» » » » » » Belajar Membedakan Kejadian Krisis Rupiah Tahun 1998 dan Penguatan Dollar atas Rupiah Tahun 2018

Belajar Membedakan Kejadian Krisis Rupiah Tahun 1998 dan Penguatan Dollar atas Rupiah Tahun 2018

Penulis By on Senin, 24 September 2018 | No comments

Beda Rupiah Saat 1998 dengan 2018

Liputan6.com, Jakarta - Rupiah kian melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan menembus 14.900 per dolar AS pada Selasa sore, 4 September 2018. Merujuk data Bloomberg, rupiah berada di kisaran 14.935 per dolar AS.
Sejumlah kalangan pun bertanya-tanya mengenai melemahnya rupiah. Michael Wattimena, misalnya. Anggota Fraksi Partai Demokrat menyampaikan pemikirannya mengenai kondisi rupiah saat ini.
"Indonesia ini adalah negara yang besar, kita punya pengalaman yang pahit pada tahun 1998 di mana Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi," ujar dia.
Seperti apa perbandingan kondisi perekonomian pada 2018 dan 1998, terutama bila dikaitkan pergerakan kurs rupiah, UMP rata-rata nasional, harga beras, dan pertumbuhan ekonomi? Simak Infografis berikut ini:

Infografis Beda Rupiah 1998 dengan 2018 terhadap Dolar AS. (Liputan6.com/Triyasni)

Upaya Rupiah Stabil

Wakil Presiden Jusuf Kalla (Wapres) mengatakan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah pemerintah akan mengurangi defisit neraca perdagangan dengan cara meningkatkan ekspor dan mengurangi impor yang tidak perlu.
"Kita semua sebangsa berusaha agar rupiah tetap dalam nilai yang wajar, tentu utamanya kita mengurangi defisit perdagangan dengan cara meningkatkan ekspor dan mengurangi impor yang tidak perlu," kata JK di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa, 4 September 2018.
Wapres Jusuf Kalla. (Merdeka.com/Intan Umbari Prihatin)

Jauh Berbeda

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution meminta masyarakat untuk tidak membandingkan nilai tukar rupiah saat ini dengan saat krisis 1998. Sebab, kondisinya sangat jauh berbeda.
Darmin menjelaskan, sekalipun nilai tukar rupiah sama-sama tembus Rp 14 ribu, posisi awal rupiah jauh berbeda. Pada 1998, rupiah tembus Rp 14 ribu setelah sebelumnya berada di posisi Rp 2.800 per dolar AS.
"Sekarang dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu. Tahun 2014, dari Rp 12 ribu ke Rp 14 ribu. Maksud saya, cara membandingkan juga, ya dijelaskan-lah. Enggak sama kenaikan dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu sekian dengan dari Rp 2.800," ucap Darmin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 4 September 2018.
(Agustina Melani/Liputan6.com, Yayu Agustini Rahayu dan Intan Umbari Prihatin/Merdeka.com)
Menko Bidang Perekonomian, Darmin Nasution (Dok Foto: Kemenko Bidang Perekonomian)
Sumber Berita : https://www.liputan6.com/news/read/3636632/beda-rupiah-saat-1998-dengan-2018 

Ini Bedanya Pelemahan Rupiah 2018 dan Krismon 1998

Jakarta - Rupiah terus mengalami tekanan dari dolar Amerika Serikat (AS). Perdagangan dolar AS hari ini sudah mencapai posisi Rp 14.897. Waktu krisis 1998 nilai dolar AS berada di kisaran Rp 16.500.

Apa iya Indonesia menuju krisis? Jika tidak apa bedanya nilai Rupiah kini dan 20 tahun lalu?
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menjelaskan kondisi Indonesia saat ini tidak mirip dengan era 97-98. Menurut dia 20 tahun lalu ada masalah politik yang kuat dan terlalu runyam.

"Kalau sekarang itu Indonesia, sepenuhnya masalah ekonomi dan sentimen global," kata Jahja kepada detikFinance, Selasa (4/9/2018).
Jahja mengharapkan, isu ekonomi ini tidak dijadikan bahan untuk politik, meskipun di dunia politik semua cara dihalalkan.
"Harapan saya jangan lah, kalau NKRI hancur kan kita rakyat sama-sama menanggung rugi, padahal sekarang lagi bagus. Menurut saya, kalau tidak ada faktor eksternal atau global ini Indonesia masih bagus ekonominya, tidak ada yang mengganggu kepercayaan masyarakat," ujarnya.


Ekonom PermataBank Josua Pardede menjelaskan, saat ini nilai tukar sebagian negara berkembang cenderung terkoreksi terhadap dolar AS, namun kondisi ini masih jauh dari krisis 1998.
Dia menjelaskan kondisi fundamental perekonomian Indonesia sekarang sangat berbeda dengan kondisi fundamental pada tahun 1998. Saat itu krisis yang berawal dari krisis mata uang Thailand Bath juga diperburuk dengan pengelolaan utang luar negeri swasta yang tidak prudent karena sebagian utang luar negeri swasta tidak memiliki instrumen lindung nilai.
Josua mengungkapkan, saat itu penggunaan utang jangka pendek untuk pembiayaan usaha jangka panjang, serta utang luar negeri yang dipergunakan untuk pembiayaan usaha yang berorientasi domestik.
"Krisis utang swasta pada 1997-1998 tersebut yang mendorong tekanan pada rupiah di mana tingkat depresiasi rupiah mencapai sekitar 600% dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, yaitu dari Rp 2.350 per dolar menjadi Rp 16.000 per dolar," kata Josua.
Sementara jika melihat kondisi fundamental Indonesia pada tahun ini, pengelolaan utang luar negeri swasta cenderung lebih berhati-hati dimana Bank Indonesia juga sudah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar.
"Pengelolaan yang lebih baik dari utang luar negeri swasta terlihat dari pertumbuhan utang jangka pendek yang cenderung rendah," ujar dia.


Selain itu, jika volatilitas nilai tukar rupiah cenderung meningkat, BI diperkirakan akan kembali lagi memperketat kebijakan moneternya dalam jangka pendek ini untuk meningkatkan kepercayaan pelaku pasar.
Mempertimbangkan perbaikan fundamental ekonomi, afirmasi dari Fitch terhadap peringkat utang Indonesia yang masih layak investasi dengan outlook stable, maka pemerintah dan BI diperkirakan akan dapat mengelola stabilitas rupiah sehingga dapat meredam pelemahan rupiah di bawah level Rp 15.000 per dolar AS.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan kondisi saat ini dan 98 berbeda. Meskipun sama-sama dipicu krisis mata uang negara berkembang. Saat 1998 krisis dimulai dari Thailand dan tahun ini dimulai dari Turki dan Argentina.
Menurut Bhima, dari kesiapan Indonesia menghadapi krisis terlihat dengan perbaikan rating utang yang signifikan. Tahun 1998 rating Fitch anjlok hingga B- dengan outlook Negatif. Tahun 2018 per September Fitch memberikan rating utang BBB dengan outlook Stabil.
Kemudian kinerja pertumbuhan ekonomi 1998 merosot ke -13,6%. Saat ini pertumbuhan ekonomi berada di 5,2% per triwulan II 2018. Inflasi sempat naik hingga 77% saat krisis moneter.
"Sekarang cukup stabil di bawah 3,5%. Pelemahan kurs rupiah belum terlihat dampaknya pada Agustus 2018 yang justru mencatat deflasi," imbuh dia.
Kemudian cadangan devisa tahun 1996 sebelum krisis berada di angka US$ 18,3 miliar. Saat ini cadev di kisaran US$ 118,3 miliar.
"Kemampuan BI untuk intervensi rupiah melalui cadangan devisa jauh di atas kemampuan tahun 1996 sebelum menghadapi krisis," ujarnya.
Meskipun beberapa indikator menunjukkan perbaikan. Tapi pemerintah harus mewaspadai defisit transaksi berjalan yang menembus 3% pada kuartal II 2018.
"Negara dengan defisit transaksi berjalan sangat rentan terpapar krisis ekonomi. Seperti Turki dan Argentina yang kedua nya memiliki defisit transaksi berjalan yang cukup lebar," imbuh dia.
Foto: Kiagoos Auliansyah/Infografis Foto: Kiagoos Auliansyah/Infografis

Fakta Dolar AS 1998 vs 2018

Jakarta - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) kembali melambung terhadap rupiah. Bahkan, posisinya mendekati waktu krisis moneter (krismon) 1998 lalu.

Dolar Tembus Rp15.000 pada 1998, Beda Kondisi dengan 2018

Oleh: Ringkang Gumiwang - 5 September 2018
Dibaca Normal 4 menit
Nilai tukar dolar yang kini mendekati angka Rp15.000 tak bisa dibandingkan dengan kondisi 1998.
tirto.id - Bagi Michael D. Ruslim dan Astra, 1998 adalah tahun yang sangat rumit dan berat. Nilai tukar rupiah yang anjlok terhadap dolar AS, membuat utang Astra bengkak hingga lebih dari US$1 miliar, atau jauh melebihi kekayaan perusahaan.

Situasi makin sulit saat struktur utang dan kreditur—pihak pemberi utang—yang beragam. Satu-persatu, kreditur datang menagih utang. Michael yang kala itu menjabat sebagai Direktur PT Astra International—menemani Rini Soemarmo dan Dorys H sebagai petinggi Astra, menghadapi kreditur yang marah.

Krisis yang terjadi pada 1998 itu memang tak hanya berdampak kepada debitur—pihak penerima utang—, kreditur pun ikut merasakan. Mengutip dari buku “Michael D. Ruslim: Lead By Heart” (2011: 137), Michael pernah menyaksikan bagaimana kreditur yang datang kepadanya, esok harinya sudah tidak ada karena pailit.
Utang yang membengkak akibat rupiah yang terpuruk tidak hanya dirasakan perusahaan "raksasa" seperti Astra. Perusahaan-perusahaan terbuka lainnya juga ikut merasakan kondisi yang sama, bahkan lebih parah lagi. Berdasarkan buku “I Putu Gede Ary Suta: Menuju Pasar Modal Modern” (2000: 393), dua pertiga emiten yang tercatat di bursa efek pada Desember 1997, secara prinsip sudah bangkrut karena tidak mampu membayar utang.
“Ketika pinjaman tidak bisa dibayar kembali, secara de facto berarti debitur sudah ingkar janji kepada kreditur. Hal tersebut dimungkinkan karena lemahnya UU Kepailitan dan kurang independennya lembaga peradilan,” kata I Putu Gede Ary Suta.
Bisnis korporasi besar yang terpukul dolar kala itu bukan tiba begitu saja, ada rangkaian sebelum momen apa yang sering disebut sebagai "krisis moneter". Mengutip buku “B.J. Habibie: Detik-detik yang Menentukan” (2006:2), krisis moneter yang terjadi di Indonesia merupakan efek domino dari krisis serupa yang dimulai dengan melorotnya nilai tukar dolar terhadap baht Thailand.
Pada 2 Juli 1997, nilai tukar dolar terhadap baht Thailand mencapai 29,1 baht per dolar AS, turun 18 persen dari 24,7 baht. Krisis itu lalu diikuti negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur lainnya, seperti Filipina, Malaysia, Indonesia dan Korea Selatan.
Di Indonesia, tanda-tanda krisis mata uang mulai terjadi pada pekan kedua Juli 1997, ketika kurs rupiah merosot dari Rp2.432 per dolar AS menjadi Rp3.020 per dolar AS pada akhir Agustus 1997. Bank Indonesia berusaha membuat sejumlah kebijakan dengan melebarkan rentang kendali rupiah, tapi krisis moneter yang diikuti dengan semakin menipisnya tingkat kepercayaan, membuat kurs rupiah semakin sulit dikontrol.
Pada 8 Oktober, Presiden Soeharto meminta bantuan kepada International Monetary Fund (IMF). Sayangnya, keputusan itu justru memperparah keadaan. Nilai rupiah kian terperosok ke level Rp5.097 per dolar AS pada 19 Desember. Ambruknya rupiah karena IMF mendesak pemerintah untuk menutup 16 bank pada awal November 1997.
Hingga di ujung 1997, pergerakan rupiah pun semakin liar. Rupiah ambruk sangat dalam hanya dalam waktu satu bulan. Berdasarkan Reuters, rupiah bahkan sampai ke level Rp15.170 per dolar AS pada 23 Januari 1998.
Namun setelah itu, rupiah mulai menguat lagi, dan bergerak stabil. Per 27 Februari 1998, rupiah berada di level Rp8.950 per dolar AS. Kemudian per 31 Maret, rupiah menguat lagi ke level Rp8.700 per dolar AS, dan ke level Rp8.000 per dolar AS pada 30 April.
Kondisi rupiah mulai berbalik arah ketika memasuki pekan kedua Mei. Gelombang para pengunjuk rasa yang meminta Soeharto semakin besar. Rangkaian aksi unjuk rasa mencapai puncaknya, ditandai dengan meletusnya Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998. Tragedi ini juga memicu kerusuhan yang besar pada 13-15 Mei, dan berlangsung di beberapa daerah.
Seiring dengan aksi unjuk rasa yang terus berdatangan, Soeharto akhirnya memutuskan untuk mundur dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998. Rupiah saat itu juga sempat menguat dari sebelumnya Rp11.500 per dolar AS menjadi Rp10.450 per dolar AS pada 26 Mei 1998.
Namun, tren mata uang Garuda kembali melemah, hingga akhirnya mencapai titik terendah, dalam catatan Reuters, rupiah Rp15.500 per dolar AS pada 17 Juni 1998, sudah terperosok sangat dalam bila dibandingkan posisi rupiah sejak awal Januari Rp6.050 per dolar AS.

Beda 1998 dengan 2018
Selang 20 tahun kemudian, mata uang rupiah kini berada pada posisi yang hampir serupa, memang masih mendekati Rp15.000 per dolar AS. Setidaknya, menurut JISDOR pada 5 September 2018, nilai rupiah saat ini berada di level Rp14.927 per dolar AS. Beberapa bank seperti BRI, sejak Selasa (4/9) sudah menjual dolar di atas Rp15.000. Jika menghitung dari awal 2018, maka otot rupiah sudah melorot sekitar 10 persen.
Namun, bukan berarti rupiah saat ini yang tengah mendekati angka Rp15.000 per dolar AS, telah menandakan Indonesia sedang menghadapi krisis moneter. Ada beberapa faktor yang membedakan kondisi di 1998 dengan 2018.
Perbedaan-perbedaan itu antara lain seperti tingkat inflasi. Pada 1998, tingkat inflasi sangat tinggi, yakni mencapai 77,6 persen, berdasarkan data Bappenas. Angka ini jauh lebih tinggi ketimbang inflasi pada Januari-Agustus 2018 sebesar 2,31 persen.
Tingginya inflasi membuat harga beras kala itu tembus Rp2.800/kg. Padahal, pada saat yang sama, UMP rata-rata nasional kala itu hanya Rp150.900 artinya UMP hanya bisa membeli sekitar 53 kg. Bandingkan dengan harga beras saat ini Rp11.200/kg dengan UMP rata-rata nasional Rp2,26 juta masih bisa membeli lebih dari 200 kg. Jadi, bisa dibayangkan betapa mahalnya barang-barang kebutuhan pokok pada saat itu dan kemampuan beli masyarakat.
Selain itu, suku bunga perbankan. Pada September 1998, suku bunga acuan sempat mencapai level tertinggi di angka 52,82 persen. Bandingkan dengan suku bunga acuan saat ini rata-rata hanya 5,5 persen. Kondisi suku bunga yang sangat tinggi pada akhirnya berdampak terhadap kelesuan kegiatan produksi. Pada 1998, terjadi penurunan produk domestik bruto (PDB) riil sebesar 13,7 persen. Sementara kondisi saat ini, PDB atau ekonomi Indonesia masih tumbuh 5,27 persen.
Penurunan PDB membuat angka pengangguran meningkat kala itu. Pada 1998, jumlah tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai 5,46 juta orang, naik 17 persen dari 4,68 juta orang pada 1997. Saat itu TPT tercatat 5,46 persen.
Saat ini, jumlah pengangguran terbuka turun 140.000 orang menjadi 6,87 juta orang dari sebelumnya 7,01 juta orang. Adapun, TPT tercatat 5,13 persen per Februari 2018.
Aspek lain yaitu soal peringkat utang. Saat ini, Indonesia lebih berpotensi dipercaya investor karena peringkat utang Indonesia versi Fitch ada di level BBB dengan outlook stabil atau bisa dibilang layak investasi. Berbeda dengan 1998, peringkat utang Indonesia terpuruk di level "CCC" dan "SD" (selective default), mulai dari 15 Mei 1998 hingga 5 September 2002 karena waktu itu pemerintah kesulitan membayar utang.
“Sebelum krisis 1997-1998 sebenarnya peringkat utang Indonesia kala itu sama seperti sekarang BBB dengan outlook positif. Namun saat krisis, semua berubah,” kata Juniman, Ekonom Maybank Indonesia kepada Tirto.
Begitu juga dengan cadangan devisa. Sebelum 1997-1998, cadangan devisa Indonesia cukup aman sekitar US$20-23 miliar atau setara dengan pembiayaan tujuh bulan impor. Kondisinya hampir mirip dengan saat ini, dimana cadangan devisa per Juli 2018 sebesar US$118,32 miliar ini setara dengan pembiayaan tujuh bulan impor.
Makro ekonomi 2018 memang lebih baik ketimbang 1998, pemerintah tetap harus waspada. Pasalnya, defisit transaksi berjalan masih terus menghantui pergerakan rupiah. Tekanan rupiah yang paling kuat didorong dari meningkatnya defisit transaksi berjalan. Transaksi berjalan dapat menggambarkan penerimaan devisa dari kinerja ekspor dan impor sektor barang maupun jasa, yang berimplikasi pada kebutuhan terhadap mata uang dolar AS
Saat ini, defisit transaksi berjalan memang terus menanjak. Berdasarkan Neraca Pembayaran Indonesia kuartal II-2018, defisit transaksi berjalan sebesar US$13,73 miliar, naik 100 persen dari kuartal II-2017 sebesar US$6,87 miliar.
“Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan, terutama yang sifatnya jangka pendek, guna meredam impor saat ini. Kalau tidak, rupiah akan terus semakin merosot, dan bukan tidak mungkin membuat Indonesia benar-benar krisis,” tutur Juniman.
Apa yang disampaikan oleh Juniman memang patut jadi catatan, di tengah alur ekonomi saat ini yang serba mekanisme pasar yang rentan dengan perubahan, tentu jauh berbeda dibandingkan dua dekade silam.
Karyawan menghitung mata uang Dollar AS di gerai jasa penukaran uang asing di Jakarta, Senin (13/8). Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS melemah menjadi Rp14.608 per dolar AS pada penutupan perdagangan Senin (13/8). ANTARA FOTO/Reno Esnir/wsj/18.Karyawan menghitung mata uang Dollar AS di gerai jasa penukaran uang asing di Jakarta, Senin (13/8). Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS melemah menjadi Rp14.608 per dolar AS pada penutupan perdagangan Senin (13/8). ANTARA FOTO/Reno Esnir/wsj/18.
Infografik Menengok Nilai TukarSumber Berita : https://tirto.id/dolar-tembus-rp15000-pada-1998-beda-kondisi-dengan-2018-cW6m

Re-Post by MigoBerita / Senin/24092018/17.52Wita/Bjm
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya