Covid-19 di AS
Jadi ceritanya begini, publik di AS (dan negara-negara Barat umumnya) sebagiannya sangat consern atas efek dari Covid-19 terhadap HAM dan demokrasi.Level diskusinya memang sudah ‘beda’ dengan negara berkembang.
Apalagi Indonesia, yang sebagian netizennya masih saja mengaitkan segala-galanya dengan pilpres 2014/2019 dan sebagian lagi sangat terpesona pada segala yang berbau “Barat”.
Kalau ada yang menyampaikan pendapat berbeda dari “Barat”, mereka langsung sok-sok’an berkata “konspirasi!”
Nah, salah satu kasus yang sedang heboh
dibahas oleh netizen Barat adalah penyensoran oleh Youtube. Kasus
terbaru adalah penghapusan video briefing dua dokter dari California
oleh Youtube.
Jangankan video aslinya, video yang membahas video itu
pun, ikut diblokir Youtube.
Video asli (yang dihapus itu) sudah ditonton
oleh 5 juta orang.
Video yang saya upload ini adalah rekaman
acara Tucker Carlson, seorang jurnalis dan analis politik di Fox News,
ini televisi mainstream di AS.
Carlson mengecam penghapusan video dokter
dari California itu; menyebutnya “dibungkam oleh big tech”.
Yang
dimaksud big tech: Google, Youtube, Facebook; mereka kini terbukti tidak
lagi menoleransi perbedaan pendapat.
[Tentu, saya yang sejak 2011 sering nulis
soal Suriah, tidak aneh lagi dengan perilaku big tech ini, bahkan
mengalaminya sendiri berbagai pemblokiran itu.]
Emang ada apa sih di video itu, kok sampai dihapus?
Di video itu, ada 2 dokter bernama Dr. Dan
Erickson and Dr. Artin Massihi, yang telah melakukan pengetesan Covid
pada lebih dari 5000 orang di kota mereka lalu membandingkan dengan
data-data di kota/negara lain, dan hasilnya sama:
jumlah yang terinfeksi
virus sangat banyak, tapi yang meninggal sedikit (0,03%).
Lalu mereka
membandingkan Norwegia dan Swedia (dua negara bertetangga dan rasnya
sama, sehingga layak untuk dibandingkan).
Norwegia lockdown, Swedia
tidak, ternyata persentase kematiannya tidak jauh beda.
Dan menurut
dokter ini, persentase itu sama dengan rata-rata kematian akibat flu
musiman (di negeri 4 musim, ada yang disebut seasonal flu, yang juga
menimbulkan banyak kematian, bukan flu/pilek biasa kayak di Indonesia
yang sembuh pake bodrex).
Nah,
yang dipertanyakan dua dokter ini:
dengan data seperti ini, apakah
lockdown memang tepat untuk dilakukan?
Apalagi, kata dr Erickson,
lockdown di AS menimbulkan banyak sekali dampak yang jauh lebih buruk,
misalnya ambruknya ekonomi, depresi dan kecanduan alkohol, KDRT, dan
bunuh diri.
Lalu apa yang bisa kita ambil “hikmah”-nya sebagai orang Indonesia?
Kita perlu punya pikiran terbuka, tidak
segala-galanya yang dikatakan WHO dan orang-orang (pakar, media,
politisi) Barat itu benar.
Kasus video dr Erickson ini menunjukkan bahwa
di Barat pun ada pembungkaman suara.
Mengapa harus dipastikan bahwa
dokter pro-WHO yang benar, yang tidak pro, pasti salah?
Bukankah WHO
juga punya track record salah?
Yang mengikuti tulisan saya soal Suriah
sejak 2011 pasti sudah paham sekali bagaimana pemerintah negara-negara
Barat, media, dan lembaga-lembaga di bawah PBB melakukan berbagai
disinformasi, bahkan hoax, demi menggulingkan pemerintah Suriah.
(Baca
buku saya Prahara Suriah, ebooknya sudah bisa didownload gratis; atau
baca Salju di Aleppo).
Lalu, mengapa mereka yang pernah berbohong
itu masih dipercaya 100% meski kasusnya kini berbeda?
Ketika mereka
memaksa negara-negara untuk melakukan lockdown (dan kalau ada kesulitan
ekonomi, mereka bilang, “nih kami kasih utang”), mengapa harus diterima
mentah-mentah bahwa itu kebijakan yang paling tepat?
Setiap negara punya karakter dan
kondisinya masing-masing dan karena itu seharusnya sah-sah saja bila
pemimpin suatu negara punya kebijakan tersendiri, tidak harus patuh pada
WHO, apalagi pada Bill Gates, sang donatur WHO dan “pakar” vaksin
(padahal bukan dokter).
Ingat kan, Bill Gates berkeras, lockdown harus
berlangsung 18 bulan sampai vaksin yang dia buat selesai dan semua orang
divaksin.
Sisakan ruang untuk menerima kemungkinan, siapa tahu pendapat yang berbeda dari apa yang ada di benakmu, justru benar.
***
Fanpage Cerdas Geopolitik ternyata sempat
menyelamatkan video dr Erickson yang dihapus YT dan sudah kasih
terjemahan. Sila cek ke FP tersebut: https://www.facebook.com/cerdasgeopolitik/videos/242965993431995/
(Disclaimer: video Dr Ericson yang
dibredel YT itu durasinya 1 jam, tentu tidak mungkin isinya ditulis
lengkap di sini; tulisan saya hanya sebagian kecil dari penjelasan
dokter tsb dan saya hanya mengambil peta besarnya; jadi ga usah buang
waktu mendebat saya dengan angka/detail.)
Covid-19 di Suriah
Jurnalis independen asal Kanada, Eva Bartlett, yang saat ini berada di Suriah, menceritakan bahwa Damaskus sudah mulai ‘dibuka’.
Menurut Eva, Suriah telah mengambil
pendekatan moderat untuk berurusan dengan Covid. Bila pemerintah sama
sekali tidak mengambil tindakan (lockdown), rezim Barat pasti akan
menghujani Assad dengan berbagai tuduhan. Pemerintah kemudian menerapkan
pembatasan (bukan lockdown total).
Tapi kini penduduk bisa beraktivitas mulai jam 6 pagi sampai 7:30 malam. [selengkapnya tulisan Eva: https://www.facebook.com/EvaBoBeeva/posts/3190459437630695 ]
Kondisi Damaskus (29 April) bisa dilihat di video ini.
https://web.facebook.com/EvaBoBeeva/videos/3187253887951250/?t=0
Sumber Utama : https://dinasulaeman.wordpress.com/2020/05/03/covid-19-di-suriah/
Kondisi Damaskus (29 April) bisa dilihat di video ini.
https://web.facebook.com/EvaBoBeeva/videos/3187253887951250/?t=0
Sumber Utama : https://dinasulaeman.wordpress.com/2020/05/03/covid-19-di-suriah/
Health Security (Keamanan Kesehatan)
Mungkin ada yang heran, mengapa bu Dina Sulaeman ikut-ikutan bahas Covid?
Bukannya dia selama ini fokus di kajian Timur Tengah?
Jadi sebenarnya… saya itu
penstudi/akademisi Hubungan Internasional dan di HI itu, kajiannya
luaaaas… banget. Apa saja bisa dikaji oleh orang HI.
Tapi tiap orang
tentu punya passion-nya sendiri, ada yang fokus di kajian Asia Tenggara,
Eropa;
ada yang fokus di lingkungan (environmentalism);
ada yang fokus
di kajian keamanan (security), dll.
Nah, kajian security (keamanan) ini, terbagi dua,
keamanan tradisional (perang, militer), dan
keamanan nontradisional, yaitu membahas tentang keamanan manusia.
Kebetulan, saya juga mengajar di mata kuliah ini.
Di kajian keamanan manusia, ada 7 kategori keamanan manusia yang perlu dilindungi, yaitu
economic security,
food security,
health security,
environmental security,
personal security,
community security,
dan political security.
Nah, Covid-19 ini termasuk dalam kajian keamanan kesehatan. Seperti apa sih pembahasannya?
Selama karantina Covid ini, saya telah membuat video materi perkuliahan, baru 2, belum masuk ke “keamanan kesehatan”. Tapi sebagai pengantar (bila berminat tentunya), bisa ikuti dulu bagian pengantarnya. Ini pun baru bagian 1 yang saya buat. Setelah bagian 2, baru saya akan masuk ke materi ‘keamanan kesehatan’.
(Ada 1 lagi video, terkait keamanan personal, saya membahas tentang ‘kekerasan pada perempuan’).
So, silakan like n subscribe. Harap maklum kalau masih kaku, karena baru kali ini bikin video ajar.
https://www.youtube.com/channel/UCgN8JpaeI6YK11TKMjZinWA
keamanan tradisional (perang, militer), dan
keamanan nontradisional, yaitu membahas tentang keamanan manusia.
Kebetulan, saya juga mengajar di mata kuliah ini.
Di kajian keamanan manusia, ada 7 kategori keamanan manusia yang perlu dilindungi, yaitu
economic security,
food security,
health security,
environmental security,
personal security,
community security,
dan political security.
Nah, Covid-19 ini termasuk dalam kajian keamanan kesehatan. Seperti apa sih pembahasannya?
Selama karantina Covid ini, saya telah membuat video materi perkuliahan, baru 2, belum masuk ke “keamanan kesehatan”. Tapi sebagai pengantar (bila berminat tentunya), bisa ikuti dulu bagian pengantarnya. Ini pun baru bagian 1 yang saya buat. Setelah bagian 2, baru saya akan masuk ke materi ‘keamanan kesehatan’.
(Ada 1 lagi video, terkait keamanan personal, saya membahas tentang ‘kekerasan pada perempuan’).
So, silakan like n subscribe. Harap maklum kalau masih kaku, karena baru kali ini bikin video ajar.
https://www.youtube.com/channel/UCgN8JpaeI6YK11TKMjZinWA
Masalahnya di Mana Sih?
Pagi-pagi, pening kepala saya baca
beberapa komen soal video dari FP sebelah yang saya share kemarin
(tentang jejaring bisnis BG).[1]
Tapi, saya berusaha menyadari bahwa semua
orang punya “frame” atau “paradigma” masing-masing. Juga, yang baca
postingan itu, sangat mungkin belum baca postingan saya sebelumnya.
Walhasil, ibaratnya, obrolan saya sudah sampai halaman 100, dia baru
mulai di halaman 1 lalu mengejek, padahal dia yang belum “nyampe”.
*Hembuskan napas.. sabar..
Jadi, ada beberapa komentator yang
bertanya (dengan nada sinis; kalau nanya baik-baik tentu no problem):
MASALAH-nya di mana sih kalau BG menguasai industri kesehatan global?
Biarin aja lah, toh kita juga butuh produknya?
Jawaban saya:
MASALAH-nya adalah: dengan monopolinya itu, Bill Gates berpeluang MENGONTROL nasib manusia di dunia di bidang kesehatan.
Yayasan Bill Gates bahkan juga
menggelontorkan uang amat banyak untuk media massa besar dunia untuk
menyebarkan narasinya soal kesehatan.
“Lho, sah saja toh, dia menyebarkan narasi
kesehatan?” Bahkan ada tulisan koplak di sebuah web opini, menyebut
Bill Gates punya “karomah” karena saking dermawannya; itulah sebabnya ia
mampu meramalkan kedatangan Covid-19.
Menurut saya, monopoli narasi (apalagi
monopoli ekonomi) sama sekali tidak “sah”. Ketika ada satu individu yang
memonopoli dunia kesehatan global dan melalui media massa yang
dibayarnya, ia menggiring dunia untuk menerima KEBENARAN TUNGGAL soal
kesehatan, jelas BAHAYA.
Untuk kasus Covid misalnya, dalam berbagai
wawancaranya (karena selama Covid ini dia menjadi rujukan utama media
internasional, diwawancarai melulu), Gates menyatakan bahwa dunia harus
dilockdown 18 bulan sampai semua orang divaksin.
Anda mau Indonesia dilockdown terus sampai
18 bulan? Kalau ekonomi bangsa ini kolaps, lalu Indonesia harus beli
vaksin untuk 270 JUTA rakyat, uangnya darimana?
(Oh tenang, ada lembaga keuangan dunia yang siap kasih utang.)
Lalu siapa yang bikin vaksinnya? BG
sendiri yang bilang (ini keluar dari mulut dia sendiri, ada videonya),
dia sudah BERINVESTASI di beberapa perusahaan farmasi besar. Apa BG mau
bagi-bagi vaksin gratis? Anda halu kalau jawab “iya”. Rakyat mungkin
terima gratis, tapi pemerintah tetap harus beli.
Padahal prediksi Bill Gates (bahwa akan
ada puluhan juta yang meninggal akibat Covid) sudah terbukti salah.
Omongan BG ini didasarkan pada prediksi dari 2 lembaga penelitian (yang
ternyata dia juga fundingnya, London Imperial College dan IHME). Banyak
negara yang mendasarkan kebijakannya soal Covid ini pada prediksi dari
dua lembaga tsb.
Dan banyak dokter yang juga mengekor BG
soal prediksi-prediksi ini. Misalnya, ada dokter Indonesia lulusan
Harvard yang sesumbar memprediksi bahwa kita akan “kehilangan”
(=meninggal) 7,5 juta orang. Okelah, kita maafkan, dia bilang gitu kan
Maret.
Tapi sekarang sudah Mei, dan terbukti
semua prediksi bombastis itu salah. Korban jelas ada, tapi
alhamdulillah, tidak berjuta-juta di tiap negara seperti dikatakan BG
dan para pengekornya. Dan alhamdulillah, tingkat kesembuhan juga tinggi.
Beberapa negara sudah mencapai kesembuhan
yang signifikan dan membuka lockdown (bahkan ada yang sejak awal tidak
pakai lockdown, hanya ‘pembatasan’).
Artinya: WHO dan BG tidak bisa dijadikan
standar tunggal kebenaran. Masing-masing negara harus mengambil
keputusan terbaik berdasarkan data yang valid di negara mereka sendiri
(bukan didasarkan pada satu jenis data saja yang ternyata bersumber dari
“lo lagi-lo lagi”).
Terakhir, bacalah apa kata mantan Menkes, Dr. Siti Fadilah Supari dalam wawancaranya di CNN Indonesia tgl 27 April 2020. [3]
——-
Note:
Note:
-Saya penstudi HI dan waktu S2, tesis saya
membahas tentang monopoli ‘standar kebenaran’ di UNAIDS (lembaga PBB
yang menangani virus HIV). Jadi, saya ada background keilmuan untuk isu
ini.
-Kalau Anda mengerti sedikit saja soal EPG
(Ekonomi Politik Global) kajian soal monopoli dalam suatu industri
adalah sebuah kajian akademis. Jadi mengkritisi monopoli BG dalam
industri kesehatan global BUKANLAH teori konspirasi sialan yang suka
kalian ejek-ejek itu.
———
[1] https://www.facebook.com/cerdasgeopolitik/videos/3055198961193549/
[2]https://www.facebook.com/voaindonesia/videos/2854835694632260/
[3] https://www.cnnindonesia.com/…/siti-fadilah-sentil-who-bill…
[1] https://www.facebook.com/cerdasgeopolitik/videos/3055198961193549/
[2]https://www.facebook.com/voaindonesia/videos/2854835694632260/
[3] https://www.cnnindonesia.com/…/siti-fadilah-sentil-who-bill…
Covid-19 di Tanzania dan Madagaskar
Jalan-jalan ke Afrika dulu yuk. Tanggal 4 Mei lalu, web Aljazeera menayangkan berita unik.
Entah dapat ide darimana, Presiden
Tanzania, John Magufuli, menguji coba kit pengujian coronavirus pada
sampel yang diambil dari kambing dan pawpaw (ini nama buah, seperti
pepaya).
Hasilnya? POSITIF COVID.
Sang presiden pun mencurigai alat tes
itu.
Ia mengatakan, “Berarti ada kemungkinan orang diuji dan hasilnya
positif padahal kenyataannya, mereka tidak terinfeksi oleh coronavirus.”
Magufuli mengatakan, ia telah
memerintahkan pasukan keamanan Tanzania untuk memeriksa kualitas kit
yang merupakan barang impor itu.
Mereka secara acak menyelipkan beberapa
sampel non-manusia, termasuk dari pawpaw, kambing, dan domba, tetapi
diberi label nama manusia dan umurnya.
Sampel-sampel ini kemudian diserahkan ke
laboratorium Tanzania untuk menguji virus corona, dimana teknisi lab
sengaja tidak diberitahu.
“Ada sesuatu yang terjadi. Saya katakan
sebelumnya kita seharusnya tidak menerima begitu saja, bahwa setiap
bantuan dimaksudkan untuk kebaikan bagi bangsa ini,” kata Magufuli.
Pada hari Sabtu (2/5), Magufuli
mengumumkan bahwa ia telah memesan perawatan herbal untuk virus corona
yang digembar-gemborkan oleh Presiden Madagaskar.
“Saya sudah menulis surat kepada Presiden
Madagaskar dan kami akan segera mengirimkan sebuah pesawat untuk
mengambil obat itu,” katanya.
Obat herbal, yang disebut “Covid Organics”
dan disiapkan oleh Institut Malagasi untuk Penelitian Terapan, dibuat
dari Artemisia, tanaman yang dibudidayakan di Madagaskar.
Meskipun kurang didukung bukti ilmiah,
Presiden Madagaskar, Andry Rajoelina, mengklaim bahwa obatnya telah
menyembuhkan beberapa orang Madagaskar dari COVID-19. Anak-anak di sana
sudah kembali ke sekolah dan diwajibkan mengonsumsi obat herbal ini.
DISCLAIMER: ini berita ya, ga perlu NYOLOT. Selow aja. Saya tulis juga di awal kalimat: “jalan-jalan dulu”.
Covid-19 di Palestina dan Israel
Sekarang, mari ‘jalan-jalan’ ke Palestina dan Israel. Apa kabarnya di sana?
Di Israel (berita 7 Mei), 16.381 orang di
Israel dinyatakan positif virus korona; dua pertiga-nya sudah sembuh;
240 orang telah meninggal.
Pemerintah pun mulai melonggarkan pembatasan,
termasuk pembukaan kembali sebagian pusat perekonomian dan daycare
(penitipan anak).
Bagaimana dengan Palestina?
Di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, 527
orang dinyatakan positif; dua orang meninggal. Di Jalur Gaza, 20 orang
didiagnosis Covid, 12 di antaranya sembuh.
Namun, apakah “pembatasan” dilonggarkan
bagi warga Palestina?
Ini adalah pertanyaan yang ironis. Mereka sejak
1948 telah “dibatasi”.
Bahkan Gaza sejak 2007 sudah di-lockdown total
oleh Israel sehingga pergerakan 2 juta warga Gaza terhambat; akibatnya
kondisi ekonomi sangat memburuk. Bahkan nelayan mau mencari ikan di laut
pun, dihalangi oleh tentara.
Warga di Tepi Barat, juga mengalami
“pembatasan”, sekedar ke kampung sebelah pun, mereka harus melewati
posko-posko militer Israel, dan mereka diperlakukan semaunya: kadang
diberi izin, kadang tidak.
Otoritas Israel mengharuskan orang
Palestina untuk mendapatkan izin terbatas untuk memasuki sebagian besar
wilayah Tepi Barat (padahal itu kan daerah mereka sendiri?), termasuk
Yerusalem Timur serta daerah-daerah yang diambil alih oleh pemukim.
Pemukim adalah para imigran Yahudi dari luar negeri, yang difasilitasi
pemerintah untuk merampas tanah di Tepi Barat, dan mendirikan permukiman
di sana.
Organisasi HAM asal Israel, B’Tselem,
(nah, orang Israel pun ada yang mengecam pemerintahnya sendiri yang
sewenang-wenang pada Palestina), menggambarkan aturan perizinan ini
sebagai “sistem birokrasi yang sewenang-wenang dan tidak transparan.”
Israel telah membangun lebih dari 700
hambatan permanen, seperti pos pemeriksaan dan penghalang jalan di Tepi
Barat. Pos pemeriksaan ini dapat mengubah kunjungan ke keluarga dekat
pun menjadi perjalanan yang memalukan (karena mengalami penghinaan di
pos-pos militer) dan panjang.
Jadi,
bila Covid ini berlalu dan manusia di dunia bisa kembali hidup normal,
pembatasan dan lockdown di Palestina masih akan terus berlanjut. Entah
sampai kapan.
—-
Foto: para buruh Palestina (Tepi Barat) melewati pos pemeriksaan, untuk masuk ke Israel. Sebanyak 11.500 orang Tepi Barat mendapat izin untuk kembali memasuki Israel, mereka bekerja di konstruksi, pertanian, dan industri. [berita 3 Mei 2020]
Foto: para buruh Palestina (Tepi Barat) melewati pos pemeriksaan, untuk masuk ke Israel. Sebanyak 11.500 orang Tepi Barat mendapat izin untuk kembali memasuki Israel, mereka bekerja di konstruksi, pertanian, dan industri. [berita 3 Mei 2020]
Palestinian laborers back working in Israel as virus slows
Live di IG (Sabtu sore, 16.00 WIB)
Tadi saya sudah nulis sedikit soal kondisi Palestina di masa Covid ini (https://web.facebook.com/DinaY.Sulaeman/photos/a.234143183678611/930369627389293)
Yang berminat diskusi lebih lanjut,
mangga, besok sore sambil ngabuburit, silakan mengikuti siaran live di
IG, yang bertema: Gaza, Dulu, Sekarang, dan Setelah Pandemi.
Supaya bisa dapat notifikasi, silakan follow dulu IG penyelenggaranya @ipiiran (Ikatan Pelajar/Mahasiswa Indonesia di Iran)
Silakan follow juga IG saya @dina.sulaeman
Tapi IG saya belum ada isinya, masih newbie. InsyaAllah kalau udah familiar dg IG saya posting-posting juga deh di sana.
Tapi IG saya belum ada isinya, masih newbie. InsyaAllah kalau udah familiar dg IG saya posting-posting juga deh di sana.
Re-post by MigoBerita / Sabtu/09052020/13.10Wita/Bjm