketika Jokowi menjadi Presiden, ormas-ormas yang mengajukan proposal pendanaan semakin kering dapurnya dan itu menghalangi mereka untuk menyebarkan ideologinya.
Baca: Denny Siregar: Ajal HTI Ditangan Jokowi
Kemudian Jokowi mengeluarkan Perppu pembubaran HTI. Maka semakin meradanglah mereka. Kemarahan kelompok garis keras ini bukan karena mereka punya ikatan kuat dengan HTI, tapi karena ketakutan bahwa mereka akan menjadi sasaran berikutnya. Hanya pada masa Jokowi inilah, agenda-agenda besar mereka untuk menjadikan Indonesia sebagai negeri khilafah, berhenti.
Ditambah PKS yang sudah tidak bisa “bisnis” di kursi pemerintahan lagi. Lihat saja ketika PKS dulu ada di pemerintahan, semua jadi terlihat aman tentram dan sentosa, meski mereka sebenarnya menggerogoti dari dalam.
Itulah kenapa Jokowi dijadikan mereka sebagai “musuh bersama”. Pada masa SBY kelompok garis keras ini berkembang dengan cepat menguasai masjid dan majelis taklim, karena memang difasilitasi dan dibiarkan berkembang.
Jadi, buat saya, membela Jokowi bukan karena membela sosok yang nafsu berkuasa. Tetapi membela utuhnya negeri ini karena jika kelompok garis keras ini kukunya dibiarkan mencengkeram terlalu dalam, satu waktu habislah kita.
Baca: Netizen: Terorisme Bukan Jihad, #KamiBersamaPOLRI
Jika musuh kelompok garis keras ini adalah Jokowi, maka saya akan berpihak pada lawan mereka. Jadi sudah pasti saya akan dibenci juga oleh mereka.
Sesederhana itu sebenarnya. Seperti sederhananya secangkir kopi yang selalu ada tersedia di atas meja. (SFA)
Teroris bukan Islam

Mereka Pulang dari Suriah

LiputanIslam.com –Tak sampai sepekan, Indonesia diguncang dua aksi teror. Setelah melakukan aksi biadab penyanderaan dan pembunuhan secara keji di Rutan Salemba (Komplek Mako Brimob), para teroris kembali melakukan aksi yang tak kalah kejinya, yaitu meledakkan bom di tiga gereja yang terdapat di kota Surabaya. Sampai tulisan ini diturunkan, korban jiwa akibat ledakan tersebut diberitakan berjumlah empat belas orang, termasuk para pelakunya. Yang membuat miris, kali ini tindakan teror diduga melibatkan anak kecil berusia sepuluh tahun sebagai bomber, yang tentunya juga ikut tewas. Ini tentu adalah tindakan yang harus dikutuk sekeras-kerasnya.
Sangat disayangkan bahwa banyak sekali pihak seperti pihak keamanan (kepolisian) dan juga media-media independen (termasuk Liputan Islam) yang sudah mewanti-wanti betapa peristiwa-peristiwa ini sebenarnya hanya tinggal menunggu waktu untuk meledak. Dengan memperhatikan segala macam preseden serta pola-pola gerakan kaum teroris, tak sulit untuk menduga bahwa suatu waktu mereka akan melakukan tindakan kejinya di Indonesia. Sejak lama kami sampaikan bahwa pengabaian terhadap krisis Suriah berarti membiarkan aksi terorisme merajalela di Bumi Nusantara ini.
Marilah kita melihat masalah ini dari fakta-fakta yang aksiomatis, yaitu bahwa aksi-aksi terorisme yang terjadi dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini, , termasuk dua aksi teroris di Rutan Salemba dan juga di Surabaya, pastilah ada hubungannya dengan krisis Suriah.
Awalnya adalah adanya kepentingan kaum imperialis modern (Amerika, Zionis Israel, dan sekutu-sekutunya) untuk menaklukkan para penentang. Suriah, satu-satunya negara Arab yang konsisten menentang Zionis Israel, pun dijadikan target. Dibuatlah isu pertentangan madzhab Sunni-Syiah, lalu hoaks dan fitnah pun disebar. Setelah itu, para jihadis dari sekitar seratus negara dunia (termasuk Indonesia) difasilitasi untuk datang ke Suriah dalam rangka “berjihad’ menegakkan khilafah dan meruntuhkan “rezim thaghut” Bashar Assad yang mereka sebut menindas rakyat Sunni. Milyaran dolar dikucurkan untuk memberikan bantuan senjata dan logistik (termasuk bantuan pencitraan lewat media dan lembaga kemanusiaan).
Setelah bertempur selama lebih dari enam tahun, para jihadis makin terpojok dan bisa dikatakan sudah kalah. Mereka gagal mendirikan khilafah. Tapi, mereka berhasil menciptakan prahara kemanusiaan yang tak terkira di Bumi Syam. Sebagai konsekwensinya, mereka pulang ke negara masing-masing. Pihak kepolisian Indonesia memiliki data bahwa jumlah alumni jihadis Suriah yang sudah pulang ke Tanah Air mencapai angka 500 orang lebih; sebuah angka yang cukup mengerikan. Mereka pulang dengan pengalaman bertempur dan cara-cara menciptakan teror di tengah-tengah masyarakat. Mereka juga membawa pengalaman terkait dengan pola-pola rekruitmen yang sangat teruji. Maka, angka 500 ini bisa berkembang biak menjadi berkali-kali lipat. Saat ini, sangat mungkin jumlah teroris yang siap melakukan aksinya mencapai angka ribuan orang.
Apakah kita cukup mengantisipasi perkembangbiakan mereka itu? Sayangnya tidak. Kepentingan politik dan ekonomi segolongan elit negara ini membuat kita melakukan pembiaran terhadap bibit-bibit radikalisme dan intoleransi. Bahkan, sangat kuat ditengarai bahwa sebagian kelompok politik mengambil manfaat dari keberadaan kelompok-kelompok radikal itu untuk kepentingan politik mereka. Hate speech dan fitnah dibiarkan bertebaran dan memakan korban.
Lalu, ketika faham  dan ujaran radikalisme itu sudah mewujud dalam bentuk tindakan, ketika belum punya payung hukum yang memadai sehingga kepolisian masih dihadapkan kepada situasi serba salah dalam melakukan tindakan penanggulangan atas aksi-aksi potensial teman-teman mereka. Bayangkan, polisi punya data tentang mereka yang pulang dari pertempuran di Suriah. Akan tetapi, polisi tidak bisa dengan serta menangkap mereka, karena memang tidak ada payung hukum yang membenarkan penangkapan.
Para elit politik, khususnya DPR RI yang sudah lebih dari dua tahun menggodok revisi UU anti terorisme, memiliki tanggung jawab yang sangat signifikan dalam kasus ini. (os/edititorial/liputanislam)

Sumber Berita : http://liputanislam.com/dari-redaksi/editorial/mereka-pulang-dari-suriah/

Mantan Kepala BIN: Tangkap Pihak-pihak yang Bantu Teroris

JAKARTA – Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (KaBIN) Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono angkat bicara soal peristiwa meledaknya bom di 3 gereja di Surabaya, Jawa Timur. Dia mengimbau agar masyarakat tetap tenang dan jangan panik dalam situasi seperti ini.
Dia mengibaratkan fenomena terorisme semacam ini seperti gunung Krakatu yang berpotensi meletus lagi. Meski demikian, dia percaya polisi dan TNI akan mampu mengatasinya.
Baca: Wiranto: Jangan Sampai Politik Dimanfaatkan Kelompok Radikal Kuasai Kekuasaan
“Kekuatan mereka yang seperti puncak Gunung Krakatau ini berpotensi meletus lagi, tapi Polri dan TNI akan mampu meredamnya,” kata Hendropriyono.
Program deradikalisasi dinilainya sudah jalan. Kini masyarakat perlu bersatu melawan terorisme, seperti warga Jawa Barat yang melawan DI/TII pada masa silam.
“Pada era 1960-an berhasil dengan gemilang menumpas DI/TII, karena bersatu padu mengepung mereka dengan melakukan pagar betis di daerah Majalaya,” ujar dia.
Baca: Ustad Abu Janda: HTI Dihajar Ansor Sel Teroris ISIS Bangkit
Hendropriyono mengungkapkan idenya agar di setiap Rukun Tetangga (RT) memiliki semacam tahanan untuk orang-orang yang dicurigai sebagai teroris. Nantinya, orang-orang yang mencurigakan itu bisa diserahkan ke aparat.
“Tahan setiap orang yang mencurigakan, untuk langsung serahkan kepada polisi atau kesatuan TNI yang terdekat. Sangat bermanfaat jika setiap RT punya kontainer tempat tahanan sementara sebelum alat negara datang,” kata dia.
Dia juga berpesan agar pihak-pihak yang membela teroris ditangkap saja. Menurutnya, masyarakat tak perlu terlalu pusing dengan urusan Hak Asasi Manusia (HAM) bila hendak menangkapi orang-orang mencurigakan. HAM yang harus dijunjung tinggi adalah HAM setiap orang Indonesia untuk hidup aman dan sejahtera.
Baca: Surat Terbuka Netizen Kepada Fans ISIS di Indonesia
“Tangkap para tokoh masyarakat yang bicara dan berbuat membela teroris. Ingat bahwa hukum yang tertinggi dalam situasi seperti ini adalah keselamatan rakyat. Singkirkan semua bualan tentang HAM teroris dalam kondisi rakyat di bawah bayang-bayang terorisme ini,” tuturnya. (SFA)
Sumber: Jurnal politik
Hendropriyono
Sumber Berita : http://www.salafynews.com/mantan-kepala-bin-tangkap-pihak-pihak-yang-bantu-teroris.html

Saiful Huda Semprot Fadli Zon Soal Terorisme ‘Politisi Dungu dan Malas’

JAKARTA – Cuitan Twitter Fadli Zon pada tanggal 12 Mei “Terorisme biasanya bkembang di negara yg lemah pemimpinnya, mudah diintervensi, byk kemiskinan n ketimpangan dan ketidakadilan yg nyata”.
Baca: Tsamara PSI ‘Hajar’ Cuitan Fadli Zon ‘Pemimpin Planga-Plongo’
Cuitan FZ mendapat balasan dari Saiful Huda EMS lewat akun Facebooknya, seorang penulis dan sekaligus advokat, SHE mengatakan bahwa kalau alasan terjadinya terorisme itu karena pemimpinnya lemah, maka di zaman Soekarno, Soeharto hingga SBY tidak akan ada terorisme karena mereka semua kuat. Namun nyatanya malah aksi terorisme itu banyak terjadi di zaman Soeharto dan SBY.
Baca: Eko Kuntadhi: PKS, Gerindra dan PBB Rebutan ‘Bangkai’ HTI
Kalau alasan terjadinya terorisme itu karena pemimpinnya lemah dan rakyatnya miskin, maka di Amerika, di Inggris, di Jerman, di Prancis dll. tidak akan pernah terjadi aksi terorisme karena di negara-negara itu selain pemimpin dan sistemnya sangat kuat, juga perekonomiannya sangat maju. Tetapi dalam kenyataannya ada banyak terjadi aksi terorisme di Amerika dan di negara-negara Eropa tersebut.
Ketahuilah, terorisme itu terjadi bukan karena pemimpinnya lemah, tapi karena politisi-politisinya yang di parlemen banyak diisi oleh orang-orang dungu, malas bekerja melaksanakan tugasnya, dan hanya gemar memprovokasi kemarahan orang melalui pernyataan-pernyataan politiknya.
Baca: Sumanto Al-Qurtuby: Ada Tangan Amerika dalam Gaduh Politik Indonesia
Contoh politisi dungu dan malas seperti itu adalah Si Zon yang mukanya mirip bos kaum gay dan sejenisnya. Dan selama orang-orang seperti Si Zon ini tidak dimasukin ke tong sampah dan dikunci selama-lamanya, maka terorisme akan terus menjadi ancaman nyata. (SFA)
Fadli Zon Vs Saiful Huda

Kapolri Desak DPR Segera Sahkan UU Anti Terorisme

SURABAYA – Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Tito Karnavian mendesak DPR untuk segera menyelesaikan revisi UU Anti Terorisme. Jika masih belum tuntas, Tito meminta Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan Perppu Anti Terorisme.
Baca: Ari Wibowo: Ayo Dukung Jokowi Tertibkan Perpu Anti Terorisme
“UU ini harus segera direvisi. Kalau terlalu lama, kita mohon Presiden untuk membuat Perppu,” ujar Tito usai mendampingi Presiden Jokowi di RS Bhayangkara, Surabaya, Minggu (13/5).
Tito menyebut UU Anti Terorisme yang ada saat ini membatasi aparat dalam pencegahan maupun penindakan teroris.
“Kita tahu sel-sel mereka tapi kita tidak bisa menindak. Kita menindak kalau mereka melakukan aksi atau sudah jelas ada barang buktinya. Kita ingin lebih dari itu,” ujar Tito.
Baca: Anggota Komisi 1 DPR Sebut Muhammad Syafii Gerindra Tak Pantas Pimpin Pansus RUU Terorisme
Kapolri berharap dalam revisi UU Anti Terorisme yang baru, terdapat pasal yang bisa menetapkan JAD-JAT sebagai organisasi teroris. Sehingga siapapun yang bergabung dengan organisasi ini bisa dipidana.
Baca: (Fikih Anti Terorisme) Al Quran dan terorisme
“Sebab korban terus berjatuhan. Sementara yang kembali dari Suriah 500 orang dan kita enggak bisa buat apa-apa. Kalau kita tidak melakukan apa-apa hanya 7 hari menahan lalu lepas,” katanya. (SFA)
Sumber: Kumparan
Kapolri
Sumber Berita : http://www.salafynews.com/kapolri-desak-dpr-segera-sahkan-uu-anti-terorisme.html

Moeldoko: Pemerintah Akan Perketat WNI yang Pulang dari Suriah

JAKARTA – Pasca ledakan beruntun di Jawa Timur, pemerintah akan memperketat warga negara Indonesia (WNI) yang telah pulang dari Suriah. Ditakutkan mereka termakan oleh doktrin terorisme yang kemudian melakukan teror di Indonesia. Terlebih satu keluarga yang melakukan pengeboman di tiga gereja Surabaya disebut juga pernah berangkat ke Suriah.
Baca: Mengutuk Para Radikalis Bukanlah Mengutuk Islam
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, saat meninjau tempat kejadian dan mendatangi Polda Jawa Timur, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melakukan rapat terbatas dengan sejumlah pimpinan Kepolisian, TNI, dan Menteri. Salah satu isi rapat tersebut yaitu agar semua lembaga termasuk imigrasi dan unsur lain bisa lebih waspada terhadap WNI yang telah pulang dari sejumlah negara rawan konflik termasuk Suriah.
Melalui data yang ada diharap aparat keamanan bisa lebih waspada dan memantau kegiatan mereka karena ditakutkakan terjerumus dengan doktrin terorisme.
“Misalnya begitu pulang (dari Suriah) nama-nama yang sudah terdeteksi itu segera diinformasikan kepada seluruh aparat bahkan kepada masyarakat sehingga semuanya menjadi lebih waspada, seperti itu,” ujar Moeldoko, Senin (14/5).
Baca: Wakil Kanselir Jerman; Wahabisme Sumber Ideologi ISIS dan Terorisme di Dunia
Moeldoko tidak ingin pemerintah dianggap kecolongan atas kejadian pengeboman di sejumlah daerah terutama di Surabaya. Sebab aparat keamanan sudah melakukan upaya pencegahan sesuai dengan prosedur.
Namun memang pemikiran para oknum teror ini pun berkembang sehingga modus yang dijalankan agak sulit terdeteksi. Sehingga seolah-olah aparat tidak melakukan langkah antisipasi, padahal hal tersebut sudah dijalankan.
Baca: Terduga Teroris Malang Miliki Daftar Nama Ustad Wahabi Sebagai “Mujahid” di indonesia
Perubahan modus bisa dilihat dari beberapa aksi yang dilakukan di mana para oknum kejahatan ini mendatangi suatu tempat secara terbuka dan langsung meledakan diri. Hal ini yang membuat aparat keamanan sedikit kerepotan karena bom bunuh diri lebih sulit ditangani. Salah satunya yang baru terjadi di Kantor Polres Surabaya di mana dua kendaraan bermotor tiba-tiba merangsak masuk dan ketika dicegat oleh penjaga langsung meledakan diri. (ARN)
Staf Presiden Kepala KSP

Jokowi: Aksi Terorisme adalah Tindakan Pengecut!

