Samakan Jokowi dengan Najib, Akbar Faisal ‘Semprot’ Sandiaga Uno
JAKARTA – Wakil
Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menyamakan pemerintahan Joko Widodo
alias Jokowi sama gagalnya dengan mantan PM Malaysia Najib Razak.
Ketimpangan ekonomi dan sempitnya lapangan kerja membuat Sandi
berspekulasi bahwa Indonesia tak akan berubah di bawah ‘tangan’
Jokowi-JK.
Baca: Ocehan Ngawur Sandiaga Uno Berbuntut Panjang
Anggota Komisi III DPR RI Akbar Faisal
menilai Sandi tak seharusnya berkomentar demikian. Ketua Tim Komunikasi
Internal Partai Gerindra itu tak memiliki kapabilitas untuk
membandingkan pemerintahan Indonesia dengan Malaysia.
“Sandi bukan orang yang cukup kapabel
untuk membuat analisis politik seperti ini. Dia relatif tak terlalu
paham apa yang dibicarakan,” ungkapnya melalui sambungan telepon dalam
Metro Siang, Senin, 28 Mei 2018.
Menurut Akbar, apa yang disampaikan
Sandi tak sepadan dengan apa yang telah dicapai pemerintah sejak 2014.
Sandi dinilai lebih tepat membuat analisis atau penilaian tentang
perbandingan Jakarta di bawah pemerintahannya dengan Kuala Lumpur.
Baca: Denny Siregar: Siasat politik rezim orde lama dan PKS menuju pilpres 2019
“Itu lebih sepadan karena kalau
dibandingkan dua pemerintahan ini, apalagi Mahathir baru saja terpilih
lalu berkesimpulan seperti itu terlalu cepat bahkan tidak ketemu
ujungnya,” kata Akbar. Akbar mengungkap pemerintahan Indonesia dan
Malaysia jelas berbeda.
Sejak Jokowi terpilih pada Pilpres 2014
situasi seperti ada api dalam sekam yang ditinggalkan pemerintahan
sebelumnya justru diperbaiki, dirancang, bahkan diformat ulang di
berbagai sektor. Ambil contoh, kata Akbar, 10 tahun pemerintahan
sebelumnya pergerakan di bidang infrastruktur tak begitu terasa.
Lalu kemudian Jokowi mengelaborasinya
dengan baik hingga banyak perubahan signifikan. “Kalau dibandingkan
dengan Malaysia saya enggak tahu di mana harus memulai analisisnya,”
katanya. Akbar mengakui tak bisa memaksakan semua orang untuk sepakat
dengan pencapaian yang telah diraih pemerintah.
Baca: Akbar Faisal Skak Mat Jonru Kader PKS di ILC Terkait Isu Ibunda Jokowi PKI
Namun, jika harus mengeluarkan sebuah
analisis sepatutnya disampaikan secara terukur dengan angka dan
logika. Kata dia, membandingkan dengan hanya menyatakan pemerintah gagal
hanya dengan satu contoh kesulitan mencari lapangan kerja kemudian
disamakan dengan situasi negara lain tidak akan menjawab persoalan.
“Sarat kepentingan politis iya. Kalau
analisis politikus ya wajar saja namanya ‘jualan’ jagoannya. Bolehlah
memberi materi jualan tapi yang cukup cerdas, jangan seperti ini,”
katanya. (ARN)
Sumber: MetroTvNewsEko Kuntadhi: Jokowi Tegakkan Keadilan Sosial Bagi Rakyat Indonesia
JAKARTA – Kalau Jokowi
mau menang lagi dalam Pemilu mendatang, gampang. Arahkan saja
pembangunan di daerah-daerah yang padat penduduknya seperti di Jawa dan
Sumatera. Di sanalah pemilih terbesar berada. Hasilnya, dalam Pemilu
nanti pasti memuaskan.
Baca: Jokowi Presiden ‘Apa Adanya’
Tapi tampaknya logika itu sejak awal
tidak digunakan Jokowi. Alokasi dana pembangunan tidak berpusat di
daerah yang jumlah penduduknya banyak. Justru wilayah-wilayah terpencil
menjadi incaran pertama.
Infrastruktur di Papua, Kalimantan,
Maluku, atau Sulawesi dibangun. Daerah-daerah perbatasan yang jauh
dibenahi. Padahal penduduknya tidak padat. Jikapun mereka puas dengan
kinerja pemerintahan dan memberikan suaranya kepada Jokowi pada Pilpres,
jumlahnya tidak akan terlalu signifikan secara nasional.
Di wilayah terpencil itu, selain
infrastukrur, khususnya jalan dan sarana transportasi, Jokowi juga
mencanangkan BBM satu harga. Pertamina diperintahkan untuk banting
tulang memenuhi target ini.
Bukan hanya BBM, kesediaan listrik
(elektrifikasi) juga digenjot. PLN dan Kementrian ESDM bekerja keras
untuk mencapai rasio elektrifikasi 99%. Desa-desa yang jauh dijelajah.
Wilayah yang paling terpencil yang sebelumnya gelap gulita menjadi lebih
terang.
“Ini soal menjaga Indonesia. Soal
keadilan sosial buat seluruh rakyat. Gak ada urusannya sama politik,”
ujar Presiden Jokowi dalam sebuah kesempatan.
Baca: Yusuf Muhammad: Di Era Jokowi Papua Tak Lagi Sengsara
Memang selama Indonesia berdiri, banyak
wilayah terpencil yang jauh dari Jakarta terabaikan. Transportasi di
Papua tidak tersedia. Harga bensin gila-gilaan. Listrik tidak ada. Lalu
bagaimana saudara-saudara kita disana bisa mengejar ketertinggalan?
Selama ini sila keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia hanya dinikmati oleh orang di Jawa atau
Sumatera saja. Makanya ketika BBM naik sedikit, keluhannya sepanjang
jalan tol. Ketika harga listrik naik sedikit, mulutnya pada mencong dan
nyinyir. Padahal harga premium gak tembus sampai Rp 7000.
Sementara di Papua, masyarakat sudah
biasa membeli bensin seharga Rp 60 ribu seliter. Karena bensin mahal,
otomatis harga-harga lainnya juga mahal. Semen satu sak bisa mencapai Rp
1 jutaan.
Pasti bukan hanya harga-harga yang
melonjak gila-gilaan dibanding di Jawa, dengan keterbatasan akses, semua
fasilitas menjadi sulit dijangkau. Fasilitas kesehatan, pangan dan
kebutuhan hidup dasar susah didistribusikan. Boro-boro mau menikmati
hidup seperti sebagian besar rakyat di bagian barat Indonesia, wong
sekadar hidup normal saja mereka kerepotan.
Jadi jalan di Papua fungsinya bukan
hanya sebatas digunakan oleh mereka yang punya kendaraan seperti kata
ketua BEM UI yang gembil itu. Jalan di Papua, juga menjadi pembuka
pemertaan penduduk disana. Membuka masa depan anak-anak Papua untuk bisa
setara dengan saudara-saudaranya di wilayah lain.
Baca: Jokowi Dihadapan Anggota DPD, Trans Papua Bisa Bikin Semen Semurah di Jawa
Untuk mewujudkan keadilan sosial itu,
semua kekuatan dikerahkan. Pertamina sebagai BUMN, misalnya, tidak lagi
difokuskan untuk mencari untung. Berbeda dengan swasta yang pikirannya
bagaimana untung sebanyak-banyaknya, BUMN seperti Pertamina dan PLN juga
memiliki kewajiban sosial.
Untuk mendistribusi BBM ke seluruh
wilayah, misalnya, Pertamina harus merogoh kocek Rp 800 miliar untuk
biaya distribusi. Bahkan di beberapa wilayah terpencil, biaya distribusi
BBM bisa jauh melebihi harga BBM itu sendiri.
Itu juga dilakukan PLN. Menurut Direktur
PLN Sofyan Baasir, di beberapa daerah di Papua, harga produksi listrik
mencapai Rp 11.000/kwh dan hanya dijual Rp 450/kwh. Sebab harga listrik
harus sama di semua wilayah Indonesia.
Otomatis keuntungan BUMN ini agak
tergerus. Bukan karena rugi operasional, tapi karena memang harus
menjalankan misi pemerataan yang dibebankan ke pundaknya. Untuk apakah
misi pemerataan itu? Untuk menjalankan sebuah sila dalam dasar negara
kita: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang menjadi
konsentrasi Presiden Jokowi dalam pemerintahannya.
Baca: Tulisan Menohok Eko Kuntadhi Terkait Isu Jokowi Jual BUMN kepada Asing
Untuk apa pemerintah membangun wilayah
terpencil yang penduduknya sedikit, dan jauh dari jangkauan media untuk
diberitakan? Bukankah itu tidak menguntungkan secara politik? Artinya
biaya yang dikeluarkan dengan imbal politik yang diterima tidak sepadan.
Secara politik akan lebih menguntungkan
mempertebal aspal jalan-jalan di Jawa Barat atau Jatim, ketimbang
membangun jalan di Papua. Penduduk Jabar dan Jatim jumlahnya jauh lebih
banyak dibanding rakyat Papua. Pekerjaan juga lebih mudah dilakukan
tanpa harus merambah hutan dan menyebrangi rawa-rawa.
Tapi persetan dengan politik. Ini soal
mewujudkan sila dasar negara kita. Ini soal komitmen jangka panjang
tentang sebuah negara Indonesia. Bukan hanya soal Jakarta. Bukan hanya
soal Jawa dan Sumetara. Ini tentang Indonesia. Tahun politik, hanya
sekali lima tahun. Tapi tahun Indonesia berlaku sepanjang jaman. (SFA)
Sumber: EkoKuntadhoi.comSumber Berita : http://www.salafynews.com/eko-kuntadhi-jokowi-tegakkan-keadilan-sosial-bagi-rakyat-indonesia.html
Re-Post by http://migoberita.blogspot.com/ Rabu/30052018/10.29Wita/Bjm