» » » » » » » » » » Covid19 serta Pemerhati Timur Tengah & Hubungan Internasional

Covid19 serta Pemerhati Timur Tengah & Hubungan Internasional

Penulis By on Jumat, 08 Mei 2020 | No comments

Covid-19 di AS

Jadi ceritanya begini, publik di AS (dan negara-negara Barat umumnya) sebagiannya sangat consern atas efek dari Covid-19 terhadap HAM dan demokrasi.
Level diskusinya memang sudah ‘beda’ dengan negara berkembang.
Apalagi Indonesia, yang sebagian netizennya masih saja mengaitkan segala-galanya dengan pilpres 2014/2019 dan sebagian lagi sangat terpesona pada segala yang berbau “Barat”.
 Kalau ada yang menyampaikan pendapat berbeda dari “Barat”, mereka langsung sok-sok’an berkata “konspirasi!”
Nah, salah satu kasus yang sedang heboh dibahas oleh netizen Barat adalah penyensoran oleh Youtube. Kasus terbaru adalah penghapusan video briefing dua dokter dari California oleh Youtube. 
Jangankan video aslinya, video yang membahas video itu pun, ikut diblokir Youtube. 
Video asli (yang dihapus itu) sudah ditonton oleh 5 juta orang.
Video yang saya upload ini adalah rekaman acara Tucker Carlson, seorang jurnalis dan analis politik di Fox News, ini televisi mainstream di AS.
Carlson mengecam penghapusan video dokter dari California itu; menyebutnya “dibungkam oleh big tech”. 
Yang dimaksud big tech: Google, Youtube, Facebook; mereka kini terbukti tidak lagi menoleransi perbedaan pendapat.
[Tentu, saya yang sejak 2011 sering nulis soal Suriah, tidak aneh lagi dengan perilaku big tech ini, bahkan mengalaminya sendiri berbagai pemblokiran itu.]

Emang ada apa sih di video itu, kok sampai dihapus?
Di video itu, ada 2 dokter bernama Dr. Dan Erickson and Dr. Artin Massihi, yang telah melakukan pengetesan Covid pada lebih dari 5000 orang di kota mereka lalu membandingkan dengan data-data di kota/negara lain, dan hasilnya sama: 
jumlah yang terinfeksi virus sangat banyak, tapi yang meninggal sedikit (0,03%). 
Lalu mereka membandingkan Norwegia dan Swedia (dua negara bertetangga dan rasnya sama, sehingga layak untuk dibandingkan). 
Norwegia lockdown, Swedia tidak, ternyata persentase kematiannya tidak jauh beda. 
Dan menurut dokter ini, persentase itu sama dengan rata-rata kematian akibat flu musiman (di negeri 4 musim, ada yang disebut seasonal flu, yang juga menimbulkan banyak kematian, bukan flu/pilek biasa kayak di Indonesia yang sembuh pake bodrex).
Nah, yang dipertanyakan dua dokter ini: 
dengan data seperti ini, apakah lockdown memang tepat untuk dilakukan? 
Apalagi, kata dr Erickson, lockdown di AS menimbulkan banyak sekali dampak yang jauh lebih buruk, misalnya ambruknya ekonomi, depresi dan kecanduan alkohol, KDRT, dan bunuh diri.
Lalu apa yang bisa kita ambil “hikmah”-nya sebagai orang Indonesia?
Kita perlu punya pikiran terbuka, tidak segala-galanya yang dikatakan WHO dan orang-orang (pakar, media, politisi) Barat itu benar. 
Kasus video dr Erickson ini menunjukkan bahwa di Barat pun ada pembungkaman suara. 
Mengapa harus dipastikan bahwa dokter pro-WHO yang benar, yang tidak pro, pasti salah? 
Bukankah WHO juga punya track record salah?
Yang mengikuti tulisan saya soal Suriah sejak 2011 pasti sudah paham sekali bagaimana pemerintah negara-negara Barat, media, dan lembaga-lembaga di bawah PBB melakukan berbagai disinformasi, bahkan hoax, demi menggulingkan pemerintah Suriah. 
(Baca buku saya Prahara Suriah, ebooknya sudah bisa didownload gratis; atau baca Salju di Aleppo).

Lalu, mengapa mereka yang pernah berbohong itu masih dipercaya 100% meski kasusnya kini berbeda?  
Ketika mereka memaksa negara-negara untuk melakukan lockdown (dan kalau ada kesulitan ekonomi, mereka bilang, “nih kami kasih utang”), mengapa harus diterima mentah-mentah bahwa itu kebijakan yang paling tepat?
Setiap negara punya karakter dan kondisinya masing-masing dan karena itu seharusnya sah-sah saja bila pemimpin suatu negara punya kebijakan tersendiri, tidak harus patuh pada WHO, apalagi pada Bill Gates, sang donatur WHO dan “pakar” vaksin (padahal bukan dokter). 
Ingat kan, Bill Gates berkeras, lockdown harus berlangsung 18 bulan sampai vaksin yang dia buat selesai dan semua orang divaksin.
Sisakan ruang untuk menerima kemungkinan, siapa tahu pendapat yang berbeda dari apa yang ada di benakmu, justru benar.
***
Fanpage Cerdas Geopolitik ternyata sempat menyelamatkan video dr Erickson yang dihapus YT dan sudah kasih terjemahan. Sila cek ke FP tersebut: https://www.facebook.com/cerdasgeopolitik/videos/242965993431995/
(Disclaimer: video Dr Ericson yang dibredel YT itu durasinya 1 jam, tentu tidak mungkin isinya ditulis lengkap di sini; tulisan saya hanya sebagian kecil dari penjelasan dokter tsb dan saya hanya mengambil peta besarnya; jadi ga usah buang waktu mendebat saya dengan angka/detail.)
tucker carlson

Covid-19 di Suriah

Jurnalis independen asal Kanada, Eva Bartlett, yang saat ini berada di Suriah, menceritakan bahwa Damaskus sudah mulai ‘dibuka’.
Menurut Eva, Suriah telah mengambil pendekatan moderat untuk berurusan dengan Covid. Bila pemerintah sama sekali tidak mengambil tindakan (lockdown), rezim Barat pasti akan menghujani Assad dengan berbagai tuduhan. Pemerintah kemudian menerapkan pembatasan (bukan lockdown total).
Tapi kini penduduk bisa beraktivitas mulai jam 6 pagi sampai 7:30 malam. [selengkapnya tulisan Eva: https://www.facebook.com/EvaBoBeeva/posts/3190459437630695 ]
Kondisi Damaskus (29 April) bisa dilihat di video ini.
https://web.facebook.com/EvaBoBeeva/videos/3187253887951250/?t=0

Sumber Utama : https://dinasulaeman.wordpress.com/2020/05/03/covid-19-di-suriah/

Health Security (Keamanan Kesehatan)

Mungkin ada yang heran, mengapa bu Dina Sulaeman ikut-ikutan bahas Covid? 
Bukannya dia selama ini fokus di kajian Timur Tengah?
Jadi sebenarnya… saya itu penstudi/akademisi Hubungan Internasional dan di HI itu, kajiannya luaaaas… banget. Apa saja bisa dikaji oleh orang HI. 
Tapi tiap orang tentu punya passion-nya sendiri, ada yang fokus di kajian Asia Tenggara, Eropa; 
ada yang fokus di lingkungan (environmentalism); 
ada yang fokus di kajian keamanan (security), dll.
Nah, kajian security (keamanan) ini, terbagi dua,
keamanan tradisional (perang, militer), dan
keamanan nontradisional, yaitu membahas tentang keamanan manusia.
Kebetulan, saya juga mengajar di mata kuliah ini.

Di kajian keamanan manusia, ada 7 kategori keamanan manusia yang perlu dilindungi, yaitu 
economic security,
food security,
health security,
environmental security,
personal security,
community security,
dan political security.
Nah, Covid-19 ini termasuk dalam kajian keamanan kesehatan. Seperti apa sih pembahasannya?
Selama karantina Covid ini, saya telah membuat video materi perkuliahan, baru 2, belum masuk ke “keamanan kesehatan”. Tapi sebagai pengantar (bila berminat tentunya), bisa ikuti dulu bagian pengantarnya. Ini pun baru bagian 1 yang saya buat. Setelah bagian 2, baru saya akan masuk ke materi ‘keamanan kesehatan’.
(Ada 1 lagi video, terkait keamanan personal, saya membahas tentang ‘kekerasan pada perempuan’).
So, silakan like n subscribe. Harap maklum kalau masih kaku, karena baru kali ini bikin video ajar. 🙂
https://www.youtube.com/channel/UCgN8JpaeI6YK11TKMjZinWA

Masalahnya di Mana Sih?

Pagi-pagi, pening kepala saya baca beberapa komen soal video dari FP sebelah yang saya share kemarin (tentang jejaring bisnis BG).[1]
Tapi, saya berusaha menyadari bahwa semua orang punya “frame” atau “paradigma” masing-masing. Juga, yang baca postingan itu, sangat mungkin belum baca postingan saya sebelumnya. Walhasil, ibaratnya, obrolan saya sudah sampai halaman 100, dia baru mulai di halaman 1 lalu mengejek, padahal dia yang belum “nyampe”.
*Hembuskan napas.. sabar..
Jadi, ada beberapa komentator yang bertanya (dengan nada sinis; kalau nanya baik-baik tentu no problem): MASALAH-nya di mana sih kalau BG menguasai industri kesehatan global? Biarin aja lah, toh kita juga butuh produknya?
Jawaban saya:
MASALAH-nya adalah: dengan monopolinya itu, Bill Gates berpeluang MENGONTROL nasib manusia di dunia di bidang kesehatan.
Yayasan Bill Gates bahkan juga menggelontorkan uang amat banyak untuk media massa besar dunia untuk menyebarkan narasinya soal kesehatan.
“Lho, sah saja toh, dia menyebarkan narasi kesehatan?” Bahkan ada tulisan koplak di sebuah web opini, menyebut Bill Gates punya “karomah” karena saking dermawannya; itulah sebabnya ia mampu meramalkan kedatangan Covid-19.
Menurut saya, monopoli narasi (apalagi monopoli ekonomi) sama sekali tidak “sah”. Ketika ada satu individu yang memonopoli dunia kesehatan global dan melalui media massa yang dibayarnya, ia menggiring dunia untuk menerima KEBENARAN TUNGGAL soal kesehatan, jelas BAHAYA.
Untuk kasus Covid misalnya, dalam berbagai wawancaranya (karena selama Covid ini dia menjadi rujukan utama media internasional, diwawancarai melulu), Gates menyatakan bahwa dunia harus dilockdown 18 bulan sampai semua orang divaksin.
Anda mau Indonesia dilockdown terus sampai 18 bulan? Kalau ekonomi bangsa ini kolaps, lalu Indonesia harus beli vaksin untuk 270 JUTA rakyat, uangnya darimana?
(Oh tenang, ada lembaga keuangan dunia yang siap kasih utang.)
Lalu siapa yang bikin vaksinnya? BG sendiri yang bilang (ini keluar dari mulut dia sendiri, ada videonya), dia sudah BERINVESTASI di beberapa perusahaan farmasi besar. Apa BG mau bagi-bagi vaksin gratis? Anda halu kalau jawab “iya”. Rakyat mungkin terima gratis, tapi pemerintah tetap harus beli.
Padahal prediksi Bill Gates (bahwa akan ada puluhan juta yang meninggal akibat Covid) sudah terbukti salah. Omongan BG ini didasarkan pada prediksi dari 2 lembaga penelitian (yang ternyata dia juga fundingnya, London Imperial College dan IHME). Banyak negara yang mendasarkan kebijakannya soal Covid ini pada prediksi dari dua lembaga tsb.
Dan banyak dokter yang juga mengekor BG soal prediksi-prediksi ini. Misalnya, ada dokter Indonesia lulusan Harvard yang sesumbar memprediksi bahwa kita akan “kehilangan” (=meninggal) 7,5 juta orang. Okelah, kita maafkan, dia bilang gitu kan Maret.
Tapi sekarang sudah Mei, dan terbukti semua prediksi bombastis itu salah. Korban jelas ada, tapi alhamdulillah, tidak berjuta-juta di tiap negara seperti dikatakan BG dan para pengekornya. Dan alhamdulillah, tingkat kesembuhan juga tinggi.
Beberapa negara sudah mencapai kesembuhan yang signifikan dan membuka lockdown (bahkan ada yang sejak awal tidak pakai lockdown, hanya ‘pembatasan’).
Artinya: WHO dan BG tidak bisa dijadikan standar tunggal kebenaran. Masing-masing negara harus mengambil keputusan terbaik berdasarkan data yang valid di negara mereka sendiri (bukan didasarkan pada satu jenis data saja yang ternyata bersumber dari “lo lagi-lo lagi”).
Terakhir, bacalah apa kata mantan Menkes, Dr. Siti Fadilah Supari dalam wawancaranya di CNN Indonesia tgl 27 April 2020. [3]
——-
Note:
-Saya penstudi HI dan waktu S2, tesis saya membahas tentang monopoli ‘standar kebenaran’ di UNAIDS (lembaga PBB yang menangani virus HIV). Jadi, saya ada background keilmuan untuk isu ini.
-Kalau Anda mengerti sedikit saja soal EPG (Ekonomi Politik Global) kajian soal monopoli dalam suatu industri adalah sebuah kajian akademis. Jadi mengkritisi monopoli BG dalam industri kesehatan global BUKANLAH teori konspirasi sialan yang suka kalian ejek-ejek itu.

Covid-19 di Tanzania dan Madagaskar

Jalan-jalan ke Afrika dulu yuk. Tanggal 4 Mei lalu, web Aljazeera menayangkan berita unik.
Entah dapat ide darimana, Presiden Tanzania, John Magufuli, menguji coba kit pengujian coronavirus pada sampel yang diambil dari kambing dan pawpaw (ini nama buah, seperti pepaya). 
Hasilnya? POSITIF COVID. 
Sang presiden pun mencurigai alat tes itu. 
Ia mengatakan, “Berarti ada kemungkinan orang diuji dan hasilnya positif padahal kenyataannya, mereka tidak terinfeksi oleh coronavirus.”
Magufuli mengatakan, ia telah memerintahkan pasukan keamanan Tanzania untuk memeriksa kualitas kit yang merupakan barang impor itu. 
Mereka secara acak menyelipkan beberapa sampel non-manusia, termasuk dari pawpaw, kambing, dan domba, tetapi diberi label nama manusia dan umurnya.
Sampel-sampel ini kemudian diserahkan ke laboratorium Tanzania untuk menguji virus corona, dimana teknisi lab sengaja tidak diberitahu.
“Ada sesuatu yang terjadi. Saya katakan sebelumnya kita seharusnya tidak menerima begitu saja, bahwa setiap bantuan dimaksudkan untuk kebaikan bagi bangsa ini,” kata Magufuli.
Pada hari Sabtu (2/5), Magufuli mengumumkan bahwa ia telah memesan perawatan herbal untuk virus corona yang digembar-gemborkan oleh Presiden Madagaskar.
“Saya sudah menulis surat kepada Presiden Madagaskar dan kami akan segera mengirimkan sebuah pesawat untuk mengambil obat itu,” katanya.
Obat herbal, yang disebut “Covid Organics” dan disiapkan oleh Institut Malagasi untuk Penelitian Terapan, dibuat dari Artemisia, tanaman yang dibudidayakan di Madagaskar.
Meskipun kurang didukung bukti ilmiah, Presiden Madagaskar, Andry Rajoelina, mengklaim bahwa obatnya telah menyembuhkan beberapa orang Madagaskar dari COVID-19. Anak-anak di sana sudah kembali ke sekolah dan diwajibkan mengonsumsi obat herbal ini.
🙂
DISCLAIMER: ini berita ya, ga perlu NYOLOT. Selow aja. Saya tulis juga di awal kalimat: “jalan-jalan dulu”.

Covid-19 di Palestina dan Israel

Sekarang, mari ‘jalan-jalan’ ke Palestina dan Israel. Apa kabarnya di sana?
Di Israel (berita 7 Mei), 16.381 orang di Israel dinyatakan positif virus korona; dua pertiga-nya sudah sembuh; 240 orang telah meninggal. 
Pemerintah pun mulai melonggarkan pembatasan, termasuk pembukaan kembali sebagian pusat perekonomian dan daycare (penitipan anak).
Bagaimana dengan Palestina?
Di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, 527 orang dinyatakan positif; dua orang meninggal. Di Jalur Gaza, 20 orang didiagnosis Covid, 12 di antaranya sembuh.
Namun, apakah “pembatasan” dilonggarkan bagi warga Palestina? 
Ini adalah pertanyaan yang ironis. Mereka sejak 1948 telah “dibatasi”. 
Bahkan Gaza sejak 2007 sudah di-lockdown total oleh Israel sehingga pergerakan 2 juta warga Gaza terhambat; akibatnya kondisi ekonomi sangat memburuk. Bahkan nelayan mau mencari ikan di laut pun, dihalangi oleh tentara.
Warga di Tepi Barat, juga mengalami “pembatasan”, sekedar ke kampung sebelah pun, mereka harus melewati posko-posko militer Israel, dan mereka diperlakukan semaunya: kadang diberi izin, kadang tidak.
Otoritas Israel mengharuskan orang Palestina untuk mendapatkan izin terbatas untuk memasuki sebagian besar wilayah Tepi Barat (padahal itu kan daerah mereka sendiri?), termasuk Yerusalem Timur serta daerah-daerah yang diambil alih oleh pemukim. 
 Pemukim adalah para imigran Yahudi dari luar negeri, yang difasilitasi pemerintah untuk merampas tanah di Tepi Barat, dan mendirikan permukiman di sana.
Organisasi HAM asal Israel, B’Tselem, (nah, orang Israel pun ada yang mengecam pemerintahnya sendiri yang sewenang-wenang pada Palestina), menggambarkan aturan perizinan ini sebagai “sistem birokrasi yang sewenang-wenang dan tidak transparan.”
Israel telah membangun lebih dari 700 hambatan permanen, seperti pos pemeriksaan dan penghalang jalan di Tepi Barat. Pos pemeriksaan ini dapat mengubah kunjungan ke keluarga dekat pun menjadi perjalanan yang memalukan (karena mengalami penghinaan di pos-pos militer) dan panjang.
Jadi, bila Covid ini berlalu dan manusia di dunia bisa kembali hidup normal, pembatasan dan lockdown di Palestina masih akan terus berlanjut. Entah sampai kapan.
—-
Foto: para buruh Palestina (Tepi Barat) melewati pos pemeriksaan, untuk masuk ke Israel. Sebanyak 11.500 orang Tepi Barat mendapat izin untuk kembali memasuki Israel, mereka bekerja di konstruksi, pertanian, dan industri. [berita 3 Mei 2020]
Palestinian laborers back working in Israel as virus slows

Live di IG (Sabtu sore, 16.00 WIB)

Tadi saya sudah nulis sedikit soal kondisi Palestina di masa Covid ini (https://web.facebook.com/DinaY.Sulaeman/photos/a.234143183678611/930369627389293)
Yang berminat diskusi lebih lanjut, mangga, besok sore sambil ngabuburit, silakan mengikuti siaran live di IG, yang bertema: Gaza, Dulu, Sekarang, dan Setelah Pandemi.
Supaya bisa dapat notifikasi, silakan follow dulu IG penyelenggaranya @ipiiran (Ikatan Pelajar/Mahasiswa Indonesia di Iran)
Silakan follow juga IG saya @dina.sulaeman
Tapi IG saya belum ada isinya, masih newbie. InsyaAllah kalau udah familiar dg IG saya posting-posting juga deh di sana.
  
Re-post by MigoBerita / Sabtu/09052020/13.10Wita/Bjm
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya