Migo Berita - Banjarmasin - 2024 akan jadi Ajang Perebutan Kekuasaan para Pengusung Agama / Khilafah.
Pemilu atau Pilpres 2024 memang masih lama, namun para Pembenci Pak Presiden yang Sah Pak Jokowi dan masuknya Pak Prabowo ke kabinet membuat para Pengusung Agama dan Khilafah di Indonesia menginginkan tahun 2024 yang merupakan masa terakhir masa jabatan Pak Jokowi menjadi Pertempuran atau Perebutan Kekuasaan bagi mereka yang Haus akan Agama dan Khilafah versi golongan mereka sendiri. Jadi pahamilah pola pemikiran semacam ini sedari awal.
Namun, kalau ternyata ada Niat dari orang-orang yang "Mengaku" Wakil Rakyat baik itu dipusat maupun di daerah yang menghendaki ada Undang-undang Khusus Pak Jokowi bisa lagi menjadi kandidat calon presiden di tahun 2024 dan Pak Jokowi juga bersedia serta masyarakat Indonesia lebih dari 50 persen menghendakinya. Maka sangat Mungkin para pengusung Khilafah dan Agama versi mereka tersebut menjadi "ketar-ketir" kembali.
Mengapa dan Bagaimana para Pembaca Migo Berita bisa saja memberikan komentar ya ^_^
Miliaran Dolar dari Saudi Biayai Kaum Radikal Indonesia
Hati-hati, miliaran dolar dari Arab Saudi biayai
kaum radikal di Indonesia. Ini bukan permainan sekali pukul Tulisan
opini Eko Kuntadhi.
Seorang calon pemimpin butuh citra, agar kelak ketika ia memegang tampuk pimpinan kekuasaanya bisa kokoh. Di Saudi yang berbentuk kerajaan, kekhawatiran paling serius dari calon raja adalah tikaman dari lingkungan keluarganya sendiri.
Ketika Muhammed bin Salman (MBS) diangkat sebagai putra mahkota, ia membangun pencitraan seolah dirinya adalah reformis. Dengan alasan memberantas korupsi, ia menangkapi pangeran-pangeran kaya yang bakal membahayakan kekuasaannya nanti.
MBS meminta para pangeran itu menyerahkan sejumlah kekayaanya. Penyerahan kekayaan itu adalah cara memotong jalur logistik jika saja para pangeran itu mau bersekongkol untuk mendongkel dirinya.
Bukan hanya alasan korupsi. MBS juga menangkapi para agamawan berpandangan radikal. Ini dilakukan untuk mendapatkan pencitraan dari dunia internasional bahwa dirinya membawa perubahan pada negeri gurun itu. Para ulama radikal yang juga disokong oleh dana besar para pangeran ketakutan. Sebagian mereka, kabarnya kabur, mencari lokasi baru untuk menyebarkan pahamnya.
Bukan hanya kabur membawa dirinya sendiri. Tetapi mereka membawa duit jutaan dolar. Asyiknya lokasi yang dituju adalah Indonesia.
Sejak lama memang yayasan-yayasan dari Saudi menanamkan pengaruhnya di Indonesia. Mereka membantu pembangunan masjid, mendorong pendirian pesantren, membangun komunitas-komunitas untuk menyebarkan paham Wahabi yang keras. Kini mereka masuk ke Indonesia, bukan hanya menjadi donatur, tetapi berharap bisa memetik langsung bibit radikal yang sudah ditanam selama ini.
Jangan heran belakangan gerakan kaum radikal ini mulai berani terang-terangan. Mereka sahut-sahutan menguatkan satu sama lain. Agendanya adalah mengubah Indonesia menjadi negara agama. Modalnya adalah duit miliaran dolar yang dibawa dari Saudi.
Jangan heran Ijtima Ulama IV kemarin, misalnya, mulai terang-terangan meneriakkan khilafah di Indonesia. Atau sebagian pengasong agama mulai menjajakan Indonesia bersyariah. Ini bukan kebetulan. Tapi memang ada grand skenario besar yang mempertemukan para pengasong agama di Indonesia dengan sumber dana yang lari dari Saudi.Ini memang bukan permainan sekali pukul.
Tokoh sekelas Mahfud MD, mencium juga gelagat ini. Baginya gerakan mereka bukan lagi main-main. Dengan sokongan dana besar dan bacot para pengasong agama, bisa dikatakan, masa depan Indonesia mulai terancam.
Perkiraan saya sebentar lagi akan makin sengit kampanye khilafah dan Indoneaia bersyariah diteriakkan. Akan makin banyak kejadian-kejadian ajaib yang merusak persatuan. Akan makin keras gempuran pada NU dan Muhammadiyah. Dan goyangan pada pemerintahan Jokowi juga akan lebih terasa.
Gerombolan ini memanfaatkan kekecewaan pendukung Prabowo kemarin. Justru rekonsiliasi Prabowo-Jokowi dijadikan momentum untuk memutus umat dari rantai komando Prabowo. Mereka langsung mendiskreditkan Prabowo sebagai pengkhianat umat.
Tujuannya agar pengaruh Prabowo ditekan seminimal mungkin. Dan para pendukungnya dibelokkan untuk agenda yang lebih besar lagi.
Ini memang bukan permainan sekali pukul. Hitungannya dengan bermodal 42 persen pendukung Prabosan yang sudah loss contact dengan Prabowo, mereka akan menyiapkan perebutan kekuasaan. Sebagian masih percaya jalan demokrasi. Artinya akan memanfaatkan Pemilu 2024 sebagai ajang pertempuran.
Ketika menang nanti, mereka akan membajak demokrasi untuk menegakkan cita-citanya. Seperti Mursi ketika menguasai Mesir.
Sebagian lagi ogah menunggu permainan itu. Nah, inilah yang berbahaya. Mereka lebih suka mengambil jalan pintas untuk berkuasa. Risikonya pasti berdarah. Rakyat akan diadu.
Jika belakangan suasana provokasi terus meningkat, tidak usah heran. Duit dari Saudi mulai bekerja. Menyebarkan racun ke mana-mana.
Kita sepertinya harus lebih mengeratkan pegangan tangan agar petrodolar tidak membuat negeri indah ini menjadi gurun.
Nauzubillah min zalik.
*Pegiat Media Sosial
Sumber Utama : https://www.tagar.id/miliaran-dolar-dari-saudi-biayai-kaum-radikal-indonesia
CLM “Senjata” Covid Terbaru Abas Butuh Kejujuran, Emangnya Bisa?
Bukan
rahasia lagi lonjakan angka Covid di Jakarta unggul. Satirnya, ini
membuktikan sang Gubernur terbukti mengalahkan provinsi lainnya. Toh,
selama ini juga Jakarta memang rempong dengan segambreng wacana-wacana
yang bikin perut tambah mules melilit. Ujungnya, prett…juga!
Teringatnya, keberhasilan suatu daerah harusnya tergantung bagaimana pemimpinnya. Heheh…begitu nggak sih wajarnya?
Mungkin inilah yang membuat Anies melahirkan ide barunya corona likelihood metric
(CLM) di aplikasi JAKI. Walaupun sebenarnya CLM ini sepupuan dengan
SIKM (Surat Izin Keluar Masuk) yang sempat digunakan untuk memantau
warga keluar masuk Jakarta.
"Kita
targetkan bahwa sebutlah 80 persen misalnya, 70 persen penduduk Jakarta
download CLM," ujar Anies dalam video rapat evaluasi masa transisi PSBB
yang diunggah di YouTube Pemprov DKI, Sabtu (18/7/2020). Dikutip dari:
kompas.com
Ehhhmm…apa dan siapa itu CLM?
Begini,
CLM ini adalah aplikasi yang digunakan untuk mengecek gejala Covid
dengan teknologi berbasis machine learning yang dapat menilai kelayakan
seseorang untuk mengikuti tes Covid-19 dengan metode polymerase chain
reaction (PCR).
Konon
CLM dinilai lebih praktis ketimbang SIKM karena dapat diunduh dengan
mengisi formulir CLM di aplikasi JAKI. Sedangkan JAKI ini adalah
aplikasi yang diluncurkan Pemprov DKI. Hehe…maaf, ini kira-kira serupa
tapi beda banget, atau lebih tepatnya JAKI contekan dari Qlue idenya
Ahok.
Tampaknya
inilah senjata Anies terbaru untuk mengendalikan lonjakan angka Covid
di Jakarta yang kaget-kagetan itu. Bung Anies ini berharap setidaknya
80 persen warga Jakarta mengunduh aplikasi ini sehingga bisa dipantau
atau dimonitoring kondisi pandemi di Jakarta.
Persoalannya,
apa jaminannya warga akan menjawab jujur setiap pertanyaan pada
aplikasi tersebut. Jelas-jelas nantinya yang diharapkan adalah
kemandirian dan kejujuran. Akan ada beberapa pertanyaan yang harus
dijawab oleh warga dengan jujur untuk mendapat penilaian otomatis
terkait indikasi kesehatan warga. Jika hasil skor menunjukkan tidak
aman maka sistem akan merekomendasi untuk melakukan pemeriksaan.
Dilansir dari liputan6.com inilah cara pengajuan atau mengisi formulir CLM berdasarkan YouTube Jakarta Smart City:
- Unduh aplikasi Jaki melalui play store atau app store
- Pilih fitur JakCLM, kemudian perhatikan ketentuan yang tercantum di JakCLM
- Salin pernyataan pada box yang telah disediakan
- Masukan nama lengkap dan NIK sesuai KTP. Satu NIK hanya dapat digunakan untuk satu kali tes dalam satu Minggu
- Masukan alamat sesuai dengan domisili kamu di Jakarta dan lengkapi identitas lainnya
- Masukan juga nomor telepon dan email aktif
- Isi semua pertanyaan secara benar dan jujur, yang meliputi informasi klinis, kondisi kesehatan, riwayat kontak, dan riwayat bepergian
- Setelah selesai bisa cek kembali informasi rangkuman jawaban
- Jika sudah sesuai centang pernyataan persetujuan lalu klik tombol lihat hasil tes
- Kamu akan mengetahui hasil pemeriksaan sesuai kategori yang ada,
- orang tanpa gejala (OTG)
- orang dalam pemantauan (ODP)
- orang dalam pengawasan (PDP)
- Unduh dan simpan hasil tes dengan memindai atau screenshot QR code di halaman hasil
- Jika dari hasil tes kalkulator Covid-19 diprioritaskan untuk ikut tes PCR, ikuti langkah berikut,
- Unduh hasil tes kalkulator Covid-19 atau simpan QR code
- Konfirmasi kehadiran untuk tes PCR dengan menghubungi nomor telepon Puskesmas yang diberikan
- Datang ke Puskesmas yang telah ditentukan dengan membawa identitas dan hasil tes kalkulator Covid-19
Maaf,
tidak bermaksud mendiskreditkan usaha Anies. Tetapi, mari kita lihat
gambaran besarnya saja. Sejauh ini kita sudah 6 bulan dengan kondisi
hidup ditengah pandemi. Berbagai upaya juga sudah dilakukan. Bahkan
beberapa saat dengan rajin Gugus Depan mengumumkan berbagai angka
kenaikan kasus, kesembuhan dan hingga kematian. Pun, kebijakan PSBB
transisi juga diberikan demi memberikan kesempatan warga untuk mandiri,
dan dewasa hidup parallel dengan Covid. Tetapi, apa faktanya?
Justru
angka kasus Covid di Jakarta menggila nggak karuan. Sama gokilnya
dengan warga yang cuek dengan segala aturan protokol kesehatan dan gaya
hidup sehat.
Jadi,
maaf sekali lagi nggak melihat kehebatan dari CLM karena disini jelas
yang dituntun adalah kejujuran dan kemandirian. Faktanya saja, selama
ini warga Jakarta tidak jujur dengan diri sendiri, kucing-kucingan
dengan Covid!
Mari kita ambil lagi satu contoh sederhana yang umum dilakukan orang ketika akan medical check-up. Tidak diketahui kebenaran secara medis, tetapi umum dilakukan orang minum air kelapa muda dan susu beberapa hari sebelum medical check-up.
Mereka percaya ini akan membuat paru-paru kinclong dan stamina tubuh
mendadak fit 1000 persen mungkin. Artinya, memang doyan tipu-tipu itu
sudah jamak.
Bayangin
saja jika dengan aplikasi CLM ini nantinya ada yang berimprovisasi
misalnya membuka sekolah. Berkeyakinan, khan sudah aman ada aplikasi
CLM, jadi bisa cek mandiri. Wkwk…mungkin saja aplikasinya berguna,
tetapi bagaimana dengan yang menjawab pertanyaan aplikasi itu adalah hal
yang meragukan sangat! Ini akan jadi mimpi buruk karena banyak cerita
membuktikan tidak semua kepala otaknya lengkap, ternyata!
Intinya pengendalian Covid di Jakarta bukan karena ada aplikasi atau tidaknya. Bahkan juga bukan semata soal masker dan faceshield,
karena semuanya sifatnya membantu. Tetapi, kunci utamanya adalah diri
kita sendiri ini! Sejauh mana kita ini menjaga diri sendiri, yang
artinya juga kita menjaga orang lain!
Sumber:
https://www.liputan6.com/news/read/4310396/kendalikan-penyebaran-corona-anies-harapkan-warga-dki-isi-clm-secara-masif
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/07/20/15512311/kendalikan-covid-19-anies-ingin-80-persen-warga-jakarta-isi-clm?page=all
Ilustrasi: Imgur
Diminta BPIP Dibubarkan, Pemerintah Lebih Tahu Siapa yang Layak bagi Negara
Dalam
tatanan negara kita, semua pasti paham, tak ada kedudukan istimewa yang
dimiliki sebuah komunitas, kecuali mendapatkan legitimasi sesuai
Undang-undang. Dan tak boleh ada pula yang merasa kelompoknya paling
berhak menuntut ini dan itu, lebih-lebih tuntutan itu dialamatkan kepada
lembaga terhormat.
Ironis
ketika kita menyaksikan sebuah komunitas, yang kelahirannya dipaksakan
oleh sebuah kecelakaan politik, kini menjelma menjadi kelompok yang
merepresentasikan diri menjadi duri dalam tatanan politik. Dengan cara
itu, barangkali mereka merasa sejajar dengan partai politik yang diakui
negara, dan bahkan lembaga tinggi mereka paksa untuk memenuhi keinginan
sepihaknya.
Lihat
berita terakhir, ketika Pe’a 212 menuntut pemakzulan Presiden dan
pembubaran PDI-P, memangnya mereka itu siapa? Lebih berkuasa kah
dibanding DPR atau MPR? Jangankan dengan lembaga setingkat itu,
dibanding dengan kelompok lain yang lebih produktif saja, kita tak
bakalan melihatnya lebih penting, apa lagi menghormatinya.
Apakah
mereka telah diakui berdasarkan Undang-undang? Tidak juga, bandingkan
dengan sebuah Koperasi sebagai perumpamaan, yang keberadaannya dijamin
oleh Undang-undang tentang koperasi, bahkan yang kita tahu kelompok liar
itu cuma eksis ketika mendapat pesanan dari para penentang pemerintah.
Jadi perannya sangat jelas, perusak tatanan masyarakat.
Sangat
disesalkan kalau mereka seperti diberi ruang dan sempat-sempatnya bebas
berkeliaran tanpa khawatir dengan jeratan hukum yang berlaku. Dalam
banyak unjuk rasa, mereka kerap menyuarakan isu yang kalau saja aparat
hukum sedikit keras, niscaya cukup fair kalau dijerat saja dengan delik
makar.
Efek
jera seharusnya diterapkan kepada kelompok seperti itu, dan jika
dibiarkan mereka bernafas sesuka udel, justru akan menambah keruwetan
karena akan diikuti oleh kelompok lain yang berperangai sama buruknya.
Kita harus sudah jeli dengan cara kotor yang mereka praktekkan. Ketika
dicoba dengan hal kecil dan mendapat pembiaran, maka mereka akan semakin
ngelunjak. Kalau sudah terlanjur demikian, kewibawaan pihak keamanan
juga yang akan dipertaruhkan.
Persaudaraan
Alumni (PA) 212 meminta pembubaran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
(BPIP). Permintaan ini menjadi salah satu amanat Musyawarah Nasional II
PA 212, termasuk pemulangan Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab dari Arab
Saudi. Berdasarkan keterangan pers dari humas PA 212 yang dikonfirmasi
oleh Ketua Umum PA 212 Slamet Maarif, Minggu (19/7/2020), permintaan
pembubaran BPIP adalah amanat Munas PA 212 dalam bidang kebangsaan, baca
: detik.com.
Kita
sejauh ini merasa ragu, keputusan yang ditelurkan itu apakah
berlandaskan pada forum legal kah? Jangan-jangan forum itu tak berijin
dari pihak berwenang. Jika benar dugaan ini, dan sampai pada tuntutan
dibubarkannya sebuah lembaga yang dibentuk berdasarkan legalitas yang
kuat, hanya satu penilaian yang bisa kita sampaikan, betapa congkaknya
mereka.
Barangkali
hanya satu cara bagi mereka untuk bisa dianggap lebih dihargai, jadilah
partai politik dan bertarung dalam ruang datar bersama partai lainnya.
Kalau benar mereka mendapatkan dukungan dari pemilih, maka tak ada
alasan bagi publik untuk menolak suaranya, karena hanya dengan cara
demikianlah negara boleh menilai kadar pendapatnya.
Kalau
terus bersuara di wilayah abu-abu, yang orang banyak pun tak terlalu
pusing dengan keabsahan tuntutannya, maka jangan salahkan kalau bukan
saja tak digubris, bahkan dicibir dan diketawai. Adakah mereka sadar,
jika media terus mengikuti manuver kelompoknya, semata-mata karena bisa
dijual kepada penonton atau pembacanya? Perlu dicatat, yang menarik bagi
media belum tentu menarik juga secara kualitatif.
Betapa
sia-sianya mereka yang demikian gencar menyuarakan sesuatu yang tak
banyak bermanfaat, kecuali hanya mengotori kancah sosial dan keamanan
serta kenyamanan masyarakat. Kalau dinilai dari sisi kompatibilitas
dengan ajaran agama yang mereka anut pun, rasanya sangat diragukan
kesesuaiannya. Ajaran agama mana yang mengijinkan penganutnya melakukan
aksi-aksi yang menyerempet keamanan negara? Dan justru cara itulah yang
kerap mereka lakukan. Lalu alasan apa yang membuat mereka terus
melakukan langkah kontroversial itu, jika bukan untuk memaksakan sebuah
ideologi basi yang tak layak jual?
Sudah
sangat jelas kita telah memiliki mekanisme baku untuk beradu
argumentasi, yakni di ruang terhormat, yang mendapatkan dukungan
konstituen. Kalaupun disediakan oleh Undang-undang, bahwa tak dilarang
bagi siapa pun untuk menyuarakan pendapatnya, namun bukan berarti
dianggap sah menjejali publik untuk memberontak kepada lembaga resmi.
Dalam hal ini publik perlu terus menerus disadarkan, jangan sampai
terpesona oleh kenekatan sebuah kelompok, yang meskipun tak mendapat
dukungan yang cukup, namun mereka tetap memaksakan kehendaknya, karena
tak ada pekerjaan lain bagi mereka, selain memenuhi pesanan dari
pemakainya.
Tuhan Adalah Buah Pikiranmu
Tuhanmu
adalah sesuatu yang kamu pikirkan tentang Dia. TindakanNya terhadapmu
adalah yang kamu sangka tentang tindakanNya terhadapmu. Nasibmu
ditentukan oleh dirimu karena itulah buah pikiran dan sangkamu tentang
Dia dan dirimu.
Karena
tak akan bisa memperoleh bocoran, tak perlu sibuk mengira-ngira
ketentuan dan keputusanNya tentang dirimu juga tak perlu
memperdebatkannya dengan orang lain yang juga tak punya akses ke pusat
dataNya. Toh, berdasarkan logika, Dia tak menentukan semua hidupmu tanpa
ikhtiar dan kehendakmu meski Dia mampu melakukan itu. Dia ingin kamu
menjadi manusia, bukan robot.
Yang
pasti, alam yang kamu huni punya aturan dan dinamika yang tak selalu
sesuai kehendakmu. Dengan logika dan pengetahuan yang cukup, kamu dapat
mengenali aturan dan proses dinamikanya. Tak ada kebetulan, kejutan dan
sesuatu yang mendadak atau tiba-tiba.
Justru
yang terpenting dilakukan adalah menyusun pikiran-pikiran runut dan
konsisten tentang eksistensi dan realitas secara menyeluruh, lalu diri
(subjektif)mu dan realitas selainmu, termasuk Tuhan dan alam yang
didalamnya ada diri objektifmu dan lainnya. Bila pikiran-pikiran yang
kamu susun berujung pada fatalisme atau determinisme atau bahkan
nihilisme atau absurdisme atau agnostisisme dan ateisme, maka itulah
pilihan worldview dan paradigmamu. Bila pikiran-pikiran yang kamu susun
mengantarkanmu kepada spiritualisme, perennialisme, atau
transendentalisme, juga divinitas dan teisme bahkan sebuah agama, maka
itulah pilihan pandangan dunia dan ideologi dirimu.
Selanjutnya
adalah bertindak dan berinteraksi dalam bingkai pikiran-pikiran itu
dengan menerima segala akibat dan konsekuensinya.
Tak
perlu repot menakar atau merisaukan benar atau salahnya keyakinan orang
lain, karena bila sadar tanggung jawab merumuskan jalan hidup sendiri,
kamu takkan punya cukup waktu untuk itu.
Tak
perlu bangga mencemooh atau mengolok-olok Tuhan karena itulah buah
pikiranmu tentang Dia. Tak perlu pula berlagak lebih religius dari Nabi.
Kamulah pelukis Tuhanmu. Dia bisa jadi ilusi bagimu bila berpikir
begitu, dan bisa juga Dia lebih nyata dari dirimu bila berpikir begitu.
Jadilah ateis atau agnostik yang berkelas dan tak nyinyir atau silakan
menjadi teis atau religius yang beradab dan toleran. Jadi religius atau
agnostik tak sesulit jadi manusia.
Agama Pseudo
Ada
dua kelompok yang memberikan dua sikap berbeda secara ekstrim terhadap
agama yang mendominasi pentas sosial. Salah satu kelompok menganggap
agama sebagai pengganti sains. Kelompok lain menganggap sains sebagai
pengganti agama. Banyak orang, karena menganut agama secara
materialistik, menganggap agama sebagai solusi pengganti sain
sampai-sampai memperlakukan doa, zikir dan ritus-ritusnya sebagai
pengganti obat, pengganti usaha mencari rezeki material dan sistem yang
bisa membatalkan hukum fisika serta kausalitas. Sebagian dari mereka,
karena pemahaman irrasional ini, menjadi korban manipulasi agama dalam
politik yang kini disebut politisasi agama dengan ujaran kebencian dan
intoleransi.
Kelompok
lain menganggap sains sebagai pengganti agama. Sebagian dari kelompok
kedua enggan melepas agama secara total dengan dalih ia dapat digunakan
sebagai sarana terapi jiwa atau cara mendekatkan diri kepada Tuhan yang
sebenarnya merupakan sesuatu yang dinafikan eksistensinya oleh sains,
meski “tak memberikan solusi praktis”.
Alih-alih
menyempurnakan pemahaman tentang agama, sebagian orang yang dikenal
religius berbalik sikap menentang agama secara umum dan agamanya sendiri
secara khusus, akibat trauma menghadapi gelombang intoleransi dan
“politisasi agama”, mengumumkan penentangan secara ekstrem, bahkan
mendeklarasikan sekularisme sembari mengagungkan sains dan memandang
agama dalam pengertian yang sempit.
Sikap
ini bisa dipahami sebagai reaksi radikal terhadap sekelompok orang yang
mengagungkan agama dan mengkafirkan sains. Faktanya kaum intoleran
menganggap toleransi sebagai irrelijiusitas yang meremehkan agama.
Sebagian yang toleran juga mengira begitu. Kaum intoleran juga
menganggap toleransi sebagai irrelijiusitas yang meremehkan agama.
Sebagian yang toleran memang melakukan itu. Sepak terjang agresif kaum
intoleran mendorong sebagian pendukung toleransi mengambil reaksi
ekstrem dengan mencemooh agama sendiri.
Bila tidak ditafsirkan demikian, maka ia bisa diperlakukan sebagai sikap reduktif yang bersumber dari premis-premis paradoksal.
Sebenarnya
sekularisme bukanlah solusi tunggal untuk mengimbangi ekstremisme
agama. Orang rasionsl bisa memberikan perlakuan rasional terhadap sains
dan agama sebagai dua sarana berbeda dari berbagai tingkat pengetahuan
yang dapat digunakan untuk mencapai kesempurnaan.
Sikap
negatif terhadap agama ini juga akibat pencampur-adukan makna agama
dengan makna “beragama” atau Islam dengan mengklaim Muslim. Tentu, tanpa
membedakan ajaran dari perilaku keberagamaan bisa menciptakan
kesimpulan dan pandangan yang invalid.
Ekstremisme
ini juga menciptakan “islamophobia”. Penolakan terhadap “politisasi
agama”, misalnya, menjadi absurd bila predikasi atau pemberian atribut
seperti “islami” (Islamic) divonis secara general sebagai usaha menipu.
Generalisasi ini dalam logika tertolak dan tak berlaku dalam realitas
empiris.
Bila diperhatikan secara seksama, pemberian label “Islamic” bisa positif
dan bermakna “harapan”, dan bisa pula negatif dan culas serta
manipulatif. Parameternya adalah output dari perilaku, bukan atribusi
dan penyifatan. Ini berlaku bagi “demokrasi” pada sebuah partai
(democratic) dan lainnya. Hanya karena beratribut “Islam” tak niscaya
bertujuan menipu. Sekadar bernama partai demokrasi tak berarti
benar-benar berperilaku demokratis. ISIS, misalnya, menjadi negatif
bukan semata-mata karena mencantumkan atribut “Islamic”.
Apa
yang disampaikan oleh beberapa orang yang beratribut “pemikir muslim”
seperti Bassam Tibbi tentang Islam dan Islamisme merujuk pada pengalaman
traumatik partikular dari manipulasi di balik atribusi Islam.
“Islamic
State” dan beberapa contoh negatif yang berlabel Islam tidaklah negatif
karena atribusi “islamic” tapi karena pandangan dan perilaku
orang-orang yang berada di dalamnya. “Democratic party” dan sejenisnya
tak niscaya positif karena tak berlabel Islam (“islamic”) dan tak mesti
positif karena memajang atribut demokrasi (“democratic) tapi karena
pandangan, sikap dan perilaku orang-orang yang mengklaimnya. Lagi pula,
di Jerman yang dikenal sebagai sentra sains dan sekularisme, justru
politisasi agama berupa atribusi partai dengan agama juga di
negara-negara Barat lainnya tetap terjadi. “Catholic Party” dan
semacamnya ada bahkan berkuasa di sana.
Kita
tak perlu mengubah rumah sakit sebagai pusat doa karena abstrakisme
yang konkret dan tak perlu mengubah masjid menjadi pusat kebugaran
karena konkretisasi yang abstrak.Kita juga tak perlu memotong salib
karena anti simbol agama atau mencurigai semua atribut Islam karena
beberapa fakta orang-orang culas yang mengisi perut dengan pembodohan
berkedok agama, dan tak perlu menganggap yang tak memajang atribut Islam
sebagai kafir dan sekular.
Kecewa
kepada agama pseudo yang disusun para tiran dan feodalis yang
berkolaborasi dengan teolog bayaran sepanjang sejarah agama-agama
mestinya tak merembet luas menjadi kekecewaan terhadap agama yang
berdiri kokoh bersama sains. Keduanya tunduk pada kausalitas dan sistem
eksistensi karena mengantarkan manusia menuju kesempurnaan eksistensial.
Kue Tete, Klepon Jawa dan Memek Aceh Gak Haram Kok, Drun
Kue
tete dan Klepon adalah jajanan pasar yang paling dinanti-nantikan oleh
orang seangkatan saya untuk menikmatinya pasca pulang sekolah dam
kampus. Kue ini memang menyerupai payudara perempuan yang berwarna hijau
di tengahnya dengan warna kulit yang teksturnya garing di sampingnya.
Kudapan
ini mudah sekali dibuat oleh seorang tukang kue yang membawa gerobaknya
ke depan sekolah saya waktu saya kecil. Buku ini memberikan sebuah
memori yang begitu indah saat saya juga sedang berkuliah di Jakarta.
Abang-abang di depan kampus menawarkan jajanannya dengan
berteriak-teriak…
"Kue
tete! Kue tete! enak empuk dan manis! Cepat dibeli sebelum kehabisan.
Masih hangat saat dikunyah. Anak kampus harus coba tete buatan saya! Ya
mau beli berapa de? Satu kurang, 2 gak berasa, 10 pas!"
Tukang
jualan kue tete di depan kampus saya pun bukan hanya satu namun
beberapa yang memang mengambil bahan baku dari distributor yang sama dan
mengolahnya dengan ciri khas masing-masing dan warna yang tidak hanya
hijau. Saya pernah menikmati kue ini dalam warnanya yang cukup unik
yakni merah sama biru sama kuning sama tergantung dari pewarna yang
mereka gunakan.
Dan
saya cukup sering menikmatinya mungkin barang seminggu sekali ada.
harganya yang murah membuat saya sering menikmatinya sebagai teman makan
siang atau pagi. Atau beli saat ngapel ke rumah gebetan. Kebetulan ciri
khas Indonesia ini memang namanya unik yaitu kue tete. Memang sih
betul, bahwa bentuknya menyerupai payudara yang menggembung di
tengah-tengahnya seperti pentil.
Namun
saya menikmatinya dengan biasa-biasa saja dan tidak ada pikiran ngeres
saat menghisap tengahnya. Ya karena memang semua tergantung dari cara
pandang kita terhadap makanan tentunya bukan? Kue tete ini memang
legenda di zaman saya waktu saya kecil sampai mungkin saat ini. Jajanan
khas Indonesia ini menjadi sebuah hal yang banyak orang bisa nikmati dan
bisa dibeli dengan harga yang murah.
Kenapa
murah, ya karena bahan bakunya mudah hanya bermodalkan tepung, bahan
baku yang tidak banyak dan pewarna. selain kue teteh masih ada lagi kue
yang lain yang merupakan ciri khas dari negara serambi Mekah yakni Aceh.
Ada
bubur khas dari Aceh yang bernama memek dan rasanya sepertinya menarik
juga yakni manis-manis. Makanan ini merupakan bubur ketan yang dibuat
secara khusus oleh orang-orang Aceh dan menjadi kudapan yang menemani
makan sore mereka.
Namanya
yang unik pun membuat saya bertanya-tanya dan ingin mencoba langsung.
Tapi saya cari di mana-mana saya tidak menemukan memek yang bisa dimakan
itu. Teksturnya kenyal kenyal dan sepertinya dari gambar yang saya
lihat, bentuknya pun juga sangat menarik untuk dimakan.
Siapa
orang Indonesia mana sih yang tidak suka bubur? Saya melihat bahwa
memek ini menjadi makanan yang menarik. Akan tetapi, sampai saat ini
saya belum menemukan lokasi tempat di mana saya bisa membeli memek. Atau
saya harus terbang ke Aceh untuk menikmatinya?
Tapi
menurut dari pengakuan teman-teman saya yang pernah menikmatinya,
rasanya yang manis dan kental. Ya mungkin kalau mau dilihat teksturnya
seperti bubur pada umumnya namun rasanya yang manis bukan asin membuat
makanan ini dikenal. Rasanya yang cukup nikmat membuat saya penasaran.
Dari
warnanya mungkin umumnya memek disajikan dengan pewarna alami yang
membuat tampilannya seperti warna kulit yang kemerahan. Nah untuk
makanan semacam ini saya mungkin tidak banyak berkomentar. Tapi kayaknya
sih tidak diharamkan oleh orang-orang radikal. Karena dari Aceh. kita
lanjut ke makanan berikutnya yang saat ini sedang menjadi primadona di
dalam dunia kuliner makanan khas Indonesia.
Apalagi
kalau bukan klepon? Klepon adalah makanan khas Jawa yang merupakan
campuran tepung dengan pewarna hijau di luarnya dan di dalamnya diisi
gula aren ataupun gula merah yang cukup banyak sehingga rasa manis yang
luar biasa bisa dirasakan.
Saya
sebenarnya bukan orang Jawa, jadi saya sebetulnya tidak bisa membedakan
antara telepon dan putu. Tapi lihat dari internet saya mungkin bisa
mulai membedakannya. Kalau klepon itu bentuknya bola, dengan isian gula
cair yang dibungkus di dalamnya.
Di
luarnya ditaburkan semacam santan kering atau kelapa yang berwarna
putih sehingga berbentuk seperti salju di atas gunung yang berwarna
hijau. Sedangkan putu Ia adalah makanan yang seperti dadar gulung dengan
bahan baku yang sama yaitu gula merah.
Untuk
rasa mungkin sama, namun bentuknya berbeda. Dan makanan ini, klepon
sangat dinikmati oleh banyak orang apalagi saat merayakan hari-hari
besar agama tertentu. Kudapan ini relatif mudah dicari dan murah untuk
dibeli.
Jadi
bagi tamu-tamu yang datang untuk merayakan hari besar seperti lebaran
natal, atau hari-hari lainnya mereka akan diberikan kudapan citarasa
Indonesia yang dikenal dengan manis yaitu klepon, Putri salju, lidah
kucing atau yang lain-lain. Klepon ini menjadi primadona karena saat ini
ia dianggap tidak agamais. Kenapa tidak agamais? Saya tidak mengerti.
Tapi saya sudah membahasnya di artikel sebelumnya.
Jadi
silakan lihat di sana saja. artikel ini mau memberikan satu pandangan
lain bahwa makanan-makanan khas Indonesia itu sebenarnya sangat banyak.
Bahkan ada yang namanya aneh aneh dan variatif. Tapi dengan namanya yang
aneh nggak tentu makanan-makanan ini haram kan? Atau jangan-jangan yang
halal hanyalah kurma dan kencing onta?
Begitulah kencing onta.
Membongkar Alasan Kenapa PDIP Tidak Mau Berkoalisi dengan PKS & Partai Demokrat di Pilkada
Banyak
yang mengatakan bahwa politik itu cair. Hari ini berkoalisi, besok pagi
bisa saja jadi rival. Begitupun ada yang mengatakan, tidak ada teman
yang abadi dalam politik, yang abadi hanya kepentingan doang.
Pernyataan itu bisa saja benar, tapi tidak sepenuhnya.
Contohnya saja PDIP, sejak dulu hingga sekarang konsisten tidak pernah mau membangun koalisi dengan Partai Demokrat dan PKS.
Begitupun
di Pilkada 2020 ini, PDIP sudah memutuskan tidak akan berkoalisi dengan
Partai besutan SBY itu dan partai yang pernah memecat Fahri Hamzah
tersebut.
"Partai
mengambil keputusan atas dasar pertimbangan ideologis bagaimana
Pancasila dijalankan dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Aspirasi untuk tidak bekerja sama dengan Partai Demokrat dan
PKS banyak saya terima," ujar Kabid Ideologi dan Kaderisasi DPP PDIP,
Djarot Saiful Hidayat, (19/7).
Pertanyaannya, kenapa PDIP enggan berkoalisi dengan Partai Demokrat itu?
Berikut alasannya.
Memang
sih kala itu, Megawati pernah mengangkat SBY jadi menteri. Namun itu
sebelum ia menjadi kader Partai Demokrat. Dan itulah yang menjadi cikal
bakal Mega tahu karakter SBY yang sebenarnya. Bahwa mantan tentara itu
bukan tipe orang yang suka berterus terang.
Ketika ditanya apakah akan mencalonkan diri di Pilpres 2004 silam, ia selalu mengelak.
Bahkan
menurut Permadi (mantan politisi PDIP yang kini jadi kader Gerindra),
SBY sempat membawa-bawa nama Tuhan dengan mengatakan, "demi Tuhan saya
tidak akan mencalonkan diri sebagai presiden" segala.
Padahal
setelah mundur dari kursi Menko Polkam, dua hari kemudian dia langsung
berkampanye untuk Partai Demokrat di Banyuwangi, Jawa Timur.
Jelas,
kampanye itu tidak mungkin dilakukan secara mendadak. Tapi sudah
dipersiapkan jauh hari, saat ia masih menjabat sebagai menteri Megawati.
Hal inilah yang kemudian membuat Mega menganggap SBY tidak gentle.
Kemudian,
yang lebih menyakitkan lagi, konfliknya dengan Mega itu dipolitisasi
secara lincah oleh EsBeYe. Dipelihara. Kemudian diblow-up pada waktu
yang tepat dengan memanfaatkan media massa.
Hal
ini jelas tujuannya untuk menarik simpati masyarakat. Yang mana dengan
memainkan konflik ini, SBY berhasil menggiring opini publik bahwa dia
telah dizalimi oleh Mega. Dan Mega adalah presiden yang bertindak
sewenang-wenang terhadap pembantunya sendiri tersebut.
Ujung-ujungnya, buruklah nama Mega.
Padahal
SBY ini turut dibesarkan oleh Mega lho. Tanpa diangkat jadi menteri
oleh Ketua Umum PDIP itu, ia mungkin tidak akan dengan mudah mendapat
panggung untuk berpolitik praktis.
Sehingga, tidak berlebihan kalau ada yang menyebutnya sebagai penghianat yang telah menusuk 'emak banteng' dari belakang.
Jadi kalau Mega gak suka sama SBY, wajar-wajar saja. Karena siapa sih yang mau berteman dengan penghianat.
Saat
Jokowi jadi presiden pun, SBY ini sering banget menyerang pemerintah.
Tapi di lain kesempatan ia malah menyodorkan anaknya, AHY untuk menjadi
Cawapres Jokowi di Pilpres 2019 lalu.
Setelah ditolak, ia pun tanpa segan menawarkan anaknya tersebut kepada Prabowo.
Sudah kayak makelar politik saja nih orang. Padahal mantan presiden.
Wajar bila kemudian permintaannya untuk AHY dijadikan Cawapres itu juga ditolak mentah-mentah oleh Prabowo.
Bahkan,
Partai Demokrat pernah diusir dari Koalisi Indonesia Adil dan Makmur
kala itu oleh Arief Poyuono. Lantaran partai berlambang bintang Mercy
itu berada di koalisi pengusung Prabowo, tapi tidak optimal memenangkan
pasangan Capres/Cawapres yang diusungnya tersebut.
Jadi,
yang gak suka sama SBY ini sebenarnya ada banyak. Termasuk juga mungkin
Presiden Jokowi. Hanya saja tidak diungkapkannya. Cukup di simpan
didalam hati.
Pertanyaan selanjutnya, kenapa PDIP tidak mau berkoalisi dengan PKS di Pilkada?
Ada banyak alasan.
Pertama soal track record. Yang mana PKS ini tercatat pernah beberapa kali melakukan penghianatan. Terutama kepada Partai Demokrat.
Tentu
kita masih ingat, kalau PKS dulu pernah berkoalisi dengan Partai
Demokrat. Tidak tanggung-tanggung, 4 pos menteri diberikan kepada PKS
kala itu.
Tapi ternyata, ketika terjadi gejolak ekonomi dunia, dan pemerintahan SBY berniat menaikkan harga BBM, PKS tiba-tiba menolak.
Dengan alasan yang tidak jelas pula.
Dan penolakan itu juga diumumkan ke publik. Bukan lewat forumnya.
Sehingga terkesan banget kalau PKS lagi cari muka kala itu. Dengan menghantam koalisinya sendiri.
Begitupun
di Pilkada Jabar. PKS awalnya telah secara resmi mengusung Deddy Mizwar
(kader Partai Demokrat). Tapi ternyata, itu hanya PHP belaka. Terbukti
PKS malah mengusung pasangan Sudrajat-Syaikhu dan meninggalkan Demiz
begitu saja.
Mungkin
masuknnya Demiz ke Partai Gelora karena ini juga, yakni ingin balas
dendam kepada PKS. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa Partai Gelora
ini isinya adalah orang-orang yang dulunya merupakan kader PKS, dan kini
berseberangan dengan partai dakwah itu.
Belum
lagi yang tidak disukai oleh PDIP lainnya dari PKS adalah partai ini
sering banget memainkan politisasi SARA untuk menghatam lawan politik.
Hal ini bertentangan dengan semangat perjuangan PDIP. Bahwa bagi PDIP
semua masyarakat Indonesia itu memiliki hak yang sama dalam politik,
tanpa mengenal suku, agama dan ras tertentu.
Begitupun
saat PKS tidak dapat koalisi di Pilkada Solo, karena nyaris semua
partai mendukung Gibran. Bukannya mengupayakan kadernya bisa bertarung
melawan putra Presiden Jokowi itu, tapi yang dilakukan oleh kader PKS
Mardani Ali Sera, malah sibuk menyerang Gibran.
Sungguh gak fair partai ini. Padahal ngakunya partai dakwah.
Dan
masih ada lagi hal yang tidak memungkinkan PDIP dan PKS menjalin
kerjasama. Terutama soal ideologi antara kedua partai itu yang
jelas-jelas jauh berbeda.
Jadi,
meskipun kadernya berjenggot, panggilannya akhi, ikhwan, ukhti dan
akhwat serta tampilannya syar'i. Tapi diantara mereka itu ada juga lho
para penghianat.
Bahkan,
ada Calegnya yang memperkosa anak kandung sendiri selama 7 tahun
berturut-turut, yakni bernama Alhuda. Dan tidak ada kader partai lain
yang sebejat Caleg PKS ini.
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh PDIP untuk tidak berkoalisi dangan Partai Demokrat dan PKS ini sudah tepat.
Kura-kura
begini yang ingin disampaikan oleh Buk Mega, "jangan mau tertipu oleh
penampilan dan oleh politisi yang sering memposisikan diri sebagai
orang yang terzalimi".
Sumber :
Image : https://www.beritasatu.com/
Re-post by MigoBerita / Rabu/22072020/10.05Wita/Bjm