» » » Selamat Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober

Selamat Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober

Penulis By on Rabu, 28 Oktober 2020 | No comments


Migo Berita - Banjarmasin - Selamat Hari Sumpah Pemuda. Ahdiat Zairullah selaku Orang Muda dan Koordinator Wilayah BEM se-Kalsel merasa Haknya sebagai warga negara di bungkam dengan dinyatakan sebagai tersangka karena melanggar UU dimana melebihi waktu Demo yang telah ditentukan Undang-Undang atas berbagai laporan masyarakat yang merasa Jalanan tempatnya berdemo telah mengganggu aktivitas umum karena melebihi waktu demo yang ditentukan Undang-Undang. Lalu apakah ini salah Jokowi?? karena kita tahu bersama Ahdiat adalah salah satu penggemar Rocky Gerung dimana dimata Rocky Kerja Jokowi dinilainya Minus seperti pernyataannya baru-baru ini di Acara Mata Najwa.  Pernyataan sebagai Tersangka ini diralat oleh Kepolisian Sementara sebagai SAKSI (Silahkan Baca selengkapnya di bagian terakhir kumpulan berita dibawah ini)

Rocky Gerung dan Tokoh pendiri KAMI di KalSel yang didaulat juga sebagai Pembicara

Padahal Ahdiat sudah dibiarkan hingga subuh ketika Demo Pertama Menolak UU CIpta Kerja oleh aparat yang akhirnya terpakasa dibubarkan, dimana Ahdiat dan kawan kawan saat itu juga bersikeras menggelar Demo terus-menerus hingga Presiden Jokowidodo datang untuk membatalkan UU tersebut yang berarti "Memaksakan Kehendak" tanpa sesuai aturan, dimana kalau ada Undang Undang Cipta Kerja yang dianggap salah, seharusnya dilakukan Judicial Review di MK(Mahkamah Konstitusi), kalau perlu minta disiarkan langsung oleh Media Dalam dan Luar negeri agar kita tahu kualitas mahasiswa kita ketika berdebat didalam persidangan, kalau memang tulus demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara seharusnya berikan juga solusi dalam persidangan tersebut, Namun AHDIAT sudah menyatakan Mosi Tidak Percaya kepada MK hingga MOSI Tidak percaya kepada DPR dan Pemerintah. Ketika seperti ini, bagaimana Seorang AHDIAT memperjuangkan Hak Hak Rakyat, apakah mesti berbuat rusuh ?? Apakah mesti melanggar waktu Demo yang sudah ditentukan Undang-undang ??? Mungkin Hanya AHDIAT dan Sang Maha Pencipta yang TAHU,mengapa dia sampai TIDAK PERCAYA kepada MK, atau karena Ormas Terlarang HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang memuja KHILAFAH versi mereka KALAH dalam persidangan di MK, sehingga Mosi Tidak Percaya dilayangkan kepada MK.??? Silahkan Pembaca Migo Berita untuk menyimpulkan sendiri...!!! (Pic diatas Courtesy jejakrekam.com yang di Re-photoshop)

AJI : Hentikan Kesewenang-wenangan Perusahaan Media di Tengah Pandemi

DI TENGAH situasi Pandemi Covid-19, risiko pekerjaan jurnalis dan pekerja media semakin berat. Ketika pembatasan sosial dilakukan di sejumlah daerah, para jurnalis harus tetap turun ke lapangan untuk melakukan peliputan dan pekerja media harus rutin berkantor untuk menyusun laporan-laporan peliputan.

KARENA tuntutan pekerjaan yang sangat berisiko, beberapa jurnalis dan pekerja media akhirnya bertumbangan terpapar virus korona. Berdasar data yang dikumpulkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sejak Maret hingga September 2020, setidaknya 242 jurnalis dan pekerja media dinyatakan positif Covid-19.

Namun, alih-alih mendapatkan perlindungan lebih dari perusahaan media tempat mereka bekerja, beberapa jurnalis dan pekerja media justru semakin terampas hak-haknya sebagai pekerja. Hingga bulan ke-8, pandemi Covid-19, AJI menerima sejumlah laporan adanya perusahaan-perusahaan media yang menunda pembayaran gaji, memotong gaji, dan bahkan melakukan PHK sepihak terhadap karyawannya.

Bulan Juni 2020 lalu, media siber Kumparan melakukan PHK terhadap sejumlah karyawan dengan proses sosialisasi yang sangat singkat, yaitu sepekan sejak pengumuman PHK disampaikan. Ironisnya, karyawan yang di-PHK hanya mendapatkan pemberitahuan melalui surat elektronik (email).Menurut pantauan AJI Surabaya, awal Agustus 2020 lalu, sejumlah jurnalis dan pekerja media Jawa Pos juga “dipaksa” mengambil opsi pensiun dini. Jika menolak, maka mereka akan di-PHK. Manajemen berdalih melakukan program resizing tersebut sebagai langkah efisiensi karena dampak pandemi terhadap bisnis perusahaan.

