» » » » » Ada apa dengan Yang Muda... Fadli & Fahri di CINTA Jokowi demi INDONESIA

Ada apa dengan Yang Muda... Fadli & Fahri di CINTA Jokowi demi INDONESIA

Penulis By on Kamis, 13 Agustus 2020 | No comments

 

Migo Berita - Banjarmasin -  Ada apa dengan Yang Muda... Saatnya yamg Muda memimpin atau teruslah yang Tua Berkuasa, atau Serahkanlah Pada Ahlinya Tanpa Mengenal Tua atau Muda.

Mengapa Gibran Tidak Menunggu Jokowi Mantan Presiden
Ada saran Gibran menunggu Jokowi jadi mantan presiden, baru mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo. Kenapa Gibran tidak mendengar saran itu.

Politik itu sebetulnya adalah momentum. Anda ingat setelah reformasi tahun 1998, Indonesia memasuki fase kritis. Waktu itu kita harus memilih presiden baru. Pemilihannya itu dilakukan lewat MPR. Saat itu ada calon Habibie, yang waktu itu sebagai wakil presiden naik sebagai presiden. Habibie didukung ICMI dan kelompok muslim perkotaan. Di sebelah sini ada Megawati, Ketua PDIP yang saat itu memenangkan pemilu.

Para pencetus reformasi agak cemas. Kedua kubu itu kayak minyak dan air. Mereka berpikir harus ada jalan tengah. Biar tidak terjadi konflik di Indonesia. Maka digagaslah poros tengah sebagai alternatif di antara dua kekuatan itu. Poros tengah dibentuk dan Amien Rais salah satu tokoh, itu ditawari jadi capres. Mau enggak jadi capres? Dia ragu. Dia tidak ambil momentum itu.

Beda ketika Gus Dur yang ditawari. "Mau enggak, Gus, jadi capres?" Dia langsung bilang bersedia. Gus Dur tahu politik adalah momentum. Ia memanfaatkan momentum itu dengan cerdik. Dan Gus Dur jadi presiden. Sementara Amien kehilangan momentumnya.

Kita tahu berikutnya, cerita Amien Rais adalah cerita tentang kegagalan. Sebagai capres maupun sebagai penguasa PAN, dia gagal. Ia kini malah terpental dari PAN. Nasibnya kayak orang makan di Rumah Makan Bundo Kanduang. Habis makan, eh ditagih bayaran. Padahal makannya di Rumah Makan Bundo Kanduang. Karena enggak dianggap anak, atau cuma dianggap anak pungut, kita enggak tahu. Momentum politik sih sudah lewat bagi Amien. Ia kini seperti dinubuatkan Gus Dur, kayak gelandangan politik.

Nah, ada lagi cerita yang lain. Jokowi menurut saya adalah salah satu politisi yang paling pandai memanfaatkan momentum. Ketika di Solo, awal-awal pemilihan pilkada langsung, dia masih jadi pengusaha. Sementara politisi itu belum terbiasa ada pilkada yang dipilih secara langsung oleh masyarakat.

Jadi mereka, politisi masih gagaplah. Dalam perhelatan politik, posisi Jokowi sebagai pengusaha bisa dibilang punya peluang yang sama, dengan orang yang sudah kapalan di dunia politik di Solo saat itu. Makanya Jokowi sebagai pengusaha daftar ke PDIP untuk maju sebagai Wali Kota Solo.

Dia bertarung dengan politisi-politisi yang masih gagap secara politik, dan menang 36 persen suaranya. Kemudian dari Solo ia mengukir namanya. Gaya kepemimpinannya cocok untuk konteks Solo pada saat itu. Dan kemudian periode kedua dia maju lagi dan kemenangannya luar biasa, 90 sekian persen.

Boleh dibilang waktu itu Jokowi, seng ada lawan di Solo. Nah dari Solo ia melihat peluang di Jakarta. Ada momen politik besar di Jakarta yang enggak mau dia sia-siakan. Namanya masih moncer gara-gara jadi Wali Kota Solo. Orang juga mulai melirik kiprahnya, mulai membicarakan peluang atau gaya kepemimpinannya yang berbeda dari yang lain.

Ia adalah Gibran Rakabuming Raka. Tidak ada nama Widodo di belakangnya. Berbeda dengan yang lain misalnya ada nama Yudhoyono di belakangnya, ada nama Soekarnoputri di belakangnya.

Infografis: Gibran Menuju Kursi Wali Kota Solo 

Timeline perjalanan Gibran Rakabuming Raka di dunia politik. (Infografis: Tagar/Regita Setiawan P)

Terus kemudian dia maju di Jakarta dan menang di Jakarta sebagai gubernur. Gaya memimpinnya di Jakarta, karena Jakarta jadi pusat pemberitaan, kemudian berita tentang Jokowi menjadi nasional. Namanya semakin moncer. Surveinya tinggi. Itulah modal saat PDIP menunjuk dirinya sebagai capres. Ia kemudian bertarung melawan Prabowo. Dan 2014 dia menang sebagai presiden Indonesia. Itu kisah tentang Jokowi yang pandai memanfaatkan momentum.

Nah, saat ini di Solo mau ada pilkada lagi. Wali Kota petahana FX Hadi Rudyatmo sudah dua periode manjabat, jadi enggak bisa maju lagi. FX Rudyatmo ini katanya isunya mendukung wakilnya, Achmad Purnomo yang juga dari PDIP, untuk menggantikan posisinya sebagai Wali Kota Solo. Tapi Ahmad Purnomo itu sudah tua, umurnya 71 tahun. Sementara urusan rekomendasi calon kepala daerah bukan urusan wali kota menjabat, atau bukan urusan ranting, tapi urusan pengurus pusat.

Gibran melihat peluang itu. Ia masih muda. Energik. Potensinya untuk meraih momentum politik juga tersedia. Toh, Achmad Purnomo yang katanya dapat dukungan dari wali kota, belum mendapat rekomendasi resmi. Gibran masih bisa meraihnya. Karena memang belum ada rekomendasi yang resmi.

Jadi pada tahun 2019 ia mendaftar sebagai kader PDIP. Sejak saat itulah ia serius meniti langkah untuk mengambil momentum politik yang tersedia di hadapannya, Hasilnya, elektabilitas Gibran naik. Anak-anak muda Solo berharap kepada Gibran, bukan kepada wali kota yang sudah tua itu.

Bermodal itulah Gibran akhirnya mendapat restu partai untuk maju. PDIP mendukungnya. Partai-partai lain juga memberi dukungan. Alhamdulillah, PKS enggak diajak. Mungkin Gibran sadar ada adagium di tengah masyarakat Indonesia: di mana PKS berpijak, kalau Anda sebagai makhluk normal, Anda harus berdiri di seberangnya. Mungkin karena itulah PKS tidak diajak.

Iya, benar. Gibran itu putra Jokowi. Posisinya sebagai anak Presiden pasti berpengaruh juga pada persepsi pemilih di Solo. Berpengaruh juga pada persepsi bahwa Jokowi ingin membangun dinasti politik. Tapi menurut saya, dalam politik elektoral yang terbuka kayak sekarang, persoalannya bukan dia anak siapa yang penting diperhatikan. Bukan soal ia berdarah biru atau oranye, tapi seberapa besar kemampuannya mengemban amanah. Nilai itu yang penting diukur. Ukurannya merit sistem, atau penilaian berdasarkan prestasi.

Sekarang Anda tinggal melihat sepak terjang Gibran selama ini. Apakah dia suka memanfaatkan kekuasaan ayahnya untuk meraih keuntungan? Atau posisi dia sebagai anak seorang Jokowi, kemudian dia mengambil manfaat dari situ? Anda ingat kisah soal sikap Gibran sebagai pengusaha katering di Solo, yang menolak semua order dari Pemda Solo saat Jokowi menjadi Wali Kota Solo. Itu saja sudah cukup menggambarkan bagaimana sebetulnya anak ini berpikir dan bersikap.

Saat Jokowi sebagai presiden, punya kekuasaan luar biasa di Indonesia, apa bisnis yang digeluti Gibran? Dia bisnis kuliner. Kulinernya juga bukan yang aneh-aneh. Dia jualan martabak. Bisnis kuliner ini bisnis yang murni keberhasilannya karena keterampilan pengusaha. Kualitas makanan, rasa, kemasan.

Gus Dur tahu politik adalah momentum. Ia memanfaatkan momentum itu dengan cerdik. Dan Gus Dur jadi presiden. Sementara Amien kehilangan momentumnya.

Gibran Rakabuming 

Gibran Rakabuming Raka. (Foto: Instagram/@kerjaholic)

Kekuasaan politik sehebat apa pun tidak akan bisa mengintervensi agar rakyat semua berbondong-bondong membeli martabak. Presiden mengeluarkan Keperes, tetap saja, misalnya, "Woe rakyat Indonesia tolong beli martabak." Enggak laku. Jadi bisnis kuliner itu bisnis yang benar-benar mengandalkan kekuatan produknya. Kekuasaan politik sama sekali tidak bisa ikut andil dalam kesuksesannya. Kalau martabaknya enggak enak, mau bapak Anda presiden, mau bapak Anda menteri, tetap saja tidak ada yang mau beli. Itu pilihan bisnis Gibran.

Berbeda mungkin dengan anak-anak pejabat yang lain. Yang mengambil bisnis tambang, bisnis yang gede-gede. Bisnis proyek pemerintah dan lain-lain. Karena untuk mendapatkan proyek pemerintah mungkin dapat pesanan kekuasaan.

Gibran bisnis martabak, nah ini yang menarik. Bisnis seperti itu menandakan Gibran bukan orang yang gemar menempelkan kepentingannya dengan jabatan ayahnya. Ia bahkan menjauh dari pengaruh itu, seperti ia menolak order katering dari Pemerintah Solo, ketika Jokowi masih menjadi Wali Kota.

Tapi, Gibran itu anak Jokowi kan? Dan Jokowi adalah Presiden Indonesia. Ya, benar. Tapi pengaruh dia sebagai anak presiden atau dia memposisikan diri sebagai anak presiden, itu enggak signifikan. Pilihan bisnisnya selama ini menunjukkan ia cuma anak Jokowi. Ia bukan menunjukkan anak seorang wali kota, anak seorang Gubernur DKI, atau anak seorang presiden. Sebab ia tidak memanfaatkan fasilitas kekuasaan untuk kepentingan dirinya.

Mungkin yang paling kentara itu ia mewarisi keterampilan Jokowi dalam politik: pandai melihat momentum. Tentu Gibran belum tentu duduk sebagai Wali Kota Solo, pilkada belum berlangsung. Jabatannya masih kandidat wali kota. Ia masih harus bertarung di pilkada. Masih harus membuktikan dirinya mampu menaklukkan massa di Solo. Setelah itu, baru komitmen dan kepemimpinannya diuji.

Apakah nanti Gibran mampu menyaingi prestasi bapaknya sebagai Wali Kota Solo? Nah, kita belum tahu sampai di situ. Tapi setidaknya, menurut saya, Solo akan lebih bergairah dipimpin anak muda. Daripada dipimpin kakek-kakek berusia 71 tahun. Sebab anak-anak muda adalah tulang punggung perubahan. Mereka tahu dunia sedang berubah. Di tangan merekalah masa depan Indonesia dipertaruhkan.

Gibran harus membuktikan bahwa ia bukan sekadar anak Joko Widodo. Ia adalah Gibran Rakabuming Raka. Tidak ada nama Widodo di belakangnya. Berbeda dengan yang lain misalnya ada nama Yudhoyono di belakangnya, ada nama Soekarnoputri di belakangnya.

Gibran namanya Gibran Rakabuming Raka. Dan dia berhak menjadi dirinya sendiri.

*Pegiat Media Sosial

Gibran Rakabuming (kanan) dan ayahnya, Presiden Jokowi. (Foto: Tagar/Prima Radio)

Sumber Utama : https://www.tagar.id/mengapa-gibran-tidak-menunggu-jokowi-mantan-presiden

Curhat Anies “Gubernur Intoleran” Bicara Toleran

Ehhmm…tumben Anies baper “menantang” siapa yang bisa menunjukkan dirinya intoleran atau diskriminatif dalam mengeluarkan kebijakan. Mestinya sih ini nggak penting banget, karena kalau soal kebijakan di Jakarta nggak datang dengan sendirinya, tetapi dibuat bersama DPRD DKI dan jajarannya. Lagipula memangnya ada masyarakat mempertanyakan kebijakan Anies yang intoleran dan diskriminatif? Terus penting mana mengurusi suara itu atau fokus mengurusi Jakarta yang acak kadut nggak karu-karuan sekarang ini

Tetapi inilah curhat Anies narasi tentang dirinya intoleran dan diskriminatif yang merasa terus diframing sejak masa kampanye Pilkada hingga sekarang. Padahal menurutnya telah menunjukkan dirinya tidak seperti tuduhan masyarakat itu.

"Tolong ditunjukkan selama dua tahun ini, kebijakan mana yang intoleran, tolong ditunjukkan kebijakan mana yang diskriminatif," kata Anies dalam peluncuran buku 'Memoar Pilkada DKI 2017' yang disiarkan Youtube Mardani Ali Sera, dikutip Selasa. Dikutip dari: cnnindonesia.com

Hehehh…Pernah mendengar ungkapan, “You can run, but you can’t hide?” Bisa jadi inilah kondisi Anies saat ini yang tidak bisa lepas dari rekam jejak terpilihnya menjadi Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada DKI 2017 lewat politik SARA yang kental. Faktanya memang Anies ketika itu didukung oleh kelompok radikalis, FPI dan rombongannya. Bahkan Google saja merekam ini abadi jika kita iseng googling.

Pilkada DKI 2017 sudah lama selesai, dan Jakarta sudah dipimpin oleh Anies jalan 3 tahun ini. Tetapi, di dalam perjalanan kepemimpinannya keharmonisan Anies dengan kelompok togel dan kemesraannya dengan Bang Toyib itu kok yah ngeri-ngeri sedap. Bahkan di beberapa acara reunian yang mengusung berbagai tema pun Anies terkesan mendukung dan sempat hadir. Padahal di dalam acara reunian tersebut kerap teriakannya cenderung mendiskreditkan pemerintah, ataupun beraroma perpecahan.

Nah pertanyaannya kenapa Anies membiarkan? Padahal dirinya adalah kepala daerah yang harusnya memastikan kerukunan dan nasionalisme. Apakah ini yang dimaksud dengan Jakarta demokratis? Memangnya dengan bebas berpendapat sampai asyik-asyik saja kita biarkan kelompok radikal ngoceh seenaknya dan menginjak harga diri dan ideologi bangsa ini? Hahah...itu sih namanya demokrasi kebablasan!

Mungkin sosok Anies seorang yang nasionalis, buktinya dulu pernah menggagas Indonesia mengajar. Nggak bohong penulis sempat kagum karena ini ide yang brilian. Membangun kepedulian dan saling berbagi untuk mencerdaskan bangsa. Khusus untuk yang ini rasanya pantaslah diacungkan jempol. Tetapi itu dulu, cerita lama yang bisa jadi mimpi mungkin kalau melihat kenyataan yang ada sekarang ini.

Di depan mata yang terlihat sekarang Anies “menikmati” dan membiarkan dirinya didukung oleh kelompok togel, lalu diam saja saat politik SARA dimainkan, bahkan lanjut hingga sekarang pun mesra. Harusnya paham jika label intoleran itu jadi melekat. Maaf, fakta lainnya hingga detik ini pun tidak ada prestasi dari seorang Anies Baswedan.

Menurut penulis, jika memang Anies merasa dirinya layak dan pantas memimpin Jakarta lewat Pilkada DKI 2017 lalu, harusnya ada gebrakan yang nyata di 3 tahun ini! Harusnya bisa dibuktikan dengan sederet prestasi yang nyata, baik secara fisik ataupun dinikmati oleh warga Jakarta. Jadi bukan hanya pencitraan, merangkai kata ataupun acara gunting pita sana sini karya dari pendahulunya.

Lucu saja mendengar “mengeluh” disudutkan intoleran dalam kebijakannya? Ehhmm…rasa-rasanya sih warga Jakarta tidak ada yang mengatakan itu. Tetapi mungkin mengatakan kebijakan Anies sebagai keberpihakan bisa jadi iya, misalnya:

Pedagang kaki lima (PKL) di Tanah Abang yang mendapatkan kemerdekaannya kembali berdagang seenak hati, seolah Anies menunjukkan dirinya membela rakyat kecil. Padahal seharusnya sebagai pemimpin itu mendidik dan mendisiplinkan warga. Akibatnya Tanah Abang kembali macet nggak karuan, dan pejalan kaki kehilangan haknya. Heheh...biarlah Anies yang menjawab, apakah ini ucapan terima kasih sesuai janji politiknya? Pastinya ini cenderung diskriminatif karena ada kepentingan umum yang justru diabaikan demi JKT 58 sih rasa-rasanya.

Pembangunan trotoar yang sengaja diperluas segede gaban menghabiskan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI dengan angka fantastis. Ehhhmm…kembali lagi-lagi pemikirannya memberikan kesempatan kepada PKL. Kocak, sepenting itukah perluasan trotoar yang ujungnya mempersempit jalan dan menimbulkan kemacetan semakin parah. Padahal Jakarta pernah mencatat masih ada warganya yang ternyata belum memiliki jamban! Artinya, ada hal lain yang lebih menjadi skala prioritas.

Pasukan TGUPP kesayangan Anies yang dihidupi dari APBD DKI ngapain juga? Menjadi rahasia umum kalau isinya tidak lain adalah tim sukses Anies yang harus “dihidupi” sebagai ucapan terima kasih? Menyedihkan mereka yang bergaji selangit ini ibarat parasit yang numpang hidup di era Anies di atas keringat warga Jakarta. Jakarta sendiri tidak ada kemajuan, justru mundur 1000 langkah itulah kenyataanya.

Reklamasi Ancol dalihnya untuk mencegah banjir dan memanfaatkan lumpur dari hasil pengerukan sungai. Memangnya bisa dan aman? Aneh bin ajaib karena dulu dirinya sendiri yang menolak reklamasi, tetapi sekarang cerita berbeda. Tambah membingungkannya kok yah bisa-bisanya ada wacana pembangunan musium Nabi diatas lahan reklamasi? Ehhhmm…

Membicarakan toleran dan intoleran akan sangat membingungkan karena bisa beti atau beda tipis. Kenapa? Hahah…karena memang Anies sangat toleran seluas-luasnya. Termasuk bertoleransi dengan kelompok togel, Bang Toyib dan siapapun yang berkenan. Tinggal tergantung dari sudut mana menilainya saja.

Buat penulis, daripada bersilat lidah mengalahkan kamus, jauh lebih penting Anies membuktikan kinerjanya yang tidak terlihat selama 3 tahun ini. Sekedar mengingatkan bahwa APBD DKI itu paling juara loh angkanya, tetapi kok tidak disertai dengan hasil yang juara juga. Khan disitu persoalan kepemimpinan Anies, memimpin siapa dan untuk siapa? Uuppsss…

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200812084528-32-534734/pdip-minta-anies-kerja-ketimbang-tanya-kebijakan-intoleran

Ilustrasi: Imgur

Curhat Anies “Gubernur Intoleran” Bicara Toleran

Sumber Utama : https://seword.com/umum/curhat-anies-gubernur-intoleran-bicara-toleran-Bk0KXrSOwt

Pidato Bung Karno yang Selalu Aktual : Jangan Jadi Orang Arab, Jadilah Nusantara

Suasana bulan kemerdekaan memang selalu berbeda dibanding bulan-bulan lainnya. Di mana-mana nuansa merah-putih lebih dominan, sebagai ekspresi rasa bersyukur atas kemerdekaan dari kungkungan penjajah. Bukanlah masalah utama bahwa usia bangsa ini menghirup kemerdekaannya semakin bertambah, karena setiap penambahan angka itu akan selalu bermakna sama, kita sederajat dengan bangsa-bangsa lain sebagai pemilik kedaulatan di negeri sendiri.

 

Lebih dari sekedar bersyukur, dengan berkembangnya peradaban manusia, kemerdekaan itu juga menuntut tanggungjawab. Berangkat dari pemikiran tentang peradaban yang terus berubah, yang oleh banyak kalangan, perubahan itu diartikan sebagai perkembangan, namun para pendiri bangsa sejak awal menanamkan amanat yang sangat jelas, bahwa akar budaya kita tidak boleh bergeser sama sekali.

Kalau orang Islam, janganlah jadi orang Arab, demikianlah amanat yang kita tangkap dari salah satu pidato Bung Karno, karena ada perbedaan mendasar antara ajaran Islam dengan budaya Arab. Hal yang sama juga diarahkan kepada pemeluk agama lain, amanat itu semakin mudah dipahami, karena seiring dengan penyebaran agama, tidak terhindarkan, terbawa juga budaya dari sang pembawa ajaran.

Sementara bangsa ini sudah memiliki budaya sendiri yang sudah berakar sangat dalam, yang ketika berasimilasi dengan budaya lain, tidaklah seluruh budaya itu kompatibel dengan milik kita. Bahkan tidak sedikit diantaranya bertolakbelakang sama sekali. Kita yakini bahwa maksud dari amanat para pendiri bangsa itu, salah satunya adalah untuk menjaga agar bangsa ini tidak tercerabut dari akar budayanya.

Bagaimanapun, budaya merupakan salah satu identitas bangsa yang sangat mendasar, cermati saja ketika dunia pariwisata menjadi komoditas sangat penting bagi suatu negara. Dengan keragaman budaya yang dimiliki oleh tempat tujuan wisata, para pengunjung pun antusias untuk terus datang secara berulang.

Bukankah ini berarti, bahwa budaya asli kita menjadi modal terbesar, selain sumber daya manusia dan sumber daya alamnya.

Lebih dari kesadaran tentang identitas bangsa, infiltrasi budaya asing yang mencoba dikaburkan bersama ajaran agama, sangat mudah kita kenali. Gaya berpakaian misalnya, kini mulai bermunculan pemahaman, terasa kurang lengkap jika kita shalat atau beribadah di masjid, tanpa mengenakan atribut berupa thawb atau gamis panjang dipadukan dengan sirwal, bahkan masih terasa kurang pula kalau tidak dilengkapi dengan keffiyeh yakni kain khas penutup kepala bagi orang Arab.

Wajar saja kalau pakaian serupa itu sangat cocok dikenakan oleh bangsa di Timur Tengah, yang rata-rata postur tubuhnya sesuai. Bahkan bukan hanya pertimbangan postur tubuh, iklim dan kondisi alam di sana turut menjadi pertimbangan, kenapa mereka lebih suka mengenakan pakaian dengan gaya khas mereka.

Dengan gaya yang sama, bangsa Arab pun berhasil menarik perhatian dunia karena ciri khasnya itu. Alangkah pandirnya jika warga Indonesia, yang barangkali berkunjung ke tanah Arab pun belum pernah, tapi mereka sangat bernafsu ikut-ikutan bergaya seperti mereka. Sementara pakaian khas kita, batik misalnya, secara tidak sadar telah mulai diabaikan, padahal di sanalah identitas bangsa kita tercermin.

Hal yang lebih mengherankan ketika sebagian kalangan menganggap tari-tarian tradisional kita dinilai tak sesuai dengan ajaran agama. Seakan-akan di tanah asal agama Islam tidak ada tarian yang lebih tidak sesuai dengan ajaran Islam. Apakah tarian serimpi atau jaipong dinilai lebih vulgar dibanding tari perut yang notabene berasal dari Arab? Tentu saja pemikiran serupa itu sangat menyesatkan.

Betapa mirisnya jika kita disadarkan, bahwa suatu saat nanti, pakaian tradisional Indonesia atau jenis-jenis kesenian khas negara kita, sudah tidak lagi terlacak jejaknya, generasi penerus kita lebih suka dengan gaya asing yang menurut mereka lebih trendi. Bukankah ini bisa diartikan bangsa ini telah menjadi objek penjajahan gaya baru?

Bukan tidak mungkin, ketika generasi yang akan datang sudah tak lagi mengenal kebudayaan leluhurnya, maka kekayaan bangsa yang sangat berharga itu akan berpindah menjadi milik bangsa lain. Bukan rahasia lagi, kini sudah terendus gelagat bangsa asing yang tertarik mendalami jenis-jenis kesenian bangsa kita. Jika kekhawatiran itu kelak menjadi kenyataan, barangkali akan tiba saatnya, pemilik asli beragam budaya itu akan merasa asing dengan warisan leluhurnya sendiri, dan hanya akan menjadi penonton bagi pemilik barunya. Siapa tahu.

Pidato Bung Karno yang Selalu Aktual : Jangan Jadi Orang Arab, Jadilah Nusantara

Sumber Utama : https://seword.com/umum/pidato-bung-karno-yang-selalu-aktual-jangan-jadi-cYXgvsm8eH 

Pak Menteri, Jangan Cuma Ancam Doang, Langsung Pecat Saja ASN Radikal

Menteri Agama Fachrul Razi menegaskan tidak boleh ada benih radikalisme di dalam tubuh aparatur sipil negara atau ASN, dan jika ada akan dikeluarkan. "Untuk ASN khususnya Kementerian Agama tidak boleh ada satu orang pun yang berpikiran untuk berseberangan dengan Pancasila," katanya.

Menag Fachrul Razi berpesan, ASN harus dapat menjaga reputasi dengan sebaik-baiknya, tidak boleh memiliki pikiran untuk menimbulkan keributan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. ASN digaji oleh negara dengan menggunakan uang rakyat, maka itu penting rasanya untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ini.

"ASN di lingkungan Kementerian Agama sama halnya orang yang memakai baju putih. Noda sedikit pun dari jauh pasti kelihatan. Ini sangat sensitif jadi jangan buat malu," tuturnya.

Menteri satu ini, kalau menurut saya mungkin masuk dalam salah satu yang terancam di-reshuffle. Kinerjanya tidak begitu cemerlang. Apalagi kalau sudah bicara soal kasus intoleransi di Indonesia yang kian marak. Dia kurang tegas mengurusi permasalahan agama yang sudah sering terjadi di negara ini. Saat dia ditunjuk sebagai menteri, dengan latar belakangnya yang berhubungan dengan militer, membuat publik sempat optimis dia bakal mampu mengatasi radikalisme. Tapi semua itu sirna.

Di berita, sudah terlalu banyak kasus intoleransi yang berujung keributan hingga kekerasan. Salah satunya soal kerusuhan di Solo. Begitu juga dengan ribut-ribut soal logo HUT RI ke-57 yang dibilang mirip simbol salib. Perbedaan suku, agama dan budaya seolah menjadi semacam permasalahan yang harus dilenyapkan oleh sekelompok orang yang berpikiran sempit mabuk agama. Beda aliran, ribut. Beda budaya, ribut. Beda agama, lebih ribut lagi. Ada simbol yang mirip dengan simbol agama tertentu, kebakaran jenggot. Semua dipermasalahkan oleh kelompok ini atas nama potensi rusaknya iman mereka.

ASN yang terlibat dalam radikalisme baik dalam skala besar atau kecil memang sudah menjamur. Ada yang terang-terangan dengan memposting sesuatu di media sosial atau pun diam tak bersuara tapi mendukung radikalisme atau khilafah. Mereka ini sudah masuk ke semua lini dan semua bidang akibat pembiaran yang terlalu lama, entah pura-pura tidak tahu atau menganggap sepele masalah ini.

Seharusnya pak menteri jangan hanya ancam saja, tapi lakukan sesuatu. Publik sudah capek mendengar janji ini itu, tidak mau lagi optimis menanggapi sesuatu. Publik menunggu tindakan tegas tanpa banyak bicara dan wacana.

Saya kira tidak sulit melacak mereka yang berafiliasi dengan radikalisme atau pemuja khilafah. Negara pasti punya kemampuan itu. Kalau tidak bisa, silakan koordinasi dengan intelijen untuk melacak. Polisi bisa melacak keberadaan pencuri, perampok atau pelaku kriminal. Intelijen bisa mengendus keberadaan mereka yang terlibat atau terkait dengan jaringan terorisme. Kalau hanya sekadar mengendus mereka yang terlihat radikalisme atau menjual khilafah, seharusnya lebih mudah, bukan?

Lacak keberadaan mereka, siapa saja yang terbukti terlibat, langsung pecat dan keluarkan tanpa bertele-tele. Kalau cuma sekadar peringatan atau ancaman dari mulut, takkan ada efek kejut apalagi efek jera. Ancaman lewat ucapan tidak akan membuat mereka takut.

Ini tidak boleh lagi disepelekan. Ini ibarat sampah yang ditumpuk sedikit demi sedikit. Lama-lama menggunung, banyak dan terlihat sulit diatasi. Dalam banyak kasus, pemerintah baru sibuk bergerak dan bertindak kalau masalah sudah menggunung dan tak terkendali. Kadang bikin kesal.

Rasanya siapa pun yang waras takkan rela melihat ASN yang makan gaji dari rakyat, cari duit di negara ini, tapi diam-diam memuja khikafah atau berhaluan radikal. Ibarat mereka tinggal, makan dan tidur di rumah tapi ingin membakar rumah itu. Parasit harus diberantas. Atau minimal dibuang saja ke negara yang menurut mereka cocok dengan visi mereka yang gila khilafah itu.

Saya berharap ada sebuah UU yang mengatur soal ini, UU yang lebih tegas dalam upaya pemeberantasan radikalisme dalam tubuh ASN atau pejabat pemerintahan. Bukan sekadar gertak sambal yang tidak ditindaklanjuti di kemudian hari. Kita butuh tindakan tegas, senyap tapi membuahkan hasil. Bukan sekadar ancaman biar terlihat gagah dan garang. Percuma saja, kita sudah terlalu sering mendengarnya.

Bagaimana menurut Anda?

https://www.tagar.id/menag-fachrul-razi-ancam-keluarkan-asn-radikal

Pak Menteri, Jangan Cuma Ancam Doang, Langsung Pecat Saja ASN Radikal

Sumber Utama : https://seword.com/politik/pak-menteri-jangan-cuma-ancam-doang-langsung-nWrGs62YM2 

Akhlak Jokowi Sulit Dicela!

Ketika pertama kali saya mendengar soal Presiden Jokowi akan memberikan tanda penghargaan kepada Fadli Zon dan Fahri Hamzah, saya sama gumunnya (heran) dengan banyak orang lainnya. Saya yang bertahun-tahun belajar tentang politik dan selalu bilang jangan baper dalam politik, bisa terheran-heran dengan keputusan ini. Namun, setelah mempelajari ketentuan perundang-undangan yang berlaku di balik pemberian tanda kehormatan itu, saya berusaha untuk mengerti.

Ada 2 opsi di dalam pemikiran saya waktu itu. Pertama, pemberian penghargaan ini jadi sindiran Presiden Jokowi pada Fadli dan Fahri. Karena di dalam undang undang yang mendasarinya, ada prasyarat umum sebagai alasan pemberiannya. Di antaranya menyebut kan soal “memiliki integritas moral dan keteladanan”, “berkelakuan baik”, dan “berjasa terhadap bangsa dan negara” Sumber. Ketiga syarat ini saja nampak tidak bisa dicocokkan dengan kelakuan Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Jadi ada kemungkinan Presiden Jokowi sekedar menyindir kelakuan minus mereka dengan memberi penghargaan? Hmmm, agak jauh sih. Kok kayak Presiden Jokowi mempermainkan undang undang sih?

Jadi saya pun cenderung memilih opsi kedua, yakni Presiden Jokowi menghindari konflik, dengan meneruskan tradisi atau ketentuan bahwa setiap mantan kepala lembaga negara pasti akan diberi penghargaan Bintang Mahaputera Nararya. Daripada nanti malah ribut karena tidak dikasih penghargaan, lalu menuduh Presiden Jokowi otoriter, balas dendam, atau apa lah yang bikin mereka bisa playing victim. Maka akhirnya Presiden Jokowi memilih untuk memberikannya. Walaupun publik ribut, tapi kan itu keputusan negara. Namun, di lain sisi, saya menyalahkan cara komunikasi publik Menko Polhukam Mahfud MD, yang menurut saya salah dalam menyampaikan beritanya. Lengkapnya di tulisan berikut ini : https://seword.com/politik/duhh-gara-gara-mahfud-md-presiden-jokowi-kena-O9ESc7tScu

Ya, maaf, saya jadi menyalahkan Pak Mahfud MD. Yang saya anggap menjadi sumber kenapa soal penghargaan ini jadi polemik yang bikin Presiden Jokowi jadi jelek citranya. Akhirnya media sosial, khususnya Twitter pun penuh dengan sindiran dari para netizen. Ada yang minta agar Rocky Gerung, Tengku Zul dan gerombolannya itu juga dikasih penghargaan. Ada yang mempertanyakan apa jasa Fadli dan Fahri kepada bangsa dan negara ini. Ada yang ngasih selamat dan sekalian menghujat. Ada yang menyebut soal ini sebagai dagelan politik. Intinya, mempertanyakan keputusan Presiden Jokowi.

Ya tetap saja, kedua pendekatan yang saya pakai di atas itu, tidak bisa menghalau banyaknya protes dari publik. Bukan apa-apa sih. Kita kan mau memperingati HUT Kemerdekaan RI di tengah pandemi Covid-19 yang masih ganas ini. Fokus rakyat harusnya ya ke sana. Nah, sekarang ada polemik soal lain, soal penghargaan ini. Orang-orang jadi ribut. Mau didiamkan gemes. Mau diributkan ya sama gemesnya. Mending diributkan kan? Mungkin memang penghargaan ini adalah sindiran terhadal duo F. Mungkin benar, Presiden Jokowi menghindari keributan yang lebih parah jika tidak memberikan penghargaan itu. Jadi Presiden Jokowi lah yang berkorban. Whatttt???

Sampai di sini, saya seakan mendapatkan pencerahan. Ya, di balik kehebohan ini semua, ada seseorang yang sedang berkorban diri, yakni Presiden Jokowi sendiri. Lihat saja apa yang disampaikan beliau usai menyerahkan berbagai tanda kehormatan di Istana Negara hari ini, termasuk kepada Fadli dan Fahri. “Ya ini penghargaan diberikan kepada beliau-beliau yang memiliki jasa terhadap bangsa dan negara, dan ini lewat pertimbangan-pertimbangan yang matang oleh Dewan Tanda Gelar dan Jasa,” ujar Jokowi, dilansir cnnindonesia.com.

“Misal ada pertanyaan mengenai Pak Fahri Hamzah, kemudian Pak Fadli Zon, ya berlawanan dalam politik, kemudian berbeda dalam politik itu bukan berarti kita ini bermusuhan dalam berbangsa dan bernegara. Inilah yang namanya negara demokrasi," lanjut Presiden Jokowi. “Jadi saya berkawan baik dengan Pak Fahri Hamzah, berkawan baik dengan Pak Fadli Zon. Inilah Indonesia,” ujar Presiden Jokowi Sumber.

Siapa yang selama ini jadi bulan-bulanan nyinyiran dan hujatan yang dilontarkan oleh Fadli dan Fahri? Presiden Jokowi. Dan siapa yang dipertanyakan keputusannya dan jadi dipandang jelek oleh sebagian publik terkait pemberian penghargaan ini? Presiden Jokowi juga. Begitu banyak yang ditampung oleh seorang Jokowi. Yang saya kira jarang-jarang ada sosok lain yang sanggup menjalaninya. Presiden Jokowi memang satu atau dua dimensi lebih canggih ketimbang kita-kita ini.

Fadli dan Fahri pun tidak punya pilihan selain membalas penghargaan itu dengan kata-kata pujian terhadap Presiden Jokowi. “Pada momen-momen 17-an seperti ini, presiden sebagai kepala negara tentu lebih menonjol, menjaga persatuan kita, menjaga simbol-simbol kita," kata Fahri. “Tentu penghargaan ini adalah penghargaan kepada rakyat juga karena sama-sama menjaga demokrasi, dari kepala negara, dari presiden… Kami ucapkan terima kasih atas pengakuan terhadap demokrasi kita,” kata Fadli Zon, dilansir cnnindonesia.com.

Di balik semua itu, ada seorang Jokowi yang kerap dilontari nyinyiran, tudingan, hinaan, bahkan fitnah dan disuruh turun dari jabatannya oleh Fadli Zon maupun Fahri Hamzah. Yang sekarang juga harus mendapatkan banyak protes dari rakyatnya karena memberikan penghargaan pada duo F itu. Sosok yang bersedia mengorbankan perasaannya sendiri, agar bangsa dan negara ini terhindar dari keributan yang lebih besar. Bravo, Pakdhe!
Akhlak Jokowi Sulit Dicela!

Pemberian "Bintang Mahaputra Nararya" untuk Duo-FF, Tanda Kelapangan Hati Presiden Jokowi

Upacara pemberian penghargaan atau tanda jasa kepada Fahri Hamzah dan Fadli Zon, seperti ramai dibahas oleh netizen beberapa hari ini, akhirnya tetap dilakukan menurut rencana semula. Tepatnya Kamis (13/8/20), seperti bisa kita lihat di akun YouTube “Sekretariat Presiden” dengan judul video LIVE: Keterangan Pers Presiden RI bersama Fadli Zon dan Fahri Hamzah, Istana Negara, 13 Agustus 2020.

Dalam video itu kita bisa mendengar keterangan Presiden RI, Joko Widodo, yang pastinya beliau menyadari meski pemberian ini akan menuai polemik atau pro dan kontra, tetapi beliau tidak sedang melanggar aturan apa pun terkait pemberian Bintang Mahaputra Nararya untuk dua orang tadi.

Mendengar Presiden Jokowi berkata begini: “Bahwa misalnya ada pertanyaan mengenai Pak Fahri Hamzah kemudian Pak Fadli Zon ya (Fahri Hamzah tertawa), ya berlawanan dalam politik kemudian berbeda dalam politik ini bukan berarti kita ini bermusuhan dalam berbangsa dan bernegara ..."

Fahri yang masih mengenakan masker terdengar sedikit cekikikan alias tertawa. Ia tentu mengerti apa yang dimaksud oleh Pak Jokowi dengan istilah “berlawanan atau berbeda dalam politik”, jika mengingat rekam jejaknya selama menjadi pimpinan DPR periode 2014-2019 lalu.


Setelah diberi kesempatan berbicara merespons pemberian penghargaan tersebut, baik Fahri Hamzah maupun Fadli Zon terkesan memberi jawaban normatif dan mencari aman. Silakan dilihat sendiri tayangan di link beriku https://www.youtube.com/watch?v=rgZaTf6CeYQ supaya lebih puas mendengar sendiri, sambil melihat wajah Fadli Zon yang saat memberi keterangan terlihat melepas maskernya. Sementara, rekan duet nyinyirnya tetap mengenakan masker sampai saat menjelang berpamitan, seperti terlihat pada tayangan tersebut.

Sungguh berbeda sekali dengan ketajaman “lambe turah” mereka saat bercuit atau memberi pernyataan langsung seperti yang bertebaran di media online selama 5 tahun terakhir. Mungkin karena mereka agak sungkan ditambah mood yang sedang bagus karena habis menerima penghargaan.

Masa’ iya, habis diberi tanda jasa yang bersejarah dalam kehidupan mereka, t’rus langsung omongannya menusuk hati atau mengkritik sosok Joko Widodo yang tepat berada di sebelah mereka? Bisa dicabut langsung penghargaan itu, kalau perlu langsung dilepas dari leher mereka...!

Namun, saya meyakini bahwa perilaku mereka masih akan relatif belum berubah, terutama ketika ada keputusan atau kebijakan dari Presiden Joko Widodo yang dianggap mereka tidak pas, atau mungkin merugikan partai, kelompok, atau orang-orang yang dekat dengan mereka. Buktikan saja kalau tidak percaya. Memangnya mudah mengubah kebiasaan nyinyir yang terlihat seperti sudah mendarah daging bagi Fahri Hamzah dan Fadli Zon? Tak semudah itu, Fergusoooo...!


Nah, sekarang kita akan bahas dari sisi Pak Jokowi saja, biar nggak melulu bicarakan dua orang yang bagi saya sumbangsihnya sangat tidak seberapa sehingga kalau kebetulan “takdir” tidak membawa mereka sebagai pimpinan DPR, rasanya kok penghargaan itu takkan pernah mereka terima.

Bagi saya, Presiden Jokowi sudah cukup memberi gambaran dari pernyataan beliau bahwa penghargaan atau bintang jasa tersebut diberikan sama sekali tidak ada unsur “like and dislike” di dalamnya. Meski berseberangan pandangan, kerap nyinyir, dan mengkritik tanpa logika yang bisa diterima akal sehat ... tetapi Pak Jokowi tetap bersedia memenuhi kewajiban sebagai Presiden RI untuk memberi penghargaan, karena bagaimanapun mereka adalah pimpinan DPR periode 2014-2019 yang menuntaskan masa jabatannya ... meskipun kualitas kerjanya ambyar!

Justru pemberian penghargaan ini memberi gambaran betapa lapangnya hati Pak Jokowi, yang mungkin dengan alasan tertentu beliau bisa saja mengamanatkan pemberian itu kepada Pak Ma’ruf Amin atau Pak Mahfud MD. Kalau saya, misalnya ada di posisi Pak Jokowi, jelas tidak akan sudi memberi penghargaan langsung karena akan bertemu dengan dua orang tadi. Saya pasti mewakilkan sekiranya aturan mengizinkan hal tersebut.

Itulah realitas demokrasi yang coba dijaga oleh seorang Joko Widodo sebagai Presiden. Perbedaan pandangan bagi saya terdengar sebagai istilah yang sudah sangat diperhalus oleh Pak Jokowi, karena sebenarnya Fahri-Fadli tidak sekadar berseberangan dan berbeda pandangan, tetapi sudah dalam tahap mengobarkan ketidaksukaan secara nyata dan terbuka.

Fakta inilah yang masih saya sukai dari seorang Jokowi, di tengah berbagai polemik akan penghargaan ini. Beliau mengajarkan kepada kita semua tentang artinya dewasa dalam berpolitik dengan sistem demokrasi di tengah era media sosial seperti sekarang. Meski sejatinya, bagi saya dua orang yang menerima penghargaan Bintang Mahaputra Nararya itu sedang mempraktikkan demokrasi dengan sikap seperti kanak-kanak!

Bagaimana menurut Anda?


Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2020/08/13/11513901/disinggung-jokowi-soal-perbedaan-sikap-politik-fahri-hamzah-tertawa

Pemberian "Bintang Mahaputra Nararya" untuk Duo-FF, Tanda Kelapangan Hati Presiden Jokowi

Sumber Utama : https://seword.com/politik/pemberian-bintang-mahaputra-nararya-untuk-duo-ff-XXaqrLElv5 

Nadiem Punya ‘Telinga’ Tuhan?

Nadiem Makarim. Saya ga suka dengan caranya yang sering lebay. Dulu, Nadiem pernah menyebut gojek sebagai karya anak bangsa. Seolah pindah dari kompetitor dan bergabung dengan gojek adalah bagian dari membela NKRI.

“Jika Anda punya keinginan membela negara, jika Anda punya semangat 45 yang ingin berkobar, gabunglah dengan karya anak bangsa. Salam satu aspal,” begitu kata Nadiem.

Lalu saat menjadi menteri, Nadiem masih dengan klaim bombastisnya. Mengatakan bahwa meski dirinya bukan bergerak di sektor pendidikaan, Nadiem mengklaim lebih paham masa depan.

“Saya tidak tahu masa lalu, tapi saya tahu masa depan,” begitu kira-kira kata Nadiem.

Maka saya tak heran kalau belakangan ini Nadiem bermasalah dengan NU dan Muhammadiyah terkait program organisasi penggerak. Bahkan meski Nadiem sudah minta maaf, NU dan Muhammadiyah kompak menolak bergabung.

Alasan logisnya, karena Sampoerna dan Tanoto tetap masuk dalam daftar penerima hibah. Perusahaan besar yang mestinya menggelontorkan CSR kok malah dapat dana?

Tapi alasan bathinnya, pasti karena cara atau komunikasi Nadiem kurang bisa diterima. Memang soal komunikasi ini, Nadiem nampaknya tidak punya tim yang handal. Tim komunikasi pejabat jelas tidak bisa disamakan dengan pengusaha.

Namun meski begitu, saya cukup mengapresiasi cara Nadiem menyerap informasi dan sangat-sangat responsif. Dari sekian banyak menteri, rasanya Nadiem yang paling dinamis dalam bekerja dan bahkan dapat mendengar aspirasi suara terbawah.

Kenapa saya bilang begitu? Karena pendapat orang desa yang saya dengar langsung, beberapa minggu setelahnya disimpulkan dan diucapkan oleh Nadiem. Ini jelas luar biasa.

Kesimpulan orang-orang desa melihat program Pendidikan Jarak Jauh adalah sebuah pembodohan. Ada kesengajaan membuat anak-anak semakin bodoh. Karena di desa tak ada corona. Sinyal masih lambat. Jarang sekali yang punya hape layar sentuh. Rata-rata masih hape tombol dan jadul. Jangankan akses internet, bahkan kamera pun tidak ada.

Maka Pembelajaran Jarak Jauh ini hanya membuat orang-orang desa semakin bodoh. Orang tuanya stress dan anak-anak putus sekolah. Menciptakan gap yang lebih lebar antara kota dan desa.

Dan beberapa hari yang lalu, Nadiem membuat pernyataan yang bertolak belakang dari sebelumnya. Nadiem sempat mengatakan akan menjadikan PJJ permanen. Lalu kemaren Nadiem menyampaikan bahwa PJJ merusak.

Kesimpulan Nadiem pun sangat ajaib. Sama persis dengan keluhan masyarakat bawah. Meski bahasanya lebih formal dan tertata, tapi pada prinsipnya sama. Soal ancaman putus sekolah, lost generation dan learning loss, lalu dampak psikologis.

Jujur saya takjub dengan kesimpulan Nadiem. Dia seperti punya telinga Tuhan yang dapat mendengar keluhan masyarakat terbawah.

Dan saya semakin takjub ketika Nadiem dalam hitungan hari menyiapkan kurikulum darurat yang pada intinya tidak mau membebankan guru dan murid. Lalu membuka pelajaran tatap muka untuk wilayah zona hijau dan kuning.

Yang tak kalah ajaib adalah cara Nadiem merespon Erick dalam wawancara Mata Najwa. Nadiem enggan menunggu vaksin dan baru membuka pengajaran tatap muka di sekolah. Bahkan sedikit meluruskan opini Erick soal vaksin. Bahwa administrasi dan proses distribusi vaksin masih akan sangat panjang. Dan itu bab berbeda. Wow!

Padahal biasanya Nadiem, Wisnutama dan Erick ini sepaket. Sering bareng. Mengklaim sebagai Menteri milenial. Tapi kemaren, Nadiem teguh dalam pendirian dan sikapnya.

Saya tahu, di tengah tencana reshuffle, posisi Nadiem jelas sangat tidak baik. Karena keputusannya membuka sekolah hari ini pasti akan dijadikan alat untuk menggoyang posisinya. Setelah ini akan muncul banyak berita siswa terpapar covid.

Saya sudah pernah mengalami momen seperti ini. Ketika saya gencar menyampaikan di Madura tak pernah ada covid, aktifitas berjalan seperti biasa, beberapa hari setelahnya muncul berita kematian karena covid di Madura.

Propaganda akan sangat berpengaruh dalam menentukan posisi Nadiem. Dan saya tahu itu tak akan mudah.

Tapi apapun yang terjadi, saya angkat topi untuk Mas Nadiem. Anda luar biasa. Mestinya menteri yang lain, atau bahkan Presiden, punya tim secanggih anda yang bisa mendengar keluhan masyarakat terbawah. Sehingga bisa membuat kebijakan yang pas.
Nadiem Punya ‘Telinga’ Tuhan?

Sumber Utama : https://seword.com/politik/nadiem-punya-telinga-tuhan-DbmAuIRZli 

Inikah Provokasi AA??? Yang Sangat Maklumi Jemaah Yang Gagal Paham Soal Salib?

AA sangat memaklumi terjadi perbedaan pendapat. Terkait spanduk resmi pemerintah untuk 17 Agustus 2020. Sebenarnya sih bukan perbedaan pendapat.

Tapi penafsiran keliru karena sudah disusupi oleh kebencian.

Cuitan AA tampak bijak. Seolah-olah hal ini harus didiskusikan kembali. Tapi sesungguhnya tidak demikian.

Orang-orang yang cerdas sangat tahu bentuk cuitan AA. Yang justru ingin mengkonfirmasi bahwa spanduk itu benar-benar seperti salib. Cuitan AA sebenarnya mendukung pemahaman salah kaprah para makhluk kadrun. Yang selalu mengaitkan berbagai bentuk sebagai salib. Apakah ini gaya provokator seorang AA?

AA sebenarnya pintar. Karena ia mampu menyusun kalimat menguggah emosi. Otak reptil para pendukungnya bisa beringas. AA hanya memicunya dengan kalimat “BISA DIMAKLUMI”

Para pengikutnya akan melakukan tindakan bodoh yang juga “BISA DIMAKLUMI” Tapi kita yang waras tidak akan memaklumi kalau sudah melakukan kekerasan. Kita juga manusia dan mau hidup damai di negeri ini. Negeri ini kan sangat jelas ideologinya pancasila. Bukan burung onta.

Bagi orang-orang yang waras sangat sulit BISA MEMAKLUMI tindakan bodoh. Karena kebencian yang sudah ditanam sedemikian rupa, maka setiap apa-apa yang modelnya salib langsung dicurigai atau bahkan dinilai sebagai kristenisasi. Nauzubillah min dzalik. Akhir zaman.

Teknologi sudah semakin canggih tapi banyak pikiran yang masih jahiliyah. Primitif. Yang hanya bisa marah, sok kritis, ngotot paling benar, dan bahlul murakkab.

Semuanya sih sudah jelas. Bahwa itu adalah aksi provokasi. Merasa belum cukup para provokator itu membuat kerusakan. Mereka mungkin puas kalau Indonesia benar-benar hancur.

Karena itulah untuk bisa menghancurkan negeri ini adalah dengan merusak pikiran rakyatnya.

Melihat simbol lalu langsung menilainya salib adalah hasil dari pendangkalan pikiran. Tiang listrik, jemuran, perempatan jalan, dan banyak lagi bentuk yang tak bisa lepas dari bentuk seperti salib. Sedangkal itukah cara beragama mereka?

Heran juga dengan si AA, penceramah yang tak fair menilai spanduk itu. Justru membuka ruang pembodohan tumbuh subur.

Kalau begini keadaannya, aksi-aksi yang bermuara pada pendangkalan ini akan banyak terjadi dan itu sangat merugikan bangsa ini. Negara ini bisa tertinggal jauh. Munculnya banyak provokator perlu dipertanyakan dan diselidiki oleh negara.

Agama harusnya mencerdaskan, tapi oleh para provokator, dikemas sedemikian rupa untuk memperbodoh umat. Pikiran umat makin disusupi oleh asumsi-asumsi atau dugaan-dugaan. Harusnya sih umat Islam itu tercerahkan. Dengan kemuliaan kitab suci Qur’an, umat Islam bisa lebih aktif menggali kedalaman maknanya, bukan hanya teknik-teknik vokalisasinya atau bentuk huruf serta irama dengungnya, tapi juga makna terdalam yang memicu pikiran dan atau jiwa, sehingga bisa melejit melihat masa depan kehidupan manusia. Termasuk bagaimana mengkaji akhirat itu.

Dengan Quran yang mulia ini, seseorang bisa menata masa depan dengan tepat. Tidak kaku dan terkungkung dengan kalimat-kalimat para aksi provokator. Atau provokator berjubah agama.

Kemarin ada video dari Pakistan. Beberapa warganya mengamuk mencabut pohon-pohon cemara. Pohon-pohon cemara yang baru ditanam ini langsung dinilai sebagai simbol kristen. Tanpa berpikir panjang para jemaah yang sudah didangkalkan pikirannya itu pun bertindak anarkis. Mencabut pohon-pohon yang sudah susah payah ditanam.

Akhirnya penghijauan di Pakistan akan mengalami hambatan, karena cara memeluk agama mereka dangkal. Padahal Quran sangat memberikan pedoman bahwa “Janganlah membuat kerusakan di muka bumi”

Kalau mereka maunya pohon kurma, bagaimana kalau kurmanya dibuat kayak ada salibnya? Bukankah kurma juga bisa dimakan oleh kaum kristiani?

Semua orang bisa makan kurma. Kurma bukan makanan yang dikhususkan hanya untuk umat Islam saja. orang yang tak mau mengaku beragama saja bisa makan kurma.

Kenapa pendangkalan seperti ini masih dibiarkan? Jika otot lebih kuat daripada otak, yahh…bisa terjadi kebodohan.

Anarkis dan segala macam tindakan yang merugikan itu bukanlah hasil dari pikiran yang cerah. Pasti karena sudah didangkalkan, atau bahkan sudah dibekukan, sehingga efeknya tak bisa membuat negara jadi maju, malah akan mundur ke belakang.

Jika begini terus, cepat atau lambat negara bisa mengalami kemunduran, yang sudah pasti sangat merugikan.

Kemarin ada yang bertanya, kenapa ya masih ada tokoh-tokoh yang sebenarnya sudah tahu bahwa tidak semua salib itu adalah kristen, tapi masih terus mengobarkan kebencian?

Saya kira tidak perlu dijawab.

Jawaban bagaimana pun, tetap mereka punya argumentasi yang bisa dilontarkan, agar banyak jemaah yang terpengaruh dan terbodohkan. Bukannya tercerahkan.

Karena ini sudah semacam agenda-agenda berbahaya. Sebab kalau jemaah sebagian besar sudah sangat cerdas, tokoh-tokoh provokator ini tak dilirik lagi, sudah tidak laku di pasaran.

Jadi semuanya ini hanyalah urusan duniawi dan kekuasaan. Menggapai tujuan duniawi dengan licik berbungkus agama.

Kalau AA memang orang yang bijak dan cerdas, ia tidak akan menulis kalimat-kalimat provokatif dalam cuitannya itu. Sebaliknya ia bisa memberikan gambaran yang sangat logis terkait spanduk pemerintah 17 Agustus 2020. 

Inikah Provokasi AA??? Yang Sangat Maklumi Jemaah Yang Gagal Paham Soal Salib?

Sumber Utama : https://seword.com/politik/inikah-provokasi-aa-yang-sangat-maklumi-jemaah-DdUjOOfEfE

Mau Kritik? Jerinx SID dan Anji Harusnya Belajar dari Legenda Iwan Fals

Lihat dari situasi politik saat ini dan juga perlawanannya terhadap covid 19 yang mewabah di seluruh dunia kita harus memberikan apresiasi tinggi kepada pemerintah Indonesia yang sudah susah payah.

Tapi di dalam situasi ini, mereka malah mempertontonkan kebodohan-kebodohan mereka dalam dunia politik di dalam media sosial yang mereka miliki. Kalau kita tahu bahwa covid 19 ini adalah kejadian luar biasa, maka ini adalah hal yang harus dilawan dengan cara yang luar biasa pula.

Artinya kejadian ini harus diwaspadai dengan sangat hati-hati dan penuh dengan prinsip kewaspadaan yang sangat tinggi. Jadi kalau misalnya ada orang-orang yang merasa penting dan merasa bisa untuk menjelaskan covid19, mereka harus memberikan kalimatnya dengan pertanggungjawaban yang penuh. Ada harga yang harus dibayar lewat hal tersebut.

Lihat Jerinx SID dan Anji, kita melihat bahwa mereka ini tidak memiliki kemampuan ataupun kapasitas sedikitpun terkait pemahaman tentang covid 19. Kesalahan terbesar mereka sebenarnya bukanlah mengkritik, mainkan menghujat dan memberikan ujaran kebencian juga memberikan informasi-informasi palsu.

Seharusnya mereka ini belajar dari Iwan Fals Yang juga mengkritik tidak kalah kerasnya, bahkan jauh lebih keras daripada Jerinx dan Anji. Iwan Fals memberikan pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang kedua orang yang nggak jelas ini. Iwan Fals mengkritik lewat karya bukan lewat hujatan.

Iwan Fals adalah sosok legenda musik yang memberikan pemikirannya dan kritikannya kepada pemerintah orde baru pada saat itu dengan sangat elegan dan tidak pernah bisa ditemukan celahnya sedikitpun. Bahkan sampai saat ini.

Pilihan pemerintah orde baru pada saat itu terhadap Iwan Fals hanyalah membiarkannya sambil menggerutu, atau menghilangkan orang ini. Akan tetapi pada saat itu rakyat berpihak kepada Iwan Fals dan rakyat menikmati alunan kritik yang disampaikan lewat karya seni dan pita suara yang khas.

Sebenarnya Jerinx SID juga bisa melakukan hal tersebut dan sudah pernah dia melakukan itu dengan membuat lagu Sunset Di Tanah Anarki. Hanya saja dia tidak cukup bersabar dan tidak cukup kreatif untuk membuat kritikan-kritikan lain lewat lagu yang ia bisa buat harusnya.

Dan pada akhirnya dia memilih jalan pintas untuk menghujat secara langsung ikatan dokter Indonesia dengan sebutan kacung dari WHO. Anji juga seharusnya bisa membuat lagu-lagu romantis yang bernuansa mengkritik pemerintah kalaupun ada.

Namun dia juga memilih jalan pintas.yang memilih untuk menjadi terkenal lewat jalur instan, yakni mengundang orang bernama Hadi yang bukan profesor juga dokter. Hadi mengaku bahwa gelar profesor dan gelar dokter itu adalah panggilan sayang saja.

Seharusnya kedua orang ini belajar dari Iwan Fals bagaimana membungkus kritikan yang sangat keras lewat daging-daging yang sangat lembut. alunan musik yang indah tidak pernah bisa dibantah oleh orang yang dijadikan objek serangan.

Sebenarnya saya bukan menolak kritik namun saya lebih mengedepankan elegansi dari kritik yang ada. risiko dari Jerinx SID dan Anji ini sebenarnya jauh lebih kecil ketimbang resiko yang pada saat Iwan fals memberikan kritikan. Iwan Fals itu mengkritik dengan mempertaruhkan nyawanya. Karena Iwan Fals mengkritik orde baru yang dikenal sebagai era yang represif dan totaliter.

Kita bisa melihat bukti hidupnya, yakni Budiman sudjatmiko. beliau adalah orang yang menyatakan kritikannya dengan sangat keras pada saat era orde baru dan harus diasingkan di penjara. Dan pada saat bebas pun dia masih memiliki sedikit ketakutan sehingga ia harus keluar dari Indonesia untuk melakukan studi.

Dan sekembalinya Budiman Sudjatmiko sama dia adalah orang yang paling keras menolak Prabowo sebagai presiden di tahun 2019 kemarin. pada saat itu memang Budiman Sudjatmiko masih sangat muda sehingga mereka mengkritik dengan keras. Dan pada saat itu memang pemerintah orde baru memang butuh di kritik dengan keras. Tapi Jerinx SID dan Anji kan sudah tua?

Kita kembali ke masalah kritikan, seharusnya kritikan diutarakan dengan sangat cerdas.

Saya yakin kok bahwa Jerinx SID dan Anji memiliki kapasitas itu. Mereka adalah penyanyi dan juga pemusik yang memiliki jiwa seni yang sangat tinggi. Jadi lewat seni, justru saya dukung kalian mengkritik pemerintah, tapi lewat cara-cara yang pintar. Tidak seperti saat ini mengatai IDI sebagai kacung WHO.

Tidak seperti saat ini yang mengundang orang yang nggak jelas di dalam acara nggak jelas di YouTube. Seharusnya sekali lagi mereka bisa belajar dari Iwan Fals bagaimana cara mengemas kritik dengan cara yang sangat cerdas dan justru memberikan pengaruh yang jauh lebih besar Karena jangka panjang.

ngomong-ngomong setelah saya bikin artikel ini jangan ada yang bilang pemerintah Jokowi lebih sadis daripada orba ya karena polisi menangkap Jerinx dan Anji. ini murni kebodohan kalian semua kalian bisa menyimpulkan seperti itu.

Begitulah panjang-panjang.

Mau Kritik? Jerinx SID dan Anji Harusnya Belajar dari Legenda Iwan Fals

Sumber Utama : https://seword.com/politik/mau-kritik-jerinx-sid-dan-anji-harusnya-belajar-6t1wXvcvvQ 

Ini Baru Modarrr, Kapolresta Solo Diganti Kapolri!

Sorotan media dan netizen +62 tak sia-sia. Penulis sempat menyajikan sorotan yang menguak peran kepolisian yang di mata publik sendiri merasa kurang tanggap dan tidak tegas. Entahkah berpengaruh atau karena jadi sorotan media mainstream juga maka datanglah kabar baik ini. Penulis sembat membuat pernyataan pedas:

Musuh dan bahaya laten itu bukan nun jauh di sana tapi di sini, di negeri sendiri! Jangan-jangan polisi baru bergerak gegara tekanan netizen atau gegara sudah ramai di medsos karena video viral itu?

Bagaimana rakyat bisa merasa aman dan nyaman kalau mau mengadakan acara hajatan keluarga tapi keamanannya tak terjamin.

Pak Jokowi, perhatikan keamanan rakyat dan keamanan di negerimu. Apalagi di kota asalmu. Kami berharap ada suara dan tindakan tegas dari Pak Jokowi sebagai Presiden yang berasal dari Solo. Aksi anarkis ini sebenarnya mengusik tempat kelahiran sang Presiden. Jangan dibiarkan seperti ini karena hati rakyat masih menaruh kepercayaan kepada Anda, Pak.

Lihat : https://seword.com/politik/terkuakpolisi-ada-tapi-membiarkan-pelaku-aksi-jivAoBiJFR

Lantas datanglah kabar baik ini:

Tak tanggung-tangung ada tujuh pejabat Polda Jateng yang mengalami penggantian oleh Kapolri Idham Azis. Selain itu ada penggantian Kapolresta di Solo yang baru-baru ini disorot karena terjadi tindak kekerasan yang sangat memprihatinkan.

Kapolri merespon dan melakukan perombakan besar-besaran di Polda Jateng, sodara-sodara.

Dari pernyataan Kapolda Jawa Tengah, Irjen Ahmad Luthfi terlihat ada rasa kepedulian untukj merespon dan memastikan rasa aman adadi masyarakat Jawa Tengah. Setelah kejadian ini mudah-mudahan Kep[olisian Jateng terus berbenah.

"Aturan yang berlaku dan moralitas yang tinggi sehingga harapan masyarakat yang mendambakan rasa aman dan nyaman dalam kehidupannya dapat kita wujudkan," kata Luthfi di Solo, Jawa Tengah pada Selasa (11/8/2020).

Kapolresta Solo/Surakarta Kombes Andy Rifai sendiri memang kewalahan dalam kejadian di wilayahnya. Diketahui beliau sampai menerima pukulan dari para pelaku karena melindungi keluarga korban. Sikap heroik yang patut diapresiasi tapi bagaimanapun dia harus mempertanggungjawabkan kejadian itu secara komando!

Karena wibawa Kepolisian benar-benar terpuruk kali ini dengan beberapa kasus di Solo. Ini tak boleh dibiarkan.

Melihat pengakuan dari Kapolresta Solo/Surakarta Kombes Andy Rifai yang terlihat kecolongan maka dia memang perlu digantikan oleh sosok yang lebih tegas dan memiliki penguasaan wilayah yang kuat. Kombes Andy Rifai pun kini menempati jabatan baru sebagai Kabid TIK Korps Brimob Polri.

Penggantinya juga tak main-main yaitu Kombes Ade Safri Simanjuntak, yang sebelumnya menjabat Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Lampung. Beliau sudha berpengalaman di Lampung dan ini menjadi modal baginya untuk bisa menduduki posisi penting untuk menghadapi wilayah yang rawan.

Ada titipan Kapolri mealui Irjen Luthfi Ahmad kepada dua kapolres baru yakni Rembang dan Solo atau Surakarta untuk segera mengidentifikasi dan menguasai wilayahnya. Sebab, dua daerah tersebut akan menggelar Pilkada pada 9 Desember 2020.

"Kepada Kapolresta Surakarta dan Rembang, antisipasi giat Pilkada serentak, segera identifikasi dan kuasai wilayah untuk dapat melihat kerawanan-kerawanan supaya dapat segera diatasi," kata Irjen Ahmad Luthfi.

Nah, ada harapan yang harus disematkan dengan adanya perhatian besar dari kapolri ini. Melihat aparat kepolisian kewalahan maka buruh orang baru dan sosok yang lebih sigap dan etgas yang akan menjadi pengawal keamanan di Kota Solo.

Jadi penulis memang tak gembira karena tertangkapnya pelaku seperti yang pernah penulis paparkan. Ada celah besar dan kelemahan yang memang harus disorot. Jangan menutup-nutupi fakta bahwa pihak Kepolisian Solo memang kebobolan dan akhirnya kejadian penganiayaan itu pun terjadi dan Kapolresta Andi juga kena getahnya.

Penulis dan pembaca yang cerdas pun akan paham bagaimana reaksi dan kesiapan petugas ketika sudah mendapatkan info tapi tak bertindak tegas. Ketika Kapolresta Solo Kombes Pol Andy Rifai mendapat info dan hanya memantau dan melakukan negosiasi maka jelas para pelaku semakin garang.

Ujungnya sudah kita ketahui bersama.

Makanya lewat tulisan sebelumnya saya mengajak pembaca, cerdik dan kritislah membaca berita dan mengkritisi NKRI ini. Kalau kita mencintai negeri ini maka mari kawal Kepolisian RI agar punya keberanian karena Polri itu hadir untuk menjadi pengayom warga masyarakat. Rakyat mendukung Pemerintah maka sebaliknya Polri jadinya secara konsekunesi logis harus mendukung rakyat dong, apapun yang terjadi!

Aksi anarkis dan intoleran di Jawa Tengah itu sangat rawan. Tak hanya Solo, Yogyakarta juga ada kejadian-kejadian yang sebelumnya menyisakan kepriohatinan kita bersama. Karena itu Kapoolri harus tangap dan wajib mengambil langkah preventif.

Saat ini kita memasuki bulan kemerdekaan dan karena itu Polri harus menjamin ada rasa aman yang benar-benar dimiliki warga dari kota sampai pelosok di Nusantara ini. Jangan sampai timbul perasaan kok rasanya masih belum merdeka.

Ancaman radikalisme dan intoleransi menjadi musuh dan bahaya laten. Karena itu sangat miris kalau hidup malah jadi tak nyaman karena terancam oleh sesama warga NKRI. 

Ini Baru Modarrr, Kapolresta Solo Diganti Kapolri!

Sumber Utama : https://seword.com/politik/ini-baru-modarrr-kapolresta-solo-diganti-kapolri-LP1zPh87rM 

Kader Nasdem Rapatkan Barisan! Bersama PKS, Dukung Anies Rizieq 2024!

Nasdem membuka pintu lebar-lebar bagi Rizieq dan UAS untuk masuk ke dalam konvensi Partai Nasdem untuk menjadi calon pemimpin di Indonesia. Ini pun yang sudah dikerjakan oleh Anies di dalam konvensi Demokrat pada tahun sebelum 2014 silam untuk menjadi calon presiden. Dan sebenarnya sah-sah saja untuk sebuah partai untuk memilih pemimpin pemimpin dan menyaringnya lewat konvensi.

Mari kader Nasdem kita harus mendukung keterbukaan partai ini untuk mengusung mantan tersangka Rizieq untuk masuk ke dalam konvensi Partai tersebut sehingga bisa menjadi calon presiden kalian!

Malah kalau mau dikata saya sangat mendukung tindakan brilian dari partai yang ada di bawah kepemimpinan Surya Paloh dan sohibul iman ini. Kita tahu bahwa Anies Baswedan adalah gubernur usungan PKS yang juga pernah meletakkan UAS sebagai calon pendamping Prabowo pada tahun 2019 silam.

Dan sepertinya kedua partai ini, gabungan antara partai nasionalis dan juga partai agama bisa membentuk sebuah poros baru dalam melawan orang-orang dan calon pemimpin dalam kontestasi pilpres 2024 silam. Saya sangat mendukung gerakan ini karena memang ini adalah strategi yang sudah terbukti sukses di DKI Jakarta.

Anies Baswedan yang dikenal awalnya sebagai tokoh pluralis disandingkan dengan sandiaga Uno yang juga merupakan pembisnis oleh partai agama. Dengan strategi strategi yang mereka lakukan, rakyat pun tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa diam seribu bahasa melihat kemenangan mereka. Bahkan rakyat yang di ampun dibuat mau tidak mau harus memilih Anies dan Sandi sebagai pemenang Pilkada DKI 2016.

Strategi menggunakan politisasi agama ini adalah strategi yang sangat mantap dikerjakan oleh mereka dan lewat arsiteknya Eep Saefullah bisa membuat mereka menang banyak. Bahkan kemenangan anies-sandi pada tahun 2016 silam melampaui kemenangan jokowi-ahok pada tahun 2012.

Kenapa bisa menang sebanyak itu? Karena memang strategi-strategi yang dikerjakan untuk melakukan politisasi agama dilakukan dengan sangat gencar seperti yang dikerjakan oleh negara-negara berbasis agama yang lain.

Saya melihat bahwa strategi ini bisa dijalankan dengan sangat tepat oleh Nasdem yang merupakan perwakilan partai nasionalis dan PKS yang berbasis agama. Saya malah support konvensi ini tidak hanya mengundang Rizieq, UAS, kalau perlu Felix untuk masuk ke dalam konvensi tersebut. Kenapa mereka saya dukung untuk masuk ke dalam konvensi?

Jawabannya sederhana karena mereka adalah warga yang memiliki KTP Indonesia bukan? Tentu mereka punya hak meskipun mereka adalah mantan tersangka sekalipun. Kalau mau dikata, logikanya Ahok saja bisa jadi komisaris utama Pertamina, kenapa Rizieq tidak bisa nyapres?

Toh Rizieq juga sampai sekarang masih memiliki KTP Jakarta kan yang ada di bawah Gubernur Anies Baswedan? Dan saya melihat Surya Paloh memang menunjukkan konsistensinya dengan memeluk sohibul Iman sampai sekarang.

Strategi politik mereka sangat baik dan tidak ada salahnya kok kalau mau dipikir-pikir. Bahkan kita melihat kader-kader Partai Nasdem kan katanya nasionalis semua ya kan?

Sungguh saya memuji gerakan politik dari Surya Paloh untuk memberikan ruang bagi Rizieq mantan tersangka kasus chatting, untuk masuk ke konvensi Partai Nasdem tersebut.

Ada seorang teman berkata seperti ini…


Strategi dan pilihan NasDem untuk membuka peluang pencalonan Rizieq adalah langkah politis yang cukup berani. Pilihan tentu sudah dengan kajian dan mempertimbang suasana psikologis pemilihnya pada pemilu 2019.

Jika pilihan NasDem dan konstituennya terjadi, maka sangat mungkin NasDem pemenang pemilu 2024. Selamat kepada NasDem dan pemilihnya. Ini adalah strategi yang tidak pernah terpikirkan oleh parpol lain.


Saya mengenal teman saya ini adalah orang yang berjuang bersama-sama dengan saya dalam membela presiden Joko Widodo pada tahun 2019. Jadi ya saya nggak ngerti dia maksudnya sudah berubah seperti saya yang mendukung Nasdem atau sekadar menyindir.

Semoga saja dengan pemilihan politik mereka dengan membuka peluang bagi Rizieq dan UAS untuk masuk konvensi Partai nya, suara mereka akan menjadi besar. Kita kesampingkan saja spirit nasionalisme yang awalnya mereka gadang-gadang kan.

Toh juga mereka masih menganggap diri nasionalis bukan? Pun mereka juga sudah mendapatkan kursi menteri kan? Jadi nggak papa dong kalau misalnya memang mau langsung Anis dan Rizieq sebagai perwakilan nasionalis dan agama?

Dari tadi kok saya hanya ngomongin pandangan "saya"? Apakah suara saya mewakili suara rakyat Indonesia? Tidak peduli, kenapa harus saya ikuti suara kalian, wahai para pendukung Jokowi? Orang sendiri kan juga sedang mengkritik Jokowi pemberian bintang kepada Duo F itu kan?

Kalau Joker di dalam film Batman The Dark Knight, dia akan mengatakan seperti yang saya katakan sekarang…

Why so serious?

Begitulah kenapa-kenapa.

Kader Nasdem Rapatkan Barisan! Bersama PKS, Dukung Anies Rizieq 2024!

Sumber Utama : https://seword.com/politik/kader-nasdem-rapatkan-barisan-bersama-pks-dukung-gtG8f2vuLP 

Tipu-Tipu Ala Veronica, Akhirnya Kena Sentil Keras Sri Mulyani! Modiaarr!

Saya tidak pernah respek sama orang yang mengkhianati tanah airnya sendiri. Apalagi sampai memainkan hoaks yang menghasut dengan tujuan mengacaukan negeri ini. Juga kerap playing victim, belagak diancam di sana sini, sehingga katanya tidak berani pulang lagi ke tanah airnya. Tapi di luar negeri kerjaannya bikin provokasi bahkan menyebar hoaks sampai dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian. Itu lah tingkah polah Veronica Koman.

Padahal dia mendapat kesempatan belajar di luar negeri karena mendapatkan fasilitas beasiswa dari pemerintah RI. Kalau dia sudah mendapat kepercayaan dan amanah dari negara untuk disekolahkan, dibayari segala keperluannya, kenapa dia tidak percaya pada mekanisme hukum negara ini? Kalau pun dia memang mendapatkan ancaman, kenapa tidak mengadukan dan minta perlindungan dari pihak kepolisian? Akhirnya, kita pun dengan gampang mengambil kesimpulan, hanya orang salah yang tidak percaya sama pihak aparat kepolisian. Dan sekarang LPDP, lembaga yang mengeluarkan beasiswa buat Veronica meminta agar dia mengembalikan dana beasiswa tersebut, sebesar Rp 773,8 juta. "Betul bahwa LPDP meminta Veronica Koman Liau untuk mengembalikan seluruh dana beasiswa yang sudah kami keluarkan, karena dalam kontrak beasiswa LPDP, penerima beasiswa LPDP yang berkuliah di LN harus kembali ke Indonesia setelah selesai studi," kata Dirut LPDP Rionald Silaban. "Kami telah melalui serangkaian proses pemanggilan Saudari Veronica Koman Liau untuk mengingatkan kewajiban tersebut, dan yang bersangkutan menolak untuk kembali ke Indonesia," lanjutnya Sumber.

Tentunya Veronica yang saat ini berada di Australia, berusaha ngeles. Ngakunya dipaksa pemerintah. "Setelah mengkriminalisasi, lalu meminta Interpol untuk mengeluarkan 'red notice', dan mengancam untuk membatalkan paspor saya, kini pemerintah memaksa saya untuk mengembalikan beasiswa yang pernah diberikan kepada saya pada September 2016,” tulis Veronica lewat akun Facebooknya. Dia juga mengklaim bahwa dirinya sudah memenuhi ketentuan beasiswa dengan kembali ke Indonesia pada September 2018 usai menyelesaikan program Master of Laws di Australian National University Sumber. Benar kah itu?

Kalau benar, kenapa Veronica juga menyampaikan permohonan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani? Dalam keterangan tertulis yang dilansir suara.com, mungkin sama ya dengan yang di atas, juga ditulis di akun facebooknya, Veronica menyampaikan permintaan kepada Sri Mulyani “untuk bersikap adil dan berdiri netral dalam melihat persoalan ini. Sehingga Kemenkeu tidak menjadi bagian dari lembaga negara yang hendak menghukum saya”. Artinya, dia mengakui bahwa ada kesalahan yang dia perbuat sehingga sesuai ketentuan LPDP, dia harus mengembalikan dana beasiswa itu. Pengakuan kesalahan ini justru dia tulis juga. Veronica menyatakan,  statusnya yang ditetapkan sebagai buronan Polri sejak September 2019, membuat dirinya terpaksa tak bisa kembali ke Tanah Air seusai menghadiri wisuda di Australia Sumber.

Loh? Katanya sudah menyelesaikan program Master ketika kembali ke Indonesia pada September 2018? Kok harus balik lagi ke sana buat wisuda? Bukankah acara wisuda menjadi titik resmi selesainya sebuah program studi? Artinya, pada September 2018 itu, Veronica belum menyelesaikan studinya. Sekedar pulang saja, seperti ketika libur kuliah. Omongannya kok mencla mencle? Gimana bisa dipercaya? Pakai modus tipu-tipu begitu berani minta macem-macem sama Menkeu Sri Mulyani? Oh tidak segampang itu bambaaaaaang….!

Dikiranya Sri Mulyani bakal diam saja. Saya yakin Bu Sri Mulyani gemes juga sama kelakuannya si Veronica Koman ini. Apalagi ketahuan banget kalau rasa nasionalismenya sudah tinggal setipis kulit bawang. Sekedar buat dapat dana beasiswa saja, tapi kerjaannya di luar negeri malah memupuk kebencian terhadap bangsa dan negara sendiri. Hari ini Sri Mulyani memberi pernyataan yang menyindir menyentil habis si Veronica ini. Apa kata Sri Mulyani? "205 awardee (penerima beasiswa) dan alumni LPDP telah ikut nyata berkontribusi dalam berbagai peranan menghadapi pandemi Covid-19. Para awardee ini lebih dari 205 tadi mereka adalah yang terlibat di bidang medikal, perumusan kebijakan, peneliti pengembang IT, edukasi dan komunikasi dan ikut dalam gugus tugas," ujar Sri Mulyani. Para awardee juga berkontribusi mengumpulkan donasi untuk memberi bantuan dalam menghadapi Covid-19. “Bahkan saya mendengar dari Rio penerima LPDP turut menjadi bagian dalam pengembangan Vaksin Covid-19 di Oxford, Inggris… Kita berharap kita sering dan terus mendengar banyak manusia Indonesia berkualitas bisa menjadi problem solver seluruh dunia dan kembali memberi manfaat bagi RI," tegas Sri Mulyani Sumber. Kecuali yang ngakunya sudah balik habis selesai studinya padahal belum wisuda ya Bu?

Lalu sesudah wisuda diminta balik nggak mau, eh malah jadi biang provokasi dan mau diperalat negara asing buat mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Pernyataan Sri Mulyani itu jadi pertanda bahwa apa pun yang dikatakan oleh Veronica, tidak akan mempan. Mau playing victim, mau ngancem apalagi. Tetap saja Veronica ngutang 700 juta lebih, dan harus bayar ke Sri Mulyani. Tommy Soeharto saja nggak bisa ngeles ditagih duit negara sama Sri Mulyani. Kena luh!
Tipu-Tipu Ala Veronica, Akhirnya Kena Sentil Keras Sri Mulyani! Modiaarr!

Pak Presiden, Amien Rais Rindu Diperhatikan !

Sebenarnya penulis sudah malas hendak menulis opini tentang orang yang satu ini karena tidak ada manfaatnya dan tidak berfaedah sama sekali. Namun kalau orang ini tidak dikritik juga, bisa-bisa pernyataannya akan dikutip oleh para penganggumnya dan bisa mengganggu kemana-mana nantinya.

Sudah banyak pernyataan yang keluar dari Amien Rais yang sangat kontroversial. Ada pernyataan tentang partai Allah dan partai setan, ada pernyataan dia akan berjalan kaki dari rumahnya ke Jakarta kalau Jokowi menang dan ntah apa-apa lagi pernyataannya yang nggak karuan dan justru itu yang bisa mengakibatkan memecah belah.

Setelah sekian lama Amien Rais tidak muncul ke permukaan dan mengkritik Jokowi, sekali ini Amien Rais mencoba kembali untuk mengkritik Presiden Jokowi. Ntah apa maksudnya, Apakah Amien Rais hendak mencari panggung karena adanya keluarga Jokowi yang mengikuti Pilkada ? Apakah Amien Rais iri hati karena anak dan mantu Jokowi ikut dalam pagelaran Pilkada ?

Seperti diketahui Politikus senior Amien Rais kembali 'menyerang' Presiden Joko Widodo (Jokowi). Amien Rais melontarkan kritik soal demokrasi di era Jokowi hingga soal politik belah bambu.

Amien Rais menggambarkan kondisi demokrasi era Jokowi dengan politik belah bambu, yaitu demokrasi yang memihak salah satu kelompok dan menjatuhkan kelompok yang lain. Jokowi juga dinilai bermental 'koncoisme' atau hanya mementingkan kelompoknya saja.

"Tidak berlebihan bila saya katakan hasil pembangunan politik di masa Pak Jokowi telah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kecurigaan dan ketakutan terhadap umat Islam yang kritis dan korektif terhadap rezim begitu jelas kita rasakan. Kriminalisasi dan demonisasi, dan persekusi terhadap para ulama yang amar ma'ruf nahi munkar telah menjadi rahasia umum," ucap Amien Rais, Rabu (12/8).

"Sampai sekarang penyakit politik bernama partisanship itu tetap menjadi pegangan rezim Pak Jokowi dalam menghadapi umat Islam yang kritis, terhadap kekuasaannya. Para buzzer bayaran, dan para jubir Istana di berbagai diskusi atau acara di banyak stasiun televisi semakin menambah kecurigaan banyak kalangan terhadap politik Jokowi yang beresensi politik belah bambu. Menginjak sebagian dan mengangkat sebagian yang lain," ujar Amien Rais.

"Tidak berlebihan bila saya katakan hasil pembangunan politik di masa Pak Jokowi telah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kecurigaan dan ketakutan terhadap umat Islam yang kritis dan korektif terhadap rezim begitu jelas kita rasakan. Kriminalisasi dan demonisasi, dan persekusi terhadap para ulama yang amar ma'ruf nahi munkar telah menjadi rahasia umum," ucap Amien dalam siaran di akun media sosialnya berjudul 'Bangsa Indonesia Dibelah' seperti dilihat detikcom, Rabu (12/8/2020).

Amien Rais dalam pernyataannya berusaha membenturkan Presiden Jokowi terhadap umat Islam. Padahal Presiden Jokowi sejak lahir merupakan beragama Islam. Lalu mengapa Amien Rais mengatakan bahwa Kecurigaan dan ketakutan terhadap umat Islam yang kritis dan korektif terhadap rezim begitu jelas kita rasakan ?

Bahkan Amien Rais mengatakan telah terjadi kriminalisasi dan demonisasi, dan persekusi terhadap para ulama yang amar ma'ruf nahi munkar telah menjadi rahasia umum. Bukankah orang-orang yang anti terhadap Presiden Jokowi yang selalu mengatakan bahwa Jokowi adalah PKI ? Mengapa harus sampai bersilat lidah.

Bila kita flashback beberapa tahun yang lalu tentu Indonesia masih mengingat dengan jelas bagaimana PDIP sebagai pemenang dan Megawati Soekarnoputri seharusnya dinobatkan sebagai Presiden namun oleh Poros Tengah pada waktu itu menjegal Megawati dan menjadikan Gusdur menjadi Presiden. Siapakah orang-orang Poros Tengah pada waktu itu ? Itu baru disebut sudah menjadi rahasia umum dimasyarakat.

Amien Rais mengatakan bahwa pemerintah sekarang alergi dan merasa ketakutan karena dikritik, dia menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) memainkan politik belah bambu dengan memihak salah satu kelompok.

Itulah sebabnya mengapa dalam paragrap pertama penulis mengatakan sudah bosan menulis orang yang satu ini. Alasannya karena dia mengatakan,"Tidak berlebihan bila saya katakan hasil pembangunan politik di masa Pak Jokowi telah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kecurigaan dan ketakutan terhadap umat Islam yang kritis dan korektif terhadap rezim begitu jelas kita rasakan. Kriminalisasi dan demonisasi, dan persekusi terhadap para ulama yang amar ma'ruf nahi munkar telah menjadi rahasia umum,".

Lah…justru selama ini Amien Rais begitu bebas melakukan kritik terhadap pemerintah sekarang, benar kan ? Bukankah selama ini Presiden Jokowi memberikan ruang kebebasan bagi semua orang untuk berpendapat ? Lalu dibagian mananya Pak Jokowi telah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia ?

Pak Presiden, Amien Rais Rindu Diperhatikan !

Sumber Utama : https://seword.com/politik/pak-presiden-amien-rais-rindu-diperhatikan-54odjL4JdY 

Dilematis Membuka Sekolah, antara Konservatif dan Preventif

Salut dengan gebrakan Mas Menteri Nadiem Makarim yang mampu melahirkan ide cemerlang mengatasi pendidikan “out of the box” di saat pandemi lewat PJJ atau pembelajaran daring. Meskipun keputusannnya melahirkan urusan baru masalah jaringan, kuota dan ketersediaan gadget. Inilah potret Indonesia yang dikondisikan Covid harus cepat beradaptasi dengan teknologi.

Ada yang tidak pas menurut opini penulis ketika Nadiem mengatakan dibandingkan kawasan Asia Tenggara lainnya, Indonesia termasuk telat membuka sekolah di saat pandemi. Ehhmm…apakah ini yang membuat Nadiem melangkah membuka sekolah walau menurutnya ini langkah yang konservatif?

"Di satu sisi memang bisa dilihat pilihan yang berani (membuka sekolah di tengah pademi). Tapi di sisi lain, kita juga bisa lihat kita telat. Jika kita lihat negara di Asia Tenggara, kita negara terakhir kedua yang membuka kembali sekolah," kata Nadiem melalui konferensi video dalam diskusi berbahasa Inggris, Rabu (12/8). Dikutip dari: cnnindonesia.com

Klaimnya Nadiem nanti pembelajaran tatap muka dilakukan dengan berbagai pembatasan. Sebagai contohnya, jumlah siswa hingga 50 persen kapasitas, penutupan kantin, dan larangan aktivitas ekstrakurikuler. Inipun untuk sekolah di zona hijau dan kuning, dengan catatan disetujui oleh pemerintah daerah dan komite sekolah, serta mendapatkan izin dari orang tua siswa. Jadi keputusan akhirnya adalah orang tua anak.

Disini penulis keberatan Nadiem mengatakan membuka sekolah sebagai langkah konservatif. Seharusnya cara pandang Mas Menteri juga melihat kepada preventif, dan bukan mengatakannya ini langkah konservatif. Artinya, Nadiem hanya melihat kepada pendidikannya saja, tetapi bagaimana dengan keselamatan?

Mengerti bahwa tidak mudah untuk menerapkan PJJ karena berbagai kendalanya. Tetapi, sebagai Menteri Pendidikan menurut penulis bukan hanya majunya pendidikan di negeri ini yang menjadi fokus dan perjuangan seorang Nadiem. Terkhusus di saat pandemi ini keselamatan para peserta didik dan tenaga pengajar juga harus terperhatikan.

Memang ini akan menjadi dilematis. Jika tidak dipikirkan secara matang dan bijak, maka masa depan pendidikan anak Indonesia menjadi pertaruhan yang mahal. Persis seperti Mas Menteri sendiri katakan bahwa PJJ menuai banyak kritik, belum lagi dampak psikologis anak merasa kesepian, stress dan kangen teman-temannya. Tetapi harusnya tidak menjadi pembenaran kembali sekolah jawabannya.

Istilah konservatif yang Mas Menteri berikan untuk kembali ke sekolah melupakan apa yang dinamakan preventif atau pencegahan. Fakta di lapangan, tanpa dibuka Nadiem saja telah terjadi beberapa kluster positif corona di beberapa sekolah. Makanya tidak heran kebijakan Nadiem ini menuai kritik dari organisasi Laporcovid19.

”Dari awal kami tidak setuju atas pembukaan sekolah di zona yang dianggap aman oleh pemerintah,” kata inisiator Laporcovid19, Irma Hidayana kepada wartawan, Rabu (12/8). Dikutip dari: tribunnews.com

Mungkin Mas Nadiem kurang piknik, bahwa tercatat ada 6 sekolah yang menjadi klaster corona, mulai dari Sumedang, Cirebon, Pati, Tegal, Tulungagung, hingga Kalimantan Barat. Termasuk juga pesantren yang sampai harus dilockdown.

Dilansir dari tribunnews.com, di Tulungagung, seorang siswa berusia 9 tahun dilaporkan menulari 5 siswa lainnya dan 2 guru. Kemudian di Kalimantan Barat ada 14 siswa dan 8 guru yang terkonfirmasi positif Covid-19.

Pendapat penulis, tidak ada yang bisa menjamin zona kuning atau hijau sekolah berarti semua menjadi aman bagi peserta didik. Singkatnya adakah jaminan warna zona tidak rentan kesalahan, sementara keselamatan peserta didik jadi taruhan disini?

Nadiem memang menyerahkan keputusan kepada pemerintah daerah, sekolah, komite dan bahkan orang tua. Tetapi, terkesan disini Nadiem ingin segera mengakhiri polemik PJJ dan tutup mata dengan kemungkinan mengerikan yang melebihi urusan kuota. Pertanyaan saja, apakah bisa dijamin sekolah secara teratur mengadakan rapid test? Sanggup dan siapkah anggaran untuk ini?

Menyedihkan fokus Nadiem (ternyata) hanya pada pendidikan, sementara keselamatan atau nyawa anak-anak terabaikan. Ngeri membayangkan mata rantai yang berkepanjangan jika nantinya kluster sekolah semakin bertambah. Mirisnya, haruskah anak-anak ini dibiarkan seolah menantang maut?

Tidak bermaksud menyudutkan Nadiem, tetapi Mas Menteri tidak bisa abu-abu. Tidak bisa menyerahkan ini pada keputusan pemerintah daerah. Sebagai Menteri Pendidikan harus menarik garis

tegas tidak membuka sekolah setidaknya hingga Desember tahun ini.

Tidak tahu bagaimana dengan pendapat pembaca Seword. Tetapi jika memang faktanya kita belum siap untuk membuka sekolah, lalu kenapa harus dipaksakan? Tidak ada yang menginginkan kondisi ini, termasuk juga jika kita (maaf) kehilangan anak karena Covid. Terlepas dari PJJ yang ngejelimet, penyesalan itu datangnya telat. Itu sebabnya kita harus berhikmat, bahwa preventif jauh lebih baik.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200812144445-20-534936/nadiem-indonesia-telat-buka-sekolah-dibanding-negara-lain https://jateng.tribunnews.com/2020/08/12/klaster-corona-bermunculan-di-berbagai-sekolah-adakah-di-jateng

Ilustrasi: Imgur

Dilematis Membuka Sekolah, antara Konservatif dan Preventif

Sumber Utama : https://seword.com/umum/dilematis-membuka-sekolah-antara-konservatif-dan-p78HHTrQW8

Re-post by Migo Berita / Kamis/13082020/18.09Wita/Bjm

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya