Mengaku Kalah Sebelum Bertanding, Andi Arief: Prabowo Pemalas!
JAKARTA – Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief tidak khawatir kritiknya terhadap calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto berdampak negatif terhadap dirinya, Partai Demokrat maupun Prabowo sendiri.
Diketahui, Partai Demokrat merupakan salah satu partai politik yang mengusung Prabowo dalam Pilpres 2019 mendatang.
“Enggak khawatir ya. Saya kira (kritik
saya) dikemukakan terbuka agar rakyat juga dilibatkan untuk
mengontrolnya,” ujar Andi saat dihubungi Kompas.com, Jumat (12/10/2018).
Andi Arief memang beda. Dia mungkin
satu-satunya orang di kubu Prabowo – Sandiaga yang berani secara terbuka
mengkritik pasangan nomor urut 02 tersebut.
Pernah menjuluki Prabowo sebagai
jenderal kardus, kini Andi mempertanyakan keseriusan ketua umum Partai
Gerindra itu sebagai calon presiden.
“Pilpres itu memilih Presiden, jadi
kalau Pak Prabowo tidak mau keliling Indonesia aktif, enggak ada rumus
ajaib untuk menang. Kalau Pak Prabowo agak males-malesan, kan enggak
mungkin partai pendukungnya super aktif,” tulis Andi Arief dalam akun
twitternya @AndiArief_, sesaat lalu, Jum’at (12/10).
Andi Arief pun sadar kritiknya ini akan
menyebabkan beberapa pihak yang tidak suka. Namun, dia mengklaim
pernyataanya ini didasari niat baik.
“Pasti banyak yang enggak suka soal
kritik saya atas males-malesan Pak Prabowo keliling aktif ke Indonesia
ini. Tapi percayalah kalau direnungkan bagaimana mungkin kemenangan
mengejar orang yang malas?” tambahnya.
Andi Arief mengingatkan, waktu enam
bulan jangan disia-siakan untuk peroleh simpati rakyat. “Enam bulan
adalah waktu yang terlalu pendek dalam politik. Pak Prabowo harus keluar
dari sarang Kertanegara, kunjungi rakyat, sapa, peluk cium dan
sampaikan apa yang akan dilakukan kalau menang di tengah ekonomi yag
sulit ini,” demikian Andi Arief.
“Saya sebagai pengurus partai Demokrat
punya hak mengkriik bahkan secara terbuka agar taktik memenangkan
Prabowo didengar rakyat dan kemungkinan mendapat dukungan besar. Ini
jauh lebih penting ketimbang @MardaniAliSera bicara Prabowo naik
gunung,” ujar Andi dalam twetnya.
Oposisi sebetulnya sedang panik melihat
elektabilitas Jokowi yang tetap tidak goyah meskipun dihajar berbagai
isu. Tapi publik sudah cerdas, sehingga diserang dengan isu apapun
Presiden Jokowi tingkat elektabilitas dan akseptabilitas dalam rilis
sejumlah lembaga survei selalu dominan dari tokoh kelompok oposisi.
Pernyataan Andi Arief menunjukkan bahwa
Prabowo masih dihantui kegagalan dalam kontestasi Pilpres 2014 silam.
Kalimat ‘males-malesan’ wujud kekecewaan politisi Demokrat yang melihat
Prabowo belum melakukan apa-apa untuk menaikkan elektabilitasnya yang
jauh di bawah Jokowi.
Artinya Prabowo sudah mengaku kalah sebelum bertanding. [ARN]Sumber Berita : https://arrahmahnews.com/2018/10/13/mengaku-kalah-sebelum-bertanding-andi-arief-prabowo-pemalas/
Jokowi Tunjukkan Kelasnya di Pidato IMF-WB
JAKARTA – Tim Kampanye Nasional (TKN) Koalisi Indonesia Kerja (KIK) menilai, pidato Jokowi dalam Annual Meeting Plenary, IMF-World Bank Annual Meetings 2018 di Nusa Dua Bali, Jumat (12/10), sangat memukau. Ketua TKN Erick Thohir mengatakan, melalui pidato itu, Jokowi menunjukkan kelasnya sebagai pemimpin.
Ia menilai, pidato Presiden sangatlah
lugas. Bahkan, Jokowi mendapatkan pujian dan juga tepuk tangan dukungan
dari para pimpinan pemerintahan, Pimpinan IMF, World Bank, kepala Bank
Sentral, juga Menteri Keuangan dari seluruh dunia.
Ia menjelaskan, Presiden menggambarkan
dengan analogi situasi dunia saat ini sama seperti cerita Game of
Thrones, di mana tujuh kerajaan memperebutkan Iron of Throne. “Dengan
analogi ini, Presiden Jokowi menyampaikan pesan moral kepada seluruh
pemimpin dunia, bahwa kekuatan bersama itu penting untuk menghadapi
ancaman global yang sedang meningkat pesat,” kata Erick dalam keterangan
tertulis yang diterima Republika.co.id, Jumat (12/10).
Ia menyebutkan, ancaman global yang
dimaksud antara lain perubahan iklim, sampah plastik, dan sebagainya.
Namun, dalam menghadapi ancaman global tersebut, Presiden Jokowi justru
balik bertanya kepada para pemimpin ekonomi dunia.
Presiden mengingatkan, tahun depan
merupakan akhir dari sesi Game of Thrones. Hasilnya bisa ditebak, yang
menang akan babak belur, yang kalah juga akan tambah sengsara. Jokowi,
kata Erick, memberikan beberapa pilihan untuk menghadapi ancaman global,
rivalitas dan kompetisi atau kerja sama dan kolaborasi.
Melalui kalimat itu, Erick mengatakan,
pesan moral yang dibawa Jokowi adalah, konfrontasi dan perselisihan akan
mengakibatkan penderitaan bukan hanya yang kalah, tapi juga yang
menang. “Pesan moral Bapak Presiden memang sangat tepat dan mewakili
aspirasi dunia. Dunia sedang berhadapan dengan pilihan: lanjutkan
pertarungan (rivalry) atau mulai kerja sama (collaborate) menghadapi
tantangan besar dunia,” kata dia.
Ia menyebutkan, tantangan besar dunia
saat ini tak lain adalah perang dagang (trade war), gangguan teknologi
(technology disruption), dan ketidakpastiam dunia menghadapi perubahan
iklim, emisi karbon, dan peningkatan kesenjangan ekonomi (world
uncertainty — climate change, carbon emissions, increasing inequality).
Menurut Erick, pilihan yang tepat saat ini adalah menumbuhkan
kepercayaan terhadap sesama dan meningkatkan kerja sama di banyak
bidang.
“Sekali lagi, Presiden Jokowi
menunjukkan kelasnya sebagai pemimpin dunia. Jokowi mengajak para
pemimpin dunia dan pembuat kebijakan agar mengedepankan kerja sama dan
kolaborasi adalah jawaban atas masalah dan ancaman bersama,” kata dia.
Menurut Erick, kepemimpinan Indonesia
dalam forum IMF dan Bank Dunia di bahwa Presiden Jokowi tak lain
mewakili semangat negara-negara kecil, menengah dan besar. Jokowi
memwakili semua pihak untuk membangun tatanan dunia baru yang lebih baik
untuk semua. [ARN]
Dina Sulaeman: Hoax Demi Kekuasaan
JAKARTA – Denny Siregar
baru-baru ini menulis soal Nayirah, gadis 15 tahun yang mengaku sebagai
perawat di Kuwait. Dengan sangat meyakinkan, ia menangis menceritakan
betapa bayi-bayi dikeluarkan dari inkubator, lalu dibuang ke lantai.
Presiden AS saat itu, Bush sr. mengutip ‘kesaksian’ Nayirah berkali-kali
dalam pidatonya, sampai akhirnya Kongres menyetujui dimulainya Perang
Teluk I.
Sekitar setahun kemudian, ketika semua sudah terlanjur, ketika ratusan
ribu nyawa melayang akibat bom AS, baru ketahuan siapa sebenarnya
Nayirah. Ia ternyata putri Dubes Kuwait untuk AS. Skenario kesaksiannya
dirancang oleh sebuah perusahaan Public Relation besar dan mahal, Hill
& Knowlton.
Akting Nayirah bukan satu-satunya
kebohongan yang dipakai para kapitalis perang selama ini. Perang Suriah
juga menampilkan banyak aktor/aktris yang berbohong.
Baca: Bahaya Propaganda, Belajaralah dari Konflik Suriah
Saya sudah berkali-kali menulis soal hoax White Helmets. Ada pula aktris cilik, Bana Al Abed.
Dia disebut Tempo sebagai ‘Anne Frank dari Suriah’. Saya pun menulis
surat kritik kepada redaktur Tempo, ini saya copas sebagian:
===Majalah Tempo edisi 19-25 Desember
2016 memuat artikel berjudul “Anne Frank dari Aleppo Timur” (AFAT).
Artikel tersebut ditulis Sita Planasari dengan sumber The Star,The
Telegraph, The New York Times. AFAT bercerita tentang seorang anak usia 7
tahun, Bana Alabed yang secara sangat aktif bercuit di Twitter,
menceritakan bahwa dia dan keluarganya dalam kondisi gawat karena
dibombardir terus oleh tentara Suriah dan Rusia.
Baca: Denny Siregar: HOAX Adalah Senjata Penghancur Massal Tercanggih Saat ini
Sebagai sebuah media yang dikenal hebat
dalam investigasi, artikel AFAT seharusnya juga didasari dengan
investigasi online yang lebih lincah. Sejak dari kalimat pertama,
penulis seharusnya sudah memiliki kecerdasan untuk mengendus keanehan,
mengapa Bana Al Abed yang baru berusia 7 tahun sudah memiliki 200.000
[sekarang bahkan lebih dari 300.000] follower di Twitternya? Dengan
sedikit mengecek, akan ketahuan bahwa akun Twitter Bana baru dibuat pada
September 2016.
Follower pertama Bana adalah jurnalis
Aljazeera, Abdul Aziz Ahmed. Pengecekan di akun Facebook dan Twitter
keluarga Bana memperlihatkan bahwa ayah dan ibunya adalah anggota
kelompok militan. Kata “militan” adalah eufemisme, karena cara-cara
beroperasi mereka bersifat terorisme.
Bana juga pernah berfoto dengan jurnalis
Hadi Abdallah (foto mereka dimuat di akun Al Jazeera). Pengecekan
foto-foto lain menunjukkan Abdallah kedapatan berpose bersama pasukan Al
Nusra dan salah satu pimpinan pasukan teror di Suriah, Abdullah
al-Muhaysini (asal Saudi); bahwa anggota keluarga Bana juga pernah
berfoto akrab dengan Mahmoud Rslan, fotografer Omran Daqneesh (si “bocah
di kursi oranye”). Dan Rslan pun kedapatan berpose riang dengan
Norouddin Zinki yang menggorok leher bocah Palestina, Abdullah Isa,
sambil tertawa di depan kamera. Dari jejaring Bana ini terlihat bahwa
Bana berasal dari kelompok militan sehingga menjadikannya satu-satunya
‘narasumber’ dalam tulisan soal Aleppo sama sekali tidak valid.===
Baca: Surat untuk Tempo tentang Anne “Bana” Frank dari Aleppo
Aktris lain adalah dokter Saleyha Ahsan.
Ia menjadi narsum berita BBC; lalu juga tampil dalam film dokumenter
yang dibuat BBC mengenai ‘serangan senjata kimia di Umm Al Kubra’ dengan
judul ‘Saving Syria’s Children‘. Ketika dilacak foto-foto di akun
facebooknya, ketahuan, Dr Saleyha berpose dengan kelompok “mujahidin”
Libya yang angkat senjata menggulingkan Presiden Qaddafi.
Ada dokter lain yang juga digunakan BBC
dalam film dokumenter palsu itu, yaitu Dr. Rola (saya ceritakan juga di
buku saya Salju di Aleppo).
Dr Rola tampil dalam berita BBC tanggal
29 Agustus 2013. Di dalam berita itu, ditampilkan video amatir dari
lapangan (seolah direkam warga), dr. Rola mengatakan ada serangan “bom
napalm”. Lalu, esoknya, di film dokumenter Saving Syria’s Children,
rekaman yang sama juga ditayangkan BBC, tapi kali ini Dr. Rola
mengatakan ‘serangan senjata kimia’. Jadi, ada editan.
Yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah: SIAPA YANG MEMBONGKAR INI SEMUA?
Tak lain: NETIZEN.
Merekalah yang dengan tekun -tanpa
dibayar- membongkar rekam jejak digital White Helmets, Bana Al Abed, dr.
Saleyha, dan dr. Rola. Bahkan untuk kasus Dr Rola, netizen bela-belain
melakukan cek audio untuk memastikan bahwa yang terjadi adalah editing
suara, bukan dua kali rekaman. Seorang netizen Inggris bernama Robert
Stuart adalah orang yang paling ngotot menelusuri kasus ini dengan cara
melakukan analisis video dan mengungkap berbagai kejanggalan dalam
video, dengan amat detil.
Baca: Hoax BBC (Lagi dan Lagi)
Di Indonesia pun, inilah yang sedang
terjadi. Hoax Suriah sejak awal perang (2012) sudah dibongkar, bukan
oleh wartawan media terkemuka, tapi oleh netizen tanpa bayaran. Setiap
kali fanpage (atau seleb fb) pro-teroris posting satu foto, dengan
segera mereka lacak keasliannya. Lalu fanpage pro-teroris itu pun balas
dendam dengan me-report fanpage yang melawan narasi mereka (saya pernah cerita soal perang antar fanpage itu di sini)
Hal yang sama juga terjadi dalam politik
dalam negeri. Begitu banyak hoax disebar demi kekuasaan. Entahlah, apa
karena ormas-ormas radikal yang sangat berpengalaman dalam menebar hoax
Suriah ‘kebetulan’ kini semua bersatu di belakang salah satu capres?
Namun, sebagaimana dulu melawan hoax
Suriah, netizen Indonesia pun dengan penuh “militansi” juga bergerak
melawan hoax terkait politik dalam negeri. Bau hoax di balik wajah
bengep pemain teater berinisial RS itu, juga dengan cepat terendus oleh
netizen.
Artinya apa? Sudahlah, skenario hoax
berbiaya sangat mahal (White Helmets didanai totalnya ratusan juta USD
oleh AS dan Inggris, skenario Nayirah dibuat perusahaan PR besar AS,
biayanya juga jutaan USD; kasus dua dokter narsum BBC –gak main-main,
BBC!) pun berhasil dibongkar netizen. Apalagi hoax amatiran. Jadi,
Anda-Anda politisi yang sedemikian haus kekuasaan dan ingin ganti
presiden, sudahlah, bertarung saja dengan jujur. Percuma main hoax.
Zaman now, hoax apapun dengan mudah
dipatahkan. Karena selalu ada orang-orang di luar sana yang tak perlu
dibayar, tapi punya nurani untuk terus menjaga negeri ini. (SFA)
Sumber: Akun Fan Page Dina SulaemanSumber Berita : http://www.salafynews.com/dina-sulaeman-hoax-demi-kekuasaan.html
Falasi “Ganti Presiden-Ganti Sistem”
melekpolitik.com – Kemarin ada teman curhat:“Mbak, di grup WA, saya kasih klarifikasi soal Suriah, eh langsung dikomen: Oh kamu pasti Jokower! Kamu sadis ya, pro Assad? Kamu Syiah ya!”
Saya prihatin. Perang Suriah sudah berlalu 8 tahun, dan tentara Suriah hampir menang. Media-media mainstream sudah mulai jujur mengenai suplai senjata dari Barat kepada para teroris; para anggota parlemen negara-negara Barat sudah mengecam pemerintah mereka atas fakta ini; jurnalis-jurnalis independen sudah bebas berkunjung ke wilayah-wilayah yang semula dikuasai “jihadis” dan mendapatkan cerita dari tangan pertama bagaimana ngerinya hidup di bawah cengkeraman para “jihadis”.
Tapi di Indonesia, orang-orang itu masih tetap pada “keyakinan”-nya. Mereka tetap pada posisi awal: memframing siapa saja yang berbeda dengan mereka soal Suriah sebagai lawan politik. Artinya apa? Seperti saya sering bilang: analisis terhadap politik dalam negeri kita tidak bisa dilepaskan dari analisis geopolitik Timteng.
Cara pikir mereka adalah hasil indoktrinasi bertahun-tahun. Mereka dididik oleh ustadz/ah dari kelompok-kelompok yang berideologi sama dengan para “jihadis” Suriah. Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Anshoru ini-itu, Mujahidin ini-itu, Jamaah ini-itu, ISIS, dan lain-lain, semuanya punya basis ideologi yang sama: takfirisme (menganggap yang tidak sekelompok dengan mereka adalah kafir dan boleh dibunuh).
Masing-masing tentu saja mengklaim paling Islam, masing-masing mengaku “gerakan damai” dan mengaku bukan teroris. Tapi anehnya, mereka menyebut teroris-teroris di Suriah sebagai “mujahidin”. Beramai-ramai mereka menggalang dana untuk Suriah sambil mengibarkan bendera teroris Suriah.
Nah, hasil indoktrinasi bertahun-tahun itu apa bisa dengan mudah berubah? Apa dengan menjagokan tokoh muda, ngepop, tajir melintir, plus konon-soleh, ideologi mereka otomatis berubah?
No, mereka tetap di sana, tetap sama. Mereka tetap kaum yang sama, yang mencitrakan diri modern tapi punya cita-cita yang sama barbarnya dengan Al Nusra, Jaish Al Islam, Ahrar al Sham, dan ISIS.
Nah, dari sini, kita bisa memahami betapa bahaya dan sesatnya pernyataan seorang ustadz HTI (di sebuah video viral). Sambil menyetir mobil penuh gaya, ia mengatakan, “ganti presiden, ganti sistem”.
Ini kalimat berfalasi akut. Kalau dia mau ganti presiden, dia sedang bicara soal sistem demokrasi, soal pemilu. Ketika dia bicara ‘ganti sistem’, karena dia ustad HTI, tentu saja yang dimaksud adalah khilafah. Jadi, apa maksudnya mengatakan ganti presiden, ganti sistem? Sesat logika: satu frasa mengandung 2 konsep yang kontradiktif, istilahnya “contradictio in terminis”.
Kini soal ganti sistem. Tak perlu ditutup-tutupi, masih banyak masalah yang ada di negeri ini. Petani dan nelayan yang digusur korporasi, utang, pengangguran, kemiskinan, ketidaksetaraan ekonomi. Semua itu masalah. Tak ada negara Dunia Ketiga yang tak menghadapi masalah serupa.
Lalu, mari berpikir jernih: ini masalah. Tapi jalan keluarnya seperti apa?
Memerdekakan diri (separatisme)? Hampir pasti [yang paham geopolitik global pasti tahu] negara baru-kecil-SDM terbatas- tapi-kaya-SDA itu akan jatuh ke dalam kooptasi negara adidaya. Omong kosong, dalam tatanan global hari ini, bila ada provinsi di Indonesia memerdekakan diri, ujug-ujug mereka bisa makmur. Elitnya, mungkin iya, yang menjilat korporasi adidaya.
Ganti sistem? Setuju, tapi diganti dengan sistem ekonomi Pancasila, kembali ke sistem politik yang didasarkan permusyawaratan dan hikmat kebijaksanaan. Itulah sistem politik dan ekonomi yang sudah dirumuskan oleh Bapak Bangsa kita di UUD 1945 versi asli. Pasca reformasi, UUD 45 diamandemen oleh MPR (diketuai Amien Rais) sehingga menyeret bangsa ini ke sistem liberalisasi ekonomi dan politik.
Keadilan ekonomi WAJIB ditegakkan. Tapi cara menegakkannya, jelas bukan dengan cara sesat-logika ala kelompok takfiri. Karena, ideologi ala mereka sudah terbukti destruktif di Irak, Suriah, dan Libya.
Sekali lagi, apa yang mereka lakukan di Indonesia tak bisa dilepaskan dari analisis geopolitik global. Tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa mereka berjejaring dengan kelompok-kelompok “jihad” di Irak, Libya, dan Suriah. Tidak bisa dipisahkan dari tangan kekuatan adidaya: ketika rezim di Irak dan Libya tumbang, yang berpesta-pora adalah korporasi Barat.
Jadi, mari belajar lebih banyak, tentang sistem ekonomi Pancasila yang sudah dirumuskan oleh para pemikir hebat negeri kita. Indonesia yang berdikari, adil, dan makmur, adalah cita-cita bangsa ini. Tapi, kelompok takfiri tidak pernah mencita-citakan hal yang sama karena ideologi mereka adalah destruksi.
[sumber: anonim]
Falasi: berasal dari fallacia atau falaccy dalam bahasa Yunani dan Latin yang berarti ‘sesat pikir’. Falasi didefinisikan secara akademis sebagai kerancuan pikir yang diakibatkan oleh ketidakdisiplinan pelaku nalar dalam menyusun data dan konsep, secara sengaja maupun tidak sengaja. Ia juga bisa diterjemahkan dalam bahasa sederhana dengan ‘ngawur’.
Sumber Berita : http://www.melekpolitik.com/2018/08/27/falasi-ganti-presiden-ganti-sistem/
Terbongkar! Ternyata @FadliZon Sutradara HOAX Ratna Sarumpaet, Ini Buktinya!
MelekPolitikCom – Jika tidak ada aral melintang dan semuanya berjalan lancar, kemungkinan skenario kasus hoax Ratna sarumpaet akan berlangsung seperti ini:
31 Januari 2018
RS meminta dana perjalanan ke Chile kepada Dinas Pariwisata DKI via Anies.
21 Juli 2018
Disposisi diberikan oleh Anies berupa dana dan dukungan 100% kepada RS.
21 September 2018 (sore)
H-13 sebelum keberangkatan, RS sengaja operasi plastik sebagai alat bukti penganiayaan.
2 Oktober 2018 (dini hari)
H-2 isu Penganiayaan pertama kalinya mulai disebarkan oleh Fadli Z, Rachel M, Dahnil S, Fahri H.
2 Oktober (sore)
H-2 Prabowo bertemu RS utk menguatkan isu ini dengan menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM.
3 Oktober 2018
Sejumlah elite Partai Gerindra menduplikasi isu ini dan meminta Tito mundur bila tak bisa menangkap dalangnya.
3 Oktober 2018
Amien Rais, Hanum, FPI, Zulkarnaen, dll memperbesar isu tersebut, bahwa telah terjadi kekerasan oleh pemerintah.
4 Oktober 2018 (malam)
Berita penganiayaan terhadap RS (yang diposisikan sebagai oposisi), yang diduga dilakukan oleh rezim berkuasa makin santer.
4 Oktober 2018 (malam)
RS berangkat ke Chile melalui Soekarno Hatta.
4 Oktober 2018 (malam),
RS berada diluar yurisdiki RI.
5 Oktober 2018
RS tiba di tujuan, Santiago, Chile.
5 Oktober 2018
Kepada pers RS menyatakan kabur dari Republik Indonesia karena merasa ketakutan dan keselamatannya terancam.
12 Oktober 2018
RS memberikan kesaksian di acara Women Playrights International, bahwa ia adalah Saksi Hidup korban kekerasan oleh negara, dengan disertai bukti berupa foto-foto dan caption pemberitaan berbagai media massa.
Akhir Oktober 2018
RS meminta suaka ke beberapa negara lain, dengan alasan keselamatannya terancam bila kembali.
Oktober 2018 – April 2019
RS yang telah mendapat suaka di negara lain terus-menerus menggaungkan pernyataan bahwa pemerintah Jokowi adalah rezim otoriter yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan, untuk menghancurkan elektabilitas beliau.
Catatan:
RS sengaja memilih waktu oplas 13 hari (H-13) sebelum keberangkatannya, agar ketika tiba di Chile bengkaknya telah pulih sehingga tak ada orang yang bisa memastikan apakah itu karena oplas atau dianiaya.
Fadli Zon sengaja me-release berita penganiayaan 2 hari sebelum keberangkatan RS, dengan pertimbangan tidak akan cukup waktu bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk membongkar kasus ini, sehingga RS tidak akan dicekal saat terbang ke Chile.
Prabowo dengan sigap mendatangi RS di rumahnya. Hal yang sangat jarang dilakukan Prabowo untuk menjenguk satu per satu anak buahnya.
Apalagi langsung disusul dengan acara konferensi pers. Ini adalah kejadian yang amat langka.
Semuanya dilakukan dengan Sistematis, dan dirancang dengan timing yang matang.
Sayangnya, ada keteledoran di sisi RS.
Posisi HP-nya bisa terlacak 8 hari sebelumnya dari record jaringan selular dan pembayaran oplas yang menggunakan kartu debit atas namanya, menghancurkan skenario tersebut.
Padahal brosur sudah siap diedarkan dan massa tinggal turun ke jalan.
Ini kelihatannya hanya seperti sebuah Kekeliruan kecil.
Tapi di baliknya ada Skenario besar untuk menjatuhkan Presiden Joko Widodo.
[sumber]
Sumber Berita : http://www.melekpolitik.com/2018/10/06/terbongkar-ternyata-fadlizon-sutradara-hoax-ratna-sarumpaet-ini-buktinya/
Sumber Berita : https://slideplayer.info/slide/2989141/
Sesat Logika dan Gagal Paham di Pilgub NTT 2018
Penulis: Yon Lesek
"Kesalahan
tetaplah kelam dan laknat walau sejuta lilin dinyalakan. Tetapi,
kebenaran harus ditegakkan sekalipun langit runtuh." ***
Trauma, sesat pikir dan akhirnya gagal paham. Tiga hal ini amat
dahsyat dampak kehancurannya. Pertama-tama orang dibuat takut, terutama
takut akan ketidakpastian yang akan terjadi. Lantas akhirnya malas
mikir, pasrah, lalu cari gampang memilih yang pasti padahal palsu.Menciptakan trauma menjadi sasaran bidikan lawan dengan peluru-peluru siluman yang membangkitkan luka masa lalu sekadar untuk meneror dan menciptakan ketakutan. Dalam keadaan takut seseorang mudah kalut. Mudah pula digiring dengan harapan palsu.
Persis di sinilah hoax atau fake news menemukan lahan basah. Hoax (kabar bohong) atau fake news (berita palsu) mendapatkan momentum untuk bekerja efektif menebarkan racun yang mematikan nalar. Dengan itu pula kebenaran mudah dijungkirbalikkan hingga membuat orang sesat logika oleh permainan logika sesat atau fallacy (fallacia). Dengan pola ini banyak orang bisa dibuatnya gagal paham dan menganut paham yang gagal.
Apa yang sedang terjadi kini di tahun demokrasi ini memberitahu kita tentang kenyataan ini. Juga NTT tidak luput dari racun mematikan itu. Menjelang pilgub NTT pada 27 Juni 2018 ini, berseliweran permainan persepsi yang mencekam rasa dan nalar dengan logika sesat yang membuat banyak orang sesat pikir dan gagal paham.
Tentang hal ini saya coba memperlihatkan kepada Anda bagaimana sesat logika atau fallacy yang menghantui NTT saat ini lewat retorika dan permainan persepsi para politisi dan timses. Untuk itu saya harus berterima kasih pada Ahmad Yulden Erwin, yang tulisannya tentang "sesat pikir dalam logika" saya jadikan rujukan penjelasan ini.
Fallacy dan Paralogisme
Falacia atau Fallacy berasal dari bahasa Yunani dan Latin yang berarti ‘sesat pikir’. Fallacy didefinisikan secara akademis sebagai kerancuan pikir yang diakibatkan oleh ketidakdisiplinan pelaku nalar dalam menyusun data dan konsep, secara sengaja maupun tidak sengaja. Hal ini juga bisa diterjemahkan dalam bahasa sederhana dengan berpikir ‘ngawur’.
Ada dua pelaku fallacy yang terkenal dalam sejarah filsafat, yaitu mereka yang menganut Sofisme dan Paralogisme. Mereka melakukan sesat pikir dengan cara sengaja menyesatkan orang lain, padahal si pengemuka pendapat yang diserang tidak sesat pikir. Disebut demikian karena yang pertama-tama mempraktekkannya adalah kaum sofis, nama suatu kelompok cendekiawan yang mahir berpidato pada zaman Yunani kuno.
Mereka selalu berusaha memengaruhi khalayak ramai dengan argumentasi-argumentasi yang menyesatkan yang disampaikan melalui pidato-pidato mereka agar terkesan kehebatan mereka sebagai orator-orator ulung. Umumnya yang sengaja ber-fallacy adalah orang menyimpan tendensi pribadi dan lainnya.
Sedangkan yang berpikir ngawur tanpa menyadarinya adalah orang yang tidak menyadari kekurangan dirinya atau kurang bertanggungjawab terhadap setiap pendapat yang dikemukakannya atau biasa disebut dengan istilah paralogisme.
Paralogisme adalah pelaku sesat pikir yang tidak menyadari akan sesat pikir yang dilakukannya. Maka ulahnya menciptakan kekeliruan. Keliru artinya saya tidak tahu bahwa saya tidak tahu; ketika saya tahu bahwa saya tidak tahu baru saya tahu saya salah. Paralogisme seringkali disebabkan oleh ignorantia, kekurangan pengetahuan. Di sini keterbukaan dan pencerahan menjadi penting.
Fallacy lebih berbahaya daripada paralogisme karena pelakunya sadar akan keaesatan yang disebabkannya untuk memenangkan tujuan-tujuannya. Fallacy itu sangat efektif dan manjur untuk melakukan sejumlah aksi tak bermoral, seperti mengubah opini publik, memutar balik fakta, pembodohan publik, provokasi sektarian, pembunuhan karakter, memecah belah, menghindari jerat hukum, dan meraih kekuasaan dengan janji palsu.
Macam-macam Sesat Pikir (Fallacy)
Dalam sejarah perkembangan logika terdapat berbagai macam tipe kesesatan dalam penalaran. Secara sederhana kesesatan berpikir dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu kesesatan formal dan kesesatan material.
Kesesatan formal adalah kesesatan yang dilakukan karena bentuk (forma) penalaran yang tidak tepat atau tidak sahih. Kesesatan ini terjadi karena pelanggaran terhadap prinsip-prinsip logika mengenai term dan proposisi dalam suatu argumen (hukum-hukum silogisme).
Kesesatan material adalah kesesatan yang terutama menyangkut isi (materi) penalaran. Kesesatan ini dapat terjadi karena faktor bahasa (kesesatan bahasa) yang menyebabkan kekeliruan dalam menarik kesimpulan, dan juga dapat teriadi karena memang tidak adanya hubungan logis atau relevansi antara premis dan kesimpulannya (kesesatan relevansi).
Beberapa jenis fallacy dari jenis “Kesesatan Relevansi” (Kesesatan Material) yang sering dilakukan oleh kaum sofis sejak masa Yunani kuno, yakni: Fallacy of Dramatic Instance, Argumentum ad Hominem (Tipe Abuse dan Sirkumstansial), Argumentum Auctoritatis, Kesesatan Non Causa Pro Causa, Argumentum ad Baculum, Argumentum ad Misericordiam, dan Argumentum ad Ignorantiam.
Sesat Pikir Seputar Pilgub NTT
Mengamati permainan persepsi dan opini menjelang Pilgub NTT 2018 ini bisa ditemukan banyak logika sesat atau fallacy tersebut yang sengaja dimainkan untuk menciptakan trauma, sesat logika dan gagal paham yang membuat kita stagnan dan gagal move on.
Mari kita simak satu per satu logika sesat tersebut dan saya akan mengambil satu dua logika sesat yang sedang beredar di NTT saat ini sebagai contoh real untuk kita insaf dan sadar :
1. Fallacy of Dramatic Instance, yaitu kecenderungan untuk melakukan analisa masalah sosial dengan menggunakan satu-dua kasus saja untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum (over generalisation).
Contoh: “Semua yang mendukung FPI menuntut Kapolri Jenderal Tito Karnavian mencopot Kapolda Jawa Barat, Irjen Pol. Anton Charliyan terkait keterlibatannya sebagai pembina GMBI. Seperti diketahui, FPI dan GMBI memang tengah berkonflik saat itu (Januari 2017) . Dan salah satu anggota DPR RI Komisi III saat itu ikut mendesak Kapolri meminta klarifikasi. Kebetulan anggota DPR RI tersebut juga digadang-gadang sebagai calon Gubernur NTT. Maka, disebarlah persepsi bahwa sang cagub tersebut sehati dengan FPI.
Pembuktian Sesat Pikir: Benar bahwa FPI menuntut Kapolda Jabar tersebut untuk dicopot dengan alasan yang masuk akal. Saya juga dengan alasan yang masuk akal bahwa Kapolda harus diminta klarifikasinya soal keterlibatan dia sebagai pembina salah satu ormas, yang seharusnya netral. Tetapi saya bukan anggota FPI, bukan pula pendukung FPI. Bahkan aksi yang melanggar hukum oleh FPI saya tolak dengan keras. Mendukung dalam satu kasus yang memang saya yakini benar, itu yang saya lakukan, bukan mendukung buta semua aksi FPI.
Demikian juga halnya dilakukan oleh sang cagub tersebut, tidak serta merta menggeneralisasi sebagai sehati dengan FPI dalam arti total. Sama halnya ketika kita membela satu perbuatan baik yang dilakukan oleh seorang penjahat tidak serta merta dipersepsikan membela kejahatan.
2. Argumentum ad Hominem Tipe I (Abuse): Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika argumentasi yang diajukan tidak tertuju pada persoalan yang sesungguhnya, tetapi justru menyerang pribadi yang menjadi lawan bicara.
Contoh: Saya tidak ingin berdiskusi dengan Anda tentang persoalan NTT karena Anda selama ini berada di Jakarta, tidak tinggal di NTT dan tidak tahu apa-apa persoalan NTT.
Pembuktian Kesesatan Berpikir: Argumen Anda menjadi benar, bukan dengan membodohi atau menganggap orang lain di luar NTT tidak tahu apa-apa, tetapi karena argumen Anda disusun berdasarkan kaidah logika yang benar dan bukti-bukti atau teori yang telah diakui kebenarannya secara ilmiah. Bisa saja orang yang ada di luar sana tahu lebih baik dari kita yang ada di dalam sini. Tapi apa pun itu, jarak dan waktu tidak bisa menyekap dan menyekat kebenaran.
3. Argumentum ad Hominem Tipe II (Sirkumstansial): Sedikit berbeda dari argumentum ad hominem tipe I, maka sesat pikir tipe II ini menyerang pribadi lawan bicara sehubungan dengan keyakinan seseorang dan atau lingkungan hidup dan gendernya, seperti: kepentingan kelompok atau bukan kelompok, partai, dan hal-hal yang berkaitan dengan SARA.
Contoh: “Saya tidak setuju dengan apa yang dikatakan olehnya terkait Ahok dan Jokowi, karena ia bukan dari Partai pengusung Ahok dan Jokowi.” Ini sesat logika yang infantil.
Pembuktian Kesesatan Berpikir: Ketidaksetujuan bukan karena hasil penalaran dari argumentasi yang logis, tetapi karena lawan bicara berbeda partai politik. Logika seperti ini acapkali melanggengkan pemisahan di antara kita dengan alasan SARA. Ketika seorang Muslim mengkritik temannya yang Katolik karena perilakunya menyimpang dari ajaran Katolik, kita tidak bisa serta merta menganggapnya tidak benar hanya karena dia Muslim. Ingat, kebenaran itu satu, tetapi percikannya ada di mana-mana.
Sesat logika yang sama juga dengan kalimat agitasi di Pilgub NTT 2018 ini beredar: "Jangan pilih Gubernur yang diusung Partai Intoleran seperti Gerindra, PAN, PKS, Demokrat." Isu ini sempat viral melalui pernyataan seorang pejabat di sebuah forum yang kemudian videonya menyebar ke mana mana sampai sang pejabat itu tersandung laporan ke kepolisian oleh partai yang merasa dirugikan.
Kalo benar ada partai yang intoleran maka sudah pasti tidak ada tempatnya di negeri ini yang dilandasi empat pilar bernegara, yakni Pancasila, UUD'45, NKRI, dan pandangan Kebhinekaan sebagai fakta sosial yang diterima umum. Keempat partai tersebut adalah partai yang sah dan resmi menjadi partai pengusung yang berdiri di atas empat pilar negara tadi.
Belum lagi jika memantau beberapa kolaisi partai Pilgub di daerah lain, partai-partai berkoalisi random dan lentur. Seperti di Pilgub Jawa Timur, PDIP, Gerinda dan Pan bisa berkoalisi mesra mengusung satu paslon. So what, gitu?
Begitu juga halnya ketika ada perempuan yang maju sebagai kandidat pemimpin, langsung dikaitkan dengan isu emansipasi perempuan. Atau ada kandidat yang tekun beragama Islam, Protestan, Katolik, lantas diisukan akan agamis, jujur, bersih dan bermoral. Itu tidak identik dan simetris karena orang yang tidak tekun beragama pun bisa lebih suci dari mereka dan seorang pria pun bisa sangat emansipatoris dari perempuan.
4. Argumentum Auctoritatis: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika nilai penalaran ditentukan semata oleh keahlian atau kewibawaan orang yang mengemukakannya. Jadi suatu gagasan diterima sebagai gagasan yang benar hanya karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seorang yang sudah terkenal karena keahliannya.
Contoh: “Saya meyakini bahwa NTT akan suskses dan sejahtera melalui pengembangan dan pengelolaan sektor Pariwisata oleh salah seorang cagub NTT karena ia seorang Doktor pariwisata.”
Pembuktian Sesat Pikir: Kebenaran suatu pendapat bukan tergantung pada siapa yang mengucapkannya, meski ia seorang doktor, guru besar, atau pejabat tinggi, tetapi karena ketepatan silogisme yang digunakan berdasarkan aturan logika tertentu dan atau berdasarkan verifikasi terhadap fakta atau teori ilmiah yang ada. Banyak profesional juga ngawur kok.
5. Kesesatan Non Causa Pro Causa (Post Hoc Ergo Propter Hoc): Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika terjadi kekeliruan penarikan kesimpulan berdasarkan sebab-akibat. Orang yang mengalami sesat pikir jenis ini biasanya keliru menganggap satu sebab sebagai penyebab sesungguhnya suatu kejadian berdasarkan dua peristiwa yang terjadi secara berurutan. Orang lalu cenderung berkesimpulan bahwa peristiwa pertama merupakan penyebab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua adalah akibat dari peristiwa pertama–padahal urutan waktu saja tidak dengan sendirinya menunjukkan hubungan sebab-akibat.
Contoh: Jokowi nyapres dengan nomor urut dua dan menang, maka Anda meyakini bahwa cagub NTT bernomor urut dua akan menjadi Gubernur NTT.
Atau contoh lain: membuat surat untuk seseorang yang anda cintai dengan menggunakan pulpen A, dan ternyata cinta Anda diterima. Kemudian pulpen A itu anda gunakan untuk ujian, dan Anda lulus. “Ini bukan sembarang pulpen!” kata anda. “Pulpen ini mengandung keberuntungan.”
Pembuktian Sesat Pikir: Cinta Anda diterima oleh sebab orang yang Anda cintai juga menerima cinta Anda, bukan karena pena yang Anda gunakanuntuk menulis surat cinta. Anda menang atau kalah bukan karena lulus ujian, bukan karena pena yang Anda gunakan mengandung keberuntungan, tetapi karena Anda menguasai dengan baik materi yang diujikan dan dapat menjawab dengan benar sebagian besar materi ujian dengan tepat waktu.
Begitu juga halnya Ahok dan Jokowi menang bukan karena mendapat nomor urut 2, tetapi karena Ahok dan Jokowi kena di hati rakyat dan punya daya magis atau sesuatu yang bisa dipercaya untuk dipilih.
6. Argumentum ad Baculum: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika argumen yang diajukan berupa ancaman dan desakan terhadap lawan bicara agar menerima suatu konklusi tertentu, dengan alasan bahwa jika menolak akan berdampak negatif terhadap dirinya. Logika sesat jenis ini terbukti berhasil dimainkan di Pilgub DKI 2017 silam, dengan ancaman mayat, ayat, dan surga.
Contoh: “Jika Anda tidak mengakui kebenaran apa yang saya katakan, maka Anda akan terkena azab Tuhan. Karena yang saya ungkapkan ini bersumber dari ayat-ayat suci dari agama yang kita yakini.”
Logika sesat inilah juga yang dimainkan kaum Farisi dan Ulama Yahudi di depan pengadilan Pilatus dua ribu tahun silam: "Jika Anda membebaskan Yesus maka Anda bukan sahabat Kaisar." Yesus pun akhirnya diserahkan untuk dihukum mati oleh pengadilan Pilatus walau tidak ada kesalahan pun ditemukan sebagai alasan menjatuhkan hukuman mati itu.
Pembuktian Sesat Pikir: Tuhan tidak mengazab seseorang hanya karena orang itu tidak menyetujui pendapat Anda atau tafsir Anda terhadap ayat-ayat kitab suci. Banyak kali kebenaran ditabrak demi kekuasaan, harta, dan wanita.
7. Argumentum ad Misericordiam: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika argumen sengaja diarahkan untuk membangkitkan rasa belas kasihan lawan bicara dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan atau keinginan tertentu.
Contoh: “Hukuman mati terhadap pengedar narkoba itu harus dilakukan, karena alangkah sedihnya perasaan mereka yang keluarganya menjadi korban narkoba. Betapa beratnya hidup yang harus ditanggung oleh keluarga korban narkoba untuk menyembuhkan dan merawat korban narkoba, belum lagi bila keluarga mereka yang kecanduan narkoba itu meninggal. Betapa hancur hati mereka. Karena itu hukuman mati bagi pengedar narkoba itu adalah hukuman yang sudah semestinya.”
Pembuktian Sesat Pikir: Hukuman mati bagi penjahat narkoba itu tidak dijatuhkan berdasarkan penderitaan keluarga korban, tetapi karena pelaku tersebut terbukti melanggar perundangan-undangan yang berlaku di dalam satu proses pengadilan yang sah, bersih, dan adil.
Demikianpun halnya saat ini sebagian orang mendesak KPK untuk tidak melakukan OTT pada para pejabat yang sedang berlaga dalam kontestasi Pilkada karena mempertimbangkan besarnya biaya dan upaya yang dikeluarkan para kandidat tersebut jelang pemilu.
Ini nyata terjadi di NTT saat ini, ketika Marianus Sae (MS) diciduk KPK sehari sebelum penetapan resmi kandidat Gubernur NTT 2018. Argumentasi sesat pun dibangun dengan rasa kasihan bahwasanya gara-gara OTT KPK ini MS tidak bisa lagi ikut kampanye dan debat publik. Hanya wakilnya saja berjuang sendiri. Timpang rasanya dan tidak adil. Jargon kampanye yang bikin meler kayak opium pun didengungkan: You never walk alone!
Kita tidak bisa mendasari keputusan berdasarkan rasa kasihan semata. Jika salah katakan salah, jika benar katakan benar. Kesalahan tetaplah kelam dan laknat walau sejuta lilin dinyalakan. Tetapi, kebenaran harus ditegakkan sekalipun langit runtuh.
8. Argumentum ad Ignorantiam: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika seseorang memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada oleh sebab kita tidak mengetahui apa pun juga mengenai sesuatu itu atau karena belum menemukannya.
Contoh: “Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu tak ada gunanya, karena sampai sekarang korupsi masih terus terjadi.”
Pembuktian Sesat Pikir: KPK dibutuhkan bukan ketika korupsi sudah berhasil diberantas, tetapi justru saat korupsi masih merajalela di tingkat aparat penegak hukum lainnya (mafia peradilan), aparat birokrasi, dan pejabat politik.
Tentu masih banyak contoh sesat logika lainnya yang beredar luas selama ini, baik di jagat maya maupun di jagat nyata. Bagaimanapun canti dibungkus dan dikemas apik, semua itu tetap tidak elok karena dibangun oleh argumentasi yang sesat nalar, fallacy.
Mari bebaskan NTT dari permainan sesat logika ini agar rakyat NTT dapat memilih pemimpinnya yang tepat. Pesta demokrasi harus dimaknai sebagai momentum pendidikan politik yang beralaskan kebajikan politik, yakni bonum (kebaikan), verum (kebenaran) dan pulchrum (keindahan, elok, etis dan bermoral).
Falacy atau Sesat Pikir dalam Logika
Oleh: Ahmad Yulden Erwin*
Fallacy berasal dari bahasa Yunani dan Latin yang berarti ‘sesat pikir’. Fallacy didefinisikan secara akademis sebagai kerancuan pikir yang diakibatkan oleh ketidakdisiplinan pelaku nalar dalam menyusun data dan konsep, secara sengaja maupun tidak sengaja. Hal ini juga bisa diterjemahkan dalam bahasa sederhana dengan berpikir ‘ngawur’.
Ada dua pelaku fallacy yang terkenal dalam sejarah filsafat, yaitu mereka yang menganut Sofisme dan Paralogisme. Mereka melakukan sesat pikir dengan cara sengaja menyesatkan orang lain, padahal si pengemuka pendapat yang diserang tidak sesat pikir. Disebut demikian karena yang pertama-tama mempraktekkannya adalah kaum sofis, nama suatu kelompok cendekiawan yang mahir berpidato pada zaman Yunani kuno.
Mereka selalu berusaha memengaruhi khalayak ramai dengan argumentasi-argumentasi yang menyesatkan yang disampaikan melalui pidato-pidato mereka agar terkesan kehebatan mereka sebagai orator-orator ulung. Umumnya yang sengaja ber-fallacy adalah orang menyimpan tendensi pribadi dan lainnya. Sedangkan yang berpikir ngawur tanpa menyadarinya adalah orang yang tidak menyadari kekurangan dirinya atau kurang bertanggungjawab terhadap setiap pendapat yang dikemukakannya atau biasa disebut dengan istilah paralogisme.
Fallacy sangat efektif dan manjur untuk melakukan sejumlah aksi tak bermoral, seperti mengubah opini publik, memutar balik fakta, pembodohan publik, provokasi sektarian, pembunuhan karakter, memecah belah, menghindari jerat hukum, dan meraih kekuasaan dengan janji palsu.
Begitu banyak manusia yang terjebak dalam lumpur “fallacy”, sehingga diperlukan sebuah aturan baku yang dapat memandunya agar tidak terperosok dalam sesat pikir yang berakibat buruk terhadap pandangan dunianya. Seseorang yang berpikir tapi tidak mengikuti aturannya, terlihat seperti berpikir benar dan bahkan bisa memengaruhi orang lain yang juga tidak mengikuti aturan berpikir yang benar.
Dalam sejarah perkembangan logika terdapat berbagai macam tipe kesesatan dalam penalaran.
Secara sederhana kesesatan berpikir dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu kesesatan formal dan kesesatan material.
1. Kesesatan formal adalah kesesatan yang dilakukan karena bentuk (forma) penalaran yang tidak tepat atau tidak sahih. Kesesatan ini terjadi karena pelanggaran terhadap prinsip-prinsip logika mengenai term dan proposisi dalam suatu argumen (hukum-hukum silogisme).
2. Kesesatan material adalah kesesatan yang terutama menyangkut isi (materi) penalaran. Kesesatan ini dapat terjadi karena faktor bahasa (kesesatan bahasa) yang menyebabkan kekeliruan dalam menarik kesimpulan, dan juga dapat teriadi karena memang tidak adanya hubungan logis atau relevansi antara premis dan kesimpulannya (kesesatan relevansi).
Berikut ini adalah beberapa jenis fallacy dari jenis “Kesesatan Relevansi” (Kesesatan Material) yang sering dilakukan oleh kaum sofis sejak masa Yunani kuno:
1. Fallacy of Dramatic Instance, yaitu kecenderungan untuk melakukan analisa masalah sosial dengan menggunakan satu-dua kasus saja untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum (over generalisation).
Contoh: “Semua yang menentang hukuman mati para terpidana narkoba berarti adalah pelaku atau pendukung kejahatan narkoba. Saya melihat sendiri dengan mata kepala saya bahwa tetangga saya kemarin begitu ngotot menentang hukuman mati bagi pengedar narkoba, eh, ternyata seminggu kemudian ia tertangkap polisi karena mengedarkan narkoba.”
Pembuktian Sesat Pikir: Satu-dua kasus yang terjadi terkait pengalaman pribadi kita dalam satu lingkungan tertentu tidak bisa dengan serta merta dapat ditarik menjadi satu kesimpulan umum yang berlaku di semua tempat.
2. Argumentum ad Hominem Tipe I (Abuse): Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika argumentasi yang diajukan tidak tertuju pada persoalan yang sesungguhnya, tetapi justru menyerang pribadi yang menjadi lawan bicara.
Contoh: Saya tidak ingin berdiskusi dengan Anda, karena Anda seorang anak kecil yang bodoh dan tidak tahu apa-apa.
Pembuktian Kesesatan Berpikir: Argumen Anda menjadi benar, bukan dengan membodohi atau menganggap remeh orang lain, tetapi karena argumen Anda disusun berdasarkan kaidah logika yang benar dan bukti-bukti atau teori yang telah diakui kebenarannya secara ilmiah.
3. Argumentum ad Hominem Tipe II (Sirkumstansial): Berbeda dari argumentum ad hominem tipe I, maka sesat pikir tipe II ini menyerang pribadi lawan bicara sehubungan dengan keyakinan seseorang dan atau lingkungan hidupnya, seperti: kepentingan kelompok atau bukan kelompok, dan hal-hal yang berkaitan dengan SARA.
Contoh 3: “Saya tidak setuju dengan apa yang dikatakan olehnya terkait dengan agama Islam, karena ia bukan orang Islam.”
Pembuktian Kesesatan Berpikir: Ketidaksetujuan bukan karena hasil penalaran dari argumentasi yang logis, tetapi karena lawan bicara berbeda agama.
4. Argumentum Auctoritatis: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika nilai penalaran ditentukan semata oleh keahlian atau kewibawaan orang yang mengemukakannya. Jadi suatu gagasan diterima sebagai gagasan yang benar hanya karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seorang yang sudah terkenal karena keahliannya.
Contoh: “Saya meyakini bahwa pendapat dosen itu benar karena ia seorang guru besar.”
Pembuktian Sesat Pikir: Kebenaran suatu pendapat bukan tergantung pada siapa yang mengucapkannya, meski ia seorang guru besar sekalipun, tetapi karena ketepatan silogisme yang digunakan berdasarkan aturan logika tertentu dan atau berdasarkan verifikasi terhadap fakta atau teor ilmiah yang ada.
5. Kesesatan Non Causa Pro Causa (Post Hoc Ergo Propter Hoc): Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika terjadi kekeliruan penarikan kesimpulan berdasarkan sebab-akibat. Orang yang mengalami sesat pikir jenis ini biasanya keliru menganggap satu sebab sebagai penyebab sesungguhnya suatu kejadian berdasarkan dua peristiwa yang terjadi secara berurutan. Orang lalu cenderung berkesimpulan bahwa peristiwa pertama merupakan penyebab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua adalah akibat dari peristiwa pertama–padahal urutan waktu saja tidak dengan sendirinya menunjukkan hubungan sebab-akibat.
Contoh: Anda membuat surat untuk seseorang yang anda cintai dengan menggunakan pulpen A, dan ternyata cinta Anda diterima. Kemudian pulpen A itu anda gunakan untuk ujian, dan Anda lulus. “Ini bukan sembarang pulpen!” kata anda. “Pulpen ini mengandung keberuntungan.”
Pembuktian Sesat Pikir: Cinta Anda diterima oleh sebab orang yang Anda cintai juga menerima cinta Anda, bukan karena pena yang Anda gunakanuntuk menulis surat cinta. Anda lulus ujian, bukan karena pena yang Anda gunakan mengandung keberuntungan, tetapi karena Anda menguasai dengan baik materi yang diujikan dan dapat menjawab dengan benar sebagian besar materi ujian dengan tepat waktu.
6. Argumentum ad Baculum: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika argumen yang diajukan berupa ancaman dan desakan terhadap lawan bicara agar menerima suatu konklusi tertentu, dengan alasan bahwa jika menolak akan berdampak negatif terhadap dirinya
Contoh: “Jika Anda tidak mengakui kebenaran apa yang saya katakan, maka Anda akan terkena azab Tuhan. Karena yang saya ungkapkan ini bersumber dari ayat-ayat suci dari agama yang kita yakini.”
Pembuktian Sesat Pikir: Tuhan tidak mengazab seseorang hanya karena orang itu tidak menyetujui pendapat Anda atau tafsir Anda terhadap ayat-ayat kitab suci.
7. Argumentum ad Misericordiam: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika argumen sengaja diarahkan untuk membangkitkan rasa belas kasihan lawan bicara dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan atau keinginan tertentu.
Contoh: “Hukuman mati terhadap pengedar narkoba itu harus dilakukan, karena alangkah sedihnya perasaan mereka yang keluarganya menjadi korban narkoba. Betapa beratnya hidup yang harus ditanggung oleh keluarga korban narkoba untuk menyembuhkan dan merawat korban narkoba, belum lagi bila keluarga mereka yang kecanduan narkoba itu meninggal. Betapa hancur hati mereka. Karena itu hukuman mati bagi pengedar narkoba itu adalah hukuman yang sudah semestinya.”
Pembuktian Sesat Pikir: Hukuman mati bagi penjahat narkoba itu tidak dijatuhkan berdasarkan penderitaan keluarga korban, tetapi karena pelaku tersebut terbukti melanggar perundangan-undangan yang berlaku di dalam satu proses pengadilan yang sah, bersih, dan adil.
8. Argumentum ad Ignorantiam: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika seseorang memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada oleh sebab kita tidak mengetahui apa pun juga mengenai sesuatu itu atau karena belum menemukannya.
Contoh: “Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu tak ada gunanya, karena sampai sekarang korupsi masih terus terjadi.”
Pembuktian Sesat Pikir: KPK dibutuhkan bukan ketika korupsi sudah berhasil diberantas, tetapi justru saat korupsi masih merajalela di tingkat aparat penegak hukum lainnya (mafia peradilan), aparat birokrasi, dan pejabat politik.
* Penyair, menekuni kajian filsafat, sejarah, ekonomi, keramik, sastra, seni rupa, dan sosial-budaya
Sumber Berita : https://www.teraslampung.com/falacy-atau-sesat-pikir-dalam-logika/
Kelompok Sakit Jiwa yang Ngebet Berkuasa
KELOMPOK SAKIT JIWA YANG NGEBET BERKUASA. Di
negeri ini ada sekelompok orang aneh, kelompok sakit jiwa tapi ngebet
sekali pingin berkuasa. Mereka teriak “Ganti Presiden” tapi bingung jika
ditanya siapa kader mereka yang dicintai rakyat dan layak jadi
presiden. Mereka gemar sebar fitnah, hoax, isu SARA dan ujaran kebencian
tapi justru merasa sedang menjalankan perintah agama. Mereka mengaku
sebagai pejuang agama tapi perilaku dan tindakannya jauh dari nilai
agama bahkan aksi dan sepak terjangnya justru malah semakin sukses
mempermalukan agama jadi bahan tertawaan. Mereka mengaku beragama tapi
mulut fasih memaki “bangsat, anjing, babi, halal darahnya”.
Hanya
soal kaos “Ganti Presiden” saja mereka tega mempersekusi ibu dan anak
di acara CFD. Tapi bukannya mengakui, menyesali dan meminta maaf atas
insiden memalukan itu namun mereka justru balik memfitnah bahwa ibu dan
anak itu adalah penyusup yang melakukan akting dan rekayasa untuk
menyudutkan mereka. Mereka suka mendzalimi tapi justru memutar balik
fakta dan gantian teriak merasa sebagai pihak yang didzalimi.
Bayangkan
bagaimana jika orang-orang licik dengan kwalitas rendahan semacam ini
bisa berkuasa di negeri ini? Pastilah ini bakal jadi bencana dan
kemalangan besar bagi bangsa ini. Jika saat kampanye saja mereka
sekasar, sebarbar dan seprimitif ini maka bagaimana jika mereka memegang
amanah dan tanggung jawab besar dalam pengelolaan negara dengan
anggaran ribuan trilyun? Pastilah bakal segera hancur nasib negara ini.
Ideologi
konflik, politik identitas, politik kebencian, isu SARA,
primordialisme, radikalisme dan sentimen agama adalah alat utama agar
mereka bisa berkuasa di negeri ini. Tempat ibadah dijadikan ajang
kampanye, propaganda, sarana menghasut massa, ajang caci maki dan
menyebar kebencian. Bagi mereka asal Anda bisa bertakbir sambil memaki
Jokowi, pemerintah dan kyai NU, Anda sudah akan langsung disebut ulama
tanpa harus susah payah menimba ilmu agama di pondok pesantren selama
puluhan tahun. Instan, cepat dan setengah gila !!
Tidak
ada program, misi visi dan prestasi kerja nyata yang bisa mereka
tawarkan selain hanya politik adu domba, siasat pecah belah dan
penyebaran fitnah dan kebencian saja yang mampu mereka lakukan. Hanya
itu yang mereka bisa lakukan karena sesungguhnya hanya itulah hal yang
mereka punya. Hanya kebencian yang bisa mereka tunjukkan karena hanya
itulah yang ada dalam hati dan pikiran mereka. Parahnya ajaran radikal
mereka sudah merasuk cukup dalam mulai dari sekolah TK, SD, SMA,
Perguruan Tinggi, BUMN hingga instansi-instansi negara.
Fungsi
oposisi yang mereka jalankan bukanlah oposisi yang cerdas, berkwalitas,
berimbang, profesional dan punya kontribusi untuk negara melainkan
sekedar libido berkuasa dan hasrat menjegal lawan dengan segala cara.
Mereka tidak pernah berpikir untuk mengabdi dan melayani demi kebaikan
bangsa melainkan hanya ambisi berkuasa bagi kelompoknya saja. Setiap
saat mereka sibuk mencari dan menyebarkan isu, hoax dan fitnah baru
untuk menjatuhkan pemerintahan.
Mereka
teriak isu kebangkitan PKI padahal yang sebenarnya bangkit adalah
kelompok radikal dan sel-sel teroris. Mereka teriak isu serangan tenaga
kerja asing padahal tenaga kerja Indonesia lebih banyak yang kerja di
luar negeri dan disana tidak ada seruan “serangan tenaga kerja
Indonesia”. Mereka teriak soal hutang luar negeri padahal rasio hutang
kita sehat dan memiliki peringkat bagus sebagai negara tujuan investasi.
Mereka teriak Jokowi anti Islam padahal pemerintah sekedar anti
radikalisme dan kampretisme yang membahayakan kedamaian, kerukunan dan
kesatuan bangsa.
Jokowi tidak pernah
korupsi sapi, tidak pernah culik orang, tidak pernah bakar sekolah dan
tidak pernah bikin chat porno tapi dibenci setengah mati bagaikan setan
saja. Sementara yang korupsi sapi, yang pernah culik orang dan yang
bikin chat mesum justru dibela layaknya orang suci. Yang bersih, jujur
dan mengabdi untuk rakyat malah dimusuhi sementara yang ga jelas manfaat
dan jasanya bagi negara justru disanjung puji bagai pahlawan.
Mereka
seringkali lebih sok peduli pada bangsa lain daripada terhadap bangsa
sendiri. Mereka ngamuk ketika ada warga Palestina terusir tapi diam
seribu bahasa saat negeri sendiri diguncang teror bom yang menewaskan
banyak orang. Mereka bikin demo membela pemain sepakbola negara lain
yang kebetulan seagama hanya karena urusan sepele yaitu cedera dalam
permainan tapi diam seribu bahasa saat komunitas Ahmadiyah di negeri ini
diserang, diusir, dirusak, dibakar bahkan dibunuh oleh kelompok mereka.
Saya
rasa hanya orang gila saja yang membawa urusan olahraga ke ranah agama
dan politik. Hanya orang sinting saja yang menganggap satu orang atlet
sepak bola luar negeri sebagai representasi umat Islam sedunia yang
harus dibela, disakralkan dan tidak boleh disenggol sampe cedera padahal
cedera dalam olahraga adalah hal yang wajar dan biasa. Sungguh
memalukan, sampai sekonyol dan segoblok itulah sikap mereka dalam
beragama.
Mereka juga lebih bangga
dengan negara lain tapi justru merendahkan negerinya sendiri. Mereka
menyanjung puji pemimpin negara lain seperti Raja Arab dan Presiden
Turki tapi justru mencaci maki Presiden sendiri. Padahal jika Jokowi
punya kebijakan seperti Raja Arab dan Presiden Turki pasti sudah ada
ribuan dari mereka yang masuk penjara atau kehilangan kepalanya karena
dianggap melawan negara atau menghina kepala negara.
Anehnya
lagi, mereka demo ketika ada satu warga Palestina yang tewas dibunuh
Israel tapi diam seribu bahasa saat ada 10.000 warga Yaman yang tewas
dibantai militer Arab Saudi. Jika pembantaian dilakukan oleh sesama
orang Islam mereka diam saja. Mereka sama sekali bukan pembela
kemanusiaan melainkan sekedar budak, kacung atau bahkan zombie yang
memperjuangkan ego dan ambisi kelompoknya saja.
Para
tokoh, ormas dan partai mereka tidak pernah mengutuk aksi terorisme
seakan teroris adalah bagian dari mereka sendiri yang wajib dilindungi.
UU revisi terorisme diganjal dan terkatung-katung selama 2 tahun di
Senayan dan baru disahkan setelah ada banyak korban tewas akibat ulah
barbar para teroris, desakan masyarakat dan ultimatum dari Presiden yang
akan terbitkan Perppu untuk memberantas terorisme.
Mereka
bahkan teriak HAM bagi para pelaku teror tapi tidak pernah memikirkan
HAM para korban teror dan masyarakat lain yang terancam hak hidupnya.
Wakil Ketua MPR dari partai mereka bahkan usul pelaku teror ditembak
pake peluru bius saja seolah para teroris itu juga nge-bom nya hanya
pake bom bius saja.
Mereka ngamuk dan
bikin demo berjilid-jilid saat ada pejabat publik yang bilang “jangan
mau dibodohin pake……” tapi justru diam dan bahkan membela saat ada
penistaan lebih parah yang dilakukan oleh kelompok mereka sendiri dengan
perkataan “Prabowo
titisan Allah SWT”. “Nabi Muhammad gagal mewujudkan rahmatan lil
alamin” dan “Kitab suci adalah fiksi.” Mereka rame-rame demo saat ada
musisi yang terlibat video porno tapi diam saja saat ada anak /
keponakan majikannya yang terlibat video porno. Mereka juga diam saja
bahkan malah membela soal kasus chat mesum dan foto porno yang
melibatkan junjungannya.
Mereka
sangat mudah mengkafirkan orang lain dan menganggap mereka yang tak
sepaham dengan kelompoknya sebagai sesat, munafik, halal darahnya dan
bakal masup neraka. Mereka berlagak sok suci dan sok benar sendiri
padahal kelakuan, etika, adab dan sopan santunnya kadang malah di bawah
rata-rata. Menyembah sandal jepit dan ember pecah tapi tidak membunuh
orang lain bagi saya adalah lebih baik daripada yang mengaku menyembah
Tuhan Yang Maha Pengasih tapi malah tega membunuh sesama manusia.
Mereka
bilang Pancasila haram tapi justru menganggap air pipis onta dan minum
air bekas olahan tinja adalah halal. Mereka bilang demokrasi haram tapi
tidak pernah mengecam aksi penipuan trilyunan duit puluhan ribu calon
jemaah umroh dan gubernur yang korupsi 6 milyar hanya karena pelakunya
termasuk bagian dari kelompok mereka sendiri. Mereka bilang mengucap
selamat hari raya agama lain haram tapi tidak pernah ada kutukan dan
fatwa sesat untuk terorisme seolah terorisme itu halal.
Mereka
takut dengan patung dan simbol agama lain tapi tidak takut dosa karena
bikin hoax dan fitnah. Mereka berfatwa bahwa ngopi di Starbucks bakal
masup neraka. Ada juga yang berfatwa bahwa yang percaya bumi bulat bakal
masup neraka tapi tak ada satupun ustadz mereka yang berfatwa bahwa
pelaku terorisme yang sudah membunuh banyak orang bakal masup neraka.
Bahkan ustadz mancung sendiri bilang bahwa bisa saja Imam Samudra yang
sudah bunuh 200 orang malah masuk sorga. Saya rasa hanya orang bodoh
saja yang percaya bahwa membunuh bisa mendapat grand prize sorga.
Mirisnya lagi yang model gini malah banyak pengikutnya.
Mereka
bilang Jokowi kafir tapi justru bilang ISIS yang hobi perkosa, hobi
bunuh dan hobi penggal kepala sebagai sesama saudara yang tidak boleh
dihujat dan dimusuhi. Bahkan teroris Santoso yang pernah gorok leher
seorang petani tua justru dianggap sebagai pahlawan yang mayatnya
tersenyum dan wangi bau sorga. Parahnya lagi pendukung terorisme semacam
ini bisa duduk di Senayan sebagai wakil rakyat dan pembuat
undang-undang. Jika sudah begini maka Indonesia mungkin akan segera
berubah menjadi Indonistan.
Mereka
bikin acara “Peluk Aku” di CFD agar orang bersimpati pada mereka.
Padahal justru merekalah yang seharusnya bersimpati dan memeluk keluarga
para korban bom teror. Mereka juga bikin film “Power of Love” untuk
mendokumentasikan peristiwa demo yang didalamnya penuh ujaran kebencian
seperti “Bunuh, gantung, bakar, penggal, salib, penjarakan dll”. Sungguh
aneh, mereka tidak mau menunjukkan rasa simpati, cinta dan kasih sayang
terlebih dahulu tapi menuntut agar dicintai dan disayangi.
Saat
aksi demo di DKI mereka mengajari anak-anak kecil di bawah umur untuk
ikut demo bahkan teriak dan nyanyi “Bunuh, Bunuh”. Tapi saat ada
keluarga religius yang menjadi pelaku teror bom bunuh diri di Surabaya
mereka malah bilang “Teroris tak beragama”. Mereka selalu menyangkal,
berdalih, menyalahkan pihak lain dan cari alasan dengan mengatakan bahwa
aksi teror hanyalah rekayasa dan pengalihan isu saja tanpa memikirkan
bagaimana perasaan keluarga para korban teror. Lebih parah lagi mereka
selalu cuci tangan dan mencari kambing hitam bahwa ini adalah konspirasi
polisi, aparat, pemerintah hingga Amerika, Freemason, Illuminati,
Aliens, agen CIA, agen Zionis hingga agen togel dan agen elpiji segala.
Mereka
nyinyir soal anggaran tim BPIP sebesar 6 milyar tapi diam saja dengan
anggaran TGUPP sebesar 28 milyar. Padahal tim BPIP memiliki amanat dan
tanggung jawab besar untuk seluruh negara dalam mengawal Pancasila dan
terdiri dari tokoh-tokoh kompeten seperti mantan Presiden, mantan
Wapres, pemimpin ormas agama terbesar (NU), ketua majelis ulama dll.
Sementara tim TGUPP hanya bertugas untuk satu wilayah DKI saja dan
itupun terdiri dari orang-orang yang ga jelas dan ga jelas pula kerja,
tugas dan manfaatnya selain hanya jadi penggembira dan tim hore saja.
Pejabat
publik yang kompeten, profesional, jujur, bersih dan anti korupsi
dibenci dan dijatuhkan hanya karena alasan beda agama. Sementara yang ga
becus kerja dan suka bagi-bagi jatah duit rakyat buat kelompoknya tetap
dibela hanya karena dianggap seiman. Tapi yang bersih, jujur, anti
korupsi dan seiman seperti Jokowipun akan tetap dibenci, dimusuhi dan
berusaha dijatuhkan hanya karena tidak sepaham dengan mereka dan tidak
mendukung agenda besar mereka untuk mengubah dasar negara dan menjadikan
NKRI sebagai Negara Agama.
Sungguh
lucu, konyol, menggelikan sekaligus menyedihkan saat kita melihat ada
sekumpulan orang sakit jiwa yang ngebet berkuasa dengan menghalalkan
segala cara. Mereka merasa paling benar dan paling suci dengan menafikan
pihak lain. Apapun akan dilakukan hanya agar kelompoknya bisa berkuasa
meskipun itu harus menjual martabat dan kehormatan dirinya. Jangankan
kehormatan dirinya, bahkan martabat bangsa, Tuhan dan agamapun juga siap
mereka jual dan gadaikan.
Bagi
mereka “politik identitas & politik kebencian” adalah komoditas yang
harus bisa mereka manfaatkan sebesar-besarnya demi tujuan &
kepentingan mereka. Mereka bersembunyi dibalik logika absurd boleh
“membenci karena Tuhan” seolah Tuhan adalah Maha Pembenci yang
memerintahkan mereka untuk juga menjadi kaum pembenci. Ideologi
kebencian yang sudah meluluhlantakkan banyak negara di Timur Tengah ini
ingin dibawa kesini untuk menghancurkan negeri ini. Dan mereka akan
terus membenci sampe grup band Metallica bikin album religi.
Mabok
dogma memang bisa bikin orang kehilangan akal sehat dan hati nuraninya.
Bahaya dari racun ideologi Kampretisme yang berkembang di masyarakat
saat ini bisa membuat kita kehilangan nalar, jati diri dan sifat
kemanusiaan kita. Bangsa ini bakal hancur, pecah, terpuruk dan ngesot
mundur ke belakang jika para Kampreters ini berkuasa. Jika silent
majority yang waras diam saja menyaksikan semua kekonyolan ini maka akan
lebih cepat lagi bangsa ini runtuh dan kembali ke pola pikir dan
peradaban ala abad pertengahan.
Mereka
tidak mau mengakui kinerja bagus Presiden dalam membangun infrastruktur
tapi malah mengklaim hasil kerja tersebut sebagai prestasi dari tokoh
kelompok mereka yang sebenarnya ga kerja apa-apa. Jokowi
yang kerja tapi mereka berterima kasihnya sama Aher. Ahok yang kerja
tapi mereka klaim sebagai prestasi Anies. Jokowi yang sibuk kerja
pontang-panting siang malam demi kesejahteraan negara tapi mereka justru
mengidolakan Erdogan presiden Turki yang ga ada jasa dan hubungannya
sama sekali dengan mereka.
Mereka
teriak anti aseng tapi sebar proposal ngemis duit THR pada para
pengusaha. Saat ketahuan, mereka jadi malu dan bilang itu cuma buat
lucu-lucuan. Padahal kenyataannya di lapangan jika hal itu tidak
dipenuhi maka biasanya akan muncul perusakan, ancaman dan intimidasi.
Mereka teriak anti kapir tapi tidak malu terima gaji dan THR dari boss
dan majikannya yang katanya kapir.
Mereka
teriak anti kapir tapi tidak malu sehari-hari pake produk hasil ilmu
pengetahuan dan tehnologi bangsa kapir. Hampir semua tehnologi dan
fasilitas yang kita gunakan saat ini (seperti telepon, internet, mobil,
motor, televisi, listrik dll) adalah jasa, sumbangsih, ide dan karya
dari bangsa kapir. Jadi nikmat kapir manakah yang mereka dustakan?
Mereka
getol teriak “Ganti Presiden” tapi tidak malu mudik lewat jalan tol
yang dibangun oleh Presiden. Tapi karena bukan Presiden Turki maka semua
jasa dan jerih payah ini tidak bakalan mereka akui. Ini bukan saja
tidak tahu malu, tidak tahu diri, tidak tahu bersyukur, tidak tahu balas
budi dan tidak tahu terima kasih tapi memang sudah sakit jiwa akut
sejak dari sononya. Sakit jiwa yang diridloi Tuhan katanya. Tuhan kok
paranoid, begitu jawaban saya….
Salam Waras nan Tak Kunjung Datang
#2019 Ganti Otak Kampret (Zazuli M)
Sumber Opini : June 8, 2018 https://www.antimedia.id/kelompok-sakit-jiwa-yang-ngebet-berkuasa/
Libya, Suriah, dan Klaim Dakwah/Antikekerasan HTI
Republika (24/10) menurunkan berita dengan judul bombastis: “Aksi Tolak Perppu Ormas Jadi Lautan Bendera Tauhid”. Ngawurnya ada dua, pertama apakah sih definisi bendera tauhid sebenarnya (apa kalau tidak pakai bendera itu artinya tidak bertauhid?) Apakah bendera HTI itu bendera tauhid? Ini silahkan didiskusikan dengan ahli agama, setahu saya sih tidak demikian. Kedua, judul itu jelas ingin membangun opini: Perppu Ormas (sekarang sudah jadi UU) adalah anti Islam. Menariknya, wartawan Republika itu juga menyebutkan bahwa tidak ada satupun bendera merah putih yang terlihat.
HTI selalu mengklaim diri sebagai semata-mata organisasi dakwah Islam dan atas alasan itu, Perppu Ormas (kini UU) secara salah kaprah disebut anti Islam. Padahal yang disasar ormas-ormas yang ideologinya membahayakan NKRI (anti Pancasila, pro kekerasan, dll).
Jawaban untuk Klaim HTI
(1) HTI Organisasi Dakwah?
Klaim bahwa HTI adalah organisasi dakwah bertentangan dengan pernyataan yang dimuat di situs-situs HT di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang secara jelas menyatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah partai politik yang memiliki tujuan untuk mendirikan kekhalifahan Islam.
Saat diwawancarai oleh Aiman dari Kompas TV (12/6), Ismail Yusanto mengelak menjawab, bagaimana proses terbentuknya kekhilafahan serta siapa dan dari negara mana asal sang khalifah.
Pertanyaan bagaimana proses terbentuknya khilafah adalah poin yang amat krusial dalam mengetes kesahihan klaim-klaim antikekerasan yang disampaikan oleh HTI. Bila kita melacak jejak digital pernyataan-pernyataan HTI terkait upaya pendirian khilafah di Libya dan Suriah, kita justru mendapati bahwa organisasi ini menyebarkan narasi yang menyerukan kekerasan. Menurut HTI, rezim Qaddafi dan Assad adalah rezim taghut, karenanya perlu jihad untuk mendirikan khilafah di kedua negara itu.
Pada 23 Februari 2011, Ismail Yusanto merilis siaran pers berjudul “Seruan HTI untuk Kaum Muslimin di Libya Tumbangkan Rezim Diktator, Tegakkan Khilafah”. Dalam siaran pers itu Ismail menyatakan, “penguasa Libya memimpin dengan penuh kezaliman, menggunakan tekanan, paksaan dan kekangan… rakyatnya hidup dalam kemiskinan yang sangat dan kelaparan yang tiada terkira.”
Lalu pada Agustus 2011, situs HTI merilis siaran pers ucapan selamat atas tumbangnya “rezim tiran Qaddafi”.
HTI mengabaikan data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa sebelum 2011, Libya adalah negara dengan Human Development Index (HDI) tertinggi di Afrika. Pada tahun 2010, HDI Libya berada di peringkat 57 dunia. Ini adalah posisi yang jauh lebih baik darpada Indonesia yang baru sampai di peringkat 112.
Dalam situs UNDP dicantumkan bahwa pengukuran HDI dimaksudkan untuk mengetahui kondisi kehidupan manusia, dengan berbasis tiga hal berikut ini: kehidupan yang sehat, panjang umur, dan kreatif; memiliki pengetahuan, serta memiliki akses terhadap sumber daya yang diperlukan untuk memiliki kehidupan yang layak.
Pada 2010, pendapatan penduduk per kapita Libya adalah US$ 14.582. Bandingkan dengan Indonesia pada saat itu yang hanya US$ 2.149. Warga Libya menikmati pendidikan dan layanan kesehatan gratis, serta subsidi berlimpah di sektor energi dan pangan.
Dan ironisnya, di balik seruan-seruan jihad serta gegap-gempita HTI pasca tergulingnya Qaddafi, yang terjadi di Libya sesungguhnya adalah agenda penggulingan kekuasaan yang dilakukan oleh NATO. Prosesnya diawali dengan demo-demo antipemerintah oleh para “mujahidin” Libya yang berafiliasi dengan Al-Qaidah. Lalu, setelah terjadi bentrokan senjata dengan tentara pemerintah, mereka meminta kepada PBB untuk turun tangan, mengklaim telah terjadi “kejahatan kemanusiaan”.
Hanya dalam waktu sebulan, di luar kewajaran, Dewan Keamanan PBB merilis Resolusi 1973/Maret 2011, yang memberikan mandat kepada NATO untuk memberlakukan no fly zone. Praktis resolusi ini memberi kesempatan kepada NATO untuk membombardir Libya. Negara yang pernah dijuluki “Swiss-nya Afrika” itu pun luluh lantak. Qaddafi terguling dan korporasi multinasional pun berpesta-pora karena mendapatkan proyek-proyek rekonstruksi dan eksplorasi minyak di negara yang amat kaya sumber daya alam itu.
(2) HTI Antikekerasan?
Skenario Resolusi 1973 yang cacat prosedur ini (telah dibuktikan dalam sebuah disertasi di prodi Hubungan Internasional Universitas Padjajaran) ingin diulangi di Suriah, sejak 2012. Namun, kali ini Rusia dan China memvetonya berkali-kali. Backing dari Rusia dan China, serta Iran dan Hizbullah Lebanon terhadap pemerintah Suriah, membuat agenda penaklukan NATO tak semulus Libya.
Namun, yang penting dicatat, peran “mujahidin” sebagai proksi NATO di Libya kembali terulang di Suriah. Bahkan tokoh-tokoh Al-Qaidah Libya-lah yang merintis pembentukan milisi-milisi jihad Suriah. Laporan jurnalis Mary Fizgerald dari Foreign Policy menyebutkan bahwa salah satu komandan pemberontak Libya yang paling terkenal, Al-Mahdi Al-Harati, bersama lebih dari 30 milisi Al-Qaidah Libya datang ke Suriah untuk mendukung Free Syrian Army (FSA) serta membentuk milisi Liwaa Al-Ummah.
Lalu, di mana peran HTI? Sama seperti Libya, HTI menjadi cheerleader yang sangat aktif dalam menyerukan jihad Suriah. Pada Januari 2013, HTI bahkan sangat optimistis menyatakan bahwa “khilafah di Suriah sudah dekat”. Hafidz Abdurrahman, Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI, menyatakan, “Hizbut Tahrir terus bekerja keras untuk mengawal Revolusi Islam ini hingga mencapai tujuannya, yaitu tumbangnya rezim kufur Bashar, kemudian menggantikannya dengan khilafah.”
Menurut Hafidz, proses berdirinya khilafah di Suriah bisa dipercepat dengan “…melumpuhkan kekuasaan Bashar. Bisa dengan membunuh Bashar, seperti yang dilakukan terhadap Qaddafi, atau pasukan yang menopang kekuasaan Bashar.”
Dari kalimat ini terlihat bahwa metode yang diusung HTI dalam mendirikan kekhalifahan adalah metode destruktif.
Bila diamati rekam jejak narasi HTI terkait Suriah di situs-situs mereka: sangat jelas mereka memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok teror. Ini pun sudah diakui juga secara terbuka oleh Ismail Yusanto bahwa Hizbut Tahrir pernah mengikuti sumpah setia dengan banyak kelompok “mujahidin” Suriah, termasuk dengan Al-Nusra. Pada 9 September 2014, situs HTI memuat ucapan duka cita atas tewasnya pimpinan pasukan “jihad” Ahrar Al-Sham.
Jabhah Al-Nusrh dan Ahrar Al-Sham adalah organisasi teror yang sangat brutal, yang lahir dari rahim Al-Qaidah. Situs counterextrimism.com menyebutkan bahwa Al-Nusra didirikan oleh Abu Mus’ab Al-Zarqawi yang merupakan mantan anggota HT. Kelompok Al-Muhajirun, yang dituduh bertanggung jawab atas 50% aksi-aksi teror di Inggris sejak 1995, didirikan oleh Omar Bakri Muhammad, yang juga mantan pimpinan HT.
Di Indonesia, kita mengenal nama Muhammad Al-Khaththath yang ditangkap polisi dengan tuduhan makar, serta Bahrun Naim, yang disebut-sebut sebagai dalang bom Sarinah. Keduanya adalah mantan anggota HTI.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa klaim HTI bahwa mereka adalah ormas antikekerasan adalah kamuflase belaka. Kenyataannya, mereka secara aktif menyeru masyarakat untuk mendirikan khilafah. Selain itu, di saat yang sama mereka memprovokasi masyarakat agar bersikap antipati terhadap pemerintah yang dapat berujung pada aksi-aksi kudeta berdarah seperti yang telah terjadi di Timur Tengah. []
(tulisan ini pernah dimuat di Geotimes, dicopas di sini dengan sejumlah editan)
—
Catatan Penting:
(1) Semua data yang digunakan dalam tulisan ini sudah dihapus dari situs resmi HTI, tapi bisa dilacak di cache google.
23 Agustus 2011: Hizbut Tahrir Ucapkan Selamat Atas Tumbangnya Qaddafi
23 Februari 2011: Seruan HTI Untuk Kaum Muslimin di Libya Tumbangkan Rezim Diktator, Tegakkan Khilafah
6 Januari 2013: Detik Berdirinya Khilafah Kian Dekat (bunuh Qaddafi-Bashar)
13 Sep 2014: Duka cita Hizbut Tahrir Suriah Atas Syahidnya Pimpinan Ahrar al Syam
(2) Sebenarnya yang paling awal berperan mengobrak-abrik Suriah adalah kelompok Ikhwanul Muslimin (mengaku berjihad, padahal dapat suplai dana dan senjata dari Barat). IM ini ada cabangnya di Indonesia dan mendirikan partai. Meskipun petingginya ada yang cuci-tangan (menyatakan diri berbeda dari HTI), bisa di google, mereka sangat gigih menolak asas tunggal Pancasila di sidang pembahasan RUU Ormas. / https://dinasulaeman.wordpress.com/2017/10/27/libya-suriah-dan-klaim-dakwahantikekerasan-hti/#more-5220
Falasi Logika Para Pembela Israel (1)
Dulu, sejak saya aktif menulis tentang konflik Palestina di blog dan kompasiana (sekitar tahun 2007), saya juga banyak diserang (tapi tidak semasif setelah saya nulis tentang Suriah, mulai 2011 akhir). Para penyerang saya itu amat pro-Israel, mengata-ngatai saya seenaknya, antara lain penganut teori konspirasi, bigot, kurang baca sejarah, pro teroris, dll. Setelah konflik Suriah meledak, mereka ongkang-ongkang kaki, mungkin sambil tertawa, karena yang menyerang saya sudah amat banyak dan sadis (yaitu orang-orang Islam pro-jihadis alias teroris Suriah).
Kini, konflik Suriah agak mereda, dan kejahatan Israel kembali jadi sorotan, sehingga para pembela Israel ini mulai bangkit bergerilya di medsos. Kali ini saya coba mengupas logical fallacy-nya orang-orang ini.
Ada penulis status fesbuk nulis gini. “Nggak kebayang betapa frustasinya tentara Israel ngadepin orang Palestina, mau dikerasin mewek, bilangnya melanggar HAM, kalo ga diantisipasi, nyawa bisa melayang kapan aja.”
Dalam bab falasi (silahkan baca lagi status kuliah logika di fanpage ini), ada yang disebut Falasi Non Causa Pro Causa, berargumentasi yang salah karena keliru mengindentifikasi sebab. Dalam kalimat di atas, yang dianggap sebagai sebab kekerasan/kejahatan tentara Israel adalah sikap orang Palestina-nya. Israel hanya defensif demi melindungi nyawa.
Logika ini disampaikan banyak media, coba perhatikan, kalimat yang diulang-ulang adalah, “Bentrokan ini terjadi setelah dua tentara Israel dibunuh oleh warga Palestina…” Dulu ketika serangan besar Israel ke Gaza, yang diberitakan “Serangan ini terjadi setelah Hamas melemparkan roket ke Israel…”
Sayangnya, yang berfalasi ini bukan cuma orang-orang pro-Israel, tapi juga yang sebenarnya pro-Palestina, tapi tidak menyadari adanya falasi dalam kalimat ini.
Manakah yang menjadi ‘sebab’ dari aksi-aksi brutal tentara Israel? Apakah ini gara-gara segelintir orang yang membunuh tentara Israel? Untuk lebih mudah membayangkan, gini, bayangkan Anda nonton film perang kemerdekaan, tonton film di menit ke 30, misalnya, pada adegan ketika seorang warga Indonesia membunuh tentara Belanda. Stop di situ, lalu pikir: siapa yang salah? Siapa yang jadi sebab kejadian itu?
Orang yang falasi (berlogika salah) akan melupakan 30 menit awal film, tapi fokus di menit ke 30 itu dan menyatakan bahwa si warga Indonesia yang salah. “Ngapain membunuh tentara Belanda?? Tentara itu ya tugasnya menjaga keamanan! Belanda itu baik lho, jauh-jauh datang ke Indonesia untuk memajukan Indonesia yang dulu primitif! Coba ga ada Belanda, Indonesia masih hutan ampe sekarang!”
Nah bayangkan juga ada film tentang Palestina, lalu Anda fokus hanya pada adegan seminggu yang lalu, ketika ada dua tentara Israel tewas diserang oleh warga Palestina. Kalau Anda fokus di momen itu, terlihat yang salah adalah warga Palesina. Di sinilah falasi terjadi, salah dalam berpikir.
Tapi coba Anda mundur lagi ke belakang. Mundur sedikit saja ke tahun 2015 misalnya. PBB melaporkan bahwa sepanjang tahun 2015 ada pembombardiran terhadap 96 sekolah, 46 serangan terhadap pelajar dan guru, dan 62 kasus gangguan terhadap proses belajar-mengajar, seperti penutupan sekolah dan pemenjaraan para guru dan murid. Khusus di Gaza, ada 262 sekolah dan 274 TK yang rusak atau hancur dalam serangan tentara Israel tahun 2014.
Atau mundur ke semester pertama tahun 2016, ketika 450 rumah warga Palestina yang dihancurkan dan lebih dari 3.000 hektar tanah milik warga Tepi Barat yang dirampas untuk dijadikan permukiman Yahudi.
Lalu, coba mundur jauh ke tahun 1947, ketika PBB mengeluarkan Resolusi PBB 181 yang membagi dua wilayah Palestina, 56% dialokasikan menjadi “negara Yahudi” dan sisanya untuk “negara Arab”. Sementara itu, pengelolaan kota Yerusalem diberikan kepada Special International Regime. Tapi Israel terus melakukan agresi sehingga, wilayah Palestina pun banyak yang dicaplok dan kini hanya kurang dari 50% tersisa dari “jatah” yang semula dikasih PBB.
Lalu, mau mundur lagi? Mengapa PBB semena-mena memberikan jatah tanah untuk orang Yahudi bikin negara khusus Yahudi di sana? Pembahasannya panjang, insyaAllah saya tulis berikutnya. Tapi satu hal yang perlu dicatat: KLAIM AGAMA yang dipakai Israel sangat salah kaprah. Masa Tuhan memerintahkan manusia membunuh demi sebuah negara khusus etnis/agama tertentu? Kalau benar demikian, buat apa Dia menciptakan manusia dengan beragam etnis/agama? Yang jelas itu bukan Tuhan yang saya ‘kenal’. Dan bahkan Rabi Yahudi yang waras pun sudah melakukan penentangan atas klaim ini (coba google Neturei Karta, organisasi Rabi Yahudi penentang Israel).
Dan… tentu saja saya tidak mau menghabiskan waktu untuk berdebat masalah klaim agama. Saya akan pakai data-data yang dianggap valid dalam dunia akademis untuk membahas konflik ini. Bersambung ke bagian 2.
Foto: peta perubahan wilayah, terlihat wilayah ‘jatah’ warga Arab Palestina kini jauh lebih sedikit dari yang semula ditetapkan PBB karena dirampas Israel. / https://dinasulaeman.wordpress.com/2017/07/24/falasi-logika-para-pembela-israel/
Falasi Logika Para Pembela Israel (2)
Dari sekian banyak komentar yang datang dari para pembela Israel, saya simpulkan, mereka berkeras mengemukakan 2 poin ini:
- Hak untuk tinggal di suatu wilayah berdasarkan kepada klaim sejarah
- Hak untuk melakukan kejahatan (pengusiran, pembunuhan) atas dasar hak no. 1
–Premis mayor: setiap bangsa berhak untuk kembali ke tempat dimana nenek moyangnya pernah tinggal lebih dulu (dibanding penduduk yang ada di tempat itu)
–Premis minor: Yahudi adalah bangsa yang nenek moyangnya pernah tinggal lebih dulu di Palestina
–Kesimpulan: Orang Yahudi (dari negara manapun ia berasal) berhak kembali dan tinggal di Palestina
Mari kita uji satu-persatu premisnya:
–Premis Mayor. Apa yang dimaksud ‘berhak tinggal’? Kalau ‘berhak tinggal’ dengan MENGIKUTI ATURAN HUKUM yang berlaku saat itu, tentu premis mayor ini benar.
Nenek moyang saya orang Minang, saya dan keluarga tinggal di Bandung. Kelak anak-cucu saya berhak kembali ke tanah Minang dan tinggal di sana. Tentu saja, mereka harus mengikuti HUKUM yang berlaku saat itu (misalnya: beli tanah, bayar pajak, membuat rumah sesuatu aturan2 Pemda, dll). Bisa dibayangkan bila semua orang berhak kembali semena-mena ke kampung nenek-moyangnya, tanpa aturan hukum. Kalian mau, bangsa Yunan yang konon dulu pernah tinggal di Indonesia, ujug-ujug kembali ke negeri ini dan mengusiri kita?
