Melihat Produksi Kopi Lokal Banjar, Disesuaikan Selera Konsumen, Sedapnya Aroma Olahan Hajah Fatimah
BANJARMASINPOST.CO.ID, MARTAPURA - Menggunakan kedua tangannya, Junaidi (35) terus memutar tuas drum di sampingnya. Drum harus berputar selama 2-3 jam. Jika tidak, buah kopi di dalamnya tidak akan rata matangnya.Untuk menghilangkan penat, warga Desa Jati Baru Kecamatan Astambul Kabupaten Banjar itu sesekali menggunakan kedua kakinya untuk memutar tuas drum. Asap kemudian mulai mengepul dari dalam drum menandakan kopi yang tengah disangrai mulai masak. Bau khas kopi pun mulai tercium dari dalam drum.
Hajah Fatimah bergegas menggantikan pekerjanya itu untuk memutar tuas. Sedangkan Junaidi sesaat kemudian membuka drum dan mengeluarkan beberapa biji kopi yang terlihat menghitam. Biji kopi diperlihatkan kepada Fatimah. “Sebentar lagi masak,” ujar Fatimah seraya kembali memutar tuas drum.
Tidak lama, Junaidi mengeluarkan kopi dari dalam drum dan kemudian mendinginkannya. Setelah itu, kopi pun digiling menjadi kopi bubuk.
Aroma sedap makin menyeruak di gudang itu saat Fatimah menyeduhnya dengan air panas. Dia pun menawarkan tambahan bubuk jahe merah kepada tim BPost yang datang berkunjung.
“Ini kopi asli asal Pengaron. Rasanya benar-benar sedap. Kopi ini dipesan banyak kafe serta toko oleh-oleh khas Banjar karena aroma yang sedap. Untuk menghangatkan bisa ditambah jahe merah,” katanya.
Fatimah adalah satu dari puluhan perajin kopi bubuk di Desa Jati Baru yang telah puluhan tahun menggeluti usaha tersebut.
Selain memproduksi kopi, dia menyediakan bahan baku buah kopi bagi pengrajin di Desa Jati Baru. Di gudang berukuran sekitar 4 x10 meter persegi miliknya terdapat dua alat menyangrai. Selain itu, ada dua mesin penggiling kopi. Peralatan itu, selain untuk memproduksi kopi olahan sendiri juga untuk melayani jasa menyangrai kopi maupun menggiling kopi dari perajin kopi di Jati Baru.
Sejak pagi gudang pengolahan kopi milik Fatimah beroperasi menyangrai kopi. Menyangrai secara tradisional dengan bahan bakar kayu karet membuat kopi Jati Baru memiliki cita rasa yang lebih dibandingkan kopi olahan pabrik modern. Dalam sehari, Fatimah mengolah 100 kilogram kopi bubuk.
Selain mengolah kopi asli, setiap hari pabriknya juga menyangrai jagung dan mengolahnya menjadi jagung bubuk sebanyak 100 kilogram. Jagung bubuk menjadi bahan campuran kopi bubuk dengan persentase tersendiri sesuai selera konsumen.
Menurut Fatimah, bubuk jagung diolah untuk memenuhi permintaan konsumen yang menginginkan kopi campur jagung. “Biasa konsumen dari Jawa, Madura serta Bugis yang suka kopi jagung. Rasanya, memang pahit sih,” katanya.
Selera konsumen pencinta kopi memang berbeda-beda. Oleh karena itu, Fatimah mengolah kopi dari sejumlah daerah seperti Lampung, Kotabaru, Paringin serta Pengaron. Namun dari sekian banyak kopi, cita rasa kopi Pengaron paling disuka walaupun agak mahal.
Perkilogram biji kopi Pengaron Rp31 ribu. Bahkan untuk kopi usang atau yang disimpan lama harganya mencapai Rp 35 ribu hingga Rp 36 ribu perkilogram.
Berbeda dengan kopi Kotabaru dan Paringin yang harganya Rp25 ribu per kilogram. Bahkan, biji kopi Lampung lebih murah hanya Rp 22 ribu per kilogram. Oleh karena itu, Fatimah dan suaminya H Achmad Hasyim selalu menyimpan cadangan berlebih khusus untuk kopi Pengaron karena permintaannya dan nilai ekonomisnya tinggi.
“Itu di gudang ada empat ton untuk cadangan agar jangan sampai kehabisan stok. Selain itu, semakin lama disimpan cita rasa kopi Pengaron juga lebih nikmat. Harganya juga bisa lebih tinggi,” katanya.
Fatimah menjelaskan kopi produksinya dipasarkan hampir di seluruh Kalsel. Ada juga beberapa kafe serta toko oleh-oleh yang mengambil kopi dari pabriknya.
Dia juga ada menjual sendiri secara partai kopi produknya ke Pasar di Sungai Tabuk serta juga ke Tanahlaut. Fatimah berharap bisa membangun kedai kopi sendiri di Jalan A Yani. “Sudah ada rencana itu. Cuma, masih mencari-cari lokasi yang cocok,” katanya.
Ibunda Fatimah, Mastora (70) cukup senang usaha kopi yang dilanjutkan putrinya maju. Dahulu, di zamannya sekitar 1990 pengolahannya secara manual yakni hanya disangrai di wajan dan kemudian ditumbuk dengan lesung dan alu.
Produksinya juga tidak banyak, hanya 10 kg sehari. Kopi olahannya, dipasarkan terbatas hanya ke Pasar Martapura dan Pasar Astambul. “Dulu jualnya tidak perkilogram tetapi menggunakan takaran cangkir,”katanya.
Pambakal Jati Baru, Syamsuni mengatakan, ada sekitar 50 warganya yang menggeluti usaha kopi. “Kami berharap Kopi Jati Baru semakin dikenal dan semakin luas pemasarannya sehingga kehidupan warga Jati Baru semakin sejahtera,” katanya.
Halaman 1 Harian Banjarmasin Post edisi cetak Kamis (31/8/2017)
Re-Post by http://migoberita.blogspot.co.id/ Kamis/31082017/17.40Wita/Bjm