Para Kartini Tangguh Dari Ujung Banua, Mendidik di Perbatasan
PROKAL.CO, Tina Kartina membiarkan air matanya tumpah di pipi. Gempuran angin dan riuh ombak Laut Jawa mengantarnya ke Pulau Sembilan, daerah paling ujung, terpisah laut dengan Pulau Kalimantan. Guru muda asal Garut Jawa Barat harus rela pisah dari suami dan anak lelakinya yang masih kecil.
----
"Saya belum pernah ke Kalimantan, dan lulus PNS ditugaskan ke SMPN 1 Pulau Sembilan. Dimana itu?" kenang lulusan STKIP Garut, 2007, ini kepada penulis belum lama tadi.
Dalam peta, guru matematika ini melihat sembilan pulau. Berada paling luar dari batas geografis Kalsel. Pulau-pulau kecil itu hanya berbatasan dengan luasnya Laut Jawa dan Selat Makassar.
Berbeda jauh dengan Garut. Dan di internet dia banyak membaca kisah-kisah mistis soal penduduk pulau yang mayoritas suku Mandar. Dia gamang dan khawatir.
Tiga tahun lalu, dia diantar suaminya, Hendrik Setiawan, yang juga guru di Jawa Barat. Mereka terbang melintasi Laut Jawa menuju Pulau Kalimantan.
Sampai di Kabupaten Kotabaru, dilanjutkan menggunakan kapal laut namanya Perintis, dua belas jam terapung sampailah mereka di Pulau Sembilan di pusat kota kecamatan.
Kekhawatirannya soal penduduk suku Mandar tidak terbukti. Yang dia lihat alam indah memesona dan senyum mengembang dari warganya. "Dan ternyata warga di sini luar biasa baiknya. Meski saya merasa berbeda karena masalah biasa, tapi sambutan dan penghargaan mereka luar biasa. Semua menyambut kayak keluarga," kata Kartina.
Hanya sebentar suaminya di sana, karena harus kembali mengajar di Jawa Barat. Tinggallah Kartina sendiri. Berat sekali awalnya berpisah dengan keluarga. Dia pun mengaku kerap menangis ketika memandang laut luas di depan, ribuan mil jaraknya dengan keluarga. Jika rindu memuncak, dia berjalan ke dermaga Desa Tanjung Nyiur, di sana sinyal hape lumayan baik.
Namun apa boleh buat, hidup tetap berjalan. Tugas sudah menanti. Anak-anak pulau menuntut ilmu.
Di sana Kartina tidak sendiri. Pada waktu hampir bersamaan, Nurhikmah gadis hitam manis berlesung pipit yang belum menikah tiba di sana. Nurhikmah juga diangkat jadi guru PNS, di SMAN 1 Pulau Sembilan. Nurhikmah sudah biasa di pedalaman, pada tahun 2012 dia sudah mengajar di pedalaman Watu Linggai Manggarai Timur NTT.
"Bedanya kalau di Linggai itu daratan, di sini itu laut semua. Tapi sama-sama daerah tertinggal," ujar Hikmah kepada penulis.
Di Pulau Sembilan listrik hanya
menyala pada malam hari, dan sinyal seluler hanya ada di titik tertentu.
Para pelajar kekurangan informasi. Jangankan baca berbagai macam
tulisan di internet, buku cetak saja sangat minim. Terkadang dengan
hanya mengandalkan kualitas jaringan EDGE dia menjalin komunikasi dengan
teman dan keluarganya.
Nurhikmah adalah lulusan Universitas Negeri Makassar (UNM) tahun 2008. Dari muda sudah sering berkegiatan dalam tema pendidikan. Lepas kuliah dia sibuk mengajar, di Pinrang, NTT, balik ke Gowa Makassar dan kemudian ke Pulau Sembilan.
Kepada para sahabatnya Nurhikmah menceritakan keterbatasan Pulau Sembilan. Anak-anak yang hanya kenal laut namun punya semangat tinggi. Dia pun meminta bantuan buku-buku. Dan dalam waktu singkat Rumah Baca Ceria Ana' Eke berdiri. Ana' Eke berasal dari bahasa lokal, Mandar, yang artinya anak-anak.
Tina Kartina, bersama guru wanita lainnya Reni Novika asal Jatim yang mengajar di SD. Kemudian Arni Anissa dan May Sarah honor yang sudah hampir sepuluh tahun, bersama-sama mengembangkan Rumah Baca Ana' Eke.
Buku-buku terus berdatangan. Bukan cuma buku anak-anak, tapi juga untuk remaja dan dewasa. Bahkan buku kisah Dahlan Iskan juga ada. Novel, buku Iptek semuanya. Juga buku untuk warga seperti beternak, melaut, pertukangan dan lainnya. "Sudah banyak, sudah ratusan buku," ungkap Nurhikmah.
Buku-buku itu datang dari segala penjuru, dari orang-orang yang peduli. Sulawesi, Pulau Jawa dan lainnya. "Dan banyak juga kiriman dari Banjarmasin. Kan ada beberapa anak sini yang kuliah di Banjarmasin, mereka yang kemudian galang bantuan untuk buku," jelasnya.
Para guru wanita ini rutin di hari tertentu keliling pulau membawa buku. Buku dimasukkan dalam tas dan dibagikan kepada warga atau anak-anak. Nanti mereka ke sana lagi mengambil untuk dibagikan ke desa atau pulau lainnya. Kadang naik kapal kadang jalan kaki saja menerabas kebun atau padang ilalang.
Dan sekarang sudah ada beberapa rumah baca. Masyarakat menyambutnya antusias. Anak-anak pada sore hari ramai di pinggir pantai, duduk membaca buku. Yang belum bisa membaca diajarkan. Kadang juga di rumah warga yang tinggi, membaca ditemani pemandangan indah gugusan pulau. Betapa gembiranya Hikmah melihat buku bisa digandrungi anak-anak, meski pada sebagian waktu anak-anak itu harus membagi waktunya membantu orang tua.
Dari semua keterbatasan saran di pulau terpencil Nurhikmah belajar satu hal: usahakan jangan sakit. Jika sudah sakit berat urusannya. Dia pernah suatu waktu diserang penyakit sampai muntah darah. Puskesmas di sana tidak sanggup, ingin ke kota kapal Perintis belum datang. Naik speedboat atau nyewa kapal sendiri berat di kantong. Terpaksa Hikmah harus bersabar menunggu Perintis yang datang seminggu sekali. "Itu susahnya di sana," ujarnya.
Juga kalau musim buruk, gelombang besar. Kapal tidak ada berani ke luar pulau atau masuk. Sembako pun jadi mahal. Apa boleh buat tabungan untuk mudik kembali berkurang. Juga kalau musim kemarau mereka harus ke desa paling ujung hanya untuk mendapatkan air minum.
Sama saja dengan Kartina, Hikmah pun sering merindukan keluarga di kampung halaman. Jika sudah sakit dan tidak berdaya luasnya lautan kadang ingin direnangi. Andai laut itu sekeras daratan, bisa dipijak untuk sampai ke Pinrang Sulawesi Selatan. Sayang beberapa kali ditanya apa penyakitnya Nurhikmah enggan membahasnya.
Nurhikmah adalah lulusan Universitas Negeri Makassar (UNM) tahun 2008. Dari muda sudah sering berkegiatan dalam tema pendidikan. Lepas kuliah dia sibuk mengajar, di Pinrang, NTT, balik ke Gowa Makassar dan kemudian ke Pulau Sembilan.
Kepada para sahabatnya Nurhikmah menceritakan keterbatasan Pulau Sembilan. Anak-anak yang hanya kenal laut namun punya semangat tinggi. Dia pun meminta bantuan buku-buku. Dan dalam waktu singkat Rumah Baca Ceria Ana' Eke berdiri. Ana' Eke berasal dari bahasa lokal, Mandar, yang artinya anak-anak.
Tina Kartina, bersama guru wanita lainnya Reni Novika asal Jatim yang mengajar di SD. Kemudian Arni Anissa dan May Sarah honor yang sudah hampir sepuluh tahun, bersama-sama mengembangkan Rumah Baca Ana' Eke.
Buku-buku terus berdatangan. Bukan cuma buku anak-anak, tapi juga untuk remaja dan dewasa. Bahkan buku kisah Dahlan Iskan juga ada. Novel, buku Iptek semuanya. Juga buku untuk warga seperti beternak, melaut, pertukangan dan lainnya. "Sudah banyak, sudah ratusan buku," ungkap Nurhikmah.
Buku-buku itu datang dari segala penjuru, dari orang-orang yang peduli. Sulawesi, Pulau Jawa dan lainnya. "Dan banyak juga kiriman dari Banjarmasin. Kan ada beberapa anak sini yang kuliah di Banjarmasin, mereka yang kemudian galang bantuan untuk buku," jelasnya.
Para guru wanita ini rutin di hari tertentu keliling pulau membawa buku. Buku dimasukkan dalam tas dan dibagikan kepada warga atau anak-anak. Nanti mereka ke sana lagi mengambil untuk dibagikan ke desa atau pulau lainnya. Kadang naik kapal kadang jalan kaki saja menerabas kebun atau padang ilalang.
Dan sekarang sudah ada beberapa rumah baca. Masyarakat menyambutnya antusias. Anak-anak pada sore hari ramai di pinggir pantai, duduk membaca buku. Yang belum bisa membaca diajarkan. Kadang juga di rumah warga yang tinggi, membaca ditemani pemandangan indah gugusan pulau. Betapa gembiranya Hikmah melihat buku bisa digandrungi anak-anak, meski pada sebagian waktu anak-anak itu harus membagi waktunya membantu orang tua.
Dari semua keterbatasan saran di pulau terpencil Nurhikmah belajar satu hal: usahakan jangan sakit. Jika sudah sakit berat urusannya. Dia pernah suatu waktu diserang penyakit sampai muntah darah. Puskesmas di sana tidak sanggup, ingin ke kota kapal Perintis belum datang. Naik speedboat atau nyewa kapal sendiri berat di kantong. Terpaksa Hikmah harus bersabar menunggu Perintis yang datang seminggu sekali. "Itu susahnya di sana," ujarnya.
Juga kalau musim buruk, gelombang besar. Kapal tidak ada berani ke luar pulau atau masuk. Sembako pun jadi mahal. Apa boleh buat tabungan untuk mudik kembali berkurang. Juga kalau musim kemarau mereka harus ke desa paling ujung hanya untuk mendapatkan air minum.
Sama saja dengan Kartina, Hikmah pun sering merindukan keluarga di kampung halaman. Jika sudah sakit dan tidak berdaya luasnya lautan kadang ingin direnangi. Andai laut itu sekeras daratan, bisa dipijak untuk sampai ke Pinrang Sulawesi Selatan. Sayang beberapa kali ditanya apa penyakitnya Nurhikmah enggan membahasnya.
Ditanya apa harapannya di Hari
Kartini, Tina Kartina mengatakan, wanita bukan lemah seperti anggapan
orang. Sebaliknya. Dia pun berpesan kepada para wanita agar menjadi
sosok yang menyenangkan, sederhana dan bersyukur dengan semua keadaan.
"Kalau kita bisa membahagiakan orang lain itu membahagiakan diri kita
sendiri juga," ujarnya.
"Perempuan, pribadi istimewa. Padanya dititipkan benih pembangun negeri, pengukir zaman. Olehnya itu harus membekali diri dengan ketaatan pada aturan Ilahi, kecerdasan dan kebijaksanaan," timpal Hikmah.
Meninggalkan gugusan pulau dan lautnya yang membingkai kesederhanaan dan kearifan lokal, di tengah perkebunan kelapa sawit, masih di Kabupaten Kotabaru, tepatnya di Desa Bakau Kecamatan Pamukan Barat, berbatasan dengan Kaltim, Fatmawati guru muda tiap pagi buta berangkat dari rumah ke sekolah TK Pembina. Nyanyian serangga biasa menjadi temannya di perjalanan.
Sudah sepuluh tahun dia menghonor, mulai tahun 2007 sampai sekarang. Awalnya hanya mendapat honor Rp250 ribu sebulan. Kecintaannya terhadap dunia pendidikan dimulai sejak lulus SMK tahun 2003. "Senang saja kalau sama anak-anak," kata Ibu muda kelahiran 1984 ini.
Gaji seperempat juta tentu saja tidak cukup, namun waktu itu dia masih sendiri. "Ya masih bujang kan. Kalau kurang ya minta sama orang tua," kenangnya tertawa. Beruntung pada 2010 dia bersuamikan Ahmad Rosyid. Gaji seperempat juta itu membantu gaji suaminya yang bekerja sebagai sopir di perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Waktu terus berlalu. Murid-murid silih berganti datang dan pergi. Mengajar anak TK poin pentingnya adalah mengajar sambil bermain untuk membentuk pola karakter yang baik anak. Banyak anggapan mengajar anak TK mudah, namun sebaliknya, TK adalah masa kritis pembentukan karakter anak saat remaja.
"Susah sebenarnya mendidik anak usia TK. Kita harus lebih hati-hati. Karena usia ini karakternya baru terbentuk," ujar Fatma.
Hingga kemudian Fatma dikarunia anak lelaki. Ibu keturunan suku Banjar ini mulai merasakan meningkatnya kebutuhan hidup. Saat itu gajihnya sudah naik di kisaran Rp700 ribu sebulan. Biaya susu, dan lainnya, gajinya habis sebulan. "Bukan cuma saya, semua guru honor merasakan ini, tapi anehnya kami tetap bertahan mengajar," kenang Fatma tertawa.
Pengeluaran semakin berat, manakala misalnya Fatma mendapat tugas ke kota. Naik kapal delapan jam lamanya. Di kota pun harus menginap di penginapan sampai urusan beres. Biaya lagi. Tentu saja saat tugas ada dana dari sekolah, namun sampai di kota pengeluaran katanya bisa lebih. Misalnya membeli mainan yang di desanya sangat minim.
Hingga kemudian pada tahun 2013 ada program sarjana pendidikan untuk guru PAUD di Unlam sekarang ULM. Namun gaji Fatma tidak cukup. Beruntung suaminya mendukung. "Biaya dia yang bantu katanya. Dia bilang, pekerjaannya penuh risiko, sehingga baik kalau saya bisa meningkatkan karier di bidang pendidikan".
"Perempuan, pribadi istimewa. Padanya dititipkan benih pembangun negeri, pengukir zaman. Olehnya itu harus membekali diri dengan ketaatan pada aturan Ilahi, kecerdasan dan kebijaksanaan," timpal Hikmah.
Meninggalkan gugusan pulau dan lautnya yang membingkai kesederhanaan dan kearifan lokal, di tengah perkebunan kelapa sawit, masih di Kabupaten Kotabaru, tepatnya di Desa Bakau Kecamatan Pamukan Barat, berbatasan dengan Kaltim, Fatmawati guru muda tiap pagi buta berangkat dari rumah ke sekolah TK Pembina. Nyanyian serangga biasa menjadi temannya di perjalanan.
Sudah sepuluh tahun dia menghonor, mulai tahun 2007 sampai sekarang. Awalnya hanya mendapat honor Rp250 ribu sebulan. Kecintaannya terhadap dunia pendidikan dimulai sejak lulus SMK tahun 2003. "Senang saja kalau sama anak-anak," kata Ibu muda kelahiran 1984 ini.
Gaji seperempat juta tentu saja tidak cukup, namun waktu itu dia masih sendiri. "Ya masih bujang kan. Kalau kurang ya minta sama orang tua," kenangnya tertawa. Beruntung pada 2010 dia bersuamikan Ahmad Rosyid. Gaji seperempat juta itu membantu gaji suaminya yang bekerja sebagai sopir di perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Waktu terus berlalu. Murid-murid silih berganti datang dan pergi. Mengajar anak TK poin pentingnya adalah mengajar sambil bermain untuk membentuk pola karakter yang baik anak. Banyak anggapan mengajar anak TK mudah, namun sebaliknya, TK adalah masa kritis pembentukan karakter anak saat remaja.
"Susah sebenarnya mendidik anak usia TK. Kita harus lebih hati-hati. Karena usia ini karakternya baru terbentuk," ujar Fatma.
Hingga kemudian Fatma dikarunia anak lelaki. Ibu keturunan suku Banjar ini mulai merasakan meningkatnya kebutuhan hidup. Saat itu gajihnya sudah naik di kisaran Rp700 ribu sebulan. Biaya susu, dan lainnya, gajinya habis sebulan. "Bukan cuma saya, semua guru honor merasakan ini, tapi anehnya kami tetap bertahan mengajar," kenang Fatma tertawa.
Pengeluaran semakin berat, manakala misalnya Fatma mendapat tugas ke kota. Naik kapal delapan jam lamanya. Di kota pun harus menginap di penginapan sampai urusan beres. Biaya lagi. Tentu saja saat tugas ada dana dari sekolah, namun sampai di kota pengeluaran katanya bisa lebih. Misalnya membeli mainan yang di desanya sangat minim.
Hingga kemudian pada tahun 2013 ada program sarjana pendidikan untuk guru PAUD di Unlam sekarang ULM. Namun gaji Fatma tidak cukup. Beruntung suaminya mendukung. "Biaya dia yang bantu katanya. Dia bilang, pekerjaannya penuh risiko, sehingga baik kalau saya bisa meningkatkan karier di bidang pendidikan".
Pada masa inilah keuangan keluarga
kecil ini benar-benar diuji. Harus benar-benar hemat. Gaji suaminya
hanya gaji buruh. Sementara Fatma selain bayar semester juga harus
keluarkan biaya kuliah seminggu sekali ke pusat kota kabupaten. Kalau
lewat laut biaya naik kapal Rp50 ribu, tambah menginap di penginapan
murah dua atau tiga hari.
Namun jika gelombang tinggi, Fatma harus keluarkan biaya hingga enam tujuh digit. Naik ojek dari desa ke jalan provinsi Rp100 ribu. Naik taksi ke Desa Tarjun, kemudian naik kapal penyeberangan feri ke Desa Stagen. Dari Stagen naik ojek lagi ke pusat kota. "Itu habis lima ratus ribuan. Belum nanti nginap di kota".
Balik ke rumah habis kuliah, Fatma kadang mengumpulkan karton. Dia membuatnya menjadi mainan, atau gambar buah dan bentuk huruf. "Daripada beli mainan. Mending bikin sendiri untuk anak-anak TK. Lebih hemat," akunya.
Waktu berjalan, tahun 2015 dia lulus, gelar SPd berhak dia sandang di ujung namanya. Dan rezeki datang lagi, gajinya kemudian naik jadi Rp800 ribu sebulan. Namun anaknya bertambah besar, sudah bisa jajan dan kebutuhan lainnya.
Kini Fatma menunggu ada tes PNS atau ada program pengangkatan. "Biar lebih enak mengajar. Tidak pusing lagi memikirkan dapur," ucapnya.
Ditanya harapannya di hari Kartini, polos Fatma menjawab agar pemerintah memperhatikan nasib guru-guru honor di pedalaman. Katanya guru-guru lokal itulah yang bisa bertahan lama mengajar di desa. Mereka besar tumbuh besar di sana dan kemudian mengajar anak-anak desa.
Tokoh masyarakat di sana, M Rabbiansyah akrab disapa Robi, menjelaskan Fatma adalah guru teladan di desa. Tetap bertahan meski dengan gaji yang sangat minim. "Pemerintah harus berani membayar gaji mereka sesuai UMK. Buruh sawit saja yang tidak sekolah wajib perusahaan membayar upah sesuai UMK yaitu dua koma tiga juta. Kenapa yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas dan tanggung jawabnya lebih besar dibayar jauh dari UMK," ujar Ketua Serikat Pekerja di tempatnya ini.
"Guru untuk mencerdaskan anak kita, bidan dan perawat jelas bahkan untuk menolong nyawa sanak saudara kita semuanya, tetapi semua seolah diabaikan. Semoga momen hari Kartini kita semua khususnya pemangku kebijakan bisa terbuka mata hatinya," ujar lelaki yang anaknya masih sekolah dididik Fatma di TK. (zal/yn/ran) / http://kalsel.prokal.co/read/news/8977-para-kartini-tangguh-dari-ujung-banua-mendidik-di-perbatasan/3
Re-Post by http://migoberita.blogspot.co.id/ Rabu/26042017/10.20Wita/Bjm
Namun jika gelombang tinggi, Fatma harus keluarkan biaya hingga enam tujuh digit. Naik ojek dari desa ke jalan provinsi Rp100 ribu. Naik taksi ke Desa Tarjun, kemudian naik kapal penyeberangan feri ke Desa Stagen. Dari Stagen naik ojek lagi ke pusat kota. "Itu habis lima ratus ribuan. Belum nanti nginap di kota".
Balik ke rumah habis kuliah, Fatma kadang mengumpulkan karton. Dia membuatnya menjadi mainan, atau gambar buah dan bentuk huruf. "Daripada beli mainan. Mending bikin sendiri untuk anak-anak TK. Lebih hemat," akunya.
Waktu berjalan, tahun 2015 dia lulus, gelar SPd berhak dia sandang di ujung namanya. Dan rezeki datang lagi, gajinya kemudian naik jadi Rp800 ribu sebulan. Namun anaknya bertambah besar, sudah bisa jajan dan kebutuhan lainnya.
Kini Fatma menunggu ada tes PNS atau ada program pengangkatan. "Biar lebih enak mengajar. Tidak pusing lagi memikirkan dapur," ucapnya.
Ditanya harapannya di hari Kartini, polos Fatma menjawab agar pemerintah memperhatikan nasib guru-guru honor di pedalaman. Katanya guru-guru lokal itulah yang bisa bertahan lama mengajar di desa. Mereka besar tumbuh besar di sana dan kemudian mengajar anak-anak desa.
Tokoh masyarakat di sana, M Rabbiansyah akrab disapa Robi, menjelaskan Fatma adalah guru teladan di desa. Tetap bertahan meski dengan gaji yang sangat minim. "Pemerintah harus berani membayar gaji mereka sesuai UMK. Buruh sawit saja yang tidak sekolah wajib perusahaan membayar upah sesuai UMK yaitu dua koma tiga juta. Kenapa yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas dan tanggung jawabnya lebih besar dibayar jauh dari UMK," ujar Ketua Serikat Pekerja di tempatnya ini.
"Guru untuk mencerdaskan anak kita, bidan dan perawat jelas bahkan untuk menolong nyawa sanak saudara kita semuanya, tetapi semua seolah diabaikan. Semoga momen hari Kartini kita semua khususnya pemangku kebijakan bisa terbuka mata hatinya," ujar lelaki yang anaknya masih sekolah dididik Fatma di TK. (zal/yn/ran) / http://kalsel.prokal.co/read/news/8977-para-kartini-tangguh-dari-ujung-banua-mendidik-di-perbatasan/3
Re-Post by http://migoberita.blogspot.co.id/ Rabu/26042017/10.20Wita/Bjm