Faktanya: orang Yahudi kembali ke Palestina dengan MENGUSIR DAN MEMBUNUH warga yang sudah ada di sana. Dan ini terjadi di tahun 1948 ketika konsep nation-state SUDAH ADA, ketika Persatuan Bangsa-Bangsa SUDAH ADA, ketika hukum dan tatanan internasional yang beradab SUDAH ADA. Trus, kalian mau kembali ke aturan hukum ZAMAN PRIMITIF?
–Premis Minor. Premis minornya juga bermasalah (debatable). Ketika masih debatable seharusnya tidak bisa dijadikan premis.
Betulkah orang Yahudi yang pertama kali datang ke kawasan Palestina? Bukankah sejarahnya mengatakan bahwa Nabi Ibrahim berasal dari kawasan Babilonia dan beliau bersama anaknya, Ishaq, akhirnya hijrah ke Palestina yang disana sudah ada penduduknya.
Seandainya bisa berhasil dibuktikan bahwa orang Yahudi dengan klaim sejarahnya berhak tinggal di Palestina, ini pun masih ada masalah. Masalahnya bisa disusun dalam silogisme berikut ini.
–Premis mayor: setiap bangsa yang memiliki hak tinggal di sebuah tempat berdasarkan kepada klaim sejarah, maka bangsa itu boleh untuk mengusir dan membunuh warga yang sudah tinggal di tempat itu.
–Premis minor: bangsa Yahudi berhak tinggal di Palestina atas dasar klaim sejarah.
–Kesimpulan: bangsa Yahudi berhak mengusir dan membunuh warga Palestina.
KESALAHAN silogisme ini: premis mayor-nya SALAH (hanya orang jahat yang menerima premis yang ‘memperbolehkan pengusiran dan pembunuhan’ … apalagi, bukankah orang-orang Yahudi mengaku sangat beriman pada Tuhan, dan selalu bawa klaim-klaim agama? Bukankah dalam “10 Firman Tuhan”, ada larangan membunuh?). Dan karena premis mayor sudah salah, kesimpulannya pun salah.
Artinya: bangsa Yahudi TIDAK berhak mengusir dan membunuh warga Palestina.
Selanjutnya, dapat saya duga (karena sudah sering terjadi), akan muncul jawaban: siapa bilang Israel melakukan pengusiran dan pembunuhan? Palestina itu dulu tanah kosong, tandus, tak berpenduduk! Kalimat ini sejak jaman jebot sudah didengung-dengungkan. Antara lain, penulis bernama Israel Zangwill menulis di tahun 1901, “Palestine is a country without a people; the Jews are a people without a country.”
Baik, akan saya buktikan bahwa pernyataan ini salah. Besok ya (insyaAllah)
Foto: ibu tua warga Palestina yang kini tinggal di pengungsian, ia pegang kunci rumah dan surat sertifikat rumahnya (artinya: dulu sudah ada pemerintahan Palestina dan ada aturan hukum/surat tanah di sana, lalu datang orang Israel mengusirnya semena-mena). / https://dinasulaeman.wordpress.com/2017/07/26/falasi-logika-para-pembela-israel-2/
Logika Timteng (1)
Repost dari Fanpage
Sepekan yang lalu, saya sudah berpikir untuk mengurangi fesbukan karena ada beberapa pekerjaan saya (misalnya ngedit buku dan jurnal) yang terbengkalai. Penyebabnya karena menejemen waktu saya yang buruk, dan sebagiannya akibat terlalu banyak berinteraksi di medsos. Tapi beberapa hal yang saya alami sepekan terakhir membuat saya berpikir ulang. Di antaranya, kata-kata berikut ini:
-Yang ibu sampaikan itu tidak benar! Saya mendengar dari ustad anu, tidak demikian kejadian di Suriah! Dia punya foto dan videonya!
-Ibu, kata Pak Jokowi, kita harus memisahkan antara agama dan politik. Tapi kita kan orang Islam? Masak kita harus menanggalkan keislaman kita dalam menganalisis politik?
-Bayangkan Mbak… jilbabku tuh udah selebar ini, masak aku dikatain kafir, munafik, anti Islam, hanya karena aku membela Ahok?
Sebenarnya, bila kita punya basis ilmu logika yang mantap (ga perlu sampai tahap ruwet-ruwet yang kalau di kampus filsafat musti dipelajari 3 semester itu), kalimat-kalimat itu tidak perlu muncul/terjadi. Pembahasannya, nanti ya.
Sekarang saya ingin mencari akar masalahnya dulu. Mengapa sih, orang di zaman sekarang sulit untuk berpikir logis? Mengapa dengan mudah kita temukan orang, atau tokoh, (atau mungkin kita sendiri) yang melakukan falasi (kesalahan berpikir)?
Penyebabnya tentu saja model pendidikan kita yang sejak dulu tidak memberikan basis ilmu logika yang kuat. Kalau kita kembali pada sejarah bangsa kita pada seputar 1965, kita akan menemukan bahwa dimulai pada masa itu, terjadi pemberangusan intelektual di Indonesia secara dahsyat.
Terlepas dari kesalahan faktual PKI (misalnya, almarhum Bapak mertua saya, seorang ulama lokal NU, pernah ada dalam list target pembunuhan mereka), tapi saat itu, ‘komunisme’ dijadikan dalih untuk melakukan pembunuhan massal besar-besaran di berbagai penjuru Indonesia.
Bayangkan, saat itu 500 ribu hingga jutaan (angkanya masih simpang-siur) orang Indonesia dibunuh massal oleh sesama orang Indonesia sendiri hanya gara-gara isu komunis. Mengapa yang komunis-komunis itu tidak dipenjara saja, mengapa harus ramai-ramai dibunuh dengan cara barbar? Kalau pelakunya rezim/tentara, itu bahasan lain, tapi ini pelakunya rakyat biasa, banyak pelakunya yang sebenarnya tetangga si korban. Mengerikan sekali.
Akibatnya, muncul ketakutan massal, dan secara massal, cara berpikir bangsa Indonesia ‘disetting ulang’ sehingga takut dan benci pada sesuatu yang berbeda. Saat itu, segala sesuatu yang ‘berbeda’ dari narasi mainstream dituduh komunis dan diberangus, dipenjara, atau dibunuh. Buku-buku mengenai teori kelas yang sebenarnya sangat efektif dalam memetakan konflik dan struktur ekonomi dunia/nasional, diberangus. Di saat yang sama kita digiring untuk mengagumi pemikiran Barat (dan dijadikan pondasi keilmuan) dan Imperium pun leluasa menguasai berbagai kekayaan alam di Indonesia.
‘Setting ulang pikiran’ saat ini sedang dicoba diulang oleh pihak-pihak tertentu. Tapi, masalahnya, tuduhan komunis sudah ‘gak kekinian’. Anak muda sekarang malah tertawa kalau dikatai komunis. Di kampus-kampus sudah biasa Marxisme dibahas. Bahkan kajian tentang Marx pernah digelar di salah satu ruang kelas di kompleks Masjid Salman dengan peserta membludak. Padahal yang jadi pembicara orang ‘kafir’ (saya juga hadir dalam kajian itu, duduk paling depan, dan mengajukan pertanyaan paling awam sedunia: apakah benar Karl Marx itu atheis?).
Isu yang paling efektif dipakai saat ini di Indonesia adalah muslim vs non-muslim, pribumi vs ‘aseng’, Sunni vs Syiah. Isu muslim-non muslim/pribumi vs ‘aseng’ dengan mudah bisa terbantahkan saat kita lihat para tokoh politik muslim berfoto mesra dengan non-muslim& ‘aseng’. Isu yang paling krusial, dan kita sudah lihat ‘hasil’-nya di Irak dan Suriah, adalah isu Sunni vs Syiah.
Terlepas dari kesalahan faktual orang-orang yang mengaku Syiah (misalnya Yaser Habib yang mangkal di Inggris, berserta para pengikutnya, yang merendahkan Ummul Mukminin dan para Khalifah), saat ini, Syiah dijadikan mantra untuk menjegal orang yang dianggap berbeda. Baik orang yang memang asli Syiah, terindikasi Syiah, punya buku Syiah, pernah nulis membela Syiah, berteman dengan orang Syiah, pernah ke Iran, Sunni tulen, atau non-muslim sekalipun, siap-siap saja dikatain Syiah (dalam definisi yang completely negative) ketika dia berada di barisan yang ‘berbeda’. Tokoh-tokoh politik populer, misalnya pak Ridwan Kamil, siap-siap saja dituduh Syiah oleh lawan politiknya (bahkan sudah dimulai prosesnya).
Dalam semua narasi pemicu konflik itu, sesungguhnya ada falasi (kesalahan berpikir). Karena itu, mulai hari ini saya akan mencoba memberikan “kuliah logika” (yang sederhana dan santai aja ya) di fanpage ini. Semoga bermanfaat buat pembaca dan saya sendiri. Contoh-contoh yang dibahas akan melulu tentang Timteng karena topik ini yang paling saya kuasai. Tapi ketika basis ilmunya dikuasai, bisa diterapkan dalam kasus apa saja.
Demikian dulu sebagai pengantar ya. Lanjutannya, ga janji, bisa hari ini, bisa besok
Saya kasih tagar #KuliahLogikaTimteng [klik tagar, nanti akan muncul list postingan dengan tagar yang sama, supaya bisa mengikuti lanjutannya]
Demikian dulu sebagai pengantar ya. Lanjutannya, ga janji, bisa hari ini, bisa besok
Saya kasih tagar #KuliahLogikaTimteng [klik tagar, nanti akan muncul list postingan dengan tagar yang sama, supaya bisa mengikuti lanjutannya] / https://dinasulaeman.wordpress.com/2017/04/25/logika-timteng-1/
Logika Timteng (2)
Logika, secara singkat berarti: cara berpikir yang benar, yang dinyatakan dalam kata-kata.
Ada 4 hukum dasar logika (perlu dihafal nih):
- Hukum kesamaan: sesuatu itu adalah sesuatu itu sendiri. Bashar Assad, ya Bashar Assad. Bashar Assad jelas bukan Moammar Qaddafi.
- Hukum kontradiksi: Libya pasti bukan Suriah (tidak mungkin kita bilang: negara ini adalah Libya sekaligus Suriah)
- Hukum penyisihan jalan tengah: kalau Libya, pasti bukan Suriah, pasti bukan juga setengah Libya, setengah Suriah (ga bisa “setengah-setengah”)
- Hukum cukup alasan: sesuatu itu berubah jika memiliki alasan yang cukup. Contohnya, “siang berubah jadi malam, setelah matahari tenggelam”. Tidak logis kita bikin kalimat: “Pada pukul 12.00 WIB, tiba-tiba saja siang berubah jadi malam.” Atau “Assad itu dulunya baik, mau menampung jutaan pengungsi dari Palestina dan Irak, mau melindungi dan membantu HAMAS, tapi sejak 2012 dia membantai rakyatnya sendiri dengan senjata kimia”.
Baca hukum no. 2: tidak logis ada dua hal kontradiktif dalam satu entitas: tiran tapi sekaligus bisa bikin makmur rakyatnya. Jadi, perlu digali lagi, mana informasi yang lebih benar.
Dalam ilmu logika, ada 3 hal terpenting yang perlu dipelajari (ada banyak hal lainnya, tapi 3 ini yang paling penting), yaitu DEFINISI, ARGUMENTASI, dan FALASI.
Definisi adalah keterangan atau penjelasan atas sesuatu.
Pendefinisian ini penting sekali karena kalau definisi sudah salah, proses penyusunan argumentasi pun akan salah.
Contoh 1: untuk kasus Libya, perlu dikritisi definisi ‘tiran’ yang dimaksud oleh situs Hizbut Tahrir, mengingat Hizbut Tahrir adalah lawan politik Qaddafi (bisa jadi, sebagian besar rakyat Libya -yang bukan anggota Hizbut Tahrir- tidak mendefinisikan Qaddafi sebagai tiran).
Contoh 2:
-A: Assad itu kejam sama orang Sunni, makanya kita orang Sunni sedunia harus membantu penggulingan Assad!
-B: Buktinya apa?
-A: Tahun 1982, Assad membantai ribuan orang Sunni di Hama.
Minimalnya ada dua masalah definisi di kalimat si A:
- Siapa Assad yang dimaksud? Hafez Assad atau Bashar Assad? Kalau Hafez Assad, kan sudah mati, mengapa peristiwa di masa lampau dijadikan alasan untuk penggulingan Bashar Assad?
- Siapa orang Sunni yang dimaksud? Apakah seluruh orang Sunni, atau yang dimaksud adalah kelompok Ikhwanul Muslimin yang melakukan kudeta bersenjata, mengebom fasilitas umum dan melakukan pembunuhan, dengan suplai senjata dari AS, pada tahun 1982 di Provinsi Hama?
A: Pak Jokowi itu anti Islam! Masak dia bilang “agama harus dipisahkan dari politik”?!
Sebelum kita berdebat soal pernyataan Pak Jokowi (itu pun harus dicek ulang, benarkah dia berkata demikian?), perlu kita perjelas definisinya. Apa yang dimaksud agama, apa yang dimaksud politik? Beda definisi, akan beda analisisnya. Apakah agama yang dimaksud Pak Jokowi adalah “kulit” atau “esensi”? Apakah yang dimaksud adalah Islam, atau agama lain? Apakah politik yang dimaksud adalah politik dalam makna upaya meraih kekuasaan, atau politik dalam makna ‘mengatur kehidupan negara agar mencapai kemakmuran bersama’? Dan seterusnya.
Contoh 4:
A: Syiah itu kafir, bukan Islam!
B: Buktinya apa?
A: Syiah itu suka menghina Ummul Mukminin dan para khalifah, kecuali Ali!
Di sini, perlu jelas dulu: apa definisi Islam? Apa definisi kafir? Apakah syarat masuk Islam adalah “tidak menghina Ummul Mukminin”? Ataukah menghina Ummul Mukminin sebatas “perbuatan haram”? Lalu, apakah seorang muslim yang berbuat sesuatu yang dihukumi haram otomatis keluar dari Islam? Lalu apakah semua orang Syiah suka menghina Ummul Mukminin, atau segelintir oknum saja? (dan sangat banyak pertanyaan lanjutan soal definisi ini).
Jadi, sekali lagi, definisi itu penting. Saat kita mendengar orang bicara (dan saat kita bicara/menulis), kritislah pada definisi ini. Jangan sampai kita terjebak dalam perdebatan konyol karena ternyata definisi yang dipakai berbeda. Jangan sampai kita buru-buru menghujat orang karena ternyata salah paham definisinya. Dan, jangan mau dibodohi orang yang bicara dengan mengaburkan definisi.
Bersambung ke #KuliahLogikaTimteng bagian 3. / https://dinasulaeman.wordpress.com/2017/05/17/logika-timteng-2/
Logika Timteng (3)
Ada komentator yang membantah saya dengan mengatakan “definisi itu relatif”. Jawaban saya: kalau mau relatif-relatifan, pembahasannya beda lagi, bukan di ilmu logika yang ini (yang sedang saya sampaikan ini). Dalam ilmu logika yang ini (yang sedang saya sampaikan) tidak ada relatif-relatifan, hanya dua pilihan: kalimat Anda salah atau benar (ingat 4 hukum dasar logika kemarin).Ilmu logika yang sedang saya sampaikan ini punya asumsi bahwa hakikat itu ada, sementara di luar sana ada pemikiran bahwa segala sesuatu itu relatif, bahkan termasuk logika itu pun relatif. Buat saya, kalau semuanya relatif, buang saja otak dan akal kita. Saya sedang menulis untuk orang yang percaya bahwa hakikat itu ada dan akal itu adalah sesuatu yang bisa dipakai. Kalau Anda ada di luar dua wilayah itu, tidak perlu repot-repot mempelajari apa yang saya tulis. Jelas ya?
Dan, seperti saya tulis di awal, pelajaran yang saya sampaikan memang sederhana dan karena itu banyak dilakukan penyederhanaan (dan menyederhanakan sesuatu yang rumit bukan kerjaan yang mudah).
DEFINISI (bagian 2)
Definisi berasal dari kata Latin ‘definire’ yang berarti menandai batas-batas pada sesuatu atau batasan arti sesuatu. Kalimat definisi: X adalah… atau, Y adalah….
Cara membuat definisi:
- Definisi harus menunjukkan ciri-ciri hakiki dari sesuatu yang didefinisikan, menunjukkan pengertian umum berserta ciri pembeda sesuatu itu dengan yang lainnya, berupa subjek dan predikat.
- Definisi tidak boleh terlalu sempit, atau terlalu luas;
-Politik adalah upaya merebut kekuasaan –> terlalu sempit, yang lebih benar, “Politik adalah segala sesuatu yang terkait dengan kekuasaan”.
- Definisi tidak boleh sirkular (‘muter’ atau ‘daur’):
-Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui. [Akan muncul pertanyaan: trus sesuatu yang diketahui itu apa? Jika dijawab: ‘pengetahuan’, jadi ‘muter’ kan?]
-Hukum waris adalah hukum yang mengatur warisan.
- Dalam kalimat definisi, predikat harus lebih dikenal daripada subjek.
[FYI: Rajiha tewas tahun 2012 akibat dibom Al Nusra]
- Definisi dinyatakan dalam bentuk positif, jangan negatif
-Definisi benar: Suriah adalah negara yang terletak di pinggir laut Mediterrania, berbatasan dengan Jordan, Palestina, Israel, Turki, dan Lebanon.
- Definisi harus singkat dan jelas, tidak menggunakan kiasan atau kata yang ambigu.
Dalam kalimat ini, “belahan jiwa” adalah kiasan, bukan benar-benar jiwa (ruh)-nya dibelah dua dengan pisau. Tentu adalah urusan lain (bukan urusan ilmu logika) bila kalimat ini dipakai dalam novel atau lagu.
- Definisi itu harus mengandung kebenaran material. Sangat mungkin ‘bentuk kalimat’-nya benar, tapi material (substansi/isi)-nya salah. Misalnya: Bumi adalah planet ke-3 dari tata surya yang bentuknya datar. Secara ‘bentuk’, kalimat ini sudah benar (sudah memenuhi 6 kaidah definisi di atas), tapi isinya/material-nya, bermasalah. Perlu argumen tambahan: apa buktinya bahwa bumi itu datar?
Sesuai request komentator, mari kita analisis kalimat “Ahok adalah penista agama”.
- Kalimat di atas bukan “definisi” , karena tidak memenuhi kaidah definisi.
- Lihat poin 7, definisi harus mengandung kebenaran material: benarkah Ahok “menista agama”?
- Ada beberapa kesalahan logika lain dari kalimat ini, tapi pembahasannya di bab lain, bukan bab definisi.
- Menurut aktivis Hizbut Tahrir Libya, Qaddafi adalah sosok pemimpin yang tiran sehingga harus digulingkan. [artinya: definisi ‘tiran’ di sini adalah versi Hizbut Tahrir; kita sudah melakukan ‘pembatasan’ di sini, karena ‘definisi adalah batasan arti sesuatu’]
- Hafez Assad adalah mendiang Presiden Suriah yang pernah bertindak brutal saat memberangus pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin dengan dukungan AS, pada tahun 1982 di Provinsi Hama. [Perhatikan bahwa ini kalimat yang berbeda dari sebelumnya: Assad adalah presiden kejam yang membantai Sunni]
- Pak Jokowi menyatakan bahwa agama tidak boleh dicampuradukkan dengan politik, dengan makna bahwa agama adalah…. dan politik adalah…. [buat definisinya, dengan mengikuti 7 kaidah di atas]
- Menurut ustadz saya, orang Syiah adalah … [berikan definisi dengan mengikuti 7 kaidah di atas]
Quiz: perhatikan spanduk di foto di atas, apakah kesalahan dalam spanduk (dari aspek definisi)?
Jawaban:
Di spanduk itu, kita bisa ‘menarik’ 4 kalimat yang menunjukkan definisi:
(1) Liberal tolak hukum agama
(2) PKI tolak hukum agama
(3) Liberal sama dengan PKI
(4) PKI sama dengan liberal
Analisis berdasarkan 7 kaidah pembuatan definisi:
A. Keempat kalimat itu melanggar kaidah pertama, yaitu semua kalimat di atas tidak memiliki subjek, definisi yang dibuat juga tidak memberikan ciri pembeda antara satu dengan yang lain. Perbaikan bentuk kalimatnya adalah sbb:
(1) Liberalisme adalah paham yang menolak hukum agama.
(2) PKI adalah organisasi yang pahamnya menolak hukum agama.
(3) Liberalisme adalah paham yang sama dengan PKI.
(4) PKI adalah organisasi yang pahamnya sama dengan liberalisme.
B. Kalimat 1 & 2 di atas melanggar kaidah kedua (terlalu sempit, sekaligus terlalu luas). Definisi liberalisme terlalu sempit dengan hanya 1 aspek saja (“menolak hukum agama”), padahal ada banyak aspek lain untuk menjelaskan liberalisme. Di sisi lain, definisi ini terlalu luas, karena yang menolak penerapan hukum agama bukan cuma orang liberal.
Catatan: di sini, saya memaknai “hukum agama” dengan “penerapan hukum syariah di sebuah negara”, jelas kaum liberal menolak penerapan hukum syariah. Tapi, bisa saja “hukum agama” diartikan sebagai hukum sholat, haji, zakat, dll, dimana orang Muslim liberal pun tetap melaksanakannya.
C. Kalimat 3 &4 bersifat sirkular (‘muter’)
D. Kalimat 3 & 4 tidak jelas, mana yang lebih tepat dijadikan penjelas (predikat), apakah liberal lebih dikenal daripada PKI atau sebaliknya.
E. Dari sisi kalimat positif/negatif, kalimat 1&2 tidak bermasalah (kata “menolak” tetap dianggap positif; contoh kalimat negatif : liberalisme adalah paham yang tidak menerima hukum agama)
F. Tidak ada kata kiasan yang dipakai dalam 4 kalimat itu, jadi tidak ada masalah dalam poin ini.
G. Keempat kalimat itu tidak mengandung kebenaran material, dan ini dibahas dalam ranah ilmu filsafat atau teologi, tidak lagi wilayahnya ilmu logika. Ilmu logika menjadi alat untuk menilai apakah nalar yang digunakan dalam sebuah ilmu benar atau tidak. [tapi karena saya dan sebagian besar para komentator juga memahami filsafat, kita tahu bahwa ke-4 kalimat itu tidak mengandung kebenaran material]
Bersambung ke #KuliahLogikaTimteng bagian 4 / https://dinasulaeman.wordpress.com/2017/05/17/logika-timteng-3/
Logika Timteng (4)
Di bagian sebelumnya kita bahas DEFINISI. Kini kita masuk ke ARGUMENTASI, yaitu penalaran yang disampaikan dalam rangka meyakinkan pihak lain.
Ingat kata kuncinya adalah ‘penalaran’ atau proses berpikir. Karena itu, bila ada orang yang beragumentasi dengan cara begini: “Assad itu diktator Syiah yang kejam, saya tahu dari ustadz X yang pernah datang ke Suriah.” –> ini bukan argumentasi; kalimat tersebut mengandung fallacy (kesalahan berpikir). Tentang fallacy akan dibahas di bagian 5.
Sekarang kita mempelajari PENALARAN, yaitu proses penarikan kesimpulan dari satu atau lebih proposisi (pernyataan).
Ada 2 jenis penalaran, yaitu langsung atau tidak langsung.
(1) Penalaran langsung, adalah menalar dengan berdasarkan 1 pernyataan saja, yaitu jika suatu pernyataan dianggap benar maka pernyataan yang kontradiktif menjadi salah.
Contoh: “semua warga RW 1 bisa membaca” –> artinya, kalimat “sebagian warga RW 1 buta huruf” adalah salah.
“Libya di masa Qaddafi memiliki Human Development Index tertinggi di Afrika” —> artinya kalimat “Rakyat Libya pada masa Qaddafi hidup tertindas” adalah kalimat yang SALAH (karena kontradiktif dengan kalimat pertama).
“Setiap pekan, Assad sholat Jumat berjamaah bersama para ulama” —> artinya kalimat “Assad memerintahkan seluruh rakyat Suriah untuk menyembah dirinya” adalah kalimat yang salah (karena kontradiktif dengan kalimat pertama).
(2) Penalaran tidak langsung, yaitu menalar dengan berdasarkan 2 (atau lebih) pernyataan (proposisi).
Ada 3 jenis: INDUKSI, DEDUKSI, ANALOGI
INDUKSI
Induksi adalah pengambilan kesimpulan umum (generalisasi) atas beberapa proposisi khusus (partikular).
Contoh:
(a) Asma Al Assad adalah warga Suriah, tidak berjilbab.
(b) Sarab Abed adalah warga Suriah, tidak berjilbab.
(c) Afraa Dagher adalah warga Suriah, tidak berjilbab.
KESIMPULAN: semua warga Suriah yang perempuan tidak berjilbab
Kesimpulan ini SALAH karena faktanya ada banyak perempuan Suriah yang berjilbab. Dengan demikian, generalisasi (induksi), tidak memberikan kepastian kebenaran (kadang benar, kadang salah).
Yang bisa disimpulkan dari penalaran induksi adalah ‘probabilitas’ (kemungkinan). Semakin banyak sampel (contoh) yang diambil dan semakin sedikit populasi sampel, semakin tinggi kemungkinan benarnya.
Misalnya, di sebuah kelas berisi 10 anak, 7 di antaranya sakit flu, kemungkinan besar seluruh anak di kelas itu sakit flu. Generalisasi menjadi BENAR ketika semua sampel diteliti (ke-10 anak di kelas itu diteliti dan semuanya memang sakit flu.
DEDUKSI
Deduksi adalah pengambilan kesimpulan dari sebuah proposisi umum (universal) dan sebuah proposisi khusus (partikular).
Contoh:
(a) Seluruh warga Suriah berhak mendapatkan pelayanan kesehatan gratis.
(b) Asma adalah warga Suriah.
Kesimpulan: Asma berhak mendapatkan layanan kesehatan gratis.
KESIMPULAN dipastikan benar, jika pernyataan umumnya (a) dan pernyataan khususnya (b) benar.
HATI-HATI, deduksi bisa salah kalau pernyataan (a) dan (b) sama-sama khusus (partikular) atau sama-sama negatif.
Contohnya, bisa dilihat spanduk yang kemarin saya jadikan kuis (Logika Timteng Bagian 3):
(a) Liberalisme adalah paham yang menolak hukum agama.
(b) PKI adalah organisasi yang pahamnya menolak hukum agama.
Kesimpulan: PKI adalah paham yang sama dengan liberal.
Orang yang pernah belajar filsafat meskipun sedikit, akan tertawa terbahak-bahak membaca kesimpulan itu, karena salah banget. Analisis kesalahannya sudah saya tulis panjang lebar di bag. 3. Tapi ditinjau dari penalaran deduksi, penalaran di atas salah karena pernyataan (a) dan (b) sama-sama partikular, sehingga tidak bisa diambil kesimpulan apapun.
ANALOGI
Analogi adalah mekanisme pembuktian atas sesuatu (misalnya A) dengan menunjukkan bukti yang ada pada sesuatu lain (B) yang memiliki kemiripan atau kedekatan dengan sesuatu itu (A).
Contoh:
(a) Pisang adalah buah yang rasanya manis.
(b) Kedondong adalah buah.
Kesimpulan: Kedondong pasti rasanya manis.
Kita tahu, umumnya kedondong rasanya asam. Artinya, analogi sering SALAH, jadi sebaiknya tidak beragumentasi dengan analogi.
Analogi bisa mencapai kebenaran ketika ada argumen lain yang terbukti benar.
Misalnya:
(a) Nasir mahasiswa HI Unpad, jago filsafat Barat.
(b) Budi mahasiswa HI Unpad
Kesimpulan: Budi jago filsafat Barat.
Kesimpulan ini bisa benar bila ada data lain yang mendukung (misalnya, bahwa seseorang harus lulus tes Filsafat Barat supaya bisa diterima jadi mahasiswa HI Unpad; artinya seluruh mahasiswa HI Unpad dipastikan jago Filsafat Barat).
Oleh karena itu, kita bisa mengkritisi pengambilan kesimpulan yang salah kaprah berikut ini:
(a) Imam Khomeini adalah orang Syiah, ia mendirikan negara berbasis agama (Wilayatul Faqih) di Iran.
(b) Bashar Assad adalah Syiah
Kesimpulan: Assad ingin mendirikan negara berbasis agama di Suriah.
Kesimpulan ini salah karena:
-Penalaran analogi TIDAK membawa kita kepada KEPASTIAN kebenaran.
-Bukti bahwa analogi tentang Assad dan Khomeini tidak benar secara material:
*Tidak semua orang Syiah ingin mendirikan negara berbasis agama, bahkan ada sebagian ulama Syiah yang menolak Wilayatul Faqih. Sistem ini disepakati melalui referendum di Iran thn 1979, sehingga akhirnya resmi berdiri sampai sekarang.
*Assad belum tentu Syiah atau Alawi (banyak juga yang menyebut ia Sunni, didukung oleh berbagai foto dan video saat ia sholat bersama para ulama Sunni Suriah).
Bersambung ke #KuliahLogikaTimteng bagian 5 / https://dinasulaeman.wordpress.com/2017/05/17/logika-timteng-4/
Logika Timteng (5)
FALASI – 1FALASI (fallacy) adalah kesalahan proses berpikir, bisa terjadi pada pendefinisian, penggunaan premis, penggunaan data, penarikan kesimpulan, dan semua aspek logika lainnya.
Falasi terkadang mengantarkan kepada kesimpulan yang benar. Akan tetapi, seandainya itu terjadi, hal tersebut hanyalah sebuah kebetulan.
Jenis-Jenis Falasi:
(1) Argumentum ad hominem, yaitu membantah argumen seseorang dengan menyerang personalitas orang tersebut, bukan menyerang argumennya.
Contoh:
A: Bashar Assad itu bukan pemimpin sempurna, tapi dalam konflik ini, dia ada dalam posisi sebagai presiden yang sah yang negaranya sedang diperangi oleh milisi bersenjata yang dibiayai AS, Inggris, Perancis, Saudi, Qatar, dll. Secara de facto, dia diserang dan diperangi pihak asing dan serangan ini adalah pelanggaran hukum internasional. Dalam perspektif realis, Assad berhak melawan invasi asing demi mempertahankan pemerintahannya.
B: Anda berkata demikian karena Anda Syiah! [*bayangkan ada backsound: tettoooot….]
(2) Argumentum ad verecundiam, yaitu berargumen dengan berlindung di balik kredibilitas orang atau menganggap semua perkataan orang yang dianggap kredible pasti benar, padahal:
– kebenaran materialnya harus dibuktikan dulu
-kredibilitas seseorang harus relevan dengan pernyataannya
Contoh:
A: Bumi itu datar.
B: Apa argumennya?
A: Yang bilang Bapak A! Dia itu profesor, lho! Masa kamu ga percaya??
Pertama, kita menyimpulkan bahwa bumi itu bulat atau datar harus berdasarkan argumen&bukti, bukan semata-mata ‘kata profesor’. Kedua, kalaupun mau ‘bertaklid’ pada profesor (karena tidak mungkin bagi kita untuk meneliti hingga detil seluruh fenomena di alam semesta), perlu dilihat, apakah Bapak A profesor di bidang astronomi (relevan dengan topik yang dibahas), atau bidang lain?
(3) Argumentum ad baculum, yaitu berargumentasi dengan didasarkan pada kemungkinan buruk/ancaman bila sesuatu itu terjadi (atau tidak terjadi).
Contoh:
“Khilafah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir adalah sebuah solusi yang terbaik bagi Indonesia, karena jika khilafah tidak ditegakkan moral rakyat Indonesia akan semakin terpuruk dan kemaksiatan meraja lela. Lihat saja, penderita AIDS di Indonesia semakin hari semakin meningkat, itu karena kita tidak memakai sistem khilafah!” [*mau ada backsound lagi? :D]
(4) Fallacy non causa pro causa, yaitu berargumentasi secara keliru karena penyebutan ‘sebab’ yang tidak tepat (karena betul-betul bukan sebab, atau menyebut ‘akibat’ sebagai ‘sebab’, atau menyebut hanya 1 sebab padahal ada beberapa sebab)
Contoh:
- Iran menjadi sumber ketidakstabilan di Timteng karena mensponsori Al Qaida [Iran tidak mensponsori Al Qaida]
- Hosni Mobarak jatuh karena tidak disukai lagi oleh AS. [padahal ada banyak faktor: dia korup, melanggar HAM, gelombang demokratisasi, kesulitan ekonomi rakyat, krisis pangan global, pengaruh media sosial, dll]
Contoh:
A: Kita harus membantu rakyat Suriah! Mereka ditindas oleh rezim Bashar Assad laknatulloh!
B: Apa buktinya mereka ditindas?
A: Lho kamu tidak lihat, mereka saat ini tinggal di pengungsian, kelaparan, kedinginan. Itu karena lari dari penindasan setan Assad! Kasian sekali mereka! Ini liat, ada fotonya, anak-anak kurus kering kelaparan. Ayo kita infakkan sebagian harta kita untuk membantu mereka!
—-
KUIS : silahkan perhatikan video berikut ini, coba dipikirkan, apa jenis falasi yang digunakan Trump dan Obama? [pidato Trump ada 3 bagian, 3 jenis falasi; pidato Obama 1 jenis]. Jawaban yang benar akan saya beritahukan besok (tapi tanpa hadiah lho ya).
https://www.facebook.com/DinaY.Sulaeman/videos/297591020667160/
Bersambung ke #KuliahLogikaTimteng bab falasi bagian 2, setelah itu tamat. / https://dinasulaeman.wordpress.com/2017/05/17/logika-timteng-5/
Logika Timteng (6-tamat)
FALASI – 2Jenis-Jenis Falasi (lanjutan)
(6) Argumentum ad Populum adalah beragumen dengan berdasarkan “banyak orang yang mengatakan hal itu.”
Contoh:
A: “Qaddafi itu pemimpin zalim! Memang layak ditumbangkan oleh mujahidin!”
B: Apa buktinya? Kalau dia zalim kok bisa Libya jadi negara dengan kualitas pembangunan manusianya terbaik se-Afrika? Kok bisa semua digratiskan, kesehatan, pendidikan, dll.
A: Semua ustadz dan ustadzah kita bilang demikian kok!
.
A: Kisah “bocah di kursi oranye itu” di Aleppo itu kemungkinan besar “staged” (dibuat/direkayasa), karena beberapa kejanggalan berikut ini.. [penjelasan].
B: Anda ngawur! Semua media besar, New York Times, BBC, CNN, sudah memberitakan kasus ini!
.
(7) Fallacy Ignoratio Elenchi: kesimpulan yang diambil dari premis tidak relevan.
Contoh:
“Dia itu ustadz besar lho! Hafal Quran! Tidak mungkin dia melakukan kejahatan tersebut!”
“Anda saksikan sendiri, para anggota HTI itu pintar-pintar, sholeh, rajin mengaji, ga suka pacaran… mana mungkin mereka merencanakan makar pada NKRI?”
.
(8.) Argumentum ad ignorantiam: menyimpulkan sesuatu itu benar karena negasinya belum terbukti, atau sebaliknya.
Contoh (perhatikan kata yang saya kasih tanda bintang):
-Hantu itu *tidak ada*, karena tidak ada yang bisa membuktikan bahwa hantu itu *ada*
-Bumi itu *bulat*, karena tidak ada yang membuktikan bahwa bumi itu *datar*.
-Assad itu *pelaku* serangan gas kimia di Idlib karena *tidak ada* investigasi PBB yang menyebutkan bahwa *bukan* Assad pelakunya.
.
.
A: Assad itu diktator Syiah yang bengis, laknatulloh! Ini lihat foto korban-korbannya!
B: Lho, itu kan foto di Gaza, bukan di Suriah [sambil memperlihatkan hasil cek di google image]
A: Kalau gitu, Anda buktikan pada saya bahwa Assad itu bukan diktator Syiah yang jahat!
B: [dalam hati: kok elu ngasih kerjaan ke gue? Elu yang nuduh, elu yang kasih bukti dong!]
.
(9) Falasi aksidensi: kita memaksakan aturan umum pada suatu keadaan yang aksidental.
Contoh:
“Bashar Assad itu pemimpin brutal dan diktator, lihat saja, dia membantai para mujahidin!”
[aturan umum: membunuh adalah kejahatan; tapi dalam kasus Suriah, mereka yang disebut “mujahidin” adalah milisi bersenjata proxy AS, Saudi, dll, yang melakukan serangan bersenjata dengan tujuan menggulingkan pemerintahan yang sah yang terpilih melalui pemilu].
(10) Falasi komposisi dan divisi: kesalahan berpikir yang muncul dari anggapan bahwa apa yang benar atau berlaku bagi individu tertentu pasti juga berlaku untuk seluruh individu yang ada pada kelompok itu. Ini sama dengan analogi (jadi, analogi pada dasarnya salah satu bentuk falasi, kecuali pada kondisi tertentu, baca lagi bab analogi). Kesalahan analogi juga bersumber dari pembandingan yang tidak setara. Karena itu, contoh-contoh berikut ini malah dobel-falasi (pakai analogi + analogi tidak setara).
Contoh:
-“Nak, kamu harus berani berenang dong, masak kalah sama ikan?”
-“Kalau HTI dibubarkan, mengapa Syiah dan Komunis tidak dibubarkan juga?”
-“Kalau Menteri Agama menolak memerintahkan agar warung tutup di bulan Ramadhan untuk menghormati mereka yang TIDAK PUASA, maka harusnya Menag memerintahkan Bandara Bali BUKA DI HARI NYEPI untuk menghormati mereka yang tidak beribadah Nyepi!”
.
PENUTUP
KEPASTIAN kebenaran hanya bisa didapatkan dari DEDUKSI (dengan sejumlah aturan, tentunya), sementara itu INDUKSI hanya memberikan KEMUNGKINAN. Karena itu, kita tidak boleh memastikan, menghakimi, apalagi mengambil tindakan (misalnya, pergi jihad ke Suriah lalu mengebom-ngebom di sana) hanya berdasarkan penalaran induktif. Apalagi, berdasarkan ANALOGI.
Falasi yang dijelaskan di sini hanya SEBAGIAN KECIL dari banyak falasi lainnya (teman saya, seorang doktor filsafat, sudah menginventarisir 70-an jenis falasi). Tapi semoga dari yang sedikit ini saja, setidaknya, kita semakin kritis dan berhati-hati dalam menerima informasi.
Dua foto berikut ini adalah dua contoh falasi:
Logika fals yang dipakai di meme ini adalah analogi yang tidak setara: Menag tidak mau memerintahkan warung tutup di bulan Ramadhan untuk menghormati mereka yang TIDAK PUASA, maka harusnya Menag memerintahkan Bandara Bali BUKA DI HARI NYEPI untuk menghormati mereka yang tidak beribadah Nyepi. Jadi, yang dibandingkan adalah Warung+PUASA RAMADHAN dan bandara+NYEPI. Ini ga setara bro. PUASA di bulan Ramadhan itu ‘hanya’ gak makan-minum-seks. Tapi kerja mah tetep atuh lah, kita tetap melakukan berbagai aktivitas seperti biasa. Jika si muslim jalan melewati warung makan, ibadah puasanya ga batal. Sedangkan NYEPI itu ibadah Hindu yang artinya berdiam di rumah, tidak melakukan aktivitas. Artinya, kalau si Hindu ini dipaksa kerja, maka ibadahnya BATAL.
Perbandingan kedua yang dipake orang ini: Menag tidak mau memerintahkan warung tutup di bulan Ramadhan untuk menghormati mereka yang TIDAK PUASA, maka harusnya Menag juga memerintahkan mal untuk TIDAK PASANG POHON NATAL untuk menghormati mereka yang tidak Natalan. Nah ini lebih kacau lagi. Puasa Ramadhan kok diperbandingkan dengan POHON?! Emang orang Nasrani batal ya, Natalnya, kalau gak pasang pohon? Atau, orang Muslim jadi kafir kalau matanya melihat pohon Natal? Anggota DPR liat foto *teeeeet* saat sidang aja kayaknya kaga ada yang kafir2in, apalagi cuma liat pu’un
Contoh kalimat yang menggunakan logika setara: Kalau Menag memerintahkan Bandara Bali (yang karyawannya diasumsikan mayoritas Hindu) buka di hari Nyepi, itu sama artinya Menag melarang Muslim puasa di bulan Ramadhan. Kalau Menag melarang umat Nasrani pasang pu’un Natal, itu sama artinya dengan Menag melarang Muslim pakai baju baru di hari ‘Id (sama-sama tidak bernilai ibadah, hanya ‘hiasan’ ibadah belaka).
A: “Qaddafi itu pemimpin zalim! Memang layak ditumbangkan oleh mujahidin!”
B: Apa buktinya? Kalau dia zalim kok bisa Libya jadi negara dengan kualitas pembangunan manusianya terbaik se-Afrika? Kok bisa semua digratiskan, kesehatan, pendidikan, dll.
A: Semua ustadz dan ustadzah kita bilang demikian kok!
.
A: Kisah “bocah di kursi oranye itu” di Aleppo itu kemungkinan besar “staged” (dibuat/direkayasa), karena beberapa kejanggalan berikut ini.. [penjelasan].
B: Anda ngawur! Semua media besar, New York Times, BBC, CNN, sudah memberitakan kasus ini!
.
(7) Fallacy Ignoratio Elenchi: kesimpulan yang diambil dari premis tidak relevan.
Contoh:
“Dia itu ustadz besar lho! Hafal Quran! Tidak mungkin dia melakukan kejahatan tersebut!”
“Anda saksikan sendiri, para anggota HTI itu pintar-pintar, sholeh, rajin mengaji, ga suka pacaran… mana mungkin mereka merencanakan makar pada NKRI?”
.
(8.) Argumentum ad ignorantiam: menyimpulkan sesuatu itu benar karena negasinya belum terbukti, atau sebaliknya.
Contoh (perhatikan kata yang saya kasih tanda bintang):
-Hantu itu *tidak ada*, karena tidak ada yang bisa membuktikan bahwa hantu itu *ada*
-Bumi itu *bulat*, karena tidak ada yang membuktikan bahwa bumi itu *datar*.
-Assad itu *pelaku* serangan gas kimia di Idlib karena *tidak ada* investigasi PBB yang menyebutkan bahwa *bukan* Assad pelakunya.
.
.
A: Assad itu diktator Syiah yang bengis, laknatulloh! Ini lihat foto korban-korbannya!
B: Lho, itu kan foto di Gaza, bukan di Suriah [sambil memperlihatkan hasil cek di google image]
A: Kalau gitu, Anda buktikan pada saya bahwa Assad itu bukan diktator Syiah yang jahat!
B: [dalam hati: kok elu ngasih kerjaan ke gue? Elu yang nuduh, elu yang kasih bukti dong!]
.
(9) Falasi aksidensi: kita memaksakan aturan umum pada suatu keadaan yang aksidental.
Contoh:
“Bashar Assad itu pemimpin brutal dan diktator, lihat saja, dia membantai para mujahidin!”
[aturan umum: membunuh adalah kejahatan; tapi dalam kasus Suriah, mereka yang disebut “mujahidin” adalah milisi bersenjata proxy AS, Saudi, dll, yang melakukan serangan bersenjata dengan tujuan menggulingkan pemerintahan yang sah yang terpilih melalui pemilu].
(10) Falasi komposisi dan divisi: kesalahan berpikir yang muncul dari anggapan bahwa apa yang benar atau berlaku bagi individu tertentu pasti juga berlaku untuk seluruh individu yang ada pada kelompok itu. Ini sama dengan analogi (jadi, analogi pada dasarnya salah satu bentuk falasi, kecuali pada kondisi tertentu, baca lagi bab analogi). Kesalahan analogi juga bersumber dari pembandingan yang tidak setara. Karena itu, contoh-contoh berikut ini malah dobel-falasi (pakai analogi + analogi tidak setara).
Contoh:
-“Nak, kamu harus berani berenang dong, masak kalah sama ikan?”
-“Kalau HTI dibubarkan, mengapa Syiah dan Komunis tidak dibubarkan juga?”
-“Kalau Menteri Agama menolak memerintahkan agar warung tutup di bulan Ramadhan untuk menghormati mereka yang TIDAK PUASA, maka harusnya Menag memerintahkan Bandara Bali BUKA DI HARI NYEPI untuk menghormati mereka yang tidak beribadah Nyepi!”
.
PENUTUP
KEPASTIAN kebenaran hanya bisa didapatkan dari DEDUKSI (dengan sejumlah aturan, tentunya), sementara itu INDUKSI hanya memberikan KEMUNGKINAN. Karena itu, kita tidak boleh memastikan, menghakimi, apalagi mengambil tindakan (misalnya, pergi jihad ke Suriah lalu mengebom-ngebom di sana) hanya berdasarkan penalaran induktif. Apalagi, berdasarkan ANALOGI.
Falasi yang dijelaskan di sini hanya SEBAGIAN KECIL dari banyak falasi lainnya (teman saya, seorang doktor filsafat, sudah menginventarisir 70-an jenis falasi). Tapi semoga dari yang sedikit ini saja, setidaknya, kita semakin kritis dan berhati-hati dalam menerima informasi.
Dua foto berikut ini adalah dua contoh falasi:
Logika fals yang dipakai di meme ini adalah analogi yang tidak setara: Menag tidak mau memerintahkan warung tutup di bulan Ramadhan untuk menghormati mereka yang TIDAK PUASA, maka harusnya Menag memerintahkan Bandara Bali BUKA DI HARI NYEPI untuk menghormati mereka yang tidak beribadah Nyepi. Jadi, yang dibandingkan adalah Warung+PUASA RAMADHAN dan bandara+NYEPI. Ini ga setara bro. PUASA di bulan Ramadhan itu ‘hanya’ gak makan-minum-seks. Tapi kerja mah tetep atuh lah, kita tetap melakukan berbagai aktivitas seperti biasa. Jika si muslim jalan melewati warung makan, ibadah puasanya ga batal. Sedangkan NYEPI itu ibadah Hindu yang artinya berdiam di rumah, tidak melakukan aktivitas. Artinya, kalau si Hindu ini dipaksa kerja, maka ibadahnya BATAL.
Perbandingan kedua yang dipake orang ini: Menag tidak mau memerintahkan warung tutup di bulan Ramadhan untuk menghormati mereka yang TIDAK PUASA, maka harusnya Menag juga memerintahkan mal untuk TIDAK PASANG POHON NATAL untuk menghormati mereka yang tidak Natalan. Nah ini lebih kacau lagi. Puasa Ramadhan kok diperbandingkan dengan POHON?! Emang orang Nasrani batal ya, Natalnya, kalau gak pasang pohon? Atau, orang Muslim jadi kafir kalau matanya melihat pohon Natal? Anggota DPR liat foto *teeeeet* saat sidang aja kayaknya kaga ada yang kafir2in, apalagi cuma liat pu’un
Contoh kalimat yang menggunakan logika setara: Kalau Menag memerintahkan Bandara Bali (yang karyawannya diasumsikan mayoritas Hindu) buka di hari Nyepi, itu sama artinya Menag melarang Muslim puasa di bulan Ramadhan. Kalau Menag melarang umat Nasrani pasang pu’un Natal, itu sama artinya dengan Menag melarang Muslim pakai baju baru di hari ‘Id (sama-sama tidak bernilai ibadah, hanya ‘hiasan’ ibadah belaka).
Perhatikan bagaimana media arus utama seluruh dunia hampir serempak menjadikan bocah di kursi oranye sebagai headline dan ‘simbol’ korban Assad. Ketika saya memposting tulisan yang mengungkap kejanggalan kasus ini, seorang komentator di Facebook yang setau saya tingkat pendidikannya cukup tinggi, menyanggah dengan argumen kurang-lebih “semua media besar sudah memberitakan, kok menganggap kejadian si bocah itu palsu?”
Argumen seperti itu masuk kategori kesalahan (fallacy) jenis “argumentum ad populum” (menganggap sesuatu itu benar hanya karena banyak orang mempercayainya). Atau bisa juga masuk ke “argumentum ad verecundiam” (menganggap sesuatu itu benar karena ada pakar atau institusi yang dianggap ‘hebat’ yang mengatakannnya).
Coba pikir, apakah hanya karena semua media mainstream memberitakan, sebuah berita DIPASTIKAN benar?
Belum luput dari ingatan, betapa seluruh media mainstream memberitakan bahwa Irak menyimpan senjata pembunuh massal. Atas alasan itu AS dan sekutunya menggempur Irak pada 2003, menggulingkan Saddam Husein, mendudukinya sampai sekarang. Data 2013, sedikitnya ada setengah juta orang Irak tewas akibat pendudukan AS sejak 2003. Pada 2011, dari mulut para pemimpin AS sendiri, muncul pengakuan: TIDAK ADA SENJATA PEMBUNUH MASSAL di Irak.
Karena itu, fokus pada data, bila ada yang menyanggah, perhatikan data sanggahannya. Bukannya malah berfalasi dengan berkata, “Kata ustad saya!” atau “Semua koran terkemuka bilang gitu kok!” / https://dinasulaeman.wordpress.com/2017/05/18/logika-timteng-6-tamat/
Berunding dengan Kelompok Pemakan Jantung
Bangsa Suriah yang mencintai tanah airnya (bukan mengabdi pada kepentingan Zionis dan Wahabi*) memang terpaksa menelan pil pahit. Dalam perundingan 23-24 Januari di Astana, Kazakhstan, delegasi Suriah terpaksa harus duduk semeja dengan kelompok teroris Jaish Al Islam, yang diketuai oleh Mohammed Alloush. Mohammed adalah saudara Zahran Alloush (sudah tewas). Pada November 2015, teroris ini menempatkan ratusan tentara Suriah dan keluarga mereka di 100 kandang/kerangkeng dan menyerukan “rasakan kesakitan di dunia ini sebelum kalian merasakannya di akhirat”.
Sekedar info, kelompok-kelompok teror di Suriah sering berseteru satu sama lain, dan akhirnya muncul nama yang berubah-ubah seiring berubahnya koalisi. Yang perlu dicari adalah “organisasi akar”-nya. Kelompok Alloush berasal dari Ikhwanul Muslimin.
IM juga membentuk Free Syrian Army. Sebuah video mengerikan diunggah secara online pada tanggal 12 Mei 2013. Dalam video tersebut, terlihat seorang milisi pemberontak yang mengenakan perlengkapan militer, sedang menyayat bagian dada sesosok jenazah, yang disebut sebagai tentara Syria, lalu memasukkan jantung mayat itu ke mulut. Video itu terverifikasi karena diunggah sendiri oleh mereka (artinya: tidak bisa lagi dibela dengan menyebut ‘itu fitnah’). Orang di dalam video itu, si pemakan jantung, adalah Abu Sakkar, pendiri kelompok militan Farouq Brigade (berafiliasi dg FSA). Ini mengingatkan kita pada tokoh Hindun yang memakan jantung Hamzah, paman Nabi setelah perang Uhud. Apa sumber dari perilaku keji seperti ini? Tak lain: kebencian.
Perundingan di Astana, mempertemukan kelompok IM dan pemerintah sekuler Suriah, merupakan bertemunya dua kelompok yang berseteru sejak lama. Pada tahun 1980an, IM menggalang pemberontakan bersenjata untuk menggulingkan Hafez Assad. (dengan didukung oleh negara-negara asing, terutama negara Barat, Jordan, dan Israel..negara-negara yang sama yang kini juga mendukung mereka menggulingkan Bashar Assad). Saat itu, Hafez mengambil tindakan keras menghadapi pemberontakan bersenjata ini.
Dan sekedar info saja, IM ini organisasi transnasional, cabang dan akivisnya tersebar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Tak heran bila mereka di Indonesia ini berisik sekali soal Suriah (negara pembela Palestina paling depan), jauh lebih berisik dibandingkan pembelaan mereka terhadap Palestina yang jelas-jelas dijajah Israel.
Saya menentang perang dan pembunuhan. Tapi sekedar menyodorkan perspektif: bila aktivis IM di Indonesia (tau kan, siapa??) dapat duit dan senjata dari AS, lalu angkat senjata, main bom sana-sini, menurutmu, apa yang akan dilakukan oleh Presiden dan TNI? Think!
—
*Wahabisme adalah gerakan transnasional yang didanai negara-negara Arab dan Teluk, muncul dalam berbagai nama (dan sebagiannya bahkan menolak disebut Wahabi), namun memiliki akar ideologi yang sama (takfirisme) dan pola gerakan yang sama di negara-negara Muslim (menimbulkan kekacauan dan perselisihan karena sikap mereka yang selalu mengkafir-kafirkan pihak lain dan anti pemerintah yang sah).
Baca tulisan lama terkait (soal pemberontakan IM di Suriah):
–Tanggapan untuk Maimon Herawati
–Genderang Perang di Suriah (ini tulisan pertama saya tentang konflik Suriah, ditulis Desember 2011)
–PKS, Kita, dan Perkembangan Terbaru di Suriah
Milisi bersenjata di Suriah tidak hanya dari kalangan IM, tapi ada juga yang dari Hizbut Tahrir (mereka berafiliasi dengan Al Qaida), baca pengakuan Jubir HTI di sini
Mainsource : https://dinasulaeman.wordpress.com/2017/01/25/berunding-dengan-kelompok-pemakan-jantung/ Sumber Berita : http://hakunnay.blogspot.com/2017/11/ustadz-somad-dan-ustadz-felix-siauw.html
Re-Post by MigoBerita / Sabtu/12102018/11.46Wita/Bjm