Doa Li Khomsatun dari KH Hasyim Asy’ari
untuk Tangkal Wabah Corona COVID-19
Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa membacakan doa yang telah diijazahi oleh KH Hasyim Asy'ari untuk umat. Doa itu diyakini bisa menangkal wabah virus corona baru (COVID-19) yang tengah melanda dunia.
Doa yang populer di kalangan Nahdiyin (sebutan untuk warga NU) itu dipercaya dapat menangkal segala keburukan yang melanda, termasuk menangkal wabah virus corona COVID-19.
Bacaan doa itu diunggah oleh Gubernur Khofifah melalui akun Instagram resminya, @khofifah.ip pada Rabu, 1 April 2020. Hingga tulisan ini terbit, video berdurasi 2 menit 16 detik tersebut telah ditonton sebanyak 128.000 orang.
Berikut Bacaan Doa 'Li Khomsatun' Beserta Arti
Li khomsatun athfi biha
Aku berharap diselamatkan dari panas derita wabah yang bikin sengsara
Harral-waba’il-hatimah
Dengan wasilah derajat luhur lima pribadi mulia yang aku punya
Al-Mushtafa wal-murtadha
Baginda Nabi Muhammad al-Mushtafa SAW, Sayyidina Ali al-Murtadha
Wa abnahuma wa fathimah
Dan kedua putra (Hasan dan Husain) serta Sayyidatina Fathimah az-Zahra binti Rasulillah SAW
*Dalam video tersebut, Gubernur Khofifah mengulang bacaan doa itu sebanyak 3 kali.
Dilansir dari berbagai sumber, doa Li Khomsatun tersebut berasal dari pendiri tarekat Syadiliiah yaitu Imam Abu Hasan Asy-Syadzili. Di Indonesia, salah satu pewaris sanad doa itu adalah KH Hasyim Asy'ari.
Rais Syuriah PBNU, KH Ahmad Ishomuddin menyatakan bahwa syair doa tersebut berada dalam kitab berjudul Malâhiq fî Fiqh al-Dakwah al-Nûr, karya Syaikh Badi'uzzaman Sa'id al-Nursi.
Pada catatan kaki doa Li Khomastun itu, menunjukkan bahwa doa tersebut diambil dari kitab berjudul Majmu'atul Ahzab Asy-Syadziliah.
Kitab tersebut berisi kumpulan hizib atau doa-doa milik Imam Abu Hasan Asy-Syadzili yang dikumpulkan oleh Syaikh Dziya' ad-Din Ahmad bin Musthafa bin Abdurrahman.
Sumber Berita : https://surabaya.liputan6.com/read/4217547/doa-li-khomsatun-dari-kh-hasyim-asyari-untuk-tangkal-wabah-corona-covid-19
Li Khomsatun, Jimat di Tengah Wabah
Di rumah
saya terpasang sebuah kaligrafi di sisi barat ruang tamu. Ukurannya
cukup besar, panjangnya sekitar 1,5 meter dengan pigura warna emas. Ia
terpampang dengan cantiknya di atas jendela, diapit foto dua Ulama
Qur’an besar sebagaimana lazimnya ruang tamu orang NU, selain logo NU
itu sendiri di bagian lain dalam rumah.
Kaligrafi tersebut bertuliskan sebuah syair dengan khat (kalau tidak salah) Farisi:
المصطفى والمرتضى وابناهما وفاطمة
Terjemahan syair ini kurang lebih adalah tentang lima “jimat” yang dimiliki dalam hidup, yang dengan wasilahnya diyakini bisa memadamkan segala penyakit dan epidemi yang mengancam manusia, baik yang berpotensi merusak lahir maupun batin.
Kelima jimat pegangan hidup itu berupa lima sosok manusia; yaitu Al-Musthofa (Rasulullah Muhammad), Al-Murtadho (Sayyidina Ali), kedua anaknya (Sayyid Hasan dan Husein) serta Fatimah.
Kelimanya adalah perlambang puncak keluhuran manusia dari sisi kemuliaan teladan dan akhlak Al-Musthafa, kebijaksanaan ilmu Al-Murtadha, keberanian dan sifat ksatria Hasan dan Husein, serta kejernihan hati seorang ibu bernama Fatimah.
Di beberapa tempat, suara parau mbah-mbah muazin menembus senja sambil bersenandung dengan syi’ir ini sembari menunggu iqamat shalat Maghrib. Kadang disertai syair berbahasa Jawa. Meski harus diakui, musala dan masjid kita yang makin ramai justru makin sepi dari senandung indah semacam ini. Pujian yang jadi doa, menyelimuti semua telinga yang dihampirinya.
Akan tetapi sayang sekali jimat ini justru dipandang dengan miring oleh kelompok tertentu. Coba cari kata “li khomsatun” di mesin pencarian Mbah Google itu. Di beberapa situs teratas justru menyandingkan bait tersebut dengan kata “Waspada!” Dan “Syiah”. Ini sama sekali tidak masuk akal saya. Bagaimana mungkin lima sosok luhur jimat alam semesta ini harus diwaspadai? Su’ul adab namanya, diwaspadai macam maling saja. Tak ada yang perlu diwaspadai dari syi’ir ini kecuali cuma tuduhan tak bertanggungjawab dari orang-orang tentangnya.
Penyebutan kelima sosok manusia itu sebagai jimat membuat beberapa kelompok menengarai tradisi ini sebagai tanda-tanda Islam kita “terjangkit” paham Syiah yang ‘sesat’.
“Nadyan ibadah sak umur-umur, amal ibadah ora kena diukur, marang limane yen ora akur..”
(Meskipun beribadah seumur hidup, amal ibadah tidak akan bisa diukur apabila memusuhi kelimanya) Begitu penggalan syair mengingatkan kepada kita.
Apalah arti disebut Syi’ah jika itu berarti mencintai Rasulullah dan keluarganya. Kalau tidak salah, Gus Dur pernah mengutip sebuah sya’ir dari Imam Syafi’i (jika salah mohon dibenarkan)
إن كان رفضاً حبُّ آلِ محمدٍ … فليشهدِ الثقلانِ أَني رافضي
Tidak aneh pula jika Gus Dur juga menyebut, meski secara aqidah kita Asy’ari, tapi tradisi Islam di Nusantara praktisnya bertradisi mirip Syi’i.
Lagipula, kaligrafi itu datang tidak sembarang datang. Dia datang sebagai kenang-kenangan dari Pondok Yanbu’ul Qur’an Kudus, beberapa tahun lalu. Rumah kami keberkahan menjadi lokasi sema’an dan pertemuan Santri Yanbu’, dan dirawuhi langsung oleh KH. Ulinnuha Arwani, yang juga menyaksikan penyerahan kenang-kenangan itu. Saya anggap saja itu kaligrafi pemberian Mbah Kyai Ulin, minimal direstui kehadirannya oleh beliau.
Kembali ke li khomsatun. Sesuai dengan makna harafiyahnya, wasilah syi’ir ini diyakini banyak orang bisa melindungi manusia dari ancaman wabah penyakit, bahkan kebakaran. Maka tidak jarang bait ini ditemukan tertempel/ditulis di bagian belakang pintu rumah, atau dalam secarik kertas yang terselip di bingkai jendela.
Kepercayaan atas sebuah nama sudah dimulai sejak manusia pertama. Alkisah, Nabi Adam As bermunajat kepada Allah, dengan berwasilah melalui nama agung Nabi Muhammad Saw dalam pertobatan atas khilafnya. Perihal sebuah nama, tidak bisa kita abaikan begitu saja.
Di tengah wabah penyakit yang tidak menyenangkan belakangan, bayangan kaligrafi di atas jendela itu menyeruak menembus ingatan. Kepala saya dihampiri lagi senyum teduh Mbah Kyai Ulinnuha yang duduk lesehan di ruang tamu. Begitu juga foto ayahanda beliau, Al-Muqri’ Al-Kabir, Mbah Kyai Arwani di sisi kanan kaligrafi itu, dan gambar Mbah Kyai Mufid Mas’ud Allah Yarham di sebelah kirinya.
Kaligrafi tersebut bertuliskan sebuah syair dengan khat (kalau tidak salah) Farisi:
Terjemahan syair ini kurang lebih adalah tentang lima “jimat” yang dimiliki dalam hidup, yang dengan wasilahnya diyakini bisa memadamkan segala penyakit dan epidemi yang mengancam manusia, baik yang berpotensi merusak lahir maupun batin.
Kelima jimat pegangan hidup itu berupa lima sosok manusia; yaitu Al-Musthofa (Rasulullah Muhammad), Al-Murtadho (Sayyidina Ali), kedua anaknya (Sayyid Hasan dan Husein) serta Fatimah.
Kelimanya adalah perlambang puncak keluhuran manusia dari sisi kemuliaan teladan dan akhlak Al-Musthafa, kebijaksanaan ilmu Al-Murtadha, keberanian dan sifat ksatria Hasan dan Husein, serta kejernihan hati seorang ibu bernama Fatimah.
Di beberapa tempat, suara parau mbah-mbah muazin menembus senja sambil bersenandung dengan syi’ir ini sembari menunggu iqamat shalat Maghrib. Kadang disertai syair berbahasa Jawa. Meski harus diakui, musala dan masjid kita yang makin ramai justru makin sepi dari senandung indah semacam ini. Pujian yang jadi doa, menyelimuti semua telinga yang dihampirinya.
Akan tetapi sayang sekali jimat ini justru dipandang dengan miring oleh kelompok tertentu. Coba cari kata “li khomsatun” di mesin pencarian Mbah Google itu. Di beberapa situs teratas justru menyandingkan bait tersebut dengan kata “Waspada!” Dan “Syiah”. Ini sama sekali tidak masuk akal saya. Bagaimana mungkin lima sosok luhur jimat alam semesta ini harus diwaspadai? Su’ul adab namanya, diwaspadai macam maling saja. Tak ada yang perlu diwaspadai dari syi’ir ini kecuali cuma tuduhan tak bertanggungjawab dari orang-orang tentangnya.
Penyebutan kelima sosok manusia itu sebagai jimat membuat beberapa kelompok menengarai tradisi ini sebagai tanda-tanda Islam kita “terjangkit” paham Syiah yang ‘sesat’.
“Nadyan ibadah sak umur-umur, amal ibadah ora kena diukur, marang limane yen ora akur..”
(Meskipun beribadah seumur hidup, amal ibadah tidak akan bisa diukur apabila memusuhi kelimanya) Begitu penggalan syair mengingatkan kepada kita.
Apalah arti disebut Syi’ah jika itu berarti mencintai Rasulullah dan keluarganya. Kalau tidak salah, Gus Dur pernah mengutip sebuah sya’ir dari Imam Syafi’i (jika salah mohon dibenarkan)
إن كان رفضاً حبُّ آلِ محمدٍ … فليشهدِ الثقلانِ أَني رافضي
Tidak aneh pula jika Gus Dur juga menyebut, meski secara aqidah kita Asy’ari, tapi tradisi Islam di Nusantara praktisnya bertradisi mirip Syi’i.
Lagipula, kaligrafi itu datang tidak sembarang datang. Dia datang sebagai kenang-kenangan dari Pondok Yanbu’ul Qur’an Kudus, beberapa tahun lalu. Rumah kami keberkahan menjadi lokasi sema’an dan pertemuan Santri Yanbu’, dan dirawuhi langsung oleh KH. Ulinnuha Arwani, yang juga menyaksikan penyerahan kenang-kenangan itu. Saya anggap saja itu kaligrafi pemberian Mbah Kyai Ulin, minimal direstui kehadirannya oleh beliau.
Kembali ke li khomsatun. Sesuai dengan makna harafiyahnya, wasilah syi’ir ini diyakini banyak orang bisa melindungi manusia dari ancaman wabah penyakit, bahkan kebakaran. Maka tidak jarang bait ini ditemukan tertempel/ditulis di bagian belakang pintu rumah, atau dalam secarik kertas yang terselip di bingkai jendela.
Kepercayaan atas sebuah nama sudah dimulai sejak manusia pertama. Alkisah, Nabi Adam As bermunajat kepada Allah, dengan berwasilah melalui nama agung Nabi Muhammad Saw dalam pertobatan atas khilafnya. Perihal sebuah nama, tidak bisa kita abaikan begitu saja.
Di tengah wabah penyakit yang tidak menyenangkan belakangan, bayangan kaligrafi di atas jendela itu menyeruak menembus ingatan. Kepala saya dihampiri lagi senyum teduh Mbah Kyai Ulinnuha yang duduk lesehan di ruang tamu. Begitu juga foto ayahanda beliau, Al-Muqri’ Al-Kabir, Mbah Kyai Arwani di sisi kanan kaligrafi itu, dan gambar Mbah Kyai Mufid Mas’ud Allah Yarham di sebelah kirinya.
Beberapa
hari belakangan, syi’iran ini kembali saya senandungkan selepas tengah
malam. Dengan berwasilah kepada nama-nama agung itu, saya berdoa untuk
perlindungan bagi kita semua. Karena memang hanya itu yang saya punya.
Foto Kaligrafi Jimat Li Khomsatun di Rumah Penulis. Doc: Fairuz
Li Khomsatun لِي خَمْسَةٌ (Arab, Latin, Terjemahan Dan Jawa)
Teks Bacaan Do'a Li Khomsatun
لِي خَمْسَةٌ أُطْفِئ بِهاَ
حَرَّ الوَباَءِ الحاَطمَة
المُصْطَفَى وَالمُرتَضَى
وَابْناَهُماَ وَفَاطِمَة
Li Khomsatun, uthfi-u biha
Harrol waba-il hathimah
Almusthofa, wal murtadlo
Wabnahuma wa Fathimah
Artinya: “Aku berharap diselamatkan dari panas derita wabah yang bikin sengsara dengan wasilah derajat luhur lima pribadi mulia yang aku punya: Baginda Nabi Muhammad al-Mushthafa saw, Sayyidina Ali al-Murtadla dan kedua putra (Hasan dan Husain), serta Sayyidatina Fathimah Azzahra, binti Rasulillah saw’.”
Versi Jawa: LIKHOMSATUN (LIMA PUSAKA)
Likhomsatun Uthfi biha
Haaran Wabaail hatimah
Almusthofa wal Murtadho
Wabnahuma Wa Fatimah
Saya memiliki lima pusaka,
untuk membuka pintu surga,
untuk memadamkan api neraka,
dan menolak siksanya Allah
Kulo gadah ji-aji limo
Kangge mbukak lawang suargo
Kanggo nyirep geni neroko
lan nyengkalani siksane Allah
Saya memiliki lima pusaka
Untuk membuka pintu surga
Untuk memadamkan api neraka
Dan menolak siksanya Allah
Aji-aji limo wujud menungso
Linuwih ilmu sugeh tulodho
Tindak lampahe adoh ing olo
Manah niate tansah waskito
Pusaka lima berwujud manusia,
Puncaknya ilmu (dan) sumber teladan
Tingkah dan perilakunya jauh dari kesalahan
Hati dan akalnya selalu lurus
Kanjeng Muhmmad rosulillah
Sayyidatunnisa’ Siti Fatimah
Sayyidina Ali Karomallahu Wajhah
Putro kekalih Hasan lan Husein
Nabi Muhammad Rasulillah,
Sayyidatunnisa Siti Fathimah,
Sayyidina Ali karramallahu wajhah,
Dan kedua putranya Hasan dan Husain
Poro Malaikat podo sholawat
Bumi lan langit sedoyo khidmat
Jjiwo limo kinasih Allah
Jiwo liwo satruning doso
Para malaikat semua bershalawat
Bumi dan langit semua berkhidmat
Jiwa lima kekasih Allah
jiwa lima tidak pernah melakukan dosa (bermaksiat)"Nadyan
Sinten mawon kang nyolawati
Kanjeng Nabi tansah nyafa’ati
Marang limone yen tresnani
Gusti Allah bakal ngridloni
Siapa saja yang suka bershalawat
Baginda Nabi saw akan memberikan safa’atnya
Untuk siapa saja yang mencintai mereka
Allah akan selalu meridhainya
Boten bakal diterimo sholate
Yen mboten maos sholawate
Imam Syafi’i ngendikaake
Niki bukti agunge derajate
Tidak akan diterima sholatnya
Jika tidak membaca sholawat (kepada Nabi Muhammad dan keluarganya)
Imam syafi’i pernah mengingatkan (tentang keutamaan Ahlul Bayt)
Ini adalah bukti keagungan derajatnya (di sisi Allah swt)
Najan Ibadah sakumur-umur
Amal Ibadah ra keno diukur
Marang limone yen ora akur
Neroko panggone bakale njegur
Meski ibadah selama hidupnya
Sedekah sebanyak-banyaknya
(Tapi) jika Kepada kelima (manusia suci) itu (memusuhi)
Nerakalah tempat yang akan dimasukinya
Sumber Informasi : https://gitareligi.blogspot.com/2020/03/li-khomsatun-arab-latin-terjemahan-dan.html
Re-post by MigoBerita / Jum'at/03042020/09.11Wita/Bjm