Disiring tapi Banyak yang Mati
PROKAL.CO, Memasuki usia 491, sungai-sungai di Banjarmasin mulai terancam. Meski kepedulian pemerintah patut dipuji, tetapi cara penanganan sungai yang salah bisa menjadi ancaman. Akankah Banjarmasin bisa mengembalikan kehidupan sungai yang indah?
---
WALIKOTA Banjarmasin periode 1984-1989, Effendi Ritonga tak hanya dikenang karena menemukan slogan 'Kayuh Baimbai'. Ia juga yang pertama kali membayangkan taman kota di sepanjang tepian Sungai Martapura.
Effendi lantas melarang penambahan bangunan atau perpanjangan masa izin HGB (Hak Guna Bangunan). Tujuannya, agar pemukiman di bantaran sungai itu kelak mudah dibebaskan para penerusnya untuk disiring.
"Mencari inspirasi, saya pelajari sejarah dan geografi kota ini. Ternyata datarannya berada pada 18-19 sentimeter di bawah permukaan laut. Air pasang pasti kebanjiran. Penjajah Belanda sudah mengantisipasinya dengan rajin membangun kanal," ungkapnya.
Langkah kedua, ia memerintahkan sungai di sepanjang Jalan Ahmad Yani digali dan diperlebar. Pemilik bangunan di tepi sungai juga diwajibkan membangun jembatan melengkung agar jukung tetap bisa melintas.
Naas, rencana Effendi kandas. Gubernur menyetop karena gagasan itu dianggap mengundang polemik. "Ribut di surat kabar. Barangkali karena saya bukan orang Banjar asli," kisahnya.
Lalu, bagaimana sekarang ia melihat Banjarmasin? Effendi mengaku senang sekaligus sedih. Senang karena penyiringan Sungai Martapura sudah terwujud. Sedih karena banyak sungai kecil yang mati. "Dulu, jukung yang jualan sayur masih bisa melintasi sungai kecil di kampung-kampung," tukasnya.
Yang lebih menyedihkannya, ketika Pasar Terapung di Kampung Kuin kalah pamor dengan Lokbaintan. "Nyalain televisi, ketika ada Pasar Terapung, yang diliput malah di Kabupaten Banjar," pungkasnya.
Lalu, apakah mimpi Effendi masih seirama dengan program pembangunan pemko? Kepala Bappeko Banjarmasin Sugito menegaskan, pembangunan infrastruktur wisata sungai dan penyiringan masih menjadi prioritas. "Kita tidak punya sumber daya alam. Jadi harus mengandalkan sektor jasa, perdagangan dan pariwisata," jelasnya.
Terkait penyiringan, ada dua dampak yang dikejar pemko. Pertama, 'pembersihan' pemukiman kumuh di bantaran sungai. Kedua, membuka ruang terbuka hijau baru. Sesuai amanah undang-undang, RTH minimal mencapai 30 persen dari total luasan kota. "Sekarang baru lima persen, progress-nya memang lamban. Maklum ongkosnya besar sekali," keluh Sugito.
Pemko memang bertekad mengembalikan jati diri Banjarmasin sebagai kota sungai. Hasilnya mulai terasa, sayangnya timpang. Sungai baru dimanfaatkan untuk pariwisata, belum sebagai jalur transportasi.
"Dalam 10 tahun ke depan, kalau dibiarkan Banjarmasin bakal seperti Jakarta. Kemacetan terjadi dimana-mana dan sulit diurai," kata Adhi Surya Said, dosen mata kuliah sistem transportasi di Universitas Islam Kalimantan (Uniska).
Logikanya sederhana. Jumlah kendaraan bermotor terus bertambah, tapi tak ada penambahan jalan baru. Sementara sistem angkutan umum di darat maupun di sungai tak tergarap maksimal.
Banyak yang pesimistis jika sungai bisa menjadi solusi dari kemacetan di jalan raya. Mengingat masyarakat Banjar telah mengalami perpindahan budaya yang ekstrem. Dulu mengandalkan jukung dan kelotok untuk bepergian. Sekarang mengandalkan mobil dan sepeda motor.
Tak mudah untuk mengembalikan budaya lama tersebut. "Tapi bagi saya sangat mungkin," tegas Ketua LP3KTK (Lembaga Penelitian Pengembangan Pengabdian Keilmuan Teknik Kalimantan) tersebut.
Syaratnya, jalur darat dan sungai harus terkoneksi. Lewat kajian tata ruang transportasi berdasar tata ruang kota. Sekaligus kajian perpindahan penumpang dan barang dari moda transportasi darat ke sungai dan juga sebaliknya.
Secara budaya, warga Banjarmasin dekat dengan sungai. Sudah biasa mandi dan mencuci pakaian di sungai. Tapi ketika menyangkut soal transportasi, ceritanya bakal berbeda. "Tantangannya adalah menciptakan transportasi sungai yang nyaman dan mudah," ujarnya.
Contoh, waktu menunggu keberangkatan di dermaga tak terlalu lama. Penumpang juga bisa sampai ke tempat tujuan, tanpa harus naik ojek atau berjalan kaki terlalu jauh. Tarif pun harus ditekan agar terjangkau.
Jika ribet, maka wajar warga tetap bertahan dengan kendaraan pribadi. Semacet apapun jalan yang harus ia lalui. "Karena tundaan waktu pada jam-jam sibuk Banjarmasin masih terbilang normal," jelasnya.
Pernah pada satu waktu pemko ingin membeli bus air yang belakangan diurungkan. Ini satu contoh ganjalan dari alasan klasik, keterbatasan anggaran. Adhi tak menampik membangun infrastruktur sungai sebagai jalur transportasi umum tidak akan murah.
Namun, selalu ada jalan keluar. Tak perlu jauh-jauh membeli bus air made in orang luar. Pemko bisa menengok ke sentra-sentra pembuatan perahu lokal. "Tengok saja ke Kuin atau Alalak. Kenapa kita tidak memberdayakan usaha tradisional masyarakat," tegasnya.
Nah, jika akademisi sudah menyerukan pemanfaatan sungai sebagai jalur transportasi, pemko tampaknya masih terpaku pada jalur darat. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Banjarmasin Gusti Ridwan Syofyani mengatakan fokus mereka masih sebatas pembukaan jalan baru, pelebaran jalan lama, dan perbaikan jembatan.
"Bukan solusi jangka panjang, sebatas mengurangi kemacetan saja," akunya. Kajian terakhir, dua titik persimpangan dinyatakan merah. Yakni perempatan Sungai Andai dan perempatan Gatot Subroto. "Titik merah artinya tidak lagi bisa diurai dengan sekadar pelebaran jalan," tegasnya.
Ridwan mengajukan solusi pembangunan flyover. Tapi ongkosnya mahal, baik untuk pembebasan lahan atau proyek fisiknya. "Kalau tak diantisipasi, lima tahun lagi kita bakal menyaksikan titik-titik merah baru. Ini baru dua lho," pungkas Ridwan.
CANTIK DAN KUMUH: Inilah gambaran Banjarmasin, eksotis sekaligus semrawut.
Sumber Berita : http://kalsel.prokal.co/read/news/11424-mencari-kembali-wajah-sungai-di-banjarmasin-disiring-tapi-banyak-yang-mati.htmlRe-Post by http://migoberita.blogspot.co.id/ Selasa/26092017/16.42Wita/Bjm