» » » » » » Guru Honorer PPPK....oh Nasibmu, guru honorer seringkali terlupakan untuk mendapat bagian dari dana BOS..!!??!!!

Guru Honorer PPPK....oh Nasibmu, guru honorer seringkali terlupakan untuk mendapat bagian dari dana BOS..!!??!!!

Penulis By on Minggu, 19 September 2021 | No comments

Migo Berita - Banjarmasin - Guru Honorer..oh Nasibmu, tapi Pak Menteri Nadiem juga bukan Makhluk yang SERBA TAHU..!!??!!! Banyak sekali Guru Honor yang masa pengabdiannya sudah lama, namun mereka susah untuk menembus "Passing Grade", sungguh kasihan memang, tetapi unsur "Keberuntungan" pun akhirnyalah yang menetapkan siapa yang menjadi calon pengabdi di jalur PPPK. Mungkin ada baiknya Pak Menteri memberikan solusi terbaik dan mendata dengan baik siapa-siapa yang layak menjadi Guru lewat jalur PPPK yang terbentur Umur. Semoga ada solusi yang terbaik dan lebih mengoptimalkan Dana BOS yang transparan terlihat di website buat Honor Guru Honorer, semisal yang belum terangkat menjadi Guru di Jalur PPPK berhak menjadi Guru Honor kembali disekolah asal mereka mengajar, misal dengan catatan pengabdian minimal 10 tahun atau semacam ada Surat Resmi dari Menteri Pendidikan agar guru tersebut masih bisa mengajar sesuai batas umur yang telah ditentukan Undang-Undang. Baca Terus kumpulan artikel yang kita kumpulkan hingga tuntas agar tidak gagal paham.

Guru Honorer, Bagaimana Masalah Ini Bisa Diselesaikan?

Viral surat terbuka yang ditujukan untuk Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim.

Surat tersebut dilayangkan oleh seorang pengawas tes PPPK Guru SMKN Praya, Lombok Tengah, NTB.

Pengawas bernama Novi Khassifa tersebut prihatin melihat seorang pria berusia 57 tahun yang bersusah payah mengikuti tes tersebut agar diangkat menjadi guru PPPK dari sebelumnya hanya honorer. "Yang terhormat, Mas menteri Nadiem Makarim. Tak adakah rasa ngilu di dalam dada mas menteri melihat sepatu tua yang lusuh ini?" tulis Novi di unggahannya, dikutip Jumat (17/9/2021)Novi mengatakan pria tersebut selama bertahun-tahun setia mendidik generasi muda Indonesia, meski gaji tak sampai Rp500 ribu per bulan. Gaji sebesar itu tentu sangat pas-pasan untuk makan, apalagi untuk membeli pakaian hingga sepatu baru.Tes PPPK sempat menjadi secercah harapan untuknya. Apa daya, pria tua ini gagal dalam tes teori yang harus memakai komputer.

"Soal-soal yang mas menteri berikan hanya teori belaka saja. Tak sebanding dengan praktik pengabdian berpuluh-puluh tahun lamanya. Soal-soal yang membuat beliau terseok-seok ketika memegang mouse dan membuat kepalanya pening. Akhirnya, PASSING GRADE pun tak diraih," lanjutnya.Oleh karena itu, Novi meminta kepada Menteri Nadiem agar terketuk hatinya memperhatikan guru honorer yang tidak ahli dalam teknologi, tapi berhasil membuat anak-anak Indonesia bisa membaca dan berhitung. Novi berharap kehidupan para guru honorer lebih layak, terlebih di masa tuanya."Beliau mempunyai andil yang besar dalam membangun negeri tercinta ini. Sudi kiranya mas menteri memberikan keringanan untuk melihat beliau bisa menikmati masa tua dengan sepatu dan kehidupan yang layak. Tak usah diperumit. Jika tidak ada kebijakan untuk mengangkat derajat mereka, setidaknya di surga besok sepatu ini akan menjadi saksi bahwa ilmu yang beliau ajarkan sangat bermanfaat untuk keberlangsungan umat," kata Novi.

Sebelum saya melanjutkan tulisan opini ini, saya ingin mohon maaf dengan sahabat saya mas Yolis Syalala, seorang pejuang honorer yang sangat konsisten .Mohon maaf mas kalau kali ini tulisan saya hanya menyoroti soal Guru Honorer padahal kita semua tahu bahwa yang namanya honorer tidak hanya guru. Banyak profesi honorer lainnya .Mengapa saya hanya mengangkat kasus guru honorer kali ini karena menurut pengalaman saya, banyak honorer dalam bidang lain diangkat dengan aroma KKN yang kental tapi sangat minim untuk guru apalagi guru yang mengajar di daerah 3 T ( Terluar, tertinggal, terpencil ).Saya pribadi sempat terheran, mengapa kasus guru honorer belum juga selesai, padahal Kementerian PANRB yang berwenang dalam penetapan kebutuhan/formasi secara nasional selalu memprioritaskan sektor pelayanan dasar yakni bidang pendidikan dan kesehatan dalam pengadaan CPNS setiap tahunnya.

Berdasarkan data di Kementerian PAN-RB bahwa dalam kurun waktu 9 tahun yaitu mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2014 melalui PP 48/2005 jo PP 56/2007 sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2014 telah dilakukan seleksi (administratif) terhadap tenaga honorer dan telah diangkat menjadi CPNS sebanyak lebih kurang 1.2 juta orang, yang sebagian besar adalah tenaga guru dan tenaga administrasi. Jumlah tersebut relatif banyak, yakni mencapai 25% dari seluruh ASN yang ada di Republik ini. Rupanya kekurangan tenaga guru yang terjadi salah satunya akibat perpindahan guru dari daerah ke kota karena berbagai alasan. Lalu apakah yang sudah dilakukan oleh pemerintah selama ini terhadap guru honorer? Sebenarnya Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) juga diperuntukkan untuk membantu guru honorer, hanya karena ini sangat tergantung kebijakan kepala sekolah dan seringkali juga dari Kepala dinas pendidikan setempat serta kepala daerah, guru honorer seringkali terlupakan untuk mendapat bagian dari dana BOS.

