”Jangan terlalu banyak diskusi, jangan cengeng, tetapi terjunkan diri ke
proses nilai tambah secara konsisten, pasti Indonesia akan terkemuka di
Asia Tenggara dan di dunia.” (BJ Habibie, Kompas, 9/3/1986) KOMPAS/
DUDI SUDIBYO Presiden Tanzania Alhaj Ali Hassan Mwunyi didampingi
Menristek B.J. Habibie sangat tertarik pada helikopter…
Oleh Ninok Leksono
·
”Jangan
terlalu banyak diskusi, jangan cengeng, tetapi terjunkan diri ke proses
nilai tambah secara konsisten, pasti Indonesia akan terkemuka di Asia
Tenggara dan di dunia.” (BJ Habibie, Kompas, 9/3/1986)
Naik ke jenjang presiden RI menggantikan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 tak dapat disangkal merupakan moment of triumph paripurna bagi Bacharuddin Jusuf Habibie. Namun, sebagai insinyur par excellence, moment of triumph baginya terjadi pada 10 Agustus 1995, sepekan sebelum Republik yang dicintainya merayakan Tahun Emas. Itu adalah saat pesawat N-250 Gatotkaca yang merupakan brain child-nya terbang perdana dari Pangkalan Udara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat.
Saat itu Habibie menyatakan, pesan terpenting dari penerbangan N-250 adalah sebagai inspirasi bagi generasi muda Indonesia, yang banyak di antaranya belum dapat mengenyam pendidikan yang memadai. Hal yang bertahun kemudian masih jadi soal tatkala Indonesia hidup di dunia baru—dunia digital—yang di era kejayaan Habibie belum tampak.
Habibie, atau BJH sebagai panggilan akrabnya, adalah insinyur dan teknolog tulen.
Kepada wartawan yang menunjukkan minat pada dunia kedirgantaraan, dengan bola matanya yang berbinar dan gerak tangan gesit menirukan pesawat yang sedang lepas landas, BJH tak segan berbagi kisah tentang teori aeronautika, seperti konsep dengan mesin unducted-fan yang semula direncanakan untuk membuat pesawat propfan kerja sama segitiga antara IPTN, Boeing Commercial Airplane Co, dan Messerschmitt Bolkow Blohm.
Pesawat dan mimpi BJH untuk membangun IPTN agar tumbuh berkembang sehingga menjadi semacam ”Everett dari Timur” kandas ketika Indonesia ikut dilanda krisis keuangan yang berbuntut pada krisis ekonomi dan juga krisis sosial-politik (Everett adalah salah satu pabrik Boeing di dekat Seattle, Amerika Serikat). N-250 Gatotkaca dan saudaranya, seperti Krincingwesi, lalu jadi onggokan besi tua di hanggarnya.
Namun, krisis itu pula yang lalu mengantarnya ke posisi orang nomor satu di negeri ini meski BJH hanya menjabat selama 17 bulan (21 Mei 1998-20 Oktober 1999). BJH yang demokratis legawa tak mencalonkan diri lagi ketika pidato pertanggungjawabannya ditolak MPR.
Di luar kontroversi tentang masa kepresidenannya, BJH banyak menorehkan tonggak bagi perjalanan Indonesia selanjutnya.
Dalam diskusi saat mengenang HUT ke-82 pada 24 Juni 2018 di Habibie Center muncul pendapat, karena dia ahli penerbangan, ia menganalogikan Indonesia sebagai pesawat yang tengah mengalami stall (kehilangan daya angkat) dan menukik tajam ke bawah.
Habibie saat itu berpikir lugas bahwa tidak ada alternatif lain bagi pesawat (Indonesia) kecuali menyelamatkannya dengan menghentikan stall dan mengangkatnya naik kembali.
Habibie setidaknya telah berhasil menghentikan krisis saat itu. Selain memberi kebebasan pers, ia juga memberi kebebasan kepada rakyat untuk menyalurkan aspirasi politik, hingga jumlah partai politik menjamur. Pemilu pun berlangsung jujur dan adil atas tuntutan rakyat.
Lebih dari itu, kondisi ekonomi pun dibenahi, yaitu dengan menurunkan inflasi yang 80 persen hingga jadi 2 persen, sementara kurs rupiah terhadap dollar AS yang pada masa krisis mencapai Rp 16.000 per dollar turun menjadi di bawah Rp 10.000, satu saat bahkan Rp 6.500, hal yang tak pernah dicapai lagi di masa sesudahnya hingga kini. Pertumbuhan yang minus 13 persen pun membaik menjadi 1 persen.
Satu hal yang banyak disorot pengkritiknya adalah lepasnya Provinsi Timor Timur melalui referendum sehingga provinsi tersebut lepas dari RI pada 30 Agustus 1999.
Dewan Riset Nasional, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan delapan wahana strategis adalah warisan BJH. Meski dalam banyak kesempatan lembaga-lembaga itu tak lagi berada di jalur arus utama (mainstream), sesungguhnya bangsa Indonesia harus kembali menengok peninggalan ide BJH.
Dengan rentang geografis setara kontinental AS, yakni 5.300 kilometer, atau sejauh Istanbul- London, atau New York-San Francisco, penerbangan adalah niscaya bagi Indonesia jika ingin maju.
Dengan delapan wahana transformasi industri, dengan mengusung konsep nilai tambah, berawal dari akhir dan berakhir di awal, BJH meletakkan doktrin strategis bagi pembangunan Indonesia, yaitu melalui, antara lain, penguasaan teknologi penerbangan, perkapalan/maritim, transportasi darat, pertahanan, mekanisasi pertanian, serta rancang bangun, dan itulah jalan bagi Indonesia untuk meraih kemajuan.
Sembari menggeser paradigma dari keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif, BJH juga meyakini bahwa Indonesia juga akan maju jika berhasil mengganti komoditas migas dan tradisional menjadi nonmigas nontradisional.
Habibie sebenarnya sangat menghayati wejangan mentornya, yakni Presiden Soeharto. Pidato Presiden ke-2 RI di Pasar Klewer, 3 Juli 1971, tentang tinggal landas sangat mengena di sanubarinya dan itu yang ingin ia wujudkan.
Pak Harto yang sudah mengenal keluarga BJH saat memimpin Brigade Mataram dari Divisi Diponegoro menumpas pemberontakan Andi Azis menaruh kepercayaan besar kepada insinyur genius yang menemukan Teori Propagasi Retakan (pada sayap pesawat terbang, yang lalu melahirkan julukan ”Mr Crack” pada BJH).
Itu sebabnya, Pak Harto memanggilnya pulang ke Tanah Air dan BJH diterima di Jalan Cendana, 28 Januari 1974. Lalu setelah itu kariernya melesat bak meteor, tak hanya di kancah teknologi industri, tetapi ujungnya juga sampai politik.
Sebagaimana juga banyak diakui oleh berbagai kalangan, Pak Habibie yang selama sekitar seperempat abad membawa bendera teknologi layak disebut sebagai ”Bapak Teknologi”, sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo saat melayat di RSPAD Gatot Soebroto, Rabu (11/9/2019) petang, begitu mendengar pendahulunya wafat.
Kini Indonesia telah kehilangan satu lagi putra terbaiknya. Habibie yang berasal dari bidang keinsinyuran meyakini bahwa ”demokrasi tak boleh berhenti” (lihat The True Life of Habibie-Cerita di Balik Kesuksesan (A Makmur Makka, 2008).
Pak Habibie melalui ajarannya tentang cinta ilmu pengetahuan dan teknologi, tentang pentingnya proses nilai tambah, tentang perlunya kebebasan pers dan iklim demokrasi, adalah salah satu guru bangsa, bahkan guru bangsa yang aktual dan relevan tatkala Indonesia masih harus mencari jalan untuk mencapai kejayaan.
Pak Habibie kini telah menyusul istri tercinta—Hasri Ainun Habibie—yang telah mendahuluinya 22 Mei 2010 dan mendampingi BJH selama 48 tahun 10 hari.
Lamat-lamat, terdengar lagu ”Sepasang Mata Bola” ciptaan Ismail Marzuki yang sering dinyanyikan Pak Habibie saat studi di Jerman dan bertahun kemudian ia tugaskan mendiang komposer Yazeed Djamin untuk menggubahnya menjadi satu konserto piano yang indah bergaya virtuoistik. Selamat jalan, Pak Habibie, semoga beristirahat di surga abadi.
Sumber Berita : https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/09/12/mr-crack-dan-pesan-untuk-bangsanya/
Kisah Lelaki yang Terbunuh Tragis Pada 10 Muharram
Lelaki itu berusia sekitar 58 tahun. Pada hari kesepuluh bulan Muharram, di tahun 61 H, selepas menunaikan shalat subuh, dia bergegas keluar tenda dan menaiki kuda kesayangannya. Pria itu menatap pasukan yang tengah mengepungnya. Mulailah dia berpidato yang begitu indah dan menyentuh hati:“Lihat nasabku. Pandangilah siapa aku ini. Lantas lihatlah siapa diri kalian. Perhatikan apakah halal bagi kalian untuk membunuhku dan menciderai kehormatanku.
“Bukankah aku ini putra dari anak perempuan Nabimu? Bukankah aku ini anak dari washi dan keponakan Nabimu, yang pertama kali beriman kepada ajaran Nabimu?
“Bukankah Hamzah, pemuka para syuhada, adalah Pamanku? Bukankah
Ja’far, yang akan terbang dengan dua sayap di surga, itu Pamanku?
“Tidakkah kalian mendengar kalimat yang viral di antara kalian bahwa Rasulullah berkata tentang saudaraku dan aku: “keduanya adalah pemuka dari pemuda ahli surga”?
“Jika kalian percaya dengan apa yang aku sampaikan, dan sungguh itu benar karena aku tak pernah berdusta. Tapi jika kalian tidak mempercayaiku, maka tanyalah Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Sa’id al-Khudri, Sahl bin Sa’d, Zaid bin Arqam dan Anas bin Malik, yang akan memberitahu kalian bahwa mereka pun mendengar apa yang Nabi sampaikan mengenai kedudukan saudaraku dan aku.
“Tidakkah ini cukup menghalangi kalian untuk menumpahkan darahku?”
Kata-kata yang begitu eloknya itu direkam oleh Tarikh at-Thabari (5/425) dan Al-Bidayah wan Nihayah (8/193).
Namun mereka yang telah terkunci hatinya tidak akan tersadar. Pasukan yang mengepung atas perintah Ubaidullah bin Ziyad itu memaksa pria yang bernama Husein bin Ali itu untuk mengakui kekuasaan Khalifah Yazid bin Mu’awiyah.
Tidakkah ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa pertarungan di masa Khilafah dulu itu sampai mengorbankan nyawa seorang Cucu Nabi Saw. Apa masih mau bilang khilafah itu satu-satunya solusi umat?
Simak pula bagaimana Ibn Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah bercerita bagaimana Sayidina Husein terbunuh di Karbala pada 10 Muharram (asyura).
Pasukan memukul kepala Husein dengan pedang hingga berdarah. Husein membalut luka di kepalanya dengan merobek kain jubahnya. Dan dengan cepat balutan kain terlihat penuh dengan darah Husein. Ada yang kemudian melepaskan panah dan mengenai leher Husein. Namun beliau masih hidup sambil memegangi lehernya menuju ke arah sungai karena kehausan. Shamir bin Dzil Jawsan memerintahkan pasukannya menyerbu Husein. Mereka menyerang dari segala penjuru. Mereka tak memberinya kesempatan untuk minum.
Ibn Katsir menulis: “Yang membunuh Husein dengan tombak adalah Sinan bin Anas bin Amr Nakhai, dan kemudian dia menggorok leher Husein dan menyerahkan kepala Husein kepada Khawali bin Yazid.” (Al-Bidayah, 8/204).
Anas melaporkan bahwa ketika kepala Husein yang dipenggal itu dibawa ke Ubaidullah bin Ziyad, yang kemudian memainkan ujung tongkatnya menyentuh mulut dan hidung Husein, Anas berkata: “Demi Allah! sungguh aku pernah melihat Rasulullah mencium tempat engkau memainkan tongkatmu ke wajah Husein ini.”
Ibn Katsir mencatat 72 orang pengikut Husein yang terbunuh hari itu. Imam Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa mencata 4 ribu pasukan yang mengepung Husein, dibawah kendali Umar bin Sa’d bin Abi Waqash.
Pada hari terbunuhnya Husein, Imam Suyuthi mengatakan dunia seakan berhenti selama tujuh hari. Mentari merapat laksana kain yang menguning. Terjadi gerhana matahari di hari itu. Langit terlihat memerah selama 6 bulan.
Imam Suyuthi juga mengutip dari Imam Tirmidzi yang meriwayatkan kisah dari Salma yang menemui Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad, yang saat itu masih hidup (Ummu Salamah wafat pada tahun 64 H, sementara Husein terbunuh tahun 61 H).
Salma bertanya: “Mengapa engkau menangis?”
Ummu Salamah menjawab: “Semalam saya bermimpi melihat Rasulullah yang kepala dan jenggot beliau terlihat berdebu. Saya tanya ‘mengapa engkau wahai Rasul?’
Rasulullah menjawab: “saya baru saja menyaksikan pembunuhan Husein.’”
Begitulah dahsyatnya pertarungan kekuasaan di masa khilafah dulu. Mereka tidak segan membunuh cucu Nabi demi kursi khalifah. Apa mereka sangka Rasulullah tidak akan tahu peristiwa ini? Lantas apakah mereka yang telah membunuh Sayidina Husein kelak masih berharap mendapat syafaat datuknya Rasulullah di padang mahsyar?
Dalam kisah yang memilukan ini sungguh ada pelajaran untuk kita semua.
Al-Fatihah….
Sumber Berita : https://islami.co/kisah-lelaki-yang-terbunuh-tragis-pada-10-muharram/
“Tidakkah kalian mendengar kalimat yang viral di antara kalian bahwa Rasulullah berkata tentang saudaraku dan aku: “keduanya adalah pemuka dari pemuda ahli surga”?
“Jika kalian percaya dengan apa yang aku sampaikan, dan sungguh itu benar karena aku tak pernah berdusta. Tapi jika kalian tidak mempercayaiku, maka tanyalah Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Sa’id al-Khudri, Sahl bin Sa’d, Zaid bin Arqam dan Anas bin Malik, yang akan memberitahu kalian bahwa mereka pun mendengar apa yang Nabi sampaikan mengenai kedudukan saudaraku dan aku.
“Tidakkah ini cukup menghalangi kalian untuk menumpahkan darahku?”
Kata-kata yang begitu eloknya itu direkam oleh Tarikh at-Thabari (5/425) dan Al-Bidayah wan Nihayah (8/193).
Namun mereka yang telah terkunci hatinya tidak akan tersadar. Pasukan yang mengepung atas perintah Ubaidullah bin Ziyad itu memaksa pria yang bernama Husein bin Ali itu untuk mengakui kekuasaan Khalifah Yazid bin Mu’awiyah.
Tidakkah ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa pertarungan di masa Khilafah dulu itu sampai mengorbankan nyawa seorang Cucu Nabi Saw. Apa masih mau bilang khilafah itu satu-satunya solusi umat?
Simak pula bagaimana Ibn Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah bercerita bagaimana Sayidina Husein terbunuh di Karbala pada 10 Muharram (asyura).
Pasukan memukul kepala Husein dengan pedang hingga berdarah. Husein membalut luka di kepalanya dengan merobek kain jubahnya. Dan dengan cepat balutan kain terlihat penuh dengan darah Husein. Ada yang kemudian melepaskan panah dan mengenai leher Husein. Namun beliau masih hidup sambil memegangi lehernya menuju ke arah sungai karena kehausan. Shamir bin Dzil Jawsan memerintahkan pasukannya menyerbu Husein. Mereka menyerang dari segala penjuru. Mereka tak memberinya kesempatan untuk minum.
Ibn Katsir menulis: “Yang membunuh Husein dengan tombak adalah Sinan bin Anas bin Amr Nakhai, dan kemudian dia menggorok leher Husein dan menyerahkan kepala Husein kepada Khawali bin Yazid.” (Al-Bidayah, 8/204).
Anas melaporkan bahwa ketika kepala Husein yang dipenggal itu dibawa ke Ubaidullah bin Ziyad, yang kemudian memainkan ujung tongkatnya menyentuh mulut dan hidung Husein, Anas berkata: “Demi Allah! sungguh aku pernah melihat Rasulullah mencium tempat engkau memainkan tongkatmu ke wajah Husein ini.”
Ibn Katsir mencatat 72 orang pengikut Husein yang terbunuh hari itu. Imam Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa mencata 4 ribu pasukan yang mengepung Husein, dibawah kendali Umar bin Sa’d bin Abi Waqash.
Pada hari terbunuhnya Husein, Imam Suyuthi mengatakan dunia seakan berhenti selama tujuh hari. Mentari merapat laksana kain yang menguning. Terjadi gerhana matahari di hari itu. Langit terlihat memerah selama 6 bulan.
Imam Suyuthi juga mengutip dari Imam Tirmidzi yang meriwayatkan kisah dari Salma yang menemui Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad, yang saat itu masih hidup (Ummu Salamah wafat pada tahun 64 H, sementara Husein terbunuh tahun 61 H).
Salma bertanya: “Mengapa engkau menangis?”
Ummu Salamah menjawab: “Semalam saya bermimpi melihat Rasulullah yang kepala dan jenggot beliau terlihat berdebu. Saya tanya ‘mengapa engkau wahai Rasul?’
Rasulullah menjawab: “saya baru saja menyaksikan pembunuhan Husein.’”
Begitulah dahsyatnya pertarungan kekuasaan di masa khilafah dulu. Mereka tidak segan membunuh cucu Nabi demi kursi khalifah. Apa mereka sangka Rasulullah tidak akan tahu peristiwa ini? Lantas apakah mereka yang telah membunuh Sayidina Husein kelak masih berharap mendapat syafaat datuknya Rasulullah di padang mahsyar?
Dalam kisah yang memilukan ini sungguh ada pelajaran untuk kita semua.
Al-Fatihah….
Sumber Berita : https://islami.co/kisah-lelaki-yang-terbunuh-tragis-pada-10-muharram/
Tragedi Karbala
Peristiwa Karbala dikenang sepanjang masa oleh muslim Syi’ah sebagai sebuah tragedi kemanusiaan terbesar. Sampai hari ini kaum Syi’ah di seluruh dunia, memperingatinya sebagai hari duka nestapa. Hari besar 10 Muharram ini merupakan ritus keagamaan terpopuler dan paling besar dalam tradisi kaum Syiah. Jutaan manusia berkumpul di pusat terbunuhnya Imam al-Husein, Karbala, Irak.Berbagai acara ritual mengenang kematian al-Husain bin Ali bin Abi Thalib digelar di seluruh penjuru Irak dan Iran, dengan beragam cara. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang sengaja memukul-mukul dada dan melukai tubuh mereka sendiri sampai berdarah-darah, sambil meraung-raung, berteriak-teriak menyebut nama cucu Nabi itu. Cara ini dilakukan guna ikut mengalami penderitaan al-Husein itu yang tak terkirakan.
Para pengikut Ali (Syi’ah Ali) di berbagai negara, memperingati hari Asyura selama 10 hari, sejak tanggal 1 hingga tanggal 10 Muharram. Selama itu, bendera hitam setengah tiang dikibarkan. Selain peringatan tanggal 10 muharram itu, mereka juga menyelenggarakan upacara perkabungan selama 40 hari.
Di Kairo, Mesir terdapat masjid yang disebut dengan namanya : Husein.
Terletak di kompleks pasar kuno Khan Khalili. Masjid ini tidak jauh
dari Universitas Islam tertua dan masjid (Jami’) Al Azhar yang dibangun
oleh gubernur Jauhar al-Siqly, tahun 970 M pada mada pemerintahan Mu’iz
li Dinillah dari dinasti Fatimiyah.
Sebagian kaum Syi’ah meyakini bahwa sebagian tubuh Husein dikubur di tempat itu. Sampai hari ini kuburan yang berada di dalam masjid itu diziarahi banyak orang laki-laki dan perempuan. Tak ada hari tanpa para peziarah. Di tempat itu mereka berdoa dan menangisi Sayyid Husein. “Waa Husaynaaah….. Waa Husaynaaah” (Duhai Husein…. Duhai Husein….Oh Husein). Suara-suara duka itu memang memilukan dan menyayat-nyayat hati. Mereka mencintai cucu Rasulullah saw, dan menyesali kematiannya yang tragis itu.
Kaum Sunni juga mencintai cucu Rasulullah ini, demikian pula mencintai anak-anak, menantu beliau, Ali bin Abi Thalib dan keluarganya yang lain. Mereka selalu menyanyikan bait-bait yang berisi puji-pujian bagi mereka dalam banyak keadaan dan situasi. Sebagian orang mengatakan bahwa membaca syair ini pada orang yang sakit demam diyakini bisa menyembuhkannya. Pada waktu aku masih kecil, aku diajari ayah dan kakekku syair itu :
Berkat mereka sakit panasku sembuh
Al Musthafa (Muhammad Saw)
Al Murtadha (Ali bin Abi Thalib)
Dua orang puteranya :
Hasan dan Husein
Dan Fatimah.
Sumber Berita : https://islami.co/tragedi-karbala-2/
Sebagian kaum Syi’ah meyakini bahwa sebagian tubuh Husein dikubur di tempat itu. Sampai hari ini kuburan yang berada di dalam masjid itu diziarahi banyak orang laki-laki dan perempuan. Tak ada hari tanpa para peziarah. Di tempat itu mereka berdoa dan menangisi Sayyid Husein. “Waa Husaynaaah….. Waa Husaynaaah” (Duhai Husein…. Duhai Husein….Oh Husein). Suara-suara duka itu memang memilukan dan menyayat-nyayat hati. Mereka mencintai cucu Rasulullah saw, dan menyesali kematiannya yang tragis itu.
Kaum Sunni juga mencintai cucu Rasulullah ini, demikian pula mencintai anak-anak, menantu beliau, Ali bin Abi Thalib dan keluarganya yang lain. Mereka selalu menyanyikan bait-bait yang berisi puji-pujian bagi mereka dalam banyak keadaan dan situasi. Sebagian orang mengatakan bahwa membaca syair ini pada orang yang sakit demam diyakini bisa menyembuhkannya. Pada waktu aku masih kecil, aku diajari ayah dan kakekku syair itu :
لِى خَمْسَةٌ أُطْفِى بِهَا حَرَّ اْلوَبَآءِ الْحَاطِمَة
الْمُصْطَفَى وَالْمُرْتَضَى وَابْنَاهُمَا وَفَاطِمَة
Aku punya Lima orang kekasihالْمُصْطَفَى وَالْمُرْتَضَى وَابْنَاهُمَا وَفَاطِمَة
Berkat mereka sakit panasku sembuh
Al Musthafa (Muhammad Saw)
Al Murtadha (Ali bin Abi Thalib)
Dua orang puteranya :
Hasan dan Husein
Dan Fatimah.
Sumber Berita : https://islami.co/tragedi-karbala-2/
IJABI Gelar Haul Imam Husain as di Bandung Tanpa Adanya Gangguan Intoleran
TRIBUNCIREBON.COM - 10
Muharram dalam tarikh umat Islam merupakan hari duka cita bagi kaum
Muslimin yang bermazhab Syiah dan para pecinta Ahlulbait Rasulullah Saw
di seluruh dunia.
Di Indonesia, di beberapa daerah menjelang 10 Muharram diadakan agenda keagamaan berupa Haul Imam Husain as, cucu Nabi Muhammad Saw, yang wafat di Karbala, Irak.
Peristiwa tragis ini terjadi pada 10 Muharram 61 Hijriah, Imam Husain as bersama sekira 70 pengikutnya dibantai oleh sekira 70.000 pasukan yang dikirim oleh Khalifah Yazid bin Muawiyyah yang menjadi penguasa Dinasti Umayyah di Damaskus, Syam (Suriah).
Imam Husain dibunuh karena tidak memberikan baiat pengesahan kekuasaan atas diri Yazid yang secara perilaku tidak sesuai ajaran Islam. Daripada melegitimasi kekuasaan yang zalim dan melanggar nilai-nilai Islam, Imam Husain as menentangnya sampai titik darah penghabisan.
Pascawafat Imam Husain, Ali Zainal Abidin yang merupakan putranya dan kaum Muslimah dari keluarga Rasulullah saw dirantai dan dibawa ke Damaskus untuk diserahkan kepada Yazid bersama kepala Imam Husain as. Dari peristiwa pembantaian sampai penguburan jenazah Imam Husain as terekam dalam memori keluarga Rasulullah saw.
Peristiwa tragis itu dicatat dalam kitab tarikh yang kemudian dibaca secara turun temurun. Sampai para ulama dan ahli sejarah pun menulis ulang tentang peristiwa Asyura yang memilukan dalam sejarah. Setiap 10 Muharram, narasi sejarah tragedi Imam Husain as ini dibaca kembali dan diambil sebagai ibrah untuk kehidupan kaum Muslimin.
Asyura IJABI
Sebagai upaya mengenang kepahlawanan Imam Husain as di Karbala dan mengambil teladan dari peristiwa Asyura ini, yang dilakukan komunitas IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) pada bulan Muharram 1441 Hijriah. Kegiatan Asyura yang diselenggarakan di Bandung ini berjalan dengan lancar tanpa gangguan dari massa intoleran, yang sebelumnya beredar informasi akan menggagalkan peringatan Asyura.
“Alhamdulillah, dengan izin Allah Swt. Peringatan Haul Cucu Rasulullah saw, Asyura Syahadah Imam Husain as bisa terlaksana dengan baik, lancar, dan penuh berkah,” kata Ketua Umum IJABI Syamsuddin dalam rilis yang diterima.
Menurut Syamsuddin, majelis asyura ini dihadiri oleh umat Islam pecinta Ahlulbait Nabi yang memadati tempat acara sejak pagi hingga siang hari. Jamaah pecinta Ahlulbait disambut dengan shalawatan oleh santri Madrasah Sajjadiyyah yang dipimpin Habib Hamid Abu Ali Alaydrus. Dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Quran mengawali majelis, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, serta hymne dan mars IJABI.
Dalam acara Asyura ini, Ketua Umum PP IJABI, Syamsuddin Baharuddin menyampaikan sambutan dan Sekretaris Dewan Syura IJABI Ustadz Miftah Rakhmat menyampaikan ceramah berupa hikmah dan keteladanan Imam Husain as. Di antaranya menyatakan agar jamaah IJABI senantiasa bersabar atas berbagai musibah dan senantiasa menjaga cintanya kepada Ahlulbait Rasulullah saw.
“Acara yang berlangsung selama 3,5 jam berjalan lancar tanpa gangguan, meski sebelumnya beredar kabar adanya penolakan pelaksanaan Asyura dan ancaman pembubaran oleh kelompok intoleran. Hingga acara berakhir dan jamaah meninggalkan tempat acara, tidak terlihat seorangpun dari gerombolan massa intoleran,” tulis Syamsuddin.
Peringatan Asyura di Bandung ini tidak hanya digelar oleh komunitas IJABI, tetapi juga jamaah majelis shalawat di Ciwastra dan warga Kabuyutan Gegerkalong pada Senin malam (9/9/2019) berjalan lancar dari awal sampai doa penutup.
Tidak hanya di Bandung, beberapa komunitas Muslim Syiah yang tersebar di Jawa Barat pun menyelenggarakan Asyura dari rumah ke rumah dan puncaknya diadakan di Bandung dan Jakarta. (*)
Sumber Berita : https://cirebon.tribunnews.com/2019/09/11/ijabi-gelar-haul-imam-husain-as-di-bandung-tanpa-adanya-gangguan-intoleran
Di Indonesia, di beberapa daerah menjelang 10 Muharram diadakan agenda keagamaan berupa Haul Imam Husain as, cucu Nabi Muhammad Saw, yang wafat di Karbala, Irak.
Peristiwa tragis ini terjadi pada 10 Muharram 61 Hijriah, Imam Husain as bersama sekira 70 pengikutnya dibantai oleh sekira 70.000 pasukan yang dikirim oleh Khalifah Yazid bin Muawiyyah yang menjadi penguasa Dinasti Umayyah di Damaskus, Syam (Suriah).
Imam Husain dibunuh karena tidak memberikan baiat pengesahan kekuasaan atas diri Yazid yang secara perilaku tidak sesuai ajaran Islam. Daripada melegitimasi kekuasaan yang zalim dan melanggar nilai-nilai Islam, Imam Husain as menentangnya sampai titik darah penghabisan.
Pascawafat Imam Husain, Ali Zainal Abidin yang merupakan putranya dan kaum Muslimah dari keluarga Rasulullah saw dirantai dan dibawa ke Damaskus untuk diserahkan kepada Yazid bersama kepala Imam Husain as. Dari peristiwa pembantaian sampai penguburan jenazah Imam Husain as terekam dalam memori keluarga Rasulullah saw.
Peristiwa tragis itu dicatat dalam kitab tarikh yang kemudian dibaca secara turun temurun. Sampai para ulama dan ahli sejarah pun menulis ulang tentang peristiwa Asyura yang memilukan dalam sejarah. Setiap 10 Muharram, narasi sejarah tragedi Imam Husain as ini dibaca kembali dan diambil sebagai ibrah untuk kehidupan kaum Muslimin.
Asyura IJABI
Sebagai upaya mengenang kepahlawanan Imam Husain as di Karbala dan mengambil teladan dari peristiwa Asyura ini, yang dilakukan komunitas IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) pada bulan Muharram 1441 Hijriah. Kegiatan Asyura yang diselenggarakan di Bandung ini berjalan dengan lancar tanpa gangguan dari massa intoleran, yang sebelumnya beredar informasi akan menggagalkan peringatan Asyura.
“Alhamdulillah, dengan izin Allah Swt. Peringatan Haul Cucu Rasulullah saw, Asyura Syahadah Imam Husain as bisa terlaksana dengan baik, lancar, dan penuh berkah,” kata Ketua Umum IJABI Syamsuddin dalam rilis yang diterima.
Menurut Syamsuddin, majelis asyura ini dihadiri oleh umat Islam pecinta Ahlulbait Nabi yang memadati tempat acara sejak pagi hingga siang hari. Jamaah pecinta Ahlulbait disambut dengan shalawatan oleh santri Madrasah Sajjadiyyah yang dipimpin Habib Hamid Abu Ali Alaydrus. Dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Quran mengawali majelis, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, serta hymne dan mars IJABI.
Dalam acara Asyura ini, Ketua Umum PP IJABI, Syamsuddin Baharuddin menyampaikan sambutan dan Sekretaris Dewan Syura IJABI Ustadz Miftah Rakhmat menyampaikan ceramah berupa hikmah dan keteladanan Imam Husain as. Di antaranya menyatakan agar jamaah IJABI senantiasa bersabar atas berbagai musibah dan senantiasa menjaga cintanya kepada Ahlulbait Rasulullah saw.
“Acara yang berlangsung selama 3,5 jam berjalan lancar tanpa gangguan, meski sebelumnya beredar kabar adanya penolakan pelaksanaan Asyura dan ancaman pembubaran oleh kelompok intoleran. Hingga acara berakhir dan jamaah meninggalkan tempat acara, tidak terlihat seorangpun dari gerombolan massa intoleran,” tulis Syamsuddin.
Peringatan Asyura di Bandung ini tidak hanya digelar oleh komunitas IJABI, tetapi juga jamaah majelis shalawat di Ciwastra dan warga Kabuyutan Gegerkalong pada Senin malam (9/9/2019) berjalan lancar dari awal sampai doa penutup.
Tidak hanya di Bandung, beberapa komunitas Muslim Syiah yang tersebar di Jawa Barat pun menyelenggarakan Asyura dari rumah ke rumah dan puncaknya diadakan di Bandung dan Jakarta. (*)
facebook majulah ijabi
Haul Imam Husain
Tragedi Asap dan Dakwah Peduli Lingkungan yang Jarang Dilakukan
Para dai lebih sibuk dakwah politik dengan marah-marah dari pada mengajak untuk menjaga lingkunganTragedi Kabut Asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di beberapa titik di Indonesia, seperti di Sumatera dan Kalimantan kembali terjadi. Seperti yang sudah-sudah, bencana ini kemudian hanya mendapatkan solusi sementara dari pemerintah dan instansi terkait, seperti pembagian masker dan pemadaman titik api yang seringkali memakan waktu lama. Meski strategi pengendalian karhutla dan kabut asap sudah diupayakan, sayangnya, kejadian semacam ini terus berlangsung tiap tahun, dan bahkan telah mengakibatkan 40% wilayah hutan Indonesia hilang. Padahal dampak negatif kabut asap sangatlah luas, bukan hanya dari kesehatan saja tapi juga ekonomi, pendidikan, hingga transportasi.Dari segi ekonomi, meluasnya tragedi kabut asap di beberapa titik Indonesia menyebabkan banyak wisatawan dan aktivitis bisnis terganggu, yang kemudian diperkirakan membuat negara rugi lebih dari Rp 7,3 triliun. Pekatnya asap yang menyelimuti wilayah Sumatera dan Kalimantan juga menaikkan angka penderita infeksi saluran pernapasan akut, pneumonia, asma, serta iritasi mata dan kulit. Tentu efek negatif kesehatan tersebut merambah pula pada kerugian akademik dan transportasi karena seluruh kegiatan belajar diliburkan dan banyak warga yang tidak dapat keluar rumah untuk bekerja secara optimal karena gangguan jarang pandang. Tak pelak, bencana asap tahunan yang terjadi, telah mengakibatkan mudarat berkepanjangan.
Anehnya, berbeda dengan gempa bumi atau tsunami yang kerap dikaitkan dengan azab/hukuman Allah karena maksiat dan dosa-dosa umat seperti zina dan khamr oleh para da’i populer, tragedi asap karena tindak tanduk manusia yang serakah dan seenaknya membabat hutan demi kepentingan pribadi justru jauh dari sorotan.
Padahal Al-Quran sendiri sudah sangat jelas menyebutkan bahwa manusia
sebagai khalifah harus memakmurkan bumi. Memakmurkan bumi disini bukan
hanya memanfaatkan hasil alam dan mendayagunakannya, tapi juga
melestarikannya untuk menjaga keseimbangan alam.
Merujuk amanat tersebut, tentunya bisa disimpulkan bahwa tindakan membakar hutan dan lahan juga termasuk bagian dari perbuatan dosa dan maksiat. Nah, salah kaprahnya makna maksiat di kalangan umat menjadi sempit dan hanya diidentikkan dengan pelanggaran asusila.
Padahal arti kata maksiat itu luas, yakni jika kita durhaka pada Allah dengan melanggar larangan-larangan yang ditetapkan-Nya. Sehingga, sangatlah jelas bila pembalakan liar dan perusakan ekosistem pun tergolong maksiat karena menyalahi aturan Allah untuk menjaga keseimbangan alam.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, efek domino kemaksiatan pembakaran hutan secara membabi buta bisa berlanjut kepada bencana tambahan lainnya seperti pemanasan global, tanah longsor, dan banjir, karena hutan yang kita miliki nantinya tidak dapat memaksimalkan fungsi alaminya dengan baik.
Rentetan bencana yang bertubi-tubi melanda Indonesia tersebut diperparah dengan pemberian solusi yang tidak menyentuh akar masalah. Tiap kali tragedi seperti ini terjadi, umat hanya sibuk mengumpulkan donasi bantuan dan membagikannya bagi para korban.
Mengutuk pembakaran hutan dengan semena-mena dan melabelinya sebagai perbuatan haram dan melakukan tindakan preventif yang lebih komprehensif seperti melakukan reboisasi skala masal dan penegakan hukum terhadap pelaku individu dan oknum korporasi secara tegas, justru terlihat nihil di lapangan.
Bahkan karena sedikitnya umat Islam yang berkecimpung di bidang inovasi teknologi lingkungan, hingga saat ini kita hanya mampu bermimpi bahwa suatu saat nanti akan ada muslim di negeri ini yang mampu menemukan alat atau zat bubuk yang berfungsi untuk meredam kabut asap secara efektif dalam waktu singkat.
Kira-kira kapan itu akan terjadi? Entahlah, karena saat ini dakwah di mimbar-mimbar kita masih terlalu sibuk menebar ketakutan dan sedikit-sedikit menuding bid’ah. Sedangkan dakwah dan gerakan peduli lingkungan makin terkucilkan dan kemungkinan besar memang tertutup kabut asap.
Wallahu a’lam.
Sumber Berita : https://islami.co/tragedi-asap-dan-dakwah-peduli-lingkungan-yang-jarang-dilakukan/
Re-Post by MigoBerita / Senin/16092019/10.53Wita/Bjm
Merujuk amanat tersebut, tentunya bisa disimpulkan bahwa tindakan membakar hutan dan lahan juga termasuk bagian dari perbuatan dosa dan maksiat. Nah, salah kaprahnya makna maksiat di kalangan umat menjadi sempit dan hanya diidentikkan dengan pelanggaran asusila.
Padahal arti kata maksiat itu luas, yakni jika kita durhaka pada Allah dengan melanggar larangan-larangan yang ditetapkan-Nya. Sehingga, sangatlah jelas bila pembalakan liar dan perusakan ekosistem pun tergolong maksiat karena menyalahi aturan Allah untuk menjaga keseimbangan alam.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, efek domino kemaksiatan pembakaran hutan secara membabi buta bisa berlanjut kepada bencana tambahan lainnya seperti pemanasan global, tanah longsor, dan banjir, karena hutan yang kita miliki nantinya tidak dapat memaksimalkan fungsi alaminya dengan baik.
Rentetan bencana yang bertubi-tubi melanda Indonesia tersebut diperparah dengan pemberian solusi yang tidak menyentuh akar masalah. Tiap kali tragedi seperti ini terjadi, umat hanya sibuk mengumpulkan donasi bantuan dan membagikannya bagi para korban.
Mengutuk pembakaran hutan dengan semena-mena dan melabelinya sebagai perbuatan haram dan melakukan tindakan preventif yang lebih komprehensif seperti melakukan reboisasi skala masal dan penegakan hukum terhadap pelaku individu dan oknum korporasi secara tegas, justru terlihat nihil di lapangan.
Bahkan karena sedikitnya umat Islam yang berkecimpung di bidang inovasi teknologi lingkungan, hingga saat ini kita hanya mampu bermimpi bahwa suatu saat nanti akan ada muslim di negeri ini yang mampu menemukan alat atau zat bubuk yang berfungsi untuk meredam kabut asap secara efektif dalam waktu singkat.
Kira-kira kapan itu akan terjadi? Entahlah, karena saat ini dakwah di mimbar-mimbar kita masih terlalu sibuk menebar ketakutan dan sedikit-sedikit menuding bid’ah. Sedangkan dakwah dan gerakan peduli lingkungan makin terkucilkan dan kemungkinan besar memang tertutup kabut asap.
Wallahu a’lam.
Sumber Berita : https://islami.co/tragedi-asap-dan-dakwah-peduli-lingkungan-yang-jarang-dilakukan/
Re-Post by MigoBerita / Senin/16092019/10.53Wita/Bjm