Menteri Baru Kebijakan Baru
BELUM genap setahun menjabat menteri
pendidikan dan kebudayaan setelah dilantik pada 27 Juli 2016, Muhadjir
Effendy sudah melontarkan sedikitnya empat wacana atau boleh dibilang
sebagian sudah dalam tahap kebijakan karena telah dibuatkan peraturan
menterinya. Sayang, hampir tiap kali selalu menuai kontroversi.
Sekitar November 2016, Muhadjir bikin pernyataan memutuskan untuk
menghapus UN pada 2017 (moratorium). Dia bilang, keputusan ini tinggal
menunggu Instruksi Presiden (Inpres).
Namun, wacana ini batal terlaksana. Setelah terjadi pro kontra,
ditutup oleh penolakan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyebutkan
UN tidak dihapus melainkan bakal dievaluasi.
Wacana kedua yang menimbulkan kontorversi adalah terkait pungutan di
sekolah. Pada beberapa kesempatan kunjungan ke daerah, mantan rektor
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini membolehkan penggalangan dana
dari orangtua siswa dan alumni untuk memajukan sekolah. Namun pemungutan
dilakukan komite sekolah sesuai peraturan menteri (Permen) nomor 75
tahun 2016 tentang komite sekolah.
Dia beralasan, membolehkan komite sekolah mencari dana dari orangtua
lantaran pemerintah hanya bisa mendanai sekolah melalui bantuan
operasional sekolah (BOS). Padahal, BOS hanya bisa memberikan pelayanan
minimum untuk memenuhi standar pelayanan pendidikan.
Lagi-lagi pernyataannya bikin pro dan kontra. Apalagi jika
dibenturkan pada kebijakan pemerintah yang tengah getol memberantas
pungli dan sejenisnya. Masyarakat juga sudah alergi pada berbagai
pungutan di sekolah yang kadang berkedok sumbangan tapi malah
diwajibkan.
Berikutnya tentang penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMP dan SMA.
Tiba-tiba saja Muhadjir mengeluarkan aturan PPDB sistem zona. Siswa
harus mendaftar ke sekolah yang terdekat. Tujuannya untuk membongkar
klasifikasi sekolah favorit dan sekolah pinggiran.
Faktanya, PPDB sistem zona masih amburadul. Ada sekolah yang
kelebihan calon siswa, ada pula yang kekurangan. Sistem zona sendiri
baru diterapkan 2017, tanpa ada kajian terdahulu. Hasilnya pun belum
optimal.
Keempat, kebijakan sekolah delapan jam sehari, selama lima hari. Di
masyarakat umum orang-orang lebih mengenalnya sebagai full day school,
walaupun Muhadjir menolak jika kebijakan tersebut disebut demikian.
Kebijakan ini pun menuai pro dan kontra. Bahkan, di institusi
keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan di Kementerian Agama
muncul kehawatiran, sekolah delapan jam bakal menggerus pendidikan
keagamaan seperti madrasah diniyah dan taman pendidikan Alquran. Dua
lembaga pendidikan ini biasa berlangsung sepulang sekolah. Terkait
sekolah delapan jam sehari ini, Presiden Joko Widodo minta Kemendikbud
melakukan evaluasi.
Sektor pendidikan memang sangat penting karena masa depan bangsa ada
pada generasi yang melek ilmu yang didapat dari belajar dan diajar.
Tapi, jika kebijakan pendidikan selalu menimbulkan kontroversi,
hendaknya dikaji sebelum dilempar ke khalayak.
Bangsa ini sudah capek gaduh, jangan dibikin gaduh lagi.
(*)
Sumber Berita : http://banjarmasin.tribunnews.com/2017/06/16/menteri-baru-kebijakan-baru
Full Day School Anak Meratus
FULL day school atau anak bersekolah mulai pagi sampai sore membuat anak berada di sekolah sekitar delapan jam.
Wacana
ini sudah lama bergulir. Tentu, timbul pro dan kontra. Tapi karena
hanya wacana, reda. Meski begitu, sudah banyak sekolah yang menerapkan.
Bahkan telah meluluskan anak didiknya. Tapi kebanyakan adalah sekolah
swasta. Pandangan masyarakat, kalau swasta dengan bayarannya yang
lumayan tinggi ketimbang sekolah negeri, anggap wajar saja.
Namun Menteri Pendidikan akhirnya menerapkan kebijakan tersebut.
Masyarakat ramai lagi menanggapi di berbagai media sosial. Lalu,
bagaimana kesiapan kepala sekolah dan guru-guru di sekolah negeri? Kalau
sekolah negeri setingkat SMA, misalkan di Kalsel, mungkin tidak masalah
karena anak-anaknya sudah cukup besar. Setidaknya, bisa menyiasati diri
bila datang rasa lapar. Itu pun di perkotaan.
Belum ada kejelasan kalau SMA negeri di daerah pelosok di Kalsel dan
anak didiknya tinggal di daerah yang lebih terpelosok lagi. Entah pulang
malam dengan segala bahaya yang harus dihadapi. Tidak beda dengan
gurunya yang juga tinggal sama jauhnya. Jurang, laut, rawa-rawa, pesisir
sungai yang teramat sangat sunyi dan segala macam medan lainnya.
Di beberapa kabupaten, di antaranya Banjar, Balangan, Hulu Sungai
Selatan atau Hulu Sungai Tengah, tak sedikit yang anak-anaknya tinggal
di jejeran Pegunungan Meratus. Berjalan mulai pagi buta. Menempuh jalur
berbahaya. Tidak hanya setingkat SMA lho ya, tapi SD dan SMP-nya juga.
Belum saat hujan. Setiap hari, selama bertahun-tahun menjalani
sekolahnya.
Apakah sekolah-sekolah itu akan mengikuti kebijakan full day school?
Bubaran dari sekolah sore, mungkin sampai rumah tengah malam. Siapa yang
harus menanggung, andai mereka harus kos dari pada sampai di rumah saat
tengah malam?
Jangan jauh-jauh. Kota Banjarmasin. Sebuah sekolah yang hanya bisa
dijangkau dengan menggunakan kelotok. Seperti SDN Basirih 10. Ada sih,
jalan darat. Tapi jangan membayangkan jalannya beraspal atau paving
block atau semen. Tanah rawa. Bila datang air pasang, terendam. Cuaca
panas atau hujan, tetaplah berlumpur. Kalau sungainya, satu-satunya
jalur ke sekolah itu, sekarang sedang mengalami pendangkalan yang parah.
Kelotok sering kandas. Kalau sudah kandas, tidak usah heran kalau
mereka batal bersekolah karena motorisnya harus berjuang lama untuk
membebaskan kelotoknya dari kekandasan di lumpur sungai.
Apakah pejabat pemerintah atau anggota dewan terhormat pernah
merasakan melewatinya? Mungkin, melihat saja belum. Apakah cocok full
day school di SD tersebut?
Lalu, Presiden mengeluarkan pernyataan cukup mengejutkan. Dia meminta
kebijakan ‘sekolah seharian’ seperti ini dipertimbangkan lagi oleh
menterinya. Wapres ikut angkat bicara. Katanya, kebijakan full day
school berdampak pada 50 juta anak didik. Karena itu, kebijakan tersebut
tidak boleh diputuskan di tingkat menteri. Dibahas dulu di rapat
kabinet terbatas.
Kalaupun bisa diterapkan, jangan sampai menambah beban orangtua anak
didik. Beralasan full day school, minta uang lagi dari mereka.