Ironisnya, para jurnalis dan pekerja media yang diberhentikan ternyata kemudian dipekerjakan kembali oleh PT Jawa Pos Koran sebagai karyawan berstatus kontrak dengan durasi kerja beragam atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Beberapa pengurus Serikat Pekerja Jawa Pos yang menolak pensiun dini akhirnya di-PHK pada pertengahan Agustus 2020 lalu.

Pada bulan yang sama, di Jakarta, para jurnalis dan pekerja media The Jakarta Post juga gundah setelah manajemen perusahaan mengumumkan akan ada PHK besar-besaran karena perusahaan kesulitan pembiayaan. Rencana tersebut sempat ditunda karena perusahaan berkomitmen mencari investor baru.

Namun demikian, hingga Oktober situasi tersebut masih menggantung tidak jelas, karyawan masih bertanya-tanya tentang nasib mereka ke depan.

Tanggal 12 Oktober 2020, dalam sebuah pertemuan besar dengan karyawan, manajemen mengumumkan belum ada investor baru yang masuk. Pada kesempatan itu, manajemen kemudian menawarkan paket pengunduran diri secara sukarela dengan kompensasi 1 PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja), sebuah tawaran yang jauh dari ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan, yaitu 2 PMTK seperti diatur dalam pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Tawaran PHK juga disampaikan Tempo kepada karyawannya. Berbeda dengan The Jakarta Post yang membuka komunikasi kepada seluruh karyawan, manajemen Tempo menyampaikan surat pemberitahuan PHK kepada belasan karyawan dengan dipanggil satu per satu. Menurut pengakuan beberapa karyawan yang dipanggil, kriteria pemanggilan tersebut tidak jelas.

Dalam pertemuan dengan karyawan yang akan di-PHK, manajemen Tempo menawarkan uang PHK sebesar 1,5 PMTK (bukan 1,5 gaji pokok seperti yang beredar di media sosial). Nilai ini masih di bawah ketentuan normatif UU Ketenagakerjaan sebesar 2 PMTK. Seperti di Jawa Pos, beberapa karyawan yang di-PHK ditawari untuk bekerja kembali di Tempo sebagai kontributor dengan status karyawan PKWT.

Menurut laporan yang masuk ke AJI, sejumlah perusahaan media besar di ibukota juga menunda pembayaran gaji serta tunjangan hari raya (THR) karyawan serta memotong gaji karyawan karena krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Penundaan dan pemotongan gaji serta THR masih terus berlangsung seiring belum tuntasnya penanganan pandemi Covid-19.

Dahsyatnya pukulan pandemi tentu dirasakan semua pihak, namun demikian krisis ini tidak bisa dijadikan alasan bagi perusahaan-perusahaan media untuk bertindak sewenang-wenang kepada karyawannya. Oleh karena itu, AJI menyampaikan beberapa butir pernyataan sikap:

1.   Hentikan praktik-praktik penundaan gaji, pemotongan gaji, dan PHK sepihak.

2.   Hentikan PHK yang tidak mengindahkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja belum siap diterapkan saat ini, maka seluruh proses sengketa ketenagakerjaan tetap wajib menggunakan Undang-Undang Ketenagakerjaan.

3.   Hentikan praktik-praktik efisiensi sepihak di perusahaan yang merugikan atau tidak menghargai martabat karyawan, seperti PHK yang ditindaklanjuti dengan mempekerjakan kembali karyawan dengan status PKWT.

4.   Hentikan upaya-upaya pemberangusan serikat pekerja/perwakilan karyawan. Karyawan berhak berkumpul untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

5.   Di tengah pandemi, perusahaan media mesti membangun komunikasi dialogis dengan seluruh karyawan untuk mencari solusi-solusi terbaik bagi semua pihak.

6.   Hargai karyawan sebagai aset berharga perusahaan. Sebesar apapun perusahaan tidak akan bergerak jika tidak ditopang oleh individu-individu karyawan sebagai “sel-sel”nya.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat. Semoga masa-masa berat ini menjadi pembelajaran bagi kita bersama untuk tetap saling menghargai dan mendukung satu sama lain. Salam sehat selalu.(jejakrekam)

Jakarta, 26 Oktober 2020

Sekretaris Jenderal AJI  Revolusi Riza                        

Koordinator Bidang Ketenagakerjaan AJI Wawan Abk


Sumber Berita : https://jejakrekam.com/2020/10/26/aji-hentikan-kesewenang-wenangan-perusahaan-media-di-tengah-pandemi/ 

Kecam Tindakan Aparat, Cak Kiss: Ada Indikasi Pembungkaman Demokrasi

DIREKTUR Eksekutif Wahana Lingkugan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, mengecam sikap aparat yang menetapkan dua aktivitas mahasiswa di Banjarmasin sebagai tersangka, akibat buntut dari aksi demonstrasi menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja.

AKTIVIS lingkungan berambut gondrong yang akrab disapa Cak Kiss ini pun sempat menyinggung sikap Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam keterlibatan mengawal aksi demonstran menolak omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja.

“Perlu saya pertanyakan, ini mohon maaf nih, Polri ini apakah polisi Republik Indonesia atau polisi republik investor?” singgung Cak Kiss kepada awak media, usai aksi di perempatan Jalan Lambung Mangkurat-Jalan Pangeran Samudera, Banjarmasin, Rabu (28/10/2020) petang.

Cak Kiss menilai, kebebasan berpendapat mestinya harus dilindungi di negara demokrasi. Ia menegaskan, tugas polisi saat aksi demonstrasi itu mengamankan dan mengawal demonstran. Bukan malah sebaliknya.

“Untuk itu, saya atas nama pribadi dan Walhi mengecam perilaku tersebut,” kesalnya.

Di sisi lain, Cak Kiss juga mengakui bahwa dirinya turut dipanggil Polda Kalsel pada tanggal 2 November mendatang. Pemanggilan aktivis senior tersebut juga dimintai keterangan sebagai saksi soal aksi demonstrasi yang berlangsung hingga malam hari itu.

Hal ini, lagi-lagi menurut Cak Kiss, tentu dipertanyakan. Wajar saja, ia menilai bahwa ada indikasi pembungkaman demokrasi di negara Indonesia.

“Padahal selama ini aksi-aksi di Kalsel bisa menjadi contoh di Indonesia karena selalu melakukan aksi damai. Tapi sekali lagi mengapa aparat justru memanggil dan bahkan menetapkan sebagai tersangka. Sekali lagi, ini adalah bentuk pembungkaman,” cetus Cak Kiss.


Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2020/10/28/kecam-tindakan-aparat-cak-kiss-ada-indikasi-pembungkaman-demokrasi/ 

Dua Aktivis Mahasiswa Jadi Tersangka, Wakil Rektor III ULM : Jangan Sampai Perkara ke Pengadilan

PENYIDIK Direktorat Reserse Kriminal Umum (Diteskrimum) Polda Kalsel memanggil Wakil Rektor III Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Muhammad Fauzi Makki guna dimintai keterangan sebagai saksi atas aksi demonstrasi  menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.

“KALAU dari surat panggilan, saya diminta keterangan sebagai saksi atas aksi demonstrasi dan berkerumun mahasiswa pada Kamis (15/10/2020) kemarin,” ucap  Wakil Rektor III ULM, Muhammad Fauzi Makki kepada awak media di Mapolda Kalsel, Selasa (27/10/2020).

Terkait ada dua mahasiswa yang menjadi tersangka, Fauzi berharap berharap perkara ini tidak sampai ke pengadilan.

“Mungkin pihak kepolisian perlu juga memahami bahwa mahasiswa menyampaikan aspirasi dan polisi menjalankan tugasnya. Makanya, kami berharap masalah ini tidak berujung ke pengadilan. Tapi, kami juga menghargai penyidik, dan saya berharap ada jalan keluar yang terbaik,” ucapnya.Sementara itu, Kabid Humas Polda Kalsel Kombes Pol Mochamad Rifa’i saat ditemui membenarkan pihaknya telah memeriksa Wakil Rektor III ULM

“Iya benar kita telah memeriksa Wakil Rektor III ULM, terkait dengan kegiatan unjuk rasa adik-adik mahasiswa beberapa waktu lalu, yang mana kita ambil keterangan sebagai saksi,” ucap Rifa’i.


Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2020/10/27/dua-aktivis-mahasiswa-jadi-tersangka-wakil-rektor-iii-ulm-jangan-sampai-perkara-ke-pengadilan/ 

Demo di Hari Sumpah Pemuda, Ratusan Polisi Dikerahkan Kawal Aksi Mahasiswa di Banjarmasin

RATUSAN personel dari Polda Kalimantan Selatan (Kalsel) dan Polresta Banjarmasin dikerahkan untuk pengamanan aksi demonstrasi penolakan UUU Omnibus Law atau Cipta Kerja di perempatan Hotel A Banjarmasin, Rabu (28/10/2020).

“JUMLAH anggota yang dilibatkan ada ratusan personel gabungan baik dari Polda Kalsel dan Polresta Banjarmasin dengan diback up dan Kodim 1007 Banjarmasin,” kata Kapolda Kalsel Irjen Pol Nico Afinta melalui Kabid Humas Polda Kalsel Kombes Pol Mochamad Rifa’i kepada awak media.

Ia menjelaskan aksi ini diikuti sekitar 100 orang lebih, sehingga perlu pengamanan untuk menghindari hal-hal yang bersifat anarkistis.

“Kalau informasi yang kita dapat, massa yang menggelar aksi ini ada 100-san dan para massa ini sebelum ke lokasi aksi. Terlebih dulu, mereka berkumpul di Kawasan Taman Kamboja Banjarmasin, setelah itu baru menuju simpang empat Hotel A Banjarmasin,” kata Rifa’i.

Kabid Humas Polda Kalsel ini mengatakan personel yang ditugaskan dibekali dengan peralatan pengamanan. Kendati demikian, ia berharap aksi ini tidak anarkis dan bisa berjalan aman dan kondusif.

“Kami sudah menyiapkan alat-alat pengamanan, tapi kita stand by di Gedung DPRD Provinsi Kalsel, karena ini aksi damai juga dan harus melayani para pendemo ini dengan humanis,” tandas perwira menengah Polda Kalsel ini.

Sementara itu di depan Kantor DPRD Provinsi Kalsel, terlihat satu unit kendaraan Armored Water Canon (AWC) milik Polda Kalsel.


Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2020/10/28/demo-di-hari-sumpah-pemuda-ratusan-polisi-dikerahkan-kawal-aksi-mahasiswa-di-banjarmasin/ 

Demo Tolak Omnibus Law Jilid IV Kondusif, Kapolda Kalsel Apresiasi Mahasiswa

AKSI unjuk rasa tolak Undang-undang (UU) Omnibus Law atau Cipta Kerja yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Kalimantan Selatan (Kalsel) berakhir tanpa aksi anarkis, Rabu (28/10/2020) sore.

USAI melakukan orasi di perempatan Hotel A, Jalan Lambung Mangkurat-Pangeran Samudera, massa mahasiswa kali ini tidak mengenakan almamater. Namun, mereka mengenakan pakaian serba hitam. Massa tidak terlampau lama di jalan, kemudian membubarkan diri dengan tertib dan kondusif.

Aksi menyampaikan aspirasi oleh para mahasiswa – mahasiswi dari berbagai kampus di Kota Banjarmasin itu dipantau langsung Kapolda Kalsel Irjen Pol Nico Afinta, beserta para Pejabat Utama (PJU) Polda Kalsel, Kapolresta Banjarmasin, Wakapolresta Banjarmasin dan Pejabat Utama Polresta Banjarmasin serta Kasdim 1007 Banjarmasin.

Kapolda Kalsel melalui Kabid Humas Polda Kalsel Kombes Pol. Mochamad Rifa’i, memberikan apresiasinya kepada para pengunjuk rasa. Karena kegiatan unjuk rasa (unras) dapat berlangsung aman dan kondusif, tanpa terjadi kericuhan apapun.

“Kami ucapkan terima kasih dan apresiasinya kepada teman-teman mahasiswa, yang turun dan ikut dalam aksi pada hari ini. Kami melihat mereka bisa sangat tertib, teratur, dan bisa betul betul mengikuti arahan,” ujarnya.

Ia menerangkan bahwa itu adalah satu bukti, bahwa aksi unjuk rasa tidak perlu ditakuti. “Sebenarnya aksi unjuk rasa tidak perlu ditakuti. Karena yang penting bisa saling memahami, untuk bersama sama saling menjaga keamanan. Sehingga terciptalah aksi unjuk rasa yang dapat berlangsung aman, kondusif tanpa menimbulkan kericuhan,” tandas Kabid Humas Polda Kalsel.

Seperti diketahui, usai melakukan orasi selama hampir dua jam sejak pukul 16.00–18.00 Wita di perempatan Hotel A Banjarmasin, massa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Kalimantan Selatan (Kalsel) kemudian membubarkan diri.

Dengan pengawalan personel Polri, massa bergerak kembali menuju ke titik kumpul, yaitu di Kawasan Taman Kamboja Banjarmasin. Setelah itu, para peserta aksi unjuk rasa kembali ke tempat masing masing.

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2020/10/28/demo-tolak-omnibus-law-jilid-iv-kondusif-kapolda-kalsel-apresiasi-mahasiswa/

Mimbar Bebas Sumpah Pemuda di Banjarmasin: Penuh Duka dan Kecewa Mahasiswa

KOORDINATOR Wilayah BEM se-Kalimantan Selatan, Ahdiat Zairullah mengungkapkan kostum hitam saat aksi adalah bentuk kekecewaan dan kedukaan terhadap kebebasan berdemokrasi di Indonesia.

YA, aksi mimbar bebas peringatan hari Sumpah Pemuda ke-92 di bundaran Hotel Arum Banjarmasin pada Rabu (28/10/2020) sore tadi, dipenuhi rasa duka dan kecewa dari mahasiswa.

Pasalnya, selain kecewa atas disahkannya omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja, mahasiswa juga mengaku berduka saat dua pentolan mereka terjerat perkara hukum gegara aksi demonstrasi hingga malam hari. Bahkan harus ditetapkan sebagai tersangka.

Kedua mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kalsel yakni Ahdiat Zairullah dan Ahmad Renaldi. Meski demikian, Ahdiat menegaskan status yang ditetapkan polisi tak membuatnya gentar untuk menyuarakan kebenaran.

“Status tersangka tak akan menghentikan saya untuk menyuarakan kebenaran,” tegas Ahdiat, saat berorasi di tengah puluhan massa.

Menurut aktivis mahasiswa asal Universitas Lambung Mangkurat (ULM) tersebut, aksi mimbar bebas kali ini menandakan bahwa pemerintah tidak bisa lagi menampung aspirasi masyarakat. Di samping, ia tegaskan, tak lagi menyiarkan aspirasi terhadap DPRD Kalsel.

“Tidak ada lagi gunanya mengadu kepada DPRD, hari ini kita hanya mengadu dari rakyat kepada rakyat. Kita saling mendengarkan,” ujarnya.

Selain itu, massa tetap mendesak Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai upaya menjegal aturan sapu jagat tersebut.

Di akhir aksi, hal menarik kembali terjadi. Puluhan massa menutup refleksi peringatan sumpah pemuda dengan pembacaan ‘Sumpah Duka’.

“Kami putra dan putri Indonesia mengaku, berduka yang satu, duka terhadap negara Indonesia”.

“Kami putra dan putri Indonesia mengaku, kecewa yang satu, kecewa terhadap pemerintah Indonesia”.

“Kami putra dan putri Indonesia mengaku, membenci yang satu, membenci kaum elit oligarki,” tutup bunyi orasi dari puluhan mahasiswa.

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2020/10/28/mimbar-bebas-sumpah-pemuda-di-banjarmasin-penuh-duka-dan-kecewa-mahasiswa/

Gelar Mimbar Bebas di Bundaran Hotel A, Massa Bawa Poster Bertuliskan Save Ahdiat dan Renaldi

PULUHAN mahasiswa kembali menggelar unjuk rasa di Jalan Lambung Mangkurat, Kota Banjarmasin, pada Rabu (28/10/2020) sore. Aksi kali ini merupakan momen mereka merefleksikan peringatan Hari Sumpah Pemuda.

POSTER berisi tagar #SaveAhdiat-Renaldi ikut dipampang demonstran dalam aksi itu. Dua mahasiswa ini ditetapkan polisi sebagai tersangka karena diduga ikut bertanggung jawab dalam aksi Omnibus Law, pada Kamis (15/10/2020) silam yang berlangsung melebihi batas waktu.

Berbeda dengan aksi sebelumnya, kali ini mahasiswa kompak memakai kostum serba hitam. Tak lagi memakai jaket almamater kebanggaan asal Perguruan Tinggi masing-masing.

Selain sebagai bentuk momentum refleksi peringatan Hari Sumpah Pemuda, mahasiswa yang tergabung dalam BEM se-Kalimantan juga masih menyuarakan penolakan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan DPR RI.

“Di momen sumpah pemuda ini, marilah kita merefleksikan perjuangan pendahulu-pendahulu kita,” orasi Koordinator Wilayah BEM se-Kalsel, Ahdiat Zairullah.

Ahdiat dalam orasinya juga sempat menyinggung perkara yang menjerat dirinya dan rekan Renaldi lantaran ditetapkan polisi sebagai tersangka dugaan pelanggaran Pasal 218 KUHPidana.

Ia menyebut, saat ini Indonesia bukan lagi negara demokrasi, yang mana untuk menyampaikan aspirasi dan kebebasan berpendapat di muka umum sangat sulit.

“Hari ini saluran aspirasi kita sudah macet, saluran aspirasi kita sedang berupaya di kebiri, sedang berupaya dibungkam,” singgungnya.

“Tetapi kami pastikan. Hari ini kami tetap melawan,” tegas Ahdiat.

Pantauan jejakrekam.com di lapangan, puluhan massa aksi Mimbar Bebas kali ini bukan hanya diikuti oleh kalangan mahasiswa, ada juga dari Aliansi Selamatkan Meratus.

Bahkan, Direktur Wahana Lingkugan Hidup (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono ikut turun dalam aksi mimbar bebas peringatan sumpah pemuda kali ini.

Hingga diturunkannya berita ini, aksi unjuk rasa masih terus berlangsung. Puluhan massa berbaju hitam masih memadati pusat kota Banjarmasin yang turut dikawal aparat kepolisian.


Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2020/10/28/gelar-mimbar-bebas-di-bundaran-hotel-a-massa-bawa-poster-bertuliskan-save-ahdiat-dan-renaldi/

Peneliti Indepemda Kritik Tindakan Polisi yang Periksa Aktivis Mahasiswa Kalsel soal Demo

AKSI protes yang dilakukan kelompok sipil, pelajar dan mahasiswa lintas perguruan tinggi untuk menolak pengesahan UU Omnibus Law memasuki babak baru.

INI setelah Koordinator BEM Se-Kalsel Ahdiat Zairullah bersama rekannya Renaldi dipanggil Ditreskrimum Polda Kalsel untuk melakukan klarifikasi atas dugaan pelanggaran pasal 218 KUHPidana, Senin (26/10/2020).

Peneliti Institut Demokrasi dan Pemerintahan Daerah (Indepemda), Rahmad Hidayat, berpendapat pemanggilan aktivis mahasiswa dapat disimpulkan bahwa gejala otoritarianisme kian tampak.

Berkaca kepada kasus di berbagai wilayah di tanah air, hal serupa juga terjadi penangkapan figur yang kencang menolak pengesahan UU Omnibus Law.

“Bahwa ini bisa dilihat sebagai upaya meredam aksi masif mahasiswa dalam menolak UU Cipta Kerja. Saya kira ini bentuk represif yang mencederai demokrasi,” ujar Dayat.

“Dalam banyak peristiwa memang kondisi pemerintahan kita perlahan perlahan menuju otoritarianisme yang ditandai dengan dipersempitnya ruang bersuara dan berekspresi,” tambahnya.

Dayat lantas mengutip survey Indikator politik Indonesia (IPI) bahwa ada 69,6 persen masyarakat Indonesia takut untuk bersuara ataupun menyatakan pendapat.

“Ini merupakan alarm peringatan bagi demokrasi indonesia, terutama setelah 22 tahun reformasi,” tegas Dayat.

Dia menyebut terdapat ketidak jelasan alat ukur yang digunakan oleh aparat kepolisian dalam menjerat kelompok sipil yang secara prontal bertentangan dengan kepentingan pemerintah.

BACA JUGA: Polisi Sebut Panggilan Korwil BEM Se-Kalsel Ke Polda Berasal Dari Laporan Masyarakat

Fenomena ini, kata Dayat, hampir sama dengan apa yang terjadi semasa Orde Baru, pada masa itu UU Subversif menjadi palugada rezim membungkam suara kritis dari masyarakat sipil.

Dia menyebut saat ini UU ITE menggantikan UU Subversif alat negara untuk mereduksi sikap kritis dari masyarakat.

“Kepada masyarakat saya harap untuk tidak takut menyuarakan sesuatu yang dianggap benar meski berbeda dari versi pemerintah. Semoga pemerintah bisa tetap dewasa dalam berpolitik dengan tetap mengakomodir masyarakat yang memiliki pandangan berbeda,” tutup Dayat. 


Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2020/10/26/peneliti-indepemda-kritik-tindakan-polisi-yang-periksa-aktivis-mahasiswa-kalsel-soal-demo/ 

UMP 2021 Tak Naik, Aliansi Buruh Banua Kecam Menteri Ketenagakerjaan RI

ALIANSI Pekerja Buruh Banua (PBB) Kalimantan Selatan menolak kenaikan UMP Kalsel 2021 hanya sebesar Rp.10.000, yang telah ditetapkan Dewan Pengupahan Provinsi (Depeprov) Kalsel pekan lalu.

PRESIDIUM Aliansi PBB Kalsel Yoeyoen Indharto mengatakan pihaknya sudah melayangkan surat kepada Plt Gubernur Kalsel untuk  tidak menanggapi rekomendasi Depeprov Kalsel tentang kenaikan UMP Kalsel. 

Aliansi PBB juga sangat menyesesalkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan yang memutuskan upah Minimum 2021 Tidak ada kenaikan.

“Dengan keluarnya surat edaran ini, Presidium Aliansi PBB,  mengatakan, aksi perlawanan buruh akan semakin besar penolakan terhadap Upah Murah dan omnibus law UU Cipta Kerja,” ujar Yoeyoen Indharto.

BACA JUGA: APINDO Sebut Tak Semua Perusahaan Mampu Bayar UMP Kalsel

Dia berpandangan Menaker RI tidak memiliki sensitivitas nasib buruh, hanya memandang kepentingan pengusaha semata.

Menurutnya, pengusaha memang sedang susah. Tapi buruh juga jauh lebih susah. Seharusnya pemerintah bisa bersikap lebih adil, yaitu tetap ada kenaikan upah minimum 2021.

“Tetapi bagi perusahaan yang tidak mampu maka dapat melakukan penangguhan dengan tidak menaikan Upah Minimum setelah berunding dengan serikat pekerja di tingkat perusahaan dan melaporkannya ke Kemenaker,” tegasnya.

“Jangan dipukul rata semua perusahaan tidak mampu. Faktanya di tahun 1998 pun tetap ada kenaikan upah minimum untuk menjaga daya beli masyarakat,” kata Yoeyoen menambahkan.

BACA JUGA: Naik 8,5 Persen, UMP Kalsel 2020 Rp 2.877.448

Dia mengatakan UMP tahun depan harus dinaikkan, jika tidak akan membuat situasi semakin panas. Apalagi saat ini para buruh masih memperjuangkan penolakan terhadap UU Cipta Kerja. Di mana seiring dengan penolakan omnibus law, buruh juga akan menyuarakan agar upah minimum 2021 tetap naik. Sehingga aksi-aksi akan semakin besar.

“Kalau alasan upah tidak naik karena saat ini pertumbuhan ekonomi minus tidak tepat.  Bandingkan dengan apa yang terjadi pada tahun 1998, 1999, dan 2000 meskipun pertumbuhan ekonomi minus, upah minimum tetap dinaikkan,” kata  Ketua DPW Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kalsel ini.

Dia menyebut apabila upah minimum tidak naik maka daya beli masyarakat akan semakin turun. Daya beli turun akan berakibat jatuhnya tingkat konsumsi. Ujung-ujungnya berdampak negatif buat perekonomian.

“Tidak semua perusahaan kesulitan akibat pandemi Covid-19. Oleh karena itu, kebijakan kenaikan upah harus dilakukan secara proporsional,” tutup Yoeyoen. 


Sumber Utama :  https://jejakrekam.com/2020/10/28/ump-2021-tak-naik-aliansi-buruh-banua-kecam-menteri-ketenagakerjaan-ri/

92 Tahun Sumpah Pemuda (Minggu, 28 Oktober 1928-Rabu, 28 Oktober 2020) (1)

Oleh : Prof M.P. Lambut, Ems

DI KALA pandemi Covid-19 masih menghantui kehidupan, di kala hiruk pikuk pro-kontra Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja, di kala kesibukan menjelang Pilkada, mungkin inilah satu-satunya tulisan mengenang genap 92 tahun Sumpah Pemuda.

SUMPAH yang diikrarkan oleh poetera-poeteri Nusantara pada malam hari Minggu 28 Oktober 1928 di Gedung Keramat 106 Batavia-Centrum. Nama Batavia-Centrum menyiratkan bahwa disitulah pusat pemerintahan Hindia Belanda, sebutan untuk Indonesia di masa itu.

Republik Indonesia masih 17 tahun lagi baru diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Perang Dunia Il belum meletus dan pendudukan Jepang pada bekas tanah jajahan Hìndia Belanda juga belum terjadi.

Pada tahun 1928 ini kekuasaan pemerintah Hindia Belanda baru saja menghadapi pemberontakan Komunis di Sumatera Barat. Ini berarti bahwa para pemuda-pemudi yang menghadiri Kongres II Pemuda-Pemudi berhadapan denga pengawasan pemerintah Hindia Belanda yang semakin ketat, waspada kemunculan pergerakan yang merongrong kekuasaan pemerintah Belanda di tanah jajahan.

Mr. Muhammad Jamin yang hadir pada peristiwa monumental itu, yang kemudian menulis buku Sumpah Indonesia Raja (Raya), tanpa tanda tahun dan penerbit, memberi catatan :setiap pemuda-pemudi yang hadir, hadir dengan semangat yang berkobar- kobar, semangat Satu Bangsa, Satu Tanah Tumpah Darah, Satu Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.

BACA : Dihiasi Seni Pertunjukan, Kindai Gelar Lima Malam Menuju Hari Sumpah Pemuda

Pada tahun 2010, Panitia HUT NKRI ke-65 Kalsel memberi kesempatan kepada penulis untuk menyajikan sebuah makalah dengan judul: “Seandainya Jiwa dan Semangat Sumpah Pemuda Dapat Lahir Kembali,”

Dalam paparan saya, di kala pasukan Sekutu, pemenang Perang Dunia II dengan mesin perang serba canggih, berhadapan dengan barisan PETA yang hanya bersenjatakan rongsokan senjata Jepang dan mengandalkan bambu-runcing, setiap pejoeang berikrar Merdeka atau Mati. Sedikitpun mereka tidak gentar meskipun ribuan nyawa mejayang. Dengan semangat maju terus pantang mundur, barisan pembela bangsa yakin, tidak ada satupun yang bisa merampas kemenangan perjuangan melawan penjajahan.

Sumpah yang Tiga dan Tiga Piranti Kebangsaan

Yang berkongres pada tahun 1928 itu, menyatakan dirinya sebagai Jong Java, bukan Jong Javanen, Jong Sumatera, bukan Jong Sumateranen, Jong Islam, bukan pula Jong Islamiten, Jong Borneo, atau bukan Jong Bornean, Jong Celebes, bukan JongCelebesian, Jong Ambon, bukan Jong Ambonesen, dan seterusnya. Sungguh menarik untuk direnungkan.

BACA JUGA : Kontroversi Keterlibatan Jong Borneo di Sumpah Pemuda Tahun 1928

Pada tahun 1908, melalui Pergerakan Boedi Oetomo, kesadaran kebangsaan baru tumbuh. Lalu melalui pendidikan, paham kebangsaan itu pun dibangun. Mungkin itulah latar belakang mengapa pemuda-pemudi yang berkongres di Batavia Centrum itu mengindentifikasi dirinya bukan sebagai pemuda-pemudi kesukuan, melainkan pemuda-pemudi tanah tumpah darah.

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertanah air jang satoe, toempah darah Indonesia

Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia

Wah, wah, wah! Sebagai seorang Guru Besar Emeritus Pendidikan Sastra, saya kagum Membaca apa yang pemuda-pemudi ini ikrarkan dengan mulut dan hati mereka. Tiga kali mereka mengikrarkan diri sebagai putera dan puteri Indonesia.

Setiap orang yang berani secara terbuka menyebut dirinya putera dan puteri Indonesia, secara sadar menempatkan dirinya dalam bahaya. Pemerintah Tanah Jajahan Belanda tidak segan-segan menangkap, memenjarakan, bahkan sampaimembuangnya ke Boven Digul.

Dua kali mereka munggunakan kata MENGAKOE, ungkapan yang menyiratkan tekad secara perorangan dan secara bersama-sama memikul tanggung jawab dan kewajiban, dengan segala akibatnya. Siap dan sanggup menghadapi apapun juga.

BACA JUGA : Kisah G Obos, Jong Borneo dan Rasa Keindonesiaan

Pada ikrar terakhir mereka menggunakan kata MENJOENJOENG yang menyiratkan tidak hanya memikul tanggung jawab dan kewajiban, tetapi jugamenghormati dan menghargai sebuah BAHASA PERSATUAN, BAHASA YANG MEMERSATUKAN, BAHASA INDONESIA.

Pada tahun 1928 yang ada ialah bahasa Melayu dengan aneka ragamnya. Ada bahasa Melayu Betawi, ada bahasa Melayo Ambon, ada bahasa Melayu Semenanjung Malaka, adahasa Melayu Minang, di Kalimantan ada bahasa Melayu Banjar Di sekolah

diajarkan bahasa Melayu baku, sedangkan di Pecinan ada bahasa Melayu Pecinan. Pemuda-pemudi yang berkongres sudah memimpikan bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.

Pada Kongres ini sebuah bendera, Dwi-warna, MERAH-PUTIH dimimpikan sebagai bendera kebangsaan Indonesia. Dwi-warna Merah-Putih ini bukan bendera Kerajaan Belanda, MERAH-PUTIH-BIRU yang dibuang BIRUNYA. Dwi-warna ini adalah bendera MERAH PUTIH 6000 TAHUN DI NUSANTARA RAYA. Pataka Merah- Putih ini dibeberkan Mr.Moehammad Jamin dalam bukunya 6000 TAHUN SANG MERAH PUTIH.

Pada Kongres ll ini sudah pasti Dwiwarna ini tidak mungkin dikibarkan. Namun demikian, dla sudah berkibar dengan megah di hati-sanubari pesertaa Kongres.

Semuanya yakin sekali ,bahwa suatu hari kelak, bendera kebangsaan Indonesia akan berkibar dengan megah. Pada malam penutup Kongres, seorang pemuda tampil ke depan dengan biolanya. Pemuda itu adalah Rudolf Wage Soepratman. Dia telah menggubah sebuah lagu yang diderinya judul INDONESIA RAYA. Lagu itu selengkapnya terdiri dari 3 bait. Lalu, pemuda itu memperdengarkan lagu ciptaannya melalui gesekan biola yang sangat piawai dimainkannya.(jejakrekam/bersambung)


Penulis adalah Guru Besar Emeritius Pendidikan Sastra ULM Banjarmasin

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Sumber Utama :  https://jejakrekam.com/2020/10/28/92-tahun-sumpah-pemuda-minggu-28-oktober-1928-rabu-28-oktober-2020-1/

Ada Kekeliruan, Polisi Ralat Ucapan soal Penetapan Tersangka Dua Aktivis Mahasiswa Banjarmasin

KEPALA Bidang Humas Polda Kalsel, Kombes Pol Mochmmad Rifa’i, mengklarifikasi pernyataan sebelumnya yang menyebut dua aktivis mahasiswa di Banjarmasin telah ditetapkan sebagai tersangka.

DUA mahasiswa itu ialah Ahdiat Zairullah dan Ahmad Renaldi. Rifai mengatakan bahwa dua dari 16 mahasiswa yang dimaksud sebelumnya saat ini bukan ditetapkan sebagai tersangka.

Ia menyatakan keduanya baru masuk dalam agenda penyidikan pihaknya. Alias masih berstatus sebagai saksi. Namun untuk penetapan sebagai tersangka masih perlu proses yang panjang.

“Akan ada proses penentuan lagi yang disampaikan oleh penyidik,” ucapnya melalui sambungan telepon, Rabu (29/10/2020) sore.

Pernyataan tersebut seolah menganulir pernyataan Rifai sebelumnya, yang diungkapkannya pada Selasa (27/10) lalu. Ketika itu, Kombes Rifai menyebut dua mahasiswa berinisial AZ dan AR telah ditetapkan sebagai tersangka.

Saat itu Rifai menyebut kasus perkara sudah masuk SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Kemudian, wartawakan mencoba untuk menegaskan pernyataan Rifai terkait status dua mahasiswa tersebut.

Namun, Rifai menerangkan, kasus Ahdiat dan rekannya, dinaikkan ke penyidikan dalam artian sudah ada Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). Di situ menurutnya sudah ditentukan langsung status tersangka.

“Ya kan SPDP sudah dimulai penyidikan, sudah ditentukan langsung itu,”

AZ dan AR diketahui adalah Ahdiat Zairullah dan Ahmad Renaldi. Keduanya terjerat melakukan pelanggaran atas Pasal 218 KUHPidana jo Undang-Undang nomor 9 tahun 1998 tentang Menyampaikan Kemerdekaan Pendapat di Muka Umum.

Dua mahasiswa asal perguruan tinggi yang sama ini terancam pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp 9000.

Penetapan tersangka keduanya pun sempat menuai kontroversi dan dinilai terkesan terburu-buru. Sebabnya, dua mahasiswa ini baru saja dipanggil Polisi sehari sebelumnya (26/10/2020), sebagai saksi.

Bahkan, Kuasa Hukum BEM se-Kalimantan, M Pazri menyebut Ahdiat sudah mendapatkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) di hari saat ia dipanggil sebagai saksi.

Namun, Pazri merasa polisi terkesan terburu-buru saat sehari setelah pemanggilan Ahdiat dan Renaldi sebagai saksi, justru langsung ditetapkan sebagai tersangka.

Baik dari pengacara maupun mahasiswa yang bersangkutan mengaku belum menerima surat keputusan penetapan status tersangka dari polisi.


Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2020/10/29/ada-kekeliruan-polisi-ralat-ucapan-soal-penetapan-tersangka-dua-aktivis-mahasiswa-banjarmasin/

Re-post by MigoBerita / Kamis/29102020/12.28Wita/Bjm

Re-post by MigoBerita / Jum'at/30102020/11.38Wita/Bjm

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya