» » » » » » HARAPAN itu masih Ada !!!

HARAPAN itu masih Ada !!!

Penulis By on Jumat, 17 April 2020 | 1 comment

KITA MULAI MEMBAIK

Jakarta - “Jumlah yang sembuh 548 orang.." Begitu pengumuman di televisi. Senang mendengarnya, ditengah kesedihan karena ada 498 orang yang meninggal. Senang karena ada harapan ditengah ketidakpastian situasi ini.
Saya senyum ingat beberapa waktu lalu, banyak orang yang mendadak jadi ahli statistik. Asumsi mereka pun bombastis sekali, "Perkiraan tengah bulan April, korban akan mencapai puluhan ribu orang..". Bahkan ada yang bilang, "Pak Presiden, siapkan kuburan massal.."
Dan - seperti biasa - negara lain dijadikan acuan jumlah korban yang meninggal. Angkanya gada yang kecil, selalu ribuan bahkan puluhan ribu. Seolah gagah dengan memposting angka-angka itu.
Dan sekarang mereka yang kemarin jadi ahli statistik itu terdiam. Situasi ini tidak seperti yang mereka harapkan. Mereka meremehkan daya juang semua pihak yang ada di lapangan. Narasi ketakutan mereka hilang bagai kentut di dalam bus, bau tapi cuman sebentar.
Begitu juga ekonomi..
Rupiah sudah keluar dari angka psikologis Rp. 16 ribu. Pemerintah sudah menyiapkan banyak paket supaya negeri ini tetap bergerak meski pelan. IMF sudah memprediksi bahwa Indonesia adalah satu dari 3 negara di Asia yang akan bertahan dari resesi global.
Meski di dalam negeri, dampaknya juga luar biasa. PHK dimana-mana, karena aktivitas berhenti. Tapi kita akan segera melalui situasi ini dengan baik, saya yakin itu.
Apa sebenarnya yang kita butuhkan sekarang ?
Kepercayaan. Kepercayaan bahwa diluar sana ada orang2 yang bekerja dan tidak tinggal diam. Orang2 yang juga tidak ingin negeri ini hancur berantakan.
Mereka memang tidak sempurna dan pasti banyak kesalahan. Situasi ini baru pertama kita alami, jadi wajar masih pada bingung bagaimana mengatasinya. Tapi pelan-pelan mereka beradaptasi dan mulai menemukan pola solusi.
Kepercayaan itu menimbulkan harapan. Dan harapan itulah yang membuat tubuh kita kuat dan terus bergerak.
"Apa bang contohnya harapan ?"
Harapan itu contohnya, ketika seorang Wagub DKI diwawancara televisi, dia bilang kalau dia itu Wapres. Itu harapan.
"Itu namanya keseleo, banggg... "
Entahlah. Mungkin bagi dia itu harapan. Mending seruput kopi aja..
Corona Statsitik Corona Indonesia
Sumber : https://www.dennysiregar.id/2020/04/kita-mulai-membaik.html

3 Kelompok Bandit yang Mau Covid Bertahan Lama

Sesuai janji, kali ini saya akan membahas 3 kelompok yang menginginkan agar corona di Indonesia bertahan selama mungkin. Kalau bisa selama-lamanya. Kelompok ini bukan sekelas bakul masker atau pedagang musiman lainnya seperti APD dan disinfektan. Ini lebih dari itu, yang lebih sistemik dan berbahaya.
Pertama, adalah kelompok orang yang mengais rejeki di tengah musibah. Kelompok ini bergerak di bidang penjual obat-obatan. Jadi semakin lama pasien dirawat, semakin besar pula keuntungannya.
Selain itu, mereka yang bergerak di sosialisasi, hingga penggalangan donasi yang tak jelas nama yayasannya, bahkan dikirim ke rekening pribadi, juga sedang menikmati sekali masa-masa seperti ini. Uang mengalir deras tanpa perlu kerja keras. Diam di rumah jadi lebih asyik karena rekening terisi dan bebas diotak-atik.
Kedua, adalah kelompok para pedagang alat kesehatan. Harga ventilator itu mahal sekali. Gap keuntungan yang bisa didapatkan bisa cukup signifikan. Maka jangan heran kalau banyak orang berlomba-lomba menjadi pihak yang bertanggung jawab mengadakan barang-barang ini. Bukan karena betul-betul peduli terhadap bangsa ini, tapi karena melihat peluang yang bagus dari sisi keuntungan.
Jangan heran pula kalau ada dokter yang tanpa malu menyalah-nyalahkan pemerintah yang membeli alat rapid test. Lalu mengusulkan perbanyak PCR, bahkan merekomendasikan produk tertentu. Ditayangkan di teve nasional. Sebagian orang menganggap dia begitu luar biasa, hebat dan jujur. Padahal, dokter tersebut sedang mengendorse alat-alat kesehatan. Dan supaya menarik perhatian, diseranglah pemerintah dan diminta untuk tidak melanjutkan rapid test.
Kelompok ketiga, adalah kelompok orang yang mau hebat sendiri di mata Presiden, demi mempertahankan kekuasaannya, atau meningkatkan posisi tawarnya. Orang-orang ini adalah pejabat elite.
Kalau misal ada solusi atau saran yang bagus, maka saran tersebut harus menjadi idenya. Dia harus pelajari dan memahami, agar bisa menyampaikan pada Presiden sebagai ide dan gagasannya. Masalahnya, mereka ini tak paham semua bidang. Sehingga banyak ga pahamnya. Maka hasilnya berantakan. Usulan gagal dijalankan, karena tidak melibatkan pihak yang punya gagasan dengan segala pemahaman detailnya.
Ketiga kelompok ini saya temui di sela-sela memantau tim dokter yang mengupayakan terapi plasma konvalesen. Mereka ga mau terapi ini berjalan lancar karena pasti akan memangkas banyak penggunaan obat-obatan.
Begitu juga dengan kelompok pengadaan alat-alat kesehatan yang fantastis itu. Kalau terapi plasma konvalesen berjalan dan efektif, maka alat yang dibutuhkan sebenarnya bukan lagi ventilator. Tapi plasmapheresis. Dan dampaknya adalah, pengusaha yang terlanjur pesan ventilator untuk pengadaan menghadapi corona mungkin akan ditunda dulu.
Saat wabah corona, mungkin hanya mereka yang sedang berjaya. Di saat pengusaha yang lain harus berjuang memangkas pegawai, mencari cara agar tidak bangkrut, tapi para bandit medis ini sedang berpesta pora. Jadi wajar kalau berharap corona ini bisa lama. Dan mereka mengupayakan betul agar wabah ini tak cepat berlalu.
Pihak-pihak yang sedang berupaya keras menyembuhkan pasien harus dihentikan. Tak boleh ada cara penanganan baru dengan alasan melanggar undang-undang atau aturan. Kalaupun ada, harus dipersulit. Jika dasarnya memang sudah sulit, maka harus lebih dipersulit lagi.
Para bandit ini tak peduli dengan jumlah korban yang meninggal. Yang penting wabah corona bisa berlangsung lama. Dan kabar buruknya, mereka juga didukung oleh banyak pengamat bayaran. Yang membuat pernyataan provokatif dan menakut-nakuti masyarakat.
Semakin warga ketakutan, semakin lama PSBB, semakin gencarlah mereka tampil sebagai pahlawan kesiangan. Datang dengan wajah prihatin dan seolah peduli, coba memberi masukan dan saran. Padahal sejatinya, yang mereka pikirkan hanya kucuran anggaran APBN.
Jangan salah, mereka ini orang-orang cerdas di bidangnya. Ada yang mengusulkan biaya penelitian ditingkatkan. Ada yang mengusulkan anggaran alat kesehatan ditambah. Mereka tak peduli kalau usulan-usulan tersebut tak membawa dampak. Maka jangan heran kalau yang terjadi di lapangan hanyalah kegiatan formalitas yang sebenarnya di luar instruksi Presiden.
Lihatlah di bandara, kertas-kertas kuning yang disuruh diisi oleh penumpang, hanya dibiarkan menumpuk begitu saja. Cuma menambah daftar ODP karena alasan baru datang dari Jakarta. Lumayan buat nakut-nakuti publik.
Lihat pula scanner di daerah yang asal-asalan. Yang tak tahu sama sekali bahwa suhu tubuh berkisar 36 sampai 37. Lebih dari itu, atau kurang dari itu, berarti tidak normal. Tapi bukankah kita sering mendengar petugas bilang, suhu kita 34? Ya peduli apa, yang penting kerja dan dapat gaji tambahan.
Para bandit ini harus diamankan. Diwaraskan agar memiliki satu tujuan yang sama, menyelesaikan wabah. Tapi kalau tak bisa diwaraskan ya harus dilawan dan dikalahkan. Begitulah kura-kura.
3 Kelompok Bandit yang Mau Covid Bertahan Lama
Sumber : https://seword.com/umum/3-kelompok-bandit-yang-mau-covid-bertahan-lama-seLIm81X4I

Lebih Kenal dengan Orang China di Masa Corona-2

Pada minggu-minggu awal merebaknya Corona di Jakarta, sebuah pesan masuk ke HP kami. Sahabat keluarga kami, seorang Ibu yang juga seorang dokter mengungkapkan kekuatirannya dan mohon dukungan doa untuk putri tunggalnya.
Putrinya juga seorang dokter dan baru setahun bekerja di sebuah rumah sakit di Jakarta setelah praktik lapangan di beberapa daerah. Dia juga pengantin baru.
Di rumah sakit tempat putrinya bekerja ternyata sudah ada sejumlah pasien yang positif tertular Corona. Dan lima dokter sudah menunjukkan gejala tertular dan harus menjalani karantina dan pengobatan. Putri sobat kami harus makin jatuh-bangun dengan dokter-dokter lain menangani pasien-pasien di RS, termasuk mereka yang positif Covid-19.
Persediaan alat-alat pelindung diri (APD) saat itu masih sangat terbatas. Itu sebabnya, Ibunya sangat kuatir kalau putrinya tertular. Dia sempat berpikir agar putrinya cuti sementara. Tetapi, dia sadar bahwa itu bukan jalan keluar yang tepat. Putrinya justru sedang sangat dibutuhkan keahlian dan pengabdiannya di rumah sakit.
Yang dapat dia lakukan hanya khusyuk berdoa mohon perlindungan Tuhan dan sering-sering mengirimkan makanan bergizi agar kesehatan putrinya tidak merosot; serta mohon dukungan doa dari para sahabat.
Ungkapan kekuatiran yang sama juga saya terima beberapa hari lalu dari sahabat masa remaja di Surabaya tahun 1970-an. Sebut saja namanya Anto. Dia dokter dan putri bungsunya juga dokter. Putrinya bekerja di rumah sakit di bagian IGD. Dan benar…dia harus berhadapan dengan kasus-kasus Corona.
Istri Anto sempat meminta putrinya cuti sementara. Tetapi, putrinya tetap teguh dengan panggilannya untuk melayani para pasien, apapun penyakitnya.
“Aku ini dokter, Ma… Melayani pasien, merawat dan mengobati adalah pekerjaanku. Apa kata orang bila aku melarikan diri dari tanggung-jawabku sebagai dokter?”
Anto bersyukur dan sangat terharu atas komitmen putrinya untuk melayani orang lain yang membutuhkan. “Saya menangis bahagia,” Anto mencurahkan isi hatinya. “Saya bangga sebagai ayahnya; meskipun saya juga kuatir.” Dia hanya bisa berpesan agar putrinya menjaga kesehatan baik-baik, memakai APD yang sesuai, makan bergizi dan tetap gembira.
Kedua sahabat di atas dan putri-putrinya adalah keturunan China. Putri-putri mereka ada di garis terdepan untuk melayani pasien-pasien yang sangat membutuhkan, termasuk mereka yang positif Corona.
Dokter-dokter serta perawat keturunan China – entah berapa banyak jumlahnya -- ada bersama dengan ribuan dokter dan perawat dari semua ras dan etnis yang ada di Indonesia untuk meredam dampak serbuan Corona. Mereka bahu-membahu dan tanpa lelah mendampingi, mengobati, merawat dan menyembuhkan ribuan masyarakat yang sudah positif terserang virus Corona.
Banyaknya korban yang sudah meninggal pasti sangat menghancurkan hati mereka, apalagi para pasien Corona tidak bisa didampingi oleh keluarganya. Para dokter dan perawat inilah yang jadi saksi mata ketika satu demi satu pasien yang dirawatnya gagal untuk bertahan.
Sebaliknya, mereka juga ikut bersukacita ketika pasien-pasien yang sembuh terus makin meningkat jumlahnya. Itu ‘bayaran yang sepadan’ atas segala perjuangan, pengorbanan, dan kenekadan mereka untuk merisikokan keselamatan dirinya sendiri bagi para pasiennya.
Apa yang bisa kita simak dari kisah-kisah di atas? Sama seperti kisah-kisah yang kita baca sejak kelahiran negara Indonesia, masyarakat keturunan China telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan negara dan bangsa Indonesia. Mereka berjuang bersama ras dan suku-suku lain di Indonesia untuk memajukan Indonesia.
Dalam berbagai bidang kehidupan, mereka dengan keahlian dan pengabdiannya masing-masing telah memberi kontribusi nyata bagi kemajuan negaranya.
Kalau selama ini muncul stigma atau penggeneralisasian bahwa orang China itu brengsek, sering menghalalkan segala cara, sering KKN, dan sejenisnya, mungkin tidak sepenuhnya salah. Memang cukup banyak kasus semacam itu di masa lalu – dan mungkin masih ada sedikit di masa kini – sehingga stigma semacam ini mencuat.
Namun, kalau kita mau memakai mata hati secara jernih, praktik KKN, menghalalkan segala cara, dan semacamnya juga dilakukan oleh pribadi-pribadi dari berbagai ras dan suku lain yang ada di negara kita, khususnya pada dekade-dekade sebelumnya ketika praktik semacam itu mendapatkan lingkungan yang cukup subur untuk terjadi.
Kini saatnya kita menatap masa depan. Dengan adanya aturan main yang lebih transparan di berbagai bidang, kesempatan untuk korupsi dan kongkalikong sudah semakin menipis. Berbagai urusan perijinan atau penguruan dokumen semakin jelas ongkosnya, bahkan banyak yang sudah digratiskan, seperti KTP.
Mengurus paspor, misalnya, tidak perlu uang ‘pelicin’ lewat calo dan oknum seperti di masa lalu. Ongkos yang harus dibayar dan waktu yang dibutuhkan tertera dengan jelas. Saya dan keluarga merasakan secara langsung bedanya ketika mengurus paspor beberapa waktu lalu. Nyaman dan lancar sekali karena sangat jelas aturannya.
Daripada terpaku pada stigma negatif akibat masa lalu, ada baiknya kita belajar menyerap unsur-unsur positif yang sering tumbuh subur di kalangan masyarakat China yang bisa berguna untuk masa depan.
Salah satu yang sangat layak diserap adalah kerelaan untuk bekerja keras dan menunda kenikmatan hidup. Orang China dikenal sangat ulet, tidak mudah menyerah, dan berani bekerja jauh lebih keras dari orang lain untuk meraih keberhasilan. Mereka rela tidak bernikmat-nikmat dahulu demi meraih impiannya.
Rudy Hartono, pemain bulutangkis yang merajai dunia pada dekade 1970-an, sejak kecil digembleng ayahnya secara maraton di Surabaya. Tiap subuh dia harus bangun dan harus lari di belakang sepeda yang dikayuh oleh ayahnya, entah berapa kilo yang harus ‘dilalap’ oleh kaki-kakinya yang masih muda. Semua masih harus dilanjutkan dengan berlatih berjam-jam di lapangan badminton. Bertahun-tahun.
Kerja keras, kerelaan dan pengorbanan Rudy akhirnya membawa nama harum bukan hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi negaranya: Indonesia. Dia juara All England hingga delapan kali! Rekor ini belum ada yang mampu memecahkan hingga 50 tahun kemudian. Mendekati pun belum ada.
Perjuangan yang sama juga telah dilakukan oleh Susi Susanti dan Alan Budikusuma, peraih medali-medali emas pertama bagi Indonesia pada Olimpiade Barcelona 1992. Berkat kerja keras dan perjuangan mereka Indonesia tercatat diantara negara-negara yang sudah merasakan nikmatnya emas Olimpiade: Terbaik di dunia.
Tentunya banyak pula pebulutangkis hebat yang bukan keturunan China yang telah membanggakan Indonesia. Ada Ferry Sonneville, Icuk Sugiarto, I’ie Sumirat, Taufik Hidayat, Sigit Pamungkas, Antony S. Ginting dan banyak lagi, belum termasuk beberapa pebulutangkis putri.
Mereka bisa berjaya karena juga sudah berani memeras keringat – sama seperti rekan-rekannya yang keturunan China yang dikisahkan di atas. Bertahun-tahun.
Hidup ini biasanya tidak ada yang instan. Kita harus berani bangun sedini mungkin dan berjuang tanpa kenal lelah untuk meraih impian kita.
Dunia modern dan terobosan teknologi memang menawarkan peluang untuk meraih keberhasilan secara lebih cepat, seperti apa yang kita lihat dari melambungnya Tokopedia, Gojek, Bukalapak, dan sejumlah perusahaan 'milenial' lainnya. Tetapi, semua juga membutuhkan kerja keras, kerja cerdas, dan penguasaan akan ilmu yang menjadi tulang-punggung industri atau jasa yang ingin kita masuki.
Peluang untuk meraih keberhasilan bukan lagi ‘monopoli’ masyarakat keturunan China dan suku-suku tertentu saja. Semua ras dan suku yang hidup di Indonesia kini punya kesempatan yang sama.
Saya sendiri merasa takjub ketika pemerintah menjemput para pelajar dari Wuhan yang terdampak oleh Corona. Demikian banyak, bahkan hampir seluruhnya, bukan keturunan China seperti yang semula saya bayangkan. Mereka ternyata kaum muda berbagai suku asal Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain...dan mayoritas Muslim.
Mereka tidak terbelenggu stigma masa lalu. Mereka benar-benar merealisasikan semboyan: ‘Tuntutlah ilmu hingga ke negeri China’ yang memang sering terdengar di kalangan masyarakat Muslim.
Pada saat yang sama, masyarakat keturunan China di Indonesia juga mensyukuri peluang-peluang yang makin terbuka untuk berkontribusi di bidang-bidang di luar dunia bisnis dan olahraga. Makin banyak pemuda-pemudi China yang bergabung jadi tentara, polisi, masuk ke dunia politik, konservasi lingkungan, dan bidang-bidang lain yang dulu dianggap bukan porsi mereka.
Di bidang olahraga, kita sudah sama-sama merasakan kebanggaan dan kebersamaan sebagai bangsa Indonesia melalui pasangan ‘gado-gado’ Markis Kido dan Hendra Setiawan ketika mereka memenangi emas Olimpiade Beijing 2008 atau Mohammad Ahsan-Hendra Setiawan ketika mereka memenangi Juara Dunia hingga tiga kali (Photo ilustrasi).
Semoga keseimbangan kesempatan yang makin terbuka di berbagai bidang – dan keberanian untuk saling belajar dan bersatu seperti Kido-Hendra atau Ahsan-Hendra – akan makin memperkuat dan membawa kemajuan Indonesia di masa depan. 
Lebih Kenal dengan Orang China di Masa Corona-2
Sumber : https://seword.com/sosbud/lebih-kenal-dengan-orang-china-di-masa-corona2-dQBryjskja

Wabah Corona : Kita tidak Akan Bisa Duduk Santai Seperti Hari Ini lagi...

Merenung lama setelah membaca 3 tulisan Kakak Pembina yang beruntun dilansir hari ini… terkejut dan ga nyangka, itu reaksi pertama yang saya rasakan. Lalu saya mencari-cari informasi tambahan. Dan ternyata memang sangat mengenaskan kondisi mental bangsa ini. Corona sudah mereka jadikan kendaraan pula untuk meraih tujuan mengabaikan penderitaan rakyat Indonesia.
Bisa dibilang, Jokowi adalah orang baru di panggung perpolitikan Indonesia. itu adalah satu fakta dan tak bisa dibantahkan. Selama sepuluh tahun menjadi Walikota dan dua tahun menjadi Gubernur Jakarta, Jokowi hanya tahu empat hal, yaitu kerja, kerja, kerja dan warga. Lalu dia sekarang menjadi Presiden Indonesia. Dan ternyata keempat hal yang dia ketahui selama menjadi Walikota dan Gubernur Jakarta, sudah tidak kompetabel lagi untuk diterapkan ketika menjadi Presiden Indonesia.
Corona telah membuka mata kita.
Bukan tanpa dasar dan alasan mengapa Kakak Pembina menurunkan 3 tulisan berturut-turut tentang corona yang dikaitkan dengan keadaan luar dan dalam Istana Merdeka. Dan tulisan dia yang terakhir cukup menampar bahwa ternyata banyak manusia jahat di dalam lingkaran pentingan penanganan wabah corona.
Saya sedih melihat Bapak Presiden kita yang sepertinya memang menyadari sadar dia dikelilingi begundal-begundal, orang-orang tua yang tak sadar bahwa hidup ini hanya sementara. Tapi apa daya? Dia hanya orang baru yang karena empat hal di atas dipercaya oleh partai untuk mematahkan Prabowo. Ya, ternyata Jokowi diusung jadi Presiden hanya sebatas untuk mematahkan Prabowo, bukan benar-benar untuk membawa Indonesia menjadi bangsa yang besar dan maju.
Lalu kita yang menjadi rakyat, lebih tidak bisa apa-apa lagi! Padahal Undang-Undang mengatakan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Sayangnya, ketika Jokowi sudah menapak di jalan yang benar memajukan bangsa dan Negara ini, kedaulatan tertinggi itu, digunakan oleh ‘rakyat’ untuk menjegal Jokowi agar Indonesia tetap tidak maju.
Corona sudah membuka kedok Indonesia.
Pengusaha selain pengusaha obat-obatan dan alat-alat kesehatan sudah mulai memberikan peringatan bahwa jika wabah corona ini tidak teratasi hingga bulan Juni, maka mereka pun akan menjadi bagian dari rakyat yang harus disantuni.
Belum lagi munculnya ancaman dari kelompok Anarko Vandalisme yang katanya mau melakukan penjarah dan pembakaran di seluruh Indonesia BESOK! Bayangkan, BESOK!! Kalau itu sampai kejadian, tanggal 18 April 2020 terjadi pembakaran dan penjarahan di seluruh Indonesia, apa yang akan terjadi kemudian di tanggal 19 April 2020? 20 April 2020? Tanggal 1 Juni 2020???
Apakah kita akan bisa lagi santai seperti hari ini? Apa saya masih bisa duduk tenang menuliskan apa yang saya pikirkan tentang negeri ini? Apa anak saya masih bisa duduk berjauhan dengan saya? Apa kalian masih bisa melakukan apapun yang kalian lakukan dengan tenang di hari ini?
Kenapa hal-hal lain di luar permasalahan wabah corona jadi lebih menakutkan? Mengapa 277 kepala daerah masih belum mengalokasikan dana untuk corona? Mengapa di Indonesia begitu banyak orang-orang yang hobi mencuri kesempatan dalam kesempitan dan himpitan pandemic dunia?
Ketakutan bangsa Indonesia di tengah wabah corona sepertinya berbeda dengan ketakutan bangsa lain di Negara lain…
Hari ini saya bicara dengan tante saya di Jenewa, Swiss. Lalu kita saling bertanya “comment ca-va toi, la-ba (apa kabarmu, di sana)?” dan yang dia ceritakan adalah kesulitannya karena sudah benar-benar terkurung berminggu-minggu walaupun makanan dan semua kebutuhan sehari-hari selalu dikirimi dari kelurahannya. Dan ketika saya yang harus menjawab pertanyaannya tentang kabar saya di Indonesia sini, saya tiba-tiba merasa kesulitan untuk bercerita. Karena apa yang saya rasanya bukan kekhawatiran akan virus corona. Yang berkecamuk di kepala saya adalah kekhawatiran jika Presiden Jokowi akhirnya tak bisa bertahan karena terus menerus ditusuk dari belakang oleh orang-orang di sekeliling dia yang melihat corona adalah peluang, kesempatan, celah untuk memperkaya diri dari banyaknya korban yang berjatuhan dan meninggal.
Saya yakin seyakin-yakinnya, bagi Jokowi sendiri, dia tidak akan merasa rugi jika akhirnya perjuangan dirinya untuk membuat Indonesia menjadi milik bangsanya sendiri, bukan milik para elit dan para mafia, harus berhenti di tengah jalan. Tapi bagi kita, rakyat Indonesia, kerugian itu bisa sampai tujuh turunan!!
Dan sekali lagi, kita tidak akan bisa lagi merasakan ketenangan dan kecemasan seperti hari ini…. Jika sampai kita membiarkan Negara ini terus dikuasai oleh para pencoleng dan mafia, besok lusa kekhawatiran kita hanya satu, bagaimana menyelamatkan nyawa dan keluarga. Tak lagi berpikir bagaimana besok kita akan makan.
Corona adalah wabah corona. Tak ada hubungannya dengan politik dan agama. Tidakkah kita ingin hidup di Negara yang secara hakiki menjadi “rumah kita”? Ya, kita wajib berdoa dan meminta perlindungan Tuhan, tapi tidak juga dengan cara berkumpul menantang Tuhan untuk mengabulkan do’a yang dipanjatkan TANPA kehati-hatian!!
Corona mengajarkan kita
https://www.youtube.com/watch?v=FE3W87QAsvs
Wabah Corona : Kita tidak Akan Bisa Duduk Santai Seperti Hari Ini lagi...
Sumber Utama : https://seword.com/urusan-hati/wabah-corona-kita-tidak-akan-bisa-duduk-santai-ek1VY42rkS

Ustaz Ini Banyak Gaya, Sebut Virus Corona Hanya Serang Orang Munafik

Masih banyak rupanya orang-orang konyol yang mencari panggung di tengah wabah corona dengan cara yang sangat menggelikan, entah itu orang awam, politisi, pejabat bahkan pemuka agama sekali pun.
Media sosial kembali dihebohkan oleh pernyataan kontroversial seorang ustaz. Adalah Ustaz Yahya Waloni yang baru-baru ini dalam ceramahnya mengatakan virus corona hanya menyerang orang munafik.
Selain mengeluarkan statement konyol itu, dia juga menyindir Raja ketujuh Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz Al-Saud karena menutup Kota Mekkah. "Orang Arab pun jadi pengecut. Raja Salman pun kehilangan iman. Kosong Mekkah, enggak ada yang berani umrah. Saya bilang Mekkah yang sekarang ini sudah hilang keislamannya," kata Yahya.
"Saya datang dari sana sampai duduk di sini tidak ada saya lihat yang pakai masker ini, karena apa? Karena tidak ada yang munafik di sini," katanya.
Dia dengan tegas mengatakan corona datang hanya kepada mereka yang munafik. Sebagai informasi, ceramah itu dilakukan pada tanggal 08 Maret 2020. Tapi, lokasi ceramah tersebut belum diketahui secara pasti.
Saya penasaran dari mana orang-orang seperti ini bisa mengeluarkan statement konyol seperti ini. seorang ustaz yang mempermalukan diri sendiri dengan pengetahuan minim akan virus corona tapi mengaitkannya dengan agama lalu menjualnya ke warga yang mau membeli. Jadilah penyesatan massal.
Entah sejak kapan virus bisa punya pikiran dan memilih siapa yang akan dijangkiti. Virusnya mungkin punya otak, punya mata dan bisa berpikir logis, bisa memilih orang yang akan diserang. Oh, dia muslim, maka akan dihindari, sedangkan yang ini kafir, ayo serang. Ini anak sholeh, jangan dekati, lalu di sana ada orang munafik, ayo jangkiti. Ini orang Indonesia, tidak boleh jangkiti, di sana ada banyak Aseng, ayo serang. Begitukah?
Mabuk agama, jadinya tidak ada logika. Ngomong semuanya ngawur. Harusnya ustaz ini bahas agama saja. Jangan sok bahas isu-isu lain yang bukan kompetensinya dari sisi agama. Orang ini, dari perkataannya, seolah sudah paling paham dengan virus corona, padahal hingga saat ini ilmuwan masih berusaha memahami lebih jauh, dan masih belum paham seutuhnya mengenai virus ini. Sedangkan ustaz ini sudah sangat paham, hanya memilih orang munafik.
Kalau virusnya bekerja dengan cara begini, wabah pasti lebih gampang diselesaikan. Virus bisa memilih siapa yang mau diserang. Cukup minta kepada virus itu agar tidak mendekat, lalu selipi dengan uang suap pelicin, pasti virusnya bakal senang dan pergi jauh-jauh.
Dan yang paling hebat adalah ustaz ini bahkan menyindir Raja Salman, menyebutnya pengecut karena menutup ibadah umroh. Terlihat jelas kalau orang ini terlalu emosional, hingga kehilangan akal sehat. Membuka ibadah umroh sama saja dengan membuat pandemi baru yanh lebih luas. Jutaan orang Umroh tiap tahun, bayangkan berapa banyak orang yang bakal terjangkit dan tewas kalau tidak dihentikan.
Perihal kaitannya agama, padahal banyak cluster corona berasal dari tempat ibadah dan acara keagamaan. Lihat saja di Malaysia, kasus melonjak gara-gara acara Tabligh Akbar di Kuala Lumpur yang dihadiri puluhan ribu orang. Yang dalam negeri, lihat saja seminar keagamaan di Lembang beberapa waktu lalu yang dihadiri oleh 2.000 orang dan acara serupa di Bogor yang dihadiri kurang lebih 600 orang dari 25 provinsi di Indonesia.
Ini menandakan kalau virusnya tidak mengenal syarat-syarat seperti itu. Makanya semua kegiatan keagamaan (apalagi yang berskala besar) untuk sementara ditiadakan, agar penularan tidak makin meluas.
Seharusnya, pemuka agama dapat menahan diri agar tidak membuat kegaduhan karena terlalu mabuk agama, apalagi sampai menggiring masyarakat dengan cara yang konyol. Mau bergaya ya, silakan, kalau sakit, silakan tanggung sendiri, jangan provokasi masyarakat dengan cocoklogi konyol.
Harusnya pemerintah lebih tegas lagi membereskan ceramah-ceramah tak bertanggung jawab seperti ini karena berpotensi, dalam skala ringan membodohi masyarakat dan dalam skala berat dapat memprovokasi mereka. Mereka terlalu angkuh dan arogan gara-gara label ustaz sehingga merasa memiliki hak istimewa untuk mengatakan apa pun. Sok mengatakan munafik. Justru kemunafikan seperti inilah yang membahayakan orang lain.
Parah memang.
Bagaimana menurut Anda?
https://www.suara.com/news/2020/04/17/073000/dikecam-ustaz-yahya-waloni-sebut-virus-corona-hanya-serang-orang-munafik
Ustaz Ini Banyak Gaya, Sebut Virus Corona Hanya Serang Orang Munafik
Sumber : https://seword.com/politik/ustaz-ini-banyak-gaya-sebut-virus-corona-hanya-Aa2gtWfgYP

Hah, Masih Mau Demo Buruh di Tengah Corona? Punya Kerjaan Saja Mestinya Bersyukur!

Hari ini saya baca di media online bahwa kelompok buruh dan massa berniat melakukan aksi demonstrasi pada 30 April 2020 mendatang. Aksi rencananya dilaksanakan di depan DPR RI dan Kantor Kemenko Perekonomian, dan akan melibatkan 50 ribu buruh. Mereka tidak hanya menolak omnibus law RUU Cipta Kerja, tapi juga menuntut agar tidak ada PHK selama pandemi Corona.
Haduh, esensialkah melakukan demonstrasi di suasana seperti ini? Iya, saya tahu aksi Hari Buruh mereka nanti sangat mungkin tidak bisa dilakukan karena adanya aturan PSBB. SItuasi hari ini berbeda dari setahun lalu misalnya. Okelah, anggap mereka punya aspirasi yang ingin disampaikan. Bukankah bisa perwakilan federasinya saja yang datang ke DPR menuntut tidak ada pembahasan? Buat apa pengarahan massa di situasi seperti ini?
Mau Said Iqbal bilang mereka akan menjaga jarak peserta aksi, memakai masker, dan membawa hand sanitizer buat saya juga percuma. Apa ya mungkin mereka bisa seperti itu? Peraturan PSBB itu saja setahu saya tidak boleh warga berkerumun lebih dari lima orang. Lha ini malah mau demo? Lagipula apa Anda yakin mereka benar-benar bisa jaga jarak? Sementara kita tahu massa itu bergerombol, berangkat bareng-bareng, demo berjamaah, dan buyarnya pun beramai-ramai.
Masker dan hand sanitizer itu penting tapi bukan the one and only hal yang membuat kita sudah pasti aman dari ancaman menyebarkan dan ketularan virus corona. Itu cuma alat bantu untuk mencegah selain banyak ikhtiar lain yang dilakukan. Lha kalau dua itu mutlak bikin aman, buat apa ada seruan Work From Home dan School From Home coba?
Saya baca juga salah satu tuntutan mereka itu supaya tidak ada pemecatan di tengah situasi pandemi?? Hoy buruh yang mau demo, kalian hari ini masih punya pekerjaan, masih dapat gaji, masih dapat tunjangan, masih bisa cari nafkah saja SEHARUSNYA sudah sangat bersyukur. Di luar sana banyak orang yang terpaksa pekerjaannya terpending sehingga tak bisa dapat fee, digaji setengah, dirumahkan tanpa digaji dan baru akan dipanggil setelah pandemi selesai, dipaksa pensiun dini karena bisnis sedang buruk, gajinya ditunda, dan sebagainya. Kalian-kalian yang hari ini masih bisa kerja ini mestinya justru mikir, kalian itu sudah sangat beruntung. Apa lagi yang kalian cari?
Jangan dianggap pengusaha itu selalu enak dan banyak duitnya. Meme ini mungkin bisa jadi gambaran situasi yang dihadapi pengusaha saat ini.
Article
Kantor dan pabrik kalian yang kebetulan masih buka tak selalu berarti duitnya masih banyak atau bisnisnya masih berlangsung dengan baik. Bisa jadi itu bagian dari ikhtiar supaya perusahaan jangan sampai kukut, meski mungkin penjualan tidak sebaik biasanya tapi diusahakan masih ada sales. Mereka juga punya beban. Mulai dari bayar gaji pegawai, biaya pabrik/kantor, pajak, bayar utang usaha, dan sebagainya. Semua ini sedang susah. Tidak bisakah kali ini kalian mengerem diri tidak usah demo?
Kalau sampai dari demo buruh ini kemudian terbentuk cluster penyebaran corona baru, siapa yang mau tanggung jawab? Memangnya Said Iqbal dan ketua-ketua serikat buruh lainnya itu yang akan merawat kalian, menafkahi keluarga kalian, dan sebagainya? Nggak! Mereka mah nggak akan peduli. Kalau kalian mati karena Covid mereka juga nggak akan ambil pusing. Yang pusing anak istri kalian di rumah.
Buat saya pribadi, marilah kawan-kawan buruh jangan mau kalian dibodohi oleh ketua-ketua serikat pekerja kalian itu. Inilah saatnya kalian memberi effort semaksimal mungkin ke kantor atau pabrik yang selama ini sudah menafkahi kalian. Yang sampai saat ini masih memberi kalian kesempatan bekerja.
Saatnya juga kalian jadi pahlawan buat masyarakat. Kita nggak tahu apakah kita ini carrier atau bukan. Jangan memancing munculnya cluster baru penyebaran korona. Jangan buat beban tim medis kita makin berat. Jangan jadi super spreader yang bisa menyakiti bahkan menghilangkan nyawa orang-orang terdekat kalian. Jadilah orang-orang yang tahu diri, tahu bersyukur, dan bertanggungjawab. Kalau sampai ada apa-apa terkait aksi ini, percayalah masyarakat justru akan muak dengan kalian.
Hah, Masih Mau Demo Buruh di Tengah Corona? Punya Kerjaan Saja Mestinya Bersyukur!
Sumber : https://seword.com/umum/hah-masih-mau-demo-buruh-di-tengah-corona-punya-6fXuyN4y9m

Gara-Gara Stigma : Pasien Bohong, Tim Medis Ketularan

Sebuah kabar sedih datang dari Semarang, Jawa Tengah. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menyatakan bahwa kasus terjangkitnya 46 tenaga medis RSUP Dr Kariadi Semarang diakibatkan pasien tidak jujur. Pasien yang datang berobat tersebut tidak mengatakan bahwa baru saja bepergian dari daerah-daerah zona merah. Tenaga medis yang positif Covid-19 terdiri puluhan dokter dan perawat.
"Kejadian di RSUP Dr Kariadi itu sesuatu yang luar biasa. Ini pembelajaran bagi kita bahwa seorang dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya sangat rentan. Sedihnya lagi, mereka terkena virus Covid-19 dari pasien yang tidak jujur,"
"Kalau di jantung dan benteng pertahanan terakhir bisa tertular, ini sesuatu yang sangat serius. Untuk itu, kami minta seluruh rumah sakit untuk memperketat protokol kesehatan di tempat masing-masing demi melindungi para tenaga medis kita,"
Sumber
Kejadian ini bukan hanya terjadi di RS Kariadi saja. Seorang pria berusia 43 tahun asal Grobogan juga tidak jujur ketika ditanya soal riwayat perjalanannya oleh tim medis RSUD dr Soedjati Soemodiardjo Purwodadi, Grobogan. Pada saat diperiksa, pasien positif corona itu berbohong. Ia mengaku tidak pernah pergi ke daerah berstatus zona merah Covid-19. Belakangan diketahui, pria yang mengaku sebagai kuli bangunan itu baru saja mudik dari Jakarta. Dari keterangan inilah, pasien tersebut selanjutnya dirawat di salah satu kamar perawatan yang ada di bangsal Nusa Indah.
Salah satu prosedur pemeriksaan adalah tahapan anamnesa yang dilakukan biasanya di rumah sakit dilakukan oleh dokter dan perawat. Di tahap ini memang yang terbaik adalah pasien jujur sejujurnya tentang kondisi yang dia alami. Jujur ke dokter ini seringkali jadi hal yang susah buat pasien dengan berbagai alasan. Terutama sekali soal stigma. Bahkan bisa membuat pasien gagal berobat atau mendapatkan perawatan.
Saya punya seorang kawan yang kebetulan dia masih single namun memang sudah aktif secara seksual. Dia ingin bisa mendapatkan layanan pap-smear. Dia sadar dengan resiko yang bisa dia alami terkait aktivitasnya. Di Jakarta dan beberapa kota besar lain, mungkin sudah banyak layanan dan tenaga medis yang less judgemental terkait kejujuran pasien tentang aktivitas seksualnya. Tapi di daerah, apalagi kalau RS-nya RS keagamaan, seringkali situasi menjadi sulit. Mau papsmear saja harus sudah menikah, harus ada ijin dari suami. Padahal yang punya organ reproduksi adalah si pasien, bukan laki-laki meskipun itu suaminya.
Nah sekarang problem penghakiman dan stigma ini lebih besar lagi. Sebab yang memberikan stigma adalah masyarakat. Ya, sebagian masyarakat kita sepertinya lebay menyikapi corona ini. Terbukti ada cerita pasien yang diasingkan, tenaga medis diusir, jenazah ditolak dimakamkan, dan sebagainya. Mungkin sekali ini faktor yang membuat ada orang-orang yang nggak mau jujur dengan kondisinya.
Akibatnya tentu saja situasinya jadi fatal. Bayangkan kalau 46 tim medis dinyatakan positif. Lha kalau garda paling akhir yang harusnya merawat justru butuh dirawat, terus siapa lagi yang bisa kita andalkan?
Maka dari itu mulai sekarang sangat penting untuk menyerukan "JUJURLAH SAAT KE DOKTER". Terbukalah dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Tim medis juga sangat mungkin perlu melakukan kroscek misalnya dengan anggota keluarga untuk mengetahui apakah ada yang ditutupi oleh pasien atau tidak.
Dan yang terpenting, jangan ada stigma buruk lagi tentang penderita corona. Semakin banyak orang yang terbuka, jujur, dilakukan pemeriksaan, ketahuan terjangkit, menurut saya justru bagus sebab kemudian akhirnya orang-orang di sekitarnya akan waspada. Bandingkan jika mereka berbohong dan tidak ketahuan. Andaikan ini keluarga atau tetangga dekat Anda, bisa jadi berikutnyalah Anda yang ketularan karena kebohongan ini.
Biasanya yang didengar oleh masyarakat itu adalah tokoh entah itu pejabat, ulama, atau artis. Mungkin ada baiknya mulai digerakkan gerakan untuk jujur kepada tim medis. Sampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami.
Jaring lain untuk menekan angka dusta adalah kepekaan RT dan RW. RT dna RW harus mendata warganya termasuk yang baru datang ke luar kota. Data ini harus terlink dan terupdate ke Puskesmas dan RS sehingga juga bisa dilakukan kroscek jika ada pasien dengan nama dan NIK yang sama misalnya, datang untuk berobat.
Gara-Gara Stigma : Pasien Bohong, Tim Medis Ketularan
Sumber : https://seword.com/umum/garagara-stigma-pasien-bohong-tim-medis-cKaKjsWAiO

Jumat Berkah, Anies Segera Terima Cicilan Rp2,5 T dari Sri Mulyani

Anies Baswedan, Gubernur Rasa Presiden Tergetar se-jagat raya, sebenarnya adalah contoh seorang pejabat yang mencerminkan sifat jenis manusia tertentu yang tiba-tiba bisa menjadi aneh. Terutama bila berkaitan dengan masalah uang, pendapatan, dan belanja.
Ya, begitulah….
Manusia tertentu sering menjadi aneh kalau soal uang. Pokoknya aneh.
Biasanya sih tidak transparan. Yang banyak bisa diperlihatkan menjadi sedikit. Tapi yang banyak bisa dianggap kecil, bila untuk memenuhi keinginannya.
Manusia tertentu juga selalu menganggap pendapatannya kurang, tapi sering lupa diri kalau berbelanja.
Anies Baswedan juga begitu. Terkesan tidak transparan bila berkaitan dengan uang. Misalnya berapa sebenarnya harga lem aibon? Kemana pohon-pohon Taman Monas setelah ditebang yang bila diuangkan juga nilainya cukup lumayan? Sebenarnya bantuan pada para terdampak PSBB berapa nilainya, ada uang tunainya atau tidak?
Beberapa contoh pertanyaan di atas menunjukkan adanya ketidakjelasan pengelolaan keuangan rezim Anies Baswedan di DKI Jakarta. Mengindikasikan ketidakberesan.
Anies juga bermasalah dengan pendapatan dan ketepatan belanja. Anies sering berbelanja mahal walau tidak penting. Atau membesar-besarkan nilai belanja.
Contohnya adalah rencana pembelian lem aibon yang hanganya kagak pake kira-kita itu tadi. Atau rencana balap Formula E yang mahal (dan kemahalan), yang hanya menuruti keinginan Anies, yang untungnya gagal. Anies berlagak sok kaya kala itu.
Anehnya, ketika harus menghadapi wabah Covid-19 yang mengamuk di wilayahnya, Anies lantas berlagak miskin. Berbalik gaya, tidak seperti saat ingin menggelar balap Formula E dulu. Hal yang sempat dipertanyakan politisi Gerindra, Kamrussamad.
"Sebaiknya Pak Anies menggunakan dana Formula E yang batal untuk corona senilai Rp1,6 triliun dan sudah dikeluarkan broker fee senilai Rp375 miliar untuk mendapatkan izin tuan rumah Formula E," tukasnya.
Apa yang disampaikan Gerindra itu terkait dengan pencitraan yang Anies Baswedan lakukan. Soal permintaannya agar Menteri Keuangan Sri Mulyani segera mencairkan dana piutang DKI Jakarta sebesar Rp5,1 triliun.
"Hentikan model pencitraan Anies dengan melemparkan ke publik tagihan ke pemerintah pusat. Silakan proses administrasi tapi jangan dijadikan komoditas politik," ujar Kamrussamad.
Dana yang ditagih Anies adalah DBH Pemprov DKI Jakarta untuk mendukung arus kas (cash flow) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Bahkan penagihan itu juga disampaikan di depan Wapres dalam suatu rapat terbatas.
“Ketika ratas (rapat terbatas) kita sampaikan bahwa ada dana bagi hasil yang sesungguhnya perlu segera dieksekusi karena itu akan membantu sekali,” ujar Anies saat melakukan Video Conference bersama Wakil Presiden RI, Maruf Amin, Kamis (2/4).
Anies menjelaskan, merujuk pada tagihan tahun lalu, piutang dari Kementerian Keuangan kepada Jakarta semula nilainya ada Rp 6,4 triliun. Namun karena ada beberapa penyesuaian dan berubah akhirnya menjadi Rp 5,1 triliun.
Melihat Anies butuh uang, Bu Sri Mulyani bertindak cepat. Beliau segera menindaklanjuti.
"Teknisnya menunggu audit dulu dari BPK, tapi sekarang urgent maka kami putuskan bayar dulu 50 persen. Begitu audit selesai bahwa memang angkanya sekian dibayarkan sisanya," ucap Sri Mulyani dalam video conference, Jumat (17/4).
"DBH 2019 kalau dalam undang-undang kami bayarkan pada kuartal III karena menunggu audit BPK. Ini kamu percepat pada April ini sebesar 50 persen," jelas Bu Sri.
Oalah….., jadi dana yang ditagih Pak Anies itu, sebenarnya dana yang memang belum waktunya dicairkan. Menunggu audit BPK dulu.
Ya ampun Pak Anies!!!!... Kalau itu sih bukan nagih namanya. Tapi minta dipercepat, bahkan ketika prosesnya belum lengkap.
Tapi jelas pemerintah pusat paham, saat ini penanganan Covid-19 dan dampaknya menjadi prioritas utama. Alur prosedural hanya mengikuti.
Yang jelas, selanjutnya perlu pengawasan dalam penggunaan dana itu. Agar sampai dengan semestinya. Apalagi Pak Gubernur Jakarta ini gemar berkata-kata dalam terang, tapi sering bertindak dalam senyap.
Jangan konpers-nya berapa, nyampe ke penerimanya berapa? Atau terjadi kesimpangsiuran dan ketidakjelasan yang sangat lekat dengan citra nyata seorang Anies Baswedan.
Hendaknya singkirkan dulu keinginan pribadi dan kelompok, kemudian dahulukan kepentingan rakyat. Hindari tindakan lebay dan offside bermodal kekuasaan, yang malah menyusahkan warganya.
Ah…, tapi itu sepertinya susah dilakukan oleh seorang Anies.
Akhirnya, sekali lagi bukti bahwa pemerintah pusat mencoba bertindak semaksimal mungkin dalam keadaan yang serba tidak ideal ini. Memastikan ketersediaan hal yang memang dibutuhkan rakyatnya.
https://m.wartaekonomi.co.id/berita279644/anies-minta-cairkan-dana-ke-menkeu-gerindra-ngegas-pencitraan-kan-ada-duit-formula-e
https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20200417133003-532-494511/sri-mulyani-akan-cicil-utang-rp25-t-ke-anies-bulan-ini
Jumat Berkah, Anies Segera Terima Cicilan Rp2,5 T dari Sri Mulyani
Sumber : https://seword.com/umum/jumat-berkah-anies-segera-terima-cicilan-rp25-t-Efyci1UHRV

Beramai Ramai Merampok Negeri

Beberapa hari saya merenungkan apa yang sebenarnya terjadi saat ini di Indonesia? Mengapa orang orang teriak teriak Lockdown, PSBB atau karantina wilayah. Pertanyaan saya cukup simple, Apakah ada jaminan dengan itu semua kita tidak tertular Covid-19? Yang kita hadapi adalah makhluk tak terlihat yaitu virus.
Kita ketahui bersama Indonesia ini negeri yang sangat sosial, ramah tamah dan gotong royong ciri khas negeri ini dari dahulu kala. Sehingga menurut saya, aturan apapun yang bentuknya "pembatasan bersosial" pasti tak akan berhasil dengan alasan apapun.
Pembatasan bersosial ini sudah pasti akan dilawan oleh rakyat secara terbuka atau sembunyi sembunyi yg notabene sudah mendarah daging sebagai bangsa yang ramah tamah dan gotong royong.
Kita lihat pembatasan bersosial (PSBB contohnya) ini makin lama akan semakin membuat rakyat berteriak. Lapar! Lapar ! Lapar! itu adalah teriakan mereka. Pemerintah punya solusi yaitu mengucurkan dana berupa bansos langsung ke masyarakat. pertanyaan berikutnya, sampai kapan pemerintah punya dana untuk menyediakan kebutuhan rakyat? Uang negara akan habis dan terakhir saat krisis 98 adalah kita meminjam IMF dengan menggadaikan harga diri kita sebagai sebuah bangsa.
Tidak luput di tengah pandemi ini, entah pendukung pemerintah maupun non Pemerintah yang mencoba memancing di air keruh. Sebutlah si stafsus milenial Andi Taufan yang menggunakan jabatan sebagai stafsus presiden untuk menggiring camat agar menggunakan perusahaan nya yaitu Amartha fintek untuk ikut menikmati Kue "dana" corona ini.
Contoh lain Lihatlah Anies Baswedan gubernur DKI yang pada awal tahun 2020 dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa Rakyat miskin Jakarta turun menjadi 3,42 persen atau 362 ribu orang tahun 2019 tapi saat laporan ke Wapres pada bulan april menjadi 3,7 juta orang (miskin + rentan miskin) demi permintaan bantuan akibat wabah covid-19. Akhirnya saya menyadari, banyak yang ingin merampok negeri ini dalam keadaan krisis ini.
Balik fokus ke pembatasan bersosial ini, tadinya saya berpikir pembatasan bersosial ini merupakan solusi jangka pendek dalam arti Sebuah wadah penampung air hujan yang masuk kerumah karena genteng bocor. Tapi saat hujan mengecil segera mengganti genteng bocor tersebut. Ternyata tidak, ternyata yang terjadi adalah beramai ramai menawarkan wadah penampung air, bukan beramai ramai menawarkan genteng untuk mengganti genteng yang bocor.
Maka tidak heran jumlah kasus korban corona ini kena mark up terus dalam bahasa berbeda beda. Tapi Hampir tidak ada dan jarang mendengar berita sejauh apa percobaan pembuatan vaksin, pembuatan obat, penelitian untuk penyembuhan covid di Indonesia. Saya hampir tidak melihat lingkaran istana, maju ke podium mengumumkan bahwa UNAIR sebagai center penyakit tropis telah sampai tahap A dalam pengembangan obat covid-19, UI dan IPB telah sampai tahap B. Prof S dan Prof X telah berhasil pada tahap Z, Dokter dan ahli Virus telah berhasil melakukan transfer plasma sebagai obat covid-19.
Saya hampir tidak melihat ada lingkaran istana entah itu stafsus atau lainnya yang mendatangi mereka mereka itu dan melakukan konference bersama bahwa pemerintah siap memberikan bantuan apapun dan berapapun serta reward setinggi tingginya terhadap ilmuan yang berhasil menemukan obat maupun vaksin covid-19. Yang terjadi saat ini para ahli dan ilmuan itu melakukan conference terpisah tanpa di dampingi lingkaran istana (stafsus, menteri, wamen, dirjen dll). Padahal ini adalah jalan keluar sesungguhnya.
Semua sibuk menawarkan wadah penampung air. Akhirnya muncul satu demi satu kepermukaan dana yang mengucur tersebut tidak bisa menambal rasa Lapar. Rasa Lapar semakin membesar karena mulai ada PHK, Pemotongan Gaji dan THR yang tidak ada. Hal ini karena yang tadinya menolong karena masih ada penghasilan dan pekerjaan akhirnya masuk ke dalam daftar antrian yang di tolong. Akhirnya jumlah dana yang mengoyak kas negara semakin membesar dan semakin menjadi bola salju yang tidak terbendung sehingga jebol meluber kemana mana.
Hari ini Jokowi seperti terkepung dalam lingkaran setan. Saat Kas negara sudah habis karena di rampok untuk program bansos ini itu tapi tak ada kejelasan obat atau vaksin untuk wabah ini. Akhirnya selanjutnya adalah menuduh pemerintah gagal, ya sudah pasti gagal karena krisis ekonomi datang karena aktivitas ekonomi di tutup dan Kas Negara terkoyak di gunakan untuk kompensasinya. Seperti BOM waktu yang siap menenggelamkan Indonesia dengan kerusuhan massal.
Tanda tandanya sudah muncul, "kill the Rich, sudah krisis saatnya membakar" itu sebuah phrase untuk menggiring pemikiran, kita LAPAR!!! Kita akan lakukan apa saja demi makan. Saat ini seakan akan semua ingin mendapatkan untung dengan mengucurnya kas negara akibat covid-19 tapi yang menanggung kesalahan Presiden Jokowi.
Pembatasan bersosial (lockdown, PSBB dll) ini banyak memunculkan masalah baru seperti tahanan di lepas karena pembatasan sosial tapi akhirnya muncul masalah baru lainnya seperti keamanan. Mereka mereka residivis kambuhan apa peduli kena corona? sehingga menikmati bebas dari penjara. Wong mereka setiap hari harus bertaruh hidup dan mati kok entah di jalanan atau di ujung pistol polisi.
Apa daya kita tidak punya kemampuan melawan makhluk tak kasat mata ini. Tapi menurut saya Lockdown, PSBB atau karantina wilayah bukanlah jawabannya. Mungkin Jawabannya adalah pemisahan yang sakit dan yang sehat. Jika sakit langsung di masukan ke rumah karantina (RS, klinik) dan yang sehat aktifitas seperti biasa. Sehingga dana pemerintah fokus kepada kesehatan dan penyembuhan yang sakit, karena yang sehat tetap beraktifitas biasa dan menggerakan roda ekonomi.
Tapi ditengah krisis seperti ini Janganlah beramai ramai merampok negeri, karena jika negeri ini gagal yang muncul kemudian adalah anarkis, dimana nyawa kita, anak dan keluarga kita jadi pertaruhannya. Saya mendukung Jokowi sejak maju Gubernur Jakarta sampai saat ini tidak berharap jadi menteri atau wamen atau pejabat apapun, hanya menginginkan Anak cucu saya dapat hidup damai nan tentram di bumi Nusantara ini. 
Beramai Ramai Merampok Negeri
Sumber : https://seword.com/spiritual/beramai-ramai-merampok-negeri-NzbDYBZiJK

Mengembalikan Bansos Itu Keren, Bung! Ada yang Mau Meniru Warga Kelapa Gading Ini?

Ada berita yang dilansir dari laman Kumparan mengenai warga di daerah Kelapa Gading yang mengembalikan bantuan sosial (bansos) yang dikirimkan kepada mereka. Membaca isi berita dengan saksama, mustahil rasanya bila dianggap bahwa bansos dari Pemprov DKI Jakarta tersebut salah alamat. Kalau salah sasaran atau tidak tepat sasaran ... bagi saya sih iya!
Alasan pengembalian bansos tersebut pun menurut saya keren: merasa tak berhak menerima! Atau dengan kata lain, para warga yang berhati mulia dan baik hati tersebut menganggap bahwa masih banyak warga lain yang lebih layak menerima bansos tersebut, karena lebih membutuhkan dibandingkan dengan mereka.
Terlebih berita tersebut, yang saya temukan di media sosial Facebook, lantas disandingkan dengan temuan lain mengenai adanya warga lansia, warga miskin dan sebatang kara, eh malah tidak mendapat bantuan sosial ini. Justru warga yang dilaporkan memiliki mobil malah mendapatkan bansos ini. Siapa yang patut disalahkan?
Wali Kota Jakarta Utara, Sigit Wijatmoko, juga memastikan bahwa berita ini benar. Menurutnya, warga yang mengembalikan bansos itu berlokasi di RW 07 Kelurahan Kelapa Gading Barat, dimana ada 22 paket sembako dikembalikan ke Pemprov DKI karena dianggap salah sasaran.

Bagi saya orang kunci dalam setiap penyaluran bantuan sosial, dana bencana alam, atau apa pun sebutannya ... terletak pada mereka yang saya sebut: petugas pendataan.Sejauh pengalaman saya saat terlibat dalam aksi gempa di Jogja beberapa tahun silam, peran sebagai petugas pendataan dapat dijalankan oleh Ketua RT/RW, Aparat Desa atau Kelurahan setempat, atau orang khusus yang ditunjuk sebagai kordinator untuk pendataan.
Tentunya dengan harapan agar penerima bantuan tepat sasaran dan sebisa mungkin tidak terjadi kolusi atau kongkalikong di dalamnya. Sudah jadi rahasia umum bahwa dalam setiap aksi semacam ini, terjadi salah sasaran yang disengaja. Orang-orang yang seharusnya mendapatkan bansos atau dana bantuan malah tidak masuk dalam daftar penerima, tetapi orang-orang yang jelas tidak memerlukan, eh malah dapat.
Tak jarang biasanya orang terdekat atau orang yang berpengaruh di daerah tersebut. Meski sebetulnya kalau tidak mendapatkan bansos atau dansos pun, mereka (maaf) tidak akan mati karena masih mampu bertahan hidup!

Itulah sebabnya, selain menyanjung kebesaran hati dan keberanian untuk menolak bantuan sosial dari warga Kelapa Gading yang berjumlah 22 paket tadi ... saya juga mempertanyakan peran dari petugas pendataan. Bagaimana cara mereka bekerja? Kenapa ada warga miskin, lansia, dan sebatang kara yang terlewat ... tetapi warga yang sepertinya terlihat mampu malah menjadi penerima bansos?
Saya mencoba tidak berburuk sangka, tetapi sukar untuk mempertanyakan kinerja dari orang-orang yang seharusnya mendata calon penerima bansos dengan jeli, cermat, dan tegas. Kok perlu ketegasan? Ya, perlu ketegasan untuk menolak mereka yang seharusnya memang tidak perlu dibantu karena masih dalam keadaan baik! Masa’ kalau punya mobil perlu mendapat bansos? Kan mobilnya bisa dijual kalau memang dalam keadaan sangat kepepet?
Simpelnya ... berikan kepada masyarakat (warga) yang memang berhak menerima dan jangan berikan kepada mereka yang seharusnya tidak berhak menerima. Jangan karena alasan pemerataan, maka bantuan diterima juga oleh mereka yang seharusnya tidak menerima.
Sekali lagi ... apresiasi tinggi patut diberikan kepada warga RW 07 karena telah bertindak hebat dengan mengembalikan bansos karena kalian menganggap bahwa pemberian tersebut lebih baik diberikan kepada warga yang lebih membutuhkan.
Hati yang model gini, saya bilang cukup langka ditemui di Indonesia, terlebih pada kondisi seperti sekarang ... dimana terkadang orang yang seharusnya masih mampu bertahan, survive dengan upaya sendiri, tetapi mendadak merasa bahwa dirinya sebagai orang yang paling malang se-Indonesia.

Akhirnya ... bansos memang diperlukan untuk membantu warga yang membutuhkan, tetapi harus diterima oleh mereka yang benar-benar membutuhkan. Semoga tragedi bansos salah sasaran tidak terjadi lagi, di manapun, tak hanya di Jakarta. Saya juga berharap agar sekiranya ada warga yang merasa masih mampu, semoga dapat meniru apa yang dilakukan oleh warga RW 07 Kelapa Gading tadi, karena itulah tindakan yang benar dan tepat pada masa seperti ini.
Begitulah kura-kura ...

Sumber artikel: https://kumparan.com/kumparannews/warga-di-kelapa-gading-kembalikan-bansos-ke-pemprov-dki-karena-merasa-tak-berhak-1tEZcZTYuRP
Mengembalikan Bansos Itu Keren, Bung! Ada yang Mau Meniru Warga Kelapa Gading Ini?
Sumber : https://seword.com/umum/mengembalikan-bansos-itu-keren-bung-ada-yang-mau-OOIuQfkdFr

Mecegah Corona Tak Ikutan Mudik

Sudah 45 hari sejak Indonesia mengumumkan kasus pertama Covid 19 yang terkonfirmasi pada tanggal 2 Maret 2020. Awalnya hanya 2 orang, lalu beberapa gelintir di hari-hari perdana, naik menjadi puluhan sampai minggu ketiga bulan Maret dan akhirnya menjadi ratusan sejak 24 Maret 2020. Pelan tapi pasti, penambahan jumlah pasien yang terkonfirmasi positif Covid 19 meningkat, sejalan dengan meningkatnya jumlah pasien yang menjalani test. Ternyata Indonesia yang suhunya panas dan udaranya relatif lembab, tidak juga imun terhadap wabah Corona.
Posisi sampai kemarin (Selasa, 14 April 2020), jumlah pasien yang terkonfirmasi positif sudah mencapai 4.839 orang dengan jumlah kematian 459 orang atau setara dengan 9,5%. Angka fatalitas ini sangat tinggi dibandingkan dengan angka rerata dunia yang hanya berkisar 3.4%. Tingginya persentasi angka ini kemungkinan disebabkan karena rendahnya kemampuan pemerintah dalam mengetahui pasien yang sudah terinfeksi tetapi belum terdeteksi melalui uji swap atau rapid test. Jumlah total uji Covid di Indonesia memang masih sangat rendah, yaitu 17 test per 1 juta penduduk. Angka ini sangat kecil dibandingkan dengan jumlah test di Bahrain, Korea Selatan, Hong Kong dan Italy yang mencapai ribuan per 1 juta penduduk, Dengan semakin banyaknya test, maka jumlah yang terkonfirmasi akan meningkat dan persentasi fatalitasnya akan menurun.
Yang menjadi pertanyaan adalah kapan puncak wabah ini akan terjadi, berapa besar jumlah pasien yang terinfeksi dan bagaimana bentuk kurvanya setelah penambahan jumlah yang terinfeksi mengalami pelandaian? Ini adalah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Jawab atas ketiga pertanyaan ini penting untuk diketahui untuk bisa memperkirakan berapa banyak fasilitas kesehatan yang harus tersedia serta berapa lama dampak wabah ini akan dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Beberapa ahli data analitik mempublikasikan hasil analisanya minggu lalu dan memprediksi bahwa puncak wabah diperkirakan akan terjadi pada akhir bulan Juni dengan total jumlah yang terinfeksi mencapai 105.000 orang. Saya tidak tahu metode peramalan apa yang dipakai untuk menemukan angka tersebut, tetapi saya yakin angka itu tidak turun dari langit. Hanya saja kalau ini benar terjadi maka tentu fasilitas kesehatan yang dimiliki Indonesia tidak akan mampu untuk menangani pasien yang kritis. Dengan asumsi 10% pasien kritis saja, maka diperlukan 10.000 ruang perawatan intensif (ICU), yang tidak mungkin dimiliki Indonesia. Akibatnya tingkat fatalitas akan tinggi, dan ini bukan sekedar data-data statistik, tetapi nyawa orang Indonesia yang punya keluarga dan sanak saudara.
Saya sendiri lebih mengamini metode peramalan menggunakan Model Neural Network yang dilakukan oleh Prof. Pitoyo. Beliau adalah seorang ilmuwan tulen, ahli Artificial Intelligent, yang diakuinya tidak memiliki pengetahuan epidemology mengenai virus sama sekali. Jadi analisanya hanya berdasarkan data empiris. Secara sederhana analisanya dilakukan menggunakan 2 Neural Networks. Yang pertama untuk mencari negara yang memiliki dinamika yang mirip dengan Indonesia dan yang kedua untuk memprediksi jumlah pasien di Indonesia dengan menggunakan negara yang mirip tersebut sebagai referensi.
Dari gambar 1, yaitu peta dinamika sebaran Covid 19 terlihat bahwa posisi Indonesia berdekatan dengan Swedia. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki dinamika yang mirip dengan Swedia. Saat ini jumlah pasien Covid 19 yang terkonfirmasi positif di Swedia mencapai 11.000 orang dengan tingkat kematian 920 orang.
Gambar kedua adalah dinamika pertambahan pasien secara time series. Dari sini terlihat juga bahwa grafik penambahan pasien Swedia dan Indonesia berhimpit dengan Swedia 10 hari lebih awal mencapai jumlah pasien 400. Artinya kalau hanya berdasarkan analisa grafik dan tidak ada perubahan dinamika, maka diperkirakan bahwa 10 hari ke depan Indonesia bakalan mencapai 11.000 orang, atau jumlah penambahan pasien sekitar 616 orang per hari. Dan celakanya kedua grafik tersebut sampai hari ini belum menampakkan tanda-tanda kapan akan mencapai puncaknya.
Saya mencoba menelusuri, mengapa Indonesia memiliki kemiripan dengan Swedia. Ternyata Swedia adalah negara di Eropa Barat yang masih belum menerapkan social distancing secara ketat. Orang-orang masih berkerumun di tepi laut di Stockholm. Beberapa di antaranya terlihat menikmati koktail di bawah sinar matahari yang hangat. Memang pemerintah sudah mulai membatasi kerumunan maksimal 50 orang dari sebelumnya 500 orang. Tetapi restoran dan bar juga masih buka seperti biasa, dan orang-orang masih berkeliaran normal di jalanan tanpa memakai masker. Mayoritas kegiatan ekonomi juga masih berjalan. Ini yang menyebabkan proses penularan meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangganya, Denmark, yang memberlakukan kebijakan yang jauh lebih ketat.
Belajar dari kenyataan di atas, maka langkah pemerintah pusat untuk memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), yang diikuti dengan pemberlakuan PSBB di Jabodetabek, Banten dan Jawa Barat yang memang menjadi episentrum penyebaran corona sangat tepat. Aktivitas perekonomian di Jabodetabek, Banten dan Jawa Barat memang masih berlangsung, tetapi pergerakan warga di luar rumah sudah jauh lebih berkurang. Semua mall sudah menghentikan operasinya sejak minggu lalu. Semua restoran dipaksa tutup atau hanya melayani layanan take away. Semua tempat rekreasi bahkan sudah tutup jauh lebih awal. Orang-orang yang terpaksa masih harus di jalanan sudah hampir semuanya memakai masker. Dan kerumunan orang dibatasi maksimal 5 orang, walaupun belum sepenuhnya ditaati. Masih banyak pengemudi ojol yang bergerombol mengais rejeki yang kian menipis.
Dengan semua langkah tersebut, saya yakin bahwa penambahan jumlah orang terkonfirmasi positif tidak akan sebesar prediksi berdasarkan kesamaan grafik semata. Dalam hal ini jelas ada intervensi untuk mencegah merebaknya wabah corona. Kata kuncinya adalah ketegasan pemerintah dan ketaatan warga. Saya berani memprediksi bahwa 10 hari ke depan, jumlah orang terkonfirmasi positif akan berkisar pada angka 8.000 – 9.000 orang. Dan secara spekulatif diperkirakan puncaknya akan terjadi pada akhir bulan April atau awal Mei dengan jumlah 12.000. Angka ini tentu bisa berubah sejalan dengan perubahan data yang masuk.
Ada satu hal yang paling mengkawatirkan, yaitu munculnya cluster baru penyebaran corona dari pusat episentrum ke daerah dengan diijinkannya mudik lebaran. Penularan ke daerah-daerah bisa berlangsung dengan masif dan bahkan dengan tingkat fatalitas yang sangat tinggi mengingat daerah tidak memiliki fasilitas kesehatan yang memadai. Dan penularan balik ke Jabodetabek akan semakin tinggi ketika terjadi arus balik sesudah lebaran. Maka tidak ada pilihan lain kecuali ketegasan pemerintah untuk mengambil kebijakan melarang mudik lebaran kali ini, semata-mata demi menyelamatkan keluarga kita, dan tentu saja menyelamatkan Indonesia dari bencana yang lebih besar. Ini bukan pilihan yang mudah tetapi harus dijalankan. Kita masih punya waktu untuk membangun komunikasi yang masif dan terstruktur lewat seluruh kanal yang tersedia.
Mari kita dukung kebijakan pemerintah untuk “Di Rumah Saja” dan tidak ikutan mudik, agar Indonesia segera terbebas dari corona.
Dr. Harris Turino – Doctor in Strategi Management
Mecegah Corona Tak Ikutan Mudik
Sumber : https://seword.com/umum/mecegah-corona-tak-ikutan-mudik-aM795ZXI5x

Celah Korupsi Tikus-Tikus Kampung, Dari Alokasi, Transparansi Sasaran

Ketua KPK Firli Bahuri boleh saja mengatakan bahwa korupsi dana bencana seperti wabah corona ini, hukumannya adalah pidana mati. Tetapi, apakah semua pemerintah di daerah mengindahkan ini semua? Takutkah mereka dengan warning yang diberikan oleh KPK pada musim wabah sedang menghajar negeri ini?
Sebagai sebuah pernyataan, saya setuju jika KPK memberikan pesan yang sangat vulgar kepada publik, khususnya kepada pemerintah. Bunyi hukumannya pun menggidikkan bulu badan. Hukuman mati man!
Pertanyaannya, apakah KPK dapat memantau tindakan korupsi yang terjadi dalam masa-masa wabah ini? Instrumen apa yang dipergunakan oleh KPK untuk memastikan sebuah pengelolaan anggaran bencana alam di sebuah kabupaten tidak terindikasi korupsi? Bagaimana mekanisme KPK untuk melakukan ini semua, jika, dalam kondisi normal saja banyak kasus dugaan korupsi yang terjadi di kabupaten/kota pelosok, nyaris tak tersentuh?
Jika Anda bertanya, mungkinkah ada orang yang memiliki niat yang sangat jahat untuk mencuri dana kemanusiaan ditengah wabah begini? Pasti saya akan menjawab, ya! Sangat mungkin. Lalu jika Anda bertanya lagi, seberapa besar peluang mereka untuk melakukan tindakan manipulatif itu pada saat begini? Jawabannya: sangat besar peluangnya.
Mari saya tunjukkan:
  1. Mengabaikan perintah kepala negara: Presiden Jokowi telah memerintahkan semua propinsi, kota dan kabupaten untuk memangkas anggaran yang tidak penting untuk penanganan pandemik corona ini. Apakah semua pemerintah melakukan perintah ini? Ya, tentu mereka akan melakukannya, namun dalam hal memangkas program-program yang tidak prioritas untuk dipergunakan bagi penanganan corona pun belum tentu semuanya patuh. Coba dicek, ada sejumlah daerah yang jalan terus dengan proyek-proyek yang sudah terlanjur mereka rencanakan pada APBD 2020, karena sudah komitmen dengan pihak ketiga untuk mengerjakannya pada tahun ini. Proyek harus tetap jalan karena sudah ada 'komitmen.'
  2. Alokasi dan penggunaan anggaran yang tidak transparan: Semua pemprov, pemkot dan pemkab berlomba-lomba mengumumkan berapa alokasi anggaran yang mereka sediakan untuk penanganan wabah corona ini. Pertanyaannya, apakah semua perencanaan, pengalokasian anggaran, pemanfaatan, ketepatan target semua ini diumumkan ke publik atas nama transparansi? KPK, ceklah di lapangan, bahkan hingga hari ini di sejumlah kabupaten, publik hanya mengetahui dalam takaran gelondongan dengan nomenklatur yang sangat luas dan tidak spesifik. Siapa yang dapat memastikan bahwa anggaran tersebut penggunaanya tepat sasaran?
  1. Pengadaan APD dengan APBD, nyaris tanpa pengawasan: Hingga hari ini, sejak pertama kali wabah ini diumumkan secara nasional dan presiden meminta semua kepala daerah untuk melakukan langkah-langlah pengamanan wilayahnya dari paparan corona, sejumlah RSUD di pelosok timur Indonesia, belum memiliki APD. Padahal, seluruh propinsi di Indonesia kita sudah mencatatkan namanya di papan skor pasien positif. Sudah hampir sebulan berjalan, pemerintah selalu berkelit bahwa APD sedang dipesan tanpa tahu, kapan barang itu tiba di daerah.
Jangan hanya bicara soal lamanya proses pengadaan APD, coba tanyakan, dengan mekanisme apa pengadaan itu dilakukan? Apakah ada kontraktornya? Berapa pagu anggarannya? Detail APD apa saja yang akan diadakan? Apakah sesuai standar Kementerian Kesehatan? Mengapa demikian lama dan berapa harga per item produk yang dibeli? Apakah sesuai dengan harga pasar?
Lalu mereka akan menjawab dengan jawaban klasik, "Adalah pihak ketiga yang sudah mengakannya, semua sedang dalam proses, sebentar lagi juga akan tiba, sampai lama begini karena Anda tahu, semua daerah membutuhkan barang-barang itu sehingga kita harus antri untuk mendapatkannya. Kondisi ini membuat harga produk-produk itu juga melonjak setiap hari, jadi kit dimaklumi saja, dalam kondisi seperti ini.
Lebih kurang, begitulah jawaban mereka. Nah, pertanyaannya, apakah semua ini terpantau juga oleh KPK? Dalam kondisi seperti ini, sebagian orang tidak lagi berpikir soal tanggungjawab kemanusiaan. "Mumpung semua sedang fokus ke corona, pasti pengawasannya pun lumpuh, sehingga banyak hal yang bisa dimaklumi," kira-kira begitulah yang ada di dalam obrolan antara petinggi di daerah.
Saya khawatir, pernyataan Ketua KPK soal hukuman mati diatas, mungkin hanya dipandang sebelah mata oleh para pejabat di daerah. Dan masyarakat menjadi kaum di lapis kedua, karena mungkin yang pertama dan utama adalah memanfaatkan bencana ini sebaik mungkin. Apalagi bagi kepala daerah yang akan maju lagi dalam pilkada berikutnya, boleh jadi ini kesempatan yang paling tepat untuk menumpuk pundi-pundinya.
Bagaimana Pak KPK?
Sumber: FOTO: Antara https://nasional.kompas.com/read/2020/03/21/09192371/ketua-kpk-sebut-korupsi-saat-bencana-seperti-wabah-corona-ancamannya-pidana
Celah Korupsi Tikus-Tikus Kampung, Dari Alokasi, Transparansi Sasaran
Sumber : https://seword.com/umum/celah-korupsi-tikustikus-kampung-dari-alokasi-pqqaMbzH1D

Petani Milenial

Yuk sejenak kita melupakan Covid-19. Mantul banget di tengah kondisi sulit ini ternyata semangat itu masih ada. Yup, mereka para petani kita yang berjuang berjibaku memastikan ketersediaan pangan di Indonesia.
Nggak pernah dilirik mungkin, tetapi tanpa petani kebayang dong bahayanya lumbung pangan kita. Bahkan demi meredam pandemi ini Kementerian Pertanian (Kementan) mengusulkan pemangkasan anggaran Rp 3,6 triliun menjadi Rp 17,4 triliun, agar bisa membantu penanganan dampak virus corona.
Tetapi yang menarik buat penulis, ternyata pertanian kini tidak lagi identik dengan orang tua. Ingat dong, dulu mana ada anak muda mau jadi petani. Kesannya ngedeso banget, dan nggak gaul. Mikir saja deh, kalau ketemu pacar terus ditanya kamu kerjanya apa. Terus jawabannya, aku petani. Dubrak, langsung pasaran jatuh nggak laku sampai kapan pun! Nggak nyadar diri padahal pendidikan yang diraihnya itu karena orang tuanya rela mencangkul di sawah.
Eitt…tenang, itu semua cerita dulu. Itu milenial angkatan jadul! Beda banget dengan milenial kekinian yang justru memilih mengolah lahan pertanian sebagai usahanya.
Inilah yang banyak terjadi belakangan ini, generasi milenial bidang pertanian yang tidak hanya sekadar bertani namun juga cerdas berwirausaha tani dengan memanfaatkan teknologi digital. Tuh, mantul banget khan! Artinya, regenerasi pertanian nggak perlu dikhawatirkan lagi. Indonesia masih bisa dengan bangga mengatakan kalau kita ini negara agraris, bahkan ke depan pertanian kita akan melesat dengan bermunculannya start-up baru di bidang pertanian.
“Hari ini kita bicara pertanian yang maju mandiri dan modern. Saat ini kita dihadapkan dengan paradigma baru, yaitu cloud digital. Punya anak milenial yang bisa hubungkan awan digital dengan pertanian maka dunia dalam genggaman," ujar Mentan Syahrul dalam siaran persnya. Dikutip dari: republika.co
Apa yang dikatakan Syahrul bukan ngarang, Mengambil contoh Rahman, generasi milenial pertanian yang dinobatkan menjadi Duta Petani Milenial, pada Senin (13/4). Dirinya berhasil menjadi petani pengusaha dalam budidaya Hortikultura khususnya bawang merah dan cabai. Pemuda ini berasal dari Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan, dan dalam kesehariannya dia adalah i Ketua Kelompok Tani Moncong Kallang 3, sekaligus sebagai Ketua Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S) Merapi yang dibina Pusat Pelatihan Pertanian.
Nggak hanya Rahman, penulis juga memiliki kerabat dekat yang rela melepaskan jabatannya sebagai Manager Electrical di sebuah retail ternama di Medan, kemudian memilih untuk menjadi petani!
Jangan ditanya bagaimana keluarga besar kami kaget dengan keputusannya. Tetapi langkah yang diambilnya memang nggak main-main! Keputusannya bulat mengolah lahan peninggalan orang tua kami di Saran Padang, dan bawang merah menjadi pilihannya.
Kemarin persisnya, panen pertama 5,1 ton bawang merah dari 8000 meter luas lahan, dengan harga diborongkan Rp 21,000 per kilo. Menurut saudara penulis, memang begitulah harga petani masih basah katanya. Puji Tuhan banget khan, untuk masa panen antara 98-110 hari memperoleh penghasilan kotor sekitar Rp 107,100 ribu.
Pikir punya pikir pantas saja, saat ini banyak petani milenial, dan seperti saudara penulis meninggalkan profesi dengan embel-embel jabatan untuk menjadi petani. Memilih menjadi petani karena hidup pasti lebih nyaman, tidak terkekang oleh aturan, dan belum lagi kesehatan jasmani terjamin karena selalu berkeringat di ladang.
Khususnya untuk para milenial, jika memang memiliki lahan keluarga ini akan menjadi kesempatan emas. Ketimbang ngotot kerja kantoran tetapi tetap saja judulnya pegawai. Beda banget dengan menjadi petani, karena bisa jadi bos untuk dirinya sendiri.
Nggak hanya itu sebagai milenial tentunya lebih banyak tantangan untuk berinovasi dan berimprovisasi baik dalam menanam maupun memasarkan hasil panen. Kesempatan itu kini terbuka lebar di era digital ini. Semua menjadi dekat, dan mungkin untuk diwujudkan, yang penting ada niat untuk maju.
Indonesia akan sangat maju pesat jika terus ke depannya bermunculan generasi milenial yang menyadari bahwa menjadi petani itu menguntungkan. Bersama generasi milenial pertanian akan semakin maju.
Milenial cerdas akan terus mencari peluang bisnis mereka dan berusaha menguasai bagaimana mengembangkan pertanian mulai dari hulu sampai hilirnya agar menjadi peluang bisnis yang maju. Apalagi didukung dengan teknologi digital tentunya akan semakin menjanjikan.
Sepakat dong, sesegeranya pandemi berakhir, Indonesia membutuhkan banyak milenial yang memiliki optimisme yang nggak sebatas mimpi. Tetapi keberanian mengeksekusinya juga, apapun itu sektornya! Petani milenial bukan mimpi, karena bukti sudah ada kok!
Terima kasih milenial, titip pertanian Indonesia di tangan kalian yah. Menutup artikel ini dengan sebuah ungkapan optimis, ” Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu!” (John F. Kennedy)
Artikel mpok lainnya bisa dinikmati di @mpokdesy
Sumber: https://republika.co.id/berita/q8ura2423/emstart-upem-bertambah-bukti-kementan-percepat-regenerasi
Ilustrasi: imgur
Petani Milenial
Sumber : https://seword.com/umum/petani-milenial-NNsFKy4IIG

Bahaya Mengancam Dibalik Corona

Mungkin kalian mengira bahwa kematian adalah ancaman yang paling mengerikan dibalik wabah virus corona ini. Apa yang kalian pikirkan memang tidak keliru. Karena sampai saat ini sudah terkonfirmasi bahwa yang meninggal akibat virus corona mencapai angka lima ratus.
Tetapi apakah hanya corona yang mengakibatkan kematian? Ternyata tidak. Menurut catatan Kompas pada tanggal 6 April 2020, Selain corona ternyata kematian akibat DBD juga tinggi di Indonesia, bahkan kasus DBD tercatat lebih tinggi dari corona.
Kematian akibat DBD tercatat dari tanggal 1 Januari – 4 April 2020 adalah sebesar 254 orang di seluruh Indonesia. Dan kasus DBD yang tercatat adalah sebanyak 39.876 kasus. Jadi, kalau dibilang kematian akibat corona adalah bahaya yang mengancam sebenarnya tidak begitu tepat. Karena kematian akibat DBD juga cukup tinggi.
Lalu kenapa kematian akibat corona masyarakat Indonesia begitu heboh? Sedangkan kematian akibat DBD hampir tidak kedengaran? Ini adalah karena propaganda media-media yang menebarkan ketakutan. Dan dibalik ketakutan masyarakat ada uang yang mengalir.
Terus kalian pasti akan bertanya, lalu bahaya apa yang mengancam dibalik wabah corona ini? Apa yang lebih berbahaya dari kematian akibat corona? Mari kita mengupasnya pelan-pelan. Kalian boleh setuju dan tidak setuju, karena ini hanyalah pendapat pribadi penulis.
Penerapan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar telah dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta disusul Pemprov Jawa Barat. Dan akan disusul oleh daerah-daerah lainnya.
Di saat diberlakukannya PSBB hanya beberapa jenis usaha yang diizinkan untuk beroperasi. Bahan pangan, BBM, kesehatan, informasi dan beberapa lainnya. Sedangkan usaha yang lain diperintahkan untuk menutup operasionalnya sampai berakhirnya PSBB. Kapan berakhirnya PSBB? Bisa dua minggu, dua bulan atau satu tahun. Karena penerapan PSBB dapat diperpanjang sesuai dengan penilaian Pemprov setempat.
Ketidakpastian PSBB inilah yang membuat dunia usaha menjadi kalang kabut. Bagaimana tidak, sampai kapan mereka harus menghentikan operasional mereka? Dua minggu? Satu bulan? Dua bulan? Atau...?
Dua minggu, kemungkinan kalangan pengusaha menengah masih sanggup untuk menghentikan operasionalnya. Satu bulan? Mungkin sebagian sudah mengeluh kehabisan likuiditas, dan sebagian masih bisa bertahan karena masih ada cadangan dana operasional. Dua bulan? Mungkin hanya konglomerat yang mempunyai dana melimpah yang masih sanggup bertahan. Lalu pengusaha menengah ke bawah? Semaput atau terpaksa harus memberhentikan seluruh karyawannya.
Pengusaha mana yang sanggup menanggung overhead cost yang terus berjalan, gaji dan upah karyawan yang harus mereka tanggung meskipun pendapatan telah distop oleh pemerintah daerah? Di satu sisi pengusaha harus mengeluarkan biaya-biaya yang tidak sedikit, di lain sisi pendapatan mereka nihil. Jika demikian dewa mana yang sanggup menanggungnya?
Mungkin pejabat negara yang mengambil keputusan dengan enteng mengatakan, demi nyawa manusia, perekonomian diminta minggir sementara. Tapi apakah mereka sadar bahwa tanpa perputaran perekonomian nyawa masyarakat justru terancam? Mereka mati bukan karena corona, tetapi mati karena tak ada sesuap nasi.
Bagi pejabat negara, PNS, Aparat sipil tentu karantina di rumah atau bahasa kerennya work from home adalah sesuatu yang mereka damba-dambakan. Bagaimana tidak, kapan lagi mereka tak perlu masuk kerja tetapi gaji tetap diterima full? Sampai kapan pun diadakan PSBB mereka tidak akan terkena dampaknya. Karena mereka setiap bulan akan menerima gaji penuh dari pemerintah. Tapi bagaimana dengan kalangan swasta? Apakah mereka sanggup bertahana sampai dua bulan? Saya sendiri tidak yakin. Tak ada pengusaha yang akan menjadi sinterklas yang akan membagikan uangnya secara cuma-cuma, bukan?
Kita bukan sinterklas. Kita manusia biasa. Kita punya keterbatasan. Sampai batas itu tercapai maka kita juga akan tersungkur. Ketahanan kita akan bablas, seperti tebing tanah liat yang diterjang oleh banjir bandang. Lalu siapa yang akan memikirkan kalangan ini?
Pemerintah, terutama pemerintah daerah harus menyadari ini. Kecuali mereka mempunyai agenda lain yang menginginkan negara ini chaos. Mereka mempunyai agenda politis, yang ingin mengeruk keuntungan dari situasi kekacauan yang akan ditimbulkan oleh wabah virus corona ini.
Pemerintah harus sadar bahwa tak selamanya kalangan pengusaha menengah ini akan bertahan. Kalau mereka tidak diizinkan berusaha di saat wabah corona ini, maka siap-siap saja negara ini akan ambruk. Karena saya yakin, pengusaha menengah dari berbagai sektor ini lebih besar keberadaannya dari konglomerat yang ada di Indonesia. Jika mereka tidak diperhatikan, kalangan inilah yang akan membuat chaos negara ini. Karena toleransi mereka ada batasnya. Dan mereka bukan sinterklas yang siap senantiasa membagi-bagikan uang mereka.
Saya kira, pemerintah harus mengakomodasi keinginan mereka. Berikan win-win solution. Selama mereka menerapkan physical distancing, pengurangan personal, jam operasional, kewajiban memakai masker bagi karyawan dan pengunjung, menyediakan tempat cuci tangan serta lainnya saya kira pemerintah tak harus menutup operasional mereka ini.
Bagi kalangan pengusaha menengah, tak perlu pendapatan full seperti sebelum wabah corona. Jika bisa mencapai 50% saja mereka sudah bersyukur. Tak perlu mereka mencari keuntungan pada saat-saat seperti ini. Mereka bisa menutupi cost saja, mereka sudah bersyukur sekali. Selain dapat menyelamatkan usaha mereka, juga karyawan yang bekerja pada mereka. Mereka tak perlu memberhentikan karyawannya yang akan berdampak pada keluarga karyawan tersebut.
Pemerintah, terutama pemerintah daerah janganlah karena keegoisan segelintir penguasa membuat masyarakat menjadi terpuruk. Kecuali Anda mempunyai agenda lain yang menguntungkan diri Anda sendiri.
Bahaya Mengancam Dibalik Corona
Sumber : https://seword.com/umum/bahaya-mengancam-dibalik-corona-IFbal0B4IH

Re-post by Migo Berita / Sabtu/18042020/10.39Wita/Bjm


Baca Juga Artikel Terkait Lainnya

1 komentar:

nanalou 23 Mei 2020 pukul 08.07

Numpang promo ya gan
kami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*