SURABAYA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengutuk keras aksi terorisme yang berturut-turut terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Ia menyebut bahwa aksi tersebut adalah tindakan pengecut.
“Ini adalah tindakan pengecut!,” tegas Jokowi kepada wartawan di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (14/5).
“Tindakan yang tidak bermartabat, tindakan yang biadab,” tegasnya.
Ia menegaskan negara akan melawan aksi terorisme dan akan dibasmi hingga ke akar-akarnya.
“Kita akan lawan terorisme dan kita akan basmi sampai keakar-akarnya. Saya sampaikan kepada polisi, saya perintahkan Kapolri untuk tidak ada kompromi dalam melakukan tindakan-tindakan di lapangan untuk membereskan aksi terorisme ini,” tegasnya. [ARN]

Tamparan Keras Golkar pada Fadli Zon: Politisasi Pengeboman Juga Kejahatan

JAKARTA – Wakil Ketua DPR Fadli Zon lewat cuitannya mengaitkan aksi terorisme di gereja Surabaya, Jawa Timur sebagai bukti kelemahan kepemimpinan. Golkar mengingatkan mempolitisasi peristiwa tersebut sama halnya dengan tindak kejahatan.
Baca: Aneh! Fadli Zon Sayangkan Putusan PTUN yang Sahkan Pemburan HTI
“Di saat keluarga korban sedang berduka, mempolitisasi pengeboman juga sebuah kejahatan,” kata Wasekjen Golkar Sarmuji, Minggu (13/5/2018).
“Sebaiknya tidak ada satu pihak pun yang mempolitisir aksi terorisme. Kita harus mengedepankan empati kepada korban,” imbuhnya.
Sarmuji menjelaskan insiden bom bunuh di gereja di Surabaya itu ialah bukti paham radikal masih ada di Indonesia. Dia mengajak seluruh elemen bangsa berperan aktif menangkal terorisme.
“Teror Bom surabaya membuka mata kita bahwa paham radikal masih banyak hidup di tengah masyarakat kita yang cinta damai. Karena itu kita yang berakal sehat dan ingin hidup damai harus terus melawan paham yang menyesatkan ini,” sebut anggota DPR yang duduk di Komisi XI itu.
Baca: MEMANAS, Surat Terbuka Mak Lambe Turah kepada Fadli Zon
“Setiap agama tidak mengajarkan kekerasan dan karena itu ajaran agama yang cinta damai harus terus disebarluaskan. Kita harus nyatakan bahwa tidak ada tempat sejengkal pun di bumi Indonesia yang boleh dihuni oleh paham yang menjadikan teror sebagai alat perjuangan,” tambah Sarmuji.
Kontroversi ini bermula dari tweet berseri Fadli soal teror bom di Surabaya lewat akun pribadinya @fadlizon pada Minggu (13/5) pagi. Dari tujuh tweet yang ia unggah, salah satu yang paling ramai ialah ketika Fadli mengaitkan aksi terorisme dengan kelemahan kepemimpinan.
Baca: Siapakah Sebenarnya Penjual Agama?
“Terorisme biasanya bkembang di negara yg lemah pemimpinnya, mudah diintervensi, byk kemiskinan n ketimpangan dan ketidakadilan yg nyata,” cuit Fadli. Banyak netizen yang memprotes tweet Fadli itu. Tercatat, setidaknya ada 7.700 cuitan yang membalas tweet tersebut. (ARN)

Delapan Fatwa MUI tentang Politisasi Agama

islamindonesia.id – Delapan Fatwa MUI tentang Politisasi Agama
Komisi fatwa MUI menggelar Ijtima Ulama Se-Indonesia VI di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Di antara seluruh hasil pertemuan tersebut, salah satunya adalah menghasilkan delapan fatwa tentang politisasi agama di Indonesia. Dr. HM. Asrorun Niam Sholeh, MA dalam konferensi pers pada hari Jumat (11/5) selaku Ketua Pimpinan Sidang Pleno menyampaikan delapan fatwa tersebut:
Pertama, Islam sebagai ajaran yang bersumber dari wahyu merupakan ajaran yang komperehensif (kaffah), memiliki tuntunan kebajikan yang bersifat universal (syumuliyyah) dan meliputi seluruh aspek kehidupan (mutakamil). “Islam mencakup juga tatanan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara, mengatur masalah sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Karenanya, Islam menolak pandangan dan upaya yang memisahkan antara agama dan politik,” kata Asrorun.
Kedua, hubungan agama dan negara adalah hubungan yang saling melengkapi. Politik dan kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menjamin tegaknya syariat (hirasat al-din) dan terjaminnya urusan dunia (siyasat al-dunya). Politik dalam Islam adalah sarana untuk menegakkan keadilan, sarana amar makruf nahi munkar, dan sarana untuk menata kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh.
“Agama dan simbol keagamaan tidak boleh hanya dijadikan kedok untuk menarik simpati dan pengaruh dari umat beragama serta untuk mencapai tujuan meraih kekuasaan semata. Politik juga tidak boleh dipahami hanya sebagai sarana meraih kekuasaan tanpa memperhatikan etika dan moral keagamaan,” tambahnya.
Ketiga, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibentuk dengan kesepakatan menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam dasar bernegara. Dengan demikian, seluruh aktifitas politik kenegaraan harus dibingkai dan sejalan dengan norma agama. Karenanya, setiap upaya memisahkan antara agama dengan politik kenegaraan adalah bertentangan dengan dasar negara dan konsensus bernegara.
Keempat, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama harus dijadikan sebagai sumber inspirasi dan kaidah penuntun, sehingga tidak terjadi benturan antara kerangka berpikir keagamaan dan kerangka berpikir kebangsaan. Penyelenggara negara tidak memanfaatkan agama sekedar untuk kepentingan tujuan meraih kekuasaan semata.
Kelima, tempat ibadah bukan hanya untuk kepentingan ritual keagamaan (ibadah mahdah) semata. Ia harus dijadikan sebagai sarana pendidikan dan dakwah Islam, termasuk masalah politik keumatan, bagaimana cara memilih pemimpin sesuai dengan ketentuan agama, dan bagaimana mengembangkan ekonomi keumatan, bagaimana mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta bagaimana mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Keenam, dalam prakteknya, arah tujuan politik praktis adalah memperoleh kekuasaan, sementara kekuasaan cenderung korup. Karenanya, praktek politik kekuasaan harus dipandu oleh norma-norma luhur keagamaan agar tidak menghalalkan segala cara. Aktifitas politik yang tidak dijiwai agama akan cenderung melakukan tindakan menyimpang dan menghalalkan segala cara.
Ketujuh, Islam tidak membenarkan praktek politik yang diwarnai oleh intrik, fitnah, dan adu domba untuk mencapai satu tujuan politik, apalagi dengan membawa dan memanipulasi agama, mengatasnamakan agama, dan/atau menggunakan symbol-simbol agama, menjadikan agama hanya sekedar dijadikan sebagai alat propaganda atau hanya untuk memengaruhi massa.
Kedelapan, simbol-simbol agama, atau simbol-simbol budaya yang identik dengan simbol agama tertentu tidak boleh digunakan untuk menipu dan memanipulasi umat beragama agar bersimpati guna mencapai tujuan politik tertentu. Tindakan tersebut bertentangan dengan ajaran agama dan termasuk penodaan agama.
PH/IslamIndonesia/Sumber: republika, detik
Photo: ROL/Fakhtar K Lubis
Sumber Berita : https://islamindonesia.id/berita/delapan-fatwa-mui-tentang-politisasi-agama.htm

Dua Siska Pelaku Teror, Mahasiswi UPI dan Guru Tajwid yang Berbaiat ke ISIS

DutaIslam.Com – Dua perempuan yang ingin Menghabisi Anggota Brimob, Dita Siska Millenia dan Siska Nur Azizah, merupakan “calon teroris” yang telah berbaiat ke ISIS. Dita Siska Milenia bekerja sebagai Guru Tajwid di Pondok Dauhrul Ulum, Cilacap. Sedangkan Siska Nur Azizah merupakan mahasiswa semester enam Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Keduanya ditangkap karena diduga hendak membantu para napi terorisme di Mako Brimob dan menyerang aparat kepolisian.
Berikut ini profil lengkap kedua perempuan bercadar sebagaimana dilansir dari kumparan.com.

1. Dita Siska Millenia
Dita Siska Millenia alias Maumil alias Ukhti Dita alias Dita lahir di Temanggung, 25 Januari 2000. Ia bekerja sebagai Guru Tajwid di Pondok Dauhrul Ulum, Cilacap.
Semasa SMA, Dita sempat ikut dalam organisasi Ikatan Pemuda Muhammadiyah (IPM). Ia lulus dari SMK Muhammadiyah Kendal tahun 2017. Dalam setahun terakhir perempuan berusia 18 tahun ini aktif mengikuti perkembangan Daulah Islamiyah di media sosial.
Pada pertengahan 2016 Dita memutuskan berbaiat mendukung ISIS pimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi. Dari tangan Dita polisi mengamankan sebuah Kartu Anggota Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Identitas KTP, hingga satu buah dompet.

2. Siska Nur Azizah
Siska Nur Azizah alias Siska alias Fatmah alias Teteh lahir di Ciamis, 31 Desember 1996. Siska merupakan seorang mahasiswa semester enam di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Jawa Barat. Ia memiliki pekerjaan sampingan berjualan donat di kawasan kampus.
Berdasarkan kesaksiannya, pada tahun 2016-2017 Siska sempat bergabung dalam kelompok Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah 9 (NII KW9). Siska juga mengikuti sejumlah organisasi lain seperti UKDM Unit Kegiatan Dakwah Mahasiswa dan Ikatan Remaja Masjid.
Sama halnya dengan Dita, Siska memutuskan berbaiat kepada Abu Bakar Al-Baghdadi pada Oktobr 2017 atas keinginan sendiri.
Keduanya bertemu di salah satu grup di Whatsapp pada tahun 2017. Adapun grup tersebut memang aktif membahas tentang ilmu tauhid, akidah, jihad hingga upaya memerangi thogut. [dutaislam.com/pin]
Dua Pelaku Rencana Pembunuhan Terhadap Petugas Mako Brimob. Foto: Istimewa. 

Diajukan Sejak 2016, Jika Juni RUU Antiterorisme Belum Kelar Presiden Akan Bikin Perppu

DutaIslam.Com – Dua hari berturut-turut Kota Surabaya diserang bom oleh teroris yang didugakuat jaringan ISIS, Ahad-Senin (13-14/05/2018). Kejadian ini tidak berselang lama dari peristiwa kerus keributan yang melibatkan petugas dan dan napi teroris di Mako Brimob Depok, Selasa (08/05/2018). Disusul kemudian penangkapan dua perempuan muda pendukung ISIS yang hendak menghabisi polisi di lokasi yang sama.
Duh! Ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang darurat terorisme yang berakar pada pemahaman radikal terhadap ajaran agama. Revisi UU antiterisme yang kini masih di meja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak untuk diselesaikan sebagai legalitas negara memberantas kebiadaban pelaku teror.  
Presiden Joko Widodo geram dengan sederet ledakan bom di Surabaya yang terjadi berturut-turut. Jokowi meminta DPR segera menuntaskan Revisi UU antiterorisme. Jika tidak, maka akan diterbutkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Menurut Presiden, revisi UU ini sudah diajukan pemerintah kepada DPR pada Februari 2016 yang lalu. Artinya, sudah dua tahun tergeletak di meja DPR. Presiden meminta untuk segera diselesaikan secepatnya-cepatnya. Presiden memberi batas masa sidang 18 Mei mendatang.
"Kalau nantinya di bulan Juni di akhir masa sidang ini belum segera diselesaikan, saya akan keluarkan perppu," kata Jokowi, dilansir dari kompas.com.
Pernyataan ini juga disampaikan presiden melalui akun Twitternya @jokowi. Menurut presiden, RUU Antiterorisme merupakan payung hukun yang penting bagi aparat untuk menindak tegas pelaku teror.
 
“UU ini merupakan hal yang penting bagi aparat, bagi polri untuk bisa menindak tegas baik dalam pencegahan maupun tindakan. Kalau nanti Juni, di akhir masa sidang ini belum segera di selesaikan, saya akan keluarkan Perppu,” tulis Jokowi. [dutaislam.com/pin]
RUU Antiterorisme. Foto: Istimewa.

Re-Post by http://migoberita.blogspot.co.id/ Senin/14052018/18.30Wita/Bjm 
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya