Menag Siap Jadi Saksi Meringankan Meiliana
JAKARTA – Setelah buka suara menyusul vonis penjara selama 18 bulan yang menimpa Meiliana, kini Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin menegaskan dirinya bersedia menjadi saksi ahli buat meringankan terdakwa jika kasusnya diajukan ke tingkat yang lebih tinggi.
Kesediaan tersebut berawal dari
permintaan Saiful Mujani, Direktur lembaga survey Saiful Mujani Research
Centre, via akun Twitter-nya. “Supaya tidak dibilang intervensi
sebaiknya banding saja, dan pak Menteri mungkin bisa menjadi pihak
terkait atau saksi ahli yng meringankan. please pak,” tulis Saiful.
Lukman lalu menjawab “Saya bersedia bila diperlukan”.
Koalisi Merah Putih (KMP) Pro Prabowo-Hatta tahun 2014, PKS diwakili Anis Matta sumber Google Image
Sebelumnya menteri agama mengeritik
vonis Pengadilan Negeri Medan yang memutus keluhan Meiliana atas volume
suara adzan masjif sebagai tindakan penistaan agama dan menyatakan
terdakwa telah melanggar Pasal 156 a KUHP. Namun menurut Lukman, majelis
hakim selayaknya ikut mempertimbangkan Pasal 1 UU Tentang Pencegahan
Penyalagunaan dan atau Penodaan Agama.
Baca: Kasus Tanjung Balai, Media Radikal Serang Jokowi Dengan Isu Anti Islam dan Pro Etnis Cina
Ayat tersebut berbunyi, “Setiap orang
dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu
agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu,
penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama
itu.”
“Hemat saya, mestinya penerapan Pasal
156 a UU 1/PNPS/1965 dalam kasus Ibu Meliana tak bisa berdiri sendiri,
karena harus dikaitkan dengan konteks Pasal 1 UU tersebut,” kata Lukman
kepada Okezone, Kamis (23/8).
Pendapat Lukman Gagal Yakinkan Hakim
Namun pendapat Lukman bukannya tidak
pernah diungkapkan di pengadilan. Saksi ahli yang meringankan terdakwa,
Rumadi Ahmad telah pula mengingatkan hakim mengenai konteks penggunaan
pasal 156a KUHP tersebut.
Baca: Kerusuhan Tanjung Balai, Kau Ber-Islam Tapi Kau Kehilangan Muhammad
“Saya katakan (di pengadilan) tolong
kalau menggunakan Pasal 156a KUHP agar dikaitkan dengan Pasal I PNPS
1965. Karena inti dari penodaan agama atau apa yang dimaksud dengan
penodaan agama itu adanya di Pasal I. Sehingga kalau orang tidak
memenuhi unsur-unsur yang ada di Pasal I PNPS 65, jangan gegabah menuduh
orang melakukan penodaan agama,” ujarnya kepada DW.
Menanggapi vonis PN Medan, Kementerian
Agama juga mengklaim akan menggodok aturan baru perihal pengeras suara
di masjid-masjid. (SFA)
Eko Kuntadhi: ‘PKS’ Tak Bela Nabi Tapi Bela TOA
JAKARTA – Tulisan dan
kritikan super pedas dan menohok dari pegiat media sosial Eko Kuntadhi,
Eko menjelaskan bagaimana PKS bungkam saat Ustdz Gaul Evie Effendie
sebut hina nabi Muhammad SAW dengan kata sesat, tapi tiba-tiba bersuara
saat seorang Ibu Meiliana yang hanya minta suara Toa di masjid
dikecilkan, saat nabi dihina PKS bungkam, PKS tak bela nabi tapi bela
TOA.
Baca: Denny Siregar: Ada HTI dan Kelompok Radikal Dibalik Kasus Meiliana
Kalau Nabi Muhamad SAW dibilang sesat,
PKS santai saja. Soalnya yang ngomong adalah Evie Effendie, orang yang
segolongan dengan mereka. Sebagai penceramah agana Effendie punya fans
banyak. Itu ladang suara buat PKS. Nabi dicela gak apa-apa. Asal tidak
kehilangan konstituen. PKS gak membela Nabinya dari kekurangajaran.
Karena apa untungnya buat mereka?.
Baca: Sebut Nabi Muhammad Sesat, Gus Nadir Ceramahi Ustadz Evie Effendi
Ketika Rocky Gerung berkata dengan
pongah bahwa Kitab Suci adalah fiksi, PKS juga santai saja. Malah mereka
berusaha mencari pembenaran pernyataan Rocky.
Sebab Rocky waktu itu sedang membela Prabowo. Bagi PKS, membela Prabowo lebih penting daripada membala kitab suci.
Baca: Rocky Gerung di ILC Sebut Kitab Suci Adalah Fiksi
Ketika kader PKS korupsi dengan
menggunakan kode ‘juz’ dan liqo, PKS juga santai saja. Mereka tidak
tersinggung sama sekali bahasa yang biasa digunakan dalam membicarakan
tentang Quran dipakai buat nyolong duit rakyat.
Bagi PKS korupsi bukan perkara luar
biasa. Korupsi menggunakan kode-kode bernuansa agama, tidak perlu
dianggap melecehkan. Sebab yang melakukan korupsi adalah kadernya
sendiri.
Tapi ketika seorang Ibu Tionghoa hanya
minta kecilkan volume speaker masjid, PKS langsung menuding penistaan
agama. Seolah mengecilkan suara speaker itu adalah hal yang sangat buruk
salam Islam.
Kenapa? Sebab Meiliana -ibu malang itu-
adalah seorang berdarah Tionghoa. Agamanya Budha. Jadi komentarnya soal
suara speaker mesjid lebih merusak ketimbang komentar Evie Effendi soal
Nabi yang sesat.
Ketika rumah Meiliana dibakar,
Vihara-vihara dibakar, bagi PKS kerusuhan yang menakutkan itu bukan
masalah. Bahkan bukan penistaan pada kemanusiaan dan keadilan. Sebab
para pembakar itu, para perusuh itu, diharapkan dapat menjadi kantong
suara. Apapun kebiadaban mereka tidak perlu disanggah.
Adakah partai ini berempati pada seorang
ibu yang rumahnya dibakar massa? Adakah partai ini berempati pada empat
anak yang kehilangan tempat berteduh? Adakah partai ini memiliki rasa
keadilan?
Ohh, mungkin keadilan sebagai nama
partai dan keadilan sebagai wujud nyata bagi PKS berbeda jauh. Keadilan
sebagai nama partai adalah simbol saja. Mereka tidak terlalu peduli
dengan statemen Alquran, “…Dan berbuat adillah kamu walaupun terhadap
musuhmu.”
Baca: Eko Kuntadhi: Hancurkan Nasionalisme Cara ISIS, HTI dan PKS Habisi NKRI
Ibu Meiliana bukan musuh PKS. Dia hanya
ibu rumah tangga biasa. Ibu dari empat orang anak kecil yang tinggal di
Tanjung Balai Asahan. Tapi PKS tidak ingin menegakkan keadilan pada
kasus itu.
Mungkin frasa keadilan memang tidak berarti banyak. Frasa itu sekedar penamaan saja.
Yang paling berarti bagi mereka, mungkin
adalah frasa kesejahteraan. Makanya ketika kadernya korupsi menggunakan
istilah Alquran, itu dapat dimaklumi. Sebab dengan cara itulah kader
tersebut mewujudkan frasa kesejahteraan.
Kita jadi tidak pernah tahu, sebetulnya
Islam seperti apa yang sedang dibela PKS. Jika menista Nabi didiamkan.
Dan meminta mengecilkan speaker masjid dituding penistaan agama. “Yang
penting sejahtera, mas. Gak adil, gak apa-apa,” ujar Abu Kumkum. (SFA)
Sumber: EkoKuntadhi.comSumber Opini : http://www.salafynews.com/eko-kuntadhi-pks-tak-bela-nabi-tapi-bela-toa.html
Prof Sumanto: Meiliana dan Vonis Konyol Pengadilan
JAKARTA – Profesor Sumanto Al-Qurtuby
dalam akun facebooknya memberikan kritikan pedas atas vonis janggal
yang dijatuhkan pengadilan kepada Meiliana, berikut tulisannya:
Banyak sekali kejadian atau peristiwa konyol di Indonesia. Banyak sekali putusan-putusan pengadilan yang penuh dengan kekonyolan di Tanah Air.Meiliana dihukum penjara hampir 2 tahun karena tuduhan penodaan agama itu sejatinya karena mengkritik azan yang hukumnya sunah dan si toa yang produk “kebudayaan kapir” itu. Ini kan luar biasa sekali. Maksudku, luar biasa dungu dan konyol
Baca: TOA atau Radikalisme Biangkerok Kerusuhan Tanjung Balai?
Kita masih ingat sekali kasus hukum “tragedi Surat Al-Maidah” yang menimpa Koh Ahok yang sangat menghebohkan itu.
Orang yang masih punya akal sehat dan
waras hati nuraninya pasti akan mengatakan Ahok itu sama sekali tidak
bersalah. Orang yang masih punya idealisme tinggi pasti akan membela
Ahok karena memang ia tidak melakukan kesalahan.
Tapi apa yang terjadi? Ahok divonis
salah melakukan “penodaan agama” dan dihukum penjara. Sebuah ironi
lembaga peradilan yang luar biasa. Sebuah tontonan peristiwa hukum yang
penuh kekonyolan dan dagelan.
Padahal, berpuluh-puluh saksi ahli
dihadirkan, berbagai ulama, ahli hukum Islam, dan ahli tafsir Al-Qur’an
ternama dihadirkan sebagai saksi di persidangan, baik ahli dari dalam
negeri maupun Luar Negeri, baik ulama Nusantara maupun ulama Arab,
tetapi sia-sia belaka. Tak ada gunanya sama sekali. Muspro-njepro.
Baca: Si “TOA” Denny Siregar
Tak ada gunanya para saksi ahli yang
hebat-hebat itu kalau para pengambil keputusan dan pemegang palunya
kupingnya budeg, hatinya macet, akal sehatnya mampet, apalagi ditambah
dengan mental pengecut dan tuna-idealisme.
Ahok adalah korban dari persekongkolan jahat para politisi busuk, konglomerat rakus, dan tokoh agama bodong.
Saya lihat sudah berkali-kali lembaga peradilan di Indonesia melakukan putusan-putusan hukum yang sangat konyol.
Maling ayam divonis berat, koruptor
alias garong duit rakyat malah divonis ringan. Para pelaku kekerasan
terhadap umat dan kelompok agama lain serta pengrusak rumah-rumah ibadah
umat lain dibiarkan bergentayangan dimana-mana, dan hanya sesekali
divonis sebulanan.
Sementara itu, yang menjadi korban
kekerasan justru dihukum berat dan dibiarkan merana tanpa perlindungan
hukum memadai. Lihatlah nasib yang menimpa warga Ahmadiyah, Syiah,
Gafatar, dan masih banyak lagi kelompok minoritas, baik Muslim maupun
non-Muslim yang menjadi korban ketidakadilan hukum yang penuh dengan
parodi aksi-aksi teatrikal.
Baca: Isu Kriminalisasi Ulama Upaya Adu Domba Alumni 212 untuk Kacaukan NKRI
Terakhir, lagi-lagi, dunia hukum kita
dipertontonkan dengan aksi akrobatik yang penuh kekonyolan: Bu Meiliana
dihukum penjara 1,8 bulan karena dijerat dengan pasal “penodaan agama”
hanya karena memprotes penggunaan toa atau pengeras suara di masjid yang
terlalu keras! Sementara para pelaku pembakaran dan pengrusakan vihara
& kelenteng hanya dihukum sebulanan dan dibiarkan berkeliaran.
Sejak kapan toa dianggap sebagai bagian
dari ajaran dan doktrin agama Islam sehingga mengkritiknya dianggap
sebagai “penistaan Islam”? Bukankah toa itu “produk kebudayaan kapir”
yang konon diciptakan oleh Ernst Siemens di abad ke-19?
Bukankah Nabi Muhammad SAW sendiri tak
pernah menggunakan toa karena memang belum ada teknologi itu di
zamannya? Bukankah, dengan demikian, penggunaan toa itu berarti sebagai
salah satu bentuk “bid’ah” karena tak pernah dilakukan oleh nabi.
Baca: Yusuf Muhammad: Kerusuhan Tanjung Balai Bukti Propaganda Sesat di Sosial Media
Sejak kapan azan (panggilan shalat)
dianggap sebagai bagian esensial dan integral dari ajaran dan doktrin
Islam? Bukankah azan itu hukumnya sunah saja yang boleh ditinggalkan?
Lalu, kenapa protes itu dianggap sebagai “penodaan agama Islam” dan si
pemrotes dikenai hukuman 1,8 bulan penjara?
Jadi, Bu Meiliana dihukum penjara hampir
2 tahun karena tuduhan penodaan agama itu sejatinya karena mengkritik
azan yang hukumnya sunah dan si toa yang produk “kebudayaan kapir” itu.
Ini kan luar biasa sekali. Maksudku, luar biasa dungu dan konyol. (ARN)
Sumber Berita : https://arrahmahnews.com/2018/08/23/prof-sumanto-meiliana-dan-vonis-konyol-pengadilan/
Respons Kasus Meiliana, Yenny Wahid: Saatnya DPR Hapus Pasal Penistaan Agama
islamindonesia.id – Respons Kasus Meiliana, Yenny Wahid: Saatnya DPR Hapus Pasal Penistaan AgamaMerespons putusan sidang Meiliana yang dihukum 18 bulan karena dianggap telah melakukan penistaan agama, putri Gus Dur, Yenny Wahid menyatakan bahwa kasus tersebut harus menjadi momen bagi DPR untuk merevisi UU tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Yenny berpendapat apa yang dilakukan oleh Meiliana tidak menodai agama saat memprotes volume suara azan. Ada tiga hal yang dia lihat dalam kasus tersebut.
“Kita memohon agar hakim tidak tunduk dalam tekanan massa. Kedua, kita juga pertanyakan fatwa bisa menjadi dasar hukum. Ketiga, ini menjadi momen bagi DPR untuk merevisi soal UU PNPS, penodaan agama. Pasal penodaan agama. Segera revisi agar tidak ada lagi kasus Meiliana lainnya,” ucap Yenny di Jakarta, Kamis (23/8/2018).
Menurut Yenny, DPR bisa menghapus pasal tentang penistaan agama. Hal ini karena sudah banyak kasus sebelum Meiliana.
“Dihapus, sekalian saja dihapus. Karena sudah makan terlalu banyak korban,” tegas Yenny.
Lalu, jika ada sengketa atau masalah, bisa dibawa ke ranah hukum dengan pasal pidana biasa. Hal ini untuk menghindari massa yang gampang tersulut amarah saat mendengar penistaan atau penodaan agama.
“Terlalu gampang menyulut emosi masyarakat ketika dikategorikan penistaan agama. Kalau dinyatakan kriminal biasa, itu tidak bisa menyulut emosi masyarakat. Ini judulnya saja sudah menista agama, ini gampang sekali diprovokasi, gampang sekali bergejolak,” ucap Yenny.
Sementara itu, untuk masalah keberatan akan suara azan, seharusnya hal itu bisa didialogkan. Hal tersebut pun pernah diutarakan oleh Ketua Dewan Masjid Jusuf Kalla.
[Baca: JK: Serupa Imbauan Dewan Masjid, Permintaan Meiliana Tak Seharusnya Dipidana]
“Ini Ketua Dewan Masjid, yang mengurusi masjid seluruh Indonesia, mengatakan tidak ada masalah dan tidak bisa dipidana. Tapi kenapa dibawa ke ranah hukum, ini yang kita sesalkan,” ucap Yenny.
Selain itu, Yenny melihat proses persidangan tidak berjalan baik. Vonis hakim lebih didasarkan pada tekanan massa, bukan fakta hukum.
“Jadi kita berharap hakim melihat fakta hukum. Jika memang tidak ada bukti, walaupun massa melakukan tekanan, berharap hakim kedepankan hati nurani. Ke depannya, kita mendukung Ibu Meiliana melakukan banding,” kata Yenny.
Sebelumnya, Meiliana dianggap menistakan agama Islam karena memprotes volume suara azan yang menurutnya terlalu keras. Atas putusan hakim, pihak Meiliana mengajukan banding.
EH / Islam Indonesia
Sumber Berita : https://islamindonesia.id/berita/respons-kasus-meiliana-yenny-wahid-saatnya-dpr-hapus-pasal-penistaan-agama.htm
JK: Serupa Imbauan Dewan Masjid, Permintaan Meiliana Tak Seharusnya Dipidana
islamindonesia.id – JK: Serupa Imbauan Dewan Masjid, Permintaan Meiliana Tak Seharusnya DipidanaVonis atas Meiliana yang dihukum 18 bulan bui karena mengeluhkan suara azan yang terlalu kencang, mendapatkan beragam tanggapan. Tak terkecuali tanggapan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang memandang apa yang dilakukan Meiliana itu tak seharusnya dipidana.
“Apa yang diprotes ibu Meiliana saya tidak paham apakah pengajiannya atau azannya, tapi tentu apabila ada masyarakat yang meminta begitu ya tidak seharusnya dipidana, tapi itu kita akan melihat kejadian sebenarnya apa,” ujar JK di Kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (23/8/2018).
JK mengatakan, wajar jika Meiliana meminta agar suara masjid jangan diperkeras. Dewan Masjid Indonesia (DMI) pun meminta agar suara masjid jangan terlalu keras.
“Itu wajar saja, dewan masjid saja meminta jangan terlalu keras, dan jangan terlalu lama. Dan tidak boleh pakai tape, harus mengaji langsung. Karena kalau tape yang mengaji nanti amalnya orang Jepang aja, yang bikin tape itu kan, harus langsung,” kata JK.
Namun JK kembali mengatakan, perlu ada penjelasan yang sebenarnya terkait kasus Meiliana. Hal ini karena sebelum azan dikumandangkan di masjid ada proses pengajian.
“Azan itu cuma 3 menit, tidak lebih dari itu. Sudah berkali-kali dewan masjid menyerukan dan meminta kepada masjid-masjid untuk membatasi waktu pengajian jangan lebih daripada 5 menit, dan azannya juga begitu, jadi semuanya (dengan azan) 8 sampai 10 menit lah,” tuturnya.
Jarak antara masjid di beberapa wilayah di Indonesia dikatakan JK hanya sekitar 500 meter saja. Selain itu, jarak rumah warga dengan masjid juga tidaklah sangat jauh.
“Tidak perlu terlalu lama, karena orang jalan kaki dalam waktu 5 menit kurang lebih sudah sampai. Jadi tidak perlu panjang sampai setengah jam,” ucapnya.
“Saya tidak tahu apa yang terjadi di situ (kasus Meiliana), bahwa memang kita sudah minta masjid itu jangan terlalu keras suara pengajian, dan azannya jangan melampaui masjid yang ada, karena jarak antara masjid yang satu itu kira-kira 500 meter, di daerah yang padat,” imbuhnya.
Untuk itu JK meminta agar suara masjid tidak terlalu keras. “Karena kalau terlalu keras mengganggu azan pengajian di masjid lain,” paparnya.
EH / Islam Indonesia
Sumber Berita : https://islamindonesia.id/berita/jk-serupa-imbauan-dewan-masjid-permintaan-meiliana-tak-seharusnya-dipidana.htm
KAJIAN – Hukum Menggunakan Pengeras Suara di Masjid
islamindonesia.id – KAJIAN – Hukum Menggunakan Pengeras Suara di MasjidKasus yang menyeret Meiliana ke meja hijau kembali mengingatkan konflik sosial di Tanjung Balai dua tahun lalu. Ya, lagi-lagi ihwal urusan pengeras suara di masjid. Persoalan yang sensitif sekaligus menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi masa depan kerukunan di Indonesia.
Namun sebelum berbicara lebih jauh ihwal solusi yang terbaik, apa sebenarnya hukum menggunakan pengeras suara di masjid?
Lembaga Fatwa Mesir, misalnya, telah mengeluarkan fatwa berkaitan dengan pengeras suara yang digunakan di masjid-masjid. Pada dasarnya, kata Dewan Fatwa itu, Islam merupakan agama toleran, seimbang, memiliki cita rasa dan seni, serta merupakan agama kasih sayang. Sifat-sifat ini tidak menafikan keyakinan bahwa Islam merupakan agama yang benar di sisi Allah. Meski demikian, “Islam tidak memaksa seorang pun untuk masuk ke dalamnya, juga tidak memaksa seorang pun untuk mendengarkan isi ajarannya,” kata fatwa itu seperti dikutip dar-alifta.org.eg
Atas dasar ini, kaum Muslimin wajib melaksanakan syiar-syiar agama mereka dengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diajarkan. Seorang Muslim tidak boleh menjadi penyebab kekacauan dan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat atau menjadi penghalang antara hamba dan Tuhannya dengan alasan berdakwah.
“Hal ini seperti memperdengarkan ceramah agama atau bacaan Al-Qur’an tanpa memperhatikan kondisi masyarakat sekitar, sehingga mengganggu ketenangan dan waktu istirahat mereka dan membuyarkan konsentrasi mereka yang sedang bekerja.”
Padahal, penyampaian dakwah harus disesuaikan dengan waktu, kemampuan dan kesiapan mukallaf, sehingga tidak sepatutnya menggunakan pengeras suara milik masjid jika mengganggu ketenangan masyarakat, baik di waktu malam maupaun di siang hari dengan alasan memberikan nasihat dan pentingnya isi ceramah yang disampaikan.
Tidak hanya ulama Sunni yang moderat seperti di Mesir, kalangan ulama Wahabi seperti di Saudi juga melarang menggunakan pengeras suara yang keras dapat mengganggu warga sekitar. Karena itu, Kementerian Urusan Islam Arab Saudi telah memerintahkan masjid-masjid di negara itu untuk mematikan pengeras suara luar dan hanya menggunakan pengeras suara di dalam masjid.
Di Iran, fatwa ulama juga mempertimbangkan situasi masyarakat sekitar masjid. Pemimpin spiritual Iran Ali Khamenei misalnya mengatakan, “Mengumandangkan adzan jika pada batas-batas wajar tidak masalah, namun jika sudah mengganggu warga bahkan menyakiti warga maka hukumnya Haram.”
Adapun Ayatulah Hadi Tehrani berfatwa, “Silahkan memakai pengeras suara ketika mengumandangkan azan dan syiar Islam lainnya dengan syarat: Tidak mengganggu warga sekitar. Memakai pengeras suara tanpa meminta kerelaan warga sekitar tidak diperbolehkan oleh syariat. Mengeraskan suara sampai batas yang tidak wajar sehingga menyakiti warga sekitar hukumnya haram dan dosa. Karena azan adalah hal sunnah sedangkan menyakiti dan mengganggu orang lain haram dan wajib ditinggalkan.”
Di Indonesia sendiri, KH. Abdurahman Wahid telah menyinggung persoalan ini 36 tahun lalu. Pria yang pernah memimpin Nahdatul Ulama ini memulai uraiannya dengan hadist Nabi yang bersabda; Kewajiban (agama) terhapus dari tiga macam manusia: mereka yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar), dan mereka yang tidur (hingga bangun).
“Selama dia masih tidur, seseorang tidak terbebani kewajiban apa pun. Allah sendiri telah menyediakan “mekanisme” pengaturan bangun dan tidurnya manusia dalam bentuk metabolisme badan kita sendiri.”
Jadi, kata Gus Dur, tidak ada alasan untuk membangunkan orang yang sedang tidur agar bersembahyang – kecuali ada sebab yang sah menurut agama, dikenal dengan nama ‘illat.
“Ada kiai yang mengetuk pintu kamar di pesantrennya untuk membangunkan para santri. ‘Illat-nya: menumbuhkan kebiasaan baik bangun pagi, selama mereka masih di bawah tanggung jawabnya. Istri membangunkan suaminya untuk hal yang sama, karena memang ada ‘illat: bukankah sang suami harus menjadi teladan anak-anak dan istrinya di lingkungan rumah tangganya sendiri?”
Tetapi, lanjut Gus Dur, ‘illat tidak dapat dipukul rata. Harus ada penjagaan untuk mereka yang tidak terkena kewajiban: orang jompo yang memerlukan kepulasan tidur, jangan sampai tersentak. Wanita yang haid jelas tidak terkena wajib sembahyang. Tetapi mengapa mereka harus diganggu? Demikian juga anak-anak yang belum akil baligh. []
YS/IslamIndonesia
Sumber Berita : https://islamindonesia.id/islam-menjawab/kajian-hukum-menggunakan-pengeras-suara-di-masjid-2.htm
JAKARTA – Yenny Wahid
menyebut mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnomo atau Ahok
bakal membuka sendiri bagaimana sikapnya dalam pemilihan presiden
(pilpres) 2019.
“Tunggu saja, dia [Ahok] pasti akan
bercerita pada kita semua,” ungkap dia, melalui akun pribadi
instragam-nya, dikutip Rabu (22/8).
Tulisan itu ia unggah untuk caption foto
surat yang diberikan Ahok usai Yenny mengunjungi Ahok di Mako Brimob
pada Senin (20/8) kemarin.
Seperti diketahui, Ahok sempat menjadi
wakil bagi Joko Widodo (Jokowi) saat keduanya berkuasa di DKI Jakarta.
Namun, hingga kini ia belum memastikan berada di kubu yang mana.
Selain tentang pilpres, Yenny mengaku
berbicara banyak hal dengan Ahok, di luar hal-hal serius misalnya soal
kegemaran baru Ahok yang doyan bernyanyi.
“Sampai proses perenungan dalam yang dilakukannya,” imbuh Yenny.
Selama kunjungan itu Yenny sadar jika
Ahok tak berubah meski berada di bui. Namun, ia menilai Ahok lebih
menyerap banyak hikmah dalam hidupnya. Walhasil, Ahok kini terlihat
lebih bijaksana.
“Banyak wisdom yang keluar dari mulutnya,” tandas Yenny.
Perjuangan Ahok di bui pun ikut diceritakan kepada Yenny. Menurutnya, Ahok terlihat memiliki semangat tinggi.
“Si Kokoh tetap bersemangat tinggi, tetap ingin berjuang untuk negeri,” tandas Yenny. [ARN]Sumber Berita : https://arrahmahnews.com/2018/08/22/yenny-wahid-ahok-akan-bikin-kejutan-di-pilpres-2019/
Re-Post by MigoBerita / Jum'at/24082018/17.51Wita/Bjm