Zonasi dan Hak Siswa
MULAI tahun ajaran 2017/2018, diterapkan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menggunakan sistem zonasi, domisili terdekat calon siswa atau siswi dari sekolah.Semua itu diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Permendikbud RI) Nomor 17 Tahun 2017, antara lain digariskan bahwa sekolah disamping wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah, juga dapat menerima calon peserta didik di luar radius zona.
Penerapan sistem zonasi ini, bertujuan menghilangkan kesan sekolah favorit. Namun, tidak sedikit keluhan datang dari orangtua calon siswa. Mereka menyatakan, sistem zona itu sama saja membatasi anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, bahkan bisa melanggar hak asasi manusia (BPost, 9/6/2017).
Ternyata, ini menimbulkan persoalan baru di kalangan orangtua. Sebab, harus memilih sekolah yang terdekat dari tempat tinggal calon siswa. Terhadap aturan baru itu, ada di antara orangtua siswa yang mendaftarkan anaknya ke pondok pesantren lebih awal tanpa mengikuti seleksi tersebut.
Sebagian lagi, orangtua siswa memilih mendaftarkan anaknya ke sekolah swasta atau ke madrasah. Sebab, penerimaan peserta didik baru 2017/2018 yang diatur dalam Permendikbud RI, tidak berlaku bagi sekolah di bawah kendali Kementerian Agama (Kemenag).
Inilah yang menyelimuti dunia pendidikan kita, setiap berganti menteri berganti pula kebijakan. Kondisi demikian memicu komentar beragam dari orangtua siswa maupun pengamat, pakar, praktisi dan orang yang peduli pendidikan. Selain masih jauh dari harapan, masalah klasik senantiasa mewarnai ketertinggalan dunia pendidikan kita.
Akibatnya, tidak sedikit peserta didik yang terpaksa bersekolah di tempat yang tidak diinginkan mereka atau menempuh perjalanan berjam-jam menuju lokasi sekolah, yang berjarak puluhan kilometer dari tempat tinggal mereka.
Itu baru sekolah dasar di suatu tempat, belum lagi jika peserta didik ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, minimal SMA; akan lebih jauh lagi ketersediaan sekolah bagi warga yang tinggal di daerah terisolasi.
Inilah kenyataan sehingga perlu mendapat perhatian prioritas, sebagaimana amanat konstitusi. Betapa tidak, program pendidikan plus keterampilan kepada peserta didik, bertujuan menyiapkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas.
Dan, sebagai bagian dari tanggung jawab atas tugas demikian, tampaknya pemerintah perlu menyejajarkan pemerataan di dunia pendidikan, guna penyiapan generasi yang berkualitas tersebut.
Bukankah tugas pada kegiatan pendidikan adalah pengembangan kemampuan individu, agar dapat berinteraksi dalam kehidupan sosial. Jika peran tersebut terabaikan, tidak mustahil dunia pendidikan kita akan mengalami pergeseran yang lebih jauh.
Persoalannya, jika masuk sekolah saja mulai tingkatan TK, SD, SMP, SMA atau SMK sedemikian rumit, dapat dibayangkan akan menambah deretan panjang masalah di dunia pendidikan kita.
Sumber Berita : http://banjarmasin.tribunnews.com/2017/06/10/zonasi-dan-hak-siswa
Re-Post by http://migoberita.blogspot.co.id/ Selasa/04072017/10.22Wita/Bjm