KITA MULAI MEMBAIK
Jakarta - “Jumlah yang sembuh 548 orang.." Begitu pengumuman di televisi. Senang mendengarnya, ditengah kesedihan karena ada 498 orang yang meninggal. Senang karena ada harapan ditengah ketidakpastian situasi ini.
Saya senyum
ingat beberapa waktu lalu, banyak orang yang mendadak jadi ahli statistik.
Asumsi mereka pun bombastis sekali, "Perkiraan tengah bulan April, korban
akan mencapai puluhan ribu orang..". Bahkan ada yang bilang, "Pak
Presiden, siapkan kuburan massal.."
Dan - seperti
biasa - negara lain dijadikan acuan jumlah korban yang meninggal. Angkanya gada
yang kecil, selalu ribuan bahkan puluhan ribu. Seolah gagah dengan memposting
angka-angka itu.
Dan sekarang
mereka yang kemarin jadi ahli statistik itu terdiam. Situasi ini tidak seperti
yang mereka harapkan. Mereka meremehkan daya juang semua pihak yang ada di
lapangan. Narasi ketakutan mereka hilang bagai kentut di dalam bus, bau tapi
cuman sebentar.
Begitu juga
ekonomi..
Rupiah sudah
keluar dari angka psikologis Rp. 16 ribu. Pemerintah sudah menyiapkan banyak
paket supaya negeri ini tetap bergerak meski pelan. IMF sudah memprediksi bahwa
Indonesia adalah satu dari 3 negara di Asia yang akan bertahan dari resesi
global.
Meski di
dalam negeri, dampaknya juga luar biasa. PHK dimana-mana, karena aktivitas
berhenti. Tapi kita akan segera melalui situasi ini dengan baik, saya yakin
itu.
Apa
sebenarnya yang kita butuhkan sekarang ?
Kepercayaan.
Kepercayaan bahwa diluar sana ada orang2 yang bekerja dan tidak tinggal diam.
Orang2 yang juga tidak ingin negeri ini hancur berantakan.
Mereka memang
tidak sempurna dan pasti banyak kesalahan. Situasi ini baru pertama kita alami,
jadi wajar masih pada bingung bagaimana mengatasinya. Tapi pelan-pelan mereka
beradaptasi dan mulai menemukan pola solusi.
Kepercayaan
itu menimbulkan harapan. Dan harapan itulah yang membuat tubuh kita kuat dan
terus bergerak.
"Apa
bang contohnya harapan ?"
Harapan itu
contohnya, ketika seorang Wagub DKI diwawancara televisi, dia bilang kalau dia
itu Wapres. Itu harapan.
"Itu
namanya keseleo, banggg... "
Entahlah. Mungkin bagi dia itu harapan. Mending
seruput kopi aja..Statsitik Corona Indonesia
Sumber : https://www.dennysiregar.id/2020/04/kita-mulai-membaik.html
3 Kelompok Bandit yang Mau Covid Bertahan Lama
Sesuai
janji, kali ini saya akan membahas 3 kelompok yang menginginkan agar
corona di Indonesia bertahan selama mungkin. Kalau bisa selama-lamanya.
Kelompok ini bukan sekelas bakul masker atau pedagang musiman lainnya
seperti APD dan disinfektan. Ini lebih dari itu, yang lebih sistemik dan
berbahaya.
Pertama,
adalah kelompok orang yang mengais rejeki di tengah musibah. Kelompok
ini bergerak di bidang penjual obat-obatan. Jadi semakin lama pasien
dirawat, semakin besar pula keuntungannya.
Selain
itu, mereka yang bergerak di sosialisasi, hingga penggalangan donasi
yang tak jelas nama yayasannya, bahkan dikirim ke rekening pribadi, juga
sedang menikmati sekali masa-masa seperti ini. Uang mengalir deras
tanpa perlu kerja keras. Diam di rumah jadi lebih asyik karena rekening
terisi dan bebas diotak-atik.
Kedua,
adalah kelompok para pedagang alat kesehatan. Harga ventilator itu
mahal sekali. Gap keuntungan yang bisa didapatkan bisa cukup signifikan.
Maka jangan heran kalau banyak orang berlomba-lomba menjadi pihak yang
bertanggung jawab mengadakan barang-barang ini. Bukan karena betul-betul
peduli terhadap bangsa ini, tapi karena melihat peluang yang bagus dari
sisi keuntungan.
Jangan
heran pula kalau ada dokter yang tanpa malu menyalah-nyalahkan
pemerintah yang membeli alat rapid test. Lalu mengusulkan perbanyak PCR,
bahkan merekomendasikan produk tertentu. Ditayangkan di teve nasional.
Sebagian orang menganggap dia begitu luar biasa, hebat dan jujur.
Padahal, dokter tersebut sedang mengendorse alat-alat kesehatan. Dan
supaya menarik perhatian, diseranglah pemerintah dan diminta untuk tidak
melanjutkan rapid test.
Kelompok
ketiga, adalah kelompok orang yang mau hebat sendiri di mata Presiden,
demi mempertahankan kekuasaannya, atau meningkatkan posisi tawarnya.
Orang-orang ini adalah pejabat elite.
Kalau
misal ada solusi atau saran yang bagus, maka saran tersebut harus
menjadi idenya. Dia harus pelajari dan memahami, agar bisa menyampaikan
pada Presiden sebagai ide dan gagasannya. Masalahnya, mereka ini tak
paham semua bidang. Sehingga banyak ga pahamnya. Maka hasilnya
berantakan. Usulan gagal dijalankan, karena tidak melibatkan pihak yang
punya gagasan dengan segala pemahaman detailnya.
Ketiga
kelompok ini saya temui di sela-sela memantau tim dokter yang
mengupayakan terapi plasma konvalesen. Mereka ga mau terapi ini berjalan
lancar karena pasti akan memangkas banyak penggunaan obat-obatan.
Begitu
juga dengan kelompok pengadaan alat-alat kesehatan yang fantastis itu.
Kalau terapi plasma konvalesen berjalan dan efektif, maka alat yang
dibutuhkan sebenarnya bukan lagi ventilator. Tapi plasmapheresis. Dan
dampaknya adalah, pengusaha yang terlanjur pesan ventilator untuk
pengadaan menghadapi corona mungkin akan ditunda dulu.
Saat
wabah corona, mungkin hanya mereka yang sedang berjaya. Di saat
pengusaha yang lain harus berjuang memangkas pegawai, mencari cara agar
tidak bangkrut, tapi para bandit medis ini sedang berpesta pora. Jadi
wajar kalau berharap corona ini bisa lama. Dan mereka mengupayakan betul
agar wabah ini tak cepat berlalu.
Pihak-pihak
yang sedang berupaya keras menyembuhkan pasien harus dihentikan. Tak
boleh ada cara penanganan baru dengan alasan melanggar undang-undang
atau aturan. Kalaupun ada, harus dipersulit. Jika dasarnya memang sudah
sulit, maka harus lebih dipersulit lagi.
Para
bandit ini tak peduli dengan jumlah korban yang meninggal. Yang penting
wabah corona bisa berlangsung lama. Dan kabar buruknya, mereka juga
didukung oleh banyak pengamat bayaran. Yang membuat pernyataan
provokatif dan menakut-nakuti masyarakat.
Semakin
warga ketakutan, semakin lama PSBB, semakin gencarlah mereka tampil
sebagai pahlawan kesiangan. Datang dengan wajah prihatin dan seolah
peduli, coba memberi masukan dan saran. Padahal sejatinya, yang mereka
pikirkan hanya kucuran anggaran APBN.
Jangan
salah, mereka ini orang-orang cerdas di bidangnya. Ada yang mengusulkan
biaya penelitian ditingkatkan. Ada yang mengusulkan anggaran alat
kesehatan ditambah. Mereka tak peduli kalau usulan-usulan tersebut tak
membawa dampak. Maka jangan heran kalau yang terjadi di lapangan
hanyalah kegiatan formalitas yang sebenarnya di luar instruksi Presiden.
Lihatlah
di bandara, kertas-kertas kuning yang disuruh diisi oleh penumpang,
hanya dibiarkan menumpuk begitu saja. Cuma menambah daftar ODP karena
alasan baru datang dari Jakarta. Lumayan buat nakut-nakuti publik.
Lihat
pula scanner di daerah yang asal-asalan. Yang tak tahu sama sekali
bahwa suhu tubuh berkisar 36 sampai 37. Lebih dari itu, atau kurang dari
itu, berarti tidak normal. Tapi bukankah kita sering mendengar petugas
bilang, suhu kita 34? Ya peduli apa, yang penting kerja dan dapat gaji
tambahan.
Para
bandit ini harus diamankan. Diwaraskan agar memiliki satu tujuan yang
sama, menyelesaikan wabah. Tapi kalau tak bisa diwaraskan ya harus
dilawan dan dikalahkan. Begitulah kura-kura.
Lebih Kenal dengan Orang China di Masa Corona-2
Pada
minggu-minggu awal merebaknya Corona di Jakarta, sebuah pesan masuk ke
HP kami. Sahabat keluarga kami, seorang Ibu yang juga seorang dokter
mengungkapkan kekuatirannya dan mohon dukungan doa untuk putri
tunggalnya.
Putrinya
juga seorang dokter dan baru setahun bekerja di sebuah rumah sakit di
Jakarta setelah praktik lapangan di beberapa daerah. Dia juga pengantin
baru.
Di
rumah sakit tempat putrinya bekerja ternyata sudah ada sejumlah pasien
yang positif tertular Corona. Dan lima dokter sudah menunjukkan gejala
tertular dan harus menjalani karantina dan pengobatan. Putri sobat kami
harus makin jatuh-bangun dengan dokter-dokter lain menangani
pasien-pasien di RS, termasuk mereka yang positif Covid-19.
Persediaan
alat-alat pelindung diri (APD) saat itu masih sangat terbatas. Itu
sebabnya, Ibunya sangat kuatir kalau putrinya tertular. Dia sempat
berpikir agar putrinya cuti sementara. Tetapi, dia sadar bahwa itu bukan
jalan keluar yang tepat. Putrinya justru sedang sangat dibutuhkan
keahlian dan pengabdiannya di rumah sakit.
Yang
dapat dia lakukan hanya khusyuk berdoa mohon perlindungan Tuhan dan
sering-sering mengirimkan makanan bergizi agar kesehatan putrinya tidak
merosot; serta mohon dukungan doa dari para sahabat.
Ungkapan
kekuatiran yang sama juga saya terima beberapa hari lalu dari sahabat
masa remaja di Surabaya tahun 1970-an. Sebut saja namanya Anto. Dia
dokter dan putri bungsunya juga dokter. Putrinya bekerja di rumah sakit
di bagian IGD. Dan benar…dia harus berhadapan dengan kasus-kasus Corona.
Istri
Anto sempat meminta putrinya cuti sementara. Tetapi, putrinya tetap
teguh dengan panggilannya untuk melayani para pasien, apapun
penyakitnya.
“Aku
ini dokter, Ma… Melayani pasien, merawat dan mengobati adalah
pekerjaanku. Apa kata orang bila aku melarikan diri dari
tanggung-jawabku sebagai dokter?”
Anto
bersyukur dan sangat terharu atas komitmen putrinya untuk melayani
orang lain yang membutuhkan. “Saya menangis bahagia,” Anto mencurahkan
isi hatinya. “Saya bangga sebagai ayahnya; meskipun saya juga kuatir.”
Dia hanya bisa berpesan agar putrinya menjaga kesehatan baik-baik,
memakai APD yang sesuai, makan bergizi dan tetap gembira.
Kedua
sahabat di atas dan putri-putrinya adalah keturunan China. Putri-putri
mereka ada di garis terdepan untuk melayani pasien-pasien yang sangat
membutuhkan, termasuk mereka yang positif Corona.
Dokter-dokter
serta perawat keturunan China – entah berapa banyak jumlahnya -- ada
bersama dengan ribuan dokter dan perawat dari semua ras dan etnis yang
ada di Indonesia untuk meredam dampak serbuan Corona. Mereka
bahu-membahu dan tanpa lelah mendampingi, mengobati, merawat dan
menyembuhkan ribuan masyarakat yang sudah positif terserang virus
Corona.
Banyaknya
korban yang sudah meninggal pasti sangat menghancurkan hati mereka,
apalagi para pasien Corona tidak bisa didampingi oleh keluarganya. Para
dokter dan perawat inilah yang jadi saksi mata ketika satu demi satu
pasien yang dirawatnya gagal untuk bertahan.
Sebaliknya,
mereka juga ikut bersukacita ketika pasien-pasien yang sembuh terus
makin meningkat jumlahnya. Itu ‘bayaran yang sepadan’ atas segala
perjuangan, pengorbanan, dan kenekadan mereka untuk merisikokan
keselamatan dirinya sendiri bagi para pasiennya.
Apa
yang bisa kita simak dari kisah-kisah di atas? Sama seperti kisah-kisah
yang kita baca sejak kelahiran negara Indonesia, masyarakat keturunan
China telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan negara dan
bangsa Indonesia. Mereka berjuang bersama ras dan suku-suku lain di
Indonesia untuk memajukan Indonesia.
Dalam
berbagai bidang kehidupan, mereka dengan keahlian dan pengabdiannya
masing-masing telah memberi kontribusi nyata bagi kemajuan negaranya.
Kalau
selama ini muncul stigma atau penggeneralisasian bahwa orang China itu
brengsek, sering menghalalkan segala cara, sering KKN, dan sejenisnya,
mungkin tidak sepenuhnya salah. Memang cukup banyak kasus semacam itu di
masa lalu – dan mungkin masih ada sedikit di masa kini – sehingga
stigma semacam ini mencuat.
Namun,
kalau kita mau memakai mata hati secara jernih, praktik KKN,
menghalalkan segala cara, dan semacamnya juga dilakukan oleh
pribadi-pribadi dari berbagai ras dan suku lain yang ada di negara kita,
khususnya pada dekade-dekade sebelumnya ketika praktik semacam itu
mendapatkan lingkungan yang cukup subur untuk terjadi.
Kini
saatnya kita menatap masa depan. Dengan adanya aturan main yang lebih
transparan di berbagai bidang, kesempatan untuk korupsi dan kongkalikong
sudah semakin menipis. Berbagai urusan perijinan atau penguruan dokumen
semakin jelas ongkosnya, bahkan banyak yang sudah digratiskan, seperti
KTP.
Mengurus
paspor, misalnya, tidak perlu uang ‘pelicin’ lewat calo dan oknum
seperti di masa lalu. Ongkos yang harus dibayar dan waktu yang
dibutuhkan tertera dengan jelas. Saya dan keluarga merasakan secara
langsung bedanya ketika mengurus paspor beberapa waktu lalu. Nyaman dan
lancar sekali karena sangat jelas aturannya.
Daripada
terpaku pada stigma negatif akibat masa lalu, ada baiknya kita belajar
menyerap unsur-unsur positif yang sering tumbuh subur di kalangan
masyarakat China yang bisa berguna untuk masa depan.
Salah
satu yang sangat layak diserap adalah kerelaan untuk bekerja keras dan
menunda kenikmatan hidup. Orang China dikenal sangat ulet, tidak mudah
menyerah, dan berani bekerja jauh lebih keras dari orang lain untuk
meraih keberhasilan. Mereka rela tidak bernikmat-nikmat dahulu demi
meraih impiannya.
Rudy
Hartono, pemain bulutangkis yang merajai dunia pada dekade 1970-an,
sejak kecil digembleng ayahnya secara maraton di Surabaya. Tiap subuh
dia harus bangun dan harus lari di belakang sepeda yang dikayuh oleh
ayahnya, entah berapa kilo yang harus ‘dilalap’ oleh kaki-kakinya yang
masih muda. Semua masih harus dilanjutkan dengan berlatih berjam-jam di
lapangan badminton. Bertahun-tahun.
Kerja
keras, kerelaan dan pengorbanan Rudy akhirnya membawa nama harum bukan
hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi negaranya: Indonesia. Dia
juara All England hingga delapan kali! Rekor ini belum ada yang mampu
memecahkan hingga 50 tahun kemudian. Mendekati pun belum ada.
Perjuangan
yang sama juga telah dilakukan oleh Susi Susanti dan Alan Budikusuma,
peraih medali-medali emas pertama bagi Indonesia pada Olimpiade
Barcelona 1992. Berkat kerja keras dan perjuangan mereka Indonesia
tercatat diantara negara-negara yang sudah merasakan nikmatnya emas
Olimpiade: Terbaik di dunia.
Tentunya
banyak pula pebulutangkis hebat yang bukan keturunan China yang telah
membanggakan Indonesia. Ada Ferry Sonneville, Icuk Sugiarto, I’ie
Sumirat, Taufik Hidayat, Sigit Pamungkas, Antony S. Ginting dan banyak
lagi, belum termasuk beberapa pebulutangkis putri.
Mereka
bisa berjaya karena juga sudah berani memeras keringat – sama seperti
rekan-rekannya yang keturunan China yang dikisahkan di atas.
Bertahun-tahun.
Hidup
ini biasanya tidak ada yang instan. Kita harus berani bangun sedini
mungkin dan berjuang tanpa kenal lelah untuk meraih impian kita.
Dunia
modern dan terobosan teknologi memang menawarkan peluang untuk meraih
keberhasilan secara lebih cepat, seperti apa yang kita lihat dari
melambungnya Tokopedia, Gojek, Bukalapak, dan sejumlah perusahaan
'milenial' lainnya. Tetapi, semua juga membutuhkan kerja keras, kerja
cerdas, dan penguasaan akan ilmu yang menjadi tulang-punggung industri
atau jasa yang ingin kita masuki.
Peluang
untuk meraih keberhasilan bukan lagi ‘monopoli’ masyarakat keturunan
China dan suku-suku tertentu saja. Semua ras dan suku yang hidup di
Indonesia kini punya kesempatan yang sama.
Saya
sendiri merasa takjub ketika pemerintah menjemput para pelajar dari
Wuhan yang terdampak oleh Corona. Demikian banyak, bahkan hampir
seluruhnya, bukan keturunan China seperti yang semula saya bayangkan.
Mereka ternyata kaum muda berbagai suku asal Sumatra, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan lain-lain...dan mayoritas Muslim.
Mereka
tidak terbelenggu stigma masa lalu. Mereka benar-benar merealisasikan
semboyan: ‘Tuntutlah ilmu hingga ke negeri China’ yang memang sering
terdengar di kalangan masyarakat Muslim.
Pada
saat yang sama, masyarakat keturunan China di Indonesia juga mensyukuri
peluang-peluang yang makin terbuka untuk berkontribusi di bidang-bidang
di luar dunia bisnis dan olahraga. Makin banyak pemuda-pemudi China
yang bergabung jadi tentara, polisi, masuk ke dunia politik, konservasi
lingkungan, dan bidang-bidang lain yang dulu dianggap bukan porsi
mereka.
Di
bidang olahraga, kita sudah sama-sama merasakan kebanggaan dan
kebersamaan sebagai bangsa Indonesia melalui pasangan ‘gado-gado’ Markis
Kido dan Hendra Setiawan ketika mereka memenangi emas Olimpiade Beijing
2008 atau Mohammad Ahsan-Hendra Setiawan ketika mereka memenangi Juara
Dunia hingga tiga kali (Photo ilustrasi).
Semoga
keseimbangan kesempatan yang makin terbuka di berbagai bidang – dan
keberanian untuk saling belajar dan bersatu seperti Kido-Hendra atau
Ahsan-Hendra – akan makin memperkuat dan membawa kemajuan Indonesia di
masa depan.
Wabah Corona : Kita tidak Akan Bisa Duduk Santai Seperti Hari Ini lagi...
Merenung
lama setelah membaca 3 tulisan Kakak Pembina yang beruntun dilansir
hari ini… terkejut dan ga nyangka, itu reaksi pertama yang saya rasakan.
Lalu saya mencari-cari informasi tambahan. Dan ternyata memang sangat
mengenaskan kondisi mental bangsa ini. Corona sudah mereka jadikan
kendaraan pula untuk meraih tujuan mengabaikan penderitaan rakyat
Indonesia.
Bisa
dibilang, Jokowi adalah orang baru di panggung perpolitikan Indonesia.
itu adalah satu fakta dan tak bisa dibantahkan. Selama sepuluh tahun
menjadi Walikota dan dua tahun menjadi Gubernur Jakarta, Jokowi hanya
tahu empat hal, yaitu kerja, kerja, kerja dan warga. Lalu dia sekarang
menjadi Presiden Indonesia. Dan ternyata keempat hal yang dia ketahui
selama menjadi Walikota dan Gubernur Jakarta, sudah tidak kompetabel
lagi untuk diterapkan ketika menjadi Presiden Indonesia.
Corona telah membuka mata kita.
Bukan
tanpa dasar dan alasan mengapa Kakak Pembina menurunkan 3 tulisan
berturut-turut tentang corona yang dikaitkan dengan keadaan luar dan
dalam Istana Merdeka. Dan tulisan dia yang terakhir cukup menampar bahwa
ternyata banyak manusia jahat di dalam lingkaran pentingan penanganan
wabah corona.
Saya
sedih melihat Bapak Presiden kita yang sepertinya memang menyadari
sadar dia dikelilingi begundal-begundal, orang-orang tua yang tak sadar
bahwa hidup ini hanya sementara. Tapi apa daya? Dia hanya orang baru
yang karena empat hal di atas dipercaya oleh partai untuk mematahkan
Prabowo. Ya, ternyata Jokowi diusung jadi Presiden hanya sebatas untuk
mematahkan Prabowo, bukan benar-benar untuk membawa Indonesia menjadi
bangsa yang besar dan maju.
Lalu
kita yang menjadi rakyat, lebih tidak bisa apa-apa lagi! Padahal
Undang-Undang mengatakan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan
rakyat. Sayangnya, ketika Jokowi sudah menapak di jalan yang benar
memajukan bangsa dan Negara ini, kedaulatan tertinggi itu, digunakan
oleh ‘rakyat’ untuk menjegal Jokowi agar Indonesia tetap tidak maju.
Corona sudah membuka kedok Indonesia.
Pengusaha
selain pengusaha obat-obatan dan alat-alat kesehatan sudah mulai
memberikan peringatan bahwa jika wabah corona ini tidak teratasi hingga
bulan Juni, maka mereka pun akan menjadi bagian dari rakyat yang harus
disantuni.
Belum
lagi munculnya ancaman dari kelompok Anarko Vandalisme yang katanya mau
melakukan penjarah dan pembakaran di seluruh Indonesia BESOK!
Bayangkan, BESOK!! Kalau itu sampai kejadian, tanggal 18 April 2020
terjadi pembakaran dan penjarahan di seluruh Indonesia, apa yang akan
terjadi kemudian di tanggal 19 April 2020? 20 April 2020? Tanggal 1 Juni
2020???
Apakah
kita akan bisa lagi santai seperti hari ini? Apa saya masih bisa duduk
tenang menuliskan apa yang saya pikirkan tentang negeri ini? Apa anak
saya masih bisa duduk berjauhan dengan saya? Apa kalian masih bisa
melakukan apapun yang kalian lakukan dengan tenang di hari ini?
Kenapa
hal-hal lain di luar permasalahan wabah corona jadi lebih menakutkan?
Mengapa 277 kepala daerah masih belum mengalokasikan dana untuk corona?
Mengapa di Indonesia begitu banyak orang-orang yang hobi mencuri
kesempatan dalam kesempitan dan himpitan pandemic dunia?
Ketakutan bangsa Indonesia di tengah wabah corona sepertinya berbeda dengan ketakutan bangsa lain di Negara lain…
Hari
ini saya bicara dengan tante saya di Jenewa, Swiss. Lalu kita saling
bertanya “comment ca-va toi, la-ba (apa kabarmu, di sana)?” dan yang dia
ceritakan adalah kesulitannya karena sudah benar-benar terkurung
berminggu-minggu walaupun makanan dan semua kebutuhan sehari-hari selalu
dikirimi dari kelurahannya. Dan ketika saya yang harus menjawab
pertanyaannya tentang kabar saya di Indonesia sini, saya tiba-tiba
merasa kesulitan untuk bercerita. Karena apa yang saya rasanya bukan
kekhawatiran akan virus corona. Yang berkecamuk di kepala saya adalah
kekhawatiran jika Presiden Jokowi akhirnya tak bisa bertahan karena
terus menerus ditusuk dari belakang oleh orang-orang di sekeliling dia
yang melihat corona adalah peluang, kesempatan, celah untuk memperkaya
diri dari banyaknya korban yang berjatuhan dan meninggal.
Saya
yakin seyakin-yakinnya, bagi Jokowi sendiri, dia tidak akan merasa rugi
jika akhirnya perjuangan dirinya untuk membuat Indonesia menjadi milik
bangsanya sendiri, bukan milik para elit dan para mafia, harus berhenti
di tengah jalan. Tapi bagi kita, rakyat Indonesia, kerugian itu bisa
sampai tujuh turunan!!
Dan
sekali lagi, kita tidak akan bisa lagi merasakan ketenangan dan
kecemasan seperti hari ini…. Jika sampai kita membiarkan Negara ini
terus dikuasai oleh para pencoleng dan mafia, besok lusa kekhawatiran
kita hanya satu, bagaimana menyelamatkan nyawa dan keluarga. Tak lagi
berpikir bagaimana besok kita akan makan.
Corona
adalah wabah corona. Tak ada hubungannya dengan politik dan agama.
Tidakkah kita ingin hidup di Negara yang secara hakiki menjadi “rumah
kita”? Ya, kita wajib berdoa dan meminta perlindungan Tuhan, tapi tidak
juga dengan cara berkumpul menantang Tuhan untuk mengabulkan do’a yang
dipanjatkan TANPA kehati-hatian!!
Corona mengajarkan kita
Ustaz Ini Banyak Gaya, Sebut Virus Corona Hanya Serang Orang Munafik
Masih
banyak rupanya orang-orang konyol yang mencari panggung di tengah wabah
corona dengan cara yang sangat menggelikan, entah itu orang awam,
politisi, pejabat bahkan pemuka agama sekali pun.
Media
sosial kembali dihebohkan oleh pernyataan kontroversial seorang ustaz.
Adalah Ustaz Yahya Waloni yang baru-baru ini dalam ceramahnya
mengatakan virus corona hanya menyerang orang munafik.
Selain
mengeluarkan statement konyol itu, dia juga menyindir Raja ketujuh Arab
Saudi, Salman bin Abdulaziz Al-Saud karena menutup Kota Mekkah. "Orang
Arab pun jadi pengecut. Raja Salman pun kehilangan iman. Kosong Mekkah,
enggak ada yang berani umrah. Saya bilang Mekkah yang sekarang ini sudah
hilang keislamannya," kata Yahya.
"Saya
datang dari sana sampai duduk di sini tidak ada saya lihat yang pakai
masker ini, karena apa? Karena tidak ada yang munafik di sini," katanya.
Dia
dengan tegas mengatakan corona datang hanya kepada mereka yang munafik.
Sebagai informasi, ceramah itu dilakukan pada tanggal 08 Maret 2020.
Tapi, lokasi ceramah tersebut belum diketahui secara pasti.
Saya
penasaran dari mana orang-orang seperti ini bisa mengeluarkan statement
konyol seperti ini. seorang ustaz yang mempermalukan diri sendiri
dengan pengetahuan minim akan virus corona tapi mengaitkannya dengan
agama lalu menjualnya ke warga yang mau membeli. Jadilah penyesatan
massal.
Entah
sejak kapan virus bisa punya pikiran dan memilih siapa yang akan
dijangkiti. Virusnya mungkin punya otak, punya mata dan bisa berpikir
logis, bisa memilih orang yang akan diserang. Oh, dia muslim, maka akan
dihindari, sedangkan yang ini kafir, ayo serang. Ini anak sholeh, jangan
dekati, lalu di sana ada orang munafik, ayo jangkiti. Ini orang
Indonesia, tidak boleh jangkiti, di sana ada banyak Aseng, ayo serang.
Begitukah?
Mabuk
agama, jadinya tidak ada logika. Ngomong semuanya ngawur. Harusnya
ustaz ini bahas agama saja. Jangan sok bahas isu-isu lain yang bukan
kompetensinya dari sisi agama. Orang ini, dari perkataannya, seolah
sudah paling paham dengan virus corona, padahal hingga saat ini ilmuwan
masih berusaha memahami lebih jauh, dan masih belum paham seutuhnya
mengenai virus ini. Sedangkan ustaz ini sudah sangat paham, hanya
memilih orang munafik.
Kalau
virusnya bekerja dengan cara begini, wabah pasti lebih gampang
diselesaikan. Virus bisa memilih siapa yang mau diserang. Cukup minta
kepada virus itu agar tidak mendekat, lalu selipi dengan uang suap
pelicin, pasti virusnya bakal senang dan pergi jauh-jauh.
Dan
yang paling hebat adalah ustaz ini bahkan menyindir Raja Salman,
menyebutnya pengecut karena menutup ibadah umroh. Terlihat jelas kalau
orang ini terlalu emosional, hingga kehilangan akal sehat. Membuka
ibadah umroh sama saja dengan membuat pandemi baru yanh lebih luas.
Jutaan orang Umroh tiap tahun, bayangkan berapa banyak orang yang bakal
terjangkit dan tewas kalau tidak dihentikan.
Perihal
kaitannya agama, padahal banyak cluster corona berasal dari tempat
ibadah dan acara keagamaan. Lihat saja di Malaysia, kasus melonjak
gara-gara acara Tabligh Akbar di Kuala Lumpur yang dihadiri puluhan ribu
orang. Yang dalam negeri, lihat saja seminar keagamaan di Lembang
beberapa waktu lalu yang dihadiri oleh 2.000 orang dan acara serupa di
Bogor yang dihadiri kurang lebih 600 orang dari 25 provinsi di
Indonesia.
Ini
menandakan kalau virusnya tidak mengenal syarat-syarat seperti itu.
Makanya semua kegiatan keagamaan (apalagi yang berskala besar) untuk
sementara ditiadakan, agar penularan tidak makin meluas.
Seharusnya,
pemuka agama dapat menahan diri agar tidak membuat kegaduhan karena
terlalu mabuk agama, apalagi sampai menggiring masyarakat dengan cara
yang konyol. Mau bergaya ya, silakan, kalau sakit, silakan tanggung
sendiri, jangan provokasi masyarakat dengan cocoklogi konyol.
Harusnya
pemerintah lebih tegas lagi membereskan ceramah-ceramah tak bertanggung
jawab seperti ini karena berpotensi, dalam skala ringan membodohi
masyarakat dan dalam skala berat dapat memprovokasi mereka. Mereka
terlalu angkuh dan arogan gara-gara label ustaz sehingga merasa memiliki
hak istimewa untuk mengatakan apa pun. Sok mengatakan munafik. Justru
kemunafikan seperti inilah yang membahayakan orang lain.
Parah memang.
Bagaimana menurut Anda?
Hah, Masih Mau Demo Buruh di Tengah Corona? Punya Kerjaan Saja Mestinya Bersyukur!
Hari
ini saya baca di media online bahwa kelompok buruh dan massa berniat
melakukan aksi demonstrasi pada 30 April 2020 mendatang. Aksi rencananya
dilaksanakan di depan DPR RI dan Kantor Kemenko Perekonomian, dan akan
melibatkan 50 ribu buruh. Mereka tidak hanya menolak omnibus law RUU
Cipta Kerja, tapi juga menuntut agar tidak ada PHK selama pandemi
Corona.
Haduh,
esensialkah melakukan demonstrasi di suasana seperti ini? Iya, saya
tahu aksi Hari Buruh mereka nanti sangat mungkin tidak bisa dilakukan
karena adanya aturan PSBB. SItuasi hari ini berbeda dari setahun lalu
misalnya. Okelah, anggap mereka punya aspirasi yang ingin disampaikan.
Bukankah bisa perwakilan federasinya saja yang datang ke DPR menuntut
tidak ada pembahasan? Buat apa pengarahan massa di situasi seperti ini?
Mau
Said Iqbal bilang mereka akan menjaga jarak peserta aksi, memakai
masker, dan membawa hand sanitizer buat saya juga percuma. Apa ya
mungkin mereka bisa seperti itu? Peraturan PSBB itu saja setahu saya
tidak boleh warga berkerumun lebih dari lima orang. Lha ini malah mau
demo? Lagipula apa Anda yakin mereka benar-benar bisa jaga jarak?
Sementara kita tahu massa itu bergerombol, berangkat bareng-bareng, demo
berjamaah, dan buyarnya pun beramai-ramai.
Masker
dan hand sanitizer itu penting tapi bukan the one and only hal yang
membuat kita sudah pasti aman dari ancaman menyebarkan dan ketularan
virus corona. Itu cuma alat bantu untuk mencegah selain banyak ikhtiar
lain yang dilakukan. Lha kalau dua itu mutlak bikin aman, buat apa ada
seruan Work From Home dan School From Home coba?
Saya
baca juga salah satu tuntutan mereka itu supaya tidak ada pemecatan di
tengah situasi pandemi?? Hoy buruh yang mau demo, kalian hari ini masih
punya pekerjaan, masih dapat gaji, masih dapat tunjangan, masih bisa
cari nafkah saja SEHARUSNYA sudah sangat bersyukur. Di
luar sana banyak orang yang terpaksa pekerjaannya terpending sehingga
tak bisa dapat fee, digaji setengah, dirumahkan tanpa digaji dan baru
akan dipanggil setelah pandemi selesai, dipaksa pensiun dini karena
bisnis sedang buruk, gajinya ditunda, dan sebagainya. Kalian-kalian yang
hari ini masih bisa kerja ini mestinya justru mikir, kalian itu sudah
sangat beruntung. Apa lagi yang kalian cari?
Jangan
dianggap pengusaha itu selalu enak dan banyak duitnya. Meme ini mungkin
bisa jadi gambaran situasi yang dihadapi pengusaha saat ini.
Kantor
dan pabrik kalian yang kebetulan masih buka tak selalu berarti duitnya
masih banyak atau bisnisnya masih berlangsung dengan baik. Bisa jadi itu
bagian dari ikhtiar supaya perusahaan jangan sampai kukut, meski
mungkin penjualan tidak sebaik biasanya tapi diusahakan masih ada sales.
Mereka juga punya beban. Mulai dari bayar gaji pegawai, biaya
pabrik/kantor, pajak, bayar utang usaha, dan sebagainya. Semua ini
sedang susah. Tidak bisakah kali ini kalian mengerem diri tidak usah
demo?
Kalau
sampai dari demo buruh ini kemudian terbentuk cluster penyebaran corona
baru, siapa yang mau tanggung jawab? Memangnya Said Iqbal dan
ketua-ketua serikat buruh lainnya itu yang akan merawat kalian,
menafkahi keluarga kalian, dan sebagainya? Nggak! Mereka mah nggak akan
peduli. Kalau kalian mati karena Covid mereka juga nggak akan ambil
pusing. Yang pusing anak istri kalian di rumah.
Buat
saya pribadi, marilah kawan-kawan buruh jangan mau kalian dibodohi oleh
ketua-ketua serikat pekerja kalian itu. Inilah saatnya kalian memberi
effort semaksimal mungkin ke kantor atau pabrik yang selama ini sudah
menafkahi kalian. Yang sampai saat ini masih memberi kalian kesempatan
bekerja.
Saatnya
juga kalian jadi pahlawan buat masyarakat. Kita nggak tahu apakah kita
ini carrier atau bukan. Jangan memancing munculnya cluster baru
penyebaran korona. Jangan buat beban tim medis kita makin berat. Jangan
jadi super spreader yang bisa menyakiti bahkan menghilangkan nyawa
orang-orang terdekat kalian. Jadilah orang-orang yang tahu diri, tahu
bersyukur, dan bertanggungjawab. Kalau sampai ada apa-apa terkait aksi
ini, percayalah masyarakat justru akan muak dengan kalian.
Gara-Gara Stigma : Pasien Bohong, Tim Medis Ketularan
Sebuah
kabar sedih datang dari Semarang, Jawa Tengah. Gubernur Jawa Tengah,
Ganjar Pranowo, menyatakan bahwa kasus terjangkitnya 46 tenaga medis
RSUP Dr Kariadi Semarang diakibatkan pasien tidak jujur. Pasien yang
datang berobat tersebut tidak mengatakan bahwa baru saja bepergian dari
daerah-daerah zona merah. Tenaga medis yang positif Covid-19 terdiri
puluhan dokter dan perawat.
"Kejadian
di RSUP Dr Kariadi itu sesuatu yang luar biasa. Ini pembelajaran bagi
kita bahwa seorang dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya sangat
rentan. Sedihnya lagi, mereka terkena virus Covid-19 dari pasien yang
tidak jujur,"
"Kalau
di jantung dan benteng pertahanan terakhir bisa tertular, ini sesuatu
yang sangat serius. Untuk itu, kami minta seluruh rumah sakit untuk
memperketat protokol kesehatan di tempat masing-masing demi melindungi
para tenaga medis kita,"
Kejadian
ini bukan hanya terjadi di RS Kariadi saja. Seorang pria berusia 43
tahun asal Grobogan juga tidak jujur ketika ditanya soal riwayat
perjalanannya oleh tim medis RSUD dr Soedjati Soemodiardjo Purwodadi,
Grobogan. Pada saat diperiksa, pasien positif corona itu berbohong. Ia
mengaku tidak pernah pergi ke daerah berstatus zona merah Covid-19.
Belakangan diketahui, pria yang mengaku sebagai kuli bangunan itu baru
saja mudik dari Jakarta. Dari keterangan inilah, pasien tersebut
selanjutnya dirawat di salah satu kamar perawatan yang ada di bangsal
Nusa Indah.
Salah
satu prosedur pemeriksaan adalah tahapan anamnesa yang dilakukan
biasanya di rumah sakit dilakukan oleh dokter dan perawat. Di tahap ini
memang yang terbaik adalah pasien jujur sejujurnya tentang kondisi yang
dia alami. Jujur ke dokter ini seringkali jadi hal yang susah buat
pasien dengan berbagai alasan. Terutama sekali soal stigma. Bahkan bisa
membuat pasien gagal berobat atau mendapatkan perawatan.
Saya
punya seorang kawan yang kebetulan dia masih single namun memang sudah
aktif secara seksual. Dia ingin bisa mendapatkan layanan pap-smear. Dia
sadar dengan resiko yang bisa dia alami terkait aktivitasnya. Di Jakarta
dan beberapa kota besar lain, mungkin sudah banyak layanan dan tenaga
medis yang less judgemental terkait kejujuran pasien tentang aktivitas
seksualnya. Tapi di daerah, apalagi kalau RS-nya RS keagamaan,
seringkali situasi menjadi sulit. Mau papsmear saja harus sudah menikah,
harus ada ijin dari suami. Padahal yang punya organ reproduksi adalah
si pasien, bukan laki-laki meskipun itu suaminya.
Nah
sekarang problem penghakiman dan stigma ini lebih besar lagi. Sebab
yang memberikan stigma adalah masyarakat. Ya, sebagian masyarakat kita
sepertinya lebay menyikapi corona ini. Terbukti ada cerita pasien yang
diasingkan, tenaga medis diusir, jenazah ditolak dimakamkan, dan
sebagainya. Mungkin sekali ini faktor yang membuat ada orang-orang yang
nggak mau jujur dengan kondisinya.
Akibatnya
tentu saja situasinya jadi fatal. Bayangkan kalau 46 tim medis
dinyatakan positif. Lha kalau garda paling akhir yang harusnya merawat
justru butuh dirawat, terus siapa lagi yang bisa kita andalkan?
Maka dari itu mulai sekarang sangat penting untuk menyerukan "JUJURLAH SAAT KE DOKTER".
Terbukalah dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Tim medis juga
sangat mungkin perlu melakukan kroscek misalnya dengan anggota keluarga
untuk mengetahui apakah ada yang ditutupi oleh pasien atau tidak.
Dan
yang terpenting, jangan ada stigma buruk lagi tentang penderita corona.
Semakin banyak orang yang terbuka, jujur, dilakukan pemeriksaan,
ketahuan terjangkit, menurut saya justru bagus sebab kemudian akhirnya
orang-orang di sekitarnya akan waspada. Bandingkan jika mereka berbohong
dan tidak ketahuan. Andaikan ini keluarga atau tetangga dekat Anda,
bisa jadi berikutnyalah Anda yang ketularan karena kebohongan ini.
Biasanya
yang didengar oleh masyarakat itu adalah tokoh entah itu pejabat,
ulama, atau artis. Mungkin ada baiknya mulai digerakkan gerakan untuk
jujur kepada tim medis. Sampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami.
Jaring
lain untuk menekan angka dusta adalah kepekaan RT dan RW. RT dna RW
harus mendata warganya termasuk yang baru datang ke luar kota. Data ini
harus terlink dan terupdate ke Puskesmas dan RS sehingga juga bisa
dilakukan kroscek jika ada pasien dengan nama dan NIK yang sama
misalnya, datang untuk berobat.
Jumat Berkah, Anies Segera Terima Cicilan Rp2,5 T dari Sri Mulyani
Anies
Baswedan, Gubernur Rasa Presiden Tergetar se-jagat raya, sebenarnya
adalah contoh seorang pejabat yang mencerminkan sifat jenis manusia
tertentu yang tiba-tiba bisa menjadi aneh. Terutama bila berkaitan
dengan masalah uang, pendapatan, dan belanja.
Ya, begitulah….
Manusia tertentu sering menjadi aneh kalau soal uang. Pokoknya aneh.
Biasanya
sih tidak transparan. Yang banyak bisa diperlihatkan menjadi sedikit.
Tapi yang banyak bisa dianggap kecil, bila untuk memenuhi keinginannya.
Manusia tertentu juga selalu menganggap pendapatannya kurang, tapi sering lupa diri kalau berbelanja.
Anies
Baswedan juga begitu. Terkesan tidak transparan bila berkaitan dengan
uang. Misalnya berapa sebenarnya harga lem aibon? Kemana pohon-pohon
Taman Monas setelah ditebang yang bila diuangkan juga nilainya cukup
lumayan? Sebenarnya bantuan pada para terdampak PSBB berapa nilainya,
ada uang tunainya atau tidak?
Beberapa
contoh pertanyaan di atas menunjukkan adanya ketidakjelasan pengelolaan
keuangan rezim Anies Baswedan di DKI Jakarta. Mengindikasikan
ketidakberesan.
Anies
juga bermasalah dengan pendapatan dan ketepatan belanja. Anies sering
berbelanja mahal walau tidak penting. Atau membesar-besarkan nilai
belanja.
Contohnya adalah rencana pembelian lem aibon yang hanganya kagak pake
kira-kita itu tadi. Atau rencana balap Formula E yang mahal (dan
kemahalan), yang hanya menuruti keinginan Anies, yang untungnya gagal.
Anies berlagak sok kaya kala itu.
Anehnya,
ketika harus menghadapi wabah Covid-19 yang mengamuk di wilayahnya,
Anies lantas berlagak miskin. Berbalik gaya, tidak seperti saat ingin
menggelar balap Formula E dulu. Hal yang sempat dipertanyakan politisi
Gerindra, Kamrussamad.
"Sebaiknya
Pak Anies menggunakan dana Formula E yang batal untuk corona senilai
Rp1,6 triliun dan sudah dikeluarkan broker fee senilai Rp375 miliar
untuk mendapatkan izin tuan rumah Formula E," tukasnya.
Apa
yang disampaikan Gerindra itu terkait dengan pencitraan yang Anies
Baswedan lakukan. Soal permintaannya agar Menteri Keuangan Sri Mulyani
segera mencairkan dana piutang DKI Jakarta sebesar Rp5,1 triliun.
"Hentikan
model pencitraan Anies dengan melemparkan ke publik tagihan ke
pemerintah pusat. Silakan proses administrasi tapi jangan dijadikan
komoditas politik," ujar Kamrussamad.
Dana
yang ditagih Anies adalah DBH Pemprov DKI Jakarta untuk mendukung arus
kas (cash flow) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Bahkan
penagihan itu juga disampaikan di depan Wapres dalam suatu rapat
terbatas.
“Ketika
ratas (rapat terbatas) kita sampaikan bahwa ada dana bagi hasil yang
sesungguhnya perlu segera dieksekusi karena itu akan membantu sekali,”
ujar Anies saat melakukan Video Conference bersama Wakil Presiden RI,
Maruf Amin, Kamis (2/4).
Anies
menjelaskan, merujuk pada tagihan tahun lalu, piutang dari Kementerian
Keuangan kepada Jakarta semula nilainya ada Rp 6,4 triliun. Namun karena
ada beberapa penyesuaian dan berubah akhirnya menjadi Rp 5,1 triliun.
Melihat Anies butuh uang, Bu Sri Mulyani bertindak cepat. Beliau segera menindaklanjuti.
"Teknisnya
menunggu audit dulu dari BPK, tapi sekarang urgent maka kami putuskan
bayar dulu 50 persen. Begitu audit selesai bahwa memang angkanya sekian
dibayarkan sisanya," ucap Sri Mulyani dalam video conference, Jumat
(17/4).
"DBH
2019 kalau dalam undang-undang kami bayarkan pada kuartal III karena
menunggu audit BPK. Ini kamu percepat pada April ini sebesar 50 persen,"
jelas Bu Sri.
Oalah…..,
jadi dana yang ditagih Pak Anies itu, sebenarnya dana yang memang belum
waktunya dicairkan. Menunggu audit BPK dulu.
Ya ampun Pak Anies!!!!... Kalau itu sih bukan nagih namanya. Tapi minta dipercepat, bahkan ketika prosesnya belum lengkap.
Tapi
jelas pemerintah pusat paham, saat ini penanganan Covid-19 dan
dampaknya menjadi prioritas utama. Alur prosedural hanya mengikuti.
Yang
jelas, selanjutnya perlu pengawasan dalam penggunaan dana itu. Agar
sampai dengan semestinya. Apalagi Pak Gubernur Jakarta ini gemar
berkata-kata dalam terang, tapi sering bertindak dalam senyap.
Jangan konpers-nya berapa, nyampe
ke penerimanya berapa? Atau terjadi kesimpangsiuran dan ketidakjelasan
yang sangat lekat dengan citra nyata seorang Anies Baswedan.
Hendaknya singkirkan dulu keinginan pribadi dan kelompok, kemudian dahulukan kepentingan rakyat. Hindari tindakan lebay dan offside bermodal kekuasaan, yang malah menyusahkan warganya.
Ah…, tapi itu sepertinya susah dilakukan oleh seorang Anies.
Akhirnya,
sekali lagi bukti bahwa pemerintah pusat mencoba bertindak semaksimal
mungkin dalam keadaan yang serba tidak ideal ini. Memastikan
ketersediaan hal yang memang dibutuhkan rakyatnya.
Beramai Ramai Merampok Negeri
Beberapa
hari saya merenungkan apa yang sebenarnya terjadi saat ini di
Indonesia? Mengapa orang orang teriak teriak Lockdown, PSBB atau
karantina wilayah. Pertanyaan saya cukup simple, Apakah ada jaminan
dengan itu semua kita tidak tertular Covid-19? Yang kita hadapi adalah
makhluk tak terlihat yaitu virus.
Kita
ketahui bersama Indonesia ini negeri yang sangat sosial, ramah tamah
dan gotong royong ciri khas negeri ini dari dahulu kala. Sehingga
menurut saya, aturan apapun yang bentuknya "pembatasan bersosial" pasti
tak akan berhasil dengan alasan apapun.
Pembatasan
bersosial ini sudah pasti akan dilawan oleh rakyat secara terbuka atau
sembunyi sembunyi yg notabene sudah mendarah daging sebagai bangsa yang
ramah tamah dan gotong royong.
Kita
lihat pembatasan bersosial (PSBB contohnya) ini makin lama akan semakin
membuat rakyat berteriak. Lapar! Lapar ! Lapar! itu adalah teriakan
mereka. Pemerintah punya solusi yaitu mengucurkan dana berupa bansos
langsung ke masyarakat. pertanyaan berikutnya, sampai kapan pemerintah
punya dana untuk menyediakan kebutuhan rakyat? Uang negara akan habis
dan terakhir saat krisis 98 adalah kita meminjam IMF dengan menggadaikan
harga diri kita sebagai sebuah bangsa.
Tidak
luput di tengah pandemi ini, entah pendukung pemerintah maupun non
Pemerintah yang mencoba memancing di air keruh. Sebutlah si stafsus
milenial Andi Taufan yang menggunakan jabatan sebagai stafsus presiden
untuk menggiring camat agar menggunakan perusahaan nya yaitu Amartha
fintek untuk ikut menikmati Kue "dana" corona ini.
Contoh
lain Lihatlah Anies Baswedan gubernur DKI yang pada awal tahun 2020
dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa Rakyat miskin Jakarta turun
menjadi 3,42 persen atau 362 ribu orang tahun 2019 tapi saat laporan ke
Wapres pada bulan april menjadi 3,7 juta orang (miskin + rentan miskin)
demi permintaan bantuan akibat wabah covid-19. Akhirnya saya menyadari,
banyak yang ingin merampok negeri ini dalam keadaan krisis ini.
Balik
fokus ke pembatasan bersosial ini, tadinya saya berpikir pembatasan
bersosial ini merupakan solusi jangka pendek dalam arti Sebuah wadah
penampung air hujan yang masuk kerumah karena genteng bocor. Tapi saat
hujan mengecil segera mengganti genteng bocor tersebut. Ternyata tidak,
ternyata yang terjadi adalah beramai ramai menawarkan wadah penampung
air, bukan beramai ramai menawarkan genteng untuk mengganti genteng yang
bocor.
Maka
tidak heran jumlah kasus korban corona ini kena mark up terus dalam
bahasa berbeda beda. Tapi Hampir tidak ada dan jarang mendengar berita
sejauh apa percobaan pembuatan vaksin, pembuatan obat, penelitian untuk
penyembuhan covid di Indonesia. Saya hampir tidak melihat lingkaran
istana, maju ke podium mengumumkan bahwa UNAIR sebagai center penyakit
tropis telah sampai tahap A dalam pengembangan obat covid-19, UI dan IPB
telah sampai tahap B. Prof S dan Prof X telah berhasil pada tahap Z,
Dokter dan ahli Virus telah berhasil melakukan transfer plasma sebagai
obat covid-19.
Saya
hampir tidak melihat ada lingkaran istana entah itu stafsus atau
lainnya yang mendatangi mereka mereka itu dan melakukan konference
bersama bahwa pemerintah siap memberikan bantuan apapun dan berapapun
serta reward setinggi tingginya terhadap ilmuan yang berhasil menemukan
obat maupun vaksin covid-19. Yang terjadi saat ini para ahli dan ilmuan
itu melakukan conference terpisah tanpa di dampingi lingkaran istana
(stafsus, menteri, wamen, dirjen dll). Padahal ini adalah jalan keluar
sesungguhnya.
Semua
sibuk menawarkan wadah penampung air. Akhirnya muncul satu demi satu
kepermukaan dana yang mengucur tersebut tidak bisa menambal rasa Lapar.
Rasa Lapar semakin membesar karena mulai ada PHK, Pemotongan Gaji dan
THR yang tidak ada. Hal ini karena yang tadinya menolong karena masih
ada penghasilan dan pekerjaan akhirnya masuk ke dalam daftar antrian
yang di tolong. Akhirnya jumlah dana yang mengoyak kas negara semakin
membesar dan semakin menjadi bola salju yang tidak terbendung sehingga
jebol meluber kemana mana.
Hari
ini Jokowi seperti terkepung dalam lingkaran setan. Saat Kas negara
sudah habis karena di rampok untuk program bansos ini itu tapi tak ada
kejelasan obat atau vaksin untuk wabah ini. Akhirnya selanjutnya adalah
menuduh pemerintah gagal, ya sudah pasti gagal karena krisis ekonomi
datang karena aktivitas ekonomi di tutup dan Kas Negara terkoyak di
gunakan untuk kompensasinya. Seperti BOM waktu yang siap menenggelamkan
Indonesia dengan kerusuhan massal.
Tanda
tandanya sudah muncul, "kill the Rich, sudah krisis saatnya membakar"
itu sebuah phrase untuk menggiring pemikiran, kita LAPAR!!! Kita akan
lakukan apa saja demi makan. Saat ini seakan akan semua ingin
mendapatkan untung dengan mengucurnya kas negara akibat covid-19 tapi
yang menanggung kesalahan Presiden Jokowi.
Pembatasan
bersosial (lockdown, PSBB dll) ini banyak memunculkan masalah baru
seperti tahanan di lepas karena pembatasan sosial tapi akhirnya muncul
masalah baru lainnya seperti keamanan. Mereka mereka residivis kambuhan
apa peduli kena corona? sehingga menikmati bebas dari penjara. Wong
mereka setiap hari harus bertaruh hidup dan mati kok entah di jalanan
atau di ujung pistol polisi.
Apa
daya kita tidak punya kemampuan melawan makhluk tak kasat mata ini.
Tapi menurut saya Lockdown, PSBB atau karantina wilayah bukanlah
jawabannya. Mungkin Jawabannya adalah pemisahan yang sakit dan yang
sehat. Jika sakit langsung di masukan ke rumah karantina (RS, klinik)
dan yang sehat aktifitas seperti biasa. Sehingga dana pemerintah fokus
kepada kesehatan dan penyembuhan yang sakit, karena yang sehat tetap
beraktifitas biasa dan menggerakan roda ekonomi.
Tapi
ditengah krisis seperti ini Janganlah beramai ramai merampok negeri,
karena jika negeri ini gagal yang muncul kemudian adalah anarkis, dimana
nyawa kita, anak dan keluarga kita jadi pertaruhannya. Saya mendukung
Jokowi sejak maju Gubernur Jakarta sampai saat ini tidak berharap jadi
menteri atau wamen atau pejabat apapun, hanya menginginkan Anak cucu
saya dapat hidup damai nan tentram di bumi Nusantara ini.
Mengembalikan Bansos Itu Keren, Bung! Ada yang Mau Meniru Warga Kelapa Gading Ini?
Ada berita yang dilansir dari laman Kumparan
mengenai warga di daerah Kelapa Gading yang mengembalikan bantuan
sosial (bansos) yang dikirimkan kepada mereka. Membaca isi berita dengan
saksama, mustahil rasanya bila dianggap bahwa bansos dari Pemprov DKI
Jakarta tersebut salah alamat. Kalau salah sasaran atau tidak tepat
sasaran ... bagi saya sih iya!
Alasan
pengembalian bansos tersebut pun menurut saya keren: merasa tak berhak
menerima!
Atau dengan kata lain, para warga yang berhati mulia dan baik hati
tersebut menganggap bahwa masih banyak warga lain yang lebih layak
menerima bansos tersebut, karena lebih membutuhkan dibandingkan dengan
mereka.
Terlebih
berita tersebut, yang saya temukan di media sosial Facebook, lantas
disandingkan dengan temuan lain mengenai adanya warga lansia, warga
miskin dan sebatang kara, eh malah tidak mendapat bantuan sosial ini.
Justru warga yang dilaporkan memiliki mobil malah mendapatkan bansos
ini. Siapa yang patut disalahkan?
Wali Kota Jakarta Utara, Sigit Wijatmoko, juga memastikan bahwa berita ini benar. Menurutnya, warga yang mengembalikan bansos itu berlokasi di RW 07 Kelurahan Kelapa Gading Barat, dimana ada 22 paket sembako dikembalikan ke Pemprov DKI karena dianggap salah sasaran.
Bagi
saya orang kunci dalam setiap penyaluran bantuan sosial, dana bencana
alam, atau apa pun sebutannya ... terletak pada mereka yang saya sebut:
petugas pendataan.Sejauh pengalaman saya saat terlibat dalam aksi gempa
di Jogja beberapa tahun silam, peran sebagai petugas pendataan dapat
dijalankan oleh Ketua RT/RW, Aparat Desa atau Kelurahan setempat, atau
orang khusus yang ditunjuk sebagai kordinator untuk pendataan.
Tentunya
dengan harapan agar penerima bantuan tepat sasaran dan sebisa mungkin
tidak terjadi kolusi atau kongkalikong di dalamnya. Sudah jadi rahasia
umum bahwa dalam setiap aksi semacam ini, terjadi salah sasaran yang
disengaja. Orang-orang yang seharusnya mendapatkan bansos atau dana
bantuan malah tidak masuk dalam daftar penerima, tetapi orang-orang yang
jelas tidak memerlukan, eh malah dapat.
Tak
jarang biasanya orang terdekat atau orang yang berpengaruh di daerah
tersebut. Meski sebetulnya kalau tidak mendapatkan bansos atau dansos
pun, mereka (maaf) tidak akan mati karena masih mampu bertahan hidup!
Itulah
sebabnya, selain menyanjung kebesaran hati dan keberanian untuk menolak
bantuan sosial dari warga Kelapa Gading yang berjumlah 22 paket tadi
... saya juga mempertanyakan peran dari petugas pendataan.
Bagaimana cara mereka bekerja? Kenapa ada warga miskin, lansia, dan
sebatang kara yang terlewat ... tetapi warga yang sepertinya terlihat
mampu malah menjadi penerima bansos?
Saya
mencoba tidak berburuk sangka, tetapi sukar untuk mempertanyakan
kinerja dari orang-orang yang seharusnya mendata calon penerima bansos
dengan jeli, cermat, dan tegas. Kok perlu ketegasan? Ya, perlu ketegasan
untuk menolak mereka yang seharusnya memang tidak perlu dibantu
karena masih dalam keadaan baik! Masa’ kalau punya mobil perlu mendapat
bansos? Kan mobilnya bisa dijual kalau memang dalam keadaan sangat
kepepet?
Simpelnya ... berikan kepada masyarakat (warga) yang memang berhak menerima dan jangan berikan kepada mereka yang seharusnya tidak berhak menerima. Jangan karena alasan pemerataan, maka bantuan diterima juga oleh mereka yang seharusnya tidak menerima.
Sekali
lagi ... apresiasi tinggi patut diberikan kepada warga RW 07 karena
telah bertindak hebat dengan mengembalikan bansos karena kalian
menganggap bahwa pemberian tersebut lebih baik diberikan kepada warga
yang lebih membutuhkan.
Hati yang model gini, saya bilang cukup langka ditemui di Indonesia,
terlebih pada kondisi seperti sekarang ... dimana terkadang orang yang
seharusnya masih mampu bertahan, survive dengan upaya sendiri, tetapi
mendadak merasa bahwa dirinya sebagai orang yang paling malang
se-Indonesia.
Akhirnya
... bansos memang diperlukan untuk membantu warga yang membutuhkan,
tetapi harus diterima oleh mereka yang benar-benar membutuhkan. Semoga
tragedi bansos salah sasaran tidak terjadi lagi, di manapun, tak hanya
di Jakarta. Saya juga berharap agar sekiranya ada warga yang merasa
masih mampu, semoga dapat meniru apa yang dilakukan oleh warga RW 07
Kelapa Gading tadi, karena itulah tindakan yang benar dan tepat pada
masa seperti ini.
Begitulah kura-kura ...
Sumber artikel:
https://kumparan.com/kumparannews/warga-di-kelapa-gading-kembalikan-bansos-ke-pemprov-dki-karena-merasa-tak-berhak-1tEZcZTYuRP
Mecegah Corona Tak Ikutan Mudik
Sudah
45 hari sejak Indonesia mengumumkan kasus pertama Covid 19 yang
terkonfirmasi pada tanggal 2 Maret 2020. Awalnya hanya 2 orang, lalu
beberapa gelintir di hari-hari perdana, naik menjadi puluhan sampai
minggu ketiga bulan Maret dan akhirnya menjadi ratusan sejak 24 Maret
2020. Pelan tapi pasti, penambahan jumlah pasien yang terkonfirmasi
positif Covid 19 meningkat, sejalan dengan meningkatnya jumlah pasien
yang menjalani test. Ternyata Indonesia yang suhunya panas dan udaranya
relatif lembab, tidak juga imun terhadap wabah Corona.
Posisi
sampai kemarin (Selasa, 14 April 2020), jumlah pasien yang
terkonfirmasi positif sudah mencapai 4.839 orang dengan jumlah kematian
459 orang atau setara dengan 9,5%. Angka fatalitas ini sangat tinggi
dibandingkan dengan angka rerata dunia yang hanya berkisar 3.4%.
Tingginya persentasi angka ini kemungkinan disebabkan karena rendahnya
kemampuan pemerintah dalam mengetahui pasien yang sudah terinfeksi
tetapi belum terdeteksi melalui uji swap atau rapid test. Jumlah total
uji Covid di Indonesia memang masih sangat rendah, yaitu 17 test per 1
juta penduduk. Angka ini sangat kecil dibandingkan dengan jumlah test di
Bahrain, Korea Selatan, Hong Kong dan Italy yang mencapai ribuan per 1
juta penduduk, Dengan semakin banyaknya test, maka jumlah yang
terkonfirmasi akan meningkat dan persentasi fatalitasnya akan menurun.
Yang
menjadi pertanyaan adalah kapan puncak wabah ini akan terjadi, berapa
besar jumlah pasien yang terinfeksi dan bagaimana bentuk kurvanya
setelah penambahan jumlah yang terinfeksi mengalami pelandaian?
Ini adalah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Jawab atas
ketiga pertanyaan ini penting untuk diketahui untuk bisa memperkirakan
berapa banyak fasilitas kesehatan yang harus tersedia serta berapa lama
dampak wabah ini akan dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Beberapa ahli data analitik mempublikasikan hasil analisanya minggu lalu dan memprediksi
bahwa puncak wabah diperkirakan akan terjadi pada akhir bulan Juni
dengan total jumlah yang terinfeksi mencapai 105.000 orang.
Saya tidak tahu metode peramalan apa yang dipakai untuk menemukan angka
tersebut, tetapi saya yakin angka itu tidak turun dari langit. Hanya
saja kalau ini benar terjadi maka tentu fasilitas kesehatan yang
dimiliki Indonesia tidak akan mampu untuk menangani pasien yang kritis.
Dengan asumsi 10% pasien kritis saja, maka diperlukan 10.000 ruang
perawatan intensif (ICU), yang tidak mungkin dimiliki Indonesia.
Akibatnya tingkat fatalitas akan tinggi, dan ini bukan sekedar data-data
statistik, tetapi nyawa orang Indonesia yang punya keluarga dan sanak
saudara.
Saya sendiri lebih mengamini metode peramalan menggunakan Model Neural Network yang dilakukan oleh Prof. Pitoyo.
Beliau adalah seorang ilmuwan tulen, ahli Artificial Intelligent, yang
diakuinya tidak memiliki pengetahuan epidemology mengenai virus sama
sekali. Jadi analisanya hanya berdasarkan data empiris. Secara sederhana
analisanya dilakukan menggunakan 2 Neural Networks. Yang pertama untuk
mencari negara yang memiliki dinamika yang mirip dengan Indonesia dan
yang kedua untuk memprediksi jumlah pasien di Indonesia dengan
menggunakan negara yang mirip tersebut sebagai referensi.
Dari
gambar 1, yaitu peta dinamika sebaran Covid 19 terlihat bahwa posisi
Indonesia berdekatan dengan Swedia. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
Indonesia memiliki dinamika yang mirip dengan Swedia. Saat ini jumlah
pasien Covid 19 yang terkonfirmasi positif di Swedia mencapai 11.000
orang dengan tingkat kematian 920 orang.
Gambar
kedua adalah dinamika pertambahan pasien secara time series. Dari sini
terlihat juga bahwa grafik penambahan pasien Swedia dan Indonesia
berhimpit dengan Swedia 10 hari lebih awal mencapai jumlah pasien 400.
Artinya kalau hanya berdasarkan analisa grafik dan tidak ada perubahan
dinamika, maka diperkirakan bahwa 10 hari ke depan Indonesia bakalan
mencapai 11.000 orang, atau jumlah penambahan pasien sekitar 616 orang
per hari. Dan celakanya kedua grafik tersebut sampai hari ini belum
menampakkan tanda-tanda kapan akan mencapai puncaknya.
Saya mencoba menelusuri, mengapa Indonesia memiliki kemiripan dengan Swedia. Ternyata Swedia adalah negara di Eropa Barat yang masih belum menerapkan social distancing secara ketat.
Orang-orang masih berkerumun di tepi laut di Stockholm. Beberapa di
antaranya terlihat menikmati koktail di bawah sinar matahari yang
hangat. Memang pemerintah sudah mulai membatasi kerumunan maksimal 50
orang dari sebelumnya 500 orang. Tetapi restoran dan bar juga masih buka
seperti biasa, dan orang-orang masih berkeliaran normal di jalanan
tanpa memakai masker. Mayoritas kegiatan ekonomi juga masih berjalan.
Ini yang menyebabkan proses penularan meningkat lebih tinggi
dibandingkan dengan negara tetangganya, Denmark, yang memberlakukan
kebijakan yang jauh lebih ketat.
Belajar dari kenyataan di atas, maka langkah
pemerintah pusat untuk memberlakukan pembatasan sosial berskala besar
(PSBB), yang diikuti dengan pemberlakuan PSBB di Jabodetabek, Banten dan
Jawa Barat yang memang menjadi episentrum penyebaran corona sangat
tepat. Aktivitas perekonomian di Jabodetabek, Banten dan Jawa
Barat memang masih berlangsung, tetapi pergerakan warga di luar rumah
sudah jauh lebih berkurang. Semua mall sudah menghentikan operasinya
sejak minggu lalu. Semua restoran dipaksa tutup atau hanya melayani
layanan take away. Semua tempat rekreasi bahkan sudah tutup jauh lebih
awal. Orang-orang yang terpaksa masih harus di jalanan sudah hampir
semuanya memakai masker. Dan kerumunan orang dibatasi maksimal 5 orang,
walaupun belum sepenuhnya ditaati. Masih banyak pengemudi ojol yang
bergerombol mengais rejeki yang kian menipis.
Dengan
semua langkah tersebut, saya yakin bahwa penambahan jumlah orang
terkonfirmasi positif tidak akan sebesar prediksi berdasarkan kesamaan
grafik semata. Dalam hal ini jelas ada intervensi untuk mencegah
merebaknya wabah corona. Kata kuncinya adalah ketegasan pemerintah dan ketaatan warga.
Saya berani memprediksi bahwa 10 hari ke depan, jumlah orang
terkonfirmasi positif akan berkisar pada angka 8.000 – 9.000 orang. Dan
secara spekulatif diperkirakan puncaknya akan terjadi pada akhir bulan
April atau awal Mei dengan jumlah 12.000. Angka ini tentu bisa berubah
sejalan dengan perubahan data yang masuk.
Ada satu hal yang paling mengkawatirkan, yaitu munculnya cluster baru penyebaran corona dari pusat episentrum ke daerah dengan diijinkannya mudik lebaran. Penularan ke daerah-daerah bisa berlangsung dengan masif dan bahkan dengan tingkat fatalitas yang sangat tinggi mengingat daerah tidak memiliki fasilitas kesehatan yang memadai.
Dan penularan balik ke Jabodetabek akan semakin tinggi ketika terjadi
arus balik sesudah lebaran. Maka tidak ada pilihan lain kecuali ketegasan pemerintah untuk mengambil kebijakan melarang mudik lebaran kali ini,
semata-mata demi menyelamatkan keluarga kita, dan tentu saja
menyelamatkan Indonesia dari bencana yang lebih besar. Ini bukan pilihan
yang mudah tetapi harus dijalankan. Kita masih punya waktu untuk
membangun komunikasi yang masif dan terstruktur lewat seluruh kanal yang
tersedia.
Mari
kita dukung kebijakan pemerintah untuk “Di Rumah Saja” dan tidak ikutan
mudik, agar Indonesia segera terbebas dari corona.
Dr. Harris Turino – Doctor in Strategi Management
Celah Korupsi Tikus-Tikus Kampung, Dari Alokasi, Transparansi Sasaran
Ketua
KPK Firli Bahuri boleh saja mengatakan bahwa korupsi dana bencana
seperti wabah corona ini, hukumannya adalah pidana mati. Tetapi, apakah
semua pemerintah di daerah mengindahkan ini semua? Takutkah mereka
dengan warning yang diberikan oleh KPK pada musim wabah sedang menghajar
negeri ini?
Sebagai
sebuah pernyataan, saya setuju jika KPK memberikan pesan yang sangat
vulgar kepada publik, khususnya kepada pemerintah. Bunyi hukumannya pun
menggidikkan bulu badan. Hukuman mati man!
Pertanyaannya,
apakah KPK dapat memantau tindakan korupsi yang terjadi dalam masa-masa
wabah ini? Instrumen apa yang dipergunakan oleh KPK untuk memastikan
sebuah pengelolaan anggaran bencana alam di sebuah kabupaten tidak
terindikasi korupsi? Bagaimana mekanisme KPK untuk melakukan ini semua,
jika, dalam kondisi normal saja banyak kasus dugaan korupsi yang terjadi
di kabupaten/kota pelosok, nyaris tak tersentuh?
Jika
Anda bertanya, mungkinkah ada orang yang memiliki niat yang sangat
jahat untuk mencuri dana kemanusiaan ditengah wabah begini? Pasti saya
akan menjawab, ya! Sangat mungkin. Lalu jika Anda bertanya lagi,
seberapa besar peluang mereka untuk melakukan tindakan manipulatif itu
pada saat begini? Jawabannya: sangat besar peluangnya.
Mari saya tunjukkan:
- Mengabaikan perintah kepala negara: Presiden Jokowi telah memerintahkan semua propinsi, kota dan kabupaten untuk memangkas anggaran yang tidak penting untuk penanganan pandemik corona ini. Apakah semua pemerintah melakukan perintah ini? Ya, tentu mereka akan melakukannya, namun dalam hal memangkas program-program yang tidak prioritas untuk dipergunakan bagi penanganan corona pun belum tentu semuanya patuh. Coba dicek, ada sejumlah daerah yang jalan terus dengan proyek-proyek yang sudah terlanjur mereka rencanakan pada APBD 2020, karena sudah komitmen dengan pihak ketiga untuk mengerjakannya pada tahun ini. Proyek harus tetap jalan karena sudah ada 'komitmen.'
- Alokasi dan penggunaan anggaran yang tidak transparan: Semua pemprov, pemkot dan pemkab berlomba-lomba mengumumkan berapa alokasi anggaran yang mereka sediakan untuk penanganan wabah corona ini. Pertanyaannya, apakah semua perencanaan, pengalokasian anggaran, pemanfaatan, ketepatan target semua ini diumumkan ke publik atas nama transparansi? KPK, ceklah di lapangan, bahkan hingga hari ini di sejumlah kabupaten, publik hanya mengetahui dalam takaran gelondongan dengan nomenklatur yang sangat luas dan tidak spesifik. Siapa yang dapat memastikan bahwa anggaran tersebut penggunaanya tepat sasaran?
- Pengadaan APD dengan APBD, nyaris tanpa pengawasan: Hingga hari ini, sejak pertama kali wabah ini diumumkan secara nasional dan presiden meminta semua kepala daerah untuk melakukan langkah-langlah pengamanan wilayahnya dari paparan corona, sejumlah RSUD di pelosok timur Indonesia, belum memiliki APD. Padahal, seluruh propinsi di Indonesia kita sudah mencatatkan namanya di papan skor pasien positif. Sudah hampir sebulan berjalan, pemerintah selalu berkelit bahwa APD sedang dipesan tanpa tahu, kapan barang itu tiba di daerah.
Jangan
hanya bicara soal lamanya proses pengadaan APD, coba tanyakan, dengan
mekanisme apa pengadaan itu dilakukan? Apakah ada kontraktornya? Berapa
pagu anggarannya? Detail APD apa saja yang akan diadakan? Apakah sesuai
standar Kementerian Kesehatan? Mengapa demikian lama dan berapa harga
per item produk yang dibeli? Apakah sesuai dengan harga pasar?
Lalu
mereka akan menjawab dengan jawaban klasik, "Adalah pihak ketiga yang
sudah mengakannya, semua sedang dalam proses, sebentar lagi juga akan
tiba, sampai lama begini karena Anda tahu, semua daerah membutuhkan
barang-barang itu sehingga kita harus antri untuk mendapatkannya.
Kondisi ini membuat harga produk-produk itu juga melonjak setiap hari,
jadi kit dimaklumi saja, dalam kondisi seperti ini.
Lebih
kurang, begitulah jawaban mereka. Nah, pertanyaannya, apakah semua ini
terpantau juga oleh KPK? Dalam kondisi seperti ini, sebagian orang tidak
lagi berpikir soal tanggungjawab kemanusiaan. "Mumpung semua sedang
fokus ke corona, pasti pengawasannya pun lumpuh, sehingga banyak hal
yang bisa dimaklumi," kira-kira begitulah yang ada di dalam obrolan
antara petinggi di daerah.
Saya
khawatir, pernyataan Ketua KPK soal hukuman mati diatas, mungkin hanya
dipandang sebelah mata oleh para pejabat di daerah. Dan masyarakat
menjadi kaum di lapis kedua, karena mungkin yang pertama dan utama
adalah memanfaatkan bencana ini sebaik mungkin. Apalagi bagi kepala
daerah yang akan maju lagi dalam pilkada berikutnya, boleh jadi ini
kesempatan yang paling tepat untuk menumpuk pundi-pundinya.
Bagaimana Pak KPK?
Sumber:
FOTO: Antara
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/21/09192371/ketua-kpk-sebut-korupsi-saat-bencana-seperti-wabah-corona-ancamannya-pidana
Petani Milenial
Yuk
sejenak kita melupakan Covid-19. Mantul banget di tengah kondisi sulit
ini ternyata semangat itu masih ada. Yup, mereka para petani kita yang
berjuang berjibaku memastikan ketersediaan pangan di Indonesia.
Nggak
pernah dilirik mungkin, tetapi tanpa petani kebayang dong bahayanya
lumbung pangan kita. Bahkan demi meredam pandemi ini Kementerian
Pertanian (Kementan) mengusulkan pemangkasan anggaran Rp 3,6 triliun
menjadi Rp 17,4 triliun, agar bisa membantu penanganan dampak virus
corona.
Tetapi
yang menarik buat penulis, ternyata pertanian kini tidak lagi identik
dengan orang tua. Ingat dong, dulu mana ada anak muda mau jadi petani.
Kesannya ngedeso banget, dan nggak gaul. Mikir saja deh, kalau ketemu
pacar terus ditanya kamu kerjanya apa. Terus jawabannya, aku petani.
Dubrak, langsung pasaran jatuh nggak laku sampai kapan pun! Nggak
nyadar diri padahal pendidikan yang diraihnya itu karena orang tuanya
rela mencangkul di sawah.
Eitt…tenang,
itu semua cerita dulu. Itu milenial angkatan jadul! Beda banget
dengan milenial kekinian yang justru memilih mengolah lahan pertanian
sebagai usahanya.
Inilah
yang banyak terjadi belakangan ini, generasi milenial bidang pertanian
yang tidak hanya sekadar bertani namun juga cerdas berwirausaha tani
dengan memanfaatkan teknologi digital. Tuh, mantul banget khan!
Artinya, regenerasi pertanian nggak perlu dikhawatirkan lagi. Indonesia
masih bisa dengan bangga mengatakan kalau kita ini negara agraris,
bahkan ke depan pertanian kita akan melesat dengan bermunculannya
start-up baru di bidang pertanian.
“Hari
ini kita bicara pertanian yang maju mandiri dan modern. Saat ini kita
dihadapkan dengan paradigma baru, yaitu cloud digital. Punya anak
milenial yang bisa hubungkan awan digital dengan pertanian maka dunia
dalam genggaman," ujar Mentan Syahrul dalam siaran persnya. Dikutip
dari: republika.co
Apa
yang dikatakan Syahrul bukan ngarang, Mengambil contoh Rahman, generasi
milenial pertanian yang dinobatkan menjadi Duta Petani Milenial, pada
Senin (13/4). Dirinya berhasil menjadi petani pengusaha dalam budidaya
Hortikultura khususnya bawang merah dan cabai. Pemuda ini berasal dari
Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan, dan dalam kesehariannya
dia adalah i Ketua Kelompok Tani Moncong Kallang 3, sekaligus sebagai
Ketua Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S) Merapi yang
dibina Pusat Pelatihan Pertanian.
Nggak
hanya Rahman, penulis juga memiliki kerabat dekat yang rela melepaskan
jabatannya sebagai Manager Electrical di sebuah retail ternama di Medan,
kemudian memilih untuk menjadi petani!
Jangan
ditanya bagaimana keluarga besar kami kaget dengan keputusannya.
Tetapi langkah yang diambilnya memang nggak main-main! Keputusannya
bulat mengolah lahan peninggalan orang tua kami di Saran Padang, dan
bawang merah menjadi pilihannya.
Kemarin
persisnya, panen pertama 5,1 ton bawang merah dari 8000 meter luas
lahan, dengan harga diborongkan Rp 21,000 per kilo. Menurut saudara
penulis, memang begitulah harga petani masih basah katanya. Puji Tuhan
banget khan, untuk masa panen antara 98-110 hari memperoleh penghasilan
kotor sekitar Rp 107,100 ribu.
Pikir
punya pikir pantas saja, saat ini banyak petani milenial, dan seperti
saudara penulis meninggalkan profesi dengan embel-embel jabatan untuk
menjadi petani. Memilih menjadi petani karena hidup pasti lebih nyaman,
tidak terkekang oleh aturan, dan belum lagi kesehatan jasmani terjamin
karena selalu berkeringat di ladang.
Khususnya
untuk para milenial, jika memang memiliki lahan keluarga ini akan
menjadi kesempatan emas. Ketimbang ngotot kerja kantoran tetapi tetap
saja judulnya pegawai. Beda banget dengan menjadi petani, karena bisa
jadi bos untuk dirinya sendiri.
Nggak
hanya itu sebagai milenial tentunya lebih banyak tantangan untuk
berinovasi dan berimprovisasi baik dalam menanam maupun memasarkan hasil
panen. Kesempatan itu kini terbuka lebar di era digital ini. Semua
menjadi dekat, dan mungkin untuk diwujudkan, yang penting ada niat untuk
maju.
Indonesia
akan sangat maju pesat jika terus ke depannya bermunculan generasi
milenial yang menyadari bahwa menjadi petani itu menguntungkan. Bersama
generasi milenial pertanian akan semakin maju.
Milenial
cerdas akan terus mencari peluang bisnis mereka dan berusaha menguasai
bagaimana mengembangkan pertanian mulai dari hulu sampai hilirnya agar
menjadi peluang bisnis yang maju. Apalagi didukung dengan teknologi
digital tentunya akan semakin menjanjikan.
Sepakat
dong, sesegeranya pandemi berakhir, Indonesia membutuhkan banyak
milenial yang memiliki optimisme yang nggak sebatas mimpi. Tetapi
keberanian mengeksekusinya juga, apapun itu sektornya! Petani milenial
bukan mimpi, karena bukti sudah ada kok!
Terima kasih milenial, titip pertanian Indonesia di tangan kalian yah. Menutup artikel ini dengan sebuah ungkapan optimis, ” Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu!” (John F. Kennedy)
Artikel mpok lainnya bisa dinikmati di @mpokdesy
Sumber:
https://republika.co.id/berita/q8ura2423/emstart-upem-bertambah-bukti-kementan-percepat-regenerasi
Ilustrasi: imgur
Bahaya Mengancam Dibalik Corona
Mungkin
kalian mengira bahwa kematian adalah ancaman yang paling mengerikan
dibalik wabah virus corona ini. Apa yang kalian pikirkan memang tidak
keliru. Karena sampai saat ini sudah terkonfirmasi bahwa yang meninggal
akibat virus corona mencapai angka lima ratus.
Tetapi
apakah hanya corona yang mengakibatkan kematian? Ternyata tidak.
Menurut catatan Kompas pada tanggal 6 April 2020, Selain corona ternyata
kematian akibat DBD juga tinggi di Indonesia, bahkan kasus DBD tercatat
lebih tinggi dari corona.
Kematian
akibat DBD tercatat dari tanggal 1 Januari – 4 April 2020 adalah
sebesar 254 orang di seluruh Indonesia. Dan kasus DBD yang tercatat
adalah sebanyak 39.876 kasus. Jadi, kalau dibilang kematian akibat
corona adalah bahaya yang mengancam sebenarnya tidak begitu tepat.
Karena kematian akibat DBD juga cukup tinggi.
Lalu
kenapa kematian akibat corona masyarakat Indonesia begitu heboh?
Sedangkan kematian akibat DBD hampir tidak kedengaran? Ini adalah karena
propaganda media-media yang menebarkan ketakutan. Dan dibalik ketakutan
masyarakat ada uang yang mengalir.
Terus
kalian pasti akan bertanya, lalu bahaya apa yang mengancam dibalik
wabah corona ini? Apa yang lebih berbahaya dari kematian akibat corona?
Mari kita mengupasnya pelan-pelan. Kalian boleh setuju dan tidak setuju,
karena ini hanyalah pendapat pribadi penulis.
Penerapan
PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar telah dilakukan oleh Pemprov
DKI Jakarta disusul Pemprov Jawa Barat. Dan akan disusul oleh
daerah-daerah lainnya.
Di
saat diberlakukannya PSBB hanya beberapa jenis usaha yang diizinkan
untuk beroperasi. Bahan pangan, BBM, kesehatan, informasi dan beberapa
lainnya. Sedangkan usaha yang lain diperintahkan untuk menutup
operasionalnya sampai berakhirnya PSBB. Kapan berakhirnya PSBB? Bisa dua
minggu, dua bulan atau satu tahun. Karena penerapan PSBB dapat
diperpanjang sesuai dengan penilaian Pemprov setempat.
Ketidakpastian
PSBB inilah yang membuat dunia usaha menjadi kalang kabut. Bagaimana
tidak, sampai kapan mereka harus menghentikan operasional mereka? Dua
minggu? Satu bulan? Dua bulan? Atau...?
Dua
minggu, kemungkinan kalangan pengusaha menengah masih sanggup untuk
menghentikan operasionalnya. Satu bulan? Mungkin sebagian sudah mengeluh
kehabisan likuiditas, dan sebagian masih bisa bertahan karena masih ada
cadangan dana operasional. Dua bulan? Mungkin hanya konglomerat yang
mempunyai dana melimpah yang masih sanggup bertahan. Lalu pengusaha
menengah ke bawah? Semaput atau terpaksa harus memberhentikan seluruh
karyawannya.
Pengusaha mana yang sanggup menanggung overhead cost
yang terus berjalan, gaji dan upah karyawan yang harus mereka tanggung
meskipun pendapatan telah distop oleh pemerintah daerah? Di satu sisi
pengusaha harus mengeluarkan biaya-biaya yang tidak sedikit, di lain
sisi pendapatan mereka nihil. Jika demikian dewa mana yang sanggup
menanggungnya?
Mungkin
pejabat negara yang mengambil keputusan dengan enteng mengatakan, demi
nyawa manusia, perekonomian diminta minggir sementara. Tapi apakah
mereka sadar bahwa tanpa perputaran perekonomian nyawa masyarakat justru
terancam? Mereka mati bukan karena corona, tetapi mati karena tak ada
sesuap nasi.
Bagi pejabat negara, PNS, Aparat sipil tentu karantina di rumah atau bahasa kerennya work from home adalah sesuatu yang mereka damba-dambakan. Bagaimana tidak, kapan lagi mereka tak perlu masuk kerja tetapi gaji tetap diterima full?
Sampai kapan pun diadakan PSBB mereka tidak akan terkena dampaknya.
Karena mereka setiap bulan akan menerima gaji penuh dari pemerintah.
Tapi bagaimana dengan kalangan swasta? Apakah mereka sanggup bertahana
sampai dua bulan? Saya sendiri tidak yakin. Tak ada pengusaha yang akan
menjadi sinterklas yang akan membagikan uangnya secara cuma-cuma, bukan?
Kita
bukan sinterklas. Kita manusia biasa. Kita punya keterbatasan. Sampai
batas itu tercapai maka kita juga akan tersungkur. Ketahanan kita akan
bablas, seperti tebing tanah liat yang diterjang oleh banjir bandang.
Lalu siapa yang akan memikirkan kalangan ini?
Pemerintah, terutama pemerintah daerah harus menyadari ini. Kecuali mereka mempunyai agenda lain yang menginginkan negara ini chaos.
Mereka mempunyai agenda politis, yang ingin mengeruk keuntungan dari
situasi kekacauan yang akan ditimbulkan oleh wabah virus corona ini.
Pemerintah
harus sadar bahwa tak selamanya kalangan pengusaha menengah ini akan
bertahan. Kalau mereka tidak diizinkan berusaha di saat wabah corona
ini, maka siap-siap saja negara ini akan ambruk. Karena saya yakin,
pengusaha menengah dari berbagai sektor ini lebih besar keberadaannya
dari konglomerat yang ada di Indonesia. Jika mereka tidak diperhatikan,
kalangan inilah yang akan membuat chaos negara ini. Karena toleransi mereka ada batasnya. Dan mereka bukan sinterklas yang siap senantiasa membagi-bagikan uang mereka.
Saya kira, pemerintah harus mengakomodasi keinginan mereka. Berikan win-win solution. Selama mereka menerapkan physical distancing,
pengurangan personal, jam operasional, kewajiban memakai masker bagi
karyawan dan pengunjung, menyediakan tempat cuci tangan serta lainnya
saya kira pemerintah tak harus menutup operasional mereka ini.
Bagi
kalangan pengusaha menengah, tak perlu pendapatan full seperti sebelum
wabah corona. Jika bisa mencapai 50% saja mereka sudah bersyukur. Tak
perlu mereka mencari keuntungan pada saat-saat seperti ini. Mereka bisa
menutupi cost saja, mereka sudah bersyukur sekali. Selain dapat
menyelamatkan usaha mereka, juga karyawan yang bekerja pada mereka.
Mereka tak perlu memberhentikan karyawannya yang akan berdampak pada
keluarga karyawan tersebut.
Pemerintah,
terutama pemerintah daerah janganlah karena keegoisan segelintir
penguasa membuat masyarakat menjadi terpuruk. Kecuali Anda mempunyai
agenda lain yang menguntungkan diri Anda sendiri.
Re-post by Migo Berita / Sabtu/18042020/10.39Wita/Bjm
1 komentar:
Numpang promo ya gan
kami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*