KARTU PRA KERJAKARTU PRA KERJA
Jakarta - Teman saya memaki-maki tentang masalah kartu pra kerja itu.. "Gile. Enak banget perusahaan si stafsus milenial dapat uang 5,6 triliun dari anggaran kartu pra kerja!".
Saya pun jadi
tertarik untuk meneliti, apa sih kartu pra kerja itu? Apa benar perusahaan-perusahaan
seperti Tokopedia, Bukalapak, RuangGuru dll dapat uang segitu besar?
Sesudah saya
baca pelan-pelan, ternyata ngga juga. Uang 5,6 trilyun rupiah memang
dikeluarkan pemerintah, tapi gak disalurkan ke perusahaan-perusahaan unicorn
itu.
"Lho,
disalurkan ke siapa dong?".
Jadi gini
ceritanya, jangan ngamuk dulu dong..
Pemerintah
menganggarkan Rp. 20 triliun untuk 5,6 juta peserta pelatihan tenaga kerja.
Nah, masing-masing peserta dapat uang Rp. 3,55 juta/ orang.
Dari Rp. 3,55
juta itu, yang Rp. 1 juta harus buat ikut pelatihan kerja. Catat dulu ya..
Sisanya,
yaitu Rp. 2,55 juta untuk biaya hidup mereka, sebesar Rp. 600 ribu/orang per
bulan selama 4 bulan.
Jadi, peserta
pelatihan dapat uang saku setiap bulan untuk bertahan hidup selama mereka ikut
pelatihan. Selain itu mereka juga dapat Rp. 150 rb untuk uang survey.
Nah, dari
uang Rp. 1 juta untuk pelatihan itu, si peserta bebas memilih pelatihan dari 8
mitra yang ditunjuk. Siapa aja? Ya, ada Bukalapak, ada Tokopedia dan ada juga
Ruang Guru.
Jadi bukan
uang Rp. 1 juta dikalikan 5,6 juta peserta -totalnya 5,6 trilyun rupiah-
dikucurkan langsung ke perusahaan- perusahaan Unicorn itu.
Peserta bebas
menggunakan uangnya yang Rp. 1 juta, mau milih pelatihan dimana saja dari 8
mitra pelatihan itu.
"Kenapa
kok cuman 8 mitra aja? Ini pasti kongkalikong.."
Bukan. Tapi
karena perusahaan online yang siap di masa Pandemi ini, sementara ya cuma 8
perusahaan itu.
Nanti pasti
ditambah, jadi Rp. 5,6 trilyun buat pelatihan itu akan tersebat merata bukan
saja ke 8 mitra. Kalau siap 80 mitra atau 800 mitra, ya peserta akan pilih
pelatihan kesana.
Keputusan
menggunakan uang Rp. 3,55 juta yang diberikan pemerintah itu, ya sudah terserah
peserta pelatihan. Pemerintah hanya kasih uang dan menetapkan aturan. Itu aja..
"Alah
cebong. Penjilat. Buzzer bayaran!!"
Lah,
dijelasin kok... Emang lu udah daftar, entar ketinggalan. Lu kan nganggur 3
tahun ini. Gak mau apa dapat Rp. 600 ribu/ bulan?
"Gua DM
ya. Gimana sih cara daftarnya?"
Hwarakadahhhh...
Butuh juga ternyata.. Bentar mau nyeruput kopi dulu.. Lanjut ke tulisan
berikutnya LAGI KARTU PRA KERJA
LAGI KARTU PRA KERJA
Jakarta - Saya
nulis tentang "Kartu Pra Kerja" bagian pertama, seperti biasa ada yang
nerima dan banyak juga yang maki.
Padahal cuman
pengen kasih penjelasan supaya jgn salah paham, krn pemahamannya digiring ke
arah yang salah oleh beberapa orang.
Tapi lumayan
juga, dari komen-komen saya bisa tahu ada beberapa pertanyaan yang mungkin bisa
saya jawab sedikit.
Saya
terangkan dulu..
Kartu pra
kerja ini awalnya didesain bekerjasama dengan banyak mitra offline seperti
balai latihan kerja dan lain-lain. Tapi kemudian Corona menyerang, sehingga
sistemnya harus diubah dengan konsep "berlatih di rumah".
Jadinya yang
tadi offline, diubah online krn situasi.
Nah, yang
siap online sementara hanya ada 8 mitra itu, bukalapak, ruang guru dll. Nanti
ditambah lagi mitranya kalau mereka siap, yang penting kartu pra kerja ini
jalan dulu karena banyak org butuh uang.
"Kenapa
buru-buru diluncurkan?".
Karena
situasi sulit sekarang, banyak orang butuh bantuan keuangan. Ingat ya, di
konsep kartu pra kerja itu, setiap peserta pelatihan dapat Rp. 600rb/org setiap
bulan selama 4 bulan. Ini seperti bantuan untuk bertahan hidup di situasi sulit
ini.
"Enak
dong 8 mitra tadi dapat uang gede 5,6 trilyun.."
Pelajari
konsepnya. Perusahaan mitra tadi hanya sebagai mediator saja, mempertemukan
para pelatih dengan orang yang akan dilatih. Paham, kan ?
Seperti ruang
guru. Aplikasi itu mempertemukan guru dan murid. Bukan aplikasi itu yang pegang
duit.
Jadi
sebenarnya yang diuntungkan bukan perusahaan mitranya, tetapi para pengajar.
Ada guru, ada wiraswatawan, ada montir dll. Mereka inilah yang jadi pengajar
dan mendapat insentif dari apa yang mereka ajarkan.
Di situasi
Corona ini, orang-orang praktisi itu juga kena imbas. Makanya uang yang
dikucurkan untuk pelatihan itu juga berguna untuk para pengajar di pelatihan
online itu.
Nah dengan
kartu pra kerja ini, uang juga muter antara si pengajar dan org yang dilatih,
sehingga mereka punya pendapatan masing-masing.
Mau jadi
pengajar juga? Ya, hubungi perusahaan-perusahaan mitra itu supaya bisa dapat
penghasilan sebagai pengajar.
"Kok
saya susah daftarnya? Ini pasti ada kongkalikong.."
Kongkalikong
lagi. Seneng banget pake kata itu. Biji lu kingkong..
Kenapa susah
daftarnya?
Ya, karena
awalnya kartu pra kerja ini didesain untuk memfasilitasi 7 juta orang yang
masih nganggur. Tapi gara-gara Corona ini, yang nganggur nambah. Mungkin bisa 9
juta orang sekarang, dan terus nambah.
Gelombang
pertama ini dibuka untuk 5,6 juta orang. Akan ada gelombang kedua yang
disiapkan. Mitranya jg akan ditambah.
Jadi kalau
gagal mendaftar, jangan marah-marah dulu. Namanya juga rebutan. Kalau ga lolos
sekarang, tunggu gelombang kedua.
Oke, apalagi
pertanyaannya? Nanya gratis kok, ini juga jelasin gada yang bayar, cuman pengen
meluruskan supaya jangan jd fitnah.
Udah dulu
ya.. mumpung kopi masih panas nih. Mau terima penjelasannya, silahkan. Ngga
juga, silahkan..
"Bang,
apa ada pelatihan jadi Wakil Presiden ??"
Coba tanya ma Wagub DKI. Dia pasti lebih paham..RSCM-FKUI Kebakaran Jenggot
Dengan Keberhasilan Terapi Plasma
Tim Dr Monica
Tanggal
30 Maret 2020, Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia (FKUI), Siti Setiadi, berteriak mengenai Local Lockdown atau
Karantina Wilayah kepada Pemerintah demi memutus rantai penularan
Covid-19.
Sungguh
sebuah teriakan yang sama sekali tak masuk akal ketika itu dilakukan
oleh seorang Guru Besar Fakultas Kedokteran pula! Kenapa?
Ga mau
terjebak dalam kehektikan penanganan pasien corona yang pasti akan
membludak, hingga masalah ekonomi dan masa depan Indonesia harus
dipertaruhkan?
Sebagai seorang ahli di di bidang kesehatan di kota
terbesar, termaju se Indonesia, Siti Setiadi dan FKUI-nya, selayaknya
lebih memilih untuk melakukan hal yang berhubungan dengan keahliannya di
bidang kesehatan sebagai kontribusi nyata di dalam peperangan melawan
Covid-19, bukan malah meneriakkan lockdown, mana alasan yang dipakai juga
tak berhubungan dengan keahliannya,“Negara punya Rp 1000 triliun, cukup
untuk biaya local lockdown”, itu kata si Ketua Dewan Guru Besar FKUI.
Nyebelin kan?
Kemudian,
pertengahan April lalu, halaman Seword diramaikan dengan adanya
penemuan cara pengobatan terhadap Covid-19. Terapi Plasma Kovalensen
yang sekarang mulai menjadi isu primadona media sebagai vaksin pasif
penangkal virus corona 2019, pertama kali digagas oleh Dr. Theresia
Monica Rahardjo, dr., Sp. An., KIC., M. Si, seorang Ahli Genetika dan
Biologi Molekular, alumnus Universitas Kristen Maranatha Bandung, dan
juga Penulis Seword.
Hingga
hari ini tanggal 1 Mei 2020, Terapi Plasma Kovalensen atau TPK sudah
mencapai pihak berwenang dari pemerintahan dengan diumumkan adanya
pasien yang berhasil disembuhkan dengan cara pengobatan TPK ini oleh
Ketua Gugus Percepatan Penanganan Covid-19, hari Sabtu lalu.
Lucunya, kemaren ini, di media mainstream ramai memberitakan bahwa RSCM-FKUI, baru akan
melakukan riset dan mengembangkan Terapi Plasma Kovanlensen.
Untuk
mendukung rencananya ini, tak hanya di media, di group-group whatsapp
pun muncul pesan dimana pihak RSCM-FKUI meminta mantan pasien Covid-19,
untuk secara sukarela mau menyumbangkan plasma darah mereka.
Lebih parah lagi ada pernyataan dari pihak RSCM-FKUI, bahwa “Tidak
benar kalau terapi plasma darah sudah dipergunakan untuk pengobatan
Covid-19 di Indonesia ya. Semua baru tahap riset dan penelitian yg barus
saja dimulai…”
Waduuuuuh,
kemana saja para dokter RSCM-FKUI dari kemaren yah?
Apa mereka tidak
membaca berita dan tidak melihat televisi waktu Dr. Theresia Monica
Rahardjo, dr., Sp. An., KIC., M. Si, diwawancara dan menyatakan bahwa
SUDAH ADA PASIEN YANG MEMBAIK DENGAN PENGOBATAN TERAPI PLASMA
KOVALENSEN!
Dan tak hanya Dr Monica di Kompas TV menyatakan itu, Ketua
Gugus Percepatan Penanganan Covid-19, Jendral Doni Monardo, saat
konferensi dengan Diaspora Indonesia dari seluruh dunia, juga mengatakan
bahwa secara tidak terbuka, telah ada pasien Covid-19, yang sembuh
dengan pengobatan Terapi Plasma Kovalensen.
Kok
tiba-tiba ada pernyataan bahwa di Indonesia terapi plasma darah tidak
pernah dipergunakan untuk pengobatan Covid-19 di Indonesia. Apakah ini
berarti, apa yang telah berhasil ditemukan dan dilakukan oleh Tim dari
Dr Monica, dianggap tidak ada oleh pihak RSCM-FKUI?
Atau kesombongan dan
kecongkakan mereka menginginkan menjadi pihak yang dikenal sebagai
penemu TPK pertama? Waaaaw begini yah sikut menyikut di dunia kesehatan
di Indonesia nih?
Ibaratnya RSCM-FKUI, karena ketinggalan berita, pas
tahu, jadi seperti kebakaran jenggot, ha ha ha….
Terus,
itu teriakan lockdown dari Ketua Dewan Guru Besar FKUI, gimana
nasibnya?
Padahal dia sudah cape-cape menghitung pengeluaran pemerintah
jika lockdown dilakukan. "Total dana 14 hari (karantina wilayah) di
Jakarta yaitu Rp4 triliun, sedangkan total penerimaan pajak Indonesia
per November 2019 sebesar Rp 1.312,4 triliun". Tapi si Ketua Dewan Guru
Besar FKUI juga lucu, yang dibicarakan lockdown Jakarta, tapi penerimaan
pajak, kok Indonesia. Seperti pola pikir Rocky Gerung saja dia…
Anyway…
Memang
harus diakui bahwa selama ini, Tim TPK Dr. Theresia Monica Rahardjo,
dr., Sp. An., KIC., M. Si, melakukan “Riset dan uji klinis” Terapi
Plasma Kovalensen ini secara diam-diam dengan menggunakan jalur autonomi
pasien dan penelitian.
Namun, begitu berhasil, barulah dia
persembahakan kepada pemerintah. Media yang memberitakan keberhasilan
Tim TPK Dr. Monica, awalnya hanya Seword.
Setelah Seword secara massive
menuliskan isu TPK dari segala sisi, baru media televisi dan media lain
mengikuti dan ikut memberitakan hasil kerja dan sosok Penggagas TPK ini
secara besar-besaran.
Tak
ada sedikitpun kesan komersial dan terburu-buru dari temuan Terapi
Plasma yang dilakukan oleh Tim Dr Monica. Semua dilakukan dengan penuh
ketelitian dan kehati-hatian.
Sejak dimulainya terapi plasma ini baik
melalui hak autonomi pasien, semua informasi begitu tertutup bagi
masyarakat umum, terutama pihak-pihak yang pasti dirugikan ketika terapi
plasma ini berhasil diterapkan secara nasional, namun sangat terbuka
kepada pasien dan pendonor itu sendiri.
Jadi baik pendonor ataupun
pasien, kedua belah pihak mengetahui sejarah plasma yang diberikan dan
diterima. Dan hal ini menjadi penting untuk membuat si pasien tenang,
hingga kesembuhan didapatkan dengan cepat. Dan Secara etika, kompor gas!
Dan di bawah ini adalah pesan yang dikirimkan ke mantan pasien Covid-19 oleh pihak RSCM-FKUI dalam upaya pencarian donor plasma.
Dengan hormat,
Kami
dari tim peneliti “Plasma Konvalesen RSCM/FKUI” untuk menolong
penderita Covid 19 berat, mengharapkan kesediaan Saudara yang telah
sembuh dari Covid 19 untuk dapat menyumbangkan plasma darahnya.
Plasma
darah yang diperoleh akan diberikan untuk penderita Covid 19 dengan
gejala berat.
Protokol kami mensyaratkan donor laki-laki berusia di atas
18 tahun yang pernah terbukti positif pada pemeriksaan swab Covid 19
dan telah dinyatakan sembuh melalui dua kali pemeriksaan swab negatif.
Besar harapan kami, Saudara berkenan membantu kami menolong penderita Covid 19 berat.
Tim Penelitian Plasma konvalesen RSCM/FKUI:
dr. Robert Sinto Sp PD-KPTI
dr. Elida Marpaung, M Biomed (Unit Pelayanan Transfusi Darah RSCM)
Dr. dr. Cosphiadi Irawan Sp PD-KHOM
Dr.dr. Lugyanti Sukrisman Sp PD-KHOM
Dr. dr. Andri MT Lubis Sp OT (K) (Bagian Penelitian RSCM)
Siti Rizny F Saldi, Apt, MSc (CEEBM)
Kiranya Saudara dapat menghubungi dr. William: 081219973852
Terimakasih
Apa
yang BARU AKAN dilakukan oleh RSCM-FKUI ini seperti pembuangan uang,
energi dan waktu. Untuk apa dilakukan riset dan penelitian atas TPK,
jika sudah ada pihak lain yang nyata-nyata telah berhasil melakukannya.
Terlebih dalam kondisi kita berburu dengan waktu, alangkah baiknya, jika
pihak RSCM-FKUI menindaklanjuti apa yang sudah dilakukan oleh Tim Dr
Monica. Karena Protap TPK pasti akan diberikan secara cuma-cuma.
Masa
kekompakan para dokter Indonesia, kalah sama kekompakan para
supir-supir bis kota“sesama bis kota tidak boleh saling mendahului!”.
Apalagi dokter yang katanya bekerja di dalam lingkungan “kemanusiaan”.
Kok bisa saling sikut begitu… sungguh memalukan!!
Tamat Sudah Riwayat FPI di
Tangan Pemuda Batak Bersatu
Kali
ini ormas ilegal FPI kena batunya. Buntut dari persekusi yang dilakukan
oleh ormas FPI biadab di Deli Serdang, Sumatera Utara, yang merusak
warung kopi milik inang Lamria Manullang dan memaki-makinya dengan
makian kata-kata kotor itu kini jadi panjang.
Aksi
biadab persekusi oleh FPI tersebut memicu kemarahan orang Batak di
seluruh Indonesia dan di luar negeri. Mereka bertekad membubarkan dan
mengusir ormas laknat itu dari tanah Sumatera Utara karena mereka tidak
terima orang Batak diinjak-injak di kampung sendiri.
Organisasi
Pemuda Batak yang mewakili masyarakat Batak kini bersatu agar kasus
persekusi biadab itu dengan menempuh jalur hukum tanpa Materei Rp 6000.
Para
Pengacara serta Organisasi Pemuda Batak Bersatu membuat LP di Polsek
Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, mendampingi inang
Lamria Manullang terkait kasus persekusi dan pengrusakan yang dilakukan
oleh sekelompok oknum FPI itu.
Pemuda
Batak Bersatu minta Pihak Kepolisan untuk menghukum para pelaku
persekusi tersebut sesuai Undang-Undang yang berlaku sahih di negeri
ini.
Pemuda
Batak Bersatu tidak ingin organisasi perusak pemersatu bangsa ini
mengotori NKRI, khususnya di tanah Sumatera Utara. Pemuda Batak Bersatu
akan terus kawal proses hukum tanpa kasih kendor dan tanpa Materai Rp
6.000,- lagi.
Kini
FPI ketakutan dan gemetar dingin. Ketua FPI Batang Kuis langsung bikin
permohonan maaf secara tertulis dan berjanji tidak akan mengulangi
perbuatan mereka lagi.
Sudah
dua kali mereka bolak balik melakukan pertemuan di Polsek Batang Kuis
agar mereka dimaafkan. Mereka yang sok beringas saat persekusi itu kini
terkencing-kencing di celana karena takut berhadapan dengan orang Batak
yang sedang murka.
Sebagai
manusia yang beragama Pemuda Batak Bersatu dan inang Lamria Manullang
pasti memaafkan mereka, namun sebagai warga NKRI Harga Mati yang namanya
hukum wajib ditegakkan tanpa pandang bulu.
Boleh
damai, tapi hukum harus jalan terus agar para kaum berdaster munafiqun
yang tolol dan dungu itu tidak seenak udel mereka lagi menginjak-injak
orang Batak di tanah kelahiran mereka sendiri.
Intinya
tindakan apapun yang melanggar hukum, tidak beretika, dan semena-mena
harus ditindak tegas tanpa pandang bulu. Dengan demikian tidak ada lagi
kejadian serupa di masa-masa yang akan datang terhadap yang lainnya.
Sekarang tamat sudah riwayat sekumpulan manusia dungu nan tolol berjubah putih dan bersorban yang sok jago itu di tanah orang.
Prilaku
radikal dan intoleran mereka adalah manifestasi dari kedunguan tanpa
batas ormas tolol itu yang tidak mampu berpikir panjang kali lebar
kira-kira akibat fatal apa yang bakal mereka terima. Bodat lebih beradab
dari kadrun-kadrun setan iblis berjubah dan bersorban itu.
Padahal
tahun 2019 yang lalu Kementerian Agama telah mengeluarkan rekomendasi
perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) buat FPI dengan syarat
Rekomendasi itu akan dicabut jika FPI melakukan pelanggaran hukum.
"Jika
ada pelanggaran hukum, maka serahkan ke aparat karena kita semua sama
di mata hukum, tidak ada beda. Itulah kenapa pada klausul rekomendasi
juga disebutkan bahwa jika ada penyimpangan, penyalahgunaan, dan
pelanggaran hukum, rekomendasi ini bisa dicabut sesuai peraturan
perundang-undangan," ujar Sekjen Kemenag M Nur Kholis Setiawan.
Dan
kini ormas laknat itu sudah melakukan pelanggaran hukum yang fatal
dengan melakukan persekusi ilegal, penjarahan, masuk properti orang lain
tanpa ijin, dan melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan.
Maka
dengan demikian, sesuai rekomendasi dari Kementerian Agama, ormas
biadab itu sudah layak dimusnahkan dan dibumihanguskan dari bumi NKRI.
Sekarang
mereka ketakutan. Sudah tahu junjungan mereka sudah tidak berkutik lagi
dan tak berdaya luntang lantung di tanah orang, bikin diri macam masih
punya taring dan beking hebat saja.
Sekarang
habis sudah mereka para kadrun dungu itu. Semua orang Batak sudah
bersatu padu bertekad membubarkan dan mengusir FPI dari tanah Sumatera
Utara. Selama ini mereka dibiarkan, malah angkat ekor dan ngelunjak.
Bahkan
Ketua Independent Batak, Tagor Aruan, mengajak seluruh orang Batak dan
elemen organisasi masyarakat lainnya di Sumatera Utara untuk perang
melawan FPI dan mengusir mereka dari tanah Sumatera Utara.
Makanya
jadi orang jangan sok suci, apalagi sok jago di tanah orang. Mereka
datang dikasih tempat di Sumatera Utara, dikasih penghidupan cari makan
di sana, tapi setelah dapat itu semua malah balik menyerang orang
setempat.
Nenek
moyang kita ini memang terlalu baik dan wellcome bagi para pendatang
gurun itu, difasilitasi semua kebutuhan para keturunan Arab yang tidak
tau diri dan tidak tau berterima kasih itu.
Mereka
datang dari gurun lalu bersarang bertelur beranak pinak bahkan
mendatangkan kerabat mereka untuk menikmati surga nusantara.
Sekarang
setelah mereka berkembang biak bagaikan kutu yang beranak pinak, mereka
ingin menguasai Nusantara dan menjadikannya sebagai negara Khilafah
dengan menipu orang pribumi dengan dengan bertamengkan agama.
Mereka
lupa diri dan semakin terlena akibat terbius oleh segelintir orang
pribumi yang memuja-muja mereka karena tergila-gila dengan segala
sesuatu yang ada bau bau Arab.
Sehingga
mereka pun semakin tidak sadar bahwa mayoritas umat Islam dari Aceh
sampai Papua benci setengah mampus dengan keberadaan ormas laknat itu.
Sekarang
mereka dihajar balik sama orang Batak sampai babak belur, siapa yang
mau bela mereka? Rizieg Shihab? Munarman, atau Novel Bakmukmin? Suruh
mereka ketemu dan berhadapan dengan Pemuda Batak Bersatu kalau punya
nyali.
Mereka mau coba-coba ngajak bermain, Pemuda Batak Bersatu tunjukkan cara bermainnya.
Blusukan Presiden Adalah
Tamparan Keras Untuk Para
Pejabat Modal Cuap
Presiden
Joko Widodo kembali menunjukan gaya khas kepemimpinannya kepada kita
semua ketika beliau blusukan membagikan sembako di sekitar daerah
Sempur, Bogor Jawa Barat pada Minggu (26/4/2020) lalu. Selama ini yang
ada dalam memori kita ketika mendengar tentang Presiden Joko Widodo
adalah tentang blusukan dan mendengar aspirasi rakyat secara langsung.
Itu
adalah gaya khas kepemimpinan Presiden Joko Widodo, gaya kepemimpinan
egaliter, yang membumi dan tidak menunjukan status elitisnya kepada
rakyat. Semenjak dari Walikota Solo, Gubernur DKI, sampai sekarang
ketika menjadi Presiden Indonesia gaya kepemimpinan beliau tidaklah
berubah, ini merupakan legacy khusus Presiden Joko Widodo yang tidak akan pernah dilupakan oleh rakyat Indonesia.
Tidak
banyak pejabat di Indonesia yang mempunyai gaya kepemimpinan seperti
Presiden Joko Widodo. Mayoritas pejabat kita sekarang ini adalah
orang-orang yang dengan tiba-tiba bisa menjadi baik dan tiba-tiba bisa
menjadi buruk, disesuaikan dengan maksud dan tujuannya.
Ketika
ada pileg atau pilkada mereka akan berbondong-bondong blusukan kesana
kemari, tidak untuk menyerap aspirasi dari rakyat, tetapi hanya untuk
menaikan elektabilitas, itu sudah menjadi rahasia umum dan sulit untuk
dipungkiri ataupun disangkal.
Video Blusukan dapat diliat disini https://www.youtube.com/watch?time_continue=180&v=irKvVUi49_E&feature=emb_title
Video Blusukan dapat diliat disini https://www.youtube.com/watch?time_continue=180&v=irKvVUi49_E&feature=emb_title
Blusukan
Presiden Joko Widodo ke daerah Sempur, Bogor pada hari minggu
(26/4/2020) lalu adalah tamparan keras untuk para pejabat, baik yang ada
di daerah maupun yang ada di pusat agar lebih peduli terhadap
masyarakat yang paling terdampak karena adanya pandemi Covid 19 ini.
Banyak sekali pejabat yang mengatasnamakan kekuasaan dan keselamatan
warga berlaku sewenang-wenang dengan melakukan penertiban-penertiban
paksa di beberapa wilayah, seperti penertiban pasar lokal dan
pusat-pusat ekonomi kecil lainnya.
Saya
tahu menjadi pejabat itu memang susah, karena kepentingan pribadi harus
dikesampingkan, dan harus mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Ada
sisi-sisi manusiawi yang bahkan untuk seorang pejabat pun masih berlaku,
yaitu egoisme. Tetapi menjadi pejabat adalah amanah, dan tidak pernah
ada paksaan dari siapapun ketika anda dulu mencalonkan diri untuk
menjadi pejabat. Ketika anda sudah yakin untuk mencalonkan diri menjadi
pejabat, maka bagi kami para rakyat ini, anda sudah harus menanggalkan
segala identitas pribadi anda selama ini. Kepentingan rakyat adalah
diatas segalanya bagi seorang pejabat.
Sisi
itulah yang sedang coba diketuk oleh Presiden Joko Widodo ketika
melakukan blusukan sekaligus membagikan sembako kemarin di Sempur,
Bogor. Memunculkan empati para pejabat yang ada di Indonesia terhadap
kondisi nyata rakyat yang paling terdampak Covid 19 menjadi menjadi hal
yang coba dituju oleh Presiden Joko Widodo.
Kepedulian
terhadap sesama di tengah pandemi Covid 19 ini terasa semakin bias,
perbedaan antara yang kaya dan yang miskin sangat terlihat jelas. Untuk
para kaum kaya mereka bisa hidup walaupun mereka sedang berhenti bekerja
atau usahanya sedang tutup karena mayoritas dari mereka mempunyai
tabungan yang lebih jika hanya untuk sekedar makan. Tetapi untuk para
kaum miskin, kehidupan mereka menjadi semakin tidak jelas, hanya sekedar
untuk menghilangkan rasa perih di perut mereka karena lapar saja
mereka kadang tidak bisa.
Pernahkah
suatu kali anda mempunyai cita-cita untuk memberikan satu saja kenangan
indah kepada sesama yang secara ekonomi kurang beruntung, dengan jalan
memberikan mereka makanan agar ketika mereka tertidur minimal mereka
bisa tidur dalam kondisi yang nyenyak?
Lapar itu tidak enak sobat, apalagi ketika kita harus tidur dalam kondisi kelaparan, itu sangat menyakitkan!
Pandemi
Covid 19 ini juga kebetulan terjadi ketika Indonesia akan menggelar
sebuah pesta demokrasi, Pilkada. Banyak oknum pejabat incumbent
di daerah yang akan maju lagi dengan sengaja menggunakan kekuasananya
hanya untuk sebuah elektabilitas. Bantuan-bantuan dari pemda yang
notabene merupakan bantuan sumber dari APBD sengaja ditempeli stiker
wajah para oknum pejabat incumbent tersebut.
Miris,
sedih dan marah menjadi satu perasaan yang tidak bisa diluapkan ketika
melihat hal tersebut terjadi. Tega-teganya mereka melakukan itu kepada
rakyat hanya untuk sebuah elektabilitas dan keterpilihan. Saya
menyarankan kepada para pembaca jika anda menemui hal-hal seperti yang
saya tuliskan di daerah anda, lebih baik jangan anda pilih orang
tersebut, karena bisa saya pastikan orang tersebut sama sekali tidak
mempunyai empati kepada rakyat, karena baginya kekuasaan adalah tujuan,
bukan sarana.
Banyak
pula pejabat kita, baik di pusat maupun daerah yang sering kali
memberikan himbauan-himbauan agar kita selalu menjaga kebersihan dengan
rutin cuci tangan, makan makanan bergizi agar daya tahan tubuh terjaga,
berolahraga rutin agar sirkulasi darah lancar, tetapi kadang para
pejabat lupa bahwa ada sebagian dari rakyatnya yang makan itu untuk
menyambung nyawa, mereka tidak teralalu memikirkan apakah makanan itu
bergizi atau tidak, yang ada di pikrian mereka hanyalah mereka harus
makan agar tidak mati.
Saya
sangat mengapresiasi tentang blusukan dan pembagian sembako yang sudah
dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Semoga tamparan keras beliau
tersebut sampai di pipi para pejabat modal cuap agar lebih berempati
kepada rakyat, khususnya rakyat yang paling terdampak karena musibah
pandemi Covid 19.
Sekian.
Jayalah Indonesiaku.
Merdeka!
Jawaban Kemenaker Soal 500 TKA Cina
Bikin Haters Layu Sebelum Ejakulasi
Beredar
kabar gak enak didengar mata dan dilihat telinga, bahwa akan ada 500
TKA Cina yang akan datang, saat Indonesia sedang berjuang melawan Covid
19. Kita tahu memang Cina sudah memenangkan peperangan melawan Covid 19
dengan strategi perang bintang negara perekonomian kapitalis dengan
ideologi komunisme itu.
Lantas,
para pendukung Anies Baswedan, pembenci Luhut Binsar Panjaitan dan
perusak nama baik Jokowi pun ikut-ikutan menggoreng isu ini di grup-grup
WA. Namun setelah saya cecar dengan beberapa pertanyaan lebih lanjut
terkait TKA ini, banyak yang mendadak diam seperti kambing pura-pura
conge. Mari kita simak penjelasan lebih rinci.
Isu
kedatangan 500 TKA dari Cina ke Sulawesi ini sepertinya sudah sangat
heboh dan merasuk di berbagai tempat, baik dari akar rumput di WAG
rakyat, sampai kepada DPRD. Bahkan ketua DPRD setempat pun ikut-ikutan
ngebacot bahwa ia akan memimpin demonstrasi menolak 500 TKA Cina saat
Covid 19.
Ketua
DPRD Sulawesi Tenggara, Abdurrahman Saleh akan memimpin demonstrasi,
jika pemerintah pusat benar-benar mendatangkan TKA Cina di tengah
pagebluk Covid 19 yang menggebuk seluruh dunia dan Indonesia ini.
Kalau
ini tetap dipaksakan datang (500 TKA), intelijen kita bisa mengawasi
kapan datangnya. Saya akan memimpin langsung demonstrasi, semoga ini
bisa menjadi sejarah, ini bisa dikenang sampai 2024…
DPRD
bukan antiasing, kita komitmen bahwa investasi dibutuhkan dan
regulasinya harus dipatuhi, namun hari ini dunia sedang pandemik
Covid-19, untuk itu mewakili fraksi kita tolak. Di satu sisi aturan
regulasi benar tapi dampak kedepannya dan dampak sosialnya…
kata Abdurrahman mengutip Antara, Kamis (30/1).
Selain Abdurrahman Saleh, anggota PKS Sulawesi Tenggara pun ikut turun melakukan Demonstrasi si Bandara Haluoleo Kendari.
Apabila
tetap berkeras mendatangkan 500 TKA tersebut fraksi PKS akan mengajak
fraksi PKS yang ada di DRPD Kota Kendari, DPRD Kabupaten Konawe dan DRPD
Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) untuk turun langsung demonstrasi di
Bandara Haluoleo Kendari.
ujar Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Poli menegaskan.
Selain
DPRD, gubernur Sulawesi Tenggara pun juta sepertinya kemakan hal yang
belum pasti terjadi itu. Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi mengatakan
bahwa suasana kebatinan masyarakat di tengah Covid 19 ini masih menolak
TKA yang akan didatangkan itu.
Meskipun
rencana kedatangan TKA tersebut merupakan kebijakan pemerintah pusat
dan sudah melalui mekanisme protokol COVID-19, namun suasana kebatinan
masyarakat di daerah belum ingin menerima kedatangan TKA.
ujar Gubernur Sultra Ali Mazi.
Saya
sebenarnya bingung. Mana ada statement pemerintah pusat akan
mendatangkan 500 TKA dalam waktu dekat? Begini loh, wahai orang-orang
pencari panggung…
Kalau
memang sudah tertulis dalam kontrak, kedatangan TKA Cina itu pasti akan
terjadi. Tinggal tunggu waktu. Wong sudah dikontrak, maka TKA Cina
pasti akan datang. Tapi apa yang media tidak ingin masyarakat tahu?
Media
pencari rating tidak memberitahu bahwa TKA itu gak dalam waktu dekat.
Kenapa? Karena Covid 19 sedang terjadi. Pagebluk Covid 19 ini sedang
membuat orang-orang dalam negeri ini susah.
Kalau
memang sudah dikontrak, kalian mau apa? Tapi kalian sudah tahu belum
kapan 500 TKA Cina itu akan didatangkan? Pemerintah pusat belum ada
informasi apapun tentang hal itu. Kenapa kalian sudah ngegas seolah-olah
mereka akan didatangkan besok atau dalam waktu PSBB ini?
Saya
sangat yakin, bahwa pemerintah pusat di bawah komando Jokowi lebih
memfokuskan negara ini dari terhindarnya Indonesia terhadap wabah Covid
19 ketimbang urus kedatangan 500 WNA Cina, meski sudah ditandatangani
kontraknya.
Melalui
PSBB, warga negara Indonesia sendiri belum bisa bekerja. Gak mungkin
terjadi pengkhianatan kepada warga negara Indonesia. Lantas, gorengan
ini dibuat lebih sadis, karena seolah-olah 500 TKA Cina akan didatangkan
dalam waktu dekat. Itu salah besar.
Framing
ini sepertinya sengaja ingin membuat panik bangsa ini. Di tengah wabah
Covid 19 ini, pada mafia alkes ikut-ikutan menggoreng isu ini, agar
mereka bisa dengan tenang mengeruk uang rakyat. Pengalihan isu dari alat
kesehatan menjadi isu TKA lebih mudah. Karena entah mengapa, croc brain alias otak reptil dari para kadal gurun ini, isu TKA lebih seksi ketimbang korupsi alkes.
Itu
masih jauh dari kedatangan. Bukan berarti hari ini kita teken, terus
besok mereka tiba. Prosedurnya masih panjang karena mereka masih harus
visa, Imigrasi, Kemenkum HAM, ke kedutaan.
Jadi tidak dalam waktu dekat ini, bisa Juni, Juli. Kayaknya dari perusahaan memandang di-suspend.
ujar Pelaksana tugas (Plt) Dirjen Binapenta dan PKK Kementerian Ketenagakerjaan ( Kemenaker) Aris Wahyudi.
Jadi
sudah paham ya, para pemuja Anies? Jangan goreng isu TKA. TKA itu masih
lama datang. Ketika PSBB selesai di Indonesia, mereka baru datang.
Sederhananya seperti itu. Jangan panas-panasi situasi, kecuali situ asu.
Begitulah asa-asa.
Sumber Utama : https://seword.com/politik/jawaban-kemenaker-soal-500-tka-cina-bikin-haters-tzKpQZ5ksN
Serba Salah Karena Corona
Sejak
muncul fatwa MUI, terkait anjuran untuk tidak melaksanakan shalat jumat
dan menggantinya dengan shalat dzuhur. Lalu muncul fatwa tambahan,
haram shalat jumat di wilayah zona merah. Sejak saat itulah muncul
beberapa pertanyaan yang cukup sensitif dan sulit dijawab. Pertanyaan
itu kira-kira begini, kenapa masjid-masjid yang selama ini dikuasai oleh
NU, relatif masih menunaikan shalat jumat? Bahkan ada kiai lokal NU
ataupun pengurus organisasi yang membolehkan shalat jumat di wilayah
zona hijau. Sementara kelompok seperti Muhammadiyah dan PKS, cenderung
lebih nurut dengan larangan shalat jumat.
Dalam
artikel ini saya ingin coba menjawab. Tapi jawaban ini tidak mewakili
NU, karena saya tidak pernah secara resmi menjadi bagian dari organisasi
tersebut.
Ketika
muncul fatwa larangan shalat jumat, saya langsung patuh. Meskipun
masjid-masjid di desa tetap melaksanakan. Saya memilih ikut arahan atau
fatwa MUI, karena mereka, para ustad itu pasti sudah mengkajinya dengan
baik.
Jumat
pertama dan jumat kedua, saya masih bisa diam di rumah. Mengganti
dengan shalat dzuhur. Tak ada masalah sama sekali. Tapi menghadapi jumat
ketiga, saya sudah mulai was-was. Muncul pertanyaan dan pemberontakan.
Karena yang melekat dalam benak orang-orang yang pernah belajar agama,
tidak shalat jumat tiga kali sama dengan kafir.
Saya
pribadi paham kenapa pasar tetap buka sementara masjid ditutup? Karena
di pasar itu kebutuhan dasar, sementara kegiatan masjid bisa dialihkan
ke rumah. Tapi saya termasuk orang yang ke Jakarta dan Surabaya, justru
saat dua kota tersebut melakukan PSBB. Ini jadi kayak memaksa shalat
jumat meski sudah ada larangan.
Jadi
pada jumat ketiga, saya akhirnya ikut shalat jumat. Melanggar aturan
pemerintah. Dan dari sini saya dapat satu pelajaran atau sedikit
jawaban, kenapa masjid-masjid NU masih ada yang ngeyel melakukan
jumatan.
Pertama,
shalat jumat pada dasarnya adalah kebutuhan dasar. Kalau ga jumatan,
kita kepikiran sepanjang minggu sampai bertemu jumatan lagi. Terasa
dihantui rasa bersalah. Dan baru akan selesai kalau sudah jumatan lagi
dan kita menunaikan. Maka jangan heran kalau banyak orang tetap jumatan
meskipun dalam perjalanan. Karena itu kebutuhan dasar.
Kedua,
orang-orang NU atau pedesaan relatif stabil. Tidak bergerak dinamis.
Kami adalah orang-orang yang memang sehari-harinya di desa tanah
kelahiran, di dekat rumah. Jarang-jarang kami ke luar kota. Karena
hampir semua urusan kami ada di desa.
Hal
ini berbanding terbalik dengan Muhammadiyah dan PKS, yang cenderung
dianut oleh orang-orang kota. Orang-orang yang lebih banyak urusan di
luar kota dan imigran. Hal ini mungkin juga berlaku bagi warga NU
perkotaan.
Kenapa
ini menjadi penting? karena kebiasaan. Bagi orang kota, Muhammadiyah,
PKS dan NU perkotaan, tidak jumatan mungkin adalah hal biasa. Mereka
sering tidak melakukannya karena melakukan perjalanan atau musafir.
Sebaliknya, kami orang-orang desa dan warga NU, tidak shalat jumatan
pasti adalah hal luar biasa. Sepanjang hidup kami, jumlah tidak shalat
jumat pasti masih bisa dihitung dengan jari.
Serba
salah memang. Tapi nampaknya inilah yang terjadi. Ini soal kebiasaan,
ini tentang kebutuhan dasar. Kalau saya bisa tetap masuk ke daerah PSBB
karena alasan kebutuhan dasar (dan mendesak) sebagai manusia, maka
mereka yang shalat jumatan itupun pasti melakukannya karena alasan yang
sama.
Begitupula
dengan check poin di setiap kabupaten di Madura. Kalau anda dari
Surabaya, setiap perbatasan akan ada pemeriksaan. Tes suhu dan
pendataan. Buruknya kalau anda hendak ke Sumenep, maka anda harus
melalui 4 kali pemeriksaan.
Setelah
Suramadu, akan ada pemeriksaan dengan antrian rata-rata sekitar 1
kilometer. Anda perlu menunggu sekitar 2 jam untuk lolos dari check poin
ini. di Sampang, relatif lebih sepi. Mungkin 20-30 menit sudah selesai.
Begitupun di pamekasan, cepat. Tapi di perbatasan Sumenep, bisa
berlangsung lama, karean anda harus turun dari mobil, masuk bilik
sanitizer, cuci tangan dan mendaftarkan diri sebagai orang yang akan
masuk ke Kabupaten Sumenep.
Jarak
tempuh Surabaya Sumenep yang bisa ditempuh 3-4 jam, gara-gara check
poin bisa molor menjadi 7-8 jam. Dua kali lipat hanya untuk antri dan
meladeni orang-orang atau petugas lapangan yang tidak paham soal suhu
tubuh. Yang dengan dengan percaya diri bilang bahwa suhu tubuh saya 32
derajat dan normal. Cuci tangan, masuk bilik sanitizer dan menulis data
diri yang entah untuk apa. Tak ada pemeriksaan lanjutan atau minimal
dikunjungi dokter. Tidak pernah ada.
8
jam perjalanan plus emosi karena antri. Lebih buruknya lagi saya
termasuk yang paham bahwa suhu tubuh orang dewasa berkisar 36-37. Lebih
dari 37 bisa dibilang panas atau demam. Kurang dari 36 juga tidak
normal, suhu orang kedinginan atau mayat.
Tapi
faktanya, kita harus menjalani aktifitas tidak berguna ini. Karena tak
ada pilihan. Kasihan juga petugas Polri, TNI dan perhubungan yang
berjaga sepanjang hari. Apalagi ini musim puasa. Serba salah memang.
Tidak melakukan check poin dianggap enteng tidak waspada, dilakukan
pemeriksaan pun tidak bisa maksimal karena antrian begitu panjang. Dan
petugasnya pun tidak paham soal pengetahuan medis dasar.
Jadi
kalau saya ditanya lalu bagaimana baiknya? Ya sudah ikuti saja. Karena
kalau petugas di lapangan ditegur, mereka bisa tersinggung. Begitupun
yang shalat jumatan, kalau kita tegur, bisa terjadi gesekan. Sampai saat
ini saya masih belajar memahami, dan mencari ketenangan meski tidak
shalat jumatan. Begitulah kura-kura.
Sumber Utama : https://seword.com/umum/serba-salah-karena-corona-yhYEGt7iPa
Ini Kah Cara Jokowi “Menjewer”
Bac*t Anies??
Siapa
sih pejabat publik yang demen banget konferensi pers (konpers), bahkan
hampir menyamai jubir corona dari pemerintah pusat? Sebuah pertanyaan
yang sangat gampang dijawab. Siapa lagi kalau bukan sang gubernur santun
ahlinya menata kata. Sementara ketika ada pohon-pohon hilang dari
Monas, maupun penghargaan yang salah sasaran, dianya justru menjauh dari
konpers. Ketika banjir pun, tidak ada tuh kegiatan konpers yang begitu
sering seperti sekarang ini. Bahkan belakangan terbongkar, ketika sang
gubernur sudah mulai konpers menyebut situasi Jakarta genting, di waktu
yang bersamaan dengan santuy duit rakyat ratusan miliar malah “dibuang”
ke pihak panitia balap Formula E. Yang sudah nggak ketahuan lagi
juntrungannya kan?
Terbongkar
pula bahwa konpers di Balai Kota ternyata menafikan social distancing
yang digembar-gemborkan oleh sang gubernur. Awak media berkumpul tanpa
jarak, membahayakan diri mereka dan orang-orang terdekat mereka. Tidak
ada bedanya dengan menyatakan penumpukan calon penumpang bis
TransJakarta waktu itu sebagai sebuah efek kejut. Sebuah pembodohan
publik yang sangat zholim.
Ok,
kita tidak membahas kezholiman itu. Sekarang waktunya memakai sudut
pandang lain, yakni politis. Semua tahu isi konpers sang gubernur ini
kebanyakan berlawanan narasinya dengan pemerintah pusat. Dari segi
kebijakan pemaksaan lockdown hingga jumlah korban virus corona.
Sementara narasi pemerintah lebih menekankan pada optimisme, pada
banyaknya pasien penderita virus corona yang sembuh. Maka sang gubernur
lebih menekankan pada mayat, pada orang-orang yang wafat, dengan angka
yang besar, yang bertolak belakang dengan angka rilis resmi Pemprov DKI
sendiri. Bukannya meningkatkan keoptimisan dan gotong royong, malah
seakan senang membuat warganya makin takut dan parno. Seakan Jakarta di
ambang kiamat. Pokoknya asal berbeda dengan pemerintah pusat, seakan
Jakarta ini bukan salah satu provinsi di negara ini. Demi mempertahankan
yel-yel “gubernur rasa presiden”?
Keseringan
konpers, bukannya selalu meningkatkan nilai diri Anies di dunia
politik. Malah jadi senjata makan tuan. Kenapa? Karena dibandingkan
dengan kepala daerah lainnya saja, Anies jadi terlihat tidak berani
turun mendekati warganya sendiri. Apakah takut tertular virus? Egois
dong. Sementara kepala daerah lain cukup sering menyambangi warganya,
misalnya Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil. Tentu Anies merasa tidak
ngefek kalau dibandingkan dengan kepala daerah lain. Wong dia kan
gubernur rasa presiden? Jadi mesti dibandingkan dengan presiden dong.
Maunya begitu? Ya ok, boleh lah sesekali presidennya yang langsung
“menjewer” sang gubernur sok tahu ini hehehe…
Gampang
sekali bagi seorang Jokowi. Bahkan tidak perlu banyak persiapan, tidak
perlu mengarang naskah seperti di konpers. Jokowi melakukannya dengan
santuy dan langkah yang ringan. Karena kegiatan ini memang sudah melekat
ke dalam sosok Jokowi sejak beliau jadi seorang wali kota. Yakni
blusukan. Jika ada yang menuduh sebagai pencitraan, berarti memang sirik
aja. Pura-pura nggak tahu bahwa Jokowi memang hobi blusukan sejak
bertahun-tahun lalu, sejak jadi Wali Kota Solo.
Seorang
pengamat politik, Yunarto Wijaya, menggambarkan proses “penjeweran” ini
dengan tepat dan telak, lewat cuitannya. “Keliatan bedanya kepala
daerah yang beneran ngurusin rakyatnya sambil berani turun langsung
lakukan kontrol dengan yg modal panggung konpers tapi gak pernah kontrol
lapangan... Yg satu fokus ke rakyat, satu fokus ke dirinya…,” tulis
Yunarto link.
Yang dimaksud dengan turun langsung adalah blusukan Presiden Jokowi di
kawasan Bogor pada Minggu malam lalu (26/4). Yang videonya baru viral
sekarang, karena memang tidak disertai dengan awak media. Presiden
Jokowi menyambangi warga di sana. Ada 3 KK (kepala keluarga) yang
ditemui oleh Presiden Jokowi, sambil menyerahkan langsung paket sembako Sumber. Videonya saya sematkan di bagian akhir tulisan ini ya.
Cuitan
Yunarto di atas langsung mendapat serbuan dari para buzzer dan pemuja
Anies. Ketahuan sekali bahwa mereka kehabisan kata-kata buat membantah
Yunarto. Karena alih-alih berargumen secara sportif, mereka justru
memaki Yunarto dengan kata-kata SARA. Kampret emang! Para pemuja
biasanya meniru yang mereka puja kan? Contohnya pemuja Jokowi ya akan
meniru kebiasaan Jokowi berbagi pada yang kurang mampu, betul?
Mungkin
Presiden Jokowi tidak secara sengaja juga sih blusukan sekalian
“menjewer” bac^t Anies hehehe… Mungkin ini hanya interpretasi saya
saja.. Tapi mungkin juga benar kan? Buktinya ya itu, banyak yang nyinyir
dan menyebut blusukan itu sebagai pencitraan. Padahal ngapain juga
Presiden Jokowi bikin pencitraan? Pilpres sudah lewat, bambaaaaang…!
Bahkan sudah 2 kali lewat. Justru yang ketahuan pingin jadi presiden
itu yang patut dicurigai tingkah lakunya sebagai pencitraan belaka, ya
kan? Sekian dulu dari kura-kura!
Fadli Zon Kembali Ngoceh ...
Kali Ini Soal Pembagian Sembako
Presiden Jokowi!
Kagak
lengkap rasanya membahas soal Corona tanpa menghadirkan sosok
"antagonis sejati" dengan lambe turah dan nyinyir yang selama ini
konsisten dijalankannya sejak Joko Widodo menjabat sebagai Presiden di
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rasanya ada saja hal-hal yang tidak
luput dari pengamatan "mata elang" politisi tambun berkacamata dari
partai Gerindra ini.
Seperti
yang disampaikan Fadli Zon belum ini ini, merespons pembagian sembako
secara langsung oleh Presiden Jokowi. Politisi Gerindra yang (sedihnya,
mirisnya, sayangnya, kok bisaaa) masih jadi wakil rakyat ini berkoar
alias ngoceh: (dikutip langsung dari akun Twitter@fadlizon)
"Membagi sembako di jalanan sangat bertentangan dg prinsip PSBB n bisa membahayakan mereka yg berebutan. Biarlah tugas membagi2 ini cukup dilakukan oleh RT dan RW. Agar merata dan lebih beradab. Bapak bisa memikirkan kebijakan2 yg lebih strategis. Terima kasih.
Sebentar
... saya jadi pengin ketawa tapi takut gendut. Orang ini bisa-bisanya
ngoceh begitu, yang lebih terlihat sok peduli, sok kritis, sok tahu, dan
sok jadi bos ... dengan secara tak langsung menyuruh Presiden Jokowi
agar memikirkan kebijakan-kebijakan yang lebih strategis. Kata "terima
kasih" sebagai penutup pun saya anggap cuma abang-abange lambe alias cuma formalitas belaka, yang lebih terdengar sebagai sindiran daripada ketulusan mengucapkan terima kasih.
Hey ... Mister Zonk ...!
Apakah
seorang Presiden pada begini tidak boleh turun langsung melihat kondisi
rakyat yang beliau pimpin, samibl memberi sesuatu untuk menjadi bukti
kepedulian terhadap warga yang beliau tengok keadaannya secara langsung?
Hey ... Lambe Turah ...!
Sangat
bertentangan dengan prinsip PSBB kau bilang? Berebutan kau bilang?
Sudah baca beritanya belum apakah ada warga yang berebut sembako? Apakah
beliau juga lantas begitu saja melanggar protokol kesehatan selama
berbagi sembako itu? Baca berita, bertanyalah pada "orang terdekat"
beliau, jangan suudzon saja bisanya...!
Hey ... politisi ambyar ...!
Menurut Anda apakah RT dan RW, juga Kepala Desa sekalipun sudah melakukan tugasnya dengan maksimal? Kok bisa-bisalah bilang: "Biarlah tugas membagi2 ini cukup dilakukan oleh RT dan RW?"
Ya suka-suka Pakde Jokowi-lah .... wong beliau mau melihat langsung ke
lapangan, sekaligus untuk cek fakta di lapangan, karena pastinya ada
orang-orang tertentu yang dianggap beliau tidak kompeten bekerja,
sehingga perlu dilakukan "sidak" secara halus begitu.
Hey ... Wakil Rakyat yang kurang kerjaan...!
Kau
pikir Presiden Jokowi kurang kerjaan selama ini? Apakah beliau sedang
kau tuduh kurang memikirkan hal-hal yang bersifat sangat strategis,
sehingga bisa-bisanya kau bilang : "Bapak bisa memikirkan kebijakan2 yg lebih strategis?"
Lebih baik suruh tuh kawan-kawanmu untuk berpikir lebih keras dan
cerdas ... supaya bisa memberi usulan program atau kebijakan yang tepat
guna, efektif, serta berdampak cepat dan luas untuk mengatasi Corona di
negeri ini.
Biar
terlihat kalian itu bekerja, mewakili rakyat dengan sungguh-sungguh ...
masa' bisanya cuma memberi usulan ngawur dengan menyuruh pemerintah dan
Bank Indonesia (BI) mencetak uang sebanyak 600 triliun rupiah? Mau jadi
ambyar perekomian di negeri ini? Masih mendinglah kalau kau ini usul
agar seluruh anggota MPR-DPR sampai akhir tahun bersedia tidak menerima
gaji, atau minimal digaji 50 persen dari seharusnya, supaya dipakai
untuk menanggulangi Corona dan berbagai dampaknya di Indonesia...!
Aaaaaaarrrrrggghhh ... kok ada politisi macam gini di Indonesia ya? Kok lambenya turah sekali ... waktunya luaaaang sekali ... cara berpikirnya pendeeeek sekali ... plus asal mangaaaap saja sih bisanya, cuma nyinyir pemerintah tapi giliran kerja sebagai Wakil Rakyat, sumbangsihnya apaaaa???
Maafkan
saya kalau agak ngegas sejak awal karena sudah saking jengkelnya sama
"politisi lambe turah" yang satu ini. Kapan ya orang ini insaf dan
paling tidak meski menjadi oposisi pemerintah, tapi bisa memberi kritik
dan saran yang membangun gitu loh. Biar tidak sia-sia uang negara yang
dipakai untuk menggaji manusia yang satu ini. Sayang banget sama pajak
negara kita euy!
Zonk
... Zonk ... semoga Anda segera insaf ... atau perlu dikasih jabatan
dulu di lingkaran pemerintah supaya bisa waras? Jangan deh ... nanti
malah jadi seperti duri dalam daging. Lebih baik dikirim ke Korea Utara
saja nih orang, kalau di sana kekurangan orang buat jadi jubirnya Kim
Jong Un!
Begitulah kesel-kesel ...
Sulitnya Memahami “Keberhasilan”
PSBB Jakarta
Beberapa
waktu lalu tersiar kabar DKI Jakarta sukses dengan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB). Ehhmmm…. jujurnya penulis bingung dan bertanya.
Pertanyaannya, racikan apa yang membuat DKI Jakarta sukses? Kemudian,
definisi atau tolak ukur kesuksesannya itu dilihat darimana? Apakah
dari kiri ke kanan, atas kebawah atau dari mana hendak kemana?
Bicara
soal PSBB, harus diakui salut banget dengan manuver Abas yang
fenomenal. Sakti, Jakarta tampil terdepan menerapkan PSBB, dan tertuang
dalam Peraturan Gubernur No 35/2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan
Sosial Berskala Besar dalam Penanganan Coronavirus Disease 2019
(Covid-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang mulai berlaku
10 April 2020.
Balik
bicara ke racikan, mungkin Abas meracik PSBB cukup dengan modal nekat
doang. Istilahnya, nggak ada ramuan khusus, yang penting di Jakarta ini
sepi, nggak ada kegiatan. Jadi orang-orang di Jakarta dibuat
sedemikian rupa tidak saling ketemu. Ngendon di rumah saja, sambil
puyeng mikirin ini perut mau diisi pakai apa yah? Simple, dan sederhana
sekali khan caranya. Uuuppss…
Pertanyaannya apakah itu yang dikatakan keberhasilan PSBB Jakarta versi Abas?
Wkwkwk….secara
grafik DKI Jakarta terlihat mengalami perlambatan. Grafiknya sudah
flat, nggak naik lagi. Artinya, tidak lagi terjadi penambahan kasus
secara menggila seperti sebelumnya. Ini pun diperkuat pernyataan Ketua
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Letnan Jenderal TNI Doni
Monardo mengenai perkembangan Covid-19 di DKI Jakarta.
"DKI
perkembangan terakhir positif mengalami perlambatan sangat pesat dan
sekarang sudah flat dan kita berdoa tidak terjadi lagi kasus positif
terjadi," ujar Doni dalam keterangan pers. Dikutip dari: cnbcindonesia.com
Abas
mungkin bolehlah terbang sebentar ke langit ke tujuh. Tetapi jangan
kejauhan yah, nanti lupa pulang. Maaf, dan punten, menurut penulis
apakah modal grafik flat doang bisa dijadikan acuan berhasil?
Heheh…kalau itu sih picik banget!
Menurut
penulis, keberhasilan PSBB nggak cuma memutus mata rantai penyebaran
virus. Apa yang terjadi di Jakarta ini, PSBB juga ikutan memutus
kehidupan yang sedang berlangsung. Semua aktivitas dihentikan, disuruh
ngumpet saja di rumah dan jangan keliaran di jalanan. Begitu khan
kasarnya? Beberapa poin yang menurut penulis sebuah kegagalan adalah:
Kelaparan
Jelas saja proses penularan terputus karena tidak ada interaksi! Tetapi
bagaimana dengan urusan perut yang mungkin bisa memutuskan nyawa orang
karena lapar? Bagaimana tanggungjawab Abas sebagai kepala daerah yang
harusnya memastikan tidak ada warganya kelaparan.
Bansos
Fakta
di lapangan bansos nggak jelas penerimanya. Jangan ngambek, penulis
saja ditawari mau bansos nggak. Modalnya cukup Kartu Keluarga (KK) dan
KTP. Lha…khan konyol itu namanya. Tapi, wait…penulis nggak aji mumpung
yah. Nggak jadi daging nantinya, mengambil hak orang lain. Nah,
harusnya dan setidaknya RT dan RW inisiatif mendata warganya yang
berhak. Jadi nggak modal karena kenal dan dekat. Beginilah
ujung-ujungnya bantuan pemerintah pusat akhirnya tidak tepat sasaran,
dan warga menjadi korbannya. Lucu khan, dulu Abas sempat datang dengan
data kepada Jokowi, tetapi ketika menyalurkan justru tidak tepat
sasaran. Tulalit banget itu euy…
Peningkatan kasus positip
Grafik boleh terlihat melambat. Tetapi, fakta di lapangan jumlah kasus
positip di DKI Jakarta terus bertambah. Secara data kasus meninggal
mengalami penurunan drastis. Tetapi, per Selasa 29 April untuk kasus
positip terjadi penambahan dari 83 kasus, meskipun tidak sebanyak
hari-hari sebelumnya.
Pembatasan Arus balik mudik
Nah, ini kocak karena kabarnya warga Jakarta yang sudah terlanjur mudik
akan kesulitan balik. Wah…., kalau ini dianggap bagian dari kunci
kesuksesan PSBB Jakarta yah kebangetan banget. Kosongin saja Jakarta,
biar virusnya kesepian!
Makanya,
kalau dikatakan PSBB DKI Jakarta sukses, cius nggak ngerti yang
menyimpulkan itu siapa? Istilahnya, apa yang dilakukan Abas perang
melawan Covid dengan PSBB ini nggak lebih seperti tambal sulam saja.
Ambil
contoh salah satu kasus tergila Abas mengatasi bau di Kali Item. Kok
yah bukannya dicari solusinya sampai tuntas, tetapi justru ditutupi
menggunakan waring? Wkwk…
Kembali
kepada Covid dan PSBB, jika hanya dilihat Jakarta kosong, sepi dan
seperti tak bertuan. Nggak berarti virusnya berkurang! Apa yang
terjadi, warga Jakarta lagi disuruh ngumpet nahan lapar!
Beda
banget jika PSBB dibarengi dengan ketersediaan bansos yang tepat
sasaran, dan juga edukasi kepada warga masyarakat! Bukannya cerita
horor soal angka kematian. Koplak banget sih.
Yah…begitu deh kira-kiranya.
Tak Disangka .... Corona Membuat Impian
Ki Hadjar Dewantara Terwujud di Indonesia!
Masih
dengan tulisan bertema “Hari Pendidikan Nasional” yang diperingati di
Indonesia setiap 2 Mei. Kali ini saya akan menyinggung soal ucapan, yang
bisa saya artikan juga sebagai impian, dari seorang Ki Hadjar
Dewantara. Tokoh nasional yang tak bisa dilepaskan dari jasa besarnya
bagi dunia pendidikan di Indonesia pada masa lalu.
Berikut ini kutipan pernyataan filosofi pendidikan dari seorang Ki Hadjar Dewantara: “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.”
Ungkapan
yang mungkin dulunya menjadi sesuatu yang absurd, susah untuk
diwujudkan, bahkan sampai awal Januari 2020 ... sebelum virus Corona
merebak dan memaksa pendidikan “dikembalikan” ke rumah, dengan orangtua,
juga orang seisi rumah dan masyarakat sekitar, mendadak kudu berperan
sebagai guru bagi anak-anak mereka. Proses mendidik pun, dengan porsi
dan waktu yang sangat besar, melebihi sekolah pada umumnya, kini kembali
ke rumah!
Yes,
tak ada yang pernah menyangka bukan? Saya pun terkejut ketika
merenungkan akan statement Ki Hadjar Dewantara dengan mengamati apa yang
terjadi belakangan ini, khususnya di Indonesia. Saya melihat setiap
hari, membaca keluhan di medsos, kadang tertawa melihat serunya
aktivitas anak bersama orangtua mereka di rumah, juga bagaimana
kreatifnya anak-anak mengisi waktu luang dengan tetap mengandung unsur
pembelajaran selama Corona memaksa murid-murid sekolah di Indonesia
untuk belajar di rumah.
Setiap orang bisa menjadi guru
Guru,
jika dikaitkan dengan profesi, memang erat berkaitan dengan sosok
pengajar dan pendidik yang berada di sekolah. Sosok yang sering disebut
“Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” karena peran besarnya sering berbanding
terbalik dengan tanda jasa yang mereka dapatkan.
Namun,
sejatinya setiap orang bisa menjadi guru ... dalam arti mengajarkan
sesuatu, juga mendidik anak-anak melebihi apa yang bisa diajarkan di
sekolah. Hari-hari ini, bukankah para orangtua mendadak harus menjadi
guru yang menguasai berbagai mata pelajaran, juga diharapkan dapat
membantu mengerjakan setiap tugas yang diberikan oleh sekolah?
Seorang
teman (dia dan istrinya), orangtua dari tiga anak dengan tingkat
sekolah berbeda (TK Kecil, SD, dan SMP) bercerita bahwa dirinya harus
mampu berperan sebagai guru TK, SD, dan SMP dalam waktu bersamaan ...
setiap hari ... selama anak mereka belajar dari rumah. Nggak bayangin
bagaimana repotnya mereka, meski blessing in disguise-nya adalah terjadi upgrade diri dan pengetahuan yang mereka dapatkan selama proses belajar dari rumah itu berlangsung.
Saya
bayangkan keadaan ini ada di setiap rumah ... maka kelak ketika serbuan
Covid-19 ini berlalu ... kelak kita (seharusnya) akan memiliki SDM yang
cerdas, mengerti berbagai pengetahuan, juga cara belajar kreatif dari
para “guru dadakan” yang tersebar di berbagai rumah, di seluruh
Indonesia! Pada guru yang tidak melakukan upgrade diri ... bersiaplah kalah pinter dari para orangtua ini, ya!
Setiap rumah menjadi sekolah
Inilah
fakta kedua yang menurut saya sangat keren, karena saat ini ibaratnya
“sekolah buka di setiap rumah” dengan proses pembelajaran full-day
sejak mata terbuka hingga mata terpejam setiap hari. Sekolah, yang di
dalamnya terjadi proses pembelajaran, didikan, dan pengajaran ... kini
akan terlihat memeriahkan suasana setiap rumah.
Tak hanya pelajaran berkaitan dengan sisi intelek, tetapi “proses kegiatan sekolah” pun dapat meluas menjadi pelajaran yang berkaitan dengan kehidupan, juga *skill tertentu yang kelak bisa berguna ketika anak menjadi dewasa—hal yang mungkin selama ini tak diajarkan oleh selama mereka di sekolah!
Saya
jadi teringat berita di televisi tadi pagi, dimana ada seorang ayah
membuat lapangan mini supaya anaknya bisa menjalankan hobinya bermain
skateboard di halaman rumah sendiri. Sambil menjalankan hobi, tentunya
proses didikan bisa dilakukan orangtuanya kepada anaknya yang masih
balita, antara lain: melatih semangat juang, mendorong anaknya
mengembangkan hobi, bangkit satu kali lebih banyak daripada kegagalan
(saat anak jatuh), juga menjalankan fungsi parenting sebagai seorang
ayah yang mendidik anaknya.
Saya
sangat yakin model didikan seperti ini akan jauh melekat dalam benak
anaknya, daripada misalnya, ayahnya membayar orang untuk melatihnya
skateboard, atau sekadar mengikutkan anaknya ekskul skateboard di
sekolah ... kalau ada ekskul-nya lho ya!
Jadi
... mari syukuri dan nikmati proses pembelajaran di rumah ya, wahai
para orangtua di seluruh Indonesia. Ini saatnya impian Ki Hadjar
Dewantara terwujud di seantero negeri ini, yang kelak akan kita kenang
selamanya karena menjadi bagian dari proses pembelajaran yang akan
berdampak pada tumbuh-kembang dan kepribadian anak sampai mereka dewasa
nanti.
Proses pembelajaran yang terkadang dibebankan pada sekolah dan (maaf) orangtua hanya tahu bagaimana membayar—meski tidak semua orangtua bersikap dan berpikir seperti ini—supaya
mendapatkan pengajaran dan didikan yang terbaik bagi anak-anak mereka,
kini tanggung jawab dan beban itu harus mereka pikul dan rasakan di
rumah!
Terima
kasih Ki Hadjar Dewantara .... Terima kasih juga (ehm ...) Corona ...
kamu telah ikut berperan membuat impian Ki Hadjar Dewantara terwujud
pada generasi milenial ini.
Re-post by MigoBerita / Sabtu/02052020/11.36Wita/Bjm
1 komentar:
terapi plasma menarik sekali yah
pc 2000 komatsu