» » » PUNGLI atau SUMBANGAN di sekolah ?! Lalu di Banjarmasin bagaimana..???

PUNGLI atau SUMBANGAN di sekolah ?! Lalu di Banjarmasin bagaimana..???

Penulis By on Minggu, 04 Agustus 2019 | No comments


Mewaspadai Sumbangan Rasa Pungutan (Pungli) di Sekolah

Oleh : Muhammad Firhansyah

PENERIMAAAN  siswa didik baru (PPDB) telah usai, menyisakan sejumlah pro kontra terhadap kebijakan sistem zonasi yang sempat kisruh beberapa waktu lalu. Kemudian masuklah babak baru yaitu daftar ulang siswa dengan segala hiruk pikuknya.

BIASANYA sekolah khususnya pendidikan dasar. Akan melakukan sejumlah persiapan mulai dari penyesuaian ruang kelas siswa, pmbenahan manajemen internal, evaluasi SDM dan bahan ajar, dan yang jarang terlupa yaitu inisiatif untuk peningkatan sarana dan prasarana sekolah.
Di sini mulai pintu masuk problem saat sekolah usai berlomba mendapatkan siswa, kemudian mencoba memasukan kebutuhan sekolah ditengah proses daftar ulang tersebut, dari yang logis (masuk akal) sampai yang jauh dari logika (tak masuk akal)
Sebut saja yang logis, sekolah biasanya memaparkan kebutuhan sekolah kepada orang tua siswa seperti perlunya perbaikan kursi, meja ruangan, pengadaan toilet, dan yang lainnya sehingga diperlukan pungutan resmi (memiliki dasar hukum dan tidak melanggar aturan).
Berdasar temuan Ombudsman, ternyata sekolah sebagian besar meminta hal yang tidak logis (tidak berkaitan dengan pendidikan) semisal : membawa batu-bata, membeli buku yang tidak ada kaitan dengan mata pelajaran, membeli mobil untuk kepala sekolah, membayar keperluan tiket pesawat guru atau pengurus sekolah untuk sekedar studi banding kegiatan, pembelian kalender alumni, study tour dan beberapa modus lainnya.
Yang mirisnya, oknum sekolah melalui kepalanya mencoba “mengendalikan” komite sekolah untuk menetapkan sejumlah angka rupiah (uang)  yang harus dibayar per-siswa dengan label sumbangan, sehingga sebagian orang tua menjadi bingung apakah itu sumbangan atau rasa pungutan?
Inilah situasi simalakama bagi orang tua , apabila tidak menyerahkan “sumbangan rasa pungutan” akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan khususnya bagi anak mereka yang bersekolah.
Kondisi inilah yang bagi Ombudsman wajib diberikan perhatian serius, sehingga setiap tahun lembaga pengawas pelayanan publik ini selalu memantau dan membuka pos pengaduan PPDB dan pelayanan pendidikan
Dalam realitas praktek yang lebih banyak adalah sumbangan rasa pungutan dimana diberlakukan kepada yang tidak mampu, ditentukan jumlahnya, bersifat mengikat dan ada sangsi apabila tidak memenuhinya.
Dalam Peraturan Mendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar. Sesungguhnya sudah dijelaskan bahwa pengertian pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan, baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar.
Sangat berbeda dengan sumbangan yang berarti penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik, orangtua/wali, perseorang atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya.
Hal ini juga dikuatkan dengan Peraturan Mendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Bahwa komite sekolah tidak boleh melakukan pungutan tapi penekanan lebih kepada penggalangan dana (partisipasi) bukan yang bersifat memaksa, mengikat, ditentukan jumlah dan waktunya.
Di sisi yang lain tim saber punglipun seolah “abai” mengawasi proses ini, tidak mengambil program pencegahan dan penindakan yang serius khususnya terkait pungli di sekolah, sehingga setiap tahun pungutan (pungli) dengan wajah, warna dan rasa baru masih saja terulang kembali.
Membangun Partisipasi, Inovasi, dan Kreativitas di Sekolah
Peran komite seharusnya bukan hanya sebagai Stempel sekolah atau kepala sekolah, apalagi hanya untuk melegitimasi keinginan sekolah di luar ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk itu pengurus komite haruslah di isi oleh orang2-orang yang kredibel, dipercaya, pandai menjahit komunikasi antar sekolah dan harapan orang tua siswa.
Tak cukup sampai di situ komite sekolah juga diharapkan di isi oleh orang tua yang memahami prinsip akuntabilitas dan transparansi, tertib administrasi, memiliki inovasi, kreasi dan yang penting motivasi dalam memajukan pendidikan.
Tapi semua itu juga masih belum cukup, apabila instrument sekolah tidak mendukung (perlu kepala sekolah dan unsur guru yang jujur, professional, tidak KKN, serta kaya ide membangun dan memajukan sekolah dengan cara-cara yang halal atau tidak melanggar aturan.termasuk dinas pendidikan yang harus serius menatakelola sistem pendidikan di daerah.
Ditambah lagi publik dalam hal ini orang tua siswa juga wajib memiliki pemahaman yang bagus terkait pentingnya partisipasi membangun pendidikan, sebab pendidikan tak hanya tanggungjawab pemerintah, guru atau sekolah saja tetapi juga seluruh komponen bangsa.
Di sinilah yang kita harus jujur masih belum banyak kekuatan partisipiasi, inovasi dan kreativitas termasuk profesionalitas manajemen pendidikan, sebagian sekolah masih terpaku memenuhi sarpras belum fokus terhadap kualitas mendidik, sehingga yang ditangkap publik bahwa sekolah masih menitikberatkan kepada kuantitas bukan kualitas. Bertumpu pada hal fisik bukan pembangunan karakter dan nilai nilai moral.
Ke depan kita berharap ada kesadaran sekaligus keadilan dalam perbaikan sistem pendidikan di republik ini. Urusan pendidikan yang maha penting ini seyogyanya terus diperbaiki oleh negara di dukung oleh rakyatnya sehingga tercapai peradaban manusianya sesuai nilai Pancasila dan UUD 1945.  
Penulis adalah Kepala Keasistenan bidang pencegahan Ombudsman RI Kalsel

Diprotes, Pembelian Mobil Operasional Senilai Ratusan Juta di MTsN 2 Banjarmasin Gagal

NIAT ingin memiliki mobil operasional sekolah jenis Avansa seharga Rp 205 juta dari hasil keuntungan penjualan buku di MTSN 2 Banjarmasin terpaksa urung dilakukan. Pasalnya, kebijakan pihak sekolah yang mengharuskan anak didiknya membeli buku di koperasi sekolah menuai keresahan dan protes.
UDIN, salah satu orang tua siswa di MTSN 2 Banjarmasin tak habis pikir dengan kebijakan sekolah. Pasalnya, tak sedikit uang yang harus dirogohnya dari kantong dimana jumlahnya mencapai jutaan rupiah.
“Harga di koperasi sekolah melebihi harga jual dari penerbit. Maka dari itu saya protes terhadap kebijakan sekolah ini,  sebab saya tidak mampu membayarnya walaupun di cicil,”  ungkap pria yang berprofesi sebagai pekerja bangunan ini. 
Sementara itu, Kepala Sekolah MTsN 2 Banjarmasin, melalui Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan Muhammad Arsyad,  membenarkan bahwa pihak sekolah membuat surat edaran itu pada tanggal 23 Juli 2019.
Menurut dia, pihak sekolah hanya menyediakan dan menyiapkan buku-buku tersebut sebagai bahan penunjang utama dalam proses belajar mengajar, dan pihak Koperasi Iqtishad MTsN 2 menyediakan buku dimana anak didik harus membelinya lewat koperasi.
Ia berdalih, berdasarkan pertimbangan dan untuk penghematan setiap kegiatan siswa yang selama ini banyak mengeluarkan biaya, terutama pengadaan penyewaan mobil,  maka keuntungan dari penjualan buku itu akan dibelikan mobil operasional.
“Karena ada masukan,  saran dan kritik dari beberapa pihak, terutama orang tua siswa,  maka surat edaran itu akan kami batalkan,” tegasnya.
Ditambahkan Arsyad, bagi para anak didik yang ingin membeli buku paket tersebut,  dipersilakan untuk membelinya secara langsung. “Para siswa bisa membeli kepada pihak penerbit atau ke toko buku tanpa melibatkan pihak Koperasi Iqtishad MTsN 2 Kota Banjarmasin,” imbuhnya/ 

Mudahkan Bantuan bagi Sekolah Keagaamaan, DPRD Bakal Usulkan Payung Hukum

GUNA lebih mendukung keberadaan pondok pesantren dan sekolah keagamaan, komisi IV DPRD Kalsel, akan menerbitkan payung hukum, agar memudahkan langkah teknis pemerintah daerah dalam memberikan bantuan, baik berupa program pelatihan, maupun bantuan dana operasional sekolah daerah (BOSDA).
“DEWAN melalui komisi IV mengusulkan pembuatan payung hukumnya, untuk memudahkan pemerintah daerah memberikan bantuan,” ujar Sekretaris Komisi IV, HM Lutfi Saifuddin,Senin (10//2/2019).
Namun begitu, politisi Partai Gerindra ini mengaku raperda yang akan digodok nantinya akan dibuat sedemikian teliti, guna menghindari adanya overlaving, terutamanya yang berkaitan dengan bantuan pendanaan bagi sekolah keagamaan yang notebane dibawah kementrian agama ini. “Ya dalam pemuatan pasal-pasal nanti kita akan cari cara agar tidak berbenturan dengan aturan yang ada,” kata dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kalsel, HM Yusuf Effendie, sangat mendukung akan adanya peraturan daerah yang diusulkan legislatif  tersebut.
Ia pun sangat mendukung, selagi payung hukum yang akan dibuat tersebut sesuai dengan aturan serta, ketersediaan anggaran daerah juga mencukupi.
“Kita akan sangat mendukung kebijakan tersebut nantinya, selagi aturannya ada dan keuangan daerah juga mampu,” jelas Yusuf.
Sebelumnya, Kepala Kantor Kementerian Agama (Kakanmenag) Kalsel, Fahmi Noor, juga sangat berharap adanya dukungan dari pemerintah daerah, seperti bantuan operasional sekolah daerah (BOSDA) bagi Madrasah Aliyah (MA), mengingat, pengelolaan kewenangan sekolah menengah kini berada diranah pemerintah provinsi.
Kemenangpun kata dia, sejak tahun 2017-2018, sudah menyampaikan proposal BOSDA ke pemerintah provinsi, namun hingga kini balum terealisasi. 

Agar Tak Dianaktirikan Dalam Bantuan, DPRD Godok Rapeda Sekolah Keagamaaan

SETELAH beralihnya kewenangan penyelenggaraan sekolah menengah ke provinsi, maka madrasah atau sekolah keagamaan tak lagi tersentuh APBD Kalsel, dalam memperoleh  program-program bantuan, maupun bantuan operasional  sekolah daerah (Bosda).
BOSDA pun kita tidak dapat, Padahal dunia pendidikan di Indonesia, tidak mengenal diskriminasi,” ujar Sekretaris Komisi IV DPRD Kalsel, HM Lutfi Saifuddin, kepada wartawan di Banjarmasin, Senin (8/4/2019).
Terlebih, lanjut dia, dalam segenap nomenklatur maupun undang-undang dan peraturan, posisi madrasah tersebut diletakan sejajar dengan SMA/SMK. Tetapi justru di Kalsel, hanya madraah  yang tidak memperoleh bosda. “Ini menjadi atensi Komisi IV sehingga tidak ada kesan diskriminasi pendidikan di Kalsel,” tegas Lutfi.
Politisi partai Gerindra inipun menyebutkan, untuk mendorong hal tersebut, Komisi IV telah mengajukan pembentukan raperda inisiatif tentang pondok pesantren dan sekolah keagamaan, yang akan mengatur diantaranya yaitu teknis bantuan dana hibah serta petunjuk teknis lainnya seperti pembuatan rencana kerja anggaran sekolah (RAKS).
Lutfi mencontohkan beberapa daerah seperti Jawa-Tengan dan Kalimantan- Timur, sejak dua tahun lalu sudah memberikan bantuan bosda pada sekolah keagaman masing-masing.
Relita tersebut menurit dia merupakan salah satu yang jadi motivasi dalam pengusulan raperda bagi sekolah keagamaan di Kalsel yang kini tengah mulai di godok  “Kalau daerah lain bisa mengapa kita tidak. Apalagi Kalsel daerah agamis,” tegasnya.
Diapun menyebutkan pansus segera akan konsultasi ke kementerian dalam negeri (Kemendagri) untuk melihat apa saja yang menjadi landasan hukum, sehingga tak terjadi tumpang tindih dalam implementasinya nanti.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama  (Kemenang) Kalsel, Fahmi Noor, mengaku sangat bersyukur jika nantinya pemerintah provinsi Kalsel dapat memberikan berbagai bantuan bagi sekolah keagamaan yang jumlahnya puluhan ribu. Dengan begitu, pendidikan di Kalsel, akan lebih maju lagi.
Disisi lain diapun mengakui, sejak tahun 2017 hingga sekarang, memang belum ada menerima bantuan dari pemerintah daerah.”Kami berharap jika nantinya pemerintah daerah bisa membantu sekolah keagamaan. Sebab, dapat lebih meningkatkan sektor pendidikan agama.” imbuhnya. 

Orangtua Siswa Protes Sumbangan Rp 3 Juta, Kepsek SMKN 1 Banjarmasin Bantah Pungli

INGIN transparan kepada para orangtua siswa, SMK Negeri 1 Banjarmasin pun mengundang Ombdusman Perwakilan Kalsel, kejaksaan dan kepolisian untuk mengawal masalah pungutan yang dibebankan kepada siswa mulai kelas 1, 2 dan 3.
KEBIJAKAN sekolah kejuruan yang terletak di Komplek Pelajar Mulawarman, Banjarmasin ini justru mengundang kecurigaan salah satu orangtua siswa, Ariansyah. Kepada jejakrekam.com, Rabu (15/8/2018), Ariansyah mengungkapkan anaknya baru masuk sekolah di SMKN 1 Banjarmasin justru dibebani sumbangan sebesar Rp 3 juta.
“Waktu rapat dengan wali murid, pihak sekolah memang menggandeng Ombudsman, kejaksaan dan kepolisian. Dengan hadirnya tiga institusi, tentu membuat para orangtua siswa takut melapor. Ya, istilah pasrah saja,” kata Ariansyah.
Dia membeberkan dalam rincian biaya yang terungkap, justru tercantum adanya dana perjalanan dinas guru. “Padahal, dana ini sudah dialokasikan dalam APBD, mengapa harus membebankan kepada siswa. Saya minta agar DPRD Kalsel segera mengklarifikasi hal ini. Apakah hal itu masuk pungutan liar (pungli) atau tidak. Sebab, bagi kami sangat memberatkan,” cetus Ariansyah.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala SMKN 1 Banjarmasin, Arsyad Junaidi membantah tudingan dugaan adanya pungli tersebut. Menurut dia,  yang memprotes itu kemungkinan adalah orangtua siswa yang tak hadir dalam rapat komite sekolah.
Menurut Arsyad, pihaknya sengaja mengundang Ombudsman, kejaksaan dan kepolisian dikarenakan alokasi dana dari pemerintah sangat terbatas bagi sekolah. “Ya, dengan cara itu, akhirnya pihak komite sekolah mencari alternative. Istilahnya, sekolah mau maju itu harus empat sehat lima sempurna,” katanya.
Selama ini, menurut Arsyad, pemerintah hanya menyediakan tiga sehat, sedangkan empat dan lima sempurna harus dicari sendiri oleh pihak sekolah. “Kami akhirnya berusaha sendiri. Namun, semua itu disetujui wali murid. Dalam rapat itu,  ada yang berani menyebut angka Rp 3 juta untuk membantu sekolah,” ucapnya.
Sebagian lagi, Arsyad menyebut ada pula orang yang mengaku tak mampu, sebagian lagi membantu sesuai kemampuannya. “Ya, ada yang menyumbang Rp 1 juta, Rp 2 juta, Rp 3 juta, bahkan ada juga hanya Rp 500 ribu. Itu bukan sumbangan yang sifatnya dipaksakan,” tegasnya.
Menurut Arsyad, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, menegaskan semua pihak harus terlibat bukan hanya pemerintah, tapi para orangtua siswa.
Soal pelibatan Ombudsman Perwakilan Kalsel, Arsyad menyebut agar memberi saran menyangkut pelayanan pendidikan di SMKN 1 Banjarmasin. Ternyata, Ombudsman pun menyarankan hal serupa agar para orangtua siswa turut membantu sekolah. Terutama, untuk peningkatan sarana dan prasarana sekolah.
“Uang sumbangan dari para orangtua siswa itu juga kami gunakan untuk menggaji sembilan guru agama honorer. Nah, dari pandangan pihak kejaksaan dan kepolisian juga membenarkan adanya pendanaan yang bersumber dari orangtua,” tutur Arsyad.
Ia menekankan bagi para orangtua yang keberatan dengan sumbangan, tidak akan dipermasalahkan ketika tidak menyumbang. “Saya yakin yang melapor itu, pasti tidak mau menyumbang. Kalau tidak mau menyumbang, tak apa-apa,” pungkas Arsyad. 

Dinas Pendidikan Kalsel Terkejut, Gaji OB Lebih Besar dari Guru Honor

PULUHAN guru honer di tiga sekolah khusus di Banua, menyambangi DPRD Kalsel. Kedatangan mereka untuk menyampaikan keluhan terkait dengan honor yang mereka terima.
MENYAMBANGI Komisi IV DPRD Kalsel, Kamis (2/8/2018), mereka meminta para wakil rakyat agar pemerintah daerah bisa mengakomodir  guna memulihkan pendapatan honor mereka seperti saat bertugas di Unit Pelaksana Teknis UPT sebelum dilebur ke satuan pendidikan Dinas Pendidikan.
“Kami  memohon kepada Komisi IV dan dan Dinas Pendidikan untuk bisa memulihkan honor seperti semula,”  ujar Gunawan, salah satu perwakilan guru di hadapan pimpinan dan anggota Komisi IV DPRD Kalsel.
Menurut dia, sebelumnya, honor mereka dikisaran Rp 2,3 hingga Rp 2,9 juta. Namun, setelah dilebur ke satuan pendidikan turun jadi Rp 1 juta perbulan. Dia membandingkan, honor office boy (OB) dan security sudah lebih dari Rp 2 jutaan. Sementara, guru pendidik hanya Rp 1 juta,” Ini rasanya kurang adil,” kata Gunawan.
Menyikapi tututan puluhan guru tersebut, Ketua Komisi IV DPRD Kalsel, Yazidie Fauzy, mengaku  prihatin atas kondisi itu. Dia berjanji dalam waktu dekat akan berkoordinasi dengan Sekretaris Daerah, Kepala BKD dan instansi terkait untuk mengusulkan revisi aturan mengingat beban kerja 50 guru honor  ini lebih berat dibanding guru biasa.  “Kita akan upayakaperjuangkan nasib mereka ini,” tegas Yazidie.
Dijelaskan legislator PKB, pemotongan honor guru non PNS hingga 50 persen per 1 Juli 2018 itu menyusul diberlakukannya regulasi Permendagri Nomor 12 Tahun 2017, bagi guru dan tenaga tenaga kependidikan non PNS, SLB tipe C, SMN Banua Bilingual Boarding School Banjarbaru dan SMK Peternakan Pelaihari.
Kabid SMA Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kalsel, Muhammadun mengakui pemotongan insentif ini dampak dari pemberlakuan Permendagri Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan dan Klasifikasi Cabang Dinas dan Unit Pelaksana Teknis Daerah.
Sehingga, menurut dia, untuk tunjangan mereka terpaksa mengacu Pergub Kalsel. Muhammadun juga mengaku terkejut  setelah mengetahui gaji OB dan satpam di lingkungan tiga sekolah itu justru lebih tinggi dibanding guru pendidiknya.
“Saya meminta bendahara untuk sementara membayarkan honor OB dan satpam disamakan dengan guru honorer. Ini agar tak terjadi kesenjangan. Saya akan koordinasikan dulu untuk mencari tahu. Ini mengapa honor OB saja bisa lebih besar daripada guru,” cetus Muhammadun. 

Tak Jera, Ombudsman Ungkap Pungli di Sekolah Masih Marak

MASIH ingat dengan kasus pungutan liar (pungli) yang menjerat pimpinan SMAN 10 Banjarmasin dalam penerimaan peserta didik baru (PDPB) pada awal Juli 2017 lalu? Dalam operasi tangkap tangan (OTT) Tim Saber Pungli Polda Kalsel akhirnya menjerat para pelaku dan kini masih dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Banjarmasin.
TERNYATA kasus ini seakan tak memberi efek jera terhadap para pelaku di lembaga pendidikan untuk melakoni aksi pungli. Hal ini berdasar hasil laporan adanya pungli yang masih marak di sekolah selama Januari 2018 ini diterima Ombudsman Perwakilan Kalimantan Selatan.
“Rupanya pungli masih marak. Apakah kasus OTT yang terjadi di SMAN 10 Banjarmasin beberapa bulan lalu tidak memberi efek jera kepada para pelaku? Ini sesuatu yang sulit terjawab. Sebab, berdasar laporan yang masuk ke Ombdusman Kalsel, ternyata pungli ini masih marak dari tingkat SD hingga SMA,” ucap Kepala Ombudsman Perwakilan Kalsel, Noorhalis Majid kepada jejakrekam.com, di Banjarmasin, Jumat (26/1/2018).
Menurut Majid, Ombdusman terus mengingatkan agar OTT yang terjadi di SMAN 10 Banjarmasin itu adalah kasus pertama dan terakhir dalam praktik pungli di sekolah. “Kami ingatkan agar pengelola sekolah, baik kepala sekolah, guru dan lainnya jangan lagi mempraktikkan pungli di sekolah. Ini sudah kami sampaikan berulang lagi. Ternyata, pungli ini masih marak terjadi berdasar laporan yang masuk,” cetus jebolan STIE Indonesia ini.
Majid mengungkapkan pungli walaupun secara nilai nominal kecil, namun tetap menjadi perhatian serius karena imbasnya bakal menghambat misi pendidikan dalam mencerdaskan bangsa.  “Pendidikan itu pelayanan dasar yang harus bebas dari pungli,,” cetusnya.
Mantan Ketua Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin ini mengungkapkan praktik pungli di sekolah akan makin marak kembali, seiring dengan makin dekatnya masa kelulusan dan penerimaan siswa baru. “Kami ingatkan agar sekolah lebih berhati-hati. Manfaatkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) secara efektif dan efesien. Tidak usah mencari-cari dana lain yang tidak ada dasar hukumnya. Karena hal tersebut sangat berisiko, serta memberatkan orangtua murid,” tegas Majid.
Masih menurut dia, pungli dengan modus apapun dilarang, termasuk menyelenggarakan les berbayar di sekolah, menjual sesuatu yang wajib dibeli siswa, dalih sumbangan namun nyatanya bersifat wajib dan  jumlah serta waktu membayarnya ditentukan, dan berbagai modus lainnya.
“Apabila sekolah atau komite sekolah masih melakukan pungli, maka Ombudsman akan segera berkoordinasi dengan Tim  Saber Pungli untuk melakukan tindakan. Ombudsman berharap, semoga OTT tidak terjadi lagi, karena sangt memalukan bagi sekolah dan pendidikan,” tandas Majid.(jejakrekam)
Penulis : Ahmad Husaini
Editor   : Didi G Sanusi
Foto      : Tribunnews.com 
Re-Post by MigoBerita / Senin/05082019/11.05Wita/Bjm
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya