TSUNAMI SELAT SUNDA X MESUT OZIL: ANTARA KETULUSAN HATI, RELASI, DAN BISNIS
MOJOK.CO – Mesut Ozil menjadi pesepakbola Eropa pertama yang berbelasungkawa menggunakan Bahasa Indonesia ketika tsunami Selat Sunda terjadi.
Indonesia kembali berduka. Letusan anak Gunung Anak Krakatau menyebabkan tsunami Selat Sunda.
Menurut
Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data dan Humas BNPB, fenomena tsunami Selat Sunda ini termasuk fenomena langka. Letusan Gunung Anak Kratakau ini tidak besar. Tremor terus terjadi, tapi frekuensinya tidak tinggi. Bahkan, tidak ada gempa yang memicu tsunami. Situasi inilah yang membuat sulit menentukan penyebab tsunami di awal kejadian.
Sementara itu, BNPB mencatat kerusakan akibat tsunami Selat Sunda per 23 Desember 2018 pukul 16.00 WIB tercatat 222 orang meninggal, 843 luka-luka, dan 23 orang masih hilang. Kerusakan fisik mencakup 556 unit rumah rusak, sembilan hotel rusak berat, 60 warung rusak, dan 350 kapal-perahu rusak.
Mengapa bisa jatuh sedemikian banyak korban tsunami Selat Sunda? Sutopo menjelaskan bahwa saat ini, Indonesia belum memiliki sistem peringatan dini yang disebabkan longsor bawah laut dan erupsi gunung api. Saat ini, yang ada adalah peringatan diri yang dibangkitkan gempa. Sistem sudah berjalan dengan baik. Kurang dari lima menit setelah gempa, BMKG dapat merilis info ke publik.
Oleh sebab itu, ketika tsunami Sulat Sunda terjadi, tidak ada peringatan diri yang muncul. Tsunami yang tidak terdeteksi membuat masyarakat tidak punya waktu untuk evakuasi.
Tantangan bagi Indonesia ke depan adalah membangun sistem peringatan dini tsunami yang disebabkan longsor bawah laut dan
erupsi gunung apimengingat 13 persen gunung api dunia ada di Indonesia. Dan, banyak dari gunung api tersebut berada di laut atau pulau kecil yang dapat menyebabkan tsunami seperti tsunami Selat Sunda.
Itulah flash news untuk pembaca Mojok…
Duka itu merambat ke seluruh dunia…
…masuk juga ke dunia sepak bola.
Terutama adalah klub-klub besar di Eropa yang langsung membuat ucapan duka cita dan keprihatinan. Real Madrid, Liverpool, dan Manchester City, misalnya. Intinya adalah mendoakan Indonesia, dan keluarga korban yang tertimpa kemalangan.
Nah, yang paling menarik perhatian justru bukan klub. Ada satu pemain, yang membuat ucapan belasungkawa dan ekspresi keprihatinan lewat Twitter menggunakan Bahasa Indonesia. Dia adalah Mesut Ozil, salah satu kapten
Arsenal. Berbekal 23 juta
followers di Twitter, ucapan belasungkawa Ozil menjadi fenomena.
Tentu sangat menarik, menyentuh, dan menggugah hati ketika ada pemain ternama dari Eropa yang menunjukkan ketulusan hatinya menggunakan bahasa setempat. Ekspresi Ozil tergambar dengan jelas dan ucapannya menjadi sangat menyentuh karena bisa dipahami semua pembaca dari Indonesia. Hingga pagi ini (24/12), ucapan itu sudah di-RT sebanyak 34 ribu kali dan disukai oleh 46 ribu lebih akun, termasuk saya.
Namun, tentu saja, di samping unjuk ketulusan hati dan keprihatinan, ada tujuan lain yang ingin dikejar lewat twit Ozil tersebut. Ini bukan bermaksud berburuk sangka. Saya menegaskan bahwa Ozil sangat tulus. Meskipun tubuhnya penuh tato, Ozil adalah pesepakbola yang ingat dengan Tuhan dan hatinya mudah tersentuh.
Perlu kamu ketahui, di balik semua ucapan dan gimmick yang pesepakbola Eropa lakukan di media sosial, hampir semua memuat dua tujuan. Pertama adalah membangun relasi dengan fans, baik baru atau yang lama. Kedua, ada unsur bisnis di baliknya.
Asia, terutama Asia Tenggara, adalah pasar yang potensial. Ceruknya masih sangat dalam dan menjadi rebutan klub-klub Eropa. Ozil, tentu dibantu tim kreatif di belakangnya, paham betul dengan fakta ini. Oleh sebab itu, ucapan belasungkawa Ozil di Twitter pun menggunakan Bahasa Indonesia.
Hampir semua pesepakbola Eropa menggunakan jasa admin untuk mengunggah sebuah konten. Tentu sebuah konten yang sudah disetujui oleh si pemilik akun, dalam hal ini Ozil. Di balik Ozil, bukan hanya ada Arsenal, tapi juga ada sponsor, yaitu Adidas. Nilai sponsor Adidas untuk Ozil berkisar di angka 25 juta paun.
Baik Arsenal maupun Adidas, punya target pasar di Asia, khususnya Asia Tenggara. Di sinilah, ucapan belasungkawa Ozil bukan hanya sebatas unjuk ketulusan hati, tapi juga membawa misi membangun relasi dan bisnis.
Mark Gonnella, Direktur Komunikasi Arsenal mengungkapkan bahwa pada tahun 2016 yang lalu, Arsenal masuk tiga besar klub yang paling banyak diikuti di Asia, setelah Manchester United dan Liverpool. Pasar di Asia sangat besar, bahkan penjualan kaus klub tumbuh lebih dinamis ketimbang pasar Eropa.
Sepak bola adalah salah satu olahraga favorit, untuk tidak mengatakan “yang paling”, di Asia. Negara-negara di Asia membayar hingga 1,4 miliar dolar untuk
hak siar Liga Inggris dari tahun 2013 hingga 2016. Itu dua tahun yang lalu dan kemungkinan nilainya semakin naik di tahun 2018. Arsenal sangat paham dengan besarnya potensi. Mereka membangun kantor di Cina dan Singapura, dan punya akun dengan Bahasa Mandarin, Indonesia, Jepang, dan Vietnam.
Nah, usaha-usaha klub dan sponsor untuk mendekati “calon konsumen” mereka adalah menggunakan kedekatan pemain dan suporter. Relasi yang sangat kuat, bahkan sampai ada fans yang mengkultuskan pemain, membuat klub lebih mudah masuk ke dalam kehidupan mereka. Kedekatan itu dikapitalisasi menjadi pundi-pundi uang. Tak perlu heran, tak perlu berburuk sangka, karena memang begitu adanya.
Kedekatan Ozil dan suporternya di Asia sangatlah dekat. Ketika Ozil berselisih dengan
PSSI-nya Jerman dan menghadapi serangan rasisme, akun-akun di Asia terpantau menjadi yang paling aktif membela. Oleh sebab itu, ketika tsunami Selat Sunda terjadi, Ozil yang paling pertama menggunakan Bahasa Indonesia untuk menunjukkan ketulusan hatinya.
Di dalam kehidupan, satu aksi bisa membawa banyak makna. Aksi yang jernih dan tulus pun, bisa saja dibonceng dengan maksud lain yang sungguh bertolak belakang dengan makna aksi sebetulnya. Ketulusan Ozil, memuat usaha membangun relasi dan bisnis. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan klub dan sponsor yang akan menikmati “berkahnya” kelak.
SURAT TERBUKA UNTUK HMI YANG UNJUK RASA BELA MUSLIM UIGHUR DI CINA
MOJOK.CO – Santri yang lagi kuliah di Cina ini bikin surat terbuka untuk sahabat-sahabat HMI yang melakukan demo ke Kedutaan Besar Cina di Jakarta soal bela muslim Uighur.
Oke, jadi begini.
Disebabkan kakanda dan ayunda sekalian sudah ngegas duluan dengan menggelar unjuk rasa serempak di beberapa kota wabil khusus di Kedutaan Besar Cina di Jakarta, saya merasa tak perlu untuk banyak berbasa-basi di surat ini. Saya mau langsung ke pokok permasalahan saja.
Begini. Ada satu kalimat dalam Kitab Han (Han Shu) susunan Ban Gu (32–92) yang berbunyi: “Bai wen bu ru yi jian.”
Terjemahan ugal-ugalannya: “Informasi yang didapat dari mendengar penuturan orang sebanyak seratus kali, keakuratannya akan kalah dengan yang diperoleh dari melihat sendiri meski cuma sekali.”
Saya tiba-tiba kepikiran wejangan tersebut sehabis membaca berita berisi pernyataan kakanda Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (Ketum PB HMI) yang bilang kaum Uighur di Xinjiang “dilarang beragama” oleh
Pemerintah Cina.
Terus terang saya kaget dibuatnya. Awalnya saya kira medianya yang salah kutip. Eh, setelah saya menemukan video di
Youtube, ternyata kakanda Ketum PB HMI memang mengatakan begitu dalam orasinya yang heroik di depan gedung Kedubes Cina, kemarin (18/12).
Saya jadi pengin tahu dari mana sebenarnya kakanda Ketum PB HMI mendapatkan informasi itu? Semoga bukan dari Ibu
Ratna Sarumpaet ya?
Bukan apa. Sependek dan sesempit pengetahuan saya yang sejak 2010 menimba ilmu di Cina, saya tidak pernah tahu kalau Pemerintah Cina sampai melarang warganya dari suku mana pun untuk menganut agama apa saja yang hendak diimani.
Mau memeluk agama yang mesiasnya bernama Hulaihi Wasalam—umpamanya—ha monggoh. Tak akan ada masalah. Konstitusi Cina menjaminnya.
Makanya, kalau kakanda Ketum PB HMI lagi selo, saya sarankan membaca soal jaminan kebebasan beragama ini dalam Undang-Undang Dasar Cina Bab 2 Pasal 36. Agar nggak ganggu jadwal demo kakanda Ketum PB HMI yang padat merayap, saya bantu kutipkan sekaligus alihbahasakan di sini:
Warga negara Cina mempunyai kebebasan beragama. Instansi negara, kelompok masyarakat, dan perorangan tidak boleh memaksa warga negara untuk menganut agama atau tidak menganut agama.
Tidak boleh mendiskriminasi warga negara yang menganut agama dan yang tidak menganut agama. Negara melindungi aktivitas keagamaan yang normal (zhengchang de zongjiao huodong). Siapa pun tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat merusak ketertiban sosial, merugikan kesehatan warga negara, dan merintangi sistem pendidikan negara dengan menggunakan agama.
Na‘am, yang dijamin sama Pemerintah Cina bukan hanya kebebasan warganya untuk beragama, melainkan pula kebebasan mereka untuk tidak beragama dengan menjadi ateis a.k.a kafir kafah.
Sedangkan bagi yang beragama, Pemerintah akan terus berusaha mengayomi sepanjang aktivitas keagamaannya tetap berada dalam koridor “normal” alias tidak melanggar norma dan hukum yang berlaku.
Mungkin terkecuali di bumi datar, saya haqqul yaqin tidak akan ada negara mana pun di bumi bulat ini yang akan tinggal diam mengetahui aktivitas keagamaan warganya yang kerjaannya memprovokasi jemaatnya untuk memberontak kepada pemerintahan yang sah, misalnya.
Sialnya, justru hal seperti itulah yang kini terjadi di Xinjiang yang kebetulan penduduknya mayoritas
bersuku Uighur penganut agama Islam.
Kita tahu, orang-orang Uighur—terutama yang tinggal di Xinjiang bagian selatan—memang sudah lama ingin memerdekakan diri dari Cina. Bahkan sejak Cina masih dikuasai Dinasti Qing. Yakni sebelum Cina diperintah Partai Nasionalis yang pengaruhnya sejak 1949 disingkirkan Partai Komunis sampai sekarang.
Sejak dulu—sebagaimana dipaparkan Wang Ke dalam mahakaryanya yang berjudul Dong Tujuesitan Duli Yundong: 1930 Niandai zhi 1940 Niandai(Gerakan Kemerdekaan Turkestan Timur: 1930–1940) terbitan The Chinese University of Hong Kong—kelompok-kelompok separatis Xinjiang memang menggunakan agama (dalam hal ini Islam) untuk melegitimasi gerakannya.
Kenapa? Sebab, kata guru besar Kobe University itu, hanya agamalah yang bisa dipakai buat menarik simpati suku lain yang juga tinggal di sana. Andaikan kelompok-kelompok separatis Uighur memakai isu kesukuan, niscaya muslim bersuku Kazakhs yang juga tak sedikit jumlahnya di Xinjiang, akan sulit bersimpati kepada mereka.
Terbukti, bahkan kakanda dan ayunda yang berada di Indonesia pun bersimpati—untuk tidak menyebut “terkompori”. Padahal, yang dibidik oleh Pemerintah Cina—baik tatkala masih kedinastian maupun sekarang yang komunis—bukanlah agamanya. Juga bukanlah muslim yang moderat. Melainkan kelompok-kelompok separatis yang menggulirkan sentimen agama guna mencapai tujuan politiknya.
Anehnya, kelompok-kelompok separatis ini agaknya tidak benar-benar berniat memperjuangkan Islam. Buktinya, Jüme Tahir, imam besar Masjid Id Kah Xinjiang yang terkenal moderat dan pro-pemerintah itu pun dihabisi dengan keji selepas memimpin salat Subuh pada 30 Juli 2014 silam.
Akhirnya saya jadi bertanya-tanya: yang dibela oleh kakanda dan ayunda itu muslim Uighur yang mana?
Muslim Uighur yang moderat?
Meski sebenarnya mereka sih kayaknya nggak perlu dibela juga. Karena sepengamatan saya, mereka masih bisa beribadah dan berbisnis laiknya sedia kala. Ayo deh, mari kapan-kapan saya temani kakanda dan ayunda pergi ke Xinjiang untuk mengetahuinya. Ajak Abang Fadli Zon juga boleh deh.
Atau muslim Uighur yang suka membikin gaduh suasana Xinjiang pakai isu agama buat meraih agenda politiknya yang kakanda dan ayunda bela?
Ingat, justru muslim garis kaku nan ngamukan macam itulah yang—kata Profesor Beijing Foreign Studies University Xue Qingguo dalam esai bahasa Arabnya di harian
Al-Hayat edisi 30 Agustus 2017—merusak
citra Islam sebagai agama yang damai dan menjadikan “beberapa tahun belakangan Islamophobia mempunyai pangsa pasar yang cukup signifikan di Cina”.
Sebentar, sebentar, ini saya ngomongin negara mana sih sebenarnya? Kok rasanya rada-rada mirip sama sebuah negeri yang bentar lagi mau Pilpres ya?
MUSLIM UIGHUR, NATAL, DAN GLORY! GLORY! HALLELUJAH! ALA PRABOWO
MOJOK.CO – Memihak ke salah satu sisi cenderung membuat beberapa manusia menjadi terlalu hitam-putih. Ya soal muslim Uighur hingga ucapan Natal.
Hidup itu selalu soal pilihan. Bahkan ketika ada yang namanya “netral” atau berdiri di tengah pun, namanya tetap memilih. Memilih untuk tidak beringsut ke salah satu titik.
Tanpa konteks, sebuah kata tidak punya pesan untuk dibawa. Ia hanya sebuah kata dengan arti yang sudah disepakati lewat sebuah konsensus. Sebuah kata menjadi punya banyak makna ketika dilekatkan atau menjadi dekat dengan sebuah peristiwa. Seperti misalnya “pilpres”, “agama”, atau “intoleransi”.
Menjelang Natal 2018, ketika menyongsong tahun politik 2019, sebuah gegeran kembali mengemuka. Ada beberapa jika kita tidak spesifik. Misalnya soal kasus Habib Bahar, tragedi Nduga,
pemotongan nisan salib di Kotagede, Yogyakarta, serangan oposisi kepada petahana, hingga muslim Uighur.
Banyak peristiwa itu membuat kita, manusia dengan kehendak bebas, terseret ke arah satu titik. Dipengaruhi oleh lingkungan, pilihan pribadi, hingga dorongan dari orang yang dihormati, manusia seperti “dipaksa” untuk berpihak.
Dari situ lahir Jerinx yang ingin menantang Habib Bahar berkelahi dan Fadli Zon yang membela sang habib. Lahir dikotomi Cebong dan Kampret untuk membedakan pendukung Jokowi dan Prabowo. Muncul pluralis fundamentalis untuk menentang aksi pemotongan nisan salib dan antropolog dadakan ketika membicarakan “sejarah” Kotagede.
Yang paling akhir, sebuah massa terbentuk untuk berdemo di depan Kedutaan Besar Cina guna memprotes kekerasan yang menimpa Muslim Uighur di Cina. Sementara, beberapa orang (dan sebuah media) berusaha menuliskan opini dan fakta terkait kondisi sebenarnya di Provinsi Xianjiang.
Soal Natal? Yah, narasinya sih berulang-ulang setiap tahun. Mulai dari haram karena mengikuti kebiasaan sebuah kaum, menolak menggunakan atribut Natal, hingga menguncapkan pun tidak boleh. Menolak menyerupai sebuah kaum, tapi kalau tanggal merah ikut libur. Yah, begitulah, seperti saya bilang. Narasinya itu-itu saja.
Nah, kembali di muslim Uighur? Tak bisakah kita netral terhadap
masalah di Cina? Tentu saja sulit untuk membayangkannya terjadi. Sulit untuk membayangkan saudara-saudara muslim di Indonesia untuk tak melakukan pergerakan dan memilih konsentrasi dulu membantu sesama di dekatnya, katakanlah, tetangga, yang sebetulnya lebih membutuhkan perhatian.
Sulit untuk membayangkannya, karena bagi pemeluk agama lain, jika terjadi kasus yang sama, pasti juga tidak tinggal diam. Minimal ngedumel di media sosial dan memeriahkan naiknya sebuah tagar. Atau paling mentok, menyalahkan pemerintah yang dirasa terlalu pasif.
Narasi soal Muslim Uighur ini memang perlu disikapi secara hati-hati. Saya, sebagai bukan pemeluk Islam, agak sedikit khawatir. Ya saya cuma bisa khawatir, karena kalau sudah ikut sok-sokkan komentar, jatuhnya tidak otoritatif. Memeluk Islam saja tidak, tahu soal situasi sosial di Xianjiang juga tidak, masih sulit menyaring berita, kok mau berkomentar ndakik–ndakik.
Mengapa saya khawatir? Kembali ke perasaan saya saja.
Begini. Dari banyak media, baik dalam maupun di luar, saya mendapatkan banyak input soal kondisi muslim Uighur. Pada intinya, mereka sulit beribadah, bahkan dijebloskan ke penjara dan kamp konsentrasi oleh pemerintah Cina karena memeluk Islam. Namun, media yang sama memuat berita yang isinya sama sekali berlawanan.
Adalah
detik.com, memuat dua berita yang bertolakbelakang.
Berita pertamatertanggal 01 April 2017 berjudul “China Larang Warga Xianjiang Berjanggut Panjang dan Berjilbab di Area Publik”. Isinya, kurang lebih sama seperti judul dengan tambahan tidak boleh berjanggut dengan ukuran yang “abnormal”. Kata “abnormal” ini juga tidak jelas. Apakah dengan panjang lima meter, atau janggutnya dikribo, digimbal, atau dibagaimanakan.
Nah, berita kedua adalah
berita agak baru yang tayang pada tanggal 18 Mei 2018 berjudul “Benarkah Muslim Ditindas di Xianjiang China?”
Berita tanggal 18 Mei 2018 berisi “laporan investigasi” wartawan Detik yang berkunjung langsung ke Xianjiang, Cina. Dari laporan tersebut, tidak ditemukan jejak kekerasan kepada muslim Uighur atau larangan punya janggut panjang.
Abdurakib Bin Tumurniyaz, Presiden Xianjiang Islamic Institute mengungkapkan bahwa tidak ada yang namanya larangan memeluk dan merayakan Islam. “Berita soal puasa Ramadan dilarang, itu tidak benar! Datang saja ke sini dan lihat langsung. Tidak ada aturan larangan. Saya memelihara janggut panjang begini apa saya ditangkap? Kan tidak.”
Belum beberapa lama, MOJOK menayangkan
laporan pandangan mata Novi Basuki yang sudah dari tahun 2011 belajar di Cina. Novi mengungkapkan bahwa pemerintah Cina tidak pernah melarang muslim Uighur untuk merayakan Islam.
Yang diperangi oleh pemerintah Cina adalah ekstrimis dan separatis, yang kebetulan memanfaatkan Islam sebagai alat propaganda. Ya tidak berbeda dengan sebuah negara yang masih susah payah memerangi teroris dengan kedok agama. Padahal, agama itu sendiri damai dan membebaskan.
Nah, jika Detik, menayangkan dua berita yang saling bertolakbelakang, berita mana yang harus kita ikuti? Apakah kita tidak bisa “netral” memandang masalah ini.
Netral bukan berarti tidak peduli. Netral adalah menerima banyak berita, lalu mencernanya secara sempurna karena semuanya tidak berarti tidak bisa dirembug-rembug. Netral adalah mencari kebenaran dalam ketenangan ketimbang langsung berteriak lantang untuk mengecam atau menolak pihak lain karena ikut-ikutan temannya.
Ini lho yang saya khawatirkan. Bukan hanya kepada saudara-saudara muslim saja, tapi semua pemeluk agama. Sebagai manusia, kita cenderung memihak. Dan setelah memihak, kita menjadi terlalu hitam-putih. Kita meniadakan rahmat dan memandang “yang berbeda” dengan tatapan sinis, bahkan menyalahkan, seakan-akan “yang berbeda” itu seperti beol yang belum kesiram.
Media akan memberitakan apa yang perlu diberitakan. Apalagi untuk hardnews dan sangat ramah momen. Kembali ke kita masing-masing untuk memilah mana yang benar dan perlu. Sebuah level katarsis yang paripurna. Sulit diraih karena adanya “keberpihakan yang memaksa”.
Masalah muslim Uighur ini juga bisa kamu masukkan ke dalam konteks Natal. Percayalah, kamu pakai topi Natal itu tidak auto-Katolik atau auto-Kristen. Masuk Katolik itu susah. Bahkan kamu bisa gagal di tengah prosesnya yang bisa berjalan lebih dari enam bulan.
Menolak merayakan sebuah perayaan agama lain tentu sah-saha saja. Tapimbok jangan menghakimi dan melukai perasaan saudara-saudara lainnya. Kan yang minoritas sudah mengalah, apakah kalian tidak tergugah?
Lalu, bagaimana dengan bagian Glory! Glory! Hallelujah? Ya nggak kenapa-kenapa, sih. Itu cuma lagu rohani Kristen yang digubah oleh pendukung Prabowo menjadi “lagu pujian” kepada capres nomor dua itu. Bayangkan kalau itu kubu petahana yang bikin.
Lha ya terus kenapa? Ya nggak apa-apa. Pak Prabowo kan didampingi seorang santri post-Islamisme dan ulama, Sandiaga Uno. Apa nggak takut, dituduh kafir karena menyerupai sebuah kaum?
Apa? Tidak apa-apa karena Indonesia itu Bhineka Tunggal Ika dan toleransi dijamin oleh Undang-Undang? Alhamdulilah.
Yah, itulah contoh sebuah keberpihakan yang terlalu hitam-putih.
JOKOWI KESAL KARENA TERUS DITUDUH SEBAGAI TUKANG KRIMINALISASI ULAMA
Isu tentang “kriminalisasi ulama” yang sempat mencuat dalam beberapa waktu terakhir akhirnya memaksa Presiden Jokowi untuk ikut angkat bicara menyuarakan kegelisahannya.
Penahanan penceramah kondang (Ehm, sebenarnya nggak kondang-kondang amat sih) Bahar bin Smith atas kasus penganiayaan beberapa waktu yang lalu, misalnya, membuat tuduhan kriminalisasi ulama kepada pemerintahan Jokowi mengalir dengan begitu deras.
Mungkin karena sudah jenuh dituduh melulu, Jokowi akhirnya berontak. Ia pun meluapkan unek-uneknya terkait dirinya yang berkali-kali menjadi sasaran tuduhan kriminalisasi ulama.
Dalam acara Deklarasi Akbar Ulama Madura dukung Jokowi – Ma’ruf di Gedung Serba Guna Rato Ebuh, Bangkalan, Rabu 19 Desember 2018 lalu, Jokowi sempat memberikan semacam imbauan agar masyarakat tidak serta-merta menganggap proses hukum terhadap oknum ulama yang melanggar hukum sebagai kriminalisasi ulama.
“Ini jangan sampai karena ada kasus hukum terus yang disampaikan adalah kriminalisasi ulama,” kata Jokowi. “Misalnya mohon maaf, kalau ada yang memukuli orang, urusannya dengan polisi bukan dengan saya. Ya mesti seperti itu. Masa mukuli sampai berdarah-darah. Saya sih enggak ngerti. Mesti polisi bertindak kalau ada kasus hukum seperti itu. Kalau enggak ada kasus lalu dibawa ke hukum, ngomong saya. Kalau ada kasus hukum, ya saya sulit.”
Kegelisahannya tentang tuduhan kriminalisasi ulama itu kemudian kembali diutarakan Jokowi di depan para relawan pendukung Jokowi di Makassar, pada Sabtu, 22 Desember 2019 kemarin.
Menurut Jokowi, ketika ada oknum ulama yang terjerat kasus, maka hal tersebut merupakan wilayah hukum tersendiri.
“Kalau ada misalnya ini ulama yang terkena kasus hukum, ya sudah menjadi wilayah hukum jangan ditarik-tarik ke saya. Itu urusannya wilayah hukum ya kalau ada kasusnya ya mesti diselesaikan di wilayah hukum kan,” ujar Jokowi.
Jokowi kemudian mengatakan bahwa tak mungkin jika dirinya mengkriminalisasi ulama, sebab selama ini, dirinya justru ingin merangkul ulama dan para tokoh agama.
Hal tersebut menurut Jokowi ia buktikan dengan menggandeng Ma’ruf Amin sebagai cawapres.
Ah, Pak Jokowi ini kayak nggak tahu gimana Indonesia aja. Di Indonesia ini, Presiden punya banyak tugas, dan menjadi kambing hitam adalah salah satunya.
Jangankan kriminalisasi utama, lha wong baterai laptop cepet habis saja, itu bisa jadi salah Jokowi.
Re-Post by
MigoBerita / Senin/24122018/12.55Wita/Bjm