» » » » » » » Jumat kelabu 23 Mei 1997, Pelaku Utamanya Bukan Orang Banua Banjar ASLI, Lalu Siapa..??!!

Jumat kelabu 23 Mei 1997, Pelaku Utamanya Bukan Orang Banua Banjar ASLI, Lalu Siapa..??!!

Penulis By on Kamis, 23 Mei 2019 | No comments

Melawan Lupa: Jumat Kelabu 23 Mei 1997

HARI itu (Jumat, 23 Mei 1997) terjadi amuk massa. Ratusan orang meninggal menjadi korban. Kota ini lumpuh, mencekam. Kota besar lainnya menyusul. Amuk bagian ekspresi menuntut perubahan. Konsekuensinya begitu besar. Membekas. Membawa luka dan trauma. Mengenangnya, bagian dari menata peradaban.
SAYA tidak pernah lupa dengan peristiwa tersebut. Sekalipun sudah 22 tahun, rasanya baru saja terjadi. Saya sungguh tidak percaya. Kota cantik, indah, nyaman, yang dibelah oleh sungai, dan tidak banyak ada kota seperti secantik ini. Penduduknya juga ramah tamah, sopan santunnya terjaga. Tiba-tiba hari itu menjadi beringas. Orang mengamuk, membakar, menyerang orang lain. Meletus apa yang kemudian dikenal dengan amuk massa 23 Mei atau Jumat kelabu,” ujar Djono Poerwadi, seorang pegiat pariwisata, mengawali paparannya pada Palidangan Noorhalis di Pro 1 RRI Banjarmasin, Kamis (23/5/2019. 
Diungkapkannya, suasana saat itu sangat mencekam. Waktu itu ia nekerja di biro perjalanan wisata Arjuna. berada di kantor. Orang-orang memberitahukan bahwa telah terjadi keributan di depan Masjid Noor. Seorang pengendara, yang knalpotnya dilepas, dengan bunyi motor yang sangat nyaring, melintasi Masjid Noor, padahal sholat Jumat baru saja usai. Orang marah, berteriak dan mengejar pengendara yang menggunakan atribut partai tertentu. Dari situ kemudian massa bergerak. Tidak berapa lama asap hitam mengepul di mana-mana, hingga malam hari. “Mall, hotel, kantor partai, gereja, mobil, dan banyak bangunan serta atribut lainnya dibakar,” urai Djono Poerwadi, mengenang peristiwa Jumat kelabu 23 Mei 1997.
Peristiwa tersebut sudah berlalu 22 tahun yang lalu, apa yang bisa dipetik sebagai pembelajaran  hingga sekarang, lanjut Noorhalis Majid, selaku pemandu acara. Yang bisa kita petik adalah, kita rugi dengan peristiwa tersebut.
Djono mengatakan, suatu kerugian yang sangat besar, baik menyangkut harta benda. Ratusan nyawa melayang dan tidak diketahui. Masyarakat mengalami trauma panjang dengan peristiwa tersebut. Dan yang tidak boleh dianggap sepele, adalah soal persepsi masyarakat di luar Kalimantan Selatan atau Banjarmasin, banwa ternyata Banjarmasin itu tidak aman, tidak nyaman. Akhirnya mengganggu investasi, pariwisata, termasuk perhotelan dan perdagangan.
Waktu itu sejumlah jadwal kunjungan pariwisata dari negara lain ke Banjarmasin, dibatalkan. “Saya kesulitan menjelaskan kenapa Banjarmasin bisa seperti itu. Saya sungguh tidak percaya sampai terjadi. Dan sampai hari ini, saya menganggapnya  tidak ada konflik. Saya curiga itu sebuah by desain dari luar. Seolah mengirim pesan, bahwa kota yang damai seperti Banjarmasin, juga tidak aman dari potensi rusuh atau konflik,” katanya. 