Ketika pemerintah mengumumkan akan melakukan perekrutan satu juta guru dengan skema PPPK (Pekerja Pemerintah (dengan) Perjanjian Kontrak), saya melihat inilah keseriusan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan mutu pendidikan sambil mengatasi permasalahan guru honorer, yang menurut data Kementerian Dikbud jumlahnya mencapai 700.000 orang. Terhadap tenaga honorer tersebut, akan diberikan kesempatan 3 kali untuk dapat mengikuti seleksi bila tidak lulus dalam seleksi pertama dan kedua.Sangat menakjubkan, karena dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia, baru kali pertama dilaksanakan pengadaan guru dalam jumlah yang besar. Kekurangan tenaga pendidik dalam jumlah yang besar ini, mestinya tidak boleh terjadi. Disamping, dipastikan berdampak pada terganggunya  proses belajar mengajar yang ujungnya berdampak terhadap kualitas pendidikan, dan dalam jangka panjang dapat pula berpengaruh dalam mewujudkan atau “membangun sumber daya manusia" (termasuk aparat sipil negara).

Lalu bagaimana dengan kasus yang seperti dipaparkan oleh mbak Novi dalam unggahannya?Memang berat bagi guru honorer yang sudah puluhan tahun mengabdi tanpa pernah diberikan fasilitas penunjang untuk mereka bisa mengembangkan diri . Boro-boro fasilitas penunjang, gaji yang mereka dapatkanpun sangatlah tidak manusiawi. Untuk hal yang khusus seperti itu menurut hemat saya pemerintah perlu memberikan perlakuan khusus misalnya dengan memberikan pendampingan  pelatihan agar mereka bisa melewati passing grade yang ditentukan. Atau kalau memang secara kualitas mereka dianggap tidak memenuhi persyaratan sebagai Guru PPPK, pemerintah daerah dengan dibantu pemerintah  pusat memberikan mereka bonus yang bisa dijadikan modal usaha dan minta dinas terkait untuk memberikan pendampingan sehingga mereka dapat hidup layak disisa masa hidupnya.

Sumber Utama : https://seword.com/pendidikan/guru-honorer-bagaimana-masalah-ini-bisa-0Zpk7qFgIv

Jokowi Bantu Suroto, Jokowi Tetap Dikritik Para Pembenci

Pada 7 September 2021, presiden melakukan kunjungan kerja di Blitar.
Saat itu seorang peternak bernama Suroto sempat memprotes harga pakan ternak yang naik dengan membentangkan spanduk "Pak Jokowi Bantu 
Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar".
Nah, ternyata, Polisi mengamankan orang ini, tapi Suroto tidak ditahan.
Nah, ternyata ini menjadi heboh. Pemerintah langsung menjadi sasaran bulan-bulanan sebagai bukti kuat bahwa pemerintah itu anti kritik. 
Saya awalnya juga heran, masa bentangkan spanduk begitu aja harus diamankan. Padahal dari tulisan di spanduk, tidak ada yang salah. 
Tidak ada unsur penghinaan terhadap kepala negara.
Ini murni protes yang mungkin sudah dialami orang ini tapi tidak didengarkan. Mungkin selama ini sudah mencari solusi, atau melaporkan 
keluhan ke tempat lain, tapi tidak digubris. Kebetulan presiden datang, dan Suroto merasa ini adalah kesempatan agar aspirasinya 
didengarkan karena bakal mendapat publisitas dari media.
Kejadian ini rupanya sampai ke telinga Jokowi. Jokowi akhirnya mengundang perwakilan Perhimpunan Insan Perunggasan dan Peternak Ayam 
Petelur di Istana Negara. Salah satu undangan yang hadir adalah Suroto. Jokowi ingin mendengarkan langsung keluhan-keluhan mereka. 
Mentan dan Mendag langsung diperintahkan Jokowi segera mencari solusi menyelesaikan masalah itu.
Ternyata, masalah langsung ditindaklanjuti.
Ini diketahui, dari Suroto, saat rumahnya digeruduk sekelompok perempuan peternak ayam petelur Blitar. Ibu-ibu peternak menanyakan 
kapan jagung yang dijanjikan Jokowi sebanyak 30.000 ton dengan harga Rp 4.500 per kilogram tersedia.
Suroto mengaku meminta kepada mereka untuk bersabar karena bantuan jagung seharga Rp 4.500 per kilogram itu sudah diputuskan sendiri 
oleh Jokowi.
"Beliau tanpa konsultasi sama Menteri Perdagangan sama Menteri Pertanian lho, langsung mengiyakan," kata Suroto.
Nah, ini sebenarnya salah satu hal yang sangat memalukan kepala daerah. Seharusnya kepala daerah atau anggota dewan di wilayah tersebut 
bisa menyelesaikan masalah ini. Tapi lagi-lagi seorang kepala negara yang harus turun tangan. Apa-apa harus presiden yang selesaikan 
masalah yang seharusnya jadi wewenang kepala daerah.
Yang parahnya, banyak yang malah nyinyiri pemerintah.
Pemerintah disebut anti kritik. Titik.
Ada yang menyebut itu sebagai paradoks demokrasi, di mana di satu sisi seakan-akan diperbolehkan, tapi setelah mengkritik, berekspresi, 
atau menyinggung nama presiden, bisa saja berurusan dengan kepolisian.
Intinya seperti itu lah.
Tapi kenapa tidak ada yang mengkritik permasalahan yang dihadapi Suroto? Kenapa tidak fokus pada harga jagung yang dianggap mahal oleh Suroto? 
Lagi-lagi narasinya selalu ke arah pemerintah. Pemerintah salah apa pun ceritanya. Mereka seolah tidak peduli dengan apa yang menjadi akar 
permasalahan yang dihadapi Suroto dan kawan-kawan.
Lagipula, Jokowi sudah berjanji akan selesaikan masalah ini. Dan lagi-lagi, kenapa tidak kritikan kepada kepala daerah atau anggota dewan 
di sana? Logikanya, kalau semua peternak se-Indonesia mengeluhkan hal yang sama, apakah Jokowi sanggup handle semuanya? 
Lantas kepala daerah ngapain aja?
Memang benar kalau ada yang bilang, jangan sedikit-sedikit ngadu ke Jokowi. Ini benar kok. Kalau semua ngadu ke presiden, ngapain ada polisi, 
aparat, anggota dewan, gubernur, wali kota, bupati, camat, lurah dll?
Bahkan ada tukang nyinyir yang pernah bilang, jangan apa-apa ngadu ke presiden karena presiden tidak bisa apa-apa. 
Ini adalah komentar sampah dari kelompok sakit hati yang jarang pakai otaknya untuk berpikir jernih.
Ya kali, situ kena diare, sehari berak lima kali, lalu lapor ke Jokowi dan Jokowi tidak merespon lalu situ bilang Jokowi tidak bisa apa-apa. 
Pretttt lah.
Ini jelas adalah upaya untuk menyerang presiden dengan isu apa pun yang hangat saat itu. Mereka seolah tak peduli dengan akar masalah. 
Yang mereka pedulikan adalah kapan ada bahan baru untuk menyerang pemerintah.
Ujung-ujungnya presiden juga yang selesaikan keluhan Suroto, kan? Yang lain udah lakukan apa selain nyinyir?
Coba pikir, sudah sering sekali, rakyat meminta tolong kepada Jokowi entah lewat spanduk, kadang lewat video, kadang lewat medsos. 
Dan Jokowi merespon dan menyelesaikan masalah tersebut. Coba pikir, kenapa semuanya ke Jokowi? 
Bisa saja mereka sudah berharap ke orang lain, tapi tidak direspon, kan?
Bagaimana menurut Anda?

Suroto Menampar Muka DPR, Oposisi dan Mahasiswa

Banyak orang mesti belajar dari Suroto. Peternak ayam asal Blitar yang berani membuat poster aspirasi saat ada kunjungan Presiden.
Permasalahannya sederhana, Tolong bantu peternak untuk bisa beli jagung dengan harga wajar.
Belakangan Suroto menjelaskan bahwa harga wajar bukanlah harga murah. Kalau murah, nanti petani jagung akan protes dan mengalami kesulitan.
Masalah Suroto ini mestinya bisa diselesaikan di tingkat daerah atau maksimal di kementerian. Aspirasinya mungkin sebenarnya cukup di bupati 
atau DPRD setempat. Tak perlu sampai Presiden.
Tapi di mata Suroto, seperti yang diakuinya, dia hanya percaya pada Jokowi. Dengan kata lain, dia tidak percaya dengan pejabat-pejabat 
yang lain seperti kepala daerah atau legislatif.
Entah apa alasan pastinya, kita hanya bisa menerka dengan dua hal. Suroto tidak tahu bahwa permasalahan ini mestinya bisa diselesaikan di daerah. 
Atau Suroto punya pengalaman mengadu tapi tak mendapat respon sama sekali. Karena harus kita akui bahwa birokrasi kita terlalu ribet. 
Kadang juga terlalu manis tapi sejatinya fatamorgana. Bilangnya iya akan dievaluasi dan dicarikan solusi, tapi toh ujungnya tidak ada apa-apa.
Ketika Suroto diperiksa Polisi untuk dimintai keterangan, banyak oposisi memanfaatkan berita tersebut. 
Seolah pemerintah anti kritik, anti kebebasan berpendapat dan seterusnya.
Tujuan akhir dari kasus Suroto bagi oposisi hanya soal bagaimana caranya menjelek -jelekan pemerintah.
Para oposisi ini ga peduli dengan aspirasi atau permasalahan yang coba dikeluhkan Suroto. Mereka sibuk dengan tujuan dan kepentingannya sendiri.
Suroto hanya satu cerita yang mereka manfaatkan untuk dijadikan peluru narasi. 
Yang kemudian disama-samakan dengan mural provokatif yang sebenarnya salah sama sekali.
Seperti mural “Tuhan Aku lapar,” tidak ada kritik di sana. Kalau lapar ya makan. Kalau ga punya beras, ada raskin dan PKH.
Atau mural “dipaksa sehat di negeri yang sakit,” pun ini hanya provokasi yang mungkin tak dipahami oleh kalangan menengah bawah. 
Karena sehat itu tanggung jawab masing-masing. Kalau sakit ya ke rumah sakit, kan ada BPJS?
Antara mural dan poster aspirasi yang dibawa oleh Suroto jelas jauh perbedaannya. Suroto punya permasalahan dan butuh solusi. 
Sementara mural mural itu hanya provokasi.
Tapi kalau itu kemudian disama-samakan, dan dijadikan satu narasi bahwa pemerintah anti kritik, itu jelas ada kepentingan politik di dalamnya. 
Bukan lagi sebuah opini yang mau meluruskan arah negeri ini.
Oposisi terlalu fokus pada tujuannya sendiri. Yang mereka peduli hanya saling apresiasi antar keluarga. Saling beri penghargaan secara terbuka, 
entah untuk tujuan apa.
Sementara DPR kita yang mestinya tempat penampungan aspirasi, nampaknya tidak bisa menyerah apa-apa dari permasalahan yang ada di daerah. 
Meskipun mereka punya dana aspirasi dan selalu kunjungan ke daerah menghabiskan anggaran yang sudah tersedia.
Selain kepada oposisi dan DPR, cerita Suroto ini juga mestinya dapat dijadikan pelajaran bagi para mahasiswa. 
Sebagai agen perubahan, yang mampu merangkum permasalahan dan menyampaikannya, mereka harus belajar dari Suroto.
Lain kali kalau bikin poster, jangan yang isinya Anya Geraldine atau open BO. Karena itu jelas tidak ada manfaatnya untuk publik, 
sementara kalian mengganggu ketenangan publik. Ga sebab ding antara aspirasi dan tenaga yang dikerahkan aparat kepolisian.
Pun tidak jelas permasalahan yang coba disampaikan. Sementara kalau pemerintah tidak merespon kalian, malah dianggap tuli. 
Padahal aspirasi kalian sendiri tidak jelas apa.
Cerita Suroto bagi saya adalah sebuah contoh negatif tentang sistem dan demokrasi yang ada di Indonesia. 
Penyerap aspirasi mandul. Kepala daerah seperti ga guna. Sementara oposisi hanya fokus pada kepentingan dan narasinya sendiri.
Sehingga untuk permasalahan jagung dan ayam pun harus Presiden yang dengarkan dan selesaikan. Itu sungguh mencoreng sistem yang sudah ada sekarang.
Semoga ini menjadi catatan dan evaluasi bersama. Agar ke depan kita bisa bergerak bersama dalam sistem yang sudah disepakati. 
Dan semua permasalahan di tingkat daerah dapat terselesaikan secara efektif dan efisien.
Jangan dikit-dikit harus Presiden yang turun tangan. Supaya kepala daerah dan legislatif ada gunanya.

(Keren Atau Seram?) Irjen Napoleon Gebukin Kace Karena Bela Agama Dan Allah

Ketika mendengar berita bahwa Muhammad Kace digebugin oleh seorang Irjen bernama Napoleon Bonaparte, hal yang terlintas dipikiran penulis adalah "untung Muhammad Kace di Indonesia, coba kalau di Prancis mungkin kepalanya sudah tidak menempel dileher.

Kadrun memang selalu semangat dalam hal "membela Allah", mereka tidak akan mempan dengan kalimat "Tuhan kok dibela?". 

Ada dua alasan mereka tidak menghiraukan kalimat tersebut.  Pertama, banyak dari mereka mengumpamakan dengan bagaimana kalau orang tua kita dihina. Kedua, mereka selalu ngeles kalau bela Allah bukan berarti Allah perlu dibela, tapi untuk membuktikan rasa cinta mereka kepada Allah.

Dua alasan tersebut sebenarnya alasan yang sangat cacat logika. Tapi penulis tidak akan membahas hal tersebut kali ini, mungkin di artikel berikutnya. Kali ini penulis akan membahas surat terbuka dari Irjen Napoleon, yang dalam kesimpulannya membela diri bahwa dirinya melakukan penganiayaan atas dasar "bela Allah".

Alhamdulillah YRA.., bahwa saya dilahirkan sebagai seorang Muslim dan dibesarkan dalam ketaatan agama Islam yang rahmatan lil alamin.

Komentar penulis : Rahmat bagi alam semesta? Penulis maklumi saja, karena bagi kadrun selama non muslim masih hidup itu artinya toleransi dan rahmat bagi alam semesta. Toleransi dan Rahmat yang merupakan kalimat positif, didowngrade menjadi kalimat munafik nan menjijikan.

Siapapun bisa menghina saya, tapi tidak terhadap Allahku, Al Quran, Rasulullah SAW, dan akidah Islamku. 

Karenanya, saya bersumpah akan melakukan tindakan terukur apapun kepada siapa saja yang berani melakukannya.

Komentar penulis : seorang polisi yang seharusnya paham hukum, tapi malah menjadi narapidana kasus suap tidak perlu sok keren deh.

Tidak ada yang menghina pun, dirinya sudah menunjukan sendiri bahwa dirinya adalah orang hina. Main hakim sendiri padahal ada hukum yang berlaku, membuktikan jabatan polisi tidak menjamin seseorang paham apalagi taat hukum.Tapi bagi kadrun jelas kalimat di atas tampak begitu keren. Laksana seorang pahlawan yang siap berjihad ke Medan perang mempertaruhkan semua nyawa.

Selain itu, perbuatan Kace dan beberapa orang tertentu telah sangat membahayakan persatuan, kesatuan, dan kerukunan umat beragama di Indonesia.

Komentar penulis : kenapa ga gebuk juga Yahya Waloni, UAS, Bibib dan semua penghina agama tanpa pandang bulu? Jadi pahlawan kok pilih-pilih musuh.

Justru dengan memilih-milih cuma gebugin yang beda agama, maka sangat-sangat menghancurkan persatuan, kesatuan dan kerukunan umat beragama di Indonesia.

Saya sangat menyayangkan bahwa sampai saat ini pemerintah belum juga menghapus semua konten di media, yang telah dibuat dan dipublikasikan oleh manusia-manusia tak beradab itu.

Komentar penulis : seorang narapidana, seorang polisi yang main hakim sendiri kok ngomongin adab sih?

Lalu apakah dengan menganiaya seseorang yang belum ada vonis berkekuatan hukum tetap, adalah perbuatan manusia beradab? Ups lupa, buktinya Muhammad Kace masih hidup, itu artinya beradab ya? Okelah kalau begitu!!

Akhirnya, saya akan mempertanggungjawabkan semua tindakan saya terhadap Kace apapun resikonya.

Komentar penulis : lagi-lagi kalimat yang akan membuat para kadrun terpesona dan menggelinjang dengan manja. Seolah-olah sang narapidana adalah pahlawan yang gagah berani menanggung segala akibat perbuatannya.

Padahal tanpa dia koar-koar, sudah seharusnya pemerintah memproses tindakan sang Irjen yang main hakim sendiri. 

Jadi sebenarnya kalimat yang dia ucapkan sama sekali tidak ada maknanya.

Kalau hukum memang tegak di bumi Pertiwi, maka tanpa sang napi bicara pun sudah seharusnya beliau diproses karena main hakim sendiri. 

Tapi kalau hukum tebang pilih, maka tanpa sang napi bicara pun, maka dia akan aman-aman saja setelah main hakim sendiri.

Jadi ada tidak adanya resiko bukan disebabkan oleh bacotan sang napi, melainkan tergantung mekanisme hukum yang berlaku.

Kesimpulan : Jadi mari kembali ke pertanyaan awal. Apakah yang dilakukan Irjen Napoleon dengan dalil "bela Allah" ini keren atau seram?

Penulis tutup dengan kutipan buku terlaris no. 1 sepanjang masa Guiness Book Of Record "Sebab oleh karena kamulah nama Allah dihujat di antara bangsa-bangsa lain." (Roma 2:24).

Sumber Utama : https://seword.com/umum/keren-atau-seram-irjen-napoleon-gebukin-kace-56ob0h96h0

Lho kok Beda? Commitment Fee Formula E DKI 2,3 T sedang di New York Free

Polemik ajang Formula E kian meruncing. Demo warga agar membatalkan ajang tersebut beberapa kali terlihat menyeruak ke permukaan dan sampai KPK membuka pintu pengaduan. KPK mendorong agar penyampaian aspirasi berupa pengaduan dugaan tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui saluran pengaduan masyarakat KPK.

Bahkan sebelumnya DPRD DKI kebanjiran karangan bunga dari masyarakat isinya mendukung interpelasi yang digulirkan fraksi PDIP dan PSI. Tapi nampaknya pemprov DKI Jakarta melalui Anies Baswedan selaku Gubernur tetap tak bergeming akan tetap melanjutkan ajang tersebut.  Terlebih secara politis sangat menguntungkan dirinya.

Terlebih sebagian besar fraksi di DKI Jakarta sudah berada di dalam genggaman. Baginya para pendemo dan fraksi PDIP dan PSI hanyalah riak kecil yang tak akan dapat menghentikan rencananya. Rasanya tak perlu lagi mengapa Anies Baswedan dan konco-konconya tersebut ngotot tetap selenggarakan Formula E. Selain karena sudah terlanjur 

DP dan sisi tekhnis lainnya juga ajang Formula E ini secara prbadi buat Anies dan timnya adalah harga diri juga pintu pembuka menuju 2024 nanti. Banyak yang berpendapat bahwa Formula E dan pilpres 2024 adalah dua hal yang berbeda, memang betul jika kita melihatnya dari sudut pandang  secara umum. Tapi akan nampak jelas ada korelasinya ketika kita tarik ke konteksnya saat ini dan ke depan nanti.

Ajang Formula E itu tak hanya dilakukan sekali dalam setahun tapi dilakukan selama 5 tahun sesuai kontraknya. 

Jadi dari sini masyarakat secara umum dapat membacanya. Anies akan berusaha menjaga namanya tetap hidup kendati sudah tak menjabat sebagai Gubernur.

Tahun 2022 kurang lebih di bulan Oktober dipastikan Anies sudah tak menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Soal prestasi selama menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta masyarakat dapat menilainya seperti apa. Tapi di balik polemik ajang Formula E tersebut. Ada yang menarik untuk dikulik dan perlu disampaikan ke khalayak. 

Ada pertanyaan besar yang masih mengganjal.

Pertanyaan besar itu mengenai comitment fee yang dibebankan kepada anggaran DKI Jakarta dan harus disetorkan ke pihak penyelenggara.  Bicara anggaran berarti itu uang rakyat yang harus dipertanggungjawabkan. Dan seperti biasa bukan Anies selaku Gubernur yang memberi tanggapan atas perbedaan tersebut tapi oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Riza Patria. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menjawab soal perbedaan biaya commitment fee Formula E yang disetorkan Jakarta dengan kota lain di dunia.  Riza menyebut perbedaan commitment fee di setiap benua sesuai dengan ketentuan penyelenggara. 

"Ada perbedaan commitment fee antara Asia dan Eropa. Kita ikuti ketentuan yang ada dari Formula E," kata Riza kepada wartawan, Minggu (19/9/2021). Riza juga memastikan pihaknya melakukan pembayaran sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Formula E Operations (FEO).  Untuk rincian pembayaran commitment fee, Riza menyerahkan ke PT Jakpro selaku penyelenggara Formula E Jakarta. Jika kita lihat secara seksama, Wakil Gubernur DKI Jakarta Riza Patria hanya menjawab secara retoris tidak menjawab secara tekhnis mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Soal perbedaan commitment fee awalnya dipertanyakan oleh Fraksi Partai PSI DPRD DKI. Wakil Ketua Komisi E dari F-PSI, Anggara Wicitra, mengungkap total commitment fee yang ditanggung APBD DKI sebesar 122,102 juta pound sterling. Sementara penyelenggaraan Formula E di Montreal, Kanada, PSI menyebut biaya Nomination Fees for the City of Montreal sebesar C$ 151 ribu atau  setara Rp 1,7 miliar dan race fees sebesar C$1.5 juta atau setara Rp 17 miliar dengan total biaya sebesar Rp 18,7 miliar. 

Bahkan, menurut Anggara, penyelenggaraan Formula E di Kota New York, Amerika Serikat, tidak dikenai biaya commitment fee. Sebagaimana diketahui, beredar surat dari Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) DKI ke Gubernur Anies Baswedan terkait penyelenggaraan balap Formula E.  Surat itu berisi rincian biaya komitmen Formula E yang wajib dibayar Anies. Surat itu dibuat pada 15 Agustus 2019.

Dalam surat tersebut, Pemprov DKI memiliki kewajiban membayar biaya komitmen selama lima tahun berturut-turut. Rinciannya sebagai berikut:

I. Sesi 2019/2020: 20 juta pound sterling atau setara Rp 393 miliar

II. Sesi 2020/2021: 22 juta pound sterling atau setara Rp 432 miliar

III. Sesi 2021/2022: 24,2 juta pound sterling atau setara Rp 476 miliar

IV. Sesi 2022/2023: 26,620 juta pound sterling atau setara Rp 515 miliar

V. Sesi 2023/2024: 29,282 juta pound sterling atau setara Rp 574 miliar

Jika ditotal, rincian awal itu senilai 121 juta pound sterling atau sekitar Rp 2,3 triliun dengan kurs saat ini Rp 19.680.

Kok bisa berbeda? Mungkin itu yang ada di benak masyarakat. Jadi wajar jika masyarakat melalui wakilnya bertanya atas kondisi tersebut. 

Ajang Formula E di Jakarta setor duit di New York gratis.

Ini tentu saja aneh. Barangkali dari sisi ini dapat ditelusuri potensi korupsi bisa saja terjadi. Tak hanya berhenti hanya pada kalimat, 

"Kita ikuti ketentuan yang ada dari Formula E". Seperti kata Wagub DKI Jakarta mewakili Anies yang diam seribu bahasa.

Jika model jawaban Wagub selaku pemimpin daerah seperti itu bisa bangkrut negara kita ini hanya dijadikan bancakan oleh segelintir orang dan tak transparan dalam menggunakan anggaran. Betul kan?Bagaimana menurut Anda?

Sumber Utama : https://seword.com/umum/lho-kok-beda-commitment-fee-formula-e-dki-23-t-ybMocITjkv

Dulu Sindir Ahok, Sekarang Anies Terbukti Permalukan Diri Sendiri

Pada tahun 2016, ketika Anies masih menjadi calon gubernur, dia sempat menyindir Ahok. Dia menilai era pemerintahan Ahok terlalu fokus pada infrastruktur, tetapi mengesampingkan pembangunan manusia.  Anies mengistilahkan pembangunan infrastruktur sebagai pembangunan benda mati. "Pak Basuki sudah menyampaikan tentang apa yang sudah karena beliau sudah menjadi gubernur selama dua tahun. 

Yang menjadi problem justru selama ini yang menjadi fokus hanya benda mati. Masyarakatnya, manusianya baru akan," kata Anies. Dia mengkritik Ahok yang disebutnya baru membicarakan aspek pembangunan manusia belakangan ini.  Anies menyatakan bahwa dia akan dari awal fokus pada pembangunan manusia.  "Kualitas kota ini akan ditentukan oleh kualitas manusianya. Karena itu, kami dari awal membahas mengenai manusianya. 

Bahkan kami katakan dari awal, kami tidak hanya akan memajukan kotanya, tetapi juga membahagiakan warganya," kata Anies. Ini namanya menelan kembali ludah sendiri gak? Tanpa perlu saya jelaskan lagi, pembaca pasti sudah paham apa yang maksudnya.

Baru-baru ini ada tugu sepatu yang menjadi bahan perbincangan. Katanya sih bukan dari APBD, ada merknya, dan menurut sebagian netizen, itu adalah iklan buat dipajang di sana, dan salah satunya kena vanadalisme karena dicorat-coret. Kata Wagub DKI, untuk mempercantik kota,  biar setara dengan kota-kota lain di dunia. Hahaha, cantik apanya. Mau cantik, tata dulu pemukiman kumuh.

Dulu juga Anies banyak membangun benda mati, kan? Seni bambu getah getih yang harganya ratusan juta, setahun kemudian dibongkar dan diganti  dengan seni batu gabion. Sewaktu pandemi, juga dibangun tugu peti sebagai peringatan agar masyarakat waspada akan bahaya Covid-19. Terus,  ada juga tugu sepeda yang sebenarnya biasa saja bentuknya. Ada juga warna warni JPO. Sindir Ahok fokus bangun benda mati, sekarang Anies juga banyak muncul benda mati. Itu pun ada bedanya.  Ahok bangun infrastruktur, tapi skala besar. Salah satunya adalah Simpang Susun Semanggi, yang bahkan tanpa pakai APBD. 

Sedangkan Anies kebagian yang recehan seperti tugu-tugu yang saya sebutkan tadi. Mungkin maksud Anies waktu itu adalah, Ahok tidak sanggup seperti dirinya yang mampu membangun benda mati skala receh tapi mendapat apresiasi luas, hehehe.

Kita justru bingung, dalam hal pembangunan manusia, Anies sudah lakukan apa saja? Rasanya tidak ada deh. Warga bahagia, entah apa tolak ukurnya. 

Salah satunya adalah memiliki rumah. Tapi sayang, target dikurangi secara drastis. Mimpi memiliki rumah dengan harga terjangkau, sirna.  Banyak yang tidak lolos syarat administrasi. Rumah yang terkesan murah tapi tetap tak terjangkau. Tapi kalau tolak ukurnya adalah membahagiakan warga dengan janji manis yang lebih manis dari gula, mungkin Anies bisa dikatakan berhasil. 

Membuai warga dengan janji surga, sehingga mereka melayang saking senangnya, hidup dalam mimpi, angan dan harapan yang sebenarnya palsu, tertawa di awal,  terjebak dalam hidup menyenangkan ciptaan Anies. Anies berhasil dalam hal ini.

Rakyat harus dapat rumah terjangkau. Tolak penggusuran. Pemimpin seiman, sehingga nanti dapat sertifikat kavling surga dari tukang demo. Apakah warga bahagia ketika mereka tahu, uang mereka dipakai untuk kelebihan bayar berbagai proyek?  Apakah mereka senang ketika tahu proyek Formula E begitu misterius, ternyata memakan anggaran jumbo, dan tak transparan pula? Maju kotanya, bahagia warganya. Anies menyebut tidak hanya akan memajukan kota, tapi juga membahagiakan warga.  Hahaha, lucu. Empat tahun berlalu, dan ini sungguh mempermalukan dan mencoreng wajah Anies sendiri.

Dulu Ahok bisa menyelesaikan keluhan warga. Warga bisa datangi Balai Kota untuk adukan masalah, dan diselesaikan dengan cepat.  Urus dokumen serba mudah, rapi dan efisien. Warga diberi hunian yang lebih layak ke rusun. Ini saja sudah bikin mereka bahagia, kan? Era Anies, pernahkah seperti itu? Apa sih yang sudah dia lakukan untuk bahagiakan warganya? 

Sebutkan satu saja program dia yang betul-betul ide orisinil. Yang ada hanya janji kampanye yang tidak tuntas.  Banyak program andalannya yang tak capai target, yang menjadi bukti kalau dia ini hanya jago di tata kata. Bagaimana menurut Anda?

Sumber Utama : https://seword.com/politik/dulu-sindir-ahok-sekarang-anies-terbukti-gsH5hGSA3h

Statement Komnas HAM Soal Terorisme, Bikin Rakyat Muak Kepingin Muntah

Saat pemerintah melabeli KKB di Papua sebagai teroris, orang di Komnas HAM ini mengatakan bahwa pemerintah tidak mengedepankan jalan damai.  Para pejuang sosial di Komnas HAM ini merasa bahwa pemerintah terlalu gegabah dan terlalu buru-buru menetapkan status teroris kepada KKB.

Nama orang di Komnas HAM siapa? Namnya adalah Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM.  Dia mengatakan bahwa langkah pemerintah menetapkan kelompok KKB Papua sebagai teroris adalah tidak tepat adanya. 

Si Choirul Anam pembela 4 pengawal Rizieq yang ditembak, memang banyak bicara. Sebelum dia bicara soal pemerintah terlalu gegabah menetapkan KKB sebagai teroris,  kita harus lihat dulu Komnas HAM dan rekam jejaknya yang buat saya justru tidak mencerminkan penegakan HAM di negara ini. Ada 1 kasus yang membuat saya geli sama Komnas HAM.

Hal ini tentu terkait FPI yang laskarnya ditembak mampus oleh Polisi. Choirul Anam, lagi-lagi jadi orang yang berkoar-koar kalau tewasnya 4 orang yang masih hidup dalam penguasaan petugas resmi negara, dianggap pelanggaran HAM. Statementnya jelas tercatat di berita resmi kok. Terburu-buru ngocehnya.

"Terkait peristiwa di Km 50 (Tol Jakarta-Cikampek), terhadap empat orang yang masih hidup dalam penguasaan petugas resmi negara, yang kemudian juga ditemukan tewas, peristiwa tersebut merupakan bentuk dari pelanggaran HAM," ujar Anam, saat memberikan keterangan pers, Jumat (8/1/2021).

Haduh. Entah apa yang ada di dalam pikiran si Anam ini. Lalu si Anam mengatakan bahwa penembakan langsung terhadap 4 laskar FPI dalam satu waktu disebut tanpa adanya upaya lain untuk menghindari jatuhnya korban.

Hal ini dianggap Anam mengindikasikan bahwa konteks peristiwa mampusnya 4 laskar FPI dianggap kategori pelanggaran HAM. Anam bahkan mengatakan bahwa ada unlawful killing terhadap 4 anggota laskar FPI. Haduh Anam oh Anam...

Sumber bisa dilihat di sini ya sumber.

Itu bulan Januari 2021 dia bicara. Sudah tahu 6 laskar FPI itu adalah teroris, lah kok malah membela HAM teroris sih? Lalu setelah itu, tidak lama berselang, Anam juga ngoceh kalau KKB yang ditetapkan oleh Mahfud MD sebagai teroris.

Dia mengatakan bahwa langkah yang tidak tepat ini, diharapkan tidak menimbulkan eskalasi kekerasan yang semakin tinggi dan menjauhkan agenda jalan damai. Berdamai dengan teroris? Anam ini pikirannya ke mana sih? Setahu saya, teroris itu tidak kenal jalan damai.

Teroris itu tahunya bunuh orang, menakut-nakuti orang dan memprovokasi orang seperti Veronica Koman. 

Anam meminta pemerintah untuk melakukan soft approach alias pendekatan lunak terkait KKB Papua. Aduh. Saya mau bilang bodoh, tapi kok terlalu halus ya? Harusnya langkah diambil adalah mengembangkan soft appoarch, karena saat ini terbukti pendekatan dengan kekerasan hanya menimbulkan kekerasan berikutnya dan semakin terjual perdamaian di tanah Papua.

Komnas HAM ini menggelikan. Mereka terkena mental dengan statement sendiri. Mau mencoba berdamai dengan teroris KKB? Lihat itu nakes dibantai habis-habisan dan ditelanjangi.  Ini adalah pelanggaran ham yang luar biasa menggelikan. Lalu membela pelanggar HAM dengan mengatakan harus pakai soft approach? Setahu saya, di dalam peperangan, tenaga kesehatan di negara musuh haram untuk ditembaki.  Sekarang, KKB Teroris yang didukung oleh si Vero Kuman, menganiaya, memojokkan ke ujung jurang dan  menelanjangi nakes kemudian ditendang ke jurang, masih mau didekati secara halus? Memuakkan. Anam ini ngomong apa sih? Dia bahkan sempat-sempatnya mempertanyakan apakah pemerintah selama ini melakukan evaluasi terkait  alasan masih terus terjadinya kekerasan di Papua terkait KKB. Menurutnya, evaluasi itu harusnya jadi pijakan untuk bikin kebijakan baru.

Selama ini apakah ada evaluasi kenapa masih terjadi kekerasan, baku tembak dan jatuhnya korban semakin banyak. Harusnya itu dievaluasi dan jadi bahan pijakan membuat kebijakan baru. Selain itu, semoga penetapan status ini tidak merugikan kepentingan strategis nasional Indonesia di dunia internasional.. Mahfud MD padahal jelas loh mengatakan bahwa terorisme yang jadi label KKB itu sudah diatur dalam UU yang tercatat dengan sangat jelas. 

Jadi Anam ini mau melawan UU? Komnas HAM bubarkan saja lah.

Di mana yang dikatakan teroris itu adalah siapa pun orang yang merencanakan menggerakkan dan mengorganisasikan terorisme. Sedangkan terorisme adalah setiap perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau  rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban secara massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis terhadap lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional. jelas Mahfud Md.

Sumber Utama : https://seword.com/umum/statement-komnas-ham-soal-terorisme-bikin-rakyat-0m8PivdplH

Pledoi Kasus Nilai Palsu Pada Ijazah SD YIS : “Kasus Ghoib!” Dan Full Halu

Sudah lama saya tidak menulis menceritakan atau sharing perjalanan kasus perseteruan hukum saya dengan satu-satunya sekolah “internasional” di Yogyakarta. Alasan karena saya akan menunggu hingga persidangan selesai, baru kemudian saya akan menuliskan rangkaian kejadian hingga putusan. Dan kemaren, Kamis tanggal 16 September 2021, saya menghadiri persidangan atas kasus pidana penempatan nilai palsu pada ijazah SD Yogyakarta Independent School atau SD YIS dengan agenda ‘pledoi’ atau pembelaan terhadap terdakwa, yang pada awalnya saya mengharapkan pembelaan atau pledoi itu akan benar-benar dapat meringankan Supriyanto, staff keuangan yang duduk di kursi pesakitan. Pertahanan saya untuk menunggu hingga sidang selesai sampai putusan pun akhirnya jebol karena saya tak kuasa menahan “filing amajing” saya pada Pengacara terdakwa yang bernama Odie Hudayanto dan Anton (saya lupa lagi nama belakangnya).

Jujur, mendengarkan isi pledoi yang dibacakan oleh Odie dan Anton secara bergantian, rasanya mengingatkan saya pada penayangan pembacaan pledoi-nya Rizieq Shihab di salah satu sidang kasus pidana yang menjeratnya. Waktu itu, terhadap isi pledoi yang dibacakan oleh Rizieq Shihab sendiri, saya pernah menurunkan tulisan opini saya. Dan saya mengatakan bahwa Rizieq Shihab tidak memanfaatkan kesempatan untuk membela diri karena isi pledoi dipenuhi dengan hal-hal yang jauh melenceng dari pokok perkara. Begitu pula dengan isi pledoi yang dibacakan Odie dan Anton yang bertindak sebagai Pengacara terdakwa.

Beberapa poin yang menarik perhatian saya adalah Odie mengatakan bahwa kasus ini adalah kasus ghoib. Pasalnya, menurut dia tidak mungkin ijazah itu ditulis pada bulan oktober 2016 sementara tanggal yang tertera pada ijazah adalah 8 Juni 2016 dan keterangan yang diberikan oleh Kepala Sekolah Karitas menyatakan bahwa dirinya menandatangani ijazah tersebut juga pada bulan Juni 2016.

Komentar saya sih ringan-ringan saja. Sepertinya Odie ini tidak pernah tahu dan tidak pernah mendengar istilah “backdate”. Pasalnya, tulisan tangan yang tertera pada ijazah tersebut adalah milik sekertaris YIS yang bernama Anna Indah Sylvana, yang baru mulai diterima bekerja sebagai sekretaris di sekolah YIS pada tanggal 16 Agustus 2016. Odie mengakui bahwa Anna lah yang menulis ijazah itu atas perintah Kepala Sekolah. Jika kepala sekolah Karitas mengaku menandatangani ijazah tersebut pada bulan Juni 2016, lalu bagaimana Anna Indah Sylvana bisa menulis ijazahnya, sedangkan bulan juni 2016 itu Anna belum bekerja di YIS. Nah ini yang sebenarnya “ghoib”!!

Pada fakta persidangan, kronologi kejadian yang disampaikan oleh saksi-saksi adalah pada bulan Agustsu 2016, terdakwa menyuruh Anna yang masih staff baru untuk memperlihatkan tulisan tangannya dan tulisan tangan Anna dia pandang bagus, “Apik tulisanmu, nanti kamu nulisi ijazah yah!” Kata si terdakwa pada saksi Anna. Kemudian pada bulan oktober 2016, ada orangtua siswa lain yang meminta ijazah kelulusan SD YIS. Pada orangtua siswa itu, sekolah YIS membutuhkan waktu 1 minggu untuk menyerahkan ijazah SD yang sedianya sudah diberikan pada bulan Juni 2016. Dan pada saat itulah ijazah ditulis oleh Anna atas perintah terdakwa. Kemudian pada saat saya meminta ijazah SD anak saya pada tanggal 22 Maret 2018, menurut Analisa saya, ijazah tersebut belum ditandatangangi. Itu sebabnya pihak sekolah YIS membutuhkan waktu 3 minggu, tanggal 16 April 2018, untuk menyiapkan ijazah SD yang sedianya sudah diberikan sejak bulan Juni 2016.

Fakta di atas sangat masuk akal jika kemudian pada BAP nya, Kepala Sekolah Karitas mengaku bertemu terdakwa 2 kali namun dia mengaku lupa waktunya, yang pasti yang pertama adalah bulan Juni 2016. Analisa saya menyatakan bahwa pada bulan Juni 2016 itu tidak ada pertemuan antara Kepala Sekolah Karitas dan terdakwa untuk urusan tandatangani ijazah. Pertemuan pertama terjadi di bulan Oktober 2016, saat pihak YIS harus menyerahkan ijazah SD ke orangtua siswa yang meminta saat itu. Dan pertemuan kedua terjadi pada bulan April 2018, saat saya meminta ijazah tersebut. Itu sebabnya sekolah YIS membutuhkan waktu 3 minggu untuk bisa menyerahkan ijazah yang saya minta. Artinya, ada kebohongan yang disampaikan oleh Kepala Sekolah Karitas saat memberikan kesaksiannya di persidangan setelah disumpah terlebih dahulu.

Poin yang lain yang saya dengar dari pengacara pledoi terdakwa adalah adanya tuduhan bahwa anak saya berstatus WNA dan tidak berhak atas Pendidikan Agama dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Pengacara terdakwa mungkin tidak paham bahwa untuk dapat mengikuti atau menjadi peserta Ujian Nasional SD (UN SD), peserta adalah WNI dan pendaftaran untuk mengikuti UN itu dilakukan oleh pihak sekolah YIS, yaitu oleh terdakwa sendiri. Jika anak saya berstatus WNA, lalu mengapa sekolah YIS mendaftarkan anak saya untuk melakukan UN di SD Karitas? Tanpa harus memperlihatkan sertifikat kewarganegaraan yang diterbitkan oleh Kemenkumham pada tahun 2009, dengan menjadi peserta Ujian Nasional saja sudah menjadi satu bukti bahwa anak saya adalah seorang WNI. Lagi-lagi ini kejadian ghoib!! Terdakwa yang mendaftarkan Ujian Nasional anak saya karena anak saya WNI, kemudian sekarang mereka berteriak anak saya WNA. Ghoibnya, anak saya itu ternyata berstatus WNI dan WNA berdasarkan UU Kewarganegaraan.

Yang paling lucu dari kejadian persidangan hari ini adalah saat pengacara Odie Hudiyanto diwawancara oleh Media. Dia menyatakan bahwa kehadiran saya dan Anna Indah Sylvana di setiap persidangan adalah sebuah sikap yang telah disetting. Ini menggelikan, bukankah persidangan itu sendiri bersifat terbuka untuk umum? Lalu mengapa Odie Hudiyanto begitu merasa terganggu atas kehadiran saya dan Anna di persidangan hingga menuduh-nuduh seperti itu? Ah, itulah YIS… saya salah, polisi salah, jaksa salah, pengadilan salah, yang benar cuma YIS. Itu sebabnya YIS menyatakan pembelajaran Pendidikan agama dan PPKN itu adalah murni kebijakan sekolah jadi mau nilainya diberikan seperti apa pun terserah sekolah. Padahal Ahli menyatakan “Undang-undang memberikan kewenangan kepada setiap sekolah untuk mengatur kebijakannya sendiri SELAMA TIDAK BERTENTANGAN DENGAN PERATURAN DAN PERUNDANGAN PENDIDIKAN”. Nah kalimat dengan huruf kapital itu yang tidak dibaca oleh YIS, makanya semua pihak salah. Bahkan Odie mampu menyatakan nilai yang diperkarakan adalah sah secara hukum. Bukankah kita semua bersidang untuk memohonkan Majelis Hakim menyatakan sah atau tidaknya secara hukum nilai yang dipermasalahkan? Sebagai seorang Pengacara yang mengaku sudah 20 tahun berkarir, Odie masih tidak paham bahwa kewenangan atas sah atau tidaknya suatu hal ada di tangan hakim pengadilan.

Selain cerita ghoib dan cerita lucu pada pledoinya, tentu saja ada cerita halu dan cerita kepedean, tapi itu semua standar saja, tak ada yang mempengaruhi saya. Di akhir pledoinya Pengacara terdakwa memohonkan ijin untuk membacakan surat dari istri terdakwa dan memperlihatkan foto 3 anak-anaknya yang masih kecil-kecil, sebagai upaya memohon Majelis Hakim untuk membebaskan suaminya. Saya jadi ingat peristiwa persidangan dimana seorang ibu didakwa penjara karena kecelakaan yang menimpanya. Dia bermotor dari rumah ke pasar yang jaraknya tidak jauh. Karena tidak jauh itu, si ibu bermotor tanpa helm dan kelengkapan surat kendaraan serta SIM. Mengendarai motornya si ibu menyusuri jalan tanah pinggir jalan besar dengan kecepatan yang sangat rendah. Secara tidak sengaja motor yang dikendarai si ibu menyenggol seorang nenek hingga jatuh dan si nenek pingsan. Karena pingsannya lama, si ibu membawa si nenek ke rumah sakit. Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, di rumah sakit si nenek dinyatakan meninggal. Dalam pembelaannya si ibu menangis dan memohon Hakim untuk tidak mendakwanya karena kejadian itu 1000% adalah sebuah kecelakaan dan dia sudah bertanggung jawab mulai dari membayar rumah sakit hingga pemakaman. Namun Hakim berkata bahwa pihak keluarga si neneklah yang kemudian melaporkan si ibu ke polisi hingga seluruh tanggung jawab yang si ibu berikan sepertinya tidak diterima dengan baik oleh keluarga si nenek. Dan hakim yang memeriksa perkara si ibu itu adalah hakim yang sama yang memeriksa kasus ijazah SD YIS.

Banyak sekali kejadian “kecelakaan” yang menimpa masyarakat yang pada akhirnya mengirimkan mereka ke penjara, terlepas dari apapun kondisi keluarga dan pekerjaan mereka. Pun dengan Supriyanto. Namun kita harus pula dapat membedakan bahwa tindakan yang dilakukan dengan tidak disengaja, seperti pada kejadian si ibu tadi, itu disebut kecelakaan. Dan tindakan yang dilakukan dengan disengaja, seperti menyuruh memasukkan nilai palsu di ijazah padahal sudah tahu pelajarannya tidak pernah diajarkan, itu disebut kejahatan. Seorang kawan yang menjadi Pengacara pernah mengatakan : “Musuh terbesar Pengacara itu adalah klien yang tidak jujur, berbohong dan suka menyembunyikan fakta”. Mungkinkah Pengacara Odie Hudiyanto sedang mengalaminya? Entahlah….

Sumber Utama : https://seword.com/umum/pledoi-kasus-nilai-palsu-pada-ijazah-sd-yis-qAS0K2m8MK

Re-post by MigoBerita / Senin/20092021/13.09Wita/Bjm

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya