Dr. Ainur Rofiq: Membongkar Kepalsuan Hizbut Tahrir (1)
LiputanIslam.com — Hizbut Tahrir adalah sebuah organisasi transnasional yang mencita-citakan seluruh dunia ini berada dalam satu pemerintahan global, yang mereka sebut ‘khilafah’. Salah satu jargon utama mereka adalah antidemokrasi, yang mereka anggap sebagai sumber dari segala kerusakan. Mereka sangat biasa berargumen: apapun masalahnya, khilafah solusinya. Awalnya, mereka menyatakan diri sebagai organisasi pemikiran dan anti kekerasan. Namun, konflik Suriah telah membongkar kedok mereka: ternyata HT adalah pendukung aksi terorisme atas nama jihad. Selain itu, rekam jejak HT selama ini juga menunjukkan sikap plin-plan mereka.Di tahun 2009, HTI pernah menyerukan persatuan Sunni-Syiah dalam naungan khilafah. Saat itu HTI terlihat begitu arif dan cerdas dalam memandang adanya upaya pemecah-belahan kaum muslimin, yang dilakukan oleh Barat dan aliansinya, melalui isu Sunni-Syiah. Bukan hanya itu, saat dilangsungkannya Konferensi Bogor untuk membantu mencari solusi konflik Irak yang juga disertai sentimen mazhab, HTI menunjukkan dukungannya pada upaya persatuan Sunni-Syiah
Menurut HTI, “Jadi masalah di Irak sejatinya adalah masalah penjajahan Amerika. Amerikalah yang merekayasa dan menyulut konflik sektarian Sunni-Syiah. Semua yang terjadi di Irak tidak lain adalah hasil rekayasa Amerika. Kenyataan itu sebenarnya dapat dibaca dan diketahui oleh orang banyak.”
Sumber Foto : Google Image
Ketika konflik Suriah meletus, tiba-tiba HT (baik di Indonesia maupun di seluruh dunia) berubah haluan menjadi sangat sektarian. Tidak ada lagi kearifan, tidak ada lagi kecerdasan, dan tidak ada lagi tabayyun atas tragedi kemanusiaan yang melanda Suriah. Bahkan teori yang sebelumnya mereka yakini: bahwa perpecahan dalam tubuh Islam merupakan agenda Barat, seperti dilupakan begitu saja. HT, termasuk HT Indonsia pun menjelma menjadi salah satu provokator yang menyulut isu konflik Sunni-Syiah di dunia, terkhusus di Suriah. Bisa dibaca dalam artikel-artikel di situs HTI di sini, di sini dan di sini.
Perubahan drastis sikap HT ini memunculkan pertanyaan, bagaimana ideologi HT sebenarnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, Liputan Islam mewawancarai Dr. Ainur Rofiq al-Amin, dosen Fakultas Ushuludin IAIN Sunan Ampel Surabaya. Beliau adalah mantan anggota HTI, dan disertasinya membahas tentang Hizbut Tahrir. Disertasi itu diterbitkan menjadi buku berjudul “Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia”. Laporan wawancara ini kami sajikan dalam dua bagian. Berikut ini bagian pertama.
Liputan Islam (LI): Assalamu’alaikum Ustadz…
Ainur Rofiq Al Amin (ARA): Wa’alaikumsalam warahmatullah
LI: HT sering menggunakan ayat Al-Maidah: 48-49 sebagai sandaran atas wajibnya menegakkan khilafah, bagaimana menurut Ustadz?
ARA: Terkait dengan surat al-Maidah tersebut, sebenarnya kita bisa mencerna secara jernih bahwa setiap muslim yang taat secara otomatis akan berpikir, bersikap, memutus, dan berperilaku sesuai dengan apa yang diturunkan Allah, dan tentu tidak akan mengikuti hawa nafsu. Hanya permasalahannya, Hizbut Tahrir membawa dengan cara “memaksa” bahwa ayat tersebut berimplikasi bahwa hanya khilafah yang akan mampu melaksanakan hukum Allah. Menurut saya, ini adalah pemaksaan ayat kepada sistem politik yang hanya terbatas pada khilafah. Seandainya ayat tersebut dibawa kepada sistem politik, tentu tidak harus sistem khilafah. Sistem politik apapun namanya, entah republik, atau republik Islam atau yang lain, asalkan mampu mengejawantahkan nilai-nilai Islam, tentu absah dan tidak perlu dicaci, apalagi dikufurkan. Ini yang berbahaya.
LI: Jika ayat tersebut ‘dipaksakan’ oleh HT untuk menjadi dalil bagi tegaknya khilafah, atau katakanlah bahwa sesungguhnya hukum khilafah tersebut tidak ada di dalam al-Qur’an, maka bagaimanakah seharusnya umat Islam bersikap dalam kondisi sulit seperti ini? Saat ini, kita berpecah-pecah dan ditindas oleh Zionis dan sekutunya. Apakah tidak penting untuk membuat persekutuan besar bagi sesama muslim, semisal Uni Eropa?
ARA: Tentu muslim harus bersatu, tapi bersatu untuk saat ini tidak dalam satu sistem politik. Saya sebagai warga NU yang hidup di pesantren NU, mempunyai keyakinan bahwa yang menyatukan umat muslim dalam satu sistem politik tidak lain adalah Imam Mahdi. Untuk itu, selama Imam Mahdi belum muncul, maka persatuan harus diwujudkan dengan cara: tidak gampang mengkafirkan, dan tidak gampang memunculkan isu-isu atau pemikiran yang bisa dengan mudah menyulut permusuhan. Kalau sesama muslim bermusuhan, yang untung adalah negara Barat yang tirani, kita buntung.
Dalam konteks NKRI, saya sering mengingatkan dalam seminar-seminar, mari kita rawat NKRI, tidak usah diotak-atik menjadi khilafah (seperti yang dilakukan Hizbut Tahrir), ini di satu sisi. Sedang pada sisi lain, jangan sampai tradisi muslim Nusantara yang ada di NKRI ini mudah disyirikkan, mudah dikufurkan, mudah dibid’ahkan (seperti yang dilakukan kelompok Wahabi). Karena ini semua tidak akan menimbulkan persatuan, malah friksi dan permusuhan.
LI: Di Suriah, HT sejak awal konflik terang-terangan mendukung pemberontak bersenjata, dan sesumbar akan mendirikan khilafah di Suriah. Sekarang ternyata sudah ada yang mendeklarasikan khilafah Irak-Suriah yaitu kelompok jihadis yang menamakan dirinya The Islamic State of Iraq and Syam (ISIS), apakah artinya HT sudah punya khilafah?
ARA: Dalam pengamatan saya, kelompok HT ini kalau ada rame-rame atau gonjang-ganjing politik di suatu negara, dengan secepat mungkin akan ikut nimbrung dan membakar massa baik dengan tulisan maupun demonstransinya. Namun ketika menuju akhir dari gonjang-ganjing politik, kelompok ini dengan segera akan tersingkirkan. Ini bisa diambil contoh di Mesir, Libya, maupun Irak. Jadi sampai sekarang, kelompok ini ya tidak mempunyai khilafah yang terwujud sesuai dengan konsepnya.
[Catatan redaktur: meski secara kelembagaan menyatakan diri tidak terlibat langsung dalam jihad melawan rezim Bashar Al-Assad di Suriah, Hizbut Tahrir mengakui secara personal banyak anggota Hizbut Tahrir ikut berjihad di Suriah. Ini disampaikan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, “Secara personal anggota Hizbut Tahrir terlibat dalam jihad di Suriah, karena dalam kondisi seperti di Suriah secara fardhu ain, jihad menjadi wajib bagi seseorang ketika diserang,” ujar Ismail sewaktu menggelar acara konferensi pers saat berlangsungnya Muktamar Khilafah di stadion Gelora Bung Karno (2/6/2013)]
LI: Ustadz, ada sebuah hadist yang berbunyi “Siapa yang telah membaiat seorang imam dan memberikan genggaman tangan dan buah hatinya, maka hendaklah menaatinya sesuai kemampuannya. Jika datang pihak lain yang ingin merebut kekuasaannya, maka penggallah leher mereka” (Hizb a;-Tahrir, Ajhizat dawlat al-Khilafah hlm 11)
Bagaimanakah HT harus menyikapi hadist tersebut? Bukankah seharusnya HT berbaiat kepada Amirul Mukminin Abu Bakar al- Baghdady seperti yang dilakukan beberapa kelompok di Indonesia tanggal 16/3 lalu, yang mendeklarasikan dukungan pada ISIS dan al- Baghdady?
ARA: Ya, seharusnya sebagai konsekuensi nalari, HT harus membaiat Khilafah ISIS. Hanya karena HT mempunyai konsep khilafah sendiri, yang tentu khilafah ISIS tidak sesuai dengan konsep dan keinginan kelompok tersebut, maka HT tidak turut serta membaiat. Intinya, khilafah kalau tidak sesuai dengan konsep HT tentu akan ditolak. Malah dalam halaqah, sewaktu saya masih aktif di HT, orang HT pernah bilang bahwa sewaktu revolusi Iran berakhir, orang HT siap membaiat Imam Khomeini asalkan mau merubah gagasan wilayatul faqih menjadi khilafah ala HT (saya masih menyimpan dokumen kritik HT terhadap gagasan Imam Khomeini).
Inilah “liciknya” mereka. Naifnya lagi, ketika diskusi dengan orang-orang NU, mereka selalu bilang bahwa dalam kitab-kitab kuning NU, khilafah adalah wajib. Hal ini untuk mempengaruhi orang NU. Padahal konsep khilafah HT tentu berbeda semisal dengan kitab al-Mawardi yang berjudul al-Ahkam al-Sultaniyyah. Makanya, dalam buku saya yang diterbitkan LKiS, saya katakan bahwa yang saya kritik adalah basis argumen khilafah ala HT.
Sumber Berita : http://liputanislam.com/wawancara/dr-ainur-rofiq-membongkar-kepalsuan-hizbut-tahrir-1/
Dr. Ainur Rofiq: Membongkar Kepalsuan Hizbut Tahrir (2)
Oleh Rachel — Rubrik Wawancara — 18/03/2014Ketika konflik Suriah meletus, tiba-tiba HT yang sebelumnya menyuarakan pentingnya persatuan umat, termasuk persatuan Sunni-Syiah, berubah haluan. Tidak ada lagi kearifan, tidak ada lagi kecerdasan, dan tidak ada lagi tabayyun atas tragedi kemanusiaan yang melanda Suriah. Bahkan teori yang sebelumnya mereka yakini: bahwa perpecahan dalam tubuh Islam merupakan agenda Barat, seperti dilupakan begitu saja. HT, termasuk HT Indonsia pun menjelma menjadi salah satu provokator yang menyulut isu konflik Sunni-Syiah di dunia, terkhusus di Suriah.Perubahan drastis sikap HT ini memunculkan pertanyaan, bagaimana ideologi HT sebenarnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, Liputan Islam mewawancarai Dr. Ainur Rofiq al-Amin, dosen Fakultas Ushuludin, IAIN Sunan Ampel Surabaya. Beliau adalah mantan anggota HTI, dan disertasinya membahas tentang Hizbut Tahrir. Disertasi itu diterbitkan menjadi buku berjudul “Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia”. Laporan wawancara ini kami sajikan dalam dua bagian. Bagian pertama bisa dibaca di sini.
Berikut ini bagian kedua. Di bagian kedua ini, LI membahas tentang buku yang ditulis tokoh HTI, Felix Siaw, yang berjudul Beyond the Inspiration.
LI: Pada halaman 86 -89 dari buku Beyond the Inspiration, Felix Siaw mengungkapkan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam dunia Islam, misalnya; Kuwait dan Arab Saudi yang kaya raya namun tidak mampu menolong Palestina, UEA memiliki tekhnologi canggih tapi merupakan negara pesakitan. Juga al-Azhar. Felix Siaw menyerang al-Azhar, yang menurutnya merupakan sebuah Universitas Islam terkemuka, namun tidak menghasilkan perbaikan pada umat muslim yang diharapkan. Apa ini tidak mengecilkan peran al-Azhar yang telah mencetak ribuan ulama Islam yang termasyur? Benarkah al-Azhar tidak membawa perbaikan kepada umat muslim seperti yang diharapkan? Bagaimana menurut Ustadz?
ARA: Bagi gerakan HT, yang dijelaskan dalam kitab-kitabnya, bahwa dakwah kalau tidak untuk melanjutkan kehidupan Islam yang diartikan dengan penegakan khilafah, adalah dakwah yang salah. Dakwah dengan cara mendirikan rumah sakit, panti-panti asuhan, atau dakwah hanya sekedar mengajak kebaikan adalah salah. Bahkan menurut mereka, dakwah-dakwah di atas adalah berbahaya, karena dapat melenakan, meninabobokan umat, sehingga umat tidak berusaha menegakkan khilafah. Dengan kesimpulan yang demikian, maka bagi HT, aktifitas dakwah kebaikan apapun, kalau itu tidak mengarah kepada penegakan khilafah adalah salah. Inilah bahayanya model dakwah yang mengklaim sebagai yang paling benar. Makanya, tidak aneh bila Al-Azhar juga dikritik.
LI: Kalau menurut Felix, banyaknya masalah dari kaum muslimin timbul lantaran “way of life’ yang keliru. Baginya, wujud “way of life” adalah berislam secara kaffah. Bagaimana menurut Ustadz?
AR: Ini menggelikan. Seluruh anggota HT memaknai Islam kaffah adalah apabila semua berupaya menegakkan khilafah. Siapapun, atau organisasi Islam apapun yang tidak berdakwah untuk menegakkan khilafah dianggap tidak berupaya untuk berislam secara kaffah.
LI: Dalam buku tersebut pada halaman 255, ada sebuah hadist, bunyinya; “Di tengah-tengah kalian ada masa kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu, Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Dia ada dan atas izin Allah, dia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan yang zalim), dia juga ada dan atas izin Allah dia akan tetap ada. Lalu Dia mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian aka nada kekuasaan diktator yang menyengsarakan, dia juga ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Selanjutnya, akan ada kembali khilafah yang mengikuti manhaj kenabian (HR Ahmad).” Hadist ini dihubungkan dengan Surat An-Nuur: 55
Dalam hadist di atas, ada redaksi, “Akan ada kembali khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” Felix mengartikan kalimat ini adalah kebangkitan khilafah yang kedua kalinya yang akan membawa kita kembali ke zaman Rasulullah Saw. Benarkah ayat dan hadits tersebut merupakan sandaran bagi penegakan khilafah?
ARA: Ini juga hal yang perlu dikritisi. Pengaitan hadits dari Imam Ahmad tersebut dengan QS. An Nur : 55 tentu untuk memperkuat argumentasi HT dalam meyuarakan dakwah penegakan khilafah. Fokus mereka hanya penegakan khilafah. Walaupun secara historis, korelasi makna ini tidak ada riwayatnya. Jadi sepertinya mereka menafsirkan untuk memperkuat hadis tersebut dengan menggunakan ayat al-Qur’an.
LI: Felix Siaw kemudian menghubungkan hadits di atas dengan Surat Ath-Thalaq ayat 2-3 dan An-Nissa : 95. Nubuat tentang tegaknya khilafah kembali harus disikapi dengan taqwa, dan diperjuangkan. Apakah ini tepat? Apakah wajib bagi kita umat muslim memperjuangkan tegaknya khilafah?
ARA: Bagi HT memperjuangkan penegakan khilafah adalah wajib. Bahkan sesiapa yang tidak berupaya, berleha-leha atau santai-santai tidak memperjuangkan khilafah, maka orang tersebut berdosa. Tidak hanya berdosa, menurut kitab-kitab HT, mereka telah melakukan akbarul ma’ashi (kemaksiatan yang besar) yang akan disiksa oleh Allah dengan siksa yang teramat pedih. Tidak terbayangkan nalar HT ini bagi mereka yang menolak khilafah, apa sebutannya. Bagi saya sendiri khilafah, adalah masalah ijtihad yang tidak harus didosa-dosakan bagi yang tidak memperjuangkan penegakannya. Tidak terpikirkan, seberapa banyak ulama kita yang mukhlis yang telah berupaya berjuang dan mendirikan NKRI ini yang berarti telah berdosa, karena para ulama kita ini tidak menjadikan NKRI sebagai khilafah.
LI: Pada halaman 258, disebutkan “Sesungguhnya tidak ada jalan lain bagi orang yang berpikir sehat, dan tidak ada pilihan lain bagi seorang mukmin bahwa solusi satu-satunya bagi keterpurukan umat saat ini adalah mengembalikan aqidah dan syariat Islam…”
Lalu halaman 262- 263, “Rasul bersabda bahwa sesudah beliau tidak akan ada lagi nabi, melainkan khalifah. Rasul memberi nama penggantinya dengan (khulafa) yang merupakan bentuk jamak dari khalifah. Maka nama kepemimpinan ini adalah khilafah. Inilah kekuasaan yang dimaksud dalam Islam, yang dapat menjamin diterapkannya hukum Allah di atas muka bumi dan memberikan kesejahteraan serta keadilan bagi seluruh alam..”
Benarkah khilafah merupakan solusi dari segala permasalahan umat?
ARA: Bagi HT, khilafah solusi segala apapun problem yang ada di dunia, dan sebaliknya, demokrasi adalah biang kerok segala masalah umat manusia. Bagi saya sendiri tentu berbeda pandangan dengan HT.
LI: Jika bukan khilafah sebagai solusinya, lalu apa yang ideal untuk memperbaiki umat Islam pada hari ini Ustad?
ARA: Solusi ideal harus dimulai dari yang real (nyata). Yakni dimulai dari meresonansi persatuan di antara umat Islam dan negara Islam. Jangan sampai mudah dipecah belah dan diadu domba, terutama dari mainsteram umat Islam Sunnah dan Syiah. Nanti yang ideal, kita tunggu Imam Mahdi yang hadisnya diakui oleh mayoritas umat Islam, baik Sunni maupun Syi’i.
LI: Ini pertanyaan terakhir Ustad. Kami sangat prihatin dengan kondisi Timur Tengah saat ini. Sekelompok kaum yang mengklaim diri menegakkan khilafah /daulah Islam tidak segan-segan melakukan ‘penggal leher’ kepada lawannya, dan memamerkannya dengan bangga di hadapan kamera. Bahkan dalam sebuah video, mereka menggunakan kepala-kepala lawannya ini sebagai mainan sepak bola. Hal ini menggiring opini bahwa Islam adalah agama yang kejam dan bar-bar. Sayangnya, hadits tentang penggal leher ini ada, seperti yang termaktub dalam kitab Hizb at-Tahrir, Ajhizat Dawlat al-Khilafah halaman 11. Bagimana menurut Ustad?
ARA: Ini sangat memprihatinkan, dan tidak sesuai dengan prinsip Islam yang damai dan berkasih sayang. Islam hadir untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, sehingga jika ada yang melakukan kekejaman seperti itu, mereka tidaklah merupakan representasi dari Islam itu sendiri. Saya tidak bisa menjawab dengan pasti apa motif mereka melakukan tindakan barbar seperti itu. Apakah hal tersebut karena motif hadist, atau motif hawa nafsu, dendam, hati yang keras, atau bahkan karena kultur barbar. Semuanya mungkin.
Segala permasalahan di Timur Tengah seharusnya bisa menjadi peringatan bagi kita rakyat Indonesia, untuk lebih waspada dan hati-hati. Kita adalah negara kesatuan yang unsur-unsurnya begitu beragam, dan kita sudah melihat sendiri hasil ‘penegakan khilafah’ di Timur Tengah. Adakah kesejahteraan dan kedamaian di sana? Kawasan tersebut kacau balau, perang tanpa henti, jutaan rakyat mengungsi, kelaparan dan penyakit dimana-mana. Apakah hal itu yang hendak diinginkan terjadi di Indonesia? (LiputanIslam.com/af)
Sumber Berita : http://liputanislam.com/wawancara/dr-ainur-rofiq-membongkar-kepalsuan-hizbut-tahrir-2/
Kesaksian Mantan Aktivis HTI, Membongkar Kebohongan Proyek Khilafah
Membongkar Kebohongan Proyek KhilafahIde tentang penegakan kembali khilafah, sebagaimana saya jelaskan dalam disertasi, disuarakan dengan sangat lantang dan nyaring oleh kelompok Islam kanan, utamanya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Secara berulang-ulang kelompok ini, lewat tulisan, orasi, dan lainnya, menyuarakan pentingnya menegakka khilafah. Khilafah menjadi mainstream perjuangan, bahkan ideologi politiknya, dengan klaim sebagai solusi atas seluruh problem manusia di dunia ini.
Kelompok ini dengan semangat militan berupaya merekrut kader sebanyak-banyaknya, tak terkecuali kader dari ormas-ormas keagamaan baik NU maupun Muhammadiyah. Dalam upaya merekrut kader dari kalangan NU, mereka menggunakan berbagai argumen yang diharapkan agar kader-kader NU yang tulus dan lugu ini tertarik menjadi pengikutnya.
Nampaknya, argumen-argumen yang dikemukakan oleh aktivis HTI juga dapat memikat kader NU, terbukti beberapa kader NU menjadi anggota Hizbut Tahrir (termasuk penulis yang dulu juga pernah menjadi anggota Hizbut Tahrir).
Argumen yang dijadikan pijakan oleh aktivis HTI untuk menundukkan kader dan warga NU paling tidak ada dua: pertama; argumen historis kelahiran NU. Salah seorang aktivis HTI, Irkham Fahmi dalam tulisannya, “Membongkar Proyek Demokrasi ala PBNU abad 21” menjelaskan bahwa cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama adalah cita-cita agung para ulama nusantara yang tertuang dalam komite khilafah Indonesia.
Selanjutnya Irkham Fahmi menegaskan bahwa KH. Sholahuddin Wahid mengakui keabsahan sejarah ini, sekalipun Gus Sholah menolak relevansi khilafah dengan Indonesia.
Masih banyak lagi tulisan-tulisan sejenis apabila kita berselancar di internet seperti judul, “KH. Abdul Wahab Hasbullah, Tokoh NU & Inisiator Konferensi Khilafah 1926,” atau judul, “NU, NKRI dan Khilafah,” demikian pula judul, “Warga NU Rindu Syariah dan Khilafah,” judul lain, “Respon NU atas Runtuhnya Khilafah,” bahkan tidak hanya mencatut NU, tapi juga ormas Islam lain seperti judul, “Generasi Awal Muhammadiyah & NU Ternyata Pendukung Khilafah.” Basis argumen dari semua judul di atas adalah masalah komite khilafah.
Untuk menjawab argumen di atas, secara historis memang pernah terbentuk apa yang disebut komite khilafah atau CCC (Central Comite Chilafah). Namun yang perlu diklarifikasi adalah, komite ini bukan dibentuk Mbah Wahab, tapi bentukan berbagai kelompok Islam (SI, Muhammadiyah, al-Irsyad, PUI, dll) yang pada waktu itu mempunyai suara mayoritas.
Sekalipun bisa jadi Mbah Wahab dan ulama lain dari kalangan pesantren pernah diajak untuk masuk komite ini. Bukti bahwa komite khilafah bukan bentukan Mbah Wahab dan para ulama pesantren adalah pada kongres-kongres selanjutnya para ulama ini tidak mengikutinya.
Justru yang perlu ditegaskan, selain ada komite khilafah, terdapat komite Hijaz yang memang genuine atau asli bentukan para ulama pesantren yang nantinya bergabung dengan NU.
Komite Hijaz ini lahir, selain tidak sepahamnya Mbah Wahab dengan misi komite khilafah, juga karena kurang aspiratifnya komite ini, juga semangat memperjuangkan tradisi ala ulama seperti ziarah kubur, merayakan maulid Nabi, berislam dengan cara bermazhab agar tidak diberangus oleh kelompok al-Saud atau Wahhabi yang saat itu sampai sekarang berkuasa di Hijaz dan sekitarnya.
Komite Hijaz inilah salah satu cikal bakal kelahiran NU. Akhirnya menjadi tidak benar kalau cikal bakal kelahiran NU adalah dari komite khilafah yang berusaha melakukan pertemuan internasional untuk membahas runtuhnya Turki Utsmani.
Argumen kedua diambilkan dari teks-teks khilafah dalam kitab kuning. Para aktivis HTI memahami bahwa ulama dan kader NU sangat mencintai kitab kuning yang ini dibuktikan dengan diajarkannya kitab-kitab tersebut di pesantren-pesantren NU, sekaligus kitab-kitab ini menjadi rujukan dalam bahtsul masail NU ketika menghadapi suatu masalah baru dalam keagamaan.
Salah seorang penulis dan aktivis HTI, Musthafa A. Murtadlo menulis sebuah buku saku untuk memperkuat argumentasi khilafah dengan mengumpulkan pendapat-pendapat para ulama salaf tentang hal tersebut.
Inti dari buku saku tersebut adalah semua ulama salaf dalam kitab kuning yang menjadi rujukan NU mendukung ide khilafah. Lihat Musthafa A. Murtadlo, Aqwal Para Ulama’ Tentang Wajibnya Imamah (Khilafah).
Argumen kedua ini kalau tidak dicermati secara jeli, maka para kader NU yang tulus dan bergelut dengan kitab kuning akan sangat mempercayainya kemudian mengapresiasi atau bahkan ikut HTI. Namun yang perlu diketahui bahwa konsep atau pemikiran tentang kepemimpinan umat Islam dari para ulama salaf tersebut tidak sama persis dengan yang ditelorkan oleh Hizbut Tahrir.
Selain itu, dalam kitab-kitab klasik tersebut hampir semua tema besarnya menyebut kata al-imamah atau al-imam al-a’zhom. Penyebutan khilafah lebih jarang, hal ini berbeda dengan Hizbut Tahrir yang lebih sering menyebut khilafah sebagai jargón perjuangannya. Bisa diambil contoh dalam kitab-kitab klasik mazhab al-Syafi’i seperti kitab al-Umm juz 1/188 karya al-Syafi’i, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hal. 5 karya al-Mawardi, Rawdhat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muttaqin juz 10/42 karya al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin juz 1/292 karya al-Nawawi, Asna al-Mathalib juz 19/352 karya Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab juz 2/187 karya Zakariya al-Anshari, Minhaj al-Thullab juz 1/157 karya Zakariya al-Anshari, Tuhfat al-Muhtaj juz 9/74 karya Ibn Hajar a-Haytami, Mughni al-Muhtaj juz 5/409 karya Ahmad al-Khathib al-Syarbini, Nihayat al-Muhtaj juz 7/409 karya al-Ramli.
Terakhir dan yang terpenting, untuk menjawab argumen yang kedua sekaligus memperkuat bantahan untuk argumen yang pertama. Kalau para kader NU yang hidup sekarang ini ketika memahami teks-teks kitab kuning tentang imamah atau imam a’zhom tidak melewati model pemahaman sekaligus “bertawassul” lewat Mbah Wahab (KH. Wahab Hasbullah), maka akan mudah tertarik untuk ikut memperjuangkan khilafah ala HTI.
Perlu diketahui, Mbah Wahab dalam pidatonya di parlemen pada tanggal 29 Maret 1954 yang dimuat dalam majalah Gema Muslimin (copy arsip ada di penulis) dengan judul, “Walijjul Amri Bissjaukah” mengatakan,
“Saudara2, dalam hukum Islam jang pedomannja ialah Qur’an dan Hadits, maka di dalam kitab2 agama Islam Ahlussunnaah Waldjama’ah jang berlaku 12 abad di dunia Islam, di situ ada tertjantum empat hal tentang Imam A’dhom dalam Islam, jaitu bahwa Imam A’dhom di seluruh dunia Islam itu hanja satu.
Seluruh dunia Islam jaitu Indonesia, Pakistan, Mesir, Arabia, Irak, mupakat mengangkat satu Imam. Itulah baru nama Imam jang sah, jaitu bukan Imam jang darurat. Sedang orang jang dipilih atau diangkat itu harus orang jang memiliki atau mempunyai pengetahuan Islam jang semartabat mudjtahid mutlak. Orang jang demikian ini sudah tidak ada dari semendjak 700 tahun sampai sekarang.
Kemudian dalam keterangan dalam bab yang kedua, bilamana ummat dalam dunia Islam tidak mampu membentuk Imam A’dhom jang sedemikian kwaliteitnja, maka wadjib atas ummat Islam di-masing2 negara mengangkat Imam jang darurat. Segala Imam jang diangkat dalam keadaan darurat adalah Imam daruri……..Baik Imam A’dhom maupun daruri, seperti bung Karno misalnja, bisa kita anggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara, ialah Walijjul Amri.”
Pidato Mbah Wahab di atas setidaknya dapat ditarik tiga pemahaman: pertama, bahwa mengangkat kepemimpinan tunggal dalam dunia Islam baik yang disebut dengan imamah maupun khilafah sudah tidak mungkin lagi karena syarat seorang imam yang setingkat mujtahid mutlak menurut Mbah Wahab sudah tidak ada lagi semenjak 700 tahun sampai sekarang. Kedua, dari pidato tersebut juga dapat ditarik kesimpulan bahwa presiden Indonesia berikut NKRI adalah sah secara hukum Islam.
Ketiga, pidato ini sekaligus menafikan pendapat bahwa Mbah Wahab bercita-cita menegakkan kembali khilafah dengan membentuk komite khilafah, karena terbukti Mbah Wahab menjelaskan bahwa sudah 700 tahun tidak ada orang yang setingkat mujtahid untuk menduduki kursi sebagai Imam atau khalifah.
Lantas, apa ratio legis Mbah Wahab dengan mengajukan argumen bahwa khilafah sudah tidak mungkin lagi karena syarat seorang imam yang setingkat mujtahid mutlak sudah tidak ada lagi sejak 700 tahun.
Kalau kita membuka lembaran kitab kuning semisal al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi, di situ dijelaskan bahwa ahlul imamah (orang yang berkualifikasi menjadi imam) harus memenuhi syarat adil, berilmu yang mampu untuk berijtihad, selamatnya pancaindera dan fisik dari kekurangan, wawasan kepemimpinan yang luas, keberanian dan nasab Quraisy.
Poin tentang berilmu yang mampu untuk berijtihad inilah nampaknya yang dijadikan pijakan Mbah Wahab.
Menarikanya lagi, dalam pidato tersebut, Mbah Wahab menjelaskan lebih lanjut bahwa karena syarat menjadi imam a’dhom (seperti dalam al-Mawardi) sudah tidak terpenuhi, maka Soekarno absah menjadi pemimpin RI dengan gelar waliyyul amri ad-daruri bissyaukah. Artinya syarat pemimpin yang ideal diturunkan menjadi syarat minimal realistis.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan lain bahwa Gus Dur yang mempunyai kekurangan fisik juga absah menjadi presiden, karena memang presiden tidak sama dengan imam a’dhom sehingga syarat ideal seperti dalam al-Mawardi tidak diperlukan.
Dari uraian singkat di atas, warga dan kader NU sudah tidak perlu lagi terlibat dengan ikut memperjuangkan ide khilafah. Justru yang penting adalah mengisi NKRI supaya bersih dari korupsi dan menjadi negara yang adil dan sejahtera.
Di luar itu, soal kepemimpinan akhir zaman yang mengglobal, kita serahkan saja kepada a waited savior yang dipercaya oleh semua agama dengan berbagai sebutannya: al-Mahdi (Islam), Christos/Christ (Kristen), Ha-Mashiah (Yahudi), Buddha Maytreya (Budha), Kalki Avatar (Hindu), atau Shousyant (Majusi/Zoroaster).
Terlebih hadis yang menjelaskan tentang Imam Mahdi ini mutawatir tidak seperti hadis tentang khilafah (Lihat kitab Nazhmul Mutanatsir minal Haditsil Mutawatir karya Syekh Muhammad bin Ja’far Al- Kattani, dan Asy-Syaukani yang berjudul At-Taudhih Fi Tawaturi Maa Ja-a Fil Mahdil Muntazhor wad-Dajjal wal-Masih). Dengan cara demikian, rakyat Indonesia tidak akan terpecah pikiran dan energinya untuk membongkar NKRI, tapi justru membangunnya demi keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian untuk semua warga bangsa. Wallahu a’lam.
Judul tulisan diadaftasi dari tulisan Dr. H. Ainur Rofiq Al-Amin, SH, M.Ag yang berjudul : Koreksi Argumentasi Sejarah Antara Khilafah, NU dan KH. Wahab Hasbulloh yang dimuat Muslimmedianews
Sumber Berita : http://pwansorjabar.org/kesaksian-mantan-aktivis-hti-membongkar-kebohongan-proyek-khilafah/
Kesaksian Mantan Aktivis HTI, Membongkar Kebohongan Proyek Khilafah 04/25/2017 0 1429
Membongkar Kebohongan Proyek Khilafah
Ide tentang penegakan kembali khilafah, sebagaimana saya jelaskan dalam disertasi, disuarakan dengan sangat lantang dan nyaring oleh kelompok Islam kanan, utamanya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Ide tentang penegakan kembali khilafah, sebagaimana saya jelaskan dalam disertasi, disuarakan dengan sangat lantang dan nyaring oleh kelompok Islam kanan, utamanya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Secara berulang-ulang kelompok ini, lewat tulisan, orasi,
dan lainnya, menyuarakan pentingnya menegakka khilafah. Khilafah menjadi
mainstream perjuangan, bahkan ideologi politiknya, dengan klaim sebagai
solusi atas seluruh problem manusia di dunia ini.
Kelompok ini dengan semangat militan berupaya merekrut
kader sebanyak-banyaknya, tak terkecuali kader dari ormas-ormas
keagamaan baik NU maupun Muhammadiyah. Dalam upaya merekrut kader dari
kalangan NU, mereka menggunakan berbagai argumen yang diharapkan agar
kader-kader NU yang tulus dan lugu ini tertarik menjadi pengikutnya.
Nampaknya, argumen-argumen yang dikemukakan oleh aktivis
HTI juga dapat memikat kader NU, terbukti beberapa kader NU menjadi
anggota Hizbut Tahrir (termasuk penulis yang dulu juga pernah menjadi
anggota Hizbut Tahrir).
Argumen yang dijadikan pijakan oleh aktivis HTI untuk
menundukkan kader dan warga NU paling tidak ada dua: pertama; argumen
historis kelahiran NU. Salah seorang aktivis HTI, Irkham Fahmi dalam
tulisannya, “Membongkar Proyek Demokrasi ala PBNU abad 21” menjelaskan
bahwa cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama adalah cita-cita agung para
ulama nusantara yang tertuang dalam komite khilafah Indonesia.
Selanjutnya Irkham Fahmi menegaskan bahwa KH. Sholahuddin
Wahid mengakui keabsahan sejarah ini, sekalipun Gus Sholah menolak
relevansi khilafah dengan Indonesia.
Masih banyak lagi tulisan-tulisan sejenis apabila kita
berselancar di internet seperti judul, “KH. Abdul Wahab Hasbullah, Tokoh
NU & Inisiator Konferensi Khilafah 1926,” atau judul, “NU, NKRI dan
Khilafah,” demikian pula judul, “Warga NU Rindu Syariah dan Khilafah,”
judul lain, “Respon NU atas Runtuhnya Khilafah,” bahkan tidak hanya
mencatut NU, tapi juga ormas Islam lain seperti judul, “Generasi Awal
Muhammadiyah & NU Ternyata Pendukung Khilafah.” Basis argumen dari
semua judul di atas adalah masalah komite khilafah.
Untuk menjawab argumen di atas, secara historis memang
pernah terbentuk apa yang disebut komite khilafah atau CCC (Central
Comite Chilafah). Namun yang perlu diklarifikasi adalah, komite ini
bukan dibentuk Mbah Wahab, tapi bentukan berbagai kelompok Islam (SI,
Muhammadiyah, al-Irsyad, PUI, dll) yang pada waktu itu mempunyai suara
mayoritas.
Sekalipun bisa jadi Mbah Wahab dan ulama lain dari kalangan
pesantren pernah diajak untuk masuk komite ini. Bukti bahwa komite
khilafah bukan bentukan Mbah Wahab dan para ulama pesantren adalah pada
kongres-kongres selanjutnya para ulama ini tidak mengikutinya.
Justru yang perlu ditegaskan, selain ada komite khilafah,
terdapat komite Hijaz yang memang genuine atau asli bentukan para ulama
pesantren yang nantinya bergabung dengan NU.
Komite Hijaz ini lahir, selain tidak sepahamnya Mbah Wahab
dengan misi komite khilafah, juga karena kurang aspiratifnya komite ini,
juga semangat memperjuangkan tradisi ala ulama seperti ziarah kubur,
merayakan maulid Nabi, berislam dengan cara bermazhab agar tidak
diberangus oleh kelompok al-Saud atau Wahhabi yang saat itu sampai
sekarang berkuasa di Hijaz dan sekitarnya.
Komite Hijaz inilah salah satu cikal bakal kelahiran NU.
Akhirnya menjadi tidak benar kalau cikal bakal kelahiran NU adalah dari
komite khilafah yang berusaha melakukan pertemuan internasional untuk
membahas runtuhnya Turki Utsmani.
Argumen kedua diambilkan dari teks-teks khilafah dalam
kitab kuning. Para aktivis HTI memahami bahwa ulama dan kader NU sangat
mencintai kitab kuning yang ini dibuktikan dengan diajarkannya
kitab-kitab tersebut di pesantren-pesantren NU, sekaligus kitab-kitab
ini menjadi rujukan dalam bahtsul masail NU ketika menghadapi suatu
masalah baru dalam keagamaan.
Salah seorang penulis dan aktivis HTI, MusSalah seorang
penulis dan aktivis HTI, Musthafa A. Murtadlo menulis sebuah buku saku
untuk memperkuat argumentasi khilafah dengan mengumpulkan
pendapat-pendapat para ulama salaf tentang hal tersebut.
Inti dari buku saku tersebut adalah semua ulama salaf dalam
kitab kuning yang menjadi rujukan NU mendukung ide khilafah. Lihat
Musthafa A. Murtadlo, Aqwal Para Ulama’ Tentang Wajibnya Imamah
(Khilafah).
Argumen kedua ini kalau tidak dicermati secara jeli, maka
para kader NU yang tulus dan bergelut dengan kitab kuning akan sangat
mempercayainya kemudian mengapresiasi atau bahkan ikut HTI. Namun yang
perlu diketahui bahwa konsep atau pemikiran tentang kepemimpinan umat
Islam dari para ulama salaf tersebut tidak sama persis dengan yang
ditelorkan oleh Hizbut Tahrir.
Selain itu, dalam kitab-kitab klasik tersebut hampir semua
tema besarnya menyebut kata al-imamah atau al-imam al-a’zhom. Penyebutan
khilafah lebih jarang, hal ini berbeda dengan Hizbut Tahrir yang lebih
sering menyebut khilafah sebagai jargón perjuangannya. Bisa diambil
contoh dalam kitab-kitab klasik mazhab al-Syafi’i seperti kitab al-Umm
juz 1/188 karya al-Syafi’i, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hal. 5 karya
al-Mawardi, Rawdhat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muttaqin juz 10/42 karya
al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin juz 1/292 karya al-Nawawi, Asna
al-Mathalib juz 19/352 karya Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab juz
2/187 karya Zakariya al-Anshari, Minhaj al-Thullab juz 1/157 karya
Zakariya al-Anshari, Tuhfat al-Muhtaj juz 9/74 karya Ibn Hajar
a-Haytami, Mughni al-Muhtaj juz 5/409 karya Ahmad al-Khathib
al-Syarbini, Nihayat al-Muhtaj juz 7/409 karya al-Ramli.
Terakhir dan yang terpenting, untuk menjawab argumen yang
kedua sekaligus memperkuat bantahan untuk argumen yang pertama. Kalau
para kader NU yang hidup sekarang ini ketika memahami teks-teks kitab
kuning tentang imamah atau imam a’zhom tidak melewati model pemahaman
sekaligus “bertawassul” lewat Mbah Wahab (KH. Wahab Hasbullah), maka
akan mudah tertarik untuk ikut memperjuangkan khilafah ala HTI.
Perlu diketahui, Mbah Wahab dalam pidatonya di parlemen
pada tanggal 29 Maret 1954 yang dimuat dalam majalah Gema Muslimin (copy
arsip ada di penulis) dengan judul, “Walijjul Amri Bissjaukah”
mengatakan,
“Saudara2, dalam hukum Islam jang pedomannja ialah Qur’an dan Hadits, maka di dalam kitab2 agama Islam Ahlussunnaah Waldjama’ah jang berlaku 12 abad di dunia Islam, di situ ada tertjantum empat hal tentang Imam A’dhom dalam Islam, jaitu bahwa Imam A’dhom di seluruh dunia Islam itu hanja satu.
“Saudara2, dalam hukum Islam jang pedomannja ialah Qur’an dan Hadits, maka di dalam kitab2 agama Islam Ahlussunnaah Waldjama’ah jang berlaku 12 abad di dunia Islam, di situ ada tertjantum empat hal tentang Imam A’dhom dalam Islam, jaitu bahwa Imam A’dhom di seluruh dunia Islam itu hanja satu.
Seluruh dunia Islam jaitu Indonesia, Pakistan, Mesir,
Arabia, Irak, mupakat mengangkat satu Imam. Itulah baru nama Imam jang
sah, jaitu bukan Imam jang darurat. Sedang orang jang dipilih atau
diangkat itu harus orang jang memiliki atau mempunyai pengetahuan Islam
jang semartabat mudjtahid mutlak. Orang jang demikian ini sudah tidak
ada dari semendjak 700 tahun sampai sekarang.
Kemudian dalam keterangan dalam bab yang kedua, bilamana ummat dalam dunia Islam tidak mampu membentuk Imam A’dhom jang sedemikian kwaliteitnja, maka wadjib atas ummat Islam di-masing2 negara mengangkat Imam jang darurat. Segala Imam jang diangkat dalam keadaan darurat adalah Imam daruri……..Baik Imam A’dhom maupun daruri, seperti bung Karno misalnja, bisa kita anggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara, ialah Walijjul Amri.”
Kemudian dalam keterangan dalam bab yang kedua, bilamana ummat dalam dunia Islam tidak mampu membentuk Imam A’dhom jang sedemikian kwaliteitnja, maka wadjib atas ummat Islam di-masing2 negara mengangkat Imam jang darurat. Segala Imam jang diangkat dalam keadaan darurat adalah Imam daruri……..Baik Imam A’dhom maupun daruri, seperti bung Karno misalnja, bisa kita anggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara, ialah Walijjul Amri.”
Pidato Mbah Wahab di atas setidaknya dapat ditarik tiga
pemahaman: pertama, bahwa mengangkat kepemimpinan tunggal dalam dunia
Islam baik yang disebut dengan imamah maupun khilafah sudah tidak
mungkin lagi karena syarat seorang imam yang setingkat mujtahid mutlak
menurut Mbah Wahab sudah tidak ada lagi semenjak 700 tahun sampai
sekarang. Kedua, dari pidato tersebut juga dapat ditarik kesimpulan
bahwa presiden Indonesia berikut NKRI adalah sah secara hukum Islam.
Ketiga, pidato ini sekaligus menafikan pendapat bahwa Mbah
Wahab bercita-cita menegakkan kembali khilafah dengan membentuk komite
khilafah, karena terbukti Mbah Wahab menjelaskan bahwa sudah 700 tahun
tidak ada orang yang setingkat mujtahid untuk menduduki kursi sebagai
Imam atau khalifah.
Lantas, apa ratio legis Mbah Wahab dengan mengajukan
argumen bahwa khilafah sudah tidak mungkin lagi karena syarat seorang
imam yang setingkat mujtahid mutlak sudah tidak ada lagi sejak 700
tahun.
Kalau kita membuka lembaran kitab kuning semisal al-Ahkam
al-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi, di situ dijelaskan bahwa ahlul
imamah (orang yang berkualifikasi menjadi imam) harus memenuhi syarat
adil, berilmu yang mampu untuk berijtihad, selamatnya pancaindera dan
fisik dari kekurangan, wawasan kepemimpinan yang luas, keberanian dan
nasab Quraisy.
Poin tentang berilmu yang mampu untuk berijtihad inilah nampaknya yang dijadikan pijakan Mbah Wahab.
Menarikanya lagi, dalam pidato tersebut, Mbah Wahab
menjelaskan lebih lanjut bahwa karena syarat menjadi imam a’dhom
(seperti dalam al-Mawardi) sudah tidak terpenuhi, maka Soekarno absah
menjadi pemimpin RI dengan gelar waliyyul amri ad-daruri bissyaukah.
Artinya syarat pemimpin yang ideal diturunkan menjadi syarat minimal
realistis.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan lain bahwa Gus Dur yang mempunyai kekurangan fisik juga absah menjadi presiden, karena memang presiden tidak sama dengan imam a’dhom sehingga syarat ideal seperti dalam al-Mawardi tidak diperlukan.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan lain bahwa Gus Dur yang mempunyai kekurangan fisik juga absah menjadi presiden, karena memang presiden tidak sama dengan imam a’dhom sehingga syarat ideal seperti dalam al-Mawardi tidak diperlukan.
Dari uraian singkat di atas, warga dan kader NU sudah tidak
perlu lagi terlibat dengan ikut memperjuangkan ide khilafah. Justru
yang penting adalah mengisi NKRI supaya bersih dari korupsi dan menjadi
negara yang adil dan sejahtera.
Di luar itu, soal kepemimpinan akhir zaman yang mengglobal,
kita serahkan saja kepada a waited savior yang dipercaya oleh semua
agama dengan berbagai sebutannya: al-Mahdi (Islam), Christos/Christ
(Kristen), Ha-Mashiah (Yahudi), Buddha Maytreya (Budha), Kalki Avatar
(Hindu), atau Shousyant (Majusi/Zoroaster).
Terlebih hadis yang menjelaskan tentang Imam Mahdi ini
mutawatir tidak seperti hadis tentang khilafah (Lihat kitab Nazhmul
Mutanatsir minal Haditsil Mutawatir karya Syekh Muhammad bin Ja’far Al-
Kattani, dan Asy-Syaukani yang berjudul At-Taudhih Fi Tawaturi Maa Ja-a
Fil Mahdil Muntazhor wad-Dajjal wal-Masih). Dengan cara demikian, rakyat
Indonesia tidak akan terpecah pikiran dan energinya untuk membongkar
NKRI, tapi justru membangunnya demi keadilan, kesejahteraan, dan
kedamaian untuk semua warga bangsa. Wallahu a’lam.
Judul tulisan diadaftasi dari tulisan Dr. H. Ainur Rofiq
Al-Amin, SH, M.Ag yang berjudul : Koreksi Argumentasi Sejarah Antara
Khilafah, NU dan KH. Wahab Hasbulloh yang dimuat Muslimmedianews
Sumber Berita : http://ansorkecklangenan.blogspot.com/2017/04/kesaksian-mantan-aktivis-hti-membongkar.html
Mantan Anggota Blak-blakan tentang "Dapur" HTI
Siswanto | Nikolaus Tolen
Mantan anggota organisasi Hizbut Tahrir Indonesia Ainur Rofik Al Amin blak-blakan tentang HTI.
"Yang ingin saya katakan, HTI sering menggunakan dalil debatable, tetapi itu diyakinkan sebagai yang benar. Dia menggambarkan ingin menetapkan khilafah mulai zaman rasul. Dia memaksakan dalil. Itu yang saya sebut inagurasi dalil," kata Ainur di acara bedah buku karyanya yang bertajuk Membongkar Proyek Khilafah Ala HTI di Dhotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (30/5/2017).
Itu sebabnya, Ainur mengingatkan masyarakat tak mudah percaya dengan dakwah pengikut HTI.
"Kalau anda ketemu Hizbut Tahrir jangan terlalu meyakini, itu hanya hasil ijtihadnya ulama mereka. Tapi sayangnya ini bagi pengikutnya dianggap kebenaran," kata Ainur.
Menurut Ainur pemikiran HTI mengandung rekayasa pemahaman seolah khilafah merupakan keharusan dalam ajaran Islam.
"Khilafah seolah sama dengan Islam. Kalau anda menafikan khilafah, anda menafikan Islam. Dia berusaha mengonstruksi untuk memperkuat ideologi khilafah," kata dosen UIN Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur.
Ainur mengungkapkan HTI mewajibkan anggota mempunyai buku wajib. Buku wajib tersebut, kata dia, merupakan panduan.
"Sebanyak 18 kitab. Di situ membicarakan bagaimana cara memasarkan khilafah mereka. Kemudian HTI dalam metodologinya, untuk memperoleh khilafah mereka memiliki cara, dan cara ini baku, istilahnya tarekah, dan cara ini wajib dilakukan karena meniru nabi," katanya.
Ainur juga menyoroti kaderisasi HTI. Dalam proses kaderisasi, kata Ainur, mereka mengajarkan dengan pedoman buku wajib tadi.
"Misalkan dengan metode taskif. Istilahnya membina atau mengkader. Mereka lebih serius dan tidak senang guyon. Mereka ditawari tentang gagasan HTI," kata Ainur.
HTI merupakan organisasi yang akan dibubarkan pemerintah karena dianggap anti Pancasila. HTI dinilai bercita-cita mendirikan Khilafah Islamiyah, pemerintahan berasaskan hukum Islam.
Ainur mengungkapkan HTI mewajibkan anggota mempunyai buku wajib. Buku wajib tersebut, kata dia, merupakan panduan.
Sumber Berita : https://www.suara.com/news/2017/05/30/194923/mantan-anggota-blak-blakan-tentang-dapur-hti
Geger Bendera Tauhid, Boni: HTI Goyang NU Guna Dirikan Khilafah
Reza Gunadha | Ria Rizki Nirmala Sari
Suara.com - Pengamat Politik Boni Hargens menilai, aksi pembakaran bendera berkalimat tauhid oleh Banser NU di Garut, Jawa Barat, Minggu (21/10) akhir pekan lalu, merupakan skenario organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Boni mengendus ada upaya HTI yang ingin membangun negara khilafah, dengan mengkambinghitamkan Nahdlatul Ulama (NU).
Ia menjelaskan, jejak HTI seusai dibubarkan pemerintah dapat jelas terlihat. Menurutnya, HTI bergerak melalui jalur politik. Selain itu, mereka mencoba untuk menjatuhkan NU yang memiliki kekuatan Islam besar di Indonesia.
"Jangan biarkan mereka menguasai upaya pembentukan opini, persepsi yang fatal, buruk, negatif seakan-akan Nahdlatul Ulama sedang melakukan penistaan. Itu kan yang mau mereka bangun," kata Boni dalam diskusi yang bertajuk “Hoax & HTI Masih Bergentayangan” di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (26/10/2018).
Selain ingin menggoyang superioritas NU, menurut Boni, strategi HTI untuk membangun khilafah di Indonesia juga ditempuh melalui pemilu. Nantinya, mereka akan mengirim perwakilan-perwakilannya hingga lolos masuk ke dalam parlemen.
"Nanti kalau kandidat mereka menang, mereka akan merongrong sampai konstitusi itu diamandemen dan khilafah itu didirikan, otomatis," ujarnya.
Oleh karenanya, Boni mengingatkan publik aksi pembakaran bendera tauhid oleh Banser NU di Garut bukanlah persoalan agama.
"Kita tidak sedang bermasalah dengan agama, tidak ada masalah dengan Islam, tidak ada satu pun cacat dengan Islam. Yang bermasalah adalah kelompok garis keras, Hizbut Tahrir. Maka kita semua harus bersatu dan memerangi secara bersama," pungkasnya.
"Seakan-akan Nahdlatul Ulama sedang melakukan penistaan. Itu kan yang mau mereka bangun," kata Boni.
Sumber Berita : https://www.suara.com/news/2018/10/26/204605/geger-bendera-tauhid-boni-hti-goyang-nu-guna-dirikan-khilafah
Boni: Yang Dibakar Banser Bendera HTI, Ada di Buku Ajhizatu
Reza Gunadha
Suara.com - Boni Hargens, pengamat politik, menilai bendera yang dibakar Banser Nahdlatul Ulama di Garut, Jawa Barat, Minggu (21/10) akhir pekan lalu, adalah simbol organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia, bukan bendera tauhid.
Ia menuturkan, penilaiannya itu bukan tanpa dasar. Boni menyebutkan, persoalan bendera itu tertera dalam buku terbitan HTI.
”Itu bendera HTI. Jangan sebut itu bendera tauhid,” tegasnya kepada Covesia—jaringan Suara.com, Jumat (26/10/2018). Ia menjelaskan, ciri-ciri bendera itu tertuang dalam buku yang berjudul Ajhizatu ad-Daulah al-Khilafah yang diterbitkan HTI Press. "Baca buku Ajhizah-Struktur negara Khilafah. Judul aslinya Ajhizatu Ad-Daulah Al-Khilafah.
Terbit tahun 2006, edisi terjemahan terbit 2008. Oleh penerbit HTI
Press. Tentang bendera dan panji di halaman 285,” jelas Boni.
Menurut Boni, dalam buku tersebut sudah jelas bahwa bendera berwarna hitam merupakan bendera perang HTI.
"Jelas kok yang hitam itu bendera Perang HTI. Yang warna putih bendera untuk pemerintahan khilafah,” terangnya.
Sumber Berita : https://www.suara.com/news/2018/10/26/174554/boni-yang-dibakar-banser-bendera-hti-ada-di-buku-ajhizatu
JawaPos.com - Mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ainur Rofik Al Amin, buka-bukaan terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas) tersebut.
Ainur mengaku masuk menjadi anggota HTI sejak tahun 1993, namun pada tahun 1998 dia memutuskan keluar dari ormas yang didirikan oleh Syekh Taqiyuddin An Nabhani ini.
Menurut Ainur, ajaran-ajaran HTI bertentangan dengan Pancasila dan Negara Kasatuan Republik Indonesia (NKRI). Di mana para keder atau anggota sedari awal didoktrin untuk menentang nasionalisme pemerintah dan demokrasi yang dianut di Indonesia.
"Jadi HTI ini selalu menentang dengan ide-ide yang bertentangan dengan Islam," ujar Ainur dalam bedah buku di D Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta, Selasa (30/5).
Selain itu HTI dalam pemikirannya tidak pernah mengapresiasi kinerja pemerintah. Karena dalam doktrinnya semua kebijakan dan program-program pemerintah harus dikritik. Seperti contohnya banyak korupsi di Indonesia maka HTI akan menyalahkan pemerintah, kemudian menjamurnya bandar narkoba di Indonesia HTI juga akan menyudutkan pemerintah.
"Jadi HTI ini akan melakukan kritik intinya mereka mau menelanjangi rezim. Dan HTI pada akhirnya akan menawarkan khilafah yang tujuannya mendirikan negara Islam," katanya.
Oleh sebab itu, penulis buku Membongkar Proyek Khilafah ala HTI ini berpesan kepada ormas tersebut untuk kembali ke jalan yang benar. Seperti bersama pemerintah membangun NKRI dan memperkuat ideologi Pancasila.
"Semangat HTI yang menggebu-gebu sebaiknya digunakan untuk membangun NKRI, yang kurang mari diisi dan yang sudah bagus dipertahankan," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menegaskan pemerintah mewacanakan membubarkan HTI. Wiranto menganggap ormas tersebut anti terhadap Pancasila dan NKRI karena mereka mengusung ideologi khilafah.
Dalam catatannya Wiranto menyebut ada 20 negara di seluruh dunia yang melarang eksistensi HTI. Negara tersebut mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Turki, Arab Saudi, Pakistan, Mesir, Yordania hingga Malaysia.(cr2/JPG)
Ainur Rofiq Al-Amin, merupakan eks HTI yang bersedia berbagi pengalamannya. Ia mengaku, memutuskan keluar dari HTI setelah memahami bahwa paham yang dianut HTI tidak sesuai dengan landasan NKRI.
"Intinya kita memiliki perkembangan pemikiran, ada berubah pemikiran, dengan membaca, merefleksi, berdiskusi, dan akhirnya kita memahami bahwa HTI itu adalah salah, karena tidak sesuai dengan NKRI dan seterusnya," kata Rofiq, di Universitas Islam Lamongan (Unisla), Jum'at, (2/10/2018).
Di seminar bahaya HTI terhadap keutuhan NKRI itu, Rofiq menyebut bahwa di dalam HTI memang diberikan doktrin-doktrin bahwa selama ini NKRI menggunakan sistim yang kufur.
"Ada doktrin bahwa Indonesia menggunakan sistim kufur. Kalau anda masih menyetujui NKRI, ya mari jaga NKRI, tapi kalau anda ingin ganti khilafah ya silahkan, kalau saya nggak mau. Karena ulama kita sudah mengatakan bahwa NKRI itu merupakan hasil ijtihad," tuturnya.
Di tempat yang sama, Kapolres Lamongan, AKBP Feby D.P Hutagalung mengatakan, kesaksian dari mantan HTI ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan pencerahan kepada seluruh elemen masyarakat tentang faham HTI.
"Kesaksian beliau inilah yang kita harapkan bisa mencegah faham HTI maupun paham-paham radikal lainnya yang bertentangan dengan ideologi bangsa,” ujarnya.
Sebab, apabila ideologi dan sistim NKRI sampai diubah menjadi sistim khilafah, maka hal itu akan merusak tatanan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.
"Ini yang sangat membahayakan. Makanya kita harus sigap, harus waspada, walaupun berdasarkan data intelejen HTI di Lamongan tidak begitu besar, tapi hangan sampai kita kecolongan," ucap Feby.
Lebih lanjut Feby membeberkan, dipilihnya Unisla sebagai lokasi seminar, sebab dikatakannya, lembaga pendidikan selama ini menjadi pintu masuk HTI untuk menyebarkan pahamnya.
"Maka pintu masuk di lembaga pendidikan ini harus bisa ditutup sama-sama, tentunya dengan melibatkan pengajar dan mahasiswa,” katanya.
Feby yakin dengan kesigapan kepolisian dan, juga tokoh NU dan Muhammadiyah, lambat laun HTI akan hilang dari NKRI. “Kita benar-benar harus dikikis sampai habis," tuturnya. (*)
Sumber Berita :
https://www.timesindonesia.co.id/read/188385/20181102/192714/mantan-pengikut-hti-ungkap-bahaya-paham-hti-untuk-nkri/
Kamis, 01 November 2018 07:34
Merdeka.com - Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah bersepakat untuk menjaga persatuan Islam di Indonesia. Kekhawatiran perpecahan itu lantaran muncul watak Islam beringas, radikal, dan keras belakangan ini.
Menurut Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, watak seperti itu tidak sesuai dengan jati diri umat Islam Indonesia.
"Belakangan ini, kita rasakan ada sesuatu yang aneh, ada sesuatu asing ini antar saudara kita jadi beringas radikal keras, ini sama sekali tak tunjukan watak jati diri umat Islam Indonesia," ujarnya saat konferensi pers pertemuan NU dan Muhammadiyah di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Rabu (31/10).
Bahkan Said Aqil mengaku pernah membaca soal cita-cita pendirian Khilafah rampung di seluruh Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Dia juga khawatir kondisi umat Islam di Indonesia tak seperti Timur Tengah yang berkonflik.
"Bahkan saya baca kalau enggak salah ada rencana tahun 2024 harus sudah ada khilafah di Asean ini termasuk di Indonesia mudah-mudahan mimpi ini tidak terjadi tidak akan terlaksana, terjadi berkat ada NU dan Muhammadiyah sebagai ormas menjaga civil society menjaga konstitusi empat pilar bahasa politiknya, dulu sekarang dan seterusnya," kata dia.
Saat dikonfirmasi, Said tak segan menyebut pihak-pihak yang bermimpi mendirikan khilafah itu adalah Hizbut Tahrir Indonesia. Dia pun menegaskan bakal melawan siapapun yang merongrong Indonesia.
Disinggung peristiwa pembakaran bendera merupakan kesengajaan oleh pihak yang ingin mendirikan Khilafah, Said tak tegas menjawab. Dia hanya menjelaskan bagaimana bendera serupa HTI yang dibakar tidak seharusnya berada di Hari Santri.
"Hari santri itu tidak boleh ada bendera kecuali merah putih. Bendera NU pun enggak ada. Enggak ada bendera NU. Kecuali merah putih dan masing-masing yang rombongan itu hanya memamerkan dari pesantren mana, Al falah misalnya. Itu saja yang dibawa," jelasnya.
Dia mengatakan saat ini NU dan Muhammadiyah juga berusaha meredam suasana pasca kemarahan sejumlah kelompok atas peristiwa pembakaran bendera mirip HTI. Said Aqil pun yakin hanya segelintir orang yang bersimpati dengan kelompok HTI pasca peristiwa tersebut.
"NU-Muhammadiyah terutama, sekuat tenaga lah meredam, mendinginkan suasana," pungkasnya. [eko]
Pertemuan PBNU dan Muhammadiyah. ©2018 Liputan6.com
Sumber Berita : https://www.merdeka.com/peristiwa/nu-dan-muhammadiyah-bakal-halau-pendirian-khilafah-di-indonesia.html
Sikap ini dinyatakan dalam pertemuan antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu malam, 31 Oktober 2018.
Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini, mengungkapkan ada empat sikap yang disepakati bersama antara NU dan Muhammadiyah. Sikap pertama, dua ormas ini berkomitmen kuat untuk menegakkan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berasaskan Pancasila sebagai sistem kenegaraan yang Islami.
" Bersamaan dengan itu, menguatkan dan memperluas kebersamaan dengan seluruh kompinen bangsa dalam meneguhkan integrasi nasional dalam suasana yang damai, persaudaraan, dan saling berbagi untuk persatuan dan kemajuan bangsa," ujar Helmy, dikutip dari Liputan6.com, Kamis 1 Oktober 2018.
Helmy mengatakan, sikap kedua, NU dan Muhammadiyah mendukung sistem demokrasi sebagai mekanisme politik kenegaraan. Selain itu, dua ormas ini mendorong seleksi kepemimpinan nasional dijalankan secara profesional, konstitusional, jujur dan beradab.
" Semua pihak agar mendukung proses demokrasi yang substantif serta bebas dari politik yang koruptif dan transaksional demi tegaknya kehidupan politik yang dijiwai nilai-nilai Agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur Indonesia," kata dia.
Sumber Berita : https://www.dream.co.id/news/nu-muhammadiyah-kompak-halau-paham-khilafah-1811013.html
Re-Post by MigoBerita / Sabtu/03112018/12.48Wita/Bjm
"Jelas kok yang hitam itu bendera Perang HTI. Yang warna putih bendera untuk pemerintahan khilafah,” terangnya.
"Jelas kok yang hitam itu bendera Perang HTI. Yang warna putih bendera untuk pemerintahan khilafah, terangnya.
Saat Mantan Anggota HTI Buka-Bukaan Soal Organisasinya
JawaPos.com - Mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ainur Rofik Al Amin, buka-bukaan terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas) tersebut.
Ainur mengaku masuk menjadi anggota HTI sejak tahun 1993, namun pada tahun 1998 dia memutuskan keluar dari ormas yang didirikan oleh Syekh Taqiyuddin An Nabhani ini.
Menurut Ainur, ajaran-ajaran HTI bertentangan dengan Pancasila dan Negara Kasatuan Republik Indonesia (NKRI). Di mana para keder atau anggota sedari awal didoktrin untuk menentang nasionalisme pemerintah dan demokrasi yang dianut di Indonesia.
"Jadi HTI ini selalu menentang dengan ide-ide yang bertentangan dengan Islam," ujar Ainur dalam bedah buku di D Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta, Selasa (30/5).
Selain itu HTI dalam pemikirannya tidak pernah mengapresiasi kinerja pemerintah. Karena dalam doktrinnya semua kebijakan dan program-program pemerintah harus dikritik. Seperti contohnya banyak korupsi di Indonesia maka HTI akan menyalahkan pemerintah, kemudian menjamurnya bandar narkoba di Indonesia HTI juga akan menyudutkan pemerintah.
"Jadi HTI ini akan melakukan kritik intinya mereka mau menelanjangi rezim. Dan HTI pada akhirnya akan menawarkan khilafah yang tujuannya mendirikan negara Islam," katanya.
Oleh sebab itu, penulis buku Membongkar Proyek Khilafah ala HTI ini berpesan kepada ormas tersebut untuk kembali ke jalan yang benar. Seperti bersama pemerintah membangun NKRI dan memperkuat ideologi Pancasila.
"Semangat HTI yang menggebu-gebu sebaiknya digunakan untuk membangun NKRI, yang kurang mari diisi dan yang sudah bagus dipertahankan," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menegaskan pemerintah mewacanakan membubarkan HTI. Wiranto menganggap ormas tersebut anti terhadap Pancasila dan NKRI karena mereka mengusung ideologi khilafah.
Dalam catatannya Wiranto menyebut ada 20 negara di seluruh dunia yang melarang eksistensi HTI. Negara tersebut mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Turki, Arab Saudi, Pakistan, Mesir, Yordania hingga Malaysia.(cr2/JPG)
Mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ainur Rofik Al Amin. (Gunawan/JPG)
Sumber Berita : https://www.jawapos.com/nasional/humaniora/30/05/2017/saat-mantan-anggota-hti-buka-bukaan-soal-organisasinya Mantan Pengikut HTI, Ungkap Bahaya Paham HTI untuk NKRI
TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Mantan pengikut Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) memberikan kesaksiannya bagaimana bahayanya paham yang diusung HTI terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Ainur Rofiq Al-Amin, merupakan eks HTI yang bersedia berbagi pengalamannya. Ia mengaku, memutuskan keluar dari HTI setelah memahami bahwa paham yang dianut HTI tidak sesuai dengan landasan NKRI.
"Intinya kita memiliki perkembangan pemikiran, ada berubah pemikiran, dengan membaca, merefleksi, berdiskusi, dan akhirnya kita memahami bahwa HTI itu adalah salah, karena tidak sesuai dengan NKRI dan seterusnya," kata Rofiq, di Universitas Islam Lamongan (Unisla), Jum'at, (2/10/2018).
Di seminar bahaya HTI terhadap keutuhan NKRI itu, Rofiq menyebut bahwa di dalam HTI memang diberikan doktrin-doktrin bahwa selama ini NKRI menggunakan sistim yang kufur.
"Ada doktrin bahwa Indonesia menggunakan sistim kufur. Kalau anda masih menyetujui NKRI, ya mari jaga NKRI, tapi kalau anda ingin ganti khilafah ya silahkan, kalau saya nggak mau. Karena ulama kita sudah mengatakan bahwa NKRI itu merupakan hasil ijtihad," tuturnya.
Di tempat yang sama, Kapolres Lamongan, AKBP Feby D.P Hutagalung mengatakan, kesaksian dari mantan HTI ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan pencerahan kepada seluruh elemen masyarakat tentang faham HTI.
"Kesaksian beliau inilah yang kita harapkan bisa mencegah faham HTI maupun paham-paham radikal lainnya yang bertentangan dengan ideologi bangsa,” ujarnya.
Sebab, apabila ideologi dan sistim NKRI sampai diubah menjadi sistim khilafah, maka hal itu akan merusak tatanan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.
"Ini yang sangat membahayakan. Makanya kita harus sigap, harus waspada, walaupun berdasarkan data intelejen HTI di Lamongan tidak begitu besar, tapi hangan sampai kita kecolongan," ucap Feby.
Lebih lanjut Feby membeberkan, dipilihnya Unisla sebagai lokasi seminar, sebab dikatakannya, lembaga pendidikan selama ini menjadi pintu masuk HTI untuk menyebarkan pahamnya.
"Maka pintu masuk di lembaga pendidikan ini harus bisa ditutup sama-sama, tentunya dengan melibatkan pengajar dan mahasiswa,” katanya.
Feby yakin dengan kesigapan kepolisian dan, juga tokoh NU dan Muhammadiyah, lambat laun HTI akan hilang dari NKRI. “Kita benar-benar harus dikikis sampai habis," tuturnya. (*)
Bersama NU, Muhammadiyah Tegaskan Menolak Paham Khilafah
Jakarta, NU Online
Pertemuan
dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, Rabu (31/10) malam menyita perhatian publik mengingat
situasi bangsa terkini. Selain menyikapi sejumlah problem bangsa,
pertemuan tersebut juga sepakat meneguhkan Pancasila sebagai bentuk dan
sistem kenegaraan yang Islami.
“Berkomitmen
kuat menegakkan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan atas Pancasila sebagai bentuk dan sistem
kenegaraan yang Islami. Bersama dengan itu menguatkan dan memperluas
kebersamaan dengan seluruh komponen bangsa dalam meneguhkan integrasi
nasional dalam suasana yang damai, persaudaraan, dan saling berbagi
untuk persatuan dan kemajuan bangsa,” bunyi poin pertama pernyataan
bersama antara NU dan Muhammadiyah yang ditandatangani KH Said Aqil
Siroj dan H Haedar Nashir.
Kepada
wartawan di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta, Kiai Said mengungkapkan ada
rencana dari pihak tertentu untuk menerapkan khilafah di wilayah Asia
Tenggara. Ia menyatakan perlu komitmen bersama agar rencana tersebut
tidak terjadi.
"Bahkan saya baca kalau tidak
salah ada rencana tahun 2024 harus sudah ada khilafah di ASEAN ini,
termasuk Indonesia. Mudah-mudahan mimpi itu (pendirian khilafah, red)
tidak terjadi, tidak akan terlaksana berkat adanya NU dan Muhammadiyah,"
beber Kiai Said.
Penolakan terhadap paham
khilafah juga ditegaskan NU dan Muhammadiyah dengan mendukung sistem
demokrasi. Mereka juga mengajak kepada seluruh bangsa untuk mendukung
demokrasi yang substantif.
“Mendukung sistem
demokrasi sebagai mekanisme politik kenegaraan dan seleksi kepemimpinan
nasional yang dilaksanakan dengan profesional, konstitusional, adil,
jujur, dan berkeadaban. Semua pihak agar mendukung proses demokrasi yang
substantif serta bebas dari politik yang koruptif dan transaksional
demi tegaknya kehidupan politik yang dijiwai nilai-nilai agama,
Pancasila, dan kebudayaan luhur Indonesia,” bunyi pernyataan poin kedua.
(Fathoni)
Pertemuan NU dan Muhammadiyah (istimewa)
NU dan Muhammadiyah bakal halau pendirian khilafah di Indonesia
Rabu, 31 Oktober 2018 22:04
Reporter : Ahda Bayhaqi
Merdeka.com - Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah bersepakat untuk menjaga persatuan Islam di Indonesia. Kekhawatiran perpecahan itu lantaran muncul watak Islam beringas, radikal, dan keras belakangan ini.
Menurut Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, watak seperti itu tidak sesuai dengan jati diri umat Islam Indonesia.
"Belakangan ini, kita rasakan ada sesuatu yang aneh, ada sesuatu asing ini antar saudara kita jadi beringas radikal keras, ini sama sekali tak tunjukan watak jati diri umat Islam Indonesia," ujarnya saat konferensi pers pertemuan NU dan Muhammadiyah di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Rabu (31/10).
Bahkan Said Aqil mengaku pernah membaca soal cita-cita pendirian Khilafah rampung di seluruh Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Dia juga khawatir kondisi umat Islam di Indonesia tak seperti Timur Tengah yang berkonflik.
"Bahkan saya baca kalau enggak salah ada rencana tahun 2024 harus sudah ada khilafah di Asean ini termasuk di Indonesia mudah-mudahan mimpi ini tidak terjadi tidak akan terlaksana, terjadi berkat ada NU dan Muhammadiyah sebagai ormas menjaga civil society menjaga konstitusi empat pilar bahasa politiknya, dulu sekarang dan seterusnya," kata dia.
Saat dikonfirmasi, Said tak segan menyebut pihak-pihak yang bermimpi mendirikan khilafah itu adalah Hizbut Tahrir Indonesia. Dia pun menegaskan bakal melawan siapapun yang merongrong Indonesia.
Disinggung peristiwa pembakaran bendera merupakan kesengajaan oleh pihak yang ingin mendirikan Khilafah, Said tak tegas menjawab. Dia hanya menjelaskan bagaimana bendera serupa HTI yang dibakar tidak seharusnya berada di Hari Santri.
"Hari santri itu tidak boleh ada bendera kecuali merah putih. Bendera NU pun enggak ada. Enggak ada bendera NU. Kecuali merah putih dan masing-masing yang rombongan itu hanya memamerkan dari pesantren mana, Al falah misalnya. Itu saja yang dibawa," jelasnya.
Dia mengatakan saat ini NU dan Muhammadiyah juga berusaha meredam suasana pasca kemarahan sejumlah kelompok atas peristiwa pembakaran bendera mirip HTI. Said Aqil pun yakin hanya segelintir orang yang bersimpati dengan kelompok HTI pasca peristiwa tersebut.
"NU-Muhammadiyah terutama, sekuat tenaga lah meredam, mendinginkan suasana," pungkasnya. [eko]
Pertemuan PBNU dan Muhammadiyah. ©2018 Liputan6.com
Sumber Berita : https://www.merdeka.com/peristiwa/nu-dan-muhammadiyah-bakal-halau-pendirian-khilafah-di-indonesia.html
NU-Muhammadiyah Kompak Tolak Paham Khilafah
Reporter : Ahmad Baiquni
Kamis, 1 November 2018 13:00
Kamis, 1 November 2018 13:00
Dua ormas Islam ini tetap mendukung demokrasi sebagai mekanisme politik kenegaraan.
Dream - Dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menegaskan penolakannya pada paham khilafah di Indonesia. Dua ormas ini juga akan menghalau upaya pendirian negara khilafah.Sikap ini dinyatakan dalam pertemuan antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu malam, 31 Oktober 2018.
Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini, mengungkapkan ada empat sikap yang disepakati bersama antara NU dan Muhammadiyah. Sikap pertama, dua ormas ini berkomitmen kuat untuk menegakkan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berasaskan Pancasila sebagai sistem kenegaraan yang Islami.
" Bersamaan dengan itu, menguatkan dan memperluas kebersamaan dengan seluruh kompinen bangsa dalam meneguhkan integrasi nasional dalam suasana yang damai, persaudaraan, dan saling berbagi untuk persatuan dan kemajuan bangsa," ujar Helmy, dikutip dari Liputan6.com, Kamis 1 Oktober 2018.
Helmy mengatakan, sikap kedua, NU dan Muhammadiyah mendukung sistem demokrasi sebagai mekanisme politik kenegaraan. Selain itu, dua ormas ini mendorong seleksi kepemimpinan nasional dijalankan secara profesional, konstitusional, jujur dan beradab.
" Semua pihak agar mendukung proses demokrasi yang substantif serta bebas dari politik yang koruptif dan transaksional demi tegaknya kehidupan politik yang dijiwai nilai-nilai Agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur Indonesia," kata dia.
Konferensi Pers Pernyataan Sikap Bersama NU Dan Muhammadiyah (Liputan6.com/Putu Merta SP)
Pengamat Politik Islam: Pembubaran HTI Sudah Sesuai Aspirasi NU dan Muhammadiyah
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik Islam, Zuhairi Misrawi menilai tepat keputusan pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi kemasyarakatan yang bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945.
Sikap pemerintah itu, tegas Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) ini juga sudah sesuai dengan aspirasi NU dan Muhammadiyah yang meminta agar tegas melarang ormas yang anti-Pancasila.
"HTI selama ini mengampanyekan ideologi yang anti-Pancasila dan dapat memecah belah umat dan warga," tegas Gus Mis demikian sapaannya kepada Tribunnews.com, Senin (8/5/2017).
Namun demikian Pemerintah juga bertanggungjawab untuk memperkuat pentingnya Pancasila dalam berbangsa dan bernegara.
"Mereka yang selama ini sudah dirasuki ideologi anti-Pancasila agar diberi pencerahan tentang keistimewaan Pancasila sebagai ideologi negara," ujarnya.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan karena prinsip organisasi yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan melayangkan gugatan untuk membubarkan organisasi HTI.
"Prinsip (HTI) yang bertentangan dengan prinsip Pancasila dan UUD 1945. Seperti masalah sistem khilafah dan lain-lain," ujar Tito di Rumah Sakit Polri, Kramatjati, Jakarta Timur, Senin (8/6/2017).
Tito mengikuti rapat terbatas bersama Menteri Koordinasi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto beserta sejumlah kementerian terkait membahas wacana pembubaran HTI.
Dalam rapat tersebut, diutus Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menkumham Yasonna Laoly bertindak sebagai pihak pengkaji untuk menggugat HTI.
"Intinya Menkopolhukam yang diikuti sejumlah kementerian lembaga yang di bawah koordinasi kemenkopolhukam menyatakan bahwa pemerintah mengeluarkan sikap tentang keberadaan HTI yang dianggap dapat membahayakan keutuhan NKRI sebagai identitas bangsa," kata Tito.
Tito bersama jajarannya akan memberi masukan terutama terkait data dan fakta kegiatan HTI yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
"Polri akan berikan masukan. Dan setelah itu langkah hukum akan dilakukan oleh Kemendagri dan Kemenkumham kepada kejaksaan. Kejaksaanlah yang akan lakukan gugatan ke pengadilan," kata Tito.
Sumber Berita : http://www.tribunnews.com/nasional/2017/05/08/pengamat-politik-islam-pembubaran-hti-sudah-sesuai-aspirasi-nu-dan-muhammadiyah
Sumber Foto KonPers ormas terlarang HTI : https://akuratnews.com/jubir-hizbut-tahrir-indonesia-menilai-pembubaran-ormas-hti-bermuatan-politis/
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=SYvAxz45udc
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=vWtK308IgEw
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=rLkI2B752Ew
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=8m3_RbUE1No
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=mIZrMwsU-ns
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=ju5ECniBZZs
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=e8u2tfI3If4
Sikap pemerintah itu, tegas Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) ini juga sudah sesuai dengan aspirasi NU dan Muhammadiyah yang meminta agar tegas melarang ormas yang anti-Pancasila.
"HTI selama ini mengampanyekan ideologi yang anti-Pancasila dan dapat memecah belah umat dan warga," tegas Gus Mis demikian sapaannya kepada Tribunnews.com, Senin (8/5/2017).
Namun demikian Pemerintah juga bertanggungjawab untuk memperkuat pentingnya Pancasila dalam berbangsa dan bernegara.
"Mereka yang selama ini sudah dirasuki ideologi anti-Pancasila agar diberi pencerahan tentang keistimewaan Pancasila sebagai ideologi negara," ujarnya.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan karena prinsip organisasi yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan melayangkan gugatan untuk membubarkan organisasi HTI.
"Prinsip (HTI) yang bertentangan dengan prinsip Pancasila dan UUD 1945. Seperti masalah sistem khilafah dan lain-lain," ujar Tito di Rumah Sakit Polri, Kramatjati, Jakarta Timur, Senin (8/6/2017).
Tito mengikuti rapat terbatas bersama Menteri Koordinasi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto beserta sejumlah kementerian terkait membahas wacana pembubaran HTI.
Dalam rapat tersebut, diutus Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menkumham Yasonna Laoly bertindak sebagai pihak pengkaji untuk menggugat HTI.
"Intinya Menkopolhukam yang diikuti sejumlah kementerian lembaga yang di bawah koordinasi kemenkopolhukam menyatakan bahwa pemerintah mengeluarkan sikap tentang keberadaan HTI yang dianggap dapat membahayakan keutuhan NKRI sebagai identitas bangsa," kata Tito.
Tito bersama jajarannya akan memberi masukan terutama terkait data dan fakta kegiatan HTI yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
"Polri akan berikan masukan. Dan setelah itu langkah hukum akan dilakukan oleh Kemendagri dan Kemenkumham kepada kejaksaan. Kejaksaanlah yang akan lakukan gugatan ke pengadilan," kata Tito.
Tribunnews.com/Y Gustaman
Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), Zuhairi Misrawi, saat mengunjungi kantor Tribunnews.com, Jakarta, Kamis (9/7/2015).
Mata Najwa - Karena Bendera: Bendera Tauhid atau Bendera HTI (Part 1)
Kasus pembakaran bendera berlafaz tauhid pada peringatan Hari Santri Nasional di Garut, Jawa Barat, berbuntut Panjang. Selain membangkitkan gelombang demonstrasi di berbagai daerah karena merasa pembakaran itu adalah bentuk penistaan agama, Polri juga mengambil tindakan hukum kepada pembawa bendera tersebut. Menurut Kepala Satuan Koordinasi Nasional (Kasatkornas) Banser, Alfa Isnaeni, anggotanya sudah paham bagaimana bendera milik HTI. “Itu acara acara nahdliyin dan ada pengibaran bendera terlarang, anggota kami ambil tindakan. Dari hasil investigasi Banser, di hari yang sama, di 11 kabupaten kota terjadi pengibaran bendera. Artinya itu tersistematis,” kata Alfa. Hal senada juga dikatakan oleh Ketua Umum PPP, Muhammad Rommahurmuziy. Menurut Rommy, biasa ia disapa, tidak mungkin tidak ada motif politik jika hasil investigasi Banser dan PBNU ditemukan bendera yang sama di 11 daerah berbeda. Sementara Ketua DPP PKS, AL Muzzamil Yusuf meminta agar tidak ada tudingan. “Ini negara hukum, serahkan kepada polisi. Intinya jaga persatuan,” katanya. (Narasi)Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=SYvAxz45udc
Mata Najwa - Karena Bendera: Undang HTI, Gubernur Kaltim Akui Keliru (Part 2)
Buntut dari kasus pembakaran bendera di Garut, Jawa Barat, kelompok massa yang menggelar aksi protes justru memantik persoalan baru. Para pendemo menurunkan bendera merah putih, dan mengibarkan bendera berlafaz tauhid itu di gedung instansi pemerintahan. Salah satunya di kantor Gubernur Kalimantan Timur. Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor mengaku keliru saat menandatangani surat undangan kepada ormas-ormas Islam di wilayahnya. “Saya tidak cek lagi, ternyata ada HTI. Tapi organisasi itu tidak ada di wilayah saya. Soal bendera terkibar di kantor saya, itu bagi saya bukan bendera HTI, tapi bendera kalimat tauhid. Lagi pula, undangan saya untuk mengademkan situasi karena mereka mau demo kedatangan presiden,” kata Isran. Kasatkornas Banser, Alfa Isnaeni mengatakan biar masyarakat atau pihak berwajib yang menilai bagaimana seorang Gubernur membiarkan ada bendera selain merah putih, dikibarkan di kantornya. “Itu kan fasilitas negara, dan membiarkan ada bendera ormas terlarang dikibarkan, ya kebablasan. Itu semacam bentuk pengakuan,” sindir Alfa. (Narasi)Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=vWtK308IgEw
Mata Najwa - Karena Bendera: Pengakuan Mantan Anggota HTI Soal Bendera (Part 3)
Kasus pembakaran bendera di Garut belakangan ditunggangi kepentingan politik. Pengerahan massa untuk melakukan demonstrasi menuntut sikap tegas pemerintah merebak di berbagai daerah. Jika di daerah-daerah ditandai dengan pengibaran bendera hitam berlafaz tauhid di kantor-kantor pemerintahan, demonstrasi di Jakarta diiringi dengan seruan 2019 Ganti Presiden. Menurut Ketua Umum PPP Muhammad Rommahurmuziy mengatakan, kita harus menyepakati kalau NKRI itu harga mati. “Kalau kita mau jujur dan mengkritisi pernyataan Ismail Yusanto, semua pihak tahu kalau HTI saat demo atau setiap kegiatannya selalu membawa bendera itu. Persoalannya, orang yang membawa bendera itu sudah mengakui itu bendera HTI saat diperiksa polisi,” kata Rommi. Mantan anggota HTI, Ainur Rofiq mengatakan secara jelas itu bendera HTI. “Saya punya buku wajib HTI, ini ada secara jelas menuliskan bagaimana bendera HTI, mulai dari bentuknya, hingga khatnya (hurufnya),” kata Ainur yang juga dosen di UIN Sunan Ampel Surabaya. Ainur berani mengatakan itu bendera HTI, karena dari pengalamannya berinteraksi dengan organisasi tersebut selama 4 tahun lebih. (Narasi)Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=rLkI2B752Ew
Mata Najwa - Karena Bendera: Pembakaran Bendera, Motif Politik? (Part 4)
Ketua DPP PKS, Al Muzzammil Yusuf mengatakan, pembakaran bendera yang ada lafaz tauhid pastinya akan mengakibatkan kemarahan umat, seandainya terjadi juga di luar Indonesia. “Persoalannya, jika itu pada akhirnya dibawa ke ranah politik, karena banyak kasus-kasus yang terjadi dan terkait umat Islam seperti 212 misalnya itu terjadi di era Pak Jokowi,” katanya. Ketua Umum PPP Muhammad Rommahurmuziy menjelaskan, sikap pemerintah yang membubarkan HTI sebenarnya terlambat jika dibandingkan negara-negara Islam lainnya. “Demo yang terjadi terlihat, bagaimana pada akhirnya HTI bersinergi dengan kekuatan oposisi pemerintah. Harus diwaspadai balas dendam dari kubu HTI. Jangan sampai kita seperti Suriah, diawali oleh perbedaan mazhab, menjual isu agama, pada akhirnya perang saudara yang tidak berkesudahan,” katanya. (Narasi)Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=8m3_RbUE1No
Mata Najwa - Karena Bendera: Polemik Bendera, Siapa yang Diuntungkan? (Part 5)
Rentetan demonstrasi Aksi Bela Tauhid yang terjadi di berbagai daerah sangat rentan dijadikan komoditas politik praktis. Terlebih, pihak-pihak yang terkait mempunyai kedekatan dengan kubu-kubu yang bertarung di Pilpres 2019. Lantas, bagaimana elit politik meredamnya, agar persoalan agama tidak dibawa-bawa sebagai alat kepentingan politik? “Kita harus tabayun, dan berhati-hati menerima informasi di tahun politik ini. Banyak pihak yang mengambil keuntungan. Nah, kita harus waspadai, narasi antiislam itu kan selalu dilekatkan kepada Presiden Jokowi. Padahal, beliau presiden yang paling banyak mengunjungi pesantren dan kebijakannya mendukung umat Islam. Jadi, ayo berkompetisi dengan baik dan sportif,” kata Ketua Umum PPP Rommahurmuziy. Mantan anggota HTI, Ainur Rofiq mengatakan NU ataupun organisasi yang sepakat dengan NKRI pastinya ingin mengajak mantan-mantan HTI untuk kembali mencintai negara ini. “Saya pikir, untuk tokoh-tokoh pimpinan HTI, harusnya mereka berefleksi secara mendalam dan kembali membangun bangsa ini dengan pemikiran yang baik ketimbang hanya mericuhi,” ujarnya. (Narasi)Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=mIZrMwsU-ns
Mata Najwa - Karena Bendera: Pesan Gus Mus Soal Pro Kontra Bendera (Part 6)
Di tengah polemik pembakaran bendera yang sangat sensitif karena terkait agama, sejumlah tokoh mengingatkan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi. Terlebih lagi, potensi politisasi dalam kasus ini sangat besar. Pengasuh Ponpes Raudlatut Tholibin, Rembang Jawa Tengah, Ahmad Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus angkat bicara. Menurut Gus Mus, persoalan mengenai pembakaran bendera berlafaz tauhid tidak perlu lagi dibicarakan. Pelaku pembakaran, kata Gus Mus, sudah meminta maaf dan polisi sedang menyelidiki kasusnya. “Umat Islam ini mayoritas, jadi lebih baik kita menjadi umat yang menyelesaikan masalah di Indonesia. "Saya menghimbau kepada pemuka-pemuka agama terutama agama Islam. Marilah kita ajak umat kita untuk kembali ke Alqur’an dan Sunnah Rasul, mengikuti jejak Rasulullah, yang menyukai kasih sayang daripada kebencian, menyukai silaturahmi daripada perpecahan," kata Gus Mus. (Narasi)Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=ju5ECniBZZs
Mata Najwa - Karena Bendera: Politik Kebangsaan Bukan Politik Kepentingan (Part 7)
Republik ini terus diuji oleh berbagai peristiwa yang datang silih berganti. Persatuan dan kesatuan bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama dan ras ini tetap harus dijaga, terutama dalam situasi politik yang terus memanas. Politik kebangsaan, di mana negara terus menjaga solidaritas antarwarga apapun latar belakangnya tetap harus dijalankan. Menurut Ketua DPP PKS, Al Muzzammil Yusuf dirinya meminta ada produk hukum yang melindungi simbol-simbol keagamaan. “Jadi jelas bagaimana batasan-batasan simbol agama itu kita hormati. Selain itu, ada pasal yang merupakan amanat reformasi soal perlindungan terhadap aktivitas pemuka agama yang mengajarkan iman dan takwa kepada peserta didik,” katanya. Sementara itu, Ketua GNPF Yusuf Martak mengatakan umat harus bersatu, negara dan bangsa lebih penting. “Setiap elit harus duduk bersama. Presiden itu kan ada batas berkuasanya, sementara NKRI itu terus ada,” katanya. (Narasi)Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=e8u2tfI3If4
Re-Post by MigoBerita / Sabtu/03112018/12.48Wita/Bjm