Migo Berita - Banjarmasin - Benarkah MUI (Majelis Ulama Indonesia) disusupi WAHABI ?!? Tentu ini pertanyaan besar, karena MUI itu buatan Negara yang dibiayai Negara atau Ormas yang membiayai dirinya sendiri. Atau bagaimana? Kemudian bagaimana perekrutan orang-orang di Majelis Ulama Indonesia tersebut, bagaimana Syarat menjadi Ulama di MUI, apakah dengan hanya terkenal di Media Sosial, atau ada kriteria lainnya, kemudian biaya operasional di MUI apakah ada audit Internal dan Eksternal, sehingga mengetahui kridebilitas MUI itu sendiri. Sehingga Masyarakat Indonesia tidak menjadi bertaklid buta kepada MUI kalau ternyata keadaan MUI sendiri tidak transparan. Baiklah.. hanya masyarakat Indonesia yang bisa menilainya. Terus baca artikel-artikel pilihan yang disajikan Migo Berita hingga tuntas agar tidak gagal paham.
Republik Indonesia, yang memang terbiasa berbeda, baik aliran atau mazhab didalam islam hingga berbeda agama, suku dan ras. Dan Ciri Khas masyarakat Indonesia yang berbudaya, mereka menerima dengan lapang dada, yang terpenting tidak melanggar peraturan dan taat kepada UUD 45, PANCASILA dan NKRI Harga Mati.
Semoga perbedaan tidak menjadikan kita berpecah-belah, karena didunia Islam kita tahu bersama, Islam itu sekarang terbagi dalam 3 (Tiga) pemikiran besar, yaitu :
1. Islam Wahabi Salafi yang dianut mayoritas pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
2. Islam Syi'ah Istna As ariyah / 12 Imam yang dianut mayoritas pemerintah dan penduduk Republik Islam Iran, serta
3. Islam Sunni Syafe'i ala Indonesia yang dianut mayoritas pemerintah dan penduduk Republik Indonesia.
Mereka menjalankan aliran atau mazhabnya sesuai dengan kultur / budaya bangsa mereka sendiri, sesauai dengan Tafsir mereka sendiri masing-masing, ketika aliran mereka selalu menebarkan Cinta Kasih dan Sayang kepada sesama ummat manusia dan ummat Islam, maka mereka layak dikatakan Islam yang Kaffah atau menyeluruh, akan tetapi apabila mereka atau golongannya atau mazhabnya yang jadi rujukan mereka terus menerus menebarkan Kebencian sesama ummat manusia dan ummat Islam, maka sudah selayaknya kita tidak mengikutinya.
Kebenaran Hanya Milik ALLAH SWT, dan dengan Fasilitas berupa Akal untuk membedakan mana yang baik dan benar, serta Fasilitas berupa Kenabian, maka diharapkan kita tidak tersesat didunia yang hanya sementara ini.
Tebarkanlah Kasih Sayang sesama ummat manusia dan ummat Islam , InsyaAllah kita akan selalu berdampingan dengan DAMAI didunia hingga akherat..InsyaAllah.
Damainya Dunia, khususnya Indonesia tanpa TAKFIRI. Karena makna Takfiri adalah sekelompok atau orang dan golongannya yang selalu menganggap orang lain KAFIR atau SALAH dan hanya dia dan golongannya saja yang paling BENAR. Dimanapun itu didunia ini kita harus memahami, bahwa terlepas dari berbagai aliran didalam Islam, maka sebenarnya ketika mereka beralirkan TAKFIRI atau bahasa rincinya Merasa Paling Benar sendiri dan orang lain PASTI SALAH sudah dapat dipastikan untuk kita segera menjauhinya atau Tidak mengikutinya, walau kita tahu bersama Islam saat ini mempunyai 3 Pemikiran Besar dan bisa saja masing-masing disusupi TAKFIRI, yaitu 1. Islam Wahabi Salafi yang mayoritas dianut oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, 2. Islam Sunni Syafe'i ala Indonesia yang dianut mayoritas penduduk dan pemerintah Republik Indonesia serta 3.Islam Syi'ah Istna Asy ariyah (12 Imam) yang dianut oleh mayoritas penduduk dan Pemerintah Republik Islam Iran.
Jadi, teruslah waspada untuk Agenda Pemecah-belah Persatuan Ummat Islam dan Ummat Manusia, STOP TAKFIRI.. !!!!!
Membubarkan MUI, Halalkah?
Oleh: Kajitow Elkayeni
Apakah MUI adalah lembaga publik? Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab. Padahal persoalan mendasar seperti ini mestinya telah selesai lebih dulu. Ini memang hanya urusan duit, urusan duniawi yang rendah, bukankah menteri agama saja bisa korupsi? Tapi kita diajarkan untuk tawadhu, mengedepankan sami'na wa ato'na. Pertanyaan kritis adalah racun bagi keimanan. Meskipun itu hanya sebuah lembaga. Organisasi yang dibentuk oleh sekumpulan manusia dengan mengatasnamakan jutaan lainnya. Tapi anehnya tanpa pengawasan.
Awalnya, di pertengahan tahun 70-an, keberadaan MUI, dengan tujuan-tujuan mulianya adalah sebuah harapan baru. Kita butuh lembaga super ini, pikir orang-orang, seolah umat islam adalah minoritas. Kita memang butuh legalitas, butuh identitas kelompok, butuh perwakilan di pentas nasional. Kita lupa, sudah terlalu banyak ormas yang mengatasnamakan agama. Mereka juga punya legalitas, kemampuan untuk menggiring kelompoknya. Bahkan kadang mereka merasa lebih berhak dari negara. Atau yang lebih sadis, mereka ingin mengubah negara. Kehadiran MUI tak lebih berarti dari organisasi keagamaan lain.
Kemudian setelah MUI terbentuk dan berjalan cukup lama, mulai tampak "kemiringan". Ada indikasi, MUI telah disusupi kepentingan, terutama anasir Wahabi. Fatwa-fatwa yang keras kerap berseberangan dengan organisasi keagamaan yang lebih tua, seperti NU dan Muhamadiyah. Apalagi, kadang-kadang cabang MUI di daerah memunculkan fatwa konyol, seperti jilbab halal atau pengharaman gerhana.
MUI semakin miring manakala mereka mengepakkan sayapnya ke wilayah politik. Fatwa-fatwa pesanan berkeliaran. Mirip hantu. Orang-orang yang "kagetan" dijerat lehernya dengan rasa takut mereka sendiri. Memilih pemimpin kafir haram. Mengucapkan natal haram. Nanti lama-lama barangkali ada fatwa bernapas di lingkungan gereja haram. Ayat-ayat yang tafsirannya panjang berliku dipangkas dan dipendekkan sesuai selera. Mau yang pedas, asin, atau semriwing?
Celakanya, fatwa MUI ini dijadikan pegangan oleh umat bersumbu pendek. Ia kebenaran mutlak yang wajib dibela sampai mampus. Kalau perlu dengan menyebarkan kebencian dan dendam. Dan mereka membawa-bawa nama islam. Padahal dulu kita ingat, MUI pernah mengharamkan kopi luwak. Lalu meralat fatwa haram itu dengan alasan hanya barang mutanajis.
Baru-baru ini terdengar kabar MUI hendak melabeli halal untuk produk pakaian dan sepatu. Kita bikin hitung-hitungan kasar. Jika ada 40 juta pengusaha (atau barang), sementara biaya labelisasi halal setiap 3 tahun 6 juta rupiah. Dalam lima tahun bisa mencapai 480 triliun. Sekali labelisasi, MUI mengeruk dana dari masyarakat sebesar 240 triliun. Kita pukul rata saja, satu tahunnya 80 triliun uang rakyat diambil oleh organisasi masyarakat.
Persoalannya kemudian, MUI itu organisasi masyarakat. Hanya pemerintah yang berhak melakukan pungutan pada masyarakat. Di samping itu, MUI tak pernah transparan soal dana yang masuk. Ini akan jadi masalah, karena sejauh ini soal uang selalu bermasalah. Tak perduli itu dari organisasi keagamaan, bahkan menteri agama sekalipun. Uang dalam jumlah sangat besar adalah fitnah yang nyata.
Menyerahkan audit keuangan MUI pada Allah, sama konyolnya meyakini menteri agama terdahulu suci dari tindak korupsi. Jika MUI masih saja ngotot ingin mengangkangi labelisasi halal ketika RUU Jaminan Produk Halal diberlakukan, secara tegas terbaca, MUI telah bertindak sebagai negara. Ia melampaui wewenangnya sebagai organisasi masyarakat. MUI telah jauh ke luar koridor yang semestinya.
Logikanya, posisi MUI itu setara dengan Walubi (Perwakilan Umat Budhha Indonesia), PGI (Persekutuan Gereja Indonesia), KWGI (Konferensi Wali Gereja Indonesia), PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia), Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia). Ormas keagamaan ini tidak punya wewenang keluar dari wilayah keagamaan. Dengan labelisasi produk halal sesuai RUU JPH, MUI juga akan mengambil dana dari umat lain. Ini menunjukkan superioritas di antara ormas keagamaan lain dan memicu friksi.
Menyerahkan wewenang labelisasi dan pengawasan lembaga syariah pada kementerian agama jauh lebih elegan. Pemerintah jauh lebih berhak melakukan itu. Jika MUI terus memaksakan diri, patut dicurigai ada kepentingan pribadi demi 480 triliun tadi. Di belakang kepentingan terselubung itu, bisa jadi akan muncul wacana pembubaran MUI. Pertanyaannya, halalkah tindakan itu? Agaknya kita perlu membayar untuk labelisasi halalnya pada MUI terlebih dahulu.
(Sumber: Facebook Kajitow Elkayeni)
Sumber Utama : https://redaksiindonesia.com/read/membubarkan-mui-halalkah.html
Jejak Wahabi, dari sayap kanan hingga perang Paderi
Gerakan anti-Wahabi terus bermunculan di berbagai wilayah Indonesia, walaupun kaum Islam puritan menganggap istilah itu tidak tepat dan menghina. Bagaimana ajaran Wahabi masuk ke Indonesia dan siapa sosok Muhammad bin Abdul al-Wahhab?
Istilah Wahabi acap berseliweran di hadapan kita, tetapi belum tentu diantara kita tertarik untuk mengetahui siapa Muhammad bin Abdul al-Wahhab (1703-1792) - sosok di balik istilah Wahabi.
Cendekiawan muslim Fazlur Rahman, dalam buku Islam (1984) mendeskripsikan ajarannya sebagai "sayap kanan ortodoksi yang ekstrim" di wilayah Arabia tengah.
Dibayang-bayangi ajaran Ibnu Taimiyah (wafat 1328) dan dibesarkan dalam tradisi kaum Hanbali, "dialah (Wahhab) pencetus gerakan pemurnian," kata Fazlur.
Para sejarawan menulis kemunculan gerakan pemurnian yang dicetuskannya tidak terlepas dari sisa-sisa situasi ketegangan-ketegangan antara Islam ortodoks dan Sufisme akhir zaman pertengahan.
Puncaknya adalah ketika kaum ortodoks bangkit di provinsi Kerajaan Utsmani karena krisis yang dihadapi Islam di masa itu, tulis Fazlur.
Dan, "dia percaya bahwa krisis saat itu paling baik dihadapi dengan kembali secara fundamental kepada Alquran dan Sunnah," demikian analisa Karen Armstrong dalam buku Sejarah Islam (2014).
Saat itulah, sebuah sekte baru Islam telah lahir yang menyatakan bahwa mereka kembali kepada "semangat sejati" Nabi Muhammad.
"Seperti halnya Martin Luther, dia ingin menanggalkan semua kumpulan-ajaran yang datang kemudian, khususnya yang dikenalkan oleh kaum sufi, kaum mistik Islam, serta mengembalikan Islam kepada kecemerlangan-kemurniannya yang telah dinikmati di Madinah pada abad ketujuh," papar Armstrong.
Wahhab pun mengutuk kepercayaan populer pada kekuatan para wali sebagai wasilah (perantara) dan mengutuk pemujaan kaum Syiah terhadap makam para Imam.
Sejumlah catatan juga menunjukkan dia menolak otoritas apapun dari mazhab-mazhab klasik dalam Syariat Islam serta menyatakan bahwa gerbang ijtihad (penalaran bebas) telah dibuka kembali.
"Taklid (ketaatan penuh pada guru syariah) dikutuknya," kata Armstrong.
Dalam perjalanannya, dia kemudian menjalin hubungan dengan kepala suku setempat, Saud, yang kemudian menerima pandangan-pandangan keagamaannya.
"Dari tempat itulah, gerakan Wahabi meluas secara militer dari Najd ke Hijaz dan kota suci Mekkah dan Madinah pun jatuh kekuasaan Wahabi," kata Fazlur Rahman.
Walaupun sempat terusir oleh pasukan Turki Utsmani, keturunan keluarga Saud merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Kelak lahirlah kerajaan Saudi Arabia pada 1932 yang didasarkan "cita-cita Wahabi".
Antropolog Akbar S Ahmed, penulis buku Living Islam (1997), mengatakan, Arab Saudi yang didominasi ajaran Wahabi, memiliki penduduk sedikit yaitu sekitar sepuluh juta, namun pengaruhnya sangat besar.
Mengapa? "Karena penghasilan sumber minyaknya dan perannya sebagai penjaga kota-kota suci Mekkah dan Madinah," kata Akbar S Ahmed.
Akbar kemudian mengkritik sekte ekstrim Wahabi yang "menghasilkan kekakuan yang tidak memungkinkan penjelasan alternatif".
Benarkah Wahabi menghalalkan kekerasan?
“Wahabi bukan teroris, Wahabi antiteror tetapi ajarannya satu digit lagi jadi teroris," demikian Ketua Pengurus besar Nahdlatul Ulama (NU), Said Agil Siraj, dalam berbagai kesempatan.
Said Agil mencontohkan tiga murid salah satu pesantren di Cirebon - yang disebutnya beraliran Wahabi - menjadi pelaku bom bunuh diri masing-masing di Masjid Kantor Polresta Cirebon, bom di JW Marriot dan Gereja Bethel di Solo.
Pernyataan Said Agil ini kontan saja melahirkan polemik, sekaligus membuat orang awam bertanya-tanya: seperti apa ajaran yang diusung Muhammad ibn Abdul al-Wahhab pada awalnya?
Menurut Karen Armstrong, dalam buku Sejarah Islam (2014), ketika berupaya melepaskan diri kekuasaan Utsmani yang berpusat di Istanbul, Muhammad ibn Abdul al-Wahhab menyatakan bahwa karena Sultan Utsmani "tidak sejalan dengan visinya tentang Islam yang benar", maka mereka "murtad dan layak dihukum mati."
Dalam perkembangannya, masih menurut Armstrong (Holy War, 1988), kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Perang Suci, "teknik agresifnya (Muhammad ibn Abdul al-Wahhab) akan digunakan oleh beberapa fundamentalis pada abad keduapuluh, periode perubahan dan kerusuhan yang bahkan lebih besar".
Adapun pemikir Islam asal Pakistan, Fazlur Rahman (Islam, 1984) mengatakan, gerakan dakwah Ibnu Abdul Wahhab di masa hidupnya melahirkan kekerasan dan penggunaan kekuatan militer yang besar.
"Himbauan untuk melaksanakan pembaharuan ini lewat kekuataan bersenjata (jihad) jika perlu," tulis Fazlur Rahman menyebut salah-satu ciri gerakan Wahabi, dalam buku Metode dan alternatif Neomodernsime (1993).
Dalam sejarahnya, menurut Karen Armstrong, kaum Wahabi pada 1803 menyerang makam cucu Nabi Muhammad, Husein di Karbala (kini wilayah Irak), atas dasar bahwa makam itu dijadikan "penyembahan berhala yang penuh takhayul".
Pertanyaannya, kemudian apakah metode agresif ini juga dipraktekkan ketika ajaran Wahabi ini sampai ke wilayah Nusantara?
Pengamat masalah keislaman Azyumarzd Azra, melalui bukunya Jaringan ulama Timteng dan kepulauan Nusantaraabad XVII dan XVIII (2013), menemukan bukti-buktinya.
"Dalam kasus wilayah Melayu-Indonesia, gagasan-gasasan pembaharuan yang disebarkan para ulama sebelumnya menemukan ekspresi yang radikal dalam gerakan Paderi," tulisnya.
Walaupun kebanyakan ulama saat itu mendukung pendekatan evolusioner terhadap pembaharuan, lanjut Azra, sebagian mereka "memilih pendekatan lebih radikal dan melancarkan jihad melawan kaum Muslim yang tidak mau menerima ajaran-ajaran mereka."
Peneliti Howard Federspiel, melalui buku Labirin Ideologi Muslim (2004), yang meneliti tentang organisasi Persis (Persatuan Islam), mengungkapkan, Wahabisme diusung ke Sumatera oleh para haji yang "menghasilkan gerakan Paderi".
Menurutnya, upaya penyebaran keyakinan ajaran Wahabi itu dilakukan "melalui aksi militan" di berbagai masyarakat di Nusantara pada tahun 1800-an.
Kapan dan bagaimana Wahabi masuk Indonesia?
Pengamat masalah keislaman, Azyumardi Azra, menggambarkan secara gamblang keterhubungan ajaran kaum Wahabi dengan orang-orang di Sumatra Barat, melalui kepulangan tiga orang yang baru pulang ibadah haji pada 1803.
"Perjalanan haji mereka bersamaan dengan dikuasainya Mekkah oleh kaum Wahabi," tulis Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII (2013).
Karena itu, "cukup beralasan jika mereka - Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang - dianggap dipengaruhi ajaran-ajaran Wahabi."
Pengaruh itu terlihat dari penentangan terhadap bid'ah, penggunaan tembakau, dan pemakaian baju sutra. "Mereka usahakan pula untuk menyebarkannya secara paksa di wilayah Minangkabau," tulis Azra.
Seperti kemudian tercatat dalam sejarah, ketiga haji itu dan sosok Tuanku Nan Renceh - didukung kaum Paderi - memaklumkan jihad melawan kaum Muslim yang tidak mau mengikuti ajaran-ajaran mereka.
"Akibatnya, perang saudara meletus di tengah masyarakat Minangkabau," ungkap Azyumardi. Atas campur tangan kolonial Belanda, perang Paderi itu berakhir pada penghujung 1830-an.
Namun demikian, menurut Azyumardi, pembaharuan dalam jaringan ulama tidak selalu seragam. "Kebanyakan ulama mendukung pendekatan evolusioner terhadap pembaharuan," katanya.
Walaupun Gerakan Paderi merupakan salah-satu tonggak utama gerakan pembaharuan, lanjutnya, penyebaran pembaharuan Islam di Nusantara sepanjang abad 17 dan 18 tidak lantas berarti "tradisi kecil" Islam di bagian dunia Islam menjadi sepenuhnya sesuai dengan ''tradisi besar".
"Dan ini merupakan alasan penting bagi kelanjutan usaha untuk memperbaharui kembali keyakinan dan praktik kaum Muslim pada periode selanjutnya," tulis Azyumardi.
Pada tahun 1920-an, isu Wahabi muncul kembali dalam wacana keislaman di Nusantara, ketika ketika kekuasaan Wahabi-Saudi bangkit lagi dan kembali menguasai Mekkah dan Madinah.
"Ketika itulah, kaum Muslimin Indonesia merasa ini 'gawat kalau begini', sehingga para ulama Indonesia membentuk Komite Hijaz, yang terdiri Muhammadiyah dan kiai-kiai dari pesantren, pada 1924," kata Azyumardi dalam wawancara dengan saya, akhir April lalu.
Mereka kemudian mengirim utusan ke Mekkah dan Madinah untuk meminta kepada penguasa baru di Hijaz supaya jangan memaksakan paham Wahabi.
Hasilnya, lanjutnya, pemerintah Saudi mendengarkan sehingga tidak terjadi penggusuran paham non-Wahabi. "Para jamah haji tetap bisa mempraktekkan Islam yang oleh Wahabi dianggap tidak murni. Misalnya, mengajarkan tasawuf, mengajarkan tarekat, itu tetap masih ada," jelasnya.
Barulah perkembangan baru terjadi pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, yaitu ketika Saudi Arabia mengalami boom minyak.
Menurut Azra, saat itulah mereka melakukan nasionalisasi terhadap lembaga pendidikan islam, termasuk sebuah madrasah yang didirikan orang Indonesia, yaitu Madrasah Darul Ulum di Mekkah.
"Sejak saat itulah, saya kira, tidak ada lagi lokus bagi paham keislaman non wahabi untuk berkembang di Saudi, termasuk halaqah-halaqah yang ada di masjidil haram atau nabawi yang dipimpin kiai atau syeh dari Indonesia, itu sudah ditutup," ungkapnya.
"Jadi, terjadilah penyeragaman pemahaman keagaman di Saudi yaitu menjadi paham Wahabi sejak tahun 1980-an," tambah Azra.
Ketika terjadi penyeragaman penyebaran aliran Wahabi, pemerintah Saudi sangat giat menyebarkan literatur-literatur Wahabi.
"Jadi literatur seperti itulah disediakan dalam terjemahan bahasa Indonesia dan disebarkan kemana-mana, walaupun demikian saya kira pengaruhnya tidak signifikan," katanya.
Alasannya, selain Indonesia memiliki tradisi keilmuan yang cukup terbuka, buku-buku itu tidak bisa masuk ke pesantren-pesantren, karena dianggap tidak cocok.
Azyumardi yakin saat ini tidak banyak orang Muslim Indonesia yang mengadopsi paham Wahabi.
"Tidak ada gejala seperti itu. Walaupun demikian, saya kira masalah Wahabi semakin ramai di Indonesia, terutama dalam konteks konstestasi dengan Iran, dengan Syiah," kata Azyumardi.
Dan kemudian Arab Saudi, yang secara tradisional bermusuhan dengan Iran, melihat upaya penyebaran Syiah di Indonesia juga sangat berbahaya.
"Maka kemudian muncullah bibit-bibit konflik antara Sunni dan Syiah, yang kemudian di belakangnya itu Saudi dan Iran," ujarnya.
Apa komentar mereka yang dicap Wahabi?
Tuduhan penyebar aliran Wahabi pernah diterima oleh Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ali bin Abi Thalib di kawasan Sidotopo, Surabaya utara, awal Februari 2015.
Berawal isi buletin mahasiswanya yang dianggap mencap syirik acara Maulud Nabi, kampus itu didemo warga sekitar yang mengaku resah. Sekolah tinggi itu pun dicap 'kampus Wahabi'.
Akhir April lalu, saya mendatangi kampus tersebut dan menemui pimpinannya, Mubarok Ba' Muallim. "Apa yang disebut dengan Wahabi?" kata pria kelahiran 1965 ini dengan nada bertanya, di awal wawancara.
Saya mewawancarai lulusan sebuah perguruan tinggi di Madinah, Arab Saudi ini di ruangan kerjanya yang bersih dan rapi. Saya mesti melepas sepatu.
"Istilah Wahabi itu dibuat oleh Inggris untuk mendeskreditkan orang-orang yang ingin kembali kepada tuntunan semestinya Rasulullah," tandas alumni pondok pesantren Gontor, Ponorogo ini.
Merasa kenyang dicap Wahabi ("Itu istilah yang sulit dihilangkan," katanya), Mubarok kemudian mempersilakan orang luar untuk melihat langsung sekolahnya. "Sekolah kami terbuka, silakan lihat kurikulumnya. Kita akan sampaikan semuanya," katanya.
Mubarok kemudian mengizinkan saya masuk ke ruang perpustakaan. Saya pun memotret suasana perkuliahan di sebuah kelas yang bersih - tanpa ada tempelan apapun di dindingnya, termasuk foto presiden-wapres dan burung Garuda Pancasila.
"Orang yang mau membangun (sistem) khilafah di suatu negeri dalam kondisi kaum Muslimin masih jauh dari tuntutan agama, ibarat mau membangun atap rumah tanpa tiang," kata Mubarok saat saya mintai komentarnya tentang adanya tuntutan pendirian sistem kekhalifahan di Indonesia.
Sebenarnya, tuduhan Wahabi bukan hanya dimonopoli STAI Ali bin Abi Thalib. Pada April 2014 silam, Stasiun radio Suara Hati Muslim di kota Malang, Jatim, juga pernah dicap Wahabi dan dilaporkan ke Komisi penyiaran Indonesia daerah karena dituduh "menyebarkan kebencian".
Seorang ulama bernama Ahmad Zainuddin yang diundang ke Masjid Ridwan, Pamekasan, Madura, awal Maret 2015, juga ditolak massa santri kota itu karena dianggap pernah membid'ahkan acara Maulud - dan kemudian dia dilabeli Wahabi.
Wakil pimpinan ormas Muhammadiyah Pamekasan, Iman Santoso, mempertanyakan kemunculan istilah Wahabi, belakangan ini.
Menurutnya, istilah itu lebih sering digunakan kalau ada pihak-pihak yang berbeda ibadah dan akidahnya. "Itu dijadikan senjata pamungkas, padahal mereka belum paham apa Wahabi dan siapa Wahabi," kata Iman saat saya temui di Pamekasan, akhir April lalu.
Di kota Tegal, Jawa Tengah, seorang dai bernama Khalid Basalamah ditolak untuk berceramah di sebuah masjid di kota itu, 23 April 2016 lalu, karena alasan yang sama. Kalangan yang menolaknya adalah sebagian ulama di kota tersebut.
Khalid Basalamah sendiri, dalam ceramahnya yang diunggah ke Youtube, menganggap istilah Wahabi merupakan istilah yang sengaja diciptakan untuk memecah belah Islam.
"Kalau saya ringkaskan saja langsung, Wahabi itu julukan yang dipakai oleh orang-orang Syi'ah untuk menjauhkan kaum muslimin dari Ahlussunnah, karena Wahabi itu julukan bagi orang yang berpegang kepada sunnah.." Demikian petikannya.
Situs Arrahmah.com juga menolak istilah Wahabi. Dalam sebuah artikelnya (22/11/2011), mereka mengatakan istilah itu dimunculkan oleh "orang-orang Eropa dan lawan-lawan politiknya".
Para pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab, demikian Arrahmah, lebih senang menyebut dengan al-Muwahhidun (pendukung Tauhid). "Beliau adalah seorang muwahhid, pembaru Islam yang memurnikan aqidah umat dari bahaya syirik," tulis Arrahmah.com.
Adanya anggapan bahwa ajarannya dianggap sebagai pemicu radikalisme, menurut situs ini, sebagai fitnah belaka.
Bagaimanapun menurut pemikir Islam, Fazlur Rahman dalam bukunya Islam (1984) 'Wahabisme' telah menjadi istilah generik, yang dapat diterapkan tidak hanya kepada gerakan khusus yang dicetuskan oleh Ibnu 'Abdul Wahhab.
"Tapi juga pada semua jenis fenomena yang analog di seluruh dunia Islam yang mencanangkan 'pemurnian' agama dari bid'ah-bid'ah yang merendahkan derajat agama, dan mendesakkan penilaian yang agak bebas dan bahkan orisinal dalam masalah-masalah agama," tulis Fazlur
Sumber Utama : https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160506_indonesia_radikalisasi_wahabi
Target Wahabi Nahdlatul Ulama Bubar 2025-2030 di Indonesia
Jakarta, -Nahdliyin di manapun berada wajib ngerti !!! Target wahabi beserta underbownya adalah NU harus bubar tahun 2025-2030. Warga NU harus pahami methode pecah-belah oleh para antek-antek asing, yang kini mereka melepaskan Peliharaannya yakni wahabi. Untuk mencabik-cabik bahkan menghabisi ahlu sunnah wal jamaah/ NU) sampai hanya tersisa tulang-belulangnya, lalu TNI dan POLRI dengan mudah akan dijadikan budaknya !!!
Poin-poin hasil halaqoh Netizen NU Jawa Barat pada 19 Januari 2017 disebarkan seluas-luasnya kepada warga Indonesia, Umum, agar tidak anggap remeh Ancaman terhadap Bangsa dan Negara seperti selama ini !!!
1. Saat ini telah berlangsung/ ada gerakan dan dana super besar untuk membuat Indonesia bersih dari NU, TNI dan POLRI Dengan target tahun 2025-2030 Seperti sering dibilang oleh para Kiai sepuh, tokoh masyarakat yang melek politik dan pahami eskatologi Hancurkan NKRI, Resep mereka, kalau mau menguasai Indonesia, kuasai dulu NU.
Kalau mau memecah belah Indonesia, pecah belah dulu NU. Kalau mau menghancurkan Indonesia, hancurkan dulu NU lalu TNI dan POLRI bisa dijadikan BUDAKnya !!!
2. NU sudah cukup lambat mengantisipasi serbuan media online dan medsos oleh pihak-pihak di atas. Serangan di era media cetak sudah gencar dari tahun 80-an, serangan melalui internet sudah gencar dari tahun 95an, dan serangan di medsos semakin menggila sejak tahun 2010an.
3. Perlu ada peningkatan kajian literasi kitab kuning (ilmu-ilmu agama), kitab putih (ilmu-ilmu humaniora) dan kitab abu-abu (ilmu politik) bagi para warga NU agar tidak mudah dibodohi oleh paham-paham yang “menyerang” kaum Nahdhiyyin.
Karena mereka kini menyerang dengan gerakan Neo Cortex (Al Ghozwul Fikr), Proxy dan Psyco War (perang pemikiran, rekayasa psikologi dan intrik politik) dengan menggunakan sentimen agama (Aliran Islam palsu/ khawarij/ wahabi) dan fanatisme Islam dan ‘politik kebencian’ sebagai alat untuk melemahkan warga NU dan NKRI.
4. Serangan-serangan kepada ulama-ulama NU khususnya para ulama pengawal organisasi NU Berupa fitnah dan hoax amat gencar, sebagian di antaranya dilakukan oleh kalangan yang “mengaku” Nahdhiyyin juga.
Serangan-serangan ini tujuannya menghilangkan kepercayaan umat kepada ulama, Ustad-ustadnya, Kyai-kyainya, Habaib-Habaibnya dan mengalihkannya kepada ulama-ulama yang “direkomendasikan” oleh para penyerang tersebut (Ustad/ Syekh Wahabi yang dikendalikan Asing).
5. Para kader Anshor Banser, elemen organisasi NU dan warga Nahdhiyyin harus ikut serta dalam “perang medsos” dan yang terang-terangan Membid’ah-bid’ahkan, men-Syirik-syirikkan bahkan Meng-Kafirkan tersebut, namun dengan cara bil-hikmah wal mau’idhatil hasanah.
Bila pihak lawan rajin menyebar hoax dan fitnah, jangan dilawan dengan hoax dan fitnah. Lawanlah dengan menyebarkan berita yang benar. Perbanyak menyebar postingan yang meluruskan kesalahpahaman, tanpa menghujat dan mencaci. NU itu merangkul, bukan memukul.
Warga NU memang harus mewaspadai gaya baru Wahabi. Nampaknya setelah mereka gagal puluhan tahun untuk me-wahabikan banyak kader NU di kampus-kampus Saudi Arabia, termasuk di Kampus-kampus bergengsi di Indonesia; ITS, UNAIR, ITB, UNEJ yang mahasiswanya disusupi Aliran/ paham kepentingan Asing yang dikemas dengan bungkus SUPER Islam.
Mereka juga gagal memberangus amaliyah NU dengan amunisi ustadz-ustadz Wahabi sekelas Ustadz Firanda hingga Tengku Wisnu melalui media massa, Syafiq R Basallamah dsb – mereka yang telah terdistorsi otaknya jadi Robot Yahudi, Arab Saudi, NATO ini telah menyebar web-web majhul yang penuh propaganda., adu domba, provokasi, tebar kebencian agar bangsa ini terpecah-belah.
Wahabi dengan berbagai Kedoknya (Wahabi-salafi, Wahabi-ISIS, Wahabi STDI, Wahabi-HTI dsb), juga telah mencoba mengemas agar doktrin mereka lebih diterima dan bisa pengaruhi WNI, termasuk yang dengan baju Jawa ala MTA pimpinan Syekh Sukino (yang halalkan daging Anjing dan Babi) dengan berkoar-koar setiap hari di radio- Agar orang Jawa pikirannya teracuni oleh SUKINO dibeberapa Propinsi di Jawa ini. Hingga ada juga orang yang mabuk jadi anteknya asing, contoh yang ada di selatan Masjid Al-Kharomah Perum Kramat I Kranjingan-Sumbersari Jember Jawa Timur yang rela rumahnya dijadikan station pancarkan Siaran Radio Wahabi-MTA.
Termasuk untuk mengecoh pemuda kita agar belajar Al-Qur’an melalui Wahabi berbaju lain seperti Wahabi Ibnu Katsir dsb, namun tetap saja gagal. Nampaknya kini ada kesempatan bagi mereka untuk memecah belah warga NU dengan “berselingkuh” dengan FPI. oleh karena warga nahdliyin yang pikirannya masih terjebak permainan mereka harap segera sadar.
Mungkin mereka tahu bahwa hanya kaum Aswaja yang suka memuja-muja ahlu Bayt hingga ‘sundul langit’. Bahkan mereka mungkin juga menganggap warga NU hanyalah kumpulan orang-orang bodoh, dungu, o’on dan tidak paham permainan politik, karena menganggab para Habaib sebagai ‘sadat’ (jamak dari Sayid) yang dianggap sebagai juru selamat, dimana semua fatwa dan ucapan mereka pasti dianut dan dianggap benar.
Hingga dengan trik-trik politik, kini Wahabi beserta kroni-kroninya telah berhasil berfusi dengan FPI untuk memecah belah dan menggiring opini warga NU menggunakan atribut baru yang baru mereka ciptakan; yah apalagi kalau bukan GNPF-MUI.
Bahkan lihatlah, nampaknya demi tegaknya kalimah Wahabi dan untuk menyenangkan juragannya di Arab Saudi (termasuk penyokong Wahabi; Inggris, Israel, Qatar, NATO, ISIS dsb) kini panglima GNPF yang juga guru besar Tengku Wisnu (antek asing Wahabi), itu kini telah berkopyah hitam dan memproklamirkan diri sebagai ulama besar dengan gelar Kyai Haji (KH).
“Kami NU bukan? Maka dengarkan juga kami”. Mungkin itulah yang ingin dia katakan. Namun mereka lupa bahwa warga NU itu panutannya bukan cuma Nabi Muhammad, Ulama, Kyai, habib maupun ustadz. Panutan warga NU adalah para As-Syuhada/ Fissabillillah yang bersimpah darah memperjuangkan dan memerdekakan negeri ini yang telah gugur dan Allah SWT !! (Hubbul Wathan Minal Iman) (Red)
Sumber Utama : https://www.sahabatrakyat.com/polhukam/target-wahabi-nahdlatul-ulama-bubar-2025-2030-di-indonesia/
Kajian Ilmiah Atas Buku Panduan MUI (1)
Konflik horizontal Sunni-Syiah akhir-akhir ini semakin merebak di Indonesia. Fitnah-fitnah bertebaran, mengancam ukhuwah dan persatuan NKRI. Bahkan secara sistematis, sekelompok pihak merilis buku Buku Panduan MUI: Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia (MMPSI), membagi-bagikannya secara gratis di berbagai kota se-Indonesia. Padahal, secara informal, beberapa tokoh MUI menyatakan bahwa buku ini bukan terbitan resmi MUI. Ada baiknya, dalam rangka ukhuwah, kita mencoba mengkritisi apa saja kesalahan yang dimuat di buku MMPSI ini. Berikut ini kami sajikan artikel yang mengkritisi buku MMPSI, ditulis oleh cendekiawan muslim dari Sumatera Utara, Candiki Repantu.Tulisan akan dimuat dalam beberapa bagian.
—————–
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad
PEMBUKA
Tulisan ini dibuat untuk menanggapi “Buku Panduan MUI” yang berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” (selanjutnya disebut MMPSI) yang diterbitkan oleh penerbit Alqalam yang dieditori oleh Prof. Dr. Hasan Baharun. Tanggapan ini sebagai niat baik untuk konfirmasi dan informasi karena terdapat penyimpangan-penyimpangan yang fatal dalam buku tersebut. Perlu diketahui, syiah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah syiah imamiyah itsna asyariyah, yaitu syiah yang meyakini ada 12 imam setelah Rasul saaw yakni Imam Ali as hingga Imam Mahdi afs. Terkadang disebut juga Mazhab Ja’fari atau Mazhab Ahlul Bait. Saya tidak mengulas syiah lainnya, karena pada dasarnya “Buku Panduan MUI”—meskipun masih diragukan benarkah diterbitkan oleh MUI secara resmi—mengarahkan tulisannya kepada syiah imamiyah ini, hal ini dibuktikan dengan membawa-bawa negara Iran sebagai “pengekspor” syiah tersebut, dan semua orang tahu Iran adalah satu-satunya negara yang menjadikan syiah imamiyah itsna asyariyah sebagai landasan negaranya. Selain itu, di Indonesia juga yang umumnya berkembang adalah syiah imamiyah ini.
Sekitar sepuluh tahunan yang lalu, juga pernah terbit sebuah buku karya seseorang yang mengaku bernama Husain al-Musawi dengan judul “Mengapa Aku Keluar dari Syiah”. Saat itu saya juga diminta dalam suatu diskusi untuk membedah buku yang menghujat syiah terebut. Saya menyebut beberapa hal penting kehadiran buku tersebut, dan tampaknya, poin-poin itu masih relevan dengan terbitnya buku MMPSI saat ini. Saya menyebutkan Kehadiran buku seperti ini memberikan beberapa hal penting.
Pertama, Pada tahap tertentu buku ini menjelaskan pemikiran-pemikiran mazhab syiah, bahkan iklan gratis bagi mazhab syiah. Hanya saja —daripada membahas secara ilmiah—, buku ini secara sengaja mengumpulkan sisi-sisi negatif mazhab syiah yang belum tentu benar. Hal ini sudah terlihat sejak dari judulnya “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Mazhab Syiah”. Tapi, secara positif, kita bisa berbaik sangka, bahwa buku ini ingin menjelaskan adanya mazhab syiah yang menyimpang dan ada yang tidak menyimpang, dan kita mewaspadai yang menyimpang tersebut. (Tapi nanti kita akan melihat ternyata buku ini juga berisi penyimpangan-peyimpangan).
Kedua, Buku ini pada tahap tertentu telah menciptakan sentimen kemazhaban dari kedua belah pihak (sunni dan syiah) yang dapat merusak persatuan kaum muslimin dalam bingkai berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Semoga tidak terjadi konflik sektarian yang meluas di Indonesia. Karena itu, buku ini mengingatkan orang syiah –dan pada tahap tertentu juga orang-orang sunni— untuk lebih waspada karena bisa saja buku ini digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menghalangi bagi terjadinya pendekatan antar mazhab dan persatuan kekuatan kaum muslimin.
Ketiga, buku ini meningkatkan ketegangan hubungan antar umat seagama yang seharusnya dipupuk terlebih disaat Islam dipojokkan dengan beragam isu konflik yang berdampak internasional seperti perang Suriah dan isu terorisme.Keempat, buku ini dalam tataran tertentu semakin memperkuat “perjuangan” kelompok takfirisme transnasional (kelompok yang suka mengkafirkan dan menyesatkan kelompok lain) yang mulai banyak merebak di Indonesia, bahkan tidak jarang disertai dengan kekerasan dan anarkisme. Kelompok inilah yang sebenarnya harus diwaspadai.
Kelima, buku ini hadir mendekati pesta politik Indonesia yakni pemilu, yang tentu saja umat Islam akan turut andil besar dalam mensukseskannya. Tak pelak isu sentimen keagamaan, juga merebak di tengah-tengah komoditas politik, karena boleh saja banyak juga para penganut mazhab yg berbeda maju menjadi calon-calon politikus papan atas. Dan biasanya konflik muncul lebih cenderung karena politisasi ini. Saya yakin MUI tidak berniat untuk memecah belah umat, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa karya ini tidak digunakan oleh sekelompok orang untuk kepentingan golongannya, partainya, atau kelompoknya.
Dengan memperhatikan kelima poin itu, maka saya berusaha semaksimal mungkin mengulas dan memahaminya untuk memberikan informasi dan tanggapan yang memadai. Namun, tentu saja tanggapan saya ini bukanlah tanggapan resmi mazhab syiah. Ini hanya tanggapan dan bedah buku yang saya susun sepintas lalu, untuk diskusi dan bedah buku tersebut. Dan hanya sebagai wujud partisipasi dalam munazharah intelektual dan sumbangsih informasi dalam bentuk tulisan. Untuk mempermudah bacaan, maka tulisan ini di susun secara berseri sesuai tema yang saya pandang layak untuk di bedah dan mungkin tidak mencakup semua temanya, sesuai dengan format diskusi dan bedah buku. Semoga bermanfaat bagi kawan-kawan ahlussunnah dan juga syiah dalam mengukuhkan persaudaraannya dengan saling memahami melalui informasi yang memadai.
IDENTITAS BUKU
Buku yang dibedah saat ini berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” (MMPSI). Buku ini diterbitkan sekitar bulan oktober tahun 2013, oleh penerbit Al-Qalam, suatu penerbit di bawah kelompok Gema Insani Jakarta. Buku kecil yang hanya setebal 120 halaman ini (sudah termasuk pengantar penerbit, pengantar penulis, daftar isi dan daftar pustaka), cukup bergengsi karena di tulis oleh Tim Penulis yang terdiri para ulama dan intelektual serta akademisi yang berkiprah di MUI Pusat, yaitu : DR (H.C) K.H. Ma’ruf Amin; Prof. Dr. Yunahar Ilyas, MA; Drs. H. Ichwan Syam; dan Dr. Amirsyah T, MA. Dan untuk menambah dayanya, buku ini di editori oleh Prof. DR. Hasan Baharun, yang dianggap sebagai editor ahli tentang syiah karena pernah menulis buku kecil saku yang berjudul “201 Tanya Jawab Syiah”, (maaf! saya menyebutnya buku kecil karena sebelum Prof. Baharun menerbitkan bukunya, seorang ulama syiah Prof. Ali Kurani pernah menulis berjilid-jilid buku tentang ribuan soal dan bantahan tentang syiah, yang berjudul Alfu as-Sual wa al-Isykal ‘ala Mukhalifin li Ahli al-Bait at-Thahirin).
Selain Daftar Isi, Pengantar Penerbit, Pengantar Penulis, dan sambutan Dewan Pimpinan MUI, buku ini terdiri dari lima bab, sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan; Bab II : Sejarah Syiah; Bab III : Penyimpangan Ajaran Syiah; Bab IV : Pergerakan Syiah di Indonesia; dan Bab V : Sikap dan Respon Majelis Ulama Indonesia. Bagian akhir ditutup dengan lampiran “Fatwa dan Pernyataan Ulama Indonesia Tentang Hakikat dan Bahaya Syiah” dan Daftar Pustaka…(bersambung)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/kajian-islam/kajian-ilmiah-atas-buku-panduan-mui/
Kajian Ilmiah Atas Buku Panduan MUI (2)
POIN-POIN TANGGAPAN
Penyimpangan Antara Visi Mui Dan Visi Penulis Buku
Di awal-awal babnya buku MMPSI ini menjelaskan visi MUI sebagai berikut :
- “Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim, yang kehadirannya berfungsi untuk mengayomi dan menjaga umat. Selain itu MUI juga wadah silaturahim yang menggalang ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyyah, demi untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis, aman, damai, dan sejahtera dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (hal. 1).
Tanggapan :
Betapa indahnya kalimat-kalimat di atas, dan tentu kita semua berharap MUI memang menjadi lembaga yang mengayomi dan menjaga umat Islam yang berbeda-beda mazhabnya baik sunni maupun syiah. Kita berharap MUI menjadi wadah silturrahmi yg menggalang ukhuwah islamiyah diantara sesama kaum muslim, baik sunni maupun syiah, ukhuwah wathaniyah bagi semua warga Indonesia apapun suku, agama dan mazhabnya, dan ukhuwah insaniyah bagi sesama manusia tanpa memperdulikan agama dan mazhabnya. Tapi apakah harapan tersebut terlihat dalam buku ini? Apakah setelah membaca buku tersebut akan muncul semangat untuk membangun ukhuwah? Jauh panggang dari api. Sebab buku ini lebih berisi propaganda perpecahan daripada persatuan. Perhatikan kutipan MMPSI berikut ini :
- “Al-Bukhari berkata, “Saya tidak akan salat di belakang penganut Jahmiah dan rafidhah, sama seperti salat di belakang Yahudi dan Nasrani, tidak boleh mengucapkan salam kepada mereka, tidak dijenguk, tidak boleh dinikahkan, tidak boleh disaksikan jenazahnya, dan tidak boleh dimakan sembelihannya” (hal. 21)
Menurut pembaca, apakah kalimat ini mencerminkan jembatan ukhuwah atau akan menjadi penghalang ukhuwah? Kalau menjadi penghalang, maka kita ragu buku ini memenuhi visi mulia MUI. Saya serahkan anda menilainya masing-masing.
——
Berikutnya MMPSI ini menyatakan :
- “Untuk menjalankan fungsi dan tujuan sebagaimana di atas, MUI melakukan pendekatan dan upaya proaktif, responsif, dan preventif terhadap berbagai problem keumatan dan kerakyatan agar problem-problem tersebut sedini mungkin dapat diatasi sehingga tidak menimbulkan dampak yang lebih luas pada masyarakat, khususnya umat Islam.” (hal. 1)
Tanggapan
Ini juga hal yang kita harapkan bersama bahwa MUI melakukan pendekatan yg proaktif, responsif, dan prepentif. Tapi apakah buku ini menerapkannya, atau sebenarnya buku ini cenderung pada pendekatan yang propokatif, retorik, dan destruktif saat membicarakan “kesesatan dan penyimpangan” syiah? Boleh jadi, bagi sebagian orang, ini adalah bentuk proaktif karena berusaha menasehati umat untuk hati-hati dengan “kesesatan” syiah; tetapi ini juga bisa dianggap propokatif karena memancing umat untuk “menyesatkan” syiah. Boleh jadi, ini wujud responsif terhadap perkembangan syiah yang “menyimpang” di tengah-tengah umat, tetapi ini juga bisa dinilai retorik karena hanya fokus pada “penyimpangannya” saja. Boleh jadi ini juga usaha preventif utk mencegah umat “dari kesesatan syiah”, tetapi juga bisa dinilai destruktif karena mencegah umat untuk mengutamakan persatuan di dalam perbedaan.
——-
Selanjutnya, MMPSI menjelaskan :
- “Atas dasar tugas dan tanggungjawab luhur dalam membina dan menjaga umat pada berbagai aspeknya, dan sebagai bentuk tanggungjawab ke hadapan Allah SWT dalam meluruskan aqidah dan syariah umat…membuat buku panduan—seperti buku panduan tentang syiah ini—setelah dilakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam. Buku panduan ini sebagian merupakan penjelasan teknis dan rinci dari rekomendasi Rapat Kerja Nasional MUI pada Jumadil Akhir 1404 H/Maret 1984…” (hal. 2)
Tanggapan :
Betapa beratnya tugas dan tanggung jawab tersebut, dan lebih berat lagi saat Allah swt meminta pertanggungjawaban atas semua perkataan, tulisan, dan tindakan kita kelak di akhirat dalam pengadilan Ilahi. Betapa banyak pelajaran yang bisa di ambil dari sejarah kekuasaan Islam yang mana para khalifah selalu bermasalah saat berhubungan dengan dukungan mazhab. Berapa banyak orang dihukum hanya karena berbeda dengan ulama formal yang didukung penguasa, atau ulama mayoritas yang didukung massa? Dan Luar biasanya juga, MUI merekomendasikan pada Rapat Kerja Nasional pada tahun 1404 H/1984 M, dan baru sekarang Tim Penulis merasa mewakili MUI untuk mengeluarkan buku panduannya setelah 30 tahun kemudian. Jadi, selama 30 tahun umat terombang ambing tanpa petunjuk dan panduan. 30 tahun yang lalu ketika orde baru demikian kuatnya, MUI menfatwakan untuk mewaspadai masuknya faham syiah—bukan menyesatkan syiah—yang disatu sisi dianggap akan mengeksport ideologis revolusi Iran, dan ideologi revolusi itu tentu saja dipandang berbahaya oleh negara Indonesia yang ketika itu dikuasai secara otoriter dan diktatoris. Jadi MUI pada 1984, karena aspek politis, hanya bervisi untuk mewaspadai syiah, tetapi tim penulis buku ini bervisi menyesatkan atau mungkin kalau bisa mengkafirkan syiah.
—–
Kemudian MMPSI juga menyatakan :
- “Hadirnya buku panduan ini merupakan wujud dari tanggungjawab dan sikap tegas MUI itu, dengan harapan umat Islam Indonesia mengenal syiah dengan benar dan kemudian mewaspadai serta menjauhi dakwah mereka, karena dalam pandangan MUI faham syiah itu menyimpang dari ajaran Islam, dan dapat menyesatkan umat. Hal ini tidak mungkin dibiarkan, karena bila tidak demikian, akan menimbulkan kegelisahan yang luar biasa, bahkan terjadi konflik sosial yang sulit ditemukan solusinya… Untuk itu MUI berkewajiban untuk memagari dan mengayomi umat agar mereka terhindar dari upaya-upaya penyesatan dan penyimpangan di dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.” (hal. 4)
Tanggapan
Inilah apa yang saya sebut di awal, preventif berubah menjadi propokatif, retorik dan destruktif. MUI sendiri belum pernah mengeluarkan fatwa menyesatkan syiah, tetapi buku ini seolah-olah membawa nama MUI atas kesesatan syiah..!? Ini salah satu yang harus diwaspadai dan penyimpangan buku ini. Ternyata visi MUI berbeda dengan visi para penulis buku ini. Kalau memang mau mengenalkan syiah, maka berlaku adillah. Kenalkanlah dalil-dalil mereka, bukan langsung penilaian “menyimpangnya” saja. Kalau mau mengenalkan syiah undang dan hadirkanlah representasi mereka untuk berbicara dan menjelaskan tentang syiah. Dan alangkah arifnya jika buku ini menjelaskan bagaimana sikap saling mengormati dan menghargai di antara umat Islam yang berbeda mazhabnya, dan silahkan setiap orang untuk menjalankan keyakinannya masing-masing, tanpa harus merasa risih dengan perbedaan, sebab perbedaan adalah rahmat Allah swt bagi semesta. Jadi bukan mengajak umat menjauhi syiah—apalagi dengan asumsi akan terjadi konflik seperti di propagandakan buku ini—tetapi membangun sikap ukhuwah dengan syiah sekalipun berbeda. Adapun soal konflik, di negara ini, sering terjadi konflik karena pragmatisme politik bukan karena keagamaan. Dan pragmatisme politik itulah yang sering menunggang di belakang ranah agama. Karena itu, konflik sunni dan syiah boleh jadi lebih didominasi kepentingan pragmatis dari pada keagamaan. Adapun soal memagari umat agar tidak menyimpang, maka alangkah baiknya MUI mengajarkan umat ini untuk memperkuat argumentasi keyakinannya secara ilmiah tetapi tetap bertindak secara ukhuwah saat berhadapan dengan orang yang berbeda mazhabnya, sebagaimana diajarkan Alquran, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik. Dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.” (bersambung)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/kajian-islam/kajian-ilmiah-atas-buku-panduan-mui-2/
Kajian Ilmiah Atas Buku Panduan MUI (3)
Bab II : Tentang Sejarah Munculnya Syiah
Adapun tentang sejarah munculnya syiah buku MMPSI ini menyebutkan sebagai berikut :
- Ada yang menganggap syiah lahir pada masa akhir kekhalifahan Utsman bin Affan ra atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib ra…tampaknya pendapat yang paling populer adalah bahwa syiah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihat Khlifah Ali dengan pihak Muawiyah bin Abu Sufyan ra di Shiffin yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkim (arbitrasi)…sebagian besar orang yang tetap setia kepada khalifah Ali disebut syiah Ali (pengikut Ali).” (hal.5-6)
Tanggapan :
Para ahli memang berbeda pendapat tentang munculnya syiah. Sebagian mengatakan sesaat setelah Nabi saaw wafat, yaitu ketika perdebatan di Saqifah. Yang lainnya menyatakan syiah lahir pada masa akhir Khalifah Usman, awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib (35 H). Pendapat lain menyatakan bersamaan dengan Khawarij, yakni pasca perang shiffin (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid III, 2002: 34). Ada juga pendapat, syiah muncul setelah peristiwa Karbala syahidnya Imam Husain as (Hitti, History of the Arab, 2003: 237).
Namun, terdapat pula penegasan bahwa syiah telah ada sejak masa Rasul saaw. Baqir Sadr menegaskan bahwa syiah telah hadir di tengah-tengah masyarakat Islam sejak masa hidup Rasul yang terdiri dari orang-orang yang meyakini ketetapan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pasca Rasul saaw. Kelompok ini muncul memprotes dan menolak kepemimpinan Abu Bakar. Di antara mereka adalah Ammar bin Yasir, Miqdad, Abu Zar, Salman, Jabir bin Abdillah, dan lainnya. Merekalah pelopor gerakan syiah awal. (Baqir sadr, 1990 : 62). Hal ini didukung dengan hadits-hadits Rasul saaw yang menggunakan istilah syiah Ali, seperti, “Syiah Ali adalah orang-orang yang beroleh kemenangan”. Ketika turun ayat ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk’ (Q.S. al-Bayyinah : 7), Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Ali, itu adalah engkau dan syiahmu.” (Darwisy, Syiah Ali fi Ahadis Ahl as-Sunnah, 2006: 10). Silahkan setiap orang mau mengikuti teori yang mana..!
Kemudian MMPSI mengarahkan pembaca pada perkembangan syiah dari masa ke masa dengan membawa pembaca sadar maupun tidak untuk mengikuti asumsi MMPSI dalam menyesatkan syiah. Sebelum mengulasnya, saya ingin jelaskan bahwa dalam penggunaan bahasa, ada yang disebut implikatur, yaitu cara di mana pendengar (pembaca) bisa memahami sendiri asumsi-asumsi di balik sebuah informasi tanpa harus mengungkapkannya secara eksplisit. Dengan kata lain,implikatur adalah informasi tambahan yang bisa dideduksi dari sebuah informasi tertentu. Salah satu tujuan penggunaan implikatur adalah membujuk pendengar (pembaca) untuk percaya pada validitas klaim-klaim pembicara (penulis). Jadi, implikatur ini bisa digunakan untuk membuat orang secara tidak sadar menerima begitu saja pendapat-pendapat yang sebenarnya masih bisa diperdebatkan. Kalau anda sering mendengar politisi berkata, “Seorang presiden harus bertindak atas kepentingan negara bukan partainya”, ini adalah implikatur yang mengisyaratkan bahwa selama ini presiden selalu bertindak atas kepentingan partainya. Kita bisa menggunakan implikatur ini, baik untuk tujuan positif maupun negatif. Namun, implikatur biasanya lebih sering oleh digunakan oleh para politisi.
Implikatur ini juga digunakan Tim Penulis buku panduan ini agar pembaca mengembangkan maknanya sendiri. Misalnya MMPSI ini menyebutkan :
- “Istilah syiah pada era kekhalifahan Ali hanyalah bermakna pembelaan dan dukungan politik. Syiah Ali muncul pertama kali pada era kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ra, bisa disebut sebagai pengikut setia khalifah yang sah pada saat itu melawan pihak Muawiyah, dan hanya bersifat kultural, bukan bercorak akidah seperti yang dikenal pada masa sesudahnya hingga sekarang. Sebab kelompok setia syiah Ali yang terdiri dari sebagian sahabat Rasulullah dan sebagian besar tabi’in pada saat itu tidak ada yang berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib ra lebih utama dan lebih berhak atas kekhalifahan setelah rasul daripada Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra. Bahkan Ali bin Abi Thalib ra sendiri, saat menjadi khalifah, menegaskan dari atas mimbar Masjid Kufah ketika berkhutbah bahwa, “sebaik-baik umat Islam setelah Nabi Muhammad saaw adalah Abu Bakar dan Umar ra.” (hal. 6-7)
Kalimat-kalimat di atas memuat implikatur tersembunyi. Dengan menggunakan implikatur, buku ini mengajak pembacanya mengembangkan asumsinya sendiri tentang “kesesatan” syiah secara bertahap—meskipun nantinya buku ini secara jelas ingin menyesatkan syiah. Secara perlahan, pembaca diajak untuk mengatakan syiah sekarang berbeda dengan syiah yang dulu (tahap membedakan). Syiah yang dulu itu benar tetapi syiah sekarang tidak. Syiah yang benar adalah syiah yang hanya gerakan politik dan kultural, bukan gerakan akidah. Syiah dulu meyakini Abu Bakar dan Umar lebih baik dari Ali bin Abi Thalib, sedangkan syiah sekarang meyakini Ali lebih utama dari Abu bakar dan Umar (tahap menyalahkan). Lihatlah Ali bin Abi Thalib saja mengatakan yang terbaik adalah Abu Bakar dan Umar. Jadi, jika orang syiah mengakui mengikuti Ali, maka semestinya ia mengutamakan Abu Bakar dan Umar. Karenanya, yang benar adalah menganggap Abu Bakar dan Umar lebih mulia dari Ali, maka yang menganggap Ali lebih mulia dari Abu Bakar dan Umar adalah menyimpang (tahap menyimpangkan). Dan syiah sekarang berarti menyimpang.
Dan kemudian dihalaman-halaman berikutnya, pembaca di ajak dari menyatakan “syiah menyimpang” menjadi menyatakan “syiah sesat menyesatkan”. Untuk sampai pada tujuan itu, buku tersebut mengembangkan asumsinya pula dengan mengganti istilah syiah menjadi rafidhah, yaitu : “syiah sekarang bukan lagi mengutamakan Ali, tetapi kelompok rafidhah yang berdusta pada ahlul bait dan mencaci serta mengkafirkan Abu Bakar dan Umar serta sahabat lainnya” (lihat hal. 14, 16, 18). Berdusta atas ahlul bait, mencaci dan mengafirkan Abu Bakar, Umar dan sahabat lainnya tentunya adalah kesesatan (tahap menyesatkan). Begitulah kira rangkaian deduksi yang muncul dari teknik implikatur buku ini. Padahal, asumsi-asumsi ini masih dalam ajang perdebatan.
Salah satu yang paling sering disebutkan para penulis tentang syiah adalah mengecilkannya menjadi sekedar urusan politik ansich. Penilaian ini muncul karena yang diperebutkan adalah soal kepemimpinan, dan itu tentu saja masuk bab politik. Tetapi para penulis ini lupa, bahwa konsepsi dasar Islam menegaskan akidah merupakan pondasi seluruh ajaran Islam termasuk politik (siyasah). Nabi saaw juga pemimpin agama sekaligus politik. Para ulama juga menyatakan bahwa Islam pada dasarnya tak pernah memisahkan antara urusan agama/akidah dan politik. Memisahkan urusan agama dan politik adalah paradigma sekularisme yang difatwakan haram oleh MUI itu sendiri. Apakah Tim Penulis buku ini berpendapat bahwa para sahabat seperi Imam Ali, Siti Aisyah, Thalhah, Zubair, Muawiyah, dan para pendukungnya masing-masing berperang dan saling berbunuhan karena pragmatisme politik kekuasaan tanpa memperdulikan urusan agama/akidah?
Kemudian, menurut buku MMPSI ini, bukti bahwa syiah awal hanya gerakan politik dan kultural saja dan bukan persoalan akidah dengan alasan : “tidak ada sahabat dan tabiin yang berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib ra lebih utama dan lebih berhak atas kekhalifahan setelah Rasul dari pada Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra.”
Dengan begitu, buku ini ingin mengatakan bahwa syiah sekarang itu telah menyimpang dari syiah dulu. Sekarang mari kita buktikan apakah benar tidak ada generasi sahabat Nabi saaw dan tabiin yang mengutamakan Imam Ali as daripada Khalifah Abu Bakar dan Umar? Ini berarti jika terbukti ada sahabat yang meyakini keutamaan Imam Ali dibandingkan Khalifah Abu Bakar dan Umar, maka asumsi para penulis buku ini gugur, dan berarti sejak awal syiah memang mazhab akidah dan itu terjaga terus hingga hari ini. Karenanya tidak ada penyimpangan keyakinan syiah dari dulu hingga sekarang.
Perhatikan keterangan berikut ini. Ibnu Hibban dalam ats-Tsiqat jilid 9 no. 16440 saat menyebutkan tentang Yusuf bin Isa al-Marwzi meriwayatkan :
حدثنا إبراهيم بن نصر العنبري ثنا يوسف بن عيسى ثنا الفضل بن موسى عن شريك عن عثمان بن أبى زرعة عن سالم بن أبى الجعد قال سئل جابر بن عبد الله عن على فقال ذاك خير البشر من شك فيه فقد كفر
“Menceritakan kepada kami Ibrahim bin Nashr al-Anbari yang berkata, telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Isa, yang berkata telah menceritakan kepada kami Fadhl bin Musa, dari Syarik dari Utsman bin Abi Zur’ah, dari Salim bin Abil Ja’d, yang berkata: ‘aku bertanya kepada Jabir bin Abdullah tentang Ali’, maka Beliau menjawab : ‘Dia adalah manusia terbaik, siapa yang meragukannya sungguh telah kufur’.“
Selain itu, Ibnu Abdil Barr (al-Isti’ab jilid 3/1090), juga menegaskan tentang sahabat-sahabat yang mengutamakan Imam Ali di atas siapapun :
وروى عن سلمان وأبى ذر والمقداد وخباب وجابر وأبى سعيد الخدرى وزيد بن الأرقم أن على بن ابى طالب رضى الله عنه أول من أسلم وفضله هؤلاء على غيره
“Diriwayatkan dari Salman, Abu Dzar, Miqdad, Khabbab, Jabir, Abu Said Al Khudri dan Zaid bin Al Arqam bahwa Ali bin Abi Thalib ra adalah orang yang pertama masuk Islam dan mereka mengutamakan Ali dibanding sahabat yang lain.
Lihatlah dengan tegas Jabir bin Abdillah berpendapat bahwa Imam Ali as adalah manusia terbaik dan yang meragukannya adalah “kufur/ingkar”. Apakah pernyataan Jabir bin Abdillah ini bukan bukti ia mengutamakan Ali? Selain Jabir, ternyata Salman, Abu dzar, Khabbab, Abu Said al-Khudri, Zaid bin Arqam, dikatakan sebagai orang yang mengutamakan Imam Ali di atas sahabat manapun.
Lagi pula, jika mendukung Ali sebagai khalifah adalah perkara politik saja, lantas bagaimana dengan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar? Kalau urusan politk juga dan bukan akidah, maka syiah tidaklah menyimpang jika tidak percaya pada kekhalifahan mereka. Kalau, syiah menyimpang karena tidak mengakuinya, maka berarti buku panduan ini memasukkan urusan khalifah sebagai urusan akidah. Lalu kenapa syiah dikatakan menyimpang memasukkan imamah sebagai urusan agama/akidah?
Mungkin makna dukungan politik dinisbatkan sebagai bentuk lahir perebutan kekuasaan, tetapi kita tidak bisa hanya melihat bentuk lahirnya saja, karena setiap perilaku memiliki motif. Motif inilah yang menjadi ukuran apakah itu hanya politik ansich atau punya motif keagamaan. Apakah Salman, Ammar, Miqdad, Jabir bin Abdillah, Abu Dzar, Habib bin Mazhahir, Hujur bin Adi, Hasan, Husain, dan lainnya yang mendukung Imam Ali as (Syiah Ali) hanya karena pragmatisme politik saja tanpa motif agama? Beginikah cara Tim Penulis buku ini menilai Syiah Ali generasi awal. (bersambung)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/kajian-islam/kajian-ilmiah-atas-buku-panduan-mui-3/
Kajian Ilmiah Atas Buku Panduan MUI (4)
Tentang Syiah dan Rafidhah
“Alhamdulillah, Hari ini telah hadir ditengah-tengah kita, seorang narasumber yang sudah tidak asing bagi kita, seorang intelektual muda, yang cukup valid untuk membincangkan tema seminar kita hari ini. Dan perlu juga diketahui oleh para audiens, Pak Candiki Repantu ini adalah seorang tokoh syiah di Medan dan Sumatera Utara.” Begitulah kira-kira saat beberapa waktu lalu saya diundang untuk menjadi narasumber dalam suatu seminar tentang “Teror atas Nama Tuhan”. Ada yang menarik kali ini, karena dari berbagai seminar yang saya hadiri, baru kali ini saya diperkenalkan oleh panitia kepada audiens, dengan menyematkan atau melabelkan sesuatu yang lain. Jika saya diperkenalkan hanya dengan label intelektual atau “cendekiawan” muda—(ini perasaan panitia saja, karena terpengaruh nama saya “Candiki” yang memang diambil dari kata Cendekiawan)—, sekarang labelnya ditambah lagi karena panitia memperkenalkan saya sebagai “tokoh syiah di Medan”. Saya tidak tahu maksud memperkenalkan saya dengan label tambahan tersebut.
Hanya saja, saat itu saya teringat teori “labeling” atau teori “tanda” (sign) dari Ferdinand de Saussure, yang menyatakan ada hungungan erat yang tak terpisahkan antara label dan konsep. “Tanda” yang terdiri dari label dan konsep ini, mempengaruhi cara orang mempersepsi sekitarnya, karena telah diisi dengan makna yang bisa dihubungkan dengan tanda lainnya. Ambillah contohnya, saya dilabelkan “cendekiawan” yang konsep dan maknanya adalah kecerdasan, maka orang akan mempersepsi saya sebagai orang cerdas. Tetapi, bagaimana jika saya disebut “orang syiah”, kira-kira persepsi apa yang mucul? tergantung konsepnya. Kalau baru saja mendengar berita “Orang Syiah di sampang diusir” atau membaca buku MMPSI yang kita bedah ini, maka muncullah dalam persepsinya “narasumber hari ini adalah orang yang menyimpang, sesat dan menyesatkan, dan layak diusir”—(untung saya tidak di usir, karena saya dengar di Jakarta seorang Ustadz Syiah diusir saat mau menghadiri seminar).
Dengan contoh di atas anda bisa memahami bahwa karena kita punya sejarah, budaya, dan bahasa yang terkait dengan kelompok tertentu maka masing-masing kita memiliki identitas, dan identitas ini selalu digunakan untuk memberikan label pada diri kita. Dan seseorang atau kelompok tertentu bisa punya lebih dari satu label, dan label ini ada yang digunakan sendiri oleh orangnya/kelompok tersebut dan ada yang dilekatkan secara semena-mena pada orang/kelompok tertentu. Dan label itu ada yang berdaya positif, tetapi ada yang mengandung stereotif negatif (perhatikan kembali kasus saya di atas). Misalnya juga, “orang melayu” sekaligus ditandai sebagai “orang Islam”, sehingga saat keluar dari Islam, maka tidak diakui lagi sebagai orang melayu (ini tanda dari dalam). Tetapi “orang melayu” disebut “orang pemalas” bisa jadi ditandai secara negatif oleh kelompok lainnya (tanda dari orang luar).
Dengan memahami sedikit teori tanda di atas, mari kita bedah isi buku ini saat membicarakan tentang “Syiah dan Rafidhah”. Perhatikan rentetan kalimat-kalimat berikut ini yang kita kutip dari buku panduan tersebut :
- “Rafidhah adalah kelompok syiah yang berdusta mendukung Ahlul Bait, dengan menolak Abu Bakar, Umar dan sebagian besar sahabat Nabi saw, disertai sikap mengafirkan dan mencaci mereka (hal.14).…”Abul Qasim al-Isfahani yang berjuluk qiwamus sunnah, al-Razi, as-Syahrastani, dan Ibnu Taymiyah menguatkan asal mula istilah rafidhah untuk syiah imamiyah itsna asyariyah adalah karena penolakan mereka terhadap Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain ra yang memuliakan Abu Bakar dan Umar ra….istilah ‘rafidhah’ bagi kelompok syiah yang menolak Abu Bakar dan Umar dan mencaci keduanya. Adapun Imam Abul Hasan al-Asy’ari berpendapat syiah imamiyah dinamakan rafidhah karena penolakan mereka terhadap kepemimpinan Abu Bakar dan Umar ra.” (hal. 15)
Tanggapan :
Dari ungkapan-ungkapan MMPSI di atas, maka terlihat bagaimana para penulisnya mencoba memberi tanda dengan stereotif negatif kepada syiah. Untuk menanamkan visinya, buku ini menggiring pembaca dari istilah syiah ke istilah rafidhah, tatapi dengan menyimpangkan makna rafidhah dan mengisinya dengan makna atau konsep yang negatif. Karena rafidhah memang bermakna “pemberontak/penolak” yang berkesan negatif. Perlu diketahui, awalnya, istilah rafidhah ini digunakan untuk orang yang memberontak apapun mazhabnya, bukan hanya syiah. Ini dibuktikan dengan merujuk ke Kitab Waqaah as-Shiffin, hal. 34, karya Nasr bin Muzahim (W. 212 H) yang menyebutkan bahwa Muawiyah menulis surat kepada Amr bin ‘Ash yang sedang berada di Palestina yang isinya mengatakan :
أما بعد فإنه كان من أمر علي وطلحة والزبير ما قد بلغك . وقد سقط إلينا مروان بن الحكم في رافضة أهل البصرة
“Amma’ ba’du, Kamu telah mengetahui perkara tentang Ali, Thalhah dan Zubair, tetapi (ketahuilah) Marwan bin Hakam telah bergabung bersama para rafidhah/pemberontak dari penduduk Bashrah.”
Karenanya, tidak tepat mengatakan istilah rafidhah muncul dari Zaid bin Ali seperti yang diteorikan oleh Abul Hasan al-Asy’ari, al-Isfahani, Al-Razi, Syahrastani, dan Ibnu Taymiyah. Sebab, ternyata istiah itu telah ada sebelum zaman Zaid dan digunakan oleh Muawiyah untuk menyebut kelompok pemberontak. Dan orang Basrah juga bukanlah syiah, karena mereka tidak percaya pada kepemimpinan Ali. Tetapi kemudian, makna rafidhah ini diarahkan kepada syiah, karena syiah selalu menjadi oposisi penguasa, dan diperlebar pada penolakan terhadap Abu Bakar dan Umar, seperti diindikasikan Al-Isfahani, al-Razi, Syahrasatani dan Abul Hasan al-Asy’ari di atas.
Adapun Ibnu Hajar al-Asqalani menyebut rafidhah sebagai syiah ekstrem yang lebih mengutamakan Ali di atas Abu Bakar, Umar dan seluruh sahabat, tetapi tidak mencela mereka. Berikut ungkapan Ibnu Hajar dalam kitabnya Hady as-Sari, 1/459 :
والتشيع محبة على وتقديمه على الصحابة فمن قدمه على أبي بكر وعمر فهو غال في تشيعه ويطلق عليه رافضي وإلا فشيعي
“Tasyayyu adalah mencintai Ali dan mengutamakannya atas semua sahabat {selain Abu Bakar dan Umar}, dan jika mengutamakannya diatas Abu Bakar dan Umar maka dia tasyayyu’ ekstrem yang disebut Rafidhah dan jika tidak maka disebut Syiah.”
Namun, merasa kurang mantap, Tim Penulis MMPSI yang antipati terhadap syiah, mengembangkan lagi maknanya dengan mengatakan :
- “Rafidhah adalah kelompok syiah yang berdusta mendukung Ahlul Bait, menolak Abu Bakar, Umar dan sebagian besar sahabat Nabi saw, disertai sikap mengafirkan dan mencaci mereka.” (hal.14)
Setelah memberi muatan negatif, MMPSI ini mengarahkan sasarannya bahwa yang dimaksud rafidhah adalah syiah imamiyah itsna asyariyah (dan juga syiah ismailiyah), yang disepakati kesesatannya. Perhatikan kalimat MMPSI berikut ini :
- “Syiah rafidhah yang mengklaim adanya nash/teks wasiat penunjukan Ali sebagai khalifah dan berlepas diri dari bahkan mencaci dan mengafirkan, para khalifah sebelum Ali dan mayoritas sahabat Nabi. Kelompok ini telah meneguhkan dirinya ke dalam sekte Imamiyah itsna asyariyah dan ismailiyah. Golongan ini disepakati kesesatannya oleh para ulama, tetapi secara umum tidak mengafirkan mereka.” (hal. 16-17)
Kalau kita perhatikan teori Saussure di atas, maka kita paham bahwa label dan konsep rafidhah ini dilabelkan oleh MMPSI ini kepada syiah imamiyah untuk mendeskreditkan kelompok tersebut dan mengarahkan pada stereotif negatif. Maka tepatlah apa yang dikatakan Muhsin Amin dalam A’yan as-Syiah seperti dikutip juga oleh MMPSI itu bahwa istilah “rafidhah adalah julukan buruk untuk orang yang mendahulukan Ali dalam soal khilafah dan kebanyakan digunakan untuk mendeskredikan dan membenci mereka. Visi MMPSI ini untuk mencipakan kesan negatif dengan mengubah “tanda”, semakin terbukti dengan kalimat mereka berikut ini :
- ”Kita mesti membedakan istilah syiah secara umum dan rafidhah secara khusus. Setiap rafidhah adalah syiah ekstrem yang telah mencaci, bahkan mengafirkan Abu bakar dan Umar ra…” (hal. 17-18)
Inilah di antara yang perlu diwasapadai dan penyimpangan tulisan tentang syiah yang dilakukan Buku MMPSI ini. Perhatikan defenisi Ibnu Hajar di atas tentang rafidhah, sangat jauh dari gambaran MMPSI tersebut. Ibnu Hajar hanya mengatakan ““Rafidhah adalah syiah ekstrim yang mengutamkan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar…”, sedangkan MMPSI ini menyatakan : “…Rafidhah adalah syiah ekstrem yang telah mencaci, bahkan mengafirkan Abu bakar dan Umar ra.”
Tidak hanya sampai disitu, Buku MMPSI ini kemudian mencari dukungan pernyataan dengan membawa label “ulama salaf”, dan menyatakan bahwa tidak ada generasi sahabat dan tabiin yang memandang Ali lebih utama dari Abu Bakar dan Umar :
- “…Tidak ada syiah rafidhah yang dianggap moderat oleh para ulama salaf.Syiah moderat adalah syiah pada generasi sahabat dan thabiin yang berjuang bersama Ali dimana mereka tidak pernah bersikap ekstrim dalam memandang kedudukan Ali dan tidak pula mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar RA.” (hal. 17-18).
Pendapat MMPSI ini tidak didukung oleh bukti-bukti yang valid, karena ternyata orang yang medahulukan Imam Ali as atas sahabat lainnya yang dikenal dengan syiah telah ada sejak zaman sahabat, thabiin, dan fukaha salaf. Perhatikan keterangan Ibnu Hazm dalam al-Fashl fi al-Milal wal Ahwa an-Nihal juz 4/181 tentang perbedaan dalam menilai keutamaan sahabat berikut ini :
اختلف المسلمون فيمن هو أفضل بعد الأنبياء عليهم السلام , فذهب بعض أهل السنة , وبعض المعتزله , وبعض المرجئة , وجميع الشيعة , إلى أن أفضل الأمة بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب رضي الله عنه , وقد روينا هذا القول نصاً عن بعض الصحابة رضي الله عنهم , وعن جماعة من التابعين والفقهاء , و ذهب بعض أهل السنة ,وبعض المعتزله , وبعض المرجئة , إلى أن أفضل الصحابة بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم ,أبوبكر ,ثم عمر .
Terjadi perbedaan di kalangan kaum muslimin tentang siapa yang paling utama setelah para Nabi as. Sebagian ahlu sunnah, sebagian mu’tazilah, sebagian murji’ah dan seluruh syiah menyatakan bahwa yang paling utama setelah Rasulullah saw adalah Ali bin Abi Thalib ra, dan pendapat ini telah diriwayatkan dari sebagian sahabat, jamaah sebagian tabiin dan fuqaha. Dan pendapat sebagian ahlus sunnah, sebagian mu’tazilah dan sebagian murjiah yang menyatakan sahabat yang paling utama setelah Rasulullah saw adalah Abu Bakar kemudian Umar.”
Mari kita bandingkan juga pernyataan MMPSI ini dengan pernyataan Sayid Muhammad ibn Aqil Al-Alawi al-Hadrami dalam Al-‘Atbu al-Jamil ala Ahli Jarh wa Ta’dil, hal. 30 yang juga mengutip defenisi Ibnu Hajar dan kemudian berkomentar :
“…Jelaslah, makna perkataannya (Ibnu Hajar) ini bahwa sesungguhnya semua orang yang mencintai Ali dan mengutamakannya atas Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) disebut Rawafidh (jamak dari rafidah), …Banyak dari kalangan sahabat mulia seperti Miqdad, Zaid bin Arqam, Salman, Abu Dzar, Khabbab, Jabir, Abu Said al-Khudri, Ammar, Ubai bin Ka’ab, Hudzaifah, Buraidah, Abu Ayyub, Sahal bin Hunaif, Utsman bin Hunaif, Abu Haitsam bin Tayyahaan, Khuzaimah ibn Tsabit, Qais ibn Sa’d, Abu Thufail Amir ibn Watsilah, Al-Abbas bin Abdul Muththalib dan seluruh putranya, seluruh Bani Hasyim dan Bani Al-Muththalib serta banyak lagi selain mereka… mereka semua adalah RAWAFIDH karena mereka mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar karena kecintaan mereka kepada Ali. Dan juga banyak tabi’in dan tabi’it tabi’in, para ulama besar, dan ini umat yang tidak terhitung jumlahnya, dan mereka juga para pendamping Alqur’an. Dan mencacat keadilan mereka—demi Allah— akan mematahkan punggung (merusak agama)…”
Perhatikan bagaimana Sayid Muhammad bin Aqil yang dengan tegas mengidentifikasi di antara sahabat dan tabiin, serta tabiit tabiin banyak yang rafidhah (syiah eksterim). Dengan demikian, MMPSI ini keliru dan menyimpang, saat menyatakan bahwa tidak ada rafidhah (syiah ekstrim) di masa sahabat dan tabiin.
Bagaimana, apakah Tim Penulis MMPSI mau menfatwakan bahwa Miqdad, Zaid bin Arqam, Salman, Abu Dzar, Khabbab, Jabir, Abu Said al-Khudri, dan seterusnya nama-nama di atas, sebagai orang yang menyimpang, sesat menyesatkan dan tidak diterima hadisnya, karena mereka rafidhah alias syiah ekstrim?(bersambung)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/kajian-islam/kajian-ilmiah-atas-buku-panduan-mui-4/
Kajian Ilmiah Atas Buku Panduan MUI (5)
Syiah Rafidhah dalam Periwayatan Hadis Sunni
Setelah kita saksikan bagaimana MMPSI mengarahkan pembaca untuk menyetujui kesesatan syiah dengan mengubah namanya menjadi rafidhah, maka berikutnya mencoba memperkuat asumsinya dengan menyatakan bahwa ulama hadis menolak periwayat rafidhah. Perhatikan pernyataan MMPSI di bawah ini :
-
“…Tidak ada syiah rafidhah yang dianggap moderat oleh para ulama salaf. Syiah moderat adalah syiah pada generasi sahabat dan thabiin yang berjuang bersama Ali dimana mereka tidak pernah bersikap ekstrim dalam memandang kedudukan Ali dan tidak pula mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar RA. Syiah moderat (yang tidak berakidah rafidhah) riwayatnya dapat diterima oleh para ulama hadis, tetapi tidak demikian halnya jika seorang perawi hadis tergolong syiah rafidah yang menolak, mencaci, dan mengafirkan Abu Bakar dan Umar serta mendakwahkan ajaran itu, pasti ditolak riwayatnya.” (hal. 18).
Tanggapan
Pernyataan MMPSI ini saling bertentangan dalam menjelaskan tentang rafidhah dan syiah moderat. Perhatikan, MMPSI menyatakan “Tidak ada syiah rafidhah yang dianggap moderat”. Siapakah yang dimaksud syiah moderat? MMPSI menyatakan : “Syiah Moderat adalah syiah yang tidak pernah bersikap ekstrim dalam memandang kedudukan Ali dan tidak pula mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar ra, dan riwayat dari syiah moderat (yang tidak berakidah rafidhah) dapat diterima”. Ini berarti : siapa saja yang menganggap Imam Ali lebih utama dari Abu Bakar dan Umar maka dia bukan syiah moderat, tetapi syiah rafidhah dan tidak diterima hadisnya.
Tetapi mengapa lantas MMPSI menambah embel-embel rafidhah dengan kalimat “mencaci maki dan mengafirkan Abu Bakar dan Umar”? Ini adalah kerancuan dan pertentangan yang di alami oleh MMPSI ini. Atau mungkin MMPSI ingin menyebutkan ada tiga jenis syiah, yakni syiah moderat, syiah tidak moderat, dan syiah rafidhah?
Kerancuan itu akan semakin terlihat saat kita merujuk pada catatan kakinya no. 26 dimana MMPSI menyatakan:
-
“Adz-Dzahabi ketika menjelaskan sosok perawi bernama Abban bin Taghlib (w.141 H), meski ia syiah, riwayatnya diterima oleh ulama ahli hadis seperti Imam Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa’i, karena ia dinilai moderat dan tidak berakidah rafidhah yang menista dan mengafirkan Abu Bakar dan Umar ra.. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Dia tsiqah ada sedikit tasayyu berada di tingkatan ke-7”…Demikian halnya dengan sosok Syarik bin Abdillah (95-178) diterima riwayatnya karena tidak berakidah rafidhah. Bandingkan dengan pernyataan Abdul Husain al-Musawi dalam kitab al-Murajaat “Dialog Sunnah-Syiah” yang menyebut kedua orang itu dalam 100 perawi syiah dalam jalur sanad Ahlussunnah di Muraja’at (dialog) ke-16. Ia ingin menggiring opini bahwa perawi-perawi hadis ahlussunnah sebagiannya berakidah rafidhah sama dengan dirinya, padahal tidak demikian.” (footnote no. 26 hal. 18).
Perhatikan, MMPSI dengan berpegang pada Adz-Dzahabi menyatakan bahwa Abban bin taghlib adalah syiah moderat, dan syiah moderat sesuai dengan defenisi yang dibuat MMPSI sendiri yaitu “syiah yang tidak memandang kedudukan Ali lebih utama dari Abu Bakar dan Umar.” Sekarang mari kita lihat, dengan defenisi MMPSI tersebut, apakah Abban bin Taghlib termasuk syiah moderat? Jawabnya tidak! Karena Adz-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidalnya jilid 1: 5-6 ketika membahas biografi Abban bin Taghlib dengan jelas menyatakan bahwa, “Abban bin Taghlib lebih mengutamakan Ali dari Abu bakar dan Umar” :
ولم يكن أبان بن تغلب يعرض للشيخين أصلا ، بل قد يعتقد عليا أفضل منهما
“Dan tidaklah Abban bin Taghlib seperti itu, yang mana dia tidak membincangkan Syaikhain (Abu Bakar dan Umar), tetapi ia meyakini bahwa Ali lebih utama dari keduanya.” (Mizan al-I’tidal jilid 1: 5-6).
Jadi, Abban bin Taghlib lebih mengutamakan Imam Ali daripada Abu Bakar dan Umar, dengan demikian Abban bin Taghlib bukanlah syiah moderat (menutut defenisi MMPSI), tetapi termasuk syiah ekstrim atau rafidhah dan ternyata riwayatnya diterima. Adapun tambahan dari MMPSI bahwa rafidah itu mencaci dan mengafirkan Abu Bakar dan Umar bertentangan dengan makna syiah moderat yg mereka buat sendiri dan bertentangan dengan penjelasan para ulama seperti Ibnu Hajar (lihat bagian 4) dan lainnya bahkan adz-Dzahabi yang keras penentangannya terhadap rafidhah tidak seberani MMPSI dalam mendefenisikan rafidhah. Ia menulis :
…. ثم بدعة كبرى ، كالرفض الكامل والغلو فيه
فالشيعي الغالى في زمان السلف وعرفهم هو من تكلم في عثمان والزبير وطلحة ومعاوية وطائفة ممن حارب عليا رضى الله عنه ، وتعرض لسبهم . والغالي في زماننا وعرفنا هو الذى يكفر هؤلاء السادة ، ويتبرأ من الشيخين أيضا
“Kedua, bid’ah kubra, seperti rafidhah yang ekstrim……..Syiah ghulat/ekstrim pada zaman salaf dan menurut pemahaman mereka adalah orang yang menceritai Usman, Zubair, Thalhah, Muawiyah, dan kelompok yang memerangi Ali ra. Dan hal itu untuk mencaci mereka. Adapun saat ini dalam pemahaman kita bahwa syiah ghulat/ekstrim adalah orang-orang yang mengafirkan mereka, dan berlepas diri (tabarra) dari syaikhain (Abu Bakar dan Umar).” (Mizan al-I’tidal, 1/5-6)
Jadi, Adz-Dzahabi mengakui bahwa ia membuat defenisi baru rafidhah—yang menyimpang dari defenisi ulama salaf dan tentu ini untuk mendeskriditkan syiah—dalam menilai kedudukan syaikhain (Abu Bakar dan Umar) yakni dengan menyebutkan bahwa syiah ekstrim (rafidhah) adalah berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar. Tetapi MMPSI membuat defenisi baru lagi dengan menyebutkan bahwa rafidhah mengafirkan Abu bakar dan Umar.
Begitu pula, MMPSI menyebutkan bahwa rafidhah tidak diterima periwayatan hadisnya oleh ulama-ulama hadis. Tapi pernyataan MMPSI tak lebih dari prasangka saja. Karena kalau kita memeriksa enam kitab hadis standar sunni (kutub as-sittah) maka di sana terdapat perawi-perawi rafidhah yang dikaui dan diterima hadisnya. Pada kesempatan ini saya ingin mengutip beberapa nama perawi yang dinyatakan sebagai rafidhah atau syiah ekstrim dan riwayatnya diterima. Dan saya membatasi hanya mengutip rawi yang hadisnya diriwayatkan oleh dua kitab paling shahih dimuka bumi ini yakni Shahih Bukhari dan Muslim. Mari kita lihat lihat bukti-bukti berikut ini :
- Imam Bukhari dalam shahihnya hadis no. 6980 meriwayatkan : “Telah menceritakan kepadaku Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari al-Walid (dalam jalur lain disebutkan) telah menceritakan kepadaku Abbad bin Ya’qub al-Asadi telah mengabarkan kepada kami Abbad bin al-‘Awwam dari asy-Syaibani dari al-Walid bin ‘Aizar dari Abu ‘Amru dan asy-Syaibani dari Ibn Mas’ud ra, bahwa seorang laki-laki pernah bertanya Nabi saw, amalan apa yang paling utama? ‘ Nabi menjawab: “Shalat tepat pada waktunya, berbakti kepada kedua orang tua, dan jihad fi sabilillah.“
Dalam rangkaian sanad hadis di atas kita menemukan nama Abbad bin Ya’qub al-Asadi, seorang rafidhah. Adz-Dzahabi dalam Mizan Al Itidal jilid 2 hal 376 no. 4149 menyebutkan :
عباد بن يعقوب [ خ ، ت ، ق ] الاسدي الرواجنى الكوفى ، من غلاة الشيعة ورؤوس البدع ، لكنه صادق في الحديث .. وعنه البخاري حديثا في الصحيح مقرونا بآخر ، والترمذي ، وابن ماجة وابن خزيمة ، وابن أبى داود
“Abbad bin Ya’qub al-Asadi ar-Rawajini al-Kufi adalah seorang syiah ekstrim (rafidhah) dan ahli bid’ah tetapi jujur dalam penyampaian hadis… Hadisnya diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahihnya, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Abi Dawud.:”
2. Harun bin Saad al-Ajli. Adz-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal jilid 4 hal 784 no. 9159, adalah perawi yang dapat diterima hadisnya. Tetapi beliau juga dinyatakan sebagai Rafidhah.
هارون بن سعد العجلى . صدوق في نفسه ، لكنه رافضي بغيض . روى عباس عن ابن معين ، قال : هارون بن سعد من الغالية في التشيع
“Harun bin Sa’ad al-Ajli, jujur pada dirinya (shaduq fi nafsihi), tetapi rafidhi ekstrim. Diriwayatkan dari Abbas dari Ibnu Main yang berkata, “Harun bin Saad adalah dari tasyayu’ ekstrim…
Ibnu Hajar dalam Tahdzib at-Tahdzib jilid 11 hal 6 no. 9 menyatakan : “Muslim dalam shahihnya…Harun bin Saad al-Ajli…berkata Ahmad, “banyak orang yang meriwayatkan darinya dan dia solih”… Disebutkan oleh Ibnu Hibban di dalam ats-Tsiqat dan juga ad-Dhua’fa bahwa “Harun bin Saad adalah rafidhah ekstrim, tidak boleh meriwayatkan darinya”. Berkata ad-Dauri dari Ibnu Main bahwa Harun adalah syiah ekstrim. As-Saji juga menyatakan bahwa Harun adalah rafidhah ekstrim.”
Dan ketahuilah bahwa Harun bin Saad al-Ajli yang rafidhah ini adalah perawi sahih Muslim, seperti hadis no. 5090 sebagai berikut : “Telah menceritakan kepadaku Suraij bin Yunus telah menceritakan kepada kami Humaid bin Abdurrahman dari al-Hasan bin Shalih dari Harun bin Sa’ad dari Abu Hazim dari Abu Hurairah berkata: ‘Rasulullah saw bersabda: “Gigi geraham orang kafir atau gigi taring orang kafir seperti gunung Uhud dan tebalnya kulit orang kafir sejauh perjalanan tiga (hari).”
3. Imam Bukhari dalam shahihnya no. 6891 meriwayatkan, : “Telah menceritakan kepada kami al-Humaidi telah menceritakan kepada kami Sufyan telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin A’yun dan Jami’ bin Abu Rasyid dari Abu Wail dari Abdullah ra berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa berambisi memperoleh harta seorang muslim dengan sumpah palsu, ia berjumpa Allah sedang Allah dalam keadaan murka kepadanya.” Abdullah berkata, “Kemudian Rasulullah saw membacakan kitabullah: ‘Sesungguhnya orang-orang yang membeli janji Allah dan sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh bagian di akherat, dan Allah tidak mengajak mereka bicara’. (QS.Ali Imran: 77).”
Dalam sanad riwayat Bukhari di atas terdapat nama Abdul Malik bin A’yun al-Kufi. Beliau adalah seorang rafidhah dan saudara Zurarah bin A’yun seorang syiah yang sangat terkenal. adz-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal jilid 2 hal 651, no. 5190 menyatakan :
عبدالملك بن أعين [ عو ، خ ] . عن أبى وائل وغيره . وقال ابن معين : ليس بشئ . وقال آخر : هو صدوق يترفض . قال ابن عيينة : حدثنا عبدالملك: وكان رافضيا
“Abdul Malik bin A’yun meriwayatkan dari Abi Wail dan selainnya… Berkata Ibnu Main, “tidak ada apa-apanya”, dan berkata juga, “Jujur, rafidhi”…bekata Ibnu Uyainah, “menceritakan kepada kami Abdul Malik, dan dia rafidhah.”
Ibnu Hajar dalam Tahdzib at-Tahdzib jilid 6 hal 385, no. 729 menyatakan : “Abdul malik bi A’yun al-Kufi…berkata al-Humaidi dari Sufyan, menceritakan kepada kami Abdul Malik bin A’yun, Syi’i, di sisi kami ia rafidhi…Berkata Hamidi dari Sufyan, “mereka adalah tiga bersaudara, yakni Abdul Malik, Zurarah, dan Himran, mereka semua rafidhah.”
Dan ketahuilah bahwa Abdul Malik yang rafidhah ini adalah perawi enam kitab hadis sunni yakni Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Nasai, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud dan Sunan Tirmidzi.
Kita cukupkan tiga contoh di atas, dimana perawi yang dikatakan rafidhah, rafidhah ekstrim, atau syiah ekstrim ternyata riwayatnya di terima di kitab-kitab shahih sunni bahkan kutubus sittah (enam kitab paling standar di sunni) meriwayatkan dari perawi rafidhah. Dengan bukti-bukti ini, maka benarlah pernyataan Sayid Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi di dalam kitabnya al–Muraja’at bahwa banyak periwayat syiah dalam kitab-kitab hadis sunni, sedangkan klaim MMPSI hanyalah prasangka saja. (bersambung)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/kajian-islam/kajian-ilmiah-atas-buku-panduan-mui-5/
Kajian Ilmiah Atas Buku Panduan MUI (6)
BAB III : PENYIMPANGAN AJARAN SYIAH
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. Al Hujurat : 12)”
Kita telah membedah dua bab dari isi Buku MMPSI ini, dan anda sudah menyaksikan bagaimana penyimpangannya. Maka kini masuklah kita pada Bab III, tentang Penyimpangan Ajaran Syiah. Bab ini tidak lebih berisi hal-hal propaganda dan banyak manipulasi data serta prasangka yang tidak sesuai dengan pandangan syiah. Selain itu isu-isu yang diangkat juga bukanlah isu baru, ntah kalau penulis MMPSI baru mengetahuinya. Apa yang diangkat adalah isu-isu lama yang diulang-ulang, dan ulama-ulama syiah telah menjawab dan menjelaskan hal-hal tersebut secara gamblang dalam puluhan jilid kitab-kitab mereka. Namun, sebagian kelompok yang masih sulit menerima kehadiran syiah membawa isu-isu itu kembali dari dulu hingga kini, termasuklah MMPSI.
Kondisi ini telah melahirkan diskusi mazhab yang panjang. Ulama Sunni menulis buku yang menyerang mazhab syiah, dan Ulama syiah membalasnya dengan menulis buku juga sebagai jawaban. Misalnya Al-Murtadha menulis Asy-Syafi fi al-Imamah untuk membantah ulama-ulama sunni yang menghujat syiah. Ibnu Hajar al-Haitsami menulis Shawaiq al-Muhriqah dan dijawab oleh ulama syiah Nurullah al-Tusytari dengan menulis buku Shawarim al-Muhriqah fi Jawabi Shawaiq al-Muhriqah. Allamah Hilii menulis buku Minhaj al-Karamah dan juga Nahj al-Haq wa Kasyf ash-Shidq. Ibnu Taymiyah (sunni) menulis buku ‘Minhaj al-Sunnah’ untuk membantah buku ‘Minhaj al-Karamah’ dan Ibnu Rouzban (sunni) menulis Ibthal al-Bathil wa Ihmal Kasyf al-‘Athil untuk membantah Nahj al-Haq wa Kasyf al-Shidq. Allamah al-Muzaffar (syiah) pun menulis Dalail ash-Shidq 3 Jilid untuk membantah Ibnu Taymiyah dan Ibnu Rouzban. Kemudian diakhiri oleh al-Tustary (dari Syiah) dengan kitabnya lhqaq al-Haq yang diberi catatan oleh Ayatullah al-Mar’asyi an-Najafi, sehingga mencapai 25 jilid ukuran besar seperti Encyclopedia. Sampai sekarang belum ada yang menjawab buku ini.
Begitu pula, ad-Dahlawi (sunni) menulis buku at-Tuhfah al-Itsna Asyariyah dan kemudian dijawab oleh Sayyid Dildar Ali (syiah) di dalam kitabnya ash-Shawarim al-Ilahiyyah dan Shawarim al-Ihlam. Begitu pula dalam kitab as-Saif al-Maslul ‘ala Mukhrib Din ar-Rasul. Lalu, kitab Sayyid Dildar Ali dijawab oleh Rasyiduddin ad-Dahlawi (sunni), murid penulis kitab at-Tuhfah, dengan kitabnya asy-Syawkah al-Umariyyah. Tapi kemudian, kitab asy-Syawkah al-‘Umariyyah itu dijawab oleh Baqir Ali (syiah) dengan kitabnya al-Hamlah al-Haidariyyah. Selain itu, kitab at-Tuhfah ad-Dahlawi juga dijawab oleh kitab an-Nazhah al-Itsna ‘Asyariyyah. Lalu salah seorang Ahlus Sunnah menjawab kitab an-Nazhah al-Itsna ‘Asyariyyah dengan menulis kitab Rujum asy-Syayathin. Selanjutnya kitab ar-Rujum asy-Syayathin dijawab oleh Sayyid Ja’far al-Musawi dengan kitabnya Mu’in ash-Shadiqin fi Radd Rujum asy-Syayathin. Kemudian juga kitab at-Tuhfah ad-Dahlawi dijawab oleh Sayyid Muhammad dengan menulis kitab al-Ajnad al-Itsna ‘Asyariiyah al-Muhammadiyyah. Dan kitab Sayid Muhammad ini dijawab oleh Muhammad Rasyid ad-Dahlawi. Lalu Sayyid Muhammad menulis jawaban kembali dengan kitabnya al-Ajwibah al-Fakhirah fi ar-Radd ‘ala al-Asya’irah, dan dilanjutkan oleh anaknya Sayid Muhammad yakni Hamid Husain al-Hindi dengan menulis 20 jilid kitab Abaqat al-Anwar. Selain itu ditulislah 11 jilid al-Ghadir oleh al-Amini untuk membantah beberapa kitab yang menghujat syiah seperti kitab al-Iqd al-Farid, al-Farq Baina al-Firaq, al-Milal wa an-Nihal, al-Bidayah wa an-Nihayah, al-Mashahr, as-Sunnah wa as-Syiah, Fajr al-Islam, Zhuhr al-Islam, Dhuha Islam, Aqidah as-Syiah, al-Wasyiah dan juga Minhaj as-Sunnah. Sampai saat ini juga belum ada ulama sunni yang secara sistematis memberikan bantahan untuk buku-buku ulama syiah tersebut.
Apa saja yang menjadi isu kesesatan syiah yang ditebarkan ditengah-tengah masyarakat? MMPSI menyebutkan lima penyimpangan syiah, yaitu :
- Penyimpangan Paham tentang Orisinalitas Alquran
- Penyimpangan Paham tentang Ahlul Bait Rasul saw dan Meengafirkan Sahabat Nabi
- Penyimpangan Paham tentang Syiah Mengafirkan Umat Islam
- Penyimpangan Paham tentang Kedudukan Imam Syiah
- Penyimpangan Paham tentang Hukum Nikah Mut’ah
Kelima hal di atas diajukan MMPSI untuk menyesatkan syiah—atau mungkin mengkafirkannya. Isu-isu ini sebenarnya isu-isu lama yang telah dijawab oleh ulama-ulama syiah dengan menulis ratusan jilid buku. Sekarang marilah kita telusuri tuduhan-tuduhan MMPSI ini. Tapi seperti sering diingatkan, pembahasan ini bersifat ilmiyah dan tidak lain untuk memperkuat kokohnya Ukhuwah Islamiyah sunni-syiah, agar tidak terjadi salah pemahaman dikarenakan isu-isu yang keliru dipahami atau terselewengkan.
1. Tentang Orisinalitas Alquran
Perlu ditegaskan bahwa yang muktabar bagi syiah imamiyah itsna asyariyah yang pengikutnya mayoritas di dunia dan di Indonesia adalah menolak terjadinya tahrif pada Alquran, baik itu penambahan maupun pengurangan pada Alquran. Hal ini banyak ditegaskan para ulama syiah dari masa lalu hingga kini. Karenanya, untuk mendudukan persoalan tersebut, dan sebelum mengulas tentang tahrif Alquran, perlu diketahui, menurut para ulama syiah, Al-Quran diturunkan dalam dua tahap. Pertama, sabil al-ijmal (marhalah al-ihkam), yaitu diturunkan secara keseluruhan dalam bentuk global. Kedua, sabil at-tafshil (marhalah at-tafshil), yaitu diturunkan secara berangsur-angsur sejak Rasul saaw di utus hingga akhir hayatnya (lihat Baqir al-Hakim, Ulum al-Quran, hal. 27-28)
Ayatullah Baqir al-Hakim menjelaskan yang dimaksud diturunkannya wahyu itu secara global yaitu turunnya ilmu-ilmu Allah swt, termasuk Alquran dan rahasia-rahasia besar yang terkandung di dalamnya ke dalam hati Rasulullah saaw agar hatinya dipenuhi dengan cahaya pengetahuan al-Quran (Ulum al-Quran, hal. 27). Jadi, nuzul al-Quran (turunnya Alquran) itu terdiri dari dua hal, yakni teks Alquran dan makna Alquran (tafsir, takwil, hukum, rahasia-rahasianya, dan lainnya). Karena itulah, maka Rasulullah saaw adalah orang pertama yang menguasai maksud dan makna teks-teks Alquran itu, beliaulah penafsir pertama Alquran. Karena itu adakalanya Rasul saaw menyampaikan teks sekaligus makna yang terkandung di dalamnya. Inilah yang disebut hakikat nuzul Alquran yang mana Allah swt yang menurunkannya, membacakanya, mengumpulkannya di dalam dada Nabi saaw, dan menjelaskan maksudnya. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Alquran sendiri : “Janganlah engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk mebaca Alquran) karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya KAMI YANG AKAN MENGUMPULKANNYA (di dadamu) dan MEMBACAKANNYA. APABILA KAMI TELAH SELESAI MEMBACAKANNYA, MAKA IKUTILAH BACAANNYA ITU. KEMUDIAN, SESUNGGUHNYA KAMI YANG AKAN MENJELASKANNYA.” (Q.S. al-Qiyamah : 16-19)
Syaikh Shaduq dalam kitabnya al-I’tiqadat hal. 83-84 menjelaskan tentang akidah syiah tentang Alquran sebagai berikut :
“Keyakinan kami tentang Alquran, adalah Kalam Allah, wahyu-Nya, firman dan kitab suci-Nya. Ia tidak didatangi kebatilan dari depan maupun belakang. Ia diturunkan dari Dzat Yang Maha Bijak dan Maha Mengetahui. Ia mengandung kisah-kisah yang benar, ucapan pemutus, dan bukan senda gurau…Sungguh, Keyakinan kami bahwa Alquran yang diturunkan Allah kepada nabi-Nya, Muhammad saaw adalah apa yang termuat di antara dua sampul (mushaf) yang sekarang beredar di tengah-tengah manusia. Tidak lebih dari itu. Jumlah surahnya adalah 114 surah…Dan barangsiapa menisbahkan kepada kami bahwa kami meyakini Alquran lebih dari itu maka ia adalah pendusta.
Setelah mengetahui dua jenis penurunan wahyu dan pendapat ulama muktabar, mari kita bisa menganalisis tentang tahrif Alquran yang menjadi polemik sunni dan syiah. MMPSI menyebutkan bahwa ulama-ulama syiah meyakini terjadinya tahrif Alquran yang bermakna penambahan dan pengurangan Alquran. Hal ini dapat dilihat pada pernyataan MMPSI pada hal. 25-26 sebagai berikut :
- “Menurut seorang ulama Syiah, al-Mufid, dalam kitab Awail al-Maqalat, menyatakan bahwa Alquran yang ada saat ini tidak orisinal. Alquran sekarang sudah mengalami distorsi, penambahan dan pengurangan. Tokoh syiah lain mengatakan dalam kitab Mir’atul Uqul Syarh al-Kafi, menyatakan bahwa Alquran telah mengalami pengurangan dan perubahan. Al-Qummi, tokoh mufassir syiah, menegaskan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa ayat-ayat Alquran ada yang diubah sehingga tidak sesuai dengan ayat aslinya seperti ketika diturunkan oleh Allah. Abu Manshur Ahmad bin Ali al-Thabarshi, seorang tokokh syiah abad ke-6 H menegaskan dalam kitab al-Ihtijaj, bahwa Alquran yang ada sekarang adalah palsu, tidak asli, dan telah terjadi pengurangan. Ni’matullah al-Jazairi menyatakan dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah, semua imam syiah menyatakan adanya tahrif (perubahan) Alquran, kecuali pendapat Al-Murtadha, as-Shaduq, dan al-Thabarshi yang berpendapat tidak ada tahrif. Dalam keterangan selanjutnya ia menjelaskan bahwa ulama yang menyatakan tidak ada tahrif pada Alquran itu sedang bertaqiyah” (hal. 25-26).
Tanggapan :
Pernyataan MMPSI di atas menyebutkan lima ulama syiah yang menyatakan tahrif Alquran, yaitu : Syaikh Mufid, Allamah Al-Majlisi, Al-Qummi, Ahmad bin Ali at-Thabarshi, dan Ni’matullah al-Jazairi.
Sekarang mari kita bandingkan pernyataan MMPSI tersebut dengan pernyataan ulama syiah, Al-Fadhl ibn al-Hasan Abu Ali At-Thabarsyi dalam kitabnya tafsirnya Majma’ al-Bayan sebagai berikut :
“Adapun tentang adanya penambahan pada Alquran maka hal tersebut disepakati sebagai sesuatu yang batil. Sedangkan adanya pengurangan dari Alquran maka beberapa dari kalangan kami (imamiyah) dan juga dari kalangan ahlussunnah, ada riwayat bahwa di dalam Alquran terjadi perubahan dan pengurangan. Akan tetapi yang benar menurut mazhab kami dan mazhab mereka ialah kebalikan dari itu. Dan pendapat yang demikian itulah yang didukung oleh al-Murtadha, semoga Allah mensucikan ruh beliau.” (At-Thabarsi, Tafsir Majma’ al-Bayan jilid 1, h. 15)
Dari pernyataan at-Thabarsyi di atas maka kita bisa mengambil kesimpulan :
- Tentang penambahan Alquran disepakati kebatilannya dan tertolak.
- Tentang pengurangan Alquran, maka terdapat ulama imamiyah dan ulama Ahlussunnah yang meriwayatkan terjadinya hal tersebut. Mereka hanya menyampaikan riwayat bukan berpendapat adanya tahrif.
- Para ulama syiah dan sunni, membahas pendapat dan riwayat-riwayat tentang pengurangan Alquran ini dan menolak terjadinya hal tersebut dengan argumentasi-argumentasi yang tak terbantahkan. Karenanya, menisbatkan kepada syiah atau kepada sunni keyakinan terjadinya tahrif Alquran dalam makna pengurangan Alquran juga tidak bisa diterima.
Lantas apakah kelima ulama syiah yang disebutkan oleh MMPSI tersebut meyakini terjadinya tahrif dan pengurangan Alquran? Jawabnya , tidak!. Berikut ini kita diskusikan.
1. Syaikh Mufid.
MMPSI menyatakan :
- “Syaikh Mufid dalam kitab Awail al-Maqalat, menyatakan bahwa Alquran yang ada saat ini tidak orisinal. Alquran sekarang sudah mengalami distorsi, penambahan dan pengurangan”. (hal. 25). [Dalam footnote-nya disebutkan dikutip dari kitab Awail al-Maqalat, hal. 80-81].
Sekarang mari kita lihat isi kitab Awail al-Maqalat pada halaman 80-81 bab “Pendapat tentang Penyusunan Alquran, Penambahan dan Pengurangannya” sebagai berikut :
القول في تأليف القرآن وما ذكر قوم من الزيادة فيه والنقصان
أقول: إن الأخبار قد جاءت مستفيضة عن أئمة الهدى من آل محمد (ص)، باختلاف القرآن وما أحدثه بعض الظالمين فيه من
الحذف والنقصان، فأما القول في التأليف فالموجود يقضي فيه بتقديم المتأخر وتأخير المتقدم ومن عرف الناسخ والمنسوخ والمكي والمدني لم يرتب بما ذكرناه وأما النقصان فإن العقول لا تحيله ولا تمنع من وقوعه، وقد امتحنت مقالة من ادعاه، وكلمت عليه المعتزلة وغيرهم طويلا فلم اظفر منهم بحجة اعتمدها في فساده
وقد قال جماعة من أهل الإمامة إنه لم ينقص من كلمة ولا من آية ولا من سورة ولكن حذف ما كان مثبتا في مصحف أمير المؤمنين (ع) من تأويله وتفسير معانيه على حقيقة تنزيله وذلك كان ثابتا منزلا وإن لم يكن من جملة كلام الله تعالى الذي هو القرآن المعجز، وقد يسمى تأويل القرآن قرآنا قال الله تعالى: (ولا تعجل بالقرآن من قبل أن يقضى إليك وحيه وقل رب زدني علما) فسمى تأويل القرآن قرآنا، وهذا ما ليس فيه بين أهل التفسير اختلاف
وعندي أن هذا القول أشبه من مقال من ادعى نقصان كلم من نفس القرآن على الحقيقة دون التأويل، وإليه أميل والله أسأل توفيقه للصواب
”Sesungguhnya riwayat-riwayat yang diperoleh dari imam-imam pemberi petunjuk dari keluarga Muhammad saaw, terdapat pernyataan tentang perbedaan Alquran, dan juga yang menceritakan tentang sebagian orang-orang zalim yang membuang dan mengurangi Alquran. Yaitu terjadi pada saat penyusunan (Alquran) dengan memerintahkan mendahulukan yang akhir dan mengakhirkan yang terdahulu, mengenalkan nasakh dan mansukh, makkiyah dan madaniyyah, tidaklah teratur sebagaimana disebutkannya. Adapun tentang pernyataan pengurangan (Alquran) yang secara akal tidaklah mustahil dan tidak terlarang terjadinya, maka setelah aku mencermati dari para penyerunya dan pernyataan dari Muktazilah dan selain mereka, maka tidaklah dapat diambil dan bersandar pada hujjah mereka yg rusak tersebut.
“DAN TELAH BERAKATA JAMAAH AHLI IMAMAH (KELOMPOK SYIAH), SESUNGGUHNYA ALQURAN TIDAK BERKURANG WALUPUN HANYA SATU KATA, SATU AYAT, ATAU SATU SURAT. Akan tetapi (yang) dihapus (adalah) apa-apa yang ada dalam mushaf Amirul Mukminin as yang merupakan ta’wil dan tafsir makna-maknanya sesuai dengan hakikat turunnya. Yang demikian itu (ta’wil dan tafsir) sekalipun telah diturunkan Allah, tetapi itu bukan bagian dari friman Allah Alquran yang mukjizat. DAN MENURUT SAYA PENDAPAT INI LEBIH TEPAT DARIPADA PENDAPAT ORANG YANG MENGANGGAP ADANYA PENGURANGAN FIRMAN DARI ALQURAN ITU SENDIRI YANG BUKAN TA’WILNYA. DAN SAYA MEMILIH PENDAPAT INI. Hanya kepada Allah lah saya memohon taufiq untuk kebenaran.” (Awail al-Maqalat hal. 80-81)….{Setelah menolak pengurangan Alquran, kemudian Syaikh Mufid menjelaskan penolakanya terhadap penambahan Alquran}.
Jadi, sungguh aneh bin ajaib, MMPSI ini menuduh Syaikh Mufid mengakui tahrif Alquran. Kesimpulan kita sementara ini, penyimpangan MMPSI ini karena mengarahkan pandangannya pada judul bab dan ungkapan awal Syaikh Mufid dan meninggalkan bagian akhirya (mungkin ini bukan kesengajaan). Tetapi ini kesalahan fatal, karena menyebabkan manipulasi informasi dan menebarkan fitnah yang membahayakan. (bersambung)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/kajian-islam/kajian/
Kajian Ilmiah Atas Buku Panduan MUI (7)
2. Allamah al-Majlisi
Ulama lain yang dinyatakan meyakini tahrif Alquran oleh MMPSI adalah Allamah al-Majlisi pengarang buku Mir’atul Uqul. MMPSI menyatakan :
-
Al-Majlisi mengatakan dalam kitab Mir’atul Uqul Syarh al-Kafi, menyatakan bahwa Alquran telah mengalami pengurangan dan perubahan.” (hal. 25).
Tanggapan :
Anggapan tersebut dinisbatkan berdasarkan pada pernyataan Allamah Al-Majlisi dalam Kitab Mir’atul Uqul fi Syarh Akhbar Aali al-Rasul juz 12/525. Perlu diketahui kitab ini adalah adalah kitab yang mengomentari kitab Al-Kafi karya Syaikh al-Kulaini. Dan pada bagian yang disebutkan ini beliau sedang mensyarah hadis al-kafi yang menyebutkan tentang diturunkan Alquran dari Jibril sebanyak 17.000 ayat.
Di sini, ternyata MMPSI hanya mengutip bagian awal tulisan Al-Majlisi dan memotong paragraf berikutnya. Berikut paragraf pertama dari tulisan Al-Majlisi :
الحديث الثامن و العشرون : موثق. و في بعض النسخ عن هشام بن سالم موضع هارون بن مسلم، فالخبر صحيح و لا يخفى أن هذا الخبر و كثير من الأخبار الصحيحة صريحة في نقص القرآن و تغييره، و عندي أن الأخبار في هذا الباب متواترة معنى
“Hadis ke 28. “hadis muwatsaq”. Disebagian salinan, Hisyam bin Salim, ditulis Harun bin Muslim. Riwayat shahih, dan tidaklah tersembunyi bahwa riwayat ini dan banyak riwayat-riwayat yang sahih lagi jelas tentang pengurangan Alquran dan perubahannya. Menurutku, riwayat-riwayat dalam bab ini bersifat mutawatir makna…” (Mir’atul Uqul juz 12/525)
Berdasarkan pernyataan inilah, MMPSI mengklaim bahwa Al-Majlisi mempercayai tahrif Alquran. Benarkah demikian? Jauh panggang dari api, karena bagi Al-Majlisi riwayat-riwayat itu tidak bisa dijadikan dalil meyakini tahrif Alquran. Beliau menegaskan hal itu pada paragraf berikutnya :
لأنه إذا ثبت تحريفه ففي كل آية يحتمل ذلك و تجويزهم عليهم السلام على قراءة هذا القرآن و العمل به متواتر معلوم إذ لم ينقل من أحد من الأصحاب أن أحدا من أئمتنا أعطاه قرانا أو علمه قراءة، و هذا ظاهر لمن تتبع الأخبار، و لعمري كيف يجترئون على التكلفات الركيكة في تلك الأخبار
Perhatikan bagaimana Al-Majlisi menegaskan bahwa : “…Karena, jika kita menetapkan tahrif Alquran, maka hal itu bisa terjadi pada seluruh ayatnya, sementara secara mutawatir para imam Ahlul Bait membolehkan membaca Alquran ini dan beramal dengannya. Dan tidak seorangpun yang menukil bahwasanya salah seorang imam memberikan Alquran atau mengajarkan bacaan yang berbeda. Inilah yang nyata bagi orang yang mengikuti riwayat-riwayat tersebut. Dan demi hidupku, bagaimana mereka berani memberlakukan perkara ini pada riwayat-riwayat tersebut…” (Mir’atul Uqul juz 12/525).
Jadi, MMPSI merekayasa data dengan mengutip sepotong tulisan al-Majlisi dan membuang lainnya.
3. Alqummi
MMPSI juga menyebutkan Alqummi sebagai salah seorang ulama yang meyakini tahrif Alquran sebagai berikut :
-
“Al-Qummi, tokoh mufassir syiah, menegaskan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa ayat-ayat Alquran ada yang diubah sehingga tidak sesuai dengan ayat aslinya seperti ketika diturunkan oleh Allah.” (hal. 26)
Tanggapan :
Pernyataan MMPSI ini berdasarkan pada Muqaddimah Tafsir Alqummi juz 1 hal. 5-11. Perlu diketahui, sebelumnya sudah saya jelaskan bahwa menurut ulama syiah, nuzul Alquran (turunnya Alquran) terdiri dari dua hal, yakni teks dan makna Alquran yang disertai tafsir, takwil, hukum, rahasia, dan ilmu-ilmu lainnya. Karenanya, Nabi saaw adalah penafsir pertama Alquran yang menyampaikan teks sekaligus maknanya. Inilah hakikat nuzul Alquran yang mana Allah swt yang menurunkannya, membacakannya, mengumpulkannya, dan menjelaskan maksudnya (Q.S. al-Qiyamah: 16-19). Jadi, Muqaddimah Tafsir Al-Qummi juga sedang menjelaskan hal-hal tersebut. Berikut ini pernyataan Alqummi dalam tafsirnya—{saya tidak menuliskan semuanya karena terlalu panjang, tetapi dipilih sesuai maksud yang dituju oleh MMPSI tersebut}—sebagai berikut :
فالقرآن منه ناسخ، ومنه منسوخ، ومنه محكم، ومنه متشابه، ومنه عام، ومنه خاص، ومنه تقديم، ومنه تأخير، ومنه منقطع، ومنه معطوف، ومنه حرف مكان حرف، ومنه على خلاف ما انزل الله ، ومنه ما لفظه عام ومعناه خاص، ومنه ما لفظه خاص ومعناه عام، ومنه آيات بعضها في سورة وتمامها في سورة اخرى ومنه ما تأويله في تنزيله ومنه ما تاويله مع تنزيله، ومنه ما تأويله قبل تنزيله، ومنه تأويله بعد تنزيله
“Alquran di dalamnya ada nasikh, mansukh, muhkam, mutasyabih, am, khas, taqdim, takhir, munqati’, ma’thuf, huruf diposisi huruf, dan sebagiannya berbeda dengan apa yang diturunkan Allah swt. Di dalamnya juga terdapat lafadz umum tetapi bermakna khusus, dan lafadz khusus bermakna umum, ayat-ayat yang sebagiannya di satu surat dan penyempurnaanya ada pada surah yang lain, terdapat ta’wilnya pada turunnya, bersamaan dengan turunnya, sebelum turunnya, dan sesudah turunnya…” (Tafsir Alqummi, hal. 5)
واما ما هو كان على خلاف ما انزل الله فهو قوله ” كنتم خير امة اخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله ” فقال ابوعبدالله (عليه السلام) لقاري هذه الآية ” خير امة ” يقتلون امير المؤمنين والحسن والحسين بن علي
فقيل له وكيف نزلت يابن رسول الله؟ فقال انما نزلت ” كنتم خير ائمة اخرجت للناس ” الا ترى مدح الله لهم في آخر الآية ” تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله “
“Adapun tentang “sebagiannya berbeda dengan apa yang diturunkan Allah swt”, adalah seperti firman-Nya, “Kamu adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia, yang memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah” (Kuntum khairu ummah ukhrijat linnasi takmuruna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar wa tu’minuna billah)” (Q.S. Ali Imran: 110). Maka berkata Abu Abdillah as kepada yang membaca ayat ini : “khairu ummah” (sebaik-baik ummat) apakah mereka juga yang membunuh Amirul Mukminin Ali, Hasan dan Husain? Maka ditanyakan, bagaimana ayat ini diturunkan wahai putra Rasulullah? Imam as menjawab, “Sesungguhnya ia diturunkan ‘kuntum khairu aimmah ukhrijat linnasi’ (kamu adalah sebaik-baik imam yang dikeluarkan untuk manusia).” Perhatikanlah bagaimana Allah swt memuji mereka pada bagian akhir ayatnya…”Yang memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (Tafsir Alqummi jilid 1, hal. 10)
Jadi, yang dimaksud dengan perkataan Imam Ja’far “diturunkan ayat ini” yaitu hakikat turunnya yang disertai takwil atau penjelasannya. Jadi itu bukan teks Alquran tetapi penjelasan maksud Alquran tersebut agar orang tidak salah memahaminya sebagaimana ditunjukkan dengan kritik Imam kepada pemaknaan umumnya, yaitu “Apakah mereka juga termasuk mengaku sebagai umat terbaik, padahal mereka membunuh Ali, Hasan dan Husain”?
Dengan demikian, yang dimaksud oleh Al-Qummi dengan pernyataan “tidak sesuai dengan apa yang diturunkan Allah” adalah hakikat turunnya yang disertai takwil dan rahasianya kepada Rasul saaw. Itulah yang dijelaskanya pada Muqaddimah Tafsir al-Qummi tersebut. Tapi sayang MMPSI lebih mendahulukan pemahamannya daripada pemahaman ulama syiah. (bersambung)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/kajian-islam/kajian-ilmiyah-atas-buku-panduan-mui-7/
Kajian Ilmiah Atas Buku Panduan MUI (8)
4. Ahmad bin Ali at-Thabarshi
Berikutnya, ulama syiah yang dituduh MMPSI mempercayai tahrif Alquran adalah Ahmad bin Ali al-Thabarshi. MMPSI menyatakan :
-
“Abu Manshur Ahmad bin Ali al-Thabarshi, seorang tokoh syiah abad ke-6 H menegaskan dalam kitab al-Ihtijaj, bahwa Alquran yang ada sekarang adalah palsu, tidak asli, dan telah terjadi pengurangan”. (hal. 25-26)
Tanggapan :
Pernyataan di atas merupakan kesimpulan dari Kitab al-Ihtijaj juz 1/156 karya at-Thabarshi. Namun, setelah dicermati, ternyata MMPSI ini lagi-lagi melakukan penyimpangan. Terlepas dari kualitas riwayat yang dibawakan, At-Thabarshi tidak menyatakan demikian. Beliau hanya meriwayatkan bahwa Imam Ali menyusun Alquran yang di dalamnya terdapat penjelasan hakikat turunnya serta pelanggaran kaum muhajirin dan anshar. Para sahabat menolak Alquran susunan Imam Ali dan menyusun Alquran yang tidak mengandung hal-hal tersebut. Berikut pernyataan At-Thabarsyi dalam kitabnya al-Ihtijaj juz 1/156.
وفي رواية أبي ذر الغفاري أنه قال: لما توفي رسول الله صلى الله عليه وآله جمع علي عليه السلام القرآن وجاء به إلى المهاجرين والأنصار وعرضه عليهم لما قد أوصاه بذلك رسول الله صلى الله عليه وآله، فلما فتحه أبو بكر خرج في أول صفحة فتحها فضائح القوم، فوثب عمر وقال: يا علي اردده فلا حاجة لنا فيه، فأخذه عليه السلام وانصرف ثم أحضروا زيد بن ثابت – وكان قاريا للقرآن – فقال له عمر: إن عليا جاء بالقرآن وفيه فضائح المهاجرين والأنصار، وقد رأينا أن نؤلف القرآن ونسقط منه ما كان فيه فضيحة وهتك للمهاجرين والأنصار، فأجابه زيد إلى ذلك
“Diriwayatkan oleh Abi Dzar al-Ghiffari, dia berkata : Ketika Rasul saaw wafat, Imam Ali as mengumpulkan Alquran dan membawanya ke hadapan Muhajirin dan Anshar dan mereka berpaling darinya, bagi apa yang telah diwasiatkan Rasulullah saaw terhadap hal itu. Ketika Abu Bakar membukanya, terdapat pada awal halamannya berbagai aib dari kaum-kaum. Maka diambil oleh Umar dan berkata : Wahai Ali, aku menolaknya dan kami tidak berhajat padanya, silahkan ambil kembali. Maka Imam Ali as mengambilnya dan beranjak pergi. Kemudian mereka menghadirkan Zaid bin Tsabit—penulis Alquran—dan Umar berkata kepadanya : “Sesungguhnya Ali datang membawa Alquran yang di dalamnya terdapat aib dari muhajirin dan anshar, dan sungguh kami melihat penting rasanya untuk menyusun Alquran dan membuang darinya bagian-bagian yang terdapat aib dan celaan kepada muhajirin dan anshar”. Maka kemudian Zaid menerimanya.” (Al-Ihtijaj jilid 1 : 156)
Betapa jelasnya maksud riwayat tersebut di atas. Bahwa tidak ada pengurangan dalam teks-teks Alquran, tetapi yang ada adalah pengurangan makna-makna atau penafsiran Alquran yang dilakukan Imam Ali as yang di dalamnya terdapat menjelaskan aib-aib dari kaum muhajirin dan anshar. Dan tentu saja penafsiran itu bukanlah Alquran. Inilah keunikan mushaf Imam Ali as, sebagaimana dijelaskan oleh banyak riwayat dari ulama-ulama syiah dan ahlussunnah bahwa Imam Ali as setelah wafatnya Rasul saaw mngumpulkan Alquran sesuai bacaan Rasulullah saaw yang dihimpun sesuai dengan urutan turunnya dan berisi asbab an-nuzul, nasikh, mansukh, makkiyah, madaniyah, tafsir dan takwil serta lainnya. Hal ini tercermin dalam ucapan Imam Ali as :
و لقد جئتهم بالکتاب مشتملا علی التنزیل والتاویل
“Aku mempersiapkan suatu kitab untuk mereka yang di dalamnya mencakup tanzil dan takwil.” (Jawad Balaghi, Ala al-Rahman jilid 1 : 257)
5. Sayid Ni’matullah al-Jazairi
Berikutnya yang dijadikan sasaran oleh MMPSI untuk dituduh meyakini tahrif Alquran adalah Sayid Ni’matullah al-Jazairi. MMPSI menyebutkan :
-
“Ni’matullah al-Jazairi menyatakan dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah, semua imam syiah menyatakan adanya tahrif (perubahan) Alquran, kecuali pendapat Al-Murtadha, as-Shaduq, dan al-Thabarshi yang berpendapat tidak ada tahrif. Dalam keterangan selanjutnya ia menjelaskan bahwa ulama yang menyatakan tidak ada tahrif pada Alquran itu sedang bertaqiyah.” (hal. 26)
Tanggapan :
Pertama, MMPSI menyatakan bahwa semua “Imam Syiah” menyatakan tahrif Alquran, kecuali Al-Murtadha, as-Shaduq, dan al-Thabarshi. Ini adalah dusta yang dinisbatkan kepada Sayid Ni’matullah al-Jazairi, sebab beliau tidak ada menulis demikian. Ketahuilah bahwa Imam syiah itu ada 12 orang yakni adalah Imam Ali as hingga Imam Mahdi afs. Apakah 12 imam ini semuanya dikatakan oleh Sayid Ni’matullah sebagai meyakini tahrif Alquran? Dan lucunya lagi, Imam syiah itu dibandingkan MMPSI dengan al-Murtadha, as-Shaduq, dan al-Thabarsyi. Apakah MMPSI menganggap ketiga orang tersebut juga imam-imam syiah?
Kedua, pernyataan bahwa hanya tiga orang yang berpendapat tidak ada tahrif Alquran juga kurang tepat. Karena Sayid Ni’matullah mengetahui puluhan ulama syiah dalam karya-karya mereka dari masa klasik sampai ke masanya menjelaskan tentang keterjagaan Alquran. Karenanya, kalau MMPSI mencermati dengan baik pernyataan Sayid Ni’matullah al-Jazairi, maka akan mengetahui maksud sebenarnya. Terlebih lagi pada halaman-halaman tersebut, sebelum dan sesudahnya, beliau sedang membahas tentang qiraat Alquran yang dikatakan oleh para ulama sunni mencapai tujuh atau sepuluh qiraat. Jadi, sederhananya maksud Sayid Ni’matullah al-Jazairi menyebut ketiga ulama tersebut sebagai contoh ulama yang menolak pendapat bahwa “keterjagaan Alquran akan menyebabkan dibuangnya banyak hadis yang dianggap menjelaskan tahrif”.
Agar lebih jelas berikut saya kutipkan pernyataan Sayid Ni’matullah al-Jazairi, dalam kitab Al-Anwar an-Nu’maniyah juz 2, hal 246 :
“Ketiga, Sesungguhnya menerima kemutawatirannya (terjaganya Alquran) adalah dari wahyu ilahi dan keseluruhannya diturunkan oleh Ruhul Amin (Jibril as), membuat dibuangnya riwayat-riwayat yang mustafidh bahkan mutawatir yang menunjukkan sharihnya atas berlaku tahrif pada Alquran dalam perkataan, materi dan i’rabnya. Padahal para sahabat kami—semoga Allah meridhai mereka— mereka sepakat atas keshahihannya dan membenarkannya. Pendapat ini diingkari oleh al-Murtadha, ash-Shaduq, dan at-Thabarsi. Mereka menghukumi bahwa sesungguhnya apa-apa yang ada di antara dua sisi mushaf, itulah Alquran yang diturunkan, tidak ada yang lain, dan tidak terjadi padanya tahrif dan perubahan…” (Anwar an-Nu’maniyah juz 2 : 246)
Jadi, apa yang disebutkan oleh Sayid Ni’matullah Al-Jazairi di atas adalah tentang adanya orang yang berpendapat tentang hubungan antara keterjagaan Alquran dan penolakan terhadap hadis. Yakni, jika kita mengatakan bahwa Alquran itu terjaga dan terpelihara, maka secara otomatis banyak riwayat yang harus dibuang (karena menduga riwayat-riwayat itu menyatakan tahrif tekstual Alquran). Pendapat inilah yang dibantah oleh Al-Murtadha, Ash-Shaduq, dan at-Thabarsyi. Bagi mereka, tidak ada hubungan linier antara menerima keterjagaan Alquran dengan terbuangnya riwayat-riwayat yang dianggap tahrif Alquran. Karena keterjagaan Alquran bersifat pasti bahkan mendapat jaminan dari Alquran itu sendiri, “sesungguhnya Kamilah yang menurunkan dzikir dan Kamilah yang menjaganya”, sehingga riwayat-riwayat tersebut jika shahih maka sebagiannya berbicara tentang tanzil (penjelasan tentang tanzil ini bisa lihat pada bagian ke-7 kajian ini), atau bisa ditakwilkan, dan sebagian riwayatnya dhaif dan tidak bisa dijadikan pegangan. Jadi, dengan jaminan Allah swt dan kemutawatiran terjaganya Alquran, maka tidak ada bisa dimasalahkan dengan riwayat-riwayat tersebut. Sebab, keterjagaan Alquran bersifat mutawatir qath’i as–syudur (meyakinkan), sedangkan riwayat tentang tahrif adalah bersifat dugaan (zhanni asy-syudur). Maka yang qath’i harus menjadi pegangan dibanding dari yang zhanni.
Kemudian yang Ketiga, pernyataan bahwa ketiga ulama tersebut sedang taqiyah juga tidak dinyatakan oleh Sayid Ni’matullah. Beliau hanya menyatakan bahwa pendapat ketiga ulama tersebut, mengandung kemaslahatan yang besar, karena, jika tidak begitu, maka kita tidak bisa mengamalkan hukum dan kaidah-kaidah Alquran. Berikut kutipannya dari kitab Anwar an-Nu’maniyah :
“Yang jelas, pendapat ini memiliki kemaslahatan yang banyak. Di antaranya, menutup pintu celaan terhadapnya, karena bahwasanya jika hal ini bisa terjadi pada Alquran, maka bagaimana mungkin kita megamalkan kaidah dan hukum Alquran yang telah terjadi perubahan di dalamnya…” (Anwar an-Nu’maniyah juz 2 : 247)
Dengan penjelasan-penjelasan di atas, maka tuduhan MMPSI kepada syiah tentang tahrif Alquran yang dinisbatkan kepada lima ulama syiah di atas tidaklah benar. Kita sudah melihat bagaimana para penulis MMPSI ini memanipulasi data dari kitab-kitab syiah. Hal ini jauh dari sifat ilmiah dan amanah yang dijunjung tinggi oleh akal dan agama. (bersambung)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/kajian-islam/kajian-ilmiah-atas-buku-panduan-mui-8/
Kajian Ilmiah Atas Buku Panduan MUI (9)
2. Penyimpangan Paham Tentang Mengafirkan Sahabat Nabi.
Setelah mengulas tentang tahrif Alquran, sekarang kita beralih pada bagian kedua tuduhan MMPSI tentang penyimpangan syiah, yakni mengafirkan sahabat Nabi. Tuduhan ini juga bukan propaganda baru bagi syiah, walaupun tentunya lagi-lagi tuduhan ini berdasarkan data yang manipulatif dan disinformatif.
Ketahuilah, Islam melarang keras mengafirkan dengan sembarangan siapapun kaum muslimin, bukan hanya para sahabat. Apakah menurut MMPSI, boleh mengafirkan kaum muslimin selain sahabat, seperti yang dilakukan oleh kaum takfiri, yang tercium juga aromanya pada buku MMPSI ini. Jadi pembatasan kepada sahabat, tidak pada tempatnya dalam ajaran Islam. Karena itulah syiah tidak sembarangan melakukan pengkafiran kepada sesama kaum Muslimin—apalagi kepada para sahabat— tanpa dalil-dalil yang valid dan otentik, bukan berdasarkan pada dugaan, prasangka atau propaganda semu. Karena syiah menyadari mengafirkan seseorang akan memiliki konsekuensi hukum yang luar biasa dalam agama Islam.
Karena itu, sebelum mengulas tuduhan-tuduhan dan penyelewengan yang dilontaran oleh MMPSI kepada syiah terkait persoalan sahabat, disini dijelaskan sedikit pandangan umumnya syiah tentang sahabat Nabi saaw.
Secara umum sahabat Rasulullah saw didefenisikan sebagai orang yang berjumpa dengan Rasulullah saaw dalam keadaan Islam hingga meninggalnya. Dalam persepektif ahlu sunnah, telah ittifaq bahwa seluruh sahabat adalah Adil (ash-shahabiy kulluhum udul). Keadilan para sahabat ini telah mendapat justifikasi dari Allah swt (Q.S. Al-Fath : 18, 29; At-Taubah : 100, 117; al-Anfal : 74; al-Hasyr : 8-10) dan Rasul-Nya sehingga tidak perlu dilakukan analisa jarh wa ta’dil. (Lihat Abu Hatim al-Razi, Taqdimah al-Ma’rifah li Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil; Ibnu Hajar Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah; Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits).
Adapun menurut syiah tidak semua sahabat itu adil. Alquran dalam banyak ayatnya disamping memuji para sahabat Nabi saaw, juga mengecam perilaku sebagian sahabat, bahkan menegaskan adanya kefasikan dan kemunafikan di tengah-tengah sahabat (lihat Q.S. al-Munafikun : 1; Q.S. at-Taubah : 45-47, 101 dan lainnya). Misalnya, Allah berfirman :
وَ مِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرابِ مُنافِقُونَ وَ مِنْ أَهْلِ الْمَدينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفاقِ لا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلى عَذابٍ عَظيمٍ
“Dan diantara orang-orang arab badui yg ada disekitarmu itu ada orang-orang munafik. Dan diantara ahli Madinah sangat keterlaluan kemunafikannya. Engkau tidak mengetahui mereka, tetapi Kami mengetahuinya. Nanti mereka Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (Q.S. at-taubah : 101).
Kemudian, Rasul saaw sendiri dalam riwayatnya menyebutkan bahwa diantara sahabatnya ada yg munafik sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim berikut ini:
قال النبي صلى الله عليه و سلم في أصحابي اثنا عشر منافقا فيهم ثمانية لا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط
Nabi SAW yang bersabda “Di antara para sahabatku (fi Ashabi) terdapat dua belas orang munafik. Delapan diantaranya tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lubang jarum… (H.R. Muslim juz 4 no 2779)
Perhatikan hadits di atas Nabi menggunakan kalimat FI ASHABI (sahabatku) dan dikatakan munafik, dan tidak mungkin orang munafik dihukumi adil. Hanya saja, siapa saja sahabat yg munafik itu? syiah tidak menyebutkan siapa-siapa saja yang termasuk munafik tersebut. Tetapi, sesuai nas itu bahwa terdapat sahabat yg munafik dan ada yg tidak adil. Orang munafik sudah pasti tidak adil, tetapi org yang tidak adil belum tentu dihukumi munafik.
Karenanya, memandang keadilan seluruh sahabat—atau sebaliknya mencela apalagi mengkafirkan semuanya—tidaklah sesuai dengan syariat maupun akal (Murtadha ‘Askari, Ma’alim al-Madrasatain jil.1. hal. 130-135; Ahmad Husain Ya’qub, Nazhariyah Adalah as-Shahabah). Bagi syiah, para sahabat seperti umumnya manusia lain, mereka harus dinilai dari sisi perbuatan mereka dalam menjaga dan melaksanakan ajaran Islam, bukan dari sisi persahabatan dan perjumpaan mereka dengan Nabi saaw.
Dengan mengetahui pandangan syiah, maka tubuhan MMPSI bahwa syiah mengafirkan sahabat Nabi saaw tidaklah memiliki makna kecuali sekedar propaganda dan prasangka yang dilontarkan saja. Tapi untuk memuluskan propagandanya dan agar terlihat ilmiah, MMPSI berusaha mengutip karya-karya ulama syiah, meskipun harus melakukan manipulasi, baik pemotongan riwayat atau penyelewengan makna. Berikut ini kita ulas tuduhan-tuduhan MMPSI.
a. Tentang Khalifah Abu Bakar dan Umar
MMPSI menuduh syiah mengafirkan Khalifah Abu Bakar dan Umar sebagai berikut :
-
“Ni’matullah al-Jazairi (ulama syi’ah) berkata, “ Bahwa sayyidina Abu Bakar dan sayyidina Umar tidak pernah beriman kepada Rasulullah saw sampai akhir hayatnya”. Tak puas sampai disitu, ia juga memfitnah Abu Bakar r.a telah berbuat syirik dengan memakai kalung berhala saat shalat di belakang Nabi dan bersujud kepadanya”. (MMPSI, hal. 32-33)
Tanggapan :
Tuduhan kepada Sayid Ni’matullah al-Jazairi ini didasarkan MMPSI pada kitab al-Anwar an-Nu’maniyah juz 1 hal. 53 dan 45. Buku ini pada dasarnya bukanlah buku yang menjadi rujukan muktabar dalam syiah. Terlepas dari hal itu, jika kita periksa dan cermati tuduhan tersebut tidak tepat dialamatkan kepada Sayid Ni’matulah. Seperti biasanya, di sini MMPSI melakukan memanipulasi informasi. Al-Jazairi tidak pernah mengatakan di dalam kitabnya al-Anwar al-Nu’maniyah 1/53 bahwa “Abu Bakar dan Umar tidak pernah beriman kepada Rasulullah hingga akhir hayatnya”.
Adapun pernyataan MMPSI bahwa al-Jazairi di dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah juz 1 hal. 45 memfitnah “Abu Bakar ra telah berbuat syirik dengan memakai kalung berhala saat shalat dibelakang Nabi dan bersujud kepadanya”, juga tidak benar, karena pernyataan itu tidak memiliki sanad yang valid sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Lagian, hal itu dinisbahkan atas penjelasan al-Baladzuri di dalam kitab tarikhnya. Berikut kita kutipkan pernyataan Sayid Ni’matullah al-Jazairi :
“Dan janganlah heran dengan hadis ini, yang diriwayatkan melalui khabar khusus, bahwa “Abu Bakar shalat dibelakang Rasulullah sembari patung berhala tergantung dilehernya dan bersujud untuknya”. Keterangan makna ini sebagaimana yang disebutkan oleh al-Baladzury yang merupakan ulama jumhur (ahlussunnah) dalam kitab tarikhnya…” (Anwar Nu’maniyah juz 1, hal. 45)
Dengan penjelasan ini maka tuduhan MMPSI kepada Sayid Ni’matullah al-Jazairi tidak lah tepat karena kutipan dari kitab al-Anwar al-Nu’maniyah di atas jelas terlihat bahwa MMPSI melakukan manipulasi data dengan memotong redaksi kitab al-Anwar al-Nu’maniyah. (bersambung)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/kajian-islam/kajian-ilmiyah-atas-buku-panduan-mui-9/
Kajian Ilmiah Atas Buku Panduan MUI (10)
- “Ulama syi’ah lainnya, al-Kulaini mengatakan bahwa seluruh sahabat itu murtad setelah Nabi saw wafat, kecuali tiga orang, al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghiffari, dan Salman al-Farisi.” (hal. 33)
“Dari Amru bin Tsabit berkata: “Aku mendengar Abu Abdillah as berkata: Sesungguhnya setelah Nabi saaw wafat, maka manusia murtad kecuali tiga orang yakni Salman, al-Miqdad dan Abu Dzar al-Ghiffari. Sesungguhnya setelah Rasulullah saaw wafat, datanglah empat puluh orang lelaki kepada Ali bin Abi Talib as. Mereka berkata: Tidak, demi Allah! Selamanya kami tidak akan menaati sesiapapun melainkan engkau. Beliau as berkata: Kenapa? Mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengar Rasulullah saaw menyampaikan tentang engkau pada hari Ghadir (Khum). Beliau as berkata: Apakah kamu semua akan melakukannya? Mereka berkata: Ya. Beliau a.s berkata : Datanglah kamu besok dengan mencukur kepala. Amru berkata : Tidak datang kepada Ali as kecuali mereka bertiga. Amru berkata: ‘Ammar bin Yasir datang setelah Zuhur. Beliau as memukul tangan ke atas dadanya dan berkata kepada Ammar : ‘Kenapa anda tidak bangkit daripada tidur kelalaian? Kembalilah kamu, kerana aku tidak memerlukan kamu. Jika kamu tidak menaati aku untuk mencukur kepala, lantas bagaimana kamu akan mentaati aku untuk memerangi gunung besi! Justeru kembalilah kamu, aku tidak memerlukan kamu.” (Syaikh Mufid, al-Ikhtisas jilid 1, hal. 6; lihat juga Tarikh al-Ya’qubi jilid 2, hal.126; Bihar al-Anwar jilid 22, hal. 341 dari Imam Baqir)
“Abu Bakar al-Hadrami berkata, Abu Ja’far as berkata:… Manusia telah murtad kecuali tiga orang yakni Salam, Abu Dzar, dan Miqdad. Bekrta Abu Bakar, “Aku berkata bagaimana dengan Ammar?” Beliau berkata, “Ammar berpaling, tetapi kemudian kembali…. Kemudian orang-orang bertaubat setelah itu, orang pertama yang bertaubat adalah Abu Sasan al-Anshari, Abu ‘Amrah, dan Syutirah (Huzaifah). Jumlahnya menjadi tujuh orang. Tidak ada yang mengetahui hak Amirul Mukminin kecuali tujuh orang tersebut.” (Rijal al-Kasyi, jilid 1, hal. 11-12, no. 24).
Dengan demikian, maka tuduhan bahwa syiah mengafirkan sahabat Nabi tidaklah valid. Syiah tidak menyatakan para sahabat kafir (keluar dari Islam), karena tidak ada dalil bahwa mereka keluar dari Islam. Bahkan Imam Ali salat dan bergaul dengan mereka. Tetapi syiah berbeda dalam menyikapi “keadilan sahabat”. Jika sunni memberikan predikat adil bagi seluruh sahabat, maka syiah tidak. Di kalangan sahabat ada yang tidak adil. Namun begitu, dilarang mencaci sahabat dan isteri Nabi. Imam Khamenei berfatwa, “Diharamkan menghina simbol-simbol (orang yang diagungkan) saudara-saudara kita Ahlussunnah, dan tuduhan terhadap istri Nabi saaw dengan hal-hal yang mencederai kehormatannya.” (lihat ulasan fatwa Sayid Ali Khamenei ini dan dukungan para ulama Ahlussunnah dan syiah atas fatwa tersebut dalam Muhammad Hasan Tabara’iyan dan Muhammad Mahdi Tashkiri, Fatwa ResmiSyiah Terhadap Simbol Ahlussunnah, Jakarta : Nur al-Huda, 2012).Adapun riwayat syiah di atas atau lainnya, dan juga riwayat-riwayat sunni yang secara tekstual menyebutkan kekafiran atau kemurtadan sahabat, bukanlah dipahami bermakna sahabat keluar dari Islam. Tetapi, para sahabat, ingkar dari kepemimpinan Ali pasca wafatnya Nabi. Mir Damad dalam kitab Nibras al-Dhiyah menyebutkan murtad disini bermakna menyimpang dari barisan dan merampas hak dari ahlinya.Imam Khumaini menjelaskan,“Yang dimaksud dengan murtad dalam riwayat-riwayat ini bermakna pelanggaran terhadap ikrar kepemimpinan, bukan bermakna murtad dari Islam”. Ayatullah Ja’far Subhani berkata, “Yang dimaksud dengan murtadnya sahabat adalah berpaling dari kepimpinan Ali, bukan keluar dari Islam.
Kajian Ilmiah Atas Buku Panduan MUI (11)
- “Al-Iyyasi dalam tafsirnya, dan al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar, menyatakan bahwa meninggalnya Rasulullah saaw karena telah diracun oleh Aisyah dan Hafshah.”(Hal. 33)
Kajian Ilmiah Atas Buku Panduan MUI (12)
“Dalam kitab al-Thaharah (jilid 3 hal. 457), pemimpin Revolusi Iran, al-Khomeini menyatakan bahwa Aisyah, Thalhah, Zubair, Muawiyah, dan orang-orang sejenisnya meskipun secara lahiriah tidak najis, mereka lebih buruk dan menjijikkan daripada anjing dan babi” (hal. 33)
- Pada halaman-halaman sebelumnya (hal. 455-456 dari kitab at-Thaharah) Imam Khumaini menjelaskan tentang kafir dan najisnya nashibi dan khawarij dengan sub judul “Najisnya Nashibi dan Khawarij”. Nashibiyang dimaksud adalah pembenci dan memusuhi ahlul bait yang menjadikan permusuhan itu sebagai bagian dari keyakinan akidahnya/agamanya. Nashibi yang seperti inilah yang dimaksud dalam riwayat ahlul bait dan penjelasan para ulama syiah sebagai kafir dan najis.
- Kemudian Imam Khumaini membahas tentang orang yang memusuhi ahlul bait tapi bukan karena agama, tetapi karena alasan-alasan duniawi. Yaitu bahwa orang yang memusuhi ahlul bait bahkan memerangi mereka, tetapi tidak menjadikan permusuhan itu sebagai bagian dari akidah/agamanya, tetapi karena alasan-alasan lain, maka kelompok ini tidaklah nashibi yang kafir dan tidak najis. Hal ini ditegaskan oleh Imam Khumaini.
- Berikutnya Imam Khumaini menegaskan bahwa Siti Aisyah, Zubair, Thalhah, Muawiyah, dan semisalnya, tidaklah tergolong Nashibi yang kafir dan najis, meskipun mereka memerangi Ahlul Bait (Imam Ali), karena tidak menjadikan permusuhan itu sebagai bagian dari agama. Jadi, Imam Khumaini dalam hal ini menegaskan keislaman Aisyah dan para sahabat tersebut serta menolak anggapan najis dan kafirnya mereka.
- Selanjutnya, Imam Khumaini menegaskan bahwa perbuatan memerangi Imam Ali atau ahlul bait yang disucikan dan dimuliakan Allah swt serta merupakan khalifah yang sah dan adil seperti Imam Ali as—sehingga mengakibatkan terbunuhnya ribuan nyawa kaum muslimin— adalah perbuatan yang sangat buruk, yang keburukannya lebih parah dari najisnya anjing dan babi. Agar bisa dengan mudah memahami ini, perhatikan exercise berikut, kalau kita ditanya, mana yang lebih buruk antara “memerangi keluarga suci Nabi saaw dan membunuh ribuan umat Islam” dengan “najisnya anjing dan babi”? Saya yakin kita semua sepakat dengan Imam Khumaini.
Kajian Ilmiah Atas Buku Panduan MUI (13)
- “Di Indonesia, berbagai publikasi syiah telah menfitnah, menjelek-jelekkan, melaknat, bahkan mengafirkan sahabat Nabi.” (hal. 34)
“Setelah wafatnya Nabi saaw, suatu pertemuan di bentuk pada malam hari. Pertemuan malam itu di rumah Umar saat menjabat sebagai khalifah pertama (?). Sejumlah pendukungnya hadir dalam pertemuan itu. Ibnu Abbas juga ikut dalam pertemuan ini. Mereka menggelar alas makan yang berwarna-warni dan penjaga berdiri di pintu rumah hingga orang asing tidak dapat mengikuti pertemuan itu. Tiba-tiba seseorang muncul dari pintu Umar dan berkata, “Siapa di antara kalian sebagai washi Nabi saw?” Abu Bakar menjawab, “Rakyat telah memilih saya.” Kemudian orang itu berkata, “Saya memiliki seorang saudara ketika menjelang wafat, dia berwasiat, ‘Apa pun yang tersisa dari (harta) saya, saya akan berikan kepada menantu saya. Setelah saudara saya meninggal, sejumlah orang mencampuri masalah ini dan mereka merampas hak sang menantu tersebut. Mereka menyakiti isterinya. Coba kalian tetapkan suatu hukum dalam permasalahan ini.’Abu Bakar berkata, “Benar, apa yang kau katakan. Surat ini menegaskan bahwa ia telah berwasiat untuk menantunya.” Abu Bakar lalu menuliskan dalam surat itu bahwa tidak ada hak seorangpun untuk melanggar hak menantu tersebut dan dia membubuhi stempel, dan memberikannya kepada orang yang tidak dikenalnya itu.Setelah menerima surat, orang tak dikenal tersebut berkata, “Kalian telah menetapkan hukum secara Islami, sementara perbuatan Anda sendiri telah menentang hal tersebut. Kecuali Nabi saaw tidak mewasiatkan kepada putrinya mengenai Ali bin Abi Thalib. Bagaimana mungkin hawa nafsu telah mengalahkan kalian. Kalian telah merampas hak Ali as dengan menentang haknya secara jelas. Yang menjadikan beliau banyak berdiam diri di rumah.”Setelah orang ini mengatakan perkataan demikian, maka dia keluar dari rumah itu. Mereka pun mencarinya untuk kembali, namun jejaknya tidak ditemukan. Penjaga pintu mengatakan, “saya benar-benar tidak melihat ada orang masuk”. Umar menenangkan kekhawatiran khalifah Abu Bakar, dia berkata, “Janganlah bersedih, dia adalah setan.” Seketika itu terdengar suara di balik dinding, “Saya bukanlah setan! Akan tetapi kalian dan ayah kalian akan menjadi Iblis”. Di antara anggota pertemuan kepada saling berpesan untuk merahasiakan kejadian tersebut, khususnya kepada Ibnu Abbas.Ibnu Abbas berkata, “Ketika saya bersama Ali, beliau bertanya, “Apa yang terjadi dalam pertemuan malam tadi?” Saya menjawab, “Engkau lebih mengetahui akan hal ini.” Imam Ali as berkata, “Orang itu adalah saudaraku Khidhir, ini adalah surat yang telah ditanda tangani oleh Abu Bakar malam tadi.” (Kermani, Kecuali Ali, hal. 155-156)
- Jawaban dari balik dinding itu adalah jawaban spontanitas—dari orang yang tak dikenal tersebut—sebagai protes atas pernyataan Umar bin Khattab yang menganggap orang tak dikenal itu (Khidir) sebagai setan. Maka di balaslah bahwa merekalah sesungguhnya yang pantas disebut Iblis/setan karena mengetahui hukum yang benar tetapi melanggarnya. Artinya mereka melanggar syariat yang ditetapkan Allah dan peritah Rasulullah saaw. Ini terlihat dalam riwayat di atas menyatakan, “Kalian telah menetapkan hukum secara Islami, sementara perbuatan Anda sendiri telah menentang hal tersebut.”
- Atau juga—dalam pandangan orang tak dikenal tersebut—bahwa mereka berbuat seperti Iblis yang tidak mau tunduk pada perintah Allah swt untuk menjadikan Nabi Adam as sebagai khalifah, bahkan Iblis menginginkan jabatan Khalifah itu untuk dirinya, dan menganggap dirinya lebih baik dari Nabi Adam as, sehingga memandang perintah Tuhan itu keliru. Dan kasus Nabi Adam as dengan Iblis ini, mirip dengan kasus kepemimpinan Imam Ali as, dimana Allah swt melalui Nabi-Nya memerintahkan manusia untuk tunduk dan menjadikan Imam Ali as sebagai khalifah, tetapi mereka mengingkarinya, bahkan menginginkannya untuk dirinya sendiri. Ini terlihat dalam riwayat di atas, “Kalian telah merampas hak Ali as dengan menentang haknya secara jelas. Yang menjadikan beliau banyak berdiam diri di rumah.”
- Tindakan mereka mencampuri dan merampas kekhalifahan dan juga tanah fadak serta menyakiti Sayidah Fatimah as dengan menyerang rumahnya hingga menggugurkan janinnya adalah tindakan yang dipenuhi hawa nafsu dan dipengaruhi Iblis. Hal ini digambarkan dalam riwayat di atas dengan mencontohkan kasus yang di buat oleh orang tak dikenal tersebut, yaitu “Saya memiliki seorang saudara ketika menjelang wafat, dia berwasiat, ‘Apa pun yang tersisa dari (harta) saya, saya akan berikan kepada menantu saya. Setelah saudara saya meninggal, sejumlah orang mencampuri masalah ini dan mereka merampas hak sang menantu tersebut. Mereka menyakiti isterinya.” Kemudian Khalifah Abu Bakar memutuskan bahwa orang yang merampas dan menyakiti menantu dan isteri saudara orang tak dikenal sebagai orang yang zalim, dan setelah itu orang tersebut berkomentar, “Kalian telah menetapkan hukum secara Islami, sementara perbuatan Anda sendiri telah menentang hal tersebut… Bagaimana mungkin hawa nafsu telah mengalahkan kalian. Kalian telah merampas hak Ali as dengan menentang haknya secara jelas.”
Kajian Ilmiah Atas Buku Panduan MUI (14)
- “Melecehkan dan menfitnah Sayidah Aisyah ra tidak pantas menjadi Ummul Mukminin” (hal. 34)
“Salah satu hal yang digunakan oleh saudara-saudara Sunni dalam memasukkan Aisyah ke dalam Ahlulbait adalah bahwa dia Ummahatul Mukminin. Namun, mari kita renungkan fakta – fakta berikut ini.Ambillah contoh seorang mukmin. Secara alamiah, ibu orang itu tentu menjadi ibu orang mukmin. Apakah julukan itu secara otomatis berarti bahwa ibu tersebut adalah seorang mukmin yang baik? Tentu saja tidak. Menjadi ibu seorang mukmin tidak lantas menjadikan ibu tersebut sebagai seorang mukmin yang baik dan saleh. Argumen yang sama dapat pula diterapkan kepada `ibu-ibu kaum mukmin’ (ummahatul mukminin). (Antologi Islam, hal. 59)
“Menurut ajaran Islam seorang mukmin diharuskan menghormati ibunya. Bagaimanapun, bilamana ibu tersebut menentang perintah Rasulullah, melakukan dan memimpin pemberontakan, dan membunuh orang-orang yang tak berdosa, kita, menurut ajaran Islam diharuskan untuk berlepas diri dari ibu semacam itu (maksudnya berlepas diri dari perbuatannya—pen)…” (Antologi Islam, hal. 59)
“Memang, terdapat alasan yang bagus mengapa Allah SWT memberi mereka julukan ‘ibu-ibu Kaum Mukminin’. Allah memberikan julukan ini untuk mencegah orang lain menikahi mereka setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Bukankah kita tidak dapat menikahi ibu kita sendiri? Seandainya Allah SWT tidak memberikan julukan tersebut kepada mereka, beberapa orang yang berpengaruh tentu telah menikahi mereka dan kemudian bisa jadi telah memiliki anak dan memerintahkan orang-orang untuk mengikuti mereka sebagai Ahlulbait, atau bahkan yang lebih buruk, mereka bisa jadi mengklaim sebagai putra-putra Nabi yang sesungguhnya dan mengklaim keNabian bagi mereka, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang berbahaya. Karena itulah Allah SWT memberikan julukan “ibu-ibu kaum mukminin’ kepada mereka untuk mencegah perkawinan semacam itu. (Antologi Islam, hal. 59-60)
- Siti Aisyah menghina Siti Khadijah sehingga Nabi saaw marah. Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dikatakan pada satu kesempatan ketika Nabi Muhammad SAW menyebutkan Khadijah di depannya, maka Aisyah cemburu dan berkata, ‘Apa yang membuatmu teringat kepada seorang perempuan tua di antara perempuan-perempuan tua Quraisy seorang perempuan (dengan mulut yang tak bergigi) bergusi merah dan telah meninggal sejak lama, dan yang Allah telah menggantikan tempatnya dengan memberimu seseorang yang lebih baik dari dia?” Nabi Allah SAW menjadi sangat marah mendengar perkataan itu sehingga rambut beliau berdiri.
- Siti Aisyah cemburu dan memecahkan piring. Aisyah mengakui hal ini sebagaimna diriwayatkan Imam Ahmad, an-Nasai dan Bukhari bahwa, “Shafiyah istri Nabi (suatu ketika) mengirimkan sepiring makanan yang dia buat untuk beliau ketika beliau sedang bersamaku. Ketika aku melihat sang pelayan perempuan, aku gemetar karena gusar dan marah, dan aku ambil mangkuk itu dan melemparkannya. Nabi Muhammad SAW lalu memandangku. Aku melihat kemarahan di wajah beliau dan aku berkata kepadanya, Aku berlindung dari kutukan Rasulullah hari ini.’ Nabi Muhammad SAW berkata, ‘Ganti!’ Aku berkata, ‘Apa gantinya duhai Nabi Allah?’ Beliau berkata, ‘Makanan seperti makanan dia (Shafiyah) dan sebuah mangkuk seperti mangkuknya!”
- Siti Aisyah mencurigai dan memata-matai Nabi saaw. Imam Ahmad dalam musnadnya meriwayatkan bahwa Aisyah berkata, ‘Aku kehilangan jejak Rasulullah SAW. Aku curiga dia telah pergi ke salah seorang istrinya yang lain. Aku pergi mencarinya dan menemukannya sedang bersujud dan berseru, ‘Duhai Tuhanku, maafkan aku!”
- Siti Aisyah menyatakan mulut Nabi saaw berbau busuk. Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya dari Aisyah, “Nabi biasa meminum madu di rumah Zainab binti Jahsy dan suka tinggal di sana/bersama dia (Zainab). Maka Hafsah dan aku dengan diam-diam bersepakat bahwa jika beliau datang kepada salah seorang dari kita, kita akan berkata kepada beliau, ‘Nampaknya kamu telah memakan maghafir (sejenis getah yang berbau busuk), sebab aku mencium bau maghafir dalam dirimu.” Maka diturunkanlah ayat,“Wahai Nabi! Mengapakah engkau haramkan atas dirimu apa yang Allah telah menghalalkannya bagimu….. (QS. at-Tahrim : 1-4).”
- Siti Aisyah mempengaruhi isteri Nabi saaw sehingga Nabi menceraikannya. Ibnu Saad meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW menikahi Malikah binti Ka’ab yang dikenal karena kecantikannya yang menonjol. Aisyah pergi mengunjungi dia dan berkata, “Tidaklah kamu malu menikahi pembunuh ayahmu sendiri?” Dia (Malikah) lalu mencari perlindungan dari Rasulullah, dan atas kejadian itu lalu beliau menceraikannya. Orang-orangnya lalu datang kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, dia masih muda dan kurang memiliki pengetahuan. Dia telah ditipu, karena itu ambillah dia kembali!” Rasulullah SAW menolak permintaan mereka, padahal pembunuh ayah Malikah adalah Khalid bin Khandama.
- Siti Aisyah memerangi imam Ali as sebagai Khalifah yang sah dan adil sehingga menyebabkan tewasnya ribuan orang yang tidak berdosa. (Antologi Islam, hal. 67-69)
Kajian Ilmiah Atas Buku Panduan MUI (15)
- Sayid Syarafuddin Al-Musawi di dalam bukunya Dialog Sunnah-Syiah, hal. 357 menyatakan “Aisyah mempropokasi khalayak dengan memerintahkan mereka agar membunuh Usman bin Affan. ‘Bunuhlah Na’tsal karena ia sudah kafir!’.” (hal. 35)
- Emilia Renita dalam bukunya 40 Masalah Syiah, hal. 83 menyatakan : “Aisyah, Thalhah, Zubair, dan sahabat-sahabat yang satu aliran dengan mereka memerangi Imam Ali as. Sebelumnya, mereka berkomplot untuk membunuh Usman” (hal-35-36)
- Di dalam buku Antologi Islam, tim penulis syiah menyatakan bahwa : “Para pemimpin itu [Aisyah, Thalhah, Zubair, dan lain-lain] tidak menuntut balas atas darah Usman karena mereka sendiri yang ada di balik persekongkolan itu. Mereka berpura-pura melakukan hal itu sebagai cara menjatuhkan kekhalifahan Imam Ali” (hal. 36)
“Semua itu adalah tuduhan dusta dan fitnah yang sangat keji kepada sahabat Nabi yang berdasarkan imajinasi dan cerita-cerita bohong, serta bentuk penodaan terhadap agama dan sejarah Islam.” (hal-36)
“Propokasi yang dilakukan Aisyah terhadap Utsman, dan protes-protesnya atas banyak di antara tindakan-tindakannya, serta cara ia memperolok-oloknya di depan khalayak, dan juga ucapannya, “Bunuhlah Na’tal (Utsman), sebab kini ia sudah kafir!”. Semua itu banyak disebut-sebut dalam kitab yang menukilkan berita-berita sekitar peristiwa-peristiwa waktu itu. Sebagai contoh, apa yang tersebut di dalam kitab Tarikh Ibnu Jarir dan Ibnu Atsir, sebagian dari syair yang mengecam Aisyah :Engkau yang memulai, engkau yang merusakAngin dan hujan (kekacauan) semuanya berasal darimuEngkau yang memerintahkan, Pembunuhan atas diri sang imamEngkau yang mengatakan, Kini ia telah kafirBaca kitab al-Kamil karangan Ibnu Atsir ketika ia menyebutkan mengenai permulaan (prolog) peperangan jamal (jilid III halaman 80). (al-Musawi, Dialog Sunnah-Syiah, hal. 357, catatan kaki no. 352)
“Fatwa Aisyah tentang Usman. Aisyah berkata, “Bunuhlah Na’tsal, sungguh ia telah kafir”, yakni Usman. Lihat Tarikh at-Thabari juz 4, hal. 459; al-kamil fi at-Tarikh oleh Ibnu Atsir al-Jaziri as-Syafii juz 3, hal. 206; Tadzkirah al-Khawas oleh as-Sibth Ibnu al-Jauzi al-Hanafi, hal. 61 dan 64; al-Imamah wa as-Siyasah oleh Ibnu Qutaibah juz 1 hal. 49…; Sirah al-Halabiyah oleh Ali Burhanuddin al-Halabi asy-Syafii juz 3, hal. 286…; Tarikh Ibnu A’tsum hal. 155”.(Sayid Syarafuddin al-Musawi al-Murajaat, hal. 490 catatan kaki no. 2 terbitan al-Majma’ al-Alami li Ahl al-Bait, cet. 2, tahun 1426 H)
- Kalau kita mengikuti apa yang dikisahkan di atas, maka pernyataan Sayid Syarafuddini al-Musawi bahwa Aisyah mempropokasi khalayak untuk membunuh Utsman dengan mengatakan, “Bunuhlah Na’tsal karena ia sudah kafir” adalah kisah yang populer di kalangan para ulama sunni dan mereka menuliskannya di kitab-kitab tarikh mereka dari masa klasik hingga saat ini. Kalau MMPSI tidak menerima kisah di atas karena lemah atau lainnya, maka cukuplah menolaknya dan membuktikannya, bukan menuduhkan kedustaan. Karenanya tutudhan MMPSI bahwa kisah ini buatan dan fitnah dari Sayid Syarafuddin al-Musawi tidaklah benar.
- Begitu pula pernyataan Emilia Renita dalam bukunya 40 Masalah Syiah bahwa : “Aisyah, Thalhah, Zubair, dan sahabat-sahabat yang satu aliran dengan mereka memerangi Imam Ali as. Sebelumnya, mereka berkomplot untuk membunuh Usman” , juga bukanlah tanpa alasan. Pernyataan Ibnu Umm al-Kilab dan syairnya di atas dengan jelas menunjukkan peran Aisyah atas terbunuhnya Utsman : “Berkata Ibn Ummu al-Kilab kepada Aisyah : “Mengapa. Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah orang pertama yang perhatian atas tindakan Utsman, dan engkau telah berkata : “BUNUHLAH SI NA’TSAL! SUNGGUH IA TELAH KAFIR!.Adapun syair Ibnu Umm al-Kilab yang ditujukan kepada Aisyah menyebutkan : “Dari anda bibit disemai, dari anda kekacauan dimulai # Dari anda datangnya badai, dari anda hujan berderai # Anda menyuruh bunuh sang imam. Ia telah kafir, anda yang ucapkan # Jika saja kami patuh, Ia tentu kami bunuh. Bagi kami sang pembunuh adalah sang penyuruh #.
- Sedangkan pernyataan buku Antologi Islam bahwa “Para pemimpin itu [Aisyah, Thalhah, Zubair, dan lain-lain] tidak menuntut balas atas darah Usman karena mereka sendiri yang ada di balik persekongkolan itu. Mereka berpura-pura melakukan hal itu sebagai cara menjatuhkan kekhalifahan Imam Ali”, bukanlah juga sebuah tuduhan dusta dan fitnah keji kepada sahabat, tetapi fakta yang terjadi di antara mereka. Hal itu dengan jelas dapat dilihat dari kisah yang dituturkan ath-Thabari dan Ibnu Atsir di atas. Di mana Thalhah dan Zubair yang jelas terlibat dalam pengepungan dan pembunuhan Utsman, sedangkan Aisyah menjadi propokatornya, dan kemudian mereka bertiga melakukan pemberontakan kepada Imam Ali as dengan mengatasnamakan menuntut darah Usman. Hal itu kemudian di tolak oleh Ibn Umm al-Kilab.
“Setelah gagal mencapai sasaran mereka dengan jalan damai, Thalhah dan Zubair meminta izin kepada Ali untuk pergi ke Mekah dalam rangka melaksanakan umrah. Sebenarnya mereka merencanakan pemberontakan terhadapnya. Konflik yang terjadi, yang dikenal dengan Perang Jamal, terjadi segera setelah Ali memangku jabatan. Perang ini menunjukkan kemerosotan tajam dalam konsepsi moral dan keagamaan tentang khilafah…” (Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History, Mizan, 2004, hal. 134)
“…isteri Nabi yang dimaksudkan di atas adalah Aisyah. Penyelidikan atas riwayat-riwayat keterlibatannya dalam pemberontakan membantu dalam menggambarkan berbagai persoalan yang membahayakan umat Muslim. Terlepas dari maksud kata-kata al-Ahnaf bin Qais, Aisyah bukanlah korban tak berdaya dari kondisi politik. Sebaliknya, ia adalah tokoh utama dalam peristiwa dramatik yang mengarah ke, dan menyertai, kematian Utsman. Pertama, Aisyah menyerukan pembunuhan atas Utsman dengan menuduhnya, seperti telah kita lihat, “telah menghancurkan sunnah Nabi.” Ia kemudian meninggalkan Usman dalam keadaan terkepung di rumahnya, menolak untuk turun tangan atas nama Utsman dalam menghadapi massa yang marah, dan pergi ke Mekkah untuk melaksanakan haji. Akan tetapi, dalam perjalanan pulang, ketika mendengar Ali menaiki jabatan khalifah, ia protes, “Mengapa harus Ali yang berkuasa atas kita? Aku tidak akan masuk Madinah selama Ali memegang jabatan ini.” (Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History, Mizan, 2004, hal. 137).
Kajian Ilmiah atas Buku Panduan MUI (16)
- PENYIMPANGAN SYIAH MENGAFIRKAN UMAT ISLAM
“Seorang ulama Syiah, al-Kulaini mengatakan dalam kitabnya bahwa semua umat Islam selain syiah adalah anak pelacur. (hal. 43)
Kajian Ilmiyah atas Buku Panduan MUI (17) : Tentang Nashibi
“Mirza Muhammad Taqi mengatakan bahwa selain orang syiah akan masuk neraka selama-lamanya. Meskipun semua malaikat, semua nabi, semua syuhada, dan semua shiddiq menolongnya, tetap tidak bisa keluar dari neraka (hal. 43).
Bukan hanya Syiah, para ulama sunni juga menjelaskan bahwa nashibi adalah pembenci Ahlul Bait, khususnya Imam Ali. Ibn Manzur dan Al-Zubaidi menyatakan bahwanawashibadalah kaum yang membenci dan memusuhi Imam Ali as, dan menjadikan itu bagian ajaran akidah mereka, seperti kelompok khawarij (lihat Lisan Al Arab juz 1, hal. 762; Taj al-Arus juz 4). Jadi, nashibi bukanlah sunni, atau keseluruhan umat Islam selain syiah.Karenanya memaknai nashibi dengan ahlussunnah atau selain syiah secara umum adalah penyimpangan dan propokasi yang membahayakan. Apakah Ahlussunnah membenci dan memusuhi ahlul bait dan menjadikan kebencian kepada ahlul bait itu sebagai akidahnya? MMPSI yang ditulis para ulama dan akademisi ini, semestinya menjunjung tinggi kejujuran ilmiyah dan etika akademis. (hd/liputanislam.com)