MigoBerita - Banjarmasin - Jujur semakin hari berita HOAX (Setengah Hoax hingga Hoax) benar-benar menyelimuti seluruh dunia, sehingga perlu adanya penyatuan berita dengan rujukan yang disesuaikan dengan Kondisi dan Situasi yang memang benar-benar sesuai Fakta dan bukan berdasarkan HOAX apalagi sebagai pesanan pribadi / golongan tertentu untuk "Menguasai Dunia" ini pada umumnya atau dalam lingkup yang kecil adalah INDONESIA.
KALIMAT ini : ADA dua orang sinting di dunia. Pertama Ahmadienejad. Kedua Siti Fadilah Supardi !!! ,yang menjadi Judul berita kami kutip dari pernyataan Menteri Kesehatan kita Siti Fadillah yang sedang di "Bully" (Info Lengkap baca tulisan Migo Berita hingga selesai ya ^_^ biar tidak gagal paham dan termakan HOAX)
Contoh kasus : yang di "Serang" Virus Corona (COVID19) adalah CHINA dan Republik Islam Iran karena dua negara ini yang mempunyai dampak kasus dan korban yang paling banyak didunia ini.
Namun ketika IRAN dan CHINA sudah hampir selesai menangani Virus ini, dimasyarakat berkembang isu "Sedikit Rasis" hingga Rasis bahwa sebenarnya CHINA yang merupakan negara KOMUNIS sebenarnya adalah Pembuat Virus ini dan BERDAGANG dengan Vaksinnya...wowww, kemudian AMERIKA yang sekarang hingga ujung Maret 2020 ini malah mempunyai KASUS dan KORBAN terbanyak didunia terkait virus Corona ini kembali menuduh Iran sebenarnya pembuat Kontroversi tentang wabah ini.??? Wow... tambah kontroversi lagi..
Mari kita liat satu-persatu kasusnya :
Awal Januari 2020 Jendral Iran paling berpengaruh di Timur Tengah hingga didunia "dibunuh" oleh Drone Amerika secara pengecut di bandara Negara Irak yang secara resmi mengundang Jendral Iran ini (Jendral Solaemani), setelah pemakaman yang dihadiri seluruh bangsa Iran ini, Iran "MEMBUNGKAM" Amerika karena diwaktu yang sama telah "Menyerang balik" pangkalan TERBESAR Amerika di Irak hingga luluh lantak dan dikabarkan pasukan Amerika banyak yang masih berobat hingga hari ini dan Iran masih sesumbar bahwa pembalasan ini masih belum selesai.
Seakan terperangah 'DUNIA" pun menyangsikan peran Amerika cs sebagai "Polisi Dunia" yang tak terkalahkan. Amerika terguncang...!!!!
Kemudian Amerika "Mengusik" CHINA dengan menaikkan pajak Impor bagi barang-barang yang berasal dari China, China pun bereaksi dengan hal yang sama, tapi tentu yang paling Murah dan berkualitaslah yang akan menjadi Pilihan Pembeli.
Rakyat China tidak memakai GOOGLE tetapi BAIDU, mereka tidak memakai Whatsapp tapi Wechat, mereka tidak memakai Facebook tetapi Sina Weibo, mereka tidak memakai Youtube tetapi Youku Toudu (Sumber bisa cek di https://today.line.me/id/pc/article/Ga+Ada+Facebook+Ini+5+Sosial+Media+Paling+Terkenal+Buatan+Cina-gJZ65Z).
Amerika "KALAH" Perang Dagang semacam ini.
pada 12 Maret 2020, Direktur CDC (Pusat Pengontrolan dan Pencegahan Penyakit) AS, Robert Redfield (saat dicecar anggota parlemen) mengakui bahwa beberapa orang AS yang kelihatannya meninggal akibat influenza ternyata pernah dites positif Covid-19.
Seperti banyak diungkap media AS sendiri, sebelum kasus Wuhan merebak, di AS juga sudah ada ribuan orang yang tewas, disebut sebagai akibat ‘influenza’ dan ‘penyakit vaping’ (sakit akibat rokok elektronik). Ada video menarik yang merangkum timeline merebaknya influenza di AS dikaitkan dengan penutupan lab senjata kimia AS, Fort Detrick [3]
Nah pernyataan Direktur CDC itu membuat Jubir Kemlu China mempertanyakan, “Kapan terjadinya pasien pertama di AS?” Pengungkapan pasien pertama ini penting, untuk membuktikan, darimana asal virus itu. Tapi, alih-alih menjawab, Jubir Kemlu China ini malah dibully ramai-ramai oleh media AS, disebut ‘menggunakan teori konspirasi.”
Ketika pemerintah Iran mempertanyakan hal serupa, ejekan bergeser, “China menggunakan teori konspirasi yang dibuat oleh Iran.” Kemenlu Iran pun membalas lewat twitter, “Daripada kalian menuduh kami pakai teori konspirasi, jawab saja 10 pertanyaan ini.” [4] Ya, ada 10 pertanyaan atas keanehan-keanehan yang muncul seputar asal mula virus ini. Tapi tidak ada jawaban. Lagi-lagi yang ada, ejekan “teori konspirasi”.
Lalu, ada juga netizen yang beragumen, “Ya gak mungkinlah AS yang membuat virusnya, kan AS sendiri juga jadi korban!”
Apakah bila warga AS jadi korban, artinya tidak mungkin pemerintah AS yang memodifikasi virusnya?
Biar lebih Paham, silahkan baca artikel dibawah ini :
Covid-19 dan Teori Konspirasi
Kalau ada yang nulis, “Virus Covid-19 itu dibuat oleh AS demi menguasai dunia”, apa komentar Anda? Mereka yang sudah paham bahwa AS (pemerintah & elit-nya ya, bukan rakyatnya) memang sepanjang sejarah melakukan banyak kejahatan kemanusiaan, biasanya cukup terbuka (tidak harus setuju, tapi setidaknya mau menelaah argumen yang diberikan).
Tapi ada juga sebagian orang yang langsung mengejek, “Elo tuh pake teori konspirasi!”
Label “teori konspirasi” memang banyak
dipakai orang untuk menghina upaya-upaya membongkar sebuah kejahatan
global. Padahal sebenarnya konspirasi itu kan memang ‘biasa’ terjadi,
misalnya, fenomena main sabun dalam pertandingan sepakbola (dua tim
bersekongkol untuk mengatur pertandingan). Publik tahu darimana? Ya dari
indikasi-indikasi, misal ada ‘keanehan’ yang dirasakan.
Tapi, teori konspirasi ini pun tidak sama
jenisnya. Minimalnya ada dua jenis kelompok pengguna teori konspirasi.
Yang satu, kelompok ngawur; yang kedua, kelompok yang bisa mikir kritis.
(1) Pertama, mereka yang menggunakan teori
konspirasi tanpa landasan argumen kuat, dan lebih bersandar pada
halusinasi. Contohnya, ada ustad yang bilang bahwa virus ini adalah
tentara Allah untuk menghukum China.
Atau ada ustad yang menulis “analisis” soal perundingan Putin-Erdogan dengan menyebut bahwa “Putin gemetar di hadapan Erdogan”.
Akademisi HI (atau minimalnya rajin baca
FP ini sehingga sudah paham beberapa teori dasar) punya landasan teori
untuk menganalisis, misalnya telaah dulu power kedua negara itu
(kekayaan, jumlah senjata, jumlah penduduk, posisi dalam tatanan global,
dst). Lalu, sejarah hubungan kedua negara, dan kalau sedang perang,
bagaimana kondisi riil di lapangan, siapa yang sedang di atas angin,
dst. Lalu, dengan bekal ilmu diplomasi, kita juga bisa menganalisis
narasi (kata-kata) yang dipakai kedua tokoh ini. Jadi, analisis yang
muncul di tulisan, itu ada landasan teorinya, bukan main cocok-cocokan.
Apalagi setelah itu channel Rusia dengan
“nakal” mempublikasi video, ternyata Erdogan sempat disetrap 2 menit di
depan pintu sampai akhirnya pintu ruang pertemuan dibuka. Yang sudah
belajar ilmu diplomasi (minimalnya hasil baca-baca tulisan di sini),
pasti ngerti banget, betapa jelas siapa yang superior, siapa yang
inferior dalam kasus ini. [1]
Atau, banyak “ustad” yang rajin koar-koar
“Iran itu bersekongkol dengan Israel”. Argumen yang diberikan sangat
ngawur, seringkali berupa fitnah, atau pencocok-cocokan belaka.
(2) Kedua, mereka menggunakan teori ini
dengan dukungan argumentasi yang kuat, fakta akurat, data ilmiah,
pendapat ahli yang bisa diverifikasi kebenarannya, menganalisis perilaku
tokoh-tokoh yang nyata, dan menggunakan data sejarah yang memang
tercatat di sumber-sumber yang dianggap valid secara akademis.
Tulisan-tulisan soal “Covid-19 terindikasi
dibuat AS” sebagian didasarkan pada seabrek data ilmiah. Makanya
biasanya tulisan-tulisan tersebut tidak menggunakan gaya bahasa ala-ala
kelompok pertama (main tuduh membabi-buta), tapi sebatas memaparkan
indikasi.
Misalnya, di tulisan ini [2] didasarkan
pada penelitian seorang profesor virologis dari Taiwan, yang
menyimpulkan bahwa virus yang menyebar di Taiwan bukan berasal dari
China (beda jenis dengan yang tersebar di China) tetapi dari AS.
Disebutkan juga, virus yang beredar di Iran dan Italia juga berbeda
tipe-nya. Dan lab di AS-lah yang memiliki 5 tipe virus tersebut. Dst.
Baca saja sendiri ya.
Nah, tgl 12 Maret 2020, Direktur CDC
(Pusat Pengontrolan dan Pencegahan Penyakit) AS, Robert Redfield (saat
dicecar anggota parlemen) mengakui bahwa beberapa orang AS yang
kelihatannya meninggal akibat influenza ternyata pernah dites positif
Covid-19. (Sebelum kasus Wuhan merebak, di AS juga sudah ada 8200 orang
yang tewas, disebut akibat “influenza”.)
Inilah yang kemudian membuat Jubir Kemlu China langsung ‘ngomel’.
Inilah yang kemudian membuat Jubir Kemlu China langsung ‘ngomel’.
Dia nge-tweet, “CDS tertangkap basah.
Kapan pasien nol [pertama] dimulai di AS? Berapa orang yang terinfeksi?
Pasien no 1-nya dirawat dimana? Kemungkinan tentara AS yang membawa
epidemi ini ke Wuhan. Transparanlah! Buka data publik Anda! AS harus
memberi penjelasan kepada kami!” [3]
(Pada 18-27 Oktober 2019 ada Military World Games di Wuhan, atlet tentara AS ikut bertanding)
Nah para pembela fanatik AS dan Israel
(mereka inilah yang suka membabi-buta menuduh kita pakai teori
konspirasi, jika kita melibatkan AS dan Israel dalam analisis konflik),
mungkin akan bilang: ngawur, masa virus bisa dibuat??
Saya awalnya juga tidak tahu jawabannya,
tapi kemudian menemukan info dari virolog keren yang sedang viral, drh
Indro Cahyo. Ada di video ini [4] menit ke 23:26, ini transkripnya:
“Virus tidak bisa dibikin, tapi
dimain-mainin, dimodified bisa. .. Kalau kita mau main-main dengan
mengubah virus, sangat dimungkinkan untuk mengubah itu menjadi virus
yang agak berbeda, bukan total berbeda, misalnya perbedaan virus MERS
dan Covid 19… ”
“Virus itu kita bayangkan seperti bola,
ada duri-durinya (spike) ujung dari spike itu yang menentukan, dia akan
menempel kemana, ke hewan atau manusia, atau kemana, dan itu spesifik.
Ga bisa yang biasanya menempel ke hewan, lalu menempel ke manusia. Covid
19 nggak ada hubungannya dengan hewan, ini full untuk manusia.”
**
Yang jelas, siapapun yang memodifikasi
virus ini, faktanya sekarang wabah ini sedang tersebar di Indonesia.
Mari bersatu melawan virus ini, ikuti petunjuk dokter, jaga jarak, jaga
kebersihan, makan sehat; dan saling bantu, hindari menebar hoax dan
kebencian. #IndonesiaBersatuLawanCorona
—
[1] https://bit.ly/3de8P4b
[2] https://bit.ly/3a6XNvs
[3] https://bit.ly/3941iBH // https://bit.ly/3a6gtM2
[4] https://bit.ly/3a62WE3
[2] https://bit.ly/3a6XNvs
[3] https://bit.ly/3941iBH // https://bit.ly/3a6gtM2
[4] https://bit.ly/3a62WE3
Covid-19 dan Teori Konspirasi (2)
Buat apa sih pentingnya membongkar, siapa yang “bikin” virus? [1] Bukankah yang penting sekarang mencari solusinya?
Menurut saya, yang punya kapasitas cari solusi sudah ada, yaitu pemerintah dan para ahli kesehatan. Kita rakyat biasa pun sudah diberi instruksi, apa yang harus dilakukan (jaga jarak, jaga kebersihan, makan sehat untuk memperkuat antibodi, dll). Kita juga bisa berpartisipasi dalam mencari solusi ekonomi (misalnya berdonasi untuk masyarakat terdampak atau menyumbang APD untuk tenaga medis).
Tapi, ada aspek-aspek lain yang juga penting dibahas. Misalnya, siapa yang terindikasi kuat memodifikasi virus ini? Apa dampak geopolitiknya? Apa dampak geoekonominya?
Ini tidak perlu dinyinyirin, setiap orang punya minat dan bidang kajian masing-masing. Dan bila kita membahas pertanyaan-pertanyaan itu dengan berbasis data dan argumen yang logis, itu bukanlah “teori konspirasi” yang sering diolok-olok itu.
Seperti sudah saya singgung di bagian pertama [2], pada 12 Maret 2020, Direktur CDC (Pusat Pengontrolan dan Pencegahan Penyakit) AS, Robert Redfield (saat dicecar anggota parlemen) mengakui bahwa beberapa orang AS yang kelihatannya meninggal akibat influenza ternyata pernah dites positif Covid-19.
Seperti banyak diungkap media AS sendiri, sebelum kasus Wuhan merebak, di AS juga sudah ada ribuan orang yang tewas, disebut sebagai akibat ‘influenza’ dan ‘penyakit vaping’ (sakit akibat rokok elektronik). Ada video menarik yang merangkum timeline merebaknya influenza di AS dikaitkan dengan penutupan lab senjata kimia AS, Fort Detrick [3]
Nah pernyataan Direktur CDC itu membuat Jubir Kemlu China mempertanyakan, “Kapan terjadinya pasien pertama di AS?” Pengungkapan pasien pertama ini penting, untuk membuktikan, darimana asal virus itu. Tapi, alih-alih menjawab, Jubir Kemlu China ini malah dibully ramai-ramai oleh media AS, disebut ‘menggunakan teori konspirasi.”
Ketika pemerintah Iran mempertanyakan hal serupa, ejekan bergeser, “China menggunakan teori konspirasi yang dibuat oleh Iran.” Kemenlu Iran pun membalas lewat twitter, “Daripada kalian menuduh kami pakai teori konspirasi, jawab saja 10 pertanyaan ini.” [4] Ya, ada 10 pertanyaan atas keanehan-keanehan yang muncul seputar asal mula virus ini. Tapi tidak ada jawaban. Lagi-lagi yang ada, ejekan “teori konspirasi”.
Lalu, ada juga netizen yang beragumen, “Ya gak mungkinlah AS yang membuat virusnya, kan AS sendiri juga jadi korban!”
Apakah bila warga AS jadi korban, artinya tidak mungkin pemerintah AS yang memodifikasi virusnya?
Nah, untuk menjawabnya, ini saya kasih lihat film dokumenter yang dirilis oleh media terkemuka AS, media resmi: Business Insider.
Isinya: AS memang punya laboratorium militer yang membuat senjata kimia dan biologis, termasuk menggunakan virus. Dan, lab ini pernah mengalami kebocoran.
Video ini aslinya 10 menitan, saya ambil 4 menitan yang terpenting saja. Antara lain yang bikin saya sendiri kaget pas nonton: ternyata lab militer AS ini pernah bereksperimen menginjeksi virus dengue (demam berdarah) pada nyamuk Aedes Aegypti. Percobaan ini dilakukan tahun 1960-an dan dokumennya terungkap ke publik.
Balik lagi, apa sih gunanya kita tahu siapa yang memodifikasi virus corona ini (atau minimalnya, menaruh kewaspadaan didasarkan berbagai indikasi)?
Untuk pemerintah, agar waspada. Misalnya, jangan asal terima tawaran-tawaran bantuan dari pihak yang terindikasi kuat memodifikasi virus ini. Apalagi biasanya tawaran seperti itu meminta kompensasi (balas jasa) besar.
Untuk kita rakyat biasa, juga agar waspada dan agar tidak mudah dipengaruhi oleh propaganda media.
Kewaspadaan inilah yang dulu dilakukan oleh Menkes Siti Fadillah Supari. Beliau mewaspadai, mengapa ada lab yang dikelola militer AS dibiarkan beroperasi di Indonesia (NAMRU 2)? Bahkan bu Siti sebagai Menkes pun tidak boleh menginspeksi lab itu. Saat itu sedang merebak virus flu burung. Akhirnya lab itu ditutup tahun 2009 (didirikan 1974). Tapi kabarnya sudah ada lab baru, dengan nama baru [5].
Tanpa kewaspadaan, tanpa mau menyelidiki apa yang terjadi di balik semua ini, kita akan bolak-balik jatuh ke lobang yang sama.
—
[1] virus tidak bisa dibuat, tetapi bisa dimodifikasi [penjelasan virolog, drh Indro]
[2] https://bit.ly/2Jfbgph
[3] https://bit.ly/3duyaab
[4] https://bit.ly/33OgP7E
[5] https://bit.ly/2UHwrWe
—
Video lengkap (channel Business Insider) https://bit.ly/3bknBVg
Sumber Berita : https://dinasulaeman.wordpress.com/2020/03/29/covid-19-dan-teori-konspirasi-2/
Republik Ceko adalah satu di antara sedikit negara di Eropa yang secara signifikan menurunkan penyebaran virus ini. Kuncinya ada pada pemakaian masker oleh SEMUA WARGA. Di sana masker buatan pabrik juga langka. Akhirnya masyarakat beramai-ramai menjahit masker rumahan dan dibagikan gratis. Ternyata, hasilnya sangat bagus dalam menahan penyebaran vrus.
Tagline-nya: I protect you, you protect me, and we are both save
(saya melindungi Anda, Anda melindungi saya, kita berdua aman)
Indonesia adalah contoh dimana diktator bisa dipilih melalui pemilihan umum yang dilangsungkan secara periodik (para pemilih dapat memilih dengan bebas antara satu kandidat korup dengan kepentingan bisnisnya dengan kandidat lain yang juga korup dengan kepentingan bisnis yang lain) dan memimpin dengan dikontrol dan disponsori oleh kepentingan Barat serta sama sekali tidak ada kekuasaan yang diberikan pada rakyat.
Sebetulnya angkutan kereta api di Jakarta masih lebih baik daripada di Nairobi. Banyak gerbong kereta yang memiliki alat pendingin karena walaupun bekas tapi diimpor dari Jepang. Namun kelihatannya kereta-kereta ini cenderung menua secara cepat karena kurangnya perawatan: satu tahun saja di Jakarta dan kereta berusia 30 tahun asal Jepang yang datang dalam kondisi sempurna akan berakhir dengan pintu rusak, kursi tersayat dan sistem pendingin udara yang tersumbat kotoran.
Terbongkarnya Naval Medical Research Unit 2 (NAMRU-2 AS) sebagai laboratorium bertujuan ganda merupakan jasa dari Siti Fadila Supari sebagai Menteri Kesehatan pada periode pertama Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Adalah Siti Fadilah yang berhasil memaksa WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, Lembaga penelitian senjata biologi Pentagon (Kementerian Pertahanan AS).
Pada 16 Oktober 2009 nampaknya hari sial bagi Pemerintah Amerika Serikat, khususnya Kedutaan Besarnya yang ada di Jakarta. Sebab pada hari itu Siti Fadila yang sudah dapat informasi A-1 bahwa dirinya tidak akan dipilih kembali jadi Menteri Kesehatan, mengirim surat pemberhentian kerjasama Indonesia-AS terkait Kementerian Kesehatan-NAMRU, kepada Duta Besar AS, Cameron Hume.
NAMRU dicurigai sebagai bagian dari upaya AS untuk memata-matai Indonesia dengan kedok sebagai Lembaga Riset. Sehingga pada masa kepemimpinannya di Kementerian Kesehatan, Siti Fadilah melarang rumah sakit di Indonesia mengirimkan sampel virus flu burung H5N1 ke Lembaga milik Angkatan Laut yang kita kenal sebagai NAMRU-2 AS. Sebab berdasarkan penelitian Siti Fadilah, virus flu burung asal Indonesia yang dibawa ke luar Indonesia itu dimaksudkan untuk dibuat vaksin anti flu burung. Dengan dalih riset, sampel virus dari negara-negara yang terkena epidemic flu burung dibuat vaksin.
Selanjutnya, tanpa ijin dan kompensasi, vaksin dijual dengan harga mahal. Negara epidemic dipaksa WHO menyerahkan sample virus ke Global Influenza Surveillance Network (GISN).
Salah satu poin penting Siti Fadilah yang terangkum dalam buku memoarnya bertajuk Saatnya Dunia Berubah), Pemerintah AS dan WHO telah berkonspirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus flu burung.
Fakta yang berhasil diperoleh Siti Fadilah, data sequencing DNA H5N1 yang dikuasai WHO Collaborating Center (WHO CC) disimpan di Los, Alamos National Laboratory di New Mexico, AS. Laboratorium Los Alamos yang berada di bawah Kementerian Energi AS ini, diketahui telah melakukan riset mengenai senjata biologi dan bahkan, bom atom.
Menurut informasi yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute pada Desember 2009, pemerintah AS sempat mendesak pemerintah Indonesia agar buku memoar Siti Fadilah tersebut ditarik dari peredaran. Sebagai imbalannya, AS akan memberikan suku cadang militer yang sebelumnya diembargo pemerintahan AS semasa Presiden Bill Clinton, menyusul penembakan TNI di Santa Cruz, Timor-Timur.
Pertanyaannya kemudian, apakah dengan dihentikannya kerjasama Indonesia-NAMRU-2 pada Oktober 2009 lalu, NAMRU-2 AS atau yang sejenis dengan itu, tidak akan beroperasi lagi di Indonesia?
Nah inilah yang masih tanda tanya besar. Bahkan Siti Fadilah Supari pun masih menaruh kekhawatiran besar akan hal ini. Apalagi pada kenyataannya, yang mengganti Siti Fadilah sebagai Menteri kesehatan adalah Endang Rahayu Sedyaningsih. Sebab semasa Siti Fadilah menyelidiki keterlibatan NAMRU-2 sebagai virus transfer, terungkap bahwa Endang memiliki hubunga khusus dengan NAMRU-2 milik Angkatan Laut AS itu.
Kalau kita membuka kembali tumpukan berita-berita lama kala itu, terpilihnya Endang sebagai menteri kesehatan baru, memang cukup mengejutkan. Sebab sebelumnya sudah santer bahwa yang akan menggantikan Siti Fadilah, adalah Nila Anfasa Moeloek. Sehingga Siti Fadilah merasa khawatir bahwa Endang akan membawa agenda terselubung asing utamanya AS, seraya menghapus program-program Siti Fadilah semasa menjabat menteri kesehatan. Tentunya antara lain terkait keberadaan NAMRU-2 di Indonesia.
Dalam sebuah wawancara Bersama Majalah Intelijen terbitan Desember 2009, Siti Fadilah berkata: “Saya tegaskan bahwa yang menggantikan saya itu neolib. Mengapa Endang yang dipilih, padahal pejabat eselon 2 Kementerian Kesehatan cukup banyak. Itu menjadi indikasi bahwa kabinet Indonesia Bersatu II pro neolib. Indonesia masih di bawah kekuasaan AS.”
Secara khusus terkait NAMRU-2 AS, Siti Fadilah berkata: “Lambang hegemoni AS yang paling nyata di Indonesia adalah NAMRU. NAMRU adalah masalah kedaulatan. NAMRU adalah pangkalan militer yang bergerak di bidang kesehatan. NAMRU bagian grand strategy pertahanan AS.”
Membaca misi terselubung NAMRU-2 AS dari sudut pandang Siti Fadilah Supari, nampaknya kita masih cukup beralasan untuk mewaspadai potensi beroperasinya kembali NAMRU-2 AS sebagai laboratorium yang bertujuan ganda. Atau dengan meminjam istilah Siti Fadilah, merupakan pangkalan militer AS yang bergerak di bidang kesehatan.
Maka itu, skema maupun modus operandi ala NAMRU-2 AS harus terus-menerus dalam pantauan berbagai pemangku kepentingan kebijakan luar negeri di Indonesia. Seperti Kementerian Politik dan Keamanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, Lembaga Ketahanan Nasional, maupun Badan Intelijen Negara (BIN) maupun Badan Intelijen Strategis (BAIS).
Hendrajit, pengkaji geopolitik Global Future Institute (GFI)
Sumber Berita : http://theglobal-review.com/menyingkap-misi-terselubung-namru-2-dari-sudut-pandang-siti-fadilah-supari/
LAPORAN UTAMA
Siti Fadilah Supari: Kalau Tidak Terhina, Kebangetan
Laboratorium NAMRU dinilai Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari tidak membawa manfaat banyak bagi Indonesia. Ia menyoal keberadaan personel Angkatan Laut Amerika di laboratorium NAMRU yang mendapat status diplomat. Siti Fadilah tak takut akan tekanan.
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari tak lelah mengusik Amerika Serikat. Melalui buku berjudul Saatnya Dunia Berubah!, dia menyoal mekanisme penanganan strain virus flu burung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Amerika Serikat. Wanita kelahiran Solo, Jawa Tengah, 59 tahun lalu itu secara gamblang mengungkap kepedihan hatinya atas ketidakadilan negara kaya dan WHO dalam kasus flu burung.
Peraih doktor bidang penyakit jantung dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu yakin dengan apa yang dia sampaikan, meski hal itu mengundang kontroversi. Kini Siti Fadilah kembali mempersoalkan keberadaan Naval American Medical Research Unit 2 (NAMRU-2). Menurut dia, NAMRU dengan personel militernya membuat kita sebagai bangsa yang berdaulat jadi tidak nyaman. ''Sebagai negara berdaulat, kita seperti di bawah naungan negara lain,'' kata Siti Fadilah kepada Syamsul Hidayat dari Gatra dan dua wartawan televisi swasta ketika mewawancarai dia di kantornya, Kamis pekan lalu. Petikannya:
Kenapa masalah ini baru heboh sekarang?
Siapa bilang baru heboh sekarang. Saya sudah dari dulu mempermasalahkan. Media saja yang baru heboh memberitakannya sekarang.
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta merilis statemen bahwa dugaan adanya intel di NAMRU itu tidak benar. Tanggapan Anda?
Pertama, yang menduga itu siapa? Kedua, wong intelijen, kok ditanyakan. Itu hal yang sangat tidak bisa ditanyakan. Misalnya, ada orang selingkuh, kok ditanya apakah ia selingkuh atau tidak. Hal tersebut tidak bisa ditanyakan atau dijawab.
Jadi, Anda menduga ada inteiljen di sana?
Saya tidak akan menjawab pertanyaan semacam itu, karena itu merupakan hak seseorang untuk menduga atau tidak menduga.
Nota kesepahaman (MoU) soal NAMRU dilanjutkan. Apakah dengan kecurigaan itu, perlu peninjauan ulang atas MoU tersebut?
MoU itu dibuat pada pertengahan 2007. Sejak enam bulan lalu sampai sekarang masih di Amerika. Dalam MoU itu disampaikan beberapa hal. Pertama, pengiriman virus harus disertai material transfer agreements (MTA). Kedua, virus tidak boleh dijadikan senjata biologi.
Ketiga, para peneliti NAMRU-2 yang berkewarganegaraan Amerika Serikat tidak boleh diberi status kekebalan diplomatik. Dan keempat, riset harus benar dan transparan serta berguna bagi kemanusiaan. Semuanya ada enam poin yang disampaikan Indonesia. MoU itu sampai sekarang belum dikembalikan.
Kenapa begitu lama?
Ya, nggak tahu. Kita tunggu saja dulu apakah mereka setuju atau tidak atas apa yang kita sampaikan. Kalau tidak, ya, sudah. Kalau setuju, mungkin akan dilanjutkan. Kecuali kalau ada hal-hal yang lain, keberatan lain. Kalau bagus untuk mereka, pasti dikembalikan. Kok, enam bulan belum dikembalikan. Mungkin itu terkait dengan empat hal dalam MoU tersebut.
Anda sudah meninjau NAMRU. Apakah peralatan mereka sangat canggih?
Biasa saja, seperti lab-lab kita. Kalau untuk tahun 1970-an, itu masih canggih. Untuk sekarang, kita punya peralatan lebih canggih. Contohnya, di Eijkman bahkan lebih canggih.
Bagi Indonesia, apakah adanya NAMRU itu menguntungkan atau tidak?
Dari sisi kesehatan, mungkin pada 1970-an ada manfaatnya. Namun, akhir-akhir ini, sejak tahun 2000-an, tidak ada sama sekali. Buktinya, penyakit-penyakit itu masih ada. Sumbangan NAMRU terhadap pemberantasan penyakit sampai sekarang tidak ada. Padahal, katanya, mereka meneliti malaria, TBC, influenza leptoness. Sampai sekarang, mana produk NAMRU yang bisa kita rasakan.
NAMRU malah mendirikan laboratorium di Papua. Lho, kenapa di Papua, kok tidak di Solo atau Padang. Alasannya, mungkin di sana banyak malaria. Tapi, apa produknya dari tahun 1986 sampai sekarang?
Kan, ada peneliti-peneliti kita yang turut dalam penelitian mereka?
Anak buah saya banyak, kok, yang terlibat dalam penelitian-penelitian mereka. Namun penelitian itu tidak bisa mengatakan sesuatu. Penelitian kecil-kecil dan tersebar. Yang memegang secara keseluruhan, ya, mereka.
Apakah perlu diperbanyak peneliti kita dalam penelitian mereka untuk melihat apa yang mereka lakukan?
Saya tidak ngurus hal yang teknis.
Kalau tak ada manfaatnya, mengapa Anda tidak mengusulkan untuk tak memperpanjang perjanjian itu?
Diperpanjang atau tidak, itu bukan keputusan Menteri Kesehatan, melainkan keputusan bersama interdep, yaitu Menkes, Menlu, Menhan, dan BIN. Kemudian dengan persetujuan presiden.
Anda mengatakan tidak bermanfaat. Apa tindakan selanjutnya?
Saya tidak menyatakan tidak bermanfaat. Tapi saya, kok, belum bisa menyatakan kemanfaatannya pada saat ini. Mungkin tahun 1970-an, kemanfaatannya pada pes. Itu jelas. Pada prinsipnya, Departemen Kesehatan akan berjalan bersama-sama dengan Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri menentukan apakah ini akan dilakukan atau tidak.
Menteri Pertahanan pernah menyatakan bahwa aktivitas NAMRU perlu diawasi. Anda setuju dengan statemen itu?
Bagaimana saya mau mengawasi, pada waktu itu tidak ada klausul mengawasi. Tapi, pada prakteknya, staf-staf saya tidak bisa mengikuti peneliti-peneliti NAMRU ketika mereka pergi ke Papua atau NTT.
Mereka melarangnya?
Staf kita memang diajak, tapi disuruh membayar sendiri. Depkes tidak punya bujet untuk itu. Akhirnya staf Depkes ditinggal. Itu cerita anak buah saya kenapa dalam penelitian NAMRU tidak ada yang mendampingi. Kalaupun didampingi, seberapa efektif kita bisa mengawasinya?
Langkah apa yang dilakukan Departemen Kesehatan?
Ada sih, tapi saya tidak bisa menceritakan langkah-langkah tersebut. Saya kira, semua perjanjian dengan luar negeri itu ada undang-undangnya. Perjanjian atau kerja sama dengan luar negeri itu harus dilihat dari beberapa segi. Pertama, sisi politik, perjanjian itu baik atau tidak, sesuai atau tidak. Kedua, dari segi teknis, hukum. Dan yang terpenting, keuntungan bagi rakyat banyak. Setiap perjanjian harus dilihat dari sisi keuntungan bagi rakyat.
Jadi, apa sebenarnya persoalan mendasar tentang NAMRU ini?
Sebagai negara berdaulat, kita tentu tak nyaman karena di dalamnya ada suatu organ militer asing. Lha, yang nggak enak bagi saya, itu kok yang dipakai Departemen Kesehatan.
Andaikan bermanfaat, mereka bisa membuatkan vaksin dan lain-lain. Apakah kita rela negara kita yang berdaulat di dalamnya ada tentara asing. Kenapa sih penelitinya tentara? Artinya, kita dalam naungan negara lain. Jadi, sebenarnya bukan soal penelitian itu sendiri.
Penelitiannya sendiri sebetulnya no problem. Mau tidak transparan kek, mau apa kek, yang menjadi keberatan saya bukan soal penelitiannya, melainkan keberadaan mereka yang pakai senjata. Pakai topi Angkatan Laut. Menurut saya, sungguh menghina. Itu menurut saya. Kalau ada yang tidak terhina, ya, kebangetan.
Anda sepertinya selalu berani melawan Amerika. Tidak ada tekanan-tekanan sehubungan dengan itu?
Tidak ada. Nyatanya saya sampai sekarang masih berani. Ini masalah nasionalisme. Sudah saatnya untuk membangkitkan kembali nasionalisme kita. Ini waktu yang pas, apalagi bertepatan dengan 100 tahun Kebangkitan Nasional.
Selama ini, masih banyak di antara kita yang mementingkan kelompok masing-masing sehingga melupakan kepentingan nasional. Lupa bahwa sesungguhnya kita adalah negara yang berkedaulatan. Untuk semua itu, saya akan korbankan segalanya.
Jadi, ada kemungkinan NAMRU tidak diperpanjang?
Wah, saya tidak bisa menjawab karena yang menentukan bukan saya.
Menurut saya, yang punya kapasitas cari solusi sudah ada, yaitu pemerintah dan para ahli kesehatan. Kita rakyat biasa pun sudah diberi instruksi, apa yang harus dilakukan (jaga jarak, jaga kebersihan, makan sehat untuk memperkuat antibodi, dll). Kita juga bisa berpartisipasi dalam mencari solusi ekonomi (misalnya berdonasi untuk masyarakat terdampak atau menyumbang APD untuk tenaga medis).
Tapi, ada aspek-aspek lain yang juga penting dibahas. Misalnya, siapa yang terindikasi kuat memodifikasi virus ini? Apa dampak geopolitiknya? Apa dampak geoekonominya?
Ini tidak perlu dinyinyirin, setiap orang punya minat dan bidang kajian masing-masing. Dan bila kita membahas pertanyaan-pertanyaan itu dengan berbasis data dan argumen yang logis, itu bukanlah “teori konspirasi” yang sering diolok-olok itu.
Seperti sudah saya singgung di bagian pertama [2], pada 12 Maret 2020, Direktur CDC (Pusat Pengontrolan dan Pencegahan Penyakit) AS, Robert Redfield (saat dicecar anggota parlemen) mengakui bahwa beberapa orang AS yang kelihatannya meninggal akibat influenza ternyata pernah dites positif Covid-19.
Seperti banyak diungkap media AS sendiri, sebelum kasus Wuhan merebak, di AS juga sudah ada ribuan orang yang tewas, disebut sebagai akibat ‘influenza’ dan ‘penyakit vaping’ (sakit akibat rokok elektronik). Ada video menarik yang merangkum timeline merebaknya influenza di AS dikaitkan dengan penutupan lab senjata kimia AS, Fort Detrick [3]
Nah pernyataan Direktur CDC itu membuat Jubir Kemlu China mempertanyakan, “Kapan terjadinya pasien pertama di AS?” Pengungkapan pasien pertama ini penting, untuk membuktikan, darimana asal virus itu. Tapi, alih-alih menjawab, Jubir Kemlu China ini malah dibully ramai-ramai oleh media AS, disebut ‘menggunakan teori konspirasi.”
Ketika pemerintah Iran mempertanyakan hal serupa, ejekan bergeser, “China menggunakan teori konspirasi yang dibuat oleh Iran.” Kemenlu Iran pun membalas lewat twitter, “Daripada kalian menuduh kami pakai teori konspirasi, jawab saja 10 pertanyaan ini.” [4] Ya, ada 10 pertanyaan atas keanehan-keanehan yang muncul seputar asal mula virus ini. Tapi tidak ada jawaban. Lagi-lagi yang ada, ejekan “teori konspirasi”.
Lalu, ada juga netizen yang beragumen, “Ya gak mungkinlah AS yang membuat virusnya, kan AS sendiri juga jadi korban!”
Apakah bila warga AS jadi korban, artinya tidak mungkin pemerintah AS yang memodifikasi virusnya?
Nah, untuk menjawabnya, ini saya kasih lihat film dokumenter yang dirilis oleh media terkemuka AS, media resmi: Business Insider.
Isinya: AS memang punya laboratorium militer yang membuat senjata kimia dan biologis, termasuk menggunakan virus. Dan, lab ini pernah mengalami kebocoran.
Video ini aslinya 10 menitan, saya ambil 4 menitan yang terpenting saja. Antara lain yang bikin saya sendiri kaget pas nonton: ternyata lab militer AS ini pernah bereksperimen menginjeksi virus dengue (demam berdarah) pada nyamuk Aedes Aegypti. Percobaan ini dilakukan tahun 1960-an dan dokumennya terungkap ke publik.
Balik lagi, apa sih gunanya kita tahu siapa yang memodifikasi virus corona ini (atau minimalnya, menaruh kewaspadaan didasarkan berbagai indikasi)?
Untuk pemerintah, agar waspada. Misalnya, jangan asal terima tawaran-tawaran bantuan dari pihak yang terindikasi kuat memodifikasi virus ini. Apalagi biasanya tawaran seperti itu meminta kompensasi (balas jasa) besar.
Untuk kita rakyat biasa, juga agar waspada dan agar tidak mudah dipengaruhi oleh propaganda media.
Kewaspadaan inilah yang dulu dilakukan oleh Menkes Siti Fadillah Supari. Beliau mewaspadai, mengapa ada lab yang dikelola militer AS dibiarkan beroperasi di Indonesia (NAMRU 2)? Bahkan bu Siti sebagai Menkes pun tidak boleh menginspeksi lab itu. Saat itu sedang merebak virus flu burung. Akhirnya lab itu ditutup tahun 2009 (didirikan 1974). Tapi kabarnya sudah ada lab baru, dengan nama baru [5].
Tanpa kewaspadaan, tanpa mau menyelidiki apa yang terjadi di balik semua ini, kita akan bolak-balik jatuh ke lobang yang sama.
—
[1] virus tidak bisa dibuat, tetapi bisa dimodifikasi [penjelasan virolog, drh Indro]
[2] https://bit.ly/2Jfbgph
[3] https://bit.ly/3duyaab
[4] https://bit.ly/33OgP7E
[5] https://bit.ly/2UHwrWe
—
Video lengkap (channel Business Insider) https://bit.ly/3bknBVg
Sumber Berita : https://dinasulaeman.wordpress.com/2020/03/29/covid-19-dan-teori-konspirasi-2/
Film Tentang Wabah di Iran
Yang suka film sejarah, ini ada film
bagus. Kisah ini tentang menyebarnya wabah dan kelaparan di Iran tahun
1917-1919. Di film ini disebutkan 9 juta orang tewas (setengah dari
populasi saat itu).
Sekedar pengantar sejarah (supaya lebih
dipahami kontesnya). Saat itu Iran berada di bawah kekuasaan Dinasti
Qajar. Shah Iran dan sebagian tokoh intelektual elitnya, sangat pro
Inggris, dan menindas rakyat. Dalam situasi ini muncul banyak gerilyawan
perlawanan rakyat melawan Shah dan Inggris “membantu” Shah untuk membungkam mereka.
Tahun 1908, Inggris menemukan minyak Iran. Tahun 1921, Dinasti Qajar
tumbang. Tahun 1925 berdiri “dinasti” baru, dipimpin mantan komandan
militer, Reza Pahlevi. Shah Pahlevi ini juga sangat pro Inggris dan AS.
Konsesi minyak Iran tentu saja diberikan ke AS dan Inggris.
Nah, di film ini diceritakan pada tahun 1917 hingga 1919 Iran didera wabah kolera dan tipus disertai kekurangan pangan. Si tokoh mempertanyakan: ada ribuan tentara Inggris di Iran, tapi mengapa mereka semua sehat dan banyak makanan?
Ternyata tentara Inggris punya obatnya. Dan ternyata kekurangan pangan itu juga didesain oleh Inggris.
Seterusnya, tonton sendiri aja.
Film ini berbahasa Persia dan ada subtitle Inggrisnya. Cara menampilkan subtitle, klik titik 3 di kanan atas ( kalau nonton di hp), klik subtitle. Kalau di laptop, klik simbol CC di bawah layar.
[btw, karena ini share link, saat Anda share ulang, kemungkinan pengantar dari saya tidak terbawa, harus dicopas dulu]
https://www.youtube.com/watch?v=xHhUPnz-DV8&feature=youtu.be
Sumber Berita : https://dinasulaeman.wordpress.com/2020/03/29/film-tentang-wabah-di-iran/#more-6332
Nah, di film ini diceritakan pada tahun 1917 hingga 1919 Iran didera wabah kolera dan tipus disertai kekurangan pangan. Si tokoh mempertanyakan: ada ribuan tentara Inggris di Iran, tapi mengapa mereka semua sehat dan banyak makanan?
Ternyata tentara Inggris punya obatnya. Dan ternyata kekurangan pangan itu juga didesain oleh Inggris.
Seterusnya, tonton sendiri aja.
Film ini berbahasa Persia dan ada subtitle Inggrisnya. Cara menampilkan subtitle, klik titik 3 di kanan atas ( kalau nonton di hp), klik subtitle. Kalau di laptop, klik simbol CC di bawah layar.
[btw, karena ini share link, saat Anda share ulang, kemungkinan pengantar dari saya tidak terbawa, harus dicopas dulu]
https://www.youtube.com/watch?v=xHhUPnz-DV8&feature=youtu.be
Sumber Berita : https://dinasulaeman.wordpress.com/2020/03/29/film-tentang-wabah-di-iran/#more-6332
Republik Ceko adalah satu di antara sedikit negara di Eropa yang secara signifikan menurunkan penyebaran virus ini. Kuncinya ada pada pemakaian masker oleh SEMUA WARGA. Di sana masker buatan pabrik juga langka. Akhirnya masyarakat beramai-ramai menjahit masker rumahan dan dibagikan gratis. Ternyata, hasilnya sangat bagus dalam menahan penyebaran vrus.
Tagline-nya: I protect you, you protect me, and we are both save
(saya melindungi Anda, Anda melindungi saya, kita berdua aman)
Berikut ini video pesan dari Ceko.
#Mask4All
Sumber Berita : https://dinasulaeman.wordpress.com/2020/03/30/pesan-dari-ceko/#Mask4All
Corona di Palestina
Jurnalis Yumna Patel, yang tinggal di Palestina, kemarin (24/3) menulis update dari Betlehem, antara lain: jumlah kasus corona di Palestina mencapai 60 orang; 58 di Tepi Barat dan 2 di Gaza. 40 di antara mereka tinggal di Bethlehem, yang merupakan episentrum wabah corona di Palestina. 17 orang dinyatakan sudah sembuh.
Bethlehem adalah kota yang banyak
dikunjungi turis atau peziarah, terletak di Yerusalem selatan. Dan
karena itulah, baik aparat Palestina maupun Israel sama-sama menutup
kota itu dari kunjungan turis. Koordinasi untuk mengisolasi kota ini
oleh sebagian media digembar-gemborkan dengan judul “Palestina dan
Israel BERSATU karena Corona”.
Menurut Patel, bisnis di Bethlemen
ditutup, polisi membuat blokade di penjuru kota dan diberlakukan jam
malam. Masjid-masjid dan gereja-gereja kosong. Suara azan masih
terdengar, tapi dengan tambahan kalimat “sholat di rumah saja”. Setiap
beberapa hari sekali, dilakukan penyemprotan desinfektan di seluruh
kawasan kota ini. Warga juga patuh mengikuti perintah untuk diam di
rumah.
Namun kondisi jauh berbeda dengan wilayah
Tepi Barat yang lain. Hari Selasa (24/2) Otoritas Palestina (PA)
mengumumkan bahwa seorang perempuaan Palestina yang baru kembali dari AS
positif Corina dan dikarantina di Ramallah. Lalu ada 7 mahasiswa
Palestina yang kembali dari Italia, pulang ke Tepi Barat lewat Israel,
juga dikarantina.
Kemarin beredar video di sosmed, ada
pekerja Palestina yang dibuang begitu saja di wilayah Palestina (oleh
tentara Israel) setelah menunjukkan gejala terinfeksi Crona. Orang itu
lalu dijemput ambulans PA.[1]
Sebagaimana diketahui, banyak orang Tepi
Barat yang terpaksa mencari kerja di Israel (umumnya menjadi buruh)
sehingga terjadi arus pulang-pergi Israel-Palestina. Karena jumlah kasus
corona di Israel jauh lebih banyak (mencapai 1656 kasus pada 24/2),
tentu arus pekerja ini membawa resiko penyebaran virus ke Tepi Barat.
PA menjanjikan kepada warga Tepi Barat
bahwa pihaknya akan berkoordinasi dengan Israel mengenai kepulangan
buruh ini dan buruh yang baru datang dari Israel akan dikarantina.
Namun, sikap tentara Israel yang membuang para pekerja yang terpapar
virus di jalan, menunjukkan koordinasi itu hanya sebatas rencana.[2]
Sementara itu, di Gaza situasinya jauh
lebih buruk. Di Twitter, muncul banyak cuitan “Wahai dunia, bagaimana
rasanya lockdown? -Gaza”. Akun @MohMhawesh menulis, “Wahai warga dunia,
kalian takut kehilangan orang yang kalian cintai? Tidak bisa bergerak
bebas? Apakah kalian kesulitan mendapat layanan kesehatan? Kami memahami
kalian, kami sudah menjalani situasi seperti ini bertahun-tahun.”
Bisa dibayangkan, bila negara-negara kaya
saja kelabakan menghadapi virus ini, apalagi Gaza, yang kondisinya,
menurut PBB, sangat tidak layak huni dan diprediksi benar-benar tidak
lagi layak huni pada tahun 2020. Dan sekarang sudah 2020. Kurang dari 4%
air di Gaza yang layak minum; listrik hanya menyala 6-8 jam sehari,
sekitar 70% warga tidak punya pekerjaan.
Penyebabnya, sejak 2007 Gaza diblokade
oleh Israel, sehingga keluar masuk orang dan barang amat-sangat
dipersulit. Kapal militer Israel juga berpatroli di laut Gaza, melarang
nelayan untuk mencari ikan jauh ke tengah laut. Kualitas air laut Gaza
juga sangat buruk karena dijadikan pembuangan limbah (fasilitas
pengolahan limbah tidak berfungsi akibat kurangnya listrik sehingga
langsung dibuang ke laut). Mesir juga membantu Israel dengan menutup
gerbang Rafah (perbatasan Mesir-Gaza).
Blokade yang sudah berlangsung 13 tahun
itu membuat infrastruktur dan sistem kesehatan di Gaza hampir ambruk.
Hanya ada 1 tempat tidur untuk setiap 1000 orang. Hanya tersedia sekitar
50-60 ventilator untuk dewasa.
Selain itu, Gaza adalah daerah yang
terpadat di dunia, rata-rata ada 6028 orang hidup per 1 km2 . Di
kamp-kamp pengungsian, lebih padat lagi. Misalnya di Jabalia, ada 82.000
orang yang hidup per 1 km2. Warga Gaza sebagian besarnya adalah
pengungsi. Di tanah dan rumah mereka yang kini dirampas Israel,
orang-orang Israel hidup dengan rata-rata 0-500 orang per 1 km2. [2]
Di tengah wabah Corona, Israel sama sekali
tidak berniat mencabut blokade fisik dan ekonomi Gaza. Sama seperti AS,
yang malah memperketat embargo ekonomi kepada Iran, sambil basa-basi
menawarkan “bantuan”.
—
Foto: Gaza, kawasan Rafah (9/2/2020 by Abed Rahim Khatib/Flash90)
Foto: Gaza, kawasan Rafah (9/2/2020 by Abed Rahim Khatib/Flash90)
Ref:
[1]https://bit.ly/3al8L0s
[2]https://bit.ly/3bpTjAt
[3]https://bit.ly/2Uvzz7E
[1]https://bit.ly/3al8L0s
[2]https://bit.ly/3bpTjAt
[3]https://bit.ly/2Uvzz7E
Iran dan Covid-19
Permintaan Iran kepada IMF untuk memberi pinjaman uang dalam rangka penanganan Covid-19 memunculkan banyak pertanyaan, intinya: apakah Iran akhirnya tunduk kepada Barat?
Selama ini, IMF dikenal sebagai
perpanjangan tangan negara-negara kaya Barat untuk mengacak-acak
perekonomian negara berkembang. Pasalnya , IMF (dan Bank Dunia) saat
memberi pinjaman selalu memberi syarat: negara penerima pinjaman harus
meliberalisasi ekonominya. Antara lain: harus menghemat fiskal, harus
memprivatisasi BUMN, dan menderegulasi keuangan dan pasar tenaga kerja.
Menurut Thomas Gangale, dampak dari
kebijakan liberalisasi ekonomi ini justru negatif, antara lain
dikuranginya pelayanan pemerintah dan subsidi makanan telah memberi
pukulan kepada masyarakat kelas menengah ke bawah. BUMN yang dijual
untuk membayar utang kepada IMF justru dibeli oleh perusahaan swasta
yang kemudian menghentikan pelayanan bersubsidi dan menaikkan
harga-harga untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin. Kebijakan moneter
seperti penaikan suku bunga dengan tujuan untuk menarik investor asing
justru menghancurkan perusahaan domestik sehingga pengangguran
meningkat. [1]
Menariknya, pernyataan Menlu Iran, Javad
Zarif, soal utang ke IMF ini begini, “IMF harus mematuhi mandat lembaga
ini, berdiri di sisi yang benar dalam sejarah dan bertindak dengan
bertanggung jawab.” Pernyataan Direktur Bank Sentral Iran seperti ini,
“Respon masyarakat dunia dan IMF dapat menjadi parameter yang baik untuk
menilai klaim mereka soal bantuan untuk mengendalikan virus ini dan
mengurangi kesulitan masyarakat.”
Nada dua kalimat tersebut adalah “gugatan”. Kata lainnya, “Buktikan klaim-klaim kalian soal kemanusiaan!”
IMF di webnya menulis bahwa mereka
“bekerja untuk mendorong kerja sama moneter global, mengamankan
stabilitas keuangan, memfasilitasi perdagangan internasional,
mempromosikan lapangan kerja yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan, dan mengurangi kemiskinan di seluruh dunia.”
Nah, pengajuan utang dari Iran ini bisa
dipandang sebagai ‘batu ujian’ bagi IMF. Apakah IMF akan memberi
pinjaman dengan tulus seperti klaimnya atau tetap menetapkan syarat yang
merugikan?
(Sebelumnya, IMF sudah menolak permintaan bantuan dari Venezuela, yang sudah kerepotan menangani Covid-19.)
Lalu, apakah IMF (yang anggota terkuatnya
adalah AS) mau mentransfer uang itu ke bank Iran, yang artinya melanggar
embargo yang ditetapkan oleh AS?
Seperti diketahui, Gugus Tugas Aksi
Keuangan (FATF) memasukkan Iran sebagai negara pendukung teroris
(semata-mata karena Iran mendukung milisi perjuangan Palestina dan
Hizbullah -yang melawan Israel). FATF memutus ekonomi Iran dari sistem
keuangan internasional sehingga menyulitkan transaksi keuangan Iran.
Dampaknya, perdagangan dan perekonomian negara ini sangat terhambat.
Kini, akibat wabah Covid-19, kondisi
ekonomi jelas semakin sulit. Menlu Javad Zarif sudah menulis surat
kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, meminta bantuan agar
Iran diberi keleluasaan untuk mendapat pasokan medis. Pejabat AS
mengklaim bahwa bahwa sanksi yang diberlakukan tidak menargetkan bidang
medis. Pada akhir Februari, pemerintahan Trump mengklaim telah
menyetujui pengabaian sanksi untuk mentransfer bantuan kemanusiaan
melalui saluran Swiss. Tetapi pada 11 Maret, juru bicara Kementerian
Luar Negeri Iran menyatakan AS tidak mengizinkan Iran untuk menggunakan
saluran itu.
Dalam kondisi ini, bisa dilihat bahwa Iran
sedang memberikan ‘ujian’ dan menanti komunitas internasional (yang
didominasi Barat) memberikan jawaban, membuktikan klaim-klaim HAM
mereka.
Kesulitan Iran bukan saja soal ekonomi dan
wabah Covid-19, tapi juga bombardir berita fitnah yang tak kunjung
henti. Antara lain, banyak berita beredar, mengklaim ada data satelit
bahwa Iran telah menyiapkan kuburan massal korban Covid-19 di Qom,
padahal cerita sebenarnya tidak demikian. [2]
Beberapa hari yang lalu saya baca di
Kompas, berita soal penutupan kompleks makam wali terbesar di Iran,
makam Imam Ridho, yang menjadi pusat peziarahan. Berita penutupan itu
mungkin benar (saya belum konfirm ke teman di Mashhad; saya cek di Press
TV tidak ada), tapi masalahnya: diselipkan info yang jelas sesat:
“Makam Suci Imam Reza (AS) di situs kota suci Mashhad, Iran ditutup dari
aktivitas haji sampai waktu yang ditentukan.” [3]
Artikel yang sama ditayang ulang oleh
Tribun dengan judul lebih ngawur: “Setelah Mekkah, Kini Makam Suci Imam
Reza di Iran Ditutup dari Aktivitas Haji Syiah, Dampak Corona.” [4]
Entah, apa sengaja, atau bisa juga
wartawannya yang b*doh, sehingga saat copas terjemah dari media asing
pakai google translate, pilgrimage diartikan “haji”. Padahal pilgrimage
juga bermakna ziarah. Bahkan ziarah orang Kristen ke Jerusalem pun
disebut ‘pilgrimage’.
Tapi apapun kata dunia, di tengah berbagai
kekurangan dan kesempitan, bangsa Iran terus bergerak semaksimal
mungkin melawan virus ini.
Kemarin seorang teman saya di Teheran bercerita, ia tiba-tiba mendapat SMS dari pemerintah, disuruh mengkarantina diri di rumah.
Ternyata, sehari sebelumnya, ia ke pasar.
Sebelum masuk pasar, semua pengunjung diminta menunjukkan KTP dan
dicatat. Lalu, ketahuan pada jam yang sama dengan kunjungan kawan saya
ini, seorang pengunjung pasar terpapar virus Covid-19. Pemerintah
langsung bergerak. Kawan saya ini karena usianya sudah di atas 50 dan
ada di data base kesehatan pernah mengalami sejumlah penyakit,
diperintahkan untuk mengkarantina diri di rumah (dan ditelpon
sewaktu-waktu, untuk mengecek apakah ia benar-benar di rumah).
Kisah menarik lain (yang positif)
diceritakan oleh Jennifer Green, warga AS yang ‘terpaksa’ memperpanjang
masa tinggalnya di Iran gara-gara Covid-19. Ceritanya bisa dibaca di
sini [5].
—-
[1]Thomas Gangale, Raising Keynes: Stiglitz’s Discontent with the IMF, http://pweb.jps.net/~gangale/opsa/ir/Raising_Keynes.htm
[2]https://www.facebook.com/cerdasgeopolitik/videos/672734856599763/
[3]https://www.kompas.com/global/read/2020/03/15/205348770/kota-suci-islam-syiah-di-iran-ditutup-karena-wabah-virus-corona?page=all#page2
[5]https://liputanislam.com/tabayun/kehidupan-di-iran-selama-wabah-covid-19/
Sumber Berita : https://dinasulaeman.wordpress.com/2020/03/19/iran-dan-covid-19/
Jakarta Kota Fasis (Andre Vltchek)
Artikel yang sangat bagus ini sudah lama saya baca versi Inggris-nya.
Waktu itu saya sempat terpikir untuk menerjemahkan, atau setidaknya
menulis ulasan. Tapi akhirnya saya hanya mampu menaruh link-nya di FB
saya. Akhirnya, saya menemukan terjemahannya di Kaskus.
Kota Fasis yang Sempurna: Naik Kereta Api di Jakarta
Ditulis oleh Andre Vltchek
Diterjemahkan oleh Fitri Bintang Timur
Disunting oleh Rossie Indira
Diterjemahkan oleh Fitri Bintang Timur
Disunting oleh Rossie Indira
Kalau anda naik kereta api di Jakarta,
berhati-hatilah: pemandangan yang anda lihat di balik jendela mungkin
akan membuat resah anda yang bukan wartawan perang atau dokter. Terlihat
ratusan ribu orang merana tinggal di sepanjang jalur kereta. Rasanya
seperti seluruh sampah di Asia Tenggara ditumpahkan di sepanjang rel
kereta; mungkin sudah seperti neraka di atas bumi ini, bukan lagi
ancaman yang didengung-dengungkan oleh ajaran agama.
Memandang keluar dari jendela kereta yang
kotor, anda akan melihat segala macam penyakit yang diderita oleh
manusia. Ada luka-luka yang terbuka, wajah terbakar, hernia ganas, tumor
yang tak terobati dan anak-anak kurang gizi berperut buncit. Dan masih
banyak pula hal-hal buruk yang bisa anda lihat yang bahkan sulit untuk
digambarkan atau difoto.
Jakarta, ibu kota negara yang oleh media
Barat diberi predikat ‘demokratis’, ‘toleran’ dan ‘perekonomian terbesar
di Asia Tenggara’ sebenarnya adalah tempat dimana mayoritas penduduknya
tidak memiliki kendali atas masa depan mereka sendiri. Dari dekat makin
nyata bahwa kota ini punya indikator sosial yang levelnya lazim ditemui
di Sub-Sahara Afrika, bukan di Asia Timur. Selain itu, kota ini juga
semakin keras dan tidak toleran terhadap kaum minoritas (agama maupun
etnik), termasuk mereka yang menuntut keadilan sosial. Perlu
kedisiplinan yang luar biasa untuk tidak menyadari ini semua.
Slavoj Zizek, filsuf Slovenia, menulis dalam bukunya The Violence:
“Disini kita temui perbedaan Lacanian
antara kenyataan (reality) dan yang Nyata (the Real): ‘kenyataan’
(‘reality’) yang dimaksud disini adalah kenyataan sosial dari
orang-orang yang benar-benar terlibat dalam interaksi dan dalam proses
produksi, sementara yang Nyata (the Real) adalah sesuatu yang ‘abstrak’
yang tak dapat ditawar, logika menakutkan dari ibukota yang menentukan
apa yang terjadi dalam kenyataan sosial. Kita dapat melihat kesenjangan
ini secara jelas ketika kita pergi ke suatu negara yang kehidupan
masyarakatnya berantakan. Banyak kita lihat kerusakan lingkungan dan
penderitaan manusia. Namun, yang bisa kita baca hanyalah laporan dari
para ekonom bahwa kondisi ekonomi negara ini ‘baik secara finansial’ –
realitas tidak penting, yang penting adalah kondisi di ibukota…”
Kondisi di ibukota dan para elitnya
baik-baik saja, meskipun dibalik itu negara dalam kondisi morat-marit.
Tapi mari kita lihat lagi masalah kereta api kita.
Saya memutuskan untuk naik kereta api
ekspres dari Stasiun Manggarai ke Tangerang (tempat di mana beberapa
tahun lalu diterapkan hukum syariah yang walaupun tidak konstitutional
namun tetap berjalan dengan absolut impunitas), untuk satu alasan saja:
melihat apakah ada upaya nyata dalam ‘melawan/mengatasi’ apa yang
disebut keruntuhan total infrastruktur Jakarta, alias kemacetan total
(total gridlock) .
Seperti halnya berbagai masalah di Indonesia, kemacetan punya sejarah yang menarik:
Sejak tahun 1965 (tahun dimana terjadi
kudeta militer brutal yang didukung oleh Amerika Serikat yang membawa
Jendral Soeharto ke puncak kekuasaan dengan menghabisi nyawa 800,000
hingga 3 juta jiwa. Mereka yang terbunuh antara lain dari golongan kiri,
kaum intelektual, masyarakat minoritas Cina, serikat pekerja dan kaum
ateis atau sederhananya bisa saja mereka yang pada waktu itu memiliki
istri yang lebih cantik, tanah yang lebih luas atau sapi yang lebih
gemuk), pemerintah Indonesia bekerja keras untuk menjamin bahwa
kota-kota di Indonesia tidak memiliki transportasi publik, tidak
memiliki taman yang luas dan tempat pejalan kaki. Ruang publik secara
umum dianggap sangat berbahaya karena bisa saja disana masyarakat akan
berkumpul untuk mendiskusikan isu-isu ‘subversif’ seperti rencana
menggulingkan pemerintahan.
Taman-taman publik diambil alih oleh
kontraktor untuk dijadikan lapangan golf pribadi untuk kaum elit. Tempat
pejalan kaki juga dihilangkan karena tidak menguntungkan dan dianggap
‘terlalu sosial’. Pada akhirnya, transportasi publik menjadi milik
swasta dengan kualitas yang turun menjadi angkot dan metromini yang
mengeluarkan asap hitam dari knalpotnya dan bajaj India bekas yang
bahkan sudah tidak dipakai lagi selama beberapa dekade di negara
asalnya.
Itu terjadi di Jakarta. Kota-kota lain
dengan jumlah penduduk antara 1 hingga 2 juta jiwa seperti Palembang,
Surabaya, Medan dan Bandung tidak memiliki transportasi publik yang
berarti, selain angkot kecil, kotor berkarat dan bis yang kotor dan bau.
Tentu saja semua ini sudah direncanakan:
produsen mobil diberikan lisensi untuk memproduksi mobil model lama dari
Jepang dan menjualnya dengan harga gila-gilaan (mobil di Indonesia
dijual antara 50-120 persen lebih mahal daripada di Amerika Serikat),
kemudian memaksa penduduk Indonesia – yang termasuk paling miskin di
Asia Timur – untuk membeli mobil pribadi. Mobil yang pertama dibawa
masuk, lalu sepeda motor yang lebih berbahaya, fatal untuk lingkungan
hidup dan sama sekali tidak efisien. Di kota-kota besar di Cina dan
banyak kota Asia lainnya sepeda motor sudah dilarang masuk ke kota.
Pejabat pemerintah dan wakil rakyat di DPR
diam-diam secara konsisten mendapat suap dari industri mobil. Lobi
mobil ini menjadi sangat berpengaruh dan menghambat segala upaya untuk
memperbaiki angkutan kereta api maupun kapal laut antar pelabuhan di
Jawa, salah satu pulau yang paling padat di dunia.
Pada tanggal 14 Agustus 2011, koran Jakarta Post menulis:
Anggota Partai Demokrasi Indonesia
Pejuangan (PDIP) Nursyirwan Soedjono yang juga Wakil Komisi V DPR untuk
mengawasi bidang transportasi, telah lama mempertanyakan ketidakmauan
pemerintah untuk mengalokasikan lebih banyak dana untuk memperbaiki
jaringan rel kereta di negara ini. Mereka menyalahkan ketakberdayaan
mereka pada lobi politis ‘tingkat-tinggi’ yang diatur oleh industri
otomotif yang menerima keuntungan langsung dari pembangunan jalan di
negara ini.
“Tidak ada tuh cerita bahwa kami [Komisi
V] menolak rencana anggaran pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur
rel kereta api,” Nusyirwan mengatakan pada Jakarta Post. “Namun
tampaknya ada ‘kelompok berpengaruh’ yang selalu menolak segala upaya
untuk meningkatkan jasa transportasi umum, khususnya kereta api.”
Seperti di banyak masyarakat fasis yang
ekstrem ataupun masyarakat feodal, kaum ‘elit’ menikmati naik mobil
limosin sementara orang yang tidak punya patah kaki ketika mereka jatuh
ke got karena tidak ditutup, diperkosa di kendaraan umum dan menghirup
asap knalpot ketika naik angkot, atau otak mereka berhamburan di atas
trotoar karena naik motor di atas trotoir yang tidak rata setelah
frustasi naik motor di antara mobil dan truk yang agresif di jalanan.
Namun para pengambil keputusan di
pemerintahan menikmati adanya impunitas selama beberapa dekade ini dan
mereka telah mengambil hampir semua ruang publik di kota Jakarta. Dengan
impunitas pemerintah selain memang tidak kompeten dan malas, mereka
menjadi semakin tidak punya motivasi serta beritikad untuk menutup semua
solusi jangka panjang bagi kota Jakarta.
Kita lihat saja kenyataan bahwa panjang
rel kereta api di sini malah menyusut sejak masa penjajahan Belanda;
Jakarta dengan penduduk lebih dari 10 juta jiwa (bahkan lebih di hari
kerja) menjadi satu-satunya kota (dengan jumlah penduduk yang hampir
sama) di dunia yang tidak memiliki sistem angkutan massal.
Beberapa tahun lalu ada upaya membangun
dua jalur monorel walaupun bukan sistem angkutan massal yang paling
efektif untuk kota Jakarta. Jalan-jalan ditutup, debu dan kotoran
dimana-mana, penduduk diminta untuk bersabar dengan alasan bahwa
‘pembangunan ini untuk mereka’, namun kenyataannya tidak lah demikian,
karena ternyata tujuan utama sistem transportasi ini adalah untuk
mengeruk laba.
Proyek ini diberikan pada konsorsium
swasta dan akhirnya, sudah dapat diduga, uang publik disalahgunakan.
Pembangunan tiba-tiba berhenti, menyisakan pilar-pilar beton yang
memancang di tengah jalan. Tidak ada yang dibawa ke pengadilan dari
proyek yang membawa skandal ini, dan media amat disiplin untuk hanya
melaporkan pernyataan resmi pemerintah, seolah-olah walaupun uang sudah
lenyap tapi mereka yang bertanggungjawab tidak layak untuk diganggu
hidupnya oleh penyelidikan polisi.
Supaya kita tidak hanya melihat dari satu
sisi saja, memang ada pula upaya untuk menyelamatkan Jakarta, misalnya
mencoba transportasi air dengan perahu di kanal-kanal yang sebenarmya
sangat tercemar. Sayangnya sampah-sampah yang ada di kanal-kanal itu
merusak mesin perahu, ditambah dengan bau menyengat dari kanal yang
selalu dipenuhi sampah dan benda beracun sehingga ‘proyek’ ini gagal
total dalam beberapa minggu saja.
Banjir Kanal Timur seharusnya bisa membawa
perubahan berarti bila dilakukan dengan revolusi seluruh pendekatan
pekerjaan publik yang tujuannya agar pembangunan kota Jakarta sesuai
dengan standar Asia di abad ke-21. Selama beberapa dekade, Jakarta telah
mengalami banjir besar; pernah 2/3 kotanya terendam banjir. Hal ini
disebabkan kanal-kanal yang tersumbat, lahan hijau yang hilang dan
pembangunan yang membabi-buta. Akhirnya diambil keputusan untuk
membebaskan tanah dan membangun kanal bankir untuk menyalurkan air
berlebih ke laut. Pada saat perencanaan, dijanjikan akan dibangun
taman-taman publik atau paling tidak tempat pejalan kaki di pinggir
kanal. Juga dijanjikan adanya jalur khusus untuk pengendara sepeda,
tempat berolahraga, juga transportasi air, bahkan angkutan dengan tram
listrik.
Bagi mereka yang masih punya harapan untuk
Jakarta akhirnya dibenturkan pada kenyataan yang jauh dari apa yang
dijanjikan. Di tahun 2010 dan 2011, saat pembangunan kanal masih jauh
dari penyelesaian, kenyataan pahit mulai terlihat.
Kualitas konstruksi kanalnya sangatlah
buruk, bahkan sebelum pembangunan selesai, sampah telah menutup proyek
kanal tersebut. Kejutan berikutnya: pemerintah mengatakan bahwa mereka
memang tidak berencana untuk menyelenggarakan transportasi publik di
pinggir/atas kanal itu. Seperti biasa, mereka meyakinkan publik bahwa
tidak akan akan ada ruang publik disana. Di awal tahun 2012, lahan di
sepanjang kanal dijadikan jalan raya (walaupun menggunakan kata jalan
inspeksi) yang langsung digunakan oleh pengendara sepeda motor. Bahkan
sejak sebelum selesai dengan sempurna, namun secara resmi sudah
beroperasi, kanal banjir ini kelihatannya hanya akan menjadi tempat
pembuangan sampah dan menambah harapan tinggi para pelobi motor/mobil.
Bayangkan berapa kilo meter ruang kota
yang terbuang (meski secara resmi pemerintah menganggap proyek ini
sukses)! Tidak ada sedikitpun tempat bagi pejalan kaki dan tidak ada
satupun taman bermain untuk anak-anak.
Bagaimana para pejabat pemerintah bisa
menghindar dari tanggung jawabnya walaupun ada bukti nyata dari
perampasan hak rakyat disini? Di negara lain, hal ini bisa dianggap
sebagai ‘pengkhianatan’ kepada bangsa dan negara.
Hal ini bisa terjadi karena dalam
‘demokrasi Indonesia’ tidak ada akuntabilitas. Tidak ada akuntabilitas
sama sekali! Korupsi terjadi dimana-mana dan warga negara tidak memiliki
mekanisme untuk mengorganisir protes (obsesi dengan jaringan sosial
seperti Facebook pada umumnya hanya untuk status semata). Bahkan
pembunuhan orang yang berbeda kepercayaan dengan kader kelompok agama
garis keras tidak membuat masyarakat ‘berpendidikan dan kalangan
menengah’ turun ke jalan untuk berdemonstrasi.
Yang terasa adalah bahwa di seluruh
negara, termasuk di ibu kota, masyarakat telah putus asa sejak lama.
Orang-orang menjalani hidupnya dalam kota megapolitan tanpa perlu
menuntut, memprotes atau berkeluh-kesah.
Masalahnya, di Indonesia berkeluh-kesah,
menuntut atau berdemo jarang atau sama sekali tidak membawa hasil.
Surat-surat yang ditujukan kepada wakil rakyat di DPR tidak dijawab,
bahkan banyak yang tidak dibuka, sementara surat ke media massa dimuat
hanya jika isinya berada dalam batas-batas yang tidak tertulis namun
tersirat ‘Proyek’ tidak terbuka untuk didebat (karena melibatkan banyak
uang dan ada pembagian uang jarahan tersebut antara pemerintah dan
perusahaan swasta dengan aturan dan formula yang telah mereka sepakati
bersama) dan tidak diberikan jalan untuk masyarakat bisa intervensi
karena akan ada resiko merusak sistem yang ada. Rakyat hanya sesekali
diberi informasi tentang apa yang akan dibangun, kapan dan di mana. Jika
ada uang yang raib – hal yang amat sering terjadi – tidak ada
konsekuensi yang ditanggung pelaksananya. Jika rencana ‘berubah’ atau
jika jadwal tidak terpenuhi, tidak ada yang dipaksa bertanggungjawab.
Indonesia adalah contoh dimana diktator bisa dipilih melalui pemilihan umum yang dilangsungkan secara periodik (para pemilih dapat memilih dengan bebas antara satu kandidat korup dengan kepentingan bisnisnya dengan kandidat lain yang juga korup dengan kepentingan bisnis yang lain) dan memimpin dengan dikontrol dan disponsori oleh kepentingan Barat serta sama sekali tidak ada kekuasaan yang diberikan pada rakyat.
Jika ada penumpang yang jatuh karena
lantai kereta api yang berkarat dan meninggal atau mereka yang jatuh di
lubang galian proyek, jangankan dapat kompensasi, dapat permohonan
maafpun tidak.
Ketika diminta untuk membandingkan
Indonesia dengan Cina, Profesor Dadang M Maksoem, mantan pengajar di
University Putra Malaysia (UPM) yang sekarang bekerja untuk pemerintah
daerah Jawa Barat, memberikan jawaban dengan berapi-api: “Sederhana
saja: mereka [orang Cina] berkomitmen untuk melakukan yang terbaik untuk
negara mereka. Pendidikan disana tidak seperti di sini. Bagaimana sih
kok pemerintah tidak bisa memberikan transportasi publik yang layak?
Rakyat dipaksa untuk untuk membeli sepeda motor mereka sendiri untuk
mengangkut diri mereka sendiri dan mereka dipaksa untuk membahayakan
jiwa mereka di kondisi lalu-lintas yang parah. Sekarang kemacetan
lalu-lintas ada di mana-mana. Entah apa yang bisa saya katakan.
Orang-orang disini itu bodoh, idiot, mati otak, atau rakus Sih? Pilih
saja jawabannya!”
Tapi jawaban seperti ini bukan yang
ditampilkan di media populer di Barat. Secara resmi Barat memuja
Indonesia. Bagaimana tidak: penguasa dan elit Indonesia yang taat pada
mereka berani mengorbankan rakyat, pulau-pulau, bahkan ibukota mereka
sendiri untuk kepentingan dan keuntungan perusahaan-perusahaan
multi-nasional dan penguasa dunia. Perusahaan asing dan pemerintah mana
yang tidak menghargai kemurahan hati penguasa dan elit Indonesia ini?
Pada masa pemerintah dan swasta
merencanakan proyek pembangunan monorel (atau setidaknya ini yang mereka
katakan pada masyarakat), kota ini mulai membangun apa yang disebut
‘busway’ atau jalur khusus bus, yaitu proyek yang awalnya adalah
kesalahan dalam memahami konsep transportasi publik di kota Bogota yang
terletak nun jauh di Kolombia, Amerika Selatan.
Alih-alih membangun sistem transportasi
kereta api massal yang bisa mengangkut jutaan penumpang setiap harinya,
Jakarta ‘membangun’ jalur busway yang mengambil dua jalur dari jalur
yang sudah ada di jalan-jalan utamanya, kemudian mengoperasikan
kendaraan bus sempit dimana para penumpang duduk menyandar dinding
sambil menghadap satu sama lain. Setiap bus hanya punya satu pintu untuk
penumpang naik dan turun. Halte dan jalan masuk ke halte dibuat dari
logam yang mudah berkarat dan sekarang pelat lantainya sudah banyak yang
lepas dan meninggalkan lubang di jalan masuk itu. Hampir semua pintu
otomatis di halte sudah tidak beroperasi dengan baik dan akhirnya ada
orang yang terdorong ke jalan hingga meninggal atau luka parah.
Seperti moda transportasi lain di Jakarta,
sistem ini tidak dirancang untuk meningkatkan hajat hidup orang banyak,
dalam hal ini untuk mengurangi kemacetan dan mengangkut berjuta orang
secara aman dan nyaman. Busway dirancang sebagai proyek untuk memperkaya
perusahaan yang memiliki saham dan para pejabat yang korup.
Sistem busway tidaklah efisien, tidak
memperhatikan keindahan dan tidak mempersatukan kota – malahan lebih
memecah-belahnya. Hampir tidak ada tempat pejalan kaki di dekat halte
busway. Penumpang yang sampai di halte busway harus beresiko kehilangan
nyawanya untuk menyeberang jalan untuk sampai ke tempat tujuan atau naik
angkutan umum lain.
Bahkan ketika halte busway dibangun di
dekat stasiun kereta, perencana kota menjamin bahwa tidak ada jalan
langsung ke sana. Selama beberapa dekade, para penguasa Jakarta telah
memastikan tidak adanya interkoneksi antara moda transportasi, termasuk
dengan stasiun kereta peninggalan jaman Belanda. Kota ini hampir tidak
memiliki tempat pejalan kaki, hampir tidak ada tempat penyeberangan di
bawah tanah (hanya ada satu di seluruh kota yaitu dekat stasiun Kota
yang pembangunannya membutuhkan waktu beberapa tahun) yang menghubungkan
stasiun dengan jalan raya. Dan kenyataannya Jakarta tidaklah memiliki
banyak jalan raya – kebanyakan dari jalan raya ini hanyalah replika
buruk dari jalanan di pinggiran kota Houston: dengan jalan tol (layang
atau bukan), tidak ada tempat pejalan kaki dan fasilitas-fasilitas yang
dipisahkan oleh pagar-pagar, tidak langsung bisa diakses dari jalanan.
Kebodohan dalam perencanaan kota ini hanya
bisa disamai oleh ketidakcerdasan pembangunan negara secara keseluruhan
– Jakarta adalah sebuah contoh dunia kecilnya. Contohnya, untuk
putar-balik di jalanan saja, seseorang harus berkendara satu kilometer
atau lebih dan hal ini tentunya menambah kemacetan, konsumsi bahan-bakar
dan polusi. Kota ini dirancang sedemikian rupa sehingga orang harus
naik mobil hanya untuk menyebrang jalan karena memang hampir tidak ada
tempat pejalan kaki dan sarana penyebrangan yang memadai. Sarana
transportasi di kota ini berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada
interkoneksi. Rakyat dipaksa untuk mengemudikan mobil atau skuter murah
yang semakin populer belakangan ini (warga lokal menyebutnya motor)
untuk kemudian membusuk di tengah kemacetan yang legendaris. Hal ini
bisa terjadi karena pelobi mobil mampu menyuap pemerintah dan hasilnya
adalah ketidakmauan pemerintah untuk membangun jaringan transportasi
publik yang efisien.
Sangat jelas terlihat bahwa ada banyak
kepentingan ekonomi yang terlibat. Untuk dapat menganalisa Indonesia,
penting untuk diingat bahwa pertimbangan dan prinsip moral yang ‘normal’
sudah menghilang dari kamus para penguasa.
Sekelompok kecil pengusaha dan politisi
telah menjarah sebagian besar sumber daya alam negara ini; mereka
menghancurkan banyak hutan tropis dan mengubah negara kepulauan ini
menjadi bencana bagi lingkungan hidup. Mayoritas penduduk Indonesia
tidak pernah mencicipi keuntungan dari kerusakan yang terjadi di negara
mereka.
Penduduk Jakarta tak terkecuali. Kota ini
dibangun ‘bukan untuk rakyat’, sebagaimana dikatakan oleh seniman
Australia George Burchett pada saat mengunjungi kota ini lebih dari dua
tahun lalu. Penduduk yang tidak mendapatkan informasi yang benar menjadi
apatis setelah melewati kampanye cuci-otak pro-bisnis selama beberapa
dekade. Setelah tidak ada lagi pemikiran kritis di kota ini, hasilnya
adalah tidak ada bioskop yang khusus memutar film-film seni, tidak ada
teater permanen, tidak ada media yang berorientasi sosial ataupun galeri
yang memamerkan tragedi Indonesia melalui seni, sampai sekarang ini.
Yang terjadi malah milyaran sampah sosial berterbangan dari satu unit
Blackberry ke unit lainnya ketika kaum elit saling mengobrol dan
mendengarkan musik pop jaman dulu atau memuaskan diri dengan makanan
Barat dan Jepang murahan. Memang tidak banyak hal lain yang dapat
dilakukan di kota ini. Di satu sisi kota ini hampir hancur karena sudah
diselimuti asap beracun dan punya banyak sekali kawasan kumuh yang ada
di antara berbagai mall raksasa dan perkantoran. Tidak ada lagi air
bersih di kanal-kanalnya yang dulu mengalir deras – yang tinggal hanya
racun.
Yang paling menakutkan di kota ini adalah
sepertinya tidak ada tempat lagi bagi manusia. Manusia menjadi tidak
relevan. Anak-anak juga jadi tidak relevan: tidak ada tempat bermain dan
taman untuk mereka. Kalau kita bandingkan dengan kota Port Moresby yang
miskin, ibu kota Papua Nugini ini memberikan fasilitas yang jauh lebih
baik kepada warganya.
“Persetan dengan bantuanmu!” teriak
Presiden Sukarno kepada duta besar Amerika Serikat di depan publik lebih
dari setengah abad yang lalu. Pembalasan yang kejam segera datang.
Setelah kudeta yang disponsori oleh AS and rejim fasis berkuasa hingga
hari ini, Jakarta telah berubah menjadi tempat dengan motto “Persetan
dengan rakyat!”
“Saat saya pulang ke Jakarta, saya tidak
ingin keluar rumah”, kata Nabila Wibowo, seorang putri diplomat
Indonesia. Dia memutuskan untuk tinggal di Portugal setelah masa tugas
ibunya berakhir. “Tidak ada budaya di sini, tidak ada konser, tidak ada
musik yang asik.Bahkan saya tidak bisa berjalan kaki atau pergi dengan
aman dan nyaman di dalam kota. Tidak ada tempat pejalan kaki. Akhirnya,
saya hanya pulang sebentar saja, mengunci diri di dalam kamar dan
membaca buku.”
Sekarang ‘katanya’ kota ini akan membangun
MRT, kereta bawah tanah yang diharapkan memiliki dua trayek saat
selesai dibangun. Proyek ini sudah tertunda selama beberapa dekade,
namun kalaupun akhirnya berjalan, banyak analis termasuk beberapa
professor dari ITB (Institut Teknologi Bandung) yang takut untuk
membayangkan hasilnya, mengingat track record aparat pemerintah kota dan
kualitas proyek lainnya di negara ini.
Kelihatannya dapat dipastikan bahwa uang
yang dialokasikan untuk proyek ini akan disalahgunakan lagi. Di
Indonesia, hampir pasti tidak ada mekanisme untuk menjamin transparansi
dan pengawasan yang tak berpihak. Tentunya hal ini sangatlah kontras
jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di negara lain seperti India
di mana kereta bawah tanah New Delhi dibangun sesuai rencana dan
menghabiskan uang dibawah anggaran.
Tampaknya banyak orang di Indonesia yang berbakat dalam penyalahgunaan uang publik. Dalam hal ini, Indonesia nomor satu.
Dan rakyat juga tidak serius menuntut
untuk menghentikan kegilaan ini. Hingga kini rakyat sudah terbiasa hidup
susah, mati dini karena polusi, tinggal di perkampungan kumuh tanpa air
bersih dan sanitasi dasar, atau duduk berjam-jam di kemacetan.
Mayoritas penduduk Jakarta belum pernah ke luar negeri dan oleh
karenanya mereka tidak tahu bahwa ‘ada alternatif dunia lain’, bahwa
sebenarnya ada kota-kota yang dibangun untuk rakyat. Kaum elit yang suka
pergi ke luar negeri tahu benar tentang hal ini, namun mereka memilih
untuk tidak mengatakannya.
Kita selalu lihat ada lingkaran setan:
proyek baru diumumkan, kemudian diluncurkan, dan akhirnya berantakan
setelah banyak dompet oknum-oknum terisi padat. Rakyat tidak diberi
apapun tapi mereka pun tidak menuntut apa-apa. Tapi bukannya memang dari
dulu sudah seperti ini? Mungkin berbeda sedikit disana dan sedikit
disini dari jaman penjajahan Belanda dulu. Meskipun demikian, sebelum
meninggal penulis besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer mengatakan pada
saya bahwa “situasi waktu dulu tidak pernah seburuk sekarang”.
Mereka yang tahu atau seharusnya tahu apa
yang ada di balik layar adalah mereka yang terlibat atau tidak mau
berhadapan dengan kenyataan.
Pada bulan Februari 2012 saya bertanya
pada Ibu Ririn Soedarsono, profesor di perguruan tinggi terkenal ITB,
apakah proyek MRT memiliki kemungkinan untuk selesai.
“Kami akan mulai membangun MRT tahun ini,”
ujarnya. “Pada akhir tahun 2013, tahap pertama akan selesai. Secara
teknis harusnya tidak ada masalah. Namun saya tidak tahu bagaimana iklim
politik pada saat itu…”
2013? Bahkan di negara-negara yang
teknologinya berkembang seperti Jepang, Cina atau Chile, satu jalur
kereta bawah tanah dapat memakan waktu 4 hingga 10 tahun pembangunan,
tergantung pada situasi daerahnya. Tapi mungkin saja saya salah tangkap
mengenai definisi ‘tahap pertama’.
Sebetulnya angkutan kereta api di Jakarta masih lebih baik daripada di Nairobi. Banyak gerbong kereta yang memiliki alat pendingin karena walaupun bekas tapi diimpor dari Jepang. Namun kelihatannya kereta-kereta ini cenderung menua secara cepat karena kurangnya perawatan: satu tahun saja di Jakarta dan kereta berusia 30 tahun asal Jepang yang datang dalam kondisi sempurna akan berakhir dengan pintu rusak, kursi tersayat dan sistem pendingin udara yang tersumbat kotoran.
“Kami naik kereta dua kali seminggu,”
jelas Ibu Enny dan Ibu Susie dari Bogor. “Kami jarang naik di hari
kerja, terutama di jam-jam padat. Hampir tidak ada tempat untuk berdiri.
Buat kami perempuan, sebetulnya naik kereta pas jam padat amatlah
menakutkan, apalagi ketika para penumpang berebut memasuki gerbong.”
Namun demikian, keunggulan sistem kereta
api di Jakarta (yang disebut-sebut sebagai ‘keajaiban kapitalis dan
demokrasi’) dari Nairobi (sebagai ibu kota dari salah satu negara paling
miskin di dunia) mungkin tidak akan bertahan lama. Di awal tahun 2013
Nairobi sudah bersiap untuk memperbaharui jaringan rel kereta api
lamanya dan menambah jalur modern yang pertama, diikuti dengan yang
kedua di tahun 2014. Stasiun-stasiun keretanya akan memiliki tempat
parkir, toko-toko dan fasilitas modern, serta akan menghubungkan area
yang ditempati oleh kelas menengah dan bawah.
Perusahaan-perusahaan konstruksi dari Cina
membangun jalan raya, jalan layang dan proyek infrastruktur lainnya di
Afrika Timur. Mereka juga membangun tempat pejalan kaki, rel kereta api
dan dalam dua tahun mereka berencana untuk membangun jalan kereta api ke
Bandara Internasional Jomo Kenyatta di Nairobi. Bandara Sukarno Hatta
di pinggiran Jakarta yang dulu megah sudah menunggu selama beberapa
dekade untuk dihubungkan dengan jalan kereta api ke Jakarta, namun
sejauh ini baru mendapatkan tambahan jalur jalan tol saja.
Beberapa pertanyaan logis dari yang
dipaparkan diatas adalah: Mengapa Indonesia bisa jauh tertinggal dari
kota-kota seperti Kairo, Nairobi, Johannesburg dan Lagos ataukah ada hal
lain yang terjadi? Mungkinkah kaum elit Indonesia mengorbankan puluhan
bahkan ratusan juta orang hanya untuk keuntungan mereka sendiri? Mereka
sudah pernah melakukan itu sebelumnya, apakah mungkin mereka
melakukannya lagi?
Sekarang ini apa yang banyak kita lihat di
sepanjang rel kereta api adalah anak-anak kecil dan balita yang
setengah telanjang bermain dengan sampah dan gorong-gorong terbuka. Di
sini sampah dibakar di ruang terbuka karena Jakarta tidak memiliki
sistem pembuangan sampah komprehensif. Pengumpulan dan pengurusan sampah
adalah hak publik, oleh karenanya tidak menciptakan laba dan tidak
menyenangkan pejabat. Hanya segelintir penduduk Jakarta memiliki akses
atas air yang benar-benar bersih, dan hanya 30 persen yang dapat
sanitasi dasar.
Hidup di sepanjang jalan kereta api ini
sudah seperti hidup di neraka, dengan gerbong-gerbong yang terus menerus
lewat dari satu stasiun ke stasiun lainnya.
Membaca apa yang ditulis mass media
Indonesia yang ahli dalam seni mengelabui akan membuat anda bahwa
Jakarta sudah punya sistem perkereta-apian dan hanya perlu sedikit
penyempurnaan. Bahkan Anda dapat menemukan semacam peta dari ’sistem’
transportasi itu di internet. Tapi cobalah datang ke stasiun, coba naik
keretanya, dan coba interkoneksinya, maka anda akan berpikir ulang
apakah sebenarnya sistem ini ada dan mencukupi sebagai salah satu
pilihan angkutan massal.
Beberapa masalah yang saya temui antara
lain: Tidak ada jadual dan informasi yang disediakan dan mudah
dimengerti penumpang; Petugas yang kurang tanggap, lamban dan tidak
efisien dalam penjualan tiket secara manual. Tidak mudah untuk dapat
sampai ke peron yang dituju. Padahal orang-orang yang menggunakan kereta
api adalah mereka dari kelas menengah Indonesia.
Harus dicatat, ini adalah kelas menengah
yang didefinisikan secara lokal, menggunakan angka-angka dari Bank Dunia
dan pemerintah Indonesia: menurut mereka, kelas menengah adalah mereka
yang hidup lebih dari US$2 (atau sekitar Rp. 18.000) per hari. Menurut
mereka ini berlaku bahkan di kota yang merupakan salah satu kota paling
mahal di Asia Timur.
Menurut batasan di atas, mayoritas
penduduk kota Jakarta berasal dari ’kelas menengah’. Namun kalau kita
lihat kenyataannya, sebagian besar dari mereka hidup di lokasi yang di
belahan dunia lain disebut sebagai ’kawasan kumuh’. Kawasan dimana
mereka tidak memiliki akses terhadap air bersih dan hidup dalam kondisi
kebersihan yang tak layak.
Banyak orang dari ’kelas menengah’ ini
naik ke atap kereta karena mereka tidak mampu membayar harga tiket;
beberapa orang tersengat listrik setiap tahunnya, beberapa lainnya
meninggal karena terjatuh. Untuk mencegah mereka naik ke atas,
pemerintah yang baik hati mulai membangun bola-bola beton yang digantung
di atas jalur kereta api untuk menghancurkan kepala mereka yang naik di
atas atap kereta api, kadang-kadang petugas merazia mereka dengan
menyemprot mereka dengan cat, bahkan dengan kotoran manusia. Beberapa
stasiun, termasuk Manggarai, menempelkan kawat berduri di atap rel
sehingga orang-orang yang mencoba melompat ke atap akan tersayat.
Herry Suheri – penjual rokok di Stasiun
Manggarai masih berpikir bahwa orang-orang tidak akan takut dengan upaya
pencegahan yang drastis tersebut: ”Masih ada saja orang yang naik ke
atap kereta ekonomi, apalagi saat jam-jam padat. Bukan hanya untuk
tumpangan gratis, tapi karena jumlah kereta yang ada tidak mencukupi
untuk penumpang yang harus sampai ke rumah atau ke tempat kerja.”
Sistem kereta api, ’dareah penghijauan’,
’rencana perbaikan kota’ – semua palsu, hanya ada di angan-angan.
Kenyataan yang ada amatlah brutal namun jelas: Jakarta tidak bisa
dikategorikan dalam definisi kota apapun. Kota ini adalah sebuah
laboratorium, sebuah eksperimen fundamentalisme pasar. Binatang
percobaannya adalah masyarakat. Mereka sedang dipelajari: seberapa besar
ketidaknyamanan yang dapat mereka tahan, seberapa banyak lingkungan tak
sehat yang masih bisa mereka hadapi, dan seberapa banyak pemandangan
buruk dikota ini yang akhirnya dapat membuat mereka melarikan diri?
Saat ini, lebih baik buat kita untuk tidak
menggantungkan harapan pada kota Jakarta. ’Kota besar yang paling tidak
layak untuk ditinggali di Asia-Pasifik’ ini tidak akan jadi lebih baik
dalam waktu dekat ini, juga mungkin tidak dalam jangka waktu yang lama.
Tidak akan ada perubahan di bawah pemerintahan sekarang ini. Tidak di
bawah rejim ini.
Di Amerika Latin, kelompok sayap kanan
dulu meneriakkan: ”Jakarta akan datang!” untuk menakut-nakuti
pemerintahan sayap-kiri di Chile dan di berbagai tempat lain di dunia.
Namun Jakarta sekarang ada di sini, dalam kondisi prima sebagai monumen
keberhasilan kapitalisme yang tidak terkontrol; sebuah monster, sebuah
peringatan, dan contoh kasus bagi mereka yang ingin tahu seberapa besar
keserakahan dan keegoisan kaum elit.
———–
Andre Vltchek adalah
seorang penulis novel, analis politik, pembuat film dan jurnalis
investigatif. Dia hidup dan bekerja di Asia Timur dan Afrika. Buku
non-fiksi terakhirnya ”Oceania” menggambarkan neo-kolonialisme Barat di
Polinesia, Melanesia dan Mikronesia. Penerbit Pluto di Inggris akan
menerbitkan buku kritiknya atas Indonesia (”Archipelago of Fear”) di
bulan Agustus 2012. Dia dapat dihubungi lewat situs internetnya di http://andrevltchek.weebly.com/
Fitri Bintang Timur
adalah peneliti, penulis dan penikmat tulisan bagus. Dia menyepi dari
Jakarta selama sepuluh bulan setelah lima tahun lebih naik kereta api di
kota itu. Ia akan kembali suatu hari nanti.
Rossie Indira adalah
penulis dan konsultan. Buku terakhirnya ’Surat Dari Bude Ocie’
diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Buku tentang perjalanannya ke 10
negara ASEAN akan selesai tahun ini. Dia dapat dihubungi lewat situs
internetnya di http://rossie-indira.weebly.com/
Menyingkap Misi Terselubung NAMRU-2 AS Dari Sudut Pandang Siti Fadilah Supari
“Lambang hegemoni AS yang paling nyata di Indonesia adalah NAMRU. NAMRU adalah masalah kedaulatan. NAMRU adalah pangkalan militer yang bergerak di bidang kesehatan. NAMRU bagian grand strategy pertahanan AS.” (Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI 2004-2009)Terbongkarnya Naval Medical Research Unit 2 (NAMRU-2 AS) sebagai laboratorium bertujuan ganda merupakan jasa dari Siti Fadila Supari sebagai Menteri Kesehatan pada periode pertama Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Adalah Siti Fadilah yang berhasil memaksa WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, Lembaga penelitian senjata biologi Pentagon (Kementerian Pertahanan AS).
Pada 16 Oktober 2009 nampaknya hari sial bagi Pemerintah Amerika Serikat, khususnya Kedutaan Besarnya yang ada di Jakarta. Sebab pada hari itu Siti Fadila yang sudah dapat informasi A-1 bahwa dirinya tidak akan dipilih kembali jadi Menteri Kesehatan, mengirim surat pemberhentian kerjasama Indonesia-AS terkait Kementerian Kesehatan-NAMRU, kepada Duta Besar AS, Cameron Hume.
NAMRU dicurigai sebagai bagian dari upaya AS untuk memata-matai Indonesia dengan kedok sebagai Lembaga Riset. Sehingga pada masa kepemimpinannya di Kementerian Kesehatan, Siti Fadilah melarang rumah sakit di Indonesia mengirimkan sampel virus flu burung H5N1 ke Lembaga milik Angkatan Laut yang kita kenal sebagai NAMRU-2 AS. Sebab berdasarkan penelitian Siti Fadilah, virus flu burung asal Indonesia yang dibawa ke luar Indonesia itu dimaksudkan untuk dibuat vaksin anti flu burung. Dengan dalih riset, sampel virus dari negara-negara yang terkena epidemic flu burung dibuat vaksin.
Selanjutnya, tanpa ijin dan kompensasi, vaksin dijual dengan harga mahal. Negara epidemic dipaksa WHO menyerahkan sample virus ke Global Influenza Surveillance Network (GISN).
Salah satu poin penting Siti Fadilah yang terangkum dalam buku memoarnya bertajuk Saatnya Dunia Berubah), Pemerintah AS dan WHO telah berkonspirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus flu burung.
Fakta yang berhasil diperoleh Siti Fadilah, data sequencing DNA H5N1 yang dikuasai WHO Collaborating Center (WHO CC) disimpan di Los, Alamos National Laboratory di New Mexico, AS. Laboratorium Los Alamos yang berada di bawah Kementerian Energi AS ini, diketahui telah melakukan riset mengenai senjata biologi dan bahkan, bom atom.
Menurut informasi yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute pada Desember 2009, pemerintah AS sempat mendesak pemerintah Indonesia agar buku memoar Siti Fadilah tersebut ditarik dari peredaran. Sebagai imbalannya, AS akan memberikan suku cadang militer yang sebelumnya diembargo pemerintahan AS semasa Presiden Bill Clinton, menyusul penembakan TNI di Santa Cruz, Timor-Timur.
Pertanyaannya kemudian, apakah dengan dihentikannya kerjasama Indonesia-NAMRU-2 pada Oktober 2009 lalu, NAMRU-2 AS atau yang sejenis dengan itu, tidak akan beroperasi lagi di Indonesia?
Nah inilah yang masih tanda tanya besar. Bahkan Siti Fadilah Supari pun masih menaruh kekhawatiran besar akan hal ini. Apalagi pada kenyataannya, yang mengganti Siti Fadilah sebagai Menteri kesehatan adalah Endang Rahayu Sedyaningsih. Sebab semasa Siti Fadilah menyelidiki keterlibatan NAMRU-2 sebagai virus transfer, terungkap bahwa Endang memiliki hubunga khusus dengan NAMRU-2 milik Angkatan Laut AS itu.
Kalau kita membuka kembali tumpukan berita-berita lama kala itu, terpilihnya Endang sebagai menteri kesehatan baru, memang cukup mengejutkan. Sebab sebelumnya sudah santer bahwa yang akan menggantikan Siti Fadilah, adalah Nila Anfasa Moeloek. Sehingga Siti Fadilah merasa khawatir bahwa Endang akan membawa agenda terselubung asing utamanya AS, seraya menghapus program-program Siti Fadilah semasa menjabat menteri kesehatan. Tentunya antara lain terkait keberadaan NAMRU-2 di Indonesia.
Dalam sebuah wawancara Bersama Majalah Intelijen terbitan Desember 2009, Siti Fadilah berkata: “Saya tegaskan bahwa yang menggantikan saya itu neolib. Mengapa Endang yang dipilih, padahal pejabat eselon 2 Kementerian Kesehatan cukup banyak. Itu menjadi indikasi bahwa kabinet Indonesia Bersatu II pro neolib. Indonesia masih di bawah kekuasaan AS.”
Secara khusus terkait NAMRU-2 AS, Siti Fadilah berkata: “Lambang hegemoni AS yang paling nyata di Indonesia adalah NAMRU. NAMRU adalah masalah kedaulatan. NAMRU adalah pangkalan militer yang bergerak di bidang kesehatan. NAMRU bagian grand strategy pertahanan AS.”
Membaca misi terselubung NAMRU-2 AS dari sudut pandang Siti Fadilah Supari, nampaknya kita masih cukup beralasan untuk mewaspadai potensi beroperasinya kembali NAMRU-2 AS sebagai laboratorium yang bertujuan ganda. Atau dengan meminjam istilah Siti Fadilah, merupakan pangkalan militer AS yang bergerak di bidang kesehatan.
Maka itu, skema maupun modus operandi ala NAMRU-2 AS harus terus-menerus dalam pantauan berbagai pemangku kepentingan kebijakan luar negeri di Indonesia. Seperti Kementerian Politik dan Keamanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, Lembaga Ketahanan Nasional, maupun Badan Intelijen Negara (BIN) maupun Badan Intelijen Strategis (BAIS).
Hendrajit, pengkaji geopolitik Global Future Institute (GFI)
Sumber Berita : http://theglobal-review.com/menyingkap-misi-terselubung-namru-2-dari-sudut-pandang-siti-fadilah-supari/
LAPORAN UTAMA
Siti Fadilah Supari: Kalau Tidak Terhina, Kebangetan
Laboratorium NAMRU dinilai Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari tidak membawa manfaat banyak bagi Indonesia. Ia menyoal keberadaan personel Angkatan Laut Amerika di laboratorium NAMRU yang mendapat status diplomat. Siti Fadilah tak takut akan tekanan.
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari tak lelah mengusik Amerika Serikat. Melalui buku berjudul Saatnya Dunia Berubah!, dia menyoal mekanisme penanganan strain virus flu burung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Amerika Serikat. Wanita kelahiran Solo, Jawa Tengah, 59 tahun lalu itu secara gamblang mengungkap kepedihan hatinya atas ketidakadilan negara kaya dan WHO dalam kasus flu burung.
Peraih doktor bidang penyakit jantung dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu yakin dengan apa yang dia sampaikan, meski hal itu mengundang kontroversi. Kini Siti Fadilah kembali mempersoalkan keberadaan Naval American Medical Research Unit 2 (NAMRU-2). Menurut dia, NAMRU dengan personel militernya membuat kita sebagai bangsa yang berdaulat jadi tidak nyaman. ''Sebagai negara berdaulat, kita seperti di bawah naungan negara lain,'' kata Siti Fadilah kepada Syamsul Hidayat dari Gatra dan dua wartawan televisi swasta ketika mewawancarai dia di kantornya, Kamis pekan lalu. Petikannya:
Kenapa masalah ini baru heboh sekarang?
Siapa bilang baru heboh sekarang. Saya sudah dari dulu mempermasalahkan. Media saja yang baru heboh memberitakannya sekarang.
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta merilis statemen bahwa dugaan adanya intel di NAMRU itu tidak benar. Tanggapan Anda?
Pertama, yang menduga itu siapa? Kedua, wong intelijen, kok ditanyakan. Itu hal yang sangat tidak bisa ditanyakan. Misalnya, ada orang selingkuh, kok ditanya apakah ia selingkuh atau tidak. Hal tersebut tidak bisa ditanyakan atau dijawab.
Jadi, Anda menduga ada inteiljen di sana?
Saya tidak akan menjawab pertanyaan semacam itu, karena itu merupakan hak seseorang untuk menduga atau tidak menduga.
Nota kesepahaman (MoU) soal NAMRU dilanjutkan. Apakah dengan kecurigaan itu, perlu peninjauan ulang atas MoU tersebut?
MoU itu dibuat pada pertengahan 2007. Sejak enam bulan lalu sampai sekarang masih di Amerika. Dalam MoU itu disampaikan beberapa hal. Pertama, pengiriman virus harus disertai material transfer agreements (MTA). Kedua, virus tidak boleh dijadikan senjata biologi.
Ketiga, para peneliti NAMRU-2 yang berkewarganegaraan Amerika Serikat tidak boleh diberi status kekebalan diplomatik. Dan keempat, riset harus benar dan transparan serta berguna bagi kemanusiaan. Semuanya ada enam poin yang disampaikan Indonesia. MoU itu sampai sekarang belum dikembalikan.
Kenapa begitu lama?
Ya, nggak tahu. Kita tunggu saja dulu apakah mereka setuju atau tidak atas apa yang kita sampaikan. Kalau tidak, ya, sudah. Kalau setuju, mungkin akan dilanjutkan. Kecuali kalau ada hal-hal yang lain, keberatan lain. Kalau bagus untuk mereka, pasti dikembalikan. Kok, enam bulan belum dikembalikan. Mungkin itu terkait dengan empat hal dalam MoU tersebut.
Anda sudah meninjau NAMRU. Apakah peralatan mereka sangat canggih?
Biasa saja, seperti lab-lab kita. Kalau untuk tahun 1970-an, itu masih canggih. Untuk sekarang, kita punya peralatan lebih canggih. Contohnya, di Eijkman bahkan lebih canggih.
Bagi Indonesia, apakah adanya NAMRU itu menguntungkan atau tidak?
Dari sisi kesehatan, mungkin pada 1970-an ada manfaatnya. Namun, akhir-akhir ini, sejak tahun 2000-an, tidak ada sama sekali. Buktinya, penyakit-penyakit itu masih ada. Sumbangan NAMRU terhadap pemberantasan penyakit sampai sekarang tidak ada. Padahal, katanya, mereka meneliti malaria, TBC, influenza leptoness. Sampai sekarang, mana produk NAMRU yang bisa kita rasakan.
NAMRU malah mendirikan laboratorium di Papua. Lho, kenapa di Papua, kok tidak di Solo atau Padang. Alasannya, mungkin di sana banyak malaria. Tapi, apa produknya dari tahun 1986 sampai sekarang?
Kan, ada peneliti-peneliti kita yang turut dalam penelitian mereka?
Anak buah saya banyak, kok, yang terlibat dalam penelitian-penelitian mereka. Namun penelitian itu tidak bisa mengatakan sesuatu. Penelitian kecil-kecil dan tersebar. Yang memegang secara keseluruhan, ya, mereka.
Apakah perlu diperbanyak peneliti kita dalam penelitian mereka untuk melihat apa yang mereka lakukan?
Saya tidak ngurus hal yang teknis.
Kalau tak ada manfaatnya, mengapa Anda tidak mengusulkan untuk tak memperpanjang perjanjian itu?
Diperpanjang atau tidak, itu bukan keputusan Menteri Kesehatan, melainkan keputusan bersama interdep, yaitu Menkes, Menlu, Menhan, dan BIN. Kemudian dengan persetujuan presiden.
Anda mengatakan tidak bermanfaat. Apa tindakan selanjutnya?
Saya tidak menyatakan tidak bermanfaat. Tapi saya, kok, belum bisa menyatakan kemanfaatannya pada saat ini. Mungkin tahun 1970-an, kemanfaatannya pada pes. Itu jelas. Pada prinsipnya, Departemen Kesehatan akan berjalan bersama-sama dengan Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri menentukan apakah ini akan dilakukan atau tidak.
Menteri Pertahanan pernah menyatakan bahwa aktivitas NAMRU perlu diawasi. Anda setuju dengan statemen itu?
Bagaimana saya mau mengawasi, pada waktu itu tidak ada klausul mengawasi. Tapi, pada prakteknya, staf-staf saya tidak bisa mengikuti peneliti-peneliti NAMRU ketika mereka pergi ke Papua atau NTT.
Mereka melarangnya?
Staf kita memang diajak, tapi disuruh membayar sendiri. Depkes tidak punya bujet untuk itu. Akhirnya staf Depkes ditinggal. Itu cerita anak buah saya kenapa dalam penelitian NAMRU tidak ada yang mendampingi. Kalaupun didampingi, seberapa efektif kita bisa mengawasinya?
Langkah apa yang dilakukan Departemen Kesehatan?
Ada sih, tapi saya tidak bisa menceritakan langkah-langkah tersebut. Saya kira, semua perjanjian dengan luar negeri itu ada undang-undangnya. Perjanjian atau kerja sama dengan luar negeri itu harus dilihat dari beberapa segi. Pertama, sisi politik, perjanjian itu baik atau tidak, sesuai atau tidak. Kedua, dari segi teknis, hukum. Dan yang terpenting, keuntungan bagi rakyat banyak. Setiap perjanjian harus dilihat dari sisi keuntungan bagi rakyat.
Jadi, apa sebenarnya persoalan mendasar tentang NAMRU ini?
Sebagai negara berdaulat, kita tentu tak nyaman karena di dalamnya ada suatu organ militer asing. Lha, yang nggak enak bagi saya, itu kok yang dipakai Departemen Kesehatan.
Andaikan bermanfaat, mereka bisa membuatkan vaksin dan lain-lain. Apakah kita rela negara kita yang berdaulat di dalamnya ada tentara asing. Kenapa sih penelitinya tentara? Artinya, kita dalam naungan negara lain. Jadi, sebenarnya bukan soal penelitian itu sendiri.
Penelitiannya sendiri sebetulnya no problem. Mau tidak transparan kek, mau apa kek, yang menjadi keberatan saya bukan soal penelitiannya, melainkan keberadaan mereka yang pakai senjata. Pakai topi Angkatan Laut. Menurut saya, sungguh menghina. Itu menurut saya. Kalau ada yang tidak terhina, ya, kebangetan.
Anda sepertinya selalu berani melawan Amerika. Tidak ada tekanan-tekanan sehubungan dengan itu?
Tidak ada. Nyatanya saya sampai sekarang masih berani. Ini masalah nasionalisme. Sudah saatnya untuk membangkitkan kembali nasionalisme kita. Ini waktu yang pas, apalagi bertepatan dengan 100 tahun Kebangkitan Nasional.
Selama ini, masih banyak di antara kita yang mementingkan kelompok masing-masing sehingga melupakan kepentingan nasional. Lupa bahwa sesungguhnya kita adalah negara yang berkedaulatan. Untuk semua itu, saya akan korbankan segalanya.
Jadi, ada kemungkinan NAMRU tidak diperpanjang?
Wah, saya tidak bisa menjawab karena yang menentukan bukan saya.
Sumber Berita : http://arsip.gatra.com/2008-04-31/majalah/artikel.php?pil=23&id=114436
LAPORAN UTAMA
Intel Amerika di Jantung Indonesia
Keberadaan laboratorium Angkatan Laut Amerika Serikat, NAMRU-2, kembali dimasalahkan. Dicurigai menjadi tempat pengembangan senjata biologis dan pusat aktivitas intelijen Amerika di Indonesia. Juru bicara presiden, Dino Patti Djalal, dituding Munarman sebagai agen intelijen Amerika.
Pria bule bertubuh sedang itu melenggang ke tempat digelarnya konferensi pers oleh Medical Emergency Rescue Committee (Mer-C) dan Annashar Institute, Rabu pekan lalu. Buku tamu yang disodorkan penerima tamu diabaikannya. Seorang pria kulit hitam dan dua perempuan, warga Indonesia, ikut bersama sang bule. Sembari mengunyah permen karet, dia nyecoros tak keruan memprotes acara konferensi pers yang sedang digelar di kantor Mer-C di Jalan Kramat Lontar, Jakarta, itu.
Acara penolakan terhadap keberadaan Naval American Medical Research Unit 2 (NAMRU-2) itu berubah gaduh. Salah seorang dari empat tamu tak diundang itu tiba-tiba membagi-bagikan rilis berkop Kedutaan Besar Amerika Serikat. Isinya diklaim sebagai lembaran fakta kebenaran mengenai NAMRU-2. ''Mereka tak punya sopan santun, arogan. Nggak diundang malah membagikan rilis, dasar penjajah!'' ujar Munarman, Ketua Annashar Institute, kesal.
Tuan rumah merasa dilangkahi. Mereka mengambil tindakan. Empat orang yang diduga staf Kedutaan Besar Amerika Serikat itu diusir keluar dari ruangan. Rilis yang telanjur dibagikan ditarik kembali. ''Katanya negeri kaya, kok nggak membuat konferensi pers sendiri,'' Munarman menyindir.
Munarwan menilai kehadiran warga Amerika Serikat itu sebagai bentuk sikap arogan. Mereka, para staf kedutaan besar itu, menunjukkan sikap Pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia. Amerika mengira bisa mendikte seluruh warga Indonesia. Termasuk dalam masalah NAMRU-2. Negeri yang sedang diterpa krisis ekonomi itu ingin terus mempertahankan keberadaan laboratorium milik Angkatan Lautnya itu di Indonesia.
Padahal, sudah lama kalangan LSM dan peneliti Indonesia menyuarakan keberatannya. Mereka menilai, aktivitas laboratorium yang beroperasi sejak 1970 itu tak banyak faedahnya. Selain tidak transparan, menurut Munarman, laboratorium itu diduga melakukan aktivitas spionase. Apalagi, personel yang bertugas di NAMRU adalah anggota Angkatan Laut Amerika yang mendapat status diplomatik.
Sejumlah kalangan di tubuh pemerintah dan intelijen Indonesia sudah lama menduga hal serupa. Status ini pula yang membuat Menteri Kesehatan (Menkes), Siti Fadilah Supari, mencak-mencak. Dari 175 pegawai NAMRU, 19 orang di antaranya adalah personel Angkatan Laut berkewarganegaraan Amerika Serikat. Sisanya adalah pegawai lokal.
Menurut Menkes Siti Fadilah, keberadaan lembaga penelitian yang merupakan bagian dari unsur tentara Amerika Serikat itu membuat kondisi tak nyaman. Apalagi, menurut Menkes, kerja sama NAMRU bukan dengan institusi yang setara, yaitu TNI, melainkan dengan lembaga sipil, yakni Departemen Kesehatan. ''Apakah kita rela sebagai negara berdaulat, di dalamnya ada tentara asing,'' ujar Siti Fadilah.
Dari hasil penelusuran Gatra, beberapa menteri pernah mempersoalkan keberadaan NAMRU-2. Sejumlah surat yang dilayangkan ke sesama menteri itu berisi keberatan mereka atas aktivitas NAMRU-2. Mereka juga menyarankan untuk membekukan kegiatan NAMRU-2 hingga nota kesepahaman (MOU) yang berakhir pada 28 Januari 2000 direvisi dan ditandatangani kedua negara.
Pada 9 November 1998, Menteri Pertahanan/Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal Wiranto, misalnya, menulis surat kepada Menteri Luar Negeri dan Menteri Kesehatan. Dalam surat berklasifikasi rahasia itu, Wiranto memberi saran agar kerja sama yang terkait dengan NAMRU dihentikan. ''Dengan diakhirinya kerja sama itu, status 23 peneliti yang diperlakukan sebagai diplomat berakhir pula status kekebalan diplomatiknya,'' demikian bunyi surat Wiranto.
Setahun kemudian, Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengirim surat kepada Presiden B.J. Habibie. Dalam uraiannya, Ali Alatas menilai, manfaat kerja sama Indonesia dengan Amerika Serikat dalam NAMRU makin kecil. ''Sedangkan dampak negatifnya terhadap keamanan makin menonjol,'' ujar Ali Alatas.
Dalam surat tertanggal 19 Oktober 1999. itu, Ali Alatas menghubungkan keberadaan NAMRU dengan rencana Protokol Verifikasi Konvensi Senjata Biologis, yang sedang dibahas di Jenewa, Swiss. Konvensi ini mewajibkan negara yang di wilayahnya terdapat fasilitas laboratorium biologi mendeklarasikan diri. Termasuk jika fasilitas itu dimiliki pihak asing maupun swasta.
Dengan ketentuan itu, wilayah Indonesia, khususnya Ibu Kota Jakarta, bisa menjadi objek field investigation PBB. Aturan ini membolehkan badan dunia melakukan investigasi di wilayah seluas 500 kilometer persegi di sekitar laboratorium. Akibatnya, pemeriksa PBB bisa leluasa memeriksa pula gedung-gedung pemerintahan karena keberadaan NAMRU di jantung Jakarta. Pemutusan kerja sama itu, menurut Ali Alatas, juga untuk mengimbangi keputusan unilateral Amerika Serikat, yang memutuskan kerja sama pertahanan dengan Indonesia, termasuk pemberlakuan embargo senjata.
Argumentasi sudah diungkap dan surat pun dibuat. Toh, posisi NAMRU-2 tidak juga terusik. Rezim berganti. Menteri Luar Negeri kabinet Abdurrahman ''Gus Dur'' Wahid, Alwi Shihab, kembali mengirim surat kepada Duta Besar Robert S. Gelbard pada 28 Januari 2000. Isinya, menolak perpanjangan kerja sama NAMRU-2. Alwi beralasan, perjanjian yang ditandatangani sejak 16 Januari 1970 itu tidak lagi menguntungkan Indonesia. Pelaksanaan perjanjian tersebut juga dinilai tidak konsisten terhadap prinsip keuntungan bersama yang disepakati sejak awal.
Namun angin berubah cepat. Tekanan luar biasa Pemerintah Amerika Serikat, menurut sumber Gatra di Departemen Luar Negeri, membuat pemerintahan Gus Dur ketar-ketir. Pada 10 Maret 2008, Alwi Shihab mengirim surat kepada Menteri Kesehatan, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan Sekretaris Kabinet. Kali ini, Alwi Shihab membuka kembali kesempatan negosiasi perpanjangan NAMRU-2.
Bahkan kedua pihak diharapkan dapat menyelesaikan perundingan paling lambat pada September 2000. Perubahan sikap itu terkait pertemuan Presiden Gus Dur dengan Thomas Pickering, Deputi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Bidang Politik. Disebut-sebut, Pickering mendapat mandat khusus dari Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, untuk menangani masalah NAMRU-2.
Dalam surat itu juga dikemukakan persetujuan pengoperasian kembali pesawat Amerika Serikat C-12A. Pesawat turboprop mesin ganda berpenumpang delapan orang itu kerap digunakan Amerika Serikat sebagai pesawat militer untuk mengangkut kargo dan tamu VIP, termasuk anggota staf diplomatik Amerika di berbagai negara.
Di sejumlah negara, pesawat ini juga kedapatan digunakan untuk tugas-tugas intelijen. Dengan kemampuannya terbang rendah, pesawat buatan Beechcraft itu sering dijejali peralatan pengindraan canggih yang mampu membuat foto udara di wilayah yang dilewatinya.
Sejak itu, dilakukanlah serangkaian pertemuan antara delegasi Indonesia dan Amerika Serikat. Semuanya macet. Pihak Amerika bersikeras mempertahankan status kekebalan diplomatik bagi seluruh personel NAMRU. Pihak Indonesia menolak. ''Indonesia hanya bersedia memberikan kekebalan diplomatik bagi dua orang, Ketua dan Wakil Ketua NAMRU-2,'' tulis Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda, dalam suratnya tertanggal 25 Agustus 2004.
Dalam surat itu, Hassan juga menyebutkan soal ketidakjelasan nasib sembilan proyek yang masih dilakukan NAMRU di Indonesia sejak perjanjian berakhir, 28 Januari 2000. Padahal, dalam kurun waktu tersebut, Indonesia dihadapkan pada sejumlah kasus penyakit epidemik yang menyerang sejumlah wilayah di Indonesia. Misalnya SARS, flu burung, dan demam berdarah. Bahkan kasus demam berdarah, dalam kurun waktu dua bulan saja, telah menimpa 29.643 orang. Sebanyak 408 orang di antaranya meninggal.
Anehnya, menurut Hassan, Pemerintah Indonesia sama sekali tak melihat adanya aktivitas NAMRU membantu mengatasi wabah penyakit yang bisa dikategorikan sebagai bencana nasional itu. Padahal, di saat genting itu, terjadi peningkatan aktivitas di laboratorium NAMRU. Impor barang keperluan riset dan jumlah impor barang pindahan tercatat masing-masing 134 dan 21 kali.
Jumlah personel NAMRU juga meningkat tajam. Informasi yang diterima Hassan Wirajuda menyebutkan, ada 34 staf administrasi dan teknik NAMRU yang memegang paspor diplomatik. Angka itu jauh dari angka resmi yang dirilis NAMRU di situs internetnya, yang hanya berjumlah 21 orang.
Jumlah staf asing di NAMRU belakangan justru diklarifikasi Menteri Kesehatan ketika itu, Achmad Sujudi. Dalam surat tertanggal 15 September 2004, Sujudi menyebutkan adanya pergantian personel di NAMRU yang membuat aktivitas impor barang meningkat tajam. Jumlah personel asing di NAMRU, menurut Sujudi, hanya 18 orang. Sujudi sendiri menyerahkan keputusan soal jumlah staf NAMRU yang berstatus diplomatik kepada Pemerintah Indonesia.
Perundingan perpanjangan kerja sama kedua negara lama terlunta-lunta. Draf perpanjangan kerja sama bolak-balik dibahas di tingkat interdep Indonesia. Hasilnya ditolak Amerika. Bahkan draf terakhir yang diajukan Indonesia sejak Oktober 2007 belum mendapat jawaban.
Dalam rancangan MoU yang disampaikan Indonesia, pemerintah menegaskan sejumlah klausul yang diharapkan dapat memberi keuntungan bagi Indonesia. Pertama, pengiriman virus harus disertai material transfer agreements (MTA). Kedua, komitmen Amerika untuk tidak menjadikan sampel virus dari Indonesia sebagai senjata biologis. Ketiga, para peneliti NAMRU-2 yang berkewarganegaraan Amerika tidak boleh diberi status kekebalan diplomatik. Dan keempat, riset harus benar dan transparan serta berguna bagi kemanusiaan.
Selama perundingan masih berlangsung, menurut Menkes Siti Fadilah Supari, aktivitas NAMRU-2 seharusnya dihentikan. Tapi lobi Amerika Serikat tampaknya sangat kuat. Buktinya, kegiatan di laboratorium itu terus berjalan. Ketika Menkes melakukan inspeksi mendadak pekan lalu, aktivitas para peneliti di laboratorium itu tak berhenti. Bahkan diduga aktivitas pengiriman spesimen virus ke NAMRU masih berjalan hingga sekarang.
Menurut sumber Gatra di Departemen Kesehatan, pihak Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan (Balitbangkes), yang selama ini ditugasi mengawasi dan bekerja sama dengan NAMRU, bolak-balik membuat surat edaran penghentian kerja sama dengan NAMRU. Terakhir, pada 31 Maret lalu, Kepala Balitbangkes Triono Soendoro mengeluarkan surat edaran kepada sejumlah rumah sakit dan universitas untuk menghentikan pengiriman sampel virus ke NAMRU.
Namun surat edaran seperti itu tidak memberi efek apa-apa. Sejumlah lembaga tetap mengirimkan sampel ke NAMRU-2 untuk diteliti. Intervensi dari pusat disebut-sebut menjadi faktor gagalnya tindakan tegas terhadap NAMRU-2. Dugaan diarahkan kepada sejumlah orang yang berada di lingkaran kekuasaan. Melalui mereka, NAMRU-2 bisa berjalan tanpa khawatir dilarang Pemerintah Indonesia.
Ketua Annashar Institute, Munarman, menunjuk nama Dino Patti Djalal. Staf khusus presiden bidang luar negeri yang sekaligus juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu dituding kerap membela kepentingan NAMRU di Indonesia. Bahkan Munarman mendaulat Dino sebagai agen intelijen Amerika Serikat. ''Siapa pun yang membela kepentingan asing adalah intelijen asing,'' kata Munarman kepada Gatra.
Sejumlah sumber Gatra di kalangan intelijen sudah lama mencurigai gerak-gerik Dino Patti Djalal. Putra mantan Duta Besar Hasyim Djalal itu kerap berada di garis depan ketika kepentingan Amerika diusik. Menurut sumber Gatra di Departemen Kesehatan, pada saat masalah NAMRU terungkap ke publik pertama kali, tahun 2005, Dino sudah mulai cawe-cawe (lihat: Gatra Nomor 7/XII, 31 Desember 2005).
Terungkapnya masalah NAMRU pertama kali dipicu keluarnya surat dari Balitbangkes Nomor KS.01.01.4-1418, tertanggal 25 Oktober 2005. Isinya, permintaan Balitbangkes agar seluruh kepala dinas dan direktur rumah sakit tidak melanjutkan kerja sama dengan NAMRU-2 hingga perjanjian yang baru ditandatangani.
Dino kabarnya marah besar. Dengan mengatasnamakan presiden, Dino kemudian meminta Menkes Siti Fadilah Supari menarik surat itu. Dino bahkan ''memaklumat'' Menkes Siti Fadilah. ''Teruskan kerja sama dengan NAMRU-2 atau terkena reshuffle,'' kata sumber Gatra di ring satu pemerintah itu.
Menkes belakangan menarik surat tersebut. Bahkan dia memutasikan beberapa petinggi Balitbangkes yang telah mengeluarkan surat ''pemutusan hubungan kerja'' dengan NAMRU-2 itu. Kepada Gatra, pihak NAMRU juga mengaku telah mengklarifikasi surat tersebut kepada Menkes Siti Fadilah. Menurut Komandan NAMRU pada saat itu, Kapten Mark T. Wooster, Menkes Siti Fadilah tak pernah meminta anak buahnya menghentikan kerja sama dengan NAMRU. ''Ibu Menteri sudah mengklarifikasi surat itu, kerja sama tetap bisa berjalan,'' ujar Mark T. Wooster ketika itu.
Menkes Siti Fadilah membantah jika disebut takut mempersoalkan kerja sama dengan NAMRU itu. Sejak diangkat menjadi Menteri Kesehatan, Siti Fadilah mengaku telah memasalahkan status NAMRU-2. Dia juga membantah mendapat tekanan terkait masalah NAMRU-2. ''Tidak ada. Ini masalah nasionalisme. Sudah saatnya membangkitkan kembali nasionalisme kita,'' Siti Fadilah menegaskan.
Keberanian Menkes Siti Fadilah memblok kepentingan Amerika Serikat itu memang sudah berlangsung lama. Sebelumnya, Siti Fadilah menerbitkan buku Saatnya Dunia Berubah! yang dinilai kontroversial. Dalam buku itu, Siti Fadilah menuding Pemerintah Amerika Serikat dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengomersialkan strain virus flu burung dari Indonesia.
Menanggapi buku itu, Dino pun seolah kebakaran jenggot. Dino langsung menanggapi terbitnya buku itu. ''Buku Menkes itu bukan pendapat resmi Pemerintah Indonesia,'' katanya. Dia juga dikabarkan meminta Menkes menarik buku yang diterbitkan dalam dua edisi bahasa itu. Belakangan, Menkes memang bersedia menarik buku yang diterbitkan dalam bahasa Inggris, tapi yang berbahasa Indonesia terus beredar.
Dengan kapasitas sebagai staf khusus presiden, Dino kerap berperan mewakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dino juga kerap memimpin langsung sejumlah rapat yang membahas masalah NAMRU-2. Pada Juni 2006, misalnya. Dalam rapat antar-departemen (interdep) dengan agenda membahas rancangan MoU dengan Amerika Serikat terkait NAMRU-2, Dino mengaku mendapat mandat dari presiden, yang disebutnya telah menginstruksikan untuk melanjutkan kerja sama dengan NAMRU-2.
Menurut sumber Gatra yang ikut dalam rapat itu, Dino sempat naik pitam ketika seorang peserta rapat mempertanyakan keabsahan keputusan presiden itu. ''Kalau tidak percaya, silakan Saudara tanya Eddy Pratomo (Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional, Departemen Luar Negeri --Red.). Presiden sudah menelepon Eddy Pratomo,'' kata Dino pada waktu itu.
Tidak berhenti sampai di situ, Dino pun melayangkan surat resmi yang ditujukan kepada atasan si interuptor. Surat berkop Sekretariat Kabinet RI tertanggal 30 Juni 2006 itu ditandatangani langsung oleh Dino. Isi surat itu, mempertanyakan kapabilitas sang interuptor.
Sepak terjang Dino tak sampai di situ. Sumber Gatra di Departemen Kesehatan juga bercerita tentang kedatangan Dino ke Balitbangkes untuk meminta mereka melanjutkan kerja sama dengan NAMRU. ''Dino pernah menggebrak meja, saking kesalnya,'' ujar sumber Gatra yang tak ingin disebut namanya itu.
Gatra berusaha mengonfirmasikan semua tudingan dan cerita itu kepada Dino Patti Djalal. Namun Dino enggan menanggapi semua tudingan miring yang diarahkan kepadanya itu. Tapi, kepada detik.com, Dino sempat membantah tudingan yang dinilainya tak masuk akal tersebut. ''It's nonsense,'' kata Dino.
Klarifikasi peran Dino justru datang langsung dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Menteri Sekretaris Negara, Hatta Rajasa, Dino bukanlah agen intelijen asing. ''Pemerintah tegaskan bahwa Dino bukan agen asing,'' kata Hatta di kantor kepresidenan, Senin lalu.
Hendri Firzani, Bernadetta Febriana, dan Syamsul Hidayat
- Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menghendaki kerja sama dengan NAMRU-2 ditinjau ulang.
- Meski belum ada kesepahaman kerja sama, dengan dukungan pejabat pemerintah pusat, NAMRU-2 tetap menjalankan kegiatan secara normal.
- Surat edaran pejabat Departemen Kesehatan untuk menghentikan kerja sama dengan NAMRU-2 tidak digubris.
- Lewat Mensesneg Hatta Rajasa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, Dino Patti Djalal bukan agen asing.
BOKS-BOKS LAPUT
----------------------------
Remang-remang Aktivitas NAMRU-2
Imbauan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari untuk menghentikan pengiriman spesimen virus ke laboratorium NAMRU-2 bukan tanpa dasar. Sepanjang beroperasi di Indonesia sejak 16 Januari 1970, hasil kerja NAMRU-2 --yang semula hanya berupa detasemen, tapi belakangan statusnya meningkat menjadi markas komando-- yang dapat dirasakan masyarakat Indonesia sangat minim.
Menkes Siti Fadilah mengatakan, penyakit yang diteliti NAMRU, seperti malaria, TBC, dan influenza leptonnes, masih terus ada di Indonesia. Tak satu pun yang hengkang. ''Sumbangan NAMRU terhadap pemberantasan penyakit sampai sekarang tidak ada,'' ujar Siti Fadilah.
Selain minim sumbangan dalam memberantas penyakit, aktivitas NAMRU-2 juga menimbulkan tanda tanya. Bahkan ada yang curiga, laboratorium itu menjadi pusat kegiatan intelijen dan pengembangan senjata biologis. Maklum, sejumlah pejabat menilai, aktivitas NAMRU-2 nyaris steril dari pantauan langsung Pemerintah Indonesia.
Simaklah penuturan Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono. Departemen Pertahanan pernah mengajukan penempatan peneliti TNI-AL sebagai pengawas di laboratorium NAMRU-2, delapan tahun lalu. Tapi permintaan itu tak pernah mendapat tanggapan serius. ''Usulan itu sampai sekarang tak ada kabarnya,'' kata Juwono.
Fasilitas laboratorium yang sebenarnya tidak terlalu canggih itu memang sulit dijamah. Para peneliti Indonesia pun sudah lama mengeluhkan ketatnya persyaratan yang diminta NAMRU-2 untuk bisa terlibat di laboratorium itu. Bahkan syarat-syarat itu kabarnya sekadar akal-akalan agar peneliti dari luar institusi NAMRU tidak bisa terlibat.
Menurut Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Umar Anggara Jenie, etikanya, peneliti asing seharusnya bermitra dengan peneliti dalam negeri. Mereka diajak bekerja sama dalam melakukan penelitian di daerah-daerah. Apalagi, kerja sama dengan peneliti asing sudah menjadi hal yang jamak dalam sebuah penelitian. ''Ilmu pengetahuan itu kan sifatnya terbuka,'' ujar Umar Jenie, yang mengaku lembaganya tak pernah bekerja sama dengan NAMRU-2.
Remang-remang kegiatan NAMRU-2 itulah yang memicu dugaan adanya aktivitas intelijen dan pengembangan senjata biologis di NAMRU-2. Sumber Gatra di kalangan peneliti sering mencermati aktivitas para peneliti NAMRU-2 jika turun ke daerah. Mereka bahkan pernah mengambil sampel darah sejumlah masyarakat di Papua. ''Padahal, darah itu bisa digunakan untuk bahan penelitian dalam pengembangan senjata biologis,'' kata sumber Gatra itu.
Namun semua tudingan dan keberatan itu dibantah Duta Besar Amerika Serikat, Cameron R. Hume. Menurut Cameron R. Hume, pihak NAMRU sudah menawarkan kehadiran dokter dari TNI-AL. Tapi Duta Besar Amerika ini menyebut adanya syarat dan kualifikasi untuk bisa bergabung. Cameron R. Hume juga menolak jika dikatakan bahwa NAMRU menyembunyikan kegiatan dan aktivitasnya. Apalagi berhubungan dengan kegiatan intelijen dan pengembangan senjata biologis. ''Itu (tudingan) sesuatu yang aneh,'' ujarnya.
Hendri Firzani, Bernadetta Febriana, dan Syamsul Hidayat
LAPORAN UTAMA
Intel Amerika di Jantung Indonesia
Keberadaan laboratorium Angkatan Laut Amerika Serikat, NAMRU-2, kembali dimasalahkan. Dicurigai menjadi tempat pengembangan senjata biologis dan pusat aktivitas intelijen Amerika di Indonesia. Juru bicara presiden, Dino Patti Djalal, dituding Munarman sebagai agen intelijen Amerika.
Pria bule bertubuh sedang itu melenggang ke tempat digelarnya konferensi pers oleh Medical Emergency Rescue Committee (Mer-C) dan Annashar Institute, Rabu pekan lalu. Buku tamu yang disodorkan penerima tamu diabaikannya. Seorang pria kulit hitam dan dua perempuan, warga Indonesia, ikut bersama sang bule. Sembari mengunyah permen karet, dia nyecoros tak keruan memprotes acara konferensi pers yang sedang digelar di kantor Mer-C di Jalan Kramat Lontar, Jakarta, itu.
Acara penolakan terhadap keberadaan Naval American Medical Research Unit 2 (NAMRU-2) itu berubah gaduh. Salah seorang dari empat tamu tak diundang itu tiba-tiba membagi-bagikan rilis berkop Kedutaan Besar Amerika Serikat. Isinya diklaim sebagai lembaran fakta kebenaran mengenai NAMRU-2. ''Mereka tak punya sopan santun, arogan. Nggak diundang malah membagikan rilis, dasar penjajah!'' ujar Munarman, Ketua Annashar Institute, kesal.
Tuan rumah merasa dilangkahi. Mereka mengambil tindakan. Empat orang yang diduga staf Kedutaan Besar Amerika Serikat itu diusir keluar dari ruangan. Rilis yang telanjur dibagikan ditarik kembali. ''Katanya negeri kaya, kok nggak membuat konferensi pers sendiri,'' Munarman menyindir.
Munarwan menilai kehadiran warga Amerika Serikat itu sebagai bentuk sikap arogan. Mereka, para staf kedutaan besar itu, menunjukkan sikap Pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia. Amerika mengira bisa mendikte seluruh warga Indonesia. Termasuk dalam masalah NAMRU-2. Negeri yang sedang diterpa krisis ekonomi itu ingin terus mempertahankan keberadaan laboratorium milik Angkatan Lautnya itu di Indonesia.
Padahal, sudah lama kalangan LSM dan peneliti Indonesia menyuarakan keberatannya. Mereka menilai, aktivitas laboratorium yang beroperasi sejak 1970 itu tak banyak faedahnya. Selain tidak transparan, menurut Munarman, laboratorium itu diduga melakukan aktivitas spionase. Apalagi, personel yang bertugas di NAMRU adalah anggota Angkatan Laut Amerika yang mendapat status diplomatik.
Sejumlah kalangan di tubuh pemerintah dan intelijen Indonesia sudah lama menduga hal serupa. Status ini pula yang membuat Menteri Kesehatan (Menkes), Siti Fadilah Supari, mencak-mencak. Dari 175 pegawai NAMRU, 19 orang di antaranya adalah personel Angkatan Laut berkewarganegaraan Amerika Serikat. Sisanya adalah pegawai lokal.
Menurut Menkes Siti Fadilah, keberadaan lembaga penelitian yang merupakan bagian dari unsur tentara Amerika Serikat itu membuat kondisi tak nyaman. Apalagi, menurut Menkes, kerja sama NAMRU bukan dengan institusi yang setara, yaitu TNI, melainkan dengan lembaga sipil, yakni Departemen Kesehatan. ''Apakah kita rela sebagai negara berdaulat, di dalamnya ada tentara asing,'' ujar Siti Fadilah.
Dari hasil penelusuran Gatra, beberapa menteri pernah mempersoalkan keberadaan NAMRU-2. Sejumlah surat yang dilayangkan ke sesama menteri itu berisi keberatan mereka atas aktivitas NAMRU-2. Mereka juga menyarankan untuk membekukan kegiatan NAMRU-2 hingga nota kesepahaman (MOU) yang berakhir pada 28 Januari 2000 direvisi dan ditandatangani kedua negara.
Pada 9 November 1998, Menteri Pertahanan/Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal Wiranto, misalnya, menulis surat kepada Menteri Luar Negeri dan Menteri Kesehatan. Dalam surat berklasifikasi rahasia itu, Wiranto memberi saran agar kerja sama yang terkait dengan NAMRU dihentikan. ''Dengan diakhirinya kerja sama itu, status 23 peneliti yang diperlakukan sebagai diplomat berakhir pula status kekebalan diplomatiknya,'' demikian bunyi surat Wiranto.
Setahun kemudian, Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengirim surat kepada Presiden B.J. Habibie. Dalam uraiannya, Ali Alatas menilai, manfaat kerja sama Indonesia dengan Amerika Serikat dalam NAMRU makin kecil. ''Sedangkan dampak negatifnya terhadap keamanan makin menonjol,'' ujar Ali Alatas.
Dalam surat tertanggal 19 Oktober 1999. itu, Ali Alatas menghubungkan keberadaan NAMRU dengan rencana Protokol Verifikasi Konvensi Senjata Biologis, yang sedang dibahas di Jenewa, Swiss. Konvensi ini mewajibkan negara yang di wilayahnya terdapat fasilitas laboratorium biologi mendeklarasikan diri. Termasuk jika fasilitas itu dimiliki pihak asing maupun swasta.
Dengan ketentuan itu, wilayah Indonesia, khususnya Ibu Kota Jakarta, bisa menjadi objek field investigation PBB. Aturan ini membolehkan badan dunia melakukan investigasi di wilayah seluas 500 kilometer persegi di sekitar laboratorium. Akibatnya, pemeriksa PBB bisa leluasa memeriksa pula gedung-gedung pemerintahan karena keberadaan NAMRU di jantung Jakarta. Pemutusan kerja sama itu, menurut Ali Alatas, juga untuk mengimbangi keputusan unilateral Amerika Serikat, yang memutuskan kerja sama pertahanan dengan Indonesia, termasuk pemberlakuan embargo senjata.
Argumentasi sudah diungkap dan surat pun dibuat. Toh, posisi NAMRU-2 tidak juga terusik. Rezim berganti. Menteri Luar Negeri kabinet Abdurrahman ''Gus Dur'' Wahid, Alwi Shihab, kembali mengirim surat kepada Duta Besar Robert S. Gelbard pada 28 Januari 2000. Isinya, menolak perpanjangan kerja sama NAMRU-2. Alwi beralasan, perjanjian yang ditandatangani sejak 16 Januari 1970 itu tidak lagi menguntungkan Indonesia. Pelaksanaan perjanjian tersebut juga dinilai tidak konsisten terhadap prinsip keuntungan bersama yang disepakati sejak awal.
Namun angin berubah cepat. Tekanan luar biasa Pemerintah Amerika Serikat, menurut sumber Gatra di Departemen Luar Negeri, membuat pemerintahan Gus Dur ketar-ketir. Pada 10 Maret 2008, Alwi Shihab mengirim surat kepada Menteri Kesehatan, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan Sekretaris Kabinet. Kali ini, Alwi Shihab membuka kembali kesempatan negosiasi perpanjangan NAMRU-2.
Bahkan kedua pihak diharapkan dapat menyelesaikan perundingan paling lambat pada September 2000. Perubahan sikap itu terkait pertemuan Presiden Gus Dur dengan Thomas Pickering, Deputi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Bidang Politik. Disebut-sebut, Pickering mendapat mandat khusus dari Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, untuk menangani masalah NAMRU-2.
Dalam surat itu juga dikemukakan persetujuan pengoperasian kembali pesawat Amerika Serikat C-12A. Pesawat turboprop mesin ganda berpenumpang delapan orang itu kerap digunakan Amerika Serikat sebagai pesawat militer untuk mengangkut kargo dan tamu VIP, termasuk anggota staf diplomatik Amerika di berbagai negara.
Di sejumlah negara, pesawat ini juga kedapatan digunakan untuk tugas-tugas intelijen. Dengan kemampuannya terbang rendah, pesawat buatan Beechcraft itu sering dijejali peralatan pengindraan canggih yang mampu membuat foto udara di wilayah yang dilewatinya.
Sejak itu, dilakukanlah serangkaian pertemuan antara delegasi Indonesia dan Amerika Serikat. Semuanya macet. Pihak Amerika bersikeras mempertahankan status kekebalan diplomatik bagi seluruh personel NAMRU. Pihak Indonesia menolak. ''Indonesia hanya bersedia memberikan kekebalan diplomatik bagi dua orang, Ketua dan Wakil Ketua NAMRU-2,'' tulis Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda, dalam suratnya tertanggal 25 Agustus 2004.
Dalam surat itu, Hassan juga menyebutkan soal ketidakjelasan nasib sembilan proyek yang masih dilakukan NAMRU di Indonesia sejak perjanjian berakhir, 28 Januari 2000. Padahal, dalam kurun waktu tersebut, Indonesia dihadapkan pada sejumlah kasus penyakit epidemik yang menyerang sejumlah wilayah di Indonesia. Misalnya SARS, flu burung, dan demam berdarah. Bahkan kasus demam berdarah, dalam kurun waktu dua bulan saja, telah menimpa 29.643 orang. Sebanyak 408 orang di antaranya meninggal.
Anehnya, menurut Hassan, Pemerintah Indonesia sama sekali tak melihat adanya aktivitas NAMRU membantu mengatasi wabah penyakit yang bisa dikategorikan sebagai bencana nasional itu. Padahal, di saat genting itu, terjadi peningkatan aktivitas di laboratorium NAMRU. Impor barang keperluan riset dan jumlah impor barang pindahan tercatat masing-masing 134 dan 21 kali.
Jumlah personel NAMRU juga meningkat tajam. Informasi yang diterima Hassan Wirajuda menyebutkan, ada 34 staf administrasi dan teknik NAMRU yang memegang paspor diplomatik. Angka itu jauh dari angka resmi yang dirilis NAMRU di situs internetnya, yang hanya berjumlah 21 orang.
Jumlah staf asing di NAMRU belakangan justru diklarifikasi Menteri Kesehatan ketika itu, Achmad Sujudi. Dalam surat tertanggal 15 September 2004, Sujudi menyebutkan adanya pergantian personel di NAMRU yang membuat aktivitas impor barang meningkat tajam. Jumlah personel asing di NAMRU, menurut Sujudi, hanya 18 orang. Sujudi sendiri menyerahkan keputusan soal jumlah staf NAMRU yang berstatus diplomatik kepada Pemerintah Indonesia.
Perundingan perpanjangan kerja sama kedua negara lama terlunta-lunta. Draf perpanjangan kerja sama bolak-balik dibahas di tingkat interdep Indonesia. Hasilnya ditolak Amerika. Bahkan draf terakhir yang diajukan Indonesia sejak Oktober 2007 belum mendapat jawaban.
Dalam rancangan MoU yang disampaikan Indonesia, pemerintah menegaskan sejumlah klausul yang diharapkan dapat memberi keuntungan bagi Indonesia. Pertama, pengiriman virus harus disertai material transfer agreements (MTA). Kedua, komitmen Amerika untuk tidak menjadikan sampel virus dari Indonesia sebagai senjata biologis. Ketiga, para peneliti NAMRU-2 yang berkewarganegaraan Amerika tidak boleh diberi status kekebalan diplomatik. Dan keempat, riset harus benar dan transparan serta berguna bagi kemanusiaan.
Selama perundingan masih berlangsung, menurut Menkes Siti Fadilah Supari, aktivitas NAMRU-2 seharusnya dihentikan. Tapi lobi Amerika Serikat tampaknya sangat kuat. Buktinya, kegiatan di laboratorium itu terus berjalan. Ketika Menkes melakukan inspeksi mendadak pekan lalu, aktivitas para peneliti di laboratorium itu tak berhenti. Bahkan diduga aktivitas pengiriman spesimen virus ke NAMRU masih berjalan hingga sekarang.
Menurut sumber Gatra di Departemen Kesehatan, pihak Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan (Balitbangkes), yang selama ini ditugasi mengawasi dan bekerja sama dengan NAMRU, bolak-balik membuat surat edaran penghentian kerja sama dengan NAMRU. Terakhir, pada 31 Maret lalu, Kepala Balitbangkes Triono Soendoro mengeluarkan surat edaran kepada sejumlah rumah sakit dan universitas untuk menghentikan pengiriman sampel virus ke NAMRU.
Namun surat edaran seperti itu tidak memberi efek apa-apa. Sejumlah lembaga tetap mengirimkan sampel ke NAMRU-2 untuk diteliti. Intervensi dari pusat disebut-sebut menjadi faktor gagalnya tindakan tegas terhadap NAMRU-2. Dugaan diarahkan kepada sejumlah orang yang berada di lingkaran kekuasaan. Melalui mereka, NAMRU-2 bisa berjalan tanpa khawatir dilarang Pemerintah Indonesia.
Ketua Annashar Institute, Munarman, menunjuk nama Dino Patti Djalal. Staf khusus presiden bidang luar negeri yang sekaligus juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu dituding kerap membela kepentingan NAMRU di Indonesia. Bahkan Munarman mendaulat Dino sebagai agen intelijen Amerika Serikat. ''Siapa pun yang membela kepentingan asing adalah intelijen asing,'' kata Munarman kepada Gatra.
Sejumlah sumber Gatra di kalangan intelijen sudah lama mencurigai gerak-gerik Dino Patti Djalal. Putra mantan Duta Besar Hasyim Djalal itu kerap berada di garis depan ketika kepentingan Amerika diusik. Menurut sumber Gatra di Departemen Kesehatan, pada saat masalah NAMRU terungkap ke publik pertama kali, tahun 2005, Dino sudah mulai cawe-cawe (lihat: Gatra Nomor 7/XII, 31 Desember 2005).
Terungkapnya masalah NAMRU pertama kali dipicu keluarnya surat dari Balitbangkes Nomor KS.01.01.4-1418, tertanggal 25 Oktober 2005. Isinya, permintaan Balitbangkes agar seluruh kepala dinas dan direktur rumah sakit tidak melanjutkan kerja sama dengan NAMRU-2 hingga perjanjian yang baru ditandatangani.
Dino kabarnya marah besar. Dengan mengatasnamakan presiden, Dino kemudian meminta Menkes Siti Fadilah Supari menarik surat itu. Dino bahkan ''memaklumat'' Menkes Siti Fadilah. ''Teruskan kerja sama dengan NAMRU-2 atau terkena reshuffle,'' kata sumber Gatra di ring satu pemerintah itu.
Menkes belakangan menarik surat tersebut. Bahkan dia memutasikan beberapa petinggi Balitbangkes yang telah mengeluarkan surat ''pemutusan hubungan kerja'' dengan NAMRU-2 itu. Kepada Gatra, pihak NAMRU juga mengaku telah mengklarifikasi surat tersebut kepada Menkes Siti Fadilah. Menurut Komandan NAMRU pada saat itu, Kapten Mark T. Wooster, Menkes Siti Fadilah tak pernah meminta anak buahnya menghentikan kerja sama dengan NAMRU. ''Ibu Menteri sudah mengklarifikasi surat itu, kerja sama tetap bisa berjalan,'' ujar Mark T. Wooster ketika itu.
Menkes Siti Fadilah membantah jika disebut takut mempersoalkan kerja sama dengan NAMRU itu. Sejak diangkat menjadi Menteri Kesehatan, Siti Fadilah mengaku telah memasalahkan status NAMRU-2. Dia juga membantah mendapat tekanan terkait masalah NAMRU-2. ''Tidak ada. Ini masalah nasionalisme. Sudah saatnya membangkitkan kembali nasionalisme kita,'' Siti Fadilah menegaskan.
Keberanian Menkes Siti Fadilah memblok kepentingan Amerika Serikat itu memang sudah berlangsung lama. Sebelumnya, Siti Fadilah menerbitkan buku Saatnya Dunia Berubah! yang dinilai kontroversial. Dalam buku itu, Siti Fadilah menuding Pemerintah Amerika Serikat dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengomersialkan strain virus flu burung dari Indonesia.
Menanggapi buku itu, Dino pun seolah kebakaran jenggot. Dino langsung menanggapi terbitnya buku itu. ''Buku Menkes itu bukan pendapat resmi Pemerintah Indonesia,'' katanya. Dia juga dikabarkan meminta Menkes menarik buku yang diterbitkan dalam dua edisi bahasa itu. Belakangan, Menkes memang bersedia menarik buku yang diterbitkan dalam bahasa Inggris, tapi yang berbahasa Indonesia terus beredar.
Dengan kapasitas sebagai staf khusus presiden, Dino kerap berperan mewakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dino juga kerap memimpin langsung sejumlah rapat yang membahas masalah NAMRU-2. Pada Juni 2006, misalnya. Dalam rapat antar-departemen (interdep) dengan agenda membahas rancangan MoU dengan Amerika Serikat terkait NAMRU-2, Dino mengaku mendapat mandat dari presiden, yang disebutnya telah menginstruksikan untuk melanjutkan kerja sama dengan NAMRU-2.
Menurut sumber Gatra yang ikut dalam rapat itu, Dino sempat naik pitam ketika seorang peserta rapat mempertanyakan keabsahan keputusan presiden itu. ''Kalau tidak percaya, silakan Saudara tanya Eddy Pratomo (Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional, Departemen Luar Negeri --Red.). Presiden sudah menelepon Eddy Pratomo,'' kata Dino pada waktu itu.
Tidak berhenti sampai di situ, Dino pun melayangkan surat resmi yang ditujukan kepada atasan si interuptor. Surat berkop Sekretariat Kabinet RI tertanggal 30 Juni 2006 itu ditandatangani langsung oleh Dino. Isi surat itu, mempertanyakan kapabilitas sang interuptor.
Sepak terjang Dino tak sampai di situ. Sumber Gatra di Departemen Kesehatan juga bercerita tentang kedatangan Dino ke Balitbangkes untuk meminta mereka melanjutkan kerja sama dengan NAMRU. ''Dino pernah menggebrak meja, saking kesalnya,'' ujar sumber Gatra yang tak ingin disebut namanya itu.
Gatra berusaha mengonfirmasikan semua tudingan dan cerita itu kepada Dino Patti Djalal. Namun Dino enggan menanggapi semua tudingan miring yang diarahkan kepadanya itu. Tapi, kepada detik.com, Dino sempat membantah tudingan yang dinilainya tak masuk akal tersebut. ''It's nonsense,'' kata Dino.
Klarifikasi peran Dino justru datang langsung dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Menteri Sekretaris Negara, Hatta Rajasa, Dino bukanlah agen intelijen asing. ''Pemerintah tegaskan bahwa Dino bukan agen asing,'' kata Hatta di kantor kepresidenan, Senin lalu.
Hendri Firzani, Bernadetta Febriana, dan Syamsul Hidayat
- Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menghendaki kerja sama dengan NAMRU-2 ditinjau ulang.
- Meski belum ada kesepahaman kerja sama, dengan dukungan pejabat pemerintah pusat, NAMRU-2 tetap menjalankan kegiatan secara normal.
- Surat edaran pejabat Departemen Kesehatan untuk menghentikan kerja sama dengan NAMRU-2 tidak digubris.
- Lewat Mensesneg Hatta Rajasa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, Dino Patti Djalal bukan agen asing.
BOKS-BOKS LAPUT
----------------------------
Remang-remang Aktivitas NAMRU-2
Imbauan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari untuk menghentikan pengiriman spesimen virus ke laboratorium NAMRU-2 bukan tanpa dasar. Sepanjang beroperasi di Indonesia sejak 16 Januari 1970, hasil kerja NAMRU-2 --yang semula hanya berupa detasemen, tapi belakangan statusnya meningkat menjadi markas komando-- yang dapat dirasakan masyarakat Indonesia sangat minim.
Menkes Siti Fadilah mengatakan, penyakit yang diteliti NAMRU, seperti malaria, TBC, dan influenza leptonnes, masih terus ada di Indonesia. Tak satu pun yang hengkang. ''Sumbangan NAMRU terhadap pemberantasan penyakit sampai sekarang tidak ada,'' ujar Siti Fadilah.
Selain minim sumbangan dalam memberantas penyakit, aktivitas NAMRU-2 juga menimbulkan tanda tanya. Bahkan ada yang curiga, laboratorium itu menjadi pusat kegiatan intelijen dan pengembangan senjata biologis. Maklum, sejumlah pejabat menilai, aktivitas NAMRU-2 nyaris steril dari pantauan langsung Pemerintah Indonesia.
Simaklah penuturan Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono. Departemen Pertahanan pernah mengajukan penempatan peneliti TNI-AL sebagai pengawas di laboratorium NAMRU-2, delapan tahun lalu. Tapi permintaan itu tak pernah mendapat tanggapan serius. ''Usulan itu sampai sekarang tak ada kabarnya,'' kata Juwono.
Fasilitas laboratorium yang sebenarnya tidak terlalu canggih itu memang sulit dijamah. Para peneliti Indonesia pun sudah lama mengeluhkan ketatnya persyaratan yang diminta NAMRU-2 untuk bisa terlibat di laboratorium itu. Bahkan syarat-syarat itu kabarnya sekadar akal-akalan agar peneliti dari luar institusi NAMRU tidak bisa terlibat.
Menurut Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Umar Anggara Jenie, etikanya, peneliti asing seharusnya bermitra dengan peneliti dalam negeri. Mereka diajak bekerja sama dalam melakukan penelitian di daerah-daerah. Apalagi, kerja sama dengan peneliti asing sudah menjadi hal yang jamak dalam sebuah penelitian. ''Ilmu pengetahuan itu kan sifatnya terbuka,'' ujar Umar Jenie, yang mengaku lembaganya tak pernah bekerja sama dengan NAMRU-2.
Remang-remang kegiatan NAMRU-2 itulah yang memicu dugaan adanya aktivitas intelijen dan pengembangan senjata biologis di NAMRU-2. Sumber Gatra di kalangan peneliti sering mencermati aktivitas para peneliti NAMRU-2 jika turun ke daerah. Mereka bahkan pernah mengambil sampel darah sejumlah masyarakat di Papua. ''Padahal, darah itu bisa digunakan untuk bahan penelitian dalam pengembangan senjata biologis,'' kata sumber Gatra itu.
Namun semua tudingan dan keberatan itu dibantah Duta Besar Amerika Serikat, Cameron R. Hume. Menurut Cameron R. Hume, pihak NAMRU sudah menawarkan kehadiran dokter dari TNI-AL. Tapi Duta Besar Amerika ini menyebut adanya syarat dan kualifikasi untuk bisa bergabung. Cameron R. Hume juga menolak jika dikatakan bahwa NAMRU menyembunyikan kegiatan dan aktivitasnya. Apalagi berhubungan dengan kegiatan intelijen dan pengembangan senjata biologis. ''Itu (tudingan) sesuatu yang aneh,'' ujarnya.
Hendri Firzani, Bernadetta Febriana, dan Syamsul Hidayat
Wawasan Global Dino Patti Djalal
Anak kedua dari tiga bersaudara ini lahir pada 10 September 1965. Darah diplomat mengalir dari ayahnya, Prof. Hasyim Djalal, duta besar sekaligus ahli hukum internasional. Dino bisa dinilai cukup beruntung terlahir dari keluarga yang sangat ''global''. Ia melewatkan sebagian besar jalur pendidikannya di luar negeri. Mulai SMA hingga meraih gelar sarjana ia lakoni di Amerika Serikat. Kemudian ia mengambil program master di Simon Fraser University, Kanada.
Perjalanan untuk memperoleh gelar doktor ia lakukan di sekolah bergengsi, London School of Economics di Inggris pada 2002. Ujian menjadi diplomat ia terima ketika menjadi juru bicara Satgas Pelaksana Penentuan Pendapat di Timor Timur. Ketika itulah Indonesia menjadi pusat perhatian dan bulan-bulanan dunia internasional, karena selain jajak pendapat yang berakibat Timor Timur lepas dari Indonesia, tragedi kemanusiaan terjadi setelah jajak pendapat dilakukan.
Setelah penugasan itu, Dino ditempatkan sebagai Kepala Bidang Politik di KBRI Washington, DC, Amerika Serikat, dari tahun 2000 hingga 2002. Dua tahun di Washington, DC, ia kemudian ditarik ke Jakarta, untuk selanjutnya berkantor di lantai 6 Gedung Departemen Luar Negeri RI, Pejambon, sebagai Direktur Amerika Utara dan Tengah.
Pada 2004, ayah tiga anak ini merambah ranah politik. Ia kerap terlihat di Puri Cikeas, kediaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang ketika itu telah terpilih menjadi presiden. Ia kemudian aktif bersama teman-temannya saat itu, seperti Andi Mallarangeng, Irvan Edison, dan Denny J.A., yang kemudian dikenal sebagai Tim Sebelas. Di kemudian hari, anggota Tim Sebelas inilah, termasuk Dino, yang menjadi ring A-1 Presiden SBY. Dino ditunjuk menjadi staf khusus presiden bidang hubungan internasional, sekaligus juru bicara presiden.
Bernadetta Febriana
Anak kedua dari tiga bersaudara ini lahir pada 10 September 1965. Darah diplomat mengalir dari ayahnya, Prof. Hasyim Djalal, duta besar sekaligus ahli hukum internasional. Dino bisa dinilai cukup beruntung terlahir dari keluarga yang sangat ''global''. Ia melewatkan sebagian besar jalur pendidikannya di luar negeri. Mulai SMA hingga meraih gelar sarjana ia lakoni di Amerika Serikat. Kemudian ia mengambil program master di Simon Fraser University, Kanada.
Perjalanan untuk memperoleh gelar doktor ia lakukan di sekolah bergengsi, London School of Economics di Inggris pada 2002. Ujian menjadi diplomat ia terima ketika menjadi juru bicara Satgas Pelaksana Penentuan Pendapat di Timor Timur. Ketika itulah Indonesia menjadi pusat perhatian dan bulan-bulanan dunia internasional, karena selain jajak pendapat yang berakibat Timor Timur lepas dari Indonesia, tragedi kemanusiaan terjadi setelah jajak pendapat dilakukan.
Setelah penugasan itu, Dino ditempatkan sebagai Kepala Bidang Politik di KBRI Washington, DC, Amerika Serikat, dari tahun 2000 hingga 2002. Dua tahun di Washington, DC, ia kemudian ditarik ke Jakarta, untuk selanjutnya berkantor di lantai 6 Gedung Departemen Luar Negeri RI, Pejambon, sebagai Direktur Amerika Utara dan Tengah.
Pada 2004, ayah tiga anak ini merambah ranah politik. Ia kerap terlihat di Puri Cikeas, kediaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang ketika itu telah terpilih menjadi presiden. Ia kemudian aktif bersama teman-temannya saat itu, seperti Andi Mallarangeng, Irvan Edison, dan Denny J.A., yang kemudian dikenal sebagai Tim Sebelas. Di kemudian hari, anggota Tim Sebelas inilah, termasuk Dino, yang menjadi ring A-1 Presiden SBY. Dino ditunjuk menjadi staf khusus presiden bidang hubungan internasional, sekaligus juru bicara presiden.
Bernadetta Febriana
Sumber Berita : http://arsip.gatra.com/2008-04-28/majalah/artikel.php?pil=23&id=114435
Sumber Berita : https://www.kompasiana.com/alfirahmadi/550d6e8c813311822bb1e37a/bu-siti-melawan-amerika
Laboratorium yang resminya merupakan laboratorium penelitian penyakit-penyakit menular, pada kenyataanya dijadikan kedok operasi intelijen Angkatan Laut AS di Indonesia. Sehingga membahayakan kedaulatan nasional Republik Indonesia.
Namun bernarkah NAMRU-2 AS yang sudah dihentikan aktivitasnya oleh Menteri Kesehatan jelang detik-detik masa jabatannya pada Oktober 2009 sudah benar-benar tidak beroperasi di Indonesia? Bagaimana dengan sinyalemen bahwa AFRIMS merupakan NAMRU-2 AS gaya baru?
Global Future Institute (GFI) merasa perlu meminta pemerintah Indonesia, khususnya para pemangku kepentingan politik-keamanan, politik luar negeri, otoritas intelijen maupun Kementerian Kesehatan, untuk mewaspadai keberadaan dan kiprah dari Pusat Riset Biomedis terbesar ketiga bagi militer AS atau lebih dikenal dengan sebutan AFRIMS, sebagai NAMRU gaya baru.
Baca juga: Serangan Gelap 400 Fasilitas Riset Biokimia AS di Berbagai Belahan Dunia
Menurut pengamatan GFI, AFRIMS sudah menyebar ke beberapa negara di Asia Tenggara seperti Laos, Vietnam, Singapura dan Filipina.
“Kami dari GFI mencermati dengan seksama keberadaan AFRIMS, The Armed Forces Research Institute of Medical Services yang ditengarai sebenarnya merupakan proyek yang sama persis dengan NAMRU-2,” jelas Direktur Eksekutif GFI, Hendrajit, Senin (27/8).
Untuk diketahui terbukti pengetahuan tentang penyakit menular seperti TBC dan demam berdarah yang dimiliki para dokter Indonesia malah justru mandek dan tidak ada perkembangan kemajuan dari adanya NAMRU-2.
“Hal ini memperkuat kecurigaan bahwa AS telah melanggar kedaulatan wilayah RI karena telah menggunakan fasilitas yang diberikan Departemen Kesehatan untuk tujuan-tujuan terselubung,” papar Hendrajit.
Temuan (GFI) pada 2007 mengungkap adanya indikasi keterlibatan operasi intelijen Angkatan Laut Amerika untuk pengembangan senjata biologis dengan berkedok sebagai penelitian mengenai penyakit menular,” lanjutnya.
Rencananya GFI akan mengadakan diskusi hal tersebut di Wisma Daria, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Kamis (30/8) dengan mengundang Kementerian Luar Negeri, Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mantan Danjen Marinir Mayjen (purn) Suharto, CSIS dan lainnya.
Hendrajit menilai hal ini perlu dilakukan untuk mewaspadai kembali adanya NAMRU-2 yang diduga berdalih sebagai AFRIMS. (anm/eda)
Editor: Eriec Dieda
Sumber Berita : https://nusantaranews.co/keberadaan-afrims-sebagai-namru-2-gaya-baru/
Menurut Global Future Institute (GFI), pada tahun 2012 silam sebuah informasi didapat dari lingkaran dalam pemerintahan bahwa Kementerian Luar Negeri RI mempersiapkan sebuah nota kesepakatan baru dengan pihak Amerika Serikat mengenai keberlanjutan proyek NAMRU-2 di Indonesia. Inti dari kesepakatan baru itu ialah mengizinkan kembali proyek NAMRU-2 beroperasi di tanah air.
Baca juga: Keberadaan AFRIMS Sebagai NAMRU-2 Gaya Baru?
GFI menyebut, sumber internal Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat mendesak Indonesia membuka kembali proyek penelitian NAMRU-2 dengan dalih semakin menyebarnya virus HINI sebagai penyebab flu babi di dunia, sehingga keberlanjutan penelitian NAMRU-2 dalam bidang penyakit menular semakin penting untuk dibuka kembali di Indonesia.
“Kita belum memiliki konsep ketahanan kesehatan dalam menghadapi
skema perang kesehatan global yang kapitalistik,” ujar Direktur
Eksekutif GFI, Hendrajit dalam diskusi terbatas di Wisma Daria,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (30/8/2018).
Menurut Hendrajit, keberadaan Naval Medical Research (NAMRU) unit 2 tidak memberikan manfaat untuk Indonesia. Dan sebaliknya, justru menjadi ancaman tersendiri bagi bangsa Indonesia sebagai perang nir militer melalui bidang kesehatan. Bahkan terungkap pula, bahwa beberapa tahun silam kantor NAMRU-2 di Indonesia menjadi markas terselubung intelijen Angkatan Laut Amerika Serikat untuk pengembangan senjata biologis pemusnah massal.
Baca juga: Serangan Gelap 400 Fasilitas Riset Biokimia AS di Berbagai Belahan Dunia
“Temuan pada 2007 mengungkap adanya indikasi keterlibatan operasi intelijen Angkatan Laut Amerika untuk pengembangan senjata biologis dengan berkedok sebagai penelitian mengenai penyakit menular,” ungkap pakar geolpolitik ini.
Salah satu indikasi bakal kembalinya NAMRU-2 di Indonesia ialah keberadaan AFRIMS atau The Armed Force Research Institute of Medical Services yang ditengarai sebenarnya merupakan proyek yang sama persis dengan NAMRU-2.
“Informasi ini, meski masih perlu eksplorasi dan investigasi secara lebih mendalam, tentu saja sungguh mengkhawatirkan. Apalagi ketika proyek AFIRMS ini sudah menyebar ke beberapa negara negara di kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam, Laos, Singapura, Thailand dan Filipina,” kata Hendrajit.
“NAMRU-2 pasti berekor waktu itu sudah ada sekitar 104 perusahaan di bawah kendali NAMRU-2, pasti berekor. Kenapa? Karena negara ini tidak punya kontigensi, dan kelemahan itu menjadi daya tarik mereka untuk masuk ke Indonesia,” tambah Letjen Marinir Suharto. (eda/edd)
Editor: Eriec Dieda
Sumber Berita : https://nusantaranews.co/boleh-jadi-afirms-sebagai-kelanjutan-proyek-namru-2-indonesia-patut-waspada/
Agung Nugroho menjelaskan ada poin poin penting terkait keberadaan NAMRU-2 ini. Dirinya mengatakan bahwa NAMRU-2, sesuai masa kontraknya, sebenarnya telah habis sejak tahun 2000 silam. Selain itu, poin penting lainnya, lanjut Agung, staf NAMRU di Indonesia diberi kekebalan diplomatik. Yakni dibebaskan dari pajak dan disediakan tempat tinggal oleh pemerintah Indonesia.
Namun, pada kenyataannya, Menkes Siti Fadilah kala itu pernah dipersulit untuk masuk NAMRU-2. Padahal NAMRU-2 itu sendiri didirikan di atas lahan milik Depkes (Departemen Kesehatan) di Jl. Percetakan Negara no.29 Rawasari, Jakarta Pusat.
Baca Juga:
Boleh Jadi AFIRMS Sebagai Kelanjutan Proyek NAMRU-2, Indonesia Patut Waspada
Keberadaan AFRIMS Sebagai NAMRU-2 Gaya Baru?
Agung menambahkan, peneliti NAMRU-2 bebas bergerak ke seluruh pelosok negeri untuk mengambil sampel virus dari darah orang Indonesia. Dalam hal ini, NAMRU-2 dikatakan bergerak di bidang kesehatan, akan tetapi personilnya dari US Navy.
“So that means: tentara Amerika hidup bebas dan berkeliaran di negara ini dengan kedok penelitian kesehatan,” ungkap Agung.
Fakta lainnya, keberadaan NAMRU-2 selama 38 tahun tidak transparan. Seperti dilaporkan banyak pihak, lembaga riset medis angkatan laut AS tersebut tidak pernah melaporkan hasil penelitian kesehatan selama ini di Indonesia.
Dirinya menjelaskan, NAMRU-2 ditengarai mengambil sampel virus dari Indonesia untuk kemudian diolah menjadi senjata biologi.
Kecurigaan NAMRU-2 sebagai alat kepentingan intelijen AS, menurut Agung Nugroho digunakan untuk melanggengkan bisnis kesehatan AS di Indonesia. Dan hal itu dibenarkan oleh pakar intelijen Laksamana Muda (Purn) Subardo.
Temuan itu diketahui Subardo setelah 30 tahun bekerja di bidang intelijen, serta pernah menjabat sebagai Kepala Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) tahun 1986-1998.
“Kalau saya pribadi yakin itu ada motif intelijen dari Amerika. Saya kan kerja di bidang intelijen ini sejak Letnan hingga bintang dua (Laksamana Muda). Lebih dari 30 tahun,” ungkap Subardo di sela-sela Seminar Hari Kesadaran Keamanan Informasi (HKKI) di Fakultas MIPA UGM, Yogyakarta, pada Jumat 25 April 2008.
Ungkapan Subardo, diperkuat dengan hasil karya ilmiah Endang yang sejalan dengan misi NAMRU-2 yang diduga digunakan sebagai bahan penelitian intelijen AS guna mendapatkan vaksin atau obat penawar virus flu burung di Indonesia.
Editor: Romadhon
Sumber Berita : https://nusantaranews.co/namru-2-adalah-gerakan-intelijen-asing-berkedok-laboratorium-kesehatan/
“Yang pertama dari kacamata intelijen, NAMRU itu jahat. Jahat sekali. Karena apa? Dari pendeteksian kami, itu semua berkedok,” ungkap Sony saat menghadiri seminar terbatas bertajuk Strategi Mencegah Dibukannya Kembali NAMRU-2 Amerika Serikat di Indonesia yang diadakan oleh Global Future Institute (GFI) yang bekerjasama dengan Nusantaranews.co di kawasan Kebayoran Baru, Kamis, 30 Agustus 2018.
Saat ini lanjut Sony, tinggal bagaimana negara menyikapinya. Karena apa? Sebab, berbicara intelijen pasti berbicara ancaman. Rumusnya, kata Sony, ancaman itu intensif.
Jika dilakukan sebuah pemetaan atau maping, dari situ sudah terlihat. Dari mana hasil mapingya? Sony menjelaskan dari intelijen strategis yaitu komponen IPTEK. “Ketika berbicara global berarti berbicara nasional. Dan dampak dari intelijen ini ndak bisa dilihat sekarang. 30 tahun lagi,” kata dia.
Baca Juga:
NAMRU-2 Adalah Gerakan Intelijen Asing Berkedok Laboratorium Kesehatan
Serangan Bioterorisme Cina Ancam Petani di Indonesia
Untuk itu lanjut Sony, langkah yang mendesak untuk segera dilakukan
adalah melakukan pendeteksian sejak dini. Langkah tersebut sebagai upaya
prefentif untuk menyelamatkan generasi bangsa dari ancaman serangan
bioterorism.
“Kalau dak sekarang kita deteksi, nanti kasihan anak cucu kita. Banyak penyakit penyakit aneh timbul di Indonesia,” ungkapnya.
“Jujur saja, kami berkoordinasi dengan karantina tumbuhan banyak turis turis asing itu sebetulnya adalah intelijen semua. Tapi kita tidak tahu. Memang dia turis. Kita juga bekerjasama dengan imigrasi pengawasan orang asing. Entah itu kedoknya sebagai teknisi lah, entah itu kedoknya sebagai periset, tapi sebetulnya kalau kita dalami kegiatan mereka adalah riset untuk intelijen,” jelasnya.
Sony melanjutkan, sekarang tinggall bagaimana kita mendeteksi dalam rangka mencegah ancaman yang dihadapkan pada hibryd dan bioterrorism itu. Yang ia takutkan lagi, danau danau di Indonesia ini di suntik dengan zat zat berbahaya, maka bisa dibayangkan, semua orang di Indonesia bisa mati semua.
“Tidak bisa sekarang tapi 10 tahun, 20 tahun baru akan kelihatan. Jadi itu tadi bener, dikatakan permainan ekonomi, permainan pasar. Kan banyak buah buahan yang mengandung virus,” terang dia.
Baca Juga:
Boleh Jadi AFIRMS Sebagai Kelanjutan Proyek NAMRU-2, Indonesia Patut Waspada
Keberadaan AFRIMS Sebagai NAMRU-2 Gaya Baru?
Pemerintah dan masyarakat Indonesia harus terus melakukan kewaspadaan dihadapkan pada ancaman yang akan berkembang ke depan. Bukan lagi ancaman militer tapi nir militer.
“Kita tidak tahu apa yang terjadi. Semua dibungkus dengan politik, dengan ekonomi, atau kerjasama militer mungkin. Hati hati kerjasama militer, mereka memang latihan, tapi mereka sebenarnya juga observasi. Contoh saja pak, apakah orang yang tidur sama monyet di Kalimantan semua itu peneliti? Saya berikan klu saja. Apakah apakah pilot pilot di Papua itu adalah pilot pilot beneran? Apakah teknisi teknisi Freeport itu beneran? Apakah guru bahasa Inggris di Indonesia itu guru bahasa Inggris beneran? Mari kita bersama sama bergandengan bekerjasama mendeteksi. Sebab langkah awal adalah mendeteksi,” tegasnya.
Editor: Romadhon
Sumber Berita : https://nusantaranews.co/keberadaan-namru-di-indonesia-disebut-sebagai-kejahatan/
Hadir sebagai narasumber beberapa perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), mantan Danjen Marinir Letjen (purn) Suharto, mantan Dubes RI di PBB Makarim Wibisono, mantan Staf Khusus Menteri Kesehatan RI 2004-2009, dan Ketua Relawan Kesehatan Indonesia, Agung Nugroho.
Selain itu juga hadir beberapa perwakilan elemen masyarakat baik dari perguruan tinggi, Badan Intelijen Stragis (BAIS), beberapa pelaku media maupun beberapa pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat, khususnya yang bergerak di bidang kesehatan.
Keberadaan Naval Medical Research Unit 2 (NAMRU-2) Amerika Serikat di Indonesia sejak Januari 1974 hingga Oktober 2009, telah menjadikan Indonesia sebagai sasaran hegemoni dan dominasi AS di Indonesia. Sehingga berakibat membahayakan kedaulatan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menyadari kenyataan bahwa NAMRU-2 AS pada perkembangannya merupakan laboratorium bertujuan ganda, yaitu sebagai laboratorium penelitian penyakit-penyakit menular. Namun pada kenyataannya menjelma sebagai sarana operasi intelijen Angkatan Laut AS, yaitu sebagai sarana transfer virus dari Indonesia ke AS.
BACA JUGA:
Alhasil, AS berhasil menembus kedaulatan nasional Republik Indonesia melalui langkah Health Diplomacy (Diplomasi Kesehatan) yang dilancarkan pemerintah AS.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka beberapa narasumber maupun peserta aktif sepakat bahwa di bidang kesehatan, ketahanan kesehatan Indonesia sangat rapuh. Khususnya dalam dalam penelitian dan pengembangan masalah kesehatan terkait penemuan vaksin. Sehingga posisi tawar atau bargaining position pemerintah Indonesia di hadapan negara-negara maju sangat lemah.
Selain daripada itu, pusat referensi atau laboratorium referensi terkait penelitian dan pe ngembangan penemuan vaksin, hanya ada di beberapa negara maju seperti AS, Inggris, Australia, Jepang dan Korea Selatan. Hal itu disebabkan masih terkebelakangnya Indonesia dalam bidang biomedical science. Karena tidak adanya keterpaduan yang terintegrasi di kalangan para ilmuwan kesehatan.
Adapun terkait dengan adanya potensi ancaman beroperasinya kembali NAMRU-2 AS dengan menggunakan nama lain, para narasumber maupun peserta aktif sepakat agar pemerintah Indonesia, melalui berbagai instansi terkait, agar bersikap waspada.
Untuk itu, beberapa narasumber menggarisbawahi sektor Ristek (Riset dan Teknologi) maupun Perguruan Tinggi, berpotensi untu dijadikan pintu masuk agenda-agenda terselubung yang diproyeksikan sebagai lembaga-lembaga penelitian bertujuan ganda ala NAMRU-2 AS.
Apalagi dalam seminar mencuat suatu informasi bahwa di kementerian Ristek dan Perguruan Tinggi, terdapat sebuah tim yang berwenang memberikan perijinan bagi para peneliti asing. Atau penelitian yang digagas oleh para ilmuwan dari luar negri. Selain itu dari sektor pertanian juga berpotensi sebagai pintu masuk.
Sisi lain yang disorot dengan belajar dari kasus NAMRU-2 AS, betapa rawannya isu Bio Terorisme dan Weapon of Mass Destrucion. Mengingat fakta bahwa NAMRU-2 AS yang beroperasi di Indonesia telah digunakan sebagai media atau sarana transfer virus. Yang mana virus yang dikirim oleh NAMRU dari Jakarta, ditengarai telah dikirim ke Los Alamos, AS, untuk membuat Senjata Biologis atau Biological Weapon.
Rekomendasi GFI
Pertama, mengingat begitu banyaknya pintu masuk untuk menembus kedaulatan nasional Indonesia melalui sarana nirmiliter, maka perlu adanya kebijakan satu pintu alias One Gate Policy dari pemerintah Indonesia.
Kedua, sudah saatnya merevisi kembali undang-undang kesehatan, dengan menggunakan kerangka konsepsi Ketahanan Kesehatan yang bersifat terpadu dan terintegrasi dengan sektor-sektor strategis lainnya seperti politik-keamanan, politik ekonomi, sosial-budaya maupun pertahanan keamanan itu sendiri.
Terkait dengan potensi ancaman dari Bio Terorisme dan Senjata Pemusnah Massal atau Weapon of Mass Destruction, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan, agar mendesak negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN, agar mendesak kawasan Asia Tenggara menjadi wilayah bebas senjata nuklir dan senjata biologis, yang hakekatnya mauk kategori senjata pemusnah massal alias Weapon of Mass Destruction. (eda/ena)
Editor: Eriec Dieda
Sumber Berita : https://nusantaranews.co/ini-potesi-ancaman-beroperasinya-kembali-proyek-namru-2-as-gaya-baru-di-indonesia/
Global Future Institute (GFI) sependapat dengan Siti Fadilah Supari. Menurut GFI, keberadaan NAMRU-2 tidak memberikan manfaat untuk Indonesia. Dan sebaliknya, justru menjadi ancaman tersendiri bagi bangsa Indonesia sebagai perang nir militer melalui bidang kesehatan. Bahkan terungkap pula, bahwa beberapa tahun silam kantor NAMRU-2 di Indonesia menjadi markas terselubung intelijen Angkatan Laut Amerika Serikat untuk pengembangan senjata biologis pemusnah massal.
Lalu apa masalahnya? Ketua Relawan Kesehatan Indonesia Agung Nugroho mengungkapkan peneliti NAMRU-2 bebas bergerak ke seluruh pelosok negeri untuk mengambil sampel virus dari darah orang Indonesia. Dalam hal ini, NAMRU-2 dikatakan bergerak di bidang kesehatan, akan tetapi personelnya dari US Navy. Dirinya menjelaskan, NAMRU-2 ditengarai mengambil sampel virus dari Indonesia untuk kemudian diolah menjadi senjata biolog (biological weapon).
Perjuangan Siti Fadilah Supari menutup NAMRU-2 di Indonesia berlangsung rumit. Banyak penolakan. Termasuk dari Komisi I DPR RI. Waktu itu.
Sekadar informasi, NAMRU-2 secara resmi terdaftar di bawah komando Pusat Riset Medis Angkatan Laut AS (Naval Medical Research Center) yang berlokasi di Silver Spring, Maryland, Amerika Serikat. Setelah di Indonesia ditutup, NAMRU-2 fasilitas NAMRU-2 kemudian dipindahkan ke Hawaii.
Terlepas dari itu, pihak AS sepuluh tahun silam telah melayangkan proposal barunya untuk kelanjutan proyek NAMRU-2 di Indonesia. Namun, hingga kini kabar soal keberlanjutan proyek NAMRU-2 di tanah air surut dari pemberitaan media massa sehingga jarang terdengar publik. Terlebih, Siti Fadilah Supari kini sudah meringkuk di balik jeruji besi dalam kasus pengadaan alat kesehatan (alkes) tahun 2005. Dan pada tahun 2017, Siti divonis 4 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan.
Lalu bagaimana kabar proyek NAMRU-2 AS di Indonesia? Global Future Institute (GFI) pada tahun 2012 mengendus sebuah informasi didapat dari lingkaran dalam pemerintahan bahwa Kementerian Luar Negeri RI mempersiapkan sebuah nota kesepakatan baru dengan pihak Amerika Serikat mengenai keberlanjutan proyek NAMRU-2 di Indonesia. Inti dari kesepakatan baru itu ialah mengizinkan kembali proyek NAMRU-2 beroperasi di tanah air.
GFI menyebut, sumber internal Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat mendesak Indonesia membuka kembali proyek penelitian NAMRU-2 dengan dalih semakin menyebarnya virus HINI sebagai penyebab flu babi di dunia, sehingga keberlanjutan penelitian NAMRU-2 dalam bidang penyakit menular semakin penting untuk dibuka kembali di Indonesia.
Selain itu, GFI juga mengendus adanya sebuah proyek baru dari Pusat Riset Biomedis AS, yakni AFRIMS (The Armed Forces Research Institute of Medical Services). AFRIMS ditengarai sebenarnya merupakan proyek yang sama persis dengan NAMRU-2 dan telah menyebar di sejumlah negara Asia Tenggara seperti Laos, Vietnam, Singapura dan Filipina.
Namun demikian, terkait AFRIMS memang masih memerlukan eksplorasi dan investigasi secara lebih mendalam.
Sekadar tambahan, AS disinyalir memiliki 400 laboratorium serupa di seluruh dunia yang dibiayai oleh Washington.
Diskusi terbatas nusantaranews.co menghasilkan sejumlah pertanyaan besar terkait kasus-kasus wabah infeksi berbahaya yang terdeteksi di Afrika dan Asia Selatan selama ini. Boleh jadi, kasus itu merupakan akibat dari penelitian fasilitas militer AS tersebut, terutama terkait masalah keamanan. Seperti dilaporkan baru-baru ini, ahli mikrobiologi Amerika menemukan sebuah kotak kardus berisi sampel cacar yang telah terlupakan di ruang penyimpanan NIH di tahun 1950-an.
Kasus lain misalnya terkait skandal pengiriman sampel beberapa spora antraks aktif ke Departemen Pertanian AS yang kemudian ternyata telah terkontaminasi secara tidak sengaja dengan H5N1, yang merupakan sampel virus flu burung. Skandal spora antraks ini kemudian menimpa setidaknya 20 negara bagian, serta sebuah pangkalan militer di Korea Selatan, yang mengakibatkan 22 personil memerlukan perawatan medis serius.
Di Ukraina, ada peningkatan wabah penyakit berbahaya. Tapi relatif tidak mendapatkan perhatian media, kecuali perwakilan UNICEF di Ukraina dan beberapa stasiun TV lokal negara tersebut.
Kemudian, di Kota Izmail wilayah Odessa pada musim panas 2016 silam. Di wilayah ini, sebuah wabah infeksi usus misterius telah menimpa anak-anak. Lebih dari 400 anak dirawat di rumah sakit dalam waktu 24 jam. Penyebab wabah tersebut belum teridentifikasi. Pada tahun yang sama, Ukraina kembali ‘diserang’ oleh wabah flu babi aneh, yang menyebabkan SARS – sehingga Uni Eropa menerapkan larangan impor ayam selama enam bulan dari Ukraina.
Sebelum itu juga telah terjadi serangan infeksi flu burung di wilayah Kherson. Dan tahun 2017 muncul epidemi botulisme yang tak dapat dijelaskan – akibat dari memakan ikan yang terkontaminasi, yang menyebabkan kejang otot dan mati lemas. Lembaga medis tidak memiliki antitoksin yang tersedia, sehingga puluhan warga Ukraina meninggal dalam penderitaan yang sangat menyiksa.
Pada bulan Agustus tahun 2005, Kementerian Kesehatan Ukraina dan Departemen Pertahanan AS telah menandatangani sebuah bertajuk Kesepakatan mengenai Kerjasama di Area Pencegahan Perkembangan Teknologi, Patogen dan Keahlian yang Bisa Digunakan dalam Pengembangan Senjata Biologis.
Begitu kesepakatan tersebut dilakukan, sebuah institusi yang dikenal sebagai Laboratorium Referensi Pusat (CRL) dibuka di Odessa, berbasis di Institut Penelitian Anti-Plasma Mechnikov dan mengkhususkan diri dalam studi patogen manusia.
Menurut catatan, Departemen Pertahanan AS telah menginvestasikan sekitar US$ 3,5 juta ke dalam proyek tersebut, dengan pekerjaan yang dilakukan oleh subkontraktornya yang lama, Black & Veatch Special Projects Corp, di samping laboratorium diagnostik di Dnipropetrovsk, Lviv, Luhansk, dan Merefa, dekat Kharkov. Menarik untuk dicermati bahwa keamanan telah digenjot di laboratorium di Merefa, yang sekarang menjadi fasilitas Tingkat Keamanan Hayati 3, di mana mereka diberi wewenang untuk bekerja pada strain virus manusia mematikan dan bakteri yang sesuai untuk digunakan sebagai senjata biologis.
Tidak satu pun dari CRL berada di bawah kendali yurisdiksi negara tempat mereka berada, dan pekerjaan mereka sangat tertutup bagi orang luar. Personelnya terutama warga negara AS yang memiliki kekebalan diplomatik. Dengan kata lain, tidak ada perwakilan dari negara tuan rumah yang diizinkan mengakses laboratorium ini, termasuk otoritas kesehatan masyarakat sekalipun.
Jumlah karyawannya antara 50 sampai 250 orang – melebihi jumlah staf yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan semacam ini di fasilitas sipil. Laboratorium tersebut biasanya dipimpin oleh seorang perwira tinggi Angkatan Darat AS yang ahli dalam senjata biologis dan terorisme biologis.
Kasus ini persis seperti fasilitas NAMRU-2 di Indonesia yang tak dapat dikendalikan dan diakses pemerintah, serta karyawannya memiliki kekebalan diplomatik.
Berikutnya, laboratorium serupa juga dibuka di Kiev, Kherson, Vinnytsia, Ternopil, dan Uzhhorod sebelum tahun 2014. Sebanyak US$ 183 juta telah diinvestasikan dalam proyek-proyek ini. Sejak kudeta tahun 2014, kejadian di Ukraina terkait dengan isu-isu ini telah ditahan dengan ketat dari pers, bahkan wartawan dan pers independen Ukraina tidak diizinkan untuk membuat penyelidikan. (ed/edd)
Editor: Eriec Dieda & Alya Karen
Sumber Berita : https://nusantaranews.co/proyek-namru-2-afrims-dan-400-fasilitas-riset-biokimia-as-di-berbagai-belahan-dunia/
Kontroversi Menteri Kesehatan Endang Rahayu dengan NAMRU dan Bisnis AS di Indonesia
Kecurigaan
keberadaan NAMRU-2 (The US Naval Medical Reseach Unit Two) atau “Unit 2
Pelayanan Medis Angkatan Laut Amerika” di Indonesia sebagai alat
kepentingan intelijen AS guna melanggengkan bisnis kesehatan AS di
Indonesia, dibenarkan pakar intelijen Indonesia yang telah 30 tahun
bekerja di bidang intelijen.
*
Rekam jejak
karir mantan Menteri Kesehatan periode 2009–2014, Endang Rahayu
Sedyaningsih dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II banyak menuai
kontroversi.
Endang yang
dikenal dekat dengan Amerika Serikat (AS), menggantikan Siti Fadillah
Supari atas permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 21
Oktober 2009.
Sebelum
menjadi menteri, nama Endang jarang disebut-sebut media. Lulusan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1979 yang memperoleh
gelar Master on Public Health dan Doktor Kesehatan Masyarakat di Harvard University, AS tahun 1992 dan 1997 ini, mengawali karirnya sebagai Kepala Puskesmas di Waipare NTT.
1983 – Tiga tahun mengabdi di desa, Endang kemudian dipanggil lagi ke Jakarta tahun 1983.
1990
– Dia ditempatkan sebagai pegawai di Dinas Kesehatan Pemerintah DKI
Jakarta dan menghabiskan karirnya di Departemen Kesehatan (Depkes) sejak
1990.
2001
– Pada Juli hingga Desember 2001, Endang berkarir di kantor Badan
Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa, Swiss, bidang penanganan penyakit
menular.
2004
– Pada tahun 2004, Endang diangkat sebagai pejabat fungsional dengan
pangkat Peneliti Madya. Pada 26 Januari 2007, Endang dipercaya sebagai
Kepala Puslitbang Biomedis dan Farmasi.
2008
– Jabatan sebagai peneliti Madya juga diemban hingga 24 Juli 2008.
Sejak 1 Agustus 2008, Endang diangkat sebagai Peneliti Utama pada
Puslitbang Bio Medis dan Farmasi.
2009
– Sampai akhirnya, pada 21 Oktober 2009, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) mengangkat Endang sebagai pengganti Siti Fadilah.
Selama menjadi pegawai Depkes, Endang dikenal dekat dengan AS melalui NAMRU Unit 2 (The US Naval Medical Reseach Unit Two)
atau “Unit 2 Pelayanan Medis Angkatan Laut Amerika”. Atas kedekatannya
itulah, banyak pihak yang menudingnya sebagai antek AS di Indonesia.
Terkait
kedekatan Endang dengan Namru, dibenarkan Siti Fadillah. “Dia (Endang)
adalah mantan pegawai (Kepala laboratorium) Namru. Dia memang sekarang
ini tidak mempunyai jabatan khusus sebagai peneliti biasa,” kata mantan
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, pada Rabu 21 Oktober 2009.
Proyek ini
berhenti beroperasi sejak 16 Oktober 2009, karena menuai banyak
demonstrasi kecaman. Sebagai mantan pegawai Namru dan pegawai Depkes,
Endang diduga keras mempertahankan keberadaan Namru-2.
Hal itulah
yang membuat mantan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari berang dan
menuding Endang menjual virus flu burung ke luar negeri tanpa seizinnya!
Endang dinilai
lebih mementingkan AS dengan bisnis kesehatannya ketimbang Indonesia.
Akhirnya Siti menskors dan melakukan mutasi kepada Endang menjadi staf
biasa.
Namun, dengan entengnya, saat itu Endang menjawab hanya persoalan suka tidak suka seorang pimpinan terhadap bawahan.
Ketika Endang
dipilih menjadi menkes untuk menggantikannya, Menkes lama Siti Fadilah
Supari menyampaikan keterkejutannya. Ia tersentak karena Endang dipilih
presiden SBY sebagai Menkes baru.
“Ibu Endang
ini adalah orang yang paling dekat dengan Namru diantara dengan semua
pegawai Depkes,” ujar Siti Fadilah. Sejak mencuatnya kontroversi tentang
keberadaan Namru-2, banyak informasi yang masuk antara lain:
- Namru-2 habis masa kontraknya sejak tahun 2000.
- Staff Namru diberi kekebalan diplomatik (dibebaskan dari pajak dan disediakan tempat tinggal oleh pemerintah Indonesia)
- Menkes Fadilah pernah dipersulit untuk masuk Namru-2 padahal sejatinya Namru-2 didirikan diatas lahan milik depkes sendiri di Jl. Percetakan Negara no.29 Rawasari, Jakarta Pusat (lihat lokasi via satelit)
- Peneliti Namru-2 bebas bergerak ke seluruh pelosok negeri untuk mengambil sampel virus dari darah orang Indonesia.
- Namru-2 dikatakan bergerak dibidang kesehatan akan tetapi personilnya dari US Navy. So that means: tentara Amerika hidup bebas dan berkeliaran dinegara ini dengan kedok penelitian kesehatan.
- Keberadaan Namru-2 selama 38 tahun tidak transparan. Seperti dilaporkan banyak pihak, lembaga riset medis angkatan laut AS tersebut tidak pernah melaporkan hasil penelitian kesehatan selama ini di Indonesia (Media Indonesia, 22/4/2008 )
- Namru2 ditengarai mengambil sampel virus dari Indonesia untuk kemudian diolah menjadi senjata biologi.
Namru-2 adalah
sebuah laboratorium penelitian biomedis yang meneliti penyakit menular
demi kepentingan bersama AS, Departemen Kesehatan RI, dan komunitas
kesehatan umum internasional.
Namru-2 didirikan pada 1970 atas permintaan Departemen Kesehatan RI.
Kegiatan
penelitian bersama ini menitikberatkan pada malaria, penyakit akibat
virus seperti demam berdarah, infeksi usus yang mengakibatkan diare dan
penyakit menular lainnya termasuk flu burung. Penelitian Namru-2 hanya
berhubungan dengan penyakit-penyakit tropis yang terjadi secara alamiah.
Kecurigaan
Namru-2 sebagai alat kepentingan intelijen AS guna melanggengkan bisnis
kesehatan AS di Indonesia itu dibenarkan pakar intelijen Laksamana Muda
(Purn) Subardo. Hal itu diketahuinya setelah 30 tahun bekerja di bidang
intelijen, serta pernah menjabat sebagai Kepala Lembaga Sandi Negara
(Lemsaneg) tahun 1986-1998.
“Kalau saya pribadi yakin itu ada motif intelijen dari Amerika. Saya kan
kerja di bidang intelijen ini sejak Letnan hingga bintang dua
(Laksamana Muda). Lebih dari 30 tahun,” ungkap Subardo di sela-sela
Seminar Hari Kesadaran Keamanan Informasi (HKKI) di Fakultas MIPA UGM,
Yogyakarta, pada Jumat 25 April 2008.
Ungkapan
Subardo, diperkuat dengan hasil karya ilmiah Endang yang sejalan dengan
misi Namru-2 yang diduga digunakan sebagai bahan penelitian intelijen AS
guna mendapatkan vaksin atau obat penawar virus flu burung di
Indonesia.
Berikut beberapa karya ilmiah Endang tentang kesehatan:
1. Pengembangan Jaringan Virologi dan Epidemiologi Influenza di Indonesia (2007),
2. Karakteristik kasus-kasus flu burung di Indonesia (Juli 2005-Mei 2006), dan
3. Kajian penelitian sosial dan perilaku yang berkaitan dengan Infeksi Menular Seksual, HIV/AIDS di Indonesia (1997-2003).
1. Pengembangan Jaringan Virologi dan Epidemiologi Influenza di Indonesia (2007),
2. Karakteristik kasus-kasus flu burung di Indonesia (Juli 2005-Mei 2006), dan
3. Kajian penelitian sosial dan perilaku yang berkaitan dengan Infeksi Menular Seksual, HIV/AIDS di Indonesia (1997-2003).
Seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak retak“, yang cocok menggambarkan sosok mantan Menteri Kesehatan periode 2009–2014, Endang Rahayu Sedyaningsih.
Mantan Kepala Laboratorium di Namru (The US Naval Medical Reseach Unit Two) atau Unit 2 Pelayanan Medis Angkatan Laut ini, diduga bekerja untuk intelijen Amerika Serikat (AS).
Laboratorium
Namru berada di kompleks Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan di Jalan Percetakan Negara, Jakarta (lihat lokasi via satelit).
Sebagai jawaban atas dipilihnya Endang menjadi menkes menggantikan Siti Fadilah, maka pada 2007, Siti menulis buku “Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung Konspirasi Amerika Serikat dan Organisasi WHO”,
dalam mengembangkan senjata biologis dengan menggunakan virus flu
burung. Buku ini menuai protes dari petinggi WHO dan Amerika Serikat.
Akibat adanya
buku Siti tersebut, membuat pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan
peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI
bersedia menarik buku Siti Fadilah Supari setebal 182 halaman itu.
Majalah The Economist London
menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam
menyelamatkan dunia dari dampak flu burung. (baca artikel sebelumnya: Menguak Konspirasi Jahat AS Terhadap Menteri Kesehatan Indonesia, Tentang Virus Flu Burung (H5N1) )
Dalam bukunya
tersebut, Siti membeberkan topeng intelijen AS pada negara-negara
berkembang dan dunia ketiga dengan proyek kesehatannya.
Berawal ketika banyak negara (termasuk Indonesia) dilanda bencana virus Flu Burung.
WHO mewajibkan negara-negara yang menderita virus Flu Burung untuk menyerahkan virusnya ke laboratorium mereka.
Dikatakan, hasil penelitian dari virus tidak diberikan kepada negara penderita (affected countries).
Dia mengambil
contoh di Vietnam, yang memiliki karakter seperti Indonesia, dimana
penderita penyakit Flu Burung cukup banyak. Vietnam pun memberikan
sampel virusnya ke WHO.
Tidak adanya
vaksin yang didapat, malah terpaksa untuk membeli vaksin Flu Burung dari
salah satu perusahaan farmasi AS dengan harga mahal. Vaksin flu burung
yang dijual perusahaan AS itu, diduga didapat dari sampel virus Flu
Burung yang ada di Vietnam. Pola seperti ini juga yang diduga dilakukan
Namru di Indonesia dengan bantuan Endang.
Bahkan ketika
itu, salah satu nara sumber bernama Munarman, pernah menyatakan NAMRU-2
sebagai lab intelijen berkedok medis sehingga layak ditutup, Munarman
juga menyebut Jubir Presiden Dino Patti Djalal sebagai agen AS.
“Dino Patti
Djalal patut dipertanyakan karena dia mendukung kerjasama laboratorium
Indonesia-AS. Seorang jubir presiden menjadi intelijen asing,” ujar
Munarman dalam jumpa pers di kantor Medical Emergency Rescue Committee
(Mer-C), Jl Kramat Lontar, Jakarta Pusat, Rabu (23/4/2008).
Hal tersebut
dapat membahayakan negara, karena presiden yang tak tau apa-apa akan
ikut menjadi korbannya. Jika presiden menjadi korban kepentingan AS,
maka seluruh rakyat akan ikut mejadi korban AS. Tentang keberadaan agen
CIA di Indonesia bukanlah cerita dongeng dan isapan jempol.
Selama ini
memang sudah disinyalir dan terbukti banyaknya anak bangsa yang mau
menjadi antek-antek AS hanya karena uang. Mereka lebih mementingkan uang
daripada negara, itu sebabnya mereka dapat dibeli, terbukti mental dan
harga diri mereka memang murah.
Munarman berpendapat, Presiden SBY tentunya juga telah tahu NAMRU-2 melakukan kegiatan intelijen.
“Tapi dia
(Presiden – pen) lagi bingung. Menurut saya sih nggak usah bingung,
rakyat pasti mendukung NAMRU untuk ditutup,” ujar eks Ketua YLBHI ini.
Menanggapi isu
tersebut kala itu, Endang bersikap diplomatis. Dia mengatakan akan
tetap bekerjasama dengan Amerika untuk bidang kesehatan. “Tapi bukan
dengan Namru. Kami akan lihat nanti bentuk apa yang sesuai,” kata Endang
dalam jumpa pers, Kamis 22 Oktober 2009.
Namru- 2 kini pun berganti nama menjadi Indonesia United States Center for Medical Research (UIUC).
Kerja sama
Indonesia-Amerika, menurut dia, luas, salah satunya adalah laboratorium
biomedis untuk pengembangan vaksin, alat diagnostik, identifikasi virus,
bakteri, dan lain-lain.
Ia juga
membantah informasi yang mengatakan bahwa dia menjual specimen virus flu
burung ke luar negeri. “Apakah saya menjual specimen, tidak benar. Saya
tidak menjual specimen,” kata Endang.
Beberapa
kalangan tetap masih menduga, ditunjuknya Endang sebagai menteri karena
kedekatannya dengan Namru (The US Naval Medical Reseach Unit Two) atau
Unit 2 Pelayanan Medis Angkatan Laut Amerika Serikat. Diketahui, Endang
pernah menjabat sebagai Kepala Laboratorium di Namru dan Badan Kesehatan
Dunia (WHO) di Jenewa, Swiss, bidang penanganan penyakit menular, pada
Juli-Desember 2001.
Dugaan itu
diperkuat dengan ditolaknya calon menteri yang sebelumnya disebut-sebut
sebagai bakal pengganti Siti, yakni Nila Anfasha Juwita Moeloek dengan
alasan tidak memiliki kemampuan menghadapi tekanan pekerjaan yang berat.
Padahal, saat berkarir di Departemen Kesehatan (Depkes), Endang
memiliki catatan buruk.
Bahkan, Endang tanpa melalui tes kesehatan saat proses seleksi menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.
Setelah
setahun menjabat, Endang divonis mengidap kanker oleh RSPAD Gatot
Subroto. Masyarakat melihat, banyak terjadi kejanggalan. Hal ini inilah
yang menjadi polemik.
Namun,
terpilih dan tidaknya seorang calon menteri, tetap tergantung SBY.
Semua, dikembalikan kepada dia yang memutuskan orang tersebut layak atau
tidak.
Karena tes
yang dijalankan oleh seorang calon menteri, hanya bagian dari penilaian
awal dan bukan akhir. Banyak kalangan menduga, sikap SBY erat
hubungannya dengan intervensi AS dan politik yang dianutnya.
Seperti
diketahui, Endang meninggal dunia pada hari Rabu (2/5/2012) lalu sekira
pukul 11.41 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
setelah berjuang melawan penyakit kanker yang dideritanya sejak 1,5
tahun lamanya. Endang meninggal dalam usia 57 tahun.
Bahkan
penyakit kanker paru-paru yang diderita Endang juga sempat membuat
kontroversi. Penyakit kanker yang tiba-tiba muncul hanya dalam tempo 1,5
tahun saja sudah dapat merengut nyawanya.
Apalagi ia bukan perokok dan riwayat kesehatannya juga tidak menjelaskan adanya sel kanker di dalam tubuh Endang.
Mengingat Endang adalah menkes, maka medical check-up
selalu dilakukan terhadap dirinya secara rutin sebagai menteri
kesehatan. Walau ada gejala sel kanker-pun, namun jika selalu melalukan medical check-up secara rutin maka gejala kanker akan terdeteksi pada tahap awalnya dan dapat disembuhkan.
Dalam beberapa kali medical check-up,
Endang memang sempat melakukannya di AS. Maka timbul pertanyaan, apakah
mungkin ia sempat diberikan obat, minuman atau suntikan yang dapat
menyebabkan kanker paru-paru?
Misalkan
jawabannya iya, maka timbul pertanyaan selanjutnya, mengapa kanker
paru-paru tersebut tak dapat terdeteksi sejak awal? Ataukah memang sel
kanker jenis ini tak dapat terdeteksi dan bereaksi sangat cepat?
Kontroversi
selanjutnya adalah terhadap mantan menkes sebelum Endang, yaitu Siti
Fadilah yang kini disinyalir melakukan tindak korupsi. Timbul pertanyaan
untuknya, apakah korupsi yang dituduhkan terhadap Siti adalah juga
hasil rekayasa antek-antek AS yang ber-KTP dan berkewarganegaraan
Indonesia serta juga berada dan tinggal di Indonesia?
Mengingat Siti
adalah menkes yang paling gencar melakukan kritik dan anti
kebijaksanaan AS dan Badan Kesehatan Dunia WHO. Ditambah dengan
penerbitan bukunya tentang bukti keterlibatan AS dalam dampak virus flu
burung di Indonesia dan dibelahan dunia lainnya yang tentu saja sangat
membuat AS gerah dan berusaha untuk mengagalkan beredarnya buku ini.
Kembali kepada
Endang, namun di luar kontroversi yang ada dalam diri mantan menkes
Endang (almarhumah), banyak juga jasa yang sudah diberikannya selama
hidup. Salah satunya adalah ikut menyukseskan program Badan Pengamanan
Jaringan Sosial (BPJS). Sayang, program kerakyatan itu belum
diselesaikannya.
Kini, sebagian
kebenaran kontroversi dan konspirasi tersebut diatas, dibawa pergi
bersama kepergian Menkes Endang Rahayu, apakah Namru-2 benar seperti
yang dituduhkan dan keterlibantan Menkes Endang di dalamnya? Apakah
kanker paru-paru yang dideritanya adalah rekayasa? Apakah kasus korupsi
yang menjerat mantan menkes Siti Fadilah juga direkayasa?
Semua jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan diatas pastilah ada diluar sana, namun mereka
yang mengetahuinya akan tetap tak mau bicara, mereka tetap diam dan
menyembunyikan semuanya.
Ya, jika
seorang pengecut tak berani mengungkapkan kebenaran maka berarti ia ada
diseberangnya, pembela ketidak benaran… dan tetaplah kau bersembunyi
didalam sana. “The thuth is out there, just keep inside”. Maka… biarlah sejarah dan waktu yang akan mengungkapkannya, itupun jika mungkin. (©IndoCropCircles.com/berbagai sumber)
Sumber Berita : https://indocropcircles.wordpress.com/2012/05/04/politik-endang-rahayu-namru-bisnis-amerika/
Bu Siti Melawan Amerika
[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="Flu Burung yang mematikan"][/caption] Berita
kematian Puguh Dwi yanto, seorang warga Sunter, Jakarta Utara, 7
Januari 2012, menggerak perhatian saya melotot kasus ini. Sejumlah
media massa merilis, penyebab tewasnya pria berusia 23 tahun itu diduga
akibat flu burung. Di Jakarta, menurut Kepala Dinas Kesehatan DKI, Dien
Emmawati, sebagaimana yang saya lansir dari TribunNews (9 Januari
2012), korban flu burung di Jakarta tak banyak yang bisa diselematkan
medis. Tahun 2009, dari 10 kasus flu burung, delapan orang diantaranya
meninggal dunia. Tahun 2010, dari total tiga kasus, semuanya
meninggal dunia. Sepanjang 2011, dari tiga kasus, hanya satu yang
selamat. Kasus flu burung yang masih merebak awal 2012 ini mengingatkan
saya akan perjuangan Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI
2004-2009. Ia menggugat ketidakadilan sistem WHO dalam penanganan flu
burung. Proses gugatan itu saya tulis dalam Liputan Utama di Majalah
FORUM Keadilan 2008 (saat itu saya masih menjadi wartawan majalah ini).
Berikut naskah asli tentang gugatan Bu Siti, yang pernah tayang di
majalah FORUM Keadilan (judul: Bu Siti Melawan Amerika), dan mendapat
penghargaan karya jurnalistik Terbaik Kedua setelah TEMPO (judul: Panas
Dingin Virus Namru) dari Departemen Kesehatan, Desember 2008 (link: http://rol.republika.co.id/berita/21410/Menkes_Serahkan_Penghargaan_Kesehatan)
========================================================== [caption
id="" align="alignleft" width="439" caption="Siti Fadilah Supari
berpidato di depan sidang WHO "][/caption] Edisi 44 | FORUM UTAMA |
Majalah FORUM Keadilan | 2008 Bu Siti Melawan Amerika Di
dalam buku setebal 182 halaman itu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah
Supari menguak keculasan yang melibatkan organisasi internasional dan
negara-negara kaya, mengenai flu burung.
Hasil rekayasa Amerika? ”Diborongnya obat Tamiflu oleh negara-negara kaya yang tak memiliki kasus Flu Burung, sungguh sangat menggoreskan luka mendalam hati saya. Alangkah tidak adilnya. Bayangkan saja Flu Burung menimpa negara-negara yang sedang berkembang bahkan miskin, tetapi mereka tidak diprioritaskan dalam pengadaan obat-obatan yang masih terbatas produksinya di dunia.” Itulah petikan salah satu bab pada buku terbaru Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari yang berjudul "Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung." Buku yang diluncurkan 6 Februari 2008 lalu di Jakarta itu terbilang istimewa. Buku setebal 182 halaman itu mengisahkan perjuangan Siti Fadilah mendobrak ketidakadilan organisasi internasional sekelas WHO dan negara-negara maju, terutama dalam penanganan kasus Flu Burung yang mulai menyerang manusia sekitar empat tahun silam. Bu Siti, yang juga dokter spesialis jantung ini tidak patah arang. Ia mengumpulkan energi dan menganggarkan dana untuk dapat obat Tamiflu. Nama generik obat ini: Oseltamivir, produksi Roche (berpusat di Grenzach, Jerman) dalam jumlah tertentu atas anjuran WHO. Dana sudah ada. Sialnya stok habis. Tamiflu ludes dipesan negara-negara kaya sebagai stockpilling. Siti curiga. Pasalnya, kasus flu burung tidak terjadi di negara itu. Menkes akhirnya terpaksa mencari jalan keluar mendapatkan Oseltamivir dari India. Negara ini juga memiliki lisensi dari Roche. Untungnya juga, Indonesia mendapat sumbangan dari Thailan dan Australia. Tapi jumlahnya terbatas, karena stok di dua negera itu juga tipis. Kejadian itu meninggalkan bekas luka mendalam di hati Siti Fadilah Supari. Ia berpikir: seandainya nanti ditemukan vaksin Flu Burung pada manusia, pasti negara kaya yang meraup keuntungannya. Betapa tidak: bahan (material) untuk membuat vaksin atau virusnya diperoleh dari negara penderita Flu Burung yang tidak kaya, yang belum tentu mampu membeli vaksin yang dibuat oleh negara kaya. Maka, kata Siti Fadilah, tak heran bila 90 persen perdagangan vaksin di dunia dikuasai hanya oleh 10 persen penduduk dunia yang tersebar di negara-negara kaya. Lebih lanjut, Menkes Siti Fadilah Supari mengungkapkan sampel virus Flu Burung diambil dan dikirim ke WHO (WHO Collaborating Center), untuk dilakukan risk assesment (pengkajian risiko), diagnosis, dan kemudian dibuat seed virus. Dari seed virus inilah kemudian dipakai untuk membuat vaksin. Sekali lagi, ini amat ironi. Pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-negara industri, negara maju, negara kaya yang tidak mempunyai kasus Flu Burung pada manusia. Vaksin itu lalu dijual ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kedaulatan dan rasa nasionalisme Siti Fadilah terusik. Pikirannya menerawang pada ungkapan Bung Karno 50 tahun lalu yang menyebut praktik kecurangan itu sebagai neo-kolonialisme: ketidakberdayaan suatu bangsa menjadi sumber keuntungan bangsa yang lain. Siti Fadilah menjelaskan, pengiriman sampel virus ke WHO tak hanya Flu Burung. Tak urung, karena aturan Global Influenza Surveilance Network (GISN), spesimen Influenza biasa juga wajib dikirim oleh 110 negara ke WHO. ”Itupun sudah berangsung selama 50 tahun. Entah siapa yang mendirikan GISN itu”, tulisnya. Siti Fadilah tak tahu. Yang jelas, kata dia, negara-negara penderita Flu Burung tak berdaya dihadapan WHO melalui GISN. Tak ada yang protes kalau virus yang diterima GISN sebagai wild virus menjadi milik GISN. Kemudian diproses untuk risk assesment dan riset para pakar. Disamping itu juga diproses menjadi seed virus. Dari seed virus itulah bisa dibuat suatu vaksin. Bila berhasil, vaksin itu didistribusikan ke seluruh negara di dunia secara komersial, termasuk negara penderita yang mengirim virus. Harganya juga cuma bisa ditentukan oleh produsen vaksin yang hampir semuanya bercokol di negara industri yang kaya. Tentu dengan harga yang sangat mahal tanpa mempedulikan alasan sosial kecuali alasan ekonomi, semata. ”Sungguh nyata, suatu ciri khas kapitalistik,” hardik Supari. Siti Fadilah heran kenapa tidak ada yang protes. Padahal tidak seorang pun tahu virus dari manakah yang digunakan untuk membuat vaksin dan kemudian mereka jual. Konon kabarnya virus dari Indonesia dan Malaysia. ”Entahlah benar apa tidak. Pokoknya kalau Anda butuh ya harus membeli dengan harga mahal,” imbuh Supari lagi. Usut demi usut, virus H5N1 (perantara virus Flu Burung lewat unggas) yang dikirim ke WHO, ternyata penelitinya memperlakukan virus itu sama dengan peraturan Seasonal Flu Virus (Flu biasa). Setelah itu mereka hanya disuruh menunggu konfirmasi diagnosis dari virus yang dikirim tersebut. Itupun harus sabar menanti 5-6 hari. Sementara korban terus berjatuhan. Setelah hasil diagnosis dikirim, data yang paling penting, yakni sequencing (pemilahan) DNA H5N1, disimpan di WHO. Tak pernah tersentuh oleh ilmuan dunia, karena memang aksesnya tidak pernah dibuka. Menkes Siti Fadilah mencontohkan Vietnam. Negara itu tak pernah tahu kemana virus yang dikirim itu sekarang. Eh...tahu-tahu sudah beredar di dunia sebagai vaksin yang diperjual-belikan dengan harga yang tak terjangkau bagi negara berkembang. Sementara rakyat Vietnam meninggal karena Flu Burung, di depan mata pedagang berkulit putih dari Eropa yang menawarkan vaksin dengan Vietnam strain. Yang mengejutkan: data penting yang mengendap itu disimpan diLos Alamos.Lho? Ini kan sebuah laboratorium yang berada di bawah Kementerian Energi, Amerika Serikat. Di labotarium inilah Bom Atom untuk melumat Hiroshima (1945) dirancang.
[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="With Oak Ridge National Laboratory, where the Spallation Neutron Source is located, Argonne, Berkeley, Brookhaven, Jefferson, and Los Alamos national laboratories are building the facility"]
[/caption] Kabar tersimpan di Los Alamos dilansir Siti Fadilah dari koran Singapura,Straits Times , 27Mei 2006. Artikelnya berjudul ”Scientists split over sharing of H5N1 data”. Dengan kata lain, data sequencingH5N1
yang dikirim ke WHO hanya dikuasai oleh ilmuwan-ilmuwan di Los
AlamosNational Laboratory di New Mexico,yang jumlahnya sangat sedikit.
Barangkali hanya sekitar 15 grup peneliti, dimana 4 dari 15 ini berasal
dari WHO, dan sisanya, Siti memberi analogi, seperti hantu. Kekecewaan
kepada WHO tidak hanya itu. Siti Fadilah juga membeberkan soal kasus
klaster yang terbesar di dunia, yakni di Tanah Karo, Sumatera Utara,
dengan kematian tujuh dari delapan orang bersaudara yang menderita Flu
Burung. Para pakar dari WHO yang hampir semuanya epidemiolog
menyimpulkan: klaster yang terjadi di Tanah Karo adalah suatu kejadian
penularan antar manusia (human to human transmission).
Siti Fadilah menilai kesimpulan itu sangat sembrono. Begitu juga WHO
Indonesia, dengan arogannya meyakinkan semua wartawan dalam negeri
maupun luar negeri, bahwa sudah terjadi penularan antar manusia di
Indonesia. Bahkan, CNN dengan headline news menyiarkan ke
seluruh dunia berita ’sadis’ itu. Ini artinya, pandemik Flu Burung yang
ditakutkan umat manusia sedunia: sudah mulai. Siti Fadilah sangat marah.
Pasalnya belum ada laporan perubahan bentuk dan fungsi (mutagenesis) dari DNA virus Flu Burung yang ditemukan di Tanah Karo. Ia lalu menghubungi Prof Sangkot Marzuki, seorang ilmuwan molecular biologist
yang cukup dikenal di dunia, juga pimpinan labotarium Eijkman, yang
berpusat di Jakarta. Menkes meminta agar labotarium Eijkman membuat sequencing
DNA virus Flu Burung dari Tanah Karo. Lembaga itu menyanggupi. [caption
id="" align="aligncenter" width="400" caption="Sangkot Marzuki, The
brilliant professor behind Eijkman"]
[/caption] Sambil menunggu hasil analisa labotarium Eijkman, Siti Fadilah Supari menggelar konferensi pers, guna meredam ekses statement WHO, yang amat sembrono itu. Siti Fadilah Supari menegaskan, penularan Flu Burung secara langsung dari manusia ke manusia di Tanah Karo: salah! Bila benar terjadi, korban yang pertama adalah tenaga kesehatan yang merawat mereka. Dan kematian di daerah korban akan sangat banyak. Bukan puluhan, tapi mungkin ribuan. Kabar itu kemudian dilaporkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menkes meyakinkan Presiden pendapatnya itu. Hasilnya, menurut cerita Menkes, Presiden SBY kala itu bisa saja melayangkan surat protes ke PBB. Tapi ditahan Menkes, karena sedang menunggu pembuktian labotarium Eijkman. Yang ditunggu kemudian keluar juga. Labotarium Eijkman berhasil melakukan sequencing. Hasilnya: DNA virus Flu Burung dari Tanah Karo menunjukkan suatu virus H5N1 yang masih identik dengan virus H5N1 sebelumnya di daerah lain di Indonesia. Artinya: belum menular human to human. Hanya, ada sedikit perubahan yang menunjukkan virus Tanah Karo ini agak lebih ganas dibanding dengan virus sebelumnya. Namun struktur lainnya masih sesuai dengan virus yang menular dari binatang (ayam) ke manusia. Sayangnya, masyarakat internasional sepertinya cuek. Mereka seolah-olah kurang percaya dengan hasil sequencing yang dilakukan di labotarium Eijkman, hanya karena lembaga tersebut belum pernah diakreditasi oleh WHO. Maka digelarlah pertemuan antar pakar dan AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia). Akhirnya diputuskan untuk mentransparankan data sequencing DNA virus H5N1 untuk perkembangan ilmu pengetahuan agar tidak dimonopoli oleh sekelompok ilmuwan saja. Sepucuk surat kemudian dilayangkan ke WHO untuk meminta data sequencing virus dari Tanah Karo. Permintaan itu dituruti. Dan tanggal 8 Agustus 2006, sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia mempelopori ketransparanan data sequencing DNA virus H5N1 yang sedang melanda dunia. Caranya, Siti dengan jeli mengirim data yang tadinya disimpan di WHO ke Gen Bank (Genetic Sequence Data Bank), yang dikelola National Institute of Health Amerika, berkolaborasi dengan DNA DataBank of Japan (DDBJ), European Molecular Biology Laboratory (EMBL), dan GenBank itu sendiri di National Center for Biotechnology Information (NCBI). Dari sinilah semua ilmuan dunia akhirnya bisa mengakses DNA H5N1. Sebab database sekuen genetik, dan semua sekuen DNA, berikut dengan teranotasi dan tranlasinya, dipublikasikan ke seluruh dunia; bisa diakses secara online. Sejumlah media luar negeri menulis Siti Fadilah Supari sebagai sang Maestro. Satu diantara menuliskan: Menteri Kesehatan Indoensia itu seperti tambang emas yang kini muncul di bumi. Tapi banyak pula yang mencibirnya. Siti Fadilah, terutama dirilis dalam beberapa blog, dilukiskan setara dengan Ahmadienejad, musuh bebuyutan Presiden Bush. Kabar terakhir yang diperoleh Siti Fadilah, laboratorium Los Alamos sudah ditutup sejak ia menuntut data virus Tanah Karo. Saat FORUM bertandang ke rumahnya, untuk bertanya soal ini, tak kuasa Menkes menahan senyum. Sejak itu diagnosis Flu Burung dilakukan di laboratorium Litbangkes, Departemen Kesehatan RI dan labotarium Eijkman. Meskipun tidak diakui WHO, Siti Fadilah Supari tak ambil pusing. Ia akan membuktikan bahwa Indonesia adalah negara merdeka dan berdaulat yang tidak bisa didikte begitu saja. Malah, setelah Siti Fadilah berjuang membuka akses bagi para peneliti dunia dengan menempatkan data flu burung pada GenBank (public domain), Departemen Kesehatan berencana akan membuatearly and rapid diagnostic dan vaksin dari virus strain Indonesia secara mandiri atau bekerja sama dengan prinsip kesetaraan dengan negara maju. Terbuka akses DNA H5N1 di GenBank telah menabuh perang diplomasi negara-negara berkembang yang dipelopori Indonesia dengan WHO. Sejak 20 Desember 2006, Indonesia tak lagi mengirimkan spesimen virus Flu Burung dari Indonesia ke WHO lagi. ”Itu kalau mekanismenya masih mempertahankan GISN,” cetus Siti. Artinya, Siti menuntut mekanisme imperialistik itu harus diubah menjadi mekanisme yang adil dan transparan. Dunia tepuk tangan. Berkat data yang diberi Siti Fadilah Supari ke Gen Bank, akhirnya sharing virus disetuji dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia International (Government Meeting WHO) di Jenewa Mei 2007. Yang lebih yahud: GISN dihapuskan. Diplomasi Menkes tidak berhenti sampai di situ. Ia menuntut pengembalian 58 seed virus yang dikembangkan dari virus strain Indonesia ke WHO. Sayangnya, semua seed virus Flu Burung sudah terlanjur disimpan di Los Alamos yang sudah ditutup itu. Menkes mendapat kabar, begitu Los Alamos tutup, penyimpanan data sequencing-nya dipindahkan ke dua tempat. Sebagian ke GISAID dan sebagian lagi ke BHS atau Bio Health Security: suatu lembaga penelitian senjata biologi yang berada di bawah Departemen Pertahanan Amerika Serikat di Pentagon. Dan tentu saja virus-virus H5N1 Indonesia ada disana. Hampir semua pegawai dan peneliti dari Los Alamos ditampung di BHS Pentagon. Artinya, permainan masih diteruskan sampai saat ini, meskipun nama dan keberadaannya sudah berganti. Inilah bayang-bayang yang selalu mengusik Menkes. Bagaimana WHO mengirimkan data sequencing DNA ke Los Alamos? Apa hubungannya? Ia menduga virus dari affected countries dikirim ke WHO melalui mekanisme GISN. Tapi bagaimana mekanismenya masih misteri. Bukan tidak mungkin virus itu dijadikan senjata biologi. Soal itu, Menkes tidak berani menceritakan tentang misteri Los Alamos kepada Presiden. Beberapa hari setelah launching buku itu, kepada FORUM, Siti Fadilah mengaku dihubungi wartawan dari salah satu media di Australia untuk menanyakan keabsahan buku yang ia tulis itu. Siti Fadilah menjawab, bukunya itu merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi sebelumnya, khususnya ketika wabah Flu Burung mengancam dunia sekitar empat tahun lalu. Namun esoknya, hasil wawancara sama sekali tak dimuat. Malah berita tersebut menggambarkan Menkes Indonesia dalam bukunya membongkar konspirasi Barat dalam menggunakan sampel flu burung. Berita itu juga menulis tuduhan Siti Fadilah akan keterlibatan AS dan WHO, yang memanfaatkan virus itu untuk senjata biologi. Dari sinilah kontroversi meletup hingga ke Timur Tengah. Beberapa ilmuan AS menyebut buku itu karya “Dungu”. Merasa lembaganya disentil, Kamis pekan lalu, David Heymann, pejabat keamanan WHO seperti dilansir surat kabar Australia, The Age, meminta Menkes menarik buku tersebut. Heymann mengaku telah mendiskusikan buku itu dengan Siti Fadilah dan memintanya menariknya dari pasar. Hayman sendiri bingung atas tuduhan Siti bahwa sampel virus flu burung digunakan untuk senjata biologi. "Saya tidak mengerti mengapa mereka akan membuat virus ini sebagai senjata biologi,” katanya. [caption id="" align="alignleft" width="240" caption="Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan dibalik Virus Flu Burung, 2008 (karangan Siti Fadilah Supari, Editor: Cardiyan HIS)"]
[/caption] Amerika Serikat yang awalnya tidak
mempersoalkan buku itu, belakangan ikut termakan pers Australia. Beredar
kabar: Amerika menawarkan bantuan peralatan militer kepada TNI asalkan
buku itu ditarik dari peredaran. Namun isu itu segera dibantah Menteri
Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates setelah bertemu dengan Presiden
SBY, Senin pekan lalu. "Tidak benar Amerika Serikat menawarkan
perlengkapan militer agar buku ditarik dari peredaran," imbuh Gates. Ia
juga menegaskan tidak membicarakan masalah buku tersebut dengan Presiden
Yudhoyono. Tapi kabar yang beredar, Presiden SBY menekan Menkes agar
buku itu ditarik. “Tidak benar kabar itu. Ini hanya diplintir media,”
aku Siti. Dari pihak Istana Negara, juru bicara Andi Mallarangeng enggan
berkomentar. Ia lalu menunjuk Dino Patti Djalal, juru bicara Presiden
urusan luar negeri. Tak beda dengan Andi, Dino pun menolak. ''Saya no
comment, silakan masalah ini ditanyakan langsung ke Menkes'' jelasnya.
Tuduhan pers Barat terhadap Siti yang mendiskreditkan WHO dan Amerika
Serikat, juga ia tampik. Menkes mengaku tidak menuduh negara mana pun.
Kepada FORUM, Menkes Siti Fadilah Supari merasa media Australia sudah
mempelintir hasil wawancaranya, dan ia merasa dipojokkan oleh sebagian
besar pers Barat. Lewat bukunya, Menkes mengaku cuma mempertanyakan para
peneliti di WHO menggunakan sampel virus flu burung negara berkembang
untuk keperluan vaksin atau mengembangkan senjata kimia. Di halaman 73,
Menkes menulis: ''Kami sama sekali tak pernah tahu, apakah virus itu
digunakan untuk penelitian atau publikasi, ataukah mereka di-sharing ke
pabrik vaksin untuk dibuat vaksin. Atau mungkin virus itu digunakan
untuk pengembangan senjata biologi.” Terancam bukunya ditarik dari
peredaran tak membuat Menkes Siti Fadilah ciut nyali. Dia bertekad untuk
mempertahankan buku itu tetap beredar, apa pun resikonya. Siti bahkan
akan mencetak ulang buku yang di luar negeri laris manis itu. Dan
bahkan, Siti Fadilah akan menerbitkan jilid keduanya. “Isinya seputar
kontroversi buku pertama saya, juga ada seputar polemik Askeskin
(Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin” kata Siti sedikit buka kartu.
Cardiyan HIS, editor buku ini angkat suara. Kepada FORUM dia bilang,
buku yang telah beredar sulit ditarik karena ludes terjual, terutama
versi Bahasa Inggris-nya. “Saya dapat penuh SMS (pesan pendek) kapan
dicetak ulang. Di salah satu toko buku di Jakarta Pusat, bahkan ada bule
yang rela menunggu depan plaza sebelum book store dibuka. Tapi tak
dapat karena habis. Menurut kabar dari distributor utama buku ini, versi
bahasa Inggrisnya ludes dalam waktu yang tak sampai seminggu”. Bahkan,
kabarnya, Iran telah memeasan 5000 eksemplar! Mendengar keterangan
Cardiyan, sang Maestro senyum-senyum saja. YULIADI, ALFI RAHMADI ******
[caption id="" align="aligncenter" width="800" caption="Siti Fadilah Supari"][/caption] Edisi 44 | WAWANCARA | Majalah FORUM Keadilan | 2008 Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI 2004-2009 ”Kalau Flu Biasa Dengan Kerokan Saja Sudah Sembuh” Rumah dinasnya terletak di bilangan jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta Selatan. Kamis malam pekan lalu, FORUM bertandang ke rumah yang dihuni oleh Menteri Kesehatan RI, Siti Fadilah Supari. Begitu masuk, dia sedang sibuk nelpon. FORUM dipersilahkan masuk ruang tamu utama terlebih dulu oleh ajudannya, bernama Ade. Sepuluh menit kemudian, Bu Siti belum juga muncul. Tapi suaranya yang sedang nelpon sayup-sayup terdengar dari ruang tamu utama. Dinding di ruang utama dihiasi oleh beberapa lukisan Siti Fadilah, yang terpahat dalam kanvas. Satu diantaranya, lukisan saat dia masih menjadi mahasiswi di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Tergurat paras cantik di masa mudanya. Postur tubuhnya ramping, tentu amat berbeda dengan sekarang di usianya kepala 50. Satu lagi lukisan yang kamiamati: lukisan Siti dengan beberapa pasien dengan ornamen abstrak, sulit menangkap maknanya bila hanya dilihat sekilas. Maklum saja--sebagaimana tertera di sebelah kiri lukisan-- yang melukisnya adalah Sujiwo Tejo; seniman yangnjelimet dipahami bagi yang awam. Jarum jam berjalan. Bu Siti masih berbincang via hand phone-nya, sambil memberi kode kepada sang ajudan untuk mempersilahkan dr. Toyibi, mantan ketua tim kedokteran almarhum Soeharto, yang juga baru datang, masuk ke dalam rumah. Dia juga dokter spesialis jantung, sama dengan Siti Fadilah Supari. Dr. Toyibi ditemani rekannya dari Jawa Timur bernama Munzir. Satu lagi, ada adik laki-laki Siti Fadilah juga di situ. Diantara tiga lelaki ini, justeru dialah yang paling antusias selama dalam perbincangan . Ia jebolan Astronomi dari Institut Teknologi Bandung. Sejak Siti Fadilah Supari membongkar ketidakadilan WHO dalam kasus flu burung, memang ada banyak kolega yang menemui dirinya, memberikan support. Media massa asing, aku Siti, menghajar dirinya habis-habisan. “Hp saya ini selalu online. Itu tadi juga dari wartawan,” kata Siti kepada Alfi Rahmadi dari FORUM, setelah hampir 15 jam melayani wawancara dari sebuah media massa yang enggan ia sebutkan. Kadang Siti kesal, karena apa yang disampaikan tak sesuai yang diberitakan. “Yang paling gencar malah bukan dari pers Indonesia, tapi dari Amerika dan Australia.” Media massa di dua negara itu masih ngotot bertanya maksud Siti soal Los Alamos. Mahluk apa itu? Petikannya:
Apa motivasi Anda menulis buku ini?
Saya menjalani fungsi saya sebagai Menteri. Ngurus dari Tsunami dan segala kejadian kesehatan. Begitu adanya Flu Burung, memang belum pernah di Indonesia. Obat-obat yang dikenal sebagai untuk Flu Burung adalah Tamiflu. Saya ingin membeli obat itu. Tapi habis. Lho kok habis? Siapa yang beli,wong pasiennya saya (Indonesia—red), tapi yang beli seperti Amerika, Jepang, dan negara-negara kaya dan negara itu tidak kena Flu Burung. Itu pertanyaan pertama. Saya sedih banget. Akhirnya saya dapat Tamiflu dari India sebagai buffer stok, atau tidak boleh dijual di apotek. Dan satu-satunya virus sekarang yang masih tersisa dan tidak resisten terhadap Tamiflu adalah virus kita saja. Tapi tiap hari pasiennya tambah. Tapi eh..malahan ada orang yang nawarin saya obat. Orangnya dari Prancis. Dia bawa vaksin. Dari mana vaksin Anda tanya saya. Nah, dokter jarang tahu bawah vaksin itu juga berasal dari virus. Dia bilang virus vietnam (Vietnam strain). Padahal dia dari orang dari negara kaya, tapi jualan vaksin di vietnam.
Apa hubunganya dengan kita di Indonesia? Vietnam sama saja dengan kita. Sama-sama ironi. Kita dan Vietnam juga kirim mengirim virus (H5N1) ke WHO CC. Tapi kemana virus itu sekarang. Eh...tahu-tahu sudah beredar di dunia. Harganya mahal. Sementara korban Vietnam mati karena Flu Burung ditengah orang kaya dari Eropa yang mengambil virus dari Vietnam. Vaksin itu satu dosisnya 30 US Dollar. Kalau dunia ini 6 miliar orang, sedang stok yang dibutuhnya itu 10 persen, berarti 600 juta dosis yang diperlukan. Itu jumlah maksmimal. Wah...saya glek-glek (geleng-eleng). Kalau begitu ini terjadi suatu penipuan, pembohongan, perampasan, pemaksaan, dan sebagainya. Saya lihat kok kita mau saja ngasih begitu saja ke WHO. Bukankah kita bisa mendiagnosis sendiri. Tetapi harus dikirim. Kalau kita diagnosis sendiri, ya tidak diakui. Akhirnya ya dikirim.
Lalu bagaimana kasus di Tanah Karo (2006) sampai keluar rilis sudah menjangkit dari human ke human (manusia ke mausia)? Iya. dari 8 orang yang terkena, 7 orangnya meninggal. Ini cluster terbesar di dunia sehingga kita dituduh orang bahwa penuluran virus sudah human to human (penularan manusia ke manusia) karena jangak waktu kenanya berdekatan satu sama lain. Sampai disiar di CNN. Presdien kita khawatir. Apa konsekuensinya jika sudah menular dari manusia ke manusia? Kita diembargo. Dari Indonesia ga boleh pergi ke luar negeri. Begitu pula sebaliknya. Ekonomi pasti mati. Bangkrut habis. Saya tidak bisa bayangkan. Lalu presiden panggil saya. Saya yakinkan ke presiden bahwa pendapat penularan demikian adalah salah. Sebab kalau benar, yang pertama kali terjangkit tentu adalah tenaga medisnya lebih dulu. Dan penularannya bukan 8 orang tapi sampai ribuan orang. Dari sisi bentuk virusnya juga sudah berbeda. (sambil memperagakan tangannya). Presiden lalu mau menuntut ke PBB. Saya bilang jangan. Akhirnya saya cek sendiri. Saya kontak Professor Sangkot Marzuki. Dia ini pimpinan laboratorium Eijkman, ilmuwan (molecular biologist), sekaligus teman saya. Saya minta tolong ke Pak Marzuki untuk membuat cek sequencing (pemilahan) spesimen Tanah Karo itu. Alhamdulillah bersedia. Sambil menunggu hasil dari Pak Marzuki, pikiran saya hanya fokus disini. Dalam halaman 10 di bukunya, Siti Fadilah menulis: (sambil memanti hasil)...Kemudian konperensi pers saya gelar. Ratusan wartawan dari dalam maupun luar negeri berduyun-duyun datang. Saya nyatakan bahwa berita tentang penularan Flu Burung secara langsung dari manusia ke manusia di Tanah Karo adalah tidak benar. Karena bila benar; korban yang pertama adalah tenaga kesehatan yang merawat mereka. Dan kematian di daerah korban akan sangat banyak bukan puluhan tapi mungkin ribuan. Yang paling penting untuk menyimpulkan penularan langsung dari manusia ke manusia tidak cukup hanya berdasarkan data epidemiologi seperti yang dilakukan oleh WHO. Tetapi harus dikuatkan dengan data virologi yang merupakan bukti pasti. Dengan pernyataan saya itu, dunia mulai ragu. Dunia mulai mempertanyakan. Telepon genggam saya terpegang erat di tangan selama 24 jam, karena pasti akan datang pertanyaan dari mancanegara atau dari mana-mana. Ternyata betul. Dimulai dari kantor kantor berita, radio dan tv, ”Reuter” Inggris, ”AFP” Perancis, ”Xinhua” Cina, “Kyodo” Jepang, ”ABC” Australia, ”BBC” London, Puerto Rico,“Aljazeera”, “CNN” dan tentunya kantor berita nasional ”Antara”, serta banyak lagi. Mereka ingin mengkonfirmasikan berita tersebut. Telepon genggam saya sangat membantu meredam isu yang sangat berbahaya tersebut. Wah, ”untung” wartawan dalam negeri tidak begitu ”tanggap” menangkap isu yang sensitif ini. Sehingga tidak sangat merepotkan saya dan staf saya yang memang sudah sangat repot. Tidak ingat lagi hanya berapa jam saja tiap malam saya bisa tidur. Bahkan saya takut tidur karena takut kehilangan momentum perkembangan Flu Burung yang memang sangat menakutkan.
Ternyata hasilnya? Bukan human to human tapi masih dari animal to human (binatang ke manusia). Berita itu pembohongan dan penipuan. Kurang ajar ini. Ada sesuatu yang disembunyikan. Saya bilang ke WHO (perwakilan Indonesia), mana virus saya. Saya juga tuntut WHO, bahwa saya membuktikansequencing virus Tanah Karo adalah dari hewan ke manusia. Ngapain kamu bilang dari manusia ke manusia. Mana sekarang punyaku. WHO diam saja. Saya marah, saya usir dia. Pulang kamu! Kamu mencelakakan negara saya. Saya juga minta ke WHO Regional agar staf WHO Indonesia yang nyebar berita itu harus bertanggung jawab. Eh tiba-tiba, Straits Times dari Singapura (27Mei 2006) beri kabar,H5N1 Tanah Karo di labotarium Los Alamos. Los alamos adalah labotariun yang membuat senjata yang mengebom hirosima dan nagasaki. Ngeri toh..
Anda sudah cek terhadap berita itu? Cek di internet kan ada sampai sekarang. Dan ternyata bukan saja H5N1 Tanah karo di situ (Los Alamos) tapi semua H5N1 Indoensia (58 virus). Saya gemetar. Negara lain saya engak tahu. Tapi mengapa sih ada disitu?
Los Alamos sudah tutup, tapi data sequencing strain Indonesia pindah ke 2 tempat. Dalam buku Anda ditulis pindah ke GISAID dan Bio Health Security (BHS). Bagaimana Anda tahu bahwa BHS ini adalah labotairum penelitian senjata biologi di bawah Departemen Pertahanan AS di Pentagon? Jadi setiap kali saya tuntut untuk mengembalikan semua H5N1 Indonesia, ternyata ada GISN (Global Influenza Surveilance Network). GISN itu adalah perangkat yang mengharuskan kita untuk kirim semua H5N1. Jangankan H5N1, virus flu biasa saja harus dikirim ke WHO dengan adanya GISN ini. Dan itu sudah berlangsung sejak 50 tahun, dan ada 110 negara yang punya Influenza biasa harus mengirimkan spesimen virusnya ke WHO. Tapi setiap kita mau ambil strain kita, WHO ga tahu. Ini dia pasti perangkatnya Amerika hingga sampai ke Los Alamos.Los Alamos ini labotarium private. Tapi di bawah Menteri Energi AS. Aku ga tahu hubungannya kok bisa ke Almos? Masa aku ga boleh bertanya kemana barangku. Kepada siapa saya bertanya? Ga ada. Sekali lagi, WHO ditanya ga tahu. Ini nih..dia...(skandal) hingga sampai ke Los Alamos. Menurut saya ini gila. Halaman 13, Siti Fadilah menulis:Yang bisa dikatakan sebagai skandal adalah bagaimana WHO CC mengirimkan data sequencing DNA ke Los Alamos. Apa hubungannya? Apa lagi sekarang di BHS? Tetapi barangkali hal inilah yang bisa menjawab; mengapa yang saya tuntut WHO, tapi kok yang berhadapan dengan kita adalah negara adidaya Amerika Serikat. Tadinya saya heran. Tapi sekarang saya tidak heran lagi. Kemungkinannya skenarionya seperti ini: Virus dari affected countries dikirim ke WHO CC melalui mekanisme GISN. Tetapi ke luarnya dari WHO CC ke Los Alamos melalui mekanisme yang semua orang tidak tahu. Dan di WHO CC, virus diproses untuk dijadikan seed virus dan kemudian diberikan ke perusahaan vaksin untuk dibuat vaksin. Namun di lain pihak, kita juga tidak tahu apakah juga dijadikan senjata biologi. Tampak sekali pintu ketidak-transparanan adalah GISN. Padahal, ketidak transparanan akan membahayakan umat manusia di dunia. (Tentang kemungkinan skandal ini, baca juga di Bab II, judul: Dari Jakarta ke Jenewa)
Lalu apa tindakan Anda saat ada indikasi ke Los Alamos? Saya terus minta data H5N1 kita. Harus transparan. Coba kirim ke Gane Bank. Lalu saya bikin pernyataan data harus dibuka ke Gen Bank. Lalu dibuka di Gane Bank. Saya kirim virus yang masih kita punya ke Gane Bank. Dan semua ilmuan bisa mengaksesnya (sebelumnya mereka juga tidak bisa buka data sequencing DNA H5N1 Indosnia di WHO). Indonesia saat itu diapresiasi luar biasa bahwa kita mendobrak transparansi. Jadi saya orang pertama yang menaruh data primer ke Gane Bank. Ternyata setelah diteliti banyak ilmuan dunia penularannya juga bukan human ke human. Halaman 12, Siti Fadilah menulis: Majalah the Economist, London, Inggris, yang sangat kredibel di dunia, menyatakan bahwa Menteri Kesehatan Republik Indonesia memerangi Flu Burung bukan hanya dengan obat-obatan tetapi juga dengan ketransparansian (Pandemics and Transparency, the Economist, August 10, 2006).
Mestinya virus itu dibawah wewenang Departemen Kesehatan (AS)? Apa komentar Menteri Kesehatan AS ke Anda? Nanti dulu. Ceritanya mirip bioskop ya. (ha..ha..) nanti ada kaitannya, tapi sebelum sampai ke situ, saya stop pengiriman strain kita ke WHO (Desember 2007). Kalau saya kirim berbahaya. Karena pertama, bisa dikembangkan sebagai senjata biologis, dan akan menghancurkan umat manusia. Kedua, bisa dibikin kita sakit dan dia bisa jualan vaksin. Ketiga, ini yang paling rendah, kemungkinan mereka hanya jual vaksin saja. Yang terakhir inipun masih bisa menindas. Saya mulai keras. Lalu pada suatu hari (11 November 2006), orang WHO, namanya David Heymann (Assistant to Director General WHO yang mengurus Flu Burung) mau datang ke Indonesia. Waktu ketemu saya bilang, eh..saya sekarang sudah punya vaksin. Ibu kerjasama degan siapa? Rahasia saya bilang. Dia mendesak, dari siapa bu? Rahasia, kata saya. Saya pancing dia. Dia datang dengan bawa duit nawari untuk nyumbang membuat vaksin, tapi seasonal flu vaccine atau vaksin untuk flu biasa. Oh...aku tidak butuh. Yang aku butuh H5N1 Indonesia (strain Indonesia). Bu, ini program WHO. jadi Indonesia harus buat. Indonesia punya kapasitas punya perusahaan vaksin yang bagus (PT. Bio Farma berpusat di Bandung—red). Saya tidak butuh sumbanganmu. Sumbanganmu simpan saja. Pokoknya saya butuh H5N1, karena rakyatku membutuhkan itu. Kalau flu biasa, rakyatku dengan kerokan saja sudah sembuh (ha..ha..). Dia sengaja bikin saya keder (takut) dan dapat sistem atau mainan vaksin (WHO). Saya bilang tidak. Lalu dari situ saya dijelek-jelek media asing. Menteri Kesehatan Indonesia tidak mau kirim virus, itu membahayakan dunia. Satu bulan lalu terjadi tembak-menembak diplomasi.
Dalam buku Anda, Indonesia kerjasama bikin virus dengan Baxter International Inc.,dari Chicago (Amerika Serikat) sebagai berganning power. Maksudnya? Waktu itu (akhir 2005), Baxter International promosi buat vaksin. Tapi masih menawarkan denganVietnam strain. Dari situ saya berfikir, bahwa saya tahu persis kasus di Indonesia dengan Vietnam berbeda dilihat dari angka kematiannya. Tipe virusnya juga beda. (Virus Flu Burung di Indonesia disebut sebagai Clade2 sedang di Vietnam termasuk Clade1). Waktu berhadapan dengan mereka, saya membuat semacam hipotesis, bahwa strain Indonesia lebih virulen (ganas) dari pada yang lainnya. Kalau dibuat vaksin nantinya akan lebih cross protective dibanding dengan lainnya. Mereka terkejut. [caption id="" align="alignleft" width="450" caption=" U.S. Secretary of Health and Human Services Michael Levitt (right) shakes hands with Indonesian Health Minister Siti Fadilah Supari following a meeting at the State Palace in Jakarta, April 2008 (JP/Berto Wedhatama)"]
[/caption]
Hasil rekayasa Amerika? ”Diborongnya obat Tamiflu oleh negara-negara kaya yang tak memiliki kasus Flu Burung, sungguh sangat menggoreskan luka mendalam hati saya. Alangkah tidak adilnya. Bayangkan saja Flu Burung menimpa negara-negara yang sedang berkembang bahkan miskin, tetapi mereka tidak diprioritaskan dalam pengadaan obat-obatan yang masih terbatas produksinya di dunia.” Itulah petikan salah satu bab pada buku terbaru Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari yang berjudul "Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung." Buku yang diluncurkan 6 Februari 2008 lalu di Jakarta itu terbilang istimewa. Buku setebal 182 halaman itu mengisahkan perjuangan Siti Fadilah mendobrak ketidakadilan organisasi internasional sekelas WHO dan negara-negara maju, terutama dalam penanganan kasus Flu Burung yang mulai menyerang manusia sekitar empat tahun silam. Bu Siti, yang juga dokter spesialis jantung ini tidak patah arang. Ia mengumpulkan energi dan menganggarkan dana untuk dapat obat Tamiflu. Nama generik obat ini: Oseltamivir, produksi Roche (berpusat di Grenzach, Jerman) dalam jumlah tertentu atas anjuran WHO. Dana sudah ada. Sialnya stok habis. Tamiflu ludes dipesan negara-negara kaya sebagai stockpilling. Siti curiga. Pasalnya, kasus flu burung tidak terjadi di negara itu. Menkes akhirnya terpaksa mencari jalan keluar mendapatkan Oseltamivir dari India. Negara ini juga memiliki lisensi dari Roche. Untungnya juga, Indonesia mendapat sumbangan dari Thailan dan Australia. Tapi jumlahnya terbatas, karena stok di dua negera itu juga tipis. Kejadian itu meninggalkan bekas luka mendalam di hati Siti Fadilah Supari. Ia berpikir: seandainya nanti ditemukan vaksin Flu Burung pada manusia, pasti negara kaya yang meraup keuntungannya. Betapa tidak: bahan (material) untuk membuat vaksin atau virusnya diperoleh dari negara penderita Flu Burung yang tidak kaya, yang belum tentu mampu membeli vaksin yang dibuat oleh negara kaya. Maka, kata Siti Fadilah, tak heran bila 90 persen perdagangan vaksin di dunia dikuasai hanya oleh 10 persen penduduk dunia yang tersebar di negara-negara kaya. Lebih lanjut, Menkes Siti Fadilah Supari mengungkapkan sampel virus Flu Burung diambil dan dikirim ke WHO (WHO Collaborating Center), untuk dilakukan risk assesment (pengkajian risiko), diagnosis, dan kemudian dibuat seed virus. Dari seed virus inilah kemudian dipakai untuk membuat vaksin. Sekali lagi, ini amat ironi. Pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-negara industri, negara maju, negara kaya yang tidak mempunyai kasus Flu Burung pada manusia. Vaksin itu lalu dijual ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kedaulatan dan rasa nasionalisme Siti Fadilah terusik. Pikirannya menerawang pada ungkapan Bung Karno 50 tahun lalu yang menyebut praktik kecurangan itu sebagai neo-kolonialisme: ketidakberdayaan suatu bangsa menjadi sumber keuntungan bangsa yang lain. Siti Fadilah menjelaskan, pengiriman sampel virus ke WHO tak hanya Flu Burung. Tak urung, karena aturan Global Influenza Surveilance Network (GISN), spesimen Influenza biasa juga wajib dikirim oleh 110 negara ke WHO. ”Itupun sudah berangsung selama 50 tahun. Entah siapa yang mendirikan GISN itu”, tulisnya. Siti Fadilah tak tahu. Yang jelas, kata dia, negara-negara penderita Flu Burung tak berdaya dihadapan WHO melalui GISN. Tak ada yang protes kalau virus yang diterima GISN sebagai wild virus menjadi milik GISN. Kemudian diproses untuk risk assesment dan riset para pakar. Disamping itu juga diproses menjadi seed virus. Dari seed virus itulah bisa dibuat suatu vaksin. Bila berhasil, vaksin itu didistribusikan ke seluruh negara di dunia secara komersial, termasuk negara penderita yang mengirim virus. Harganya juga cuma bisa ditentukan oleh produsen vaksin yang hampir semuanya bercokol di negara industri yang kaya. Tentu dengan harga yang sangat mahal tanpa mempedulikan alasan sosial kecuali alasan ekonomi, semata. ”Sungguh nyata, suatu ciri khas kapitalistik,” hardik Supari. Siti Fadilah heran kenapa tidak ada yang protes. Padahal tidak seorang pun tahu virus dari manakah yang digunakan untuk membuat vaksin dan kemudian mereka jual. Konon kabarnya virus dari Indonesia dan Malaysia. ”Entahlah benar apa tidak. Pokoknya kalau Anda butuh ya harus membeli dengan harga mahal,” imbuh Supari lagi. Usut demi usut, virus H5N1 (perantara virus Flu Burung lewat unggas) yang dikirim ke WHO, ternyata penelitinya memperlakukan virus itu sama dengan peraturan Seasonal Flu Virus (Flu biasa). Setelah itu mereka hanya disuruh menunggu konfirmasi diagnosis dari virus yang dikirim tersebut. Itupun harus sabar menanti 5-6 hari. Sementara korban terus berjatuhan. Setelah hasil diagnosis dikirim, data yang paling penting, yakni sequencing (pemilahan) DNA H5N1, disimpan di WHO. Tak pernah tersentuh oleh ilmuan dunia, karena memang aksesnya tidak pernah dibuka. Menkes Siti Fadilah mencontohkan Vietnam. Negara itu tak pernah tahu kemana virus yang dikirim itu sekarang. Eh...tahu-tahu sudah beredar di dunia sebagai vaksin yang diperjual-belikan dengan harga yang tak terjangkau bagi negara berkembang. Sementara rakyat Vietnam meninggal karena Flu Burung, di depan mata pedagang berkulit putih dari Eropa yang menawarkan vaksin dengan Vietnam strain. Yang mengejutkan: data penting yang mengendap itu disimpan diLos Alamos.Lho? Ini kan sebuah laboratorium yang berada di bawah Kementerian Energi, Amerika Serikat. Di labotarium inilah Bom Atom untuk melumat Hiroshima (1945) dirancang.
[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="With Oak Ridge National Laboratory, where the Spallation Neutron Source is located, Argonne, Berkeley, Brookhaven, Jefferson, and Los Alamos national laboratories are building the facility"]
[/caption] Sambil menunggu hasil analisa labotarium Eijkman, Siti Fadilah Supari menggelar konferensi pers, guna meredam ekses statement WHO, yang amat sembrono itu. Siti Fadilah Supari menegaskan, penularan Flu Burung secara langsung dari manusia ke manusia di Tanah Karo: salah! Bila benar terjadi, korban yang pertama adalah tenaga kesehatan yang merawat mereka. Dan kematian di daerah korban akan sangat banyak. Bukan puluhan, tapi mungkin ribuan. Kabar itu kemudian dilaporkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menkes meyakinkan Presiden pendapatnya itu. Hasilnya, menurut cerita Menkes, Presiden SBY kala itu bisa saja melayangkan surat protes ke PBB. Tapi ditahan Menkes, karena sedang menunggu pembuktian labotarium Eijkman. Yang ditunggu kemudian keluar juga. Labotarium Eijkman berhasil melakukan sequencing. Hasilnya: DNA virus Flu Burung dari Tanah Karo menunjukkan suatu virus H5N1 yang masih identik dengan virus H5N1 sebelumnya di daerah lain di Indonesia. Artinya: belum menular human to human. Hanya, ada sedikit perubahan yang menunjukkan virus Tanah Karo ini agak lebih ganas dibanding dengan virus sebelumnya. Namun struktur lainnya masih sesuai dengan virus yang menular dari binatang (ayam) ke manusia. Sayangnya, masyarakat internasional sepertinya cuek. Mereka seolah-olah kurang percaya dengan hasil sequencing yang dilakukan di labotarium Eijkman, hanya karena lembaga tersebut belum pernah diakreditasi oleh WHO. Maka digelarlah pertemuan antar pakar dan AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia). Akhirnya diputuskan untuk mentransparankan data sequencing DNA virus H5N1 untuk perkembangan ilmu pengetahuan agar tidak dimonopoli oleh sekelompok ilmuwan saja. Sepucuk surat kemudian dilayangkan ke WHO untuk meminta data sequencing virus dari Tanah Karo. Permintaan itu dituruti. Dan tanggal 8 Agustus 2006, sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia mempelopori ketransparanan data sequencing DNA virus H5N1 yang sedang melanda dunia. Caranya, Siti dengan jeli mengirim data yang tadinya disimpan di WHO ke Gen Bank (Genetic Sequence Data Bank), yang dikelola National Institute of Health Amerika, berkolaborasi dengan DNA DataBank of Japan (DDBJ), European Molecular Biology Laboratory (EMBL), dan GenBank itu sendiri di National Center for Biotechnology Information (NCBI). Dari sinilah semua ilmuan dunia akhirnya bisa mengakses DNA H5N1. Sebab database sekuen genetik, dan semua sekuen DNA, berikut dengan teranotasi dan tranlasinya, dipublikasikan ke seluruh dunia; bisa diakses secara online. Sejumlah media luar negeri menulis Siti Fadilah Supari sebagai sang Maestro. Satu diantara menuliskan: Menteri Kesehatan Indoensia itu seperti tambang emas yang kini muncul di bumi. Tapi banyak pula yang mencibirnya. Siti Fadilah, terutama dirilis dalam beberapa blog, dilukiskan setara dengan Ahmadienejad, musuh bebuyutan Presiden Bush. Kabar terakhir yang diperoleh Siti Fadilah, laboratorium Los Alamos sudah ditutup sejak ia menuntut data virus Tanah Karo. Saat FORUM bertandang ke rumahnya, untuk bertanya soal ini, tak kuasa Menkes menahan senyum. Sejak itu diagnosis Flu Burung dilakukan di laboratorium Litbangkes, Departemen Kesehatan RI dan labotarium Eijkman. Meskipun tidak diakui WHO, Siti Fadilah Supari tak ambil pusing. Ia akan membuktikan bahwa Indonesia adalah negara merdeka dan berdaulat yang tidak bisa didikte begitu saja. Malah, setelah Siti Fadilah berjuang membuka akses bagi para peneliti dunia dengan menempatkan data flu burung pada GenBank (public domain), Departemen Kesehatan berencana akan membuatearly and rapid diagnostic dan vaksin dari virus strain Indonesia secara mandiri atau bekerja sama dengan prinsip kesetaraan dengan negara maju. Terbuka akses DNA H5N1 di GenBank telah menabuh perang diplomasi negara-negara berkembang yang dipelopori Indonesia dengan WHO. Sejak 20 Desember 2006, Indonesia tak lagi mengirimkan spesimen virus Flu Burung dari Indonesia ke WHO lagi. ”Itu kalau mekanismenya masih mempertahankan GISN,” cetus Siti. Artinya, Siti menuntut mekanisme imperialistik itu harus diubah menjadi mekanisme yang adil dan transparan. Dunia tepuk tangan. Berkat data yang diberi Siti Fadilah Supari ke Gen Bank, akhirnya sharing virus disetuji dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia International (Government Meeting WHO) di Jenewa Mei 2007. Yang lebih yahud: GISN dihapuskan. Diplomasi Menkes tidak berhenti sampai di situ. Ia menuntut pengembalian 58 seed virus yang dikembangkan dari virus strain Indonesia ke WHO. Sayangnya, semua seed virus Flu Burung sudah terlanjur disimpan di Los Alamos yang sudah ditutup itu. Menkes mendapat kabar, begitu Los Alamos tutup, penyimpanan data sequencing-nya dipindahkan ke dua tempat. Sebagian ke GISAID dan sebagian lagi ke BHS atau Bio Health Security: suatu lembaga penelitian senjata biologi yang berada di bawah Departemen Pertahanan Amerika Serikat di Pentagon. Dan tentu saja virus-virus H5N1 Indonesia ada disana. Hampir semua pegawai dan peneliti dari Los Alamos ditampung di BHS Pentagon. Artinya, permainan masih diteruskan sampai saat ini, meskipun nama dan keberadaannya sudah berganti. Inilah bayang-bayang yang selalu mengusik Menkes. Bagaimana WHO mengirimkan data sequencing DNA ke Los Alamos? Apa hubungannya? Ia menduga virus dari affected countries dikirim ke WHO melalui mekanisme GISN. Tapi bagaimana mekanismenya masih misteri. Bukan tidak mungkin virus itu dijadikan senjata biologi. Soal itu, Menkes tidak berani menceritakan tentang misteri Los Alamos kepada Presiden. Beberapa hari setelah launching buku itu, kepada FORUM, Siti Fadilah mengaku dihubungi wartawan dari salah satu media di Australia untuk menanyakan keabsahan buku yang ia tulis itu. Siti Fadilah menjawab, bukunya itu merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi sebelumnya, khususnya ketika wabah Flu Burung mengancam dunia sekitar empat tahun lalu. Namun esoknya, hasil wawancara sama sekali tak dimuat. Malah berita tersebut menggambarkan Menkes Indonesia dalam bukunya membongkar konspirasi Barat dalam menggunakan sampel flu burung. Berita itu juga menulis tuduhan Siti Fadilah akan keterlibatan AS dan WHO, yang memanfaatkan virus itu untuk senjata biologi. Dari sinilah kontroversi meletup hingga ke Timur Tengah. Beberapa ilmuan AS menyebut buku itu karya “Dungu”. Merasa lembaganya disentil, Kamis pekan lalu, David Heymann, pejabat keamanan WHO seperti dilansir surat kabar Australia, The Age, meminta Menkes menarik buku tersebut. Heymann mengaku telah mendiskusikan buku itu dengan Siti Fadilah dan memintanya menariknya dari pasar. Hayman sendiri bingung atas tuduhan Siti bahwa sampel virus flu burung digunakan untuk senjata biologi. "Saya tidak mengerti mengapa mereka akan membuat virus ini sebagai senjata biologi,” katanya. [caption id="" align="alignleft" width="240" caption="Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan dibalik Virus Flu Burung, 2008 (karangan Siti Fadilah Supari, Editor: Cardiyan HIS)"]
Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan dibalik Virus Flu Burung, 2008 (karangan Siti Fadilah Supari, Editor: Cardiyan HIS)
[caption id="" align="aligncenter" width="800" caption="Siti Fadilah Supari"][/caption] Edisi 44 | WAWANCARA | Majalah FORUM Keadilan | 2008 Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI 2004-2009 ”Kalau Flu Biasa Dengan Kerokan Saja Sudah Sembuh” Rumah dinasnya terletak di bilangan jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta Selatan. Kamis malam pekan lalu, FORUM bertandang ke rumah yang dihuni oleh Menteri Kesehatan RI, Siti Fadilah Supari. Begitu masuk, dia sedang sibuk nelpon. FORUM dipersilahkan masuk ruang tamu utama terlebih dulu oleh ajudannya, bernama Ade. Sepuluh menit kemudian, Bu Siti belum juga muncul. Tapi suaranya yang sedang nelpon sayup-sayup terdengar dari ruang tamu utama. Dinding di ruang utama dihiasi oleh beberapa lukisan Siti Fadilah, yang terpahat dalam kanvas. Satu diantaranya, lukisan saat dia masih menjadi mahasiswi di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Tergurat paras cantik di masa mudanya. Postur tubuhnya ramping, tentu amat berbeda dengan sekarang di usianya kepala 50. Satu lagi lukisan yang kamiamati: lukisan Siti dengan beberapa pasien dengan ornamen abstrak, sulit menangkap maknanya bila hanya dilihat sekilas. Maklum saja--sebagaimana tertera di sebelah kiri lukisan-- yang melukisnya adalah Sujiwo Tejo; seniman yangnjelimet dipahami bagi yang awam. Jarum jam berjalan. Bu Siti masih berbincang via hand phone-nya, sambil memberi kode kepada sang ajudan untuk mempersilahkan dr. Toyibi, mantan ketua tim kedokteran almarhum Soeharto, yang juga baru datang, masuk ke dalam rumah. Dia juga dokter spesialis jantung, sama dengan Siti Fadilah Supari. Dr. Toyibi ditemani rekannya dari Jawa Timur bernama Munzir. Satu lagi, ada adik laki-laki Siti Fadilah juga di situ. Diantara tiga lelaki ini, justeru dialah yang paling antusias selama dalam perbincangan . Ia jebolan Astronomi dari Institut Teknologi Bandung. Sejak Siti Fadilah Supari membongkar ketidakadilan WHO dalam kasus flu burung, memang ada banyak kolega yang menemui dirinya, memberikan support. Media massa asing, aku Siti, menghajar dirinya habis-habisan. “Hp saya ini selalu online. Itu tadi juga dari wartawan,” kata Siti kepada Alfi Rahmadi dari FORUM, setelah hampir 15 jam melayani wawancara dari sebuah media massa yang enggan ia sebutkan. Kadang Siti kesal, karena apa yang disampaikan tak sesuai yang diberitakan. “Yang paling gencar malah bukan dari pers Indonesia, tapi dari Amerika dan Australia.” Media massa di dua negara itu masih ngotot bertanya maksud Siti soal Los Alamos. Mahluk apa itu? Petikannya:
Apa motivasi Anda menulis buku ini?
Saya menjalani fungsi saya sebagai Menteri. Ngurus dari Tsunami dan segala kejadian kesehatan. Begitu adanya Flu Burung, memang belum pernah di Indonesia. Obat-obat yang dikenal sebagai untuk Flu Burung adalah Tamiflu. Saya ingin membeli obat itu. Tapi habis. Lho kok habis? Siapa yang beli,wong pasiennya saya (Indonesia—red), tapi yang beli seperti Amerika, Jepang, dan negara-negara kaya dan negara itu tidak kena Flu Burung. Itu pertanyaan pertama. Saya sedih banget. Akhirnya saya dapat Tamiflu dari India sebagai buffer stok, atau tidak boleh dijual di apotek. Dan satu-satunya virus sekarang yang masih tersisa dan tidak resisten terhadap Tamiflu adalah virus kita saja. Tapi tiap hari pasiennya tambah. Tapi eh..malahan ada orang yang nawarin saya obat. Orangnya dari Prancis. Dia bawa vaksin. Dari mana vaksin Anda tanya saya. Nah, dokter jarang tahu bawah vaksin itu juga berasal dari virus. Dia bilang virus vietnam (Vietnam strain). Padahal dia dari orang dari negara kaya, tapi jualan vaksin di vietnam.
Apa hubunganya dengan kita di Indonesia? Vietnam sama saja dengan kita. Sama-sama ironi. Kita dan Vietnam juga kirim mengirim virus (H5N1) ke WHO CC. Tapi kemana virus itu sekarang. Eh...tahu-tahu sudah beredar di dunia. Harganya mahal. Sementara korban Vietnam mati karena Flu Burung ditengah orang kaya dari Eropa yang mengambil virus dari Vietnam. Vaksin itu satu dosisnya 30 US Dollar. Kalau dunia ini 6 miliar orang, sedang stok yang dibutuhnya itu 10 persen, berarti 600 juta dosis yang diperlukan. Itu jumlah maksmimal. Wah...saya glek-glek (geleng-eleng). Kalau begitu ini terjadi suatu penipuan, pembohongan, perampasan, pemaksaan, dan sebagainya. Saya lihat kok kita mau saja ngasih begitu saja ke WHO. Bukankah kita bisa mendiagnosis sendiri. Tetapi harus dikirim. Kalau kita diagnosis sendiri, ya tidak diakui. Akhirnya ya dikirim.
Lalu bagaimana kasus di Tanah Karo (2006) sampai keluar rilis sudah menjangkit dari human ke human (manusia ke mausia)? Iya. dari 8 orang yang terkena, 7 orangnya meninggal. Ini cluster terbesar di dunia sehingga kita dituduh orang bahwa penuluran virus sudah human to human (penularan manusia ke manusia) karena jangak waktu kenanya berdekatan satu sama lain. Sampai disiar di CNN. Presdien kita khawatir. Apa konsekuensinya jika sudah menular dari manusia ke manusia? Kita diembargo. Dari Indonesia ga boleh pergi ke luar negeri. Begitu pula sebaliknya. Ekonomi pasti mati. Bangkrut habis. Saya tidak bisa bayangkan. Lalu presiden panggil saya. Saya yakinkan ke presiden bahwa pendapat penularan demikian adalah salah. Sebab kalau benar, yang pertama kali terjangkit tentu adalah tenaga medisnya lebih dulu. Dan penularannya bukan 8 orang tapi sampai ribuan orang. Dari sisi bentuk virusnya juga sudah berbeda. (sambil memperagakan tangannya). Presiden lalu mau menuntut ke PBB. Saya bilang jangan. Akhirnya saya cek sendiri. Saya kontak Professor Sangkot Marzuki. Dia ini pimpinan laboratorium Eijkman, ilmuwan (molecular biologist), sekaligus teman saya. Saya minta tolong ke Pak Marzuki untuk membuat cek sequencing (pemilahan) spesimen Tanah Karo itu. Alhamdulillah bersedia. Sambil menunggu hasil dari Pak Marzuki, pikiran saya hanya fokus disini. Dalam halaman 10 di bukunya, Siti Fadilah menulis: (sambil memanti hasil)...Kemudian konperensi pers saya gelar. Ratusan wartawan dari dalam maupun luar negeri berduyun-duyun datang. Saya nyatakan bahwa berita tentang penularan Flu Burung secara langsung dari manusia ke manusia di Tanah Karo adalah tidak benar. Karena bila benar; korban yang pertama adalah tenaga kesehatan yang merawat mereka. Dan kematian di daerah korban akan sangat banyak bukan puluhan tapi mungkin ribuan. Yang paling penting untuk menyimpulkan penularan langsung dari manusia ke manusia tidak cukup hanya berdasarkan data epidemiologi seperti yang dilakukan oleh WHO. Tetapi harus dikuatkan dengan data virologi yang merupakan bukti pasti. Dengan pernyataan saya itu, dunia mulai ragu. Dunia mulai mempertanyakan. Telepon genggam saya terpegang erat di tangan selama 24 jam, karena pasti akan datang pertanyaan dari mancanegara atau dari mana-mana. Ternyata betul. Dimulai dari kantor kantor berita, radio dan tv, ”Reuter” Inggris, ”AFP” Perancis, ”Xinhua” Cina, “Kyodo” Jepang, ”ABC” Australia, ”BBC” London, Puerto Rico,“Aljazeera”, “CNN” dan tentunya kantor berita nasional ”Antara”, serta banyak lagi. Mereka ingin mengkonfirmasikan berita tersebut. Telepon genggam saya sangat membantu meredam isu yang sangat berbahaya tersebut. Wah, ”untung” wartawan dalam negeri tidak begitu ”tanggap” menangkap isu yang sensitif ini. Sehingga tidak sangat merepotkan saya dan staf saya yang memang sudah sangat repot. Tidak ingat lagi hanya berapa jam saja tiap malam saya bisa tidur. Bahkan saya takut tidur karena takut kehilangan momentum perkembangan Flu Burung yang memang sangat menakutkan.
Ternyata hasilnya? Bukan human to human tapi masih dari animal to human (binatang ke manusia). Berita itu pembohongan dan penipuan. Kurang ajar ini. Ada sesuatu yang disembunyikan. Saya bilang ke WHO (perwakilan Indonesia), mana virus saya. Saya juga tuntut WHO, bahwa saya membuktikansequencing virus Tanah Karo adalah dari hewan ke manusia. Ngapain kamu bilang dari manusia ke manusia. Mana sekarang punyaku. WHO diam saja. Saya marah, saya usir dia. Pulang kamu! Kamu mencelakakan negara saya. Saya juga minta ke WHO Regional agar staf WHO Indonesia yang nyebar berita itu harus bertanggung jawab. Eh tiba-tiba, Straits Times dari Singapura (27Mei 2006) beri kabar,H5N1 Tanah Karo di labotarium Los Alamos. Los alamos adalah labotariun yang membuat senjata yang mengebom hirosima dan nagasaki. Ngeri toh..
Anda sudah cek terhadap berita itu? Cek di internet kan ada sampai sekarang. Dan ternyata bukan saja H5N1 Tanah karo di situ (Los Alamos) tapi semua H5N1 Indoensia (58 virus). Saya gemetar. Negara lain saya engak tahu. Tapi mengapa sih ada disitu?
Los Alamos sudah tutup, tapi data sequencing strain Indonesia pindah ke 2 tempat. Dalam buku Anda ditulis pindah ke GISAID dan Bio Health Security (BHS). Bagaimana Anda tahu bahwa BHS ini adalah labotairum penelitian senjata biologi di bawah Departemen Pertahanan AS di Pentagon? Jadi setiap kali saya tuntut untuk mengembalikan semua H5N1 Indonesia, ternyata ada GISN (Global Influenza Surveilance Network). GISN itu adalah perangkat yang mengharuskan kita untuk kirim semua H5N1. Jangankan H5N1, virus flu biasa saja harus dikirim ke WHO dengan adanya GISN ini. Dan itu sudah berlangsung sejak 50 tahun, dan ada 110 negara yang punya Influenza biasa harus mengirimkan spesimen virusnya ke WHO. Tapi setiap kita mau ambil strain kita, WHO ga tahu. Ini dia pasti perangkatnya Amerika hingga sampai ke Los Alamos.Los Alamos ini labotarium private. Tapi di bawah Menteri Energi AS. Aku ga tahu hubungannya kok bisa ke Almos? Masa aku ga boleh bertanya kemana barangku. Kepada siapa saya bertanya? Ga ada. Sekali lagi, WHO ditanya ga tahu. Ini nih..dia...(skandal) hingga sampai ke Los Alamos. Menurut saya ini gila. Halaman 13, Siti Fadilah menulis:Yang bisa dikatakan sebagai skandal adalah bagaimana WHO CC mengirimkan data sequencing DNA ke Los Alamos. Apa hubungannya? Apa lagi sekarang di BHS? Tetapi barangkali hal inilah yang bisa menjawab; mengapa yang saya tuntut WHO, tapi kok yang berhadapan dengan kita adalah negara adidaya Amerika Serikat. Tadinya saya heran. Tapi sekarang saya tidak heran lagi. Kemungkinannya skenarionya seperti ini: Virus dari affected countries dikirim ke WHO CC melalui mekanisme GISN. Tetapi ke luarnya dari WHO CC ke Los Alamos melalui mekanisme yang semua orang tidak tahu. Dan di WHO CC, virus diproses untuk dijadikan seed virus dan kemudian diberikan ke perusahaan vaksin untuk dibuat vaksin. Namun di lain pihak, kita juga tidak tahu apakah juga dijadikan senjata biologi. Tampak sekali pintu ketidak-transparanan adalah GISN. Padahal, ketidak transparanan akan membahayakan umat manusia di dunia. (Tentang kemungkinan skandal ini, baca juga di Bab II, judul: Dari Jakarta ke Jenewa)
Lalu apa tindakan Anda saat ada indikasi ke Los Alamos? Saya terus minta data H5N1 kita. Harus transparan. Coba kirim ke Gane Bank. Lalu saya bikin pernyataan data harus dibuka ke Gen Bank. Lalu dibuka di Gane Bank. Saya kirim virus yang masih kita punya ke Gane Bank. Dan semua ilmuan bisa mengaksesnya (sebelumnya mereka juga tidak bisa buka data sequencing DNA H5N1 Indosnia di WHO). Indonesia saat itu diapresiasi luar biasa bahwa kita mendobrak transparansi. Jadi saya orang pertama yang menaruh data primer ke Gane Bank. Ternyata setelah diteliti banyak ilmuan dunia penularannya juga bukan human ke human. Halaman 12, Siti Fadilah menulis: Majalah the Economist, London, Inggris, yang sangat kredibel di dunia, menyatakan bahwa Menteri Kesehatan Republik Indonesia memerangi Flu Burung bukan hanya dengan obat-obatan tetapi juga dengan ketransparansian (Pandemics and Transparency, the Economist, August 10, 2006).
Mestinya virus itu dibawah wewenang Departemen Kesehatan (AS)? Apa komentar Menteri Kesehatan AS ke Anda? Nanti dulu. Ceritanya mirip bioskop ya. (ha..ha..) nanti ada kaitannya, tapi sebelum sampai ke situ, saya stop pengiriman strain kita ke WHO (Desember 2007). Kalau saya kirim berbahaya. Karena pertama, bisa dikembangkan sebagai senjata biologis, dan akan menghancurkan umat manusia. Kedua, bisa dibikin kita sakit dan dia bisa jualan vaksin. Ketiga, ini yang paling rendah, kemungkinan mereka hanya jual vaksin saja. Yang terakhir inipun masih bisa menindas. Saya mulai keras. Lalu pada suatu hari (11 November 2006), orang WHO, namanya David Heymann (Assistant to Director General WHO yang mengurus Flu Burung) mau datang ke Indonesia. Waktu ketemu saya bilang, eh..saya sekarang sudah punya vaksin. Ibu kerjasama degan siapa? Rahasia saya bilang. Dia mendesak, dari siapa bu? Rahasia, kata saya. Saya pancing dia. Dia datang dengan bawa duit nawari untuk nyumbang membuat vaksin, tapi seasonal flu vaccine atau vaksin untuk flu biasa. Oh...aku tidak butuh. Yang aku butuh H5N1 Indonesia (strain Indonesia). Bu, ini program WHO. jadi Indonesia harus buat. Indonesia punya kapasitas punya perusahaan vaksin yang bagus (PT. Bio Farma berpusat di Bandung—red). Saya tidak butuh sumbanganmu. Sumbanganmu simpan saja. Pokoknya saya butuh H5N1, karena rakyatku membutuhkan itu. Kalau flu biasa, rakyatku dengan kerokan saja sudah sembuh (ha..ha..). Dia sengaja bikin saya keder (takut) dan dapat sistem atau mainan vaksin (WHO). Saya bilang tidak. Lalu dari situ saya dijelek-jelek media asing. Menteri Kesehatan Indonesia tidak mau kirim virus, itu membahayakan dunia. Satu bulan lalu terjadi tembak-menembak diplomasi.
Dalam buku Anda, Indonesia kerjasama bikin virus dengan Baxter International Inc.,dari Chicago (Amerika Serikat) sebagai berganning power. Maksudnya? Waktu itu (akhir 2005), Baxter International promosi buat vaksin. Tapi masih menawarkan denganVietnam strain. Dari situ saya berfikir, bahwa saya tahu persis kasus di Indonesia dengan Vietnam berbeda dilihat dari angka kematiannya. Tipe virusnya juga beda. (Virus Flu Burung di Indonesia disebut sebagai Clade2 sedang di Vietnam termasuk Clade1). Waktu berhadapan dengan mereka, saya membuat semacam hipotesis, bahwa strain Indonesia lebih virulen (ganas) dari pada yang lainnya. Kalau dibuat vaksin nantinya akan lebih cross protective dibanding dengan lainnya. Mereka terkejut. [caption id="" align="alignleft" width="450" caption=" U.S. Secretary of Health and Human Services Michael Levitt (right) shakes hands with Indonesian Health Minister Siti Fadilah Supari following a meeting at the State Palace in Jakarta, April 2008 (JP/Berto Wedhatama)"]
[/caption]
Maksudnya? Vaksin kita bisa digunakan lebih luas dibandingkan dengan vaksin dari strain
lainnya. Lima bulan setelah itu, hipotesis saya terbukti. Hal ini
diteliti oleh Baxter International tadi, termasuk WHO. Dunia terkejut
bukan main. Ternyata ada vaksin Flu Burung untuk manusia yang
kekuatannya lebih bagus dari yang dimiliki oleh negara lain. Nah
disinilah pihak Kementrian Pelayanan Kesehatan AS, Michael O. Levvit,
pesan 20 juta dosis vaksin dengan strain Indonesia kepada Baxter. Diar sinilah kita melakukan Bargainning poweruntuk setiap deal
dengan pihak manapun. Dari situ pula saya tahu, bahwa virus Indonesia
yang pertama dibuat vaksin oleh WHO dibanding negara lain (berinitial
O5O5). Sejak itu saya baru tahu jawabanya, mengapa WHO ngotot.
Mengapa untuk kasus Flu Burung Anda sampai ke Iran segala?
Saya diundang untuk seminar disana setelah data kita dikirim ke Gane
Bank. Mereka sangt mendukung Indonesia. Bahkan, mereka siap berikan
pengacara jika suatu saat kita mau gugat siapa yang merugikan Indonesia.
Bagaimana kronologis kontroversi buku Anda ini pasca launching?
Sebenarnya Amerika biasa-biasa saja. Yang terus memburu dari pers
Australia. Karena dari awal, misalnya saat Indonesia banjir Februari
2007, saya diinterview secara online. Tapi jawaban saya esoknya dimuat
sama sekali berbeda. Saya dituduh macam-macam. Menghambat penelitian WHO
lah. Dan lain-lain. Jadi waktu terbit yang wawancara saya itu tadi
kembali telepon bertanya isi buku. Saya jawab apa adanya, yaitu
kejadian-kejadian yang dulu. Tapi lagi-lagi, dia plintir jawaban saya.
Dia bilang saya menuduh Amerika mengembang senjata biologis. Padahal
dalam buku saya hanya menulis mempertanyakan peneliti WHO yang datanya
tidak dibuka itu. Jangankan sebelum launching, waktu diplomasi,
Indonesia dibilang teroris, dan jangan-jangan Menteri Kesehatannya itu
teroris. Ini serius. Saudara-saudara saya pake jilbab semua. Diboleg-bloger saya dihujat. Menterinya kurap. Menterinya ga
punya otak. Tapi saya tak ambil hati. Saya dibilang kelainan jiwa. Itu
dari blogger Afrika. Dalam blog itu saya dibilang, ada dua orang sinting
di dunia. Pertama Ahmadienejad. Kedua Siti Fadilah Supardi (Siti tertawa).
Anda stress menghadapi pers Barat yang bertubi-tubi itu?
Setelah berita dari Australia itu meledak, saya ke Lombok untuk
menenangkan diri dalam sehari. Saya merenung, bencana apalagi yang
datang ke saya setelah Flu Burung. Tapi hanya sehari saya di Lombok, ada
700 sms (pesan pendek) yang masuk. Semua isinya mendukung saya. Saya
belum pernah dapat sms misanya dari Habib Riziq, kemudian Majelis
Mujahidin, Egy Sujana, tokoh-tokoh Islam yang tidak saya kenal
sebelumnya, Kristen, dan macem-macem pokoknya.
Tentang barter Alutsista kalau buku ditarik? Pers lagi-lagi memplintir. Sebenarnya, (alutsista) yang dimasud itu hanya tenk bekas dari China saja.
Apa rekasi AS sendiri ke Anda? Biasa saja. Dalam minggu inikan Menteri Pertahanan AS datang ke Indonesia. Dia juga heran mengapa ada kabar data sequencing
H5N1 Indonesia sampai ke Los Alamos. Mentri Kesehatan Amerika, (Siti
Fadilah sambil bertpuk dada), dukung saya. Sebelumnya saya juga was-was
dipanggil ke Istana karena 6 orang bule (Senator Amerika) ingin ketemu
saya. Ternyata tak saya duga. Mereka kalau datang ke Indonesia sambil
busung dada, tapi yang saya lihat jalannya malah agak bungkung sedikit.
Jadi, saya melihat diantara mereka (AS) juga ada dua kubu. ■ KUTIPAN:
”Aku ga tahu hubungannya kok bisa ke Almos? Masa aku ga boleh bertanya
kemana barangku. Kepada siapa saya bertanya? Ga ada. Sekali lagi, WHO
ditanya ga tahu. Ini nih..dia...(skandal) hingga sampai ke Los Alamos.
Menurut saya ini gila.” ”Jangankan sebelum launching, waktu diplomasi,
Indonesia dibilang teroris, dan jangan-jangan Menteri Kesehatannya itu
teroris. Ini serius. Saudara-saudara saya pake jilbab semua. Diboleg-bloger saya dihujat. Menterinya kurap. Menterinya ga
punya otak. Tapi saya tak ambil hati. Saya dibilang kelainan jiwa. Itu
dari blogger Afrika. Dalam blog itu saya dibilang, ada dua orang sinting
di dunia. Pertama Ahmadienejad. Kedua Siti Fadilah Supardi”. [caption
id="" align="aligncenter" width="581" caption="Siti Fadilah Supari "]
[/caption]
[/caption]
Sumber Berita : https://www.kompasiana.com/alfirahmadi/550d6e8c813311822bb1e37a/bu-siti-melawan-amerika
Keberadaan AFRIMS Sebagai NAMRU-2 Gaya Baru?
NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Naval Medical Research Unit-2 atau yang lebih dikenal sebagai NAMRU-2 Amerika Serikat yang keberadaannya secara misterius di Indonesia sejak Januari 1974, memang sudah ditutup pada Oktober 2009 oleh Menteri Kesehatan kala itu, Siti Fadilah Supari.Laboratorium yang resminya merupakan laboratorium penelitian penyakit-penyakit menular, pada kenyataanya dijadikan kedok operasi intelijen Angkatan Laut AS di Indonesia. Sehingga membahayakan kedaulatan nasional Republik Indonesia.
Namun bernarkah NAMRU-2 AS yang sudah dihentikan aktivitasnya oleh Menteri Kesehatan jelang detik-detik masa jabatannya pada Oktober 2009 sudah benar-benar tidak beroperasi di Indonesia? Bagaimana dengan sinyalemen bahwa AFRIMS merupakan NAMRU-2 AS gaya baru?
Global Future Institute (GFI) merasa perlu meminta pemerintah Indonesia, khususnya para pemangku kepentingan politik-keamanan, politik luar negeri, otoritas intelijen maupun Kementerian Kesehatan, untuk mewaspadai keberadaan dan kiprah dari Pusat Riset Biomedis terbesar ketiga bagi militer AS atau lebih dikenal dengan sebutan AFRIMS, sebagai NAMRU gaya baru.
Menurut pengamatan GFI, AFRIMS sudah menyebar ke beberapa negara di Asia Tenggara seperti Laos, Vietnam, Singapura dan Filipina.
“Kami dari GFI mencermati dengan seksama keberadaan AFRIMS, The Armed Forces Research Institute of Medical Services yang ditengarai sebenarnya merupakan proyek yang sama persis dengan NAMRU-2,” jelas Direktur Eksekutif GFI, Hendrajit, Senin (27/8).
Untuk diketahui terbukti pengetahuan tentang penyakit menular seperti TBC dan demam berdarah yang dimiliki para dokter Indonesia malah justru mandek dan tidak ada perkembangan kemajuan dari adanya NAMRU-2.
“Hal ini memperkuat kecurigaan bahwa AS telah melanggar kedaulatan wilayah RI karena telah menggunakan fasilitas yang diberikan Departemen Kesehatan untuk tujuan-tujuan terselubung,” papar Hendrajit.
Temuan (GFI) pada 2007 mengungkap adanya indikasi keterlibatan operasi intelijen Angkatan Laut Amerika untuk pengembangan senjata biologis dengan berkedok sebagai penelitian mengenai penyakit menular,” lanjutnya.
Rencananya GFI akan mengadakan diskusi hal tersebut di Wisma Daria, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Kamis (30/8) dengan mengundang Kementerian Luar Negeri, Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mantan Danjen Marinir Mayjen (purn) Suharto, CSIS dan lainnya.
Hendrajit menilai hal ini perlu dilakukan untuk mewaspadai kembali adanya NAMRU-2 yang diduga berdalih sebagai AFRIMS. (anm/eda)
Editor: Eriec Dieda
Sumber Berita : https://nusantaranews.co/keberadaan-afrims-sebagai-namru-2-gaya-baru/
Boleh Jadi AFIRMS Sebagai Kelanjutan Proyek NAMRU-2, Indonesia Patut Waspada
NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Setelah dibubarkan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari beberapa tahun silam, proyek NAMRU-2 nyaris tak lagi terdengar pemberitaannya di media massa nasional. Bahkan saat ada indikasi NAMRU-2 akan kembali beroperasi di Indonesia, tampaknya tak banyak media yang menelisiknya.Menurut Global Future Institute (GFI), pada tahun 2012 silam sebuah informasi didapat dari lingkaran dalam pemerintahan bahwa Kementerian Luar Negeri RI mempersiapkan sebuah nota kesepakatan baru dengan pihak Amerika Serikat mengenai keberlanjutan proyek NAMRU-2 di Indonesia. Inti dari kesepakatan baru itu ialah mengizinkan kembali proyek NAMRU-2 beroperasi di tanah air.
Baca juga: Keberadaan AFRIMS Sebagai NAMRU-2 Gaya Baru?
GFI menyebut, sumber internal Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat mendesak Indonesia membuka kembali proyek penelitian NAMRU-2 dengan dalih semakin menyebarnya virus HINI sebagai penyebab flu babi di dunia, sehingga keberlanjutan penelitian NAMRU-2 dalam bidang penyakit menular semakin penting untuk dibuka kembali di Indonesia.
Menurut Hendrajit, keberadaan Naval Medical Research (NAMRU) unit 2 tidak memberikan manfaat untuk Indonesia. Dan sebaliknya, justru menjadi ancaman tersendiri bagi bangsa Indonesia sebagai perang nir militer melalui bidang kesehatan. Bahkan terungkap pula, bahwa beberapa tahun silam kantor NAMRU-2 di Indonesia menjadi markas terselubung intelijen Angkatan Laut Amerika Serikat untuk pengembangan senjata biologis pemusnah massal.
Baca juga: Serangan Gelap 400 Fasilitas Riset Biokimia AS di Berbagai Belahan Dunia
“Temuan pada 2007 mengungkap adanya indikasi keterlibatan operasi intelijen Angkatan Laut Amerika untuk pengembangan senjata biologis dengan berkedok sebagai penelitian mengenai penyakit menular,” ungkap pakar geolpolitik ini.
Salah satu indikasi bakal kembalinya NAMRU-2 di Indonesia ialah keberadaan AFRIMS atau The Armed Force Research Institute of Medical Services yang ditengarai sebenarnya merupakan proyek yang sama persis dengan NAMRU-2.
“Informasi ini, meski masih perlu eksplorasi dan investigasi secara lebih mendalam, tentu saja sungguh mengkhawatirkan. Apalagi ketika proyek AFIRMS ini sudah menyebar ke beberapa negara negara di kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam, Laos, Singapura, Thailand dan Filipina,” kata Hendrajit.
“NAMRU-2 pasti berekor waktu itu sudah ada sekitar 104 perusahaan di bawah kendali NAMRU-2, pasti berekor. Kenapa? Karena negara ini tidak punya kontigensi, dan kelemahan itu menjadi daya tarik mereka untuk masuk ke Indonesia,” tambah Letjen Marinir Suharto. (eda/edd)
Editor: Eriec Dieda
Sumber Berita : https://nusantaranews.co/boleh-jadi-afirms-sebagai-kelanjutan-proyek-namru-2-indonesia-patut-waspada/
NAMRU-2 Adalah Gerakan Intelijen Asing Berkedok Laboratorium Kesehatan
NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pada kesempatan seminar terbatas yang diadakan Global Future Institute (GFI) bekerjasama dengan Nusantaranews.co, di kawasan Kebayoran Baru, Kamis, 30 Agustus 2018, Ketua Relawan Kesehatan Indonesia Agung Nugroho menyebut keberadaan Naval Medical Research unit 2 (NAMRU-2) disebutnya sebagai gerakan intelijen asing yang berkedok laboratorium kesehatan.Agung Nugroho menjelaskan ada poin poin penting terkait keberadaan NAMRU-2 ini. Dirinya mengatakan bahwa NAMRU-2, sesuai masa kontraknya, sebenarnya telah habis sejak tahun 2000 silam. Selain itu, poin penting lainnya, lanjut Agung, staf NAMRU di Indonesia diberi kekebalan diplomatik. Yakni dibebaskan dari pajak dan disediakan tempat tinggal oleh pemerintah Indonesia.
Namun, pada kenyataannya, Menkes Siti Fadilah kala itu pernah dipersulit untuk masuk NAMRU-2. Padahal NAMRU-2 itu sendiri didirikan di atas lahan milik Depkes (Departemen Kesehatan) di Jl. Percetakan Negara no.29 Rawasari, Jakarta Pusat.
Boleh Jadi AFIRMS Sebagai Kelanjutan Proyek NAMRU-2, Indonesia Patut Waspada
Keberadaan AFRIMS Sebagai NAMRU-2 Gaya Baru?
Agung menambahkan, peneliti NAMRU-2 bebas bergerak ke seluruh pelosok negeri untuk mengambil sampel virus dari darah orang Indonesia. Dalam hal ini, NAMRU-2 dikatakan bergerak di bidang kesehatan, akan tetapi personilnya dari US Navy.
“So that means: tentara Amerika hidup bebas dan berkeliaran di negara ini dengan kedok penelitian kesehatan,” ungkap Agung.
Fakta lainnya, keberadaan NAMRU-2 selama 38 tahun tidak transparan. Seperti dilaporkan banyak pihak, lembaga riset medis angkatan laut AS tersebut tidak pernah melaporkan hasil penelitian kesehatan selama ini di Indonesia.
Dirinya menjelaskan, NAMRU-2 ditengarai mengambil sampel virus dari Indonesia untuk kemudian diolah menjadi senjata biologi.
Kecurigaan NAMRU-2 sebagai alat kepentingan intelijen AS, menurut Agung Nugroho digunakan untuk melanggengkan bisnis kesehatan AS di Indonesia. Dan hal itu dibenarkan oleh pakar intelijen Laksamana Muda (Purn) Subardo.
Temuan itu diketahui Subardo setelah 30 tahun bekerja di bidang intelijen, serta pernah menjabat sebagai Kepala Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) tahun 1986-1998.
“Kalau saya pribadi yakin itu ada motif intelijen dari Amerika. Saya kan kerja di bidang intelijen ini sejak Letnan hingga bintang dua (Laksamana Muda). Lebih dari 30 tahun,” ungkap Subardo di sela-sela Seminar Hari Kesadaran Keamanan Informasi (HKKI) di Fakultas MIPA UGM, Yogyakarta, pada Jumat 25 April 2008.
Ungkapan Subardo, diperkuat dengan hasil karya ilmiah Endang yang sejalan dengan misi NAMRU-2 yang diduga digunakan sebagai bahan penelitian intelijen AS guna mendapatkan vaksin atau obat penawar virus flu burung di Indonesia.
Editor: Romadhon
Sumber Berita : https://nusantaranews.co/namru-2-adalah-gerakan-intelijen-asing-berkedok-laboratorium-kesehatan/
Keberadaan NAMRU di Indonesia Disebut Sebagai Kejahatan
NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Berdasarkan sudut pandang intelijen, keberadaan Naval Medical Research (NAMRU) Amerika Serikat di Indonesia menurut perwakilan dari Badan Intelijen Strategis (BAIS) Sony S. disebut sebagai aktivitas kejahatan.“Yang pertama dari kacamata intelijen, NAMRU itu jahat. Jahat sekali. Karena apa? Dari pendeteksian kami, itu semua berkedok,” ungkap Sony saat menghadiri seminar terbatas bertajuk Strategi Mencegah Dibukannya Kembali NAMRU-2 Amerika Serikat di Indonesia yang diadakan oleh Global Future Institute (GFI) yang bekerjasama dengan Nusantaranews.co di kawasan Kebayoran Baru, Kamis, 30 Agustus 2018.
Saat ini lanjut Sony, tinggal bagaimana negara menyikapinya. Karena apa? Sebab, berbicara intelijen pasti berbicara ancaman. Rumusnya, kata Sony, ancaman itu intensif.
Jika dilakukan sebuah pemetaan atau maping, dari situ sudah terlihat. Dari mana hasil mapingya? Sony menjelaskan dari intelijen strategis yaitu komponen IPTEK. “Ketika berbicara global berarti berbicara nasional. Dan dampak dari intelijen ini ndak bisa dilihat sekarang. 30 tahun lagi,” kata dia.
Baca Juga:
NAMRU-2 Adalah Gerakan Intelijen Asing Berkedok Laboratorium Kesehatan
Serangan Bioterorisme Cina Ancam Petani di Indonesia
“Kalau dak sekarang kita deteksi, nanti kasihan anak cucu kita. Banyak penyakit penyakit aneh timbul di Indonesia,” ungkapnya.
“Jujur saja, kami berkoordinasi dengan karantina tumbuhan banyak turis turis asing itu sebetulnya adalah intelijen semua. Tapi kita tidak tahu. Memang dia turis. Kita juga bekerjasama dengan imigrasi pengawasan orang asing. Entah itu kedoknya sebagai teknisi lah, entah itu kedoknya sebagai periset, tapi sebetulnya kalau kita dalami kegiatan mereka adalah riset untuk intelijen,” jelasnya.
Sony melanjutkan, sekarang tinggall bagaimana kita mendeteksi dalam rangka mencegah ancaman yang dihadapkan pada hibryd dan bioterrorism itu. Yang ia takutkan lagi, danau danau di Indonesia ini di suntik dengan zat zat berbahaya, maka bisa dibayangkan, semua orang di Indonesia bisa mati semua.
“Tidak bisa sekarang tapi 10 tahun, 20 tahun baru akan kelihatan. Jadi itu tadi bener, dikatakan permainan ekonomi, permainan pasar. Kan banyak buah buahan yang mengandung virus,” terang dia.
Baca Juga:
Boleh Jadi AFIRMS Sebagai Kelanjutan Proyek NAMRU-2, Indonesia Patut Waspada
Keberadaan AFRIMS Sebagai NAMRU-2 Gaya Baru?
Pemerintah dan masyarakat Indonesia harus terus melakukan kewaspadaan dihadapkan pada ancaman yang akan berkembang ke depan. Bukan lagi ancaman militer tapi nir militer.
“Kita tidak tahu apa yang terjadi. Semua dibungkus dengan politik, dengan ekonomi, atau kerjasama militer mungkin. Hati hati kerjasama militer, mereka memang latihan, tapi mereka sebenarnya juga observasi. Contoh saja pak, apakah orang yang tidur sama monyet di Kalimantan semua itu peneliti? Saya berikan klu saja. Apakah apakah pilot pilot di Papua itu adalah pilot pilot beneran? Apakah teknisi teknisi Freeport itu beneran? Apakah guru bahasa Inggris di Indonesia itu guru bahasa Inggris beneran? Mari kita bersama sama bergandengan bekerjasama mendeteksi. Sebab langkah awal adalah mendeteksi,” tegasnya.
Editor: Romadhon
Sumber Berita : https://nusantaranews.co/keberadaan-namru-di-indonesia-disebut-sebagai-kejahatan/
Ini Potesi Ancaman Beroperasinya Kembali Proyek NAMRU-2 AS Gaya Baru di Indonesia
NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pada 30 Agustus 2018 lalu di Wisma Daria, Jakarta, berlangsung seminar terbatas membahas potensi ancaman beroperasinya kembali NAMRU-2 AS gaya baru di Indonesia.Hadir sebagai narasumber beberapa perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), mantan Danjen Marinir Letjen (purn) Suharto, mantan Dubes RI di PBB Makarim Wibisono, mantan Staf Khusus Menteri Kesehatan RI 2004-2009, dan Ketua Relawan Kesehatan Indonesia, Agung Nugroho.
Selain itu juga hadir beberapa perwakilan elemen masyarakat baik dari perguruan tinggi, Badan Intelijen Stragis (BAIS), beberapa pelaku media maupun beberapa pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat, khususnya yang bergerak di bidang kesehatan.
Keberadaan Naval Medical Research Unit 2 (NAMRU-2) Amerika Serikat di Indonesia sejak Januari 1974 hingga Oktober 2009, telah menjadikan Indonesia sebagai sasaran hegemoni dan dominasi AS di Indonesia. Sehingga berakibat membahayakan kedaulatan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menyadari kenyataan bahwa NAMRU-2 AS pada perkembangannya merupakan laboratorium bertujuan ganda, yaitu sebagai laboratorium penelitian penyakit-penyakit menular. Namun pada kenyataannya menjelma sebagai sarana operasi intelijen Angkatan Laut AS, yaitu sebagai sarana transfer virus dari Indonesia ke AS.
BACA JUGA:
- Keberadaan AFRIMS Sebagai NAMRU-2 Gaya Baru?
- Boleh Jadi AFIRMS Sebagai Kelanjutan Proyek NAMRU-2, Indonesia Patut Waspada
- NAMRU-2 Adalah Gerakan Intelijen Asing Berkedok Laboratorium Kesehatan
- Keberadaan NAMRU di Indonesia Disebut Sebagai Kejahatan
- Serangan Gelap 400 Fasilitas Riset Biokimia AS di Berbagai Belahan Dunia
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka beberapa narasumber maupun peserta aktif sepakat bahwa di bidang kesehatan, ketahanan kesehatan Indonesia sangat rapuh. Khususnya dalam dalam penelitian dan pengembangan masalah kesehatan terkait penemuan vaksin. Sehingga posisi tawar atau bargaining position pemerintah Indonesia di hadapan negara-negara maju sangat lemah.
Selain daripada itu, pusat referensi atau laboratorium referensi terkait penelitian dan pe ngembangan penemuan vaksin, hanya ada di beberapa negara maju seperti AS, Inggris, Australia, Jepang dan Korea Selatan. Hal itu disebabkan masih terkebelakangnya Indonesia dalam bidang biomedical science. Karena tidak adanya keterpaduan yang terintegrasi di kalangan para ilmuwan kesehatan.
Adapun terkait dengan adanya potensi ancaman beroperasinya kembali NAMRU-2 AS dengan menggunakan nama lain, para narasumber maupun peserta aktif sepakat agar pemerintah Indonesia, melalui berbagai instansi terkait, agar bersikap waspada.
Untuk itu, beberapa narasumber menggarisbawahi sektor Ristek (Riset dan Teknologi) maupun Perguruan Tinggi, berpotensi untu dijadikan pintu masuk agenda-agenda terselubung yang diproyeksikan sebagai lembaga-lembaga penelitian bertujuan ganda ala NAMRU-2 AS.
Apalagi dalam seminar mencuat suatu informasi bahwa di kementerian Ristek dan Perguruan Tinggi, terdapat sebuah tim yang berwenang memberikan perijinan bagi para peneliti asing. Atau penelitian yang digagas oleh para ilmuwan dari luar negri. Selain itu dari sektor pertanian juga berpotensi sebagai pintu masuk.
Sisi lain yang disorot dengan belajar dari kasus NAMRU-2 AS, betapa rawannya isu Bio Terorisme dan Weapon of Mass Destrucion. Mengingat fakta bahwa NAMRU-2 AS yang beroperasi di Indonesia telah digunakan sebagai media atau sarana transfer virus. Yang mana virus yang dikirim oleh NAMRU dari Jakarta, ditengarai telah dikirim ke Los Alamos, AS, untuk membuat Senjata Biologis atau Biological Weapon.
Rekomendasi GFI
Pertama, mengingat begitu banyaknya pintu masuk untuk menembus kedaulatan nasional Indonesia melalui sarana nirmiliter, maka perlu adanya kebijakan satu pintu alias One Gate Policy dari pemerintah Indonesia.
Kedua, sudah saatnya merevisi kembali undang-undang kesehatan, dengan menggunakan kerangka konsepsi Ketahanan Kesehatan yang bersifat terpadu dan terintegrasi dengan sektor-sektor strategis lainnya seperti politik-keamanan, politik ekonomi, sosial-budaya maupun pertahanan keamanan itu sendiri.
Terkait dengan potensi ancaman dari Bio Terorisme dan Senjata Pemusnah Massal atau Weapon of Mass Destruction, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan, agar mendesak negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN, agar mendesak kawasan Asia Tenggara menjadi wilayah bebas senjata nuklir dan senjata biologis, yang hakekatnya mauk kategori senjata pemusnah massal alias Weapon of Mass Destruction. (eda/ena)
Editor: Eriec Dieda
Sumber Berita : https://nusantaranews.co/ini-potesi-ancaman-beroperasinya-kembali-proyek-namru-2-as-gaya-baru-di-indonesia/
Proyek NAMRU-2, AFRIMS dan 400 Fasilitas Riset Biokimia AS di Berbagai Belahan Dunia
NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Naval Medical Research Unit Two (NAMRU-2) adalah laboratorium riset biomedis milik Angkatan Laut Amerika Serikat. Keberadaan NAMRU-2 di Indonesia boleh dibilang cukup misterius sejak Januari 1974. Namun, pada Oktober 2009, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menutup laboratorium milik AS tersebut. Menurut Menkes, NAMRU-2 tak memberikan manfaat untuk Indonesia, dan justru sebaliknya, membahayakan.Global Future Institute (GFI) sependapat dengan Siti Fadilah Supari. Menurut GFI, keberadaan NAMRU-2 tidak memberikan manfaat untuk Indonesia. Dan sebaliknya, justru menjadi ancaman tersendiri bagi bangsa Indonesia sebagai perang nir militer melalui bidang kesehatan. Bahkan terungkap pula, bahwa beberapa tahun silam kantor NAMRU-2 di Indonesia menjadi markas terselubung intelijen Angkatan Laut Amerika Serikat untuk pengembangan senjata biologis pemusnah massal.
Lalu apa masalahnya? Ketua Relawan Kesehatan Indonesia Agung Nugroho mengungkapkan peneliti NAMRU-2 bebas bergerak ke seluruh pelosok negeri untuk mengambil sampel virus dari darah orang Indonesia. Dalam hal ini, NAMRU-2 dikatakan bergerak di bidang kesehatan, akan tetapi personelnya dari US Navy. Dirinya menjelaskan, NAMRU-2 ditengarai mengambil sampel virus dari Indonesia untuk kemudian diolah menjadi senjata biolog (biological weapon).
Perjuangan Siti Fadilah Supari menutup NAMRU-2 di Indonesia berlangsung rumit. Banyak penolakan. Termasuk dari Komisi I DPR RI. Waktu itu.
Sekadar informasi, NAMRU-2 secara resmi terdaftar di bawah komando Pusat Riset Medis Angkatan Laut AS (Naval Medical Research Center) yang berlokasi di Silver Spring, Maryland, Amerika Serikat. Setelah di Indonesia ditutup, NAMRU-2 fasilitas NAMRU-2 kemudian dipindahkan ke Hawaii.
Terlepas dari itu, pihak AS sepuluh tahun silam telah melayangkan proposal barunya untuk kelanjutan proyek NAMRU-2 di Indonesia. Namun, hingga kini kabar soal keberlanjutan proyek NAMRU-2 di tanah air surut dari pemberitaan media massa sehingga jarang terdengar publik. Terlebih, Siti Fadilah Supari kini sudah meringkuk di balik jeruji besi dalam kasus pengadaan alat kesehatan (alkes) tahun 2005. Dan pada tahun 2017, Siti divonis 4 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan.
Lalu bagaimana kabar proyek NAMRU-2 AS di Indonesia? Global Future Institute (GFI) pada tahun 2012 mengendus sebuah informasi didapat dari lingkaran dalam pemerintahan bahwa Kementerian Luar Negeri RI mempersiapkan sebuah nota kesepakatan baru dengan pihak Amerika Serikat mengenai keberlanjutan proyek NAMRU-2 di Indonesia. Inti dari kesepakatan baru itu ialah mengizinkan kembali proyek NAMRU-2 beroperasi di tanah air.
GFI menyebut, sumber internal Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat mendesak Indonesia membuka kembali proyek penelitian NAMRU-2 dengan dalih semakin menyebarnya virus HINI sebagai penyebab flu babi di dunia, sehingga keberlanjutan penelitian NAMRU-2 dalam bidang penyakit menular semakin penting untuk dibuka kembali di Indonesia.
Selain itu, GFI juga mengendus adanya sebuah proyek baru dari Pusat Riset Biomedis AS, yakni AFRIMS (The Armed Forces Research Institute of Medical Services). AFRIMS ditengarai sebenarnya merupakan proyek yang sama persis dengan NAMRU-2 dan telah menyebar di sejumlah negara Asia Tenggara seperti Laos, Vietnam, Singapura dan Filipina.
Namun demikian, terkait AFRIMS memang masih memerlukan eksplorasi dan investigasi secara lebih mendalam.
Diskusi terbatas nusantaranews.co menghasilkan sejumlah pertanyaan besar terkait kasus-kasus wabah infeksi berbahaya yang terdeteksi di Afrika dan Asia Selatan selama ini. Boleh jadi, kasus itu merupakan akibat dari penelitian fasilitas militer AS tersebut, terutama terkait masalah keamanan. Seperti dilaporkan baru-baru ini, ahli mikrobiologi Amerika menemukan sebuah kotak kardus berisi sampel cacar yang telah terlupakan di ruang penyimpanan NIH di tahun 1950-an.
Kasus lain misalnya terkait skandal pengiriman sampel beberapa spora antraks aktif ke Departemen Pertanian AS yang kemudian ternyata telah terkontaminasi secara tidak sengaja dengan H5N1, yang merupakan sampel virus flu burung. Skandal spora antraks ini kemudian menimpa setidaknya 20 negara bagian, serta sebuah pangkalan militer di Korea Selatan, yang mengakibatkan 22 personil memerlukan perawatan medis serius.
Di Ukraina, ada peningkatan wabah penyakit berbahaya. Tapi relatif tidak mendapatkan perhatian media, kecuali perwakilan UNICEF di Ukraina dan beberapa stasiun TV lokal negara tersebut.
Kemudian, di Kota Izmail wilayah Odessa pada musim panas 2016 silam. Di wilayah ini, sebuah wabah infeksi usus misterius telah menimpa anak-anak. Lebih dari 400 anak dirawat di rumah sakit dalam waktu 24 jam. Penyebab wabah tersebut belum teridentifikasi. Pada tahun yang sama, Ukraina kembali ‘diserang’ oleh wabah flu babi aneh, yang menyebabkan SARS – sehingga Uni Eropa menerapkan larangan impor ayam selama enam bulan dari Ukraina.
Sebelum itu juga telah terjadi serangan infeksi flu burung di wilayah Kherson. Dan tahun 2017 muncul epidemi botulisme yang tak dapat dijelaskan – akibat dari memakan ikan yang terkontaminasi, yang menyebabkan kejang otot dan mati lemas. Lembaga medis tidak memiliki antitoksin yang tersedia, sehingga puluhan warga Ukraina meninggal dalam penderitaan yang sangat menyiksa.
Pada bulan Agustus tahun 2005, Kementerian Kesehatan Ukraina dan Departemen Pertahanan AS telah menandatangani sebuah bertajuk Kesepakatan mengenai Kerjasama di Area Pencegahan Perkembangan Teknologi, Patogen dan Keahlian yang Bisa Digunakan dalam Pengembangan Senjata Biologis.
Begitu kesepakatan tersebut dilakukan, sebuah institusi yang dikenal sebagai Laboratorium Referensi Pusat (CRL) dibuka di Odessa, berbasis di Institut Penelitian Anti-Plasma Mechnikov dan mengkhususkan diri dalam studi patogen manusia.
Menurut catatan, Departemen Pertahanan AS telah menginvestasikan sekitar US$ 3,5 juta ke dalam proyek tersebut, dengan pekerjaan yang dilakukan oleh subkontraktornya yang lama, Black & Veatch Special Projects Corp, di samping laboratorium diagnostik di Dnipropetrovsk, Lviv, Luhansk, dan Merefa, dekat Kharkov. Menarik untuk dicermati bahwa keamanan telah digenjot di laboratorium di Merefa, yang sekarang menjadi fasilitas Tingkat Keamanan Hayati 3, di mana mereka diberi wewenang untuk bekerja pada strain virus manusia mematikan dan bakteri yang sesuai untuk digunakan sebagai senjata biologis.
Tidak satu pun dari CRL berada di bawah kendali yurisdiksi negara tempat mereka berada, dan pekerjaan mereka sangat tertutup bagi orang luar. Personelnya terutama warga negara AS yang memiliki kekebalan diplomatik. Dengan kata lain, tidak ada perwakilan dari negara tuan rumah yang diizinkan mengakses laboratorium ini, termasuk otoritas kesehatan masyarakat sekalipun.
Jumlah karyawannya antara 50 sampai 250 orang – melebihi jumlah staf yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan semacam ini di fasilitas sipil. Laboratorium tersebut biasanya dipimpin oleh seorang perwira tinggi Angkatan Darat AS yang ahli dalam senjata biologis dan terorisme biologis.
Kasus ini persis seperti fasilitas NAMRU-2 di Indonesia yang tak dapat dikendalikan dan diakses pemerintah, serta karyawannya memiliki kekebalan diplomatik.
Berikutnya, laboratorium serupa juga dibuka di Kiev, Kherson, Vinnytsia, Ternopil, dan Uzhhorod sebelum tahun 2014. Sebanyak US$ 183 juta telah diinvestasikan dalam proyek-proyek ini. Sejak kudeta tahun 2014, kejadian di Ukraina terkait dengan isu-isu ini telah ditahan dengan ketat dari pers, bahkan wartawan dan pers independen Ukraina tidak diizinkan untuk membuat penyelidikan. (ed/edd)
Editor: Eriec Dieda & Alya Karen
Sumber Berita : https://nusantaranews.co/proyek-namru-2-afrims-dan-400-fasilitas-riset-biokimia-as-di-berbagai-belahan-dunia/
Re-post by MigoBerita / Selasa/31032020/10.47Wita/Bjm