Pernah nonton
film The Kingdom?
Ini film
tentang peran Wahabi dalam pergerakan terorisme Internasional, tapi lokasinya
di pangkalan militer AS di Riyadh, Arab Saudi.
Awal film itu
menarik. Awalnya dua orang Saudi militan menembaki para pekerja AS di pangkalan
militer itu.
Ketika
situasi panik, ada seorang militan lagi berbaju polisi menyuruh para korban
untuk mendekat kepadanya supaya aman dan ketika korban sudah mendekat tiba-tiba
"Blarrrrr !!" bom bunuh diri dari militan itu meledak menambah korban
jiwa.
Dan yang
tambah menarik, ketika situasi terasa aman, datanglah banyak orang mendekat ke
lokasi bom bunuh diri itu. Tidak berapa lama "Blarrr !!" sebuah
ledakan maha dahsyat meledak di pusat lokasi. Korban jiwa bertambah lagi.
Dari mana
asal ledakan itu?
Sesudah
diselidiki, ternyata titik utama ledakan berasal dari ambulans yang berada di
lokasi dan membawa bom bunuh diri berdaya ledak besar.
Ambulans
memang kendaraan yang paling aman untuk masuk ke dalam lokasi karena
"berbaju kemanusiaan". Meski akhirnya kita paham, bahwa ambulans juga
bisa berfungsi sebagai senjata perang.
Dari
peristiwa 22 Mei, akhirnya mata kita kembali terbuka bahwa musuh bisa berbentuk
apa saja, bisa juga berbaju kemanusiaan.
Belum selesai
masalah ambulans yang isinya batu untuk menyerang polisi dari partai Gerindra,
muncul video dari CCTV sebuah ambulans berfungsi sebagai pengangkut perusuh
sekaligus sebagai kendaraan pembagi honor buat mereka.
Dan baru saja
dapat kabar lagi, polisi menyita sebuah ambulans yang didalamnya berisi panah
sampai bambu runcing. Ambulans sudah beralih fungsi sekarang, bukan lagi
menjadi bagian dari kemanusiaan, tetapi menjadi sebuah senjata perang.
Dari apa yang
terjadi di Suriah, kita juga melihat peran sebuah organisasi berbaju
kemanusiaan bernama White Helmets, yang ternyata adalah senjata propaganda
pihak pemberontak. Mereka dengan mudah masuk ke lokasi perang dan memberitakan
banyak hal yang menguntungkan pemberontak dan menyudutkan pemerintah yang sah.
Sejak awal,
berdasarkan apa yang terjadi di Suriah, saya sudah mengingatkan untuk hati-hati
terhadap organisasi berbaju kemanusiaan yang mendadak ada disekitar lokasi
demonstrasi.
Saya mempertanyakan, untuk apa sebuah organisasi kemanusiaan untuk bencana alam berada di lokasi demonstrasi dengan bahasa mitigasi atau persiapan bencana ? Bencana apa dalam sebuah demonstrasi?
Dan akhirnya
topeng-topeng pun terbuka...
Dompet dhuafa
(Dhuafa berarti orang miskin) yang awalnya bertujuan untuk membantu orang
miskin, tiba-tiba ada di lokasi demonstrasi dan melaporkan kerusakan mobil
bantuan mereka. Untuk apa organisasi bantuan untuk orang miskin ada di lokasi
demonstrasi?
Siapa yang
mereka salahkan? Ya, polisi. Mereka sama sekali tidak membahas tentang
provokator kerusuhan yang sudah membakar kantor polisi.
Kemudian
Mer-C yang dipimpin JoseRizal, tiba-tiba juga membahas proyektil peluru yang
katanya ia temukan di lokasi kerusuhan. Urusan apa Mer-C disana selain menjadi
mesin propaganda lawan politik Jokowi?
Sejak kasus
bantuan dari organisasi yang sama IHR pimpinan Bachtiar Nasir yang ternyata
tertangkap basah memasok logistik pada teroris di Aleppo dan propaganda yang
dilakukan White Helmets, saya sekali lagi mengingatkan "Hati-hati"
dengan organisasi berbaju kemanusiaan swasta atau NGO disekitar kita.
Mereka sangat mungkin menjadi senjata proganda untuk menciptakan kerusuhan yang lebih luas sekaligus menarik donasi lebih besar atas nama kemanusiaan untuk kepentingan politik mereka. Peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi seharusnya menjadi alarm keras yang terus mengingatkan kita.
Seharusnya
menjadi SOP dalam setiap penanganan demonstrasi apalagi yang berbau politik
bahwa organisasi berbaju kemanusiaan dilarang mendekati lokasi. Mereka
terindikasi menjadi alat politik bagi yang berkepentingan, alih-alih berbicara
kemanusiaan secara netral.
Audit
dana-dana mereka dan wajibkan lapor ke publik secara transparan. Meskipun
mereka swasta, tapi harus tetap berada dibawah badan pemerintah yang sah untuk
mengontrol tindakan mereka.
Yang paling
penting dari itu, sesudah kita melihat busuknya topeng politik mereka yang
tersembunyi di baju kemanusiaan, adalah jangan lagi menyumbang untuk mereka.
Jangan sampai niat memberi bantuan malah menjadi senjata perang yang membunuh
diri kita.
Pengalaman
seharusnya mengajarkan banyak hal, karena Tuhan memberikan pelajaran pada
manusia dengan berbagai bentuk peristiwa.
Seruput
kopinya.
SNOUCK HURGRONJE MASA KINI
Saya dapat
video ini dalam grup-grup WA..
Nama bule ini
adalah Jerry D Gray, mantan tentara Amerika yang mengaku menjadi mualaf di Arab
Saudi dan menikah dengan wanita Tasikmalaya. Ia sedang menunggu proses
naturalisasi di Indonesia.
Jerry D Gray
adalah seorang penulis yang dikatakannya "membongkar bobrok pemerintah
Amerika". Tapi dalam pergerakannya di Indonesia, ia dekat pada kelompok-kelompok
radikal dan berbicara tentang Islam Liberal dan Syiah yang dibilangnya adalah
bagian dari kelompok Freemansory.
Pasca Pilpres
ini, Jerry menjadi Propagandis kelompok radikal untuk menyudutkan pemerintah.
Dengan status agama barunya Islam, ia dengan mudah masuk ke kelompok radikal
dan menjadi pembicara di kalangan mereka.
Keberadaan
Jerry D Gray ini mengingatkan saya pada Snouck Hurgronje, mata2 kolonial
Belanda yang menguasai ilmu Islam dengan cerdas dengan tugas menyusup dan
memata2i pergerakan gerakan perjuangan kemerdekaan di Aceh dan mengadu domba
mereka.
Mirip juga
dengan cerita agen Inggris yang disusupkan untuk memecah Arab dengan nama beken
"Lawrence of Arabia" pada tahun 1918.
Dalam video
ini saya berikan petunjuk kedekatan Jerry D Graya dengan Abu Jibril, salah satu
pentolan kelompok radikal yang salah satu anaknya tewas di Suriah ketika
bergabung dengan ISIS.
Sejarah
selalu berulang dengan tokoh dan waktu yang berbeda, tetapi polanya tetap sama.
Hati-hati, kawan..
Seruput
kopinya.
NEGERI INI HAMPIR SAJA TERBAKAR API
Membaca
laporan utama Tempo tentang temuan-temuan dilapangan saat demo 22 Mei, sungguh
mengerikan..
Tempo dengan
detail menjabarkan bagaimana peran eks Danjen Kopassus, Soenarko, merancang
kerusuhan dengan metode "bunuh senyap". Sudah ada dua eksekutor yang
terdeteksi, dan mereka sekarang sedang dikejar polisi.
Rencana
Soenarko dengan memanfaatkan sniper untuk membunuh beberapa orang supaya demo
semakin rusuh, rupanya hanya Plan A. Meski Soenarko ditangkap, Plan B tetap
berjalan.
Kuncinya,
harus ada korban jiwa.
Dan
bergelimpanganlah nyawa 8 orang dari pihak pendemo terkena tembakan peluru
tajam. Siapa yang melakukan itu, sedangkan Soenarko sudah ditangkap?
Hermawan
Sulistyo, Profesor LIPI, menemukan bukti yang mencurigakan dari 8 korban yang
meninggal itu. "Semua tembakan single bullet, atau mati dengan satu peluru
saja..."
Bayangkan,
ketika mereka sedang asik-asik demo, tiba2 dari belakang ada yang menempelkan
pistol di leher mereka belakang telinga dan "dor !" satu tembakan
langsung ditempat mematikan. Mereka dieksekusi jarak dekat. Bajingan !
Dari jenis
pelurunya, diduga pistol yang menembak jenis Glock, pistol yang sering dipakai
para Jenderal.
Dan
menariknya lagi, kata Hermawan, pihak Rumah Sakit ketika dibawakan korban
meninggal asal main terima saja. Tidak bertanya dengan curiga kepada pembawa
mayatnya.
Sesudah ada
korban mati, Plan C pun dilaksanakan. Ratusan selongsong peluru disebarkan
dijalan dan difoto oleh banyak orang dengan narasi di media sosial, "Lihat
peluru tajam polisi !"
Anehnya,
selongsong itu dibawa dengan kantong kresek plastik. Jelas ada yang ingin
melakukan propaganda bahwa polisi memang menggunakan senjata tajam.
Sebelum demo
22 Mei, polisi sendiri sudah membekuk puluhan teroris yang siap meledakkan diri
di tengah para pendemo yang dibayar 300 ribu sampai 500 ribuan. Bayangkan jika
polisi tidak bertindak cepat, ada berapa ratus korban jiwa di tengah aksi
karena ledakan bom bunuh diri dimana-mana?
Aksi 22 Mei
ternyata tidak sesederhana situasi yang terlihat di lapangan. Begitu banyak pergerakan
berbahaya sebelum hari H yang semua akan berujung pada kepanikan dan kerusuhan.
Apa tujuannya
situasi panik dan rusuh itu?
Tentu
menjadikan Indonesia seperti tragedi 1998. Korban jiwa ratusan, api menyala
dimana-mana, perkosaan terhadap etnis Tionghoa kembali berlangsung dan
berdampak pada larinya sebagian orang keluar negeri. Ekonomi kolaps dan Jokowi
akan dipaksa mundur dari jabatan.
Jika itu
terjadi, diharapkan institusi militer terbelah dan situasi negara dianggap
darurat sehingga kekuasaan diambil alih. Dahsyat....
Situasi ini
melengkapi teori saya sebelumnya, bahwa ada 4 unsur kekuatan yang sudah lama
dibangun untuk membuat rusuh Indonesia.
Yang pertama
kekuatan umat, yang dibangun melalui ormas-ormas radikal. Dan kedua kekuatan di
dalam militer melalui oknum, sebagai pengambil alih kekuasaan. Ketiga, kekuatan
politik sebagai partner melalui partai dan politikus. Dan keempat kekuatan
dana, melalui pengusaha hitam yang sedang was-was uang mereka diluar negeri
disita negara.
Ulama palsu,
oknum militer, politikus busuk dan pengusaha jahat bergabung menjadi satu untuk
melakukan kudeta besar.
Para ormas
radikal dengan membawa nama "umat" ini dibangun oleh Hizbut Thahrir
sebagai bagian dari melegitimasi kekuasaan yang diambil secara tidak sah oleh kekuatan
lainnya..
Jadi paham
kan, kenapa sebagian dalangnya pada lari ke Saudi sebelum aksi?
Alhamdulillah,
Indonesia masih kuat menahan gempuran itu. Kita harus berterimakasih pada
kepolisian termasuk Densus 88, aparat militer yang masih cinta NKRI, para
intelijen yang memasok informasi dan rekan-rekan silent majority yang siap
turun ke lapangan jika situasi menjadi tidak aman.
Dan kita
wajib berterimakasih pada Tuhan yang Maha Esa atas berkatNya dalam melindungi
negara tercinta..
Seruput
kopinya.
ORANG-ORANG KAYA
Anton panik,
motornya hilang di parkiran.. Disaat yang
sama driver ojek online ini harus mengantarkan pesanan makanan ke konsumennya.
Yang menarik,
reaksinya kemudian tidak disangka. Anton menghubungi temannya sesama driver
ojol. Ngapain? Melaporkan ke polisi sesudah itu -ini yang hebat- mengantarkan
pesanan makanan ke konsumennya. Anton tidak melupakan tanggung jawabnya.
Kisah ini
viral di media sosial sesudah Fitro, konsumen itu, memposting status tentang
apa yang dilakukan Anton. Sontak terbangun gerakan untuk mengganti motor Anton
dan terkumpul sampai 90 juta rupiah. Luar biasa. Anton mendapat penghargaan dari
"people power" yang bahkan jauh lebih besar dari harga motornya yang
hilang.
Di berita
lain, seorang driver ojol juga bernama Sunandi, membuka tempat berbuka gratis
bagi sesama driver. Apa yang dilakukannya di postingnya di facebook supaya bisa
tersebar ke driver ojol lain untuk mampir. Kisahnya bahkan dimuat di media
online besar.
Sesudah
melihat apa yang Anton dan Sunandi lakukan, mendadak saya menjadi miskin
semiskin-miskinnya. Saya dengan segudang kepunyaan ternyata tidak lebih kaya
dari mereka berdua yang dengan berani memberikan apa yang mereka punya dengan
keterbatasan mereka. Ada nilai-nilai tinggi yang mereka bangun jauh dari
kekayaan materi.
Anton dan
Sunandi seharusnya menampar banyak orang, termasuk para politikus yang berani
mengeluarkan ratusan miliar rupiah untuk mendanai demo yang berujung kerusuhan.
Ratusan
miliar rupiah keluar sia-sia karena apa yang mereka harapkan tidak tercapai.
Hanya mengakibatkan kerugian dan korban jiwa. Jangan tanyakan tentang nilai,
karena yang ada disana hanya kerusakan..
Pada saatnya
manusia akan ditanya tentang apa yang dilakukannya. Anton dan Sunandi bisa
dengan bangga menceritakan, sedangkan banyak dari kita menunduk malu karena
tidak punya apapun yang kita banggakan selain kekayaan tanpa nilai.
Saya harus
banyak belajar dari Anton dan Sunandi dengan apa yang mereka lakukan. Saya
angkat secangkir kopi sebagai pelajaran.
Merekalah
sebenar-benarnya guru kehidupan.
Sumber Berita : https://www.dennysiregar.id/2019/05/orang-orang-kaya.html
GORIES MERE
"Mas,
bapak minta waktunya untuk ketemu bisa?". Sebuah pesan
masuk di no WA ku. Aku tidak kenal, tapi penasaran juga. "Siapa ?"
Tanyaku. Tidak lama kemudian dari seberang menjawab pesan," Bapak Gories
Mere.."
Nama itu
sangat akrab buatku. Aku sering membaca sepak terjangnya saat bom Bali tahun
2002 lalu. Pria asal Flores ini juga dikenal sebagai perintis Densus 88.
Tapi benarkah
yang mengundangku itu pak Gories ? Jangan-jangan hanya jebakan. Pada masa itu,
begitu banyak yang mengincar kepalaku untuk dipenggal gara-gara aku sering
menulis bagaimana pola di Suriah sedang diterapkan di Indonesia.
Tapi rasa
kagumku padanya membuat kaki ini berani melangkah. "Dimana ?"
Tanyaku. Ini pasti asistennya. "Di kafe kecil di sekitar wilayah -
sensor.." Ah, nambah penasaran aja. Antara takut sama pengen tahu aku
melangkah kesana. Benarkah yang mengundang Gories Mere? Atau ini hanya jebakan?.
Aku kirim
pesan ke seorang teman. "Aku ada di kafe ini. Kalau tiba-tiba aku
menghilang, kamu tahu aku ketemu sama siapa.."
Malam itu aku
duduk di dalam kafe kecil. Tidak banyak orang, hanya satu atau dua saja. Duduk
sendirian dan penasaran. Tiba-tiba, ruangan itu sepi. Kemana semua ? Termasuk
waiter dan bartender hilang semua. Pikiran akan diculik memenuhi ruang
pikiranku. "Mati gua.." Mau lari dari sana tapi kok malu.
Agak lama,
sekitar setengah jam, masuklah beberapa orang tegap-tegap. Dan salah satunya wajah
yang aku kenal karena sering kulihat di media. Dialah Gories Mere, sang
legenda.
Tanpa senyum
pak Gories duduk di depanku dan aku diapit banyak pemuda dan beberapa orang
senior disana. Dia langsung menginterogasiku, darimana aku tahu semua pola
kelompok radikal di Indonesia ? Apakah aku punya informan di dalam kepolisian ?
Dengan polos
kuceritakan, aku sering mengamati situasi Suriah. Dan pola pemberontakannya
sama dengan yang terjadi di Indonesia. "Jadi kamu sebenarnya tidak tahu
situasi sebenarnya??" Dia heran. Aku mengangguk. Aku hanya mengumpulkan
keping-keping cerita dan merangkumnya menjadi sebuah analisa. Kebetulan benar
semua..
Pak Gories
tersenyum. Yang lain juga tersenyum aku lega. Kemudian ia mengeluarkan benda
besar dalam saku depannya, semua juga melakukan hal yang sama. Sebuah cerutu.
"Karena kita sudah bersahabat, mari kita nyalakan api perjuangan.."
Katanya.
Ternyata
cerutu itu adalah simbol Densus, yang dibawa oleh Gories Mere dan sudah menjadi
budaya saat mereka berhasil menangkap teroris. Aku baca-baca harganya 1,5 juta
rupiah per batang. Dari Kuba.
Gories Mere
tidak banyak bicara. Ia pendengar yang baik dan mampu menggali informasi dariku
dengan keahliannya yang spesifik. Humble. Otak tajamnya terlihat saat ia
merangkai semua cerita dan membuat kesimpulan yang tepat. Pantas ia menjadi
legenda di detasemen anti teror.
Sudah lama
aku tidak bertemu dengannya. Tapi yang mengerikannya, bayang-bayangnya seakan
mengikuti diriku kemana-mana. "Jangan takut.. " Katanya. "Kamu
aman. Kami ada dimana-mana. Terus menulis untuk mencerahkan.." Dia
bergumam.
Dan saat
kudengar dari Kapolri bahwa Gories Mere menjadi sasaran pembunuhan, aku
tersenyum. Wajar saja. Ia sudah banyak mematahkan gerakan makar dan terorisme
di negeri ini. Mereka pasti benci padanya karena tidak mampu meluaskan
gerakannya selagi Gories Mere masih ada.
Gories Mere
adalah legenda hidup intelijen. Ia belum pensiun. Dan aku bangga pernah duduk
dan ngopi bersamanya.
Sumber Berita : https://www.dennysiregar.id/2019/05/gories-mere.html
Organisasi Habib se-Indonesia: Saat ini Telah Terjadi Degradasi Sebutan Habib di Masyarakat
islamindonesia.id – Organisasi Habib se-Indonesia: Saat ini Telah Terjadi Degradasi Sebutan Habib di Masyarakat
Rabithah Alawiyah, sebuah organisasi yang mewadahi Habaib (jamak dari habib) di Indonesia, merespon perkembangan degradasi makna “habib” dalam pandangan masyarakat Indonesia. Terlebih, belum lama ini, beberapa orang yang menyandang titel habib terkena kasus hukum.
“Makna kata habib adalah seseorang yang dicintai dalam masyarakat Indonesia, kata habib disematkan pada seorang yang memiliki ketersambungan silsilah dengan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Siti Fatimah Azzahra RA, yang di masyarakat menjadi tokoh yang dituakan, dengan ciri memiliki adab dan sopan santun, serta memiliki dasar keilmuan, serta selalu mengajak ke kebaikan di setiap tempat di mana beliau berada. Karena itu tidak semua yang memiliki ketersambungan silsilah yang dimaksud bisa diberikan sematan habib. Saat ini telah terjadi degradasi sebutan habib di masyarakat,” demikian pernyataan Rabithah Alawiyah pada Rabu (29/5), dilansir dari detik.com.
Untuk itu, DPP Rabithah Alawiyah menyatakan siapapun yang terbukti melakukan kerusuhan atau tindak pidana harus ditindak dengan tegas berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. “Kami meminta kepolisian RI dan aparat keamanan yang lain menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), menghindari tindakan represif, dan mengedepankan pendekatan persuasif serta melakukan pembinaan terhadap anggotanya untuk mengayomi masyarakat,” sebutnya.
DPP Rabithah Alawiyah juga prihatin dan menyayangkan jatuhnya korban pada peristiwa 21-22 Mei 2019 serta ikut berbela sungkawa kepada keluarga korban meninggal. Pihaknya meminta masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi oleh siapapun yang dapat menimbulkan kekacauan atau kerusuhan, sebagaimana dilansir dari republika.
DPP Rabithah Alawiyah menyerukan masyarakat untuk saling menghormati pilihan politik. Tata cara yang baik dalam menyikapi perbedaan yang ada harus dikedepankan.
“Semoga Allah SWT selalu mencurahkan Rahmat-Nya dan melindungi negara yang kita cintai. Izinkan kami untuk mengajak kita semua, seluruh komponen anak bangsa, untuk menempatkan kemanusiaan di atas segala perbedaan. Keadilan sejati hadir lewat akhlak yang baik. Dan tanpa akhlak yang baik perjuangan mencari keadilan hanya akan menjadi kesia-siaan,” demikian pernyataan Rabithah Alawiyah.
Perkembangan terakhir pasca kerusuhan, polisi sudah menangkap ratusan pelaku yang terlibat di dalamnya. Selain itu, ada beberapa orang yang ditangkap terkait penyelundupan senjata dan rencana pembunuhan para pejabat. Namun aktor utama di balik kerusuhan itu belum terungkap.
Di luar kejadian itu, ada juga peristiwa pembakaran Polsek Tambelangan di Sampang, Madura. Polisi sudah menahan sejumlah tersangka dan memburu 5 oknum habib yang diduga terlibat.
Pembakaran terjadi pada Rabu (22/5) sekitar pukul 22.00 WIB. Pembakaran berawal dari adanya sekelompok massa yang datang secara tiba-tiba ke Mapolsek Tambelangan.
Massa selanjutnya melempari mapolsek dengan menggunakan batu. Polisi berupaya memberikan pengertian dan melarang mereka berbuat anarkis, namun tidak diindahkan.
PH/IslamIndonesia/Foto Fitur: Rabithah Alawiyah
Sumber Berita : https://islamindonesia.id/berita/organisasi-habib-se-indonesia-saat-ini-telah-terjadi-degradasi-sebutan-habib-di-masyarakat.htm
AKADEMISI UIN Antasari Humaidy sebagai pemantik diskusi mengatakan, istilah habib secara bahasa berarti orang yang dicintai dan mencintai. Dalam masyarakat Banjar, orang yang memiliki juriat langsung dengan Nabi Muhammad SAW disebut syaid.
“Panggilan habib digunakan kalau seseorang sudah pada taraf alim, arif bijaksana. Namun sekarang, semua yang dianggap memiliki garis keturunan atau juriat dengan Nabi Muhammad SAW semuanya disebut habib walau tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup,” katanya.
Banjar, kata Humaidy, sedang mengalami proses Arabisasi yang massal. Bahkan lebih spesifik habibisasi. Ditandai dengan semakin digemarinya busana-busana arab seperti gamis, padahal dulu gamis tidak disukai karena mirip daster perempuan. Juga soal makanan. Berbagai masakan daging kambing, menjadi masakan kegemaran baru orang Banjar, dulu tidak seperti itu.
Diungkapkan Humaidy, tidak ada perlawanan dari orang Banjar atas berbagai gejala arabisasi ini. “Padahal dampaknya besar sekali terhadap perubahan budaya Banjar. Dulu ulama Banjar menggunakan lawung, mereka juga bergelar datu atau tuan guru. Ini sangat lokal dan mampu memberikan perlawanan,” katanya.
Habib sekarang ini seolah maksum, suci, tidak ada cacat cela. Bahkan sampai pada paham bahwa memilih habib dalam Pemilu, masuk surga. “Inilah kemudian yang memberi pengaruh pada elektoral dan itu dimanfaatkan oleh habib yang politisi,” ucapnya.
Menurutnya, ulama-ulama Banjar dahulu, yang bergelar guru, kritis
terhadap habib. Kalau habibnya tidak alim, mereka tidak hormat, bahkan
berani menasehati. Hanya habib yang alim yang dihormati. “Apalagi habib
yang politisi, tidak akan terlalu dipatuhi. Para guru tahu bagaimana
sebenarnya seorang politisi, sekalipun dia habib,” katanya.
Agar menormalkan pemahaman yang sebenarnya tentang habib, maka caranya adalah kembali ke akar budaya Banjar. Bahwa orang banjar menghormati orang yang berilmu atau alim, bukan atas dasar simbol gelar namun karena benar-benar memiliki pengetahuan.
Setelah Humaidy menyampaikan paparannya, peserta diskusi yang terdiri dari berbagai latar belakang ketokohan, memberikan tanggapannya. DR Muhammad memberikan tanggapan. Ia menilai tidak ada perubahan dari sisi habib. Tapi yang berubah itu adalah persepsi yang terbangun tentang sosok habib di mata orang Banjar. Persepsi ini terbentuk dari pemahaman keagamaan. Kelompok tradisionalis masih suka dengan simbol, dan lebih mengagungkan habib, sementara itu kelompok modernis, tidak terlalu. “Karena yang modernis tidak mengenal hirarkis. Mereka lebih egaliter, bahwa semua orang pada dasarnya sama saja atau setara,” katanya.
Penanggap lainnya, DR Jalaluddin, juga mengakui perubahan persepsi dari orang Banjar terhadap habib. Kalau sudah habib, tiada cacat cela. Ditambah penghormatan dari para guru kepada habib, sehingga terbangun kemuliaan di mata masyarakat.
Narasumber lainnya Hairansyah yang merupakan Wakil Ketua Komnas HAM RI, mengatakan bahwa sekarang ini menurut sejumlah riset, politik identitas semakin menguat. Juga dalam soal primordialisme, angkanya masih tinggi. Maka dengan kondisi seperti ini, menguntungkan orang-orsng yang suka memainkan simbol.
“Habib memang menjadi strategi pemenangan politik, bahkan orang dengan sengaja menjaja kehabibannya, karena sangat laku sebagai jualan kampanye, selain karena calon lain memang tidak dikenal. Pilihan masyarakat akhirnya ambil mudahnya, yaitu memilih habib,” katanya
Rabithah Alawiyah, sebuah organisasi yang mewadahi Habaib (jamak dari habib) di Indonesia, merespon perkembangan degradasi makna “habib” dalam pandangan masyarakat Indonesia. Terlebih, belum lama ini, beberapa orang yang menyandang titel habib terkena kasus hukum.
“Makna kata habib adalah seseorang yang dicintai dalam masyarakat Indonesia, kata habib disematkan pada seorang yang memiliki ketersambungan silsilah dengan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Siti Fatimah Azzahra RA, yang di masyarakat menjadi tokoh yang dituakan, dengan ciri memiliki adab dan sopan santun, serta memiliki dasar keilmuan, serta selalu mengajak ke kebaikan di setiap tempat di mana beliau berada. Karena itu tidak semua yang memiliki ketersambungan silsilah yang dimaksud bisa diberikan sematan habib. Saat ini telah terjadi degradasi sebutan habib di masyarakat,” demikian pernyataan Rabithah Alawiyah pada Rabu (29/5), dilansir dari detik.com.
Untuk itu, DPP Rabithah Alawiyah menyatakan siapapun yang terbukti melakukan kerusuhan atau tindak pidana harus ditindak dengan tegas berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. “Kami meminta kepolisian RI dan aparat keamanan yang lain menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), menghindari tindakan represif, dan mengedepankan pendekatan persuasif serta melakukan pembinaan terhadap anggotanya untuk mengayomi masyarakat,” sebutnya.
DPP Rabithah Alawiyah juga prihatin dan menyayangkan jatuhnya korban pada peristiwa 21-22 Mei 2019 serta ikut berbela sungkawa kepada keluarga korban meninggal. Pihaknya meminta masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi oleh siapapun yang dapat menimbulkan kekacauan atau kerusuhan, sebagaimana dilansir dari republika.
DPP Rabithah Alawiyah menyerukan masyarakat untuk saling menghormati pilihan politik. Tata cara yang baik dalam menyikapi perbedaan yang ada harus dikedepankan.
“Semoga Allah SWT selalu mencurahkan Rahmat-Nya dan melindungi negara yang kita cintai. Izinkan kami untuk mengajak kita semua, seluruh komponen anak bangsa, untuk menempatkan kemanusiaan di atas segala perbedaan. Keadilan sejati hadir lewat akhlak yang baik. Dan tanpa akhlak yang baik perjuangan mencari keadilan hanya akan menjadi kesia-siaan,” demikian pernyataan Rabithah Alawiyah.
Perkembangan terakhir pasca kerusuhan, polisi sudah menangkap ratusan pelaku yang terlibat di dalamnya. Selain itu, ada beberapa orang yang ditangkap terkait penyelundupan senjata dan rencana pembunuhan para pejabat. Namun aktor utama di balik kerusuhan itu belum terungkap.
Di luar kejadian itu, ada juga peristiwa pembakaran Polsek Tambelangan di Sampang, Madura. Polisi sudah menahan sejumlah tersangka dan memburu 5 oknum habib yang diduga terlibat.
Pembakaran terjadi pada Rabu (22/5) sekitar pukul 22.00 WIB. Pembakaran berawal dari adanya sekelompok massa yang datang secara tiba-tiba ke Mapolsek Tambelangan.
Massa selanjutnya melempari mapolsek dengan menggunakan batu. Polisi berupaya memberikan pengertian dan melarang mereka berbuat anarkis, namun tidak diindahkan.
PH/IslamIndonesia/Foto Fitur: Rabithah Alawiyah
Sumber Berita : https://islamindonesia.id/berita/organisasi-habib-se-indonesia-saat-ini-telah-terjadi-degradasi-sebutan-habib-di-masyarakat.htm
Pengaruh Habib Dalam Politik Elektoral
DIREKTUR LK3 Rafiqah dalam diskusi LK3 mengatakan, Pemilu 2019 benar-benar menjadi pelajaran bagi rakyat Indonesia karena semakin menegaskan kuatnya politik simbol dan identitas. “Simbol yang paling kuat adalah keagamaan. Dan, itu dimanfaatkan oleh para calon,” katanya dihadapan sekitar 80 peserta di aula Tambak Yudha, Jumat (31/5/2019).AKADEMISI UIN Antasari Humaidy sebagai pemantik diskusi mengatakan, istilah habib secara bahasa berarti orang yang dicintai dan mencintai. Dalam masyarakat Banjar, orang yang memiliki juriat langsung dengan Nabi Muhammad SAW disebut syaid.
“Panggilan habib digunakan kalau seseorang sudah pada taraf alim, arif bijaksana. Namun sekarang, semua yang dianggap memiliki garis keturunan atau juriat dengan Nabi Muhammad SAW semuanya disebut habib walau tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup,” katanya.
Banjar, kata Humaidy, sedang mengalami proses Arabisasi yang massal. Bahkan lebih spesifik habibisasi. Ditandai dengan semakin digemarinya busana-busana arab seperti gamis, padahal dulu gamis tidak disukai karena mirip daster perempuan. Juga soal makanan. Berbagai masakan daging kambing, menjadi masakan kegemaran baru orang Banjar, dulu tidak seperti itu.
Diungkapkan Humaidy, tidak ada perlawanan dari orang Banjar atas berbagai gejala arabisasi ini. “Padahal dampaknya besar sekali terhadap perubahan budaya Banjar. Dulu ulama Banjar menggunakan lawung, mereka juga bergelar datu atau tuan guru. Ini sangat lokal dan mampu memberikan perlawanan,” katanya.
Habib sekarang ini seolah maksum, suci, tidak ada cacat cela. Bahkan sampai pada paham bahwa memilih habib dalam Pemilu, masuk surga. “Inilah kemudian yang memberi pengaruh pada elektoral dan itu dimanfaatkan oleh habib yang politisi,” ucapnya.
Agar menormalkan pemahaman yang sebenarnya tentang habib, maka caranya adalah kembali ke akar budaya Banjar. Bahwa orang banjar menghormati orang yang berilmu atau alim, bukan atas dasar simbol gelar namun karena benar-benar memiliki pengetahuan.
Setelah Humaidy menyampaikan paparannya, peserta diskusi yang terdiri dari berbagai latar belakang ketokohan, memberikan tanggapannya. DR Muhammad memberikan tanggapan. Ia menilai tidak ada perubahan dari sisi habib. Tapi yang berubah itu adalah persepsi yang terbangun tentang sosok habib di mata orang Banjar. Persepsi ini terbentuk dari pemahaman keagamaan. Kelompok tradisionalis masih suka dengan simbol, dan lebih mengagungkan habib, sementara itu kelompok modernis, tidak terlalu. “Karena yang modernis tidak mengenal hirarkis. Mereka lebih egaliter, bahwa semua orang pada dasarnya sama saja atau setara,” katanya.
Penanggap lainnya, DR Jalaluddin, juga mengakui perubahan persepsi dari orang Banjar terhadap habib. Kalau sudah habib, tiada cacat cela. Ditambah penghormatan dari para guru kepada habib, sehingga terbangun kemuliaan di mata masyarakat.
Narasumber lainnya Hairansyah yang merupakan Wakil Ketua Komnas HAM RI, mengatakan bahwa sekarang ini menurut sejumlah riset, politik identitas semakin menguat. Juga dalam soal primordialisme, angkanya masih tinggi. Maka dengan kondisi seperti ini, menguntungkan orang-orsng yang suka memainkan simbol.
“Habib memang menjadi strategi pemenangan politik, bahkan orang dengan sengaja menjaja kehabibannya, karena sangat laku sebagai jualan kampanye, selain karena calon lain memang tidak dikenal. Pilihan masyarakat akhirnya ambil mudahnya, yaitu memilih habib,” katanya
Sumber Berita : http://jejakrekam.com/2019/06/01/pengaruh-habib-dalam-politik-elektoral/
DARI 14 petarung laga senator Kalsel ini, bisa dipastikan 10 nama bakal tersingkir, atau minimal menjadi pengganti antar waktu (PAW). Berdasar DC1 DPD RI Pemilu 2019 di Kalimantan Selatan, nama Habib Abdurrahman Bahasyim alias Habib Banua merebut suara terbanyak dengan mengantongi 394.026 suara.
Raihan suara Habib Banua tersebar di 13 kabupaten dan kota, terbanyak seperti di Kabupaten Tanah Laut dengan 30.020 suara, Kabupaten Banjar 62.183 suara, Banjarmasin dengan 59.741 suara, hingga menjuarai wilayah Hulu Sungai.
Di posisi kedua adalah Gusti Farid Hasan Aman. Mantan anggota DPD RI yang juga mantan calon Wakil Gubernur Kalsel pendamping H Muhidin ini dengan 317.661 suara. Sebaran suara Gusti Farid pun hampir merata di atas para petarung lainnya, seperti di Kabupaten Banjar bisa berebut 39.839 suara, Barito Kuala dengan 25.879 suara, merebut 73.847 suara di Banjarmasin dan Banjarbaru dengan 25.079 suara yang menjadi basis massa pendukungnya.
Menyusul di posisi ketiga adalah Habib Zakaria Bahasyim dengan mengoleksi 249.982 suara. Figur yang lekat dengan Front Pembela Islam (FPI) Kalimantan Selatan ini juga bertengger di posisi terbesar peraih suara di Banjarmasin dengan 30.908 suara, Tabalong dengan 21.949 suara, 34.215 suara masyarakat Kabupaten Banjar, begitupula di daerah lainnya rata-rata di belasan ribu suara.
Peraih kursi keempat atau teakhir adalah calon petahana, Habib Hamid Abdullah bermodal 231.192 suara. Basis massa pendukung sang habib ini juga berasal dari kantong-kantong suara yang padat di Kalsel seperti Banjarmasin dengan 40.874 suara, Banjar dengan 41.838 suara, Kotabaru 19. 249 suara, dan daerah lainnya suaranya berada di antara belasan ribu dan ribuan suara.
Menariknya, di posisi kelima ada nama Agustina Nur Martina Putri. Pendatang baru yang juga politisi milineal bisa merebut posisi bergengsi dengan 163.542 suara. Bahkan, Agustina pun bisa mengalahkan petahana, Antung Fatmawati yang merupakan anggota DPD/MPR RI utusan Kalsel hasil Pemilu 2014.
Agustina pun bisa merebut suara besar di Banjarmasin, Kabupaten
Banjar, Banjarbaru dan daerah lainnya dengan di atas belasan hingga
puluhan ribu suara. Bandingkan dengan suara Antung Fatmawati hanya
97.208 suara. Jika Pemilu 2014, basis suara Antung Fatmawati berasal
dari Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tabalong. Di dua daerah ini, Antung
Fatmawati hanya mendulang 16.204 suara di Tabalong, dan 15.905 suara di
Kabupaten Banjar.
Bahkan, Adhariani yang sempat tertahan dalam Pemilu 2014 lalu melenggang ke Senayan Jakarta, bisa merebut 116.458 suara. Mantan anggota DPRD Kalsel dan DPD RI ini juga bisa merebut basis massa di pesisir seperti Tanah Laut dan Kotabaru serta Tanah Bumbu dengan dulangan 11.017 suara dan 12.813 suara plus 12.198 suara. Termasuk, 14.078 suara Kabupaten Banjar, Barito Kuala (Batola) dengan 9.244 suara, serta Banjarmasin dengan 15.856 suara dan 7.248 suara dari Banjarbaru.
Sedangkan, Hesly Junianto berada di peringkat tujuh dengan 78.716 suara. Mantan pejabat Pemkot Banjarmasin yang juga pengurus Muhammadiyah Kalimantan Selatan ini merebut suara perkotaan seperti Banjarmasin dengan 18.494 suara, dan Banjarbaru dengan 5.146 suara.
Bagaimana dengan suara HM Sofwat Hadi. Anggota DPD RI yang jadi langganan mengisi kursi senator? Dalam Pemilu 2019, pensiunan perwira menengah Polri ini hanya merebut 75.869 suara berada di posisi ke-9.
Sementara itu, pemenang perebutan kursi senator dari kantong suara Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), HM Aunul Hadi Idham Chalid dengan 33.988 suara, namun di 12 kabupaten dan kota hanya merebut ribuan suara, bertotal 65.380 suara tak bisa bertengger di posisi atas.
Untuk posisi juru kunci ditempati Soegeng Soesanto. Mantan anggota DPRD Kalsel asal PAN ini bermodal 20.319 suara hasil Pemilu 2019, meski suaranya cukup mencolok di Banjarbaru dengan 6.027 suara. Dari pertarungan kursi senator ini, sudah dipastikan 10 calon bakal tersingkir, dan mengantarkan empat pemenang.
Habib Abdurrahman Bahasyim kepada jejakrekam.com, mengungkapkan dukungan massanya dalam Pemilu 2019, menjadi bukti kepercayaan mereka atas kinerjanya selama senator Banua di DPD RI hasil pemilu sebelumnya.
Empat Kursi Senator Kalsel Bakal Diisi Trio Habib Plus Gusti Farid
PERTARUNGAN empat kursi senator di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI utusan Kalimantan Selatan telah berakhir. Berdasar hasil Pemilu 2019, trio habib yang masih berkerabat bakal melenggang ke Senayan Jakarta, mewakili Kalsel sebagai senator dan mendampingi Gusti Farid Hasan Aman.DARI 14 petarung laga senator Kalsel ini, bisa dipastikan 10 nama bakal tersingkir, atau minimal menjadi pengganti antar waktu (PAW). Berdasar DC1 DPD RI Pemilu 2019 di Kalimantan Selatan, nama Habib Abdurrahman Bahasyim alias Habib Banua merebut suara terbanyak dengan mengantongi 394.026 suara.
Raihan suara Habib Banua tersebar di 13 kabupaten dan kota, terbanyak seperti di Kabupaten Tanah Laut dengan 30.020 suara, Kabupaten Banjar 62.183 suara, Banjarmasin dengan 59.741 suara, hingga menjuarai wilayah Hulu Sungai.
Di posisi kedua adalah Gusti Farid Hasan Aman. Mantan anggota DPD RI yang juga mantan calon Wakil Gubernur Kalsel pendamping H Muhidin ini dengan 317.661 suara. Sebaran suara Gusti Farid pun hampir merata di atas para petarung lainnya, seperti di Kabupaten Banjar bisa berebut 39.839 suara, Barito Kuala dengan 25.879 suara, merebut 73.847 suara di Banjarmasin dan Banjarbaru dengan 25.079 suara yang menjadi basis massa pendukungnya.
Menyusul di posisi ketiga adalah Habib Zakaria Bahasyim dengan mengoleksi 249.982 suara. Figur yang lekat dengan Front Pembela Islam (FPI) Kalimantan Selatan ini juga bertengger di posisi terbesar peraih suara di Banjarmasin dengan 30.908 suara, Tabalong dengan 21.949 suara, 34.215 suara masyarakat Kabupaten Banjar, begitupula di daerah lainnya rata-rata di belasan ribu suara.
Peraih kursi keempat atau teakhir adalah calon petahana, Habib Hamid Abdullah bermodal 231.192 suara. Basis massa pendukung sang habib ini juga berasal dari kantong-kantong suara yang padat di Kalsel seperti Banjarmasin dengan 40.874 suara, Banjar dengan 41.838 suara, Kotabaru 19. 249 suara, dan daerah lainnya suaranya berada di antara belasan ribu dan ribuan suara.
Menariknya, di posisi kelima ada nama Agustina Nur Martina Putri. Pendatang baru yang juga politisi milineal bisa merebut posisi bergengsi dengan 163.542 suara. Bahkan, Agustina pun bisa mengalahkan petahana, Antung Fatmawati yang merupakan anggota DPD/MPR RI utusan Kalsel hasil Pemilu 2014.
Bahkan, Adhariani yang sempat tertahan dalam Pemilu 2014 lalu melenggang ke Senayan Jakarta, bisa merebut 116.458 suara. Mantan anggota DPRD Kalsel dan DPD RI ini juga bisa merebut basis massa di pesisir seperti Tanah Laut dan Kotabaru serta Tanah Bumbu dengan dulangan 11.017 suara dan 12.813 suara plus 12.198 suara. Termasuk, 14.078 suara Kabupaten Banjar, Barito Kuala (Batola) dengan 9.244 suara, serta Banjarmasin dengan 15.856 suara dan 7.248 suara dari Banjarbaru.
Sedangkan, Hesly Junianto berada di peringkat tujuh dengan 78.716 suara. Mantan pejabat Pemkot Banjarmasin yang juga pengurus Muhammadiyah Kalimantan Selatan ini merebut suara perkotaan seperti Banjarmasin dengan 18.494 suara, dan Banjarbaru dengan 5.146 suara.
Bagaimana dengan suara HM Sofwat Hadi. Anggota DPD RI yang jadi langganan mengisi kursi senator? Dalam Pemilu 2019, pensiunan perwira menengah Polri ini hanya merebut 75.869 suara berada di posisi ke-9.
Sementara itu, pemenang perebutan kursi senator dari kantong suara Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), HM Aunul Hadi Idham Chalid dengan 33.988 suara, namun di 12 kabupaten dan kota hanya merebut ribuan suara, bertotal 65.380 suara tak bisa bertengger di posisi atas.
Untuk posisi juru kunci ditempati Soegeng Soesanto. Mantan anggota DPRD Kalsel asal PAN ini bermodal 20.319 suara hasil Pemilu 2019, meski suaranya cukup mencolok di Banjarbaru dengan 6.027 suara. Dari pertarungan kursi senator ini, sudah dipastikan 10 calon bakal tersingkir, dan mengantarkan empat pemenang.
Habib Abdurrahman Bahasyim kepada jejakrekam.com, mengungkapkan dukungan massanya dalam Pemilu 2019, menjadi bukti kepercayaan mereka atas kinerjanya selama senator Banua di DPD RI hasil pemilu sebelumnya.
Sumber Berita : http://jejakrekam.com/2019/05/12/empat-kursi-senator-kalsel-bakal-diisi-trio-habib-plus-gusti-farid/
Re-Post by MigoBerita / Sabtu/01062019/15.45Wita/Bjm