» » » » » » » » Ternyata Tugu PKK di Jalan Kamboja dan monumen perempatan Sentra Antasari adalah Hasil Karya Misbach eks Tahanan Politik terkait PKI

Ternyata Tugu PKK di Jalan Kamboja dan monumen perempatan Sentra Antasari adalah Hasil Karya Misbach eks Tahanan Politik terkait PKI

Penulis By on Minggu, 01 Oktober 2017 | No comments

INI DIA..!! Pengakuan Tapol 1965 dari Eks Ketua Lekra Kalsel

Lari ke Hutan Tanjung, Ditangkap Hansip Kecamatan

PROKAL.CO, Misbach Tamrin menjadi tahanan politik sejak 1965 hingga 1978. Lahir di Amuntai dan kuliah ke Yogyakarta, Misbach menjadi juru bicara Sanggar Bumi Tarung yang berafiliasi dengan Lekra. Wadah seniman yang dituding sebagai underbow-nya PKI.
 ----
MISBACH lahir 76 tahun silam di Amuntai. Bakat melukisnya terlihat sejak kecil. Di kelas IV SD, guru seninya memberi nilai 10 alias sempurna untuk karyanya yang berjudul 'Berburu Rusa'. "Darah seni saya dari abah, beliau pemain sandiwara keliling," ujarnya, kemarin (29/9) kepada Radar Banjarmasin.
Kala bersekolah di SMA 2 Banjarmasin, Misbach bertemu Sholihin. Dia orang Banjarmasin yang punya karir melukis cemerlang di Jakarta. Sholihin mudik karena diminta pemerintah daerah guna membantu desain monumen pahlawan di Jalan Ahmad Yani kilometer 20.


Rencana itu dibatalkan karena diprotes ulama. Dalam Islam patung identik dengan berhala. Ketimbang menganggur, Sholihin lantas menjadi guru kesenian di Komplek Pelajar Mulawarman.
Atas saran Gusti Ibrahim Aman, saudara mantan Gubernur Kalsel Gusti Hasan Aman, Misbach dan teman-temannya mendirikan Tunas Pelukis Muda. Ini wadah pelukis amatir yang sangat mempengaruhi perkembangan seni rupa Kalsel.
Sholihin bertindak sebagai mentor dan Misbach sebagai ketua Tunas. Salah satu anggota Tunas adalah Abdul Wahab Syahrani, Gubernur Kaltim periode 1972-1978. "Teknik melukis Wahab kuat, dia memang hebat," komentarnya.
Misbach berguru pada Sholihin yang menganut aliran lukisan Impresionisme. Tekadnya makin bulat menjadikan seni rupa sebagai jalan hidupnya. Lebih-lebih setelah Artum Artha, sastrawan ternama Kalsel, mendatangkan dua pelukis dari Jawa. "Beliau mendatangkan Rahmat dan Sutiyoso yang sudah senior. Pak Artum ingin merangsang perkembangan seni rupa di Kalsel," jelasnya.
Tahun 1959, Misbach pun berangkat ke Yogya dan mendaftar sebagai mahasiswa ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia). Di sini ia bergaul dengan para pelukis dan pematung terkenal. Seperti Affandi Koesoema, Hendra Gunawan dan Kusnadi.
Namun, yang paling dikenangnya adalah Amrus Natalsya. Saking berbakatnya Amrus, ia diterima di ASRI lewat jalur istimewa, tak perlu menyodorkan ijazah SMA. Amrus naik daun setelah salah satu karya patungnya dibeli Presiden Soekarno.
Misbach sendiri tak kalah terkenal. Tahun pertama kuliah, ia menjabat Wakil ketua Senat Ikatan Mahasiswa ASRI. Setahun berselang ditunjuk sebagai Sekretaris Badan Kesenian Mahasiswa Seluruh Indonesia.
Bersama Amrus, mereka menggelar pameran-pameran lukisan di Yogya, Bali dan Jakarta. "Sehabis pameran di Jakarta tahun 1961, saya dan Amrus berdiskusi panjang. Hingga muncul gagasan mendirikan sanggar," kisahnya.
Keduanya terkesan dengan pidato Bung Karno tentang Manipol USDEK (Manifesto Politik UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Ekonomi Terpimpin). Bung Karno melihat, dunia terbelah pada Blok Kapitalis dan Blok Sosialis. Ia yakin revolusi belumlah usai, Indonesia belum aman dari ancaman penjajahan.
"Kami ingin membantu Bung Karno. Seniman juga harus ikut memikirkan politik dan nasib negara," tegasnya. Keduanya lalu membentuk Sanggar Bumi Tarung. Amrus sebagai ketua dan Misbach sebagai juru bicara. Agar fokus dengan sanggar barunya, Misbach rela melepas semua jabatannya di kampus.
Sanggar ini terkenal dengan karya-karya lukisan hitam putihnya yang sarat propaganda. Pameran perdana Bumi Tarung digelar di Jakarta pada 1962. "Saya menyumbang dua lukisan, judulnya Ritme Kerja dan Prajurit Pergi Membebaskan Irian Barat," sebutnya.
Bumi Tarung pula satu-satunya sanggar yang nekat menyatakan diri berafiliasi dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). "Tapi tak semua anggota sanggar kami berpaham kiri," tampiknya.
Salah seorang pentolan Lekra adalah Pramoedya Ananta Toer. Dialah satu-satunya sastrawan Indonesia yang namanya pernah masuk nominasi penerima Nobel Sastra.
Lekra sendiri disebut-sebut sebagai underbow-nya PKI. Misbach membantahnya sengit. "Benar, DN Aidit (Ketua CC PKI) meminta Lekra bergabung secara resmi, tapi itu ditolak pimpinan Lekra. Bahkan dicibir Njoto," kisahnya. Njoto adalah musisi kesayangan Bung Karno yang juga pentolan PKI.
Ajakan bergabung tercetus pada 1964. Alasannya, Aidit ingin meniru Mao Tse Tung yang berhasil mengajak seniman dan sastrawan bergabung ke PKT (Partai Komunis Tiongkok). Tapi Lekra bersikukuh ingin mandiri. "Celakanya Lekra terlanjur dianggap publik milik PKI," tambahnya.
Lekra kemudian bertarung sengit dengan Manifesto Kebudayaan (sering diplesetkan Manikebu). "Jadi seniman dan sastrawan Indonesia terbelah pada dua kubu besar, Lekra dan Manikebu, ibarat pertarungan Blok Barat dan Blok Timur," jelasnya.
Salah seorang tokoh Manikebu adalah Goenawan Mohammad, pimpinan redaksi Majalah Tempo. Manikebu menolak kegiatan berkesenian dicampuri propaganda politik. Mereka memilih mazhab Humanisme, sementara Lekra memilih Sosialisme.
Pada tahun yang sama, Misbach ditugasi pulang ke kampung halaman. Mencari anggota dan membentuk Lekra cabang Kalsel. "Saya sendiri ketuanya," tukasnya. Ia punya hubungan baik dengan Ketua PKI Banjarmasin, Amar Hanafiah.
Amar dikenal sebagai Ketua PKI yang rajin salat lima waktu. "Oh ya, cerita itu benar. Sebab Amar sebelum masuk PKI memang ustadz. Dia tokoh agama yang dihormati masyarakat," bebernya.
Ketika peristiwa 30 September 1965 meletus, Misbach sedang berada di rumah keluarga di Murung Pudak, Tabalong. Ia mengetahui situasi mencekam di Jakarta dari siaran radio. Sadar nyawanya terancam, Misbach dan enam temannya lari masuk hutan.
"Kami hanya sanggup bertahan sebulan di hutan Tanjung. Kami ditangkap aparat hansip. Lalu digelandang ke kantor kecamatan," ujarnya. Ia merasa persidangan hanyalah formalitas belaka.
Hingga sekarang, ia setengah tak percaya. Situasi politik saat itu memang sedang panas-panasnya, tapi ia tak pernah mengira PKI akan mengambil langkah seekstrem itu. "Tidak ada tanda atau isyarat, tiba-tiba saja meletus," ujarnya.
Misbach menyayangkan aksi segelintir elit PKI dan perwira Angkatan Darat membunuh para jenderal tersebut. Hingga akhirnya ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI harus menanggung akibatnya. Banyak yang menghilang, dibunuh amuk massa, atau dipenjara selama belasan dan puluhan tahun.
Namun, nasibnya terbilang beruntung. Di Kalsel tak pernah terjadi pembantaian besar-besaran anggota dan simpatisan PKI seperti yang terjadi di Jawa. "Nasib kawan-kawan di sana lebih tragis," sesalnya.
Ia mencatat tiga anggota sanggar tewas dihakimi massa, yakni Hariyatno, Mulawesdin Purba dan Harmani. Enam lainnya dibuang ke Pulau Buru, yakni Isa, Gumelar, Gultom, Sudiyono dan Viktor. Sisanya, 30 orang menjalani nasib seperti Misbach, menjadi tapol dan berpindah-pindah penjara.
"Pertama saya dipenjara di Jaro (Tabalong), pindah ke Tanjung dan terakhir di Liang Anggang," ujarnya. Demi bertahan hidup di penjara, ia menjalani kerja paksa. Dari memecah batu gunung untuk proyek pengerasan jalan raya. Hingga menebang pohon untuk pembukaan hutan. Tak kerja berarti tak makan.
Sipir penjara rupanya mengendus bakat Misbach. Ia sering diminta melukis wajah atau anggota keluarga sipir. Yang paling ia kenang ketika dipanggil seorang petinggi TNI asal Kalteng. "Saya diundang ke rumah untuk melukisnya," kenangnya.
Bebas tahun 1978, ia lalu menikah. Meski menyandang status eks tapol, Misbach ternyata beberapa kali direkrut pemda sebagai tenaga ahli untuk mendesain monumen kota. Dua karya yang paling ia banggakan adalah Tugu PKK di Jalan Kamboja dan monumen perempatan Sentra Antasari.
Mengingat status tapolnya, ia hanya bekerja di belakang layar. Ia juga tak bisa menetapkan tarif, digaji seadanya. Ketika sedang mengerjakan monumen Sentra Antasari itu pula identitas Misbach tersingkap. Banyak seniman yang protes karena pemko merekrut eks tapol.
"Saya kemudian diserang Adjim Ariadi lewat surat kabar," kenangnya. Adjim bukan orang sembarangan, ia dijuluki sebagai bapak teater modern Kalsel.
Walikota saat itu, Effendi Ritonga lantas coba meredam kontroversi dengan merekrut seniman lain sebagai atasan Misbach. "Namanya Budi, eh malah giliran Budi yang diserang," tambahnya sembari tertawa.
Honor mendesain monumen-monumen ditabung. Sebagai modal membangun rumah yang kini ditempatinya di Jalan Simpang Dharma Budi, Banjarmasin Timur. Rumah bercat putih itu mulai dibangun sejak tahun 1984.
Halaman rumah dilengkapi dua kolam untuk budidaya air tawar. Sedangkan loteng disulap menjadi studio melukis. Di ruang tamunya ada dua lemari besar penuh buku.
Mencakup Tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya, berjilid-jilid Tafsir Al Misbah karya Quraish Shihab dan kitab klasik Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali. "Anak saya kuliah di UIN Jakarta, itu buku-buku miliknya," jelasnya.
Lantas, apakah Misbach menyesal pernah bersinggungan dengan Lekra? Ia menggelengkan kepala. "Sebagian umur saya habis di penjara. Apakah saya menyesal? Tidak. Itulah pengalaman hidup saya," pungkasnya tersenyum.
Hingga kini, Misbach masih aktif melukis untuk mencari nafkah. Tahun 2008 kemarin, bersama rekan-rekannya yang masih tersisa, Bumi Tarung menggelar pameran di Galnas (Galeri Nasional) Jakarta.

TUJUH PRESIDEN: Misbach di depan salah satu karyanya berjudul Tujuh Presiden, 1965.
Sumber Berita : http://kalsel.prokal.co/read/news/11490-ini-dia-pengakuan-tapol-1965-dari-eks-ketua-lekra-kalsel.html

Re-Post by http://migoberita.blogspot.co.id/ Minggu/01102017/17.21Wita/Bjm 
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya