TEMPO: PERLU DIBACA KALAU ENAK
DennySiregar.id, Jakarta - Entah sudah keberapa
kali majalah Tempo menulis tentang "Buzzer".
Buzzer atau
bahasa Indonesianya disebut pendengung ini adalah sebuah kegiatan aktivitas di
media sosial yang banyak menyuarakan "apa yang mereka pikirkan" lewat
akun-akun mereka.
Ada juga
akun-akun robot yang memang kegiatannya hanya memviralkan tagar supaya trending
di media sosial.
Saya dulu
adalah pembaca Tempo yang bisa dibilang fanatik. Ini warisan dari almarhum ayah
yang senang mengkliping majalah Tempo setiap akhir tahun. Membaca Tempo itu
asyik, tulisannya bertutur dan memang enak dibaca.
Tapi semakin
kesini, bagi saya Tempo semakin kehilangan ke"Tempo"annya.
Berita di
Tempo cenderung tendensius, ketara sekali unsur pesanannya dan tidak objektif
lagi dalam membicarakan masalah. Sehingga ketika membaca Tempo, saya seperti
bukan membaca sebuah majalah, tetapi tabloid dari sebuah organisasi tertentu
yang sedang berkampanye dan ingin merusak citra lawannya.
Bagi saya,
jurnalistik itu adalah seni. Jurnalistik bukan saja kemampuan menggali, mencari
kepingan berita, tetapi juga mampu menuangkannya dengan gaya yang enak dilahap
dengan enaknya, pada waktu sore hari sambil ngopi dengan camilan singkong
goreng tipis-tipis.
Tempo pernah
menyajikan itu di tahun 80-90an, saat idealisme jurnalismenya masih tinggi.
Sekarang, anak-anak baru di Tempo menjadikan majalah ini sebagai sudut penuh
sampah dengan berita-berita yang miring ke kiri.
Contoh saja
masalah Taliban di KPK..
Tempo tidak
pernah mencoba mendalami kebenaran isu adanya Taliban di KPK dengan laporan
mereka yang biasanya dalam dan tajam. Tempo malah menjadi seperti "jubir
tidak resmi" KPK dan sibuk menepis isu-isu yang ada.
Seorang yang
pernah ada di KPK ketawa ketika saya bertanya tentang ini, "Ah, mereka
berdua punya hubungan simbiosis mutualisma..". Yah, akhirnya saya paham
ketika antara teman seiring sejalan tidak mau saling sikut-sikutan karena jadi
tidak menguntungkan.
Dan karena
sibuk menjadi juru bicara, Tempo yang biasanya menjadi lokomotif dalam
membongkar sesuatu yang mencurigakan, malah jadi seperti gerbong yang
tertinggal di belakang. Media sosial lah yang akhirnya menjadi garda terdepan
dalam menguliti apa yang terjadi.
Dalam masa
senjanya, Tempo akhirnya ngamuk karena kejumawaannya yang selalu dibanggakan
dengan slogan "enak dibaca dan perlu", dirontokkan di depan mata
pembacanya. Orang beralih ke media sosial yang mampu menawarkan sudut pandang
berbeda dalam sebuah masalah.
Marahnya
Tempo mirip seperti orang tua dulu yang selalu mengambil ikat pinggang untuk
melibas anaknya. Lalu dilibaskanlah sabuk itu dengan tudingan "buzzer,
buzzer" dengan membabi buta.
Beda dengan
orang tua sekarang yang lebih merangkul dan mengajak anaknya bersahabat dan
bertukar pikiran.
Apa yang
terjadi? Tempo menjadi bahan tertawaan di media sosial. Ratingnya dianjlokkan
dalam waktu 3 hari saja jadi bintang 1 doang. Sahamnya pun sempat berantakan
dan dengan ngos-ngosan berusaha dipulihkan.
Pada akhirnya,
Tempo lebih sibuk mengurusi tentang "buzzer" daripada menghadirkan
berita yang lebih bermutu dan membuatnya enak dibaca. Seperti misalnya tentang
agenda memecah belah Papua lewat peristiwa Wamena.
Tempo lebih
sibuk menyerang, seperti orang tua yang semakin kekanak-kanakan. Dan si anak
pun dengan senang berlompatan seperti menggoda dengan gayanya yang bebas dan
merdeka.
Entah begitu
pentingnya "buzzer" bagi Tempo sampai mereka tidak sadar, pembacanya
yang dari kalangan berpendidikan tidak butuh itu. Seperti seorang teman yang
kerja dibidang finansial bicara, "Mau buzzer kek, mau ngga kek, apa
perdulinya dibahas sampe segitu?"
Yah, orang
bilang di dunia ini semua berubah. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri.
Tempo dulu
memang "enak dibaca dan perlu". Tapi sekarang "perlu dibaca
kalau enak". Sayangnya, banyak gak enaknya.
Jadi ya,
dibaca seperlunya dan seenaknya..
Seruput kopi dulu ah. Mana singkong tipisnya?
Sumber Opini : https://www.dennysiregar.id/2019/10/tempo-perlu-dibaca-kalau-enak.html
HARI INI NINOY, ENTAH BESOK SIAPA
DennySiregar.id, Jakarta - Belasan orang
dieksekusi. Tangan mereka diikat ke belakang dan kepala mereka satu persatu
dihunjam timah panas. Ada juga yang digorok lehernya.
Kejadian ini
dilakukan di sekitar masjid di Raqqa, Suriah oleh kelompok Islamic State atau
ISIS. Korban adalah warga sekitar yang tak berdosa, yang diambil secara acak
karena dianggap tidak mau berbaiat. Ada juga yang karena kesalahan sepele
dianggap menyinggung anggota mereka.
Mayat-mayat
mereka dikumpulkan di halaman masjid dan divideokan dengan narasi bahwa inilah
korban Presiden Suriah Bashar Assad. Video itu kemudian diupload ke Youtube
untuk memperbesar kebencian pada pemerintahan yang sah.
Membaca apa
yang terjadi pada Ninoy S Karundeng, pegiat medsos sekaligus pendukung Jokowi,
saya bergidik. Teringat sekian tahun lalu saat ISIS masih berkuasa di Suriah.
Ninoy
dipersekusi, dipukuli habis-habisan bahkan oleh ibu-ibu pengajian disana.
Belum
selesai, datang seseorang yang dipanggil "habib" kemudian berbicara
untuk membunuh Ninoy dengan kapak. Mayat Ninoy rencananya akan diangkut oleh
ambulans dan dibuang ditengah-tengah kerumunan demonstran. Narasi yang
dipersiapkan apalagi kalau bukan korban kekerasan polisi.
Untung
ambulans tidak datang. Rencana itu gagal karena tidak terpikir bagaimana nanti
mengangkut mayatnya.
Semua
pembicaraan dan rencana itu dilakukan dalam sebuah masjid. Tempat yang
seharusnya menjadi tempat ibadah yang tenang dan khusuk. Ninoy juga muslim,
sama seperti mereka. Sama-sama shalat, sama-sama puasa. Bedanya adalah Ninoy
pendukung Jokowi, sedangkan mereka adalah pembencinya.
Pihak Dewan
Keluarga Masjid DKM tempat Ninoy dianiaya buru-buru membantah. Mereka bilang
"menyelamatkan" Ninoy dari amukan massa. Sebuah cerita yang tidak
masuk akal, karena Ninoy disiksa di dalam masjid berjam-jam, bahkan tidak ada
seorangpun yang tergerak untuk menelpon polisi.
Sadis dan
barbar. Itulah yang ada dalam pikiran kita semua membaca kisah penculikan dan
penganiayaan Ninoy S Karundeng itu. Pola-pola ISIS itu dikembangkan disini, di
sebuah masjid di ibukota Indonesia bernama Jakarta.
Ini sudah
bukan lagi intimidasi dan persekusi. Ini sudah mengarah ke potensi pembunuhan
berencana. Sebuah aksi terorisme untuk menimbulkan dampak ketakutan dan
kepanikan dengan mengorbankan nyawa.
Dan dari para
pelaku yang ditangkap termasuk menjadi saksi, kita mengenalnya dengan nama
organisasi yang selama ini mereka kibarkan, yaitu FPI dan PA 212. Mereka mereka
lagi. Para preman yang bersembunyi dibalik jubah agama. ISIS juga begitu.
Sembunyi dibalik jubah agama supaya tampak sedang berjuang di jalan yang suci.
Dan mereka
tidak berada jauh disana, di Suriah. Tapi ada di halaman rumah kita sendiri.
Menjadi tetangga bahkan mungkin karyawan di pabrik kelompok yang mereka benci.
Sekarang
Ninoy. Entah besok siapa. Mungkin anda. Mungkin saya. Mungkin anak kita.
Tanpa gerakan
sosial untuk membubarkan kelompok mereka, menghukum seberat-beratnya para
pengancam yang ingin menghilangkan nyawa manusia dan tanpa pernah dilabeli
sebagai organisasi teroris, mereka akan tetap ada.
Dan tetap
mereka merasa tidak bersalah. Terus berkelit seolah-olah tangan mereka bersih
dari darah.
Hari ini
Ninoy. Entah besok siapa. Apakah menunggu negeri ini dikuasai mereka seperti
yang pernah terjadi di Suriah?
Mau seruput kopi, tetapi gigi ini gemeletuk. Geram
rasanya..
Teroris ISIS
Sumber Opini : https://www.dennysiregar.id/2019/10/hari-ini-ninoy-entah-besok-siapa.html
PAK JOKOWI, TOLONG KAMI
DennySiregar.id, Jakarta - Dalam sebuah acara
televisi, seorang panelis bertanya kepada saya, "Apa keresahan terbesar
anda?" Dan saya jawab, "Radikalisme.."
Jujur, sejak
melihat situasi Suriah tahun 2012 lalu, keresahan itu terus menghantui saya.
Dan saya terus menulis tentang bagaimana kemungkinan api Suriah akan dibawa ke
Indonesia. Dan teori itu terbukti dengan adanya gerakan demo besar dengan
mengusung "umat" dan "agama".
Diluar itu,
Densus 88 terus menerus menangkapi para pelaku teroris diberbagai tempat. Dan
para politikus berselingkuh dengan kaum radikal untuk mencapai tujuan jabatan.
Terakhir,
Menkopolhukam ditusuk oleh mereka yang terpapar ISIS. Dan di twitter, banyak
sekali para pendukung teroris hanya karena kebencian pada pemerintahan sekarang
yang tidak mereka sukai.
Mau dibawa
kemana negara ini?
Saya tahu
bahwa banyak gerakan senyap dilakukan pemerintah untuk menangkal radikalisme
dan terorisme. Gerak BIN dan BNPT di banyak instansi, mulai BUMN sampai
perguruan tinggi, dilakukan terus menerus karena radikalisme ini sudah masuk ke
pori-pori negeri ini.
Gerakan itu
mungkin berguna sekarang.
Tapi
bagaimana 5 tahun lagi? 10 tahun lagi? Atau 20 tahun lagi? Apakah kita harus
begitu terus, menangkapi para teroris, menghantam ASN yang terpapar sambil
terus mencaci kelompok radikal tanpa ujung pangkal?
Masalah ini
tidak akan pernah selesai dan kita seperti berputar di labirin sambil terus
menggelontorkan dana triliunan rupiah yang dibakar habis untuk penangkapan
kelompok radikal.
Akar masalah
radikalisme ini, jika kita mau berfikir out of the box, sebenarnya sederhana.
Yaitu, karena peran negara sekarang ini banyak diambil alih kaum agama.
Minimnya
pengetahuan tentang pentingnya cinta tanah air, diisi oleh kelompok agama
dengan konsep membangun mimpi negara Islam.
Akar
kecintaan kita pada Republik ini, yang diwarisi oleh para pejuang yang
mengorbankan darah mereka supaya kita merdeka, hilang dalam semua mata
pelajaran yang ada.
Malah mata
pelajaran agama yang terus menerus menjadi doktrin, sehingga tanpa sadar
terbentuk cluster-cluster berupa manusia fanatik berdasarkan apa agamanya dan
apa mazhabnya.
Dan disinilah
sumber masalah selama ini. Kebudayaan hilang, pendidikan hanya diukur
berdasarkan nilai, bangsa kehilangan akar, karakter manusianya tanpa pegangan.
Dan
kekosongan ini kemudian diisi oleh para kelompok fanatik dengan budaya luar,
terutama budaya arab yang keras dan gila perang. Hilang sudah karakter bangsa
Indonesia yang santun dan penuh etika pada orang tua dan sesama seperti sebelum
tahun 1998..
Tidakkah ini
menakutkan?
Pak Jokowi
dan para anggota dewan yang terhormat yang baru mengisi kursi dan mayoritas
dari koalisi, tolong kami...
Kembalikan
peran penuh negara dalam mendidik anak kami. Kami tidak ingin kelak anak kami menjadi
zombie, jika negara abai terhadap situasi ini.
Isi anak kami
dengan kecintaan pada negeri ini. Berlakukan hukum darurat dalam melawan
radikalisme agama dengan konsep pendidikan BELA NEGARA.
Biarkan
negara yang mendidik anak kami, bukan "ustad-ustad" dan "guru
agama" yang sudah dicuci otak untuk mendirikan negara agama sesuai
kepentingan mereka.
Negara punya
tanggung jawab penuh menyelamatkan masa depan anak bangsa dari racun khilafah
yang sekarang sedang mewabah.
Pak Jokowi,
tolong kami. Tolong anak kami. Tolong masa depan bangsa ini. Biar kelak kami
sebagai orang tua bisa duduk dengan tenang dan percaya diri melihat kemajuan
bangsa ini, sambil seruput kopi.
Anak Kecil ikut Demo
MELAWAN ZOMBIE DI NEGERI INI
DennySiregar.id, Jakarta - ”Korea Selatan itu
negara yang selalu merasa terancam.." Kata temanku waktu kami ngopi
bersam
"Di
bidang ekonomi, mereka merasa terancam pada Jepang. Mereka dijajah oleh banyak
produk Jepang, mulai dari mobil sampai alat rumah tangga. Karena itu mereka
berfikir keras, bagaimana caranya supaya bangsa mereka tidak terjajah oleh
bangsa Jepang.
Korsel lalu
menciptakan industri hiburan, bernama K-Pop. K-Pop diproduksi secara serius,
dan pengaruhnya disebarkan ke seluruh Asia.
Lewat
terkenalnya K-Pop, nama Korsel terangkat. Dan saat orang-orang mengenal Korsel,
maka produk-produk merekapun diluncurkan, seperti Samsung, Hyundai dan segala
macam produksinya.
Industri
K-Pop itulah yang membuka jalan produksi Korsel mendunia. Begitulah pertarungan
Geo Politik berjalan.."
Dia
melanjutkan.
"Di bidang
militer, Korsel sangat takut pada Korea Utara. Karena itu, mereka mewajibkan
remajanya pada usia tertentu untuk wajib militer, supaya berjaga-jaga dari
ancaman perang.
Wajib militer
di Korsel kemudian berkembang menjadi semacam pembentukan karakter, kecintaan
pada tanah air, budi pekerti dan menjadi pekerja keras. Remaja yang lulus,
ketika dilepas menjadi remaja mandiri dan tidak mudah mengeluh..."
Aku
menyeruput kopiku. Asik juga pembicaraannya.
"Banyak
bangsa di dunia yang sukses karena mereka punya lawan, atau membangun ketakutan
akan kemungkinan perang. Singapura punya wajib militer, karena tidak yakin akan
stabilitas keamanan di sekitar wilayahnya.
Israel
membangun karakter bangsanya melalui wajib militer, karena takut pada serangan
negara arab disekitarnya..
Mereka punya
lawan, punya ketakutan, sehingga membentuk self defense atau pertahanan diri
yang kuat.."
Temanku
senyum lebar.
"Bangsa
Indonesia yang agamis ini gak ada yang ditakuti, kecuali pada Tuhan. Padahal
Tuhan tidak punya ukuran. Karena tidak punya lawan yang jelas inilah, Indonesia
jadi tidak membangun pertahanan diri.
Pada
akhirnya, kita tidak berkembang karena tidak punya ukuran. Berjalan apa adanya,
tanpa konsep yang pasti karena tidak tahu yang dilawan siapa dan
bagaimana.."
"Seharusnya
dengan maraknya kekerasan ini, Indonesia sudah punya lawan yang menakutkan,
yaitu RADIKALISME. Dengan begitu, negeri ini membangun sistem pertahanan diri
supaya tidak hancur.
Salah satunya
dengan membangun konsep wajib militer seperti Korsel dan Singapura. Tapi
namanya bukan wajib militer karena kita trauma dengan yang namanya militer.
Konsepnya
namakan saja BELA NEGARA. Pendidikan ala militer tapi tanpa senjata.
Remaja yang
lulus sekolah menengah, wajib ikut pelatihan bela negara yang diselenggarakan
Kementrian pendidikan kerjasama dengan TNI dan Polisi. Toh dana pendidikan kita
besar sekali..
Disana
dibangun karakter cinta tanah air, menjadi mandiri, pekerja keras dan budi
pekerti. Bela negara fokus pada pembangunan karakter manusia saat transisi dari
remaja menjadi pekerja.
Malam semakin
larut..
"Sekarang
ini di Indonesia, peran negara hilang total, digantikan kelompok agama.
Akhirnya kaum
fundamentalis yang mengisi kekosongan ini dengan memasukkan budaya arab yang
keras dan doyan perang, untuk menghilangkan karakter asli bangsa Indonesia.
Negara harus
mengambil alih peran ini. Waktu yang tepat adalah sekarang, saat Presidennya
punya visi dan parlemennya mayoritas dari koalisi.
Bikin
perangkat hukum darurat, melawan radikalisme dan negara ikut campur dalam
penanganan karakter bangsa dalam konsep Bela Negara.
Kalau tidak,
rasakan dalam waktu 10 sampai 20 tahun lagi, negaramu akan penuh dengan
kelompok radikal usia muda yang ingin menghancurkan negeri ini karena hilang
rasa cinta pada tanah airnya.."
Aku
merenungkan perkataan temanku dulu itu. Prediksinya terbukti sudah. Pahit
seperti secangkir kopi.
Apakah perlu
jatuh korban lagi karena kita tidak pernah menganggap radikalisme itu
"kejahatan luar biasa" yang harus ditangkal dan dicegah sejak dini?
Kuseruput kopiku, semoga ada jawaban atas
kegelisahanku sekarang ini.
Bela Negara
BRAVO, JENDRAL ANDIKA PERKASA
DennySiregar.id, Jakarta - ”Jangan cemen, pak..
Kejadianmu tak sebanding dengan jutaan nyawa melayang.."
Begitu bunyi
status dari seorang wanita, yang belakangan diketahui ia adalah istri dari
Dandim di Kendari. Status itu masih ditambah dengan emoticon ketawa dan
ditujukan kepada Wiranto, Menkopolhukam yang menjadi korban penusukan.
Sontak status
ini mendapat sorak sorai dari kadal gurun yang memang mencoba merapat ke TNI,
dalam usaha mereka membenturkan institusi ini dengan pemerintah dan Polri.
TNI memang
dikabarkan sebagai salah satu institusi yang terpapar radikalisme, dengan
jumlah tidak main-main sekitar 3 persen anggota. Diduga keras, paparan
radikalisme ini bukan pada saat perekrutan, tetapi justru di kelompok-kelompok
pengajian umum yang dihadiri para istri tentara.
Ketika Menhan
mengakui ada paparan radikalisme di TNI, saya cemas. Sangat berbahaya. Apalagi
pola kelompok Hizbut Tahrir diseluruh dunia sama, yaitu menyusup ke dalam tubuh
tentara dan kemudian melakukan kudeta disana. TNI menjadi kendaraan penting
bagi Hizbut Tahrir karena mereka memegang senjata.
Dan ketika
berhadapan dengan TNI, jelas polisi kita gagap. Mereka cenderung tidak mau
dibenturkan dengan institusi.
Lihat saja
saat penangkapan mantan Danjen Kopassus yang diduga kuat terlibat dalam usaha
pembunuhan dengan sniper, saat demonstrasi di MK bulan Mei lalu.
Banyak
purnawirawan TNI dengan pangkat tinggi membela rekannya yang tertangkap,
padahal sudah jelas dia punya andil besar dalam usaha pembunuhan itu.
Situasi ini
yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal dengan selalu memuji TNI sebagai
pelindung mereka, sedangkan polisi adalah musuh besar mereka. Tujuannya apalagi
selain membenturkan kedua institusi itu, dan mereka menari diatas puingnya
Melihat
Jendral Andika Perkasa, KSAD, tampil dengan gagah di depan kamera televisi
mengumumkan memberi hukuman dengan mencopot Dandim Kendari, karena perilaku
istrinya yang mendukung terorisme dan tidak menghormati seniornya, duh, saya
lega bukan kepalang.
Menantu
Jenderal purnawirawan AM Hendropriyono ini bisa dengan tegas melihat masalah
dalam institusinya. Dia tidak membiarkan bibit radikalisme tumbuh di
jajarannya.
Langkahnya
mengumumkan pencopotan Dandim Kendari karena postingan istrinya itu, adalah
sebuah pesan kepada seluruh jajaran dibawahnya, bahwa dia tidak kompromi dengan
radikalisme.
Dan pemikiran
ini sesuai dengan pemikiran besar mertuanya, AM Hendropriyono yang memang sejak
awal sudah mewaspadai gerakan radikal di negeri ini dan berjuang memerangi
mereka.
Sungguh
radikalisme di negeri ini sudah masuk zona merah. Perlu dicanangkan bahwa
radikalisme adalah "kejahatan luar biasa". Mereka seperti racun yang
kelak akan menghancurkan kita.
Dan siapapun
yang mendukung radikalisme, seperti istri sang Dandim, wajib dihukum
sepantasnya. Apalagi mereka yang makan dari negara, dari uang pajak rakyat,
tetapi mendukung para musuh negara.
Bravo, pak
Andika. Genderang perang terhadap radikalisme tabuhkanlah
sekencang-kencangnya. Mulailah dari dalam institusi sendiri. Bersihkan jangan
dipelihara.
Semoga kelak
Jenderal bisa menjadi Panglima TNI dan memimpin kami dalam perang melawan
kejahatan luar biasa ini..
Seruput kopinya..
Andika Perkasa
KISAH RINI, PELAKU BOM BUNUH DIRI
DennySiregar.id, Jakarta - Rini adalah seorang
Polwan.. Ia masuk menjadi anggota polisi dengan semua pemahaman tentang
Pancasila dan keinginan membela tanah air.
Sesudah
bertugas beberapa tahun, ia tertarik belajar agama. Maka ia datang ke sebuah
masjid dan bertanya-tanya. Lalu ikutlah dia ke sebuah pengajian. Dari pengajian
itu Rini berubah. Di rumah, Rini memakai cadar sesudah mengganti seragam
polisinya.
Sesudah
bercerai dengan suaminya, Rini semakin aktif ke pengajian. Ia lalu dimasukkan
ke grup-grup WA dan Telegram untuk mengikuti kajian. Jaringan Rini semakin luas.
Posisinya sebagai abdi negara menarik perhatian beberapa orang untuk menariknya
"lebih dalam".
Rini
dihubungi lewat private message oleh seseorang bernama, sebut saja Kumbang. Si
Kumbang ini mengaku sebagai duda yang mencari istri. Perkenalan berlanjut dan
si Kumbang mengajak Rini lari dari rumah dan memulai hidup baru bersamanya.
Mereka
kemudian dinikahkah secara siri oleh seorang "ustad". Sejak itu, Rini
tidak pernah lagi datang ke kantor dan memenuhi tugasnya. Semua komunikasi
diputus dan hape dibuang.
Bersama suami
siri yang baru dikenalnya, Rini kemudian disiapkan menjadi
"pengantin" bunuh diri. Rini dipersiapkan untuk sebuah misi dengan
janji akan masuk ke surga jika berhasil mengorbankan banyak nyawa. Terutama
nyawa para petugas Polisi.
Tetapi kepolisian
berhasil mencium jejak Rini. Ia kemudian diburu oleh pasukan khusus dan
ditangkap dalam kondisi sudah siap secara mental untuk berangkat.
Rini hanya
membutuhkan waktu kurang dari setahun mulai ingin belajar Islam sampai siap
menjadi bom manusia.
Mengerikan?
Jelas. Betapa
mudahnya seseorang dari yang awalnya punya tekad untuk membela negara menjadi
musuh negara. Ini karena kosongnya pengetahuan agama secara hakikat dan sibuk
belajar ritual sehingga otaknya mudah dicuci.
Dan yang
lebih mengerikan, disekitar kita banyak Rini Rini lainnya yang kerja di TNI, di
BUMN, sebagai ASN. Itu belum terhitung yang kerja di sektor swasta atau yang
mengundurkan diri dari Bank tempatnya dulu bekerja karena cuci otak bahwa ia
melakukan riba.
Radikalisme
di negeri ini sudah berada pada zona merah karena longgarnya pengawasan dan
gamangnya pimpinan bertindak karena takut berbenturan dengan "agama".
Atau mungkin pimpinan tempat ia bekerjalah salah satu anggota jaringan.
Radikalisme
di Indonesia sudah harus dimasukkan sebagai "kejahatan luar biasa".
Harus ada perhatian khusus dan team khusus juga komitmen kuat untuk
memberantasnya.
Dimulai dari
screening ditubuh aparat dan pegawai pemerintah. Harus dibuat payung hukum
supaya mudah menjalankannya. Dan disini pemerintah dan DPR punya tanggung jawab
besar untuk memikirkannya.
Apa harus
tunggu "bom Bali" kembali meledak karena kita masih ragu dan lunak?
Apa menunggu seorang pejabat terluka baru kita sibuk mencerca?
Semua
peristiwa pasti ada pembelajaran di dalamnya. Kecuali kita tidak mau belajar
dan rela menjadi bodoh sampai muncul korban-korban jiwa.
Seruput kopinya..
Kisah Rini Mantan Polwan
Hai PMKRI Maluku, Pelantikan Presiden Tidak Perlu Ditunda! Ini Alasannya!
Seorang teman
mengirimkan link berita tentang permintaan mahasiswa Katolik Maluku
untuk menunda pelantikan presiden pada Minggu, 20 Oktober 2019. Saya pun
terkejut, ada apa sampai PMKRI meminta penundaan pelantikan presiden?
Tumben?
Sebagai seorang Katolik, saya pun
bertanya-tanya soal pelantikan presiden dan wakil presiden pada hari
Minggu. Sebab pada hari Minggu adalah hari libur dan hari besar umat
Kristiani. Tetapi saya percaya pemilihan hari pelantikan itu ada
alasannya, makanya saya tetap santai saja. Hanya saja karena sudah ada
keberatan dari PMKRI Maluku, maka saya berusaha menjawab kerisauan dan
penolakan mereka.
Menurut
Ketua Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
(PMKRI) Cabang Saumlaki Maluku, Yonas Batlyol, hari Minggu adalah hari
raya penganut agama Kristiani dan merupakan hari libur nasional. Itulah
sebabnya mereka keberatan dengan pelantikan pada hari Minggu. Untuk itu
mereka mengatakan akan mengerahkan aksi besar-besaran untuk menentang
pelantikan itu.
“Hari Minggu adalah hari yang
sakral bagi penganut Agama Kristiani, dan hari itu juga merupakan hari
libur nasional. Kami siap melaksanakan aksi besar-besaran untuk
menentang pelantikan tersebut.” (Yonas Batlyol,
Beritasampit)
Mereka juga berdalih – masih menurut
Beritasampit
– bahwa sila pertama Pancasila mengajarkan anak bangsa untuk saling
menjaga kerukunan antar umat beragama. Dengan demikian mereka meminta
pelantikan diundur dari hari Minggu, 20 Oktober 2019 menjadi hari Senin,
21 Oktober 2019.
Masuk akalkah tuntutan mereka
ini? Sebenarnya masuk akal. Tetapi tuntutan itu menjadi tidak enak
didengar ketika disertai dengan ancaman akan mengadakan aksi
besar-besaran. Saya heran kog permintaan seperti itu harus disertai
dengan ancaman aksi.
Mari kita jawab. KPU pun
bukan tidak menghargai umat Kristiani, pun bukan tidak tahu tanggal 20
Oktober itu adalah hari Minggu. Tetapi menurut KPU, jabatan presiden itu
memiliki waktu tertentu (fix term) selama 5 tahun. Pelantikan presiden
selalu sudah, sedang dan akan dilakukan pada 20 Oktober, sebab
pelantikan presiden pertama hasil pemilihan umum adalah 20 Oktober 2004.
(Sumber:
Katadata)
Pelantikan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakil presiden Jusuf Kalla
periode 2004-2009 dilakukan pada 20 Oktober 2004 bertepatan pada hari
Rabu. (
Tirto)
Pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakil presiden
Boediono periode 2009-20014 dilaksanakan pada 20 Oktober 2009 bertepatan
pada hari Selasa. (
Kompas)
Pelantikan presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla periode
2014-2019 dilakukan pada 20 Oktober 2014 bertepatan pada hari Senin. (
Wikipedia) Artinya, alasan pemilihan hari Minggu, 20 Oktober 2019 sebagai hari pelantikan presiden sangat tepat, bukan cari-cari alasan.
Karena
bukan cari-cari alasan, maka dipastikan pemilihan hari pelantikan
presiden periode 2019-2024 tidak ada tendensi diskriminasi atau tidak
menghargai atau tidak menghormati. Terkadang memang demi negara, kita
harus menguatkan hati dan jangan baperan selama kepentingan negara itu
tidak memaksa kita untuk meninggalkan iman kepercayaan kita.
Apakah
pemilihan hari ini akan dianggap sebagai diskriminasi atau bukan? Sikap
ini akan bisa diketahui bila pada pelantikan presiden berikutnya
dimundurkan atau dimajukan ketika pada hari itu adalah hari besar umat
beragama lain. Pelantikan presiden pada tahun 2034 akan menjadi hari
yang menentukan apakah negara ini konsisten pada pelantikan presiden
setiap 20 Oktober setiap periodenya. Sebab pelantikan presiden pada 2034
jatuh pada hari Jumat, hari agama mayoritas melaksanakan ibadahnya.
Jadi sabar, yach.
Jadi
tidak usah baper saudara. Jangan pula main ancam. Saya hargai keberatan
Anda. Mungkin Anda tidak ingin kekhusyukan beribadah hari Minggu Anda
terganggu. Saat sebagai sesama Katolikmu, mohon dengan sangat agar tidak
melakukan aksi-aksi yang tidak perlu dilakukan.
Toh
pelantikan presiden akan dilakukan di Jakarta, bukan di Maluku. Maka
kalau dilihat dari segi terganggu atau tidaknya, mungkin ibadah yang di
sana tidak akan terganggu. Lagi pula, pelantikan presiden tidak pernah
meminta Anda untuk tidak ke gereja. Pelantikan itu tidak akan
memengaruhi kegiatan keagamaan di Gereja kecuali mungkin yang terkena
imbas pengalihan lalu lintas di Jakarta.
Yang
mau ke gereja, silakan ke gereja. Yang mau menghadiri pelantikan
presiden, bagi yang Katolik, silakan hadiri pelantikan presiden. Tetapi
jangan lupa ke gereja dulu, yah.
Justru saya
menganggap pelantikan presiden pada hari Minggu adalah pelantikan
presiden yang istimewa sebab pada hari yang sama – seperti biasanya –
Gereja Katolik selalu melambungkan doa kepada pemimpin baru agar dapat
membawa negara ini semakin lebih maju. Seolah, pelantikan presiden itu
adalah pengudusan pemimpin bangsa. Aku sendiri jadi terharu.
Jokowi yang Sederhana dengan Segala Kontroversinya
Lahir dan besar dari
keluarga yang sangat sederhana, membuatnya menjadi terbiasa hidup
dengan pola yang sangat sederhana, begitu juga seperti kebiasaannya saat
dalam kunjungannya, sering meminta audience yang hadir untuk
menyebutkan nama ikan, pancasila, nama pulau, nama suku dan hal-hal lain
yang menurut saya terlalu sederhana dan sepele.
Tapi
jika melihat dari sisi yang berbeda maka dapat saya katakan bahwa
kebiasaan pak Jokowi tersebut adalah media komunikasi yang sederhana
untuk menjangkau audiencenya yang sebagian besar adalah rakyat kecil
dengan tingkat pendidikan terbatas.
Hal
itu bukanlah hal substantif, ibarat sebuah pengajian, interaksi nama
ikan adalah doa penutup. Elemen pelengkap setelah sebelumnya presiden
membahas agenda yang relevan dengan kegiatan. Bagi para pendukungnya,
atau orang yang tidak membencinya tahu persis, bagaimana model
komunikasi pak Jokowi jauh berbeda ketika berdialog dengan para guru
besar, scientist, pengusaha, pebisnis start up, dan kalangan very well
educated lainnya.
Beliau lancar mengulas
fintech, peer to peer lending, IoT, ecommerce dan lain-lain. Presiden
tak berhenti sebatas wacana atau bermain-main dengan Thanos vs Avengers.
Kebijakan nyata berlanjut dengan pembentukan badan ekonomi kreatif.
Pembentukan pusat teknologi-bisnis di kampus-kampus. Mendorong tumbuhnya
ribuan start up dan meng-endorse lahirnya unicorn-unicorn baru.
Pak
Jokowi mungkin hanya tukang kayu yang berbadan kurus, tapi beliau
berjiwa besar, dan berotak cemerlang. Bahkan ketika beliau telah sukses
menjadi seorang exportir sekali pun. Pak Jokowi tak mau neka neko
menjadi orang lain yang lalu hidup bagai seorang bangsawan yang gila
hormat.
Saat pak Jokowi memutuskan untuk terjun
dalam panggung politik, beliau langsung disukai rakyatnya di Solo,
bahkan di periode keduanya, beliau terpilih nyaris oleh 90% warganya,
karena dianggap sebagai sosok panutan yang bisa menyelesaikan persoalan
kota dan rakyatnya dengan cara yang sangat memanusiakan. Jadi tak heran
apabila kemudian beliau dianugerahi sebagai salah satu walikota terbaik
di dunia.
Begitu pun saat melangkah lebih tinggi
lagi, baik itu ke jenjang gubernur, maupun presiden. Pak Jokowi tetap
mewakili sosok wong ndeso yang tak mau dibuat-buat. Masih suka blusukan,
tetap dengan kemeja putih lengan panjang yang kemejanya selalu
dikeluarkan, dan lengan bajunya sedikit disingsingkan sebagai simbol
siap kerja, kerja, dan kerja. Lalu seolah tanpa ada rasa lelah, beliau
sangat rajin melakukan kunjungan kerja ke seluruh pelosok tanah air.
Alasannya,
selain ingin tahu langsung target kerjanya tercapai atau tidak, pak
Jokowi juga ingin mendengar secara langsung akan persoalan rakyatnya.
Karenanya itu beliau tak segan-segan langsung berada di tengah kerumunan
rakyat, walau kadang banyak yang mengkhawatirkan keamanan dirinya,
terlebih karena beliau tak pernah mengenakan rompi anti peluru, dan
pengawalnya tak menempel ketat pada dirinya.
Dan
ketika pak Jokowi memilih untuk membubarkan HTI beberapa waktu yang
lalu, ternyata sangat efektif dalam menambah musuh, sekutu dan amunisi
bagi para haters. Fitnah, caci maki, hujatan dan hoax makin berkibar
merdeka, ada yang bilang Tak ada yang salah. Hal itu lumrah di iklim
demokrasi seperti saat ini. Tapi menjadi kontraproduktif apabila wacana
yang dibangun sengaja untuk melemahkan pemerintah. Dengan narasi dan
argumen yang seakan-akan penuh kebenaran. Padahal hasil dari framing,
partial truth, post truth, pelintiran hoax bahkan fitnah dan ujaran
kebencian.
Seperti
demontrasi beberapa waktu yang lalu, banyak banget pendemo yang
ternyata mereka demo bukan karena benar-benar punya aspirasi, tapi
karena sogokan yang nggak seberapa dari para Provokator. Sangat Jelas
banget bedanya, mana yang benar-benar demo karena ingin mengkritik DPR
dan Pemerintah masalah RUU, atau mereka yang cuma 'nunggang'
kepentingan. Sudah salah, giliran di 'gebuk' playing victim lagi. Dan
jadi salah Jokowi lagi. Semua memang salah Jokowi. Aah ya lupa, mereka
kan penganut paham "Salawi" alias semua salah Jokowi. Hahaha
Saya
cukupkan disini saja karena jam sudah menunjukkan diangka 22.10 wib,
Maaf kan saya seworders sekalian, jika judul dan isinya nggak nyambung
dan berantakan, semoga saya nggak kena tegur Cici admin.
Beda 2014 dan 2019 Dalam Proses Pemilihan Menteri
Hidup ini sederhana,
yang hebat-hebat hanya tafsirannya. Begitu kata Mas Pramoedya. Saya
melihat kalimat ini sangat relevan dengan apa yang terjadi beberapa hari
terakhir. Ada yang mengartikan Prabowo meminta ijin ke semua partai
koalisi agar diterima bergabung, tapi si dungu menafsirkan bahwa Prabowo
dapat mengendalikan banyak pihak. Pertemuan yang nampak sederhana, jadi
hebat karena ditafsirkan oleh si dungu.
Lalu
soal susunan kabinet. Kemarin akun sosial media Presiden menayangkan
gambar gangang telpon tergantung. Di gambar tersebut ada tulisan “Sabar!
Sebentar lagi…” Dalam captionnya, Presiden mengaku sudah membaca
bocoran-bocoran nama menteri yang beredar luas di sosial media. Presiden
juga menyinggung bahwa tidak sulit untuk menemukan calon menterinya.
Sebenarnya,
ini postingan sederhana saja. Tim sosial media Presiden menangkap momen
bahwa ada banyak pertanyaan dan penasaran, maka mereka merumuskan untuk
menjawab lewat satu postingan. Tentu saja dengan arahan serta
persetujuan Presiden. Sehingga terkonfirmasi bahwa susunan kabinet sudah
selesai dan berasal dari beragam latar belakang. Ada akademisi,
birokrat, politisi, santri, TNI dan Polisi.
Tapi
kemudian, tafsiran yang kita baca di media mainstream jadi begitu luar
biasa. Bahkan ada pakar semiotika dari Unpad menafsirkan bahwa warna
putih dalam gagang telpon melambangkan moncong putih. Seolah ada tekanan
dari PDIP sebagai partai pengusung dan terbuka meminta jatah paling
banyak.
Ngabalin juga tak mau ketinggalan.
Rasanya belakangan beliau paling lincah sekali di media-media,
memberikan pernyataan mewakili istana. Ngabalin mengartikan bahwa
Presiden akan telpon dan memastikan nama yang telah beliau cantumkan.
Padahal
sebenarnya itu hanya gambar ilustrasi yang dipilih dan kebetulan
menarik. Tak ada urusan dengan warna putih atau lain-lainnya. Tim sosial
media Presiden hanya ingin merespon segala deg deg yang dirasakan oleh
banyak orang belakangan ini.
Oleh
karena itu, saya tak mau ikut-ikut menafsirkan. Hahaha Saya tertarik
dengan beragam perbedaan dalam penunjukan menteri di 2014 dan 2019.
Di
2014, kita tahu Presiden sempat mengirimkan nama-nama calon menterinya
ke KPK. Dari KPK, dicoret-coretlah banyak nama, sehingga terpilihlah
beberapa menteri yang belakangan kita tahu satu persatu dipecat.
Termasuk salah satunya klan Baswedan.
Kali
ini tak ada diskusi dengan KPK. Sehingga nama-nama menteri sangat
rahasia. Tak ada yang tahu. Bahkan ada wartawan media Tempe yang selama
ini selalu rajin mendapat bocoran dari KPK, kini mengeluh. Yang terjadi
sekarang, tak ada yang tahu siapa menteri pilihan Jokowi? Sehingga
kalaupun ada bocoran dan berita, respondennya yang kepengen jadi
menteri. Tapi itupun pernyataan dari stafnya, tidak langsung dari sang
calon. Wartawan spesialis bocoran jelas bingung, mau ngapain? Ya kan
kerjaan mereka selama ini memburu bocoran.
Di
2014, nama-nama menteri lebih mudah ditebak karena KPK mencoret-coret
banyak nama. Sehingga Presiden dipaksa memilih nama-nama yang sangat
terbatas. Atau menemukan nama baru di luar yang sudah diserahkan ke KPK.
Sementara
sekarang, selain sangat sulit ditebak, karena yang tahu nampaknya hanya
Presiden dan Pratikno, juga jadi sangat dinamis karena faktor Prabowo
yang sudah berkeliling meminta ijin untuk bisa diterima di koalisi
pemerintah. Hal ini tidak terjadi di tahun 2014 lalu.
Jadi
mungkin yang sama hanya soal dinamika dan perubahannya. Karena kita
bisa belajar dari kasus pengumuman Cawapres. Dari pagi sampai sore, nama
Mahfud MD sudah terkonfirmasi sebagai Cawapres. Sudah ukur baju, sudah
lengkapi persyaratan. Tapi saat pengumuman, ternyata Kiai Maruf Amin.
Mohon maaf bukan ingin mengorek luka lama, tapi inilah politik. Jarak
satu detik antara keputusan dan pengumuman itu bisa sangat-sangat
panjang. Masih mungkin berubah. Apalagi sekarang, masih tersisa puluhan
bahkan ratusan jam. Karena Presiden nampaknya akan memilih hari Rabu
sebagai hari pelantikan. Jadi pengumuman paling bisa dilakukan selasa
sore atau malam. Bagi orang Jawa, pemilihan hari juga penting. Tidak
bisa sembarangan.
Apapun itu, sebagai rakyat
yang ingin kemajuan dan perbaikian, saya pikir harapan kita sama. Kita
ingin menteri-menteri yang terpilih dapat bekerja maksimal, memberikan
yang terbaik untuk negeri ini. Begitulah kura-kura.
Jawaban Ismail Fahmi Soal Isu Buzzer Bungkam Pemred Tempo di Acara ILC
Belakangan ini isu
buzzer istana dimunculkan oleh media Tempo atas balasan rating bintang
1. Kabaranya Tempo gagal mendapatkan suntikan investasi karena hal
tersebut. Mungkin isu buzzer istana diblow up untuk menekankan bahwa
pemberi rating dan publik yang memiliki opini berseberangan dengan Tempo
terkait cover Jokowi adalah buzzer. Berbagai media mainstream
ikut-ikutan memblow up isu tersebut dengan modal laporan oxford yang
ditafsirkan serampangan. Untung dalam acara ILC tadi malam, Ismail Fahmi
berhasil mencerahkan publik mengenai pembohongan publik oleh Tempo
terkait buzzer.
Berawal dari pertanyaan Karni
Ilyas yang memancing pertanyasn seputar buzzer dalam penyelenggaraan
pemilu dan pilpres. Akhirnya Ismail berhasil membuka mata publik kalau
istilah buzzer tidak selalu terkait dengan pemerintah. Bahkan kedua kubu
memiliki buzzer untuk mengkampanyekan dan melemahkan kubu lawan.
Dikutip
TribunWow.com,
hal ini diungkapkan oleh Ismail Fahmi, analis media sosial Drone Emprit
saat menjadi narasumber program Indonesia Lawyers Club (ILC) yang
ditayangkan live dalam saluran YouTube Talk Show tvOne, Selasa
(8/10/2019).
Karni Ilyas lantas meminta informasi mengenai kubu dalam Pemilihan Presiden 2019 lalu, mana yang paling banyak buzzer-nya.
Pada
Pilpres 2019 ada dua kubu yakni 01 yang mengusung Joko Widodo
(Jokowi)-Ma'ruf Amin serta kubu 02 mengusung Prabowo Subianto-Sandiaga
Uno.
"Baik waktu pemilu kemarin, antara kubu 01, kubu 02 mana yang lebih banyak buzzer-nya?," tanya Karni Ilyas.
Mendapat jawaban tersebut Ismail menjawab sambil tersenyum.
Ia mengatakan dari kedua kubu memiliki buzzer yang sama banyak.
"Saya bilang dua-duanya ini buzzer-nya sama banyak, saya enggak bisa bilang yang mana gitu," kata Ismail.
Ismail lantas menjelaskan bahwa dari kubu 02 memiliki buzzer yang sangat banyak.
"02 itu besar sekali, emak-emak itu diajak. Mereka ikut mengamplifikasi, dalam hal itu mereka bisa jadi buzzer kan?," paparnya,
Para buzzer emak yang disindirinya itu dicontohkannya massa yang banyak me-retweet cuitan influencer 02 dalam satu waktu.
"Mereka
tidak membangun opini tapi misalkan top influencer mereka mengatakan
pernyataan tiba-tiba mendapat retweet yang sangat tinggi, mereka
membantu juga dan itu enggak dibayar karena suka rela," ungkapnya.
Mengenai buzzer dalam kubu 01, ia mengatakan bahwa ada banyak juga.
Hal ini karena tim relawan dari kubu 01 memiliki tim yang menyebar di segala penjuru.
"Kemudian
01, timnya kan banyak saya lihat di dalam peta itu tersebar di banyak
kelompok dan mereka membangun juga narasinya sendiri-sendiri," sebut
Ismail.
Karni Ilyas kemudian menanyakan mengenai bayaran yang diterima dari pelaku buzzer itu sendiri.
"Itu kalau yang dibayar itu, per akun atau pertweet dibayar berapa?," tanya Karni Ilyas,
"Wah kalau itu saya enggak tahu," jawab Ismail singkat.
"Sebagai
analis sudah menganalisa sampai ke sana, katanya 3 juta, koordinator
gajinya 9 juta atau berapa?," tanya Karni Iyas kembali.
Itu
kalau saya bilang penelitian ada yang menunjukkan itu tapi saya sendiri
tidak pernah melihat proposal atau struk jadi saya tidak bisa
menggunakan sumber saya sendiri," kata Ismail.
Pernyataan
Ismail Fahmi ini telak membantah istilah buzzer istana yang disuarakan
Tempo dengan bumbu laporan penelitian oxford yang dibelokkan. Dalam
penelitian setebal 29 halaman tersebut ditujukan secara global bukan
hanya untuk negara Indonesia seperti yang digemborkan Tempo.
Pun,
penyebutan nama Indonesia selalu berbarengan dengan negara lain yang
ditampilkan dalam 4 tabel atau kolom berbeda. Hanya satu keterangan
Indonesia ditulis dalam bentuk tulisan tapi tetap bersamaan dengan
negara lain saat meniliti kapasitas penggunaan pasukan siber di
Indonesia yang tergolong rendah. Jahatnya Tempo dan media lain hanya
mengambil cuplikan data Indonesia tanpa menulis keterangan lengkap di
mana ada disebut negara AS, China dan Rusia sebagai negara yang memiliki
pasukan buzzer terbesar.
Bahkan anggaran negara
Nigeria berada jauh di atas Indonesia dalam membekali pasukan siber
pendukung. Dilaporkan juga kalau pemerintah Indonesia tidak memiliki
keterkaitan langsung dengan pasukan siberm. Juga dana 1-50 juta yang
diklaim Tempo seakan berasal dari istana nyatanya cuma berupa laporan
angka tanpa menyebut sumber.
Semoga acara ILC
tadi malam bisa membuka mata kita bahwa isu buzzer-buzzer ini hanya
diblow up untuk menutupi kegagalan media mainstream dalam perang narasi
dengan berbagai pegiat media sosial. Tempo sangat munafik ketika
menyebut kritik terhadap pemerintah sebagai kebebasan pers tapi seolah
membungkam narasi orang lain yang berseberangan dengan melabeli buzzer
istana. Bilang saja kalau narasi kritik terhadap revisi RUU KPK kalian
kalah oleh isu taliban, kebocoran informasi penyidikan korupsi pada
Tempo dan isu penyalah gunaan alat sadap oleh KPK hingga keanehan dalam
menolak pimpinan baru yakni Irjen Firli.
Begitulah kura-kura.
Referensi:
Vangkee! Kelompok Abdul Basith Nyaris Ledakkan Indomaret se-Jakarta
Memang betul, kata
pengamat teroris, bahwa radikalisme telah masuk ke semua lini. Baik itu
di pemerintahan, swasta, militer, aparat penegak hukum, maupun di
kampus-kampus.
Tentu kita masih ingat seorang
Polwan, Bripda Nesti Ode Samili yang telah dipecat dari institusi Polri.
Ia sebelumnya 2 kali ditangkap oleh Densus 88 karena diduga terpapar
paham radikalisme.
Nesti
awalnya mempelajari paham radikal secara otodidak lewat internet.
Namun, berkat kegigihannnya mendalami itu semua, dia diduga terpapar
paham radikal yang cukup dalam.
Selain itu, Nesti juga pernah disebut berinteraksi dengan pimpinan JAD Bekasi, Fazri Pahlawan alias Abu Zee Ghuroba.
Nah, si mantan anggota polisi ini dipersiapkan untuk menjadi eksekutor bom bunuh diri atau yang biasa disebut pengantin.
Itu
baru seorang saja lho, anggota Polri kita yang ketahuan secara
terang-terangan terpapar radikalisme. Bagaimana dengan yang lain, yang
saat ini masih menyembunyikan identitasnya, kalau dia adalah bagian dari
jaringan teroris.
Pertanyaannya, kalau sudah
seperti ini, apakah data dan informasi yang dimiliki oleh Polri aman
dari akeses anggota Polri lainnya yang terpapar radikalisme?
Dan
akan sangat mengerikan kalau sampai ada petugas yang membocorkan
data-data Polri mengenai rencana penindakan teroris di Indonesia ke
teroris itu sendiri.
Jangan sampai deh, seperti data KAPEKA yang bocor ke wartawan majalah tempe.
WNI yang terpapar paham radikalisme berikutnya yang menjadi sorotan adalah Abdul Basith.
Ia adalah seorang intelektual yang sehari-hari bekerja sebagai staf pengajar/dosen di IPB.
Berdasarkan
informasi yang tertera di pangkalan data pendidikan tinggi,
Kemenristekdikti, Basith tercatat sebagai dosen tetap mengajar di Prodi
Manajemen Pembangunan Daerah dengan jabatan fungsional sebagai Lektor.
Ia
memperoleh gelar insinyur pada 1981 dari kampus tempatnya mengajar.
Kemudian, meraih gelar S2 pada 1987 di ITB. Dan mendapatkan gelar S3
atau Doktor pada 2012 juga di IPB.
Basith ini menjadi salah satu dari 6 orang pelaku yang diduga hendak bikin kerusuhan di tengah aksi Mujahid 212, (28/09).
Ia
beserta rekan-rekannya ditangkap oleh Tim Jatanras Polda Metro Jaya di
kawasan kecamatan Cipondoh, Tanggerang Kota pada Sabtu, (28/09).
Jadi, pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang bebas paham radikalisme. Apalagi mereka yang berpendidikan rendah.
Karena,
banyak juga anggota teroris itu yang pintar-pintar. Seperti Dr. Azhari
yang memperoleh gelar Ph.D di Universitas Reading Inggris dalam bidang
valuasi properti. Dan Aman Abdurrahman yang mendapat predikat cum laude dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta.
Tapi
sayangnya, kecerdasan yang dimilikinya itu tidak digunakan untuk
kemaslahatan umat, melainkan untuk menyakiti dan melenyapkan nyawa orang
lain, yang menurut keyakinan mereka supaya bisa bertemu 72 bidadari
surga.
Begitupun
dengan Abdul Basith, meskipun dia pernah mengabdikan dirinya menjadi
dosen, tapi apa yang dilakukan dan direncanakannya itu yang berbahaya.
Pasca
merencanakan peledakan bom pada aksi Mujahid 212, ternyata do’i dkk
juga berencana meledakkan seluruh Indomaret yang ada di DKI Jakarta pada
(28/09).
Hal itu berdasarkan pemeriksaan mendalam yang dilakukan oleh penyidik Polda Metro Jaya.
"Mau ledakkan ritel Indomaret," ujar Kasubdit Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya, AKBP Dwiasi Wiyatputera.
Pertanyaannya,
kenapa Indomaret yang disasar? Bukankah masih banyak ritel lainnya yang
terdapat di Jakarta? Dan pihak mana yang diuntungkan kalau Indomaret
benar-benar musnah?
Tentu untuk menjawab itu semua, pihak kepolisian yang berweneng. Karena mereka yang melakukan penyelidikan terhadap kasus itu.
Tapi yang pasti, Indomaret merupakan anak perusahaan Salim Grup.
Sedangkan
Salim Group, kita tahu sendiri dirikan oleh Sudono Salim atau Liem Sioe
Liong. Yang pada kerusuhan 1998 silam, rumahnya yang berada di Gunung
Sahari, Jakarta Pusat dirusak dan isinya dijarah oleh perusuh.
Pasca
kerusuhan itu, Sudono Salim pun mulai mengalihkan kepengurusan
bisnisnya kepada anaknya, Anthony Salim. Lalu pindah ia ke Singapura,
sampai tutup usia pada 2012 lalu.
Sebegitu kejamnya perusuh terhadap orang yang sekalipun tidak pernah menyakitinya.
Di
akhir tulisan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada aparat
kepolisian dan Densus 88 Anti Teror, yang sudah berhasil mencegah
terjadinya peledakan bom di Aksi Mujahid 212 dan Indomaret se-DKI
Jakarta.
Karena mau tidak mau, suka tidak suka
Indomaret itu besar juga jasanya lho terhadap masyarakat Indonesia.
Minimal kita bisa belanja secara aman dan nyaman di sana.
Serta,
yang paling penting adalah tidak sedikit masyarakat Indonesia yang
bekerja di mini market yang menyediakan kebutuhan pokok itu. Jadi,
secara tidak langsung Indomaret membantu mengurangi angka pengangguran
di Indonesia.
Pertanyaannya, kalau perusahaan retail itu dibom, siapa yang turut menjadi korban?
Tentu
anak bangsa sendiri, yang bekerja di sana. Yang bisa jadi
sauda-saudaranya dan orang tuanya menggantungkan hidup dari penghasilan
yang ia dapatkan dari bekerja di Indomaret.
Sumber
-
-
Sumber Opini :
https://seword.com/umum/vangkee-kelompok-abdul-basith-nyaris-ledakkan-yHLUlbblLs
Rocky Gerung!! Bujangan Mah Bebas, Asalkan Suka Tiada Orang Yang Melarang
Teringat sebuah
tembang kenangan yang tidak lekang oleh waktu, berjudul "bujangan", lagu
yang dinyanyikan sebuah band legendaris ini menceritakan kisah bujangan
yang walaupun mengalami kesedihan karena tidak mempunyai kekasih, tapi
masih bisa menikmati hidup dengan bebas.
Begini
nasib jadi bujangan, kemana-mana asalkan suka, tiada orang yang
melarang. Begitulah sepenggal lirik lagu sederhana yang sanggup
menyimpulkan kisah hidup para bujangan yang hidup dalam kesendirian,
namun penuh dengan kebebasan.
Penulis
jadi teringat saat Rocky hadir ke Universitas Muhammadiyah Jember
menggunakan mobil ambulans, walaupun ambulans sebaiknya digunakan untuk
kepentingan darurat berkaitan dengan orang yang sakit, namun karena yang
menggunakan adalah Rocky sang bujangan, maka hal tersebut menjadi
wajar. Kemana-mana asalkan suka, mau naik ambulans atau naik onta, tiada
orang yang melarang. Cebong mana paham? Bujangan mah bebas.
Tapi
ada Said Didu juga yang mendampingi Rocky, bagaimana itu? Kalau yang
itu sih karena memang sedang mengidap sakit, sakit yang sangat teramat
berat, yaitu penyakit mental, kebencian yang berlebihan karena dipecat
oleh Jokowi seperti Anies sang gubernur ibu kota. Jadi tidak masalah
naik ambulans.
Tapi jangan remeh-kan bujangan
ini ya, beliau adalah seorang profesor walaupun kuliah hanya tamatan S1,
tapi Rocky adalah seorang profesor. Untuk seseorang menjadi profesor,
maka orang tersebut harus memiliki penemuan-penemuan di bidang ilmu
pengetahuan. Nah, Rocky ini banyak sekali menemukan penemuan-penemuan
baru, khususnya yang berkaitan dengan olah kata.
Kata
fiksi adalah yang paling fenomenal, menurut KBBI fiksi adalah cerita
rekaan (roman, novel, dan sebagainya); rekaan, khayalan, tidak
berdasarkan kenyataan; pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau
pikiran. Namun, Rocky ngotot bahwa fiksi itu bukan khayalan, melainkan
mengaktifkan imajinasi.
Sebelum protes,
kita-kita harus sadar kalau Rocky ini mempunyai definisi sendiri yang di
luar KBBI, ini adalah salah satu contoh penemuan Rocky yang luar biasa.
Bahkan dia punya definisi sendiri dari setiap kata yang tercantum dalam
KBBI, dan Rocky bertekad untuk mengubah isi KBBI menjadi sesuai dengan
definisi yang dia miliki. Masalah yang mengerti hanya Vicky Prasetyo dan
kawan-kawannya, itu urusan belakangan. Bujangan mah bebas, cebong mana
paham?
Saking bebasnya bepergian kemana-mana,
maka tidak aneh jika Rocky akan keliling Indonesia untuk mengajak
beroposisi pada Prabowo karena telah bergabung dengan Jokowi. Rocky
bahkan dengan gagah berani menyebut sang jenderal sampah, walaupun pada
akhirnya di-ralat bahwa perkataannya tersebut adalah satire. Sebenarnya
walaupun di-ralat bahwa itu satire, tapi tetap saja tidak sopan, masa
jenderal disamakan dengan sampah. Tapi ya namanya bujangan mah bebas,
cebong mana paham?
Setelah menghina Prabowo
dengan sebutan sampah, Rocky dengan gagah berani menghadiri Rapat
Pimpinan Nasional partai Gerindra. Prabowo tampaknya tidak marah dengan
sindiran Rocky, mungkin Prabowo menyadari kalau dirinya memang sesuai
dengan yang Rocky katakan, kini Prabowo hanya butiran debu yang sudah
kalah berkali-kali, bahkan rela turun kasta menjadi pembantu Jokowi
alias menteri.
Jawaban lain mungkin Prabowo
kasihan sama Rocky dan merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang pria
yang hingga di ujung waktu belum memiliki seorang istri, Prabowo yang
adalah pria kesepian tentu memahami betul apa yang dirasakan Rocky,
tidak mungkin orang sehebat Rocky hobinya ngibul seperti yang dia
ucapkan di ILC, jika bukan karena di hatinya ada rasa hampa, mungkin itu
yang ada di pikiran Prabowo.
Tapi mari kita
lupakan drama di atas!! Jangankan hadir di acara partai Gerindra, hadir
di masjid dan berceramah layaknya ulama saja pernah Rocky lakukan,
padahal Rocky kebingungan saat ditanya apakah dia percaya Tuhan atau
tidak oleh Ruhut.
Padahal
di tempat yang sama, Djarot yang adalah seorang muslim pernah mengalami
pengusiran dengan diiringi teriakan takbir, Ninoy salah satu muslim
relawan Jokowi dipukuli ditempat yang sama.
Dalam
keadaan tidak darurat, ada dua alasan yang membolehkan non muslim masuk
masjid, pertama untuk membangun atau memperbaiki masjid, dan kedua jika
berniat menjadi muslim dengan melihat kegiatan dan ceramah di dalam
masjid. Rocky ke masjid untuk ceramah, bukan melakukan dua hal yang
diperbolehkan tersebut, maka hanya ada satu jawaban kenapa Rocky boleh
melakukannya. Karena Rocky adalah bujangan, kemana-mana, asalkan suka,
tiada orang yang melarang. Cebong mana paham?
Memang
tidak ada habisnya membicarakan Rocky yang terkenal dengan kata dungu
ini. Tapi bicara soal dungu, baru-baru ini akun media sosial Rocky
dibajak oleh seseorang yang Rocky sebut dungu. Jika pembajak akun Rocky
disebut dungu, lalu bagaimana dengan yang orang yang akun media
sosialnya bisa dibajak ya?
Ya sudahlah, lupakan saja!! Kita akhiri artikel ini dengan menuliskan lirik lagu "bujangan" versi Rocky Garong :
Begini nasib jadi bujangan
Kemana mana, naik ambulans tiada orang yang melarang
Hati senang walaupun tak punya istri, ooh
Hati senang walaupun tak punya bini.
Apa susahnya jadi bujangan
Setiap hari kerjanya ngibul, dibayar sama ILC
Hati senang walaupun tak punya istri, ooh
Hati senang walaupun tak punya bini.
Sumber Opini :
https://seword.com/politik/rocky-gerung-bujangan-mah-bebas-asalkan-suka-AHMkbeFXSL
Tuduh Presiden yang Oktober Dilantik Ilegal, Habib Rizieq Tak Berkaca Statusnya Sendiri
“Presiden yang akan dilantik pada bulan Oktober 2019 adalah presiden Ilegal, karena hasil Pilpres curang dan zhalim !” Begitu pidato paling anyar Habib Rizieq Shihab (HRS) yang di-share di laman media-media sosial.
Narasi-narasi
dalam pidatonya HRS sesungguhnya lagu lama yang terus diulang-ulang.
Tapi memang bukan tanpa disengaja. Pengulangan tema-tema seperti ini
sesungguhnya sesuai dengan teori propaganda. Mereka bertujuan hendak
menanamkan ke benak audience-nya, dalam hal ini FPI, FPI lovers dan
kelompok pendukung lainnya bahwa rezim ini adalah rezim yang –seperti
kata-kata dalam pidatonya- licik, curang, culas dan brutal.
Permainan
kata-kata ini kemudian seakan menjadi “fatwa” yang wajib diikuti dan
diamini. Lucunya, tuduhan Habib Rizieq Shihab bahwa Presiden Jokowi yang
terpilih untuk kedua kalinya adalah Presiden Ilegal. Seorang ulama
dipegang dari ucapannya, lantas dari mana dasarnya tuduhan-tuduhan ini ?
Pilpres
telah selesai, keberatan serta tuduhan kecurangan sudah diajukan kepada
Mahkamah Konstitusi dan hasilnya tetap menempatkan Jokowi-Ma’ruf Amin
sebagai pemenang. Lalu, mengapa narasi-narasi tersebut terus menerus
dilanjutkan ? Sebab jika bukan fakta, maka tuduhan tersebut jatuh pada
fitnah belaka.
Sangat disayangkan, seorang
ulama yang oleh umatnya diakui sebagai “Imam Besar” tidak paham tentang
betapa bahayanya fitnah. Apakah tidak cukup kondisi negara-negara Islam
di Timur Tengah yang porak-poranda lantaran massif-nya hoaks dan fitnah
dijadikan sebagai pelajaran ?
Hadits Nabi yang
berbunyi *"Al-ulma'u waratsatul anbiya"* demikian populer. Ulama adalah
ahli waris Nabi, begitulah bila diterjemahkan. Seperti apa sesungguhnya
kriteria seorang ulama pewaris Nabi itu ? Dalam suatu kesempatan,
Abdullah Alawi (AA) dari NU Online mewawancarai Rais Majelis Ilmi
Pimpinan Pusat Jam'iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama KH Ahsin
Sakho Muhammad di Pondok Pesantren Ashiddiqiyah, Karawang, Jawa Barat
(15/6) (KH. ASM).
Berikut beberapa pertanyaan dan jawaban dari wawancara tersebut yang relevan dengan tulisan ini.
(AA) : Berarti umat Islam harus mengikuti ulama yang seperti itu, bukan yang berwatak lain?
(KH.ASM)
: Ya, (ulama) adalah orang yang suka tadabur. Kalau seandainya
dibacakan ayat Al-Qur’an dia termenung, tadabur, menangis, itu hatinya
itu yang peka. Langsung tersungkur.
(AA) : Masih ada watak ulama yang selain itu?
(KH.ASM) : Jadi, orang-orang yang, kata Nabi, kata Al-Qur’an, laqad kaana lakum uswatun hasanah Paling tidak itu.
(AA) : Uswatun hasanah itu bagaimana?
(KH.ASM)
: Ya artinya panutan yang baik dari segi takwanya, dari segi akhlaknya,
dari segi tutur katanya. Akhlaknya semuanya itu. Kalau tidak bisa
mengikuti Nabi seratus persen, ya 50 persen. Kalau tidak bisa 50 persen,
ya 10 persen saja. Pokoknya sesuai dengan kemampuannya. Orang yang
memahami betul tentang ajaran agama Islam dan dia mempraktikannya. Itu
dia yang patut diikuti, akhlaknya bagus, pengetahuannya luas.
(AA) : Kalau seorang ulama berkata buruk dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar bagaimana?
(KH.ASM) : Enggak, enggak. Enggak boleh menjelek-jelekkan orang, berarti mulutnya jelek. Janganlah berkata-kata kasar. Laisa bi fadin wa la ghalidin wa la sakhatin fil aswaq. Nabi itu tidak berkata kasar.
Nah,
jika Nabi saja tidak berkata kasar, lantas darimana RS mencontoh ?
Dalam pidatonya, banyak sekali terlontar kata-kata rezim zhalim, curang,
culas, licik dan lain-lain. Belum lagi kalau kita menyimak pilihan atau
diksi kata-katanya dalam pidato yang lain.
Padahal, HRS tentu lebih mengetahui isi hadits ini ketimbang umat yang kebanyakan masih awam. Diriwayatkan, “ada
seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau menjawab,
“Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan
dan tangannya”. Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Muslim dari
Jabir hadits no. 65 dengan lafaz seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari
dari Abdullah bin Umar.
Begitu pula dengan hadits ini. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”
Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan hadits-hadits Arba’in. Beliau menjelaskan, “Imam
Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang
hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan
perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara.
Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat
atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak
usah berbicara”. Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian
yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian,
niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”.
Apabila
benar tuduhan HRS bahwa Presiden terpilih secara ilegal, maka mau
dikemanakan 85 juta jiwa lebih pemilihnya ? Tuduhan tersebut
sesungguhnya berbalik pada dirinya sendiri. Bagaimana posisinya sekarang
? Selama hampir 2 tahun, Ia tinggal di negara Saudi, legal atau ilegal ?
Dilansir dari
tribunnews.com,
seperti diketahui, pada April 2017 HRS bertolak ke Mekkah, Arab Saudi,
untuk menunaikan ibadah umrah. Saat itu tengah muncul kasus chat
(percakapan) via WhatsApp berkonten pornografi yang diduga menjerat
pemimpin FPI itu dengan seorang perempuan bernama Firza Husein. Setahun
berjalan, polisi menghentikan kasus tersebut dengan alasan tidak cukup
bukti. Namun, hingga kini Rizieq tak kunjung pulang ke Tanah Air.
Menurut
Agus Maftuh Abegebriel (Duta Besar RI untuk Arab Saudi), Habib Rizieq
Shihab harus membayar denda overstay lebih dulu sebagai syarat agar
dapat kembali ke Indonesia. Ia juga mengatakan visa yang dimiliki oleh
Rizieq telah habis masa berlakunya pada pertengahan 2018.
Sementara,
visa yang diajukan Habib Rizieq berjenis multiple entry. Artinya setiap
tiga bulan, Habib Rizieq harus keluar dari Arab Saudi untuk memperbarui
izin visanya. Dengan demikian, kata Agus, besaran denda yang harus
dibayarkan mencapai Rp 110 juta per orang.
Senada
dengan tribun, dikutip dari tempo.co Duta Besar RI untuk Saudi
menyatakan bahwa HRS sudah tak memiliki izin tinggal di Arab Saudi.
Dengan demikian statusnya ilegal ? Selain bermasalah dengan izin
tinggal, HRS juga pernah bermasalah dengan pemasangan bendera “ilegal”
di kediamannya di Mekkah, Arab Saudi.
Bahkan, dilansir dari
cnnindonesia.com,
Pemimpin Front Pembela Islam (FPI) HRS sempat ditahan oleh kepolisian
Arab Saudi terkait bendera bertuliskan kalimat tauhid yang dipasang di
dinding luar rumahnya di Mekkah. Bendera tersebut dinilai ilegal di Arab
Saudi. Dari keterangan pihak Kedutaan Besar RI untuk Saudi,
pemeriksaan Habib Rizieq itu terkait pemasangan bendera hitam yang
mengarah pada ciri-ciri gerakan ekstremis.
Di
dalam negeri sendiri, kasus-kasus yang melibatkan HRS masih ada. Dus,
daripada berkoar-koar di negeri orang menuduh bermacam-macam tuduhan
terhadap Pemerintah, alangkah baiknya jika Ia secara “gentleman”
menyelesaikan kasus-kasus tersebut dan membersihkan namanya (Jika Ia
merasa tidak bersalah). Berani tidak ?
Referensi :
Membongkar 2 Sosok Habib Palsu di Kalangan Bani Kampret
Akhir-akhir ini
gelar habib menjadi sorotan. Pasalnya, banyak peristiwa kriminal terjadi
yang menyeret nama-nama yang dijuluki habib tersebut. Contohnya saja,
Habib Rizieq Shihab (Imam Besar FPI). Do’i, meskipun menyandang gelar
habib, tapi pernah tersandung kasus chat esek-esek.
Dan,
karena gak kuat menanggung malu, pasca chat pribadinya dengan Firza
tersebut terbongkar, ia sejak 2016 silam, sampai sekarang menjadi Bang
Toyib tidak pulang-pulang di Arab Saudi sana
Sementara, si Firza, ditinggal sendirian di dalam negeri.
Kemudian, pelaku kriminal penyandang gelar habib berikutnya adalah Bahar bin Smith.
Kita
tahu sendiri kalau penceramah yang suka menjelek-jelekkan Presiden
Jokowi itu, pada Juli 2019 lalu divonis 3 penjara dan didenda Rp 50 juta
subsider 1 bulan masa tahanan oleh majelis hakim.
Pertanyaannya, kok bisa habib berambut pirang itu dipenjara?
Tidak
lain tidak bukan karena ia telah melakukan penganiayaan terhadap 2
anak, yakni Cahya Abdul Jabar dan Muhammad Khoerul Aumam Al Mudzaqi di
pondok pesantren Tajul Alawiyyin miliknya.
Pondok pesanteren kok dijadikan tempat melakukan kekerasan. Pelakunya habib pula. Sungguh terlalu!
Apakah ini yang disebut dengan penganiayaan syariah?
Pertanyaannya, di kubu mana kedua habib itu berada saat Pilpres 2019 lalu?
Pasti semua sudah tahu jawabannya.
Tidak
hanya itu saja lho. Usut punya usut, di kubu sebelah ternyata juga ada
habib palsu, alias habib KW alias habib kaleng-kaleng.
Siapa sajakah Kampret yang bukan keturunan rasul tapi mengaku habib tersebut?
1. Novel Bamukmin
Memiliki nama asli Novel Chaidir Hasan Bamukmin, merupakan tokoh FPI. Saat ini ia menjabat sebagai Koordinator Humas PA 212.
Laskar
yang tidak suka dengan Ahok dan Jokowi itu, sempat menjadi Sekjen DPD
FPI Jakarta. Sebelum akhirnya dipecat pada 26 Desember 2017 silam.
Pada
09 Oktober 2016, ia resmi ditahan oleh Polda Metro Jaya karena dianggap
sebagai dalang kerusuhan demo FPI menolak Ahok sebagai gubernur DKI.
Lucunya,
walaupun dia tidak suka dengan Ahok yang keturunan Tionghoa dan non
muslim itu, tapi Novel yang Monaslimin itu pernah bekerja di sebuah
perusahaan Tionghoa non-muslim lho. Dan saat itu, dia juga
diberangkatkan haji oleh pemilik perusahaan tersebut.
Kemudian,
saat kasus penistaan agama Ahok dulu sedang panas-panasnya, do’i juga
tidak kalah viralnya dengan Ahok. Karena menyebut pizza hut, perusahaan
tempat ia pernah bekerja menjadi ‘fitsa hats’.
Nah, sebagian besar media yang memberitakan Novel ini menyebut dirinya habib alias keturunan Rasulullah Muhammad SAW.
Pertanyaannya, apakah betul laskar ompong itu keturunanan Rasul?
Do’i
ternyata habib kaleng-kaleng. Hal ini berdasarkan pengakuan habib asli,
yakni Habib Novel bin Muhammad Alaydrus. Pimpinan majelis ilmu dan
dzikir Ar-Raudhoh, Surakarta, Jawa Tengah itu, di hadapan ribuan jamaah
majelisnya pada Jumat (10/10/2016) silam, mengatakan, bahwa Novel
Bamukmin bukanlah seorang habib.
Begitupun
dengan organisasi pencatat keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia,
Rabitha Alawiyah, menegaskan bahwa Novel Bamukmin bukan merupakan
keturunan rasulullah.
Ketua Rabithah Alawiyah,
Sayyid Zen Umar bin Smith pernah menjelaskan bahwa Novel Bamukmin memang
keturunan salah satu suku yang berasal dari Yaman, tapi tidak mempunyai
garis keturunan dari Nabi Muhammad SAW.
Artinya apa? Fiks, do’i merupakan habib gadungan.
Dalang demo yang punya mulut busuk, kok ngaku-ngaku habib. Ketahuan banget kalau do’i gak ngaca.
2. Irshad Ahmad
Habib KW berikutnya yang berasal dari kalangan bani Kadrun adalah Irshad Ahmad.
Ia
menjadi terkenal karena tercatat sebagai salah seorang tersangka pelaku
penganiayaan terhadap pegiat Medsos yang juga relawan Jokowi, Ninoy
Karundeng.
Diketahui, Irshad melakukan pemukulan terhadap Ninoy itu di masjid Al-Falaah, Pejompongan, Jakarta Pusat, (30/09).
Do’i pun saat ini sudah ditahan oleh polisi.
Nah,
saat diwawancarai di Polda Metro Jaya, Jakarta (15/10), Irshad yang
biasa dipanggil habib itu bercerita soal asal-usul panggilan habibnya.
Ternyata eh ternyata warga Slipi, Jakarta Barat itu adalah tabib (orang
yang bekerja mengobati orang sakit secara tradisional) alias dukun.
Bukan habib.
"Iya kadang-kadang (dipanggil) habib, ustaz, karena basic saya tabib. Saya turunan dari Pakistan, ibu Sunda, bapak Pakistan," ujar Irshad.
Do’i pun dengan bangga mengatakan, orang memanggilnya habib karena ia memelihara jenggot yang identik dengan habib.
Hahaha. Masa’ hanya karena pakai jenggot saja sudah dipanggil habib?
Inilah yang disebut dengan penistaan terhadap habib asli.
Jadi, pembaca Seword bisa sudah menilai sendiri,
bagaimana kelakuan para habib pendukung Capres sebelah. Gak habib asli,
gak habib palsu sama saja, sama-sama merusak citra Islam di Indonesia.
Sumber :
-
-
-
Sumber Opini :
https://seword.com/umum/membongkar-2-sosok-habib-palsu-di-kalangan-bani-uHuTryGHY6
Inilah 17 Menteri Kabinet Kerja yang Bekerja Sampai Tuntas, Diteruskan atau Diganti Nih?
Mengamati sepak
terjang para pengisi Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo periode
2014-2019 cukup menarik. Dari 34 jabatan yang ada, diwakili 4 jabatan
Menteri Koordinator dan sisanya 30 jabatan Menteri, ternyata kita tahu
tidak semua dari para pembantu presiden tersebut menuntaskan masa
jabatannya, dari awal terpilih sampai akhir masa jabatan ... dengan
berbagai alasan.
Mereka yang berhenti di tengah
jalan, sebut saja begitu, ada yang kena tebasan reshuffle karena
dianggap kurang mampu bekerja atau tidak bekerja sesuai harapan Pakde
Jokowi, ada yang mengalami "penyesuaian" kerja karena situasi dan
kondisi tertentu, tetapi ada pula yang tersangkut kasus hukum justru di
penghujung kariernya sebagai menteri kepercayaan Jokowi-JK. Kita tahulah
siapa nama yang dimaksud untuk menteri yang satu ini.
Sebagian
lagi karena harus mundur, usai terpilih sebagai anggota dewan, usai
penetapan hasil Pileg 2019 yang antara lain melibatkan Puan Maharani dan
Yasonna Laoly. Namun, sisanya bisa dibilang selamat sampai masa akhir
jabatan, yang mengerucut pada 17 nama menteri dengan formasi seperti
berikut: (semoga saya tidak salah hitung ya)
Pratikno (Menteri Sekretaris Negara)
Tjahjo Kumolo (Menteri Dalam Negeri)
Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri)
Ryamizard Ryacudu (Menteri Pertahanan)
Amran Sulaiman (Menteri Pertanian)
Siti Nurbaya Bakar (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan)
Hanif Dhakiri (Menteri Ketenagakerjaan)
Basuki Hadimuljono (Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat)
Muhammad Nasir (Menteri Riset dan Teknologi)
Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama)
Arief Yahya (Menteri Pariwisata)
Rudiantara (Menteri Komunikasi dan Informatika)
Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga (Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah)
Yohana Yembise (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)
Rini Mariani Soemarno (Menteri Badan Usaha Milik Negara)
Nila Djuwita Anfasa Moeloek (Menteri Kesehatan)
Angka 17 cukup bagus, separuh dari jumlah pos
menteri yang dikehendaki Pakde Jokowi untuk mewujudkan visi dan misinya
selama 5 tahun pertama menjabat sebagai Presiden RI. Tentu kita tahu
kalau tidak mudah menjadi menterinya Pakde Jokowi. Dengan slogan "Kerja!
Kerja! Kerja!" berarti sejak awal mereka tahu bahwa kompetensi dan
kecakapan dalam bekerja, juga kecepatan menjadi syarat yang tidak bisa
ditawar lagi.
Para menteri juga diharapkan tidak
membikin gaduh, baik secara internal maupun lewat pernyataan yang
disampaikan di depan publik, termasuk soal kebijakan yang menyangkut
lebih dari satu kementrian. Harus ada sinergi dan solid ... supaya tidak
ada kesan: "Ini menterinya saja pada ribut sendiri, berarti ada yang
tidak beres."
Selesainya masa jabatan 17 menteri
di atas bagi saya menjadi catatan tersendiri, mengingat kita tahu bahwa
sosok Pakde Jokowi dikenal sebagai pribadi yang "sukar untuk
dipuaskan." Jika ada yang dinilai terlalu lambat, sukar mengikuti ritme
kerja yang diharapkan, atau lebih pandai menata kata daripada bekerja
... ya, maaf ... kudu mencari profesi lain karena tak cocok sebagai
menteri di Kabinet Kerja ini.
Para menteri juga
seperti diharamkan memiliki visi dan misi sendiri. Tugas mereka sebagai
"pembantu Presiden" adalah mewujudkan visi dan misi yang telah
dicanangkan Presiden, sebagai pimpinan para menteri tadi, dan tidak
boleh punya agenda tersendiri. Kalau Presiden ingin saham Freeport
kembali misalnya, mau tak mau Kementrian yang terkait kudu siap untuk
mengeksekusi di lapangan, sehingga keinginan Presiden Jokowi, yang kita
percaya sebagai hal yang akan membawa kebaikan bagi negeri ini, akan
terlaksana ... persis seperti yang dikehendaki. Tak boleh lebih dan tak
bisa kurang!
Oleh karena itu, menarik sekali
menebak-nebak apakah 17 nama di atas AKAN KEMBALI TERPILIH untuk
meneruskan apa yang sudah mereka kerjakan pada periode pertama
kepemimpinan Pakde Jokowi ini. Bisa ya, tetapi bisa pula tidak. Kalau
ya, masih mungkin pula terjadinya pergeseran tugas dengan menjadi
menteri yang berbeda jabatan dan tanggung jawab.
Kalau
saya, dari 17 nama tadi, ada 4 nama yang sebaiknya tidak dipakai lagi
karena kurang maksimal kerjanya. Dimulai dari Siti Nurbaya Bakar saya
anggap gagal dengan kasus Karhutla yang menggila belakangan ini. Arief
Yahya, yang sempat menimbulkan kontroversi dengan wisata syariah yang
jelas tidak perlu di negeri ini.
Lalu ada
Yohana Yembise, yang masih kurang "melindungi" anak, termasuk membiarkan
KPAI berulah dengan kasus PB Djarum, juga terlibatnya anak-anak dalam
aksi demonstrasi dan indikasi kegiatan radikalisme, tetapi tidak pernah
bersuara lantang, keras, dan tegas. Satu lagi adalah Lukman Hakim, yang
kurang tegas dan lugas menyikapi aksi-aksi terkait agama yang masih
membikin Indonesia membara di sana-sini. Sisanya cukup oke buat
diteruskan ...!
Begitulah kura-kura
Sumber berita:
Sumber gambar: setneg.go.id
Danke!!! WNI di Jerman Tolak Kedatangan Abdul Somad
Abdul Somad sebagai
penceramah kontroversial lagi-lagi menuai penolakan. Setelah di dalam
negeri ditolak ceramah di Masjid Kauman, Jogja dan UGM. Kabarnya di luar
negeri ditolak ceramah di Belanda, kini WNI di Jerman juga menyusul
membuat penolakam terhadap UAS. Syukurlah masyarakat semakin sadar akan
bahaya radikalisme dan penceramah yang suka memecah belah dan SARA.
Berikut beritanya seperti dilansir dari
kumparan.com, sekelompok masyarakat Indonesia di Berlin mengeluarkan surat pernyataan menolak kedatangan Ustaz Abdul Somad ke Jerman.
Surat
tersebut ditujukan ke Indonesische Weisheits- und Kulturzentrum (IWKZ)
Al-Falah, yaitu masjid dan pusat budaya Islam Indonesia yang telah
berdiri lebih dari 20 tahun di Jerman. IKWZ adalah pusat kegiatan
sosial, pendidikan, dan dakwah bagi masyarakat Muslim Indonesia di
Berlin dan sekitarnya.
Surat tersebut juga disebarkan melalui media sosial, seperti di grup Facebook PPI Berlin. Berikut isi suratnya:
“Dengan Hormat,
Kami
kelompok masyarakat Indonesia di Berlin, sebagai pendukung penuh dari
prinsip: Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 45, mendapat
informasi bahwa ada rencana kunjungan Bapak Abdul Somad ke Jerman.
Memperhatikan
adanya kegaduhan di Indonesia akibat ceramah-ceramahnya sehingga sudah
ada pengaduan kelompok masyarakat Indonesia ke Polisi, dan juga beberapa
penolakan seperti yang terjadi di Universitas Gadjah Mada, kami
kelompok masyarakat di Berlin melalui surat pernyataan ini mengeluarkan
aspirasi dan menyatakan sikap kami dengan menolak kedatangan Bapak Abdul
Somad ke Jerman.
Hal ini sangat penting untuk
menghindari adanya penyebaran ujaran kebencian yang dapat mempengaruhi
ketentraman, kedamaian, dan kerharmonisan kehidupan beragama antara
masyarakat Indonesia di Jerman.
Hal ini sangat
penting untuk menghindari adanya penyebaran ujaran kebencian yang dapat
mempengaruhi ketentraman, kedamaian, dan kerharmonisan kehidupan
beragama antara masyarakat Indonesia di Jerman.
Sebagai
bangsa Indonesia kita semua harus menjunjung tinggi nilai-nilai
Pancasila yang menghormati perbedaan dan pluralisme, kerukunan hidup
antar pemeluk agama.
Demikian kami sampaikan surat ini agar mendapat respon positif dari saudara pengurus IWKZ di Berlin.
Hormat Kami,
Anggota GWJ Berlin
Kelompok Masyarakat Indonesia di Berlin"
Selain
surat pernyataan, kelompok masyarakat Indonesia di Jerman juga membuat
petisi yang diberi judul "Penolakan UAS sebagai penceramah/pembicara di
acara pengajian/Tabligh Akbar di Jerman". Petisi tersebut diunggah di
change.org dan telah ditandatangani oleh 1.628 orang dari jumlah target
2.500 orang.
Menurut petisi tersebut, Ustaz
Abdul Somad dijadwalkan akan memberikan ceramah di Belgia, Belanda,
Jerman, dan Inggris. Di Jerman, Ustaz Abdul Somad dijadwalkan akan
datang ke Berlin, Ruhr, dan Frankfurt.
Kedatangan
Ustaz Abdul Somad ke Frankfurt pun sudah dibatalkan oleh pengurus
Masjid Indonesia Frankfurt. Sementara untuk kunjungan di Ruhr, ia
dijadwalkan akan mengisi pengajian pada 20 Oktober pukul 08.30 waktu
setempat. Masih belum ada keterangan apakah acara ini akan dibatalkan
atau tidak.
Petisi yang sudah ditandatangani
rencananya akan dikirimkan ke kepolisian setempat dan ditembuskan ke
perwakilan Indonesia di Berlin, Hamburg, dan Frankfurt.
Ustaz
Abdul Somad akhir-akhir ini menjadi sorotan karena ceramahnya yang
kontroversial tentang salib yang menjadi simbol agama Kristen. Potongan
video ceramah 3 tahun lalu di Masjid An-Nur, Pekanbaru, Riau, tersebut
menjadi polemik karena diprotes oleh sekelompok orang yang tersinggung
akan ucapannya.
Namun, Somad menolak meminta
maaf karena ceramahnya menjelaskan tentang ajaran Islam yang ditujukan
untuk sesama muslim dan dilakukan di ruang tertutup untuk khalayak
homogen.
Seharusnya petisi penolakan Somad bukan
hanya menolaknya sebagai pembicara tapi mencabut ijin berceramah seumur
hidup. Pemerintah dalam hal ini harus ikut campur memblacklist Somad
seperti Malaysia memblacklist Zakir Naik. Saya yakin tanpa ada
penceramah provokatif seperti Somad, kerukunan dan persatuan bangsa bisa
tercapai dan lebih mudah memberangus paham radikal.
UAS
boleh berbangga karena jumlah pemujanya begitu banyak. Bahkan dia
menantang tak marah dengan penolakan dari UGM sebab kalau dia marah,
umat pengikutnya akan bergejolak. Melihat kualitas ceramah UAS bisa
dilihat kapasitas pengikutnya yang sangat mudah dibodohi sesuatu
berbungkus agama. Apa yang dibanggakan dari hal demikian. Satu orang
pintar atau berilmi jelas lebih berbahaya ketimbang ratusan atau ribuan
orang bodoh. Jadi, tak perlu takut dengan UAS atau para pengikutnya itu.
Semoga Tuhan melindungi bangsa ini dari penyesatan dengan nama agama.
Begitulah kura-kura.
Referensi:
Kondisi Mata Novel Memburuk, Tak Mampu Jadi Penyidik Lagi Dong?
Menjelang pelantikan
presiden Joko Widodo, sudah terpetakan setiap berita-berita. Penulis
melihat ada pergerakan ingin mengalihkan isu pelantikan presiden dengan
hal-hal yang lain. Mengangkat sisi kemanusiaan yang benar-benar
menyentuh hati sanubari yang dalam.
Saya pun
kalau terbawa, pasti bakalan terharu dan menangis tersedu-sedu melihat
bagaimana Novel Baswedan, sepupu Anies Baswedan yang mengunjungi perusuh
di RS itu, katanya kondisi motanya memburuk. Terus? Ini saran saya.
Sebelumnya
izinkan saya untuk memberikan keterangan dari tim hukum Novel Baswedan
yang katanya kondisi matanya memburuk dan bakal buta permanen ini.
Kami ingin meng-update bahwa kondisi kesehatan
Novel Baswedan, matanya semakin memburuk… Mata kirinya semakin turun
kualitas penglihatannya dan bisa jadi Novel akan mengalami kebutaan
permanen. Mata kanannya juga tidak berfungsi dengan baik…
Jadi
selama ini Novel bergantung pada mata kirinya, sebenarnya mata yang
merah itu. Mata kanannya, hanya terang dan gelap. Sekarang mata kiri
justru makin turun kualitasnya…
Kami
berharap bahwa kita juga menggunakan rasa kemanusiaan kita, untuk
menyelesaikan segera kasus ini. Kami sebagai tim advokasi juga punya
beban moral, untuk segera menyelesaikan kasus ini…
ujar
tim hukum Novel Baswedan, Alghiffari Aqsa, di Kementerian Sekretariat
Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (18/10/2019).
Nah dari sini saya memiliki pandangan sederhana.
Kok tim hukum gak sengotot Novel yang dulu sempat sebut-sebut mau
turunkan Tito kalau tidak bisa menyelesaikan kasusnya dengan getol?
Kenapa
tidak tanya-tanya presiden? Kenapa malah sekarang seperti informan
memberitahu status mata Novel? Dalam hal ini, izinkan saya untuk
mengesampingkan dulu urusan kemanusiaan.
Saya
di dalam artikel ini akan membahas mengenai teknis yang ada. Jadi
kira-kira seperti ini saran teknis saya kepada Novel dan kawan-kawan.
Tapi teknisnya ini juga didasari kemanusiaan kok. Tenang saja.
Kalau
mata Novel memburuk, jangan sampai dia dipaksa untuk tetap menjadi
penyidik KPK. Penyidik mengandalkan matanya untuk melihat.
Kalau
pun ada orang jahat yang sengaja menyiram air keras ke matanya, ya
harusnya teman-temannya Novel sadar kalau dia sudah tidak bisa dijadikan
penyidik lagi. Jangan paksa Novel Baswedan untuk menjadi penyidik. Dia
kan sudah begitu matanya. Jangan-jangan kondisi matanya memburuk karena
dipaksa jadi penyidik loh.
Kasihan
Novel. Kalau bisa, posisikan dia menjadi orang yang bisa mengerjakan
bagiannya dengan baik, tanpa harus membebani matanya. Dia sudah sakit
seperti itu kok malah tetap mau bekerja?
Jadikan
dia ikon anti korupsi saja di Jakarta. Novel kan kemarin-kemarin ini
juga mengklaim bahwa Anies tidak ada masalah. Padahal kita tahu dalam
etika penyidikan, kalau ada kerabat yang dilaporkan, saudaranya yang
menjadi penyidik tidak boleh ikut melakukan penyidikan. Lantas mengapa
si Novel bisa tahu?
Lagipula, apakah Novel
Baswedan ikut jadi penyidik urusan Anies? Begini kronologinya. Anies
dilaporkan ke KPK bulan Maret 2017. Sedangkan Novel disiram pada bulan
April 2017. Apakah dalam sebulan, Novel bisa menyimpulkan bahwa Anies
ini tidak terlibat?
Kok kemarin ini dia bilang
Anies bersih dari korupsi? Ya inilah alasan saya meminta Novel agar dia
jadi ikon anti korupsi di Jakarta saja. Jadi kalau mau periksa Anies,
Novel bisa bantu urusan administrasinya. Tanpa harus membebani matanya.
Novel
disiram air keras awalnya membuat saya iba terhadap dirinya. Dan waktu
berlalu, saya mulai bosan dengan gerakan politiknya. Ternyata dia ini
mantan tersangka kasus sarang burung walet, yang katanya diduga
menganiaya pelaku.
Tapi ya boleh lah, kita
kasihan saja ke orang ini, di dalam kondisi matanya yang memburuk,
jangan paksa dia. Berikan dia jabatan komisaris di Jakarta. Mungkin
kata-kata dan ucapannya masih bisa digunakan untuk menyemangati Anies
dan para jajaran pemprov DKI Jakarta. Jakarta saja ya jangan yang lain.
Saya
berharap Novel bisa menerima keadaannya dan bisa menjadi orang yang
berguna di tempat lain. Memang kalau di KPK, Anda hanya disebut Bung
Neta S Pane sebagai polisi Taliban.
Polisi Taliban itu maksudnya apa sih? Saya sih tidak paham. Yang pasti, jangan sampai dikaitkan dengan yang aneh-aneh ya.
Frustasi!!! Novel, Tempo, Tirto Kolaborasi Serang Kapolri Tito Karnavian
Rupanya di tengah
kondisi putus asa lantara Perppu yang diminta KPK tak kunjung
diterbitkan, kini mereka menyasar orang terdekat presiden. Dalam berita
terbaru Tempo dan Tirto memberitakan kasus dugaan korupsi yang menjerat
Tito hingga menuduhnya seakan dalang kasus penyiraman Novel Baswedan.
Siapa
yang percaya dengan komplotan bajingan itu. Laporan dugaan korupsi 146x
lebih besar yang dilakukan Gubernur Anies maupun Dirut BUMN Sattar Taba
yang lebih besar 7x di Ibukota saja dibiarkan menguap. Semoga Tito
segera menindaklanjuti tuduhan keji pada dirinya dan menyeret komplotan
Novel keluar dari KPK beserta media-media murahan di belakangnya.
Tempo membuat Thread di twitter kemarin sore tanggal 17.10.19 pukul 15.48 dan diretweet 14.4k saat saya menulis artikel ini.
"[THREAD]
Masih ingat dengan buku merah?
Sebuah buku yang berisi catatan transaksi keuangan yang memuat nama Tito Karnavian dan sejumlah pejabat instansi pemerintah.
#IndonesiaLeaks #BukuMerah #RuangKolaborasiKPK #TGPF #TitoKarnavian #NovelBaswedan "
Tanggal 17.10.19 jam 12.00 Tirto terlebih dahulu membuat thread dan di retweet 24.9k saat saya menulis artikel ini.
1.Temuan
buku merah menyibak rentetan peristiwa pada April 2017: penyidik KPK
yang tasnya dirampok, perusakan buku merah oleh dua penyidik KPK dari
kepolisian, dan penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.
Simak laporan Indonesialeaks soal Buku Merah.
2.Salah
satu poin dari laporan TGPF adalah enam kasus yang mungkin bisa jadi
latar belakang penyerangan terhadap Novel Baswedan. Namun, ada satu
kasus yang tidak masuk dalam laporan akhir: Kasus buku merah milik
pengusaha impor daging Basuki Hariman.
3.Perusakan
buku merah dilakukan oleh Harun dan Roland Ronaldy, dua penyidik dari
kepolisian. Aksi perusakan itu terekam CCTV di Ruang Kolaborasi Lantai 9
Gedung KPK. Ada apa di dalam buku merah?
- 4 April 2017
Novel Baswedan menemui Kapolri Tito Karnavian.
Menjelang tengah malam, penyidik KPK Surya Tarmiani yang membawa dokumen
kasus Basuki Hariman, termasuk buku merah, dirampok.
7 April 2017
Buku merah dirusak oleh dua penyidik KPK.
5.Aksi
perusakan barang bukti buku merah di Ruang Kolaborasi lantai 9 gedung
KPK terekam CCTV. Selain itu, dalam rekaman CCTV, terlihat ada penyidik
KPK lain.
6.Buku merah mencatat dugaan aliran
uang, salah satunya ke Tito Karnavian. Novel lalu bertemu Tito untuk
mengklarifikasi isu bahwa KPK mengincar Tito.
Yang terjadi kemudian: perampokan laptop penyidik KPK, perusakan buku merah, & penyerangan Novel Baswedan.
Kemarin
malam tirto juga membuat artikel dengan judul "Teka Teki Buku Merah
Antara Novel, KPK, dan Pertemuan di Patimmura". Berikut linknya:
Ada
sesuatu yang sangat janggal dengan pemberitaan bertubi-tubi oleh Tirto
dan Tempo. Pertama bagaimana bisa CCTV di ruangan penyidik KPK bocor ke
tangan mereka. Kedua aliran dana yang katanya 1.2 milyar ke Tito
Karnavian kenapa baru dibuka saat ini.
Salah
satu komentar di cuitan Tempo menarik dipelajari untuk menjawab
kejanggalan di atas.Dari akun @makibao_indo menuliskan "Dulu Tempo
dijuluki wadah buletin pegawai KPK di kalangan wartawan karena selalu
dapat info yang bombastis membuat iri dikalangan wartawan lain. sekarang
Tirto naik pangkat. Eh ini edit bareng?"
#Tirto
#Tempo
#UUKPK
"Dulu
sempat kejadian ada wartawan tempo tertangkap satpam masuk lantai 8
gedung baru KPK dimana lantai tersebut merupakan area Direktorat
Pengawas Internal KPK. Padahal semua wartawan hanya dapat akses di ruang
media center."
Disertai link berita berjudul "Seorang wartawan Tempo ditangkap oleh Satpam di Gedung KPK".
Berikut ss beritanya:
Dulu
saya pernah menulis artikel berjudul "Terbongkar!!! Penyidik KPK
Membocorkan Data ke Media Tempo untuk Eksistensi Indonesia Leaks?"
Tulisan
saya dibaca 19.8k dan setelahnya beredar meme majalah Tempo dengan
cover wajah Novel ditutup tangan sambil tertulis "Novel Penjual Data ke
Indonesia Leaks".
Tempo rupanya ketakutan dan
memberitakan di kanal cek fakta atau hoaks. Bahwa cover majalahnya hoaks
dan narasi artikel yang saya tulis keliru. Tapi, Tempo tidak bisa
membantah tuduhan ada bocoran data korupsi dari komplotan penyidik Novel
ke mereka. Media mainstream seperti
suara.com juga ikut klarifikasi terkait cover majalah palsu tapi tak ikut mengomentari narasi artikel saya.
Melihat
fakta kalau mereka punya rekaman CCTV, seharusnya menjadi pertanyaan
besar kenapa KPK mulutnya bocor ke media. Kalau tahu ada perusakan
barang bukti atau pencoretan seharusnya menindak yang bersangkutan,
melaporkan pada ketua KPK lalu dibawa ke pengadilan bukan malah dibawa
ke Tempo.
Terkait tuduhan pada Tito Karnavian,
silahkan Tempo, Tirto dan KPK buktikan. Tapi, kalau itu semua tuduhan
palsu sebaiknya mereka semua menerima konsekuensi dari akibat pencemaran
nama baik. Sampai menuduh Kaporli Tito sebagai dalang penyiraman air
keras ini sungguh keterlaluan. Padahal dia selalu mendampingi Novel saat
dirawat di Singapura. Justru Novel yang tak mau bekerja sama dengan
menutup mulut tak mau menyebut ciri-ciri pelaku yang menyerangnya.
Novel
memang tak tahu balas budi. Dia berobat menggunakan dana dari presiden
tapi saat ada revisi UU KPK justru menyebut koruptor hutang budi pada
Jokowi. Mungkin Novel kena karmanya karena hobi membocorkan data ke
media Tempo hingga tak mau mempercayai semua orang selain Tempo.
Lalu
bagaimana dengan laporan dugaan korupsi Anies Baswedan senilai 146
milyar yang enggan ditindak lanjuti oleh KPK? Ini nilainya justru hampir
146 kali lipat.
Berikut fotonya:
.
Ini
justru KPK tebang pilih dalam menangani kasus korupsi. Ibarat gajah di
pelupuk mata tak tampak tapi kuman di seberang laut tampak.
Sekarang
Kapolri justru jadi sasaran kebencian KPK dan media murahan. Mengapa
Novel begitu membenci kepolisian tempat di mana ia dibesarkan sudah saya
jawab lewat artikel berjudul: Benang Merah antara Novel Baswedan, ICW,
dan Tempo Bertujuan Kuasai Lahan Basah di KPK" dengan link berikut:
Disitu
tertulis konflik awal antara Novel dan Aris Budiman yang sama-sama
berasal dari kepolisian di KPK. Artikel itu juga menjawab klan Novel
Baswedan menolak mati-matian Irjen Firli yang berasal dari kepolisian
dan bagaimana kerasnya Tempo beserta ICW membela posisi Novel dengan
menolak revisi UU KPK. Karena mereka memiliki lahan basah dan
kepentingan Novel untuk jadi polisi nomer satu tak ingin diganggu
siapapun termasuk DPR dan Pemerintah.
kenapa
Novel benci mantan institusi nya? Salah seorang teman angkatannya
mengatakan kalau Novel sakit hati. Dua kali gagal Sespim. Sejak itu dia
dendam dengan Polri. Dengan menjadi direktur penyidik KPK dan
mengendalikan KPK mungkin Novel bisa berimajinasi menyaingi Kapolri Tito
Karanvian.
Begitulah kura-kura.
Referensi:
Ada Nama “ANNAS’ dalam Rekam Jejak Terorisme di Indonesia
Arrahmahnews.com, Jakarta – Jejak terorisme ormas ANNAS (Aliansi Nasional Anti Syiah). Annas adalah ormas yang seringkali mendengungkan
isu-isu Sektarian
(Sunnah-Syiah) hanya untuk alat mereka menutupi gerakannya dari aparat
keamanan, isu Sektarian inilah yang telah menghancurkan Timur Tengah.
Densus 88 antiteror telah mengamankan 36
terduga teroris dalam bulan ini, dan lagi-lagi ditemukan rekam jejak
jaringan ANNAS (Aliansi Nasional Anti Syiah) salah satu tersangka
terduga teroris yang ditangkap di Bandung.
Baca: Denny Siregar: Bongkar Kebusukan Kelompok “ANNAS” Zombie Berwajah Islam
Barang bukti yang diamankan Densus 88 dari kediamana teroris Rizal Fathurrahman antara lain:
- Airsoft gun Glock beserta gotri (peluru)
- Gas isi ulang CO2
- Senjata tajam (Golok dan Clurit)
- Denah AA Convention
- Atribut Jundullah ANNAS
- Handphone Android
- Sebuah banner Rapat Kerja Jundullah ANNAS Pusat
- Sebuah kaos hitam lengan panjang Rescue Jundullah ANNAS
- Sebuah kaos hitam lengan pendek Jundullah ANNAS
Densus 88 Antiteror mabes Polri telah
menggeledah sebuah rumah terduga teroris di pemukiman padat penduduk di
Jalan 1 Gang III, RT 07 RW 02, Kelurahan Cijagra, Kecamatan Lengkong,
Kota Bandung Rabu (16/10/2019). Berdasarkan informasi yang dihimpun,
penggeledahan dilakukan sejak pukul 11.00 Wib terhadap warga Rizal
Fathurrahman.
Salah seorang warga, Rudi (43) mengaku
kaget dengan penggeledahan yang dilakukan Densus 88 di rumah salah
seorang warga bernama Rizal Fathurrahman. Ia mengaku tidak terlalu
mengenal sosok yang rumahnya digeledah.
“Orangnya tertutup dan tidak semua orang tahu. Bahkan orang disini gak pada tahu,” ujarnya saat ditemui dilokasi penggeledahan.
Baca: “ANNAS” Organisasi Intoleran Catut Nama Nu Ajak Musuhi Kelompok Lain
Menurutnya, sosok Rizal Fathurrahman
merupakan warga asli setempat. Ia menduga sosok Rizal Fathurrahman
dikenal tertutup sejak banyak mendalami agama dan jarak keluar rumah.
Bahkan dalam kesehariannya, yang bersangkutan sering menggunakan jubah
termasuk istrinya yang menggunakan cadar sehari-hari.
Pada tanggal 7 Juni 2017 Densus 88
antiteror juga telah mengamankan tiga orang terduga teroris di Jl Jermal
XII, ternyata anggota organisasi masyarakat (Ormas) Islam di Medan,
Sumatera Utara (Sumut).
Informasi yang diperoleh SP,
Rabu (7/6) malam, terduga teroris itu adalah Azzam Alghozi alias Abu
Yakub (48) merupakan Ketua Laskar Forum Umat Islam (FUI) Sumut.
Baca: Sekjen ISNU: Wahabi dan Barat Hancurkan Islam dengan Isu Sektarian dan Palsukan Hadis Aswaja
Kemudian, Reza Aldino (38) adalah pengurus Laskar Jundulloh Annas Sumut dan Jhon Hen mantan pengurus Majelis Mujahidin Sumut.
Ketiga orang itu juga disebut-sebut
turut ikut dalam melakukan aksi demo besar-besaran di Medan, saat
munculnya kasus dugaan penistaan agama, beberapa bulan lalu.
Selayaknya pihak aparat keamanan
mewaspadai gerakan-gerakan ormas radikal dan salah satunya ANNAS
(Aliansi Anti Syiah) yang sangat berbahaya bagi stabilitas keamanan
negara. (ARN)
Simon Syaefudin: IPB dan Kaum Radikal
Arrahmahnews.com, Jakarta –
Ideologi radikal telah membahayakan kebangsaan kita yang sangat beragam
saat ini, ideologi ini telah menciptakan bibit-bibit terorisme dan
sangat anti Pancasila dan demokrasi karena mereka menganggap demokrasi
bukan produk Tuhan tapi produk manusia dan mereka mengkhayalkan sebuah
negara yang agamis, padahal Tuhan dan Nabi-pun tidak memerintahkan
kepada manusia untuk membuat negara Khilafah, dan yang lebih miris lagi
kampus-kampus elite menjadi sarang bagi kelompok radikal ini, contoh
nyata dosen IPB.
Seorang pegiat medsos
Simon Syaefudin membuat sebuah analisa menarik tentang dahsyatnya gerakan kelompok radikal di kampus-kampus elit di negeri ini.
Baca: Waspada Proyek Ideologi Radikal Wahabi di Sekolah dan Kampus
IPB jadi bulan-bulanan pasca perakit bom
AB (Abdul Basith) tertangkap. Saya sebenarnya udah lama memberitahu
teman-teman dosen IPB soal kebijakan kampusnya yang aneh-aneh.
Menerima hafidz/penghapal Quran tanpa
tes. Memisahkan mahasiswa/mahasiswi dlm ruang kuliah. Membiarkan
kelompok HTI/kader PKS menguasai kelembagaan mahasiswa. Membiarkan dosen
mengajar pakai gamis. Macam-macamlah. Karena kaum islamist/radikal
menguasai hampir setiap kelembagaan di
IPB, hampir semua kebijakan dipengaruhi mereka. Lalu muncullah bom made in IPB yang menghebohkan itu.
Saya sama sekali tidak kaget. Itu hanya konsekwensi yang telah lama dipupuk oleh civitas akademika
IPB sendiri. Masih puluhan bahkan ratusan orang semacam AB yang bercokol di IPB.
Baca: Abdul Basith, Dosen IPB Pembuat Bom Molotov yang Akan Bikin Chaos Jakarta saat Aksi Mujahid 212
Apakah fenomena seperti itu hanya ada di
IPB?
Tidak. BNPT merilis sejumlah PTN yang terpapar radikalisme. Di
antaranya UI, ITB, dan UGM. UI, ITB, dan IPB pantas radikal karena
selama bertahun tahun di bawah wilayah kekuasann gubernur PKS. Bahkan
UI, 15 tahun lebih berada di bawah naungan Pemkot Depok (PKS) yang telah
mengislamiskan seluruh infrastruktur dan jaringannya.
<span
data-mce-type="bookmark" style="display: inline-block; width: 0px;
overflow: hidden; line-height: 0;"
class="mce_SELRES_start"></span> TERUNGKAP SIAPA SEBENARNYA BIANG KERUSUHAN KEMAREN, silahkan klik videonya di link berikut ini :
https://youtu.be/wTIB1t_evYE
Dalam sebuah diskusi tentang radikalisme
di Gedung Joang Jakarta beberapa waktu lalu, seorang pembicara, sebut
saja Assegaf namanya, menceritakan betapa ASN Depok sudah ketularan
islamisasi ala Suriah dan Afghanistan. Ia juga menceritakan alamaternya
ITB, yang ditunggangi kaum radikal. Assegaf menceritakan bagaimana
seorang guru besar ITB menganggap bahwa Indonesia seharusnya jadi negeri
Islam. Bukan Pancasila. Di WAG dosen dosen ITB, kata Assegaf, bau
radikalisme amat menyengat.
Baca: Eko Kuntadhi: Sri Mulyani Kibarkan Bendera Perang Lawan ASN Eksklusif
UGM masih mendingan. Tak mengadopsi
kebijakan aneh seorang hafidz masuk UGM tanpa tes. UGM cepat tanggap
dengan fenomena ini. Masjid kampus UGM, misalnya, yang dulu dikuasai
kelompok radikal sudah disterilisasi. Bahkan masjid UGM sekarang sering
dipakai untuk dzikir, shalawatan, istighasah – ritual-ritual yang
diharamkan kaum wahabi salafi pro PKS yang menguasai masjid kampus. Tapi
tetap perlu diwaspadai, dosen-dosen radikalis di UGM masih cukup
banyak.
Saya jadi ingat disertasi Muhamad
Hendropriyono, mantan Kepala BIN. Dalam disertasinya Hendro menyebutukan
PKS adalah partai yang berideologi Al Ikhwanul Muslimin kreasi Hasan Al
Banna. Pedoman PKS sampai hari ini masih Al Ikhwan. Ia, sebelum kuat,
bergerak melalui jalur pendidikan. Saya duga mayoritas SD IT sampai SMA
IT, termasuk Bimbingan Belajar Nurul Fikri, bukan hanya sekolah biasa,
tapi saya duga sarana pembibitan Al Ikhwan. Dan anda jangan kaget,
hampir semua teroris top adalah jebolan kelompok ini. Osama Bin Laden
misalnya adalah murid Ayman Al Jawahiri, tokoh Al Ikhwan.
Seorang direktur perusahaan konstruksi,
sebut saja Ani, pernah mengeluh kepada saya. Salah seorang karyawannya
ketahuan membuat peluru dengan memanfaatkan mesin bubut yang
dikuasainya. “Setelah saya lacak dia dari partai anu Mas Simon”,
ujarnya. Karyawan berjenggot dan berjidat item itu kabur sebelum
dipecat.
Baca: TERBONGKAR! Taktik Busuk Ikhwanul Muslimin yang Ingin Suriahkan Indonesia
Anda masih ingat ketika ribut undangan
ceramah Felix Siauw di Menara Telkomsel? Ya… Salah seorang direktur
Telkomsel tersebut alumni SMA I Teladan Yogya. Dan dia diduga beraliran
radikal pro-HTI. Di FB Kagama ada yang bertanya, masihkah SMA Teladan
Yogya patut diteladani kalau para alumninya banyak yang terpapar
radikalisme?
Pak Haryoko, seorang konsultan SDM,
mengaku sekarang ini banyak perusahaan besar yang cemas ketika mau
investasi dan merekrut karyawan di Indonesia. Pasalnya, justru calon
karyawan yang pintar-pintar ini ideologinya banyak radikal. Makanya Pak
Haryoko sering diminta nasehatnya dalam hal rekrutmen karyawan tersebut.
Dengan instrumen canggih, kata Haryoko, timnya bisa melacak jejak
digital calon naker atau calon pejabat yang akan dinaikkan pangkatnya.
Yang radikal langsung disingkirkan.
Menurut Haryoko, sekarang ini
orang-orang terpapar radikalisme di Indonesia sudah mencapai 7 persen.
Udah mendekati titik kritis 10 persen. Jika udah mencapai titik kritis,
akan susah dicegahnya karena pertambahannya deret ukur.
Baca: BNPT: Kampus Tak Aman dari Virus Radikalisme
Saya kira pemerintahan Jokowi harus
harus mewaspadai fenomena ini. Dosen/dekan/rektor yang terindikasi
radikal (bisa dilacak dari jejak digitalnya dan polisi sudah punya alat
canggih untuk merunutnya) harus ditendang. Kemendiknas juga perlu
mengatur sekolah sekolah IT dan mengawasinya secara ketat. Bila perlu
ada kebijakan baru. Setiap sekolah harus mengikuti pedoman sistem
pendidikan dan buku ajar yang telah terverifikasi. Jangan sampai
kecolongan ada buku ajar yang isinya materi berbau terorisme yang pernah
ditemukan di Depok.
Saya tak ingin menuduh semua kaum
anti-jokowi berafiliasi dengan kaum radikal. Tapi simtomnya kentara.
Saya dan teman-teman pro-Jokowi siap membela presiden terpilih jika ada
kelompok-kelompok anarkis dengan alasan yang dibuat-buat hendak
mendeligitimasinya. Hidup Jokowi. Ayo kita benahi negeri agar tidak
menjadi Indonestan dan indosuriah. (ARN)
Radikalisme di dunia pendidikan
Re-post by
MIGOBERITA / Sabtu/19102019/10.56Wita/Bjm