Setelah peristiwa 23 Mei 1997, kemudian berlanjut tahun 2002, konflik Sampit yang juga membawa dampak bagi Banjarmasin dan Kalimantan secara umum. Sehingga, belum pulih peristiwa 1997, berlanjut lagi dengan konflik etnik dayak vs madura.  Maka dari sisi traumatik, persepsi dan lain sebagainya, lama sekali pemulihannya. Karena itu, ketika saya melihat di televisi peristiwa yang sekarang terjadi di Jakarta, penolakan hasil Pemilu 2019 yang berakibat kerusuhan, saya sangat menyesalkan. Karena memulihkan hal seperti itu tidak sederhana.
Kesigapan aparat keamanan, pemerintah, dan partisipasi para tokoh agama dan tokoh masyarakat, sangat diperlukan dalam memulhkan peristiwa yang mendatangkan traumatik seperti ini. Bagi orang Banjar, semua yang sudah terjadi, jangan sampai terulang lagi. Orang Banjar itu damai, ramah, dia bukan provokator atau suka dengan keributan seperti itu.
Karakteristik dagang yang melekat pada orang banjar, kata Djono Poerwadi, mendorong dia untuk selalu membangun hubungan baik kepada orang lain. Perisiwa seperti kerusuhan atau amuk massa, membuat hubungan menjadi tidak baik, berimplikasi pada perdagangan, kehidupan ekonomi dan sebagainya, padahal semua itu menjadi kehidupan masyarakat banjar.
Para pendengar yang turut berpartisipasi, menyampaikan pendapatnya melalui line telepon. Syahri di Banjarmasin, menyatakan bahwa dia sangat ingat dengan peristiwa tersebut. Rumah dia di Kelayan, waktu itu dia tahu bahwa pusat kota di jalan Lambung Mangkurat sedang rusuh. Setiap kali mengingatnya, ia selalui merinding. Karena banyak orang yang menjadi korban. Lebih satu bulan setelah peristiwa itu semua orang tidak bisa nyenyak tidur. Di berbagai kampung diadakan roda malam. Berita bohong tersebar kemana-mana. Ada kampung yang mau dibakar dan sebagainya, yang memuat tidak tenang.
“Jangan sampai terulang, harus menjadi pelajaran. Terimakasih RRI melalui Palindangan  Noorhalis mengingatkan kita atas peristiwa tersebut. Semua kita harus merefleksikannya. Pun para aparat pemerintah dan keamanan. Bahwa sesuatu yang diangap tidak adil, apabila terus berlanjut tidak adil, akan menimbulkan kemarahan masyarakat.  Karena peristiwa tersebut juga bagian dari menuntut keadilan. Aparat keamanan juga harus terus siaga, jangan sampai lengah pada situasi yang dianggap aman,” bebernya.
Penelepon lainnya, Ratu di Kelayan, menyampaikan bahwa hari itu ia mau latihan Pramuka. Kemudian kebakaran terjadi di mana-mana, berpusat di tengah kota. Suasananya memang sangat mencekam dan membuat mental down, lama baru bisa pulih.
Jali di Paringin, mengatakan bahwa saat peristiwa tersebut dia masih duduk di taman kanak-kanak. Dibawa orang tuanya ke Banjarmasin. Pas ketika kerusuhan terjadi, dua hari kemudian kembali ke Paringin. Setelah itu dia tidak mau lagi datang ke Banjarmasin. Baru setelah dewasa, berani datang ke Banjarmasin. Menggambarkan sebegitu kuatnya traumatik dengan peristiwa tersebut.
Sidi di Negara, juga menyampaikan pengalamannya. Waktu itu bekerja di Banjarmasin, dan baru pulang ke Negara. Kemudian mendengar kerusuhan terjadi. “Sungguh saya tidak percaya provokatornya orang Banjar. Tidak ada sifat orang banjar menjadi provokator kerusuhan seperti itu. Orang Banjar itu damai, baik dan ramah kepada orang lain,” katanya.
Djono Poerwadi memberikan tanggapan, dia juga sangat percaya bahwa itu bukan ulah orang Banjar. Harus selalu waspada, bahwa provokasi bisa saja datang dari luar dan membuat kacau. “Kita berharap, setiap kali kita mengingat peristiwa 23 Mei, menyadarkan kita agar peristiwa tersebut jangan sampai terulang. Apalagi sekarang ini media sosial sangat bebas, setiap orang menjadi operator langsung atas apa yang dipostingnya, sementara tata krama dalam bermedia sosial sangat rendah,” katanya.
“Peristiwa tersebut hendaknya juga menjadi pelajaran berharga, bukan hanya bagi yang mengalaminya, namun juga bagi generasi muda, generasi millenial. Mereka tidak paham akan peristiwa ini, karena itu perlu untuk diingatkan. Pelajaran sejarah di sekolah, hendaknya mengenalkan peristiwa ini sebagai satu catatan sejarah kelabu, tentang amuk yang merugikan masyarakat dan daerah ini,” kata Djono Poerwadi mengakhiri paparannya. 

Jangan Tutup Mata dan Telinga atas Tragedi 23 Mei di Banjarmasin

KETERTUTUPAN pemerintah di era Soeharto berkuasa, tidak ada laporan yang akurasinya bisa dipercaya. Apa sebenarnya yang terjadi dalam kerusuhan massal pada Jumat Kelabu, 23 Mei 1997 di Banjarmasin.
TRAGEDI kemanusiaan yang berawal dari konstelasi politik tinggi di era Orde Baru, membuat ratusan nyawa melayang, terbakar dan menjerit dimasa terakhir kampanye Pemilu 1997.
Tak ingin hilang dari memori ingatan, mahasiswa Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad Al-Banjari dari Sanggar Titian Barantai (STB) menghelat aksi teaterikal dan pembacaan puisi sambil membagikan bunga mawar hitam dan keranda mayat di perempatan Kantor Pos Banjarmasin, Jalan Lambung Mangkurat-Jalan Pangeran Samudera, Kamis (23/5/2019).
Pegiat seni kampus ini meminta masyarakat tidak menutup mata dan telinga atas kejadian masa terakhir kampanye Pemilu 1997 di Banjarmasin itu. Apalagi aksi kerusuhan massal tersebut menyisakan trauma mendalam disegenap warga ibukota Provinsi Kalsel, lantaran merenggut ratusan nyawa.
“Masyarakat jangan tutup mata dan telinga atas kejadian ini,” ujar Ketua STB Uniska Taufikurrahman kepada awak media.
Dia berharap, masyarakat bisa menjaga kondusivitas dan kedamaian di Banjarmasin, agar peristiwa berdarah itu tidak kembali terulang. Sebab, efek dari kerusuhan tersebut menyebabkan kemunduran hingga 20 tahun kebelakang.
“Karena beberapa gedung ataupun pusat perbelanjaan mengalami kerusakan parah. Untuk itu jangan sampai kembali terulang,” ujar Taufik.
Mengenai kerusuhan 22 Mei 2019 di Jakarta, dinilai Taufik, tidak ada kaitannya dengan aksi teaterikal, membaca puisi sambil membagikan bunga mawar hitam sebagai tanda berkabung. Dia menegaskan STB rutin mengadakan aksi teaterikal Jumat Kelabu dari 1998 untuk turun kejalan mengingatkan masyarakat.
“Mungkin karena waktunya berdekatan saja. Tetapi saya tegaskan ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kerusuhan di Jakarta,” pungkasnya. 

Fenomena Pemilu di Banjarmasin Era Orde Baru

PEMILU 1997 merupakan pemilu terakhir di masa pemerintahan Orde Baru. Berbagai peristiwa sebelum dilangsungkannya pemilu, saat pemilu, maupun setelahnya turut mewarnai panasnya suhu politik yang terjadi di berbagai tanah air saat itu.
DI SINI penulis hanya mengupas sedikit peristiwa yang terjadi di Banjarmasin (di luar kerusuhan 23 Mei 1997); menjelang hingga berakhirnya Pemilu 1997.  Sebelumnya, menyongsong Pemilu 1987, juga tercatat dalam sejarah perpolitikan nasional, dimana NU sebagai organisasi keagamaan terbesar menyatakan diri kembali ke khittah NU 1926.
Dalam banyak referensi disebutkan, fenomena Mega-Bintang ini muncul setelah terjadinya pergantian paksa atas pimpinan PDI Megawati oleh Soeryadi pada konferensi partai 1996 di Medan. Akibat peristiwa tersebut banyak pendukung Megawati di lapisan bawah yang mengalihkan dukungannya ke PPP yang saat itu bertanda gambar bintang.
Di saat kampanye PPP banyak massa yang membawa atribut Mega-Bintang yang tidak lain adalah massanya PDI Megawati. Begitu pula saat kampanye di Kota Banjarmasin, atribut-atribut Mega-Bintang bermunculan, bahkan tidak sedikit kalangan pemuda dan mahasiswa bersimpati mendukung gerakan Mega-Bintang ini.
Fenomena Mega-Bintang ini tak terduga sebelumnya dan sempat memunculkan spekulasi kontroversial. Opini pun sempat terbentuk, bahwa akan terjadi koalisi lintas ideologis antara PPP dengan massa PDI Megawati dalam Pemilu 1997.
Gerakan Mega-Bintang ini sempat mendapat larangan dari pemerintah. Namun, karena sudah tersosialisasi ke berbagai lapisan masyarakat, tetap saja berbagai idiom lain yang menunjukkan bahwa para pendukung PDI Megawati tetap berekspresi dalam kampanye.
Karena yang diakui sebagai partai peserta pemilu adalah PDI pimpinan Soeryadi (hasil konferensi Medan), maka kesan adanya koalisi antara PPP dan PDI Megawati tersebut ditepis di tingkat elit masing-masing partai.
Hasil Pemilu 1997 di Kota Banjarmasin menunjukkan perubahan yang cukup drastis dibanding pemilu sebelumnya, terutama dalam perolehan kursi masing-masing partai peserta pemilu. PPP berhasil menambah 5 kursi, dari pemilu sebelumnya 12 kursi menjadi 17 kursi.
Sedangkan PDI (Soeryadi) turun, dari 8 kursi menjadi hanya 1 kursi. Golkar berhasil menambah 2 kursi, dari sebelumnya 16 menjadi 18 kursi. 
Penggembosan PPP
Jika dilihat dari pemilu ke pemilu (masa Orde Baru), maka PPP di kota seribu sungai ini sangat kuat menunjukkan rivalitasnya terhadap Golkar. Di Pemilu 1977, partai yang saat itu pendukung utamanya NU ini, meraih 16 kursi sedangkan Golkar mengoleksi 10 kursi.
Begitu juga Pemilu 1982, PPP mampu mempertahankan keunggulannya dengan menggondol 17 kursi dan Golkar sebanyak 12 kursi. Di pemilu ini di semua wilayah kabupaten di Kalsel Golkar meraih kemenangan. 
Di samping Banjarmasin sebagai basis kemenangan PPP adalah Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, dan Banjar. Di Pemilu 1977 ketiga kabupaten tersebut mampu menjadikan PPP peraih kursi terbanyak di lembaga perwakilannya.
Namun, tidak seperti Banjarmasin di Pemilu 1982, di ketiga kabupaten tersebut bersama kabupaten lainnya PPP mengalami penurunan perolehan kursi meski tidak terlalu signifikan.
Menjelang Pemilu 1987, dilaksanakan Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 yang salah satu hasilnya memutuskan NU kembali ke khittah 1926. NU (secara organisasi) tidak lagi memberikan dukungan politik kepada PPP. Hasil muktamar NU ini disebut kalangan pengamat sebagai penggembosan PPP di Pemilu 1987 dan Pemilu 1992.
Meskipun terjadi penggembosan warga NU secara nasional, PPP di Kota Banjarmasin relatif tidak terlalu tinggi pengaruhnya. Kursi PPP di Pemilu 1987 ini memang mengalami penurunan dengan merebut 14 kursi (turun 3 kursi).
Perolehan kursi PPP terus merosot di Pemilu 1992 dengan meraih 12 kursi. Tetapi, Golkar yang identik sebagai partai penguasa saat itu juga mengalami penurunan (1 kursi), dari 17 menjadi 16 kursi. Di pemilu ini PDI mampu mendulang perolehan kursi lebih besar naik 5 kursi dari sebelumnya, dari 3 menjadi 8 kursi.
Namun, seperti diuraikan di atas, konferensi PDI di Medan tahun 1996, menghasilkan kepemimpinan partai jatuh ke tangan Soeryadi, yang akhirnya memunculkan fenomena Mega-Bintang di Pemilu 1997. Perolehan suara PDI merosot, dan berdampak naiknya suara PPP di berbagai kabupaten/kota di Kalsel.
Politik memang dinamis dan terkadang penuh konflik. Namun sebagai sebuah bangsa yang besar seyogyanya setiap konflik harus diselesaikan untuk kepentingan bangsa yang lebih besar pula.(jejakrekam)
Penulis adalah Aktivis Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Kalsel
Mantan Komisioner KPU Barito Kuala

Belajar dari Tragedi Jumat Kelabu, Ketika Polarisasi Masyarakat Makin Menggebu

JUMAT Kelabu atau Jumat Membara, 23 Mei 1997 atau 22 tahun silam, wajah Kota Banjarmasin sempat bermuram durja. Di masa kampanye terakhir Partai Golkar di era Pemilu 1997 dengan sistem tiga partai, benar-benar menjadi petaka bagi ibukota Provinsi Kalimantan Selatan.
BANGUNAN menjulang tinggi dibakar massa tak terkendali. Penjarahan di mana-mana. Bangunan tempat ibadah dirusak. Hingga suasana mencekam di Banjarmasin berlangsung sejak siang hingga tengah malam. Aparat keamanan pun memberlakukan jam malam, mengantisipasi para perusuh berbuat onar.
Kerusuhan 23 Mei 1997, benar-benar diingat warga Banjarmasin sebagai petaka politik yang tak akan pernah terlupakan. Termasuk, Budi ‘Dayak’ Kurniawan, mantan wartawan Banjarmasin Post yang kini aktif di dunia pergerakan dan sosial kemasyarakatan ini menilai tragedi Jumat Kelabu adalah pangkal dari akumulasi kemuakan masyarakat atas pemerintahan otoriter Orde Baru.
“Masa itu, Golkar merupakan partai pemerintah yang amat berkuasa. Saat kejadian, Jumat 23 Mei 1997 masih menjadi wartawan Banjarmasin Post desk politik dan keamanan. Karena partai hanya tiga, PDI, PPP dan Golkar, saya kebagian jatah meliput kampanye PDI,” kata Budi Kurniawan kepada jejakrekam.comsaat jadi narasumber diskusi di Taman Budaya Provinsi Kalsel, Kamis (23/5/2019) dinihari. 
Wartawan senior ini bercerita pada Kamis, 22 Mei 1997, sehari sebelum kejadian kerusuhan massal, PPP menggelar kampanye terbuka terakhir. Sehari setelahnya menjadi jatah Partai Golkar, pada Jumat 23 Mei 1997. Budi ingat betul, ketika tiga wartawan diarahkan meliput kegiatan kampanye beringin di Lapangan Kamboja, ternyata ada pergerakan massa berkaos hijau PPP menuju ke tempat itu.
“Saat itu, sentiment di lapangan memang sangat terasa. Masa datang tiba-tba datang dari kantong pemilih PPP di Banjarmasin. Dulu, massa pendukung PPP itu ada di Jalan Jati (Jalan Pangeran Antasari), Kampung Melayu, Kampung Gedang, Teluk Tiram dan lainnya yang secara historis dan ideologis merupakan basis massa PPP,” tutur Budi.
Berawal dari pergerakan massa usai shalat Jumat dari Masjid Noor Banjarmasin, ratusan hingga ribuan orang datang spontan tanpa terorganisir rapi karena dipicu kemuakan terhadap Golkar yang merupakan representasi rezim pemerintahan otoriter Orde Baru.
“Saat kampanye terakhir di Lapangan Kamboja yang juga dihadiri tokoh-tokoh nasional, terjadi chaos dan menyebar di mana-mana. Bentrok antar pendukung partai dan kekerasan terjadi di mana-mana,” kenang Budi.
Pegiat jurnalistik kampus ini menyaksikan dengan mata kepala sendiri kekerasan terjadi dimana-mana. Termasuk, ketika massa mengepung kantor DPD Partai Golkar Kalsel di Jalan Lambung Mangkurat. Hingga penjarahan pusat perbelanjaan seperti Lima Cahaya Store, Plaza Junjung Buih di Hotel Kalimantan, Mitra Plaza, serta tempat ibadah yang jadi sasaran amuk massa.
“Situasi sangat mencekam pada Jumat, 23 Mei 1999 itu. Massa memang terpusat di Bundaran Hotel Kalimantan (kini Hotel A), listrik mati total. Kami wartawan saja kesulitan menulis berita. Sampai akhirnya, koran Banjarmasin Post tidak bisa terbit. Artikel kami akhirnya diterbitkan di headline koran Kompas sebagai induk media Banjarmasin Post dan terjadi selama berhari-hari,” beber Budi. 
Ketika itu, menurut Budi, suasana penuh horor dengan bangunan bekas bangunan terbakar dan hancur, hingga mayat bertebaran dimana-mana terutama di daerah titik kerusuhan terjadi.
“Situasi dapat terkendali menginjak tengah malam, ketika ada penangkapan yang diduga provokator kerusuhan. Pada Sabtu, 24 Mei 1997, kota memang sudah bisa kendalikan aparat. Di sisi lain mayat-mayat bergelimpangan di kantong-kantong kerusuhan seperti Mitra Plaza,” urai Budi.
Ia menyebut setelah tragedi Jumat Kelabu, pejabat dari ibukota berdatangan ke Banjarmasin, seperti Sekjen Komnas HAM Baharuddin Lopa, hingga tim investigasi yang dibentuk tokoh Kontras, Munir. Hanya saja, hasilnya nihil.
“Apa sebenarnya yang terjadi dan bagaimana nasib para korban belum bisa dijawab. Saat itu, akhirnya menjadi mitos dan suara sumir di tengah masyarakat,” tegas alumnus FISIP ULM ini.
Budi menegaskan tragedi Jumat Kelabu bukan kekerasan etnis seperti yang berkembang di kemudian hari. Meski diakui Budi, kantong-kantong pendukung PPP berasal dari etnis Madura.
“Ini bedanya dengan Jakarta, jelang masa reformasi 1998. Tidak ada toko milik keturunan Tionghoa yang dijarah, dan rumah ibadah yang dibakar massa. Jadi, tidak betul, peristiwa Jumat Kelabu merupakan peristiwa kekerasan etnis dan agama,” imbuhnya. 
Aktivis PMII Kota Banjarmasin, Khairul Umam berharap peristiwa Jumat Kelabu, 23 Mei 1997 harus jadi pembelajaran berharga dalam merekat persatuan dan kedamaian di tengah anak bangsa.
“Di era demokrasi kekininan ini perlu rekonsiliasi pasca Pemilu 2019. Sebab, situasi sekarang sangat memanas akibat polarisasi yang terjadi di tengah masyarakat. Tentunya, kita tak ingin tragedi Jumat Kelabu itu terulang lagi,” ucap Khairul Umam.
Menurut dia, demokrasi dan politik harusnya diwarnai suasana yang adem dan penuh dialetika, sehingga demokrasi menjadi milik bersama bukan segelintir orang.
Re-Post by MigoBerita / Jum'at/24052019/10.13Wita/Bjm
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya