Melihat dari Dekat Kehidupan Padang Rawa di Paminggir
Di Sini, Masuk Surga Duluan
PROKAL.CO, Selusin remaja Paminggir pergi kuliah. Aksi itu menyentak padang rawa Paminggir yang damai. Mereka coba melampaui generasi kakek-ayah mereka yang setia menjadi nelayan.-------------------------------------
CATATAN SYARAFUDDIN
-------------------------------------
DALAM Bahasa Banjar, Paminggir artinya yang paling pinggir. Nama ini tidak mengada-ada. Dari 10 kecamatan di Hulu Sungai Utara, inilah yang terjauh. Jaraknya 55 kilometer dari Amuntai, pusat kabupaten.
Tak sekadar jauh, aksesnya juga payah. Jalur darat terputus di kecamatan tetangga. Kita harus berperahu minimal tiga jam, menerobos padang rawa yang luasnya melebihi Banjarmasin.
Berkat pertolongan Sukiman, Kepala SMA 1 Paminggir, saya berkesempatan menginap selama tiga hari dua malam di Paminggir. Tidur di rumah dinasnya yang sederhana di samping bangunan sekolah.
Akhir pekan kemarin, dari Banjarmasin saya bersepeda motor sejauh 183 kilometer menuju Amuntai. Melewati Banjarbaru, Rantau, Kandangan dan Barabai. Lazimnya, Amuntai bisa tembus dalam waktu lima jam. Tapi saya butuh enam jam lebih. Maklum, harus banyak singgah untuk rehat. Per 30 kilometer pantat terasa panas.
Perjalanan dirundung dua kekhawatiran. Kekhawatiran pertama, Amuntai sedang dilanda banjir terparah dalam tiga tahun terakhir. Halaman depan koran kami dihiasi foto-foto banjir Amuntai.
Dari Barabai saya memintas jalan dari Pajukungan. Terus ke Pantai Hambawang, pintu masuk HSU. Sejak subuh hujan tak juga reda. Jas hujan plastik seharga Rp8 ribu yang saya kenakan tak banyak membantu. Saya tak berhak memprotes. Ada harga ada rupa, bos!
Benar saja, pemukiman hingga jalan raya terendam. Harus ekstra pelan untuk menerobos banjir. Khawatir mesin motor mogok karena terendam air. Jujur, saya tak mengerti cara mencopot busi, apalagi cara mengeringkannya.
Tujuan pertama kantor pemkab untuk menemui Muhammad Akbar, reporter Radar Banjarmasin yang ngepos liputan di HSU. Bahkan, jalan di depan kantor bupati kebanjiran. Baru tiba, seorang PNS terpental dari motornya. Jalanan licin dan ia keliru karena ngerem mendadak.
Akbar punya dua tugas penting. Mentraktir saya makan siang dan mengantar ke rumah Sukiman di kawasan Amuntai Selatan. Kesan awal bertemu Sukiman, ia sosok dengan perpaduan ganjil.
Badannya kekar dan tinggi. Kulitnya legam terbakar. Sorot matanya tajam. Rambutnya ubanan dan dipotong tipis, nyaris gundul. Tapi ketika bicara suaranya mungil. Pelan, agak serak dan santun.
Pintu rumah Sukiman ditumpuki karung pasir untuk menghalau banjir. Bak barak perlindungan seperti film-film perang. Toh pagar itu tak banyak berguna. Kamar tidur dan dapurnya sudah terendam. Buku-buku di rak terbawah ruang tamu juga sudah dikosongkan. "Betis istri sampai lecet karena terus-menerus terendam," keluhnya.
Usai perkenalan singkat, saya dibonceng Sukiman dengan motor dinasnya. Kami berkendara selama satu jam. Melintasi wilayah Kecamatan Sungai Pandan, Sungai Tabukan dan Danau Panggang. Di kecamatan terakhir inilah dermaga yang kami tuju.
"Berdoa saja. Kalau Sungai Paminggir masih tertutup adangan eceng gondok, terpaksa kita memutar lewat Jenamas, memasuki perairan Kalteng. Kemungkinan terburuk harus bermalam di perahu," ujarnya.
Inilah kekhawatiran yang kedua. Setelah diguyur hujan berhari-hari, ratusan ton eceng gondok menyerbu Paminggir. Perahu yang nekat menerobos sering terjebak. Hanya bisa menunggu bantuan kapal pembelah arus.
Pilihan lain, perahu memutar lewat Sungai Barito. Artinya, waktu perjalanan bertambah dua kali lipat. Dari tiga jam berperahu menjadi enam jam. Saya berpikir, liputan ini memilih waktu yang salah.
Setiba di dermaga, kami menitip sepeda motor di rumah warga. Tarifnya Rp5 ribu per malam. Oh ya, jika tak ada kendaraan pribadi atau tumpangan, dari Amuntai ke Danau Panggang Anda harus naik ojek dengan tarif Rp70 ribu (jika pintar menawar harga).
Taksi air yang saya maksud sebenarnya kelotok panjang dan ramping. Bedanya sudah dimodifikasi, lantai kelotok dipasangi deretan kursi kayu. Tarifnya Rp25 ribu per kepala untuk sekali jalan.
Ia hanya berangkat sekali dalam sehari. Jadwalnya, jam enam pagi menjemput penumpang dari Paminggir. Dan jam satu siang mengantar penumpang dari Danau Panggang. Telat datang, silakan menunggu sampai besok.
Kalau ngotot berangkat, solusinya ada tapi mahal. Menyewa speed boat yang tersedia di dermaga. Tarifnya Rp500 ribu untuk sekali jalan, pulang pergi berarti Rp1 juta. Kelebihannya ia lebih cepat, satu jam pun sudah mampu menembus Paminggir.
Kami memilih duduk di atap perahu agar mudah memotret. Beberapa kali kami menghadapi adangan eceng gondok seluas lapangan sepakbola. Bikin was-was. Meski lamban dan tersendat, syukur motoris kami lihai dan bisa menerobosnya.
Tak perlu memutar, semua tersenyum lega. Seorang penumpang sampai-sampai mendatangi saya untuk berterima kasih. "Sampeyan memang pembawa berkah. Kemarin terpaksa bermalam di perahu. Mau kencing saja susah," ujarnya. Pikiran bahwa liputan ini memilih waktu yang salah ternyata cuma dugaan tak berdasar.
Tujuan kami adalah Desa Paminggir. Ini desa terujung dari tujuh desa di Kecamatan Paminggir. Desa ini persis di persimpangan Sungai Paminggir dan Sungai Barito. Berada di perbatasan Kalsel dan Kalteng, menyeberang sungai selama 10 menit, sampailah di Kabupaten Barito Selatan.
Desa ini berdiri di atas delta. Delta istilah geografi untuk menyebut gundukan tanah mirip pulau yang berdiri di atas air tawar. Disinilah SMA 1 Paminggir dan rumah dinas Sukiman berdiri.
Sebelum tiba di Desa Paminggir, harus melewati Desa Pal Batu, Bararawa, Sapala, Ambahai dan Paminggir Seberang. Jangan bayangkan antar desa berdekatan. Ketujuh desa ini dipisah-pisahkan padang rawa luas antara lima hingga sepuluh kilometer.
Jangan pula lupakan Tampakang. Desa ini terpisah sendirian, di luar lintasan rute taksi air. Untuk menuju Tampakang, tak ada pilihan selain menyewa speed boat.
"Mustahil anak-anak Tampakang sekolah kemari. Makanya kami bikin kelas jauh di sana," jelas Sukiman. Sembilan guru ditempatkan di sana. Muridnya lumayan, berjumlah 70 anak.
Usia SMA 1 Paminggir terbilang muda, berdiri tahun 2010. Sukiman ditugaskan menjadi kepsek sejak 2012. Banyak cerita guru yang berjuang untuk membatalkan penugasan ke Paminggir. Menggencarkan lobi atau menulis surat penolakan bermaterai ke Dinas Pendidikan.
Anehnya, Sukiman malah bergembira. "Saya 20 tahun menjadi Wakasek SMA 1 Amuntai. Sudah di titik jenuh. Saya harus keluar mencari tantangan baru," tegasnya.
Paminggir ternyata membawa berkah dalam karirnya. Tahun 2015, ia terpilih ikut program pertukaran kepsek se-Indonesia. Kementerian Pendidikan mengajak kepsek di kota besar dan desa terpencil bertukar nasib selama tiga bulan.
Sukiman bertukar dengan kepsek SMA 3 Bogor. Malam pertama di Bogor, ia menerima telepon yang takkan terlupakan. "Kepsek SMA 3 Bogor menelepon saya dari Paminggir sambil menangis. Katanya kepsek terpencil bakal masuk surga duluan. Kepsek yang lain silakan ngantre di belakang," ceritanya.
Lelaki 53 tahun ini lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Sukiman yang kelahiran Magetan sebenarnya bukan perantau. Ia produk program pengiriman besar-besaran guru IPA keluar Pulau Jawa yang digalakkan pemerintah Orde Baru pada tahun 1991.
Sukiman ingat, sebelum SMA ini berdiri, anak-anak Paminggir ibarat katak dalam tempurung. "Yang cewek setamat SMP hanya menunggu dilamar. Yang cowok membantu orang tuanya mencari ikan. Pilihan masa depan begitu sempit," kisahnya.
Tak bisa disalahkan. Bayangkan, untuk mencapai SMA terdekat di kecamatan tetangga harus berperahu selama berjam-jam. Ongkosnya juga mahal. Bahan bakar utama perahu bermotor di sini adalah bensin. Harganya Rp10-11 ribu per liter. Di Paminggir, pendidikan mendapat tantangan paling primitif: tantangan geografis.
"Sulit menghakimi. Selain alam, kemiskinan juga jadi masalah. Dari 200 siswa kami, 75 persen adalah pemegang kartu perlindungan sosial," sebutnya.
Ini belum lagi alam pikir orang Paminggir yang begitu sederhana. Masyarakat begitu ketergantungan dengan alam. Limpahan ikan air tawar, kerbau rawa dan hutan pohon galam sudah cukup mengepulkan dapur mereka. Sekolah tak usah tinggi-tinggi. Yang penting bisa membaca, menulis dan berhitung.
Perubahan dramatis terjadi ketika angkatan pertama lulus. Dari 50 siswa, 12 memutuskan kuliah. Yang paling cerdas dan berbakat bahkan meraih beasiswa ke Institut Pertanian Bogor.
Beasiswa hasil lobi Sukiman ke perusahaan batubara yang tongkangnya lalu-lalang di Sungai Barito melewati Paminggir. "Sebenarnya sih bukan lobi, lebih mirip mengancam," ujarnya tertawa.
Rombongan pertama Paminggir yang ke universitas ini ternyata menginspirasi adik-adik kelas mereka. Pergi kuliah sekarang menjadi tren baru.
Untuk membuktikan pernyataan Sukiman, hari pertama di Paminggir, pagi-pagi saya sudah nongkrong di koridor sekolah. Sebelum belajar, siswa menyanyikan lagu Indonesia Raya versi tiga stanza. Kemudian membaca Alquran sebanyak satu halaman.
Setiap siswa yang izin keluar kelas untuk pipis atau berganti pakaian olahraga saya cegat untuk wawancara. Sengaja, agar mereka bisa bicara lepas tanpa diawasi gurunya.
Muhammad Sairi, siswa kelas XII IPS, mengidam-idamkan jurusan ekonomi bisnis. "Walaupun bakal sulit, abah cuma nelayan. Ongkos kuliah dan sewa kos jelas tak murah," ungkapnya.
Satu-satunya modal Sairi untuk kuliah adalah fakta bahwa ia sang bungsu dari lima bersaudara. Ia yakin orang tuanya bakal memperjuangkan cita-citanya. "Yang bungsu kan biasanya paling disayang," imbuhnya tersenyum.
Lalu ada Jaimah, siswi kelas XII IPA. Ia bertekad kuliah di jurusan pendidikan anak usia dini. "Saya ingin jadi guru TK di Banjarmasin. Kota besar menawarkan lebih banyak pilihan ketimbang di sini," ungkapnya.
Sementara Arsyad, masih dari kelas XII, bercita-cita masuk akademi polisi. Selama ini saya berasumsi daerah terpencil lebih aman dari jangkauan narkotika, alkohol dan seks bebas yang marak di kota besar. Arsyad sukses mengikis penilaian dini itu.
"Diam-diam beberapa teman sudah pernah mabuk Zenith (obat keras pil Carnophen) atau mencoba minuman keras. Jangan dikira di sini aman," ujarnya.
Intinya, ketiga pelajar ini memimpikan kehidupan berbeda. Mereka ingin menyandang gelar sarjana. Punya pekerjaan selain mencari ikan atau menggembala kerbau rawa. Mata pencaharian utama di Paminggir selama sekian generasi.
Malam harinya saya ditraktir Sukiman di warung tepian sungai. Menunya mie godok khas Paminggir yang begitu dielu-elukan. Namun, saya hanya sanggup menghabiskan separo mangkuk. Salah sendiri. Imajinasi saya terlalu berlebihan.
Mie godok ternyata mie biasa yang dikuahi sup tomat mendidih, ditaburi kol dan irisan telor ayam rebus. Kesimpulannya, mie godok laku bukan karena rasa, tapi akibat rendahnya tingkat persaingan. Di Paminggir hanya ada dua warung makan!
Sambil ngerokok, Sukiman menceritakan impiannya. Ia tak sabar menanti kepulangan rombongan sarjana Paminggir. Harapannya, kelak barisan pengajarnya adalah orang Paminggir asli.
Tak seperti sekarang. Dari 21 guru sebagian besar pendatang yang senasib. Menyandang status LDR (Long Distance Relationship), jauh dari keluarga demi mengemban tugas mengajar.
"Pemerintah mestinya memulai pembangunan pendidikan dari daerah terpencil. Pengajarnya juga berhak memperoleh perbaikan kesejahteraan, kemudahan promosi dan penyegaran mutasi," pungkasnya.
KEHIDUPAN DI ATAS RAWA: lanskap Paminggur di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Wilayahnya terdiri dari rawa.
Sumber Berita : http://kalsel.prokal.co/read/news/12508-melihat-dari-dekat-kehidupan-padang-rawa-di-paminggir.htmlRe-Post by http://migoberita.blogspot.co.id/ Selasa/28112017/18.11Wita/Bjm