» » » » » » » » Para aktor lokal telah menjadikan tambang sebagai pusaran persekongkolan di balik pilkada

Para aktor lokal telah menjadikan tambang sebagai pusaran persekongkolan di balik pilkada

Penulis By on Minggu, 10 Desember 2017 | No comments

Pemerintahan Bayangan, Aktor Lokal dan Arena Pilkada

KALIMANTAN Selatan sebagai daerah yang kaya sumber daya alam khususnya sektor pertambangan menjadi arena persekongkolan membangun jaringan bisnis politik antara penguasa daerah dengan pengusaha tambang. Terkait hal tersebut, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan telah menempatkan sektor pertambangan batubara sebagai andalan utama dalam pembangunan  ekonomi daerah. Eksploitasi terhadap pertambangan batubara di Kalimantan Selatan  dilakukan oleh beberapa perusahaan besar, menengah,dan skala kecil (koperasi) serta perorangan. 

PERUSAHAAN pertambangan batubara terdiri dari perusahaan pemegang izin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) dan perusahaan atau koperasi pemegang izin, kuasa pertambangan (KP), pengelola pelabuhan, para trader, dan eksportir.


Eksploitasi pertambangan batubara di Kalimantan Selatan dalam trend kapitalis global (investor asing), kapitalis nasional, dan kapitalis lokal memiliki nilai strategis yang menggiurkan untuk menguasai ekonomi pertambangan. Oleh karena itu, bisa dipahami posisi Kalimantan Selatan sebagai penghasil tambang batubara terbesar kedua setelah Kalimantan Timur menjadi arena perebutan aktivitas ekonomi oleh sejumlah perusahaan pertambangan lokal, nasional, maupun investor asing,
Sampai saat ini, walaupun aktivitas pertambangan batubara telah berlangusung selama puluhan tahun ternyata belum memberikan dampak ekonomi secara signifikan bagi rakyat Kalimantan Selatan. Aktivitas ekonomi pertambangan batubara lebih banyak dinikmati oleh para aktor, baik aktor lokal maupun aktor yang berada di pusat di Jakarta yang memiliki jaringan bisnis dengan aktor yang ada di Kalimantan Selatan. Aktivitas pertambangan batubara  tidak hanya dilihat dalam perspektif aktivitas ekonomi, akan tetapi juga  dalam konteks jaringan bisnis politik.
Bila diamati, aktivitas pertambangan batubara di Kalimantan Selatan menjadi instrumen membangun jaringan bisnis politik (business politic network) dalam landscape  Kalimantan Selatan. Para aktor  berlomba-lomba mereposisi diri masuk dalam lingkaran kekuasaan, misalnya menjadi tim sukses atau sponsor dana politik dalam proses Pilkada.
Proses Pilkada  yang  diwarnai praktik persekongkolan politik dan bisnis,  jika dalam penyelenggaraan pemerintahan pasca Pilkada,  Kepala Daerah yang terpilih akan lebih memberikan loyalitasnya kepada para klien politik (political client) dan klien bisnisnya (business client)  dari pada (konstituen). Proses Pilkada di era kapitalisasi politik berkaitan erat dengan biaya politik. Pada perkembangan selanjutnya para pemilik modal (pengusaha tambang) akan berperan sebagai pemerintah bayangan (shadow government) dalam terminologi Barbara White (1984) atau bos lokal (local bossism) dalam terminologi John T Sidel (1999)
Pemerintah bayangan dan bos lokal akan mengendalikan serta mendikte kebijakan pemerintah (bupati atau gubernur), khususnya kebijakan yang terkait dalam pengelolaan pertambangan dan menyandera institusi kekuasaan dan penguasa daerah. Hal ini terjadi karena penguasa daerah yang terpilih dalam  proses pemilihan kepala daerah, para pengusaha tambang memiliki andil besar dalam hal dukungan dana (suppoting financial) untuk memenangkan sang calon penguasa dalam proses Pilkada.
Di tengah kapitalisasi pasar demokrasi, keterlibatan sejumlah pengusaha tambang yang menjadi calon kepala daerah semakin menjadikan pasar demokrasi semakin terbuka dan bernilai mahal di tengah pragmatisme politik rakyat. Pada kasus pilkada di beberapa daerah di Kalimantan Selatan, isu pilkada dan konsesi pertambangan sangat erat hubungannya sebagai bentuk relasi kuasa dan sekaligus menjadi   political marketing dan strategi untuk memenangkan salah satu kandidat kepala daerah.
Di tengah jaringan bisnis politik, posisi partai politik di Kalimantan Selatan lebih banyak dikendalikan oleh para pengusaha tambang. Logikanya adalah bahwa dengan mengendalikan partai politik sebagai ketua atau memiliki posisi strategis di partai secara otomatis akan memiliki posisi tawar secara politik dalam proses landscape politik, khususnya dalam Pilkada. Para pengusaha tambang batubara telah menjadikan institusi partai politik sebagai strategi membangun relasi kuasa ekonomi dan politik di antara para aktor lokal dan pusat.
Di era pemerintahan Orde Baru, Partai Golkar mendominasi jagat politik di negeri ini. Pada pasca rezim Orde Baru Partai Golkar tidak lagi menjadi kekuatan tunggal atau dominan dalam membangun struktur kekuasaan, akan tetapi telah terfregmentasi melalui berbagai kekuatan Partai Politik dalam membangun struktur kekuasaan politik pada level nasional maupun lokal. Oleh karena itu, pada kasus di Kalimantan Selatan, beberapa pengusaha tambang menguasai posisi-posisi strategis dalam partai.
Dengan menguasai partai, maka oligarki lokal akan semakin terstruktur karena telah menjadikan partai sebagai kartel atau lembaga korporasi ketimbang menjadi katalisator politik rakyat. Oleh karena tidak itu para pengusaha tambang yang bermodal besar dan memiliki sejumlah perusahaan tambang, demikian pula para pensiunan birokrat (bupati dan gubernur) yang memiliki modal besar, berlomba-lomba memperebutkan posisi strategis dalam partai politik atau menjadi ketua dari salah satu partai politik.
Dengan menguasai lembaga demokrasi akan  memiliki nilai strategis dan potition bargaining bagi para kadidat pejabat publik, baik dari segi kekuatan dana maupun dari segi nilai politik.
Pada pasca Pilkada, isu tentang kebijakan pertambangan batubara menjadi arena patronase dan transaksional untuk kepentingan ekonomi dan politik. Oleh karena jaringan bisnis tambang hanya akan berputar di sekitar orang-orang yang telah berhasil masuk dalam jaringan kekuasaan dan membentuk business-client di bawah proteksi kekuasaan pejabat publik (bupati atau gubernur) yang terpilih dalam proses pilkada.
Para aktor yang bermain dalam arena industri petambangan adalah orang-orang yang yang lahir sebagai business client, yang dipelihara dan dibesarkan oleh penguasa daerah yang telah memainkan permainan untuk berkonstribusi dalam proses pilkada. Para aktor ini berusaha membangun relasi kuasa dengan lembaga legislatif dan pemerintah untuk mendapatkan dukungan kebijakan melalui pembuatan sejumlah peraturan daerah (Perda) yang berkaitan dengan kebijakan pengelolaan pertambangan. Sebagian orang-orang yang menjadi anggota legislatif adalah orang-orang yang memiliki latar belakang pengusaha tambang. Para anggota legislatif yang berlatar belakang tambang ini memliki jaringan yang kuat dengan sejumlah perusahaan atau pengusaha tambang.
Konspirasi antara pengusaha tambang dengan anggota legislatif yang berlatar pengusaha tambang dan juga aparat biroksi pemerintah telah menempatkan pengusaha tambang sebagai local strongmen dalam bidang ekonomi telah mendikte kebijakan pemerintah.  Oligarki ekonomi pertambangan batubara dalam pengelolaan telah dibesakan oleh proteksi kebijakan penguasa daerah sebaga business client.
Para business client ini adalah para loyalis penguasa daerah (bupati dan gubernur) yang memiliki hubungan kepentingan bisnis dan politik yang sebelumnya ikut bermain dalam arena pilkada. Para pihak yang terlibat dalam arena pilkadapada akhirnya akan tampil  sebagai rent-seekers dalam pengelolaan pertambangan atau mafia tambang.
Pemberian izin usaha pertambangan (IUP) yang akan lebih mudah diberikan bagi para business client sebagai bentuk balas budi politik karena berhasil memenangkan pejabat publik tersebut dalam pertarungan politik atau proses pilkada.
Salah satu strategi membangun jaringan di antara para aktor untuk menguasai bisnis tambang, yaitu melalui arena pilkada. Keterlibatan bos tambang dalam pilkada sebagai bandar politik (political broker) atau penyuplai dana (supporting financial), sebagai strategi membangun kroni bisnis dan politik atau patronase dengan  penguasa daerah.
Pilkada sebaga proses demokratisasi dalam landscape politik lokal di Kalimantan Selatan isu pilkada dan tambang selalu muncul sebagai  political marketing atau arena persekongkolan ekonomi dan politik.  Persekongkolan ekonomi dan politik yang pada akhirnya melahirkan monopoli pengelolaan tambang.
Seperti diketahui Kalimantan Selatan sebagai daerah yang memiliki potensi sumber daya tambang batubara terbesar kedua di negeri ini setelah Kalimantan Timur,  para aktor lokal telah menjadikan tambang sebagai pusaran persekongkolan di balik pilkada. Tambang telah masuk dalam pusaran oligarki-predator lokal. Pada era Orde Baru berkuasa pengelolaan tambang di dominasi oleh  oligarki-predator pusat, yaitu koroni bisnis Soeharto.(jejakrekam)
Pemerintahan Bayangan, Aktor Lokal dan Arena Pilkada

Penulis : DR HM Uhaib As’ad
Staf Pengajar FISIP Uniska MAB Banjarmasin
Foto     : Pulsk
Sumber Berita : http://jejakrekam.com/2017/12/10/pemerintahan-bayangan-aktor-lokal-dan-arena-pilkada/

Re-Post by http://migoberita.blogspot.co.id/ Senin/11122017/10.36Wita/Bjm
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya