» » » » » » » » Menteri Agama dan Wapres pun "Angkat Bicara" : Bela TOA (Pengeras Suara) atau Bela Nabi Muhammad ??!! Ada apa dengan PKS ..??!!

Menteri Agama dan Wapres pun "Angkat Bicara" : Bela TOA (Pengeras Suara) atau Bela Nabi Muhammad ??!! Ada apa dengan PKS ..??!!

Penulis By on Jumat, 24 Agustus 2018 | No comments

Menag Siap Jadi Saksi Meringankan Meiliana

JAKARTA – Setelah buka suara menyusul vonis penjara selama 18 bulan yang menimpa Meiliana, kini Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin menegaskan dirinya bersedia menjadi saksi ahli buat meringankan terdakwa jika kasusnya diajukan ke tingkat yang lebih tinggi.
Baca: Denny Siregar: Ada HTI dan Kelompok Radikal Dibalik Kasus Meiliana
Kesediaan tersebut berawal dari permintaan Saiful Mujani, Direktur lembaga survey Saiful Mujani Research Centre, via akun Twitter-nya. “Supaya tidak dibilang intervensi sebaiknya banding saja, dan pak Menteri mungkin bisa menjadi pihak terkait atau saksi ahli yng meringankan. please pak,” tulis Saiful.
Lukman lalu menjawab “Saya bersedia bila diperlukan”.

 Koalisi Merah Putih (KMP) Pro Prabowo-Hatta tahun 2014, PKS diwakili Anis Matta sumber Google Image

Sebelumnya menteri agama mengeritik vonis Pengadilan Negeri Medan yang memutus keluhan Meiliana atas volume suara adzan masjif sebagai tindakan penistaan agama dan menyatakan terdakwa telah melanggar Pasal 156 a KUHP. Namun menurut Lukman, majelis hakim selayaknya ikut mempertimbangkan Pasal 1 UU Tentang Pencegahan Penyalagunaan dan atau Penodaan Agama.
Baca: Kasus Tanjung Balai, Media Radikal Serang Jokowi Dengan Isu Anti Islam dan Pro Etnis Cina
Ayat tersebut berbunyi, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
“Hemat saya, mestinya penerapan Pasal 156 a UU 1/PNPS/1965 dalam kasus Ibu Meliana tak bisa berdiri sendiri, karena harus dikaitkan dengan konteks Pasal 1 UU tersebut,” kata Lukman kepada Okezone, Kamis (23/8).


Pendapat Lukman Gagal Yakinkan Hakim
Namun pendapat Lukman bukannya tidak pernah diungkapkan di pengadilan. Saksi ahli yang meringankan terdakwa, Rumadi Ahmad telah pula mengingatkan hakim mengenai konteks penggunaan pasal 156a KUHP tersebut.
Baca: Kerusuhan Tanjung Balai, Kau Ber-Islam Tapi Kau Kehilangan Muhammad
“Saya katakan (di pengadilan) tolong kalau menggunakan Pasal 156a KUHP agar dikaitkan dengan Pasal I PNPS 1965. Karena inti dari penodaan agama atau apa yang dimaksud dengan penodaan agama itu adanya di Pasal I. Sehingga kalau orang tidak memenuhi unsur-unsur yang ada di Pasal I PNPS 65, jangan gegabah menuduh orang melakukan penodaan agama,” ujarnya kepada DW.
Menanggapi vonis PN Medan, Kementerian Agama juga mengklaim akan menggodok aturan baru perihal pengeras suara di masjid-masjid. (SFA)
Cuitan Menag

Eko Kuntadhi: ‘PKS’ Tak Bela Nabi Tapi Bela TOA

JAKARTA – Tulisan dan kritikan super pedas dan menohok dari pegiat media sosial Eko Kuntadhi, Eko menjelaskan bagaimana PKS bungkam saat Ustdz Gaul Evie Effendie sebut hina nabi Muhammad SAW dengan kata sesat, tapi tiba-tiba bersuara saat seorang Ibu Meiliana yang hanya minta suara Toa di masjid dikecilkan, saat nabi dihina PKS bungkam, PKS tak bela nabi tapi bela TOA.
Baca: Denny Siregar: Ada HTI dan Kelompok Radikal Dibalik Kasus Meiliana
Kalau Nabi Muhamad SAW dibilang sesat, PKS santai saja. Soalnya yang ngomong adalah Evie Effendie, orang yang segolongan dengan mereka. Sebagai penceramah agana Effendie punya fans banyak. Itu ladang suara buat PKS. Nabi dicela gak apa-apa. Asal tidak kehilangan konstituen. PKS gak membela Nabinya dari kekurangajaran. Karena apa untungnya buat mereka?.
Baca: Sebut Nabi Muhammad Sesat, Gus Nadir Ceramahi Ustadz Evie Effendi
Ketika Rocky Gerung berkata dengan pongah bahwa Kitab Suci adalah fiksi, PKS juga santai saja. Malah mereka berusaha mencari pembenaran pernyataan Rocky.
Sebab Rocky waktu itu sedang membela Prabowo. Bagi PKS, membela Prabowo lebih penting daripada membala kitab suci.
Baca: Rocky Gerung di ILC Sebut Kitab Suci Adalah Fiksi
Ketika kader PKS korupsi dengan menggunakan kode ‘juz’ dan liqo, PKS juga santai saja. Mereka tidak tersinggung sama sekali bahasa yang biasa digunakan dalam membicarakan tentang Quran dipakai buat nyolong duit rakyat.
Bagi PKS korupsi bukan perkara luar biasa. Korupsi menggunakan kode-kode bernuansa agama, tidak perlu dianggap melecehkan. Sebab yang melakukan korupsi adalah kadernya sendiri.
Tapi ketika seorang Ibu Tionghoa hanya minta kecilkan volume speaker masjid, PKS langsung menuding penistaan agama. Seolah mengecilkan suara speaker itu adalah hal yang sangat buruk salam Islam.
Kenapa? Sebab Meiliana -ibu malang itu- adalah seorang berdarah Tionghoa. Agamanya Budha. Jadi komentarnya soal suara speaker mesjid lebih merusak ketimbang komentar Evie Effendi soal Nabi yang sesat.
Ketika rumah Meiliana dibakar, Vihara-vihara dibakar, bagi PKS kerusuhan yang menakutkan itu bukan masalah. Bahkan bukan penistaan pada kemanusiaan dan keadilan. Sebab para pembakar itu, para perusuh itu, diharapkan dapat menjadi kantong suara. Apapun kebiadaban mereka tidak perlu disanggah.
Adakah partai ini berempati pada seorang ibu yang rumahnya dibakar massa? Adakah partai ini berempati pada empat anak yang kehilangan tempat berteduh? Adakah partai ini memiliki rasa keadilan?
Ohh, mungkin keadilan sebagai nama partai dan keadilan sebagai wujud nyata bagi PKS berbeda jauh. Keadilan sebagai nama partai adalah simbol saja. Mereka tidak terlalu peduli dengan statemen Alquran, “…Dan berbuat adillah kamu walaupun terhadap musuhmu.”
Baca: Eko Kuntadhi: Hancurkan Nasionalisme Cara ISIS, HTI dan PKS Habisi NKRI
Ibu Meiliana bukan musuh PKS. Dia hanya ibu rumah tangga biasa. Ibu dari empat orang anak kecil yang tinggal di Tanjung Balai Asahan. Tapi PKS tidak ingin menegakkan keadilan pada kasus itu.
Mungkin frasa keadilan memang tidak berarti banyak. Frasa itu sekedar penamaan saja.
Yang paling berarti bagi mereka, mungkin adalah frasa kesejahteraan. Makanya ketika kadernya korupsi menggunakan istilah Alquran, itu dapat dimaklumi. Sebab dengan cara itulah kader tersebut mewujudkan frasa kesejahteraan.
Kita jadi tidak pernah tahu, sebetulnya Islam seperti apa yang sedang dibela PKS. Jika menista Nabi didiamkan. Dan meminta mengecilkan speaker masjid dituding penistaan agama. “Yang penting sejahtera, mas. Gak adil, gak apa-apa,” ujar Abu Kumkum. (SFA)
Sumber: EkoKuntadhi.com
PKS bela TOA
Sumber Opini : http://www.salafynews.com/eko-kuntadhi-pks-tak-bela-nabi-tapi-bela-toa.html

Prof Sumanto: Meiliana dan Vonis Konyol Pengadilan

JAKARTA – Profesor Sumanto Al-Qurtuby dalam akun facebooknya memberikan kritikan pedas atas vonis janggal yang dijatuhkan pengadilan kepada Meiliana, berikut tulisannya:

Meiliana dihukum penjara hampir 2 tahun karena tuduhan penodaan agama itu sejatinya karena mengkritik azan yang hukumnya sunah dan si toa yang produk “kebudayaan kapir” itu. Ini kan luar biasa sekali. Maksudku, luar biasa dungu dan konyol

Banyak sekali kejadian atau peristiwa konyol di Indonesia. Banyak sekali putusan-putusan pengadilan yang penuh dengan kekonyolan di Tanah Air.
Baca: TOA atau Radikalisme Biangkerok Kerusuhan Tanjung Balai?
Kita masih ingat sekali kasus hukum “tragedi Surat Al-Maidah” yang menimpa Koh Ahok yang sangat menghebohkan itu.
Orang yang masih punya akal sehat dan waras hati nuraninya pasti akan mengatakan Ahok itu sama sekali tidak bersalah. Orang yang masih punya idealisme tinggi pasti akan membela Ahok karena memang ia tidak melakukan kesalahan.
Tapi apa yang terjadi? Ahok divonis salah melakukan “penodaan agama” dan dihukum penjara. Sebuah ironi lembaga peradilan yang luar biasa. Sebuah tontonan peristiwa hukum yang penuh kekonyolan dan dagelan.
Padahal, berpuluh-puluh saksi ahli dihadirkan, berbagai ulama, ahli hukum Islam, dan ahli tafsir Al-Qur’an ternama dihadirkan sebagai saksi di persidangan, baik ahli dari dalam negeri maupun Luar Negeri, baik ulama Nusantara maupun ulama Arab, tetapi sia-sia belaka. Tak ada gunanya sama sekali. Muspro-njepro.
Baca: Si “TOA” Denny Siregar
Tak ada gunanya para saksi ahli yang hebat-hebat itu kalau para pengambil keputusan dan pemegang palunya kupingnya budeg, hatinya macet, akal sehatnya mampet, apalagi ditambah dengan mental pengecut dan tuna-idealisme.
Ahok adalah korban dari persekongkolan jahat para politisi busuk, konglomerat rakus, dan tokoh agama bodong.
Saya lihat sudah berkali-kali lembaga peradilan di Indonesia melakukan putusan-putusan hukum yang sangat konyol.
Maling ayam divonis berat, koruptor alias garong duit rakyat malah divonis ringan. Para pelaku kekerasan terhadap umat dan kelompok agama lain serta pengrusak rumah-rumah ibadah umat lain dibiarkan bergentayangan dimana-mana, dan hanya sesekali divonis sebulanan.
Sementara itu, yang menjadi korban kekerasan justru dihukum berat dan dibiarkan merana tanpa perlindungan hukum memadai. Lihatlah nasib yang menimpa warga Ahmadiyah, Syiah, Gafatar, dan masih banyak lagi kelompok minoritas, baik Muslim maupun non-Muslim yang menjadi korban ketidakadilan hukum yang penuh dengan parodi aksi-aksi teatrikal.
Baca: Isu Kriminalisasi Ulama Upaya Adu Domba Alumni 212 untuk Kacaukan NKRI
Terakhir, lagi-lagi, dunia hukum kita dipertontonkan dengan aksi akrobatik yang penuh kekonyolan: Bu Meiliana dihukum penjara 1,8 bulan karena dijerat dengan pasal “penodaan agama” hanya karena memprotes penggunaan toa atau pengeras suara di masjid yang terlalu keras! Sementara para pelaku pembakaran dan pengrusakan vihara & kelenteng hanya dihukum sebulanan dan dibiarkan berkeliaran.
Sejak kapan toa dianggap sebagai bagian dari ajaran dan doktrin agama Islam sehingga mengkritiknya dianggap sebagai “penistaan Islam”? Bukankah toa itu “produk kebudayaan kapir” yang konon diciptakan oleh Ernst Siemens di abad ke-19?
Bukankah Nabi Muhammad SAW sendiri tak pernah menggunakan toa karena memang belum ada teknologi itu di zamannya? Bukankah, dengan demikian, penggunaan toa itu berarti sebagai salah satu bentuk “bid’ah” karena tak pernah dilakukan oleh nabi.
Baca: Yusuf Muhammad: Kerusuhan Tanjung Balai Bukti Propaganda Sesat di Sosial Media
Sejak kapan azan (panggilan shalat) dianggap sebagai bagian esensial dan integral dari ajaran dan doktrin Islam? Bukankah azan itu hukumnya sunah saja yang boleh ditinggalkan? Lalu, kenapa protes itu dianggap sebagai “penodaan agama Islam” dan si pemrotes dikenai hukuman 1,8 bulan penjara?
Jadi, Bu Meiliana dihukum penjara hampir 2 tahun karena tuduhan penodaan agama itu sejatinya karena mengkritik azan yang hukumnya sunah dan si toa yang produk “kebudayaan kapir” itu. Ini kan luar biasa sekali. Maksudku, luar biasa dungu dan konyol. (ARN)
Meiliana Meiliana

Respons Kasus Meiliana, Yenny Wahid: Saatnya DPR Hapus Pasal Penistaan Agama

islamindonesia.id – Respons Kasus Meiliana, Yenny Wahid: Saatnya DPR Hapus Pasal Penistaan Agama 
Merespons putusan sidang Meiliana yang dihukum 18 bulan karena dianggap telah melakukan penistaan agama,  putri Gus Dur, Yenny Wahid menyatakan bahwa kasus tersebut harus menjadi momen bagi DPR untuk merevisi UU tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Yenny berpendapat apa yang dilakukan oleh Meiliana tidak menodai agama saat memprotes volume suara azan. Ada tiga hal yang dia lihat dalam kasus tersebut.
“Kita memohon agar hakim tidak tunduk dalam tekanan massa. Kedua, kita juga pertanyakan fatwa bisa menjadi dasar hukum. Ketiga, ini menjadi momen bagi DPR untuk merevisi soal UU PNPS, penodaan agama. Pasal penodaan agama. Segera revisi agar tidak ada lagi kasus Meiliana lainnya,” ucap Yenny di Jakarta, Kamis (23/8/2018).
Menurut Yenny, DPR bisa menghapus pasal tentang penistaan agama. Hal ini karena sudah banyak kasus sebelum Meiliana.
“Dihapus, sekalian saja dihapus. Karena sudah makan terlalu banyak korban,” tegas Yenny.
Lalu, jika ada sengketa atau masalah, bisa dibawa ke ranah hukum dengan pasal pidana biasa. Hal ini untuk menghindari massa yang gampang tersulut amarah saat mendengar penistaan atau penodaan agama.
“Terlalu gampang menyulut emosi masyarakat ketika dikategorikan penistaan agama. Kalau dinyatakan kriminal biasa, itu tidak bisa menyulut emosi masyarakat. Ini judulnya saja sudah menista agama, ini gampang sekali diprovokasi, gampang sekali bergejolak,” ucap Yenny.
Sementara itu, untuk masalah keberatan akan suara azan, seharusnya hal itu bisa didialogkan. Hal tersebut pun pernah diutarakan oleh Ketua Dewan Masjid Jusuf Kalla.
[Baca: JK: Serupa Imbauan Dewan Masjid, Permintaan Meiliana Tak Seharusnya Dipidana]
“Ini Ketua Dewan Masjid, yang mengurusi masjid seluruh Indonesia, mengatakan tidak ada masalah dan tidak bisa dipidana. Tapi kenapa dibawa ke ranah hukum, ini yang kita sesalkan,” ucap Yenny.
Selain itu, Yenny melihat proses persidangan tidak berjalan baik. Vonis hakim lebih didasarkan pada tekanan massa, bukan fakta hukum.
“Jadi kita berharap hakim melihat fakta hukum. Jika memang tidak ada bukti, walaupun massa melakukan tekanan, berharap hakim kedepankan hati nurani. Ke depannya, kita mendukung Ibu Meiliana melakukan banding,” kata Yenny.
Sebelumnya, Meiliana dianggap menistakan agama Islam karena memprotes volume suara azan yang menurutnya terlalu keras. Atas putusan hakim, pihak Meiliana mengajukan banding.
EH / Islam Indonesia
Respon Kasus Meiliana, Yenny Wahid Saatnya DPR Hapus Pasal Penistaan Agama
Sumber Berita : https://islamindonesia.id/berita/respons-kasus-meiliana-yenny-wahid-saatnya-dpr-hapus-pasal-penistaan-agama.htm

JK: Serupa Imbauan Dewan Masjid, Permintaan Meiliana Tak Seharusnya Dipidana

islamindonesia.id – JK: Serupa Imbauan Dewan Masjid, Permintaan Meiliana Tak Seharusnya Dipidana
Vonis atas Meiliana yang dihukum 18 bulan bui karena mengeluhkan suara azan yang terlalu kencang,  mendapatkan beragam tanggapan. Tak terkecuali tanggapan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang memandang apa yang dilakukan Meiliana itu tak seharusnya dipidana.
“Apa yang diprotes ibu Meiliana saya tidak paham apakah pengajiannya atau azannya, tapi tentu apabila ada masyarakat yang meminta begitu ya tidak seharusnya dipidana, tapi itu kita akan melihat kejadian sebenarnya apa,” ujar JK di Kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (23/8/2018).
JK mengatakan, wajar jika Meiliana meminta agar suara masjid jangan diperkeras. Dewan Masjid Indonesia (DMI) pun meminta agar suara masjid jangan terlalu keras.
“Itu wajar saja, dewan masjid saja meminta jangan terlalu keras, dan jangan terlalu lama. Dan tidak boleh pakai tape, harus mengaji langsung. Karena kalau tape yang mengaji nanti amalnya orang Jepang aja, yang bikin tape itu kan, harus langsung,” kata JK.
Namun JK kembali mengatakan, perlu ada penjelasan yang sebenarnya terkait kasus Meiliana. Hal ini karena sebelum azan dikumandangkan di masjid ada proses pengajian.
“Azan itu cuma 3 menit, tidak lebih dari itu. Sudah berkali-kali dewan masjid menyerukan dan meminta kepada masjid-masjid untuk membatasi waktu pengajian jangan lebih daripada 5 menit, dan azannya juga begitu, jadi semuanya (dengan azan) 8 sampai 10 menit lah,” tuturnya.
Jarak antara masjid di beberapa wilayah di Indonesia dikatakan JK hanya sekitar 500 meter saja. Selain itu, jarak rumah warga dengan masjid juga tidaklah sangat jauh.
“Tidak perlu terlalu lama, karena orang jalan kaki dalam waktu 5 menit kurang lebih sudah sampai. Jadi tidak perlu panjang sampai setengah jam,” ucapnya.
“Saya tidak tahu apa yang terjadi di situ (kasus Meiliana), bahwa memang kita sudah minta masjid itu jangan terlalu keras suara pengajian, dan azannya jangan melampaui masjid yang ada, karena jarak antara masjid yang satu itu kira-kira 500 meter, di daerah yang padat,” imbuhnya.
Untuk itu JK meminta agar suara masjid tidak terlalu keras. “Karena kalau terlalu keras mengganggu azan pengajian di masjid lain,” paparnya.
EH / Islam Indonesia
JK Serupa Imbauan Dewan Masjid, Permintaan Meiliana Tak Seharusnya Dipidana

KAJIAN – Hukum Menggunakan Pengeras Suara di Masjid

islamindonesia.id – KAJIAN – Hukum Menggunakan Pengeras Suara di Masjid
Kasus yang menyeret Meiliana ke meja hijau kembali mengingatkan konflik sosial di Tanjung Balai dua tahun lalu. Ya, lagi-lagi ihwal urusan pengeras suara di masjid. Persoalan yang sensitif sekaligus menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi masa depan kerukunan di Indonesia.
Namun sebelum berbicara lebih jauh ihwal solusi yang terbaik, apa sebenarnya hukum menggunakan pengeras suara di masjid?
Lembaga Fatwa Mesir, misalnya, telah mengeluarkan fatwa berkaitan dengan pengeras suara yang digunakan di masjid-masjid. Pada dasarnya, kata Dewan Fatwa itu, Islam merupakan agama toleran, seimbang, memiliki cita rasa dan seni, serta merupakan agama kasih sayang. Sifat-sifat ini tidak menafikan keyakinan bahwa Islam merupakan agama yang benar di sisi Allah.  Meski demikian, “Islam tidak memaksa seorang pun untuk masuk ke dalamnya, juga tidak memaksa seorang pun untuk mendengarkan isi ajarannya,” kata fatwa itu seperti dikutip dar-alifta.org.eg
Atas dasar ini, kaum Muslimin wajib melaksanakan syiar-syiar agama mereka dengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diajarkan. Seorang Muslim tidak boleh menjadi penyebab kekacauan dan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat atau menjadi penghalang antara hamba dan Tuhannya dengan alasan berdakwah.
“Hal ini seperti memperdengarkan ceramah agama atau bacaan Al-Qur’an tanpa memperhatikan kondisi masyarakat sekitar, sehingga mengganggu ketenangan dan waktu istirahat mereka dan membuyarkan konsentrasi mereka yang sedang bekerja.”
Padahal, penyampaian dakwah harus disesuaikan dengan waktu, kemampuan dan kesiapan mukallaf, sehingga tidak sepatutnya menggunakan pengeras suara milik masjid jika mengganggu ketenangan masyarakat, baik di waktu malam maupaun di siang hari dengan alasan memberikan nasihat dan pentingnya isi ceramah yang disampaikan.
Tidak hanya ulama Sunni yang moderat seperti di Mesir, kalangan ulama Wahabi seperti di Saudi juga melarang menggunakan pengeras suara yang keras dapat mengganggu warga sekitar. Karena itu, Kementerian Urusan Islam Arab Saudi telah memerintahkan masjid-masjid di negara itu untuk mematikan pengeras suara luar dan hanya menggunakan pengeras suara di dalam masjid.
Di Iran, fatwa ulama juga mempertimbangkan situasi masyarakat sekitar masjid. Pemimpin spiritual Iran Ali Khamenei misalnya mengatakan,  “Mengumandangkan adzan jika pada batas-batas wajar tidak masalah, namun jika sudah mengganggu warga bahkan menyakiti warga maka hukumnya Haram.”
Adapun Ayatulah Hadi Tehrani berfatwa, “Silahkan memakai pengeras suara ketika mengumandangkan azan dan syiar Islam lainnya dengan syarat: Tidak mengganggu warga sekitar. Memakai pengeras suara tanpa meminta kerelaan warga sekitar tidak diperbolehkan oleh syariat. Mengeraskan suara sampai batas yang tidak wajar sehingga menyakiti warga sekitar hukumnya haram dan dosa. Karena azan adalah hal sunnah sedangkan menyakiti dan mengganggu orang lain haram dan wajib ditinggalkan.”
Di Indonesia sendiri, KH. Abdurahman Wahid telah menyinggung persoalan ini 36 tahun lalu. Pria yang pernah memimpin Nahdatul Ulama ini memulai uraiannya dengan hadist Nabi yang bersabda; Kewajiban (agama) terhapus dari tiga macam manusia: mereka yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar), dan mereka yang tidur (hingga bangun).
“Selama dia masih tidur, seseorang tidak terbebani kewajiban apa pun. Allah sendiri telah menyediakan “mekanisme” pengaturan bangun dan tidurnya manusia dalam bentuk metabolisme badan kita sendiri.”
Jadi, kata Gus Dur, tidak ada alasan untuk membangunkan orang yang sedang tidur agar bersembahyang – kecuali ada sebab yang sah menurut agama, dikenal dengan nama ‘illat.
“Ada kiai yang mengetuk pintu kamar di pesantrennya untuk membangunkan para santri. ‘Illat-nya: menumbuhkan kebiasaan baik bangun pagi, selama mereka masih di bawah tanggung jawabnya. Istri membangunkan suaminya untuk hal yang sama, karena memang ada ‘illat: bukankah sang suami harus menjadi teladan anak-anak dan istrinya di lingkungan rumah tangganya sendiri?”
Tetapi, lanjut Gus Dur, ‘illat tidak dapat dipukul rata. Harus ada penjagaan untuk mereka yang tidak terkena kewajiban: orang jompo yang memerlukan kepulasan tidur, jangan sampai tersentak. Wanita yang haid jelas tidak terkena wajib sembahyang. Tetapi mengapa mereka harus diganggu? Demikian juga anak-anak yang belum akil baligh. []
YS/IslamIndonesia
loud-speakers
Sumber Berita : https://islamindonesia.id/islam-menjawab/kajian-hukum-menggunakan-pengeras-suara-di-masjid-2.htm

JAKARTA – Yenny Wahid menyebut mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnomo atau Ahok bakal membuka sendiri bagaimana sikapnya dalam pemilihan presiden (pilpres) 2019.
“Tunggu saja, dia [Ahok] pasti akan bercerita pada kita semua,” ungkap dia, melalui akun pribadi instragam-nya, dikutip Rabu (22/8).
Tulisan itu ia unggah untuk caption foto surat yang diberikan Ahok usai Yenny mengunjungi Ahok di Mako Brimob pada Senin (20/8) kemarin.
Seperti diketahui, Ahok sempat menjadi wakil bagi Joko Widodo (Jokowi) saat keduanya berkuasa di DKI Jakarta. Namun, hingga kini ia belum memastikan berada di kubu yang mana.
Selain tentang pilpres, Yenny mengaku berbicara banyak hal dengan Ahok, di luar hal-hal serius misalnya soal kegemaran baru Ahok yang doyan bernyanyi.
“Sampai proses perenungan dalam yang dilakukannya,” imbuh Yenny.
Selama kunjungan itu Yenny sadar jika Ahok tak berubah meski berada di bui. Namun, ia menilai Ahok lebih menyerap banyak hikmah dalam hidupnya. Walhasil, Ahok kini terlihat lebih bijaksana.
“Banyak wisdom yang keluar dari mulutnya,” tandas Yenny.
Perjuangan Ahok di bui pun ikut diceritakan kepada Yenny. Menurutnya, Ahok terlihat memiliki semangat tinggi.
“Si Kokoh tetap bersemangat tinggi, tetap ingin berjuang untuk negeri,” tandas Yenny. [ARN]

Sumber Berita : https://arrahmahnews.com/2018/08/22/yenny-wahid-ahok-akan-bikin-kejutan-di-pilpres-2019/

Re-Post by MigoBerita / Jum'at/24082018/17.51Wita/Bjm 
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya