» » » » » » Demo "Boleh", tapi "Gugat di MK" Lebih baik #JanganMauDiaduDomba

Demo "Boleh", tapi "Gugat di MK" Lebih baik #JanganMauDiaduDomba

Penulis By on Selasa, 13 Oktober 2020 | No comments


Migo Berita - Banjarmasin - Demo "Boleh", tapi "Gugat di MK" Lebih baik. Hari-hari dimasa pandemi Covid 19 telah kita lalui dan masih melanda dunia hingga NKRI, menurut Pak Prabowo Subianto "Rival" Pak Jokowi yang sekarang menjadi Menteri Pertahanan di era Kepemimpinan Pak Presiden Jopkowi yang ke-2 kali bahwa walau Pandemi Covid 19, namun capaian ekonomi Indonesia adalah di peringkat 15 dari 200 an negara yang terdampak ekonominya karena Covid 19, bahkan diperkirakan beberapa tahun lagi Indonesia akan menjadi Kekuatan Ekonomi ke-5 atau ke-6 dunia kata pak Prabowo ketika diwawancarai di TVRI. Pak Prabowo pun menambahkan, Partai Gerindra sudah berjuang dalam terciptanya UU Cipta Kerja tersebut, bahkan hampir 80 persen di akomodir, karena demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Jadi, kalau ada yang "Menentang" atau melakukan "Demo" yang tidak sesuai konstitusi bahkan cenderung merusak kata beliau, diperkirakan ada "Tangan-tangan Asing" yang menggerakkannya, karena mereka tidak ingin Indonesia menjadi Negara Maju atau bahkan menjadi Kekuatan Ekonomi Dunia. Karena kita tahu bersama, kata pak Prabowo bahwa kita sudah ratusan tahun sudah sering diadu-domba. 

Nah, agar pembaca Migo Berita bisa bertambah wawasannya, silahkan baca kumpulan artikel yang telah dikumpulkan hingga tuntas agar tidak gagal paham.

Dilarang Pemerintah, HTI Kalsel Berdakwah Tanpa Membawa Nama HTI

Banjarhits.id, Banjarmasin - Pegiat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Provinsi Kalimantan Selatan tetap melakukan dakwah, meskipun PTUN Jakarta telah menolak gugatan HTI terhadap Surat Keputusan (SK) Menkumham terkait pembubaran organisasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Mantan juru bicara HTI Kalsel, Hidayatullah Akbar, menyatakan pembubaran HTI tidak menyurutkan simpatisan untuk berdakwah sesuai paham yang mereka anut. Menurut dia, simpatisan eks HTI tidak perlu takut ketika berdakwah pada masyarakat.
“Tidak ada yang bisa menghentikan (dakwah HTI) kecuali Allah Subhanahu wata'ala," kata Hidayatullah Akbar kepada banjarhits.id, Sabtu (19/5/2018).
Ia mengakui tidak bisa lagi memakai nama HTI ketika melakukan aktivitas dakwah. Sehingga ia melakukan kegiatan itu melalui cara personal karena aparat bisa membubarkan jika ditemukan label HTI dalam dakwah keagamaan.
Menurut Akbar, dakwah jalur personal ini sesuai basis massa dan profesi setiap simpatisan eks HTI, seperti melalui majelis taklim, guru, dosen, hingga pedagang.
Ia berpendapat bahwa misi HTI dengan pemerintah pada dasarnya serupa dalam memajukan bangsa dan negara. “Cuma beda jalannya,” ujar Hidayatullah.
Ia mengklaim selama berdakwah secara personal ke masyarakat tidak menemui penolakan. Sebab, kata dia, masyarakat mau menerima siar keagamaan meski tahu bahwa dia bekas simpatisan HTI.
Ia menilai pembubaran HTI merupakan ketakutan pemerintah terhadap ajaran Islam yang diyakini oleh HTI, khususnya khilafah. Akbar mengatakan, HTI tidak punya permasalahan konsep Islam.
Sehingga, ia menilai putusan PTUN Jakarta sebagai bentuk kezaliman. Menurut dia, kemungkinan HTI akan banding atas putusan tersebut.
“Rezim ini yang bermasalah, ini merupakan tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah," kata dia. (Muhammad Robby)
Dilarang Pemerintah, HTI Kalsel Berdakwah Tanpa Membawa Nama HTI 
Markas HTI di Tebet (Foto: Anggi Dwiky/kumparan)
Sumber Utama : https://kumparan.com/banjarhits/eks-hti-kalsel-masih-menyemai-ajaran-ke-masyarakat/full
 

Rocky Gerung dan Tokoh pendiri KAMI di KalSel yang didaulat juga sebagai Pembicara


muslimahnews.com adalah salah satu website yang condong "bela" KHILAFAH versi HTI


Demonstran Tolak Omnibus Law di Banjarmasin Diklaim Capai 1.300 Orang

STARBANJAR - Ombak massa aksi penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Kalimantan Selatan menyeruak. Massanya lebih besar dari aksi yang sudah-sudah. Bahkan polisi kalah jumlah.

"Massa kami 1.300, menurut data yang kami himpun" jawab Ahdiat Zairullah, ketua BEM Universitas Lambung Mangkurat yang tergabung dalam aliansi BEM se-Kalsel.

Jumlah itu terbukti ketika massa aksi penolakan omnibuslaw memenuhi 2 ruas Jalan Lambung Mangkurat. Menggaungkan lagu Indonesia Raya, massa aksi jalan menerjang DPRD Kalsel sambil mengikat tangan satu sama lain.

Sontak, aksi dorong mendorong antara aparat terjadi. Berbeda dengan yang biasanya, kali ini aparat kepolisian dipukul mundur. Bahkan ada yang sampai tersungkur ke bawah. Terinjak massa

Panik, pihak aparat langsung meluncurkan pasukan anti huru-hara. Dilengkapi dengan perisai dan pentungan, mau tidak mau mereka memukul mundur massa aksi yang melanggar batas.

Seorang aparat polisi menyanyikan salawat badar. Mungkin dibenaknya massa akan tenang. Namun aksinya malah membuat massa makin ricuh. Orang dibelakang barisan semakin mendorong, petugas huru hara semakin memukul mundur.

Berada dipaling depan, membuat Ahdiat harus menerima pentungan tugas huru hara. Dorongan tersebut tak bisa dihentikan kecuali dirinya bersuara."Michrophone polisi tolong diberi kepada kami! Biar massa bisa ditenangkan!!" teriak Ahdiat.

Sempat terjadi drama mic. Mic yang diberikan polisi tidak berfungsi. Para peserta juga mengaitkan hal tersebut dengan drama mic di dpr ri (5/10/2020) yang lalu.

"Satu komando, Satu perjuangan. Kita mundur dulu kawan" komando Ahdiat.

Meski sudah memakai mobil pengeras suara, perintahnya tak sampai terdengar ke belakang. Maklum, massanya lebih dari 1000 orang. Belum lagi, mereka orang sipil bukan orang militan. Tidak terlatih seperti aparat.

Selang beberapa waktu akhirnya massa bisa diredam. Itu terjadi karena wakil rakyat Kalimantan Selatan yang mereka tunggu sudah turun ke jalan bersama mereka.

Ketua DPRD Kalsel, Supian HK bersama Plt Gubernur Rudy Resnawan memastikan bahwa pihak pemprov satu sikap bersama massa aksi. Mereka pun berkomitmen menyampaikan aspirasi ini langsung ke Istana Negara.

Demonstran Tolak Omnibus Law di Banjarmasin Diklaim Capai 1.300 Orang  
(Source: Starbanjar)

Sumber Utama : https://starbanjar.com/read/demonstran-tolak-omnibus-law-di-banjarmasin-diklaim-capai-1-300-orang

Klarifikasi, Koordinator BEM se Kalsel : Tak Ada Perwakilan Mahasiswa Ikut ke Jakarta

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Banyaknya kabar di media sosial yang menyebutkan bahwa ada 3 orang perwakilan mahasiswa yang berangkat ke Jakarta bersama Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) kemarin.

Koordinator Wilayah BEM se Kalsel, Ahdiat Zairullah, mengklarifikasi atas pemberitaan tersebut, bahwa tidak ada perwakilan mahasiswa atau peserta aksi yang mendampingi rombongan DPRD Provinsi Kalsel berangkat ke Jakarta.

“Waktu aksi sudah saya katakan tidak ada Mahasiswa yang pergi ke Jakarta, hanya DPRD Kalsel yang pergi ke Istana untuk menyampaikan tuntutan kita,” ucapnya, Jumat (9/10/2020).

Ahdiat menambahkan, 2 orang perwakilan mahasiswa hanya mengawal rombongan DPRD Kalsel sampai ke Bandara Syamsuddin Noor.

“Hanya bertugas mengawal Ketua DPRD Kalsel dan Ketua Komisi tadi, untuk berangkat ke Istana. Sekaligus memastikan Ketua DPRD Provinsi Kalsel benar-benar berangkat ke Jakarta,” ujarnya.

Seperti yang diberitakan sebelumnya, Ketua DPRD Provinsi Kalsel, Supian HK mengajak perwakilan mahasiswa atau pengunjuk rasa yang ikut aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja untuk ikut bersama dirinya dan rombongan ke Istana Negara untuk menyampaikan langsung tuntutan mereka.

Namun hal ini ditolak oleh mahasiswa, mereka tidak mau kalau hanya 3 orang yang diberangkatkan.

Sehingga mereka memutuskan untuk mengawal perkembangan tuntutan mereka dengan cara melakukan komunikasi secara intens dengan Ketua DPRD Provinsi Kalsel dan Plt Gubernur Kalsel yang juga turut berangkat ke Jakarta.(airlangga)


Sumber Utama : https://klikkalsel.com/klarifikasi-koordinator-bem-se-kalsel-tak-ada-perwakilan-mahasiswa-ikut-ke-jakarta/

Larang Siswa Demo, Kepala Sekolah Ramai-ramai Dukung Instruksi Disdikbud Kalsel

INSTRUKSI Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Kalimantan Selatan terhadap seluruh siswa untuk tak terlibat langsung dalam aksi tolak omnibus law, memantik respons dari sejumlah Kepala Sekolah.

KEPALA SMA Negeri 4 Banjarmasin, Tumiran misalnya. Ia menyambut baik instruksi tentang larangan demontrasi terhadap siswa di gedung DPRD Kalsel, yang diperkirakan terjadi pada Kamis (15/10/2020) mendatang.

Sepakat dengan pernyataan Kadisdikbud Kalsel, Tumiran menilai tugas utama siswa adalah belajar. Sehingga menurutnya, sangat disayangkan apabila waktu belajar dipakai untuk ikut demonstrasi.

Terlebih kata dia, siswa SMA maupun SMK tidak memahami betul apa yang menjadi tuntutan dalam aksi yang mereka lakukan nanti.

“Pelajar itu ya tugasnya belajar enggak usah ikut-ikutan aksi, Mereka juga belum tentu paham betul permasalahannya tapi ikut juga kan sayang,” kata Tumiran, Selasa (13/10/2020).

Dalam melakukan pengawasan, Tumiran mengaku sudah menginstruksikan para wali kelas dan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan untuk melaporkan data kehadiran siswa setiap hari.

“Untuk melakukan pengawasan saya menggunakan beberapa jalur, yaitu dari jalur wali kelas, kemudian juga dari jalur wakasek kesiswaan, sama juga saya memantau aplikasi yang digunakan untuk proses belajar,” ungkapnya.

Tumiran pun menegaskan ada sanksi tegas sesuai ketentuan pihak sekolah, bila siswa kedapatan tak menghiraukan instruksi dari Kadisdikbud Kalsel itu.

“Kalau ada ya tentu kami akan kenakan sanksi sesuai instruksi yang diberikan kadisdikbud. Semoga saja tidak ada siswa kami yang ikut-ikutan lah,” pungkasnya.

Senada itu, Kepala SMK Negeri 5 Banjarmasin, Syahrir mengaku sudah menyiasatinya dengan tindakan preventif, melalui wali kelas masing-masing.

Karena kata Syahrir, wali kelas rutin berkoordinasi dengan orang tua atau wali murid, dalam hal melakukan pengawasan.

“Instruksi dari Kadis sudah saya antisipasi dengan tindakan preventif melalui wali kelas yang selalu berkoordinasi dengan orang tua,”ujarnya.

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2020/10/14/larang-siswa-demo-kepala-sekolah-ramai-ramai-dukung-instruksi-disdikbud-kalsel/

ULM Tak Larang Mahasiswa Ikut Aksi, Rektor: Itu Hak Konstitusi

REKTOR Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof Dr Sutarto Hadi tak mau ambil pusing soal surat edaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang terbit pada 9 Oktober 2020 lalu.

DIKETAHUI, surat edaran Kemendikbud bernomor 1035/E/KM/2020 itu berisi tentang imbauan pembelajaran secara daring dan sosialisasi Undang-Undang Cipta Kerja dari pihak kampus terhadap mahasiswa.

Selain itu, dalam surat tersebut terdapat imbauan menohok terhadap mahasiswa agar tak terlibat dalam aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang dinilai dapat membahayakan keselamatan jiwa.

Menurut Sutarto, di negara demokrasi seperti ini semua orang punya hak mengemukakan pendapat. Oleh karenanya, pemangku kebijakan di kampus tidak berhak melarang mahasiswa melakukan unjuk rasa.

“Kita mewanti-wanti saja. Kalau kita misalnya melarang itu tidak ada hak. Karena itu hak konstitusi semua orang,” katanya kepada wartawan di Banjarmasin, Selasa (13/10/2020).

Sutarto menegaskan, pihaknya telah meneruskan surat edaran berisi imbauan agar mahasiswa tak terlibat aksi susulan tolak omnibus law nanti.

“Kita hanya mengimbau, sama halnya dengan edaran dari Dirjen Kemendikbud. Kalau larangan itu kaya kewajiban. Pada dasarnya kita tidak punya hak untuk melarang,” ujarnya.

Kendati demikian, pria berusia 54 tahun itu tetap berharap agar mahasiswanya dapat menyampaikan aspirasi dengan baik, tanpa harus ada aksi. Meskipun harus tetap aksi, ia meminta mahasiswa agar tak bersikap merusak. “Kalau misalnya ada anarkis, menghancur, menghasut atau apapun. Itu kan sudah jelas melanggar hukum. Artinya mereka melanggar hukum, dan akademis akan memberikan sanksi,” pungkasnya.

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2020/10/13/ulm-tak-larang-mahasiswa-ikut-aksi-rektor-itu-hak-konstitusi/

Mahasiswa Kalsel Tegaskan Mosi Tidak Percaya kepada Presiden-DPR RI

GELOMBANG penolakan atas pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Omnibus Law menjadi UU, belum juga surut. Setelah aksi besar-besaran yang diikuti oleh elemen masyarakat sipil dari mahasiswa, buruh, hingga pelajar, serentak di berbagai wilayah di tanah air pada Kamis (8/10/2020) lalu, pemerintah belum juga menuruti kemauan massa.

KOORDINATOR Wilayah Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Kalimantan Selatan (BEM Seka), Ahdiat Zairullah mengatakan jauh-jauh hari sebelum DPR RI memparipurnakan RUU Omnibus Law pihaknya sudah melakukan serangkaian aksi penolakan, baik melalui audiensi dengan DPRD Kalsel, menandatangani petisi dan pernyataan sikap, hingga turun ke jalan. Tuntutannya nyata, gagalkan RUU Omnibus Law dan kebijakan yang tidak pro rakyat.

“Namun pada kenyataannya Pandemi Covid-19 malah DPR RI mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan mengesahkan RUU Omnibus Law, dengan mengesampingkan tuntutan dari rakyat,” ujar Ahdiat kepada awak media, Minggu (11/10/2020) sore.

Aksi yang digelar beberapa waktu lalu, juga belum mendapatkan hasil yang diinginkan. Massa menginginkan DPRD dan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Kalsel, Rudy Resnawan, untuk menemui presiden Jokowi guna meneken Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) membatalkan pengesahan RUU Omnibus Law.

Namun sayangnya, alih-alih ditemui Presiden, Ketua DPRD Kalsel dan Plt Gubernur malah disambut Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di istana negara. Massa yang turun aksi terlanjur kecewa, Perppu pun urung diterbitkan.

Ahdiat menyebut Perppu mutlak untuk diteken Presiden, karena jika tidak kelompok sipil akan terus turun ke jalan, dengan membawa massa yang lebih banyak.

Langkah DPR RI, kata dia melunturkan semangat reformasi, dan cenderung kembali kepada zaman otoriter Orde Baru.

Ketua BEM Universitas Lambung Mangkurat ini menegaskan BEM-SeKa menyatakan mosi tidak percaya kepada pemerintah dan DPR RI serta berniat menjegal UU Omnibus Law hingga titik darah penghabisan.

Ahdiat menyebut opsi melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi bukan alternatif jalan yang terbaik, mengingat revisi UU tentang Mahkamah Konstitusi (MK) awal September lalu, syarat akan kepentingan politis. Sehingga ketika dibawa ke MK, Judicial Review besar kemungkinan akan ditolak MK.

Dia menegaskan besar kemungkinan massa akan turun lagi ke jalan, mengingat presiden belum ada tanda-tanda akan menerbitkan Perppu. Bahkan menyuruh untuk mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

Ahdiat mengatakan BEM-Seka bersama elemen gerakan lainnya, akan menggelar konsolidasi pada hari Selasa mendatang. Untuk merumuskan langkah yang akan diambil, sebelum memutuskan untuk menggelar aksi. “Kami ingin mengutip puisi Wiji Thukul, Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: lawan,” tandasnya.

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2020/10/11/mahasiswa-kalsel-tegaskan-mosi-tidak-percaya-kepada-presiden-dpr-ri/

Serap Tuntutan Protes Omnibus Law, DPRD Kalsel Undang Beragam Elemen Warga

GELOMBANG penolakan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja di Kalimantan Selatan masih belum juga surut. Terbaru, DPRD Kalsel mesti menggelar rapat bersama banyak elemen untuk membahas hal ini secara serius.

PERTEMUAN dengan melibatkan unsur mahasiswa, serikat pekerja, tokoh agama, masyarakat dan barisan akademisi, di gedung DPRD Kalsel di Banjarmasin, Selasa (13/10/2020) siang.

Pertemuan siang itu juga menindaklanjuti koordinasi dan harmonisasi penyampaian aspirasi masyarakat Kalsel, setelah sebelumnya Ketua DPRD Kalsel Supian HK dan Plt Gubernur Rudy Resnawan bertolak ke Kantor Kementerian Sekretariat Negara di Jakarta, untuk menyampaikan tuntutan aksi penolakan terkait UU Ciptaker.

Dipimpin Ketua DPRD Kalsel Supian HK serta didampingi pimpinan daerah lainya dari Pemprov Kalsel, Polda, Kejati Kalsel, Korem101/Ant.

Sejumlah bahasan pun menyeruak dalam forum tersebut, terutama dari perwakilan Konfederasi Sarikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kalsel, Sumarlan, tegas menyatakan jika pertemuan kali ini tak bisa menghasilkan apa yang diharapkan.

Karena meski meminta masukan dan membahas, namun ketiadaan dokumen fisik UU yang baru disahkan DPR itu menyulitkan untuk ditelaah dan dibahas karena sekadar meraba-raba terutama pasal yang dipermasalahkan didalamnya.

“Saya kira ini sulit dan mungkin banyak yang belum mengetahui secara persis UU ini. Jadi untuk kali ini tidak ada yang perlu dibahas,” tegas Sumarlan.

Senada, Ketua FSPMI Kalsel, Yoeyoen Indarto, juga menyatakan tetap menolak UU baru itu, karena dinilai banyak merugikan kaum pekerja secara keseluruhan.

Ketua FKUB Kalsel Mirhan, menyatakan apresiasi kepada DPRD Kalsel yang telah berupaya keras menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat Kalsel. Namun ke depan dia pun meminta agar dokumen fisik atau salinan UU Ciptaker ini dihadirkan diforum rapat guna memudahkan.

Ketua DPRD Kalsel Supian HK yang memimpin rapat menegaskan dirinya bersikap sama dengan mahasiswa dan para pekerja yang sama menolak UU itu. “Saya juga menolak undang-undang itu,” tegasnya di depan forum rapat.

Namun dia juga mengakui keterbatasan yang dimilik untuk lebih jauh memperjuangkan aspirasi masyarakat yang dititipkan kepada DPRD. Karena yang punya kewenangan adalah di DPR dan pemerintah pusat.

Politisi Golkar ini menyarankan, yaitu hanya ada satu cara untuk dapat mewujudkan aspirasi masyarakat yang keberatan terhadap beberapa pasal di UU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut yakni dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU).

Diapun berjanji untuk mendapatkan salinan naskah UU Omnibus Law Cipta Kerja yang berisi sekitar 905 halaman ini, untuk nantinya dicermati pasal-pasal mana yang perlu dilakukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK)

“Kami secepatnya akan meminta naskah UU ini. Halamannya kan banyak 905 bukan semudah membuka telapak tangan untuk mempelajari itu. Kalau Itu sudah baik kita ajukan, kalau itu kurang baik kita revisi bersama-sama atau diperpukan, ”pungkas Supian.

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2020/10/14/serap-tuntutan-protes-omnibus-law-dprd-kalsel-undang-beragam-elemen-warga/ 

Sebut UU Ciptaker Titipan Non Muslim (Aliran Kiri), Marissa Haque Harus Ke ON Clinic

Bulan september Jokowi diterpa isu Komunisme dengan sangat luar biasa, sekarang bukan Oktober Jokowi diterpa isu Kapitalisme karena UU Cipta Kerja dituduh sebagai titipan orang kaya, penguasaha dan cukong yang identik dengan kapitalisme.

Sekarang Marissa Haque kembali menyerang pemerintahan dengan isu Komunisme kembali. Tidak tanggung-tanggung, kali ini non-muslim juga kena serangan Marissa Haque. Berikut postingan IG Marissa Haque, dikutip dari pikiran-rakyat.com :

"Rasa gelisah ini. UU Omnibus Law Cipta Kerja akan membawa petaka, tapi akan mengenai siapa sajakah? Membayangkan Firaun ditenggelamkan Allah Azza wa Jalla, sungguh ngeri!," tulis Marissa Hague di Instagram, Kamis, 8 Oktober 2020.

"Sengeri salah satu isi UU terkait jam istirahat buruh yang diberikan minimal setengah jam, setelah empat jam bekerja terus-menerus. Lalu waktu salatnya kapan dong?" tulis Marissa Haque melanjutkan.

"Jeda lunch break yah dipakai untuk lunch setengah jam. Lalu salat, setelah itu lalu ke kamar kecil, dan sebagain, pada setengah jam lainnya lagi. Baru bisa bersemangat kerja kembali untuk empat jam berikutnya, bukankah begitu?" tulis Marissa Haque menjelaskan.

"Apakah para pembuat UU Omnibus Law Cipta Kerja itu orang Islam/Muslimin? Kok tidak membayangkan waktu untuk menjalankan kewajiban salat buat umat Islam?," tulis Marissa Haque menambahkan.

"Apa benar dibuat oleh DPR RI yang Muslim? Jangan-jangan ada yang buatkan titipan dari non-Muslim atau pendukung aliran kiri di DPR RI," tulis Marissa Haque.

Dari komunis, ke kapitalis, lalu kembali lagi ke komunis. Jadi sebenarnya Jokowi kapitalis atau komunis? Kalau dua-duanya, berarti non-blok, tidak bisa disebut komunis atau kapitalis dong?

Artinya sudah sesuai dengan semangat para bapa bangsa. Dan memang begitulah sekarang kebanyakan negara, yang diambil yang bagusnya dari kedua ideologi tersebut, lalu dicocokan dengan kondisi negara masing-masing.

Inilah akibat kebencian sudah mendarah daging, akhirnya jadi pusing sendiri kan para kadal gurun ini? Padahal Amin Rais yang pernah jadi senior Marissa di PAN baru saja membuat video, menuduh Jokowi kapitalisme. Ini anak buah kok bisa balik lagi ke komunis?

Lalu yang diributkan bukan masalah yang penting lagi, masalah yang sebenarnya sama saja yaitu soal jam kerja buruh yang minimal adalah setengah jam. Mari kita lihat buktinya.

Di Pasal 79 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 sebagai berikut :

(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. (2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;

Lalu pada draft UU Ciptaker berbunyi :

(1) Pengusaha wajib memberi: a. waktu istirahat; dan b. cuti. (2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi: a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;

Perhatikan kalimat yang penulis bold!! Itu adalah waktu jam istirahat kerja. Tidak ada perubahan bukan? Kenapa harus diributkan? Pakai menuduh komunis, aliran kiri, sampai non-muslim segala.

Setengah jam adalah minimal, soal sholat atau ibadah selama ini memangnya seperti apa? Tidak pernah ada ribut-ribut kan? Artinya perusahaan juga mengerti soal ibadah bagi muslim, minimal setengah jam artinya kalau sholat jumat bisa 1 jam.

Yang seperti ini silakan tanya pada masing-masing perusahaan sebelum melamar bekerja, jika jam istirahat tidak cocok, silakan cari perusahaan lain yang cocok dengan keinginan buruh. Gitu aja kok repot sampai bawa-bawa aliran kiri dan non muslim. Cape deh!!

Dan lagi, Marissa Haque paham tidak kalau komunis itu dekat dengan kaum buruh atau proletar dan berusaha melawan kapitalisme yang dikuasai para pengusaha? Kalau UU Cipta Kerja adalah titipan aliran kiri, tidak mungkin buruh demo. Atau jangan-jangan buruh yang demo kemarin sudah berubah jadi kapitalis, sehingga demo UU buatan komunis?

Tampaknya ada yang tidak beres dengan otak Marissa Haque, entah rumah sakit mana yang bisa mengobati dia? Mungkin bisa dicoba ke ON Clinic, walaupun jujur penulis tidak tahu itu rumah sakit apa. Semoga saja setelah ke sana, pikiran Marissa Haque lumayan waras. Begitulah kura-kura.

Sumber : https://bekasi.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-12819840/soroti-waktu-istirahat-buruh-marissa-haque-curiga-uu-ciptaker-titipan-non-muslim-atau-aliran-kiri

https://nasional.kompas.com/read/2020/02/15/09501021/omnibus-law-ruu-cipta-kerja-aturan-soal-cuti-hamil-cuti-haid-dan-kesempatan?page=all

Sebut UU Ciptaker Titipan Non Muslim (Aliran Kiri), Marissa Haque Harus Ke ON Clinic

Sumber Utama : https://seword.com/politik/sebut-uu-ciptaker-titipan-non-muslim-aliran-kiri-FBfEFeuDDH 

Gerak Senyap Jokowi Hambarkan Provokasi KAMI di Aksi 1310!

Joko Widodo bukan presiden yang kaleng-kaleng, planga-plongo, atau pun lembek seperti yang dikatakan oleh banyak orang termasuk pada SJW yang membenci polisi itu. Joko Widodo mendengarkan suara orang-orang yang ada di barisan rakyat, untuk membangun kebijakan.

Selain membangun kebijakan, Joko Widodo adalah presiden yang mendengar rakyat untuk memutuskan sesuatu yang sifatnya merugikan mereka. Ketika rakyat berteriak mahalnya BBM, Joko Widodo membubarkan Petral. Harga minyak di Indonesia pun perlahan stabil. Ada yang ngamuk-ngamuk, merasa prihatin dan kejang-kejang.

Ketika rakyat berteriak tentang isu radikalisme, Joko Widodo malah dengan langkah tegapnya, datang menguasai panggung aksi 411 di Monas. Mengklaim bahwa tindakan mereka itu biasa saja, nggak ada urusannya sama politik nasional yang perlu dikhawatirkan. Datang merebut panggung oposisi.

Saat rakyat berteriak bahwa hak-hak mereka tidak diperhatikan oleh perusahaan, Joko Widodo pun mempercepat penerbitan Omnibus Law UU Ciptaker yang membuat banyak bohir dan politisi yang selama ini fokus mengeruk uang, langsung kembang kentut. Eh maksudnya kembang kempis.

Mereka kepanasan dan tidak bisa berbuat banyak. Akhirnya, elit-elit politik masa lalu turun gunung, meneriakkan bahwa Jokowi adalah rezim paling khianat. Rezim paling laknat, bahkan para petinggi agama pun dijadikan alat propaganda. Mulai dari Rizieq dan orang-orang yang dianggap sebagai panutan agama di kubu pendukung Prabowo dan Anies.

Ini tidak ada urusannya sama agama. Ini urusannya jelas dengan kepentingan uang yang mulai habis terkikis di era Joko Widodo. Jokowi adalah presiden yang diam. Tapi dia tidak diam saja. Dia pun mendengar. Diam-diam dia mendengar dan menerima suara-suara rakyat, yang terkadang ditahan-tahan oleh lingkaran dalamnya.

Joko Widodo tetap bisa mendengar. Dinding istana presiden meski tebal, tetap bisa meneruskan suara dari rakyat yang paling berekonomi rendah sekalipun. UU Omnibus Law adalah ambisi Jokowi untuk menyejahterakan rakyatnya. Sayangnya, niat baik Joko Widodo ini merupakan ancaman bagi korporat keparat.

Selain menggunakan ulama, para politisi ini menggunakan otot para mantan jenderal, mantan pecatan dan sebagainya. Sama-sama masuk ke barisan sakit hati, membuat mereka kuat. Kuat karena sharing burden yang sama, yakni rasa sakit hati dan duka lara yang disimpan. Makanya gak heran kalau ada Anies, Gatot, Udin, RR, dan orang pecatan yang ada di balik penolakan UU Omnibus Law dengan peranan mereka yang rapih sekali.

Gatot deklarasi KAMI jauh-jauh hari dengan begitu kencang. Penolakan tidak membuat dia mundur. Bahkan semakin ditolak, ia berpikir namanya akan semakin terkenal. Ya terkenal gak jelasnya. Lalu Udin juga main belakang, koordinasi sana sini.

Kemudian RR tim hore di media sosial. Koar-koar tentang ekonomi. Dipermalukan oleh Sri Mulyani yang jadi menteri keuangan terbaik untuk ke sekian kalinya. Rocky Gerung pun dibuat gak bisa mikir sama Adian Napitupulu. Sok jadi filsuf, jangankan punya istri yang bawel, istri pun dia tidak ada. Padahal kan syarat jadi filsuf adalah punya istri yang bawel. Katanya gitu ya. Kalau nggak salah Aristoteles.

Kembali ke Joko Widodo, saat ini kita melihat kondisi negara ini sedang sangat panas, karena hoax-hoax yang diciptakan jelang pengesahan UU omnibus law. Teman saya pun mendadak jadi kadrun terkait pro dan kontra dari UU ini. Lucunya, mahasiswa yang saya sebut mahapekok itu gak pernah belajar sama sekali dari sejarah.

Kecuali 1998, seluruh demo mahasiswa yang dikerjakan di era Joko Widodo ini banyak sekali merupakan demonstrasi yang ditunggangi. Kalau sekali ditunggangi saja sudah langsung hilang keperawanan, lah ini mahapekok malah ditunggangi berkali-kali, malah merasa bangga.

Sekali lagi, teriakan-teriakan rakyat didengar oleh Joko Widodo. Jokowi akhirnya bergerak dalam senyap, lewat kepolisian Republik Indonesia. Polri bergerak dengan cepat, penangkapan-penangkapan aktor dan elit politik, khususnya 8 anggota dari KAMI, koalisi yang didirikan oleh si Udin dan Gatot.

Hal ini dilakukan oleh Polri, untuk menutup banyak sekali potensi rusuh yang terjadi. Akhirnya, penggeledahan para eksekutor lapangan dilakukan. Demo kok bawa ketapel dengan peluru paku yang diasah? Ini mah bukan ingin demo, ini bikin rusuh.

Sekali lagi, Bravo Joko Widodo. Pak Presiden yang bisa bergerak dengan senyap. Polisi dan TNI bersatu padu, untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara yang kita cintai, dari guncangan para politisi busuk yang dari luar prihatin, tapi dari dalam hatinya busuk seperti daging yang sudah berbelatung. Aksi KAMI jadi hambar.

Begitulah belating-belatung.

Gerak Senyap Jokowi Hambarkan Provokasi KAMI di Aksi 1310!

Sumber Utama : https://seword.com/politik/gerak-senyap-jokowi-hambarkan-provokasi-kami-di-K8Cih7Eeqj 

Demo Omnibus Law, Jokowi di-Ahok-an?

Omnibus Law disahkan. Buruh membara. Provokator bersorak. Gemuruh penyusup masuk. Rusuh. Para penunggang demo bereaksi. Aksi buruh, ditunggangi. Pucuk dicinta ulam tiba. Momen menghantam Jokowi datang. Skenario pemunduran Jokowi diluncurkan.

Diawali dengan mogok buruh secara nasional 3 hari berturut-turut. Target 5 juta buruh demo di seluruh negeri tumpah ruah di jalan. Seluruh jalan, sudut kota, depan istana, depan DPR, seluruh kota-kota besar dipenuhi demo. Demo dimana-mana. Seruan tolak Omnibus Law berubah.

Para sponsor demo bersemangat. Nasi bungkus dan amplop meluncur. Kolaborasi pengusaha hitam, mafia, koruptor, para mantan ikut bereaksi. Saatnya tiba. Demo sambung-menyambung. Jokowi harus disingkirkan. Omnibus Law harus dicabut. Omnibus membuat para mafia mati lemas. Kekuasaan kerajaan kepala daerah tersunat.

Kalkulasi pendemo berdering. Watak Jokowi yang keras kepala mustahil mengeluarkan Perpu. Maka demo harus berlanjut. Mogok nasional dilanjutkan. Berminggu-minggu. Target tinggi. Pabrik harus lumpuh. Produksi berhenti. Barang menjadi langka. Inflasi melambung. Ekonomi terjun bebas. Indonesia bangkrut. Politik menjadi kacau.

Demo terus berlanjut. Semakin membara. Rusuh di seluruh pelosok negeri. Penjarahan terjadi. Kriminal melambung tinggi. Mahasiswa terjun all out. Mantan Ketua DPR, Marzuki Ali yang ikut membiayai demo, menjadi pahlawan. Lalu ada kepala daerah ikut mendukung demo. Ikut memancing di air keruh.

Demo cabut Omnibus Law berubah menjadi demo turunkan Jokowi. Pentolan KAMI tampil memimpin demo. KAMI ikut menebeng mahasiswa. Strategi Amin Rais 1998 diulangi. Menebeng dan merecoki mahasiswa. Muncul pahlawan kesiangan. Barangkali ada Jenderal muncul. Haus kekuasaan. Ingin menjadi plesiden-plesidenan.

Skenario dibalik demo dieksekusi. Suasana mencekam. Pasukan 212 yang sudah terlatih berdemo terjun ke lapangan. Disusul pasukan elit demo FPI, GNPF diterjukan. Demo bertambah besar. Membesar dan membesar. Muncul slogan Tritura. Salah satunya, turunkan Jokowi.

Dipuncak kekacauan. Muncul kabar halilintar. Arab Saudi melepas Rizieg. Riziq pulang. Memimpin revolusi. Ia akan disambut gegap-gempita. Imam besar datang sebagai pemimpin revolusi. Bermimpi seperti Imam Khomeini di Iran.

Revolusi Meletus. Indonesia runtuh, berubah jadi Suriah, Iran dan Libia. Perang saudara berkecamuk. Hancur lebur. Pertumpahan darah habis-habisan. Di puing-puing kehancuran, dibangun khilafah yang diimpikan. Tetapi hanya utopia. Indonesia hilang dari sejarah.

Segampang itukah? Itu hanya mimpi. Mimpi di siang bolong para lawan politik Jokowi. Mimpi basah para pecundang, para penunggang, para penebeng dan para pengkhianat demokrasi. Masih lebih banyak anak negeri yang setia kepada NKRI dan Pancasila.

itulah sebabnya kaum buruhpun cepat sadar. Buruh ternyata sangat mudah disusupi. Buruh sangat mudah ditebeng. Buruh ternyata dijadikan menjadi alat. Buruh Sadar. Langsung berhenti demo. KSPI berubah haluan. Menggugat Omnibus Law di Mahkamah Konstitusi.

Mahasiswa juga mulai ragu. Banyak yang termakan hoax. Ternyata tidak membaca teks asli Omnibus Law. Yang dibaca hoax yang berseliweran. Memalukan.

Para pemilik pabrik ternyata tidak panik. Mereka tidak kabur. Sudah kebal didemo. Sudah kebal mogok. Tenang-tenang saja. Menunggu situasi kondusif. Lalu pabrik jalan lagi.

Aparat keamanan bersiaga tinggi. Dedikasi polisi dan tentara mengawal demo luar biasa. Adu domba Polri dan TNI tak laku. Polisi bertindak cepat menangkap dan mengamankan para provokator dan perusuh. Tak ada tempat bagi perusuh.

Masyarakat Indonesia percaya kepada Panglima TNI Hadi Tjahjanto dengan 400 ribuan tantara pembela negeri. Percaya kepada Kapolri Jenderal Idham Azis dengan 400 ribuan polisi. Percaya kepada naluri kontra teroris Mendagri Tito Karnavian, penciuman luar biasa Muldoko dan pertahanan ketat ala Luhut Panjaitan. Para pecundang akan mudah ditebas.

Hari ini ada lagi demo-demoan yang sok gagah-gagahan. Saksikanlah para ahli demo 212, PA 212, GNPF, Anak NKRI bereaksi. namun biarkanlah mereka berdemo. Syukuri mereka pendemo. Berkat mereka kita semakin kebal melihat demo.

Masyarakat Indonesia sudah terlatih menyaksikan demo. Rakyat Indonesia kini tidak panik soal demo. Demo adalah bagian demokrasi. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Masyarakat sudah kenyang demo. Demo dan demo adalah bagian dari kehidupan.

Demo menjadi biasa. Demo sebuah rutinitas. Maknanya sudah menyusut. Sudah mengerut. Demo tidak lagi ampuh. Demo Omnibus Law, Jokowi di-Ahokan gagal.
Demo Omnibus Law, Jokowi di-Ahok-an?
Sumber Utama : https://seword.com/politik/demo-omnibus-law-jokowi-di-ahokan-uX7iTbB6HP 

Dana Demo FPI 500 juta? Ini Murah Atau Diobral, Ya?

Kemaren di group-group whatsapps dan media social viral potongan pembicaraan dari Akun whatsapp milik Habib Muhsin Alatas, pejabat FPI dan potongan bukti transfer dari Bank Central Asia dimana nama rekening penerima bernomor 8690405xxx adalah Muhsin Alatas dan penyetor bernama Sugeng Prayitno, dengan jumlah uang yang disetor sebesar Rp 500 juta, tertanggal 9-10-2020, dengan keterangan "DP Rumah". Namun, bukti transfer itu tidak memiliki tanda otentik bank bahwa transfer sudah dilakukan. Penjelasan atas bukti transfer tersebut terbaca pada potongan pesan whatsapp seolah-olah pihak pengirim mengabari orang yang benama "Habib Muhsin Al..." bahwa ada "titipan dari beliau" yang sudah dia transfer lalu ada kalimat "sehat dan sukses acaranya ya Bib". Sontak, Netizen +62 menyangka ini adalah dana untuk demo yang digelontorkan ke FPI, yang memang telah mengumumkan akan turun ke jalan ikut berunjuk rasa pada tanggal 13 Oktober 2020, ikut-ikutan untuk menolak UU Omnibus Law.

Jauh sebelum dua potongan informasi ini menyebar, memang sudah banyak yang mempertanyakan, "Kok tumben FPI ga ikut meramaikan?" lalu beberapa orang berkomentar, "Dana demonya belum cair kali..." dan sebagainya dan sebagainya. Kesingkronan antara pengumuman FPI yang akhirnya memutuskan untuk ikut meramaikan demo menolak UU Omnibus Law tanggal 13 Oktober 2020 dan pengiriman uang sebesar Rp 500 juta itu, tak bisa menghindarkan pemikiran Netizen +62 untuk tidak mengkaitan keduanya.

Saya pribadi menduga kalau bukti transfer seperti itu, siapapun bisa membuatnya. Toh pada bukti transfer tersebut tak ada tanda otentifikasi pihak bank atas pengiriman uang sebesar Rp 500 juta. Sementara pesan whatsapp yang beredarpun bisa saja dibuat. Artinya benar atau tidaknya ada transfer uang sebesar Rp 500 juta pada petinggi FPI, hanya Allah SWT yang tahu.

Ya sudah, anggap saja benar kalau FPI menerima dana yang disinyalir adalah dana demo. Lalu saya jadi berpikir, kalau untuk mendemo UU Omnibus Law dimana FPI mengundang begitu banyak pihak untuk turun ke jalan, apa iya dananya cuma Rp 500 juta? Apa semurah itu jasa FPI untuk berdemo? Atau apakah karena sedang pandemi corona, harga jasa demo FPI sedang diobral? Jujur saja, dihitung cepatpun, uang sebesar Rp 500 juta itu kecil untuk satu demo besar menentang UU Omnibus Law. Saya berkeyakinan, kalau melihat ukuran besarnya demo yang dilakukan, biaya yang diperlukan pastinya di atas angka Rp 1 miliar.

Iseng-iseng, saya coba menghitung anggaran yang harus dikeluarkan. Dana demo itu pastinya tidak mungkin seluruhnya dikucurkan untuk biaya operasional, pasti ada sebagian yang harus masuk ke "kas" FPI untuk "dana cadangan pengembangan organisasi". Apalagi kita tahu, Imam besar FPI di Saudi Arabia sana juga perlu dukungan dana untuk mensupport kehidupan dia dan keluarga sehari-hari. Katakan, untuk uang kas FPI itu sebesar Rp Rp 250 juta. Sisanya Rp 250 juta lagi, mungkin sudah habis hanyak untuk membayar sewa mobil yang mengangkut logistik dan membeli keperluan logistik itu sendiri, seperti mobil orasi, pengeras suara, bendera, baliho, spanduk dan perlengkapan logistik lain seperti yang terlihat pada video yang menyebar di group-group whatsapp yang katanya mengerahkan 7 armada yang mengangkut minuman bermerek "Oke Oce", roti, nasi kebuli, peralatan dan keperluan medis dan lain-lain, yang jumlahnya hanya sekitar 2000an. Kalau jumlah pendemo ditaksir sekitar 10.000 orang, biaya untuk nasi bungkus dan air mineral saja sudah Rp 250 juta kalau kita hitung biaya per orang Rp 25.000. Bukankah biasanya kalau FPI berdemo di setiap nasi bungkus itu diselipkan uang berwarna biru dengan nominal Rp 50.000? Terus bagaimana bisa mengatur Rp 250 juta untuk semua orang yang berdemo? Atau yang dibagi uang hanya mereka yang "terdaftar", sementara peserta demo lainnya turun ke jalan atas dasar suka rela? Atau mungkinkah FPI tak menyisihkan sedikitpun dana untuk kas mereka? Atau memang uang sejumlah Rp 500 juta hanya baru "DP" dulu? Entahlah. Yang pasti, apa yang sudah diyakini khalayak ramai adalah bahwa FPI selalu ikut berpastisipasi berdemo atas isu apapun juga selama ada pihak yang membayar mereka.

Anehnya, bersamaan dengan turut demonya FPI menentang Omnibus Law juga keluar berita tentang "akan segera pulangnya Imam Besar mereka karena masalah cekal dan denda sudah dihapuskan. Apa mungkin FPI bertukar jasa? Dari pihak FPI bersedia berdemo dengan biaya super hemat, dari pihak mereka "memberesi urusan cekal dan denda sang Imam Besar"? Entahlah... yang pasti, hari ini FPI jadi berdemo.

Ngomong-ngomong, video motor yang nebas pagar kawat berduri, konyol juga yah... itu pagar tingginya saja lebih dari tinggi badan orang dewasa dan ukurannya sangat besar nan kentara, kok bisa ditebas begitu saja? Apa si pengendara motor pikir dia punya mantra untuk membuat pagar kawat terbuka dan memberi jalan untuk dia lewat? Ada-ada saja emak-emak nih... 

Dana Demo FPI 500 juta? Ini Murah Atau Diobral, Ya?

Sumber Utama : https://seword.com/umum/dana-demo-fpi-500-juta-ini-murah-atau-diobral-ya-WeA4Fx43oZ

Membandingkan Jokowi Dan HB X Tidak Apple To Apple

Kejadian demo besar di Kota Gudeg, Yogyakarta, hingga terjadi pembakaran sebuah bangunan restaurant lawas bernama "Legian", cukup menyakitkan Raja dan masyatakat Yogyakarta. Yogyakarta yang terkenal tenang, damai dan beretika tiba-tiba terlihat menjadi begitu bringas. Padahal, di Yogya ini, jangankan anak-anak pelajar, preman saja sopan.

Dan seperti jeritan Risma di Surabaya, atau Ridwan Kamil di Bandung atau Ganjar Pranowo di Semarang, semuanya geram karena yang berdemo dan merusak kota mereka ternyata bukan warga setempat. Para pendemo yang tega merusak fasilitas umum hampir semuanya berasal dari luar kota. Benar kata Risma, "Mengapa tidak kau rusak saja kotamu sendiri!!!". Secara logika, hanya orang gila yang tega merusak rumahnya sendiri. Tapi orang lain yg bukan pemilik rumah, kalau masuk rumah orang lain dibarengi amarah, merusak dan menghancurkan rumah orang lain pasti tak punya rasa bersalah. Yang ada hanya rasa puas dan merasa jagoan sudan bisa merusak rumah orang.

Mungkin karena dasar itulah, makanya di dalam Kita Undang-Undang Hukum Pidana ada satu pasal "Memasuki pekarangan tanpa ijin". Pasal ini bisa digunakan jika seseorang yang tidak kita hendaki memaksa untuk masuk pekarang dan rumah kita. Entah dengan niat mau merusak atau menguasai atau hanya memasuki tanpa ijin sepertj maling.

Saat Sultan Yogya turun ke jalan untuk mengecek kondisi pasca demo dan menemukan banyaknya kerusakan daerah malioboro yang baru saja dipercantik olehnya, Sultanpun murka hingga mengeluarkan titah pada masyarakat Yogya untuk melawan jika ada demo lagi. Titah Raja ini langsung disambut dengan gembira oleh warga Yogyakarta. Apalagi setelah kejadian pengrusakan kmrn, warga jogja sendiri yang kemudian turun ke jalan membersihkan lokasi demo hingga terlihat sepetti semula, kecuali bagian-bagian yang dirusak.

Titah Raja Yogya ini rupanya mendapatkan apreciasi tak hanya dari warga yogya saja, tetapi cukup menggugah masyarakat lain dari luar Yogyakarta. Katanya "Nah ini baru pemimpin berani!!". Setelah itu orang luar Yogya ini membandingkan keberanian Presiden Jokowi dengan keberanian Sultan Yogya. Dan kerancuanpun mulai bermunculan.

Dilihat dari sudut pandang manapun, Presiden Jokowi tak bisa dibandingkan dengan SULTAN atau RAJA Yogyakarta. Atau istilah lain itu "tidak apple to apple". Kalau membandingkan Raja Yogya dengan Raja Inggris masih nyambung karena keduanya sama-sama raja. Dari sisi hirarki, kewenangan dan kekuasaan, raja dan raja sama. Walaupun Jokowi adalah Presiden yang memimpin seluruh wilayah Indonesia, termasuk Yogyakarta, namun hirarki kewenangan dan kekuasaan seorang Presiden tidak sama dengan kewenangan seorang raja. Raja bertanggung jawab langsung pada Tuhannya. Lah Jokowi? Dia bertanggung jawab pada rakyat melalui dewan perwakilan rakyat.

Sultan Yogya bertitah karena dia berada di dalam wilayah kekuasaannya sebagai seorang raja. Coba Sultan Yogya suruh bertitah di Solo atau Klaten, Ganjar dari Semarang bisa langsung mengernyitkan alis. Bagi masyarakat Yogya, ketika Sultan HB X berada di dalam keraton Hadiningrat, beliau adalah raja. Tetapi ketika HB X berada di luar Yogyakaryq, beliau adalah Gubernur DIY. HB X di dalam Yogyakarta bisa menjadi gubernur dan itu terjadi ketika berhadapan dengan pihak legislatif. Namun di laur dari urusan politik, HB X adalah Raja.

Masih ingat kejadian adanya warga Yogya yang akhirnya diexilekan Sang Raja untuk keluar Yogya karena dia menggugat Sultan ke pengadilan atas peraturan pelarangan kepemilikan lahan? Keputusan seperti itu hanya bisa dilakukan oleh seorang Raja. Warga Yogya sendiri memandang Sultannya sebagai Raja bukan Gubernur. Dan Gubernur Yogyakarta adalah Sultan Yogya. Artinya tidak ada pilkada untuk memilih gubernur baru di yogyakarta. Dan ketika itu Titah raja untuk melawan pada demonstran, maka itu adalah hukum bagi warganya. Dan hukum itu harus ditaati. Tetapi hanya berlaku di dalam wilayah Yogya saja. Pihak demonstran tak bisa memperkarakan jika warga yogya bertindak anarkis terhadap mereka. Karena tindakan mereka dilindungi dan didasari titah raja.

Apakah titah Jokowi kemudian akan langsung menjadi sebuah hukum??? Tentu saja tidak!!! Dari sejak dulu pun Jokowi sudah MENYERUKAN "LAWAN!!!". Tak hanya lawan para deminstran, tapi jokowi menyerukan pada rakyat indonesia untuk melawan korupsi, melawan pembodohan, melawan pelaku pungli apalagi pelaku anarkis. Tapi itu hanya sebuah seruan yang tidak memiliki sifat perlindungan dan tidak memiliki kekuatan hukum.

Keberanian seseorang itu pasti karena memiliki dasar. Peribahasa mengatakan "Berani karena benar" dan bukan "berani konyol". Sultan Yogya berani bertitah pada warganya untuk melawan demonstran karena Yogya adalah rumah dia, Malioboro adalah halaman rumahnya. Dia berani karena dia benar. Sementara sebagai seorang presiden keberanian Jokowi hanya bisa diperlihatkan jika dia sudah memastikan pihakan dia sudah benar. Jangan berani konyol. Sudah tahu jurang dan tidak ada jembatan, karena mau dibilang berani, kalian melompat juga. 

Membandingkan Jokowi Dan HB X Tidak Apple To Apple

Sumber Utama : https://seword.com/politik/membandingkan-jokowi-dan-hb-x-tidak-apple-to-apple-qCmtwmJRL1 

Saat Denny Siregar Bongkar Kaitan DP 500 Juta dan Kode Taman Mini Dalam Demo!

Salah seorang pegiat media sosial, Denny Siregar mencoba memetakan kekuatan dibalik kerusuhan demo penolakan RUU. Setelah Cikeas berhasil dikuliti akun digeeembok, kini giliran KAMI dan Cendana yang dikulik. Pada dasarnya para pembenci Jokowi tergabung dalam barisan oposisi (PKS dan Demokrat), golongan yang berambisi ingin berkuasa (Gatot dan Papa Nobita), golongan ektrimis yang digebuk dan dibubarkan (FPI dan HTI), serta gerombolan sakit hati karena asetnya disita (Cendana). Mereka inilah yang kini bahu membahu mendukung demo penolakan UU cipta kerja.

Kini kembali lagi apa kaitan cuitan Denny Siregar dengan semua ini. Kemarin malam Denny mencuitkan mengenai salah satu aset keluarga yang hendak diakuisisi negara senilai 500 triliun lebih.

"Ada rencana negara akan menyita aset2 yang dikuasai oleh keluarga.. Nilainya triliunan rupiah. Ehm, pantes ribut ya... 🙃" tulis DennySiregar7.

Disertai link berita berjudul "Pengamat: Negara bisa sita aset jika pengelolaan tidak optimal". Disitu tertulis berita dari kontan.co.id yang menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) menertibkan aset negara seperti Gelora Bung Karno (GBK), Kemayoran, dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), agar lebih optimal bagi pemasukan negara. Pasalnya, dari temuan KPK, aset negara seperti TMII, belum secara optimal menyumbang pemasukan keuangan.

Misalnya, terkait aset TMII, KPK menemukan bahwa, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 51 Tahun 1977 tentang Taman Mini Indonesia Indah, aset tersebut dimiliki oleh negara yang dikelola oleh Yayasan Harapan Kita. Naskah penyerahan TMII dari Yayasan Harapan Kita kepada Pemerintah Pusat pun sudah ada. Sebagaimana diketahui, Kemensetneg berkoordinasi dengan KPK terkait penertiban dan pemulihan BMN senilai Rp571,5 triliun.

Sebenarnya sudah bukan rahasia lagi kalau rezim orba seringkali menggunakan yayasan untuk menampung uang negara. Seperti Yayasan Harapan Kita yang dibentuk untuk membiayai proyek TMII yang sebenarnya merupakan ambisi dari Ibu Tien Soeharto. Dari berita yang saya baca di tirto, proyek tersebut menelan biaya hingga 200-300 juta dollar. Sungguh suatu pemborosan luar biasa tatkala negara masih dalam kondisi kesusahan.

Demi memuluskan ambisinya, istri Soeharto mengundang para istri Gubernur se Indonesia untuk mempengaruhi suami mereka. Nantinya semua miniatur kebudayaan tiap daerah akan ditaruh di sana. Ambisi Ibu Tien ini tercetus setelah mengunjungi Disneyland di Amerika Serikat. Pasalnya uang yang nanti diperuntukan untuk pembangunan berasal dari dana pusat dan daerah. Inilah yang memunculkan gelombang penolakan keras hingga penyekapan sejumlah aktivis kala itu. Sangat jauh dari pembangunan yang dilakukan Jokowi saat ini yang selalu memanfaatkan investor di dalam dan luar negeri sehingga meminimalkan pengeluaran APBN.

Dan kini kita tahu dari berita penyitaan aset tanggal 29 September tersebut merembet pada kerusuhan yang terjadi di bulan Oktober ini. Dalam twit selanjutnya, Denny Siregar menggambarkan kode wilayah dan kaitannya dengan uang senilai setengah milyar sebagai DP untuk ormas ekstrimis yang hobi demo.

"Kodenya : Taman Mini." tulis Dennysiregar7.

"Bossnya terima 500 juta utk DP rumah.. Umatnya panas2an di jalan. Sial banget emang para buih dilautan.. 😄😄" tambah Dennysiregar7.

Berkaitan dengan cuitan tersebut, beberapa netizen di kolom komentar mengunggah foto kuitansi sejumlah uang dan rekaman wa percakapan seseorang.

Article

Kalau ditarik benang merahnya antara keluarga Cendana dan kedekatan beberapa pimpinan ormas radikal, maka dipastikan kalau mereka adalah dalang untuk demo yang ada. FPI, HTI dan ormas lainnya hanyalah antek Cendana untuk membuat kerusakan di lapangan sebagai balas dendam Cendana karena pemerintah kita karena mengusik harta keluarga mereka.

Sebagai rakyat yang waras dan memiliki nasionalisme tinggi, harusnya kita percaya dan mendukung setiap kebijakan pemerintah saat ini. Di saat kita mendapat pemimpin yang berada di jalur yang benar, maka tekanan untuk menjatuhkannya akan berdatangan dari banyak arah. Semoga Jokowi tetap diberi kekuatan menghadapi para pengacau negara. Kalau bisa tak usah segan lagi. Tak hanya taman mini, tapi istana dan keseluruhan aset keluarga Cikeas dan Cendana harus jatuh ke tangan negara.

Begitulah kura-kura

Referensi:

https://amp.kontan.co.id/news/pengamat-negara-bisa-sita-aset-jika-pengelolaan-tidak-optimal?

https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/sejarah-tmii-proyek-orde-baru-dari-ambisi-tien-soeharto-cJwh

Saat Denny Siregar Bongkar Kaitan DP 500 Juta dan Kode Taman Mini Dalam Demo!

Sumber Utama : https://seword.com/politik/saat-denny-siregar-bongkar-kaitan-dp-500-juta-dan-rszT72DyCK 

Dalam Kondisi Pandemi Covid-19, Demo Besar Kemaren Ada Untungnya Juga Buat Pemerintah!

Eiiit! Jangan senang dulu dengan judul yang saya tulis di atas. Jangan berpikir, saya khususnya atau Seword pada umumnya, jadi setuju dengan adanya demo kemaren. Tetap, pada dasarnya tidak ada seorangpun yang akan setuju pada aksi demo yang anarkis, tak ada yang setuju pada aksi demo yang merugikan masyarakat umum dan tidak akan ada yang setuju pada demo yang alasannya tidak masuk akal. Demo-demo seperti yang kemaren itu hanya untuk menunjukkan kebodohan. Dan Demo menentang UU Omnibus Law adalah satu dari sekian demo yang dilakukan tak ubahnya seperti sebuah pertunjukan kebodohan pihak yang menjadi lawan pemerintahan.

Mungkin para Bandar dan Dalang Demo berpikir bahwa kondisi negara dalam keadaan diserang virus yang berbahaya menjadi satu keuntungan bagi mereka sebagai daya tekan pada pemerintah untuk memenuhi tuntutan mereka. Karena mereka berpikir, pemerintah pasti ketakutan angka kasus covid-19 meningkat tajam karena demo dilakukan tanpa menerapkan protokol kesehatan. Dan karenanya, ini bisa menciptakan kluster baru, yaitu kluster demo. Pemikiran seperti itu memang tidak salah. Tapi di sisi lain, si Bandar dan Dalang Demo ini pun telah menempatkan rakyat yang tak tahu apa-apa menjadi bahan uji coba terhadap virus yang berbahaya itu. Karena bukan tanpa alasan seluruh negara di dunia menyarankan rakyatnya untuk mentaati protokol kesehatan, yaitu menjaga jarak, bermasker, selalu mencuci tangan dan menjaga fitalitas tubuh. Tapi yang namanya "Saran" yang cuma sebatas saran. Ditindaklanjuti syukur, tidak ditindaklanjutin terserah. Karena pada akhirnya, masalah keamanan dan kesehatan pribadi akan kembali pada keputusan pribasi masing-masing. Bukan pada pemerintah atau pihak asuransi.

Kondisi negara yang sedang berupaya mencari solusi memerangi virus corona, berbagai macam cara di lakukan, termasuk melakukan uji coba-uji coba. Misalnya saja uji coba melonggarkan PSBB untuk mengetahui apakah tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap virus corona menjadi tinggi atau rendah. Terus ada uji coba vaksin, yang menggunakan 1600 manusia yang disuntuk vaksin, untuk mengetahui dampak dari obat pencegah virus corona jika PSSB 100% dicabut. Artinya, ketika uji coba vaksin itu berhasil dan mulai diproduksi massal, lalu disuntikkan pada semua orang sehat, maka virus corona tak bisa lagi mengancam dan masyarakat bisa mulai menjalani kehidupan normal. Bahkan, Terapi Plasma Kovalensen saja, bisa diterapkan sekarang ini dan terbukti menyembuhkan, juga melalui beberapa uji coba.

Apa yang terjadi di lapangan, khususnya kota Jakarta, pelonggaran PSBB ternyata mengakibatkan munculnya kluster-kluster baru, seperti kluster perkantoran, kluster rumah tangga dan lain-lain. Kemunculan kluster baru ini adalah bukti bahwa tingkat kewaspadaan masyarakat Jakarta sangat rendah. Mungkin memang mereka perlu membuktikan sendiri bahayanya virus corona. Kalau sudah terjangkit baru panik, lalu baru meyakini bahwa protokol kesehatan itu penting adanya. Tapi kejadian seperti ini, jelas tak bisa dibiarkan supaya dialami semua orang. Pemerintah tetap berusaha untuk memperingatkan rakyatnya dengan menginformasikan dampak yang cukup signifikan jika salah satu keluarga kita terinfeksi virus corona.

Dasar memang orang Indonesia ini adalah bangsa yang memiliki nyawa minimal dua, peringatan dari pemerintah malah diserang, diputar balikkan, dicurigai bahkan ditentang dengan mengatakan bahwa virus corona ini sebenarnya tidak berbahaya. Tes rapid, tes swab dan tes-tes lain dikatakan hanya akal-akalan pemerintah untuk menarik keuntungan, PSBB cuma menyulitkan perekonomian dan masih banyak lagi provokasi-provokasi penentangan atas peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Oh ya, dulu Menteri Kesehatan Terawan juga sempat mengatakan bahwa virus corona ini tidak berbahaya. Tapi jangan salah, pernyataan "tidak berbahaya" dari seorang yang memiliki ilmu kesehatan berbeda dengan "tidak berbahaya" yang dinyatakan oleh orang yang tidak paham apa yang sedang dia katakan. Pernyataan Menteri Kesehatan Terawan bahwa virus corona tidak berbahaya itu dengan catatan melakukan protokol kesehatan. Sementara pernyataan orang awam bahwa virus corona tidak berbahaya dinyatakan karena mereka menolak untuk taat pada protokol kesehatan.

Nah, demo besar-besaran kemaren itu melibatkan ribuan bahkan puluhan ribu manusia yang berbaur di satu tempat tanpa memperhatikan protokol kesehatan. Kalau saya jadi pemerintah, saya akan tersenyum dan berterima kasih pada Bandar dan Dalang Demo karena telah berhasil membuat puluhan ribu orang turun ke jalan dengan suka rela, atau karena dibayar oleh mereka, di tengah bahaya pandemi corona. Setelah demo selesai, saya akan cek, berapa tingkat penyebaran covid-19 di antara peserta demo. Jika angkatnya rendah, maka saya akan membuat kebijakan "Indonesia sudah terlepas dari pandemi corona", jika angkatnya masih atau lebih tinggi, maka saya akan mencatatnya bahwa virus corona masih belum bisa ditaklukan. Tapi saya tidak akan memberitakan hasil penelitian saya itu pada media. Saya juga tidak akan merubah kebijakan yang sudah ditetapkan.

Yang pasti, jika pemerintah sendiri yang harus mengadakan uji coba dengan meminta puluhan ribu masyarakat untuk berbaur pada satu tempat, hanya untuk mengetahui tingkat penyebaran virus corona, selain harus mengeluarkan anggaran yang besar, saya yakin 1000%, uji coba itu akan diserang, ditolak, bahkan pemerintah akan menjadi bulan-bulanan. Nah, dengan adanya demo kemaren, pemerintah bisa melihat demo itu dari sisi positifnya sebagai ajang uji coba tingkat penyebaran virus corona. Gratis pula!! Biaya hanya dikeluarkan untuk renovasi fasilitas umum yang dirusak, dibakar dan dijarah para pendemo. Tapi biaya itu pun jatuhnya ke anggaran masing-masing daerah.

Hhhmmm... benar kata pepatah, "Dibalik musibah selalu ada hikmah!" 

Dalam Kondisi Pandemi Covid-19, Demo Besar Kemaren Ada Untungnya Juga Buat Pemerintah!

Sumber Utama : https://seword.com/politik/dalam-kondisi-pandemi-covid-19-demo-besar-kemaren-uPIYvUDW56 

Inikah Siasat Anies Buat Jatuhkan Jokowi?

Sudah 3 tahun Anies menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Permainan kata-kata maupun taktik gimmick-nya sudah jadi makanan sehari-hari sama warga Jakarta atau pemerhati masalah politik. Akhirnya, permainan kata dan gimmick itu pun mulai basi. Apa pun yang dilakukan oleh Anies, sudah makin gampang buat dibaca untuk menarik dugaan ke arah politik. Anies pun mulai kehilangan kelihaiannya dalam komunikasi politik. Taktiknya kerap dikuliti oleh para netizen, pengamat politik maupun politisi.

Ketika Anies mengaku sebagai orang Jawa ketimbang orang keturunan Arab. Publik pun mengambil kesimpulan bahwa itu sekedar akal-akalan saja buat memuluskan ambisi Anies di 2024. Padahal kalau orang lain sih, bilang aja “orang Indonesia”, titik, selesai, nggak jadi masalah, ya kan? Begitu pula ketika publik memergoki keseragaman berita di media, yang akhirnya diduga sebagai upaya “marketing” Anies terhadap dirinya sendiri. Yakni dengan memakai narasi “suara bergetar”, melukiskan dengan sentimentil bagaimana besarnya perhatian Anies terhadap para warga Jakarta korban pandemi Covid-19. Padahal kalau betul-betul perhatian, Anies pasti akan melarang digelarnya demo oleh PA 212 dan deklarasi oleh KAMI. Ya nggak? Jadi ketahuan, narasi “suara bergetar” itu sekedar gimmick. Tak ubahnya dengan tukang bakso yang bikin promo agar jualannya laris.

Anies sudah sangat mentok. Di berbagai survei elektabilitas, posisinya terus tergerus oleh kepala daerah lain, seperti Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil. Yang ironisnya (bagi Anies) tidak pernah berkoar-koar mau jadi gubernur rasa presiden. Anies sudah nyungsep di sana, dari urutan 2 turun terus ke urutan 4. Ini memalukan. Pamor Anies juga sudah sangat redup, terlebih dengan adanya banjir dan banjir lagi di Jakarta. Hari ini masih banjir kan? Di lebih dari 120 RT dengan jumlah pengungsi lebih dari 1.000 orang. Ini banjirnya yang tidak bisa menyalahkan Bogor lagi, karena memang gara-gara hujan deras di Jakarta. Mana janjinya bikin naturalisasi dan drainase vertikal? Mana janjinya katanya bisa memprediksi banjir sehari sebelumnya? Wajar kan kalau pamor Anies itu hanya tertinggal di para buzzer, para pembenci Jokowi yang militan dan politisi/partai politik yang sekedar pansos.

Nggak heran, jika kemudian Anies harus terus berusaha agar namanya tetap eksis. Bahkan di demo anarkis, terlihat sekali kalau Anies nampaknya berdiri di dua kaki. Satu kaki di pemerintahan, satu kaki di para demonstran. Sementara kepala daerah lain sejak awal adanya demo sudah berusaha mengajak pendemo untuk tidak bertindak anarkis, atau marah sekalian seperti Bu Risma di Surabaya yang ngamuk karena kotanya dirusak. Tapi Anies beda. Sudah malam, sudah rusak-rusak, baru deh dateng, telat banget. Hitung-hitung kerusakan, tanpa menampakkan rasa marah. Padahal bukannya APBD DKI Jakarta sudah tekor alias defisit? Baru deh Anies minta para pendemo untuk tertib hahaha…. Kenapa ngomongnya belakangan sih? Kenapa nggak di awal atau paginya?

Memang momen demo penolakan Omnibus Law ini merupakan momen yang hot buat jadi panggung politik. Anies pun nampaknya memanfaatkan momen itu semaksimal mungkin. Dengan strategi sama dengan narasi “suara bergetar”. Ini bisa dilihat dari seragamnya pemberitaan di berbagai media. Seperti di bawah ini.

Article

Article

Benarkah demikian? Ceritanya, memang hari Jumat itu (9/10) Presiden Jokowi menggelar rapat (virtual) dengan mengundang sejumlah menteri dan dihadiri oleh semua gubernur. Sesuai agenda, yang diberikan kesempatan bicara memang hanya 5 gubernur, yakni dari Lampung, Jabar, Jateng, Kalbar dan Sulsel. Bukan karena ada apa-apa dengan Anies, tapi memang agendanya seperti itu Sumber. Lalu tidak ada satu pun gubernur yang boleh menyampaikan isi rapat tersebut. Alasannya karena sesuai komitmen para gubernur, hasil rapat hanya akan disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi Sumber.

Namun, dari judul-judul media di atas, seakan-akan Anies ini dibungkam oleh Presiden Jokowi. Padahal jika dibaca isi beritanya, tidak ada satu pun perkataan Anies yang menyatakan hal itu dengan tegas. Saya kutip dari cnnindonesia.com. "Tentang rapat gubernur, seluruh keterangan disampaikan oleh Bapak Presiden, jadi kami yang hadir tidak bisa memberikan keterangan. Karena pesannya seperti itu. Kami jadi tidak bisa menyampaikan keterangan apa pun," kata Anies Sumber. Sama dengan isi berita Tempo.co di bawah ini.

Article

Article

Ada pula media lain yang menulis tajuk berita yang benar, namun isi beritanya masih tendensius.

Article

Namun, ada pula media yang menuliskan berita apa adanya. Tanpa bumbu-bumbu narasi seakan Anies dibungkam oleh Presiden Jokowi atau seakan Anies tidak boleh menyampaikan aspirasi warganya. Ini saya temui di berita yang ditulis oleh jaringan Pojoksatu.id.

Article

Jadi yang benar adalah, Anies, seperti para gubernur lainnya, memang tidak boleh memberikan keterangan soal isi rapat kepada media. Karena akan disampaikan sendiri oleh Presiden Jokowi. Itu haknya presiden. Bagaimana fakta bahwa Anies hanya berkata tidak bisa memberikan keterangan, berubah menjadi narasi “Anies tidak diberi kesempatan bicara oleh Jokowi” hingga disebut “Anies tidak berkutik”? Kok bisa? Ini adalah sebuah misteri. Kalau awak media yang salah paham, masak bisa salah paham berjamaah? Tidak ada satu pun kutipan kata-kata Anies yang dengan jelas menyatakan soal “tidak diberi kesempatan bicara oleh Jokowi” lho. Jadi siapa yang bikin nih? Masihkan soal Anies cari panggung?
Inikah Siasat Anies Buat Jatuhkan Jokowi?
Sumber Utama : https://seword.com/politik/inikah-siasat-anies-buat-jatuhkan-jokowi-0LPXHGDZBs 

Jokowi : Membunuh Lawan Dengan Tenaga Dalam

Ada satu Pembaca setia Seword yang begitu kentara menyuarakan kegeramanan terhadap 2 hal, pertama kesal pada kelompok radikal, perongrong NKRI, kadrun dan sejeninya, kedua kesal pada pemerintahan yang tidak kunjung menindak biang dari kesal dia yang pertama. Pemikiran atau ide-ide dia yang out of nalar, sempat membuat saya berpikir, "Ini orang kawan atau lawan yang nyaru jadi kawan yah? Ide-Ide yang dia lemparkan justru membahayakan, atau dia memang seorang yang tidak paham?". Sejak itu saya mulai memperhatikan setiap komentarnya, hingga akhirnya sampai pada kesimpulan kalau buat saya si Pembaca ini sudah masuk ke tahap "psikis aral".

Pepatah mengatakan, dalam keadaan yang serba tidak pasti dan sulit, sebaiknya prinsip memancing "Dapat ikannya tenang airnya" dilakukan dan itu langkah yang sangat bijaksana. Well, itu kalau memancing di danau. Kalau memancing di laut, apa bisa dilakukan? Tak ada pilihan, tetap harus bisa, karena kita sudah berada di tengah lautan, harus menangkap ikan hiu dan menjaga air laut tetap tenang. Lalu apa yang kita perlukan? Pastinya cuma dua hal, karena peralatan pancing sudah memadai. Apa dua hal itu? Yaitu kesabaran dan ketelitian. Karena yang susah itu menjaga air laut tetap tenang dan itu pasti akan memakan waktu yang lebih lama dibandingkan kalau hanya menangkap ikannya saja. Kalau kailnya kecil, dapatnya pasti ikan kecil dan menangkap ikan kecil, air laut mungkin hanya beriak saja, tidak akan menjadi gelombang. Tapi ini ikan hiu yang harus ditangkap. Pastinya kita harus menggunakan jaring untuk menangkapnya dan memancingnya tidak di atas perahu, tapi di atas kapal besar, bukan? Mungkinkah menangkap ikan hiu, yang terkenal sebagai ikan karnifora, pendendam dan berenang dalam 'kawanan' itu, dilakukan tanpa perlawanan yang mengakibatkan air laut bergelombang besar? Mungkin kita harus bertanya pada Bangsa Jepang yang memang terkenal sebagai pemburu ikan-ikan besar.

Peribahasa "Dapat ikannya tenang airnya" ternyata tak semudah yang dibayangkan. Jangankan memancing ikan hiu, memancing ikan mas di danau saja, mungkin tidak ada yang bisa mendapatkan ikannya tanpa membuat air danau bergoyang. Ikan hiu yang saya ungkapkan di atas adalah kelompok yang sekarang ini sedang membuat gelombang demo untuk melibas pemerintahan Jokowi. Dan rakyatpun sudah banyak yang menebak siapa Dalang dan Pendana di balik semua gelombang demo-demo besar itu. Rakyat yang geram seperti Pembaca Seword yang saya tulis di atas juga tidak sedikit. Bahkan saya bisa bilang, kondisi psikis rakyat atas demo-demo, yang sama sekali tidak bermanfaat ini, sudah mencapai ke tahap "aral" dan meragukan kemampuan pemerintah, untuk menindak Pendana dan Dalangnya. Tapi Indonesia sekarang, bukan seperti Indonesia di jaman orba dulu, dimana baru diduga saja, sudah diciduk, dipenjara tanpa diadili bahkan dihilangkan. Indonesia sekarang sudah benar-benar berdiri sebagai sebuah Negara Hukum, yang artinya setiap tindakan yang dilakukan wajib memiliki dasar hukumnya karena UUD 1945 menggariskan bahwa setiap warga negara memiliki kesamaan hak dan kedudukan di mata hukum.

Rakyat Indonesia sekarang bisa menggugat negara!! Dan baru di jaman Jokowi, sejarah mencatat "Presiden kalah dalam persidangan melawan rakyat!!". Ini BUKTI bahwa pemerintahan yang sekarang benar-benar berupaya untuk menegakkan UUD 1945 dari sisi hukum.

Terkait Bandar dan Dalang demo, mengapa pemerintah begitu sulit untuk menindak mereka??? Katanya BIN sudah mengantongi nama-nama mereka, tindak dong segera agar Indonesia aman!! Lalu ramai-ramai rakyat Indonesia menyudutkan pemerintah dengan mengatakan "Jokowi tidak tegas!"

Wooooh tidak semudah itu Ferguso!! Si Bandar dan si Dalang juga punya otak dan akal. Mereka tahu betul cara melawan dan siapa yang dilawan. Apalagi perangkat hukum disediakan oleh Negara buat semua mahluk yang hidup di Indonesia tanpa terkecuali. Kalau rakyat banyak yang berkomentar seakan-akan lebih tahu dan lebih pintar dari pemerintah, itu karena si rakyat tak pernah berhadapan langsung dengan masalah hukum. Jadinya asbun!

Jokowi jelas tak bisa menindak si Bandar dan si Dalang tanpa bukti yang otentik dan legal. Apalagi dengan adanya Mahfud MD di dalam tubuh pemerintahan, Jokowi pasti sangat memahami sekali bahwa setiap tindakan akan berujung di Pengadilan. Akan konyol akhirnya, jika tindakan yang dilakukan berubah jadi bumerang karena keabsenan bukti otentik dan legal atas nama-nama Bandar dan Dalang Demo yang ditangkap.

Tapi jangan salah, Jokowi sudah membuktikan bahwa dirinya punya tenaga dalam dan pernah membunuh si ikan hiu di lautan dan menjaga air laut tenang.

Kita masih ingat, bagaimana Prabowo tak berkutik saat Jokowi menyentil masalah ratusan ribu hektar tanah negara yang dikuasai Prabowo. Walaupun kemudian JK menyatakan bahwa Prabowo memiliki tanah-tanah itu secara legal, karena dia sendiri yang "menjualnya" pada Prabowo sebesar USD 150 juta cash, tidak utang. Tapi kita tidak pernah tahu, mungkin saja dibalik layar, Jokowi masih mengeluarkan sentilan-sentilan lain terkait harta Prabowo yang tidak legal, yang jika Prabowo tidak menyerah, akan dia ungkap ke masyarakat dan menjadi mangsa Netizen +62. Dan hari ini, Prabowo sudah menjadi kucing rumahan DI RUMAH JOKOWI. Ini adalah bukti, bagaimana Jokowi membunuh lawan untuk bungkam dengan tenaga dalam.

Kita juga tahu bahwa ada kekayaan Keluarga Cendana yang dibekukan di Switzerland yang jumlahnya hingga mencapai Rp 7000 triliun. Tapi bagaimana detail upaya negara "memulangkan" harta rampokan keluarga Cendana ke kas negara tidak diberitakan, karena rakyat pasti tidak paham kalau perkara ini wajib melewati prosedur hukum terlebih dahulu. Dan yang namanya lawan, itu pas melawan, mereka tidak akan diam. Apalagi jika undang-undang yang melindungi kepemilikan harta rampokan masih hidup dan belum dimatikan atau belum dirubah, makin pelik saja pemerintah menarik uang rampokan masuk kandang.

Itu baru dua berita yang diumumkan walaupun hanya sebatas permukaan. Pergerakan Jokowi dalam upaya memancing ikan hiu di laut tanpa menimbulkan gelombang air laut pasti terus dilakukan, namun tidak diberitakan, mengingat kondisi "kepintaran dan kecerdasan" rakyat Indonesia masih berada di bawah garis normal. Terutama WNI yang berlabel Kadrun (yang protes, berarti kadrun!). Dan menangkap ikan hiu dengan kewajiban menjaga air laut tenang, hanya bisa dilakukan jika menggunakan tenaga dalam. Seperti cara Jokowi menangkap ikan hiunya "Prabowo".

Hotman Paris Hutapea, Pengacara kondang nan cerdas, menuliskan :

"Saya khawatir jika Pak Jokowi dipancing-pancing emosinya. Hati-hati saja keluarga Cendana dan Keluarga Cikeas, harta gono gini kalianlah jadi pertaruhannya. KPK dan intelejen sudah dari 2014 mengumpulkan data dan faktanya. Yaaa, tinggal menunggu perintahnya Presiden saja, langsung eksekusi tanah negara yang dikuasai mereka. Gawat itu. Saya sudah pasti bela Negara"

Saya langsung memahami apa yang dituliskan Hotman Paris (itu kalau benar dia menulis demikian, karena informasi ini saya dapat dari media sosial). Karena itu pula yang saya pikirkan terkait "tenaga dalam" yang dimiliki Jokowi. Yaitu, kekuatan Jokowi yang sulit untuk diserang balik, baik secara pribadi ataupun sebagai Presiden Indonesia. Ibarat, di tangan kanan, Jokowi memiliki mental yang bersih, jujur dan berani yang merupakan sumber dari "Tenaga CHI". Sementara di tangan kiri, Jokowi menggenggam daftar panjang "harta gono-gini" yang dimiliki lawan secara ilegal. Dengan dua sumber kekuatan ini, Jokowi bisa bilang, "Woy... lu mau gue prabowokan? Kalau ga mau, lu diam, ikut jaga negara aman, biarkan gue bekerja untuk rakyat Indonesia!".

Sebagai rakyat Indonesia, saya sangat menunggu momentum saat kesabaran Jokowi sudah habis terhadap tingkah polah para "bandar dan dalang demo". Jika apa yang menjadi kekhawatiran Hotman Paris benar-benar terjadi, pertempuran di Pengadilan akan menjadi sejarah baru bagi Indonesia. Mencatatkan seorang Presiden Indonesia yang menggugat harta gono-gini Presiden Indonesia sebelumnya. Namun, saya juga yakin, bahwa kalaupun Jokowi benar-benar berniat akan mem-Prabowo-kan para Bandar dan Dalang Demo, dia pasti akan melakukannya secara senyap, tak berkoar-koar dan tak mengumbar informasi kepada media. Dan saya juga yakin, rakyat yang melihat segala sesuatunya secara kasat mata, tak percaya kalau Jokowi sedang dan/atau sudah menindak mereka, lalu berkomentar seakan-akan rakyat ini jauh lebih tahu dan lebih pintar cara menggebuk Bandar Demo. Tanpa memahami bahwa dibalik hal-hal yang kasat mata itu, pasti banyak hal-hal yang tidak kasat mata yang harus dipertimbangkan secara mendalam, yang lebih Jokowi pertimbangkan. Dia akan lebih rela mengorbankan dirinya untuk dihujat oleh rakyat ketimbang membuat si ikan hiu mengguncang lebih hebat lautan Indonesia. Apa enaknya hidup jika tanah yang kita pijak jauh dari ketenangan?

Jokowi : Membunuh Lawan Dengan Tenaga Dalam

Sumber Utama : https://seword.com/politik/jokowi-membunuh-lawan-dengan-tenaga-dalam-HG1MsA4gfJ 

Demo : Poin di dalam Curriculum Vitae

Pada hari Kamis tanggal 8 Oktober 2020, saya melihat ada banyak mahasiswa mengenakan berbagai jaket almamater. Mereka berkumpul di suatu pintu gerbang salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Awalnya saya tidak tahu ada acara atau kegiatan apa sehingga banyak mahasiswa berkumpul di situ sambil berjaket almamater masing-masing di sore hari. Waktu itu sudah lebih dari jam 3 sore.

Dengan sedikit kesabaran untuk mengetahui apa yang sedang terjadi, mengamati dan menunggu sebetulnya apa yang sedang terjadi. Sambil mencoba mencari tahu siapa tahu ada seseorang yang bisa ditanya. Setelah ketemu seseorang dan menanyakan, barulah paham bahwa yang sedang berkumpul itu adalah para mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi dengan mengenakan jaket almamater kampus masing-masing.

Mereka berkumpul di pintu gerbang kampus itu setelah menitipkan sepeda motor dan beberapa mobil di area parkir. Terlihat memang ada banyak sepeda motor dan beberapa mobil. Sudah beberapa bulan memang parkiran sepeda motor dan mobil tidak terlalu penuh. Berkenaan dengan Covid-19, kegiatan perkuliahan di kampus itu memang dilakukan secara daring sehingga para mahasiswa tidak perlu datang ke kampus untuk mengikuti kuliah.

Selanjutnya mereka secara berombongan akan berjalan kaki menuju gedung DPRD Jawa Barat di Bandung yang berdekatan dengan kantor Gubernur Jawa Barat yang dikenal dengan Gedung Sate. Memang jarak dari kampus itu ke Gedung DPRD tidak terlalu jauh, hanya kira-kira 2 km saja. Mereka sengaja berjalan kaki dan tidak mengendarai sepeda motor atau mobil. Mungkin sudah dikoordinasi oleh para koordinator lapangan sebagai antisipasi dan jaga-jaga apabila terjadi kericuhan. Di depan Gedung DPRD mereka akan mengadakan demonstrasi dalam rangka menolak pemberlakuan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan oleh DPR bersama Pemerintah RI pada tanggal 5 Oktober 2020.

Sebetulnya undang-undang ini belum berlaku karena belum ditandatangani oleh Presiden RI dan diundangkan. Ketentuan dan prosedur perundang-undangan menyatakan bahwa sebuah undang-undang baru dianggap berlaku setelah diundangkan dan diumumkan melalui Lembaran Negara. Yang saya agak gagal paham adalah dari mana para mahasiswa itu tahu dan bisa bergerak untuk secara bersama-sama menolak pemberlakuan undang-undang itu. Pada waktu sebelum-sebelumnya tidak terdengar ada gerakan mahasiswa yang menolak atau tidak setuju dengan berbagai isi dari Omnibus Law ini.

Sekarang era digital dan media sosial, yang dengan mudah bagi semua orang untuk menyebarkan berbagai informasi dan ajakan. Namun demikian untuk menggerakkan mahasiswa secara masif tentu harus ada alasan yang cukup logis kuat. Namun yang saya merasa agak takjub, di antara kumpulan mahasiswa yang akan berjalan berombongan itu, ada beberapa mahasiswa yang dengan sangat bersemangat memimpin mereka. Dengan memberikan aba-aba dan yel-yel tertentu: “merdeka”, “tolak UU Cipta Kerja”, “yes”, mereka ini memimpin di kelompok-kelompok tertentu sesuai warna jaket yang memang warna-warni.

Saya sempat bertanya kepada salah seorang mahasiswa, kenapa akan demo tetapi baru berangkat pada sore hari, di mana sudah lebih dari jam 15.30. Salah satu dari mereka menjawab bahwa mereka melakukan demo secara bergiliran atau aplusan. Mereka kebagian giliran pada sore hari untuk menggantikan kelompok yang sudah berdemo dari siang hari. Beberapa mahasiswa terlihat membawa kardus berisi minuman, dan beberapa membawa kardus kosong bekas minuman. Cukup unik juga cara mereka menyuarakan aspirasi melalui demo secara bergiliran.

Melihat dari media-media daring dan media sosial, ternyata demo di depan Gedung DPRD Jawa Barat pada hari itu diwarnai dengan kericuhan, terjadi beberapa perusakan atas fasilitas-fasilitas publik. Melihat beberapa posting di media sosial dengan mudah mendapatkan gambaran situasi. Seperti juga terjadi pada beberapa kali kejadian demo sebelumnya, adanya dorong-mendorong pintu gedung yang mengakibatkan kerusakan, lemparan benda-benda keras, dan umpatan berisi penghuni kebun binatang kepada para anggota kepolisian yang mengamankan, seolah-olah terbiasa saja. Meskipun belum tentu yang melakukan adalah para mahasiswa, namun cukup mudah untuk mengaitkan bahwa kericuhan dan perusakan itu terjadi oleh akibat sampingan dari adanya demonstrasi.

Demonstrasi sebagai bagian dari proses menyalurkan pendapat adalah alat yang sah di negara demokrasi. Menurut KBBI demonstrasi atau unjuk rasa merupakan pernyataan protes yang disampaikan secara massal, di samping itu juga mempunyai arti peragaan ataupun pertunjukan cara melakukan atau mengerjakan sesuatu. Sehari-hari kata demonstrasi sering disingkat atau diucapkan dengan demo, meskipun menurut KBBI artinya justru kendaraan bermotor beroda tiga (hampir sama dengan bemo).

Demonstrasi atau unjuk rasa yang berakhir dengan kericuhan dan perusakan nampaknya sudah menjadi kebiasaan dan sering sekali terjadi. Dan itu dianggap biasa-biasa saja. Bagi yang tidak terkena dampaknya mungkin biasa-biasa saja, atau cenderung jadi sekedar berita atau informasi. Akan tetapi bagi yang terkena dampaknya mungkin bisa bermakna lain. Misalnya, orang yang sekedar lewat sehingga merasa terhambat perjalanannya, kena lemparan batu, tiba-tiba sepeda motor atau mobilnya ke pukulan dan rusak, dan lain-lain.

Bagi beberapa mahasiswa yang berorientasi politik tertentu keikutsertaan dalam suatu demonstrasi mungkin merupakan sesuatu yang cukup berarti. Ini bisa dilihat dari pengakuan beberapa orang dari kalangan politisi yang sedang memegang posisi kekuasaan, entah di pemerintahan atau dewan perwakilan rakyat. Mereka terlihat sangat bangga sebagai seorang yang dulu pada saat menjadi mahasiswa, pernah ikut serta dalam suatu kegiatan demonstrasi. Misal saja, para aktivis yang juga pendemo yang banyak melibatkan masa yang menamakan dirinya Angkatan 66, Peristiwa Malari tahun 1974, Angkatan 1998, dan sebagainya.

Sering dijumpai bahwa pengakuan mereka di ruang-ruang publik bahwa mereka adalah pendemo bagi kebijakan yang tidak mereka sukai pada waktu sebelumnya. Meskipun tentu saja tidak semua yang terjun ke dunia politik atau yang menguasai ruang-ruang publik adalah mantan pendemo. Namun cukup mudah untuk mendapatkan informasi bahwa banyak di antara para penguasa ruang-ruang publik adalah mantan pendemo. Seolah-olah ini suatu siklus atau perulangan. Demonstrasi seolah-olah merupakan isian wajib sebagai item yang harus ada pada “curriculum vitae” para politisi.

Di sebuah seminar saya pernah mendengar seorang profesor yang sudah agak sepuh, seolah-olah dengan bangga mengakui bahwa dirinya adalah tukang melempari batu ke rumah-rumah orang China pada saat sebagai mahasiswa pengikut demo. Bahwa tindakan yang dilakukan itu sebetulnya menimbulkan kerusakan dan merugikan orang lain, nampak ter-eliminasi oleh kebanggaan pernah menjadi bagian para pendemo. Sudah sangat lazim bahwa di dalam rangkaian demonstrasi, ada provokasi kepada para aparat yang sedang mengamankan. Sering kali juga para anggota satuan pengamanan ikut terbawa emosi oleh provokasi atau suasana panas yang timbul. Suara-suara dengan nada keras sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Saking terbawa oleh emosi, para pembicara atau orator di dalam demo kadang tidak menyadari bahwa kata-kata atau atas provokasi tertentu dapat menyulut massa untuk bertindak yang berujung sulit terkendali.

Ya, mungkin demikian penting item pernah menjadi pendemo bagi para aktivis mahasiswa. Pandangan ini juga atas pengaruh para mantan pendemo yang sekarang sedang memegang kekuasaan publik, media, atau atas massa tertentu. Dan pengalaman sebagai pendemo itu sering sekali diungkapkan dan didengar oleh para mahasiswa. Bagi para mahasiswa yang rata-rata berusia masih sangat muda mungkin terdengar keren.

Begitulah luka-luka.

Demo : Poin di dalam Curriculum Vitae

Sumber Utama : https://seword.com/umum/demo-poin-di-dalam-curriculum-vitae-ovL8vD8ZcA 

Membuka Wacana Hukuman Kerja Sosial Bagi Pelaku Pelanggaran Demo

Bahwa aksi demo adalah salah satu bagian dari penyaluran pendapat berdemokrasi di negara +62. Namun dalam kenyataannya di lapangan seringkali melahirkan pelanggaran, baik aturan maupun kerusakan fisik. Ijin aksi yang melewati batas waktu, juga pemaksaan lokasi titik aksi. Belum lagi campur tangan penumpang gelap semakin melencengkan kemurnian tujuan aksi massa.

Bentrokan fisik dengan aparat seringkali berujung pada pengerusakan sarana dan fasilitas umum dan cenderung anarkis masuk dalam kategori kriminalitas. Yang terjadi kemudian ratusan orang dari berbagai profesi diamankan. Dari pelajar hingga mahasiswa, ada pula karyawan swasta namun celakanya dari total jumlahnya sebagian besar berstatus pengangguran.

Silahkan tanya kawan, saudara atau tetangga yang pernah punya pengalaman tertangkap aparat pada saat masuk kategori pelanggaran aturan demo. Sebagian besar dimungkinkan tidak ada perasaan jera, justru sebaliknya merasa bangga. Status "keberaniannya" di lingkungan meningkat, kembali ke habitatnya serupa pahlawan demokrasi. Jumlah benjol-benjol atau jahitan bekas pentungan menjadi ukuran nyali mereka sebagai lelaki.

"Kalau ketangkap bilang saja kita cuma ikut-ikutan, paling juga sehari dua hari dilepas" begitu salah satu dialog yang menjadi rahasia umum di kalangan pelaku. "Pura-pura kesakitan sambil nangis saja waktu di interogasi, biar cepat dilepas" begitu modus yang dilakukan mereka.

Menjadi dilema besar bagi pemerintah saat harus menindak ratusan pelaku pelanggaran demo. Jika masuk vandalisme hukumannya masuk penjara yang artinya kapasitas tahanan yang sudah penuh akan semakin sesak. Sudah saatnya pemerintah memikirkan solusi efek jera bagi kaum euforia jalanan itu. Kerja sosial dalam jangka waktu tertentu, walaupun tidak sepenuhnya membuat mereka jera, setidaknya lumayan bisa mengikis heroisme sosial dadakan.

Sediakan sebuah kawasan yang khusus untuk menghukum mereka dengan bekerja. Makan minum tidur disediakan layaknya karyawan proyek. Jenis pekerjaan fisik bisa apa saja, buka lahan perkebunan, membangun jalan, tanggul atau membersihkan sampah di sepanjang aliran sungai. Mereka dipekerjakan secara manusiawi dengan upah yang disesuaikan, hanya butuh menjaga mereka agar tidak kabur sebelum berakhir masa hukumannya.

Bagi para pengangguran itu sebuah skema pembinaan yang layak dipertimbangkan. Bukankah saat dilepas usai tertangkap, mereka tetap menganggur juga sambil menunggu order demo berikutnya. Untuk para pelajar, mahasiswa atau karyawan swasta anggap saja sedang cuti beberapa minggu, selanjutnya pulang dengan membawa pengalaman baru yang tidak bernilai gengsi jika diceritakan.

Fenomena aksi demo ber-jilid tetaplah sebuah realita sosial yang harus ditanggung sebagai resiko negara penganut azas demokrasi. Pelanggar peraturan tidak selamanya harus di vonis pasal kriminal. Penjara bukanlah tempat melakukan pembinaan yang baik bagi pelaku aksi demo. Melepas mereka berbekal surat pernyataan di atas meterai tidak mampu merubah kesalahpahaman berperilaku demokratis. Banyak jalan untuk tidak menambah rasa benci kepada pemerintah karena sejujurnya mereka masih butuh pemerintah. Dendam individu kepada pengelola negara akan bertambah saat mereka diperlakukan layaknya ketidakadilan yang mereka pikirkan.

Lalu muncul pertanyaan, bagaimana dengan para provokator, inisiator atau produser aksi demo? Mereka yang sebagian besar dari kalangan elite, intelek terpelajar. Menyimpan agenda politik untuk tujuan ke depan, tidak sekedar pada hari H pelaksanaan aksi. Mereka yang masa bodo dengan kerugian materi dan jatuhnya korban, sibuk cuci tangan sambil merancang jadwal aksi lanjutan hingga target politis tercapai.

Kemampuan aparat mengindentifikasi mereka sudah teruji. Bukankah lebih mudah mengusut peran mereka melalui data dan bukti transaksi order demo. Daripada menginterogasi anak STM yang memilih diam meminta belas kasihan saat tertangkap. Hanya butuh political will untuk membongkar dalang aksi demo. Mereka dari kalangan berduit, kalaupun tertangkap masuk penjarapun, transaksi tambahan lebih leluasa dilakukan di dalam lingkungan teralis besi. Justru tidak mustahil bisa membiayai aksi demo di dalam tahanan. Bagi orang berduit niatan tersebut sah sah saja kan?

Hukuman kerja sosial bagi mereka bisa jadi lebih menakutkan daripada jeruji besi. Yang biasanya keseharian naik mobil meeting di hotel mewah, tiba-tiba harus memungut sampah di kali atau mencangkul tanah di kebun tanpa AC. Lamanya waktu hukuman kerja sosial sudah pasti berbeda dengan pelaku lapangan, tetapi bisa jadi beban malunya tiga keturunan baru hilang

Pertanyaan terakhir, bagaimana kalau demo jadi sepi gegara diterapkan sanksi kerja sosial? Lokasi kerja khusus yang sudah dipersiapkan siapa yang akan melanjutkan? Ah.. itu persoalan mudah. Tahanan KPK dan terpidana korupsi yang hanya makan tidur berak di penjara sesekali juga wajib olah raga berkeringat kerja sosial. Setuju kan?

Membuka Wacana Hukuman Kerja Sosial Bagi Pelaku Pelanggaran Demo

Sumber Utama : https://seword.com/umum/membuka-wacana-hukuman-kerja-sosial-bagi-pelaku-CrobTuy0WQ 

SBY, Akankah Kembali Merasa Terzolimi?

Bahwa ada pihak-pihak yang menggerakkan dan membiayai aksi-aksi demo memprotes UU Cipta Kerja akhir-akhir ini, hal itu benar adanya. Namun siapa-siapa saja mereka, tentu bukan segampang mencari warung rokok di Jakarta.

Ibarat kentut -- apalagi yang baunya bikin sesak nafas -- pasti ada pelakunya, namun sulit mendeteksi. Lagian, siapa sih yang mau disuruh mengendus bokong orang-orang yang ada di sana hanya untuk memastikan siapa yang barusan kentut?

Aksi demo pada 8 Oktober 2020 lalu memang mengerikan bagi orang-orang yang sehat akal dan nuraninya. Di Jakarta saja banyak fasilitas umum dirusak dan dibakar perusuh. Banyak statemen dan dugaan berseliweran tentang siapa gerangan oknum atau pihak yang menggerakkan dan mendanai perbuatan iblis itu.

Bicara soal iblis, kita langsung teringat pada Refly Harun, yang menurut sahibul hikayat, adalah seorang ahli hukum tatanegara. Orang ini baru saja dicopot dari kursi komut Pelindo 1 oleh Menteri BUMN Erick Tohir. Ketika KAMI dideklarasikan sejumlah ortu, Refly Harun turut serta. KAMI, yang katanya ingin menyelamatkan Indonesia, tapi nyatanya malah lebih giat mendiskreditkan pemerintah dan Presiden Jokowi.

Dalam sebuah acara membahas UU Ciptaker, akademisi yang kini nyambi jadi Youtuber ini menyebutkan bahwa penulis UU Ciptaker ini adalah iblis. Wah.... sadis kali. Baiklah, tetapi apakah dia menuding para pelaku vandalisme selama aksi demo itu sebagai iblis? Rasanya tidak, sebab sesama iblis tidak akan saling menyalahkan, bukan?

Aksi demo 8 Oktober 2020 memprotes UU Ciptaker yang banyak menimbulkan keresahan dan kerusakan itu, kerap dikait-kaitkan dengan Cikeas. Ini pun lucu juga sebab yang berseliweran di publik masih berupa dugaan tentang siapa dalang dan donatur demo itu. Misalnya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto baru hanya menyatakan bahwa pihaknya sudah mengetahui siapa dalang dan pendana aksi demo rusuh ini. Dia tidak menyebut nama.

Tapi, kok tiba-tiba SBY muncul di media publik mengklarifikasi dan melakukan bantahan? Lucu sekali sebenarnya. Kita-kita yang tidak pernah kepikiran sampai ke sana, kok malah jadi tergoda untuk memutar ulang peristiwa beberapa hari sebelum demo brutal itu berlangsung?

Pada rapat paripurna pengesahan UU Ciptaker, kader Partai Demokrat walk out karena menyatakan menolak pengesahan UU tersebut. Ini ganjil dan kekanak-kanakan, sebab sebelumnya parpol berlambang logo Mercy ini sudah menyatakan OK atas UU tersebut. Namun saat pengesahan, sikap mereka berubah 180 derajat. Kemudian dipimpin Benny Kabur Harman, mereka kabur alias walk out dari ruang sidang.

Nun jauh di sana, Mas AHY, yang tak lain dan tak bukan adalah ketua umum partai politik yang dulu harum semerbak dengan slogan "katakan tidak pada korupsi" ini, bertepuk tangan. Mayor TNI (Purn) AHY memang tidak hadir di gedung DPR, namun menyaksikan dan mengikuti acara secara virtual dari rumah atau dari kantor, terserah dia.

Perilaku parpol yang tidak elok ini wajar saja menimbulkan syak wasangka. Terlebih dari beberapa daerah terbetik kabar bahwa banyak kader parpol ini yang berstatus sebagai anggota legislatif, malah turun ke tengah demo "menyemangati" suara penolakan atas UU Ciptaker ini. Maka wajar saja banyak sangkaan atau pikiran yang "tidak-tidak" melayang ke arah parpol yang baru saja ditinggal pergi untuk selamanya oleh si Ferdinand Hutahaean ini.

Seiring dengan perkembangan waktu, di tengah panasnya aksi demo lanjutan Senin 13 Oktober 2020, sebanyak 8 anggota KAMI diciduk di Medan dan Jakarta. Kawanan ini ditengarai hendak menjadi provokator supaya aksi-aksi demo menolak UU Omnibus Law ini berlangsung ricuh dan berdarah-darah. Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono merinci identitas 8 orang tersebut. Awi menyebut 4 orang berasal dari KAMI Medan dan 4 orang dari KAMI Jakarta.

Dengan terciduknya delapan oknum KAMI ini, tatapan mata publik ke arah Cikeas mungkin sedikit berkurang. Tapi pertunjukan belum selesai. Pihak yang berwenang masih harus mengusut tuntas siapa-siapa oknum atau pihak yang harus bertanggung jawab atas kerusuhan massal yang sangat merugikan masyarakat, khususnya kaum buruh ini.

Yang pasti ada banyak pihak yang punya kepentingan atas potensi kerusuhan yang ditimbulkan demo UU Cipta Kerja ini. Lihat saja FPI dan ormas rombongannya yang merasa perlu turun ke arena demo untuk membela para buruh supaya tidak dizolimi oleh pemerintah. Kelompok ini sudah melakukan aksi demo kemarin, Selasa 13 Oktober 2020 di sekitar Patung Kuda. Lumayanlah, sebab berkat kehadiran mereka, jadi ada sesi penyegaran rohani dengan orasi-orasi bernafaskan keagamaan.

Andaikata nanti akhirnya didapat kepastian dan kesimpulan bahwa KAMI-lah yang punya andil di balik anarkisme ini, Cikeas pasti merasa sumringah dan bahagia, sebab merasa telah lepas dari penistaan. Meski sebenarnya sikap ini pun lebay, sebab toh tidak ada unsur pemerintahan menuding seperti itu.

Lha, Menko Airlangga Hartarto, toh hanya mengatakan bahwa pihaknya sudah mengetahui siapa dalang di balik tragedi ini, tetapi kok SBY malah sibuk mengklarifikasi ke sana ke mari? Baper itu namanya.

Tapi kasus ini nanti bisa saja dijadikan sebagai kesempatan untuk mencari simpati publik, seperti kejadian beberapa tahun lalu ketika SBY dipecat dari kursi menteri oleh Presiden Megawati Sukarnoputri.

Tapi, playing victim, menyebarkan narasi sebagai pihak yang dizolimi oleh penguasa, masihkah manjur dimainkan di era yang serba transparan ini? Rasanya tidak lagi, sebab segala adegan dan peristiwa sudah terpampang dan terurai dengan gamblang di mata publik.

https://news.detik.com/berita/d-5211545/total-8-orang-petinggi-anggota-kami-ditangkap-ini-daftarnya

https://www.youtube.com/embed/rjeEqVUGLCs

SBY, Akankah Kembali Merasa Terzolimi?

Sumber Utama : https://seword.com/umum/sby-akankah-kembali-merasa-terzolimi-qXi0IGkPwt 

Kepedean! Andi Arief Merasa SBY Dituding Dalang Demo, Diskak Mahfud MD Langsung Mingkem

Pro kontra pengesahan Omnibus Law atau UU Cipta Kerja masih belum juga reda. Setelah kaum buruh dan mahasiswa berunjuk rasa yang mana sampai ricuh dan fasilitas umum dibakar dan dihancurkan. Kemarin giliran FPI, PA212 dan gerombolannya mengadakan unjuk rasa menolak Omnibus Law yang berakhir dengan teriakan turunkan Jokowi dan pengumuman Rizieq Shihab yang akan segera kembali ke Indonesia.

Unjuk rasa yang menggerakkan banyak massa itu tentu memerlukan logistik yang banyak. Tak mungkin massa akan datang tanpa ada embel-embel nasi bungkus dan uang transports. Semua perlu dana yang besar. Tak mungkin FPI ataupun PA212 akan mengeluarkan dana mereka tanpa ada yang memasok logistik tersebut. Karena jumlahnya tidak sedikit.

Tudingan pun melayang ke arah Cikeas dan Cendana. Meskipun hanya berupa rumor, banyak orang meyakini hal tersebut. Apalagi elite-elite Demokrat terlihat sedang menikmati tontonan melalui televisi yang menyiarkan unjuk rasa mahasiswa dan kaum buruh tersebut. Begitu juga dengan kader Demokrat yang melakukan orasi di unjuk rasa Yogyakarta. Semakin lengkap lagi, Fraksi Demokrat yang walk out dari sidang paripurna pengesahan Omnibus Law.

Tentu semua meyakini bahwa Partai Demokrat ingin menarik simpati massa buruh dan mahasiswa menjelang Pilkada Desember mendatang dan juga Pilpres 2024. Perolehan suara Demokrat yang makin menurun membuat elitenya harus segera berbenah serta mengembalikan kepopuleran Partai Demokrat di masa SBY berkuasa.

Pamor yang semakin menurun membuat Partai Demokrat harus bermanuver apalagi Partai Demokrat harus kembali bertarung dengan partai besar seperti PDIP, Golkar dan Gerindra yang sekarang bergabung dengan koalisi pemerintah. Melihat ada peluang untuk menaikkan pamor saat pengesahan UU Cipta Kerja, Partai Demokrat pun dengan tegas menolak pengesahan UU tersebut dengan harapan rakyat yang menolak UU Cipta Kerja juga akan berpihak kepada mereka.

Jadi, tudingan bahwa Partai Demokrat berada dibalik unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja bukan tanpa dasar. Sedangkan Cendana, tentu ingin mengembalikan kejayaan di masa Soeharto. Dengan dukungan ormas keagamaan, mereka mencoba untuk merebut kekuasaan yang ada sekarang ini. Meskipun gerakan mereka unkonstitusional. Tetapi apakah mereka peduli? Yang penting buat mereka Jokowi harus turun, bagaimana pun caranya.

Pemerintah pun menuding bahwa unjuk rasa kaum buruh, mahasiswa atau pun ormas keagamaan yang menolak Omnibus Law tersebut didalangi oleh aktor intelektual. Ada yang menggerakkan bahkan juga mendanai unjuk rasa tersebut. Bahkan Prabowo sebagai Menhan menuding pihak Asing mendanai unjuk rasa tersebut. Negara asing tersebut tidak ingin melihat kondisi Indonesia yang kondusif. Begitu pernyataan Prabowo.

Pernyataan Luhut, Airlangga maupun Mahfud MD jelas menuding ada pihak yang mencoba bermain dalam unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja tersebut. Karena unjuk rasa tersebut seperti terlihat by design. Sangat teratur bahkan sampai pada perusakan-perusakan yang dilakukan di setiap daerah.

Tentu saja baik Luhut, Airlangga maupun Mahfud MD tidak menyebut satu nama pun dalam dugaan mereka tersebut. Tetapi nyatanya ada pihak tertentu yang merasa bahwa pihaknyalah yang dituding dibalik unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja tersebut. Dan pihak yang merasa dituding tersebut adalah Partai Demokrat.

Melalui Andi Arief meminta klarifkasi dari Mahfud MD, Airlangga, Luhut Panjaitan serta BIN atas tuduhan mereka kepada SBY.

“Kalau sampai tidak ada klarifikasi dari Pak Mahfud MD, Pak Airlangga, Pak Luhut dan BIN atas tuduhan bahwa Pak SBY, AHY dan demokrat yang difitnah di belakang demo besar ini, maka tidak ada jaminan ketegangan politik ini akan mereda.” Begitu kicauan Andi Arief di Twitter.

Tentu saja cuitan Andi Arief yang langsung ditujukan ke akun Mahfud MD tersebut langsung mendapatkan respon dari Mahfud MD.

“Klarifikasi macam apa yang diminta Mas Andi Arief..? Tak seorang pun di antara kami pernah bilang Pak SBY atau AHY sebagai dalang atau membiaya unjuk rasa. Sebaliknya, tolong diklarifikasi kapan kami bilang begitu. Kalau ada nanti kami selesaikan. Itu kan hanya di medsos-medsos yang tak jelas.” Begitu bantahan Mahfud MD ditujukan langsung ke akun Andi Arief.

Jadi jelas bahwa Partai Demokrat terlalu kepedean. Merasa dirinya penting. Sehingga tudingan dari pemerintah yang tidak menyebutkan nama itu langsung merasa ditujukan kepada mereka. Bukankah itu halu namanya?

Sekali skak, Mahfud MD langsung membungkam Andi Arief. Bahkan Mahfud MD menuntut Andi Arief mengklarifikasi kapan mereka pernah menyebut nama SBY atau pun AHY dibalik unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja tersebut. Bukankah ini memalukan?

Kepedean! Andi Arief Merasa SBY Dituding Dalang Demo, Diskak Mahfud MD Langsung Mingkem

Sumber Utama : https://seword.com/politik/kepedean-andi-arief-merasa-sby-dituding-dalang-AnJRcrZen0

WHO Kini Tolak Lockdown, Jokowi Terbukti Benar

Ketika awal bulan Maret 2020 lalu, ada begitu banyak saran, masukan, bahkan ancaman kepada Pemerintah, agar segera melakukan lockdown. Kalau tidak, maka kematian dan penyebaran virus cov*d akan melumpuhkan negeri.

Banyak pakar berkomentar. Relawan dan pengamat juga menyarankan hal yang sama. Begitu juga dengan dokter, perawat atau petugas kesehatan. Namun Presiden Jokowi tak bergeming, menolak lockdown.

Sebagai jalan tengah, Indonesia menetapkan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar. Dalam prakteknya, PSBB hanya berlaku untuk kota-kota besar di bulan-bulan pertama. Masyarakat panik, menimbun masker dan barang pokok. Sehingga sempat terjadi kelangkaan.

Banyak toko dan usaha lainnya tutup. Perkantoran juga mengandalkan kerja dari rumah, sesuai anjuran pemerintah. Namun aktifitas warga di kendaraan umum seperti kereta dan bus, jelas tak terkendali. Pembatasan kapasitas penumpang justru menimbulkan masalah baru, antrian panjang dan penumpukan penumpang.

Di bulan ke dua dan ketiga, masyarakat mulai enjoy. Mulai santai keluar rumah dan memburu sepeda. Jalan-jalan keliling kota dengan alasan olahraga, menjaga kesehatan tubuh agar terhindar dari corona.

Pada prakteknya, PSBB tidak berjalan sesuai teori. Pasar tetap buka, pejabat tetap dangdutan, demo jalan terus dan acara kumpul-kumpul yang melanggar protokol kesehatan terus berlangsung.

Tak heran melihat minimnya tingkat kepatuhan warga, yang tetap ke pasar dan tak memakai masker dengan benar, membuat oknum dokter marah-marah dan mengecam pemerintah.

Bahkan meski angka kasus penambahan terus meningkat, pemerintah justru memulai new normal. Pelonggaran PSBB. Bahkan Menteri Pendidikan mulai membuka sekolah tatap muka, tidak lagi online.

Para pengamat menilai pemerintahan Jokowi tidak tegas. Tarik ulur. Gas rem. Tidak memprioritaskan kesehatan. Dan ini dianggap kesalahan. Bahkan Mata Najwa sampai membuat wawancara dengan kursi kosong, mengklaim negara lain sudah mulai longgar, berangsur pulih, tapi negara kita masih tidak ada perubahan.

Para pengamat, Najwa dan orang-orang yang katanya pakar dan pintar itu, sejatinya hanya berteori. Mereka tak pernah melihat lapangan dan kenyataan. Sehingga tidak tahu bahwa di daerah-daerah, corona ini sudah tidak dianggap menakutkan dan bahkan, sudah dianggap hilang. Jadi kalau Najwa berpikir negara lain sudah berangsur pulih, di negara kita, corona dianggap tak pernah ada.

Lihatlah di daerah-daerah dan bukan kota besar, aktifitas berjalan normal. tanpa masker, tanpa protokol kesehatan. Lebaran berlangsung seperti biasa. Jadi kalau sekarang negara lain sedang melonggarkan aktifitas warganya, di negara kita sejak awal selalu longgar. Bahwa kemarin ada razia besar-besaran di beberapa kota, ya itu sebentara saja. tidak setiap hari. Dan setelah itu bubar tak ada lagi pemeriksaan.

Tapi, dalam kondisi seperti ini pun, beberapa pihak masih konsisten menyalah-nyalahkan pemerintah yang tidak melakukan lockdown. Menganggap Jokowi salah langkah, tapi juga masih menuntut untuk melakukan lockdown agar pandemi ini bisa segera berakhir.

Ajaibnya, di tengah kabar angka kasus cov*d terus meningkat menembus rekor-rekor baru, demonstrasi penolakan Omnibus Law berlangsung di banyak kota. Jutaan orang turun ke jalan. Desak-desakan. Tak ada protokol kesehatan.

Bagi saya, ini adalah pembuktian kedua. Sebuah fakta susulan setelah mudik dan pulang kampung. Bahwa pergerakan orang dalam jumlah besar, tanpa memperhatikan protokol kesehatan, nyatanya tak berdampak apa-apa. Tidak membuat kasus meningkat dan orang mendadak banyak yang mati.

Kalau ada berita lokasi pemakaman jadi penuh, itu karena propaganda pemakaman khusus cov*d. Jadi semua yang positif, atau bergejala, dimakamkan di satu lokasi. Ya jelas saja numpuk dan terlihat banyak. Padahal kalau dibandingkan dengan sebelumnya, angka kematian biasa saja. Sama saja. Tapi kenapa sekarang jadi terlihat banyak? ya karena pemakamannya disatukan.

Lebih dari itu, muncul juga berita WHO sudah tidak menyarankan lockdown dan meminta negara-negara untuk mulai membuka aktifitas warganya. Sikap WHO ini jelas bertolak belakang dari awal bulan Maret lalu. Yang bahkan menyarankan Indonesia untuk segera melakukan karantina. Bahkan beberapa waktu lalu WHO masih menakut-nakuti agar negara tidak terburu-buru membuka lockdown.

Dari kejadian-kejadian ini, mulai dari pertunjukan aksi demonstrasi tanpa protokol kesehatan, tanpa jaga jarak, hingga WHO yang mengevaluasi sikapnya terkait lockdown, semakin menunjukkan bahwa Indonesia sejauh ini sudah berada di jalan yang benar.

Strategi gas rem dari pemerintah terbukti efektif menjaga keseimbangan isu nasional dan global. Tapi sekarang, dengan adanya pernyataan dan evaluasi WHO, semestinya Indonesia bisa lebih jelas dan lugas dalam membuka kembali aktifitas ekonomi warga.

Dimulai dari menghapus rapid tes sebagai syarat perjalanan. Menghapus rapid tes masuk Bali, karena ke daerah lain tanpa rapid tes. Serta membuka kembali aktifitas di Jakarta.

Selain itu, warga sudah beradaptasi sendiri. Kalian kalau jalan ke Surabaya, Semarang, Jogja, dan daerah lainnya, sejatinya warga sudah kembali beraktifitas seperti biasa. Restoran sudah buka, tukang cukur sudah bekerja. Tak ada lagi yang takut karena corona. Bahwa sebagian mereka masih menggunakan masker, jelas bukan karena takut tertular virus, melainkan takut ditilang Polisi. 

WHO Kini Tolak Lockdown, Jokowi Terbukti Benar

Sumber Utama : https://seword.com/politik/who-kini-tolak-lockdown-jokowi-terbukti-benar-gkksk275vW

Pendemo Tolak Omnibus Law, Presiden Jokowi, dan Bebek

Omnibus Law Cipta Kerja telah disahkan. Satu undang-undang penting yang akan mengubah hal terkait investasi, dunia usaha, pendidikan, dan banyak hal lainnya Undang-undang yang akan menyapu bersih segala yang akan menghambat laju Indonesia. Undang-undang visioner yang diperlukan agar bonus demografi nantinya dapat berguna sebagaimana mestinya.

Tapi ya gitu, inilah Indonesia! Sebagian warganya masih senang grubag-grubuk asal-asalan. Mereka mendemo UU ini tanpa tahu maksud pastinya. Tanpa menelitinya lebih dahulu. Gampang diperalat dan termakan hoaks.

Begitulah, memang benar bahwa terkadang sebuah penilaian tidak semata-mata didasarkan atas benar atau salah. Sebuah penilaian sering diberikan karena didasarkan pada rasa tidak suka saja.

Itulah yang terjadi pada penolakan UU ini. Mereka yang menolak, para kepala gengnya, adalah pihak yang tidak suka pada pemerintahan Presiden Jokowi. Mereka yang berlawanan dengan Presiden Jokowi. Jadi apapun yang dilakukan, hanya berdasar pada ketidaksukaannya pada pemerintahan Presiden Jokowi. Itu saja. Tidak lebih.

Mereka para penolak itu, umumnya adalah mereka yang 6-7 bulan lalu teriak-teriak lokdan-lokdon pada Presiden Jokowi.

Mereka para penolak itu, juga umumnya adalah mereka yang bulan lalu berteriak bangkitnya PKI.

Ajaib. September teriak anti komunis, Oktober koar-koar anti kapitalis. November nanti entah mereka akan teriak apa lagi?

Jangan-jangan begini. September komunis, Oktober Kapitalis, November Alexis… (Garing ya????)

Oke, maaf.

Mari lanjut. Sebenarnya kasihan juga mereka yang demo itu. Mereka para buruh itu. Mereka, mahasiswa itu. Dan terutama para pelajar itu. Asli kasihan!

Mereka hanya jadi alat. Hanya sebagai pion saja. Menjadi pelempar batu dan molotov, kemudian terima pembalasan untuk disemprot gas air mata dan canon water dari aparat. Sementara para bohir, selain sebelumnya sibuk mengkreasi hoaks demi provokasi, saat demo terjadi mereka malah asyik nobar. Demo dan kemudian rusuh, malah menjadi tontonan bagi para bohir laknat itu.

Gila benar para bohir ini!!! Memang super anj@y mereka.

Lalu bagaimana respon Presiden Jokowi?

Seperti biasa, bermain bersama ombak kembali ditunjukkan oleh Presiden. Demo dibiarkan terjadi. Presiden berkegiatan seperti biasa.

Lagian bila dicermati, eskalasi demo ke demo menolak Jokowi, dari waktu ke waktu besarnya semakin mengupil. Semakin mengecil seperti upil maksudnya!

Iya, semenjak 411 dan 212, kemudian demo menolak hasil Pilpres 2019, dan terakhir demo menolak RUU KUHP, terlihat semakin kecil. Tidak semakin membesar. Masih tetap berakhir rusuh sih. tapi peserta dan sebarannya, tidak semasif dulu. Itu artinya, pihak keamanan akan semakin mudah menanganinya. Semua sudah terprediksi dan terukur.

Kemudian, beredar trending topic Presiden Jokowi Kabur. Presiden dibanding-bandingkan. Tidak seperti beberapa kepala daerah lain, terutama Anies Baswedan, yang berani menemui para pengunjuk rasa.

Hadeh...

Begini, masa iya seorang presiden menemui para pendemo yang isinya buruh, mahasiswa, dan lagi, anak-anak STM itu. Bukanya merendahkan mereka, tapi sudah seharusnya dalam keadaan tertentu, yang ada adalah menyamakan level.

Maksudnya begini, pada demo 212 dulu, para dedengkotnya hadir lengkap. Mereka orasi dan memimpin demo. Dan saat itu, Presiden, wakil, dan petinggi negara lainnya menemui mereka.

Jadi kalau ingin Presiden menemui pendemo, atau setidaknya diwakili oleh yang selevel, seharusnya para petinggi penolak UU itu juga hadir ikut demo. Harus ikut orasi juga. Minimal setor muka.

Jangan hanya sibuk provokasi di media saja. Jangan hanya nobar saja. Atau, jangan katanya mendukung tapi dari rumah saja. Ya ngehek saja mereka itu!

Lalu pada saat demo, Presiden Jokowi kemana?

Pada demo 8 Oktober lalu, Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Kalimantan Tengah. Meninjau food estate atau lumbung pangan di Kabupaten Pulang Pisau. Di lokasi food estate ini, Presiden meninjau penanaman padi, keramba ikan, dan peternakan bebek di Kecamatan Pandih Batu.

Siang harinya, Jokowi akan menuju gedung pertemuan umum Handep Hapakat, Kabupaten Pulang Pisau untuk membagikan bantuan presiden produktif bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Setelah itu Presiden meninjau lokasi food estate singkong di Kabupaten Gunung Mas.

Terlihat hiruk-pikuk demonstrasi diimbangi dengan keseriusan Presiden Jokowi dalam menjaga kelangsungan dan kecukupan hidup bangsa dan rakyat Indonesia.

Nah, apa pesan yang bisa disampaikan Presiden Jokowi itu?

Pertama, adalah adanya foto Presiden di sebuah kandang bersama bebek-bebek. Pak Jokowi memperhatikan bebek-bebek tersebut dengan tenang. Pesannya, bebek-bebek dikenal berisik tapi sangat penurut dan gampang diarahkan. Tidak seperti pendemo dan yang di belakangnya, banyak suara tapi salah arah.

Yang kedua, secara umum Presiden hanya ingin memastikan, siapapun itu, para pendemo atau bukan, pendukungnya atau bukan, Bunda Inul atau Bunda Marissa Haque, Jend Gatot dan Pak Dien, dan siapapun mereka seluruh rakyat Indonesia agar nantinya tetap bisa: MAKAN!!!

Pendemo Tolak Omnibus Law, Presiden Jokowi, dan Bebek

Sumber Utama : https://seword.com/umum/pendemo-tolak-omnibus-law-presiden-jokowi-dan-aAXBbmyuad

Re-post by MigoBerita / Rabu/141020/13.37Wita/Bjm

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya