Migo Berita - Banjarmasin - Mutilasi "TERHEBOH" di Dunia hingga Akherat. Baru-baru ini di tahun 2021 ini di kota Banjarmasin kita mendapati berita dan fakta ada seoranng yang begitu gampangnya memutilasi hingga memenggal kepala seseorang hingga sampai-sampai sempat membakarnya. Sungguh memilukan. Namun inilah dunia kita saat ini. Para pengamat dari berbagai aliranpun akhirnya berspekulasi tentang cerita ini, tapi semua rata-rata mengutuk. Jadi teringat ucapan para peneliti Ilmu Sejarah, seandainya..... hemm... langsung aza baca berbagai artikel yang kami kumpulkan dan baca serta pahami hingga tuntas agar kita tidak gagal paham.
6 Kasus Mutilasi Terheboh, Ada yang Dipotong 11 Bagian
apahabar.com, JAKARTA – Tindak kejahatan dengan memutilasi tubuh korbannya sudah cukup marak terjadi di Indonesia. Beragam motif yang dilakukan pelaku menyeruak. Dari mulai urusan asmara hingga sakit hati.
Dilansir dari Okezone, berikut adalah deretan kasus mutilasi terheboh di Indonesia:
1. Mayat Wanita Tanpa Kepala di Banjarmasin (2021)
Temuan Baru Mayat Wanita Tanpa Kepala di Belitung Banjarmasin
Penemuan mayat wanita tanpa kepala ini terjadi di sebuah rumah kosong di Belitung Darat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada 2 Juni 2021 sekitar pukul 06.00 WITA.
Selain tanpa kepala, mayat tersebut juga berada dalam kondisi tanpa busana dan setengah terbakar. Bersamaan dengan itu, si penemu mayat, Indra Kurniawan juga menjumpai adanya pakaian korban di dalam rumah tersebut. Sementara itu, kepala korban ditemukan di luar area rumah kosong.
2. Kasus Mutilasi Bekasi (2020)
Seorang manusia silver berinisial A tega menghabisi nyawa temannya sendiri yang berinisial DS di Bekasi, Jawa Barat pada 5 Desember 2020. Perbuatan keji itu sengaja dilakukan A karena sakit hati kerap dilecehkan oleh korban.
Rupanya, pelaku adalah salah satu warga penyandang masalah kesejahteraan sosial atau PMKS. Tersangka menusuk korban dengan parang dan membacok leher korban hingga tewas. Karena tersangka kebingungan, akhirnya ia memutuskan untuk memutilasi tubuh korban menjadi 4 potongan dan dibuang ke 4 tempat berbeda.
3. Mutilasi di Kalibata (2020)
Kejadian menimpa Rinaldi Harley Wismanu pada 9 September 2020. Kala itu, korban dan tersangka LAS yang saling mengenal lewat aplikasi Tinder sengaja memesan kamar sebuah apartemen di kawasan Pasar Baru pada 7 – 12 September 2020.
Namun, setelah melakukan hubungan badan, korban sengaja dibunuh oleh kekasih LAS, DAF yang sudah terlebih dahulu masuk ke kamar sewaan dan menunggu di kamar mandi. Ia lantas memukul kepala korban dengan batu bata sebanyak 3 kali dan menusuk tubuh korban menggunakan pisau sebanyak 7 kali.
Jasad Rinaldi dipotong oleh kedua tersangka menjadi 11 bagian dan dimasukkan ke kresek serta koper. Ada juga bagian tubuh yang dimasukkan ke sebuah ransel. Setelah itu, potongan tubuh dibawa ke unit apartemen Kalibata City lantai 16.
4. Kasus Mutilasi di Bandung (2019)
KW, wanita asal Bandung, Jawa Barat menjadi korban pembunuhan dan mutilasi yang dilakukan seorang pria berusia 37 tahun berinisial DP yang dikenalnya melalui media sosial Facebook. Peristiwa tersebut terjadi pada 7 Juli 2019.
Sebelum dimutilasi, KW terlebih dahulu dibunuh dengan menggunakan palu saat berhubungan badan. Tersangka memutilasi tubuh korban menjadi 3 bagian dan dimasukkan ke dalam boks. Bagian tubuh tersebut dibawa menggunakan mobil korban dan dibuang ke 3 lokasi berbeda.
5. Kejadian di Malang (2019)
Jasad wanita di Malang, Jawa Timur ditemukan terpotong-potong pada 15 Mei 2019. Dari pengakuan tersangka, dirinya hanya memutilasi korban tanpa membunuhnya. Karena, korban diketahui memang sudah sakit sebelumnya.
Saat berkenalan dengan pelaku, korban sedang dalam keadaan sakit dan dibawa ke lantai 2 Pasar Besar. Kasus mutilasi ini tergolong cukup sadis. Sebab, tersangka yang tidak disebutkan inisialnya ini memutilasi tubuh korban dengan melakukan gunting tanam. Rupanya, tersangka melancarkan aksinya setelah 3 hari korban meninggal.
6. Mutilasi Karawang (2017)
Seorang suami berinisial MK tega membunuh dan memutilasi sang istri, Siti Saidah pada 4 Desember 2017 di rumah kontrakan mereka di kecamatan Telukjambe Timur, Karawang.
Pelaku menghabisi nyawa korban dengan memukul leher menggunakan sisi samping telapak tangan sebanyak 2 kali. Korban lantas jatuh dan kepalanya terbentur lantai. Setelah berhasil dihabisi, mayat Siti atau Nindya itu dimutilasi keesokan harinya menggunakan golok.
Sumber Utama : https://apahabar.com/2021/06/6-kasus-mutilasi-terheboh-ada-yang-dipotong-11-bagian/
MENGAPA AKU MEMILIH AHLUL-BAIT AS?
PETUNJUK KEBENARAN
Di sebuah desa selatan Tunisia, saat berlangsungnya sebuah
kenduri, wanita-wanita yang hadir tengah asyik membicarakan
tentang seorang istri dari suami si Fulan. Seorang wanita tua
yang hadir sangat terkejut mendengar berita perkawinan dua
orang ini. Ketika ditanya kenapa dia terkejut, jawabnya bahwa
dua suami istri tersebut sebenarnya pernah menyusu darinya,
dan mereka adalah kakak adik dari satu ibu susu.
Berita besar ini dibawa pulang oleh wanita-wanita yang hadir kepada suami masing-masing. Kaum laki-laki yang ada di sekitar ingin membuktikan kebenaran berita ini. Akhirnya ayah si perempuan menyaksikan bahwa anak perempuannya memang pernah menyusu dari ibu susu yang terkenal ini, sebagaimana ayah si lelaki ini juga menyaksikan tentang kebenaran kata-kata si ibu tua ini. Akibatnya dua suku ini berperang dengan tongkat dan kayu. Masing-masing menuduh yang lain sebagai sebab musibah yang akan menyebabkan turunnya bencana dari Allah. Apalagi perkawinan itu telah berusia sepuluh tahun dan telah membuahkan tiga anak.
Mendengar berita ini si istri lari ke rumah ayahnya. Dia tidak mau makan dan minum. Bahkan dia berusaha bunuh diri lantaran tidak tahan menerima "bencana" yang sangat besar itu. Bagaimana mungkin dia dapat melihat kenyataan bahwa suaminya adalah saudaranya sendiri, dan bahkan kini telah melahirkan anak-anak. Bilangan korban yang luka berjatuhan di kedua belah pihak, hinggalah seorang tua yang disegani menghentikan peperangan dan menasehati mereka agar menanyakan para alim-ulama tentang hukumnya dan mencari jalan keluar.
Mereka pergi ke kota-kota besar yang berhampiran menanyakan para ulamanya tentang jalan keluar dari problema ini. Setiap kali mereka bertanya, jawaban mereka adalah perkawinan tersebut adalah haram dan suami istri wajib dipisahkan seumur hidup. Mereka juga wajib membayar fidyah dengan membebaskan hamba sahaya atau puasa dua bulan berturut-turut; dan fatwa-fatwa sejenisnya.
Mereka juga pergi ke Qafsah dan menanyakan perkara tersebut kepada para alim ulamanya. Namun jawaban mereka tetap senada. Mengingat ulama-ulama mazhab Maliki menghukumkan muhrim pada setiap anak susuan walau sekedar satu tetes sekalipun, berdasarkan pendapat Imam Malik yang mengkiaskan air susu dengan arak. Dalam hukum arak dikatakan bahwa "jika banyaknya memabukkkan maka sedikitnya juga haram". Dengan itu maka menyusui, walau setetes sekalipun adalah berhukum muhrim.
Seorang yang hadir mencelah dan menunjukkan rumahku. Katanya: "Tanyakan pada Tijani masalah-masalah seperti ini karena beliau mengetahu pendapat semua mazhab. Aku saksikan beliau berhujah dengan ulama-ulama tadi berkali-kali dan dia dapat mematahkan dalil-dalil mereka."
Ketika kuajak mereka masuk ke dalam perpustakaanku, dan si suami menceritakan segalanya kepadaku secara rinci, dia juga berkata berikut: "Tuan, istriku mau bunuh diri dan anak-anakku tidak terurus. Kami tidak memperoleh jalan keluar dari kemusykilan ini. Mereka telah memberitahuku alamatmu. Aku sangat yakin pada Anda karena melihat buku-buku yang begini banyak di perpustakaan ini yang tidak pernah kulihat sebelum ini. Mudah-mudahan saja Anda dapat menyelesaikan problemaku ini."
Kemudian kuhidangkan untuknya secangkir kopi. Aku berpikir sejenak. Kemudian kutanyakan padanya bilangan susu yang dia hisap dari si ibu tua itu. Beliau menjawab: "Aku tidak tahu pasti. Tetapi istriku menyusu dari orang tua itu dua kali atau tiga kali saja. Ayahnya juga menyaksikan bahwa dia hanya dua atau tiga kali saja membawanya pergi ke tempat wanita tua itu." Lalu kujawab: "Jika ini benar, maka kalian bukanlah kakak-adik susu dan perkawinan kalian tetap sah."
Mendengar ini laki-laki tersebut terus menerpaku dan mencium-cium kepalaku dan tanganku. Katanya: "semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Anda telah membukakan pintu kedamaian di hadapanku." Dia terus pergi dan tidak sempat menghabiskan kopinya, bahkan tidak bertanya lagi rinciannya atau dalilnya dariku. Dia hanya permisi pulang agar dengan segera dapat menemui istrinya dan membawa berita gembira untuknya, anak-anaknya serta kaum kerabatnya.
Namun esoknya dia kembali bersama tujuh orang laki-laki yang lain. Katanya: "Ini ayahku, dan ini ayah istriku. Yang ketiga itu ketua desa dan keempat Imam Jum'at dan Jama'ah, kelima Penghulu agama, keenam kepala suku dan ketujuh kepala sekolah. Semua datang untuk bertanya tentang masalah menyusui tersebut dan dengan alasan apa Anda menghalalkannva?"
Semua kuajak masuk ke dalam perpustakaan. Sebelumnya aku memang telah menduga mereka akan mendebatku. Kuhidangkan buat mereka minuman kopi dan kusambut mereka dengan mesra. Mereka berkata: "Kami datang untuk bertanya akan fatwamu yang menghalalkan susuan itu sementara Allah telah mengharamkannya di dalam AlQuran dan telah diharamkan juga oleh Rasul-Nya, dengan sabdanya: "Telah diharamkan dengan susuan segala apa yang diharamkan dengan cara nasab." Begitu juga Imam Malik telah mengharamkannya."
Aku berkata: "Wahai tuan-tuan, kalian-Masya Allah- berjumlah delapan orang dan aku seorang diri. Jika aku berbicara dengan kesemua kalian maka aku tidak akan dapat meyakinkan kalian dengan hujahku, dan diskusi kita nantinya akan bertele-tele. Aku usulkan agar kalian memilih salah satu di antara kalian sebagai juru bicaranya sehingga aku bisa berdiskusi dengannya dan yang lainnya menjadi hakim kami."
Mereka terima usul tersebut dan menyerahkan sepenuhnya kepada penghulu agama sebagai wakil mengingat beliaulah yang paling alim dan paling arif di antara mereka. Maka penghulu pun memulai pertanyaannya mengapa aku menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, Rasul-Nya dan para Imam?
Aku jawab: "Aku berlindung kepada Allah dari berbuat demikian. Allah mengharamkan susuan dengan ayat yang mujmal (ringkas) dan tidak menjelaskannya secara rinci. Diserahkan-Nya kepada Rasul cara dan bagaimana rincian hukumnya."
"Tetapi Imam Malik menghukumkan muhrim hatta dari setetes air susu."
"Aku tahu. Namun Imam Malik bukanlah hujah (dalil) bagi semua kaum muslimin. Kalau tidak, bagaimana kita akan menilai pendapat imam-imam yang lain?"
"Semoga Allah meridhai mereka. Semua mereka mengambil dari Rasul SAWW."
"Lalu bagaimana nantinya hujahmu di sisi Allah atas taklidmu kepada pendapat Imam Malik yang bertentangan dengan Nas Nabi ini?"
"Subhanallah" katanya sambil merasa heran. "Aku tidak pernah tahu Imam Malik, Imam Dar al-Hijrah, menyalahi nas-nas Nabi."
Yang hadir juga merasa heran dengan ucapanku ini. Mereka sangat terkejut atas sikapku yang sangat "berani" terhadap Imam Malik yang tidak pernah dilihatnya sebelum ini dari ulama-ulama yang lain. Kemudian kukatakan lagi:
"Apakah Imam Malik dulunya dari kalangan sahabat?"
"Bukan." Jawabnya.
" Apakah beliau dari kalangan Tabi'in?"
"Bukan. Bahkan dari kalangan tabi'it-tabi'in, generasi keempat setelah Nabi SAWW."
"Mana yang lebih dekat kepada Rasul, Imam Malik atau Imam Ali bin Abi Thalib?"
"Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau adalah satu dari empat Khulafa' Rasyidin."
Salah seorang dari yang hadir berkata: "Sayyidina Ali Karramallahu Wajhahu adalah gerbang kota ilmu."
"Mengapa kalian tinggalkan gerbang kota ilmu dan ikut seorang bukan sahabat dan bukan tabi'in sekalipun. Bahkan seseorang yang lahir setelah terjadinya berbagai perselisihan di antara kaum muslimin, dan setelah kota Madinah Nabi dicemari oleh tentera Yazid dan diperlakukan sedemikian rupa sehingga sahabat-sahabat yang terbaik terbunuh, para wanita diperkosa dan sunnah-sunnah Nabi dirobah. Bagaimana seseorang bisa percaya sepenuhnya kepada imam-imam yang direkomendasi oleh para penguasa saat itu, yang memberikan fatwanya mengikut persetujuan mereka. "
Salah seorang dari mereka berkata: "Memang kami pernah dengar bahwa Anda adalah orang Syi'ah yang menyembah Imam Ali."
Serta merta sahabat yang duduk di sampingnya menamparnya dengan agak kuat, sambil berkata: "Diam. Apakah Anda tidak malu berkata seperti ini kepada seseorang yang terhormat seperti beliau. Aku banyak kenal ulama, tetapi aku tidak pernah melihat perpustakaan sebesar ini. Beliau berbicara dengan pengetahuan yang dalam dan penuh keyakinan."
Aku jawab: "Memang benar saya seorang Syi'ah. Tetapi Syi'ah tidak menyembah Ali. Mereka ikut Imam Ali sebagai ganti dari ikut Imam Malik. Karena Ali adalah gerbang kota ilmu seperti yang kalian saksikan."
Penghulu agama berkata: "Apakah Imam Ali menghalalkan perkawinan dua kakak-adik susuan?"
"Tidak. Beliau menghukum-muhrimkannya jika si bayi menyusu sebanyak lima belas kali dengan kenyang dan berturut-turut atau sehingga menumbuhkan daging dan tulang ."
Mendengar ini ayah si istri merasa sangat lega dan berkata: "Alhamdulillah. Anakku hanya menyusu dua atau tiga kali saja. Fatwa Imam Ali ini adalah jalan keluar bagi kami dari kemusykilan ini dan rahmat Allah kepada kami setelah puas kami mencari dan hampir-hampir putus asa. "
Penghulu berkata: "Berikan kami dalilnya agar kami dapat puas hati."
Lalu kuberikan kepada mereka kitab Minhaj as-Sholihin, fatwa Sayed al-Khui. Dibacanya Bab Hukum Menyusui kepada mereka. Semua mereka sangat bergembira terutama si suami yang takut kalau-kalau saya tidak mempunyai dalil yang memuaskan. Mereka memohon agar aku meminjamkan buku tersebut kepada mereka sehingga ia akan dapat berdalil di kampungnya kelak. Lalu kuserahkan buku tersebut setelah mereka permisi pulang.
Mereka keluar dari rumahku. Di jalan mereka berjumpa dengan seseorang yang akhirnya membawa mereka kepada beberapa ulama upahan. Diancamnya mereka dan dikatakan bahwa aku adalah agen Israel. Kitab Minhaj as-Sholihin yang kuberikan itu adalah sesat. Penduduk Irak semuanya kafir dan munafik dan Syi'ah adalah Majusi yang menghalalkan perkawinan antara kakak-adik. Karena itu tidak heran kalau aku menghalalkan perkawinan antara dua kakak adik-susu; dan berbagai tuduhan lain yang tidak berdasar. Sedemikian rupa ancamannya sehingga semua mereka kembali seperti semula dan tidak percaya akan kebenaran pendapat yang kuberikan.
Dipaksanya sang suami mengangkat perkara ini ke mahkamah negeri di Qafsah. Ketua mahkamah meminta mereka pergi ke pusat dan meminta penyelesaian dari Mufti Besar negara. Maka pergilah orang yang malang ini ke sana dan menunggu selama satu bulan penuh untuk dapat menghadap mufti. Diceritakannya masalahnya dari awal hingga akhir. Mufti bertanya tentang pendapat ulama yang menganggap sah perkawinan mereka. Katanya tiada siapa pun yang mengatakan demikian kecuali seorang yang bernama Tijani Samawi. Mufti mencatat namaku dan berkata kepada orang ini: pulanglah! Aku akan kirimkan sepucuk surat kepada ketua mahkamah negeri di Qafsah.
Tak lama setelah itu tibalah sepucuk surat dari mufti besar. Kemudian wakil orang ini memberitahunya bahwa mufti juga menghukumkan haram perkawinan mereka dan dianggap tidak sah.
Itulah apa yang diceritakan oleh orang yang malang dan lemah ini kepadaku. Dia meminta maaf karena telah menyebabkanku terganggu. Aku juga berterima kasih kepadanya atas timbang rasanya yang tinggi. Tetapi aku heran kenapa mufti besar menganggap perkawinan seumpama itu tidak sah. Aku minta orang ini mencari lembaran tulisan yang dikirimkan oleh mufti kepada mahkamah di sini agar supaya bisa kumuat dalam majalah atau koran lokal. Aku ingin katakan bahwa mufti tidak mengetahui mazhab-mazhab Islam dan jahil akan perbedaan-perbedaan fiqh mereka di dalam perkara susu-menyusu ini.
Orang ini berkata bahwa dia tidak dapat melihat fail perkaranya, apalagi untuk mendapatkannya. Akhirnya kami berpisah.
Setelah beberapa hari sepucuk surat panggilan datang kepadaku dari mahkamah. Mereka memerintahkanku agar datang membawa kitab rujukan dan dalil atas keabsahan perkawinan "dua kakak-adik susu" ini. Aku datang dengan membawa berbagai buku rujukan yang telah kuteliti sebelumnya. Setiap Bab Menyusui kuletakkan tanda agar mudah dapat mengenalnya kelak. Aku pergi pada waktu dan jam yang ditentukan itu. Sekretaris ketua menerima kedatanganku dan memintaku masuk ke ruang ketua. Di sana aku dikejutkan dengan kehadiran ketua mahkamah negeri, ketua mahkamah kampung dan wakil dari pusat beserta tiga anggotanya yang lain. Semua mereka mengenakan pakaian kebesaran mahkamah yang seakan-akan tengah berada dalam suatu perjumpaan resmi. Aku perhatikan juga di sana ada laki-laki yang malang itu duduk di sisi lain. Aku ucapkan salam kepada semua. Semua mereka memandangku dengan sikap menghina dan jengkel. Ketika aku duduk, sang ketua memulai pembicaraannya padaku dengan nada yang kasar:
"Anda Tijani Samawi?" "Ya."Jawabku.
"Anda yang memberikan fatwa akan sahnya perkawinan ini?"
"Bukan saya. Tetapi imam-imam fiqh dan ulama kaum muslimin yang memberikan fatwa akan sahnya perkawinan tersebut."
"Itulah kenapa kami memanggil Anda. Anda sekarang dalam tuduhan. Jika Anda tidak dapat membuktikan kebenaran dakwaan Anda maka Anda akan dihukum penjara. Dan dari sini Anda akan terus di giring ke penjara. "
Aku sadar bahwa aku kini dalam suatu tuduhan. Bukan karena aku memberikan fatwa tersebut, tetapi ada beberapa ulama jahat (ulama su') yang mengatakan kepada penguasa bahwa aku adalah penyulut fitnah, mencaci sahabat dan menyebarkan Syi'ah Ahlul Bait Nabi. Ketua mahkamah berkata bahwa jika ada dua saksi yang membuktikan kesalahanku maka dia akan memasukkanku ke dalam penjara.
Di sisi lain, Jama'ah Ikhwan Muslimin memanipulasi fatwa ini. Mereka sebarkan kepada kalangan umum dan khusus bahwa aku menghalalkan nikah antara kakak-adik. Dan ini adalah pendapat Syi'ah! Begitulah dugaan mereka.
Semua ini aku sadari ketika ketua mahkamah mengancamku dengan penjara. Tiada lain bagiku waktu itu kecuali menentang dan mempertahankan diri dengan penuh keberanian. Kukatakan kepada ketua:
"Apakah saya boleh berbicara dengan terus terang dan tanpa takut?"
"Bicaralah. Tetapi Anda tidak mempunyai pembela."
"Pertama-tama, aku tidak mengangkat diriku sebagai mufti." Kataku perlahan. "Tanyakan pada lelaki, suami wanita yang malang itu yang kebetulan hadir di sekitar kita. Dialah yang datang ke rumahku dan bertanya padaku. Sudah tentu aku wajib menjawabnya mengikut apa yang aku tahu. Aku tanyakan kepadanya berapa kali dia menghisap susu tersebut. Katanya sang istri hanya pernah menyusu dua atau tiga kali saja dari ibu yang sama. Lalu kuberitahu padanya hukum Islam yang sebenarnya. Dalam hal ini aku bukan seorang yang mujtahid dan bukan pula seorang yang mengada-adakan syareat baru."
"Aneh. Anda sekarang mendakwa yang Anda tahu akan hukum Islam dan kami jahil."
"Astaghfirullah. Aku tidak bermaksud demikian. Semua orang di sini tahu apa pendapat mazhab Imam Malik dan hanya berhenti pada pendapatnya saja.
Sementara aku menelitinya dalam berbagai mazhab dan mendapatkan cara penyelesaiannya di sana."
"Dimana Anda dapatkan jalan penyelesaiannya?" Tanya ketua.
"Sebelum itu bisakah saya ajukan satu pertanyaan wahai ketua?"
"Tanyakanlah".
"Apa pendapat Anda tentang mazhab-mazhab Islam yang lain?"
"Semua benar. Semua mereka mengambilnya dari Nabi, dan perselisihan yang ada adalah rahmat."
"Kalau demikian maka kasihanilah orang yang malang ini (sambil menunjuk ke arah orang tersebut) yang telah dua bulan lebih berpisah dengan istri dan
anak-anaknya. Padahal di sana ada mazhab Islam lain yang memberinya penyelesaian."
Dengan nada marah ketua itu berkata: "Bawakan dalilnya dan jangan bertele-tele. Kami telah berikan hak kepadamu untuk membela dirimu, dan sekarang kau mau membela orang lain."
Kuberikan kepadanya kitab Minhaj as-Sholihin, fatwa Sayed al-Khui. Kukatakan kepadanya bahwa ini adalah mazhab Ahlul Bait. Di dalamnya memuat berbagai dalil. Kemudian beliau memotong kata-kataku: "Jangan libatkan kami dengan mazhab Ahlul Bait. Kami tidak mengenalnya dan tidak beriman kepadanya."
Aku memang menduga demikian. Karena itu aku bawa bersamaku beberapa buku rujukan Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang telah kukaji dan kususun sejauh pengetahuanku. Kuletakkan Sahih Bukhari di bagian pertama. Kemudian Sahih Muslim. Lalu kitab fatwa Mahmud Syaltut, Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtasid karangan Ibnu Rusyd, kitab Zad al-Masir Fi I'lmi at-Tafsir karangan Ibnu al-Jauzi dan beberapa buku rujukan lain dari kalangan Ahli Sunnah.
Ketika ditolaknya kitab Sayed al-Khui, kutanyakan kepadanya kitab apa yang beliau pegang dan jadikan rujukan.
"Bukhari dan Muslim." Katanya.
Lalu kuambil kitab Sahih Bukhari dan kubukakan halaman yang telah kutandai. "Silahkan baca!" Kataku mempersilahkan.
"Engkau baca." Mintanya kepadaku.
Lalu kubaca: "Telah diriwayatkan oleh Fulan dari Fulan dan A'isyah Ummul Mukminin yang berkata: "Rasulullah SAWW wafat dan tidak menjatuh-muhrimkan (kakak-adik) melainkan setelah lima susuan atau lebih."
Sang Hakim mengambil buku itu dariku dan membacanya. Kemudian diberikannya kepada wakil dari pusat yang duduk di sampingnya. Lalu dibacanya dan diberikannya pula kepada orang yang duduk di sisinya. Kemudian aku keluarkan pula kitab Sahih Muslim dan kubukakan pula hadis yang sama. Lalu kitab Fatwa Syaikh al-Azhar Mahmud Syaltut, dimana beliau telah menjelaskan berbagai perbedaan pendapat para imam fiqh tentang perkara susu-menyusu ini. Ada sebagian pendapat mengatakan bahwa ia akan jatuh muhrim setelah lima belas kali susuan; pendapat lain mengatakan setelah tujuh kali susuan; dan pendapat berikutnya di atas lima kali susuan. Melainkan Imam Malik yang menyalahi nas dan menjatuh-muhrimkan walau satu tetes sekali pun. Kemudian Syaltut berkata: aku condong pada pendapat yang tengah, yakni tujuh kali susuan atau lebih.
Setelah ketua mahkamah mengetahui semua itu, beliau berkata: Cukuplah. Kemudian beliau memandang pada suami wanita tersebut dan berkata: Engkau pergi dan bawa ayah istrimu ke mari untuk menyaksikan di hadapanku bahwa anaknya menyusu hanya dua atau tiga kali saja. Kalau betul, maka kau boleh ambil istrimu semula hari ini juga.
Orang yang malang ini pun pergi. Wakil dari pusat dan hadirin yang lain minta izin keluar meneruskan tugas masing-masing. Ketika majlis itu agak lengang, sang ketua mendatangiku sambil minta maaf. Katanya: "Maafkan aku wahai ustaz. Mereka telah membuat aku keliru tentang dirimu. Mereka berkata akan hal yang aneh-aneh tentang dirimu. Sekarang aku tahu bahwa mereka hasad dan dengki kepadamu."
Hatiku sangat gembira melihat perubahan kilat seperti itu. Aku berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah memenangkanku di tanganmu wahai Hakim yang arif ."
"Aku dengar Anda memiliki perpustakaan yang besar. Apakah Anda juga menyimpan buku Hayat al-Hayawan al-kubro karya ad-Dumairi?' Tanyanya kepadaku.
"Ya." Jawabku.
"Bisa Anda pinjamkan padaku. Telah dua tahun aku mencari buku itu."
"la adalah milik Anda kapanpun Anda perlukan."
"Apakah Anda punya waktu untuk datang ke kantorku agar kita bisa berdiskusi dan saya bisa belajar darimu." Pintanya.
"Astaghfirullah. Saya yang seharusnya belajar dari Anda. Anda adalah orang yang lebih tua dan lebih agung dariku. Saya ada waktu luang empat hari dalam
seminggu. Saya senantiasa hadir untuk menerima undangan Anda."
Akhirnya kami sepakat setiap hari Sabtu untuk dapat duduk bersama, karena hari itu beliau tidak disibukkan dengan urusan mahkamah. Setelah beliau memintaku meninggalkan kitab Bukhari dan Muslim serta kitab Fatwa Syaltut untuk dapat disalinnya semua nas yang ada, beliau sendiri yang kemudian berdiri dan menghantarku pulang sampai ke pintu keluar sebagai tanda penghormatan.
Aku keluar dengan hati yang sangat gembira sambil memuji-muji Allah atas kejayaan ini dimana sebelumnya aku masuk dalam keadaan takut dan diancam penjara. Kini aku keluar dari mahkamah sementara sang ketuanya telah menjadi seorang sahabat yang dekat, menghormatiku dan memintaku menemaninya agar dapat "belajar". Semua ini adalah berkat Ahlul Bait yang tiada akan rugi orang yang berpegang kepada mereka, dan akan aman orang yang merujuk kepada mereka.
Suami yang malang tadi menceritakan semua apa yang dilihatnya kepada penduduk desanya sehingga berita itu tersebar ke seluruh pelosok desa yang ada di sekitarnya. Dia kini kembali bersama istrinya dan perkara perkawinannya telah dianggap sah. Orang ramai mulai berkata bahwa aku lebih alim dari semua, hatta dari mufti besar sekalipun.
Si suami kemudian datang ke rumahku dengan mobilnya yang besar, ingin mengajak aku dan keluargaku ke desanya. Dia bilang bahwa semua keluarganya tengah menunggu kedatanganku. Mereka akan menyembelih tiga ekor anak onta sebagai tanda syukur. Tetapi aku minta maaf lantaran tidak dapat hadir karena kesibukanku di Qafsah. Kukatakan kepadanya bahwa aku akan mengunjungi mereka di waktu lain Insya Allah.
Lalu sang Hakim tadi pun menceritakan kejadian itu kepada sahabat-sahabatnya hingga tersebarlah cerita itu dan Allah telah menolak tipu daya orang-orang yang berniat jahat. Sebagian mereka datang meminta maaf, dan sebagian lain Allah bukakan hatinya untuk menerima hidayat dan kebenaran sehingga mereka ikut mazhab Ahlul Bait dan menjadi orang-orang yang ikhlas. Semua ini adalah karunia Allah yang Dia berikan kepada mereka yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Pemberi karunia yang agung.
Wa Akhiru Da'wana Anil Hamdulillahi Rabbil A'lamin. Wa
Sollallahu A'la Sayyidina Muhammadin Wa A'la A'lihi at-
Thayyibin Wat Thahirin
Sumber Utama : http://alhassanain.org/indonesian/?com=book&id=77
Ini Hukuman Allah Terhadap Para Pembunuh Cucu Rasulullah, Buta, Mati Terbakar dan Gila
JAKARTA -- Cucu Rasulullah SAW, Al Husain, dibunuh secara keji dalam peristiwa Karbala. cucu kesayangan Nabi Muhammad ini terbunuh bersama sebagian besar pemuda ahlul bait.
Dikutip dari Republika.co.id, sejarah mencatat, Allah SWT menghukum semua orang yang terlibat dalam pembunuhan Al Husain tersebut.
Sayyid Hasan al-Husaini, Az-Zuhri dalam bukunya 'Hasan dan Husain the Untold Story' menuturkan: ''Semua orang yang terlibat dalam pembunuhan al-Husain mendapat hukuman Allah di dunia ini. Di antara mereka ada yang mati dibunuh, ada yang ditimpa kebutaan, ada yang kulit wajahnya menghitam, dan ada pula yang kehilangan kekuasaan dalam waktu singkat.'' (Lihat Ash-Shawaiq al-Muhriqah).
Abu Raja al-Aththaradi menuturkan: Janganlah kalian mencela keluarga yang tinggal di tempat ini, maksudnya Ahlul Bait Nabi Muhammad. Dahulu, kami punya tetangga dari Balhajim, Kufah. Suatu hari ia berkata: ''Bagaimana pendapat kalian tentang si fasik bin fasik yang dilaknat Allah ini?'' Si fasik yang dimaksudnya adalah al-Husain. Seketika itu juga, Allah melemparkan noktah putih dari langit ke matanya sehingga ia buta saat itu juga. Sungguh aku menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepala sendiri. (Lihat Asy-Syariah).
Atha bin Muslim meriwayatkan dari Ibnus Suddi bahwa ayahnya, Suddi, bercerita: Dahulu kami, para budak, biasa menjajakan tekstil di perkampungan Karbala. Suatu hari, kami bertemu dengan seorang laki-laki yang terlibat dalam pembunuhan Al Husain. Laki-laki itu berkata, ''Wahai penduduk Kufah, kalian memang pendusta! Kalian bilang bahwa semua orang yang terlibat dalam pembunuhan Al Husain telah dimatikan Allah dalam kondisi suul khatimah, atau terbunuh secara keji. Buktinya, aku masih hidup padahal aku berada di tempat kematiannya ketika itu. Bahkan kini aku mempunyai harta yang paling banyak.''
''Mendengar itu, kami pun segera menyudahi makan. Ketika itu lentera masih menyala. Pria itu kemudian beranjak untuk mematikan lentera tersebut. Ia berusaha mengeluarkan sumbu lampu dengan jari tangannya, namun tiba-tiba api menyambar jarinya. Ia berusaha memadamkan api tersebut dengan meniupnya, tetapi ketika jari itu didekatkan ke mulut api justru menyambar jenggotnya. Ia pun berlari ke kolam lalu menceburkan diri ke dalamnya, namun kulihat api itu tetap menyala di dalam air dan membakar tubuhnya sampai hangus seperti arang.'' (Lihat Tarikh Dimasyq karya Ibnu Asakir. Sanad riwayat ini daif).
Ada banyak riwayat yang mengisahkan hukuman Allah terhadap para pembunuh Al Husain, dan sebagian besarnya merupakan kisah sahih. Ibnu Katsir menuturkan, ''Sebagian besar riwayat tentang petaka yang menimpa para pembunuh Al Husain adalah sahih. Sedikit sekali dari mereka yang berhasil selamat dari petaka dunia. Tidak seorang pun dari mereka yang mati tanpa menderita sakit sebelumnya, dan kebanyakan mereka menderita penyakit gila.'' (Lihat Al Bidayah wan Nihayah).
Al-A'masy mengatakan, ''Aku mendengar perihal seorang laki-laki yang sengaja buang air besar di atas makam Al Husain bin Ali. Maka Allah menimpakan penyakit gila, lepra, sopak, dan berbagai penyakit serta musibah kepada keluarganya.'' (Lihat Tarikh Dimasyq).
'Para pembunuh Al Husain dan ahlul baitnya juga menjadi buronan yang terus dikejar pasukan Al Mukhtar bin Abu Ubaid Ats Tsaqafi, seorang yang ingin menuntut balas atas kematian Al Husain dan ahlul baitnya pada tragedi Karbala. Akhirnya pasukan ini berhasil menggelandang mereka satu per satu ke hadapan Al Mukhtar. Al Mukhtar lantas memerintahkan untuk membunuh mereka dengan cara yang berbeda-beda, sesuai dengan kekejian mereka terhadap Al Husain ketika itu.'' (Al Bidayah wan Nihayah).
Syamr bin Dzul Jausyan dibunuh dalam sebuah penyergapan yang dilakukan pasukan Al Mukhtar. Ketika itu, Syamr menghadapi pasukan tersebut tanpa sempat mengenakan baju atau menyentuh pedangnya. Syamr memang sempat melukai mereka, namun Abu Umarah kemudian berhasil membunuhnya. Jasadnya lalu dilemparkan untuk makanan anjing. (Lihat Al-Alam karya Az Zarkali).
Khauli bin Yazid Al Ashbahi juga mengalami nasib yang sama, ia dibunuh lalu jasadnya dibakar. Pasukan Al Mukhtar menghukumnya demikian karena dialah yang membawa kepala Al Husain. (Lihat Usdul Ghabah).
Umar bin Sa'ad bin Abu Waqqash juga mati dibunuh. Ia adalah komandan pasukan yang membunuh Al Husain. Anaknya, Hafsh, juga ikut dibunuh.
Sedangkan Sinan bin Anas, laki-laki yang dituduh sebagai pembunuh Al Husain lari dan menjadi buronan, namun rumahnya dirobohkan. (Lihat Al Bidayah wan Nihayah).
Adapun Hakim bin Thufail ath-Tha-i, orang yang memanah Al Husain, ia juga dibunuh pasukan Al Mukhtar. Demikian pula dengan nasib Umar bin Shabah ash-Shad. (Lihaat Tarikh Ibnu Khaldun).
Menurut catatan Ibnu Khaldun, Al Mukhtar terus memburu para pembunuh Al Husain. Setelah mendapat informasi tentang keberadaan Ubaidullah bin Asad Al Juhani, Malik bin Nasir Al Kindi, dan Haml bin Malik Al Muharibi, yaitu di wilayah Qadisiyah, ia langsung meringkus dan membunuh mereka. Dia juga menangkap Ziyad bin Malik Adh Dhuba'i, Imran bin Khalid Al Atsari, Abdurrahman bin Abu Hasykah Al Bajali, dan Abdullah bin Qais Al Khaulani. Orang-orang inilah yang dahulu merampas bahan pewarna pakaian yang dibawa Al Husain.
Al Mukhtar lalu membunuh mereka semua. Abdullah (atau Abdurrahman) bin Thalhah dan Abdullah bin Wuhaib Al Hamdani, yaitu sepupu al-A'masy, juga ditangkap dan dibunuh. Utsman bin Khalid Al Juhani dan Abu Asma' Bisyr bin Samith Al Qabisi juga bernasib sama. Keduanya terlibat dalam pembunuhan Abdurrahman bin Aqil dan merampas barang-barang miliknya. Setelah ditangkap, keduanya dibunuh dan dibakar (Liht Tarikh Ibnu Khaldun).
Para pembunuh Al Husain terus diburu dan dibunuh dengan cara yang berbeda-beda. Jika si pelaku tidak ditemukan, maka rumahnya pasti dirobohkan (Lihat Al-Muntazham).***
Sumber Utama : https://www.goriau.com/berita/baca/ini-hukuman-allah-terhadap-para-pembunuh-cucu-rasulullah-buta-mati-terbakar-dan-gila.html
Kebangkitan Mukhtar al-Tsaqafi
Kebangkitan Mukhtar, sebuah gerakan yang dipimpin oleh Mukhtar bin Abi Ubaid al-Tsaqafi, dengan tujuan menuntut darah para syuhada Karbala. Kebangkitan ini dimulai di Kufah pada tahun 66 H. dan para pembunuh Imam Husain As dan para sahabat beliau yang terbunuh dalam peristiwa tersebut, seperti Ubaidillah bin Ziyad, Umar bin Sa’ad, Syimr bin Dzil Jausyan dan Sinan bin Anas.
Kebangkitan Mukhtar berlangsung dengan nama Muhammad ibnu Hanafiyyah. Sebagian para ulama Syiah berpendapat Mukhtar melakukan kebangkitan tersebut atas perintah Imam Sajjad As.
Tujuan Kebangkitan
Mukhtar mendekam di penjara saat peristiwa Karbala. Setelah bebas, ia menuntut balas para pembunuh Imam Husain As. Awalnya, ia bekerjasama dengan Abdullah bin Zubair, yang bangkit melawan Yazid di Hijaz, namun di pertengahan jalan, Mukhtar tidak seakidah lagi dengannya. Ia pun menjaga jarak dan untuk melaksanakan kebangkitan, ia bergerak menuju Kufah. (butuh referensi)
Menyertai Abdullah bin Zubair
Mukhtar yang sebelumnya sempat bertemu dengan Abdullah bin Zubair, dalam menjawab saran orang-orang yang ada di sekitar, mengungkapkan baiatnya dengan Abdullah, sementara tujuan Abdullah dengan tujuannya tidaklah searah, oleh karenanya pembaiatan yang ia lakukan tidaklah bermanfaat. [1] Tetapi dengan paksaan orang-orang yang ada di sekitarnya, ia pun akhirnya membait Abdullah bin Zubair namun dengan dua syarat, syarat pertama: Abdullah bin Zubair bermusyawarah dengannya dalam semua kinerja, tidak melakukan pekerjaan sendiri-sendiri[2], dan tidak menentangnya. [3] Syarat kedua: Jabatan tertinggi dalam pemerintahan diberikan kepada Mukhtar. [4] Saat serangan pasukan Yazid ke Mekah dan pengepungan Abdullah bin Zubair, Mukhtar berada di sampingnya bertempur melawan pasukan Yazid. Menurut penuturan sebagian referensi, ketika Mukhtar melihat Abdullah telah melakukan makar dengannya[5] dan mengklaimkan khilafah, maka ia mengundurkan diri dan menempuh jalan menuju Kufah guna menyiapkan basis-basis kebangkitan. [6]
Pertemuannya dengan Muhammad bin Hanafiyyah
Sebelum berangkat menuju Kufah, Mukhtar telah bertemu dengan Muhammad bin Hanafiyyah dan memberitahukuan tujuannya, yakni kebangkitannya dan meminta tugas darinya. Muhammad bin Hanafiyyah dalam kalimat yang global memberikan izin kepadanya dan di samping itu supaya tidak melupakan ketakwaan. [7] Al-Baladzuri mengabarkan adanya izin Muhammad bin Hanafiyyah secara gamblang kepada Mukhtar dalam asas kebangkitan tersebut.[8]
Dalam Perjalanan Menuju Kufah
Mukhtar dari Mekah bergerak menuju Kufah dan di pertengahan jalan di sebuah tempat dekat Kufah, ia menangis atas musibah-musibah Imam Husein As. Ia berkabung sampai akhirnya orang-orang Syiah melihatnya dan bergabung dengannya. [9] Mukhtar tiba di sungai Hirah pada hari Jumat. Lantas ia mandi, memakai wewangian, memakai amamah, mengantungkan pedang dan pergi ke masjid Sakun di Kindah dan di manapun ia lewat senantiasa memberi kabar gembira kemenangan kepada masyarakat. [10]
Memasuki Kufah
Mukhtar memasuki Kufah setelah enam bulan dari kematian Yazid dan di pertengahan bulan suci Ramadhan. [11] Saat itu juga, Ibnu Zubair mengirim Abdullah bin Muthi’ sebagai gubernur Kufah. [12][13]
Mukhtar dan Kebangkitan Tawabin
Setelah memasuki Kufah, Mukhtar mendapat undangan dari Sulaiman bin Surad dan kebangkitan Tawabin. Dengan bertolak ia melihat tidak adanya keselarasan untuk kebangkitan, maka ia tidak melakukan kerjasama dengan mereka. Ia juga berkata kepada penduduk Kufah, Sulaiman tidak memiliki kemahiran dalam bidang pertempuran dan tidak mengetahui sandi-sandi pertempuran. Umar bin Sa’ad juga menemui penguasa Kufah dan mengatakan kelompok Tawabin tidaklah membahayakanmu, namun Mukhtarlah yang membahayakan bagi Kufah. [14] Karenanya saat terjadi kebangkitan Tawabin, Mukhtar berada di penjara para serdadu Abdullah bin Zubair. [15]
Sisa-sisa Kelompok Tawabin
Setelah kebangkitan Tawabin gagal, Mukhtar menulis kepada orang-orang tersisa dari mereka dan mengajak mereka untuk bergabung dengannya. Selain menjawab positif permintaan Mukhtar, mereka juga memberikan pesan bahwa mereka siap menyerbu penjara dan membebaskan Mukhtar. Mukhtar meminta mereka supaya menghentikan, karena beberapa hari lagi dirinya akan bebas. Ia menulis kepada Abdullah bin Umar, suami saudarinya, Shafiyyah binti Abi Ubaid, ia memintanya supaya menjadi mediasi baginya dan menyiapkan sarana-sarana kebebasannya, Abdullah bin Umar melakukan hal tersebut dan membebaskan Mukhtar dari penjara.
Komitmen dengan Penguasa Kufah
Penguasa Kufah, Ibrahim bin Muhammad saat membebaskan Mukhtar, memintanya supaya tidak melakukan tindakan-tindakan yang menentang pemerintahan dan berjanji jika melakukan hal-hal tersebut, maka ia akan mengorbankan seribu onta dan akan memerdekakan semua hamba sahayanya, baik laki-laki maupun perempuan. Mukhtar pun berjanji dan ia pun dibebaskan dari penjara.
Setelah bebas, ia berkata berkorban seribu onta di hadapan tujuanku adalah hal yang sepele, dan demikian juga aku siap untuk sampai kepada tujuanku dan aku sama sekali tidak memiliki hamba sahaya. Ia mengatakan hal tersebut dan meneruskan jalannya. [16]
Pendahuluan Kebangkitan
Dengan melihat bahwa para ajudan pemerintah selalu mengawasi gerak gerik Mukhtar, Mukhtar pertama-tama secara sembunyi-sembunyi memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan pasukan. Para duta Mukhtar dan orang-orang terdekatnya adalah sebagai berikut:
Saib bin Malik al-Asy’ari, salah seorang pemimpin Syiah Irak dan datuk Asy’ari Qom
Yazid bin Anas
Ahmar bin Shamit
Rufa’ah bin Shaddad, salah seorang pemipin kebangkitan Tawabin
Abdullah bin Shaddad al-Bajali, salah seorang pemimpin Tawabin.
Duta Muhammad bin Hanafiyyah
Di Kufah, Mukhtar mengumumkan bahwa dirinya adalah duta Muhammad bin Hanafiyyah dan menamakan dirinya sebagai amin (kepercayaan), menteri dan pemimpin dari pihaknya, yang atas perintahnya melakukan kebangkitan guna memerangi orang-orang Atheis, dan menuntut darah Ahlulbait As. [17][18]
Kebimbangan atas Klaim Mukhtar
Sejumlah Syiah berkumpul di rumah Si’r bin Abi Si’r Hanafi. Abdur Rahman bin Syuraih mengatakan, Mukhtar mengkalim sebagai wakil Muhammad bin Hanafiyyah, sekarang kita pergi ke Madinah dan mengetahui validitas klaim Mukhtar. [19]
Pertemuan Orang-orang Kufah dengan Ibn Hanafiyyah
Para delegasi yang dipimpin Abdur Rahman bin Syuraih hendak menuju Madinah dan menemui Muhammad bin Hanafiyyah. Mereka mencari berita tentang kebangkitan Mukhtar dan perwakilannya dari pihak Muhammad. Muhammad menjawab, demi Allah aku mencintai Allah melalui perantara setiap orang dari para hamba-Nya yang menuntut balas terhadap para musuh-musuh kami. [20]
Allamah Majlisi menukil dari Ibnu Nama, Muhammad bin Hanafiyyah membawa mereka menemui Imam Sajjad As guna mendapatkan kewajiban. Imam Sajjad As berkata, wahai paman, jika seorang hamba dari Zanzibar bangkit membela kami maka wajib bagi masyarakat untuk membantunya dan aku menjadikanmu sebagai wakil, dengan demikian apa yang baik maka lakukanlah. [21]
Mereka keluar dari Madinah dan mengatakan sesungguhnya Imam Zainal Abidin dan Muhammad bin Hanafiyyah telah memberikan izin kepada kita. [22][23] Dan setelah kembali, merekapun membenarkan klaim Mukhtar. [24][25]
Mungkin dengan berdasarkan riwayat tersebut, dimana sebagian para ulama besar Syiah seperti Ayatullah Khu’i[26] dan al-Mamqani[27] meyakini bahwa kebangkitan Mukhtar dengan izin khusus Imam Zainal Abidin As.
Peran Ibrahim bin Malik al-Asytar
Mukhtar demi kemajuan tujuan-tujuan kebangkitan, dengan saran para pemimpin Syiah mengajak Ibrahim bin Malik al-Asytar untuk bergabung dalam kebangkitannya. [28] Awal mulanya Ibrahim bimbang, namun setelah melihat surat Muhammad bin Hanafiyyah yang mendukung Mukhtar dan kesaksian sejumlah pembesar Syiah akan validitas surat tersebut, akhirnya iapun membaiat Mukhtar. [29] Ia merupakan tokoh kedua, yang memiliki peran signifikan dalam kebangkitan tersebut.
Tanggal Dimulainya Kebangkitan
Dengan perencanaan para pemimpin, diputuskan kebangkitan dimulai hari Kamis tanggal 14 Rabiul Awwal[30] , namun dengan terjadinya bentrokan antara Ibrahim dengan Ayas bin Mazarib, pemimpin pasukan militer Kufah yang menyebabkan tewasnya ia, maka kebangkitan diajukan menjadi hari Selasa, 12 Rabiul Awwal tahun 66. [31]
Semboyan
Mukhtar memerintahkan Abdullah bin Shaddad supaya memulai kebangkitan dengan semboyan Ya Manshur Ummat, yakni Wahai penolong umat[32] . Semboyan ini dilontarkan oleh Rasulullah Saw dalam perang Badar[33] dan Bani Mushthaliq[34] . Salah satu cabang kebangkitan-kebangkitan Syiah berikutnya juga menggunakan semboyan tersebut. Selanjutnya semboyan ini juga dipakai dalam kebangkitan Zaid bin Ali [35][36] , Muhammad Nafs Zakiyyah, Ibrahim bin Abdullah. Demikian juga Mukhtar memerintahkan Sufyan bin Laila dan Qudamah bin Malik agar memakai semboyan Ya Latstsaratal Husein, yakni Penuntut Darah Husein. [37]
Selanjutnya, kebangkitan dilakukan secara terang-terangan dan akhirnya setelah beberapa hari konflik, Abdullah bin Muthi’ penguasa Kufah kabur. [38][39] Abdullah bin Muthi’ dilantik oleh Abdullah bin Zubair sebagai penguasa baru Kufah guna menumpas kebangkitan tersebut. [40][41]
Memasuki Istana Kufah
Mukhtar memasuki istana Kufah pada hari Jumat 15 Rabiul Awwal tahun 66, dan salat Jumat dilaksanakan dengan dipimpin olehnya sendiri. Sebelum salat ia mengutarakan dua khutbah dan di situ ia menjelaskan tujuan-tujuan kebangkitannya, dan selanjutnya diselenggarakan acara baiat.
Pembagian Kedudukan Pemerintah
Abdullah bin Harits Nakha’i, paman Ibrahim bin Malik, gubernur Armenia
Muhammad bin Umar, gubernur Azerbaijan
Abdul Rahman bin Said bin Qais, gubernur Mosul
Ishak bin Mas’ud, gubernur Madain
Said bin Hudzaifah bin Yaman, gubernur Halawan
Abdullah bin Malik Tha’i, hakim Kufah
Abu Umrah Kaisan, pemimpin pasukan militer di dalam Kufah
Membalas Para Pembunuh
Terkabulnya Kutukan Imam Sajjad As
Minhal bin ‘Amr mengatakan, aku menemui Imam Sajjad As di Madinah. Beliau bertanya tentang Harmalah. Saat saya di Kufah ia masih hidup, ucapku. Imam berkata, Ya Allah cicipkanlah besi panas untuknya. Ya Allah cicipkanlah besi panas untuknya., Ya Allah cicipkanlah besi panas untuknya…[42]
Surat Jaminan Umar bin Sa’ad
Umar bin Sa’ad mengutus Abdullah bin Ja’dah, salah seorang kerabat dekat Imam Ali As untuk menemui Mukhtar guna meminta jaminan keamanan untuknya. Mukhtar dengan mempertimbangkan kemaslahatan memberikan keamanan untuknya, dengan syarat tidak keluar hadas darinya dan tidak keluar dari Kufah.
Pembatalan Surat Jaminan
Saat berita kekhwatarian Muhammad bin Hanafiyyah tentang kebebasan Umar bin Sa’ad sampai pada Mukhtar[43] , maka ia merencanakan untuk membunuh Umar bin Sa’ad. Dengan demikian, di tengah-tengah kerabat Umar bin Sa’ad mengabarkan pembunuhan pelaku utama peristiwa Karbala pada hari-hari mendatang. Mukhtar dalam teks surat jaminan menuliskan kalimat-kalimat ambigu yang dapat membatalkannya setiap saat yang dikehendakinya. Dalam surat jaminan tersebut dikemukakan, kamu dalam keamanan dengan syarat kamu tidak melakukan hadas. Imam Baqir As dalam menjelaskan hadas dalam surat jaminan Mukhtar mengatakan, maksud Mukhtar adalah hadas yang tidak membatalkan wudhu. [44] Mukhtar mengirim Abu Umrah supaya pergi ke rumahnya untuk membunuhnya dan Abu Umrah setelah membunuhnya, mengirim kepalaUmar bin Sa’ad ke hadapan Mukhtar.
Pertempuran dengan Pemerintahan Syam
Mayoritas pembunuh para syuhada Karbala yang ada di Kufah sudah menemui ajal dan sedikit sekali dari mereka yang berhasil kabur dan selamat. Setelah itu, Mukhtar bertekat untuk membalas para pelaku utama kesyahidan Imam Husein As, yakni Bani Umayyah, ia berencana melawan pemerintah Syam. Menurut sebagian keterangan, setelah tewasnya para pembunuh Imam Husein As, harapan terbesar Mukhtar adalah persiapan dan pengiriman pasukan Ibrahim menuju Syam. [45]
Pengiriman Ibrahim bin Malik
Mukhtar, dua hari setelah pembasmian para pembunuh Imam Husein As, pada bulan Dzulhijjah tahun 66 H. berpamitan dengan Ibrahim dan mengutusnya menuju Syam. [46][47] Dari sisi lain juga Ubaidillah bin Ziyad dengan jumlah pasukan yang banyak dikirim untuk melawan Ibrahim dan dua pasukan SALING bertemu di dekat Mosul.
Pasukan Ibrahim berjumlah 120.000 orang, sementara 8.000 orang asal Iran dan 4.000 dari masyarakat berbahasa Arab[48] . Dalam sebagian laporan diprediksikan jumlah pasukan Ibrahim mencapai 20.000-30.000 orang. [49]
Berhadap-hadapan dengan Ibnu Ziyad
Pasukan Ibrahim berhadapan dengan 80.000 pasukan Ibnu Ziyad[50] di sekitar Mosul. Pertempuran tersebut dimenangkan oleh Ibrahim. Orang-orang seperti Abdullah bin Ziyad, Hushain bin Numair dan Syarhabil bin Dzi al-Kila’ tewas[51] dalam pertempuran tersebut, Ubaidillah bin Ziyad tewas pada hari Asyura tahun 67 H. [52] Jasad Ubaidillah bin Ziyad dibakar[53] dan kepalanya dibawa ke hadapan Mukhtar di Kufah dan dari situ ia mengirim kepala tersebut ke Madinah untuk Imam Sajjad As dan Muhammad bin Hanafiyyah. [54]
Kepala Ibnu Ziyad di Madinah
Saat kepala Ibnu Ziyad tiba di hadapan Imam Sajjad As, beliau sedang makan. Beliau mengatakan, saat kami dibawa ke hadapan Ziyad, ia sedang makan dan kepala ayahku ada di hadapannya. Kemudian saya berkata, ya Allah, janganlah kau ambil nyawaku sampai Engkau perlihatkan kepala Ibnu Ziyad kepadaku. [55]
Pasukan Khasyabiyyah
Abdullah bin Zubair, Muhammad bin Hanafiyyah dan Abdullah bin Abbas beserta 17 orang Bani Hasyim, termasuk Hasan al-Mutsanna dipenjarakan dalam sebuah goa bernama Syi’ib ‘Arim dan mengancam akan membakar mereka jika tidak berbaiat. Muhammad bin Hanafiyyah mengirim sebuah pesan kepada Mukhtar dan meminta bantuanya, Mukhtar pun mengirim sebuah pasukan ke Mekah yang bersenjatakan kayu semata. Kelompok ini terkenal dengan Khasyabiyyah, yakni para pemilik kayu. [56] Bersenjatakan kayu dikarenakan menjaga kemuliaan kota Mekah dan tidak memasuki kota tersebut dengan pedang. [57]
Urwah bin Zubair dalam menjustifikasi kinerja saudaranya terkait pembakaran Bani Hasyim mengatakan, ia melakukan hal tersebut agar tidak terjadi perpecahan dan konflik dan juga kaum muslim sama lain SALING bersatu dan mereka (Bani Hasyim) juga mentaatinya dan hasilnya mereka SALING bersatu, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Umar bin Khattab terhadap Bani Hasyim, saat mereka berlambat-lambat dalam membaiat Abu Bakar. [58]
Pertempuran Mush’ab dan Mukhtar
Beberapa pembunuh Imam Husein As berhasil kabur. Mereka yang dikepalai oleh Muhammad bin al-Asy’ats dan Syabts bin Rub’i pergi menuju Bashrah dan memprovokasi Mush’ab bin Zubair agar memerangi Mukhtar.
Pertempuran di luar Kufah
Awalnya dua pasukan saling berhadap-hadapan di sebuah kawasan bernama Mazar. Pasukan Mukhtar dengan dipimpin oleh Ahmar ibnu Shamit dan bantuan Abdullah bin Kamil dan kehadiran Abu Umrah Kaisan serta pasukan Mush’ab dengan dipimpin oleh Mush’ab dan kehadiran Muhallab bin Abi Shufrah dalam medan pertempuran menyebabkan pasukan Mukhtar mengalami kekalahan telak. Ibnu Shamit, Ibn Kamil dan Abu Umrah serta banyak sekali orang-orang Iran tewas dalam pertempuran tersebut.
Kemudian berlangsung pertemuan dengan dihadiri Mukhtar di luar Kufah, sementara dalam pertempuran tersebut juga pasukan Mukhtar mengalami kekalahan besar dan mundur ke Kufah. Muhammad bin Asy’ats tewas dalam pertempuran tersebut.
Pertempuran di dalam Kota
Pasukan Mush’ab bergerak menuju kota dan setelah konflik di dalam kota, akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Mukhtar dan mereka mengepung Dar al-Imarah. 6.000 orang bersama Mukhtar berada dalam Darul Imarah. Mukhtar menyarankan supaya menyerbu musuh dan terbunuh secara mulia, namun mereka tidak menerimanya.
Pembunuhan Mukhtar
Mukhtar bersama 19 orang keluar dari istana dan tewas setelah pertempuran tidak seimbang tersebut. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 14 Ramadhan tahun 67 H. [59]
Termasuk orang-orang yang ikut tewas pada hari itu adalah Abdullah dan Abdur Rahman, putra Hujr bin Adi[60] dan Saib bin Malik Asy’ari, datuk Asy’ariyyun Qom. [61]
Nasib Orang-orang yang Dikepung
Orang-orang yang tidak bersedia melaksanakan perintah Mukhtar dan tidak mau terbunuh secara mulia dalam konflik dengan pasukan Mush’ab, setelah Mukhtar, 6.000 orang tersebut ditangkap dan dipancung. [62] Suatu hari Mush’ab melewati Abdullah bin Umar. Abdullah berkata kepadanya, engkau adalah orang yang telah membunuh 6000 penduduk ahli Kiblat. Mush’ab menjawab, mereka adalah kafir. Abdullah mengatakan, jika dengan bilangan tersebut yang engkau bunuh adalah kambing sebagai warisan dari ayahmu, ini adalah hal yang mubazir dan haram, terlebih-lebih terhadap kaum muslim. [63][64]
Terbunuhnya Istri Mukhtar
Pasca kematian seluruh tawanan, Mush’ab mendatangi dua istri Mukhtar, Ummu Tsabit binti Samurah bin Jundub dan Umrah binti Nu’man bin Basyir dan meminta mereka supaya menjelek-jelekkan Mukhtar. [65] Ummu Tsabit melakukannya dan ia pun dibebaskan; namun Umrah mengatakan, semoga Allah merahmatinya, sedangkan ia termasuk salah seorang hamba salih Allah; dengan demikian Mush’ab memerintahkan supaya membunuhnya, dan seseorang bernama Mathar membunuhnya. Ya’qubi menulis, Mush’ab meminta pendapat Umrah terkait Mukhtar, ia menyebut baik Mukhtar dan mengatakan, sesungguhnya ia orang yang bertakwa, suci dan sering berpuasa. Mush’ab memerintahkan supaya membunuhnya. Umrah adalah wanita pertama dalam Islam yang dipenggal lehernya. [66]
Pranala Terkait
Kebangkitan Tawabin
Mukhtar
Daumah binti Wahab
Ibrahim bin Malik Asytar
Abu Ubaid Tsaqafi
Catatan Kaki :
1. ‘‘Ansāb al-Asyrāf’’, jld. 6, hlm. 378.
2. ‘‘Afarinesh wa Tārikh’’, Terjemahan. jld. 2, hlm. 908.
‘‘Tārikh Ibn Khaldun’’, Terjemahan teks, jld. 2, hlm. 37.
‘‘Tārikh Thabari’’, jld. 5, hlm. 575.
‘‘Ansāb al-Asyrāf’’, jld. 6, hlm. 317.
‘‘Afarinesh wa Tārikh’’, Terjemahan. jld. 2, hlm. 910.
‘‘Ansāb al-Asyrāf’’, jld. 6, hlm. 380.
,
‘‘Al-Kāmil’’, jld. 4, hlm. 174.
‘‘Tārikh Thabari’’, jld. 5, hlm. 578.
‘‘Tārikh Ibn Khaldun’’, Terjemahan teks, jld. 2, hlm. 43.
‘‘Afarinesh wa Tārikh’’, Terjemahan. jld. 2, hlm. 911.
‘‘Tārikh Ibn Khaldun’’, Terjemahan teks, jld. 2, hlm. 44.
‘‘Al-Kāmil’’, jld. 4, hlm. 172.
Imtā’ al-Asmā’ , jld. 12, hlm. 251.
‘‘Tajārub al-Umam ’’, jld. 2, hlm. 137.
‘‘Imtā’ al-Asmā’l’’, jld. 12, hlm. 250.
‘‘Tārikh al-Islām’’, jld. 5, hlm. 62.
‘‘Ansāb al-Asyrāf’’, jld. 6, hlm. 384.
‘‘Tārikh Thabari’’, jld. 6, hlm. 14.
‘‘ Bihār al-Anwār’’, jld. 45, hlm. 365.
,
Riyadh al-Abrar fi Manaqib al-Aimmah al-Athhar, jld. 1, hlm. 298.
‘‘Ansāb al-Asyrāf’’, jld. 6, hlm. 384.
‘‘Tārikh Thabari’’, jld. 6, hlm. 14.
‘‘Mu’jam al-Rijāl’’, jld. 18, hlm. 100.
‘‘Tanqih al-Maqāl’’, jld. 3, hlm. 101.
‘‘Tārikh Thabari’’, jld. 6, hlm. 15.
, hlm. 16.
Tajarib al-Umam, jld. 2, hlm. 147.
Thabari, jld. 7, hlm. 183.
‘‘Ansāb al-Asyrāf’’, jld. 6, hlm. 309.
Thabaqat, jld. 2, hlm. 10; ‘‘Imtā’ al-Asmā’l’’, jld. 1, hlm. 106.
Al-Isti’ab, jld. 2, hlm. 656.
Thabari, jld. 7, hlm. 183.
Maqatil, hlm. 133.
‘‘Ansāb al-Asyrāf’’, jld. 6, hlm. 390.
, hlm. 392.
Thabari, jld. 6, hlm. 27.
‘‘Afarinesh wa Tārikh’’, Terjemahan. jld. 2, hlm. 911.
‘‘Tārikh Ibn Khaldun’’, Terjemahan teks, jld. 2, hlm. 44.
Kasyf al-Ghimmah fi Ma’rifah al-Aimmah, jld. 2, hlm. 112.
‘‘Tārikh Thabari’’, jld. 6, hlm. 62.
, hlm. 61.
‘‘Ansāb al-Asyrāf’’, jld. 6, hlm. 423.
,
‘‘Al-Amāli’’ (Thusi), ‘‘al-Nash’’, hlm. 240.
Bihar al-Anwar, jld. 45, hlm. 334.
‘‘Al-Akhbār al-Thiwāl’’, hlm. 293.
‘‘Ansāb al-Asyrāf’’, jld. 6, hlm. 363.
, hlm. 426.
Bihar al-Anwar, jld. 45, hlm. 386.
‘‘Ansāb al-Asyrāf’’, jld. 6, hlm. 426.
Bihar al-Anwar, jld. 45, hlm. 386.
, hlm. 336.
‘‘Ansāb al-Asyrāf’’, jld. 6, hlm. 284.
‘‘Al-Kāmil’’, jld. 4, hlm. 251.
Syarh Nahjul Balaghah li Ibni Abil Hadid, jld. 20, hlm. 147.
Tarikh Qom, hlm. 290.
Al-Ishabah, jld. 2, hlm. 34.
Tarikh Qom, hlm. 290.
Al-Muntadzam, jld. 6, hlm. 66.
Al-Bidayah wa al-Nihayah, jld. 8, hlm. 289.
‘‘Ansāb al-Asyrāf’’, jld. 6, hlm. 445.
‘‘Al-Akhbār al-Thiwāl’’, hlm. 309.
‘‘Tārikh Ya’qubi’’, jld. 2, hlm. 264.
Sumber Utama : http://alhassanain.org/indonesian/?com=content&id=1800&search=terbunuhnya%20husain
BERANGKAT KE HIJAZ
AKU tiba di Jeddah. Di sana aku berjumpa dengan temanku
Bashir yang hangat menyambut kedatanganku. Dibawanya
aku ke rumahnya dan dihormatinya aku dengan penuh mesra.
Dia luangkan waktunya untuk menemaniku pergi bersiar dan
ziarah dengan mobilnya. Kami pergi umrah bersama-sama dan
kami lalui waktu-waktu kami dengan amal ibadah dan
ketakwaan. Aku mohon maafkarena terlambat sampai lantaran
perjalanan ke Iracj sebelum ini. Kuceritakan kepadanya temuan
baruku. Dia bersikap terbuka dan ingin tahu. Katanya: "Aku
memang pernah mendengar bahwa mereka mempunyai banyak
ulama yang agung dan bersandar pada dalil-dalil yang kuat.
Tetapi di antara mereka banyakjuga golongan yang sesat. Pada
setiap musim haji mereka menciptakan berbagai kemusykilan
pada kami." Kutanya kemusykilan seperti apa? "Seperti, shalat
di sekitar kuburan, masuk ke pekuburan baqi' beramai-ramai,
menangis disana dan membawa potongan batu untuk sujud.
Jika mereka pergi ke kuburan Sayyidina Hamzah di Uhud,
mereka akan mengadakan acara takziah, memukul-mukul dada
dan menangis kuat seakan-akan Hamzah baru saja meninggal
hari itu. Karena itulah kenapa kerajaan Saudi melarang mereka
masuk ke makam-makam ziarah."
Aku hanya tersenyum. Kukakatakan padanya apakah dengan ini berarti mereka dihukumkan telah keluar dari Islam? "Ya, ada lagi yang lainnya." Jawabnya. "Mereka datang ziarah ke kuburan Nabi, tetapi dalam waktu yang sama mereka berdiri di depan kuburan Abu Bakar dan Umar, kemudian mencaci dan melaknat mereka. Sebagian mereka bahkan ada yang melempari kuburan Abu Bakar dan Umar dengan benda-benda najis dan kotoran."
Kata-kata ini mengingatkanku pada cerita ayahku saat beliau baru pulang dari Haji. Katanya, orang-orang Syi'ah melemparkan najis ke kuburan Nabi. Ayahku memang tidak pernah menyaksikannya sendiri. Katanya dia hanya melihat unit keamanan Saudi memukul sebagian jemaah haji dengan tongkat. Ketika diprotesnya, mereka menjawab bahwa yang dipukul itu bukan orang-orang Islam. Mereka adalah orang-orang Syi'ah, yang datang membawa benda-benda najis untuk dilemparkan ke pusara Nabi SAWW. Ayahku kemudian berkata: "Seketika itu juga kami laknat mereka dan meludahi muka mereka."
Sekarang ini kudengar dari temanku seorang Saudi asal Madinah bahwa orang-orang Syi'ah itu berziarah ke kuburan Nabi, tapi melemparkan benda-benda najis ke pusara Abu Bakar dan Umar. Aku meragukan kebenaran dua cerita ini. Karena kulihat sendiri ruang kuburan Nabi dan kuburan Abu Bakar dan Umar semuanya tertutup. Siapa pun tidak akan dapat mendekat untuk memegang dan mengusap dari pintu atau jendelanya. Apalagi ingin melemparkan sesuatu ke dalamnya. Di samping tidak ada celah-celah, ia dijaga sangat ketat oleh polisi-polisi yang kasar yang silih berganti berdiri di hadapan setiap pintu. Mereka memegang cambuk dan memukul setiap orang yang mendekat atau yang berusaha melihat ruang dalam. Kebanyakan polisi adalah orang-orang Saudi sendiri.
Mereka mengkafirkan Syi'ah agar punya alasan untuk memukul mereka; dan supaya kaum muslimin tergugah untuk memerangi mereka atau paling tidak akan diam atas penghinaan terhadap mereka. Kelak nanti kalau pulang ke negeri masing-masing, mereka akan mengatakan bahwa Syi'ah adalah mazhab yang membenci Rasulullah SAWW dan melemparkan benda-benda najis ke kuburannya. Dengan demikian maka mereka telah dapat melempar dua burung dengan satu batu.
Hal ini serupa dengan cerita seorang alim yang kupercaya. Katanya: "Ketika kami sedang tawaf di Baitullah, tiba-tiba seorang anak muda termuntah akibat perutnya yang mual dan desakan orang ramai. Polisi-polisi yang menjaga Hajarul Aswad kemudian datang dan memukulnya. Ditariknya anak muda ini dengan cara yang sangat memilukan. Kemudian ia dituduh sengaja datang ke Ka'bah dengan membawa benda najis untuk mengotorinya. Setelah "dibuktikan" maka anak muda ini dihukum mati pada hari itu juga.
Drama-drama seperti itu mulai mengusik benakku. Aku sejenak merenungkan kata-kata temanku Saudi ini yang mengkafirkan Syi'ah. Sebabnya tiada lain karena orang-orang Syi'ah itu menangis, memukul-mukul dada, sujud di atas tanah dan shalat di sekitar kuburan. Aku bertanya-tanya apakah ini dalilnya untuk mengkafirkan orang yang bersaksi Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah Hamba-Nya dan Utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa bulan Ramadhan, pergi haji ke Baitullah al-Haram dan melaksanakan amar ma'ruf dan nahi munkar.
Aku tidak ingin membantah dan berselisih dengannya. Aku hanya berkata: semoga AUah membimbing kita dan mereka ke jalan yang lurus; dan semoga laknat Allah ditimpakan kepada musuh-musuh agama yang telah menipu-daya Islam dan kaum muslimin.
Setiap kali aku bertawaf ketika umrah dan ketika ziarah ke Makkah al-Mukarramah, yang ada hanya segelintir manusia saja. Aku shalat dan memohon kepada Allah dengan segala jiwa ragaku agar dibukanya hatiku dan dibimbingnya aku ke jalan yang benar.
Aku berdiri di belakang makam Ibrahim a.s. Aku baca ayat berikut: "Dan berjihadlah kamu padajalan Allah denganjihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak rnenjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu. Dan (begitu pula) dalam (AlQumn) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan snpaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik Penolong" (Al-Haj: 78).
Lalu aku mulai bermunajat dengan Sayyidina Ibrahim atau bapak kita seperti yang disebut oleh AlQuran. " Wahai bapak kami. Duhai yang menamakan kami sebagai Muslimin. Lihatlah anak-anakmu yang telah berselisih setelah ketiadaanmu. Mereka telah menjadi Yahudi, Nasrani dan Muslimin. Dan Yahudi telah berpecah kepada tujuh puluh satu golongan; Nasrani telah berpecah kepada tujuh puluh dua golongan, dan kaum muslimin telah berpecah juga kepada tujuh puluh tiga golongan. Semua mereka tersesat seperti yang diberitakan oleh puteramu Muhammad dan satu golongan saja yang masih setia di jalanmu.
Apakah ini telah jadi sunnah Allah seperti yang dikatakan oleh Qadariah, sehingga Dia telah tetapkan kepada semua manusia untuk menjadi Yahudi, Nasrani, Muslim, ateis atau musyrik. Atau lantaran cinta kepada dunia dan menjauh dari ajaran-ajaran Allah. Mereka telah lupa kepada Allah lalu Allah melupakan diri mereka. Akalku tidak berdaya mempercayai yang qadha dan qadar itu menentukan nasib manusia. Aku condong bahkan hampir pasti mengatakan bahwa Allah SWT setelah menciptakan kami, Dia juga membimbing kami dan menunjukkan kami mana yang baik dan mana yang buruk. Diutus-Nya kepada kami para Rasul-Nya untuk menjelaskan apa yang kami tidak tahu dan mengajarkan mana yang hak dari yang batil. Tetapi manusia telah ditipu oleh dunia dan hiasannya.
Karena sikap ego, sombong, jahil, angkuh, zalim dan melewati batas maka mereka kemudian berpaling dari kebenaran dan ikut jejak setan. Mereka telah lari dari ar-Rahman dan masuk ke jalan yang lain. AlQuran telah mengungkapkan ini dengan ungkapan yang sangat baik dan ringkas, "Sesungguhnya Allah tidak sekali-kali menzalimi manusia, tetapi manusia itu sendiri yang menzalimi diri mereka." (Yunus: 44)
Duhai ayah kami Ibrahim. Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah cela karena menginkari kebenaran setelah datangnya bukti-bukti yang jelas dengan sikap mereka yang angkuh itu. Lihatlah pula ummat ini yang telah diselamatkan oleh Allah dengan datangnya puteramu Muhammad, dan telah dikeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, dan telah dijadikan mereka sebagai ummat yang terbaik yartg pernah diciptakan untuk manusia. Lihatlah mereka juga bertengkar dan berpecah, bahkan saling mengkafirkan.
Rasulullah telah memperingatkan mereka dan membatasi mereka dengan sabdanya: "Seorang muslim tidak diperkenankan meninggalkan saudara muslimnya yang lain lebih dari tiga hari." Kenapa ummat ini berpecah dan terbagi menjadi negara-negara kecil yang saling bermusuhan, berperang dan saling mengkafirkan. Bahkan mereka saling tidak mengenal sehingga mereka berpisah sepanjang hidupnya. Apa yang telah terjadi pada ummat padahal sebelum ini mereka adalah sebaik-baik ummat. Dahulu mereka telah kuasai barat dan timur dan menghantarkan ummat manusia pada kebenaran ilmu pengetahuan, kesadaran dan peradaban. Tetapi kini mereka telah menjadi ummat yang hina dan tidak penting. Tanah-tanah mereka dirampas. Rakyat mereka diusir. Masjid al-Aqso mereka diduduki oleh segelintir orang-orang Zionis tanpa mereka sanggup membebaskannya.
Kalaulah Engkau mengunjungi negara-negara mereka, maka yang kau lihat hanyalah kemiskinan, kelaparan, ketandusan, penyakit-penyakit yang berbahaya, moral-moral yang rusak, keterbela-kangan pemikiran dan teknologi, penindasan dan kekotoran. Cukup Engkau bandingkan antara toilet-toilet umum Eropa dengan toilet-toilet umum di negara-negara kami. Ketika seorang musafir masuk ke toilet di negara Eropa mereka akan melihatnya bersih dan tidak berbau.
Sementara jika ia pergi ke negara-negara Islam ia akan melihatnya kotor dan berbau. Padahal agama Islam kita mengajarkan bahwa "kebersihan adalah sebagian dari iman dan kekotoran adalah bagian dari setan." Apakah iman telah berhijrah ke Eropa sementara setan hijrah ke mari? Kenapa kaum muslimin takut menampakkan akidah mereka hatta di negara sendiri, dan tidak berani hatta sekadar menunjukkan wajah. Mereka takut memelihara janggut mereka atau memakai pakaian Islam. Sementara orang-orang fasik secara terang-terangan meminum arak, berzina dan memperkosa kehormatan Islam, tanpa seorang muslim mampu menolak mereka apalagi menyuruh yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Aku dengar di sebagian negara Islam seperti Mesir dan Morocco, seorang ayah menjual anak-anak perempuannya melacur semata-mata karena kemiskinan yang sudah sangat mencekik. Wala Haula Wala Quwwata llla Billah al-A'li al-A'zim.
Ya Ilahi. Kenapa Kau menjauh dari ummat ini dan mening-galkannya jatuh ke dalam kegelapan. Tidak...tidak. Aku mohon ampunanMu ya Ilahi dan mohon tubat dariMu. Merekalah yang menjauh dari-Mu dan memilih jalan setan. Maha Agung Hikmah-Mu dan Maha Tinggi Kekuasaan-Mu. Kau telah berfirman: "Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (AlQuran) Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. (Az-Zukhruf: 36) Kau juga berfirman: "Muhammad itn tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh maka kamu berbalikke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun. Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orangyang bersyukur." (Ali Imran: 144)
Tidak syak lagi bahwa kemunduran, keterbelakangan, kehinaan dan kemiskinan adalah bukti jelas akan jauhnya mereka dari jalan yang lurus. Dan tidak syak lagi bahwa kelompok yang sedikit atau kelompok yang satu dari tujuh puluh tiga kelompok yang ada tidak akan dapat mempengaruhi perjalanan ummat ini secara keseluruhan. Rasulullah SAWW telah bersabda: "Hendaklah kalian perintahkan yang ma'ruf dan cegah yang munkar, atau Allah akan tempatkan orang-orang yang paling jahat menguasai kalian. Saat itu apabila orang-orang yang terbaik di antam kalian berdoa, kelak Dia tidak kabulkan permohonan-nya."
Ya Tuhan kami. Kami telah beriman dengan apa yang Kau turunkan dan kami telah mengikuti Rasul-Mu. Maka golongkanlah kami bersama orang-orang yang bersaksi.
Ya Tuhan kami. Jangan Kau palingkan hati-hati kami setelah Kau berikan kami hidayah. Karuniakan kepada kami dari sisi-Mu rahmat. Sesungguhnya Kau Maha Pemberi.
Ya Tuhan kami. Kami telah aniaya diri kami, apabila Kau tidak ampuni kami dan mengasihi kami niscaya kami akan menjadi orang-orang yang rugi.
Aku berangkat ke Madinah al-Munawwarah sambil membawa sepucuk surat dari temanku Basyir kepada salah seorang kerabatnya di sana. Maksudnya agar aku dapat tinggal di rumahnya saja. Dan Basyir juga telah memberitahunya melalui telefon. Sesampainya di sana aku disambut dengan hangat dan diajak tinggal di rumahnya. Segera setelah itu aku pergi ziarah ke kuburan Rasulullah SAWW. Sebelum pegi aku mandi dan mengenakan pakaianku yang paling baik dan paling bersih. Tak lupa aku juga pakai wewangian yang harum semerbak. Waktu itu para pengunjung tidak seramai di musim haji. Karena itu aku dapat berdiri di hadapan kuburan Nabi SAWW dan kuburan Abu Bakar dan Umar.
Pada musim haji yang lalu, aku tidak bisa berdiri karena sesaknya pengunjung yang datang ziarah. Kemudian secara iseng aku coba ingin menyentuh salah satu dari pintu kuburan Nabi untuk tabarruk (mengambil berkat). Tiba-tiba seorang penjaga yang berdiri di situ menghentakku. Di setiap pintu ada seorang penjaga yang berdiri. Ketika aku berdiri lama untuk berdoa dan menyampaikan salam temanku, para penjaga di situ menyuruhku pergi. Aku coba meyakinkannya, tapi tidak berhasil.
Aku kembali ke taman Raudhah. Di sana aku membaca ayat-ayat AlQuran dengan bacaan yang terbaik. Kuulangi berkali-kali karena kubayangkan seakan Nabi sedang mendengar bacaanku. Kukatakan kepada diriku apakah mungkin Nabi mati seperti orang-orang lain yang mati. Lalu kenapa kita baca salam kepadanya di waktu-waktu shalat kita, "Assalamu Alaika Ayyuhan Nabiyyu Wa Rahmatullahi Wci Barakatuh ". Apabila kaum muslimin percaya bahwa Sayyidiria Khidhir as tidak mati dan menyahut salam setiap orang yang mengucapkan padanya; bahkan apabila syaikh-syaikh tarekat sufi percaya bahwa syaikh mereka seperti Ahmad Tijani atau Abdul Qadir Jailani dapat datang kepada mereka secara nyata atau dalam tidur, lalu kenapa kita meragukan yang Rasulullah SAWW mempunyai keramat seumpama itu. Padahal baginda Nabi adalah mahkluk Allah yang paling utama.
Sebenarnya kaum muslimin tidak meragukan kemampu-an Rasulullah seperti ini kecuali kelompok Wahabiah yang mulai tidak kusakai itu. Sebab lain, karena mereka juga bersikap kasar terhadap sesama orang-orang mukmin yang tidak seakidah dengan mereka.
Suatu hari aku berziarah ke Taman Baqi'. Aku berdiri di sana membaca Fatihah untuk arwah Ahlul Bait. Di dekatku ada seorang tua yang sedang menangis.
Dari tangisnya aku tahu bahwa dia adalah seorang Syi'ah. Kemudian dia menghadap kiblat dan shalat. Tiba-tiba secepat kilat seorang polisi datang menghampirinya. Polisi ini telah memperhatikan gerak-gerik orang tua ini dari tadi. Ketika orang tua ini sujud, dia ditendang dengan keras sekali hingga jatuh tersungkur. Dia pingsan tak sadarkan diri beberapa saat. Kemudian si polisi ini memukulnya lagi dan mencaci-maki dengan kata-kata yang keji. Hatiku tak terharu melihat nasib orang tua ini, khawatir ia akan mati karena derita yang kejam itu.
Kukatakan pada polisi ini, wahai Polan, haram bagimu memperlakukan orang tua seperti ini. Kenapa kau pukul dia padahal dia sedang shalat? Dia menghentakku sambil berkata: "Diam kau dan jangan ikut campur, biar tidak kuperlakukan seperti itu." Ketika kulihat wajahnya yang merah karena marah padaku, aku pergi menghindarinya dengan hati yang sangat kesal lantaran tak dapat menolong orang yang dizalimi ini. Aku juga sangat kesal kenapa orang-orang Saudi yang ada di sekitar tidak berani mencegahnya.
Sebagian penziarah lain juga menyaksikan kejadian itu. Ada yang berkata La Haula Wala Quwwata llla Billahi al-A'li al-A'zim sebagai tanda kesal. Tapi ada juga yang mendukung perlakuan seperti itu karena konon dia sembahyang di sekitar kuburan; dan ini hukumnya haram. Aku tidak dapat menahan diriku melihat sikap orang tni. Kukatakan padanya, siapa yang berkata bahwa sembahyang di sekitar kuburan adalah haram? "Rasulullah yang melarangnya" jawabnya.
"Kalian berdusta atas nama Rasulullah." Kataku tanpa sadar. Karena khawatir orang-orang yang ada di sekitar akan menangkapku atau akan memanggil si polisi itu, lalu aku diperlakukan seperti orang tua itu, akhirnya aku berkata dengan lemah lembut: "Jika memang Nabi SAWW melarang ini, kenapa jutaan jemaah haji dan penziarah tidak melaksanakannya dan terus melakukan perbuatan yang haram. Mereka shalat di sekitar kuburan Nabi dan kuburan Abu Bakar dan Umar ketika berada di Masjid Nabawi; atau ketika berada di berbagai masjid kaum muslimin yang lain di belahan dunia ini. Katakanlah bahwa shalat di sekitar kubur adalah haram, tapi apakah dengan cara kasar seperti ini kita lalu melarangnya atau dengan cara halus dan lemah lembut?
Izinkan aku menceritakan kisah seorang Badwi yang kencing di masjid Nabi di hadapan baginda Nabi dan sahabat-sahabatnya tanpa segan silu. Ketika sebagian sahabat berdiri menghunuskan pedang untuk membunuhnya, Nabi melarang mereka. Katanya: "Biarkan dia, dan jangan perlakukan dia dengan kasar. Siramkan setimba air pada air kencingnya, karena kalian dibangkitkan untuk mempermudah bukan untuk mempersulit; untuk membawa berita gembira bukan untuk menimbulkan rasa enggan." Semua sahabat mematuhi perintahnya. Kemudian Rasulullah memanggil si Badwi ini dan didudukkannya di sisinya.
Disambutnya dengan mesra dan dikatakan kepadanya dengan lemah lembut bahwa tempat ini adalah Rumah Allah dan tidak boleh dinajisi. Akhirnya si Badwi ini masuk Islam. Pada hari-hari berikutnya, dia datang ke masjid dengan pakaiannya yang paling suci. Benarlah firman Allah kepada Rasul-Nya: "Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekeliling-mu." ( Ali Imran: 159)
Mendengar ini sebagian yang hadir merasa terkesima. Salah seorang dari mereka mengajakku ke sebuah sudut dan bertanya siapa aku. Dari Tunisia, jawabku. Disalaminya aku, kemudian dia berkata: "Ya akhi, demi Allah, jagalah dirimu dan jangan kau berkata-kata seperti itu lagi di sini. Aku menasihatimu hanya karena Allah semata-mata."
Sejak itu bertambahlah kebencianku pada mereka yang mengaku sebagai Khadimul Haramain, karena perlakuan mereka yang kasar terhadap tamu-tamu Allah. Di sana tidak ada orang yang berani mengeluarkan pendapatnya atau meriwayatkan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan cara mereka, atau mempercayai sesuatu yang tidak sama dengan kepercayaan mereka.
Aku kembali ke rumah temanku yang masih belum kukenal namanya. Dia hidangkan untukku makan malam. Kami duduk bersama saling menyapa. Sebelum makan, ditanyanya kemana aku pergi hari ini. Kuceritakan padanya apa yang kusaksikan dari awal hingga akhir. Kukatakan juga padanya: "Ya akhi, terus terang kukatakan kepadamu bahwa aku mulai merasa muak dengan Wahhabiah, dan mulai condong kepada Syi'ah." Tiba-tiba saja mukanya berubah. Katanya kepadaku: "Jangan kau ucapkan kata-kata serupa itu sekali lagi!" Ditinggalkannya aku sendirian dan tidak kembali sampai aku tertidur. Pagi berikutnya aku bangun setelah mendengar suara azan Masjid Nabawi. Kulihat makanan malam tadi masih berada di tempatnya. Aku sadar bahwa dia tidak kembali malam tadi.
Aku merasa khawatir kalau-kalau dia adalah seorang agen intel. Aku segera berdiri dan bergegas meninggalkan rumah. Sepanjang hari itu aku berada di masjid saja, berziarah dan shalat. Aku hanya keluar untuk wudhu' atau buang hajat.
Usai shalat Asar aku duduk mendengarkan ceramah yang sedang diberikan pada sekumpulan jemaah sekitar. Melalui orang yang hadir akhirnya aku tahu bahwa penceramah adalah seorang Qadhi atau pemuka kota Madinah. Aku mendengarkan kuliah tafsir AlQuran yang diajarnya. Usai kuliah, aku menghadapnya dan mengajukan beberapa pertanyaan. Kataku, "Tuan, dapatkah Anda memberikan penjelasan kepadaku maksud ayat "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya" (Al-Ahzab: 33). Siapa Ahlul Bait yang dimaksudkan dalam ayat ini?"
"Mereka adalah isteri-isteri Nabi. Sebab ayat ini bermula dengan menyebut mereka, "Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lain..." Jawabnya.
Kukatakan padanya bahwa "Ularna-ulama Syi'ah berkata bahwa ayat ini adalah khusus untuk Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Aku juga telah kritik mereka dan kukatakan bahwa permulaan ayat tersebut adalah kata-kata "Hai isteri-isteri Nabi..." Mereka menjawab: "Ketika ayat tersebut berkata kepada isteri-isteri Nabi, dhomir (kata ganti) yang digunakan semuanya Nun Niswah (menunjuk perempuan). Firman Allah, "Lastunna inittaqoitunna", "Fala Takhdho'na", "Wa Qulna", " Wa Qirna fi buyutikunna", "Wa la Tabarrajna", "Wa Aqimnas Sholah WaAtinaz Zakah", "Wa Athi'nallaha Wa Rasulahu". Ketika bagian ayat itu khusus kepada Ahlul Bait, maka dhomir ayat itu pun berubah (menunjuk lelaki). Firman-Nya "Li Yuzhiba A'nkum", "Wa Yutohhirakum".
Sambil mengangkat cermin matanya, dia pandang wajahku dan berkata: "Hati-hati dari jenis pemikiran yang bahaya seperti ini. Orang-orang Syi'ah mentakwilkan Kalam Allah mengikut hawa nafsu mereka. Mereka juga mempunyai berbagai ayat yang berkenaan dengan Ali dan anak-anaknya yang tidak kita ketahui. Mereka mempunyai AlQuran tersendiri yang diberi nama dengan Mushaf Fatimah. Kuingatkan engkau jangan sampai tertipu."
"Jangan khawatir wahai Tuan!" kataku padanya." Aku senantiasa waspada dan banyak tahu tentang mereka. Aku hanya ingin mengkaji."
"Anda berasal dari mana?" Tanyanya kepadaku.
"Dari Tunisia".
"Siapa nama Anda?"
"At-Tijani".
Dia tertawa lebar. "Anda tahu siapa itu Ahmad Tijani". Tanyanya. "Syaikh Tarekat." Jawabku. "Dia adalah boneka Perancis. Perancis dapat bertapak di Algeria dan Tunisia karena bantuannya. Jika kau pergi ke Paris, pergilah ke Perpustakaan Nasional dan baca Kamus Perancis pada bab "A". Di sana kau akan temukan bahwa Perancis telah memberinya medali kehormatan karena baktinya yang sangat besar kepada mereka." Jiwaku terasa tersentak mendengar kata-katanya itu. Kemudian kuucapkan rasa terima kasih dan kami pun berpisah.
Aku berada di Madinah selama seminggu. Di sana aku telah dapat tunaikan sebanyak empat puluh shalat (wajib). Aku juga mengunjungi tempat-tempat ziarah. Selama di sana aku mengamati berbagai hal yang menarik perhatianku. Tapi perasaanku terhadap Wahhabiah semakin hari semakin kecewa. Aku berangkat dari Madinah ke Jordan. Di sana aku berjumpa dengan teman-teman yang kukenal pada waktu musim haji yang lalu, seperti yang kusebutkan di atas.
Selama tiga hari aku berada di sana. Kulihat rasa benci mereka pada Syi'ah lebih banyak dari yang kusaksikan di Tunisia. Cerita dan alasannya satu. Setiap kali kutanya apa dalilnya, mereka berkata bahwa mereka juga telah mendengarnya dari orang lain. Tidak satupun dari orang yang kutanya pernah suatu saat berdiskusi dengan orang Syi'ah sendiri; atau membaca kitab Syi'ah bahkan bertemu dengan mereka.
Dari sana aku pergi ke Syria. Aku berkunjung ke Jami' Umawiyah di Damascus. Disebelahnya ada makam yang dinisbahkan kepada kepala Sayyidina Husain. Aku juga sempat berkunjung ke pusara Salahuddin al-Ayyubi dan Sayyidah Zainab.
Dari Beirut aku pergi ke Tripoli. Perjalanan laut memakan waktu selama empat hari. Di saat itulah aku benar-benar bisa istirahat. Kuulangi rekaman perjalananku yang hampir habis. Akhirnya aku berkesimpulan bahwa aku condong dan menaruh rasa hormat pada Syi'ah. Dan sebaliknya merasa benci dan muak pada Wahabiah yang telah kukenal liku-likunya. Aku memuji Allah atas karunia yang diberikan-Nya padaku sambil berdoa kepada-Nya agar ditunjukkan jalan yang benar.
Aku kembali ke tanah air dengan penuh kerinduan kepada keluarga dan teman-temanku. Semuanya kudapati dalam keadaan baik. Ketika tiba di rumah, aku dikejutkan dengan banyak bungkusan buku yang telah sampai sebelumku. Aku tahu siapa pengirimnya. Ketika kubuka buku-buku yang memenuhi ruangan rumah, hatiku semakin cinta dan menghargai mereka yang tidak mengingkari janjinya itu. Kulihat buku-buku yang dikirim lebih banyak dari yang dihadiahkannya padaku waktu itu.
Sumber Utama : http://alhassanain.org/indonesian/?com=book&id=77&search=sejarah%20sebutan%20ahlu%20sunnah
PANDANGAN SAHABAT SATU SAMA LAIN
1. KESAKSIAN MEREKA ATAS PERUBAHAN SUNNAH NABI
Abi Sa'id al-Khudri berkata: "Pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, Rasulullah SAWW keluar rumah untuk menunaikan shalat Id. Usai shalat beliau berdiri menghadap para hadirin yang masih duduk di saf, kemudian berkhotbah yang penuh dengan nasehat dan perintah." Abu Sa'id melanjutkan: "Cara seperti ini dilanjutkan oleh para sahabatnya sampailah suatu hari ketika aku keluar untuk shalat Id (Idul Fitri atau Idul Adha) bersama Marwan, gubernur kota Madinah.
Sesampainya di sana Marwan langsung naik ke atas mimbar yang dibuat oleh KAtsir bin Shalt. Aku tarik bajunya. Tapi dia menolakku. Marwan kemudian memulai khotbah Idnya sebelum shalat. Kukatakanpadanya: "Demi Allah kalian telah robah." "Wahai Aba Sa'id" Tukas Marwan, "Telah sirna apa yang kau ketahui" Kukatakan padanya: "Demi Allah, apa yang kutahu adalah lebih baik dari apa yang tidak kuketahui." Kemudian Marwan berkata lagi: "Orang-orang ini tidak akan mau duduk mendengar khotbah kami seusai shalat. Karena itu kulakukan khotbah sebelumnya."16
Aku coba teliti gerangan apa yang menyebabkan sahabat seperti ini berani merobah Sunnah Nabi. Akhirnya kutemukan bahwa Bani Umaiyah-yang mayoritasnya adalah sahabat Nabi-terutama Muawiyah bin Abu Sufyan yang konon sebagai Penulis Wahyu, senantiasa memaksa kaum muslimin untuk mencaci dan melaknat Ali bin Abi Thalib dari atas mimbar-mimbar masjid. Muawiyah memerintahkan orang-orangnya di setiap negeri untuk menjadikan cacian dan laknat pada Ali sebagai suatu tradisi yang mesti dinyatakan oleh para khatib. Ketika sejumlah sahabat protes atas ketetapan ini, Mua wiyah tidak segan-segan memerintahkan mereka dibunuh atau dibakar. Muawiyah telah membunuh sejumlah sahabat yang sangat terkenal seperti Hujur bin U'dai beserta para pengikutnya, dan sebagian lain dikuburkan hiduphidup. "Kesalahan" mereka (dalam persepsi Muawiyah) semata-mata karena enggan mengutuk Ali dan bersikap protes atas dekrit Muawiyah.
Abul A'la al-Maududi dalam kitabnya al-Khilafah Wal Muluk (Khilafah Dan Kerajaan) menukil dari Hasan al-Bashri yang berkata: "Ada empat hal dalam diri Muawiyah, yang apabila satu saja ada pada dirinya, itu sudah cukup sebagai alasan untuk mencelakakannya:
1. Dia berkuasa tanpa melakukan sebarang musyawarah
sementara sahabat-sahabat lain yang merupakan cahaya
kemuliaan masih hidup.
2. Dia melantik puteranya (Yazid) sebagai pemimpin
setelahnya, padahal sang putera adalah seorang pemabuk
dan pecandu minuman keras dan musikus.
3. Dia menyatakan Ziyad (seorang anak zina) sebagai
puteranya, padahal Nabi SAWW bersabda: "Anak adalah milik
sang ayah, sementara yang melacur dikenakan sanksi
rajam.
4. Dia telah membunuh Hujur dan para pengikutnya. Karena
itu maka celakalah dia lantaran (membunuh) Hujur; dan
celakalah dia karena Hujur dan para pengikutnya.17
Sebagian sahabat yang mukmin lari dari masjid seusai shalat karena tidak mau mendengar khotbah yang berakhir pada kutukan terhadap Ali dan keluarganya. Itulah kenapa Bani Umaiyah merobah Sunnah Nabi ini dengan mendahulukan khotbah sebelum shalat agar yang hadir terpaksa mendengarnya.
Nah, sahabat jenis apa yang berani merobah Sunnah Nabinya, bahkan hukum-hukum Allah sekalipun semata-mata demi meraih cita-citanya yang rendah dan ekspresi dari rasa dengki yang sudah terukir. Bagaimana mereka bisa melaknat seseorang yang telah Allah sucikan dari segala dosa dan nista dan diwajibkan oleh Allah untuk bersalawat kepadanya sebagaimana kepada Rasul-Nya. Allah juga telah mewajibkan kepada semua manusia untuk mencintainya hingga Nabi SAWW bersabda: "Mencintai Ali adalah iman dan membencinya adalah nifak."18
Namun sahabat-sahabat seperti ini telah merobahnya. Mereka berkata, kami telah dengar sabda-sabda Nabi tentang Ali, tetapi kami tidak mematuhinya. Seharusnya mereka bersalawat kepadanya, mencintainya dan taat patuh kepadanya; namun sebaliknya mereka telah mencaci dan melaknatnya sepanjang enam puluh tahun, seperti yang dicatat oleh sejarah. Apabila sahabat-sahabat Musa pernah sepakat mengancam nyawa Harun dan hampir-hampir membunuhnya, maka sebagian sahabat Muhammad SAWW telah membunuh "Harun-nya" (yakni Ali) dan mengejar-ngejar anak keturunannya serta para Syi'ahnya di setiap tempat dan ruang. Mereka telah hapuskan nama-nama dan bahkan melarang kaum muslimin menggunakan nama mereka. Tidak sekadar itu, hatta para sahabat besar dan agungpun mereka paksa untuk melakukan hal yang serupa.
Demi Allah, aku berdiri heran dan terpaku ketika membaca buku-buku referensi kita yang memuat berbagai hadis yang mewajibkan cinta pada Nabi dan saudaranya serta anak pamannya, yakni Ali bin Abi Thalib, dan sejumlah hadis-hadis lain yang mengutamakan Ali atas para sahabat yang lain. Sehingga Nabi SAWW bersabda: "Engkau (hai Ali) di sisiku bagaikan kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tiada Nabi setelahku.19
Atau sabdanya: "Engkau dariku dan aku darimu".20
Dan sabdanya lagi: "Mencintai Ali adalah iman dan membencinya adalah nifak".21
Sabdanya: "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya ".22
Dan sabdanya: "Ali adalah wali (pemimpin) setiap mukmin setelahku."23
Dan sabdanya: "Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka Ali adalah maulanya. Ya Allah, bantulah mereka yang mewila'nya dan musuhilah mereka yang memusuhinya."24
Apabila kita ingin mencatat semua keutamaan Ali yang disabdakan oleh Nabi SAWW dan yang diriwayatkan oleh para ulama kita dengan sanadnya yang shahih, maka ia pasti akan memerlukan suatu buku tersendiri. Bagaimana mungkin sejumlah sahabat seperti itu pura-pura tidak tahu akan hadis ini, lalu mencacinya, memusuhinya, melaknatnya dari atas mimbar dan membunuh atau memerangi mereka?
Aku tidak temukan sebarang alasan dari sikap dan perlakuan seperti ini melainkan semata-mata karena cinta pada dunia dan berlomba-lomba mengejarnya; atau karena sifat nifak dan berpaling dari kebenaran. Aku juga coba melemparkan tanggung jawab ini kepada sebagian sahabat yang terkenal buruk, atau sebagian dari orang-orang munafik. Namun sayang sekali, yang kutemukan dari penelitianku itu adalah sejumlah sahabat yang agung dan masyhur. Orang pertama yang pernah mengancam akan membakar rumahnya (Ali) beserta para penghuni yang ada di dalamnya adalah Umar bin Khattab; orang pertama yang memeranginya adalah Thalhah, Zubair, Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar, Muawiy ah bin Abu Sufyan dan A'mer bin A'sh dan sebagainy a.
Rasa terkejut dan kagetku bertambah dalam dan seakan tidak akan berakhir. Setiap orang yang berpikir rasional akan segera mendukung pendapatku ini. Bagaimana ulama-ulama Ahlu Sunnah sepakat mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil sambil mengucapkan "Radhiallahu Anhum", bahkan mengucapkan salawat untuk mereka tanpa kecuali. Sehingga ada yang berkata, "Laknatlah Yazid tapi jangan berlebihan". Apa yang dapat kita bayangkan tentang Yazid yang telah melakukan tragedi yang sangat tragis ini, yang tidak dapat diterima bahkan oleh akal dan agama. Aku nyatakan kepada Ahlu Sunnah Wal Jamaah, jika mereka benar-benar mengikut Sunnah Nabi, agar meninjau hukum AlQuran dan Sunnah Nabi secara cermat dan seadil-adilnya tentang kefasikan Yazid dan kekufurannya. Rasululah SAWW telah bersabda: "Siapa yang mencaci Ali maka dia telah mencaciku; dan siapa yang mencaciku maka dia telah mencaci Allah; dan siapa yang mencaci Allah maka Aku akan menjatuhkannya ke dalam api neraka."15
Demikian itu adalah sanksi bagi orang yang mencaci Ali. Maka bagaimana pula apabila ada orang yang melaknatnya dan memeranginya. Mana alim-ulama kita dari hakikat kebenaran ini? Apakah hati mereka telah tertutup rapat? Katakanlah, ya Allah, aku mohon lindunganMu dari bisikan syaitan dan dari kehadirannya.
2. SAHABAT MERUBAH HATTA SEMBAHYANG
Anas bin Malik berkata: "Tiada sesuatu yang kuketahui di zaman nabi lebih baik dari (hukum) shalat." Kemudian dia bertanya: "Tidakkah kalian kehilangan sesuatu di dalam shalat?" Az-Zuhri pernah bercerita: "Suatu hari aku berjumpa dengan Anas bin Malik di Damsyik. Saat itu beliau sedang menangis. "Apa yang menyebabkan Anda menangis?", tanyaku. "Aku telah lupa segala yang kuketahui melainkan shalat ini. Itupun telah kusia-siakan." Jawab Anas.26
Agar jangan sampai terkeliru dengan mengatakan bahwa para Tabi'inlah yang merobah segala sesuatu setelah terjadinya sejumlah fitnah, perselisihan dan serta peperangan, ingin kunyatakan di sini bahwa orang pertama yang merobah Sunnah Rasul dalam hal shalat adalah khalifah muslimin yang ketiga, yakni Utsman bin Affan. Begitu juga Ummul Mukminin Aisyah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitabnya bahwa Rasulullah SAWW menunaikan shalat di Mina dua rakaat (qashar). Begitu juga Abu Bakar, Umar dan periode awal dari kekhalifahan Utsman. Setelah itu Utsman Shalat di sana (Mina) sebanyak empat rakaat."27
Muslim juga meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa Zuhri berkata: "Suatu hari aku bertanya pada Urwah kenapa Aisyah shalat empat rakaat dalam perjalanan musafirnya?" "Aisyah telah melakukan takwil sebagaimana Utsman"28 jawabnya. Umar bin Khattab juga tidak jarang berijtihad dan bertakwil di hadapan nas-nas Nabi yang sangat jelas, bahkan di hadapan nas-nas AlQuran, lalu kemudian menjatuhkan hukuman mengikut pendapatnya. Beliau pernah berkata: "Dua mut'ah yang dahulunya (halal) dan dilakukan di zaman Nabi, kini aku melarangnya dan mengenakan hukuman bagi orang yang melaksanakannya, (bertamattu' dalam haji dan nikah mut'ah pent.) Beliau juga pernah berkata kepada orang yang junub tetapi tidak memperoleh air untuk mandi, "Jangan sembahyang". Walaupun ada firman Allah di dalam surah al-Maidah ayat 6: "... Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang bersih".
Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya pada Bab Idza Khofa al-Junub A'la Nafsihi (Apabila Orang Junub Takut Akan Dirinya) berikut: "Kudengar Syaqiq bin Salmah berkata, suatu hari aku hadir dalam majlis Abdillah dan Abu Musa. Abu Musa bertanya pada Abdillah bagaimana pendapatmu tentang orang yang junub kemudian tidak memperoleh air untuk mandi?" Abdillah menjawab, "dia tidak perlu shalat sampai ia temukan air." Abu Musa bertanya lagi, "bagaimana pendapatmu tentang jawaban Nabi kepada Ammar dalam masalah yang sama ini?" Abdullah menjawab, "Umar tidak begitu yakin dengan itu." Abu Musa melanjutkan, "lalu bagaimana dengan ayat ini, (al-Maidah: 6)?" Abdullah diam tidak menjawab. Kemudian dia berkata, "apabila kita izinkan mereka (melakukan tayammum), niscaya mereka akan bertayammum saja dan tidak akan menggunakan air apabila udaranya dirasakan dingin. " Kukatakan pada Syaqiqbahwa Abdillah sebenarnya tidak suka lantaran ini semata-mata; dan Syaqiq pun mengiakan"
3. KESAKSIAN SAHABAT ATAS DIRI MEREKA.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda kepada kaum Anshar: "Suatu hari kalian akan menyaksikan sifat tamak yang dahsyat sepeninggalku. Karena itu bersabarlah sehingga kalian menemui Allah dan Rasul-Nya di telaga haudh." Anas berkata, "Kami tidak sabar."30
Ala' bin Musayyab dari ayahnya pernah berkata: "Aku berjumpa dengan Barra' bin A'zib ra. Kukatakan padanya, "berbahagialah Anda karena dapat bersahabat dengan Nabi SAWW dan membai'atnya di bawah pohon (bai'ah tahta syajarah). Barra' menjawab, "wahai putera saudaraku, engkau tidak tahu apa yang telah kami lakukan sepeninggalnya. "31
Jika sahabat utama yang tergolong di antara as-Sabiqin al-Awwalin dan pernah membai'at Nabi di bawah pohon, serta Allah rela kepada mereka dan Maha Tahu apa yang ada dalam hati mereka sehingga diberinya ganjaran yang besar; apabila sahabat-sahabat ini kemudian bersaksi bahwa dirinya dan para sahabat yang lain telah melakukan "sesuatu" sepeninggal Nabi, bukankah pengakuan mereka ini adalah bukti kebenaran yang disabdakan oleh Nabi SAWW bahwa sebagian dari sahabatnya akan berpaling darinya sepeninggalnya. Apakah seseorang yang berpikir rasional akan tetap mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil seperti yang diklaim oleh Ahlu Sunnah Wal Jama'ah. Mereka yang mengklaim seperti itu jelas telah menyalahi nas dan akal. Karena dengan demikian hilanglah segala kriteria intelektual yang sepatutnya dijadikan pegangan sebuah penelitian dan kajian.
4. KESAKSIAN SYAIKHAIN ATAS DIRINYA
Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya pada Bab Manaqib Umar bin Khattab (Keistimewaan Umar Bin Khattab) sebagai berikut: "Ketika Umar menderita karena tikaman, beliau merintih kesakitan. Ibnu Abbas datang menghiburnya sambil berkata, "Ya Amir al-Mukminin, apabila memang sudah waktunya tiba, bukankah engkau adalah sahabat Rasulullah yang baik. Ketika kau berpisah dengannya, bukankah dia juga rela padamu. Kemudian kau telah bersahabat dengan Abu bakar dengan persahabatan yang baik, lalu kau berpisah dengannya juga dalam keadaan dia rela padamu. Kau juga bersahabat dengan yang lainnya dengan baik. Jika seandainya kau harus meninggalkan mereka, maka mereka akan rela padamu." Tidak lama berselang Umar kemudian menjawab, "Adapun tentang persahabatan dan kerelaan Rasulullah yang kau sentuh tadi, maka itu adalah anugerah yang Allah telah berikan padaku. Persahabatan dan kerelaan Abu Bakar yang kau katakan tadi, itu juga adalah anugerah yang Allah limpahkan padaku. Namun apa yang kau saksikan dari rasa khawatir pada wajahku adalah semata-mata karena kamu dan sahabat-sahabatmu. Demi Allah, apabila aku punya segunung emas maka aku akan korbankan demi dapat terselamat dari azab Allah sebelum aku datang menjumpai-Nya."32
Sejarah juga mencatat kata-kata Umar berikut:
Oh, alangkah beruntungnya apabila aku hanyalah seekor kambing milik keluargaku. Digemukkannya aku seperti yang mereka suka kemudian menjadi lahapan orangyang menyenanginya. Mereka iris sebagian dariku dan dipanggangnya sebagian yang lain. Kemudian aku dimakan dan dikeluarkan pula sebagai najis. Oh, kalaulah aku seperti itu dan tidak menjadi manusia."33
Sejarah juga mencatat kata-kata Abu Bakar berikut: "Ketika Abu Bakar melihat seekor burung hinggap di suatu pohon, dia berkata, berbahagialah engkau duhai burung. Engkau makan buah-buahan dan hinggap di pohon, tanpa ada hisab atau balasan. Aku lebih suka kalau aku ini adalah sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan, kemudian datanglah seekor onta lalu memakanku. Kemudian aku dikeluarkan dan tidak menjadi seorang manusia."34
Di tempat lain beliau juga pernah berkata: "Oh, kalaulah ibuku tidak pernah melahirkanku. Oh, kalaulah aku hanya sebiji pasir dari satu batu bata."35
Demikianlah sebagian kecil dari bukti yang dapat kita contohkan di sini sebagai renungan semata-mata. Danberikut adalah firman Allah SWT yang memberikan berita gembira kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin: "Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tiada kekhawatiran terhadap mereka dan tiada (pula) mereka bersedih hati; (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar" (S: 10: 62, 63, 64). Dan firman Allah dalam surat lain, "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami adalah Allah" kemudian mereka teguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) sorga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (S. 41: 30, 31,32).
Kenapa Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) berangan-angan untuk tidak jadi manusia, makhluk yang sangat dimuliakan oleh Allah SWT atas makhluk-makhluknya yang lain. Apabila seorang mukmin yang biasa yang istiqamah dalam hidupnya bisa didatangi oleh malaikat dan diberinya kabar gembira dengan kedudukan di sorga, lalu dia tidak khawatir pada azab Allah dan tidak bersedih hati dengan masa lalunya di dunia, bahkan baginya berita gembira di dalam kehidupan di dunia sebelum kehidupan di akhirat, maka kenapa tokoh-tokoh sahabat yang dikatakan sebagai makhluk terbaik setelah Rasulullah berangan-angan ingin menjadi najis atau sehelai rambut atau sebiji pasir? Seandainya para malaikat telah memberinya berita gembira akanhal sorga, semestinya mereka tidak akan berangan-angan untuk memiliki segunung emas agar dapat dikorbankan sebagai tebusan atas azab Allah sebelum berjumpa dengan-Nya. Allah SWT berfirman:
"Dan kalau setiap diri yang zalim itu mempunyai segala apa yang ada di bumi ini, tentu dia menebus dirinya dengan itu, dan mereka menyem-bunyikan penyesalannya ketika mereka telah menyaksikan azab itu, dan telah diberi keputusan di antara mereka dengan adil sedang mereka tidak dianiaya" (S. 10: 54).
Allah juga berfirman: "Dan sekiranya orang-orang yang zalim mempunyai semua apa yang ada di bumi dan sebanyak itu (pula) besertanya, niscaya mereka menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat. Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkan" (5.39:47,48).
Aku bercita-cita sepenuh hatiku agar ayat ini tidak meliputi sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar as-Siddiq dan Umar al-Faruq. Tetapi aku seringkali terjebak dengan adanya nas-nas seperti ini. Itulah kenapa aku coba menelaah aspek-aspek menarik dari hubungan mereka dengan Rasul SAWW. Namun di situ juga aku dihadapkan dengan sikap mereka yang enggan melaksanakan perintah-perintah Nabi, terutama pada saat-saat akhir dari umurnya yang penuh berkat itu, di mana menyebabkan Nabi marah dan mengusir mereka dari kamarnya. Aku juga dihadapkan dengan suatu fakta akan perilaku mereka setelah wafatnya Nabi, serta sikap mereka yang menggangu puterinya Fatimah az-Zahra'. Padahal Nabi SAWW bersabda, "Fatimah adalah belahan nyawaku, siapa yang menyebabkannya marah maka dia telah menyebabkan aku marah."36
Fatimah juga pernah berkata kepada Abu Bakar dan Umar demikian: "Aku minta persaksian dari Allah kepada kalian berdua, apakah kalian tidak mendengar Rasulullah bersabda, "Keredhaan Fatimah adalah keredhaanku dan kemarahan Fatimah adalah kemarahanku. Siapa yang mencintai puteriku Fatimah, maka dia telah mencintaiku, siapa yang membuat Fatimah rela maka dia telah membuatku rela, siapa yang membuat Fatimah marah maka dia telah membuatku marah." "Ya, kami telah mendengarnya dari Rasulullah." Jawab mereka berdua. Lalu Fatimah berkata lagi, "Sungguh, aku minta persaksian Allah dan para malaikat-Nya bahwa kalian berdua telah membuatku marah dan tidak rela. Jika kelak aku berjumpa dengan Rasulullah maka pasti akan kusampaikan keluhanku ini kepadanya."37
Biarlah riwayat yang menyayat hati ini kita tinggalkan dahulu. Mungkin Ibnu Qutaibah, seorang ulama Ahlu Sunnah yang sangat terkemuka dalam berbagai ilmu pengetahuan dan mempunyai banyak karya seperti Tafsir, Hadis, Bahasa, Nahu dan sejarah, mungkin beliau juga telah ikut Syi'ah seperti yang pernah dikatakan oleh seseorang ketika kutunjukkan padanya kitab Tarikh al-Khulafa'. Dan ini hanya sekadar alasan yang dicari-cari saja oleh ulama kita ketika mereka harus mengakui fakta-fakta tersebut. Di daerah kami, Thabari dikatakan telah ikut Syi'ah; Nasai yang telah menulis satu buku khusus tentang keutamaan Imam Ali juga dikatakan telah ikut Syi'ah; Ibnu Qutaibah juga Syi'ah; bahkan Taha Husain, ketika menulis buku al-Fitnah al-Kubro (Fitnah Besar) dan menyebutkan di sana hadis-hadis al-Ghadir serta mengakui kebenaran-kebenaran yang lain juga dikatakan telah ikut Syi'ah.
Padahal sebenarnya mereka bukan orang Syi'ah. Bahkan ketika mereka berbicara tentang Syi'ah, yang mereka sebutkan hanyalah keburukannya semata-mata. Mereka membela para sahabat dengan segala daya upaya mereka. Tetapi mereka yang menyebut keutamaan-keutamaan Ali bin Abi Thalib dan mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh sahabat tertentu, tiba-tiba kita tuduh mereka sebagai Syi'ah. Cukup-misalnya-Anda sebutkan di hadapan mereka salawat Nabi yang diiringi dengan kalimat Wa Alihi atau menyebut alaihissalam untuk Imam Ali, maka mereka segera akan mengatakan bahwa Anda adalah seorang Syi'ah.
Suatu hari aku berdiskusi dengan seorang ulama. Kutanyakan padanya, "apa pendapatmu tentang Bukhari?" "Beliau adalah imam hadis." Jawabnya. "Kitabnya adalah yang paling benar setelah Kitab Allah. Hal ini adalah kesepakatan para ulama kita." Kukatakan padanya bahwa Bukhari adalah seorang Syi'ah. Dia tertawa terbahak-bahak mengejekku. Katanya, "Tidak mungkin sama sekali Imam Bukhari akan jadi Syi'ah." Kukatakan lagi padanya bahwa Anda pernah menyatakan siapa saja yang menyebut kalimat alaihissalam untuk Ali maka dia adalah orang Syi'ah. Ya, jawabnya. Kemudian kutunjukkan padanya dan pada orang-orang yang duduk di sekitarnya kitab Shahih Bukhari yang memuat kata-kata alaihissalam ketika menyebut nama Ali, Husain bin Ali serta nama Fatimah puteri Nabi.38 Menyaksikan itu orang ini merasa sangat kaget dan bingung apa yang harus dikatakannya.
Mari kita kembali pada riwayat Ibnu Qutaibah yang mencatat bahwa Fatimah marah pada Abu Bakar dan Umar. Apabila aku meragukan kebenaran riwayat ini karena semata-mata ada dalam kitab Ibnu Qutaibah, maka aku tidak akan dapat mengelak lagi ketika riwayat yang sama kudapati dalam kitab Shahih Bukhari, sebuah kitab yang paling "benar" setelah AlQuran. Karena kita telah nyatakan bahwa kitab Shahih Bukhori adalah kitab yang paling benar, dan kini Syi'ah berargumentasi dengan kitab tersebut, maka adalah sangat adil dan fair apabila orang-orang yang rasional menerimanya.
Bukhari meriwayatkan dalam Bab Manaqib Qarabah Rasulillah (Keistimewaan Kerabat Nabi) bahwa Rasulullah SAWW bersabda: "Fatimah adalah belahan nyawaku, siapa yang membuatnya marah maka dia telah membuatku marah." Dalam Bab Ghazwah Khaibar, dari Aisyah (yangberkata) bahwa Fatimah putri Nabi, suatu hari mengutus seseorang menghadap Abu Bakar untuk meminta hak pusakanya yang diwarisi-nya dari ayahandanya. Abu Bakar enggan memberikannya kepada Fatimah walau sedikit sekalipun. Fatimah sangat marah kepada Abu Bakar, lalu ditinggalkannya dan tidak diajaknya berbicara sampai beliau wafat."39
Alhasil, konklusinya satu. Bukhari menyebutnya secara ringkas, sementara Ibnu Qutaibah mencatatnya secara lebih rinci: yakni Rasulullah SAWW akan marah lantaran marahnya Fatimah dan akan rela lantaran kerelaan Fatimah. Dan ketika Fatimah meninggal, beliau masih dalam keadaan marah dan murka pada Abu Bakar dan Umar.
Jika Bukhari berkata bahwa "Fatimah meninggal masih dalam keadaan marah pada Abu Bakar, dan sampai akhir hayatnya tidak berbicara dengannya", riwayat Bukhari ini sama maknanya dengan riwayat Ibnu Qutaibah di atas. Kemudian, apabila Fatimah adalah Penghulu Wanita Alam Semesta seperti yang disebutkan oleh Bukhari dalam Bab al-Istidzan bagian Man Naja Baina Yadai an-Nas; dan Fatimah adalah satu-satunya wanita dari ummat ini yang dibersihkan dari segala dosa dan disucikan sebersih-bersihnya, maka hal itu berarti bahwa sikap marahnya adalah karena kebenaran semata-mata. Dan dengan alasan inilah kenapa Rasulullah akan marah karena marahnya Fatimah, dan akan murka lantaran murkanya Fatimah. Dan karena menyadari konsekwensi inilah kemudian Abu bakar berkata: "Aku berlindung pada Allah dari murkaNya dan dari murkamu wahai Fatimah"; dan Abu Bakar menangis tersedu-sedu sampai dadanya sesak.
Fatimah juga berkata kepada Abu Bakar: "Demi Allah, aku akan mohonkan keburukanmu di dalam setiap doa yang kupanjatkan seusai shalat. "Kemudian Abu Bakar menangis dan berkata berikut: "Aku tidak perlu pada bai'at kalian; lepaskan aku dari bai'at kalian."40
Para ahli sejarah dan ulama-ulama kita tahu bahwa Fatimah as telah mendakwa Abu Bakar dalam berbagai kasus, seperti kasus harta pusaka dan bagian hak kerabat Nabi. Tetapi semua dakwaannya ditolak sehinggalah beliau meninggal dalam keadaan murka. Namun sayang sekali, para ulama kita hanya membacanya saja dan enggan mendiskusikannya. Alasannya-seperti biasa-ingin menjaga segala kemuliaan Abu Bakar.
Di antara hal aneh yang pernah kubaca tentang cerita ini adalah komentar sebagian penulis yang menukilkan cerita tersebut secara agak rinci, kemudian berkata: "Jauh sekali kemungkinan Fatimah akan mendakwa sesuatu yang bukan haknya; dan jauh sekali Abu bakar akan melarang Fatimah dari haknya." Penulis tersebut menduga bahwa dengan cara ini dia telah dapat menyelesaikan kemusykilan dan telah memberi jawaban yang memuaskan kepada para pencari kebenaran. Padahal logika seperti itu nyaris sama dengan logika yang beralasan: "Jauh sekali AlQuran akan berkata sesuatu yang bukan haq; atau jauh sekali Bani Israel akan menyembah anak sapi."
Kita sering berjumpa dengan para ulama yang berbicara tentang sesuatu yang tidak mereka fahami, atau mempercayai sesuatu yang kontradiktif. Dalam kasus ini-misalnya- Fatimah yang mendakwa sementara Abu Bakar yang menolak dakwaan. Kita dihadapkan pada dua pilihan, apakah Fatimah yang berbohong (semoga Allah melindungi kita dari berkata demikian) atau Abu Bakar yang berlaku zalim kepadanya. Tidak ada kemungkinan ketiga dalam menilai kasus ini seperti yang diasumsikan oleh ulama-ulama kita. Apabila andaian dan kemungkinan Fatimah berbohong adalah tertolak, karena terbukti ayahnya bersabda untuk dirinya, "Fatimah adalah belahan nyawaku; siapa yang mengganggunya berarti dia telah menggangguku..." dan orang yang berbohong sudah pasti tidak akan memperoleh rekomendasi Nabi seperti ini (di samping hadis ini sendiri adalah bukti akan kemaksumannya dari berkata dusta dan dari segala perbuatan yang munkar, sebagaimana yang didukung oleh ayat Tathhir (33: 33) yang diturunkan untuknya, suaminya dan dua puteranya dengan persaksian Aisyah41) jika hal ini tertolak maka tidak ada jawaban lain bagi orang-orang yang berpikir rasional kecuali harus mengakui bahwa Fatimah sebenarnya adalah pihak yang dizalimi. Dan mudah untuk kita duga bahwa sekadar menolak dakwaan Fatimah seperti itu jauh lebih mudah bagi mereka yang tidak takut sekalipun untuk membakar rumahnya.42 Itulah kenapa Fatimah as tidak mengizinkan Abu Bakar dan Umar masuk ke dalam rumahnya; dan ketika Ali membawa mereka masuk, Fatimah juga memalingkan wajahnya dan tidak mau melihat merekaberdua.43
Fatimah wafat dan berwasiat agar dikebumikan secara rahasia di malam hari, supaya tidak satupun dari mereka yang dimurkainya dapat menghadiri jenazahnya.44 Dan-memang- sampai kini kita tidak akan dapat menjumpai dimana kuburan puteri Rasul tersebut. Kenapa alim-ulama kita berdiam diri dari hakikat kebenaran ini, dan tidak mau mengkajinya bahkan menyebutnya sekalipun. Mereka menggambarkan kepada kita bahwa para sahabat bagaikan para malaikat yang tidak bersalah atau berbuat dosa. Jika kita tanyakan pada mereka kenapa Khalifah Utsman sampai bisa terbunuh, mereka akan segera menjawab bahwa penduduk Mesirlah-orang-orang kafir-yang telah membunuhnya. Cukup dengan dua kalimat itu saja. Tetapi ketika aku mulai membaca dan mengkaji seja-rah, kudapati bahwa tokoh-tokoh penting di sebalik pembunuhan Utsman adalah para sahabat itu sendiri, terutama Ummul Mukminin Aisyah yang menyeru pembunuhannya di hadapan publik ramai. Aisyah berkata, "Bunuhlah si Na'tsal (orang tua yang keras kepala yakni Utsman) itu. Sungguh dia telah kafir."45 Di sana kita juga dapati nama-nama seperti Thalhah, Zubair, Muhammad bin Abu Bakar dan tokoh-tokoh sahabat lain yang terkenal. Mereka telah kepung rumah Utsman dan memotong suplai air agar ia meletak jawatan. Para ahli sejarah juga mencatat bahwa mayat Utsman dilarang oleh para sahabat lain dikebumikan di pekuburan kaum muslimin. Akhirnya beliau dikuburkan di Hash Kaukab tanpa dimandikan dan tanpa dikafankan. Subhanallah. Bagaimana lalu dikatakan kepada kita bahwa Utsman dibunuh dalam keadaan dizalimi, dan yang membunuhnya adalah orang-orang bukan muslim.
Dalam melihat masalah ini hampir sama dengan masalah antara Fatimah dan Abu Bakar serta Umar di atas. Apakah Utsman yang dizalimi, sehingga para sahabat yang terlibat divonis sebagai pembunuh-pembunuh yang jahat, karena telah membunuh seorang Khalifah muslimin dengan penuh aniaya dan permusuhan, bahkan kemudian melempar mayatnya dengan batu sampai Utsman dikatakan konon sebagai orang yang teraniaya pada masa hidupnya dan setelah matinya. Atau para sahabat itu yang dizalimi karena menyaksikan sejumlah tindakan Utsman yangbertentangan dengan Islam, kemudian menghalalkan darahnya, seperti yang terbukti dalam buku-buku sejarah. Tidak ada kemungkinan ketiga yang dapat kita cari jawabannya, melainkan kalau kita ingin memalsukan sejarah dan menerima alasan bahwa orang-orang "kafir" Mesirlah yang membunuhnya.
Dari dua andaian di atas kita terjebak pada konsekwensi logis akan ketidakjujuran teori yang mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Karena apakah Utsman yang tidak adil sehingga para pembunuhnya yang benar, atau para pembunuhnya, yang juga para sahabat yang terkemuka. Dengan demikian maka batallah klaim kita dan benarlah klaim Syi'ah yang mengatakan bahwa hanya sebagian sahabat sajalah yang adil, bukan semua.
Kita juga bertanya tentang peperangan Jamal yang diapi-apikan oleh Ummul Mukminin Aisyah bahkan dipimpin olehnya sendiri. Bagaimana Ummul Mukminin Aisyah keluar dari rumahnya sementara Allah SWT memertntahkannya untuk tinggal di rumahnya saja. Firman Allah: "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu..." (33: 33)
Kita juga bertanya, atas hak apa Ummul Mukminin membolehkan perang menentang khalif ah muslimin yang sah, yakni Ali bin Abi Thalib? Bukankah beliau adalah wali (pemimpin) bagi orang-orang mukmin dan mukminah? Seperti biasa, para ulama kita dengan mudah saja menjawab bahwa Aisyah tidak suka dengan Imam Ali, lantaran Ali menyarankan kepada Rasul untuk mentalaknya dalam peristiwa Ifik. Mereka ingin katakan kepada kita bahwa peristiwa ini adalah alasan yang cukup kuat untuk Aisyah melanggar perintah Tuhannya dan Rasulnya serta menunggangi seekor onta yang dilarang oleh Rasul dan diperingatkannya dari gongongan anjing Hauab.46 Aisyah telah menempuh jarak yang cukup jauh, dari Madinah ke Mekah kemudian Basrah hanya untuk memerangi Amir al-Mukminin dan para sahabat lain yang membai'atnya. Perang Jamal tersebut telah mengakibatkan ribuan manusia terkorban seperti yang dicatat dalam buku sejarah.47 Semua ini adalah karena beliau tidak suka pada Imam Ali yang pernah menyarankan Nabi untuk menceraikannya dalam peristiwa Ifik itu. Kenapa Aisyah sampai demikian ekstrem benci pada Imam Ali?
Para ahli sejarah juga mencatat bahwa Aisyah mempunyai sikap-sikap permusuhan kepada Imam Ali yang tidak dapat ditafsirkan. Ketika dalam perjalanan pulang dari Mekah menuju Madinah, Aisyah mendengar berita pembunuhan Utsman. Berita itu disambutnya dengan kegembiraan yang luar biasa. Namun ketika beliau tahu bahwa ummat memberikan bai'atnya pada Ali sebagai Khalifah, Aisyah tiba-tiba marah dan berang. Katanya: "Aku lebih suka kalaulah langit ini menghimpit bumi sebelum Ibnu Abi Thalib mengambil alih jabatan khalifah." Beliau juga berkata: "Kembalikan aku..." dan seterusnya. Dari situlah kemudian api fitnah dinyalakan untuk menentang Ali yang-seperti kata sejarah-hatta namanya sekalipun enggan disebut oleh Aisyah.
Apakah Ummul Mukminin Aisyah tidak pernah mendengar sabda Rasul SAWW: "Cinta kepada Ali adalah (tanda) iman dan benci kepadanya adalah (tanda) nifak."48 Bahkan sebagian sahabat berkata, "Kami kenal orang-orang munafik karena sikap benci mereka pada Ali." Apakah Ummul Mukminin tidak mendengar sabda Nabi SAWW: "Siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya." Tidak syak lagi bahwa beliau pernah mendengar semua itu. Namun beliau tetap tidak suka padanya, tidak mau menyebut namanya bahkan ketika didengarnya bahwa Ali telah mati, beliau bersujud syukur karenanya!!!49
Biarlah kita tinggalkan semua ini. Aku tidak ingin berbicara tentang sejarah Ummul Mukimin Aisyah. Hanya sekadar ingin meneliti dan mencari tahu akan pelanggaran sejumlah sahabat akan prinsip-prinsip Islam dan perintah-perintah Nabi SAWW. Bagiku perang Jamal yang dilancarkan oleh Ummul Mukminin yang telah disepakati kebenarannya oleh para ahli sejarah ini adalah satu bukti kuat atas objektifitas kesimpulanku ini.
Mereka juga mencatat bahwa Aisyah ketika lewat di perairan Hauab, beliau digonggong oleh anjing-anjingnya. Mendengar gonggongan anjing Hauab seperti itu, segera beliau ingat akan pesan suaminya Rasulullah yang melarang-nya dari menunggangi onta tersebut. Beliau sempat menangis dan berkata: "Kembalikan aku, kembalikan aku..." Tetapi Thalhah dan Zubair kemudian membawa lima puluh penduduk setempat dan meminta mereka bersumpah bahwa tempat ini bukanlah wilayah perairan Hauab. Dari sana kemudianbeliau melanjutkan perjalanannya sampai ke Basrah. Para ahli sejarah berkata bahwa itulah kesaksian palsu pertama yang terjadi dalam Islam.50
Duhai pembaca yang berpikiran jernih. Tunjukkan kami bagaimana caranya menyelesaikan kemusykilan ini? Apakah mereka dapat dikatagorikan sebagai sahabat yang agung yang kita sebut sebagai orang-orang adil, bahkan sebagai manusia yang paling mulia setelah Rasulullah SAWW? Tapi mereka tfelah memberikan kesaksian palsu yang digolongkan oleh Rasul sebagai bagian dari dosa-dosa besar yang bisa membawa ancaman api neraka.
Pertanyaan yang sama masih berulang, siapa yang benar dan siapa yang salah? Apakah Ali dan orang-orangnya dalam pihak yang zalim dan batil, ataukah Aisyah dan orang-orangnya beserta Thalhah, Zubair dan orang-orangnya? Hdak ada lagi andaian ketiga yang bisa memberikan jawaban. Seorang peneliti yang objektif saya rasa akan condong kepada pihak Ali yang (disabdakan oleh Nabi) senantiasa bersama kebenaran, dan berupaya untuk mematikan fitnah yang dinyalakan oleh Ummul Mukminin Aisyah serta para pengikutnya. Sung-guh fitnah peperangan ini telah memakan banyak korban dan telah meninggalkan luka yang sangat dalam sampai hari ini.
Untuk pertanggung-jawaban dan ketenangan hati aku sertakan riwayat-riwayat berikut.
Bukhari telah meriwayatkan dalamkitab Shahihnya pada Bab al-Fitnah, bagian al-Fitnah Allati Tamuju Kamauj al-Bahri (Fitnah Yang Mengamuk Seperti Gelombang Samudra) riwayat berikut: "Ketika Thalhah, Zubair dan Aisyah pergi ke Basrah, Ali mengutus Ammar bin Yasir dan Hasan bin Ali pergi ke Kufah. Sesampainya di sana, mereka naik ke atas mimbar. Hasan duduk di atas sementara Ammar berdiri di bawahnya. Kami berkumpul mengelilingi mereka. Kudengar Ammar berkata: " Aisyah telah pergi ke Basrah. Demi Allah dia adalah isteri Nabi kalian di dunia dan di akhirat. Tetapi Allah ingin menguji kalian agar Dia tahu apakah kalian berada pada pihak Ali atau pada pihak Aisyah?"51
Bukhari juga meriwayatkan dalam Bab as-Syurut bab Ma Ja`a Fi Buyut Azwaj an-Nabi (Apa Yang Terjadi Di Rumah Isteri-isteri nabi): "Suatu hari Nabi berdiri berpidato. Sambil menunjuk ke arah tempat tinggal Aisyah beliau bersabda: "Disinilah fitnah, disinilah fitnah, disinilah fitnah darimana munculnya tanduk syaitan." 52
Bukhari juga meriwayatkan berbagai sikap aneh dan keburukan akhlaknya di hadapan Nabi SAWW sampai pernah ditampar oleh ayahnya; atau tentang kepura-puraannya di hadapan Nabi sehingga Allah mengancamnya dengan talak dan akan digantikan dengan isteri lain yang lebih baik. Ini adalah cerita-cerita lain yang akan memakan ruangan yang panjang jika dijelaskan.
Setelah ini semua, aku tertanya-tanya kenapa Aisyah memperoleh penghormatan yang demikian agung dari pihak Ahlu Sunnah Wal Jama'ah. Apakah karena dia adalah isteri Nabi, padahal Nabi juga mempunyai banyak isteri lain, bahkan ada yang lebih utama dari Aisyah sekalipun seperti ucapan Nabi sendiri.53 Ataukah karena dia adalah puterinya Abu Bakar. Atau mungkin karena dia telah memainkan peranan besar dalam mengingkari wasiat Nabi kepada Ali, sehingga ketika disebutkan di hadapannya bahwa Nabi telah berwasiat untuk Ali, dia berkomentar: "Siapa yang berkata demikian? Waktu itu (saat wafat Nabi) akulah yang bersama Nabi. Kuletakkan kepalanya di dadaku, kemudian dia meminta talam. Ketika aku tunduk tiba-tiba dia mati tanpa kurasakan apa-apa. Bagaimana lalu dikatakan bahwa Nabi telah berwasiat untuk Ali?"54 Atau karena dia telah perangi Ali dan anak-anaknya secara total, sampai-sampai jenazah Sayyidina Hasan putera Ali, penghulu pemuda syurga, dihalanginya untuk bisa dikebumikan di sisi pusara datuknya Rasulullah SAWW. Katanya: "Jangan masukkan orang yang tidak kusukai ke rumahku."
Entahlah, apakah dia lupa atau berpura-pura lupa akan sabda nabi pada Hasan dan saudaranya: "Hasan dan Husain adalah dua pemuka pemuda sorga"; atau sabdanya yang lain: "Allah akan mencintai orang yang mencintai keduanya, dan akan bencipada orang yang membenci keduanya"; atau sabdanya: "Aku akan memerangi orang yang memerangi kalian (berdua) dan berdamai pada orang yang berdamai dengan kalian"; atau sabda-sabdanya yang lain. Betapa tidak, bukankah mereka berdua adalah bunga kuntumnya yang semerbak bagi ummat iru?
Tidak begitu mengejutkan memang. Jauh hari sebelumnya beliau pernah mendengar dari Nabi hadis-hadis yang lebih banyak tentang keistimewaan Ali, tetapi beliau tetap enggan dan bertekad tetap memeranginya, memisahkan kaum muslimin darinya serta mengingkari segala keutamaan-keutamaannya. Itulah alasan yang sangat kuat kenapa Bani Umaiyah sangat mencintai Aisyah ini dan meletakkannya pada kedudukan yang sangat tinggi tanpa tara. Mereka telah tulis baginya berbagai keistimewaan dan keutamaan yang memenuhi lembaran buku sehingga beliau ditokohkan sebagai marja' (pakar rujuk) yang paling besar bagi Ummat ini, sebab di sisinya tersimpan separuh agama.
Dan mungkin separuh lain telah mereka jatahkan pada Abu Hurairah yang telah meriwayatkan untuk mereka segala sesuatu yang mereka inginkan. Dan lantaran itulah maka Abu Hurairah mereka letakkan sebagai orang dekatnya, dibertnya kekuasaan sebagai Gubernur kota Madinah dan istana al-Aqiq serta gelar sebagai "perawi Islam". Dengan demikian maka mudahlah bagi Bani Umaiyah untuk memiliki satu agama baru yang sempurna, yang tidak memuat apa-apa dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul melainkan yang sesuai dengan kehendak nafsu mereka dan mendukung kerajaan serta kekuasaan mereka semata-mata.
Agama seperti ini adalah lebih layak apabila dikatakan sebagai bahan mainan dan olok-olok saja yang hanya penuh dengan berbagai khurafat dan kontradiksi. Itulah kenapa kebenaran yang sejati terkubur sementara yang batil muncul ke permukaan. Mereka juga memaksa atau mengelabui orang banyak dengan cara keagamaan mereka ini, sehingga agama Allah yang sejati menjadi semacam tiada nilai dan rasa takut kepada Muawiyah adalah lebih besar dari takut kepada Allah.
Ketika kita bertanya pada sebagian ulama kenapa Muawiyah memerangi Imam Ali yang telah dibai'at oleh Muhajirin dan Anshar, dimana akibatnya telah memecah kaum muslimin kepada Sunnah dan Syi'ah, dan telah melukai Islam hingga kini, maka-seperti biasa-mereka akan segera menjawab dengan begitu mudahnya bahwa Ali dan Muawiyah adalah dua sahabat Rasul yang agung. Kedua mereka berijtihad: Ali berijtihad dan benar lalu dia dapat dua pahala, sementara Muawiyah berijtihad dan salah, lalu dia memper-oleh satu pahala. Dan bukan hak kita untuk menghukum mereka, baik positif atau negatif. Karena Allah SWT berfirman: "Itu adalah ummat yang lain; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta pertanggung-jawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan" (S. 2:134).
Demikianlah jawaban kita. Seperti yang Anda perhatikan jawaban seperti ini adalah jawaban yang sangat daif yang tidak dapat diterima oleh akal, agama ataupun Syara'. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari pendapat yang salah dan hawa nafsu yang terjerat. Aku mohon lindunganMu dari bisikan syaitan dan kehadirannya.
Bagaimana akal sehat dapat menerima bahwa Muawiyah melakukan ijtihad dan karenanya diberi satu pahala dalam tindakannya yang memerangi Imam kaum muslimin serta membunuh orang-orang mukmin dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak terhitung banyaknya. Para ahli sejarah mencatat betapa Muawiyah telah membunuh para penentangnya dengan caranya tersendiri yang sangat dikenal: memberi minuman beracun. Muawiyah senantiasa berkata: "Allah mempunyai bala tentara dari madu".
Bagaimana mereka katakan bahwa Muawiyah telah berijtihad dan tersalah, padahal dia adalah pemimpin kelompok yang baghi (kelompok yang memerangi Khalifah muslimin yang sah). Dalam suatu hadis yang sangat populer yang diriwayatkan oleh semua ahli hadis, Nabi SAWW bersabda: "Berbahagialah Ammar. Dia akan dibunuh oleh kelompok yang baghi." Muawiyah beserta sahabat-sahabatnyalah yang membunuh Ammar.
Bagaimana mereka katakan bahwa Muawiyah telah berijtihad dalam peristiwa pembunuhan terhadap Hujur bin A'dy beserta sahabat-sahabatnya, yang kemudian dikuburkan di tempat sampah pada suatu padang pasir Syam, semata-mata lantaran mereka tidak mau mencaci Ali bin Abi Thalib. Bagaimana mereka mengatakannya sebagai seorang sahabat yang adil sementara dia telah meracuni Hasan Bin Ali, pemuka pemuda sorga.
Bagaimana mereka menganggapnya bersih padahal dia telah paksa ummat Islam untuk membai'atnya dan membai'at puteranya Yazid setelahnya, dan menggantikan sistem syuro dengan dinasti kerajaan.55 Bagaimana mereka mengatakan bahwa Muawiyah telah berijtihad dan diberi satu pahala, padahal dia telah paksa kaum muslimin untuk melaknat Ali dan keluarga Nabi SAWW dari atas mimbar. Dia telah bunuh para sahabat yang enggan melakukan laknat sampai hal itu menjadi sebuah tradisi yangberkepanjangan. Fala Haula Wala Quwwata Illa Billah al-A'li al-A'zim.
Persoalan yang sama juga timbul: mana kelompok yang benar dan naana kelompok yang salah? Apakah Ali dan Syi'ahnya sebagai orang-orang yang zalim dan dalam pihak yang salah, atau Muawiyah dan para pengikutnya. Rasul SAWW telah menjelaskan segala sesuatunya di sana. Dalam dua kemungkinan di atas, menyatakan bahwa semua sahabat tanpa kecuali adalah adil adalah hal yang mustahil yang tidak sesuai dengan akal sehat.
Semua yang kami katakan di atas, sebenarnya adalah bagian kecil dari fakta-fakta sejarah yang terlalu banyak untuk ditulis dalam buku kecil ini. Apabila kita ingin muat secara rinci hal-hal di atas maka kita akan memerlukan berjilid-jilid buku untuk menampungnya. Namun karena buku ini adalah ringkas, maka dengan sengaja kusajikan sejumlah contoh sebagai pelengkap semata-mata. Dan Alhamdulillah sekadar itupun sudah cukup merepotkan orang sekitarku yang telah membekukan pikiranku dengan mitos-mitos palsu dalam waktu yang cukup lama, dan yang mencegahku dari memahami hadis serta meneliti sejarah dengan kriteria akal dan syariah yang telah diajarkan oleh AlQuran dan Sunnah Nabi SAWW.
Aku akan tetap bertarung dengan jiwaku dan menyisihkan setiap debu-debu fanatisme buta yang membungkusku. Aku akan tetap berupaya untuk membebaskan segala belenggu dan rantai yang telah mengikat jiwaku lebih dari dua puluh tahun. Hatiku berkata pada mereka: oh, alangkah indahnya seandainya kaumku mengetahui akan ampunan Tuhanku kepadaku dan dijadikan-Nya aku dari golongan orang-orang yang dimuliakan. Oh, kalaulah kaumku menemukan dunia yang belum mereka ketahui ini dan membebaskan diri mereka dari bersikap memusuhinya tanpa sadar ini.
Sumber Utama : http://alhassanain.org/indonesian/?com=book&id=77&search=sejarah%20sebutan%20ahlu%20sunnah
DIALOG DENGAN ORANG ALIM
KUKATAKAN kepada salah seorang ulama: "Jika Muawiyah
telah membunuh orang-orang yang tak berdosa dan
memperkosa segala kehormatan, lalu kalian hukumkan bahwa
dia telah berijtihad namun salah dan dia mendapat satu pahala;
dan jika Yazid telah membunuh anak-anak Rasul serta
menghalalkan (pertumpahan darah) di Madinah, lalu kalian
hukumkan bahwa dia telah berijtihad dan salah dan dia
mendapatkan satu pahala sehingga ada sebagian orang berkata
bahwa "Husain terbunuh oleh pedang datuknya" sebagai
alasan untuk membenarkan perlakuan Yazid; apabila demikian
kenapa pula aku tidak boleh berijtihad di dalam penelitianku
tentang para sahabat yang menimbulkan suatu tanda tanya
besar dalam diriku. Ini tentu tidak ada artinyajika
dibandingkan dengan tindakan Muawiyah dan puteranya
Yazid di dalam membunuh keluarga Nabi yang suci. Jika
ijtihadku benar maka aku akan mendapatkan dua pahala, dan
jika salah aku akan memperoleh satu pahala. Penelitianku
tentang sahabat juga bukan karena ingin mencaci, mencerca
atau melaknat mereka. Aku hanya ingin sampai kepada suatu
kebenaran untuk mengetahui mana golongan yang selamat di
antara banyak golongan yang sesat. Ini adalah kewajibanku
dan kewajiban setiap Muslim. Allah Maha Tahu apa yang
tersembunyi dan yang tersirat di balik dada."
Orang alim ini menjawab :
"Wahai puteraku. Pintu ijitihad telah tertutup sejak lama."
"Siapa yang menutupnya?"
"Imam empat mazhab".
"Alhamdulillah, jika yang menutupnya bukanlah Allah, bukan juga Rasul-Nya dan bukan Khulafa' Rasyidin (empat khalifah) yang kita disuruh untuk mengikuti
mereka." Ini berarti bahwa tidak cela apabila aku berijtihad sebagaimana mereka dahulu berijtihad."
"Engkau tidak boleh berijtihad kecuali apabila telah kau kuasai tujuh belas cabang ilmu pengetahuan. Antara latn ilmu tafsir, lughah, nahu, sharaf, balaghah, hadis, sejarah dan lain sebagainya."
"Aku bukan ingin berijtihad untuk menerangkan kepada orang tentang hukum AlQuran dan Sunnah, atau ingin menjadi imam suatu mazhab di dalam Islam. Aku hanya ingin tahu siapa yang berada dalam pihak yang benar dan siapa yang salah, untuk mengetahui apakah Imam Ali dalam pihak yang benar ataukah Muawiyah, misalnya. Hal ini tentu tidak akan memerlukan tujuh belas cabang ilmu pengetahuan. Cukup hanya dengan mempelajari kehidupan dan tingkah laku mereka agar dapat diketahui suatu kebenaran."
"Apa perlunya kau ingin ketahui semua itu. Itu adalah ummat yang lalu. Baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan (S. 2:134).
"Bagaimana Anda membacanya. Apakah La Tus-alun (kamu tidak akan diminta pertanggunganjawab) atau La Tas-alun (jangan kamu bertanya ...)"
"Tentu La Tus-alun." Jawabnya.
"Alhamdulillah. Kalau ayat tersebut dibaca dengan La Tas-alun maka artinya kita dilarang untuk membuat suatu penelitian. Namun karena dibaca dengan La Tus-alun, maka maknanya adalah Allah tidak akan menghisab kita atas apa yang mereka dahulu lakukan. Dan ini sesuai dengan firman Allah SWT: "Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya " (S. 74:38); dan firman Allah yang lain: "Dan bahwa seorang tidak akan memperoleh selain dari apa yang telah diusahakan-nya" (S. 53:39). AlQuran juga mendorong kita untuk mempelajari tentang sejarah ummat-ummat yang lalu agar dijadikan suatu ibrah (nasihat). Allah telah menceritakan kepada kita tentang Firaun, Haman, Namrud, Qarun dan para nabi dahulu beserta pengikut-pengikutnya. Semua ini bukan untuk sekadar hiburan, tetapi untuk mengajarkan kepada kita mana yang hak dan mana yang batil.
Tentang kata-kata Anda "apa perlunya semua ini", maka memang sangat perlu.
Pertama-tama: agar aku kenal siapa Wali Allah yang sebenarnya sehingga aku harus me-wila' (setia) mereka; dan siapa musuh Allah yang sesungguhnya sehingga aku harus memusuhinya. Ini adalah permintaan AlQuran, bahkan kewajiban yang dipikulkannya kepada kita.
Kedua, untuk mengetahui dengan sungguh-sungguh bagaimana cara menyembah dan mendekatkan diri pada Allah melalui hukum-hukum yang diwajibkan-Nya kepada kita seperti yang Dia inginkan; bukan seperti yang "diinginkan" oleh Malik, atau Abu Hanifah atau mujtahid-mujtahid yang lain. Hal ini karena kulihat-misalnya-Malik menghukumkan makruh membaca Basmalah di dalam shalat sementara Abu Hanifah menghukumkan wajib; dan yang lainnya menghukumkan batal jika shalat tanpa Basmalah. Padahal shalat adalah tiang agama. Apabila ia diterima maka diterimalah selainnya, dan bila ia ditolak maka ditolaklah juga yang lain. Aku tidak ingin shalatku ditolak. Contoh lain, Syi'ah mengatakan bahwa kaki wajib diusap saat berwudhu' sementara Sunnah mengatakan wajib dicuci. Padahal apabila kita baca AlQuran jelas ayatnya mengatakan bahwa kaki wajib diusap. Lalu bagaimana Anda harapkan seorang Muslim yang berpikir rasional akan bisa menerima pendapat yang satu dan menolak yang lain tanpa suatu penelitian dan kajian."
"Anda bisa ambil dari setiap mazhab apa yang Anda rasakan cocok, karena semua adalah mazhab Islam dan semuanya juga bersumber dari Rasulullah SAWW."
"Aku takut tergolong di antara orang-orang yang difirmankan oleh Allah:
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya; dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (S. 45:23)
Wahai Tuan yang mulia. Aku tidak percaya bahwa semua mazhab adalah benar. Bayangkan yang satu menghalalkan dan yang lain mengharamkan. Tidak mungkin ada sesuatu yang halal dan haram dalam satu ketika. Rasul tidak pernah berdebat dahulu sebelum menguraikan suatu hukum yang akan diajarkannya. Karena ia adalah wahyu dari AlQuran. Allah berfirman: "Kalau kiranya AlQuran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya" (S. 4: 82). Dan karena di antara empat mazhab ini kudapati banyak pertentangan, maka ia pasti bukan dari sisi Allah, bukan juga dari sisi Rasul-Nya, mengingat Rasul tidak mungkin bertentangan dengan AlQuran."
Ketika orang alim ini melihat argumentasiku sangat rasional dan tak dapat ditolak, dia berkata kepadaku :
"Demi Allah. Aku menasihatimu agar jangan sekali-kali meragukan Khulafa' Rasyidin betapapun keraguan yang kau hadapi. Mereka adalah empat tiang agama ini. Apabila kau robohkan yang satu, maka akan runtuhlah bangunan ini."
"Astaghfirullah." Sahutku. "Tuan, jika mereka adalah tiang agama Islam maka di mana Rasulullah SAWW? "
"Rasulullah adalah bangunan itu semua. Beliau adalah Islam secara keseluruhan."
Aku tersenyum mendengar penilaian seperti ini. Kukatakan lagi:
"Astaghfirullah. Wahai tuan yang mulia, tanpa disadari tuan telah berkata bahwa Rasulullah SAWW tidak akan istiqamah melainkan dengan empat orang ini. Hal ini berlawanan dengan firman Allah, "Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cuknplah Allah sebagai saksi." (S. 48: 28)
Allah telah mengutus Rasul-Nya Muhammad dengan risalah dan tidak menyertakan bersamanya seorangpun dari empat orang ini atau yang lainnya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman: "Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui" (S. 2:151).
"Itulah apa yang pernah kami pelajari dari guru-guru kami dahulu. Pada zaman kami tiada siapapun yang boleh atau pernah mendebat dan membantah para ulama seperti yang dilakukan oleh generasi sekarang ini. Kini kalian mulai meragukan segala sesuatu dan membuat keragu-raguan dalam agama. Ini adalah di antara tanda-tanda hari kiamat. Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Hari kiamat tidak akan muncul melainkan pada zaman makhluk yang paling jahat."
"Wahai Tuan, kenapa mesti marah. Aku berlindung kepada Allah dari bersikap ragu terhadap agama atau membuat keragu-raguan di dalamnya. Aku beriman kepada Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya; beriman pada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya. Aku beriman bahwa Sayyidina Muhammad SAWW adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Beliau adalah Nabi dan Rasul yang paling utama dan penutup seluruh Nabi, dan aku adalah orang muslim. Bagaimana Anda menuduhku seperti itu?"
"Lebih dari itu sepatutnya kukatakan padamu, sebab kau meragukan Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Sedangkan Nabi SAWW pernah bersabda: "Jika iman ummatku ditimbang dengan iman Abu Bakar, maka iman Abu Bakar akan lebih berat." Untuk Sayyidina Umar Nabi pernah bersabda: "Aku pernah ditunjukkan tentang umatku. Mereka memakai baju panjang tetapi tidak sampai menutup dada. Aku juga ditunjukkan tentang Umar. Kulihat dia tengah menyeret-nyeret bajunya. Sahabat bertanya: apa takwilnya (tafsirnya) ya Rasulullah? Nabi menjawab: agama. Tiba-tiba kau datang pada abad ke empat belas ini membuat keraguan-raguan tentang para sahabat, terutama Abu Bakar dan Umar. Tahukah kau bahwa penduduk Irak adalah penduduk yang kafir, munafik dan berpecah?"
Apa yang harus kukatakan pada orang yang mengaku dirinya alim ini. Majlis yang tadinya berjalan dengan cara akrab dan ilmiah kini berubah menjadi semacam tuduhan dan luapan emosi di hadapan sekumpulan hadirin yang mengaguminya. Kuperhatikan wajah-wajah mereka merah dan mata-mata mereka terbelalak menunjukkan sikap protes. Tiada cara lain, aku segera pergi ke rumah dan mengambil kitab al-Muwattha' karya Imam Malik dan kitab Shahih al-Bukhari. Kukatakan kepadanya:
" Wahai Tuan yang mulia! Yang menyebabkan aku ragu-ragu terhadap Abu Bakar adalah Rasulullah sendiri."
Lalu kubukakan kitab al-Muwattha' yang memuat suatu riwayat yang bermaksud, "Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda kepada para syuhada' Uhud: "Aku adalah saksi mereka." Abu Bakar as-Siddiq bertanya: "Ya Rasulullah, bukankah kami adalah saudara-saudara mereka. Kami juga ikut Islam sebagaimana mereka. Kami juga berjihad sebagaimana mereka." Rasulullah SAWW menjawab: "Ya betul. Tetapi aku tidak tahu apa yang akan kalian lakukan setelahku." Mendengar ini Abu Bakar menangis tersedu-sedu. Kemudian dia berkata: "Memang, kami melakukan banyak perkara setelah ketiadaanmu."57
Aku bukakan juga kitab Shahih Bukhari. Riwayat itu berkata: "Suatu hari Umar bin Khattab datang ke rumah Hafsah. Di sana ada Asma' binti U'mais. Ketika melihat Asma' Umar bertanya:
"Siapa wanita ini?"
"Saya Asma' binti U'mais."
"Orang Habsyiah itu. Orang laut itu." Gerutu Umar.
"Ya".JawabAsma'.
"Kami lebih dahulu berhijrah." Kata Umar. "Maka itu kami lebih berhak kepada Rasulullah ketimbang kalian."
"Demi Allah, tidak." Jawab Asma'. "Dahulu kalian bersama Nabi. Diberinya kalian makan-minum dan diajarkannya kalian. Sementara kami berada di suatu tempat yang jauh dan asing (di Habsyah) semata-mata karena Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, aku tidak makan atau minum kecuali kuingat dahulu Rasulullah. Kami juga menghadapi ancaman dan gangguan. (Wahai Umar) aku akan mengadu pada Rasulullah dan akan kuberitahu (apa yang kaukatakan tadi) tanpa aku akan berdusta, menambahi atau mengurangi."
Ketika Asma' datang kepada Nabi, dia berkata, "Ya Nabi Allah, Umar berkata begini dan begitu." "Apa yang kau jawab? " Tanya Nabi.
"Begini dan begitu".
"Dia tidak berhak atasku lebih dari kalian." Jawab Nabi. "Dia dan teman-temannya hanya berhijrah sekali saja, sementara kalian, penghuni bahtera, dua kali berhijrah."
Asma' berkata lagi: "Aku perhatikan Abu Musa dan kawan-kawan yang dahulunya sekapal (saat berhijrah ke Habsyah) yang lain mendatangiku dan bertanya padaku tentang sabda Nabi tersebut. Tiada sesuatu di dunia ini yang sedemikian membahagiakan mereka lebih dari sabda Nabi untuk mereka ini". 58
Setelah orang alim dan para hadirin membaca dua hadis ini, tiba-tiba saja wajah mereka berubah. Mereka saling berpandangan dan menunggu reaksi sang guru yang tak berkutik. Dengan mengangkat sedikit dua keningnya sebagai tanda heran sang guru berkata: "Katakanlah, ya Rabbi, tambahkan untukku ilmu pengetahuan."
"Jika Rasulullah SAWW adalah orang pertama yang ragu terhadap Abu Bakar dan tidak mempersaksikannya lantaran beliau tidak tahu apa yang akan terjadi sepeninggalnya kelak; dan apabila Rasulullah tidak merestui keutamaan Umar bin Khattab atas Asma' binti U'mais, bahkan Asma' lebih diutamakan ketimbang Umar; maka aku mempunyai alasan kuat untuk tidak mengutamakan siapapun sehingga kebenaran itu tampak dan kuketahui dengan pasti. Dan jelas sekali bahwa dua hadits ini berlawanan bahkan menafikan setiap hadis yang mengatakan keutamaan Abu Bakar dari Umar. Sebab dua hadis ini ditunjang oleh fakta-fakta yang objektif dan rasional dibandingkan dengan hadis-hadis keutamaan yang diduga itu."
Para hadirin bertanya: "Apa maksud hadis tersebut? "
"Rasulullah SAWW tidak mau menjadi saksi pada Abu Bakar." Jawabku." Beliau bersabda: "Aku tidak tahu apa yang akan kalian lakukan sepeninggalku kelak.
"Hadis ini jelas sekali maksudnya. Sebab AlQuran mengatakan dan sejarah juga membuktikan bahwa mereka telah melakukan perobahan-perobahan sepeninggal Nabi. Itulah kenapa Abu Bakar menangis. Abu Bakar telah merubah dan membuat Fatimah az-Zahra' puteri Nabi marah, seperti yang telah disentuh di atas. Sedemikian dia telah merobah sehingga beliau menyesal pada akhir hayatnya dan berangan-angan untuk tidak menjadi manusia.
Hadis yang dikatakan bahwa "Jika iman ummatku ditimbang dengan iman Abu Bakar maka imam Abu Bakar akan lebih berat" hadis ini jelas lemah dan tidak masuk akal. Tidak mungkin seseorang yang telah melewati empat puluh tahun dari usianya dalam syirik pada Allah dan menyembah berhala akan memiliki iman yang lebih berat dari iman seluruh ummat Nabi Muhammad SAWW. Sedangkan di antara ummat ini ada para wali Allah yang sholihin, orang-orang syahid dan para imam yang telah menghabiskan semua umurnya dalam berjihad di jalan Allah SWT. Lalu apakah Abu Bakar memang sesuai dengan makna dan maksud hadis ini? Jika memang hadis ini shahih, maka beliau seharusnya tidak akan pernah berangan-angan untuk tidak menjadi manusia. Apabila imannya lebih tinggi dari iman Fatimah Zahra', pemuka wanita alam semesta, maka puteri Rasul itu tidak akan pernah marah kepadanya, atau berdo'a untuk keburukannya."
Orang alim ini tidak memberi sebarang komentar. Sebagian yang hadir menyelah: "Demi Allah, apa yang Anda katakan telah menimbulkan keragu-raguan dalam diri kami." Tiba-tiba si alim ini menyentakku: "Apakah seperti ini yang kau inginkan? Kau telah membuat mereka ragu-ragu di dalam agama mereka." Muncul lagi suara lain yang mencela dan berkata: "Tidak. Dia benar. Sepanjang hayat kita, kita belum pernah membaca suatu buku yang sempurna. Kami mengikuti Anda hanya dengan perasaan yakin tanpa sikap kritis sedikitpun. Jelas bagi kami bahwa apa yang dibicarakan oleh Haji ini nampaknya benar. Sudah sewajibnya kita membaca dan mengkaji." Sebagian yang hadir menyetujui pendapat yang terakhir ini. Dan itu adalah suatu kemenangan bagi suatu kebenaran. Bukan kemenangan dalam bentuk kekuatan atau paksaan, tetapi kemenangan dalam bentuk hujjah dan dalil yang rasional. "Katakanlah, bawalah dalil-dalil kalian jika memang kalian benar-benar sebagai orang yang jujur."
Aku lanjutkan penelitianku dengan cara yang sangat cermat sepanjang tiga tahun lagi. Kuulangi segala yang kubaca dari awal hingga akhir. Kubaca buku al-Muraja'at (Dialog Sunnah Syi'ah) karya Imam Syarafuddin, dan kuulangi berkali-kali. la telah membuka luas wawasanku dan menyebabkanku mendapat petunjuk dan hidayah dari Allah SWT serta cinta kepada Ahlul Bait.
Aku juga membaca kitab al-Ghadir karya Syaikh al-Amini dan kuulangi hingga tiga kali lantaran isinya yang sangat padat, tepat dan jelas sekali. Juga kitab Fadak karya Sayed Muhammad Baqir as-Sadr dan kitab as-Saqifah karya Syaikh Muhammad Ridha al-Muzaffar. Dari dua buku ini aku temukan berbagai jawaban yang sangat memuaskan. Juga kubaca kitab an-Nas wal-Ijtihad yang menambah lagi keyakinanku. Kemudian kitab Abu Hurairah karya Syarafuddin, dan Syaikh al-Mudhirah karya Syaikh Mahmud Abu Rayyah al-Mishri. Dari sana baru aku ketahui bahwa sahabat yang melakukan perobahan setelah zaman Rasulullah ada dua bagian. Pertama, yang merobah hukum dengan kekuasaan yang dimilikinya; kedua, yang merobah hukum dengan meletakkan berbagai hadis palsu yang dinisbahkan kepada Rasul SAWW.
Kemudian kubaca kitab al-lmam as-Shadiq Wal Mazahib al-Arba'ah karya Asad Haidar. Dari sana kukenal perbedaan antara ilmu mauhub (yang dikaruniakan) dan ilmu maksub (yang dipelajari). Dari situ juga aku baru tahu perbedaan antara Hikmah yang Allah berikan kepada orang yang Dia kehendaki, dan sikap berlagak berilmu dan berijtihad dengan pendapat pribadi yang menjauhkan ummat ini dari jiwa Islam yang sebenarnya.
Kubaca juga berbagai buku karya Sayed Ja'far Murtadha al-A'mili, Sayed Murtadha al-Askari, Sayed al-Khui, Sayed Thabatabai, Syaikh Muhammad Amin Zainuddin, Fairuz Abadi, karya Ibnu Abil Hadid al-Mu'tazili dalam bukunya Syarh Nahjul Balaghah, Taha Husain dalam bukunya al-Fitnah al-Kubro. Dari buku sejarah kubaca kitab Tarikh at-Thabari, Tarikh Ibnul Atsir, Tarikh al-Masu'di dan Tarikh al-Ya'qubi. Dan banyak lagi buku-buku lain yang kubaca sehingga aku merasa betul-betul puas bahwa Syi'ah Imamiah ini adalah yang benar. Dari situ kemudian aku mulai menjadi pengikut mazhab Syi'ah, dan dengan berkat Allah kuikuti bahtera Ahlul Bait serta kupegang erat-erat tali wila' mereka. Karena kudapati Alhamdulillah, merekalah sebagai alternatif dari sebagian sahabat yang terbukti bagiku telah berbalik, dan tiada yang selamat melainkan sekelompok kecil saja. Kini aku menggantikan mereka dengan Ahlul Bait Nabi yang telah Allah bersihkan mereka dari segala dosa dan Dia sucikan mereka dengan sesuci-sucinya, bahkan diwajibkan kepada seluruh ummat manusia untuk mencintai mereka.
Syi'ah bukan seperti yang didakwa oleh sebagian ulama kita sebagai orang-orang Parsi dan Majusi yang dihancurkan oleh Sayyidina Umar di dalam peperangan al-Qadisiah dahulu. (Karena itu mereka benci kepada Umar!).
Aku katakan kepada mereka bahwa Syi'ah Ahlul Bait tidak hanya terbatas pada orang-orang Parsi saja. Syi'ah juga ada di Irak, Hijaz (Saudi Arabia), Syria dan Lebanon. Mereka adalah orang-orang Arab. Syi'ah juga ada di Pakistan, India, Afrika dan Amerika. Mereka bukan dari bangsa Parsi atau bangsa Arab. Apabila kita batasi Syi'ah hanya pada Iran saja maka alasan kita akan lebih kuat lagi. Mengingat mereka mempercayai dua belas imam yang kesemuanya adalah orang-orang Arab dari suku Quraisy, dari keluarga bani Hasyim keluarga Nabi SAWW. Apabila orang-orang Parsi bersikap fanatik dan benci pada orang-orang Arab seperti yang diklaim oleh sebagian orang, maka tentu mereka akan menjadikan Salman al-Farisi sebagai imam mereka. Sebab beliau berbangsa Parsi dan seorang sahabat yang sangat agung serta ketokohannya diakui oleh Sunnah dan Syi'ah.
Sementara pengikut Ahlus Sunnah Wal Jamaah, kuperhatikan, kepemimpinan mereka berakhir pada keturunan Parsi. Mayoritas imam mereka berbangsa Parsi, seperti Abu Hanifah, Imam Nasa-i, Turmuzi, Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, ar-Razi, Imam al-Ghazali, Ibnu Sina, al-Farabi dan masih banyak lagi. Jika Syi'ah berasal dari Parsi, lalu mereka benci kepada Umar yang telah menghancurkan keagungan mereka dahulu, maka bagaimana kita akan tafsirkan orang-orang Syi'ah Arab atau non-Parsi lain yang menolak Umar? Itulah contoh suatu dalih tanpa alasan yang kuat. Penolakan Syi'ah terhadap Umar adalah lantaran peranannya dalam menyingkirkan Imam Ali, Amir al-Mukminin dan Sayyidil Wasiyyin dari jabatan Khilafah setelah wafatnya Rasul SAWW. Di samping fitnah dan berbagai malapetaka lain yang menimpa ummat ini akibatnya. Bagi seorang peneliti yang objektif dan rasional, memang dia akan mengambil sikap sedemikian jika tabir sejarah yang menutupinya terungkap, tanpa perlu memiliki rasa permusuhan sebelumnya.
Yang benar adalah orang-orang Syi'ah baik yang berbangsa Parsi, Arab atau lainnya, mereka tunduk pada nas-nas AlQuran dan Hadis Nabawi. Mereka patuh setia dan ikut para imam yang menunjukkan mereka jalan yang lurus. Mereka tidak rela pada selain para imam, walaupun sepanjang tujuh abad Bani Umaiyah dan Bani Abbasiah melakukan politik kotor dan bersikap kejam terhadap mereka hingga setiap pengikut mereka diburu dan dikejar-kejar. Mereka dibunuh, diusir, dilarang dari mendapatkan bagian dari Baitul Mal dan dilemparkan berbagai tuduhan yang menimbulkan rasa marah orang kepada mereka sampai hari ini.
Namun orang-orang Syi'ah tetap kukuh dengan pendirian mereka. Mereka bersabar dan memegang erat kebenaran yang dipercayainya tanpa memperdulikan cacian siapa pun. Dan nilai kekukuhan ini memang mereka nikmati hingga hari ini. Saya menantang siapa saja dari alim ulama kita yang berani duduk berdiskusi dengan para alim ulama mereka. Saya yakin usai diskusi mereka akan keluar sebagai orang yang memperoleh bimbingan Allah SWT.
Ya. Aku kini memang telah mendapatkan alternatif. Segala puji bagi Allah yang telah membimbingku ke jalan ini. Tanpa hidayah-Nya maka tidak mungkin aku akan mendapatkan petunjuk-Nya. Segala puji bagi Allah dan hanya kepada-Nya akubersyukur karena telah ditunjukkan-Nya padaku golong-an yang selamat yang sejak lama kucari dengan penuh semangat. Aku tidak ragu-ragu lagi bahwa mereka yang berpegang kepada Ali dan Ahlul Baitnya berarti telah berpegang pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus selama-lamanya. Bukti-bukti dari nas Nabi yang disepakati oleh semua kaum muslimin berjumlah cukup banyak. Dan akal saja sebenarnya sudah cukup sebagai bukti bagi orang yang benar-benar bijak dan teliti. Ijma' ummat mengatakan bahwa Ali adalah sahabat yang paling berilmu dan paling berani. Dua ini saja sudah cukup sebagai bukti akan keutamaan Ali dibandingkan dengan orang lain atas jabatan hak khilafah. Allah berfirman: "Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui" (S. 2:247).
Rasulullah SAWW bersabda: "Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali. Dia adalah wali (pemimpin) setiap mukmin setelahku."59
Imam Zamakhsyari berkata dalam syairnya:
Telah banyak keraguan dan perselisihan
Semua mengaku berada dalam jalan yang lurus
Kupegang erat-erat dengan Lailaha Illallah
Dan cintaku kepada Ahmad dan Ali
Telah selamat anjing lantaran cinta pada Penghuni Gua
Bagaimana aku akan celaka dengan cinta pada keluarga Nabi.
Alhamdulillah aku kini telah menemukan alternatif. Setelah Rasulullah aku mengikuti Amir al-Mukminin, pemim-pin orang-orang mukmin, singa Allah al-Ghalib al-Imam Ali bin Abi Thalib; juga kepada dua pemuka pemuda syurga, cahaya mata Nabi, al-Imam Abu Muhammad al-Hasan az-Zaki dan al-Imam Abu Abdillah al-Husain; juga kepada darah dagingnya Baginda Rasulullah, induk zuriat nubuwah, ibu seluruh imam, seseorang yang murkanya adalah murka Allah, marahnya adalah marah Allah, pemuka wanita alam semesta, Sayyidah Fatimah az-Zahra' as.
Kini aku menggantikan Imam Malik dengan gurunya para Imam dan ummat secara keseluruhan, yakni Imam Ja'far as-Shodiq. Aku berpegang pada sembilan imam yang maksum dari zuriat Husain, imam-imamnya kaum muslimin dan wali-wali Allah as-Sholihin.
Aku juga telah menggantikan sahabat yang berpaling seperti Muawiyah, A'mar bin A'sh, Mughirah bin Syu'bah, Abu Hurairah, A'kramah dan Ka'bul Ahbar serta orang-orang yang sejenisnya dengan para sahabat yang bersyukur kepada Tuhannya dan yang tidak menginkari janji mereka kepada Nabi. Seperti Ammar bin Yasir, Salman al-Farisi, Abu Zar al-Ghaffari, Miqdad bin Aswad, Khuzaimah bin Thabit Zu Syahadatain, Ubai bin Ka'ab dan sejenisnya. Segala puji bagi Allah atas petunjukNya ini.
Aku juga telah menukar para ulama tempatku yang telah menjumudkan akal-akal kami dan yang kebanyakan mengi-kuti para penguasa di setiap zaman dengan ulama-ulama Syi'ah yang solihin, yang tidak pernah menutup pintu ijtihad, tidak pernah merasa hina atau meminta kasihan dari pemimpin-pemimpin yang zalim ini.
Ya, aku telah menukar alam pikiranku yang sempit dan percaya pada berbagai khurafat dan kontradiktif dengan alam pkiran yang cerah, terbuka, bebas dan percaya pada setiap dalil dan hujjah. Atau dengan kata lain, aku telah mencuci otakku dari daki-daki kesesatan Bani Umaiyah yang telah membekas sepanjang tiga puluh tahun, dan kini mensucikannya dengan akidah orang-orang yang maksum yang Allah bersihkan mereka dari segala dosa dan mensucikan mereka dengan sesuci-sucinya.
Ya Allah. Hidupkanlah kami di atas agama mereka. Matikanlah kami di atas sunnah mereka. Bangkitkanlah kami bersama-sama mereka. Karena Nabi-Mu bersabda, "Seseorang kelak akan dibangkitkan bersama orang yang dicintainya."
Dengan demikian maka aku kini kembali lagi ke akar asalku. Ayah dan paman-pamanku dahulu pernah mengatakan kepada kami bahwa asal mulanya kami adalah dari golongan Sayed-Sayed yang lari dari Irak lantaran tekanan Bani Abbasiah. Kemudian meminta perlindungan di Afrika Utara sehingga akhirnya menetap di Tunisia yang sehingga kini masih meninggalkan bekas-bekas sejarah. Di Afrika Utara sendiri banyak kalangan yang berstatus Sayed atau dalam istilah mereka al-Asyraf lantaran tali keturunan dari silsilah Ahlul Bait yang suci. Namun mereka telah banyak yang tenggelam dalam kesesatan Bani Umaiyah atau Bani Abbasiah. Tiada tersisa dari mereka suatu kebenaran sedikitpun melainkan sikap hormat dan penuh takzim yang ditunjukkan orang banyak kepada mereka saja. Segala puji bagi Allah karena hidayah-Nya ini. Segala puji bagi Allah karena petunjuk-Nya kepadaku ini dan karena dibukakan-Nya mataku dan pemahamanku untuk mengetahui suatu kebenaran.
13MENGAPA AKU MEMILIH AHLUL-BAIT AS?
SEBAB-SEBAB IKUT MAZHAB AHLU BAIT
Banyak sebab yang mendorongku untuk ikut mazhab Ahlu Bait (Syi'ah). Dan tidak mungkin bagiku menyebutnya secara rinci di sini kecuali sebagiannya saja.
1. Nas Khilafah
Aku telah berjanji pada diriku ketika memasuki pembahasan ini untuk tidak berpegang pada sebarang dalil melainkan ia benar-benar dianggap shahih oleh kedua mazhab, dan mengabaikan setiap dalil yang hanya diriwayatkan oleh satu mazhab saja. Lalu aku mulai menelaah masalah perselisihan antara Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib, apakah khilafah (kekhalifahan) pada dasarnya adalah hak Ali bila dilihat dari sisi nas seperti yang diklaim oleh mazhab Syi'ah, atau ia ditentukan oleh syura seperti yang dikatakan oleh mazhab Sunnah.
Seandainya mereka yang menelaah masalah ini benar-benar tulus untuk mencari sebuah kebenaran, mereka akan dapati bahwa nas yang mengatakan Ali sebagai khalifah adalah nas yang tak terbantahkan, seperti sabda Nabi SAWW: "Siapa yang menganggap aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka inilah Ali sebagai maulanya". Hadis ini beliau ucapkan sekembalinya beliau dari hajinya yang terakhir yang dikenal dengan hujjatul-wada'. Usai pengangkatan, berduyun-duyun orang datang mengucapkan tahniah atau selamat kepada Ali, termasuk Abu Bakar dan Umar sendiri. Mereka berkata: "Selamat untukmu wahai Putera Abu Thalib. Kini kau adalah maulaku dan maula setiap orang mukmin, laki-laki dan perempuan" 60
Hadis ini telah disepakati keabsahannya oleh Sunnah dan Syi'ah. Referensi yang kusebutkan dalam telaahku ini adalah referensi yang berasal dari Ahlu Sunnah saja. Itupun bukan semua. Karena yang semestinya adalah jauh lebih banyak dari apa yang kusebutkan. Agar dapat memperoleh dalil-dalil yang lebih rinci aku mengajak para pembaca untuk menelaah kitab Al-Ghadir karya al-Allamah al-Amini. Buku ini setebal tiga belas jilid. Dan penulisnya telah mendaftarkan nama para perawi hadis ini dari golongan Ahlu Sunnah cukup banyak.
Adapun ijma' yang dinyatakan sebagai dasar dipilihnya Abu Bakar di Saqifah Bani Sa'idah, lalu kemudian ia dibaiat di masjid adalah pernyataan yang tidak kokoh. Bagaimana hal itu bisa dikatakan sebagai ijma' sementara sejumlah pemuka sahabat seperti Ali, Abbas dan anggota Bani Hasyim yang lain tidak ikut serta membaiatnya. Begitu juga Usamah bin Zaid, Zubair, Salman al-Farisi, Abu Zar al-Ghaffari, Miqdad bin al-Aswad, Ammar bin Yasir, Huzaifah bin Yaman, Khuzaimah bin Thabit, Abu Buraidah al-Aslami, Barro' bin Azib, Ubai bin Ka'ab, Sahal bin Hunaif, Sa'ad bin Ubadah, Qais bin Sa'ad, Abu Ayyub al-Anshori, Jabir bin Abdullah, Khalid bin Sa'ad dan lain sebagainya.61
Dimana ijma' yang dikatakan itu wahai hamba-hamba Allah? Seandainya hanya Ali yang tidak membaiat, itu sudah cukup bukti tercelanya ijma' seumpama itu. Hal ini karena beliau adalah satu-satunya calon khalifah yang ditunjuk oleh Rasul SAWW, seandainya kita tolak pengertian secara eksplisit nas-nas tentang kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Adalah fakta bahwa bai'at pada Abu Bakar terjadi tanpa syuro atau musyawarah. Bai'at itu diambil ketika orang-orang sekitarnya, terutama ahlul halli wal 'aqdi, sedang bingung dan sibuk dalam mengurus jenazah Nabi SAWW. Saat itu penduduk kota Madinah sedang berkabung atas wafatnya Nabi mereka. Kemudian tiba-tiba dipaksa untuk membai'at sang khalifah.62 Hal ini dapat kita rasakan dari cara mereka mengancam untuk membakar rumah Fatimah apabila penghuni yang berada di dalamnya enggan memberikan baiat. Nah, bagaimana dapat kita katakan bahwa pemilihan sang khalifah tersebut terjadi secara musyawarah dan ijma'?
Umar sendiri pernah berkata bahwa bai'at yang diambil waktu itu adalah tergesa-gesa, dan Allah telah memelihara kaum muslimin dari kejahatannya. Beliau juga berkata bahwa siapa saja yang mengulangi cara bai'at seperti itu, ia mesti dibunuh, atau-paling tidak-bai'atnya tidak sah dan tidak diakui.
Imam Ali pernah berkata tentang haknya ini, yang antara lain: "Demi Allah, Ibnu Abi Qahafah (Abu Bakar) telah memakainya (hak khilafahku) sedangkan beliau tahu bahwa kedudukanku dengan khilafah ini bagaikan kedudukan kincir dengan roda" 64 (Nahjul Balaghah).
Sa'ad bin Ubadah pemuka kaum Anshar yang menyerang Abu Bakar dan Umar di hari Saqifah danberusaha mati-matian untuk mencegah mereka dari jabatan khilafah, namun tak mampu karena sakit dan tak dapat berdiri, pernah berkata setelah kaum Anshar membaia't Abu Bakar: "Demi Allah, sekali-kali Aku tidak akan membai'at kalian sampailah kulemparkan anak-anak panahku dan kulumurkan tombakku serta kupukulkan pedangku dan kuperangi kalian bersama-sama keluarga dan kaumku. Demi Allah, seandainya manusia dan jin berkumpul untuk membai'at kalian niscaya aku tetap tidak akan memberikartnya, sampai aku berjumpa dengan Tuhanku." Sa'ad bin Ubadah tidak shalat sama-sama mereka dan tidak ikut serta kumpul bersama mereka bahkan tidak mau haji bersama-sama mereka. Seandainya ada sekelompok orang yang mau memerangi mereka niscaya ia akan membantunya. Dan seandainya ada orang yang membaiatnya untuk memerangi mereka niscaya ia akan perangi. Begitulah sikap Sa'ad terhadap Abu Bakar sampai beliau wafat di Syam pada periode pemerintahan Umar.65
Apabila bai'at tersebut dilakukan secara tergesa-gesa dimana Allah telah pelihara kaum muslimin dari keburukannya, seperti yang disinyalir oleh Umar sendiri, arsitektur rencana ini dan tahu akibat yang akan diderita oleh kaum muslimin karenanya; dan apabila khilafah ini merupakan "pakaian" Abu Bakar saja, (seperti yang diibaratkan oleh Imam Ali karena dia bukan empunya yang sah); dan apabila bai'at ini diambil secara zalim seperti yang dikatakan oleh Sa'ad bin Ubadah, pemuka Anshar yang memisahkan diri dari jamaah karenanya; dan apabila bai'at ini tidak sah secara syareat meng-ingat sahabat-sahabat yang besar seperti Abbas paman Nabi tidak memberinya, lalu apa dasar dan alasan keabsahan khilafah Abu Bakar? Jawabnya: tidak ada alasan yang diberikan oleh kalangan Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
Dengan demikian maka benarlah alasan dan hujjah Syi'ah dalam hal ini, karena nas tentang kekhalifahan Ali nyata ada dalam Ahlu Sunnah sendiri. Namun mereka telah menakwilkannya karena ingin memelihara "kemuliaan" sahabat. Tetapi bagi orang yang insaf dan adil, dia tidak akan memperoleh sebarang alasan kecuali harus menerima kenyataan nas ini; terutama apabila ia ketahui rangkaian peristiwa yang menyelubungi sejarah ini.66
2. Perselisihan antara Fatimah dan Abu Bakar
Masalah ini juga telah disepakati kebenarannya oleh dua mazhab, Sunnah dan Syi'ah. Orang yang insaf dan berakal tidak akan dapat lari kecuali harus mengatakan bahwa Abu Bakar berada pada posisi yang keliru dalam perselisihannya dengan Fatimah, dan ia tidak bisa menolak fakta bahwa Abu Bakar pernah menzalimi Penghulu Alam semesta ini. Mereka yang menelaah sejarah ini dan mengetahui seluk-beluknya secara rinci akan tahu pasti bahwa Abu Bakar pernah mengganggu Siti Fatimah Zahra' dan mendustakannya secara sengaja, agar Fatimah tidak mempunyai alasan untuk berhujjah dengan nash-nash al-Ghadir dan lainnya akan keabsahan hak khilaf ah suaminya dan putra-pamannya, yakni Ali bin Abi Thalib. Kami telah temukan bukti-bukti yang cukup kuat dalam hal ini.
Diantaranya adalah, seperti dikatakan oleh ahli sejarah bahwa Fatimah Zahra', (semoga Allah melimpahkan padanya kesejahteraan) pernah keluar mendatangi tempat-tempat pertemuan kaum Anshar dan minta mereka membantu dan membai'at Ali. Mereka menjawab: "Wahai putri Rasulullah, kami telah berikan bai'at kami pada orang ini (Abu Bakar). Seandainya suamimu dan putra pamanmu mendahului Abu Bakar niscaya kami tidak akan berpaling darinya." Ali berkata:
"Apakah aku harus tinggalkan Nabi di rumahnya dan tidak kuurus jenazahnya, lalu keluar berdebat tentang kepemimpinan ini?" Fatimah menyahut, "Abul Hasan telah melakukan apa yang sepatutnya beliau lakukan, sementara mereka telah melakukan sesuatu yang hanya Allah sajalah akan menjadi Penghisab dan Penuntutnya."67
Seandainya Abu Bakar memang berniat baik dan keliru maka kata-kata Fatimah telah cukup untuk menyadarkannya. Tetapi Fatimah masih tetap marah padanya dan tidak berbicara dengannya sampai beliau wafat. Karena Abu Bakar telah menolak setiap tuntutan Fatimah dan tidak menerima kesaksiannya, bahkan kesaksian suaminya sekalipun, akhirnya Fatimah murka pada Abu Bakar sampai beliau tidak mengizinkannya hadir dalam pemakaman jenazahnya, seperti yang dia wasiatkan pada suaminya Ali. Fatimah juga berwasiat agar jasadnya dikuburkan secara rahasia di malam hari tanpa boleh diketahui oleh mereka yang menentangnya.68 Untuk pembuktian ini saya sendiri telah berangkat ke Madinah untuk memastikan kebenaran fakta sejarah ini. Di sana kudapati bahwa pusaranya memang masih tidak diketahui oleh siapa pun. Sebagian berkata ada di Kamar Nabi, dan sebagian lain berkata ada di rumahnya yang berhadapan dengan Kamar Nabi. Ada juga yang berpendapat bahwa pusaranya terletak di Baqi', di tengah-tengah pusara keluarga Nabi yang lain. Tapi tiada satupun pendapat yang berani memastikan dimana letaknya.
Alhasil, aku berkesimpulan bahwa Fatimah Zahra' sebenarnya ingin melaporkan kepada generasi muslimin berikutnya tentang tragedi yang disaksikannya pada zamannya, agar mereka bertanya-tanya kenapa Fatimah sampai memohon pada suaminya agar dikebumikan di malam hari secara sembunyi dan tidak dihadiri oleh siapa pun. Hal ini juga memungkinkan seorang muslim untuk sampai pada sebuah kebenaran lewat telaah-telaahnya yang intensif dalam bidang sejarah.
Aku juga mendapati bahwa penziarah yang ingin berziarah ke kuburan Utsman bin Affan terpaksa harus menempuh jalan yang cukup jauh agar bisa sampai ke sudut akhir dari wilayah tanah pekuburan Jannatul Baqi'. Di sana dia juga akan dapati bahwa kuburan Utsman berada persis di bawah sebuah dinding, sementara kebanyakan sahabat lain dikubur-kan di tempat yang berhampiran dengan pintu masuk Baqi'. Hatta Malik bin Anas, imam mazhab Maliki, seorang tabi'it-tabi'in (generasi keempat setelah Nabi) juga dikuburkan dekat dengan istri-istri Nabi.
Hal ini bagiku bertambah jelas apa yang dikatakan oleh ahli sejarah bahwa Utsman dikuburkan di Hasy Kaukab, sebidang tanah milik seorang Yahudi. Pada mulanya kaum muslimin melarang jasad Utsman dikebumikan di Baqi'. Ketika Mua'wiyah menjabat sebagai khalifah dia beli tanah milik si Yahudi, kemudian memasukkannya sebagai bagian dari wilayah Baqi', agar kuburan Utsman juga termasuk di dalamnya. Mereka yang ziarah ke Baqi' pasti akan dapat melihat hakekat ini dengan jelas sekali.
Aku semakin heran ketika kuketahui bahwa Fatimah Zahra' as adalah orang pertama yang menyusul kepergian ayahnya. Antara wafat Rasul dengan wafat Fatimah hanya dipisahkan selang waktu enam bulan saja. Demikian pendapat sebagian ahli sejarah. Tapi-anehnya-beliau tidak dikubur-kan di sisi ayahnya!!
Apabila Fatimah Zahra' berwasiat agar dikebumikan secara rahasia, dan beliau tidak dikuburkan dekat dengan pusara ayahnya seperti yang disebutkan di atas, lalu apa pula gerangan yang terjadi dengan jenazah putranya Hasan yang tidak dikuburkan dekat dengan pusara datuknya Muhammad SAWW.?
Ummul-mukminin Aisyah melarang jasad Hasan dikebumikan di sana. Ketika Husain datang untuk mengebumikan saudaranya Hasan di sisi pusara datuknya, Aisyah datang dengan menunggangi baghalnya sambil berteriak, "jangan kuburkan di rumahku orang yang tidak kusukai." Bani Umaiah dan Bani Hasyim nyaris perang. Tetapi Imam Husain kemu-dian berkata bahwa dia hanya membawa jenazah saudaranya untuk "tabarruk" pada pusara datuknya, kemudian dikuburkan di Baqi'. Imam Hasan pernah berpesan agar jangan tertumpah setetes pun darah karenanya.
Dalam kontek ini Ibnu Abbas mendendangkan syairnya kepada Aisyah:
Kau tunggangi onta 69
Kau tunggangi baghal 70
Kalau kau terus hidup
kau akan tunggangi ga]ah
Sahammu kesembilan dari seperdelapan
tapi telah kau ambil semuanya
Ini adalah contoh dari rangkaian fakta yang sungguh mengherankan. Bagaimana Aisyah mewarisi semua rumah Nabi sementara istri-istri beliau berjumlah sembilan, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abbas di atas.
Apabila Nabi tidak meninggalkan harta waris seperti yang disaksikan oleh Abu Bakar-karenanya dia melarangnya dari Fatimah, lalu bagaimana Aisyah dapat mewarisi pusaka Nabi? Apakah ada dalam AlQuran suatu ayat yang memberikan hak waris pada istri tapi melarangnya dari anak perempuan? Ataukah politik yang telah merobah segala sesuatu sehingga anak perempuan diharamkan dari menerima segala sesuatu dan si istri diberi segala sesuatu?
Saya akan membawakan suatu kisah yang diceritakan oleh sebagian ahli sejarah. Cerita ini ada kaitannya dengan hak pusaka ini.
Ibnu Abil-Hadid al-Mu'tazili dalambukunya Syarhu Nahjil Balaghah pernah berkata: "Suatu hari Aisyah dan Hafshah datang kepada Utsman pada periode pemerintahannya. Mereka minta agar pusaka Nabi tersebut diberikan kepada mereka. Sambil membetulkan cara duduknya, Utsman berkata kepada Aisyah:"
Engkau bersama orang yang duduk ini pernah datang membawa seorang badui yang masih hadas menyaksikan Nabi SAWW bersabda: "Kami para Nabi tidak meninggalkan harta pusaka." Jika memang benar bahwa Nabi tidak meninggalkan sebarang warisan, lalu apa yang kalian minta ini? Dan jika memang Nabi meninggalkan warisan pusaka, kenapa kalian larang haknya Fatimah? Lalu Aisyah keluar dari rumah Utsman sambil marah-marah dan berkata: "Bunuh si na'tsal. Sungguh, dia telah kufur." 71
3 Ali Lebih Utama untuk Diikuti
Di antara sebab yang mendorongku untuk ikut mazhab Syi'ah dan meninggalkan tradisi para leluhur adalah pertim-bangan akal dan naqal antara Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar.
Seperti yang kusebutkan pada halaman-halaman yang lalu bahwa aku sepenuhnya berpegang pada ijma' yang disepakati oleh Ahlu Sunnah dan Syi'ah. Aku juga telah menelaah berbagai kitab dari dua mazhab ini. Di sana tidak kutemui sebuah ijma' atau kesepakatan pendapat yang sempurna melainkan berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib. Sunnah dan Syi'ah telah sepakat tentang keimamahannya sebagaimana yang dicatatkan dalam nas-nas berbagai kitab rujukan dua mazhab itu. Semen-tara tentang keimamahan (kepemimpinan) Abu Bakar hanya dikatakan oleh sekelompok tertentu kaum muslimin saja. Di atas telah kami sebutkan ucapan Umar tentang pembai'atan terhadap Abu Bakar.
Demikian juga tentang keutamaan dan keistimewaan Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Syi'ah di kitab-kitab mereka. Semua bersandar pada sanad dan otentisitas yang tak dapat digugat hatta oleh kitab-kitab Sunnah. Sebagaimana ia juga diriwayatkan melalui berbagai jalur yang tak dapat diragukan. Banyak sahabat telah meriwayatkan hadis berkenaan dengan keutamaan Ali ini, sehingga Ahmad bin Hanbal mengatakan: "Tidak satupun dari sahabat Nabi yang memiliki keutamaan sebagaimana Ali bin Abi Thalib." 72
Al-Qadhi Ismail dan an-Nasai serta Abu Ali an-Naisaburi berkata: "Tidak satupun hadis-hadis keutamaan sahabat yang diriwayatkan dengan isnad-isnad yang hasan sebagaimana hadis tentang keutamaan Ali" 73
Meskipun Bani Umaiyah telah memaksa setiap orang yang berada di Barat dan di Timur untuk mencaci, mengutuk, serta tidak menyebutnyebut tentang keutamaan Ali, bahkan mela-rang siapa pun untuk menggunakan namanya, bagaimanapun keutamaan-keutamaannya tetap memancar dan menguak ke permukaan. Imam Syafei berkata berkenaan dengan ini:
"Aku sungguh takjub akan seseorang yang karena dengki, musuh-musuhnya telah menyembunyikan keutamaannya; dan karena takut, para pecintanya tidak berani menyebut-nyebut namanya. Namun tetap saja keutamaannya tersebar dan memenuhi lembaran-lembaran buku. "
Berkenaan dengan Abu Bakar juga telah kutelaah dengan kritis dan teliti dari berbagai kitab dua mazhab ini. Namun kitab-kitab Sunnah yang menyebut tentang keutamaannya juga tidak dapat menyaingi keutamaan-keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib. Itupun diriwayatkan oleh putrinya Aisyah yang kita kenal bagaimana sikapnya terhadap Imam Ali, dimana beliau berusaha keras untuk menonjolkan ayahnya walau dengan menciptakan hadis-hadis sekalipun; atau diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, seorang yang terbilang jauh dengan Imam Ali. Abdullah bin Umar pernah menolak memberikan bai'at pada Imam Ali setelah semua kaum muslimin sepakat untuk mengangkatnya sebagai Imam. Dia pernah berkata bah-wa orang yang paling utama setelah Nabi adalah Abu Bakar kemudian Umar dan kemudian Utsman, lalu tiada seorang punyang lebih utama dari yang lainnya, semua adalah sama."74 Yakni Abdullah bin Umar ingin mengatakan bahwa Imam Ali adalah manusia awam biasa yang tidak memiliki sebarang keutamaan. Aneh memang. Bagaimana Abdullah bin Umar dapat menyembunyikan dirinya dari fakta-fakta yang telah dinyatakan oleh para pemuka ummat bahwa tiada suatu hadispun berkenaan dengan sahabat yang diriwayatkan secara isnad yang hasan sebagaimana hadis tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib? Apakah Abdullah bin Umar tidak pernah mendengar satu keutamaan pun tentang diri Ali bin Abi Thalib? Demi Allah beliau pernah mendengarnya. Tetapi politik, ya politik, yang telah memutar belitkan segala kebenaran dan menciptakan berbagai keanehan.
Mereka yang meriwayatkan tentang keutamaan Abu Bakar antara lain adalah 'Amr bin 'Ash, Abu Hurairah, Urwah dan Akramah. Sejarah menyingkapkan bahwa mereka adalah lawan-lawan Ali dan pernah memeranginya. Baik dengan senjata atau menciptakan berbagai keutamaan untuk musuh-musuh dan lawan-lawannya. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: " Ali banyak mempunyai musuh. Mereka berupaya untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa mencelanya, namun mereka tidak menemukannya. Kemudian mereka cari seseorang yang pernah memeranginya lalu diciptakanlah keutamaan-keutamaannya."75 Tapi Allah berfirman: " Sebenarnya mereka merencanakan tipu-daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Dan Akupun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya. Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu yaitu beri tangguhhh mereka itu barang sebentar" (86:15,16 17)
Sungguh merupakan mukjizat Allah bahwa keutamaan-keutamaan Ali dapat terungkap atau mencuat keluar setelah enam abad serangkaian pemerintahan yang zalim menganiaya dirinya dan kaum kerabatnya. Dinasti Bani Abbas tidak kurang dari Bani Umaiyah dalam membenci, mendengki dan memperdaya kaum kerabat Nabi SAWW. sehingga Abu Faras al-Hamdani berkata :
Apa yang dilakukan oleh putra-putra Banu Harb terhadap
mereka
Walau sunguh dahsyat
Tapi tidaklah sedahsyat kezaliman yang kalian lakukan
Berapa banyak pelanggaran terhadap agama yang kalian
lakukan
Dan berapa banyak darah keluarga Rasulullah yang kalian
tumpahkan
Kalian mengaku sebagai pengikutnya
Sementara tangan kalian penuh berlumuran darah anak-anaknya yang suci
Setelah dalil-dalil itu semua dan setelah semua kekaburan menjadi terang maka biarlah Allah yang menjadi Hujjah Yang Unggul, dan manusia tidak lagi mempunyai alasan dihadapan-Nya.
Walaupun Abu Bakar adalah khalifah pertama dan mempunyai kekuasaan seperti yang kita ketahui; walaupun pemerintahan Umawiyah menyogokkan segala bonus dan upah kepada setiap orang yang meriwayatkan keutamaan Abu Bakar, Umar dan Utsman; walaupun riwayat-riwayat keutamaan Abu Bakar diciptakan begitu banyak dan memenuhi lembaran-lembaran buku; walaupun itu semua dilakukan namun ia tetap tak dapat menyamai hatta sepersepuluh dari keutamaan Ali.
Bahkan jika Anda teliti "hadis-hadis" tentang keutamaan Abu Bakar, Anda akan dapati bahwa ia tidak sejalan dengan apa yang dicatat oleh sejarah tentang berbagai tindakannya. Bukan saja ia bertentangan dengan apa yang dikatakan dalam "hadis" itu bahkan juga bertentangan dengan akal dan syara'. Dan ini telah kami jelaskan ketika membicarakan hadis yang bermaksud: "Seandainya iman Abu Bakar ditimbang dengan imannya ummatku maka iman Abu Bakar akan lebih berat". Seandainya Rasulullah SAWW tahu bahwa iman Abu Bakar sedemikian hebatnya maka beliau tidak akan meletakkannya di bawah pimpinan komandan pasukan seperti Usamah bin Zeid; dan beliau juga tidak akan enggan untuk memberikan kesaksian padanya sebagaimana yang pernah beliau berikan kepada para syuhada' di Uhud. Nabi pernah berkata kepadanya: "Sungguh aku tidak tahu apa yang akan kau lakukan sepeninggalku kelak", sampai Abu Bakar menangis.76 Nabi juga tidak akan mengutus Ali bin Abi Thalib untuk mengambil surah Baraah yang telah diberikannya kepada Abu Bakar dan melarangnya membaca-kannya.77 Beliau juga tidak akan berkata pada hari pemberian panji dalam peperangan Khaibar: "Akan kuberikan panjiku ini esok kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dia senantiasa akan maju dan tidak pernah akan berundur sedikitpun. Sungguh Allah telah menguji hatinya dengan iman. "Kemudian Nabi memberikannya pada Ali dan tidak memberikannya kepada Abu Bakar."78
Seandainya Allah tahu bahwa iman Abu Bakar sedemikian tingginya hingga melebihi iman seluruh ummat Muhammad SAWW maka Allah tidak akan pernah mengancamnya untuk menggugurkan amal-amalnya ketika beliau mengangkat suaranya lebih dari suara Nabi.79 Seandainya Ali dan sahabat-sahabatnya tahu bahwa Abu Bakar memiliki keimanan yang demikian tinggi maka mereka tidak punya alasan untuk menolak memberikan bai'at kepadanya. Seandainya Fatimah Zahra', penghulu seluruh wanita, mengetahui ketinggian derajat imannya Abu Bakar maka dia tidak akan pernah marah kepadanya dan tidak akan enggan berbicara dengannya atau menjawab salamnya dan berdo'a untuk kecelakaannya pada akhir setiap sholatnya,80 atau tidak mengizinkannya (seperti yang diwasiatkannya) hadir dalam pemakaman jenazahnya. Seandainya Abu Bakar sendiri tahu tentang ketinggian imannya maka beliau tidak akan mendobrak rumah Fatimah Zahro' walau mereka telah menutupnya sebagai tanda protes. Abu Bakar juga tidak akan membakar al-Fujaah al-Salami dan akan menyerahkan kepada Umar atau Abu Ubaidah perkara khalifah pada hari Saqifah itu.81
Seorang yang mempunyai derajat iman sedemikian tinggi dan lebih berat dari iman seluruh ummat yang ada tentu tidak akan pernah menyesal di akhir-akhir hayatnya atas sikapnya terhadap Fatimah, tindakannya yang membakar al-Fujaah al-Salami serta kekhalifahan yang dipegangnya. Sebagaimana dia juga tidak akan pernah berangan-angan untuk tidak menjadi manusia, dan ingin sekadar menjadi sehelai rambut atau kotoran hewan. Apakah iman orang seperti ini setaraf dengan iman seluruh ummat Islam bahkan lebih berat?
Jika kita teliti hadis yang bermaksud: "Seandainya aku harus mengambil seorang sahabat (khalil) maka akan kuambil Abu Bakar sebagai khalilku", hadis ini serupa dengan hadis sebelumnya. Di mana Abu Bakar pada hari persaudaraan-terbatas (Muakhoh-sughro) di Mekah sebelum Hijrah; dan pada hari persaudaraan-besar (Muakhoh-kubro) di Madinah setelah Hijrah. Dalam dua peristiwa ini, Nabi hanya menjadikan Ali sebagai saudaranya, sampai beliau berkata: "Engkau adalah saudaraku di Dunia dan di Akherat. "82 Nabi tidak menoleh kepada Abu Bakar dan enggan mengikat tali persaudaraan dengannya, baik untuk dunia ataupun akherat.
Saya tidak bermaksud untuk menjelaskan permasalahan ini dengan lebih panjang. Saya cukupkan dengan dua contoh di atas yang saya kutip dari sejumlah referensi Ahlu Sunnah sendiri. Adapun mazhab Syi'ah memang mereka telah menolak kesahehan hadis ini. Mereka mengatakan-dengan alasan yang sangat kuat-bahwa ia diciptakan tidak lama setelah wafatnya Abu Bakar.
Jika kita tinggalkan sifat-sifat utama Ali dan meneliti kemungkinan dosa yang pernah dilakukannya, maka kita tidak akan menemukan satu dosa pun yang pernah dilakukan Ali bin Abi Thalib yang tercatat dalam buku dua mazhab ini. Namun dalam masa yang sama kita akan temukan dari orang-orang lain yang melakukan perbuatan-perbuatan dosa yang tidak sedikit. Hal ini bisa kita temukan dalam berbagai buku Ahli Sunnah, seperti buku-buku hadis, buku sirah dan dan sejarah.
Ini berarti bahwa ijma' dua mazhab ini berimplikasi bahwa hanya Ali sajalah yang tidak terbukti melakukan sebarang dosa, sebagaimana sejarah juga menegaskan bahwa bai'at yang pernah diberikan secara benar hanya bai'at yang diberikan kepada Ali semata-mata. Ali enggan menerima jabatan khali-fah, namun dipaksa oleh Muhajirin dan Anshar. Beliau juga tidak memaksa orang yang enggan memberikan bai'at padanya. Sementara bai'at Abu Bakar dilakukan sangat tergesa-gesa dimana Allah telah pelihara kaum muslimin dari keburukannya, seperti yang diistilahkan oleh Umar. Kekuasaan Umar diperoleh berdasarkan penobatan yang diberikan oleh Abu Bakar kepadanya, sementara pengangkatan Utsman sebagai khalifah terjadi secara menggelikan. Lihatlah, Umar menominasi enam orang sebagai calon khalifah dan mewajibkan mereka memilih satu di antaranya. Beliau berkata, apabila empat orang sepakat dan dua orang yang lain menentang, bunuh yang dua. Apabila enam orang ini berpecah tiga tiga dan membentuk dua kelompok, maka pilihlah pendapat kelompok yang di dalamnya ada Abdurrahman bin A'uf. Apabila waktu telah berakhir sementara mereka belum sepakat menemukan sang "khalifah" maka bunuh saja mereka semua. Ceritanya panjang dan aneh sekali.
Alhasil, Abdurrahman bin A'uf mula-mula memilih Ali dengan syarat beliau memerintah berdasarkan pada Kitab Allah, Sunnah Nabi dan Sunnah Syaikhain, yakni Sunnah Abu Bakar dan Umar. Ali menolak syarat ini dan Utsman meneri-manya. Maka jadilah Utsman sebagai khalifah. Ali keluar dari majlis itu, dan beliau sejak awal sudah tahu hasil yang akan keluar. Hal ini pernah diucapkannya dalam khutbahnya yang terkenal dengan nama Khutbah as-Syiqsyiqiyah.
Setelah Ali, Muawiyah yang 'memegang' jabatan khalifah. Di tangannya sistem khilafah telah diganti dengan sistem monarki dan dinasti kekaisaran yang berpindah-tangan dari generasi ke generasi Banu Umaiyah. Kemudian berpindah pula ke tangan Bani Abbasiah.
Khalifah berikutnya hanya dipilih dengan ketentuan sang khalifah atau dengan kekuatan pedang atau penggulingan. Sistem bai'at yang paling benar yang pernah terjadi dalam sejarah Islam, sejak zaman para khulafa' hingga ke zaman Kamal Ataturk yang telah menghapus sistem kekhalifahan, hanya bai'ah yang pernah diberikan kepada Amir al-Mukminin Ali bin Abi Thalib saja. '
Sumber Utama : http://alhassanain.org/indonesian/?com=book&id=77&search=sejarah%20sebutan%20ahlu%20sunnah
HADIS-HADIS SHAHIH YANG MEWAJIBKAN IKUT AHLUL BAIT
1. HADIS TSAQALAIN
Bersabda Rasulullah SAWW: "Wahai manusia, telah kutinggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang padanya, maka kalian tidak akan tersesaf selama-lamanya: Kitab Allah dan itrah ahlu baitku."
Sabdanya lagi: "Utusan Tuhanku tidak lama lagi akan datang, dan aku segera menyahutinya. Sungguh, kutinggalkan kepada kalian dua peninggalan yang berat (Tsaqalain): pertama Kitab Allah. Di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Kedua: ahlu baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahlu baitku ini, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahlu baitku ini."90
Jika kita renungkan makna hadis mulia yang diriwayatkan oleh buku-buku hadis shohih Ahlu Sunnah wal Jamaah ini, maka kita dapati bahwa hanya Syi'ah saja yang mengikuti Tsaqalain ini: Kitab Allah dan keluarga Nabi yang suci. Semen-tara Ahlu Sunnah ikut kata-kata Umar: "Cukup bagi kita Kitab Allah saja".
Oh, alangkah bahagianya jika mereka benar-benar ikut Kitab Allah, tanpa menakwilkannya mengikut hawa nafsu mereka. Jika Umar sendiri tidak paham apa makna Kalalah, tidak tahu ayat tayammum dan berbagai hukum-hukum yang lain, maka bagaimana mereka yang datang kemudian lalu mentaklidnya tanpa berijtihad, atau berijtihad dengan pandangannya semata-mata di dalam nas-nas Qurani.
Mereka tentu akan menjawabku dengan suatu hadis yang diriwayatkan di sisi mereka: "Kutinggalkan kepada kalian Kitab Allah dan Sunnahku" 91
Hadis ini kalaulah shahih dari segi sanadnya, maka ia menyirat makna hadis Tsaqalain di atas di mana kaum muslimin diperintahkan untuk merujuk kepada Ahlu Bait yang mengajarkan sunnah, atau meriwayatkan hadis-hadis yang shahih, mengingat mereka adalah orang-orang suci dari segala sifat dusta dan Allah telah mensucikan mereka dengan ayat Tathir-Nya. Tambahan lagi agar mereka menafsirkan kepada kalian makna-makna ayat dan maksud-maksudnya, mengingat kitab Allah semata-mata tidak cukup sebagai bimbingan. Betapa banyak golongan yang sesat berdalil dengan kitab Allah. Sebagaimana juga sabda Nabi SAWW:" Berapa banyak pembaca AlQuran sementara AlQuran sendiri melaknatnya." Kitab Allah bersifat diam dan membawa berbagai kemungkinan tafsiran.
Di dalamnya ada yang mutasyabih dan ada juga yang muhkamat. Untuk memahaminya mesti merujuk kepada orang-orang yang rusukh-ikut istilah AlQuran-atau yang sangat dalam ilmunya, dan ikut bimbingan Ahlu Bait Nabi seperti yang ada di dalam hadis-hadis Nabi SAWW.
Syi'ah merujukkan segala sesuatunya kepada para imam yang maksum dari kalangan keluarga Nabi SAWW. Dan mereka tidak berijtihad melainkan jika memang tidak ada nas berkenaan dengannya. Sementara kita merujukkan segala sesua-tunya kepada sahabat, baik dalam tafsir AlQuran atau Sunnah Nabawi. Kita telah tahu sikap-sikap sahabat, apa yang mereka kerjakan dan ijtihadkan dengan menggunakan pandangan mereka semata-mata yang bertentangan dengan nas-nas yang jelas. Jumlahnya ratusan. Dan kita tidak bisa berpegang kepada seumpama itu setelah kita ketahui apa yang mereka lakukan.
Jika kita tanyakan para ulama kita sunnah apa yang mereka ikuti mereka akan menjawab: Sunnah Rasulullah SAWW. Sementara fakta sejarah mengingkari kenyataan itu. Mereka meriwayatkanbahwa Rasulullah SAWWbersabda: "Berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah para khukfa' Rasyidin setelahku. Peganglnh ia sedemikian kuat bagaikan kalian menggigitnya dengan gigi-gigi geraham kalian." Dengan demikian, sunnah yang diikuti kebanyakannya adalah sunnah para khulafa' Rasyidin, hatta sunnah Rasul yang mereka katakan itu adalah riwayat dari jalur mereka.
Kita juga menyaksikan di dalam sejumlah kitab hadis shahih bahwa Rasul pernah melarang mereka menuliskan sunnahnya agar kelak tidak bercampur dengan ayat-ayat AlQiiran. Demikianlah apa yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar ketika mereka memerintah. Dengan demikian kata-kata "Kutinggalkan kepada kalian Sunnahku..."92 tidak mempunyai landasan yang kuat lagi.
Contoh-contoh yang saya sebutkan ini-dan yang tidak disebutkan jumlahnya jauh berlipatganda-sudah cukup untuk menolak keabsahan hadis ini. Hal ini karena sebagian dari sunnahnya Abu Bakar, Umar dan Utsman bertentangan dengan sunnahnya Nabi bahkan membatalkannya sama sekali seperti yang nampak jelas.
Contoh pertama yang bisa kita lihat adalah insident yang terjadi segera setelah wafatnya Nabi SAWW di mana Abbubakar memerangi orang-orang yang disebutnya sebagai "penahan" harta zakat.
Mengingat aku tidak mau berdalil dengan apa yang dikatakan oleh Syi'ah, maka aku serahkan saja kepada para pembaca yang ingin mencari kebenaran untuk menelitinya sendiri.
Sebagai perbandingan, saya catatkan di sini suatu cerita berkenaan dengan Rasulullah dan Tsa'labah. Suatu hari Tsa'labah memohon kepada Rasulullah agar mendoakannya biar dia menjadi kaya raya. Dia mendesak Rasulullah dan berjanji kepada Allah akan bersedekah apabila dia kaya kelak. Rasulullah mendoakannya dan Allahpun mengayakannya. Karena banyaknya onta dan kambing ternaknya, kota Madinah yang luas akhirnya terasa sempitbaginya. Dia pindah dari kota Madinah dan tidak lagi sempat menghadiri shalat Juma't. Ketika Nabi mengutus para a'milin (pengumpul zakat) untuk mengambil zakat dari
Tsa'labah, dia menolak untuk memberinya. Katanya, ini adalah upeti (jizyah) atau sejenisnya. Tetapi Nabi tidak memeranginya dan tidak juga memerintah-kan orang untuk memeranginya. Berkenaan dengan ini Allah turunkan ayat berikut: "Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah:
"Sesungguhnyajika Allah memberikan sebagian dari kanmia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersede-kah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang
saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling. Dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran)." (S. at-Taubah: 75-76)
Setelah ayat ini turun, Tsa'labah kemudian datang sambil menangis. Dia minta kepada Nabi untuk menerima zakatnya kembali. Tetapi Nabi enggan menerimanya, seperti yang dikatakan oleh riwayat.
Jika Abu Bakar dan Umar benar-benar mengikuti Sunnah Rasul, kenapa ia menyalahinya dalam tindakan ini dan menghalalkan darah kaum muslimin yang tak berdosa semata-mata karena alasan enggan memberikan zakat. Dari cerita Tsa'labah di atas yartg menginkari kewajiban zakat dan bahkan menganggapnya sebagai upeti, tidak ada lagi alasan untuk kita mempertahankan dan menjustifikasi kesalahan yang dilakukan oleh Abu Bakar atau mentakwilkannya. Nampaknya Abu Bakar dapat meyakinkan sahabatnya Umar untuk memerangi orang-orang ini, semata-mata karena khawatir sikap Malik bin Nuwairah dan kaumnya ini akan diketahui oleh negeri-negeri Islam yang lain, yang kemudian dapat menghidupkan kembali nas-nas al-Ghadir yang memilih Ali sebagai khalifah. Itulah kenapa Umar sangat gembira sekali untuk memerangi mereka, karena beliau sendirilah yang pernah mengancam untuk membunuh atau membakar orang-orang yang enggan memberikan bai'at di rumah Fatimah.
Peristiwa lain yang terjadi pada periode pertama kekuasaan Abu Bakar adalah perselisihannya dengan Umar bin Khattab, ketika beliau menakwilkan nas-nas AlQuran dan hadis-hadis Nabawi. Ringkas ceritanya, Khalid bin Walid membunuh Malik bin Nuwairah dan meniduri istrinya di malam itu juga. Umar berkata kepada Khalid: "Wahai musuh Allah, engkau telah bunuh seorang muslim dan meniduri istrinya. Demi Allah, aku akan rajam engkau dengan batu."94 Tetapi Abu Bakar membela Khalid dan berkata: "Biarkanlah wahai Umar. Khalid telah mentakwil kemudian tersalah. Tutup mulutmu dari Khalid.
Ini adalah musibah dan aib lain yang telah dilakukan oleh seorang sahabat besar yang sempat direkam oleh sejarah, sedemikian besar namanya sehingga kita menyebut namanya dengan penuh hormat dan takzim, seperti Saifullah al-Maslul, "Pedang Allah Yang Terhunus"!!!
Apa yang harus kukatakan tentang sahabat yang melakukan tindakan keji seperti ini: membunuh Malik bin Nuwairah, seorang sahabat agung, pemimpin Bani Tamim dan Bani Yarbu'; seorang yang dijadikan contoh dalam kemurahan dan keberanian. Para ahli sejarah telah mencatat bahwa Khalid membunuh Malik dan sahabat-sahabatnya setelah mereka meletakkan senjata dan shalatberjamaahbersamanya. Sebelum dibunuh mereka diikat dengan tali. Bersama mereka hadir juga Laila binti Minhal, istri Malik, seorang wanita yang sangat terkenal cantik. Khalid sangat terpikat dengan kecantikannya ini. Malik berkata kepada Khalid: wahai Khalid, bawa kami kepada Abu Bakar, biar dia yang memutuskan perkara kita ini. Abdullah bin Umar dan Abu Qatadah al-Anshori mendesak Khalid agar membawa mereka berjumpa dengan Abu Bakar. Tetapi ditolak. Katanya: Allah tidak akan mengampuniku jika aku tidak membunuhnya. Kemudian Malik melihat istrinya Laila dan berkata kepada Khalid: karena dia kemudian engkau membunuhku. Lalu Khalid menyuruh untuk memancung leher Malik, kemudian menawan istrinya Laila. Dan pada malam yang sama, Khalid pun menidurinya.95
Biarlah didalam melihat peristiwa yang terkenal ini kita nukilkan pengakuan Ustadz Haikal dalam kitabnya As-Shiddiq Abu Bakar. Di dalam bab Pendapat Umar Dan Hujjahnya Dalam Suatu Perkara, Haikal menulis:
"Adapun Umar, beliau adalah model dalam keadilan dan ketegasan. Beliau melihat bahwa Khalid telah melakukan kezaliman terhadap seorang muslim dan menikahi istrinya sebelum usai masa iddahnya. Dengan demikian ia tidak layak duduk sebagai pemimpin tertinggi sebuah pasukan, agar kasus yang sama tidak berulang dan bisa merusak kehidupan kaum muslimin serta merusak kedudukan mereka di mata orang-orang Arab." Katanya lagi: "Khalid tidak boleh dibiarkan tanpa pengajaran atas apa yang dilakukannya terhadap Laila. Katakanlah Khalid mentakwil pada kasus Malik ini dan salah (alasan yang tidak dapat diterima oleh Umar) namun biarlah hukum hudud itu berjalan atas apa yang dilakukannya terhadap istrinya, Laila. Sebagai "Pedang Allah" dan sebagai pemimpin pasukan yang menentukan kemenangan, sangat tidak layak melakukan apa yang telah dia lakukan itu. Kalau tidak maka orang-orang seperti Khalid nantinya akan menyalahgunakan semua peraturan. Dan ini akan menjadi sebuah contoh yang sangat buruk bagi kaum muslimin di dalam menghormati Kitab Allah. Itulah kenapa Umar terus mendesak Abu Bakar sehingga Khalid dipangggil dan dimarahi."96
Bolehkah kita bertanya kepada Ustaz Haikal dan para ulama seumpamanya yang berusaha menjaga "kemuliaan" sahabat, kenapa Abu Bakar tidak melaksanakan hukum hudud terhadap Khalid? Seandainya Umar-seperti yang dikatakan oleh Haikal-adalah model keadilan dan ketegasan, kenapa beliau puas dengan sekadar menyingkirkan Khalid dari kepemimpinan pasukan dan tidak melaksanakan hukum hudud terhadapnya, agar ia tidak menjadi contoh yang buruk yang akan dilemparkan kepada kaum muslimin di dalam menghormati Kitab Allah, seperti yang disebutkannya? Apakah mereka telah menghormati Kitab Allah dan melaksanakan hudud-hudud-Nya? Tidak sama sekali. Inilah korban politik dan korban permainan yang licik. la telah menciptakan berbagai keanehan dan memutar-belitkan berbagai kebenaran. Sebagaimana ia juga telah membuang nas-nas AlQuran sejauh-jauhnya.
Bolehkah kita bertanya kepada sebagian ulama kita yang menulis sejumlah kitab tentang bagaimana Rasulullah SAWW sangat marah pada Usamah yang datang mau menjamin seorang wanita ningrat yang telah mencuri. Nabi SAWW berkata: "Celaka engkau (wahai Usamah), apakah engkau akan memberi jaminan dalam huknm hudud Allah. Demi Allah, seandainya Fatimah mencuri akan kupotong tangannya. Orang-orang dahulu celaka lantaran mereka diam apabila kaum ningratnya yang mencuri; apabila golongan lemah yang mencuri maka mereka terapkan padanya hukum hudud."
Bagaimana mereka bisa diam pada seseorang yang telah membunuh kaum muslimin yang tak berdosa, kemudian menikahi istrinya pada malam yang sama sementara dia masih menderita karena kematian sang suami. Belum puas sampai di sana. Mereka lalu berusaha mencari alasan untuk membenarkan tindakan Khalid dengan menciptakan berbagai kebohongan dan keutamaan-keutamaannya, sehingga menobatkan padanya gelar Pedang Allah Yang Terhunus.
Seorang teman yang terkenal dengan gelagatnya yang lucu berseloroh suatu hari di majlisku yang waktu itu tengah membahas keutamaan-keutamaan Khalid bin Walid. Kukatakan bahwa Khalid bin Walid adalah Pedang Allah Yang Terhunus. Sahabat itu menjawab: Saifus Syaithan al-Masylul, Dia adalah Pedang Syaitan Yang Berlumuran (darah). Aku agak tersentak ketika itu. Namun setelah mengkaji, akhirnya Allah bukakan pandanganku dan dikenalkannya aku pada mereka yang pernah memegang kekuasaan dan yang merobah hukum-hukum Allah, meliburkannya serta melampaui batas-batasnya.
Khalid bin Walid juga menyimpan cerita yang terkenal di zaman Nabi SAWW. Suatu hari Nabi mengutusnya pergi ke Bani Juzaimah agar menyeru mereka kepada agama Islam dan tidak memeranginya. Kabilah ini tidak fasih dalam menyebutkan kalimat Aslamna (kami telah masuk Islam). Mereka menyebutnya Saba'na, Saba'na. Lalu Khalid membunuh dan menawan mereka. Sebagian tawanan diserahkannya kepada sahabat sepasukannya dan menyuruh mereka membunuhnya. Tetapi sahabat-sahabat tersebut enggan melakukan perintah Khalid karena tahu bahwa mereka telah menganut agama Islam. Ketika kembali dan diceritakan peristiwa itu kepada Nabi, beliau mengangkat tangannya kepada Allah seraya berdo'a: "ya Allah, aku mohon perlindungan-Mu dari apa yang telah dilakukan oleh Klialid bin Walid" (dibacanya dua kali)97 Kemudian Nabi mengutus Ali bin Abi Thalib pergi ke kabilah Banu Juzaimah tersebut sambil membawa harta untuk membayar ganti-rugi (diyat) nyawa dan harta yang telah terkorban hatta bejana jilatan anjing sekalipun. Rasulullah berdiri menghadap kiblat sambil mengangkat kedua tangannya ke langit sehingga nampak bagian ketiaknya. Nabi berdo'a: "ya Allah, kumohon perlindungan-Mu dari apa yang telah dilakukan oleh Khalid bin Walid." Dibacanya hingga tiga kali.98
Bolehkah kita bertanya, mana letak keadilan sahabat yang diasumsikan itu? Seandainya Khalid bin Walid, seorang yang kita anggap sebagai tokoh yang agung hingga diberi gelar dengan sebutan Pedang Allah, apakah Allah akan mengizinkannya menghunuskan pedang untuk menguasai kaum muslimin, orang-orang yang tak berdosa dan kaum wanita, dan dia bebas melakukan apa saja? Sungguh suatu hal yang sangat pelik dan kontradiktif. Allah melarang membunuh satu nyawa dan mencegah perlakuan munkar, keji dan kezaliman, tetapi Khalid telah menghunuskan pedang kezalimannya, memperkosa kehormatan kaum muslimin, menghalalkan darah dan harta mereka serta menawan wanita dan anak-anak mereka. Sungguh suatu kata-kata yang pelik dan gelar yang aneh apabila kita nisbahkan pedang Khalid kepada Allah SWT. Maha Suci Engkau hai Tuhan kami. Kau lebih Mulia dan lebih Tinggi dari itu semua, Maha Suci Engkau, tiada Kau ciptakan langit-langit dan bumi dan apa yang ada di antaranya dengan sia-sia. Demikianlah dugaan orang-orang kafir. Dan neraka Waillah tempat mereka kembali.
Bagaimana Abu Bakar, khalifah muslimin bisa berdiam diri setelah mendengar tindakan-tindakan kriminal seperti itu. Bahkan bisa menyuruh Umar bin Khattab menutup mulutnya tentang perkara Khalid, dan marah kepada Abi Qatadah karena sikapnya yang mencemooh kelakuan Khalid. Apakah beliau benar-benar yakin bahwa Khalid melakukan takwil dan tersalah? Dalil apa kelak yang akan bisa dia katakan kepada orang-orang fasik dan haus darah, atau kepada mereka yang melanggar hukum apabila mereka juga mengatakan bahwa mereka tersalah takwil?
Secara pribadi saya tidak percaya bahwa Abu Bakar melakukan takwil terhadap kasus Khalid ini, yang dikatakan oleh Umar bin Khattab sebagai musuh Allah. Umar berpendapat bahwa Khalid mesti dihukumbunuh karena dia telah membunuh seorang muslim, atau merajamnya dengan batu karena telah berzina dengan Laila, istrinya Malik. Namun tidak satupun tuntutan Umar tersebut terlaksana. Bahkan Khalid keluar sebagai pemenang atas dakwaan Umar tersebut mengingat Abu Bakar berdiri membelanya, padahal beliau sangat mengetahui Khalid lebih dari orang lain.
Para ahli sejarah telah mencatat bahwa Abu Bakar mengutus Khalid-setelah tragedi yang memalukan itu-ke al-Yamamah di mana dia kembali dengan kemenangan. Di sana Khalid juga telah meniduri seorang perempuan sama seperti yang dia lakukan terhadap Laila sebelumnya, sedangkan darah kaum muslimin dan darah pengikut-pengikut Musailamah belum sempat kering. Abu Bakar marah sekali kepada Khalid lebih dari saat dia melakukan hal serupa terhadap Laila.
Tidak diragukan lagi bahwa wanita kedua ini juga mempunyai suami. Kemudian dibunuh oleh Khalid dan istrinya diperlakukannya seperti Laila istri Malik. Kalau tidak maka Abu Bakar tidak akan memarahinya lebih keras dari waktu dia melakukannya terhadap Laila. Para ahli sejarah mencatat teks surat yang diutus Abu Bakar kepada Khalid waktu itu: "Demi nyawaku wahai putra ibunya Khalid. Sungguh engkau tidak melakukan apa-apa melainkan menikahi perempuan saja, sedangkan di halaman rumahmu darah seribu dua ratus kaum muslimin masih belum kering."100 Ketika Khalid membaca isi surat tersebut dia berkata: "Ini pasti ulah si A'asar"; yakni Umar bin Khattab.
Inilah di antara sebab kuat kenapa saya tidak sebegitu memberikan sikap hormat pada sahabat-sahabat seumpama itu, pengikut-pengikut mereka yang rela atas perbuatan mereka dan yang membela mereka dengan begitu gigih hingga berani mentakwilkan nas-nas yang jelas dan menciptakan berbagai riwayat yang khurafat. Semua ini untuk membenar-kan tindakan-tindakan Abu Bakar, Umar, Utsman, Khalid bin Walid, Muawiyah, A'mer bin A'sh dan saudara-saudaranya yang lain.
Ya Allah, kumohon ampunan-Mu dan aku bertaubat pada-Mu. Ya Allah, aku mohon lindungan-Mu dari segala perbuatan dan ucapan mereka yang menyalahi hukum-hukum-Mu, menghalalkan hukum-hukum haram-Mu dan melampaui batas-batas-Mu. Ya Allah, aku mohon lindungan-Mu dari pengikut-pengikut mereka, Syi'ah-Syi'ah mereka dan orang-orang yang membantu mereka dengan penuh pengetahuan dan kesadaran. Ampunilah daku karena dahulunya me-wila' mereka lantaran kejahilanku. Padahal Rasul-Mu telah bersabda: "Orang jahil tidak akan dimaafkan karena kejahilannya".
Ya Allah, para leluhur itu telah menyesatkan kami dan telah mengulurkan tirai yang menutupi kebenaran pada kami. Mereka telah gambarkan kepada kami para sahabat yang berpaling dari kebenaran sebagai makhluk yang paling mulia setelah Nabi-Mu. Dan para leluhur kami juga adalah korban penipuan Bani Umaiyah dan Bani Abbasiah.
Ya Allah, ampunkanlah mereka dan ampunkanlah kami. Sungguh Kau Maha Mengetahui segala yang tersembunyi dan apa yang tersirat di balik dada. Cinta para leluhur dan penghormatan mereka kepada sahabat-sahabat seumpama itu tidak lain kecuali bertolak dari sangka-baik bahwa mereka adalah pembela-pembela serta pecinta-pecinta Rasul-Mu Muhammad SAWW. Dan Kau Maha Tahu duhai Tuhanku akan rasa cinta mereka dan kami pada itrah keluarga Nabi yang suci, para imam yang telah Kau bersihkan mereka dari segala nista dan mensucikan mereka sesuci-sucinya. Terutama Pemuka kaum muslimin, Amir Mukminin, Pemimpin Ghur al-Muhajjalin dan Imam Para Muttaqin, Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Jadikanlah aku ya Allah di antara Syi'ah-Syi'ahnya dan di antara orang-orang yang berpegang-teguh pada tali wila' mereka dan yang berjalan di atas jalan mereka. Jadikanlah aku ya Allah di antara orang-orang yang bernaung di bawah naung-an mereka, dan di antara orang-orang yang masuk dari pintu-pintu mereka, senantiasa mencintai mereka, mengamalkan ucapan dan teladan mereka serta bersyukur atas kemurahan dan anugerah mereka. Ya Allah, bangkitkanlah aku di dalam golongan mereka, karena Nabi-Mu SAWW telah bersabda: "Seseorang akan dibangkitkan bersama orang yang dicintainya."
2. HADIS BAHTERA
Bersabda Nabi SAWW: "Sesungguhnya perumpamaan Ahlu Baitku di sisi kalian bagaikan bahtera Nabi Nuh di sisi kaumnya. Siapa yang ikut selamat dan yang tertinggal akan tenggelam." 101
"Dan sesungguhnya perumpamaan Ahlu Baitku di sisi kalian bagaikan Pintu Pengampunan bagi Bani Israel. Siapa yang memasukinya maka dia akan diampuni." 102
Ibnu Hajar telah meriwayatkan hadis ini dalam kitabnya al-Showaiq al-Muhriqoh. Katanya: "Dasar keserupaan mereka dengan bahtera (Nabi Nuh) menunjukkan bahwa siapa saja yang mencintai mereka dan mengagung-agungkan mereka sebagai tanda terima kasih atas nikmat kemuliaan mereka, serta ikut bimbingan ulama-ulama mereka, akan selamat dari kegelapan perselisihan. Sementara mereka yang tidak ikut akan tenggelam di dalam lautan kekufuran nikmat dan akan celaka dibawa arus kezaliman. Adapun alasan keserupaan mereka dengan pintu pengampunan adalah Allah SWT telah tentukan bahwa masuk pintu itu - pintu Ariha atau pintu Bait al-Muqaddis - dengan sikap rendah hati dan mohon ampunan sebagai sebab pengampunan-Nya (pada Bani Israel). Dan Al-lah juga telah menentukan bagi ummat ini bahwa cinta pada Ahlu Bait Nabi adalah sebab terampuninya mereka."
Saya ingtn bertanya pada Ibnu Hajar, apakah beliau di antara orang-orang yang ikut Bahtera itu dan masuk Pintu Ampunan serta ikut bimbingan para ulama mereka? Atau beliau termasuk dalam kategori orang-orang yang mengatakan sesuatu tapi tidak mengamalkannya bahkan menginkari apa yang dipercayainya. Tidak sedikit orang yang keliru ketika kutanyakan pada mereka tentang Ahlu Bait. Mereka sering berkata: "Kamilah orang yang lebih utama terhadap Ahlul Bait dan Imam Ali ketimbang yang lain. Kami menghormati mereka dan menjunjung tinggi kedudukan mereka. Tiada siapa pun yang menginkari keutamaan-keutamaan mereka."
Ya, mereka telah katakan sesuatu yang tidak sama dengan isi hatinya; atau menghormati dan menjunjung tinggi Ahlul Bait namun secara praktis tetap ikut dan taklid pada musuh-musuh mereka atau pada orang-orang yang memusuhi dan menentang mereka. Seringkali mereka tidak kenal siapa itu Ahlul Bait. Dan jika kutanyakan, mereka menjawab secara sepontan, Ahlul Bait adalah istri-istri Nabi yang telah Allah bersihkan mereka dari nestapa dan disucikan-Nya sesuci-sucinya. Sebagian yang lain berkata: "Semua Ahlu Sunnah Wal Jamaah adalah pengikut Ahlul Bait." Aku terasa sangat heran. Bagaimana mungkin? Tanyaku. Mereka menjawab: "Karena Nabi SAWW pernah bersabda, Ambillah separuh dari agama kalian pada Hunwira' ini, yakni Aisyah. Nah, kami telah ambil separuh dari agama kami dari Ahlul Bait Nabi." Katanya.
Dengan cara pandang sepeti ini maka tidak sulit untuk kita memahami bagaimana mereka menghormati dan menyanjung Ahlul Bait Nabi. Dan ketika kutanyakan pada mereka siapa itu Imam Dua Belas, mereka hanya mengenal Ali, Hasan dan Husain saja. Itupun tanpa pengakuan akan keimamahan (kepemimpinan) Hasan dan Husain. Mereka bahkan mengagungkan Muawiyah bin Abi Sufyan yang telah meracuni Hasan sampai syahid sedemikian rupa sampai mereka mengatakan bahwa Mu'awiyah adalah penulis wahyu. Mereka juga menyanjung A'mr bin A'sh, dan dalam waktu yang sama juga hormat pada Ali bin Abi Thalib.
Sungguh sikap seperti ini adalah sikap yang sepenuhnya kontradiktif dan peramuan antara haq dan batil; suatu upaya untuk menutup-nutupi yang terang dengan kegelapan. Karena bagaimana mungkin hati seorang mukmin dapat memadukan antara rasa cinta pada Allah dan juga cinta pada setan. Allah SWT berfirman:
"Kamu tidak akan dapati suatn kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasid-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan merekn dengan pertolongan yang dntang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam sorga yang mengdir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekcil di dalamnya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itidah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung" (al-Mujadalah: 22)
Firman-Nya lagi: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu sebagai teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Mnhammad) karena rasa kasih-sayang. Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu.." (Al-Mumtahanah: 1)
3. HADITS: SIAPA YANG INGIN HIDUPNYA SEPERTI HIDUPKU
Bersabda Nabi SAWW: "Siapa yang ingin hidup seperti hidupku, mati seperti matiku, tinggal di sorga A'dn yang telah ditanam oleh Tuhanku maka jadikanlah Ali sebagai Walinya sepeninggalku dan me-wila' walinya, serta ikut Ahlul Baitku yang datang setelahku. Mereka adalah itrah keluargaku, diciptakan dari bagian tanahku dan dilimpahkan kepahaman serta ilmuku. Maka celakalah orang-orang yang telah mendustakan keutamaan mereka dari ummatku, dan yang telah memutuskan tali rahimnya dengan mereka. Kelak Allah tidakakan memberi mereka syafaatku kepadariya." 303
Hadis ini, seperti yang kita perhatikan, adalah terbilang di antara sejumlah hadis yang gamblang dan tegas yang tak dapat ditakwilkan. la tidak memberi hak-pilih dan alternatif lain kepada seorang muslim, bahkan menafikan dan menyangkal sebarang alasan. Apabila dia tidak me-wila' Ali (menjadikannya sebagai wali atau pemimpin) dan tidak ikut itrah kekiarga Nabi maka dia akan diharamkan dari memperoleh syafaat datuk mereka, yakni Nabi SAWW.
Perlu kutegaskan di sini bahwa pada tahap pertama penelitianku, aku pernah meragukan otentisitas dan kebenaran hadis ini. Terasa sangat berat untuk menerima hadis ini lantaran ia menyirat suatu ancaman kepada mereka yang berseberangan dengan Ali dan keluarga Nabi. Apalagi hadis ini sulit untuk ditakwil.
Kemudian aku merasa agak ringan ketika kubaca pendapat Ibnu Hajar al-'Asqalani dalam kitabnya al-Ishabah. Antara lain beliau berkata: "Dalam sanad hadis ini ada Yahya bin Ya'la al-Muharibi, seorang perawi yang lemah." Pendapat Ibnu Hajar ini telah menghilangkan seba-gian keberatan yang ada pada benakku. Karena-kupikir- Yahya bin Ya'la al-Muharibilah yang pasti memalsukan hadis ini; dan karenanya maka ia tidak dapat dipercaya.
Namun Allah SWT tetap ingin menunjukkan padaku sebuah kebenaran dengan sejelas-jelasnya. Suatu hari aku terbaca sebuah fouku yang berjudul Munaqasyat Aqaidiyah Fi Maqalat Ibrahim al-Jabhan.104 Buku ini telah menyingkap kebenaran dengan begitu jelasnya. Dikutipkan bahwa Yahya bin Ya'la al-Muharibi adalah di antara perawi-perawi yang tsiqah (yang dipercaya) yang dipegang oleh Bukhori dan Muslim. Kemudian aku telusuri dan kudapati bahwa Bukhori telah meriwayatkan hadis riwayat Yahya ini dalam Bab Ghazwah al-Hudaibiyah jilid III halaman 31. Muslim juga telah meriwayatkan hadis darinya dalam Bab al-Hudud jilid V halaman 119. Az-Zahabi sendiri-betapapun ketatnya dia-menganggap Yahya ini sebagai perawi yang dipercaya. Para imam al-Jarhu wa at-Ta'dil menganggapnya sebagai tsiqah; bahkan Bukhori dan Muslim sendiri berhujah dengan riwayatnya.
Nah, lalu kenapa pendustaan, pemutarbalikan fakta, dan tuduhan terhadap orang yang terbilang tsiqah seperti itu bisa terjadi? Apakah karena dia telah menyingkap kebenaran tentang wajib ikut Ahlul Bait, lalu Ibnu Hajar di kemudian hari mengecapnya sebagai seorang perawi yang lemah dan tidak bisa dipercaya? Namun sayang. Ibnu Hajar seakan lupa bahwa di kemudian hari ada sejumlah ulama yang pakar dan piawai yang akan menilai setiap karyanya, kecil atau besar. Mereka akan menyingkapkan segala fanatisme dan kejahilannya lantaran ikut cahaya nubuwwah dan berjalan di bawah bimbingan Ahlul Bait as.
Setelah itu aku mulai sadar bahwa ada sebagian ulama kita yang berupaya sungguh-sungguh untuk menutupi kebenaran agar setiap masalah yang berkaitan dengan para sahabat dan khulafa', yang menjadi pemimpin dan teladan mereka tidak terungkap. Itulah kenapa kadang-kadang mereka menakwilkan hadis-hadis shahih dan menafsirkannya dengan makna yang tidak tepat; atau mendustakan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan mazhab mereka walau itu tertulis dalam buku-buku shahih dan diriwayatkan dengan sanad-sanad yang bisa dipercaya. Mereka juga kadangkala menghapus setengah atau dua pertiga dari isi hadis lalu menggantinya dengan kalimat begitu dan begini; atau meragukan para perawi yang tsiqah lantaran ia meriwayatkan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan kehendak mereka; atau mengutip suatu hadis pada edisi pertama dari buku terbitannya, kemudian menghapusnya pada cetak-ulang berikutnya tanpa memberi sedikitpun alasan betapapun para pemerhati mengetahui sebab musababnya.
Semua ini telah kusaksikan sendiri ketika aku masih melakukan penelitian dalam mencari sebuah kebenaran. Untuk ini aku mempunyai bukti-bukti yang tidak dapat dibantah sedikitpun. Aku harap mereka tidak mengulangi lagi usaha yang sia-sia ini sekadar untuk menjustifikasi tindakan para sahabat yang telah berpaling itu. Hal ini karena ucapan-ucapan mereka saling bertentangan dan bahkan tidak sesuai dengan fakta sejarah. Alangkah indahnya apabila mereka mengikuti kebenaran walau ia pahit sekali pun. Dengannya mereka akan berbahagia dan juga membahagiakan orang lain. Dan dengan demikian hal itu akan menjadi sebab persatuan ummat yang telah bercerai-berai ini.
Sejumlah sahabat generasi pertama juga pernah tidak jujur dalam meriwayatkan hadis-hadis Nabi SAWW. Mereka telah menafikan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan kehendak nafsu mereka, terutama apabila ia termasuk dalam kategori hadis-hadis wasiat yang diwasiatkan oleh Nabi SAWW pada saat-saat menjelang wafatnya. Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW berwasiat akan tiga hal saat menjelang wafatnya: Pertama, keluarkan kaum musyrikin dari Jazirah Arab. Kedua, berikan hadiah kepada delegasi seperti yang biasa kulakukan. Kemudian si perawi berkata, aku lupa isi wasiat yangketiga."105
Apakah akal sehat dapat menerima bahwa para sahabat yang hadir dan mendengar tiga wasiat Nabi itu tiba-tiba lupa pada isi wasiat yang ketiga, sementara mereka adalah orang-orang yang hafal syair-syair panjang seusai mendengarnya sekali saja? Sama sekali tidak. Politiklah yang memaksa mereka melupakan isi wasiat itu dan enggan menyebutnya. Hal ini merupakan rantaian musibah lain yang kita saksikan dari para sahabat seperti itu. Tidak syak lagi bahwa isi wasiat yang "terlupa" itu adalah wasiat Nabi akan perlantikan Ali sebagai khalifah dan imam sepeninggalnya. Namun si perawi enggan menyebutkannya.
Orang yang meneliti sejarah dan masalah-masalah seperti ini akan merasakan bahwa isi wasiat yang diabaikan itu sebe-narnya adalah pesan Nabi akan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, walau diupayakan untuk disembunyi. Bukhari dalam kitab Shahihnya Bab al-Washaya, dan Muslim dalam Bab Al-Wasiyah meriwayatkan bahwa Nabi pernah berwasiat pada Ali di tengah kehadiran Aisyah.106 Lihatlah betapa Allah pancarkan cahaya-Nya walau orang-orang yang zalim berusaha untuk menutupinya.
Aku tegaskan lagi bahwa apabila sejumlah sahabat tidak tsiqah dalam meriwayatkan hadis-hadis wasiat Nabi SAWW, maka tidak terlalu mengagetkan apabila sejumlah Tabiin dan Tabi'-Tabi'in melakukan hal yang serupa.
Apabila Ummul Mukminin Aisyah, tidak senang mendengar nama Ali disebut-sebut, seperti yang laporkan oleh Ibnu Sa'ad dalam Thabaqatnya, 107 dan Bukhari dalam kitab Shahihnya Bab Nabi Sakit Dan Wafat; dan apabila Aisyah sujud syukur saat mendengar kematian Ali, lalu harapan apa yang masih tersisa darinya untuk mau meriwayatkan hadis wasiat Nabi untuk Ali bin Abi Thalib. Aisyah sangat dikenal oleh kalangan khusus dan umum akan sikap permusuhan dan kebenciannya pada Ali, putera-puteranya serta itrah Ahlu Bait Nabi SAWW.
Fa la haula wala quwwata illa billa al-A'li al-A'zim.
Sumber Utama : http://alhassanain.org/indonesian/?com=book&id=77&search=sejarah%20sebutan%20ahlu%20sunnah
MUSIBAH KITA : IJTIHAD VERSUS NAS
DARI telaah dan penelitian, akhirnya dapat kusimpulkan
bahwa musibah ummat Islam yang sebenarnya adalah berasal
dari "keberanian" sejumlah sahabat yang melakukan ijtihad di
hadapan nas-nas yang sangat jelas maknanya. Karena batas-
batas hukum Allah terlampaui dan Sunnah-Sunnah Nabi
dilanggar, maka para ulama dan imam yang datang setelah
mereka mengambil qiyas dari ijtihad para sahabat; dan kadang-
kadang menolak nas Nabi-bahkan AlQuran-apabila
diasumsikan bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh
seorang sahabat. Saya tidak bermaksud memprovokasi atau
melebih-lebihkan. Telah kita lihat di atas betapa mereka
mengingkari nas AlQumn dan nas Nabi tentang tayamum,
dan berijtihad meninggalkan shalat semata-mata karena tidak
menemukan air. Dan Abdullah bin Umar telah
menjustifikasikan ijtihadnya ini dengan cara yang kita
sebutkan di atas.
Di antara sahabat awal yang membuka pintu ini sepeninggal Nabi adalah Khalifah Kedua, dimana dia mengutamakan "ijtihadnya" atas nas-nas yang tak terbantah, sekalipun bertentangan dengan nas Quran. Misalnya, beliau telah hentikan saham Muallaf-bagian dari penerima harta zakat-yang telah Allah wajibkan dalam AlQuran. Katanya: "kami tidak lagi memerlukan kalian". Contoh ijtihadnya seperti ini tidak sedikit. Pada periode hayat Rasulullah beliau juga pernah melakukan ijtihadnya, bahkan menantangnya beberapa kali. Di atas telah kita contohkan pertentangannya dengan Nabi dalam masalah perdamaian Hudaibiyah, dan bagaimana dia melarang Nabi menulis wasiat. Kata-katanya, "Cukuplah bagi kita Kitab Allah" adalah sedikit dari sekian contoh yangbisa kita temukan dalam buku-buku hadis.
Peristiwa lain yang mungkin akan memberikan kepada kita gambaran yang jelas tentang pribadi Umar adalah sikapnya yang berani membantah dan menentang utusan Allah ini dalam sebuah peristiwa yang populer dengan istilah "berita gembira perihal syurga." Kala itu Nabi mengutus Abu Hurairah dan berkata padanya: "Siapa saja yang kau jumpai menyaksikan bahwa Tiada Tuhan Selain Allah dengan penuh keyakinan, maka berilah berita gembira akan sorga padanya. Abu Hurairah keluar untuk membawa berita gembira ini. Di jalan beliau berjumpa dengan Umar. Umar melarangnya, bahkan memukulnya sampai jatuh. Abu Hurairah kembali menjumpai Rasulullah sambil menangis. Diberitahunya tentang apa yang dilakukan Umar padanya. Nabi bertanya kepada Umar alasan apa yang menyebabkan ia memper-lakukan Abu Hurairah sedemikian? Jawab Umar: Apakah Anda telah mengutusnya untuk memberitahu kabar gembira kepada setiap orang yang mengatakan Lailaha Illallah dengan penuh keyakinan? Ya, jawab Nabi. Lalu Umar menjawab: Jangan kau lakukan itu, karena aku khawatir kelak orang-orang akan bersandar pada Lailaha Illallah saja!!"
Demikian juga putranya, Abdullah bin Umar, yang khawatir orang-orang akan bersandar pada hukum tayammum semata-mata. Karenanya dia perintahkan agar meninggalkan shalat saja.
Bukankah lebih baik seandainya mereka biarkan nah-nas itu seperti apa adanya, dan tidak merobah nas dengan ijtihad yang dangkal itu, yang menyebabkan terhapusnya syareah dan terlanggarnya ketentuan-ketentuan Allah serta terpecahnya ummat ke dalam berbagai mazhab, sekte dan aliran.
Dari rangkaian sikap Umar terhadap Nabi dan sunnahnya seperti itu dengan mudah dapat dipahami bahwa beliau pada dasarnya tidak sehari pun pernah percaya bahwa sang Nabi memiliki sifat maksum (tidak berdosa); bahkan beliau melihat bahwa Nabi adalah manusia biasa yang bisa salah dan benar.
Dari sinilah kemudian timbul gagasan-mengikut versi ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah-bahwa Nabi hanya maksum pada saat menyampaikan wahyu semata-mata. Selainnya beliau sama dengan manusia biasa yang kadangkala juga melakukan kesalahan. Alasannya karena Umar pernah mengkoreksi Nabi dalam sejumlah peristiwa.
Apabila Nabi SAWW-seperti yang diriwayatkan oleh seba-gian orang yang jahil-pernah menerima tawaran setan di rumahnya, saat ketika beliau tengah berbaring di sana dan (menonton) sejumlah wanita yang memukul gendang dengan setan yang tengah menari dan bersuka-ria di sisinya, sampai kemudian Umar masuk, dan setan lari serta para wanita itu juga menyembunyikan gendang-gendangnya kemudian Nabi berkata kepada Umar, begitu setan melihatmu lewat di suatu jalan, dia melarikan diri ke jalan lain; apabila riwayat-riwayat seperti itu (secara tidak kritis) kita terima, maka tidak sukar untuk kemudian menyatakan bahwa Umar mempunyai 'hak pendapat' dalam urusan agama danbahkan juga berhak untuk menentang Nabi dalam urusan politik, dan hukum syareat sekalipun, seperti contoh di atas.
Sikap seperti ini kemudian melahirkan sekelompok sahabat--dipimpin oleh Umar bin Khattab-yang berani melakukan ijtihad di hadapan nas. Seperti yang kita saksikan di atas, mereka mendukung pendapat Umar dalam Tragedi Hari Kamis, walau hal itu jelas-jelas bertentangan dengan nas Nabi SAWW. Dan dari sini juga kita dapat simpulkan bahwa mereka sebenarnya tidak bisa atau enggan menerima sabda Nabi pada peristiwa al-Ghadir, ketika Nabi SAWW melantik Ali sebagai khalifah setelahnya. Dan sikap penolakan seperti ini kemudian ditunjukkan lagi saat menjelang wafat baginda Nabi SAWW. Selain dari itu, serangkaian peristiwa seperti perkumpulan di Balairung Saqifah Bani Saidah atau pemilihan Abu Bakar sebagai Khalifah adalah di antara hasil dari ijtihad sejenis ini.
Ketika kekuasaan mereka semakin kokoh dan mayoritas orang telah lupa akan nas-nas Nabi, terutama yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan, kemudian mereka mulai melakukan ijtihad-ijtihad lain yang mencakup hatta sebagian hukum dalam AlQuran. Mereka telah abaikan beberapa hukum hudud dan merobah sejumlah hukum yang lain.
Di antara ijtihad yang bertentangan dengan nas adalah tragedi Fatimah Az-Zahra', yang dialaminya segera setelah hak khilafah suaminya dirampas. Kemudian tragedi pembunuhan orang-orang muslirnin yang konon "enggan" membayar zakat, pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah oleh Abu Bakar berdasarkan ijtihad dengan pendapatnya sehingga membatalkan konsep syura yang dahulu pernah dijadikannya sebagai alasan untuk keabsahan khilafahnya.
Kemudian, ketika Umar telah menjabat sebagai khalifah, dihalalkannya apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya108 serta diharamkannya apa yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya.109 Ketika Utsman berkuasa pada zaman berikutnya, beliau bahkan telah melakukan sesuatu yang jauh lebih "radikal" dari dua khalifah sebelumnya, sehingga ijtihadnya telah banyak mempengaruhi kehidupan politik dan agama secara luas. Hal itulah yang kemudian berakibat munculnya suatu revolusi menentangnya hingga beliau terbunuh akibat ijtihadnya itu.
Ketika Imam Ali memegang kekuasaan dan menjabat sebagai khalifah, beliau mendapatkan kesulitan yang tidak kecil dalam mengembalikan kaum muslimin kepada sunnah Nabi dan AlQuran. Beliau telah berusaha sungguh-sungguh untuk menghilangkan segala jenis bid'ah yang telah dimasukkan ke dalam agama. Namun sebagian sahabat berteriak: sunnah Umar, sunnah Umar..!!
Saya yakin bahwa orang-orang yang memerangi Imam Ali dan yang menentangnya mendapati semata-mata karena Ali as berupaya untuk mengembalikan mereka kepada jalan yang benar dan kepada nas-nas yang shahih, sembari mematikan segala bid'ah dan ijtihad yang telah dinisbahkan pada agama sepanjang seperempat abad. Bid'ah-bid'ah tersebut telah sedemikian rupa mendarah daging dalam diri mayoritas publik terutama mereka yang mengejar hawa nafsu dan keta-makan dunia; yang telah menyalahgunakan harta Allah dan memperhambakan hamba-hamba-Nya; yang telah memanipulasi emas dan perak; dan yang mengharamkan orang-orang lemah dari memperoleh hak-hak mereka yang telah ditentukan oleh Allah.
Kadang-kala kita dapati bahwa para mustakbirin di setiap zaman sering cenderung melakukan "ijtihad", karena dengannya ia punya alasan untuk dapat sampai pada cita-citanya. Sementara nas-nas yang ada dianggap sebagai unsur yang akan menghambat cita-cita itu dan bahkan menghalanginya. Ijtihad juga memperoleh dukungan di setiap masa dan tempat, dari golongan orang-orang yang lemah sekali pun. Hal ini karena ia mudah dipraktekkan dan tidak memiliki suatu komitmen yang tegas. Berbeda dengan nas. la memiliki suatu ketegasan dan keterikatan. Para politikus kadang-kadang menamakannya dengan istilah hukum teokrasi, yang bermakna hukum Allah, dan ijtihad-karena menyimpan suatu kebe-basan dan non-komitmen, mungkin diistilahkan dengan hukum demokrasi, yakni kuasa rakyat.
Mereka yang berkumpul di saqifah setelah wafatnya Nabi SAWW telah menghapuskan kekuasaan teokrasi yang telah dibangun oleh Nabi berdasarkan nas-nas AlQuran, dan menggantikannya dengan kekuasaan demokrasi yang dipilih oleh "rakyat", untuk memilih pemimpin yang dianggapnya layak untuk memimpin.
Namun para sahabat waktu itu belum mengenal istilah demokrasi, karena ia bukan bahasa Arab. Yang mereka ketahui hanyalah konsep Syura.
Mereka yang enggan menerima keberadaan nas dalam masalah khilafah saat ini, adalah pendukung-pendukung demokrasi. Mereka sangat bangga dengan predikat ini. Mereka mengklaim bahwa Islam adalah agama pertama yang melaksanakan konsep demokrasi. Mereka adalah pendukung-pendukung ijtihad dan pembaharuan, yang saat ini dekat dengan konsep-konsep barat. Itulah mengapa hari ini kita mendengar keberpihakan dunia barat kepada mereka dan menamakan mereka sebagai kaum muslimin yang modernis dan toleran.
Syi'ah adalah pendukung-pendukung teokrasi, atau kekuasaan Allah. Mereka menolak ijtihad yang bertentangan dengan nas yang memisahkan antara kekuasaan Allah dan konsep syuro. Bagi mereka, syuro tidak ada kaitannya sama sekali dengan nash. Syuro dan ijtihad bisa dilakukan dalam sejumlah hal yang tidak memuat nas di dalamnya. Bukankah Anda saksikan bahwa Allah SWT yang telah memilih Rasul-Nya Muhammad SAWW. Tetapi Dia juga berfirman: "Dan musyawarahilah mereka dalam urusan itu (3: 159). Adapun berkaitan dengan pemilihan kepemimpinan yang akan memimpin manusia, Allah berfirman: "Dan Tuhanmu menciptakan apa Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. (28: 68)
Ketika syi'ah menyatakan bahwa Ali adalah khalifah setelah Nabi SAWW, hal ini karena mereka berpegang pada nas. Dan ketika mereka mencela sebagian sahabat, yang dicela adalah mereka yang telah menggantikan nas-nas dengan ijtihad, lalu mereka sia-siakan hukum Allah dan Rasul-Nya serta melukai agama Islam yang sampai sekarang belum terobati.
Itulah kenapa dunia barat dan para pemikirnya berupaya mendiskreditkan Syi'ah dan menamakannya sebagai mazhab yang fanatik dan reaksioner. Hal ini karena mereka ingin kembali kepada AlQuran yang menghukum potong tangan terhadap pencuri, merajam si penzina dan memerintahkan berjihad di jalan Allah SWT. Bagi dunia barat semua ini identik dengan barbarism dan kebrutalan.
Dari telaah dan kajian ini dapat juga kupahami mengapa sebagian ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah menutup pintu ijtihad sejak kurun kedua Hijriah. Mungkin karena ijtihad serupa itu telah dan akan mengakibatkan malapetaka bahkan pertumpahan darah yang tidak sedikit atas ummat ini. Ijtihad seperti itu telah merobah ummat yang terbaik ini menjadi ummat yang saling berperang dan saling berselisih.
Adapun Syi'ah. Mereka masih membuka pintu ijtihad selagi nas-nasnya ada. Tiada siapapun yangbisa merobahnya. Dan mereka dibantu dengan wujud dua belas imam yang mewarisi ilmu datuknya, yakni Nabi SAWW. Mereka berkata bahwa semua permasalahan ada hukumnya di sisi Allah, dan telah dijelaskan oleh Nabi SAWW.
Kita juga dapat memahami kenapa Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang bertaklid kepada para sahabat yang 'mujtahidin', dan yang melarang penulisan sunnah Nabi SAWW, akhirnya terpaksa melakukan ijtihad dengan ra'yu atau qiyas atau istishab atau sad bab dzara-i' dan sebagainya ketika tidak menjumpai nas-nas nabi.
Dan kita juga dapat memahami kenapa orang-orang Syi'ah yang duduk di sekitar Ali, seseorang yang dikatakan sebagai Pintu Kota Ilmu dan pernah berkata, "Tanyakan aku segala sesuatu, karena Nabi telah mengajarku seribu bab ilmu dan setiap bab dapat membuka seribu bab yang lain"110 tidak seperti itu.
Orang-orang non-Syi'ah seringberada di seputar lingkaran Muawiyah bin Abi Sufyan yang memiliki pengetahuan tentang sunnah Nabi dalam kadar yang sangat sedikit sekali. Pemimpin kelompok yang baghi (zalim) ini akhirnya menjadi "Amir al-Mukminin" setelah syahadah Imam Ali as. Kemudian dia mulai campur-adukkan agama Allah dengan pendapatnya lebih dari orang-orang sebelumnya. Ahlu Sunnah menganggapnya sebagai Penulis Wahyu, dan di antara ulama yang mujtahid. Bagaimana mereka mengatakan bahwa itu adalah ijtihad sedangkan dialah yang telah racuni Hasan bin Ali sampai mati. Padahal, seperti sabda Nabi Hasan adalah pemuka pemuda sorga. Mungkin para pembela Muawiyah akan segera menampik bahwa itu adalah di antara ijtihadnya yang tersalah (dan karenanya dapat satu pahala).
Bagaimana mereka katakan bahwa itu adalah ijtihad, padahal dia telah ambil bai'at dari ummat secara paksa, baik untuk dirinya sendiri atau untuk putranya Yazid. Dia juga telah robah prinsip 'syuro' dengan prinsip monarki dan kerajaan. Bagaimana mereka katakan bahwa itu adalah ijtihadnya bahkan memberinya satu pahala, padahal dialah yang memerintahkan kaum muslimin untuk melaknat Ali dan keluarga Nabi yang lain dari atas mimbar sehingga menjadi sebuah tradisi Bani Umawiyah sepanjang enam puluh tahunan.
Bagaimana mereka menamakan Muawiyah sebagai Penulis Wahyu, sementara wahyu sendiri turun kepada Nabi SAWW sepanjang dua puluh tiga tahun dan sebelas tahunnya Mu'awiyah masih dalam keadaan syirik. Ketika beliau masuk Islam, kita tidak dapati satu riwayat pun mengatakan bahwa Muawiyah tinggal di Madinah, sementara Nabi SAWW tidak pernah tinggal di Mekah setelah Fathu Makkah. Darimana Muawiyah dapat menyandang gelar Penulis Wahyu tersebut? La Haula Wala Quwwata Illa Billa Al-'Ali Al-'Azim.
Pertanyaan yang terus menggugat adalah, mana kelompok yang benar dan mana yang batil? Apakah Ali dan Syi'ahnya adalah orang-orang yang zalim dan batil ataukah Muawiyah dan pengikut-pengikutnya?
Sebenarnya Rasulullah SAWW telah menjelaskan segala sesuatunya secara sempurna. Namun sebagian orang yang mengklaim diri mereka sebagai Ahlu Sunnah telah menafsirkannya secara salah. Sepanjang telaah dan kajianku (dan pembelaanku dahulunya terhadap Muawiyah) kudapati bahwa mereka sebenarnya bukan pengikut sunnah, tetapi pengikut Muawiyah dan Bani Umaiyah; khususnya setelah kukaji secara teliti sikap-sikap mereka yang membenci Syi'ahnya Ali dan ikut bergembira pada hari Asyuro, atau membela para sahabat yang pernah mengganggu Rasulullah SAWW dalam masa hayatnya dan setelah wafatnya. Mereka tetap menjustifikasi kesalahan para sahabat seperti itu dan terus berupaya untuk membenarkan tindakan-tindakannya.
Coba Anda renungkan, bagaimana mungkin Anda mencintai Ali dan Ahlul Bait Nabi sementara dalam masa yang sama Anda juga mencintai dan rela pada musuh-musuh serta para pembunuhnya? Bagaimana mungkin Anda mencintai Allah dan Rasul-Nya sementara dalam waktu yang sama Anda juga membela mereka yang merobah-robah hukum Allah dan Rasul-Nya serta berijtihad dan menakwilkan dengan pendapatnya segala apa yang ada dalam hukum-hukum Allah? Bagaimana mungkin Anda bisa menghormati seseorang yang tidak menghormati Rasulullah, bahkan menuduhnya dengan kata-kata 'pikun' saat beliau ingin melantik penggantinya? Bagaimana mungkin Anda mematuhi para pemimpin yang dilantik oleh Bani Umawiyah atau Bani Abbasiah lalu mening-galkan para imam yang telah dilantik oleh Rasulullah SAWW lengkap dengan jumlah111 dan nama-nama mereka.112 Bagaimana mungkin Anda mematuhi orang-orang yang tidak mengenal Nabi dengan baik lalu meninggalkan "Pintu Kota Ilmu" atau seseorang yang seumpama Harun di sisi Musa?
Siapa yang pertama kali menciptakan istilah Ahlu Sunnah Wal Jamaah? Saya juga coba menelitinya dalam sejarah, tetapi tidak kudapati sebuah jawaban yang memuaskan. Yang ada hanya berupa sebuah kesepakatan untuk menamakan tahun pengambilalihan kekuasaan oleh Muawiyah sebagai Tahun Jama'ah. Karena saat itu ummat Islam terbagi kepada dua kelompok: pengikut Ali dan pengikut Muawiyah. Ketika Imam Ali syahid dan Muawiyah mengambil alih kekuasaan setelah perdamaian dengan Imam Hasan, maka Muawiyah dijadikan sebagai "Amir al-Mukminin". Tahun pengangkatan itu dinamakan sebagai Tahun Jama'ah.
Nah, dengan demikian penamaan Ahlu Sunnah wal Jama'ah sebenarnya menunjukkan identitas pengikut sunnah Muawiyah dan sepakat menerimanya sebagai pemimpin bukan pengikut sunnah Rasulullah SAWW. Para Imam keturunan Nabi dan Ahlul Baitnya lebih tahu tentang sunnah datuknya ketimbang para bekas-tawanan perang (Fathu Makkah) itu. Pepatah mengatakan bahwa si tuan rumah lebih tahu akan isi rumah tangganya ketimbang orang lain dan penduduk Mekah lebih tahu akan seluk beluk negerinya ketimbang penduduk lain. Namun-sayangnya-kita telah abaikan dua belas imam yang telah disabdakan oleh Nabi SAWW itu dan kita ikut para musuh mereka.
Walaupun kita mengakui keabsahan hadis yang memaparkan dua belas imam sepeninggal Nabi, yang kesemuanya adalah berketurunan Quraisy namun kita selalu terhenti pada empat khalifah saja. Hal ini mungkin karena Muawiyah yang telah menamakan kita sebagai Ahlu Sunnah wal Jamaah bermaksud agar kita sepakat pada sunnahnya dalam mencaci Ali dan Ahlul Bait Nabi yang telah dilakukannya sepanjang enam puluh tahunan. Hanya Umar bin Abdul Aziz ra sajalah yang mampu menghilangkan sunnah yang buruk ini. Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa sekelompok dari Bani Umawiyah berplot untuk membunuhnya, walau ia berasal dari kalangan keluarga yang sama. Hal ini semata-mata karena beliau telah mematikan sunnah mereka, yakni melaknat Ali bin Abi Thalib .
Wahai sahabat-sahabatku, marilah kita cari kebenaran di bawah bimbingan Allah SWT. Buanglah jauh-jauh segala jenis fanatisme buta. Kita adalah korban Bani Abbasiyah, korban sejarah yang gelap, korban kejumudan berpikir yang dipaksa-kan oleh generasi sebelum kita. Tidak syak lagi kita juga adalah korban makar perbuatan Muawiyah, A'mer bin A'sh, Mughi-rah bin Syu'bah dan sejenisnya.
Telitilah sejarah Islam agar dapat kita temukan kebenaran, dan Allah akan melipat gandakan pahala-Nya kepada kita. Semoga Allah menyatu-padukan ummat yang telah bercerai-berai sepeninggal Nabinya ini dan yang telah terpecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok. Marilah kita bersatu-padu di bawah bendera Lailaha Illallah Muhammadur Rasulullah, dan patuh pada Ahlul Bait Nabi yang telah diperintahkan oleh Rasulullah untuk diikuti. Nabi bersabda: "Jangan kalian lewati mereka, kelak kalian akan celaka, dan jangan ketinggalan dari mereka, karena kelak kalian (juga) akan celaka, dan jangan ajari mereka karena mereka lebih tahu dari kalian." 113
Apabila kita amalkan wasiat Nabi ini maka Allah pasti akan angkat murkaNya dari kita, akan menggantikan rasa takut kita dengan kedamaian, menjadikan kita di bumi-Nya ini sebagai khalifah-khalifah-Nya serta mendatangkan untuk kita makhluk pilihan-Nya, yakni Imam Mahdi as. Nabi SAWW pernah berjanji bahwa Mahdi akan datang ke dunia ini membawa keadilan setelah ia dicemari penuh kezaliman.
Sumber Utama : http://alhassanain.org/indonesian/?com=book&id=77&search=sejarah%20sebutan%20ahlu%20sunnah
Re-post by Migo Berita / Sabtu/05062021/12.01Wita/Bjm