LiputanIslam.com — Hizbut Tahrir adalah sebuah
organisasi transnasional yang mencita-citakan seluruh dunia ini berada
dalam satu pemerintahan global, yang mereka sebut ‘khilafah’. Salah satu
jargon utama mereka adalah antidemokrasi, yang mereka anggap sebagai
sumber dari segala kerusakan. Mereka sangat biasa berargumen: apapun
masalahnya, khilafah solusinya. Awalnya, mereka menyatakan diri sebagai
organisasi pemikiran dan anti kekerasan. Namun, konflik Suriah telah
membongkar kedok mereka: ternyata HT adalah pendukung aksi terorisme
atas nama jihad. Selain itu, rekam jejak HT selama ini juga menunjukkan
sikap plin-plan mereka. Di tahun 2009, HTI pernah menyerukan persatuan Sunni-Syiah
dalam naungan khilafah. Saat itu HTI terlihat begitu arif dan cerdas
dalam memandang adanya upaya pemecah-belahan kaum muslimin, yang
dilakukan oleh Barat dan aliansinya, melalui isu Sunni-Syiah. Bukan
hanya itu, saat dilangsungkannya Konferensi
Bogor untuk membantu mencari solusi konflik Irak yang juga disertai
sentimen mazhab, HTI menunjukkan dukungannya pada upaya persatuan
Sunni-Syiah Menurut HTI, “Jadi masalah di Irak sejatinya adalah masalah
penjajahan Amerika. Amerikalah yang merekayasa dan menyulut konflik
sektarian Sunni-Syiah. Semua yang terjadi di Irak tidak lain adalah
hasil rekayasa Amerika. Kenyataan itu sebenarnya dapat dibaca dan
diketahui oleh orang banyak.”
Sumber Foto : Google Image Ketika konflik Suriah meletus, tiba-tiba HT (baik di Indonesia
maupun di seluruh dunia) berubah haluan menjadi sangat sektarian. Tidak
ada lagi kearifan, tidak ada lagi kecerdasan, dan tidak ada lagi
tabayyun atas tragedi kemanusiaan yang melanda Suriah. Bahkan teori yang
sebelumnya mereka yakini: bahwa perpecahan dalam tubuh Islam merupakan
agenda Barat, seperti dilupakan begitu saja. HT, termasuk HT Indonsia
pun menjelma menjadi salah satu provokator yang menyulut isu konflik
Sunni-Syiah di dunia, terkhusus di Suriah. Bisa dibaca dalam
artikel-artikel di situs HTI di sini, di sini dan di sini.
Perubahan drastis sikap HT ini memunculkan pertanyaan, bagaimana
ideologi HT sebenarnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, Liputan Islam
mewawancarai Dr. Ainur Rofiq al-Amin, dosen Fakultas Ushuludin IAIN
Sunan Ampel Surabaya. Beliau adalah mantan anggota HTI, dan disertasinya
membahas tentang Hizbut Tahrir. Disertasi itu diterbitkan menjadi buku
berjudul “Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia”.
Laporan wawancara ini kami sajikan dalam dua bagian. Berikut ini bagian pertama.
Liputan Islam (LI): Assalamu’alaikum Ustadz… Ainur Rofiq Al Amin (ARA): Wa’alaikumsalam warahmatullah LI: HT sering menggunakan ayat Al-Maidah: 48-49 sebagai sandaran atas wajibnya menegakkan khilafah, bagaimana menurut Ustadz?
Salah satu aksi HTI
ARA: Terkait dengan surat al-Maidah tersebut, sebenarnya kita
bisa mencerna secara jernih bahwa setiap muslim yang taat secara
otomatis akan berpikir, bersikap, memutus, dan berperilaku sesuai dengan
apa yang diturunkan Allah, dan tentu tidak akan mengikuti hawa nafsu.
Hanya permasalahannya, Hizbut Tahrir membawa dengan cara “memaksa” bahwa
ayat tersebut berimplikasi bahwa hanya khilafah yang akan mampu
melaksanakan hukum Allah. Menurut saya, ini adalah pemaksaan ayat kepada
sistem politik yang hanya terbatas pada khilafah. Seandainya ayat
tersebut dibawa kepada sistem politik, tentu tidak harus sistem
khilafah. Sistem politik apapun namanya, entah republik, atau republik
Islam atau yang lain, asalkan mampu mengejawantahkan nilai-nilai Islam,
tentu absah dan tidak perlu dicaci, apalagi dikufurkan. Ini yang
berbahaya. LI:Jika ayat tersebut ‘dipaksakan’ oleh HT untuk menjadi
dalil bagi tegaknya khilafah, atau katakanlah bahwa sesungguhnya hukum
khilafah tersebut tidak ada di dalam al-Qur’an, maka bagaimanakah
seharusnya umat Islam bersikap dalam kondisi sulit seperti ini? Saat
ini, kita berpecah-pecah dan ditindas oleh Zionis dan sekutunya. Apakah
tidak penting untuk membuat persekutuan besar bagi sesama muslim,
semisal Uni Eropa? ARA: Tentu muslim harus bersatu, tapi bersatu untuk saat ini
tidak dalam satu sistem politik. Saya sebagai warga NU yang hidup di
pesantren NU, mempunyai keyakinan bahwa yang menyatukan umat muslim
dalam satu sistem politik tidak lain adalah Imam Mahdi. Untuk itu,
selama Imam Mahdi belum muncul, maka persatuan harus diwujudkan dengan
cara: tidak gampang mengkafirkan, dan tidak gampang memunculkan isu-isu
atau pemikiran yang bisa dengan mudah menyulut permusuhan. Kalau sesama
muslim bermusuhan, yang untung adalah negara Barat yang tirani, kita
buntung.
Dalam konteks NKRI, saya sering mengingatkan dalam seminar-seminar,
mari kita rawat NKRI, tidak usah diotak-atik menjadi khilafah (seperti
yang dilakukan Hizbut Tahrir), ini di satu sisi. Sedang pada sisi lain,
jangan sampai tradisi muslim Nusantara yang ada di NKRI ini mudah
disyirikkan, mudah dikufurkan, mudah dibid’ahkan (seperti yang dilakukan
kelompok Wahabi). Karena ini semua tidak akan menimbulkan persatuan,
malah friksi dan permusuhan. LI: Di Suriah, HT sejak awal konflik
terang-terangan mendukung pemberontak bersenjata, dan sesumbar akan
mendirikan khilafah di Suriah. Sekarang ternyata sudah ada yang
mendeklarasikan khilafah Irak-Suriah yaitu kelompok jihadis yang
menamakan dirinya The Islamic State of Iraq and Syam (ISIS), apakah
artinya HT sudah punya khilafah? ARA: Dalam pengamatan saya, kelompok HT ini kalau ada
rame-rame atau gonjang-ganjing politik di suatu negara, dengan secepat
mungkin akan ikut nimbrung dan membakar massa baik dengan tulisan maupun
demonstransinya. Namun ketika menuju akhir dari gonjang-ganjing
politik, kelompok ini dengan segera akan tersingkirkan. Ini bisa diambil
contoh di Mesir, Libya, maupun Irak. Jadi sampai sekarang, kelompok ini
ya tidak mempunyai khilafah yang terwujud sesuai dengan konsepnya. [Catatan redaktur: meski secara kelembagaan menyatakan diri tidak
terlibat langsung dalam jihad melawan rezim Bashar Al-Assad di Suriah,
Hizbut Tahrir mengakui secara personal banyak anggota Hizbut Tahrir ikut
berjihad di Suriah. Ini disampaikan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), Ismail Yusanto, “Secara personal anggota Hizbut Tahrir terlibat
dalam jihad di Suriah, karena dalam kondisi seperti di Suriah secara
fardhu ain, jihad menjadi wajib bagi seseorang ketika diserang,” ujar
Ismail sewaktu menggelar acara konferensi pers saat berlangsungnya
Muktamar Khilafah di stadion Gelora Bung Karno (2/6/2013)]
pasukan ISIS dan insert: foto asli Abu Bakar Al Badghadi (sumber: telegraph)
LI:Ustadz, ada sebuah hadist yang berbunyi “Siapa yang
telah membaiat seorang imam dan memberikan genggaman tangan dan buah
hatinya, maka hendaklah menaatinya sesuai kemampuannya. Jika datang
pihak lain yang ingin merebut kekuasaannya, maka penggallah leher
mereka” (Hizb a;-Tahrir, Ajhizat dawlat al-Khilafah hlm 11) Bagaimanakah HT harus menyikapi hadist tersebut? Bukankah
seharusnya HT berbaiat kepada Amirul Mukminin Abu Bakar al- Baghdady
seperti yang dilakukan beberapa kelompok di Indonesia tanggal 16/3 lalu,
yang mendeklarasikan dukungan pada ISIS dan al- Baghdady? ARA: Ya, seharusnya sebagai konsekuensi nalari, HT harus
membaiat Khilafah ISIS. Hanya karena HT mempunyai konsep khilafah
sendiri, yang tentu khilafah ISIS tidak sesuai dengan konsep dan
keinginan kelompok tersebut, maka HT tidak turut serta membaiat.
Intinya, khilafah kalau tidak sesuai dengan konsep HT tentu akan
ditolak. Malah dalam halaqah, sewaktu saya masih aktif di HT,
orang HT pernah bilang bahwa sewaktu revolusi Iran berakhir, orang HT
siap membaiat Imam Khomeini asalkan mau merubah gagasan wilayatul faqih
menjadi khilafah ala HT (saya masih menyimpan dokumen kritik HT terhadap
gagasan Imam Khomeini).
Inilah “liciknya” mereka. Naifnya lagi, ketika diskusi dengan
orang-orang NU, mereka selalu bilang bahwa dalam kitab-kitab kuning NU,
khilafah adalah wajib. Hal ini untuk mempengaruhi orang NU. Padahal
konsep khilafah HT tentu berbeda semisal dengan kitab al-Mawardi yang
berjudul al-Ahkam al-Sultaniyyah. Makanya, dalam buku saya yang
diterbitkan LKiS, saya katakan bahwa yang saya kritik adalah basis
argumen khilafah ala HT.
Sumber Berita : http://liputanislam.com/wawancara/dr-ainur-rofiq-membongkar-kepalsuan-hizbut-tahrir-1/
Oleh Rachel— Rubrik Wawancara—
18/03/2014Ketika konflik Suriah meletus, tiba-tiba HT yang sebelumnya
menyuarakan pentingnya persatuan umat, termasuk persatuan Sunni-Syiah,
berubah haluan. Tidak ada lagi kearifan, tidak ada lagi kecerdasan, dan
tidak ada lagi tabayyun atas tragedi kemanusiaan yang melanda Suriah.
Bahkan teori yang sebelumnya mereka yakini: bahwa perpecahan dalam tubuh
Islam merupakan agenda Barat, seperti dilupakan begitu saja. HT,
termasuk HT Indonsia pun menjelma menjadi salah satu provokator yang
menyulut isu konflik Sunni-Syiah di dunia, terkhusus di Suriah. Perubahan drastis sikap HT ini memunculkan pertanyaan, bagaimana
ideologi HT sebenarnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, Liputan Islam
mewawancarai Dr. Ainur Rofiq al-Amin, dosen Fakultas Ushuludin, IAIN
Sunan Ampel Surabaya. Beliau adalah mantan anggota HTI, dan disertasinya
membahas tentang Hizbut Tahrir. Disertasi itu diterbitkan menjadi buku
berjudul “Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia”.
Laporan wawancara ini kami sajikan dalam dua bagian. Bagian pertama bisa dibaca di sini.
Berikut ini bagian kedua. Di bagian kedua ini, LI membahas tentang buku yang ditulis tokoh HTI, Felix Siaw, yang berjudul Beyond the Inspiration.
Buku BeyondtheInspiration karyaFelixY.Siauw
LI:Pada halaman 86 -89 dari buku Beyond the Inspiration,
Felix Siaw mengungkapkan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam
dunia Islam, misalnya; Kuwait dan Arab Saudi yang kaya raya namun tidak
mampu menolong Palestina, UEA memiliki tekhnologi canggih tapi merupakan
negara pesakitan. Juga al-Azhar. Felix Siaw menyerang al-Azhar, yang
menurutnya merupakan sebuah Universitas Islam terkemuka, namun tidak
menghasilkan perbaikan pada umat muslim yang diharapkan. Apa ini tidak
mengecilkan peran al-Azhar yang telah mencetak ribuan ulama Islam yang
termasyur? Benarkah al-Azhar tidak membawa perbaikan kepada umat muslim
seperti yang diharapkan? Bagaimana menurut Ustadz? ARA: Bagi gerakan HT, yang dijelaskan dalam kitab-kitabnya,
bahwa dakwah kalau tidak untuk melanjutkan kehidupan Islam yang
diartikan dengan penegakan khilafah, adalah dakwah yang salah. Dakwah
dengan cara mendirikan rumah sakit, panti-panti asuhan, atau dakwah
hanya sekedar mengajak kebaikan adalah salah. Bahkan menurut mereka,
dakwah-dakwah di atas adalah berbahaya, karena dapat melenakan,
meninabobokan umat, sehingga umat tidak berusaha menegakkan khilafah.
Dengan kesimpulan yang demikian, maka bagi HT, aktifitas dakwah
kebaikan apapun, kalau itu tidak mengarah kepada penegakan khilafah
adalah salah. Inilah bahayanya model dakwah yang mengklaim sebagai yang
paling benar. Makanya, tidak aneh bila Al-Azhar juga dikritik. LI:Kalau menurut Felix, banyaknya masalah dari kaum
muslimin timbul lantaran “way of life’ yang keliru. Baginya, wujud “way
of life” adalah berislam secara kaffah. Bagaimana menurut Ustadz? AR: Ini menggelikan. Seluruh anggota HT memaknai Islam kaffah
adalah apabila semua berupaya menegakkan khilafah. Siapapun, atau
organisasi Islam apapun yang tidak berdakwah untuk menegakkan khilafah
dianggap tidak berupaya untuk berislam secara kaffah. LI:Dalam buku tersebut pada halaman 255, ada sebuah
hadist, bunyinya; “Di tengah-tengah kalian ada masa kenabian, atas izin
Allah ia tetap ada. Lalu, Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak
mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj
kenabian. Dia ada dan atas izin Allah, dia akan tetap ada. Lalu Dia akan
mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada
kekuasaan (kerajaan yang zalim), dia juga ada dan atas izin Allah dia
akan tetap ada. Lalu Dia mengangkatnya jika Dia berkehendak
mengangkatnya. Kemudian aka nada kekuasaan diktator yang menyengsarakan,
dia juga ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Selanjutnya, akan ada
kembali khilafah yang mengikuti manhaj kenabian (HR Ahmad).” Hadist ini
dihubungkan dengan Surat An-Nuur: 55 Dalam hadist di atas, ada redaksi, “Akan ada kembali khilafah
yang mengikuti manhaj kenabian.” Felix mengartikan kalimat ini adalah
kebangkitan khilafah yang kedua kalinya yang akan membawa kita kembali
ke zaman Rasulullah Saw. Benarkah ayat dan hadits tersebut merupakan
sandaran bagi penegakan khilafah? ARA:
Ini juga hal yang perlu dikritisi. Pengaitan hadits dari Imam Ahmad
tersebut dengan QS. An Nur : 55 tentu untuk memperkuat argumentasi HT
dalam meyuarakan dakwah penegakan khilafah. Fokus mereka hanya penegakan
khilafah. Walaupun secara historis, korelasi makna ini tidak ada
riwayatnya. Jadi sepertinya mereka menafsirkan untuk memperkuat hadis
tersebut dengan menggunakan ayat al-Qur’an. LI:Felix Siaw kemudian menghubungkan hadits di atas dengan
Surat Ath-Thalaq ayat 2-3 dan An-Nissa : 95. Nubuat tentang tegaknya
khilafah kembali harus disikapi dengan taqwa, dan diperjuangkan. Apakah
ini tepat? Apakah wajib bagi kita umat muslim memperjuangkan tegaknya
khilafah? ARA: Bagi HT memperjuangkan penegakan khilafah adalah wajib.
Bahkan sesiapa yang tidak berupaya, berleha-leha atau santai-santai
tidak memperjuangkan khilafah, maka orang tersebut berdosa. Tidak hanya
berdosa, menurut kitab-kitab HT, mereka telah melakukan akbarul ma’ashi
(kemaksiatan yang besar) yang akan disiksa oleh Allah dengan siksa yang
teramat pedih. Tidak terbayangkan nalar HT ini bagi mereka yang menolak
khilafah, apa sebutannya. Bagi saya sendiri khilafah, adalah masalah
ijtihad yang tidak harus didosa-dosakan bagi yang tidak memperjuangkan
penegakannya. Tidak terpikirkan, seberapa banyak ulama kita yang mukhlis
yang telah berupaya berjuang dan mendirikan NKRI ini yang berarti telah
berdosa, karena para ulama kita ini tidak menjadikan NKRI sebagai
khilafah. LI:Pada halaman 258, disebutkan “Sesungguhnya tidak ada
jalan lain bagi orang yang berpikir sehat, dan tidak ada pilihan lain
bagi seorang mukmin bahwa solusi satu-satunya bagi keterpurukan umat
saat ini adalah mengembalikan aqidah dan syariat Islam…” Lalu halaman 262- 263, “Rasul bersabda bahwa sesudah beliau tidak
akan ada lagi nabi, melainkan khalifah. Rasul memberi nama penggantinya
dengan (khulafa) yang merupakan bentuk jamak dari khalifah. Maka nama
kepemimpinan ini adalah khilafah. Inilah kekuasaan yang dimaksud dalam
Islam, yang dapat menjamin diterapkannya hukum Allah di atas muka bumi
dan memberikan kesejahteraan serta keadilan bagi seluruh alam..” Benarkah khilafah merupakan solusi dari segala permasalahan umat? ARA: Bagi HT, khilafah solusi segala apapun problem yang ada
di dunia, dan sebaliknya, demokrasi adalah biang kerok segala masalah
umat manusia. Bagi saya sendiri tentu berbeda pandangan dengan HT. LI:Jika bukan khilafah sebagai solusinya, lalu apa yang ideal untuk memperbaiki umat Islam pada hari ini Ustad?
Supreme
Leader Republik Islam Iran (Ayatullah Khamenei) dan Grand Mufti Suriah
(Sheikh Ahmad Hassoun) dalam konferensi persatuan di Teheran pada bulan
Januari 2014.
ARA: Solusi ideal harus dimulai dari yang real (nyata). Yakni
dimulai dari meresonansi persatuan di antara umat Islam dan negara
Islam. Jangan sampai mudah dipecah belah dan diadu domba, terutama dari
mainsteram umat Islam Sunnah dan Syiah. Nanti yang ideal, kita tunggu
Imam Mahdi yang hadisnya diakui oleh mayoritas umat Islam, baik Sunni
maupun Syi’i. LI:Ini pertanyaan terakhir Ustad. Kami sangat prihatin
dengan kondisi Timur Tengah saat ini. Sekelompok kaum yang mengklaim
diri menegakkan khilafah /daulah Islam tidak segan-segan melakukan
‘penggal leher’ kepada lawannya, dan memamerkannya dengan bangga di
hadapan kamera. Bahkan dalam sebuah video, mereka menggunakan
kepala-kepala lawannya ini sebagai mainan sepak bola. Hal ini menggiring
opini bahwa Islam adalah agama yang kejam dan bar-bar. Sayangnya,
hadits tentang penggal leher ini ada, seperti yang termaktub dalam kitab
Hizb at-Tahrir, Ajhizat Dawlat al-Khilafah halaman 11. Bagimana menurut
Ustad?
ISIS
memenggal 5 orang lawannya dan bagian yang disensor adalah gambar
kepala manusia yang berlumuran darah. Tindakan seperti ini sangat
dibanggakan/ dipuji-puji oleh pendukung ISIS.
ARA: Ini sangat memprihatinkan, dan tidak sesuai dengan
prinsip Islam yang damai dan berkasih sayang. Islam hadir untuk menjadi
rahmat bagi semesta alam, sehingga jika ada yang melakukan kekejaman
seperti itu, mereka tidaklah merupakan representasi dari Islam itu
sendiri. Saya tidak bisa menjawab dengan pasti apa motif mereka
melakukan tindakan barbar seperti itu. Apakah hal tersebut karena motif
hadist, atau motif hawa nafsu, dendam, hati yang keras, atau bahkan
karena kultur barbar. Semuanya mungkin.
Segala permasalahan di Timur Tengah seharusnya bisa menjadi
peringatan bagi kita rakyat Indonesia, untuk lebih waspada dan
hati-hati. Kita adalah negara kesatuan yang unsur-unsurnya begitu
beragam, dan kita sudah melihat sendiri hasil ‘penegakan khilafah’ di
Timur Tengah. Adakah kesejahteraan dan kedamaian di sana? Kawasan
tersebut kacau balau, perang tanpa henti, jutaan rakyat mengungsi,
kelaparan dan penyakit dimana-mana. Apakah hal itu yang hendak
diinginkan terjadi di Indonesia? (LiputanIslam.com/af)
Sumber Berita : http://liputanislam.com/wawancara/dr-ainur-rofiq-membongkar-kepalsuan-hizbut-tahrir-2/
Kesaksian Mantan Aktivis HTI, Membongkar Kebohongan Proyek Khilafah
Membongkar Kebohongan Proyek Khilafah
Ide tentang penegakan kembali khilafah, sebagaimana saya jelaskan dalam
disertasi, disuarakan dengan sangat lantang dan nyaring oleh kelompok
Islam kanan, utamanya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Secara berulang-ulang kelompok ini, lewat tulisan, orasi, dan
lainnya, menyuarakan pentingnya menegakka khilafah. Khilafah menjadi
mainstream perjuangan, bahkan ideologi politiknya, dengan klaim sebagai
solusi atas seluruh problem manusia di dunia ini.
Kelompok ini dengan semangat militan berupaya merekrut kader
sebanyak-banyaknya, tak terkecuali kader dari ormas-ormas keagamaan baik
NU maupun Muhammadiyah. Dalam upaya merekrut kader dari kalangan NU,
mereka menggunakan berbagai argumen yang diharapkan agar kader-kader NU
yang tulus dan lugu ini tertarik menjadi pengikutnya.
Nampaknya, argumen-argumen yang dikemukakan oleh aktivis HTI juga
dapat memikat kader NU, terbukti beberapa kader NU menjadi anggota
Hizbut Tahrir (termasuk penulis yang dulu juga pernah menjadi anggota
Hizbut Tahrir).
Argumen yang dijadikan pijakan oleh aktivis HTI untuk menundukkan
kader dan warga NU paling tidak ada dua: pertama; argumen historis
kelahiran NU. Salah seorang aktivis HTI, Irkham Fahmi dalam tulisannya,
“Membongkar Proyek Demokrasi ala PBNU abad 21” menjelaskan bahwa cikal
bakal berdirinya Nahdlatul Ulama adalah cita-cita agung para ulama
nusantara yang tertuang dalam komite khilafah Indonesia.
Selanjutnya Irkham Fahmi menegaskan bahwa KH. Sholahuddin Wahid
mengakui keabsahan sejarah ini, sekalipun Gus Sholah menolak relevansi
khilafah dengan Indonesia.
Masih banyak lagi tulisan-tulisan sejenis apabila kita berselancar di
internet seperti judul, “KH. Abdul Wahab Hasbullah, Tokoh NU &
Inisiator Konferensi Khilafah 1926,” atau judul, “NU, NKRI dan
Khilafah,” demikian pula judul, “Warga NU Rindu Syariah dan Khilafah,”
judul lain, “Respon NU atas Runtuhnya Khilafah,” bahkan tidak hanya
mencatut NU, tapi juga ormas Islam lain seperti judul, “Generasi Awal
Muhammadiyah & NU Ternyata Pendukung Khilafah.” Basis argumen dari
semua judul di atas adalah masalah komite khilafah.
Untuk menjawab argumen di atas, secara historis memang pernah
terbentuk apa yang disebut komite khilafah atau CCC (Central Comite
Chilafah). Namun yang perlu diklarifikasi adalah, komite ini bukan
dibentuk Mbah Wahab, tapi bentukan berbagai kelompok Islam (SI,
Muhammadiyah, al-Irsyad, PUI, dll) yang pada waktu itu mempunyai suara
mayoritas.
Sekalipun bisa jadi Mbah Wahab dan ulama lain dari kalangan pesantren
pernah diajak untuk masuk komite ini. Bukti bahwa komite khilafah bukan
bentukan Mbah Wahab dan para ulama pesantren adalah pada
kongres-kongres selanjutnya para ulama ini tidak mengikutinya.
Justru yang perlu ditegaskan, selain ada komite khilafah, terdapat
komite Hijaz yang memang genuine atau asli bentukan para ulama pesantren
yang nantinya bergabung dengan NU.
Komite Hijaz ini lahir, selain tidak sepahamnya Mbah Wahab dengan
misi komite khilafah, juga karena kurang aspiratifnya komite ini, juga
semangat memperjuangkan tradisi ala ulama seperti ziarah kubur,
merayakan maulid Nabi, berislam dengan cara bermazhab agar tidak
diberangus oleh kelompok al-Saud atau Wahhabi yang saat itu sampai
sekarang berkuasa di Hijaz dan sekitarnya.
Komite Hijaz inilah salah satu cikal bakal kelahiran NU. Akhirnya
menjadi tidak benar kalau cikal bakal kelahiran NU adalah dari komite
khilafah yang berusaha melakukan pertemuan internasional untuk membahas
runtuhnya Turki Utsmani.
Argumen kedua diambilkan dari teks-teks khilafah dalam kitab kuning.
Para aktivis HTI memahami bahwa ulama dan kader NU sangat mencintai
kitab kuning yang ini dibuktikan dengan diajarkannya kitab-kitab
tersebut di pesantren-pesantren NU, sekaligus kitab-kitab ini menjadi
rujukan dalam bahtsul masail NU ketika menghadapi suatu masalah baru
dalam keagamaan.
Salah seorang penulis dan aktivis HTI, Musthafa A. Murtadlo menulis
sebuah buku saku untuk memperkuat argumentasi khilafah dengan
mengumpulkan pendapat-pendapat para ulama salaf tentang hal tersebut.
Inti dari buku saku tersebut adalah semua ulama salaf dalam kitab
kuning yang menjadi rujukan NU mendukung ide khilafah. Lihat Musthafa A.
Murtadlo, Aqwal Para Ulama’ Tentang Wajibnya Imamah (Khilafah).
Argumen kedua ini kalau tidak dicermati secara jeli, maka para kader
NU yang tulus dan bergelut dengan kitab kuning akan sangat
mempercayainya kemudian mengapresiasi atau bahkan ikut HTI. Namun yang
perlu diketahui bahwa konsep atau pemikiran tentang kepemimpinan umat
Islam dari para ulama salaf tersebut tidak sama persis dengan yang
ditelorkan oleh Hizbut Tahrir.
Selain itu, dalam kitab-kitab klasik tersebut hampir semua tema
besarnya menyebut kata al-imamah atau al-imam al-a’zhom. Penyebutan
khilafah lebih jarang, hal ini berbeda dengan Hizbut Tahrir yang lebih
sering menyebut khilafah sebagai jargón perjuangannya. Bisa diambil
contoh dalam kitab-kitab klasik mazhab al-Syafi’i seperti kitab al-Umm
juz 1/188 karya al-Syafi’i, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hal. 5 karya
al-Mawardi, Rawdhat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muttaqin juz 10/42 karya
al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin juz 1/292 karya al-Nawawi, Asna
al-Mathalib juz 19/352 karya Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab juz
2/187 karya Zakariya al-Anshari, Minhaj al-Thullab juz 1/157 karya
Zakariya al-Anshari, Tuhfat al-Muhtaj juz 9/74 karya Ibn Hajar
a-Haytami, Mughni al-Muhtaj juz 5/409 karya Ahmad al-Khathib
al-Syarbini, Nihayat al-Muhtaj juz 7/409 karya al-Ramli.
Terakhir dan yang terpenting, untuk menjawab argumen yang kedua
sekaligus memperkuat bantahan untuk argumen yang pertama. Kalau para
kader NU yang hidup sekarang ini ketika memahami teks-teks kitab kuning
tentang imamah atau imam a’zhom tidak melewati model pemahaman sekaligus
“bertawassul” lewat Mbah Wahab (KH. Wahab Hasbullah), maka akan mudah
tertarik untuk ikut memperjuangkan khilafah ala HTI.
Perlu diketahui, Mbah Wahab dalam pidatonya di parlemen pada tanggal
29 Maret 1954 yang dimuat dalam majalah Gema Muslimin (copy arsip ada di
penulis) dengan judul, “Walijjul Amri Bissjaukah” mengatakan,
“Saudara2, dalam hukum Islam jang pedomannja ialah Qur’an dan Hadits,
maka di dalam kitab2 agama Islam Ahlussunnaah Waldjama’ah jang berlaku
12 abad di dunia Islam, di situ ada tertjantum empat hal tentang Imam
A’dhom dalam Islam, jaitu bahwa Imam A’dhom di seluruh dunia Islam itu
hanja satu.
Seluruh dunia Islam jaitu Indonesia, Pakistan, Mesir, Arabia, Irak,
mupakat mengangkat satu Imam. Itulah baru nama Imam jang sah, jaitu
bukan Imam jang darurat. Sedang orang jang dipilih atau diangkat itu
harus orang jang memiliki atau mempunyai pengetahuan Islam jang
semartabat mudjtahid mutlak. Orang jang demikian ini sudah tidak ada
dari semendjak 700 tahun sampai sekarang.
Kemudian dalam keterangan dalam bab yang kedua, bilamana ummat dalam
dunia Islam tidak mampu membentuk Imam A’dhom jang sedemikian
kwaliteitnja, maka wadjib atas ummat Islam di-masing2 negara mengangkat
Imam jang darurat. Segala Imam jang diangkat dalam keadaan darurat
adalah Imam daruri……..Baik Imam A’dhom maupun daruri, seperti bung Karno
misalnja, bisa kita anggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara, ialah
Walijjul Amri.”
Pidato Mbah Wahab di atas setidaknya dapat ditarik tiga pemahaman:
pertama, bahwa mengangkat kepemimpinan tunggal dalam dunia Islam baik
yang disebut dengan imamah maupun khilafah sudah tidak mungkin lagi
karena syarat seorang imam yang setingkat mujtahid mutlak menurut Mbah
Wahab sudah tidak ada lagi semenjak 700 tahun sampai sekarang. Kedua,
dari pidato tersebut juga dapat ditarik kesimpulan bahwa presiden
Indonesia berikut NKRI adalah sah secara hukum Islam.
Ketiga, pidato ini sekaligus menafikan pendapat bahwa Mbah Wahab
bercita-cita menegakkan kembali khilafah dengan membentuk komite
khilafah, karena terbukti Mbah Wahab menjelaskan bahwa sudah 700 tahun
tidak ada orang yang setingkat mujtahid untuk menduduki kursi sebagai
Imam atau khalifah.
Lantas, apa ratio legis Mbah Wahab dengan mengajukan argumen bahwa
khilafah sudah tidak mungkin lagi karena syarat seorang imam yang
setingkat mujtahid mutlak sudah tidak ada lagi sejak 700 tahun.
Kalau kita membuka lembaran kitab kuning semisal al-Ahkam
al-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi, di situ dijelaskan bahwa ahlul
imamah (orang yang berkualifikasi menjadi imam) harus memenuhi syarat
adil, berilmu yang mampu untuk berijtihad, selamatnya pancaindera dan
fisik dari kekurangan, wawasan kepemimpinan yang luas, keberanian dan
nasab Quraisy.
Poin tentang berilmu yang mampu untuk berijtihad inilah nampaknya yang dijadikan pijakan Mbah Wahab.
Menarikanya lagi, dalam pidato tersebut, Mbah Wahab menjelaskan lebih
lanjut bahwa karena syarat menjadi imam a’dhom (seperti dalam
al-Mawardi) sudah tidak terpenuhi, maka Soekarno absah menjadi pemimpin
RI dengan gelar waliyyul amri ad-daruri bissyaukah. Artinya syarat
pemimpin yang ideal diturunkan menjadi syarat minimal realistis.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan lain bahwa Gus Dur yang
mempunyai kekurangan fisik juga absah menjadi presiden, karena memang
presiden tidak sama dengan imam a’dhom sehingga syarat ideal seperti
dalam al-Mawardi tidak diperlukan.
Dari uraian singkat di atas, warga dan kader NU sudah tidak perlu
lagi terlibat dengan ikut memperjuangkan ide khilafah. Justru yang
penting adalah mengisi NKRI supaya bersih dari korupsi dan menjadi
negara yang adil dan sejahtera.
Di luar itu, soal kepemimpinan akhir zaman yang mengglobal, kita
serahkan saja kepada a waited savior yang dipercaya oleh semua agama
dengan berbagai sebutannya: al-Mahdi (Islam), Christos/Christ (Kristen),
Ha-Mashiah (Yahudi), Buddha Maytreya (Budha), Kalki Avatar (Hindu),
atau Shousyant (Majusi/Zoroaster).
Terlebih hadis yang menjelaskan tentang Imam Mahdi ini mutawatir
tidak seperti hadis tentang khilafah (Lihat kitab Nazhmul Mutanatsir
minal Haditsil Mutawatir karya Syekh Muhammad bin Ja’far Al- Kattani,
dan Asy-Syaukani yang berjudul At-Taudhih Fi Tawaturi Maa Ja-a Fil
Mahdil Muntazhor wad-Dajjal wal-Masih). Dengan cara demikian, rakyat
Indonesia tidak akan terpecah pikiran dan energinya untuk membongkar
NKRI, tapi justru membangunnya demi keadilan, kesejahteraan, dan
kedamaian untuk semua warga bangsa. Wallahu a’lam.
Judul tulisan diadaftasi dari tulisan Dr. H. Ainur Rofiq Al-Amin, SH, M.Ag yang berjudul : Koreksi Argumentasi Sejarah Antara Khilafah, NU dan KH. Wahab Hasbulloh yang dimuat Muslimmedianews Sumber Berita : http://pwansorjabar.org/kesaksian-mantan-aktivis-hti-membongkar-kebohongan-proyek-khilafah/
Membongkar Kebohongan Proyek Khilafah
Ide tentang penegakan kembali khilafah, sebagaimana saya jelaskan dalam
disertasi, disuarakan dengan sangat lantang dan nyaring oleh kelompok
Islam kanan, utamanya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Secara berulang-ulang kelompok ini, lewat tulisan, orasi,
dan lainnya, menyuarakan pentingnya menegakka khilafah. Khilafah menjadi
mainstream perjuangan, bahkan ideologi politiknya, dengan klaim sebagai
solusi atas seluruh problem manusia di dunia ini.
Kelompok ini dengan semangat militan berupaya merekrut
kader sebanyak-banyaknya, tak terkecuali kader dari ormas-ormas
keagamaan baik NU maupun Muhammadiyah. Dalam upaya merekrut kader dari
kalangan NU, mereka menggunakan berbagai argumen yang diharapkan agar
kader-kader NU yang tulus dan lugu ini tertarik menjadi pengikutnya.
Nampaknya, argumen-argumen yang dikemukakan oleh aktivis
HTI juga dapat memikat kader NU, terbukti beberapa kader NU menjadi
anggota Hizbut Tahrir (termasuk penulis yang dulu juga pernah menjadi
anggota Hizbut Tahrir).
Argumen yang dijadikan pijakan oleh aktivis HTI untuk
menundukkan kader dan warga NU paling tidak ada dua: pertama; argumen
historis kelahiran NU. Salah seorang aktivis HTI, Irkham Fahmi dalam
tulisannya, “Membongkar Proyek Demokrasi ala PBNU abad 21” menjelaskan
bahwa cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama adalah cita-cita agung para
ulama nusantara yang tertuang dalam komite khilafah Indonesia.
Selanjutnya Irkham Fahmi menegaskan bahwa KH. Sholahuddin
Wahid mengakui keabsahan sejarah ini, sekalipun Gus Sholah menolak
relevansi khilafah dengan Indonesia.
Masih banyak lagi tulisan-tulisan sejenis apabila kita
berselancar di internet seperti judul, “KH. Abdul Wahab Hasbullah, Tokoh
NU & Inisiator Konferensi Khilafah 1926,” atau judul, “NU, NKRI dan
Khilafah,” demikian pula judul, “Warga NU Rindu Syariah dan Khilafah,”
judul lain, “Respon NU atas Runtuhnya Khilafah,” bahkan tidak hanya
mencatut NU, tapi juga ormas Islam lain seperti judul, “Generasi Awal
Muhammadiyah & NU Ternyata Pendukung Khilafah.” Basis argumen dari
semua judul di atas adalah masalah komite khilafah.
Untuk menjawab argumen di atas, secara historis memang
pernah terbentuk apa yang disebut komite khilafah atau CCC (Central
Comite Chilafah). Namun yang perlu diklarifikasi adalah, komite ini
bukan dibentuk Mbah Wahab, tapi bentukan berbagai kelompok Islam (SI,
Muhammadiyah, al-Irsyad, PUI, dll) yang pada waktu itu mempunyai suara
mayoritas.
Sekalipun bisa jadi Mbah Wahab dan ulama lain dari kalangan
pesantren pernah diajak untuk masuk komite ini. Bukti bahwa komite
khilafah bukan bentukan Mbah Wahab dan para ulama pesantren adalah pada
kongres-kongres selanjutnya para ulama ini tidak mengikutinya.
Justru yang perlu ditegaskan, selain ada komite khilafah,
terdapat komite Hijaz yang memang genuine atau asli bentukan para ulama
pesantren yang nantinya bergabung dengan NU.
Komite Hijaz ini lahir, selain tidak sepahamnya Mbah Wahab
dengan misi komite khilafah, juga karena kurang aspiratifnya komite ini,
juga semangat memperjuangkan tradisi ala ulama seperti ziarah kubur,
merayakan maulid Nabi, berislam dengan cara bermazhab agar tidak
diberangus oleh kelompok al-Saud atau Wahhabi yang saat itu sampai
sekarang berkuasa di Hijaz dan sekitarnya.
Komite Hijaz inilah salah satu cikal bakal kelahiran NU.
Akhirnya menjadi tidak benar kalau cikal bakal kelahiran NU adalah dari
komite khilafah yang berusaha melakukan pertemuan internasional untuk
membahas runtuhnya Turki Utsmani.
Argumen kedua diambilkan dari teks-teks khilafah dalam
kitab kuning. Para aktivis HTI memahami bahwa ulama dan kader NU sangat
mencintai kitab kuning yang ini dibuktikan dengan diajarkannya
kitab-kitab tersebut di pesantren-pesantren NU, sekaligus kitab-kitab
ini menjadi rujukan dalam bahtsul masail NU ketika menghadapi suatu
masalah baru dalam keagamaan.
Salah seorang penulis dan aktivis HTI, MusSalah seorang
penulis dan aktivis HTI, Musthafa A. Murtadlo menulis sebuah buku saku
untuk memperkuat argumentasi khilafah dengan mengumpulkan
pendapat-pendapat para ulama salaf tentang hal tersebut.
Inti dari buku saku tersebut adalah semua ulama salaf dalam
kitab kuning yang menjadi rujukan NU mendukung ide khilafah. Lihat
Musthafa A. Murtadlo, Aqwal Para Ulama’ Tentang Wajibnya Imamah
(Khilafah).
Argumen kedua ini kalau tidak dicermati secara jeli, maka
para kader NU yang tulus dan bergelut dengan kitab kuning akan sangat
mempercayainya kemudian mengapresiasi atau bahkan ikut HTI. Namun yang
perlu diketahui bahwa konsep atau pemikiran tentang kepemimpinan umat
Islam dari para ulama salaf tersebut tidak sama persis dengan yang
ditelorkan oleh Hizbut Tahrir.
Selain itu, dalam kitab-kitab klasik tersebut hampir semua
tema besarnya menyebut kata al-imamah atau al-imam al-a’zhom. Penyebutan
khilafah lebih jarang, hal ini berbeda dengan Hizbut Tahrir yang lebih
sering menyebut khilafah sebagai jargón perjuangannya. Bisa diambil
contoh dalam kitab-kitab klasik mazhab al-Syafi’i seperti kitab al-Umm
juz 1/188 karya al-Syafi’i, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hal. 5 karya
al-Mawardi, Rawdhat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muttaqin juz 10/42 karya
al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin juz 1/292 karya al-Nawawi, Asna
al-Mathalib juz 19/352 karya Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab juz
2/187 karya Zakariya al-Anshari, Minhaj al-Thullab juz 1/157 karya
Zakariya al-Anshari, Tuhfat al-Muhtaj juz 9/74 karya Ibn Hajar
a-Haytami, Mughni al-Muhtaj juz 5/409 karya Ahmad al-Khathib
al-Syarbini, Nihayat al-Muhtaj juz 7/409 karya al-Ramli.
Terakhir dan yang terpenting, untuk menjawab argumen yang
kedua sekaligus memperkuat bantahan untuk argumen yang pertama. Kalau
para kader NU yang hidup sekarang ini ketika memahami teks-teks kitab
kuning tentang imamah atau imam a’zhom tidak melewati model pemahaman
sekaligus “bertawassul” lewat Mbah Wahab (KH. Wahab Hasbullah), maka
akan mudah tertarik untuk ikut memperjuangkan khilafah ala HTI.
Perlu diketahui, Mbah Wahab dalam pidatonya di parlemen
pada tanggal 29 Maret 1954 yang dimuat dalam majalah Gema Muslimin (copy
arsip ada di penulis) dengan judul, “Walijjul Amri Bissjaukah”
mengatakan,
“Saudara2, dalam hukum Islam jang pedomannja ialah Qur’an dan Hadits,
maka di dalam kitab2 agama Islam Ahlussunnaah Waldjama’ah jang berlaku
12 abad di dunia Islam, di situ ada tertjantum empat hal tentang Imam
A’dhom dalam Islam, jaitu bahwa Imam A’dhom di seluruh dunia Islam itu
hanja satu.
Seluruh dunia Islam jaitu Indonesia, Pakistan, Mesir,
Arabia, Irak, mupakat mengangkat satu Imam. Itulah baru nama Imam jang
sah, jaitu bukan Imam jang darurat. Sedang orang jang dipilih atau
diangkat itu harus orang jang memiliki atau mempunyai pengetahuan Islam
jang semartabat mudjtahid mutlak. Orang jang demikian ini sudah tidak
ada dari semendjak 700 tahun sampai sekarang.
Kemudian dalam keterangan dalam bab yang kedua, bilamana ummat dalam
dunia Islam tidak mampu membentuk Imam A’dhom jang sedemikian
kwaliteitnja, maka wadjib atas ummat Islam di-masing2 negara mengangkat
Imam jang darurat. Segala Imam jang diangkat dalam keadaan darurat
adalah Imam daruri……..Baik Imam A’dhom maupun daruri, seperti bung Karno
misalnja, bisa kita anggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara, ialah
Walijjul Amri.”
Pidato Mbah Wahab di atas setidaknya dapat ditarik tiga
pemahaman: pertama, bahwa mengangkat kepemimpinan tunggal dalam dunia
Islam baik yang disebut dengan imamah maupun khilafah sudah tidak
mungkin lagi karena syarat seorang imam yang setingkat mujtahid mutlak
menurut Mbah Wahab sudah tidak ada lagi semenjak 700 tahun sampai
sekarang. Kedua, dari pidato tersebut juga dapat ditarik kesimpulan
bahwa presiden Indonesia berikut NKRI adalah sah secara hukum Islam.
Ketiga, pidato ini sekaligus menafikan pendapat bahwa Mbah
Wahab bercita-cita menegakkan kembali khilafah dengan membentuk komite
khilafah, karena terbukti Mbah Wahab menjelaskan bahwa sudah 700 tahun
tidak ada orang yang setingkat mujtahid untuk menduduki kursi sebagai
Imam atau khalifah.
Lantas, apa ratio legis Mbah Wahab dengan mengajukan
argumen bahwa khilafah sudah tidak mungkin lagi karena syarat seorang
imam yang setingkat mujtahid mutlak sudah tidak ada lagi sejak 700
tahun.
Kalau kita membuka lembaran kitab kuning semisal al-Ahkam
al-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi, di situ dijelaskan bahwa ahlul
imamah (orang yang berkualifikasi menjadi imam) harus memenuhi syarat
adil, berilmu yang mampu untuk berijtihad, selamatnya pancaindera dan
fisik dari kekurangan, wawasan kepemimpinan yang luas, keberanian dan
nasab Quraisy.
Poin tentang berilmu yang mampu untuk berijtihad inilah nampaknya yang dijadikan pijakan Mbah Wahab.
Menarikanya lagi, dalam pidato tersebut, Mbah Wahab
menjelaskan lebih lanjut bahwa karena syarat menjadi imam a’dhom
(seperti dalam al-Mawardi) sudah tidak terpenuhi, maka Soekarno absah
menjadi pemimpin RI dengan gelar waliyyul amri ad-daruri bissyaukah.
Artinya syarat pemimpin yang ideal diturunkan menjadi syarat minimal
realistis.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan lain bahwa Gus Dur yang
mempunyai kekurangan fisik juga absah menjadi presiden, karena memang
presiden tidak sama dengan imam a’dhom sehingga syarat ideal seperti
dalam al-Mawardi tidak diperlukan.
Dari uraian singkat di atas, warga dan kader NU sudah tidak
perlu lagi terlibat dengan ikut memperjuangkan ide khilafah. Justru
yang penting adalah mengisi NKRI supaya bersih dari korupsi dan menjadi
negara yang adil dan sejahtera.
Di luar itu, soal kepemimpinan akhir zaman yang mengglobal,
kita serahkan saja kepada a waited savior yang dipercaya oleh semua
agama dengan berbagai sebutannya: al-Mahdi (Islam), Christos/Christ
(Kristen), Ha-Mashiah (Yahudi), Buddha Maytreya (Budha), Kalki Avatar
(Hindu), atau Shousyant (Majusi/Zoroaster).
Terlebih hadis yang menjelaskan tentang Imam Mahdi ini
mutawatir tidak seperti hadis tentang khilafah (Lihat kitab Nazhmul
Mutanatsir minal Haditsil Mutawatir karya Syekh Muhammad bin Ja’far Al-
Kattani, dan Asy-Syaukani yang berjudul At-Taudhih Fi Tawaturi Maa Ja-a
Fil Mahdil Muntazhor wad-Dajjal wal-Masih). Dengan cara demikian, rakyat
Indonesia tidak akan terpecah pikiran dan energinya untuk membongkar
NKRI, tapi justru membangunnya demi keadilan, kesejahteraan, dan
kedamaian untuk semua warga bangsa. Wallahu a’lam.
Judul tulisan diadaftasi dari tulisan Dr. H. Ainur Rofiq
Al-Amin, SH, M.Ag yang berjudul : Koreksi Argumentasi Sejarah Antara
Khilafah, NU dan KH. Wahab Hasbulloh yang dimuat Muslimmedianews
Mantan anggota organisasi Hizbut Tahrir Indonesia Ainur Rofik Al Amin blak-blakan tentang HTI. "Yang
ingin saya katakan, HTI sering menggunakan dalil debatable, tetapi itu
diyakinkan sebagai yang benar. Dia menggambarkan ingin menetapkan
khilafah mulai zaman rasul. Dia memaksakan dalil. Itu yang saya sebut
inagurasi dalil," kata Ainur di acara bedah buku karyanya yang bertajuk
Membongkar Proyek Khilafah Ala HTI di Dhotel, Jalan Sultan Agung,
Jakarta Selatan, Selasa (30/5/2017). Itu sebabnya, Ainur mengingatkan masyarakat tak mudah percaya dengan dakwah pengikut HTI. "Kalau
anda ketemu Hizbut Tahrir jangan terlalu meyakini, itu hanya hasil
ijtihadnya ulama mereka. Tapi sayangnya ini bagi pengikutnya dianggap
kebenaran," kata Ainur. Menurut Ainur pemikiran HTI mengandung rekayasa pemahaman seolah khilafah merupakan keharusan dalam ajaran Islam. "Khilafah
seolah sama dengan Islam. Kalau anda menafikan khilafah, anda menafikan
Islam. Dia berusaha mengonstruksi untuk memperkuat ideologi khilafah,"
kata dosen UIN Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Ainur mengungkapkan HTI mewajibkan anggota mempunyai buku wajib. Buku wajib tersebut, kata dia, merupakan panduan. "Sebanyak
18 kitab. Di situ membicarakan bagaimana cara memasarkan khilafah
mereka. Kemudian HTI dalam metodologinya, untuk memperoleh khilafah
mereka memiliki cara, dan cara ini baku, istilahnya tarekah, dan cara
ini wajib dilakukan karena meniru nabi," katanya. Ainur juga menyoroti kaderisasi HTI. Dalam proses kaderisasi, kata Ainur, mereka mengajarkan dengan pedoman buku wajib tadi. "Misalkan
dengan metode taskif. Istilahnya membina atau mengkader. Mereka lebih
serius dan tidak senang guyon. Mereka ditawari tentang gagasan HTI,"
kata Ainur. HTI merupakan organisasi yang akan dibubarkan
pemerintah karena dianggap anti Pancasila. HTI dinilai bercita-cita
mendirikan Khilafah Islamiyah, pemerintahan berasaskan hukum Islam.
Penulis Buku Membongkar
Proyek ala HTI, Ainur Rofik Al Amin di D'Hotel, Jakarta Selatan, Selasa
(30/5/2017). [Suara.com/Nikolaus Tolen]
Ainur mengungkapkan HTI mewajibkan anggota mempunyai buku wajib. Buku wajib tersebut, kata dia, merupakan panduan.
Geger Bendera Tauhid, Boni: HTI Goyang NU Guna Dirikan Khilafah
Reza Gunadha | Ria Rizki Nirmala Sari
Suara.com - Pengamat Politik Boni Hargens
menilai, aksi pembakaran bendera berkalimat tauhid oleh Banser NU di
Garut, Jawa Barat, Minggu (21/10) akhir pekan lalu, merupakan skenario
organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Boni mengendus ada upaya HTI yang ingin membangun negara khilafah, dengan mengkambinghitamkan Nahdlatul Ulama (NU).
Ia
menjelaskan, jejak HTI seusai dibubarkan pemerintah dapat jelas
terlihat. Menurutnya, HTI bergerak melalui jalur politik. Selain itu,
mereka mencoba untuk menjatuhkan NU yang memiliki kekuatan Islam besar
di Indonesia.
"Jangan biarkan mereka menguasai upaya pembentukan opini, persepsi
yang fatal, buruk, negatif seakan-akan Nahdlatul Ulama sedang melakukan
penistaan. Itu kan yang mau mereka bangun," kata Boni dalam diskusi yang
bertajuk “Hoax & HTI Masih Bergentayangan” di kawasan Cikini,
Jakarta Pusat, Jumat (26/10/2018).
Selain ingin menggoyang superioritas
NU, menurut Boni, strategi HTI untuk membangun khilafah di Indonesia
juga ditempuh melalui pemilu. Nantinya, mereka akan mengirim
perwakilan-perwakilannya hingga lolos masuk ke dalam parlemen.
"Nanti kalau kandidat mereka menang,
mereka akan merongrong sampai konstitusi itu diamandemen dan khilafah
itu didirikan, otomatis," ujarnya.
Oleh karenanya, Boni mengingatkan publik aksi pembakaran bendera tauhid oleh Banser NU di Garut bukanlah persoalan agama.
"Kita tidak sedang bermasalah dengan
agama, tidak ada masalah dengan Islam, tidak ada satu pun cacat dengan
Islam. Yang bermasalah adalah kelompok garis keras, Hizbut Tahrir. Maka
kita semua harus bersatu dan memerangi secara bersama," pungkasnya.
Massa DPD I Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Lampung. (ANTARA FOTO/Tommy Saputra)
"Seakan-akan Nahdlatul Ulama sedang melakukan penistaan. Itu kan yang mau mereka bangun," kata Boni.
Boni: Yang Dibakar Banser Bendera HTI, Ada di Buku Ajhizatu
Reza Gunadha
Suara.com - Boni Hargens, pengamat politik, menilai bendera yang dibakar Banser Nahdlatul Ulama di Garut, Jawa Barat, Minggu (21/10) akhir pekan lalu, adalah simbol organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia, bukan bendera tauhid.
Ia menuturkan, penilaiannya itu bukan tanpa dasar. Boni menyebutkan, persoalan bendera itu tertera dalam buku terbitan HTI.
”Itu bendera HTI. Jangan sebut itu bendera tauhid,” tegasnya kepada Covesia—jaringan Suara.com, Jumat (26/10/2018). Ia menjelaskan, ciri-ciri bendera itu tertuang dalam buku yang berjudul Ajhizatu ad-Daulah al-Khilafah yang diterbitkan HTI Press. "Baca buku Ajhizah-Struktur negara Khilafah. Judul aslinya Ajhizatu Ad-Daulah Al-Khilafah.
Terbit tahun 2006, edisi terjemahan terbit 2008. Oleh penerbit HTI
Press. Tentang bendera dan panji di halaman 285,” jelas Boni.
Menurut Boni, dalam buku tersebut sudah jelas bahwa bendera berwarna hitam merupakan bendera perang HTI.
"Jelas kok yang hitam itu bendera Perang HTI. Yang warna putih bendera untuk pemerintahan khilafah,” terangnya.
Boni Hargens, pengamat
politik, menilai bendera yang dibakar Banser Nahdlatul Ulama di Garut,
Jawa Barat, Minggu (21/10) akhir pekan lalu, adalah simbol organisasi
terlarang Hizbut Tahrir Indonesia, bukan bendera tauhid. [HTI Press]
"Jelas kok yang hitam itu bendera Perang HTI. Yang warna putih bendera untuk pemerintahan khilafah, terangnya.
JawaPos.com - Mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ainur Rofik Al Amin, buka-bukaan terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas) tersebut. Ainur mengaku masuk menjadi anggota HTI sejak tahun 1993, namun pada tahun 1998 dia memutuskan keluar dari ormas yang didirikan oleh Syekh Taqiyuddin An Nabhani ini. Menurut Ainur, ajaran-ajaran HTI bertentangan dengan Pancasila dan Negara Kasatuan Republik Indonesia (NKRI). Di mana para keder atau anggota sedari awal didoktrin untuk menentang nasionalisme pemerintah dan demokrasi yang dianut di Indonesia. "Jadi HTI ini selalu menentang dengan ide-ide yang bertentangan dengan Islam," ujar Ainur dalam bedah buku di D Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta, Selasa (30/5). Selain itu HTI dalam pemikirannya tidak pernah mengapresiasi kinerja pemerintah. Karena dalam doktrinnya semua kebijakan dan program-program pemerintah harus dikritik. Seperti contohnya banyak korupsi di Indonesia maka HTI akan menyalahkan pemerintah, kemudian menjamurnya bandar narkoba di Indonesia HTI juga akan menyudutkan pemerintah. "Jadi HTI ini akan melakukan kritik intinya mereka mau menelanjangi rezim. Dan HTI pada akhirnya akan menawarkan khilafah yang tujuannya mendirikan negara Islam," katanya. Oleh sebab itu, penulis buku Membongkar Proyek Khilafah ala HTI ini berpesan kepada ormas tersebut untuk kembali ke jalan yang benar. Seperti bersama pemerintah membangun NKRI dan memperkuat ideologi Pancasila. "Semangat HTI yang menggebu-gebu sebaiknya digunakan untuk membangun NKRI, yang kurang mari diisi dan yang sudah bagus dipertahankan," pungkasnya. Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menegaskan pemerintah mewacanakan membubarkan HTI. Wiranto menganggap ormas tersebut anti terhadap Pancasila dan NKRI karena mereka mengusung ideologi khilafah.
Dalam catatannya Wiranto menyebut ada 20 negara di seluruh dunia yang melarang eksistensi HTI. Negara tersebut mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Turki, Arab Saudi, Pakistan, Mesir, Yordania hingga Malaysia.(cr2/JPG)
Mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ainur Rofik Al Amin. (Gunawan/JPG)
Mantan Pengikut HTI, Ungkap Bahaya Paham HTI untuk NKRI
TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Mantan pengikut Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) memberikan kesaksiannya bagaimana bahayanya paham yang diusung HTI terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ainur Rofiq Al-Amin, merupakan eks HTI yang bersedia berbagi
pengalamannya. Ia mengaku, memutuskan keluar dari HTI setelah memahami
bahwa paham yang dianut HTI tidak sesuai dengan landasan NKRI.
"Intinya kita memiliki perkembangan pemikiran, ada berubah pemikiran,
dengan membaca, merefleksi, berdiskusi, dan akhirnya kita memahami
bahwa HTI itu adalah salah, karena tidak sesuai dengan NKRI dan
seterusnya," kata Rofiq, di Universitas Islam Lamongan (Unisla), Jum'at,
(2/10/2018).
Di seminar bahaya HTI terhadap keutuhan NKRI itu, Rofiq menyebut
bahwa di dalam HTI memang diberikan doktrin-doktrin bahwa selama ini
NKRI menggunakan sistim yang kufur.
"Ada doktrin bahwa Indonesia menggunakan sistim kufur. Kalau anda
masih menyetujui NKRI, ya mari jaga NKRI, tapi kalau anda ingin ganti
khilafah ya silahkan, kalau saya nggak mau. Karena ulama kita sudah
mengatakan bahwa NKRI itu merupakan hasil ijtihad," tuturnya.
Di tempat yang sama, Kapolres Lamongan, AKBP Feby D.P Hutagalung
mengatakan, kesaksian dari mantan HTI ini diharapkan dapat memberikan
wawasan dan pencerahan kepada seluruh elemen masyarakat tentang faham
HTI.
"Kesaksian beliau inilah yang kita harapkan bisa mencegah faham HTI
maupun paham-paham radikal lainnya yang bertentangan dengan ideologi
bangsa,” ujarnya.
Sebab, apabila ideologi dan sistim NKRI sampai diubah menjadi sistim
khilafah, maka hal itu akan merusak tatanan kehidupan dalam berbangsa
dan bernegara.
"Ini yang sangat membahayakan. Makanya kita harus sigap, harus
waspada, walaupun berdasarkan data intelejen HTI di Lamongan tidak
begitu besar, tapi hangan sampai kita kecolongan," ucap Feby.
Lebih lanjut Feby membeberkan, dipilihnya Unisla sebagai lokasi
seminar, sebab dikatakannya, lembaga pendidikan selama ini menjadi pintu
masuk HTI untuk menyebarkan pahamnya.
"Maka pintu masuk di lembaga pendidikan ini harus bisa ditutup
sama-sama, tentunya dengan melibatkan pengajar dan mahasiswa,” katanya.
Feby yakin dengan kesigapan kepolisian dan, juga tokoh NU dan Muhammadiyah, lambat laun HTI akan hilang dari NKRI. “Kita benar-benar harus dikikis sampai habis," tuturnya. (*)
Jajaran Kepolisian,
dosen, tokoh masyarakat dan tokoh agama, membacakan ikrar penolakan HTI,
di Unisla, Jum'at (2/10/2018).(FOTO: MFA Rohmatillah/TIMES Indonesia)
Bersama NU, Muhammadiyah Tegaskan Menolak Paham Khilafah
Kamis, 01 November 2018 07:34
Jakarta, NU Online
Pertemuan
dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, Rabu (31/10) malam menyita perhatian publik mengingat
situasi bangsa terkini. Selain menyikapi sejumlah problem bangsa,
pertemuan tersebut juga sepakat meneguhkan Pancasila sebagai bentuk dan
sistem kenegaraan yang Islami.
“Berkomitmen
kuat menegakkan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan atas Pancasila sebagai bentuk dan sistem
kenegaraan yang Islami. Bersama dengan itu menguatkan dan memperluas
kebersamaan dengan seluruh komponen bangsa dalam meneguhkan integrasi
nasional dalam suasana yang damai, persaudaraan, dan saling berbagi
untuk persatuan dan kemajuan bangsa,” bunyi poin pertama pernyataan
bersama antara NU dan Muhammadiyah yang ditandatangani KH Said Aqil
Siroj dan H Haedar Nashir.
Kepada
wartawan di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta, Kiai Said mengungkapkan ada
rencana dari pihak tertentu untuk menerapkan khilafah di wilayah Asia
Tenggara. Ia menyatakan perlu komitmen bersama agar rencana tersebut
tidak terjadi.
"Bahkan saya baca kalau tidak
salah ada rencana tahun 2024 harus sudah ada khilafah di ASEAN ini,
termasuk Indonesia. Mudah-mudahan mimpi itu (pendirian khilafah, red)
tidak terjadi, tidak akan terlaksana berkat adanya NU dan Muhammadiyah,"
beber Kiai Said.
Penolakan terhadap paham
khilafah juga ditegaskan NU dan Muhammadiyah dengan mendukung sistem
demokrasi. Mereka juga mengajak kepada seluruh bangsa untuk mendukung
demokrasi yang substantif.
“Mendukung sistem
demokrasi sebagai mekanisme politik kenegaraan dan seleksi kepemimpinan
nasional yang dilaksanakan dengan profesional, konstitusional, adil,
jujur, dan berkeadaban. Semua pihak agar mendukung proses demokrasi yang
substantif serta bebas dari politik yang koruptif dan transaksional
demi tegaknya kehidupan politik yang dijiwai nilai-nilai agama,
Pancasila, dan kebudayaan luhur Indonesia,” bunyi pernyataan poin kedua.
(Fathoni)
Reporter : Ahmad Baiquni Kamis, 1 November 2018 13:00
Dua ormas Islam ini tetap mendukung demokrasi sebagai mekanisme politik kenegaraan.
Dream - Dua ormas Islam
terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menegaskan
penolakannya pada paham khilafah di Indonesia. Dua ormas ini juga akan
menghalau upaya pendirian negara khilafah.
Sikap ini dinyatakan dalam pertemuan antara Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu malam, 31 Oktober 2018.
Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini, mengungkapkan ada empat sikap yang
disepakati bersama antara NU dan Muhammadiyah. Sikap pertama, dua ormas
ini berkomitmen kuat untuk menegakkan keutuhan dan kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berasaskan Pancasila sebagai sistem
kenegaraan yang Islami.
" Bersamaan dengan itu, menguatkan dan memperluas kebersamaan dengan
seluruh kompinen bangsa dalam meneguhkan integrasi nasional dalam
suasana yang damai, persaudaraan, dan saling berbagi untuk persatuan dan
kemajuan bangsa," ujar Helmy, dikutip dari Liputan6.com, Kamis 1 Oktober 2018.
Helmy mengatakan, sikap kedua, NU dan Muhammadiyah mendukung sistem
demokrasi sebagai mekanisme politik kenegaraan. Selain itu, dua ormas
ini mendorong seleksi kepemimpinan nasional dijalankan secara
profesional, konstitusional, jujur dan beradab.
" Semua pihak agar mendukung proses demokrasi yang substantif serta
bebas dari politik yang koruptif dan transaksional demi tegaknya
kehidupan politik yang dijiwai nilai-nilai Agama, Pancasila, dan
kebudayaan luhur Indonesia," kata dia.
Konferensi Pers Pernyataan Sikap Bersama NU Dan Muhammadiyah (Liputan6.com/Putu Merta SP)
Pengamat Politik Islam: Pembubaran HTI Sudah Sesuai Aspirasi NU dan Muhammadiyah
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik Islam, Zuhairi Misrawi menilai tepat keputusan pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi kemasyarakatan yang bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945.
Sikap pemerintah itu, tegas Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) ini
juga sudah sesuai dengan aspirasi NU dan Muhammadiyah yang meminta agar
tegas melarang ormas yang anti-Pancasila.
"HTI selama ini mengampanyekan ideologi yang anti-Pancasila dan dapat
memecah belah umat dan warga," tegas Gus Mis demikian sapaannya kepada
Tribunnews.com, Senin (8/5/2017).
Namun demikian Pemerintah juga bertanggungjawab untuk memperkuat pentingnya Pancasila dalam berbangsa dan bernegara.
"Mereka yang selama ini sudah dirasuki ideologi anti-Pancasila agar diberi pencerahan tentang keistimewaan Pancasila sebagai ideologi negara," ujarnya.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, Hizbut Tahrir
Indonesia dibubarkan karena prinsip organisasi yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan melayangkan gugatan untuk
membubarkan organisasi HTI.
"Prinsip (HTI) yang bertentangan dengan prinsip Pancasila
dan UUD 1945. Seperti masalah sistem khilafah dan lain-lain," ujar Tito
di Rumah Sakit Polri, Kramatjati, Jakarta Timur, Senin (8/6/2017).
Tito mengikuti rapat terbatas bersama Menteri Koordinasi Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto beserta sejumlah kementerian
terkait membahas wacana pembubaran HTI.
Dalam rapat tersebut, diutus Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menkumham
Yasonna Laoly bertindak sebagai pihak pengkaji untuk menggugat HTI.
"Intinya Menkopolhukam yang diikuti sejumlah kementerian lembaga yang
di bawah koordinasi kemenkopolhukam menyatakan bahwa pemerintah
mengeluarkan sikap tentang keberadaan HTI yang dianggap dapat
membahayakan keutuhan NKRI sebagai identitas bangsa," kata Tito.
Tito bersama jajarannya akan memberi masukan terutama terkait data dan fakta kegiatan HTI yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
"Polri akan berikan masukan. Dan setelah itu langkah hukum akan
dilakukan oleh Kemendagri dan Kemenkumham kepada kejaksaan. Kejaksaanlah
yang akan lakukan gugatan ke pengadilan," kata Tito.
Tribunnews.com/Y Gustaman
Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), Zuhairi Misrawi, saat mengunjungi kantor Tribunnews.com, Jakarta, Kamis (9/7/2015).
Sumber Foto KonPers ormas terlarang HTI : https://akuratnews.com/jubir-hizbut-tahrir-indonesia-menilai-pembubaran-ormas-hti-bermuatan-politis/
Mata Najwa - Karena Bendera: Bendera Tauhid atau Bendera HTI (Part 1)
Kasus pembakaran bendera berlafaz tauhid pada peringatan Hari Santri
Nasional di Garut, Jawa Barat, berbuntut Panjang. Selain membangkitkan
gelombang demonstrasi di berbagai daerah karena merasa pembakaran itu
adalah bentuk penistaan agama, Polri juga mengambil tindakan hukum
kepada pembawa bendera tersebut.
Menurut Kepala Satuan Koordinasi Nasional (Kasatkornas) Banser, Alfa
Isnaeni, anggotanya sudah paham bagaimana bendera milik HTI. “Itu acara
acara nahdliyin dan ada pengibaran bendera terlarang, anggota kami ambil
tindakan. Dari hasil investigasi Banser, di hari yang sama, di 11
kabupaten kota terjadi pengibaran bendera. Artinya itu tersistematis,”
kata Alfa.
Hal senada juga dikatakan oleh Ketua Umum PPP, Muhammad Rommahurmuziy.
Menurut Rommy, biasa ia disapa, tidak mungkin tidak ada motif politik
jika hasil investigasi Banser dan PBNU ditemukan bendera yang sama di 11
daerah berbeda.
Sementara Ketua DPP PKS, AL Muzzamil Yusuf meminta agar tidak ada
tudingan. “Ini negara hukum, serahkan kepada polisi. Intinya jaga
persatuan,” katanya. (Narasi)
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=SYvAxz45udc
Mata Najwa - Karena Bendera: Undang HTI, Gubernur Kaltim Akui Keliru (Part 2)
Buntut dari kasus pembakaran bendera di Garut, Jawa Barat, kelompok
massa yang menggelar aksi protes justru memantik persoalan baru. Para
pendemo menurunkan bendera merah putih, dan mengibarkan bendera berlafaz
tauhid itu di gedung instansi pemerintahan. Salah satunya di kantor
Gubernur Kalimantan Timur.
Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor mengaku keliru saat menandatangani
surat undangan kepada ormas-ormas Islam di wilayahnya. “Saya tidak cek
lagi, ternyata ada HTI. Tapi organisasi itu tidak ada di wilayah saya.
Soal bendera terkibar di kantor saya, itu bagi saya bukan bendera HTI,
tapi bendera kalimat tauhid. Lagi pula, undangan saya untuk mengademkan
situasi karena mereka mau demo kedatangan presiden,” kata Isran.
Kasatkornas Banser, Alfa Isnaeni mengatakan biar masyarakat atau pihak
berwajib yang menilai bagaimana seorang Gubernur membiarkan ada bendera
selain merah putih, dikibarkan di kantornya. “Itu kan fasilitas negara,
dan membiarkan ada bendera ormas terlarang dikibarkan, ya kebablasan.
Itu semacam bentuk pengakuan,” sindir Alfa. (Narasi)
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=vWtK308IgEw
Mata Najwa - Karena Bendera: Pengakuan Mantan Anggota HTI Soal Bendera (Part 3)
Kasus pembakaran bendera di Garut belakangan ditunggangi kepentingan
politik. Pengerahan massa untuk melakukan demonstrasi menuntut sikap
tegas pemerintah merebak di berbagai daerah. Jika di daerah-daerah
ditandai dengan pengibaran bendera hitam berlafaz tauhid di
kantor-kantor pemerintahan, demonstrasi di Jakarta diiringi dengan
seruan 2019 Ganti Presiden.
Menurut Ketua Umum PPP Muhammad Rommahurmuziy mengatakan, kita harus
menyepakati kalau NKRI itu harga mati. “Kalau kita mau jujur dan
mengkritisi pernyataan Ismail Yusanto, semua pihak tahu kalau HTI saat
demo atau setiap kegiatannya selalu membawa bendera itu. Persoalannya,
orang yang membawa bendera itu sudah mengakui itu bendera HTI saat
diperiksa polisi,” kata Rommi.
Mantan anggota HTI, Ainur Rofiq mengatakan secara jelas itu bendera HTI.
“Saya punya buku wajib HTI, ini ada secara jelas menuliskan bagaimana
bendera HTI, mulai dari bentuknya, hingga khatnya (hurufnya),” kata
Ainur yang juga dosen di UIN Sunan Ampel Surabaya. Ainur berani
mengatakan itu bendera HTI, karena dari pengalamannya berinteraksi
dengan organisasi tersebut selama 4 tahun lebih. (Narasi)
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=rLkI2B752Ew
Mata Najwa - Karena Bendera: Pembakaran Bendera, Motif Politik? (Part 4)
Ketua DPP PKS, Al Muzzammil Yusuf mengatakan, pembakaran bendera yang
ada lafaz tauhid pastinya akan mengakibatkan kemarahan umat, seandainya
terjadi juga di luar Indonesia. “Persoalannya, jika itu pada akhirnya
dibawa ke ranah politik, karena banyak kasus-kasus yang terjadi dan
terkait umat Islam seperti 212 misalnya itu terjadi di era Pak Jokowi,”
katanya.
Ketua Umum PPP Muhammad Rommahurmuziy menjelaskan, sikap pemerintah yang
membubarkan HTI sebenarnya terlambat jika dibandingkan negara-negara
Islam lainnya.
“Demo yang terjadi terlihat, bagaimana pada akhirnya HTI bersinergi
dengan kekuatan oposisi pemerintah. Harus diwaspadai balas dendam dari
kubu HTI. Jangan sampai kita seperti Suriah, diawali oleh perbedaan
mazhab, menjual isu agama, pada akhirnya perang saudara yang tidak
berkesudahan,” katanya. (Narasi)
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=8m3_RbUE1No
Mata Najwa - Karena Bendera: Polemik Bendera, Siapa yang Diuntungkan? (Part 5)
Rentetan demonstrasi Aksi Bela Tauhid yang terjadi di berbagai daerah
sangat rentan dijadikan komoditas politik praktis. Terlebih, pihak-pihak
yang terkait mempunyai kedekatan dengan kubu-kubu yang bertarung di
Pilpres 2019. Lantas, bagaimana elit politik meredamnya, agar persoalan
agama tidak dibawa-bawa sebagai alat kepentingan politik?
“Kita harus tabayun, dan berhati-hati menerima informasi di tahun
politik ini. Banyak pihak yang mengambil keuntungan. Nah, kita harus
waspadai, narasi antiislam itu kan selalu dilekatkan kepada Presiden
Jokowi. Padahal, beliau presiden yang paling banyak mengunjungi
pesantren dan kebijakannya mendukung umat Islam. Jadi, ayo berkompetisi
dengan baik dan sportif,” kata Ketua Umum PPP Rommahurmuziy.
Mantan anggota HTI, Ainur Rofiq mengatakan NU ataupun organisasi yang
sepakat dengan NKRI pastinya ingin mengajak mantan-mantan HTI untuk
kembali mencintai negara ini. “Saya pikir, untuk tokoh-tokoh pimpinan
HTI, harusnya mereka berefleksi secara mendalam dan kembali membangun
bangsa ini dengan pemikiran yang baik ketimbang hanya mericuhi,”
ujarnya. (Narasi)
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=mIZrMwsU-ns
Mata Najwa - Karena Bendera: Pesan Gus Mus Soal Pro Kontra Bendera (Part 6)
Di tengah polemik pembakaran bendera yang sangat sensitif karena terkait
agama, sejumlah tokoh mengingatkan agar masyarakat tidak mudah
terprovokasi. Terlebih lagi, potensi politisasi dalam kasus ini sangat
besar. Pengasuh Ponpes Raudlatut Tholibin, Rembang Jawa Tengah, Ahmad
Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus angkat bicara.
Menurut Gus Mus, persoalan mengenai pembakaran bendera berlafaz tauhid
tidak perlu lagi dibicarakan. Pelaku pembakaran, kata Gus Mus, sudah
meminta maaf dan polisi sedang menyelidiki kasusnya.
“Umat Islam ini mayoritas, jadi lebih baik kita menjadi umat yang
menyelesaikan masalah di Indonesia. "Saya menghimbau kepada
pemuka-pemuka agama terutama agama Islam. Marilah kita ajak umat kita
untuk kembali ke Alqur’an dan Sunnah Rasul, mengikuti jejak Rasulullah,
yang menyukai kasih sayang daripada kebencian, menyukai silaturahmi
daripada perpecahan," kata Gus Mus. (Narasi)
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=ju5ECniBZZs
Mata Najwa - Karena Bendera: Politik Kebangsaan Bukan Politik Kepentingan (Part 7)
Republik ini terus diuji oleh berbagai peristiwa yang datang silih
berganti. Persatuan dan kesatuan bangsa yang terdiri dari berbagai suku,
agama dan ras ini tetap harus dijaga, terutama dalam situasi politik
yang terus memanas. Politik kebangsaan, di mana negara terus menjaga
solidaritas antarwarga apapun latar belakangnya tetap harus dijalankan.
Menurut Ketua DPP PKS, Al Muzzammil Yusuf dirinya meminta ada produk
hukum yang melindungi simbol-simbol keagamaan. “Jadi jelas bagaimana
batasan-batasan simbol agama itu kita hormati. Selain itu, ada pasal
yang merupakan amanat reformasi soal perlindungan terhadap aktivitas
pemuka agama yang mengajarkan iman dan takwa kepada peserta didik,”
katanya.
Sementara itu, Ketua GNPF Yusuf Martak mengatakan umat harus bersatu,
negara dan bangsa lebih penting. “Setiap elit harus duduk bersama.
Presiden itu kan ada batas berkuasanya, sementara NKRI itu terus ada,”
katanya. (Narasi)
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=e8u2tfI3If4
Re-Post by MigoBerita / Sabtu/03112018/12.48Wita/Bjm