» » » » » » » » Kontroversi Revisi UUD KPK biar kita Paham dari berbagai sudut pandang dan Jangan Mau dipecah-belah..!!! (Video)

Kontroversi Revisi UUD KPK biar kita Paham dari berbagai sudut pandang dan Jangan Mau dipecah-belah..!!! (Video)

Penulis By on Kamis, 19 September 2019 | No comments

Tolak KPK Dilemahkan, Ini Tujuh Tuntutan Aliansi BEM se-Kalsel

DI TENGAH konsentrasi negara menghadapi bencana kabut asap di berbagai daerah, utamanya Sumatera dan Kalimantan, kabar duka dinilai mahasiswa justru tengah mengancam eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
MASSA mahasiswa berasal dari lintas kampus dan organisasi kemahasiswaan tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Kalsel pun turun ke jalan.
Mereka  menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Kalsel, Jalan Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kamis (19/9/2019). Mereka pun menyentil upaya pemerintahan dalam penanganan bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla), ironisnya justru KPK yang dipadamkan.
Sejumlah barang simbolik aksi pun dibawa ratusan mahasiswa, seperti replika keranda mayat, sekantong bunga setaman, beberapa lembar uang palsu dan tikus kecil (mecit) dalam kandang kecil.
Tindakan DPR RI yang telah mengesahkan RUU KPK dan disetujui perwakilan Presiden Joko Widodo melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly akan menjadi loncong kematian bagi lembaga anti rasuah yang menjadi harapan besar publik dalam pemberantasan korupsi yang kronis di negeri ini.


Koordinator Aliansi BEM se-Kalsel, Ghulam Reza pun membacakan tujuh tuntutan mahasiswa Kalsel yang menolak revisi UU KPK. Tujuh tuntutan itu berisi RUU KPK yang disahkan DPR RI merupakan upaya mendelegitimasi atau melemahkan beberapa wewenang dasar yang dimiliki KPK.
“Kami mengajak seluruh elemen masyarakat bersatu padu menjaga independensi KPK. Kami menolak segala upaya untuk melemahkannya dengan mempersempit ruang gerak pemberantasan korupsi di Indonesia,” cetus Ghulam Reza.
Pentolan BEM se-Kalsel ini juga menegaskan mahasiswa menolak keras terpilihnya pimpinan KPK yang memiliki rekam jejak buruk. “Kami menuntut Presiden Jokowi merealisaikan janji politiknya dalam Pilpres 2014 dan 2019, demi mewujudkan negara yang kaut dalam pemberantasan korupsi,” katanya.
Mahasiswa se-Kalsel pun menegaskan kecewa dengan DPR RI yang justru tak mau mendengarkan gelombang aspirasi masyarakat Indonesia atas penolakan revisi UU KPK.
“Kami nyatakan mosi tidak percaya dengan siapa pun yang terlibat dalam pengesahan RUU KPK. Kami mendsak agar DPR RI segera membatalkan RUU KPK melalui legislatif review,” cetus Ghulam.

Sumber Berita :  http://jejakrekam.com/2019/09/19/tolak-kpk-dilemahkan-ini-tujuh-tuntutan-aliansi-bem-se-kalsel/

Angkat Keranda Mayat, Unjuk Rasa BEM se-Kalsel Nyaris Ricuh

NASIB Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti di ujung maut. Massa dari Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Kalimantan Selatan pun langsung turun ke jalan, Kamis (19/9/2019).  Mereka memprotes sikap DPR RI dan pemerintahan Joko Widodo yang terkesan tak pro pemberantasan korupsi.
RATUSAN mahasiswa dengan mengenakan almamater nyaris ricuh dengan aparat kepolisian yang berjaga-jaga di halaman DPRD Kalsel. Aksi saling dorong pun terjadi. Itu ketika mahasiswa merangsek masuk diadang barikade aparat Polrestas Banjarmasin ke halaman Rumah Banjar, Gedung DPRD Kalsel, Jalan Lambung Mangkurat, Banjarmasin.
Sempat terjadi cekcok mulut dan bersitegang dengan aparat kepolisian, akhirnya reda ketika Wakil Ketua DPRD Kalsel sementara, Syaripuddin bersama sejumlah anggota dewan lainnya datang menemui massa.
BACA : Koalisi Masyarakat Sipil Harus Bergerak, KPK Sudah di Ujung Tanduk
Sebagai simbol KPK hendak dimatikan, Aliansi BEM se-Kalsel yang menolak revisi UU lembaga anti rasuah dalam aksinya mengusung keranda mayat dan replika mobil ambulance. Mereka juga membawa beberapa ekor tikus putih representasi para koruptor serta spanduk bertulis ‘Save KPK’, ‘Jangan Bunuh KPK’, ‘Hutan yang Terbakar, yang Dipadamkan KPK’.

Ada tujuh poin tuntutan Aliansi BEM se-Kalsel dalam aksinya. Tujuh tuntutan ini dibacakan Koordinator Aliansi BEM se-Kalsel Ghulam Reza dengan tegas menolak revisi UU KPK yang telah disahkan DPR RI dalam rapat paripurna di Jakarta.
Wakil Ketua DPRD Kalsel sementara, Syaripuddin pun setuju dengan tujuh tuntutan mahasiswa. Menurut dia, hal itu menggambarkan mahasiswa masih peduli dengan keberadaan KPK.
“Yang pasti, kami pun sejalan dengan tuntutan mahasiswa untuk penguatan KPK. Tujuh tuntutan ini akan kami sampaikan ke pemerintah pusat. Sekali lagi, kita sepakat tak ingin ada pelemahan terhadap KPK,” ucap Sekretaris DPD PDIP Kalsel ini.
Syaripuddin pun mengajak agar semua pihak, terkhusus mahasiswa bisa mengawal dan memantau perkembangan pembahasan RUU KPK di DPR RI. “Nanti, kalau terbukti melemahkan KPK, masih ada jalan untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Nanti bisa diamati pasal per pasal yang ada di RUU KPK,” kata politisi PDIP ini.

Sumber Berita : http://jejakrekam.com/2019/09/19/angkat-keranda-mayat-unjuk-rasa-bem-se-kalsel-nyaris-ricuh/

Koalisi Masyarakat Sipil Harus Bergerak, KPK Sudah di Ujung Tanduk

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah berada di ujung tanduk. Terancam dari sejumlah pihak; DPR RI dan pemerintahan untuk melemahkan lembaga anti rasuah yang dibentuk di era Presiden Megawati Soekarnoputeri ini.
PAKAR hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Dr Denny Indrayana mengungkapkan upaya pelemahan KPK menjadi sinyal buruk agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Terlebih di tahun 2020 mendatang berbagai daerah di tanah air bakal menggelar pilkada serentak.
“Apalagi yang berat adalah korupsi di bidang kepemiluan. Nah, sebenarnya keberadaan KPK yang kuat dan efektif diperlukan,” beber Denny Indrayana kepada awak media, usai memberikan kuliah umum di FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin, Sabtu (14/9/2019).
Advokat dan akademisi kelahiran Kotabaru  mengatakan agenda pemberantasan korupsi menghadapi jalan berliku. Denny mensinyalir beragam upaya melemahkan KPK, mulai dari pemilihan Pansel Capim KPK yang bermasalah, terpilihnya figur kontroversi menjadi pimpinan lembaga anti rasuah ini hingga RUU KPK yang tengah digodok DPR.
“KPK berada di ujung tanduk, kalau RUU (KPK) ini disahkan sama saja membunuh KPK, pimpinan KPK yang baru masih dilihat problematik, pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020. Jadi, menurut saya akan menghadapi tantangan yang lebih besar di tingkat menjaga kebersihan dari praktek-praktek korupsi, ” kata mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM era Presiden SBY ini.
Eks Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM ini menyatakan masyarkat sipil perlu merapatkan barisan demi menyalamatkan agenda pemberantasan korupsi.
“Masyarakat sipil terus konsolidasi dan mengkritisi (pemerintah), karena KPK akhir-akhir ini diserang dari berbagai penjuru, mulai RUU KPK, RUU KUHP, UU pemasyarakatan hingga seleksi pimpinan KPK yang sarat masalah, tidak ada pilihan lain masyarkat sipil terus merapatkan barisan tanpa memandang pilihan politik selama pilpres lalu,” cetus Denny.
Diwartakan sebelumnya gelombang penolakan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 30 Tahun 2002 yang tengah digodok DPR RI, menggelinding bak bola salju semakin hari makin membesar. Tak hanya datang kalangan akademisi Universitas Lambung Mangkurat, para jurnalis dari berbagai media di Banjarmasin juga turut menolak pemandulan lembaga anti rasuah.
Pakar Hukum Tata Negara UGM Yogyakarta Prof Denny Indrayana (Pendukung Prabowo calon Presiden RI 2019-2024)
Sumber Berita : http://jejakrekam.com/2019/09/15/koalisi-masyarakat-sipil-harus-bergerak-kpk-sudah-di-ujung-tanduk/

Akademisi, Mahasiswa dan Jurnalis di Banjarmasin Tolak Revisi UU KPK

GELOMBANG penolakan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 30 Tahun 2002 yang tengah digodok DPR RI, makin membesar. Tak hanya kalangan akademisi Universitas Lambung Mangkurat, para jurnalis dari berbagai media di Banjarmasin juga turut menolak pemandulan lembaga anti rasuah.
AKSI penolakan terhadap revisi UU KPK yang termuat 21 pasal dalam draf RUU KPK, seperti status pegawai KPK dijadikan ASN, masalah penyadapan, penggeledahan dan penyitaan harus disetujui Dewan Pengawas. Hingga dalam proses penuntutan berkoordinasi dengan Kejagung RI, serta pengubahan kewenangan dalam pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan lainnya.
Tenaga Ahli Strategi Nasional KPK RI, Hayidrali secara tegas menolak revisi UU KPK. Ia berharap Presiden Joko Widodo maupun DPR untuk benar-benar mempertimbangkan secara matang karena poin-poin penting dalam revisi UU KPK itu akan mengganggu independensi lembaga anti rasuah itu.
“Untuk itu, para akademisi, mahasiswa dan jurnalis di Banjarmasin agar terus memberi dukungan kepada KPK dan bersama menolak adanya revisi UU KPK. Sebab, revisi dalam RUU KPK itu sangat kurang pas dalam semangat pemberantasan korupsi dan gerakan anti korupsi,” tuturnya.
Bagi dia, mekanisme pengawasan internal sudah terbangun dalam kelembagaan KPK, sehingga tak perlu jika DPR untuk ikut andil sebagai pengawas, karena sangat berpengaruh dalam upaya pelemahanan KPK.
“Ini merupakan amputasi habis kewenangan yang dilakukan KPK. Contohnya lagi, seperti penyelidikan harus diganti dengan aparat hukum lain. Sementara KPK memiliki penyelidik khusus. Jadi saya rasa tidak perlu diperbaiki,” ucapnya
Mengenai LHKPN, Hayidrali menyebut hal itu merupakan salah satu upaya pencegahan korupsi. Jika dihapuskan, sama saja menghilangkan pencegahan korupsi.
Kemudian, beber dia, dijadikannya pegawai KPK menjadi ASN tentunya sedikit aneh. Sebab, KPK merupakan lembaga independen yang terbebas dari intervensi pihak mana pun.
“Ketika dijadikan ASN, maka yang terganggu adalah independensi bakal tergerus, sehingga kita menolak,” pungkasnya.
Usai dialog dengan akademisi, pegiat anti korupsi, mahasiswa dan jurnalis di Season Cafe Banjarmasin, Jumat (12/9/2019) malam, dilanjutkan dengan penandatangan kain spanduk simbol penolakan rencana revisi UU KPK dilakukan DPR RI.
Pimred Radar Banjarmasin, Totok Fakhruddin mengatakan spanduk yang berisi penolakan dan tandatangan dari kalangan akademisi, mahasiswa, pegiat anti korupsi serta jurnalis itu akan dikirim ke Gedung KPK di Jakarta.
“Ini bentuk dukungan masyarakat Kalsel, khususnya kalangan akademisi, jurnalis, mahasiswa dan pegiat anti korupsi menolak upaya pelemahan terhadap KPK melalui draf RUU KPK,” tandasnya.

Sumber Berita : http://jejakrekam.com/2019/09/13/akademisi-mahasiswa-dan-jurnalis-di-banjarmasin-tolak-revisi-uu-kpk/

Kekhawatiran Penggiat Antikorupsi Terkait Masa Depan KPK

KALANGAN penggiat antikorupsi khawatir akan masa depan pemberantasan korupsi. Sejumlah peristiwa terjadi, misalnya penyiraman air keras penyidik KPK Novel Baswedan, panitia seleksi pimpinan KPK yang dianggap bermasalah, hingga revisi UU KPK yang dinilai melemahkan lembaga anti rasuah ini.
KEKHAWATIRAN ini terungkap dalam diskusi “Masa Depan Pemberantasan Korupsi di Indonesia” yang digelar Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance (Parang) ULM di Kampung buku, Jumat (6/9/2019).
Nanang Farid Syam dari Pembinaan Jaringan dan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK mengungkapkan, lembaga anti rasuah bernasib di ujung tanduk, sebab DPR RI bakal mengesahkan UU KPK, yang diyakini bakal mengkebiri KPK.
“Dampaknya bukan hanya menimpa KPK tetapi juga agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Belum lagi kasus yang menimpa Novel Baswedan. Bayangkan, dalam dua tahun kasus ini berjalan tidak pernah Bang Novel sekali pun dibesuk presiden,” jelas pendiri Wadah Pegawai (WP) KPK ini.
Ia menyebut KPK semakin dilemahkan, sebab DPR diam-diam mempersiapkan revisi UU Nomor 30 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK), hanya dalam tempo 5-10 menit sudah disetujui semua fraksi di DPR RI. “Hari ini kita memasuki masa kelam, bukan hanya agenda pemberantasan korupsi tapi juga demokrasi kita,” kata Nanang.
Ia menduga KPK diupayakan untuk dilemahkan karena mengancam para oligarki di republik ini. “Ketika KPK sudah menyentuh dan mengancam kepentingan para oligarki, apalagi yang dilakukan selain harus dibunuh pelan-pelan?” tegasnya.
Ketua Parang ULM Ahmad Fikri Hadin menyebut mayoritas rakyat Indonesia termasuh di Kalsel menaruh harapan besar kepada KPK dalam agenda pemberantasan korupsi di tanah air.
“Kita harus terus menggaungkan bahwa dalam agenda pemberantasan korupsi, kita perlu KPK dan harus diperkuat karena yang dilawan adalah koruptor yang memiliki kuasa dan kekuatan yang luar biasa,” tegas Fikri.
Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono menilai tindakan rasuah dan perusakan lingkungan seperti telunjuk dan jari tengah, teramat dekat dan saling melengkapi.
“Ketika bertemu dengan KPK, Walhi Kalsel meminta agar KPK jangan hanya fokus terhadap pemberantasan korupsi di sektor APBN/APBD tetapi juga harus menyentuh korupsi di sektor sumber daya alam, sebab dampaknya terhadap masyarakat juga luas,” kata dia.
Ia mempertanyakan sikap dari legislator asal kalsel di DPR RI terhadap revisi UU KPK yang baru. “Kita tidak ingin revisi UU KPK untuk menguatkan bukan malah sebaliknya malah melemahkan KPK itu sendiri. Kita ingin mendengar komitmen pemberantasan korupsi dari legislator asal Kalsel, atau bisa saja mereka bagian dari pelemahan KPK,” tutur mantan aktivis mahasiswa ULM ini.
Presiden Mahasiswa UIN Antasari Muhammad Rizali menilai sudah ada indikasi korupsi merembet ke ranah dunia mahasiswa. Hal ini dibuktikan dengan ketua organisasi kemahasiswaan yang diduga menyunat anggaran.
“Belum lagi partai politik melalui sayap partai mulai menyasar ke organisasi kemahasiswaan. Ini sangat riskan sebab sifat pragmatisme politik akan ditularkan ke mahasiswa yang diharapkan bisa menjadi agen perubahan,” kata Rizali.

Sumber Berita : http://jejakrekam.com/2019/09/06/kekhawatiran-penggiat-antikorupsi-terkait-masa-depan-kpk/

Kecam Pelemahan Pemberantasan Korupsi, AJI Minta Presiden Tolak Revisi UU KPK

SELURUH fraksi DPR RI dalam sidang paripurna menyepakati usulan revisi UU Nomor 30 Tahun 2020 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (5/9/2019) lalu. Usulan ini mengejutkan, karena revisi UU KPK itu berpotensi bisa melemahkan komisi anti rasuah dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
KURANG lebih ada 21 pasal dalam draft RUU KPK yang punya semangat mengebiri lembaga anti-korupsi ini. Antara lain soal status pegawai KPK yang dijadikan aparatur sipil negara (ASN), penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang harus disetujui Dewan Pengawas. Kemudian, tak dibolehkannya KPK memiliki penyidik independen, penuntutan yang harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung hingga pengubahan kewenangan dalam mengelola Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Pegawai KPK, kalau RUU ini disahkan, akan menjadi pegawai ASN Hal tersebut akan menghilangkan independensi pegawai KPK dalam penanganan perkara karena soal kenaikan pangkat, pengawasan sampai mutasi akan dilakukan oleh kementerian terkait.
Hal ini tidak sesuai dengan prinsip independensi KPK seperti semangat saat lembaga ini didirikan pasca-Reformasi 1999 lalu. Dalam RUU itu juga diatur soal penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang harus mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas.
Ini akan mengebiri salah satu kewenangan penuh KPK yang selama ini cukup efektif dalam memerangi korupsi melalui operasi tangkap tangan (OTT) terhadap politisi, pejabat dan pengusaha yang terlibat korupsi.
Dengan ketentuan ini, maka KPK akan sangat tergantung kepada Dewan Pengawas, lembaga yang orang-orangnya juga akan dipilih DPR. RUU itu juga akan membatasi pencarian sumber daya penyelidik dan penyidik KPK hanya dari Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Ini akan menghilangkan peluang KPK mencari penyelidik independen, yang selama ini terbukti memberi kontribusi penting bagi suksesnya kinerja KPK.
Ketentuan ini juga bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bahwa KPK dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.
Kewenangan penuh KPK untuk melakukan penuntutan, juga akan dibatasi. Dalam RUU itu diatur bahwa KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan, alias tak lagi bisa melakukan sendiri seperti selama ini.
Kewenangan KPK untuk menangani LHKPN juga akan dicabut. Nantinya LHKPN itu akan dilakukan di masing-masing instansi. Kewenangan KPK direduksi hanya untuk kooordinasi dan supervisi saja.
Sebelum adanya rencana revisi UU KPK ini, juga berlangsung seleksi calon pimpinan KPK. Dari 10 calon yang disampaikan Presiden Joko Widodo ke DPR, ada sejumlah calon yang memiliki rekam jejak kurang baik selama bertugas di KPK.
Sedangkan calon-calon yang punya rekam jejak baik, justru banyak yang tidak lolos. Kini mereka akan mengikuti uji kepatutan dan kelayakan sebelum akhirnya dipilih berdasarkan pemungutan suara.
Dua fakta ini sangat merisaukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), organisasi wartawan yang berdiri 7 Agustus 1994, yang kini beranggotakan 1.800 jurnalis yang tersebar di 38 kota.
Konstitusi AJI, tepatnya pasal 10 AD ART AJI, dengan jelas menyatakan bahwa salah satu mandat organisasi ini adalah terlibat dalam pemberantasan korupsi, ketidakadilan, dan kemiskinan.
Melihat perkembangan soal pembahasan calon pimpinan KPK dan adanya revisi UU KPK itu, dalam siaran pers yang diterima jejakrekam.com, Rabu (11/9/2019), Ketua Umum AJI Abdul Manan dan Sekjen Revolusi Riza menyatakan sikap.
“Mendesak Presiden Joko Widodo tidak ikut dalam upaya DPR yang ingin mengkebiri dan memangkas kewenangan KPK melalui revisi Undang Undang KPK. Presiden bisa melakukannya dengan menolak perubahan pasal yang bisa memangkas dan mengebiri KPK,” tegas Ketua Umum AJI Abdul Manan.
Dalam hal ini, Presiden Jokowi harus menunjukkan sikap jelas dalam semangat pemberantasan korupsi agar kelak tak dikenal dalam sejarah sebagai presiden yang ikut menghancurkan KPK.
AJI juga mengecam sikap DPR yang memiliki inisiatif merevisi UU KPK dengan memangkas sejumlah kewenangan lembaga anti korupsi itu. Sebab, sejumlah kewenangan KPK itu selama ini terbukti cukup efektif untuk melakukan pemberantasan korupsi.
“Langkah DPR ini lebih menunjukkan sikap melawan balik lembaga ini karena adanya sejumlah politisi yang ditangkap KPK. Ini kian menunjukkan bahwa DPR tak menunjukkan komitmen yang diamanatkan gerakan reformasi 1998, yang salah satunya adalah memerangi korupsi,” tulis Ketua Umum AJI Abdul Manan dalam siaran persnya.
Kemudian, AJI mendesak para politisi di DPR untuk menjalankan fungsinya dalam melakukan uji kepatutan dan kelayakan calon pimpinan KPK dengan menjadikan rekam jejak serta komitmen anti-korupsi sang calon sebagai tolok ukur dalam menentukan pilihan.
“DPR perlu menunjukkan komitmennya kepada orang-oang yang memilihnya dengan cara tidak mendukung calon-calon yang memiliki rekam jejak tidak baik atau komitmennya diragukan dalam soal pemberantasan korupsi,” cetus Abdul Manan.
Untuk itu, Ketua Umum AJI mengajak jurnalis dan media mengawasi secara ketat seleksi calon pimpinan KPK yang berlangsung di DPR, untuk memastikan bahwa calon yang dipilih merupakan calon yang memiliki rekam jejak baik dan punya semangat jelas memerangi korupsi.
“Selain soal calon pimpinan, pengawalan secara kritis juga harus dilakukan dalam proses revisi UU KPK di DPR,” imbuhnya.

Sumber Berita : http://jejakrekam.com/2019/09/11/kecam-pelemahan-pemberantasan-korupsi-aji-minta-presiden-tolak-revisi-uu-kpk/

Dosen Universitas Lambung Mangkurat Tolak Revisi UU KPK

GELOMBANG penolakan terhadap rencana revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus membesar. Para akademisi perguruan tinggi di Indonesia pun kompak menolak upaya DPR dan pemerintah untuk melemahkan eksistensi komisi anti rasuah yang selama ini meraih kepercayaan publik tinggi itu.
“RAKYAT Indonesia sangat dikejutkan dengan sidang paripurna DPR RI yang menyetujui usulan revisi UU KPK. Proses pembahasan RUU ini tanpa mengindahkan aspek transparansi, aspirasi dan partisipasi publik,” ucap penggagas petisi penolakan revisi UU KPK dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Ahmad Fikri Hadin kepada jejakrekam.com di Banjarmasin, Senin (9/9/2019).
Senada dengan para akademisi, aktivis anti korupsi dan elemen masyarakat lainnya di Indonesia, Fikri menilai isi revisi RUU KPK yang tengah digodok DPR RI itu justru melemahkan keberadaan lembaga anti rasuah itu.
“Padahal KPK adalah amanah reformasi dalam upaya melawan korupsi. Penanggulangan korupsi adalah amanah reformasi sekaligus amanah konstitusi,” cetus ahli tata negara Fakultas Hukum ULM ini.
Menurut Fikri, mengingat tujuan kemerdekaan RI tidak akan tercapai selama korupsi marak di Indonesia. “Makanya, kami dosen Universitas Lambung Mangkurat  yang bertanda tangan di bawah ini menentang setiap upaya pelemahan penanggulangan korupsi,” ucapnya. Selain Fikri, sedikitnya ada 14 dosen dari kampus tertua dan ternama di Kalimantan yang meneken petisi penolakan itu. Yakni, Reja Fahlevi (FKIP ULM), Rifqi Novriyandana (FEB ULM), M Erfa Redhani (FH ULM), Daddy Fahmanadie (FH ULM), Hereyanto (FISIP ULM), Mispansyah (FH ULM), Siti Hairani H (FISIP ULM), Darul Huda Mustaqim (FH ULM), Astinana Yuliarti (FISIP ULM), Muhammad Budi Zakia Sani (FKIP ULM), Tiya Erniyati (FH ULM), Trisylvana Azwari (FISIP ULM) dan Arif Rahman Hakim (FISIP ULM) serta Agung Waskito, dosen Fakultas Kedokteran ULM.
Fikri memastikan aspirasi penolakan terhadap rencana revisi UU KPK di kalangan akademisi, khususnya di Universitas Lambung Mangkurat akan terus menguat, sehingga DPR RI membatalkan upaya pelemahan lembaga anti rasuah itu melalui produk hukum parlemen dan pemerintah.

Sumber Berita : http://jejakrekam.com/2019/09/09/dosen-universitas-lambung-mangkurat-tolak-revisi-uu-kpk/

KISAH KASIH ANTARA AB, NB & BW

DennySiregar.id, Jakarta - Saya itu senang menganalisa sesuatu berdasarkan kepingan-kepingan informasi kemudian menyusunnya menjadi sebuah gambar besar.
Kesenangan ini membuahkan sebuah analisa yang kadang berguna untuk melihat pola apa yang sedang dipakai oleh sebuah kelompok. Dan lumayan berhasil ketika menggambarkan "niat" kelompok demo saat 411 dan 212. Tulisan saya bisa selangkah didepan gerakan mereka.
Itulah kenapa mereka sangat marah ketika niatnya terbongkar. Dan yang mereka lakukan juga polanya sama, menuduh buzzer, penjilat, dibayar istana dan segala macam.
Kadang, bahkan banyak teman juga termakan pembunuhan karakter ala mereka. Sedih memang. But the show must go on. Urusan saya adalah bagaimana membaui tempat persembunyian kelompok radikal ini, bukan melayani debat yang tidak berujung pangkal.
Masalah KPK ini sudah lama saya dengar dari banyak informasi baik dari internal maupun dari pengamat luar. Tapi saya menahan diri, tidak semua informasi bisa menjadi kepingan berharga.
Alarm saya kemudian berbunyi saat melihat seorang BW menjadi pembela saat di MK. Bukankah dia dulu ada di KPK? Bukankah dia juga sekarang ada di tim seorang pejabat DKI ?
Dari situlah saya menelusuri kepingan2 lain supaya analisa ini menjadi sebuah kesimpulan yang kuat.
Akhirnya saya menemukan fakta, bahwa KPK yang menurut informasi akurat dikomandani oleh NB yang sudah berada disana 12 tahun lamanya, sama sekali tidak pernah curiga dengan apa yang dilakukan sepupunya AB, selaku pejabat daerah.
Bahkan ia mendapat 3 penghargaan dari KPK.
Padahal aroma kolusi penerbitan IMB reklamasi sangat kuat sekali. Itu proyek ribuan trilyun rupiah, yang kata BTP, retribusi tambahannya kalau 15 persen saja, DKI bisa dapat lebih dari 100 triliun rupiah.
Tapi KPK seolah tutup mata dan tutup telinga. Malah sibuk OTT ikan-ikan kecil dengan tangkapan ratusan juta rupiah, dengan drama dan publikasi yang sungguh luar biasa.
Saya akhirnya bisa mengambil benang merah, alasan kenapa BW ada disana.
Sebagai orang yang pernah ada di dalam KPK, BW sangat paham kinerja KPK. Ini sangat berguna jika ia menjadi tim pejabat daerah. Ia bertugas "mengamankan" sistem proyek supaya aman dari jeratan KPK.
Maksud "aman" disini bisa saja bukan bagian dari pencegahan, tetapi juga supaya tidak terendus.
AB memang punya ambisi pribadi untuk menjadi RI1. Itulah kenapa dia butuh mesin-mesin yg bekerja untuk membangun jalannya ke depan. Dan mesin apalagi yang cocok jika itu bukan KPK ?
Kenapa KPK menjadi mesin yang cocok ?
Ya, pastilah. KPK adalah lembaga superbody, jadi tidak punya pengawas dan bebas menyadap siapapun yang mrk suka. Mereka independen dan sudah terlabeli "suci". Membongkar kebusukan mereka harus rela dilabeli "pro koruptor".
Dengan semua fasilitas itu, paling enak menembak musuh-musuh AB kelak, sekaligus mengamankan semua perangkat untuk kemudahan AB bergerak.
Siapapun calon kelak yang berhadapan dgn AB, sadap, dan tembak lewat opini di media bahwa dia korupsi. Selesai sudah. Berguguran satu persatu dan AB melenggang dgn mudah.
Sudah mulai paham dan merasa ngeri ?
Itulah kenapa penting menguasai KPK sekarang yang sudah dikuasai demi kepentingan. Marwah KPK sebagai pemberantas korupsi harus kembali, bukan menjadi agen politik yang disalahgunakan.
Dan saya harus maklum dgn teman2 yg termakan propaganda bela KPK. Karena selama ini di benak mereka KPK adalah "pahlawan" dan harus diselamatkan.
Inilah keberhasilan org2 di dalam KPK membangun citra. Mirip orang yg masih percaya bahwa PKI masih menjadi momok yang menakutkan di era sekarang ini.
Seandainya saja, banyak dari kita mau melihat lebih luas sebuah masalah, tentu perdebatan dukung dan tolak revisi UU tidak akan terjadi.
Sejak lama sudah banyak orang yg mengingatkan bahayanya KPK jika superbody, termasuk salah satu perumus UU KPK, almarhum Adnan Buyung Nasution.
Jadi paham kan, kenapa orang-orang di dalam KPK ngamuk ketika disebut sebagai "Taliban" ? Itu pukulan telak, ketika cadar mereka terbongkar bahwa ada agenda besar yg mereka jalankan dgn memanfaatkan mesin yang ada. Wuih, habis karakter saya dibunuh mereka lewat media.
Tapi sekali lagi, the show must go on..
Sambil seruput kopi.
Anies Baswedan dan Novel Baswedan Anies Baswedan dan Novel Baswedan
Sumber Opini : https://www.dennysiregar.id/2019/09/kisah-kasih-antara-ab-nb-bw.html

TEMPO PINGSAN DIHAJAR NETIZEN +62

DennySiregar.id, Jakarta - ”Ayo kita kasih pelajaran Tempo!!". Begitu tulisan di sebuah status di media sosial. Tulisan ini pun kemudian menjadi viral di grup-grup whatsapp, bagai sebuah komando pergerakan.
Pendukung Jokowi yang moderat yang biasanya hanya diam dan membaca, mendadak menggerakkan jempol mereka Google Playstore, lalu masuk ke aplikasi Tempo.
Mereka lalu ramai-ramai menguninstall aplikasi Tempo dan memberi bintang 1 pada penilaiannya. Belum puas, mereka komen sambil mengutuk ketidak-sopanan Tempo pada Presiden RI.
Hasilnya? Di Google Playstore dalam waktu 3 hari saja, aplikasi Tempo yang mendapat bintang 4,3 langsung drop ke angka 1,1.
Dahsyat!
Di Iphone sendiri, Tempo sekarang hanya mendapat bintang 1,2.
Situasi ini mirip yang terjadi pada perusahaan belanja online Bukalapak, yang diserbu oleh pendukung Jokowi saat menjelang Pilpres karena dianggap menghina. Dan kabarnya, Bukalapak sampai goyang dan investornya marah-marah karena brand mahal perusahaan yang sudah dikucuri dana triliunan rupiah, menjadi negatif.
Tempo sendiri tidak merasa salah dengan memasang cover majalah bergambar Jokowi dengan bayangan Pinokio berhidung panjang. Maksud Tempo menyindir janji Jokowi karena dianggap ingkar atas pemberantasan korupsi.
Dan pandangan Tempo ini juga diamini Dewan Pers, yang menganggap itu adalah bagian dari kebebasan pers dan tidak menghina.
Merasa tidak mungkin membawa kasus ini ke ranah hukum, gerakan rakyat pun dibangun untuk menghajar "kekurang-ajaran" Tempo.
Gerakan ini spontan, sebagai puncak kejengkelan karena mendengar kabar buruk sejak lama bahwa Tempo mendapat keuntungan dari hubungannya dengan internal KPK untuk melindungi oknum di dalamnya.
Dan Tempo seperti tidak menutupi kedekatan atas dasar kepentingan itu. Majalah itu seperti menjadi bumper bagi KPK dengan membangun framing pemberitaan untuk melindungi asset berharga mereka dengan selalu menempatkan pemerintah pada posisi yang salah.
Bagaimana nasib Tempo selanjutnya?
Ini kesalahan besar. Pembaca Tempo sebagian besar adalah para pendukung Jokowi dikalangan menengah dan terdidik. Merekalah pembeli majalah dan pembaca setia. Tempo malah mengkhianati segmen market terbesarnya. Dan mereka benar-benar tidak sempat berhitung apalagi mengantisipasinya.
Dengar-dengar punggawa Tempo mulai turun bersama para investor untuk mulai menyelidiki kasus ini. Mereka gerah dengan adanya citra negatif yang muncul akibat kasus ini.
Biar bagaimanapun sebuah media adalah entitas bisnis. Kalau investor dan iklan tidak mau suntik dana, habislah Tempo meninggalkan sejarah yang berakhir dengan jejak kurang baik.
Apalagi Tempo adalah perusahaan terbuka dengan kode perusahaan TMPO. Bisa jatuh harga sahamnya jika tidak secepatnya menyelesaikan masalah internal mereka.
"Tempo boleh menghina Jokowi atas nama kebebasan pers. Tapi kami juga berhak membela Presiden RI dengan memboikot mereka.." begitu tulisan disebuah status di media sosial.
Seorang teman bahkan bercanda, bahwa Netizen negara +62 adalah senjata pemusnah massal yang lebih mengerikan dari bom atom di Hiroshima.
Booom !
Seruput kopinya..
Tempo Rating Tempo
Sumber Opini : https://www.dennysiregar.id/2019/09/tempo-pingsan-dihajar-netizen-62.html

Imam Nahrawi Tersangka, Perberat Hukuman, dan Korupsi Itu Indah

Pada masa akhir jabatan dalam Kabinet Kerja Jokowi ternyata tiga orang menteri harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat ini satu diantaranya, yaitu Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, bersama asisten pribadinya Miftahul Ulum sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Tinggal hitungan hari jabatan harus lepas, dan itu membuktikan mempertahankan nama baik sampai akhir itu tidak mudah.
Imam Nahrawi menjadi saksi dalam pengusutan kasus suap penyaluran dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), sebelum kemudian ditingkatkan menjadi tersangka.
Imam Nahawi bukan Menpora pertama yang berurusan dengan KPK. Pada Desember 2012, KPK menetapkan Andi Alfian Mallarangeng sebagai tersangka, kemudian di pengadilan divonis bersalah 4 Tahun penjara.
*
Tiga nama lain yang juga berurusan dengan KPK yaitu Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, yang hadir di persidangan kasus jual beli jabatan di Kemenag yang melibatkan mantan Ketua Umum PPP, Romahurmuziy dan 2 pejabat di Kementerian Agama.. Saat awal kasus ini diungkap KPK sempat menggeledah ruang kerja Menteri Agama pada 18 Maret 2019, dan menemukan uang Rp 180 juta dan USD 30 ribu.
Selain itu KPK juga sedang mengusut ada-tidaknya kaitan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita dalam kasus yang melibatkan angota Komisi VI DPR, Bowo Sidik Pangarso untuk memuluskan Permendag tentang perdagangan gula kristal rafinasi. Bowo Sidik disebut-sebut menerima uang Rp 2 miliar dari Enggartiasto Lukita. KPK telah menggeledah ruangan kerja Mendag pada 29 April 2019 lalu. (https://nasional.kompas.com/read/).
Sebelumnya mantan Menteri Sosial, dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham divonis 3 tahun penjara oleh majelis hakim pada Selasa, 23 April 2019 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Idrus juga dihukum membayar denda Rp 150 juta subsider 2 bulan kurungan. (https://www.tagar.id/)
*
Penetapan Imam Nahrawi sebagai tersangka memang beda dengan para kriminal korupsi lain yang terkena operasi tangkap tangan (OTT), tetapi gaung kehebohannya tak kalah nyaring. Nyaring, sebab berbagai dalih penolakan dan bantahan sudah dikemukakannya ke media. Hanya sayang, tiga kali panggilan KPK yang menjadikannya sebagai saksi tidak pernah dipenuhi.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, Imam diduga telah menerima suap sebanyak Rp 14.700.000.000 melalui Miftahul selama rentang waktu 2014-2018. Selain itu, dalam rentang waktu 2016-2018 Imam juga diduga meminta uang senilai Rp 11.800.000.000.
"Sehingga total dugaan penerimaan Rp 26.500.000.000 tersebut diduga merupakan commitmen fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan KONI kepada Kemenpora Tahun Anggaran 2018," ujar Alexander Marwata. (https://nasional.kompas.com/read/)
*
Imam Nahrawi merupakan Kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Itu sebabnya Sekjen Hasanuddin Wahid menyatakan, selain akan memberikan advokasi atau pendampingan, juga meminta publik mengedepankan asas praduga tak bersalah dalam kasus ini.
Namun, seperti setiap kali KPK selalu percaya diri bahwa institusinya telah memiliki alat bukti yang lengkap untuk sampai pada peningkatan status Imam Nahrawi dari saksi menjadi tersangka. Pernyataan itu setidaknya menepis tuduhan adik Imam Nahrawi bahwa KPK telah berlaku zalim terhadap kakaknya.
Dengan kata lain, Imam Nahrawi tak akan lepas dari jerat hukum. Status tersangka pada saatnya nanti akan berganti menjadi terhukum/terpidana.
Imam dan Miftahul disangka melanggar pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Paling-paling hanya beberapa tahun saja di penjara. Dan di sana pun fasilitas yang disediakan cukup memadai dibandingkan dengan penjara kriminal lain. Dan itu sebabnya secara bercanda hukuman fisik bagi pelaku korupsi diistilahkan sebagai “mesantren” alias “sekadar belajar lagi di pesantren”. Bayangkan, seorang mantan Menteri Agama pun dibui. Bukan ilmu agamanya yang kurang, tetapi karena tidak mampu mengamalkan ilmu dengan baik.
Hukuman yang bakal dijatuhkan tidak akan hukum maksimal, yaitu hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Hanya beberapa tahun saja. itu sebbnya koruptor tidak ada yang jera. Bila sudah keluar dari penjara, dan mendapat kesempatan lagi, akan dilakukannya pula tanpa ragu.
Maka alangkah baik, hukuman bagi koruptor terus diperberat.
*
Seberat apa hukuman dapat ditambahkan? Hukuman seumur hidup dan hukum mati masih sekadar ancaman. Belum ada yang terkena vonis demikian. Malah ada kesan mereka mendapat hukum yang ringan-ringan saja. Maka bolehlah dirancang hukuman tambahan lain yang tidak main-main.
Setiap warga bangsa boleh usul, dan memberi saran. Dan penulis punya saran hukuman tambahan bagi para koruptor. Salah satu saja, atau ketiga-tiganya sekaligus.
Pertama, hukuman berlaku bukan hanya untuk si pelaku, tetapi berlaku untuk seluruh keluarganya. Suami/isteri, anak, mantu, dan cucu bersamaan dimasukkan di dalam jeruji besi. Sebab kemewahan dari hasil korupsi si terhukum pasti dinikmati oleh semua anggota keluarga, sehingga mereka pun pantas dihukum.
Upaya memiskinkan para poruptor sudah dilakukan, bahkan mereka dikumpulkan di LP Sukamiskin. Tetapi jangankan menjadi miskin, di dalam san mereka justru berfoya-foya dengan membeli fasilitas terbaik kepada oknum petugs LP. Ironis. Jadi bagus seluruh keluarga koruptor dibina di lembaga pemasyarakatan.
Kedua, sebulan atau tiga bulan sekali para koruptor dengan keluarga besarnya masing-masing di arak keliling kota. Mereka dimasukkan dalam kerangkeng di atas mobil bak terbuka. Mereka khusus dipermalukan, dan setiap warga kota berhak untuk melempari dengan telur busuk di sepanjang jalan yang dilalui arak-arakan. Tidak ada ampun bagi koruptor, mestinya.
Di China pelaku korupsi diarak di depan umum. Ribuan orang tiap tahun diberlakukan hukuman itu (banyak diantaranya yang di hukum mati, termasuk para petinggi dan mantan petinggi negara). (https://surabaya.tribunnews.com/). Di Korea Utara eksekusi mati dilakukan di tempat-tempat umum, dan dijadikan tontonan guna mendatangkan rasa takut.
Ketiga, setelah menjalani hukuman kelak si terhukum dengan keluarga besarnya dibuang ke sebuah pulau-pulau kecil, terpencil, dan terluar; sampai si terhukum meninggal dunia.
*
Inti dari semua perkara di tanah air adalah soal moralitas yang ambruk. Keluarga dan lembaga pendidikan telah gagal membentuk generasi demi generasi yang jujur, yang sanggup hidup bersih meski sederhana, dan yang sesuai dengan tuntunan agama.
Para orangtua, pemuka agama, pemuka masyarakat, pendidik, pejabat publik, dan semua pihak yang lain mestinya malu. Koruptor merupakan produk bangsa yang bobrok, dan karena itu berbagai tatanan terkait pemberantasannya harus terus disempurnakan.
Praktik korupsi dan perilaku koruptif apapun bentuk dan modusnya harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Dan terkait hal itu jangan malu untuk berkiblat ke negara China atau Korea Utara. Tumpas, tanpa basa-basi. Bukan hanya KPK yang bergerak cepat, tetapi juga segenap lapisan masyarakat.
Jangan silau oleh perilaku baik-dermawan-santun-alim sang koruptor. Nyata kemudian, mereka sekadar menipu, memperdayai, dan berpura-pura.
*
Saat ini mestinya kita hormat dan meneladanan para pejabat publik yang berani hidup sederhana, apa adanya, biasa-biasa saja. Hormat kepada mereka yang mempraktikkan motto “sederhana itu perlu”, “jujur itu keren”, “korupsi itu basi”, dan ungkapan lain serupa itu untuk dukungan membasmi korupsi. Tapi entah kapan mimpi indah demikian menjadi kenyataan? Mimpi?
Lupakan Imam Nahrawi dan nama-nama beken lain yang pernah berurusan dengan KPK, karena nama-nama lain bakal terus bermunculan. Tak ada kata jera, tak ada rasa takut, karena konon “korupsi itu indah”. *** 19 September 2019
Imam Nahrawi Tersangka, Perberat Hukuman, dan Korupsi Itu Indah

Awalnya Caper Akhirnya Baper, Kadal Gurun Urus Saja Polusi Udara Di Jakarta

Baru-baru ini Anies mengirimkan bantuan kepada provinsi Riau untuk membantu memadamkan kebakaran hutan, Anies mengirimkan 65 orang personil untuk membantu memadamkan kebakaran hutan. Namun upaya pencitraan Anies ditolak, karena pemprov Riau merasa ini adalah masalah mereka dan mereka sudah memiliki ribuan personil yang berusaha memadamkan kebakaran tersebut.
Akhirnya Fahira Idris, salah satu anggota DPRD pendukung Anies mencak-mencak dan menuduh pemprov Riau menolak rezeki dari Allah. Berikut kicau beliau :
Bagi penulis sih simple saja, jika memang tulus niat membantu kenapa harus mencak-mencak? Allah akan tetap mencatat kebaikan mereka sekalipun kebaikan mereka ditolak. Mencak-mencak hanya membuktikan bahwa mereka punya tujuan lain selain membantu.
Perlu kita ingat, Anies juga pernah menolak bantuan dari Risma walikota Surabaya yang menawarkan bantuan untuk mengelola sampah di Jakarta, berikut sumbernya. Nah silakan tanyakan alasan Anies kenapa menolak bantuan dari Risma, dan silakan renungkan dari jawaban yang didapat kenapa pemprov Riau menolak bantuan Anies.
Apakah Risma mencak-mencak karena bantuannya ditolak? Tidak, karena beliau memang tulus membantu pengelolaan sampah di Jakarta, maka sekalipun ditolak niat baiknya sudah dicatat Allah dan tindakan Risma dicatat sebagai amal.
Mungkin para kadal gurun akan menjawab, kalau Surabaya juga punya masalah sampah di daerahnya, sedangkan kebakaran Riau adalah masalah nasional yang harus dipadamkan sehingga tidak ada salahnya menerima bantuan dari Anies.
Pertama, jika ribuan personil saja tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk memadamkan kebakaran, dengan logika apa kalian berharap 65 personil bisa membantu memadamkan kebakaran dan bukannya malah merusak koordinasi yang sudah dibangun? Jika hanya 65 orang maka kenapa harus jauh-jauh mengirimkan personil hanya untuk pencitraan? Kan bisa saja memberi masukan kepada pemprov terkait untuk menambah 65 personil sehingga lebih mudah dalam hal koordinasi?
Kedua, kalau seperti itu maka sama saja Jakarta juga punya masalah polusi udara yang sekarang sudah peringkat ke-2 di seluruh Indonesia, kenapa kalian tidak urus masalah polusi udara tersebut? Bagaimana rasanya jika daerah lain mengirim bantuan untuk mengurusi masalah polusi udara di Jakarta dan melakukan tindakan seenaknya karena tidak ada koordinasi dengan pemprov DKI dan kebijakan yang mereka ambil?
Jadi masih mengaku kalau ini cuma bentuk rasa ikhlas Gubernur kalian untuk membantu pemprov Riau?
Jika kalian beralasan pemprov Riau tidak seharusnya menolak rezeki berupa bantuan Anies yang mengirim 65 personil, kenapa kalian menghujat Jokowi yang juga mengirim bantuan ribuan personil dan turun kelapangan? Anda semua kadal gurun bukan hanya menolak rezeki yang Allah berikan, tapi juga menghujat rezeki tersebut dan orang yang dipakai Allah sebagai perantara untuk memberi rezeki.
Jika 65 orang personil kadal gurun anggap sebagai rezeki yang seharusnya tidak ditolak, kenapa para kadal gurun malah menghujat ribuan personil yang Jokowi turunkan, apakah menolak lebih parah daripada menghujat rezeki itu sendiri? Jadi berhentilah untuk membawa-bawa agama, jika kalian masih belum bisa adil menggunakan standar yang sama kepada Jokowi hanya karena kebencian.
Jika Anies yang hanya memerintah 65 personil kalian sebut sebagai Gubernur yang peduli, kenapa kalian malah menghujat orang yang menurunkan ribuan personil bahkan turun ke lapangan untuk meninjau langsung kebakaran yang terjadi? Jadi berhentilah untuk membawa-bawa agama, jika kalian masih belum bisa adil menggunakan standar yang sama kepada Jokowi.
Jadi kalian masih membentuk opini bahwa bantuan dari Anies adalah rezeki yang tidak seharusnya ditolak, sedangkan kalian secara terang-terangan menghujat bantuan dari Jokowi?
Kesimpulan :
Ada-ada saja kelakuan para kadal gurun pendukung Anies Baswedan untuk melakukan pencitraan. Awalnya CAPER, setelah ditolak malah BAPER. Akhirnya mewek-mewek bawa-bawa agama kalau bantuan Anies adalah rezeki yang tidak boleh ditolak, tapi di saat yang sama kalian menghina bantuan yang orang lain berikan.
Kalau hanya untuk pencitraan sih, lebih baik bantu Anies beres kan masalah polusi di Jakarta yang sekarang sudah parah dan masuk peringkat ke-2 polusi paling parah se Indonesia. Begitulah kura-kura.
Sumber :
Awalnya Caper Akhirnya Baper, Kadal Gurun Urus Saja Polusi Udara Di Jakarta

TEMPO, Anda kurang Ajar Terhadap Presiden!

Tempo benar-benar kurang ajar. Ia dalam edis terbaru, 14 September 2019 menampilkan gambar Jokowi yang disandingkan dengan bayangan Pinokio yang sedang berhidung panjang sebagai cover depannya. Apa yang dilakukan Tempo dapat dikategorikan sebagai penghinaan. Mengapa? Tentunya kita semua tahu bahwa hidung Pinokio akan bertambah panjang manakala ia berbohong. Jadi melalui cover depannya majalah Tempo ingin mengatakan bahwa Jokowi berbohong. Jokowi berbohong dalam hal penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Tempo, Jokowi dianggap berbohong karena merestui revisi UU KPK. Secara khusus lagi Jokowi dianggap berbohong mengenai janjinya untuk memperkuat KPK.
Apa yang dilakukan oleh Tempo benar-benar memalukan dan kurang ajar. Demi untuk menaikkan oplah majalahnya Tempo melakukan tindakan yang memalukan. Tempo dalam hal ini secara “halus” telah menipu para pembeli majalahnya. Majalah tempo tentunya berharap oplah mereka naik dengan memasang cover depan yang menjijikan itu. Hal ini semestinya tidak dilakukan oleh majalah sekelas Tempo. Hal yang hanya bisa dilakukan oleh majalah abal-abal atau tabloid sekelas Obor Rakyat.
Tindakan memalukan ini tidak mungkin dilakukan oleh Goenawan Mohamad, pendiri dan editor Tempo. Goenawan dan kawan-kawannya tidak akan melakukan klik-bait (umpan klik) untuk menaikkan oplah majalah mereka. Mereka akan dengan hati-hati menyiapkan cover depan agar mereka tidak diberangus. Selain itu mereka akan menggunakan simbol-simbol yang dapat dipahami oleh pembacanya sebagai representasi reportase mereka. Mereka tidak akan menggunakan judul-judul berita yang bombastis. Selain itu mereka akan mempertahankan keselarasan antara judul cover depan dengan isi reportasenya. Sayangnya hal ini tidak dilakukan oleh penerus mereka. Mereka berusaha menaikkan oplah dengan cara yang memalukan. Tidak tangung-tanggung, mereka mempermalukan Presiden. Presiden Jokowi dipermalukan melalui penggambaran Pinokio sebagai “bayangan” muka Jokowi.
Apa yang dilakukan Tempo membuat para cebong termasuk saya meradang. Kami marah karena Jokowi sebagai Presiden dilecehkan. Kemarahan kami ini kami ujudkan melalui tindakan hukum. Kami mengadukan perbuatan Tempo ke ranah hukum.
Apa yang kami lakukan tidak membuat Tempo mawas diri. Tempo tetap tidak mau mengubah cover depannya walau pun banyak orang memrotes hal tersebut. Dikutip dari situs Tempo.co, Redaktur Eksekutif Majalah Tempo, Setri Yasra, juga mengatakan bahwa sampul Majalah Tempo edisi 16-22 September 2019 bukan menggambarkan Presiden Joko Widodo sebagai Pinokio. "Tempo tidak pernah menghina kepala negara sebagaimana dituduhkan. Tempo tidak menggambarkan Presiden sebagai Pinokio. Yang tergambar adalah bayangan pinokio," kata Setri.
Lhah, kan maaf “dodol” itu pembelaan Setri Yasa. “Yang tergambar adalah bayangan Pinokio”. Benar yang tergambar itu bayangan Pinokio tetapi kok kamu sandingkan sama gambar Pak Jokowi yang notabene Presiden RI. Penyandingan gambar Pinokio yang hidungnya berada dalam kedaan panjang dengan gambar Jokowi membuktikan bahwa Tempo sudah melakukan pembunuhan karakter. Tempo sudah menyatakan bahwa Jokowi pembohong.
Jika Tempo tidak menyatakan bahwa Jokowi pembohong seharusnya Tempo tidak menyandingkan gambar Jokowi dengan gambar Pinokio yang sedang berhidung panjang. Bisa saja Tempo hanya menampilkan gambar Pinokio yang sedang berhidung panjang tanpa menyandingkannya dengan gambar Jokowi. Ia bisa saja menyandingkan gambar Jokowi dengan bayangan Petruk-salah satu punakawan pandawa yang hidungnya panjang juga. Tempo bisa juga hanya menampilkan gambar Pinokio yang sedang berhidung panjang saja tanpa menyertakan gambar Jokowi.
Sesungguhnya apa yang dilakukan Tempo benar-benar suatu tindakan yang menyesatkan dan kurang ajar. Secara waras maka kita semua akan tahu bahwa Tempo telah menuduh Jokowi berbohong melalui perbandingan gambar Jokowi dengan Pinokio yang sedang berhidung panjang, apalagi ditambah kata-kata “Janji Tinggal Janji”. Orang waras yang melihat gambar tersebut pasti akan punya gambaran bahwa Jokowi sama dengan Pinokio. Jokowi tukang bohong. Presiden kita tukang bohong. Itu saja.
Sekali lagi apa yang dilakukan Tempo hanya Klik Bait. Ia hanya memancing rasa ingin tahu calon pembacanya untuk membeli majalah mereka. Saya yakin para pembaca yang membeli majalah tersebut pasti kecewa karena reportase Tempo tidak sesuai dengan cover yang bombatis. Saya yakin bahwa reportasenya hanya berisi spekulasi saja, bukan kenyataan.
Jika seperti itu, “Apa bedanya Tempo dengan Obor Rakyat”. Lalu, “Apakah kebebasan Pers memperbolehkan Tempo dengan seenak jidatnya mempermalukan Presiden? ” Jika Tempo boleh berlaku semena-mena maka kita para cebong pun boleh melakukan pembalasan. Kita boleh untuk menghentikan langanan atau pembelian majalah Tempo. Kita boleh untuk tidak menaruh iklan di majalah Tempo bahkan kita boleh untuk meng uninstall app Tempo di gagdet kita dan memberikan penilaian paling rendah untuk kualitas reportase Tempo pada app tersebut. Jadi untuk Tempo saya ucapkan, “selamat mengikuti Bukalapak!”
TEMPO, Anda kurang Ajar Terhadap Presiden!
Sumber Opini : https://seword.com/umum/tempo-anda-kurang-ajar-terhadap-presiden-60TzlmqeO2

KPK Gelap! Matikan Saja!

Lihatlah situs resmi KPK di https://www.kpk.go.id/id/ dan temukan layar hitam pekat yang akan menyambut Anda. Hanya ada tulisan Kami Tetap Bekerja. Kami Tetap Berjuang #SaveKPK dengan huruf putih di antara selimutan gelap penutup situs tersebut. Lalu kotak dengan tulisan Close putih yang bisa Anda klik kalau tidak mau berlama-lama dalam suasana murung yang ingin ditampilkannya dalam beberapa hari ini. Jika Anda meng-klik tulisan Close tersebut, maka kegelapan itu sirna digantikan tampilan konten seperti biasanya. Kreatif? Auww ahhh, … gelap!
Entah apa yang ada dalam pikiran oknum KPK yang membuat dan merestui pembuatan “kreativitas” tersebut. Menyampaikan pesan bahwa KPK berduka? Bersedih dan muram durjana? Meratapi kematiannya? Atau sebaliknya, mau memberontak? Aku sebutkan oknum, karena punya keyakinan bahwa yang terlihat itu belum tentu mewakili pandangan semua orang yang ada (dan katanya tetap bekerja) di gedung mentereng tersebut.
Mudah ditebak, mereka – para penyuka kegelapan tersebut – merasa tidak suka karena keterpilihan pemimpin KPK yang bakal dilantik dalam waktu dekat untuk menggantikan para pemimpin KPK yang sekarang yang akan habis periodenya sampai akhir tahun ini. Juga ditetapkannya UU KPK yang menurut mereka melemahkan kekuatan KPK sebagai lembaga anti rasuah yang terlanjur sangat powerful selama ini. Dalam hal tertentu, kekuasaan KPK melampaui otoritas yang dimiliki lembaga mana pun yang ada di republik ini. Namanya kekuasaan, selalu bermata dua: akan berdampak positif jika dimanfaatkan dengan baik, atau sebaliknya jadi membahayakan jika dimanfaatkan dengan semena-mena. Dan yang terakhir inilah yang ditengarai dan mulai terendus belakangan hari ini sehingga harus dilakukan perubahan drastis.
Para pencinta kegelapan tersebut agaknya yang melakukan tindakan penutupan nama KPK di gedung tersebut dengan selubung kain hitam beberapa hari yang lalu. Tidak cukup di satu tempat, lokasi yang ada tulisan KPK lainnya juga, sehingga mudah terlihat manakala melintasi bangunan mentereng tersebut.
Apa yang akan kita pikirkan ketika mengetahui bahwa di lembaga yang selama ini sangat kita agungkan karena sangat dipercayai dalam melakukan tugasnya, yaitu memberangus korupsi di bumi pertiwi ini ternyata mental (sebagian besar) karyawannya “cuma” sebegitu saja? Memprihatinkan, memang …
Masih ada lagi. Beberapa hari yang lalu diadakan aksi oleh sekelompok orang yang menamakannya sebagai “pemakaman KPK”. Diisi dengan pentas musik, pembacaan puisi dan pengacungan poster, yang semakin membuat hati makin sedih dan miris melihat kelakuan para “pencinta KPK” ini.
Aktivis antikorupsi berkumpul di Gedung KPK Selasa malam, 17 September 2019. Mereka menggelar aksi bertajuk Pemakaman KPK pasca DPR mengesahkan revisi UU KPK. Sejumlah pegawai KPK, penggiat anti-korupsi, dan mahasiswa Universitas Indonesia pun terlihat menundukkan kepala dan menangis. Aksi dilanjutkan dengan melakukan tabur bunga di replika nisan bertuliskan "RIP KPK 2002-2019" sambil menyanyikan lagu Ibu Pertiwi dan Gugur Bunga.
Ada pula aksi penembakan laser merah ke logo KPK sebelah selatan gedung Merah Putih. Aksi itu menjadi simbol bahwa lembaga anti-rasuah itu telah menjadi target para koruptor kelas kakap untuk dilemahkan wewenangnya. Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati dalam orasinya mengatakan Pemakaman KPK digelar sebagai simbolisasi dimatikannya lembaga anti-rasuah itu oleh Presiden Joko Widodo
Sedih, tentu saja! Yang lebih membuat sedih adalah tindakan yang dilakukan dalam menyikapi perubahan dimaksud. Oleh “orang-orang dalam” alias pemangku-kepentingan KPK sendiri!
Semula aku bertanya-tanya tentang runtutan peristiwa ini, dari diangkatnya Panseleksi Pemimpin KPK, proses seleksi yang meloloskan calon yang dinilai tidak memenuhi syarat yang kemudian malah terpilih dan jadi ketua KPK terpilih, lalu disahkannya revisi UU KPK yang dianggap melemahkan posisi KPK yang kesemuanya itu mengesankan bahwa Presiden Jokowi tidak peduli dengan aspirasi yang meneriakkan untuk tidak menyetujui semua hal tersebut. Namun setelah terkuak betapa bobroknya KPK yang sekarang ini yang disebabkan oleh tindakan oknumnya yang sudah keluar jalur, barulah aku tersadar. KPK memang harus diubah! Drastis dan besar-besaran! Bukan KPK-nya yang dimatikan, melainkan oknum-oknum pecinta kegelapan yang melingkupinya yang harus dienyahkan. Penyimpangan dan pengaruh buruk yang terlanjur ditimbulkan, matikan saja!
‘Gimana menurutmu, kawan-kawan sesama orang waras?
Feature photo:
Sumber:
KPK Gelap! Matikan Saja!

Breaking News, Bukalapak Hilang dari Play Store

Kabar tidak sedap berhembus dari salah satu startup unicorn Indonesia, Bukalapak. Startup yang didirikan Achmad Zaky itu kini hilang lenyap dari Google Play Store.
Apes nian nasibnya Bukalapak ini. Sejak ownernya Achmad Zaky itu ikut-ikutan sok main politik, rating Bukalapak di Google Play Store terus anjllok. Dan kini kabar terbaru dari Aplikasi Bukalapak besutannya Ahmad Zacky itu terpantau tidak ada dari toko aplikasi ponsel Android, yakni Play Store.
Sejak Rabu malam (18/9/2029) hingga hari ini aplikasi Bukalapak belum muncul kembali di Google Play Store. Apes memang bagi Ahmad Zacky, tapi itulah fakta dan bukti sahih dari buah yang dipetik akibat hasil keminternya itu.
Kemungkinan besar aplikasi tersebut dihapus oleh Google Play Store karena melanggar aturan Play Store. Lho kok bisa aplikasi startup omzet triliunan rupiah melanggar aturan? Tentu saja bisa karena kemungkinan besar dilaporkan secara berjamaah oleh netizen.
Faktor lainnya bisa jadi aplikasi tutuplapak, eh salah, maksudnya Bukalapak, itu kena hack. Karena sebelumnya aplikasi Bukalapak situs e-commerce yang pertama kali dibuat pada awal 2010 oleh Achmad Zaky itu juga pernah kena hack dari hacker asal Pakistan yang menjual data 13 juta akun Bukalapak di Dark Web.
Bagi Anda yang masih menggunakan Bukalapak, saya himbau agar hati-hati, apalagi yang punya dana di Buka Dompet Bukalapak. Sebaiknya segera uninstall dan beralih ke portal belanja online yang lebih aman karena Bukalapak tidak aman.
Hati-hati dengan akun yang sengaja mengajak komunikasi seperti spam, terus menawar barang. Jangan mengklik atau membuka link yang masuk lewat email atau iklan berantai, karena bisa jadi Anda akan jadi korbannya. Saya anjurkan mendingan diuninstall saja, jangan ambil resiko.
Akan sia-sia dan percuma Anda laporkan ke Bukalapak karena mereka juga tidak mampu berbuat apa-apa jika saldo sudah lenyap. Kalau sudah begini, mau nangis darah pun tidak akan mengembalikan saldo seperti semula kembali.
Itulah sebabnya Bukalapak semakin ditinggalkan oleh para penggunanya. Selain itu seringkali terjadi banyak pengalaman kurang menyenangkan yang dialami oleh para pengguna Bukalapak saat berbelanja online di Bukalapak. Itulah sebabnya banyak orang jadi ogah belanja di Bukalapak.
Hacker yang berasal dari pakistan itu menjual data hasil retasannya itu secara eceran. Bila ditotal nilainya 1, 2431 bitcoin atau senilai US$ 5.000.
Kini tambah apes lagi bagi Bukalapak, aplikasi mereka hilang lenyap dari Google Play Store. Ini pelajaran yang sangat berharga bagi ownernya Bukalapak yang bernama Achmad Zaky itu. Kalau mau bisnis, ya bisnis saja tidak usah sok-sokkan sok jago main politik segala.
Sekarang baru kena batunya dan nyaho. Bisnis yang omzetnya itu sebelumnya trilounan rupiah dengan jumlah karyawan ribuan orang itu tumbang terkapar tak berdaya dan nyaris punah.
Dulu saat masih berjaya, Bukalapak ini menarik banyak sekali minat investor kelas kakap untuk menyuntikkan modal ke Bukalapak. Sejauh ini, tercatat ada Ant Financial, Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund, GIC dan Grup Emtek yang menyuntikkan modal ke Bukalapak.
Bukalapak kemudian dinobatkan sebagai startup unicorn keempat yang dimiliki Indonesia. Unicorn adalah sebutan untuk startup digital kapitalisasi pasarnya sudah mencapai minimal USD 1 miliar, sehingga membuat ownernya pun menjadi angkuh dan besar kepala.
Dan kini lihatlah nasib sial yang Bukalapak alami. Bukalapak dengan terpaksa harus mem-PHK-kan ratusan karyawan mereka, plus menutup kantor mereka di dua kota besar di Indonesia, yaitu di Medan dan Surabaya.
PHK tersebut menimpa sejumlah divisi. Itu semua sebagai akibat dan buah dari keminternya owner Bukalapak yang main politik karena BukaLapak diuninstall dan ditinggal secara berjamaah.
Bukan hanya itu saja, BukaLapak juga dapat punishment yang menyakitkan di-rating bintang satu secara berjamaah. Emang enak?
Moral story dan hikmah dari apesnya Bukalapak ini agar kalau jadi orang mbok ya hati-hati. Jangan merasa diri sudah sukses, lalu sembarangan keminter dan asal bacot buang sampah sembarangan. Karena hukum tabur tuai itu tak pernah ingkar janji.
Achmad Zacky mungkin tidak pernah menyangka bahwa sebaris cuitannya di Twitter yang ingin Presiden baru saat menjelang pilpres 2019 berakibat fatal tumbangnya bisnis mereka yang beromzet triliunan rupiah itu.
Yang sayangi pak Jokowi akan tetap menyanyangi pak Jokowi, dan itu pasti. Dan yang jelas tagar #UninstallBukaLapak itu sangat berpengaruh mematikan bisnis Bukalapak.
Bukalapak sebentar lagi gulung kasur karena aplikasi nyungsep ratingnya, nilai saham merosot, profit hilang, Investor ngacir, kini menghilang dari Google Play Store. Sakitnya tuh di sini (sambil tendang laptop dan injak-injak logo Twitter).
Salam tumbang.
Breaking News, Bukalapak Hilang dari Play Store

Tagar #jokowiMUNDUR Trending Adalah Bentuk Frustasi Kadal Gurun

Tentara yang sudah frustasi di medan perang dia akan menembakan pelurunya ke segala arah dengan harapan menghabisi musuhnya. Para hacker yang sudah frustasi akan melakukan DDOS attack dengan membanjiri website targetnya karena tidak menemukan celah pada sistem keamanan.
KPK Taliban telah terendus dan sedang berada di ujung tanduk, maka mereka mencoba melawan dengan menjadikan KEMENPORA tersangka dugaan kasus suap, padahal kasus ini sudah lama bergulir, kenapa baru sekarang ditetapkan menjadi tersangka? Karena mereka menjadikan ini sebagai peluru untuk menjatuhkan Jokowi yang telah lama mereka incar tapi tidak mempunyai celah dalam hal korupsi.
Akhirnya mereka menjadikan ini sebagai senjata walaupun mereka tahu efeknya tidak akan membuat Jokowi goyah, pengalaman pilpres sudah membuktikannya dengan menjadikan Romy tersangka, namun Jokowi tetap terpilih menjadi Presiden untuk kedua kalinya.
Yang menarik adalah langkah KPK ini berdekatan dengan semakin dekatnya pelantikan Presiden, jika kita tarik sedikit ke belakang maka baru-baru ini ada masalah Karhutla, kebakaran hutan yang menjadi masalah provinsi terkait terpaksa harus ditimpakan kepada Jokowi yang perannya sebagai pusat pemerintahan sudah dilakukan dengan baik dengan menurunkan ribuan personil.
Namun nafsu menyerang Jokowi tidak membuat para kadal gurun mengapresiasi kinerja Jokowi, padahal di saat yang sama mereka memuji-muji Anies yang pencitraan dengan mengirimkan 65 personil dan marah-marah ketika ditolak. Lucu tidak, yang mengerahkan ribuan personil dihujat tapi yang mengirim 65 dipuji puji? Kalau penulis sih sangat lucu.
Tidak cukup sampai di situ, mereka menghujat Jokowi karena tidak membantu ikut memadamkan kebakaran. Padahal di saat yang sama Anies juga meminta personil nya yang turun bukan? Jokowi bagaimanapun ikut meninjau dan turun ke lokasi terjadinya kebakaran. Jokowi itu Presiden, di atas Gubernur Riau yang juga hanya ikut memberi instruksi dan memantau keadaan, namun Jokowi rela mengambil alih tugas Gubernur Riau untuk membantu.
Apa kadal gurun berharap Jokowi melakukan pekerjaan-pekerjaan jongos seperti mereka, yang untuk memberi makan keluarga saja harus membuat fitnah dan hoax kebencian?
Lagi-lagi bagi penulis ini adalah serangan frustasi para kadal gurun, bahkan kabarnya Mahasiswa mengambil alih ruang paripurna DPRD Riau, menggelar SIDANG RAKYAT menuntut JOKOWI lengser. Berikut penulis kutipkan salah satu provokasi kadal gurun di media sosial :
Jelas sudah ini adalah langkah frustasi dari para kadal gurun, sehingga masalah provinsi ditimpakan langsung kepada Jokowi. Apa para mahasiswa tersebut tidak paham otonomi daerah? Yang pasti hal ini digunakan dengan harapan masyarakat lainnya terprovokasi dan melakukan hal yang serupa di daerah-daerah lainnya.
Penulis berani bertaruh seratus persen ini akan gagal total, kenapa? Karena masyarakat di provinsi lain tidak punya dalil yang kuat untuk melakukan pengepungan di kantor DPRD masing-masing, akan sangat lucu jika DPRD di wilayah yang tidak ada masalah berarti melakukan pengepungan terhadap kantor DPRD mereka, kalaupun dipaksakan untuk meminta Jokowi mundur maka bisa dikategorikan tindakan makar dan lawannya adalah aparat keamanan seperti waktu kerusuhan 22 Mei.
Jadi para kadal gurun, daripada sibuk menjatuhkan Jokowi gara-gara masalah yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan beliau, lebih baik kalian semua bantu Anies Baswedan di Jakarta mengurai kemacetan, menertibkan PKL dan mengurangi polusi udara Jakarta yang sekarang sudah parah dan menduduki peringkat kedua.
Mengepung DPRD DKI Jakarta untuk menuntut Anies mundur jauh lebih realistis daripada mengepung DPRD DKI Jakarta untuk menuntut Jokowi mundur karena masalah di provinsi lain nan jauh di sana.
Kesimpulan :
Menjelang pelantikan Jokowi sebagai Presiden untuk kedua kalinya, para kadal gurun semakin frustasi. Karena kali ini mereka tidak didukung oleh kekuatan partai politik lain selain antek-antek kaum radikal dan juga KPK Taliban.
Jika kasus Papua yang dibantu oleh Gerindra saja tidak memiliki efek apa-apa kepada Jokowi dan malah mengungkap tersangka dari pihak oposisi, apalagi hanya sekedar aksi membuat tagar #jokowiMUNDUR di twitter? Lucu kalian, tagar #tangkapAbuJanda saja gagal apalagi mau menjatuhkan Jokowi?
Hai kadal gurun, sekarang Jokowi didukung mayoritas DPR dan bahkan anggota DPR dari partai oposisi saja banyak yang menjilat Jokowi, maka silakan frustasi sekuat-kuatnya karena level kalian cuma Abu Janda, itupun kalian gagal membungkam beliau. Jokowi mundur? Mimpi!!
Tagar #jokowiMUNDUR Trending Adalah Bentuk Frustasi Kadal Gurun
Sumber Opini : https://seword.com/politik/tagar-jokowimundur-trending-adalah-bentuk-frustasi-kadal-gurun-L5Ga3lXMBc

Tangkap! Operasi Menggagalkan Jokowi Dilantik: Dari Papua, Revisi UU KPK Sampai Karhutla!

Selama ini tak ada pengamat yang mampu menjelaskan fenomena politik pasca Pilpres. Pun tak ada prediksi arah politik yang jelas. Semua memudar seiring munculnya isu krusial, berbahaya, dan mengkhawatirkan. Entah kenapa, tak ada yang mampu mengurainya.
Secara kasat mata, tidak ada hubungan antara kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya sampai menimbulkan kekacauan dengan isu revisi UU KPK yang juga menimbulkan kegaduhan serta dengan maraknya pembakaran hutan di beberapa daerah. Peristiwa itu beruntun bertalu-talu dengan daya gebuk yang luar biasa.
Kasus Papua hampir saja mengakibatkan perang saudara. Apabila tidak ditangani dengan profesional, bukan tidak mungkin akan berujung lepasnya Papua dari Indonesia. Atau setidaknya menumpahkan darah sesama anak bangsa.
Menariknya, walau penyelesaian di Papua berakhir dengan cepat, tidak menimbulkan korban lebih banyak, serta tidak sampai menimbulkan diintegrasi bangsa, kesalahan tetap ditimpakan kepada Jokowi.
Isu revisi UU KPK pun sejatinya bukan kalah gaduhnya. Yang paling keras berontak adalah pegawai KPK. Ada juga reaksi dari para aktivis – yang entah dengan kemurnian dukungannya terhadap pemberantasan korupsi entah karena agenda tersendiri – tetapi tidak sekuat reaksi dari internal KPK.
Menariknya, bukan DPR – yang berinisiatif merevisi UU KPK – yang jadi sasaran tembak paling keras, melainkan Jokowi. Pada saat yang sama, serangan terhadap legislator menghilang dengan sendirinya seperti kentut ditelan bumi, tak terdengar tetap baunya tetap menyengat.
Bersamaan dengan kedua kasus dan isu di atas, bencana kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan sudah menghadang di hadapan mata. Pemerintah daerah tidak mampu – atau memang tidak mau - menangani Karhutla. Ke mana gubernunya, kita tidak tahu.
Pada akhirnya, Jokowi harus tetap menjadi sasaran tembak. Seolah, pemerintah pusatlah yang paling bertanggung jawab atas karhutla sementara pemdanya lepas begitu saja. Mereka teriak Jokowi di mana, mereka memaki Jokowi. Tetapi pada saat yang sama mereka tidak teriak kepada pemdanya, tidak memaki gubernurnya. Pokoknya, semua salah Jokowi, habis perkara.
Memang seluruh pemerintahan adalah tanggung jawab presiden. Tetapi bukan berarti semua harus ditangani oleh presiden. Lah kalau semua harus ditangani presiden, untuk apa ada gubernur, untuk apa ada otonomi daerah, untuk apa pemda digaji rakyat? Mengenai ini proporsionallah mengkritik.
Kasus Papua sudah ditangani meskipun masih menyisakan tugas yang tidak ringan kepada Polri dan TNI. Isu revisi UU KPK sudah dalam pembahasan. Bencana karhutla pun sudah langsung ditangani presiden. Intinya semua diselesaikan secara proporsional dan profesional.
Lalu tiba-tiba duar……. Ada rencana aksi unjuk rasa dengan judul besar; Gerakan Rakyat Menolak…!! Jika dilihat alasan aksi unjuk rasa yang tertera di undangan, tidak tampak penolakan terhadap siapa dan apa.
Tetapi dari narasi yang beredar di jejaring sosial, gerakan ini adalah gerakan menolak Jokowi yang dianggap gagal menyejahterakan rakyat dan mengabaikan kepentingan bangsa sebagaimana narasi dalam gambar di bawah ini:
Perlu diketahui juga bahwa jauh hari sebelum undangan unjuk rasa ini beredar, beredar video rencana menggagalkan Jokowi dilantik jadi presiden yang diprovokatori Sri Bintang. Katanya jangan sampai Jokowi dilantik jadi presiden. Video lainnya adalah video orasi salah satu kader Gerindra dalam suatu aksi dengan seruan yang sama mau menggagalkan pelantikan Jokowi pada Oktober nanti.
Alasannya apa? Persis seperti yang ada dalam ajakan unjuk rasa di atas dan tiga isu yang saya bahas. Hanya saja ada penambahan tentang residu pemilu, BPJS, dan revisi UU ketenagakerjaan, serta RUU apa tidak jelas.
Nah kalau nanti mereka demo, lalu rusuh, langsung tangkap saja. Tidak ada ceritanya rakyat menolak presiden terpilih dilantik hanya karena subjektivitas dan kebencian semata!
Terlalu naif kalau kita mengabaikan keterkaitan semua isu sebelum, sedang dan yang akan terjadi pada Jumat nanti yang bertujuan untuk menggagalkan Jokowi jadi presiden. Tapi terlalu naif juga kalau kita merasa panik atas gerakan sambal yang mereka gulirkan. Seolah-olah segelintir orang dan seabrek isu panas akan cukup menggagalkan presiden terpilih dilantik.
Kalau bukan untuk menggagalkan Jokowi dilantik – karena sepertinya terlalu muluk agenda mereka – untuk apa semua keributan ini?
Kasus Papua mengancam disintegrasi bangsa. Tercium agenda kaum radikalis sebagai pemicu keributan serta terlibatnya kader Gerindra.
Isu KPK diwarnai dengan munculnya istilah ‘polisi Taliban’. Dikompori oleh Novel Baswedan-Bambang Widjayanto. Keduanya selalu menyerang Jokowi dalam setiap kesempatan.
Karhutla terparah di Riau – daerah di mana Jokowi ditundukkan lawannya pada Pilpres. Terciduk oknum-oknum pembakar hutan. Perusahaan juga terlibat dalam pembakaran hutan. Kejanggalan-kejanggalan ditemukan.
Dari pembahasan di atas, ada dua kemungkinan agendanya yaitu menggagalkan Jokowi dilantik atau menimbulkan kekacauan. Keduanya memiliki kepentingan dan agenda yang sama yaitu ingin berkuasa tetapi dengan tujuan yang berbeda.
Tetapi saya yakin, meskipun tetap harus waspada, Jokowi dan jajarannya sudah mencium agenda pihak-pihak tersebut. Keyakinan itu muncul ketika Jokowi mampu mengambil langkah yang tidak gegabah dan juga tidak mudah terbaca tetapi tetap dalam jalur yang aman.
Jokowi diserang melalui kasus Papua, provokatornya terhempas sedemikian menyedihkannya. Jokowi diserang memalui KPK, malah kebusukan KPK malah muncul ke permukaan. Jokowi diserang melali karhutla, justru terbongkar gubernur dan jajarannya tidak becus menangani karhutla. Jadi masih dalam jalur aman yang wajar.
Jangan macam-macam, rating Tempo di PlayStore sudah mencapai 1.1 dari sebelumnya 4.1 dengan jumlah pemberi rating 11 ribuan lebih. Itu tidak sekedar rating menurun, melainkan tanda bahwa masih banyak orang yang mencintai Jokowi karena dia melihat langkah Jokowi masih pada jalur aman yang wajar.
Tangkap! Operasi Menggagalkan Jokowi Dilantik: Dari Papua, Revisi UU KPK Sampai Karhutla!

Revisi UU KPK, Juga Selamatkan KPK dari Cengkeraman Radikalis

Makin ke sini kita makin ngeh bahwa revisi UU KPK memang mutlak diperlukan pada saat ini. Awalnya memang sulit menerima terlebih mengingat oknum-oknum yang selama ini getol menyuarakan revisi UU KPK umumnya politikus Senayan. Dan kita sudah pahamlah gelagat orang-orang di Senayan ini yang sejak dahulu selalu kepanasan dengan KPK, dan berusaha merevisi lembaga ini dengan berbagai cara dan strategi.
Revisi UU KPK memang bisa melemahkan jika beberapa point yang menjadi kewenangan lembaga antirasuah ini dipreteleti, seperti menyadap. Sebab terbukti, banyak koruptor yang tertangkap tangan (OTT) gara-gara penyadapan ini, dan kebanyakan berstatus anggota DPR / DPRD. Maka sangat beralasan jika banyak oknum politikus yang merasa ngeri dengan penyadapan ini, dan ingin membatasinya dengan seijin Dewan Pengawas KPK. Tapi dewan pengawas ini memang belum ada, dan rencananya akan diadakan seiring dengan revisi UU KPK sebelum habis masa jabatan DPR periode 2014 - 2019.
Tetapi kita juga semakin tahu bahwa ternyata selama ini wewenang menyadap ini sering disalahgunakan juga oleh oknum KPK untuk kepentingan diri sendiri yang tidak ada kaitannya dengan upaya memberantas korupsi. Seperti ulah ketua KPK periode 2011 - 2015, Abraham Samad yang diduga telah melakukan aksi penyadapan sehingga yang bersangkutan tahu bahwa bukan dirinya yang menjadi calon wakil presiden Jokowi pada Pilpres 2014, tetapi Jusuf Kalla. Maka berdasarkan kasus ini, memang ada baiknya jika lembaga ini dilengkapi dengan dewan pengawas sehingga para anggota tidak sembarangan bertindak. Tapi tentu saja dewan pengawas ini bukan bentukan DPR, tetapi harus oleh/dan bertanggung jawab terhadap Presiden.
Penyadapan memang harus dilalakukan secara hati-hati, tepat guna dan bertanggung jawab, sebab kalau sampai kelewat batas, dapat "menelanjangi" objek yang sedang disadap. Dan ini sama sekali bukanlah pekerjaan orang-orang beradab. Kita memang harus memerangi korupsi, tetapi tidak boleh membuat harkat kemanusiaan orang per orang terlecehkan atau terhinakan.
Banyak rakyat yang kecewa ketika penyadapan ini dibatasi oleh dewan pengawas, tetapi memang perlu dibikin koridor-koridor supaya tidakmenjadi kebablasan. Sebab bagaimana pun juga, yang namanya KPK adalah sekumpulan manusia biasa, yang tidak suci-kudus seperti malaikat. Komisioner, penyidik, karyawan KPK juga memiliki nafsu dan kepentingan, bukan makhluk suci tanpa dosa.
Lalu semakin ke sini, kita makin sadar bahwa KPK sebenarnya cenderung mengerikan karena nyata-nyata telah disusupi oleh anasir-anasir yang bertetangan dengan cita-cita NKRI. Banyak orang menyebut istilah "polisi taliban". Ini kelihatannya merujuk pada oknum polisi yang memiliki pengaruh di kalangan pegawai KPK. Jika dilihat dari penampilan sehari-hari, oknum ini memang mengundang tanya. Cara berbusananya yang mengikuti orang-orang anti-keberagaman, ditambah jejak digitalnya sebagai pendukung capres yang disokong kelompok pro-kilafah, membuat kita miris sekaligus khawatir dengan nasib KPK jika tetap dikangkangi oknum-oknum semacam ini.
Kecurigaan terhadap keberadaan KPK yang sudah disusupi kaum radikalis ini mulai menebal ketika Tengku Zulkarnain, yang baru saja menyatakan dirinya sebagai pakar rudal balistik antar-benua, mencuitkan pengakuan bahwa dirinya sudah belasan tahun "mengajar" di KPK. Maksud beliau tentu mengisi ceramah keagamaan di lembaga tersebut secara rutin, selama 15 tahun. Uniknya, beliau sengaja mengatakan "mengajar", yang bisa diartikan sebagai mendoktrin(?) Bisa ditebak, bebasnya ustadz ini melenggang ke KPK, kemungkinan besar karena andil oknum si polisi taliban. Wah... bahaya sekali jika oknum-oknum penceramah radikal semacam ini diberikan tempat di lembaga pemerintah.
Bertolak dari fakta-fakta inilah, kita yang semula menolak revisi UU KPK, kini mulai bisa mengerti betapa urgennya sebenarnya revisi ini. Pelemahan KPK ini terbayang, karena wewenang penyadapan yang akan dikendalikann oleh lembaga yang kelak disebut sebagai dewan pengawas KPK. Lembaga anti-rasuah ini akan benar-benar lemah dan akhirnya impoten, kalau nanti anggota dewan pengawasnya pun dibentuk oleh politikus Senayan.
Sebab bagaimanapun, revisi UU KPK sejak dulu dilatari oleh ketakutan para politisi busuk dan bau yang khawatir suatu saat menjadi korban OTT. Sederhana saja, kalau setiap anggota DPR jujur dan berintegritas mengabdi pada rakyat dan negara, apa yang harus ditakuti dari KPK?
Bahwa KPK memang bukan lembaga surgawi, bisa dilihat dari sepak terjang mereka selama ini yang tidak bagus-bagus amat, dan menyenangkan semua pihak. Ada ternyata sisi-sisi gelap, seperti penyalahgunaan wewenang penyadapan untuk kepentingan diri sendiri. Bahkan juga dicurigai mereka melakukan tebang pilih dalam menyadap dan meng-OTT objek mereka. Bertolak dari sinilah maka dirasa perlu adanya dewan pengawas, untuk mencegah KPK menjadi lembaga yang superbody.
Tetapi sekali lagi, dewan pengawas itu bukan bikinan DPR. Wong DPR-nya saja sebenarnya sangat perlu diawasi, ini kok malah sok ngurusin pengawas KPK? Maka kalaupun nanti akan dibentuk lembaga pengawas KPK, dia harus lepas dari kepentingan DPR. Lembaga pengawas harus "ekstra dapat dipercaya", sebab mereka bertugas mengawasi "kumpulan orang-orang jujur".
Tapi kini bola terletak di tangan Presiden Jokowi untuk dapat menjawab protes dan sangkaan masyarakat luas bahwa revisi UU KPK telah membunuh lembaga anti-korupsi tersebut. Buktikan bahwa KPK yang sudah direvisi memang akan menguatkan, dalam arti semakin garang memberantas korupsi seturut aturan dan peraturan, bukan asal nyeplak . Tapi yang paling penting adalah menyelamatkan dulu KPK dari cengkeraman kaum radikalis yang tidak ingin melihat NKRI utuh dan jaya.
Revisi UU KPK, Juga Selamatkan KPK dari Cengkeraman Radikalis

Jokowi ‘Mengambil’ Tangan Soeharto

“Piye kabare? Enak zamanku to?”, itulah semboyan orang-orang yang rindu terhadap zaman Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Terkait enak gak enak pada zaman Orde Baru, semua tergantung kondisi dan tempat tinggal di masa itu.
Saya pribadi mengalami masa Orde Baru dari lahir hingga usia remaja, memang belum dewasa, tetapi paling tidak sudah mampu mengerti, menelaah dan memperhatikan kehidupan pada masa itu dari lingkup sekitar saya saja, atau dari sudut pandang lain melalui informasi dari radio hingga televisi yang belum ‘semerdeka’ saat ini.
Di kampung saya lahir, meskipun katanya Indonesia di masa Orde Baru melakukan swasembada pangan, dan itu masuk dalam pelajaran, tetapi saya pernah merasakan dimana nasi putih dari beras adalah makanan mewah, karena tak jarang kami harus makan nasi jagung dan tiwul pada masa itu. Bisa dibayangkan, masa kecil saya dikasih makan nasi jagung lembut yang dalam bahasa jawa disebut empok, maka akan banyak yang kemampul ke permukaan, mau coba? silahkan jagung digiling dan dimasak.
Hal di atas soal perekonomian kami waktu itu, soal pendidikan, keluarga saya pun masih harus membayar SPP. Saya termasuk sudah kelewat umur ketika masuk sekolah SD, dengan alasan tak ada biaya, beda dengan sekarang, masih kecil aja sudah bisa belajar di PAUD dan TK sebelum SD, zaman dulu yang sekolahnya terlebih dahulu di TK termasuk golongan yang mampu, paling tidak itulah yang saya rasakan di kampung saya.
Untuk infrastruktur jalan, saya pun mengalami bagaimana susahnya tanah merah ketika hujan tiba, sandal pun harus dilepas ketika melewati jalan depan rumah. Listrik pada saat itu, meskipun desaku tak jauh dari kabupaten, hanya hidup pada pukul 16:00 sampai pukul 06:00 kalau tidak salah, dan belum banyak yang bisa menikmatinya, termasuk di rumah saya baru bisa pasang listrik ketika saya udah SMP kelas 1 kalau tidak salah, dan saya ingat uangnya dari hasil menjual gabah.
Soal perekonomian, mungkin berbeda-beda bagi orang yang hidup di kota pada zaman Orde Baru, dimana masih banyak peluang untuk mencari uang. Tetapi kami yang tinggal di desa, yang mengandalkan hidup dari buruh dan bertani, terasa sangat empot-empotan. Tak ada enak-enaknya di zaman Orde Baru tersebut, meskipun begitu, tak pernah kami menyalahkan pemerintah yang ternyata setelah reformasi banyak terbuka boroknya terkait KKN.
Di zaman Orde Baru, yang paling saya rasakan nyaman adalah soal keamanan. Ternyata pada waktu itu ada Petrus alias penembak misterius, orang yang kira-kira mengganggu stabilitas hilang entah kemana. Meskipun terlihat mengerikan, tetapi pada kenyataannya, zaman itu tak ada radikalisme seperti saat ini, saat orang beribadah pun tak perlu dijaga oleh gegana. Berbeda dengan sekarang, orang mau beribadah dan merayakan hari besar pun pengamanannya ketat karena mencegah terjadinya pengeboman yang mengatasnamakan jihad dijalan Tuhan.
Pada saat penggulingan Soeharto, saya pun masih duduk di bangku SMP. Mengalami bagaimana seharusnya Megawati menjadi Presiden, tetapi ditolak karena dia wanita yang katanya gak boleh jadi pemimpin, dan saya pun merasakan libur satu bulan ketika bulan puasa pada zaman Gusdur menjadi Presiden. Toleransi dan kemanusiaan Gusdur pun dirasakan oleh teman-teman Kohungcu pada waktu itu.
Setelah Orde Baru kehidupan perekonomian memang lebih baik, meskipun ada yang nyinyir Megawati banyak menjual asset negara. Justru nyinyiran itu mengingatkan orang tuaku yang harus menjual sepeda demi untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
Pada zaman SBY, saya udah menjadi hantu warnet, penyebaran radikalisme di dunia maya seperti tak tersentuh, menterinya dari PKS yang pernah ketangkep basah mengikuti akun bokep itu pun menanyakan internet cepat buat apa. Kini di zaman Jokowi, Radikalisme sudah menjalar di dunia pendidikan, BUMN hingga kementerian.
Zaman Jokowi yang harus menuai potensi perpecahan akibat radikalisme, HTI yang mempropagandakan khilafah pun dibubarkan. Politik di zaman Jokowi kental dengan isu SARA. Agama menjadi komoditas politik. Paling tidak dengan dibubarkannya HTI dan pemblokiran situs berkonten negative termasuk paham radikal, Jokowi menunjukkan keseriusannya membasmi radikalisme.
Terkait Korupsi, KPK yang dibentuk pada zaman Megawati memiliki peran penting pada masa reformasi, termasuk di zaman Jokowi berkuasa. Namun paham radikalpun tercium sehingga keluarlah isu polisi Taliban dalam tubuh KPK.
KPK yang independen membuat tak bisa dibersihkan dengan mudah meskipun ada niat dari pemerintahan Jokowi. Di tambah lagi, KPK sudah terlanjur dianggap suci oleh orang Indonesia. Siapapun yang menyinggung KPK akan dianggap penjahat yang mendukung koruptor, padahal belakangan ini, ada dugaan KPK pun ikut andil dalam permainan politik, itu tentu saja ada kaitannya dengan kewenangan penyadapan yang tanpa pengawasan.
Revisi UU KPK terkait adanya dewan pengawas yang dipilih presiden, tentu mengancam independen KPK, tetapi hal itu juga bisa kita anggap sebagai upaya Jokowi supaya lebih mudah membersihkan KPK dari oknum-oknum ‘Taliban’ yang lebih bahaya bagi keutuhan bangsa, karena bisa memuluskan penghancuran demokrasi yang dianggap Thogut melalui pilih-pilih target dalam OTT. Bisa dibayangkan, nama baik politisi akan mudah dibuat hancur Cuma dengan cara memanggilnya saja, meskipun setelah itu tak ada bukti, namun sudah ada opini publik yang menganggap tokoh tersebut terindikasi korupsi. Hal ini tentu saja mengingatkan kita terhadap bagaimana ‘tangan Soeharto’ bekerja, terlihat buruk tapi ampuh dalam menghabisi lawan terutama radikalisme dan musuh ideologi seperti DI/TII dan PKI.
Lalu kalau KPK seperti tercabik independensinya, apakah tak takut negara ini dipenuhi koruptor? Zaman ini beda dengan zaman Megawati membentuk KPK, dimana kemajuan teknologi belum seperti saat ini. Kemajuan teknologi saat ini, bisa digunakan untuk menutup peluang korupsi dengan perbaikan sistem-sistem yang ada. Di organisasi usaha, sudah dilakukan hal seperti itu, sehingga audit begitu mudah dilakukan. Ingatlah, bahwa orang baik pun bisa menjadi penjahat bila ada peluang, tetapi orang jahat pun tak akan bisa melakukan kejahatannya meskipun sudah niat kalau tak ada peluang, oleh sebab itu, pemerintahan Jokowi harus bertanggung jawab membangun sistem yang baik dengan teknologi yang semakin berkembang ini.
Keberhasilan Jokowi membangun infrastruktur dan tidak mangkrak paling tidak bisa digunakan sebagai bukti, bahwa sistem yang dibangun sudah cukup baik sehingga peluang korupsi yang bisa membuat proyek mangkrak, dan kualitas menurun bisa ditekan dan bahkan dihilangkan. Bandingkan dengan masa sebelumnya, meskipun sudah ada niat membangun, tak dapat mudah terealisasi atau ujung-ujungnya mangkrak karena dikorupsi. Dan semoga, sistem lainnya pun diperbaiki, supaya tak ada peluang orang sekelas menteri ikut korupsi. Udah ah, itu aja….
Cak Anton
Jokowi ‘Mengambil’ Tangan Soeharto

Penyebar Hoax Di Mana Otaknya? Masa China Minta Dua Pulau Untuk Bayar Utang Indonesia

Baru-baru ini Jokowi bicara soal jangan alergi dengan Asing dan Aseng. Asing dan Aseng ini mungkin dua makhluk paling sial di negara RI ini karena terus menjadi sasaran kebencian dan fitnah, terutama si masa tahun politik di mana ini digunakan sebagian elit politik untuk mencari muka dengan memancing emosi masyarakat yang memang bisa dibodoh-bodohi.
Baru-baru ini kembali muncul hoax yang menyeret negara China. Kasihan banget negara ini. Beredar di media sosial, narasi yang menyebut bahwa China meminta dua pulau kepada Presiden Jokowi untuk membayar utang Indonesia. Narasi itu dilengkapi dengan screenshot artikel berjudul "Tiongkok Minta Dua Pulau untuk Bayar Utang RI? Ngawur tuh" yang memuat foto Jokowi sedang berjabat tangan dengan Presiden Cina Xi Jinping.
Unggahan itu dibagikan oleh seorang pemilik akun Facebook (tak perlu tahu nama, anggap saja orang bodoh) pada tanggal 8 September 2019. Dalam unggahan itu, dia juga menulis:
“Awalnya minta pulau lama lama minta semua negeri ini. Jokoun penjahat demokrasi. Dia hanya mementingkan perutnya dan golongannya. Boneka bangke.. Mana kebijakan dia yg pro rakyat. Tidak ada!!! memanjakan pejabat.mulai dari gaji mega yg luar biasa, mahfud yg menggiurkan, malah menaikkan gaji pegawai bpjs yg nyata telah mengkorupsi dana bpjs, mengganti mobil mewah mentri. Bagian rakyat hanya... Nanggung utang negara, kenaikan listrik, naiknya bpjs, bbm, pajak. Dimana hatimu saat 700 mayat anggota kpps menjadi tumbal, saat papua bergejolak. Saat rkyt hidup dlm kesusahan krna kebijakanmu... Engkau malah sibuk memindahkan ibukota yg tdk penting. Pemindahan ibukota bukan kepentingan rkyt tp kepentingan siasatmu. UU revisi KPK ulahmu untk melemahkan sistem KPK. Pemimpin yang tidak diridhoi.. Semoga Allah yg akan membalas smua perbuatan mu baik yg nampak atau yg tidak nampak."
Intinya, ini sudah ditelusuri oleh tim pengecek fakta dari media Tempo. Tempo
menelusuri foto Jokowi yang sedang berjabat tangan dengan Xi Jinping yang ada dalam unggahan akun Sosial Media tersebut (lihat link sumber untuk tahu siapa orang tak punya otak yang menyebarkan ini). Foto itu pernah digunakan sejumlah media arus utama di Indonesia, salah satunya situs Beritasatu.com.
Foto itu dimuat oleh laman Beritasatu.com pada 15 Mei 2017 dalam berita yang berjudul “Jokowi Bahas Kerja Sama Investasi di Tiongkok”. Berita tersebut berisi informasi tentang Presiden Jokowi yang baru saja membahas sejumlah kerja sama ekonomi dengan pelaku bisnis asal Cina, yakni pimpinan perusahaan Shanghai Electric Co Ltd, dan Direktur Eksekutif International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde di sela-sela kunjungan kerjanya ke Cina untuk menghadiri KTT Belt and Road Forum.
Kesimpulannya, berdasarkan semua bukti yang ada, narasi China meminta dua pulau kepada Presiden Jokowi untuk membayar utang Indonesia merupakan pernyataan yang tidak benar. Sumber yang digunakan akun penyebar adalah berita verifikasi atas sebuah kabar hoaks yang beredar. Foto yang digunakan adalah foto pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden China Xi Jinping di Beijing pada 14 Mei 2017.
Kesimpulan lainnya adalah masih banyak orang yang tidak menggunakan otaknya dengan benar saat menyebarkan sebuah berita atau informasi. Otak tidak dipakai, tapi lebih terpancing emosinya gara-gara terlalu benci dengan sebuah isu atau negara.
Bisa jadi orang yang menyebarkan ini masih ngamuk tak rela dengan hasil pilpres kemarin. Saking bencinya, ya hoax pun disebarkan dengan komentar yang terlihat cerdas tapi kenyataannya bodoh. Mungkin juga orang ini pembenci presiden akut, jadi negara Aseng pun jadi korban kebencian orang ini.
Kalo dipikir-pikir, mungkin negeri ini bisa dengan mudahnya pecah perang saudara atau parahnya perang dengan negara lain, kalo disulut dengan berita-berita hoax yang sering beredar belakangan ini, ditambah dengan budaya masyarakatnya yang tidak sedikit lebih suka (lebih cocok disebut bodoh) dan lebih percaya dengan hoax dibanding berusaha untuk mencari kebenaran. Malas cek, pokoknya ada aseng, hajar. Ada asing hajar.
Buat yang suka percaya model ginian, tolong pakai otak karena itulah kelebihan kita dibanding makhluk lain, bisa berpikir dan menganalisa. Bagi yang sebarkan, coba cari dulu otaknya di mana? Mungkin nyangkut entah di mana.
Bagaimana menurut Anda?
Penyebar Hoax Di Mana Otaknya? Masa China Minta Dua Pulau Untuk Bayar Utang Indonesia

"KPK, SIAPA YANG BERKUASA?"

Apa yang sebenarnya terjadi di KPK selama ini? Siapa atau kekuatan mana yang sedang berkuasa? Selamat menyaksikan live streaming Seruput Kopi Eksklusif dengan Denny Siregar bersama Antasari Azhar. 
Silahkan klik link videonya atau tonton langsung : https://www.youtube.com/watch?v=33X0oZReLUk

TALIBAN DI KPK

Beredar petisi tidak percaya kepada Pansel Capim KPK yang bertujuan menggalang dukungan dari masyarakat, supaya Jokowi akhirnya memecat anggota Pansel yang pernah dipilihnya sendiri. Ada apa? Kenapa mereka baru ribut sekarang? Apakah ini berhubungan dengan penguasa yang ada di tubuh KPK? Seperti, polisi taliban? Markibong, mari kita bongkar semua di Timeline. 
Silahkan klik link videonya atau tonton langsung : https://www.youtube.com/watch?v=U4mF3t_EgcA

JOKOWI TIDAK MEMBUNUH KPK

Revisi UU KPK menimbulkan polemik yang cukup panas. Ada yang mengatakan ini upaya pengerdilan bahkan pembunuhan KPK. Apakah demikian? Atau ini justru cara Jokowi dalam membenahi KPK? Markibong! Mari kita bongkar bersama di Timeline bersama Denny Siregar.
Silahkan klik link videonya atau tonton langsung : https://www.youtube.com/watch?v=_ptSjWSrD1o

NOVEL BASWEDAN

Novel Baswedan, salah satu nama penting dalam perseteruan di KPK. Mulai dari kaitannya dengan kelompok Taliban hingga hubungannya dengan Ketua KPK yang baru, Irjen Polisi Firli Bahuri. Siapakah sebenarnya Novel? Seberapa kuatkah dia? Siapa saja orang di belakangnya? Markibong! Mari kita bongkar semua bersama Denny Siregar di Timeline. 
Silahkan klik link videonya atau tonton langsung : https://www.youtube.com/watch?v=XC5hD9Wywho

Re-post by MigoBerita / Kamis/19092019/17.42Wita/Bjm
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya