Migo Berita - Banjarmasin - Akhir dari Arogansi Amerika hingga Yaman, siapa yang tidak mengenal "kisah fiksi" kekuatan Amerika yang dikatakan sebagai "Polisi Dunia". Namun ternyata cerita itu memang hanya "Fiksi", ini dikarenakan banyak hal.
Agar pembaca Migo Berita bisa memahami silahkan baca beberapa artikel yang selalu kami sajikan buat para pembaca sekalian dan ingat bacalah hingga akhir, agar terhindar dari salah paham.
Assalamualaikum, Iran!
Ucapan itu disampaikan oleh Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, baru-baru ini. Lihat videonya.
Pada 20 Mei, Wall Street Journal
memberitakan bahwa kapal tanker Iran yang membawa bensin (gasoline)
telah melawati Terusan Suez dan melanjutkan perjalanan ke Venezuela.
Diperkirakan besok (24 Mei) akan masuk ke perairan Venezuela. Selain
kapal tersebut, ada 4 kapal tanker Iran lagi yang menyusul (mungkin
lebih); jarak mereka tak jauh dari kapal pertama.
Iran dan Venezuela merupakan dua negara yang bersatu dalam kubu
perlawanan terhadap negara-negara eks-kolonialis/imperialis yang masih
ingin terus memaksakan dominasi dan hegemoni mereka di berbagai penjuru
bumi.
Keduanya sama-sama diembargo oleh AS. Venezuela kini mengalami kesulitan bahan bakar dan Iran mau mengirimkannya, dengan menempuh segala resiko. AS sudah menempatkan armada tempurnya di perairan yang akan dilewati Iran.
Penyerangan kapal sipil jelas melanggar hukum internasional. Iran pun sudah mengancam: kalau kapal-kapal minyak Iran ‘disentuh’, Iran akan membalas. Siapa yang akan kena balasan? Bisa diduga, antara lain, pangkalan militer AS yang ada di berbagai negara di sekitar Iran.
Iran dan Venezuela punya kesamaan lain: menjadi pendukung utama perjuangan Palestina (bukan cuma mendukung secara basa-basi diplomasi dan donasi).
Iran negara Islam, Venezuela negara mayoritas Kristiani. Keduanya sama-sama membela Palestina karena memang perlawanan terhadap penjajahan adalah persoalan asasi kemanusiaan, tidak disekat oleh agama atau keyakinan.
“Pemerintah Amerika Serikat tidak menginginkan perdamaian. AS hanya ingin mengeksploitasi sistem, menjarah, menghegemoni melalui perang. AS berkata “menginginkan perdamaian”, tetapi apa yang terjadi di Irak? Apa yang terjadi di Lebanon? Palestina? Apa yang terjadi? Apa yang terjadi selama seratus tahun terakhir di Amerika Latin dan di dunia?” (kalimat mendiang Hugo Chavez)
Sumber Utama : https://dinasulaeman.wordpress.com/2020/05/24/assalamualaikum-iran/#more-6558
Keduanya sama-sama diembargo oleh AS. Venezuela kini mengalami kesulitan bahan bakar dan Iran mau mengirimkannya, dengan menempuh segala resiko. AS sudah menempatkan armada tempurnya di perairan yang akan dilewati Iran.
Penyerangan kapal sipil jelas melanggar hukum internasional. Iran pun sudah mengancam: kalau kapal-kapal minyak Iran ‘disentuh’, Iran akan membalas. Siapa yang akan kena balasan? Bisa diduga, antara lain, pangkalan militer AS yang ada di berbagai negara di sekitar Iran.
Iran dan Venezuela punya kesamaan lain: menjadi pendukung utama perjuangan Palestina (bukan cuma mendukung secara basa-basi diplomasi dan donasi).
Iran negara Islam, Venezuela negara mayoritas Kristiani. Keduanya sama-sama membela Palestina karena memang perlawanan terhadap penjajahan adalah persoalan asasi kemanusiaan, tidak disekat oleh agama atau keyakinan.
“Pemerintah Amerika Serikat tidak menginginkan perdamaian. AS hanya ingin mengeksploitasi sistem, menjarah, menghegemoni melalui perang. AS berkata “menginginkan perdamaian”, tetapi apa yang terjadi di Irak? Apa yang terjadi di Lebanon? Palestina? Apa yang terjadi? Apa yang terjadi selama seratus tahun terakhir di Amerika Latin dan di dunia?” (kalimat mendiang Hugo Chavez)
Sumber Utama : https://dinasulaeman.wordpress.com/2020/05/24/assalamualaikum-iran/#more-6558
Mengenang Morales dan Salar de Uyuni
Baru saja saya melihat video Salar de Uyuni, https://web.facebook.com/DinaY.Sulaeman/videos/583143408994456/?t=0
indah sekali. Saya jadi teringat pada tulisan saya bulan November 2019,
tak lama setelah Morales dikudeta oleh kelompok “ultra kanan”.
Ada kesamaan antara kudeta di Bolivia dan “proyek penggulingan rezim”
di Suriah. Pertama, aksi bersenjata penggulingan Assad dimulai beberapa
saat setelah Iran-Suriah sepakat (Juli 2011) membangun jalur pipa gas
Iran-Irak-Suriah-Eropa (tentu saja direstui Rusia; dan China hampir
pasti ikut dapat proyek). Morales juga dikudeta setelah menolak
perusahaan Barat (tapi menerima Rusia-China) untuk penambangan lithium.
Dalam tulisan seorang doktor ilmu politik dari Kanada, CJ Atkins [1] disebutkan bahwa Lithium adalah bahan utama untuk baterai yang memicu revolusi mobil dan smartphone dunia. Analis pasar berspekulasi bahwa pada pertengahan 2020-an, lithium akan jadi barang mahal karena tingginya permintaan “emas abad ke-21” ini.
Diperkirakan, 25 -45% cadangan lithium yang ada bumi ini berada di padang garam “Salar de Uyuni” yang terletak di Andes, Bolivia.
Pemerintah Evo Morales telah berupaya menciptakan industri lithium yang dimiliki publik demi melepaskan warganya dari jeratan kemiskinan. Upaya perusahaan tambang multinasional dari AS, Kanada, Korea Selatan, dan lainnya untuk menguasai lithium itu sejauh ini gagal. Sebuah usaha patungan dengan perusahaan Jerman dibatalkan oleh pemerintah Bolivia tepat sebelum ia Morales dikudeta, karena ia merasa keuntungan yang akan diberikan kepada penduduk asli yang tinggal di dekat Salar de Uyuni tidak cukup. Perusahaan China dan Rusia termasuk di antara sedikit perusahaan yang telah menandatangani kesepakatan.
Kesamaan kedua: kudeta di kedua negara (Suriah dan Bolivia) sama-sama dilakukan oleh kelompok radikal/fundamentalis yang merupakan proxy. Apa itu proxy? Istilah lainnya “kaki tangan”. Mereka dibiayai, dilatih, didukung melalui propaganda media, dll, oleh AS, untuk menggulingkan rezim-rezim yang tidak sejalan dengan kepentingan AS. Tapi pelakunya tetap saja orang lokal.
Biasanya kalau saya bilang: “di belakang ISIS/Al Qaida ada AS” yang ngamuk ada 2: pembela AS dan pendukung ISIS.
Pembela AS biasanya akan mengolok-olok “kamu pakai teori konspirasi!”. Padahal, anggota parlemen AS (Tulsi Gabbard) sendiri sudah blak-blakan berpidato di depan parlemen AS, mengecam pemerintahnya yang selama bertahun-tahun mendanai ISIS dan Al Qaida. Kalian mau lebih Amerika dari anggota parlemen Amerika?
Sementara para pendukung ISIS/Al Qaida jelas tidak mau terima kalau dibilang antek AS, karena karena merasa sedang berjihad. Padahal, yang namanya proxy, tentu ada 2 level, yaitu elit (penerima dana) dan pelaku (mereka yang berdarah-darah di lapangan). Si pelaku mungkin merasa jihad lillahi ta’ala dan tidak terima duitnya (dan simpatisannya di Indonesia merogoh kocek untuk menyumbang). Makanya, supaya tidak dibodoh-bodohi melulu oleh “industri radikalisme”, kita perlu paham geopolitik.
Nah di Bolivia, ternyata, proxy AS adalah kelompok yang diberi istilah “ultra kanan” atau “sayap kanan”. Maksudnya adalah kelompok penganut Kristen yang radikal/fundamentalis/tekstualis. Mereka ini merasa hanya Kristen [versi mereka] yang berhak berkuasa di Bolivia. Mereka benci sekali pada suku Indian yang menurut mereka “melakukan ritual setan”.
Mirip sekali kan dengan perilaku Wahabi/takfiri di Indonesia? Bencinya setengah mati pada orang-orang yang menurut mereka “sesat” dan “pelaku bid’ah”. Dengan alasan bahwa “rezim Assad kafir” maka mereka angkat senjata berupaya menggulingkan Assad. Di Indonesia, narasi mereka adalah “rezim thoghut” dan “rezim pendukung penista agama”.
Pemimpin kudeta “sayap kanan” Bolivia adalah Luis Fernando Camacho, seorang miliarder Kristen fundamentalis, yang punya ikatan mendalam dengan kelompok paramiliter ultra-kanan, Santa Cruz Youth Union (UJC). UJC punya rekam jejak kekerasan rasisme dan bahkan terlibat dalam upaya pembunuhan kepada Evo Morales.
Ketika Morales menyatakan diri mundur untuk menghentikan kekerasan yang terjadi pada kaum pribumi (Indian), Camacho menyerbu istana presiden dan menyatakan bahwa “Bolivia adalah milik Kristus”. Tujuannya adalah untuk membubarkan kepemimpinan orang-orang pribumi [Indian] di Bolivia.
Pendukung Camacho antara lain adalah Branko Marinkovich, orang kaya raya yang juga berpaham Kristen fundamentalis. Marinkovich adalah “korban” nasionalisasi tambang & tanah yang dilakukan Morales.
Umat Islam yang rahmatan lil alamin tentu saja menolak paham kekerasan ala Wahabi/takfiri, sebagaimana kaum Kristiani yang berpegang pada ajaran kasih Yesus pasti tidak sepakat dengan kelompok “ultra kanan” ala Bolivia ini.
Terakhir, menarik untuk dicermati: kelompok Kristen fundamentalis biasanya sangat fanatik pada Israel (atas dasar keyakinan teologis), sebaliknya, Evo Morales secara terang-terangan pro Palestina dan menyatakan bahwa Israel adalah “negara teroris”.
Sementara itu, pemerintah Suriah (Assad) adalah satu-satunya negara Arab yang tersisa, yang masih konsisten melawan Israel. Sebaliknya, “jihadis” di Suriah [meski simpatisannya di Indonesia selalu mengklaim pro-Palestina] mendapatkan bantuan dana dan senjata dari Israel; dan yang terluka pun dirawat di rumah sakit di Israel –sudah tahu kan, Israel dan Suriah itu berbatasan darat. [2]
—-
Sumber Utama : https://dinasulaeman.wordpress.com/2020/05/27/mengenang-morales-dan-salar-de-uyuni/#more-6565
Dalam tulisan seorang doktor ilmu politik dari Kanada, CJ Atkins [1] disebutkan bahwa Lithium adalah bahan utama untuk baterai yang memicu revolusi mobil dan smartphone dunia. Analis pasar berspekulasi bahwa pada pertengahan 2020-an, lithium akan jadi barang mahal karena tingginya permintaan “emas abad ke-21” ini.
Diperkirakan, 25 -45% cadangan lithium yang ada bumi ini berada di padang garam “Salar de Uyuni” yang terletak di Andes, Bolivia.
Pemerintah Evo Morales telah berupaya menciptakan industri lithium yang dimiliki publik demi melepaskan warganya dari jeratan kemiskinan. Upaya perusahaan tambang multinasional dari AS, Kanada, Korea Selatan, dan lainnya untuk menguasai lithium itu sejauh ini gagal. Sebuah usaha patungan dengan perusahaan Jerman dibatalkan oleh pemerintah Bolivia tepat sebelum ia Morales dikudeta, karena ia merasa keuntungan yang akan diberikan kepada penduduk asli yang tinggal di dekat Salar de Uyuni tidak cukup. Perusahaan China dan Rusia termasuk di antara sedikit perusahaan yang telah menandatangani kesepakatan.
Kesamaan kedua: kudeta di kedua negara (Suriah dan Bolivia) sama-sama dilakukan oleh kelompok radikal/fundamentalis yang merupakan proxy. Apa itu proxy? Istilah lainnya “kaki tangan”. Mereka dibiayai, dilatih, didukung melalui propaganda media, dll, oleh AS, untuk menggulingkan rezim-rezim yang tidak sejalan dengan kepentingan AS. Tapi pelakunya tetap saja orang lokal.
Biasanya kalau saya bilang: “di belakang ISIS/Al Qaida ada AS” yang ngamuk ada 2: pembela AS dan pendukung ISIS.
Pembela AS biasanya akan mengolok-olok “kamu pakai teori konspirasi!”. Padahal, anggota parlemen AS (Tulsi Gabbard) sendiri sudah blak-blakan berpidato di depan parlemen AS, mengecam pemerintahnya yang selama bertahun-tahun mendanai ISIS dan Al Qaida. Kalian mau lebih Amerika dari anggota parlemen Amerika?
Sementara para pendukung ISIS/Al Qaida jelas tidak mau terima kalau dibilang antek AS, karena karena merasa sedang berjihad. Padahal, yang namanya proxy, tentu ada 2 level, yaitu elit (penerima dana) dan pelaku (mereka yang berdarah-darah di lapangan). Si pelaku mungkin merasa jihad lillahi ta’ala dan tidak terima duitnya (dan simpatisannya di Indonesia merogoh kocek untuk menyumbang). Makanya, supaya tidak dibodoh-bodohi melulu oleh “industri radikalisme”, kita perlu paham geopolitik.
Nah di Bolivia, ternyata, proxy AS adalah kelompok yang diberi istilah “ultra kanan” atau “sayap kanan”. Maksudnya adalah kelompok penganut Kristen yang radikal/fundamentalis/tekstualis. Mereka ini merasa hanya Kristen [versi mereka] yang berhak berkuasa di Bolivia. Mereka benci sekali pada suku Indian yang menurut mereka “melakukan ritual setan”.
Mirip sekali kan dengan perilaku Wahabi/takfiri di Indonesia? Bencinya setengah mati pada orang-orang yang menurut mereka “sesat” dan “pelaku bid’ah”. Dengan alasan bahwa “rezim Assad kafir” maka mereka angkat senjata berupaya menggulingkan Assad. Di Indonesia, narasi mereka adalah “rezim thoghut” dan “rezim pendukung penista agama”.
Pemimpin kudeta “sayap kanan” Bolivia adalah Luis Fernando Camacho, seorang miliarder Kristen fundamentalis, yang punya ikatan mendalam dengan kelompok paramiliter ultra-kanan, Santa Cruz Youth Union (UJC). UJC punya rekam jejak kekerasan rasisme dan bahkan terlibat dalam upaya pembunuhan kepada Evo Morales.
Ketika Morales menyatakan diri mundur untuk menghentikan kekerasan yang terjadi pada kaum pribumi (Indian), Camacho menyerbu istana presiden dan menyatakan bahwa “Bolivia adalah milik Kristus”. Tujuannya adalah untuk membubarkan kepemimpinan orang-orang pribumi [Indian] di Bolivia.
Pendukung Camacho antara lain adalah Branko Marinkovich, orang kaya raya yang juga berpaham Kristen fundamentalis. Marinkovich adalah “korban” nasionalisasi tambang & tanah yang dilakukan Morales.
Umat Islam yang rahmatan lil alamin tentu saja menolak paham kekerasan ala Wahabi/takfiri, sebagaimana kaum Kristiani yang berpegang pada ajaran kasih Yesus pasti tidak sepakat dengan kelompok “ultra kanan” ala Bolivia ini.
Terakhir, menarik untuk dicermati: kelompok Kristen fundamentalis biasanya sangat fanatik pada Israel (atas dasar keyakinan teologis), sebaliknya, Evo Morales secara terang-terangan pro Palestina dan menyatakan bahwa Israel adalah “negara teroris”.
Sementara itu, pemerintah Suriah (Assad) adalah satu-satunya negara Arab yang tersisa, yang masih konsisten melawan Israel. Sebaliknya, “jihadis” di Suriah [meski simpatisannya di Indonesia selalu mengklaim pro-Palestina] mendapatkan bantuan dana dan senjata dari Israel; dan yang terluka pun dirawat di rumah sakit di Israel –sudah tahu kan, Israel dan Suriah itu berbatasan darat. [2]
—-
Mendobrak Blokade Venezuela: Deterrence Power Iran Versus AS
Oleh: Mu’min Elmin
(Dosen Hubungan Internasional, Universitas Sulawesi Barat)
Sejak pertengahan Mei, lima kapal tanker Iran, Forest, Fortune, Petunia, Faxon, dan Clavel bergerak dari Bandas Abbas menuju perairan Karibia. Kapal-kapal itu mengangkut sekitar 1,5 juta barrel bahan bakar untuk Venezuela yang sedang mengalami kekurangan bahan bakar akut. Venezuela, negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia, diembargo ekonomi oleh AS sehingga tidak mampu memproduksi bahan bakar yang cukup untuk rakyatnya. Kondisi pandemi semakin memperburuk situasi. Di tengah kesulitan ini, Iran bersedia mengirimkan bahan bakar yang diproduksinya.
Hingga kini (30 Mei), tiga dari lima kapal tanker Iran telah berhasil memasuki zona maritim Venezuela tanpa goresan dan gangguan sedikit pun dari militer Amerika Serikat. Padahal, sebelumnya AS mengeluarkan ancaman serius terhadap kapal tanker Iran, jika tetap melanjutkan misinya ke Venezuela. AS memandang bahwa pengiriman minyak ke Venezuela melanggar embargo yang ditetapkan AS terhadap negara tersebut, yang meliputi pelarangan bertransaksi dengan perusahaan minyak Venezuela, Petroleos de Venezuela’s (PDVSA).
Dalam diplomasi maritim, ancaman AS ini juga disebut Gun-boat Diplomacy, atau diplomasi kapal meriam, atau secara umum disebut coercive diplomacy; yaitu diplomasi yang menggunakan kekerasan dan ancaman.
Dunia membayangkan, ancaman AS tersebut akan menciptakan krisis baru di laut Karibia. Seperti peristiwa Krisis Misil Kuba tahun 1962. Krisis Misil Kuba adalah salah satu peristiwa geopolitik tersuram yang pernah terjadi di laut Karibia. Perang nuklir antara AS – Soviet sudah di depan mata. Seluruh mata dunia tertuju ke Kuba saat itu. Dunia cemas menantikan ancaman perang besar dua negara super-power. Akan tetapi detente (pengurangan ketegangan) akhirnya menjadi pilihan kedua negara sehingga tensi konflik menurun.
Meski AS telah melontarkan berbagai ancaman terhadap kapal-kapal tanker Iran, nyaris tidak terdengar adanya insiden dan ketegangan di laut Karibia. Tidak ada satu butir peluru pun yang ditembakkan, tidak pula ada upaya pencegatan terhadap kapal tanker Iran. Media mainstream pun seolah kehilangan gairah untuk melaporkan perkembangan di laut Karibia karena tidak sesuai dengan ekspektasi mereka di awal.
Tatanan Dunia yang Berubah
Dunia pun bertanya-tanya, ke mana Raksasa Sea Power itu? Bagaimana Iran bisa senekad itu?
Dunia telah berubah, termasuk aspek-aspek geopolitik juga berubah. Jika di era Perang Dingin polarisasi kekuasaan itu bersifat bipolar, maka hari ini kondisinya sangat multipolar. Bahkan kekuatan negara (national power) tidak lagi senada dengan ajaran Realisme Klasik yang hanya mengacu pada aspek-aspek materil (militeristik). Konstelasi geopolitik hari ini menunjukkan bahwa soft power memiliki peran besar dalam menyusun komposisi kekuatan suatu negara.
Lihat bagaimana negara-negara yang kuat secara hard power, tapi gagal dalam menghadapi pandemi Covid-19. Sebaliknya, banyak negara dengan kekuatan hard power lebih kecil yang lebih berhasil mengatasi pandemi ini. Hal itu bisa terjadi karena mereka memiliki social capital yang tinggi. Itulah soft power. Misalnya, kita melihat Iran yang mampu melewati pandemi, meski dalam kondisi diembargo sangat ketat sehingga tidak bisa bertransaksi ekonomi secara leluasa dengan negara luar, karena rakyatnya bergotong royong membuat masker dan hand sanitizer secara massal.
Dalam konteks pertarungan hard power, bagaimana Iran mampu menghadapi ancaman militer AS yang merupakan negara dengan kekuatan militer terbesar di dunia?
Iran memiliki deterrence power yang luar biasa. Secara sederhana, deterrence power dapat diartikan sebagai kemampuan suatu negara dalam menangkal dan mencegah serangan musuh melalui ancaman serangan balasan yang lebih mematikan.
Keberhasilan deterensi suatu negara sangat ditentukan oleh minimalnya tiga aspek, yaitu military power (kekuatan militer), commitment (komitmen), dan credibility (kredibilitas).
Keberhasilan deterensi itu harus memenuhi ketiga aspek diatas. Walaupun suatu negara mampu secara militer, jika tidak memiliki komitmen dan tidak dapat dipercaya, kekuatan deterensinya tidak akan bekerja efektif dalam menghalau atau menangkal serangan musuh. Dengan istilah lain: gertak sambal. Negara yang sekedar mengandalkan ‘gertak sambal’ akan mendapatkan citra negatif dan reputasi yang buruk di mata dunia. Begitupun sebaliknya, komitmen dan kredibitas tinggi juga tidak cukup bila tidak didukung oleh kemampuan militer yang mumpuni.
Pada aspek pertama, Iran memang tidak memiliki kekuatan militer yang mengimbangi kekuatan militer AS. Bahkan jika dibandingkan, dari semua aspek materil, seperti military expenditure, military capacity dll. Iran masih jauh di bawah AS. Namun demikian, Iran menang dan lebih unggul dalam aspek commitment and credibility. Sejarah mencatat, setiap kali Iran mendapat ancaman serangan dari negara musuhnya. Iran akan memberikan ancaman balasan yang lebih keras lagi. Ancaman itu pun didukung oleh kekuatan riil di lapangan. Misalnya, ketika Iran mengancam akan membalas gangguan AS dengan ‘menyerang kepentingan AS di kawasan’, Iran memiliki kapasitas untuk memberikan serangan balasan ke arah negara-negara di sekitar Iran wilayahnya dijadikan pangkalan militer AS.
Pembuktian dari serangan balasan Iran pun sudah terjadi beberapa kali, antara lain sebagai berikut.
Dalam kasus pengiriman bahan bakar ke Venezuela, Presiden Rouhani telah memberikan pernyataan, “Jika kapal tanker kami di Karibia atau di mana pun di dunia menghadapi masalah yang disebabkan oleh Amerika, mereka akan menghadapi masalah juga. Kami berharap Amerika tidak akan membuat kesalahan.”
Komitmen dan kredibilitas Iran selama ini dalam menjaga janjinya rupanya telah membuat ciut nyali AS sehingga tiga kapal Iran telah berlabuh dengan aman di Venezuela. Ini adalah kemenangan kecil bagi Iran, yang diraih melalui deterrence power-nya. Sebaliknya, peristiwa ini memberikan kerugian besar bagi AS karena dominasinya semakin terancam.[]
Sumber Utama : https://ic-mes.org/politics/mendobrak-blokade-venezuela-deterrence-power-iran-versus-as/
Konflik di Yaman memang seolah terlupakan oleh publik Indonesia. Padahal sejak Arab Saudi membombardir Yaman pada 26 Maret 2015 hingga hari ini, puluhan ribu penduduk negeri itu tewas dan terluka, mayoritas perempuan dan anak-anak. Laporan PBB menyebutkan bahwa target bom Saudi adalah objek-objek sipil, termasuk kamp pengungsi, pesta pernikahan, mobil-mobil sipil, kawasan permukiman sipil, fasilitas medis, sekolah, masjdi, pasar, pabrik, gudang makanan, airport, dan pelabuhan. Kondisi semakin diperburuk oleh embargo ekonomi, sehingga separuh populasi Yaman (total 28 juta) mengalami kelaparan dan anak-anak kekurangan gizi. Berbeda dengan konflik Suriah dimana foto-foto palsu diedarkan oleh media mainstream dan media pro-jihadis selalu berhasil membuat publik histeris, foto-foto asli anak-anak Yaman yang kurus kering kelaparan diabaikan begitu saja.
Penting diperhatikan bahwa AS adalah sponsor utama dalam serangan brutal Arab Saudi, dan hal ini sudah diakui Menlu Saudi, Adel al-Jubeir, “Ada pejabat-pejabat Inggris dan AS dan negara-negara lain di pusat komando kami. Mereka tahu daftar target pengeboman.” [1]
Bom yang digunakan adalah bom cluster buatan AS, jenis bom yang dilarang PBB karena dampaknya yang sangat mematikan, sehingga Sekjen PBB menilai aksi Saudi hampir dapat dikategorikan “kejahatan perang” (may amount to a war crime).
Perang Sunni-Syiah atau Perang demi Minyak?
Media massa dan para pengamat umumnya memotret konflik Yaman sebagai perang antara Saudi melawan proxy Iran di Yaman, pasukan Al Houthi. Arab Saudi digambarkan tengah khawatir pengaruh Syiah dan Iran semakin kuat di Yaman, dan akan meluas ke negaranya. Pendapat seperti ini sangat menyederhanakan masalah, atau bahkan telah menggeser opini publik dari akar masalah yang sesungguhnya.
Bila motif Arab Saudi membombardir Yaman semata-mata demi “membantai Syiah”, jelas bertentangan dengan fakta bahwa mayoritas korban pembombardiran dari udara itu adalah warga sipil sehingga yang tewas sama sekali tidak bisa “dipilih”. Populasi Muslim di Yaman adalah Populasi Muslim di Yaman adalah 55% Sunni, 40% Shiah Zaidiyah (berbeda dari Syiah Iran).
Selain itu, bila kita meneliti sejarah Yaman, terlihat bahwa di negara ini sudah terjadi banyak konflik internal yang melibatkan banyak faksi, baik antara faksi Ikhwanul Muslimin (IM), faksi Imam Yahya (Syiah-Zaidiyah), faksi Sosialis, antara rezim Saleh (yang awalnya didukung IM, namun kemudian berseteru dengan IM), faksi suku Al Houthi (Syiah-Zaidiyah). Saat ini kubu yang berseteru adalah Ansharullah (suku Al Houthi dan faksi-faksi Sunni Syafii) melawan kelompok-kelompok berhaluan Wahabi, Al Qaida, ISIS, dan Arab Saudi.
Faktor Barat sebagai pihak di balik layar pun, sebagaimana terjadi dalam perang-perang lain di Timur Tengah, tak bisa diabaikan. Yaman tadinya berada di bawah kekuasaan Imperium Ottoman. Kemudian, setelah Ottoman kalah dalam Perang Dunia I, Inggris menguasai Yaman selatan (terutama wilayah Aden yang menguasai jalur laut). Sementara itu, Yaman utara dikuasai oleh Imam Yahya yang bermazhab Syiah Zaidiah, yang membentuk Kerajaan Yaman. Inggris pun membacking gerakan “Free Yemenis” yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini pada tahun 1962 berhasil menggulingkan pemerintahan Imam Yahya dan memproklamasikan “Republik Arab Yaman” di Yaman utara.
Di Yaman selatan, kelompok sosialis membentuk Republik Rakyat Demokratik Yaman pada 1967. Pada Mei 1990, akhirnya kedua Yaman (utara dan selatan) bersatu di bawah nama Republik Arab Yaman, dengan Ali Abdullah Saleh sebagai presiden dan Ali Salim Beidh (semula Presiden Yaman selatan, berasal dari partai sosialis) menjadi wakil presiden.
Namun pemerintahan baru tak langgeng, terlebih karena pemerintahan Saleh yang despotik dan memperkaya diri. Tahun 1994, Wapres Ali Salim Beidh (sosialis) mundur dan kelompok sosialis kemudian angkat senjata dan terjadilah perang sipil. Presiden Saleh, dibantu oleh Arab Saudi (dan Partai Islah/Ikhwanul Muslimin) akhirnya menundukkan pemberontakan itu. Sejak tahun 2004, suku Houthi yang bermazhab Syiah Zaidiyah menuntut otonomi khusus di wilayah Saada sebagai protes atas diskriminasi dan penindasan dari rezim Saleh. Tuntutan ini dihadapi dengan senjata oleh Saleh (dibantu Arab Saudi), dan meletuslah perang sipil yang menewaskan lebih dari 5000 tentara dan rakyat sipil (suku Houthi) pada rentang 2004-2008.
Tahun 2009, kelompok Salafi (Gerakan Yaman Selatan/ al Hirak al Janoubi) yang dipimpin kelompok Tareq Al Fadhli angkat senjata melawan rezim Saleh. Al Fadhli adalah alumnus jihad Afganistan yang berperan membantu Saleh dalam membungkam faksi sosialis. Di masa ini, muncul aktor baru di Yaman, yaitu Al Qaida Arab Peninsula (AQAP) yang memproklamasikan diri pada tahun 2009. Dua tokoh utama AQAP adalah dua warga Arab Saudi alumni Guantanamo, Abu-Sayyaf al-Shihri dan Abu-al-Harith Muhammad al-Awfi. Mengingat donatur utama Al Qaida adalah Arab Saudi, dan pembentukan Al Qaida memang didalangi AS dan Arab Saudi (hal ini sudah diakui oleh Hillary Clinton), tentu kemunculan Al Qaida di Yaman adalah demi kepentingan AS.
Meski Al Fadhli menolak tuduhan bahwa dia bekerja sama dengan Al Qaida, namun AS tetap membombardir Yaman dengan alasan mengejar Al Qaida. Antara 2009-2011, korban serangan bom yang diluncurkan pesawat tempur AS (dengan seizin Presiden Saleh) telah menewaskan ratusan rakyat sipil Yaman, termasuk anak-anak. Akhirnya pada Juni 2014, Al Fadhli menyatakan bergabung dengan Al Qaida. Dan sejak 2015, ISIS menyatakan ikut bergabung dengan Al Qaida Yaman.
Dari sekilas sejarah Yaman ini kita bisa lihat bahwa polarisasinya sama sekali bukan Sunni-Syiah. Pada 2011, seiring dengan gelombang Arab Spring, rakyat Yaman (dari berbagai suku dan mazhab) bangkit berdemo menuntut pengunduran Saleh yang telah berkuasa 33 tahun. Ia melarikan diri pada November 2011 ke Arab Saudi, dan digantikan oleh Mansur Hadi. Namun yang berkuasa di Yaman adalah elit-elit lama, termasuk anasir Al Qaida. Faksi-faksi yang banyak berjuang dalam upaya penggulingan Saleh justru disingkirkan, termasuk gerakan Ansarullah (yang beranggotakan berbagai faksi, baik Syiah Zaidi maupun Sunni). Ini memunculkan ketidakpuasan rakyat yang semula berharap terjadinya reformasi dan gerakan Ansarullah meneruskan demo melawan pemerintah. Akhirnya, Mansur Hadi memilih lari ke Arab Saudi dan sejak 26 Maret 2015, Arab Saudi dibantu AS, negara-negara Teluk, dan Israel, membombardir Yaman, hingga hari ini.
Ada hal penting yang terlewat dalam dinamika politik Yaman. Menjelang serangan Arab Saudi, faksi-faksi di Yaman sudah hampir menandatangani kesepakatan damai dan pembagian kekuasaan di antara 12 faksi, termasuk suku Houthi. Hal ini disampaikan oleh mantan utusan khusus PBB di Yaman, Jamal Benomar. Seandainya Saudi tidak menyerang Yaman, kemungkinan besar pemerintahan demokratis saat ini telah terbentuk di Yaman. Serangan ke Yaman menunjukkan bahwa Saudi, AS, Inggris, sama sekali tidak menghendaki proses demokratis terjadi di Yaman. Tuduhan bahwa Iran berada di balik suku Houthi sebenarnya sudah dibantah oleh intel AS sendiri. Bernadette Meehan, Dewan Keamanan AS mengatakan bahwa Iran tidak memiliki komando dan kontrol atas kelompok Houthi. [2]
Perang adalah sebuah aktivitas yang sangat mahal. Karena itu potensi ekonomi dan geopolitik yang sangat besarlah yang menjadi pivotal factor (penyebab utama) bagi negara-negara kuat untuk menggelontorkan dana sangat besar untuk membiayai faksi-faksi yang berseteru di Yaman. Aktor asing terkuat di Yaman, tentu saja AS, yang sejak 2001 menggelontorkan ratusan juta dollar (dana total sejak 2008 hingga 2010 yang diterima rezim Saleh dari AS mencapai 500 juta dollar). AS juga menginvestasi dana dan perlengkapan militer tercanggihnya di Pulau Socotra. Di saat yang sama, AS meraup untung besar dari perdagangan senjata ke negara-negara Arab dan Teluk. Kemudian ketika pemerintahan boneka terbentuk, perusahaan-perusahaan AS pula yang dipastikan akan mendapatkan berbagai kontrak infrastruktur dan minyak (seperti yang terjadi di Libya dan Irak).
Pada Maret 2015, konsultan militer AS dan NATO, Anthony Cordesman dari Center for Strategic and International Studies menjelaskan bahwa, “Yaman memiliki nilai yang sangat penting dan strategis bagi AS, dan penting bagi stabilitas Arab Saudi di tengah negara-negara Teluk. Wilayah Yaman dan pulau-pulaunya memainkan peran kritis dalam keamanan lalu-lintas global, Bab el-Mandab.”
Selat Bab el-Mandeb adalah “a chokepoint” antara tanduk Afrika dan Timur Tengah dan penghubung strategis antara Laut Mediterrania dan Laut Hindia, yang membawa hampir semua ekspor dari Teluk Persia menuju terusan Suez dan jalur minyak Suez-Mediterranean (SUMED).
“Keberadaan kekuatan ‘kasar’ di Yaman akan mengancam seluruh lalu lintas yang melewati terusan Suez, temasuk minyak dan produk turunannya,” kata Cordesman.
Mimpi Pembangunan Pipa Minyak Yaman
Pengamat geopolitik Nafeez Ahmed, menjelaskan bahwa ada tujuan besar lain di balik serangan Saudi ke Yaman, yaitu upaya membangun jalur pipa migas baru agar “ketergantungan pada Selat Hormuz dapat dialihkan.” Hal ini diketahui dari kabel rahasia dari Kedubes AS di Yaman kepada Menlu AS tahun 2008, yang menginformasikan bahwa Saudi berniat membangun jalur pipa migas yang sepenuhnya dikuasai dan dioperasikan Arab Saudi, melewati Hadramaut (salah satu provinsi di Yaman) hingga ke Teluk Aden. Namun rencana ini ditolak Presiden Saleh.
Tak heran dalam aksi bombardir Yaman ini, provinsi Hadramaut tidak pernah jadi sasaran. Hadramaut adalah provinsi terbesar di Yaman yang sangat kaya sumber daya migas. Rencana pembangunan pipa migas ini tidak pernah diangkat oleh pejabat Barat, mereka selalu mengedepankan konflik proxy Saudi-Iran sebagai alasan perang di Yaman.
Pada 2 June 2015, Joke Buringa, staf ahli Timur Tengah di Kemenlu Belanda menulis bahwa AS selalu menekan negara-negara Teluk agar membangunan jalur alternatif pipa migas. Pada 2007, Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, Oman, dan Yaman bersama-sama meresmikan proyek bersama Trans-Arabia Oil Pipeline. Proyek ini direncanakan dibangun dari Saudi (Ras Tannurah) dan UEA menuju Teluk Oman, dan menuju Teluk Aden. Pada 2102, jalur Abu Dhabi-Fujairah (UEA) telah beroperasi, namun di saat yang sama Oman justru menandatangani kerjasama pembangunan pipa migas dengan Iran. Karena itulah opsi pipa migas Saudi-Hadramaut semakin diprioritaskan Saudi, kata Buringa.
Namun, Presiden Saleh menolak adanya pipa migas yang di wilayahnya yang dikontrol langsung oleh Saudi. Saudi pun selama bertahun-tahun telah memberikan dana kepada suku-suku di Yaman, berharap agar ketika Saleh tidak lagi menjadi presiden, suku-suku itu mau mendukung proyek Saudi. Gelombang Arab Spring dan proses demokratisasi di Yaman jelas menghalangi rencana ini, demikian tulis Buringa dalam artikel di website pribadinya.
Menariknya, tulisan Buringa yang mengungkap informasi penting ini, sekaligus website-nya, telah dihapus. Namun beberapa web telah meng-copy tulisan ini. Patut diduga hal ini disebabkan karena banyak perusahaan Belanda yang beroperasi di Arab Saudi, antara lain Shell. Selain itu, tingkat ekspor-impor kedua negara juga sangat tinggi. [3]
Terungkapnya rencana rahasia ini sekaligus memberi jawaban, mengapa Al Qaeda tiba-tiba muncul di Yaman, seiring dengan bangkitnya rakyat Yaman melawan rezim Saleh.
Seperti ditulis Buringa, “Pelabuhan dan airport internasional al-Mukalla di Hadramaut sama sekali terbebas dari bombardir Saudi dan berada di bawah kontrol Al Qaeda. Arab Saudi juga mengirimkan senjata kepada Al Qaeda.”
Aliansi antara Arab Saudi dan Al Qaida dalam agenda penguasaan Yaman terungkap jelas ketika bulan Juni 2016, pemerintahan Mansur Hadi (pemerintahan transisi pasca Saleh) mengirim utusannya ke Jenewa dalam perundingan di kantor PBB. Sang utusan, Abdulwahab Humayqani, tak lain adalah tokoh yang terdaftar di list anggota teroris internasional. Ia aktif merektrut dan mendanai Al Qaeda Yaman. Humayqani juga dicurigai berada di balik pengeboman Al Qaeda di markas militer Yaman pada 2012.
Semua ini kembali menjadi bukti, yang diinginkan AS dan sekutunya bukanlah demokrasi, melainkan penguasaan sumber daya migas. Dan rakyat Yaman yang selama ini sudah berada dalam kondisi miskin dan terpinggirkan, semakin mengalami nestapa. Namun mereka tetap teguh melawan, hingga hari ini.
*Direktur Indonesia Center for Middle East Studies (ICMES)
[1] https://www.theguardian.com/world/2016/jan/15/british-us-military-in-command-room-saudi-strikes-yemen
[2]http://www.huffingtonpost.com/2015/04/20/iran-houthis-yemen_n_7101456.html
[3]http://web.archive.org/web/20150701113930/http:/www.jokeburinga.com/divide-and-rule-saudi-arabia-oil-and-yemen-3/
Sumber Utama : https://ic-mes.org/politics/perang-di-yaman-untuk-apa-dan-untuk-siapa/
Perhatian dunia saat ini tersedot oleh aksi demo besar-besaran di AS, memrotes tindakan polisi Minnesota yang membunuh seorang warga kulit hitam, George Floyd. Mereka bergerak antara lain dengan slogan “Black Lives Matters” (Nyawa Orang Kulit Hitam Berharga).
Bukankah demikian pula dengan nyawa orang Yaman? Sayangnya, dunia tidak banyak peduli. Media mainstream sangat minim meliput konflik di Yaman. Kini, setelah virus Corona merebak, tiba-tiba saja PBB yang selama ini terlihat pasif, bersama Arab Saudi, yang selama 5 tahun membombardir Yaman, merasa perlu untuk mengadakan konferensi penggalangan dana “penanggulangan Covid di Yaman”.
Konferensi virtual itu direncanakan tanggal 2 Juni dengan target mengumpulkan dana 2,4 miliar USD. Pada 28 Mei 2020, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengumumkan bahwa kota Aden di Yaman selatan memiliki tingkat kematian tertinggi di dunia akibat COVID-19, dimana 70 persen dari penduduk yang terinfeksi virus ini meninggal dunia. Guterres mengatakan bahwa situasi di Yaman sangat “tragis” dan menyeru komunitas internasional untuk menunjukkan solidaritas kepada bangsa Yaman, dengan cara memberikan dana bantuan. [1]
Berapakah jumlah kematian akibat covid di Yaman?
Data tanggal 1 Juni: ada 323 infeksi, 80 meninggal, dan 14 sembuh. Sementara itu, akibat bombardir yang dilakukan Arab Saudi dan UAE terhadap Yaman selama lima tahun terus-menerus, angka kematian mencapai lebih dari 10.000 orang. Belum lagi bila dihitung angka kematian sebagai akibat tidak langsung dari bombardir tersebut, misalnya hancurnya infrasktruktur membuat sistem sanitasi sangat buruk dan wabah cholera merebak sehingga mengakibatkan kematian banyak orang. Diperkirakan, jumlah kematian akibat penyakit dan kelaparan, mencapai lebih dari seratus ribu (100.000) jiwa, sebagian besarnya anak-anak.
Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dengan restu dari negara-negara Barat, telah mengakibatkan penderitaan besar bagi penduduk lokal serta memperpanjang teror dan ketakutan di wilayah tersebut. Selain korban langsung (akibat bom-bom yang diledakkan oleh pesawat tempur Saudi), Arab Saudi juga melakukan berbagai pelanggaran HAM. Salah satu laporan dari Human Rights Watch (HRW) menunjukkan bahwa Arab Saudi melakukan pelanggaran hak asasi penduduk Yaman, terutama di wilayah al-Mahrah, sejak akhir Juni tahun lalu.
Direktur HRW untuk Timur Tengah, Michael Page, dalam wawancara dengan Press TV mengatakan sebagai berikut.
“Pasukan Saudi dan sekutu Yaman-nya melakukan pelanggaran serius pada penduduk lokal Al-Mahrah, ini adalah satu ketakutan lain yang menambah daftar perilaku ilegal koalisi yang dipimpin Saudi di Yaman. …Arab Saudi sangat merusak reputasinya di hadapan bangsa Yaman saat melakukan tindakan kekerasan dan tak ada pihak yang mau bertanggung jawab atas tindakan tersebut”.
Menurut laporan HRW, di antara tindakan kekerasan yang dilakukan Saudi adalah penahanan ilegal, penyiksaan, penculikan, dan mewajibkan pemindahan tahanan ke Arab Saudi. Sebelumnya, HRW juga sudah melaporkan kejahatan internasional lain yang dilakukan oleh koalisi Amerika dalam menghadapi kebangkitan Houthi di wilayah itu, antara lain pengeboman terhadap rumah-rumah, area bisnis, dan rumah sakit. Pada Februari, setidaknya 30 penduduk Yaman tewas dalam serangan udara yang dilakukan militer Saudi di wilayah Utara, di distrik Jawf al-Maslub. Dikatakan bahwa serangan dilakukan sebagai balasan atas jatuhnya pesawat Saudi oleh pasukan Houthi.
Menurut juru bicara Houthi, Yahya Saree, “Seperti biasa, saat agresi paling brutal AS-Saudi memperoleh balasan menyakitkan di medan perang, mereka akan melakuan serangan balik dengan menargetkan warga sipil.”
Pada bulan Maret, armada kapal berisi 450 tentara Amerika mendarat di Yaman, sebagai tambahan untuk jumlah tak pasti dari pasukan gabungan Inggris, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Berdasarkan informasi dari al-Mashhad, ini adalah tahap pertama proyek pengiriman 3000 pasukan AS dan Inggris ke Yaman, yang nantinya akan mendarat di wilayah Aden, Lahai, Saqtari, Shabweh dan al-Mohreh, melengkapi pengepungan sesungguhnya pada negara itu dari berbagai penjuru geografis.
Sebagai tambahan, dua kapal perang AS bersandar di Balhaf, pelabuhan utama ekspor gas alam Yaman. AS mengklaim bahwa gerakannya di wilayah itu adalah “memerangi terorisme”, namun beberapa pengamat politik menjelaskan bahwa AS berkeinginan untuk mengintervensi pemerintahan Yaman, dengan menyiapkan basisnya di wilayah itu, untuk “menstabilkan” situasi negara itu.
Krisis di Yaman adalah bencana kemanusiaan nyata, dalam dimensi yang sama dengan perang sipil di Suriah. Namun begitu, perhatian yang diberikan untuk negara termiskin di wilayah Timur Tengah ini sangat minim, terutama di masa pandemi. Kini, Covid-19 dijadikan sebagai sarana untuk mengaburkan akar masalah dan mengalihkan perhatian dunia dari berbagai pergerakan ilegal pasukan imperialis, yaitu ribuan pasukan AS yang tiba di Yaman dan semakin agresifnya tentara Israel di Tepi Barat.
Faktor lain yang benar-benar diabaikan, lebih serius dari agresi militer, adalah krisis kesehatan masyarakat dan kerawanan pangan. Menteri Kesehatan Yaman, Saif al-Haidri, baru-baru ini mengingatkan dampak dari pengabaian masyarakat international atas kondisi Yaman:
“Setidaknya lima setengah juta anak-anak di bawah usia 5 tahun menderita kekurangan gizi. …seorang anak tewas tiap sepuluh menit di Yaman. …80 persen anak-anak di Yaman berada dalam kondisi kerdil/stunting dan kurang darah akibat kurang gizi. …dua ratus ribu wanita pada usia subur atau mereka hamil atau melahirkan anak yang kurang gizi, ini mengancam kehidupan anak-anak.”
Begitulah, saat perhatian dunia teralihkan pada virus Corona, kejahatan kemanusiaan terus dilakukan AS dan sekutunya, Inggris, Saudi, dan UAE, tanpa mendapat hukuman. Ratusan ribu orang Yaman menderita sakit dan kelaparan tanpa ada pertolongan kemanusiaan. Kasus Covid memang menambahkan penderitaan yang sudah ada. Namun, ketika PBB justru bekerja sama dengan pelaku kejahatan perang di Yaman dengan kedok “menggalang dana untuk Covid”, adakah harapan yang masih tersisa bagi bangsa Yaman?
(Diadaptasi dari tulisan Lucas Lairoz, peneliti Hubungan Internasional di Universitas Federal Rio de Janeiro, Brasil)
—
[1] https://sputniknews.com/middleeast/202005281079447862-yemen-city-of-aden-leads-world-with-highest-covid-19-mortality-rate-of-70—un-chief
Sumber Utama : https://ic-mes.org/politics/black-lives-matters-demikian-pula-dengan-nyawa-bangsa-yaman/
Jelas karena Covid. Kalau tidak ada Covid, ga bakal viral.
Maka, fokus utama orang saat menonton Plandemic seharusnya adalah pernyataan dia soal Covid.
Sejak pertengahan Mei, lima kapal tanker Iran, Forest, Fortune, Petunia, Faxon, dan Clavel bergerak dari Bandas Abbas menuju perairan Karibia. Kapal-kapal itu mengangkut sekitar 1,5 juta barrel bahan bakar untuk Venezuela yang sedang mengalami kekurangan bahan bakar akut. Venezuela, negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia, diembargo ekonomi oleh AS sehingga tidak mampu memproduksi bahan bakar yang cukup untuk rakyatnya. Kondisi pandemi semakin memperburuk situasi. Di tengah kesulitan ini, Iran bersedia mengirimkan bahan bakar yang diproduksinya.
Hingga kini (30 Mei), tiga dari lima kapal tanker Iran telah berhasil memasuki zona maritim Venezuela tanpa goresan dan gangguan sedikit pun dari militer Amerika Serikat. Padahal, sebelumnya AS mengeluarkan ancaman serius terhadap kapal tanker Iran, jika tetap melanjutkan misinya ke Venezuela. AS memandang bahwa pengiriman minyak ke Venezuela melanggar embargo yang ditetapkan AS terhadap negara tersebut, yang meliputi pelarangan bertransaksi dengan perusahaan minyak Venezuela, Petroleos de Venezuela’s (PDVSA).
Dalam diplomasi maritim, ancaman AS ini juga disebut Gun-boat Diplomacy, atau diplomasi kapal meriam, atau secara umum disebut coercive diplomacy; yaitu diplomasi yang menggunakan kekerasan dan ancaman.
Dunia membayangkan, ancaman AS tersebut akan menciptakan krisis baru di laut Karibia. Seperti peristiwa Krisis Misil Kuba tahun 1962. Krisis Misil Kuba adalah salah satu peristiwa geopolitik tersuram yang pernah terjadi di laut Karibia. Perang nuklir antara AS – Soviet sudah di depan mata. Seluruh mata dunia tertuju ke Kuba saat itu. Dunia cemas menantikan ancaman perang besar dua negara super-power. Akan tetapi detente (pengurangan ketegangan) akhirnya menjadi pilihan kedua negara sehingga tensi konflik menurun.
Meski AS telah melontarkan berbagai ancaman terhadap kapal-kapal tanker Iran, nyaris tidak terdengar adanya insiden dan ketegangan di laut Karibia. Tidak ada satu butir peluru pun yang ditembakkan, tidak pula ada upaya pencegatan terhadap kapal tanker Iran. Media mainstream pun seolah kehilangan gairah untuk melaporkan perkembangan di laut Karibia karena tidak sesuai dengan ekspektasi mereka di awal.
Tatanan Dunia yang Berubah
Dunia pun bertanya-tanya, ke mana Raksasa Sea Power itu? Bagaimana Iran bisa senekad itu?
Dunia telah berubah, termasuk aspek-aspek geopolitik juga berubah. Jika di era Perang Dingin polarisasi kekuasaan itu bersifat bipolar, maka hari ini kondisinya sangat multipolar. Bahkan kekuatan negara (national power) tidak lagi senada dengan ajaran Realisme Klasik yang hanya mengacu pada aspek-aspek materil (militeristik). Konstelasi geopolitik hari ini menunjukkan bahwa soft power memiliki peran besar dalam menyusun komposisi kekuatan suatu negara.
Lihat bagaimana negara-negara yang kuat secara hard power, tapi gagal dalam menghadapi pandemi Covid-19. Sebaliknya, banyak negara dengan kekuatan hard power lebih kecil yang lebih berhasil mengatasi pandemi ini. Hal itu bisa terjadi karena mereka memiliki social capital yang tinggi. Itulah soft power. Misalnya, kita melihat Iran yang mampu melewati pandemi, meski dalam kondisi diembargo sangat ketat sehingga tidak bisa bertransaksi ekonomi secara leluasa dengan negara luar, karena rakyatnya bergotong royong membuat masker dan hand sanitizer secara massal.
Dalam konteks pertarungan hard power, bagaimana Iran mampu menghadapi ancaman militer AS yang merupakan negara dengan kekuatan militer terbesar di dunia?
Iran memiliki deterrence power yang luar biasa. Secara sederhana, deterrence power dapat diartikan sebagai kemampuan suatu negara dalam menangkal dan mencegah serangan musuh melalui ancaman serangan balasan yang lebih mematikan.
Keberhasilan deterensi suatu negara sangat ditentukan oleh minimalnya tiga aspek, yaitu military power (kekuatan militer), commitment (komitmen), dan credibility (kredibilitas).
Keberhasilan deterensi itu harus memenuhi ketiga aspek diatas. Walaupun suatu negara mampu secara militer, jika tidak memiliki komitmen dan tidak dapat dipercaya, kekuatan deterensinya tidak akan bekerja efektif dalam menghalau atau menangkal serangan musuh. Dengan istilah lain: gertak sambal. Negara yang sekedar mengandalkan ‘gertak sambal’ akan mendapatkan citra negatif dan reputasi yang buruk di mata dunia. Begitupun sebaliknya, komitmen dan kredibitas tinggi juga tidak cukup bila tidak didukung oleh kemampuan militer yang mumpuni.
Pada aspek pertama, Iran memang tidak memiliki kekuatan militer yang mengimbangi kekuatan militer AS. Bahkan jika dibandingkan, dari semua aspek materil, seperti military expenditure, military capacity dll. Iran masih jauh di bawah AS. Namun demikian, Iran menang dan lebih unggul dalam aspek commitment and credibility. Sejarah mencatat, setiap kali Iran mendapat ancaman serangan dari negara musuhnya. Iran akan memberikan ancaman balasan yang lebih keras lagi. Ancaman itu pun didukung oleh kekuatan riil di lapangan. Misalnya, ketika Iran mengancam akan membalas gangguan AS dengan ‘menyerang kepentingan AS di kawasan’, Iran memiliki kapasitas untuk memberikan serangan balasan ke arah negara-negara di sekitar Iran wilayahnya dijadikan pangkalan militer AS.
Pembuktian dari serangan balasan Iran pun sudah terjadi beberapa kali, antara lain sebagai berikut.
- Pada Juli 2019, kapal tanker Iran, Grace 1, dicegat dan ditahan secara ilegal oleh Angkatan laut Inggris di perairan internasional, Iran segera bereaksi dengan memberi ancaman akan melakukan hal yang sama terhadap kapal tanker Inggris jika kapal tanker miliknya tidak dibebaskan. Hanya dalam tiga minggu, Iran memenuhi janjinya, dengan menahan kapal tanker milik Inggris di selat Hormuz. Ajaibnya, Iran melakukan itu, sama sekali tidak melanggar Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982). Setelah itu, Inggris yang berbalik memohon agar kapal tanker miliknya segera dibebaskan.
- Pada tahun 2018, ketika Donald Trump mengancam akan keluar dari perjanjian JCPOA. Iran meresponnya dengan tegas lewat kalimat “Jika AS keluar, kami sendiri yang akan merobek kertas perjanjian itu”. Terbukti, ketika akhirnya AS secara sepihak menarik diri dari JCPOA, Iran merespon dengan melanjutkan pengayaan uranium di luar batas yang disepakati oleh JCPOA. Langkah Iran ini membuat Uni Eropa risau dan menolak mengikuti langkah AS untuk membubarkan JCPOA.
- Pada awal tahun 2020, militer AS secara ilegal membombardir dua panglima perang melawan ISIS, salah satunya jenderal Iran, Jenderal Qassem Soleimani. Iran berjanji akan segera memberi balasan. Janji itu ditepati dengan membombardir pangkalan militer AS terbesar di dunia, Ain-Assad (di Irak). Pangkalan militer itu rata dengan tanah oleh rudal-rudal Iran yang memiliki presisi dan akurasi tinggi.
Dalam kasus pengiriman bahan bakar ke Venezuela, Presiden Rouhani telah memberikan pernyataan, “Jika kapal tanker kami di Karibia atau di mana pun di dunia menghadapi masalah yang disebabkan oleh Amerika, mereka akan menghadapi masalah juga. Kami berharap Amerika tidak akan membuat kesalahan.”
Komitmen dan kredibilitas Iran selama ini dalam menjaga janjinya rupanya telah membuat ciut nyali AS sehingga tiga kapal Iran telah berlabuh dengan aman di Venezuela. Ini adalah kemenangan kecil bagi Iran, yang diraih melalui deterrence power-nya. Sebaliknya, peristiwa ini memberikan kerugian besar bagi AS karena dominasinya semakin terancam.[]
Sumber Utama : https://ic-mes.org/politics/mendobrak-blokade-venezuela-deterrence-power-iran-versus-as/
Perang di Yaman, Untuk Apa dan Untuk Siapa?
Dina Y. Sulaeman*Konflik di Yaman memang seolah terlupakan oleh publik Indonesia. Padahal sejak Arab Saudi membombardir Yaman pada 26 Maret 2015 hingga hari ini, puluhan ribu penduduk negeri itu tewas dan terluka, mayoritas perempuan dan anak-anak. Laporan PBB menyebutkan bahwa target bom Saudi adalah objek-objek sipil, termasuk kamp pengungsi, pesta pernikahan, mobil-mobil sipil, kawasan permukiman sipil, fasilitas medis, sekolah, masjdi, pasar, pabrik, gudang makanan, airport, dan pelabuhan. Kondisi semakin diperburuk oleh embargo ekonomi, sehingga separuh populasi Yaman (total 28 juta) mengalami kelaparan dan anak-anak kekurangan gizi. Berbeda dengan konflik Suriah dimana foto-foto palsu diedarkan oleh media mainstream dan media pro-jihadis selalu berhasil membuat publik histeris, foto-foto asli anak-anak Yaman yang kurus kering kelaparan diabaikan begitu saja.
Penting diperhatikan bahwa AS adalah sponsor utama dalam serangan brutal Arab Saudi, dan hal ini sudah diakui Menlu Saudi, Adel al-Jubeir, “Ada pejabat-pejabat Inggris dan AS dan negara-negara lain di pusat komando kami. Mereka tahu daftar target pengeboman.” [1]
Bom yang digunakan adalah bom cluster buatan AS, jenis bom yang dilarang PBB karena dampaknya yang sangat mematikan, sehingga Sekjen PBB menilai aksi Saudi hampir dapat dikategorikan “kejahatan perang” (may amount to a war crime).
Perang Sunni-Syiah atau Perang demi Minyak?
Media massa dan para pengamat umumnya memotret konflik Yaman sebagai perang antara Saudi melawan proxy Iran di Yaman, pasukan Al Houthi. Arab Saudi digambarkan tengah khawatir pengaruh Syiah dan Iran semakin kuat di Yaman, dan akan meluas ke negaranya. Pendapat seperti ini sangat menyederhanakan masalah, atau bahkan telah menggeser opini publik dari akar masalah yang sesungguhnya.
Bila motif Arab Saudi membombardir Yaman semata-mata demi “membantai Syiah”, jelas bertentangan dengan fakta bahwa mayoritas korban pembombardiran dari udara itu adalah warga sipil sehingga yang tewas sama sekali tidak bisa “dipilih”. Populasi Muslim di Yaman adalah Populasi Muslim di Yaman adalah 55% Sunni, 40% Shiah Zaidiyah (berbeda dari Syiah Iran).
Selain itu, bila kita meneliti sejarah Yaman, terlihat bahwa di negara ini sudah terjadi banyak konflik internal yang melibatkan banyak faksi, baik antara faksi Ikhwanul Muslimin (IM), faksi Imam Yahya (Syiah-Zaidiyah), faksi Sosialis, antara rezim Saleh (yang awalnya didukung IM, namun kemudian berseteru dengan IM), faksi suku Al Houthi (Syiah-Zaidiyah). Saat ini kubu yang berseteru adalah Ansharullah (suku Al Houthi dan faksi-faksi Sunni Syafii) melawan kelompok-kelompok berhaluan Wahabi, Al Qaida, ISIS, dan Arab Saudi.
Faktor Barat sebagai pihak di balik layar pun, sebagaimana terjadi dalam perang-perang lain di Timur Tengah, tak bisa diabaikan. Yaman tadinya berada di bawah kekuasaan Imperium Ottoman. Kemudian, setelah Ottoman kalah dalam Perang Dunia I, Inggris menguasai Yaman selatan (terutama wilayah Aden yang menguasai jalur laut). Sementara itu, Yaman utara dikuasai oleh Imam Yahya yang bermazhab Syiah Zaidiah, yang membentuk Kerajaan Yaman. Inggris pun membacking gerakan “Free Yemenis” yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini pada tahun 1962 berhasil menggulingkan pemerintahan Imam Yahya dan memproklamasikan “Republik Arab Yaman” di Yaman utara.
Di Yaman selatan, kelompok sosialis membentuk Republik Rakyat Demokratik Yaman pada 1967. Pada Mei 1990, akhirnya kedua Yaman (utara dan selatan) bersatu di bawah nama Republik Arab Yaman, dengan Ali Abdullah Saleh sebagai presiden dan Ali Salim Beidh (semula Presiden Yaman selatan, berasal dari partai sosialis) menjadi wakil presiden.
Namun pemerintahan baru tak langgeng, terlebih karena pemerintahan Saleh yang despotik dan memperkaya diri. Tahun 1994, Wapres Ali Salim Beidh (sosialis) mundur dan kelompok sosialis kemudian angkat senjata dan terjadilah perang sipil. Presiden Saleh, dibantu oleh Arab Saudi (dan Partai Islah/Ikhwanul Muslimin) akhirnya menundukkan pemberontakan itu. Sejak tahun 2004, suku Houthi yang bermazhab Syiah Zaidiyah menuntut otonomi khusus di wilayah Saada sebagai protes atas diskriminasi dan penindasan dari rezim Saleh. Tuntutan ini dihadapi dengan senjata oleh Saleh (dibantu Arab Saudi), dan meletuslah perang sipil yang menewaskan lebih dari 5000 tentara dan rakyat sipil (suku Houthi) pada rentang 2004-2008.
Tahun 2009, kelompok Salafi (Gerakan Yaman Selatan/ al Hirak al Janoubi) yang dipimpin kelompok Tareq Al Fadhli angkat senjata melawan rezim Saleh. Al Fadhli adalah alumnus jihad Afganistan yang berperan membantu Saleh dalam membungkam faksi sosialis. Di masa ini, muncul aktor baru di Yaman, yaitu Al Qaida Arab Peninsula (AQAP) yang memproklamasikan diri pada tahun 2009. Dua tokoh utama AQAP adalah dua warga Arab Saudi alumni Guantanamo, Abu-Sayyaf al-Shihri dan Abu-al-Harith Muhammad al-Awfi. Mengingat donatur utama Al Qaida adalah Arab Saudi, dan pembentukan Al Qaida memang didalangi AS dan Arab Saudi (hal ini sudah diakui oleh Hillary Clinton), tentu kemunculan Al Qaida di Yaman adalah demi kepentingan AS.
Meski Al Fadhli menolak tuduhan bahwa dia bekerja sama dengan Al Qaida, namun AS tetap membombardir Yaman dengan alasan mengejar Al Qaida. Antara 2009-2011, korban serangan bom yang diluncurkan pesawat tempur AS (dengan seizin Presiden Saleh) telah menewaskan ratusan rakyat sipil Yaman, termasuk anak-anak. Akhirnya pada Juni 2014, Al Fadhli menyatakan bergabung dengan Al Qaida. Dan sejak 2015, ISIS menyatakan ikut bergabung dengan Al Qaida Yaman.
Dari sekilas sejarah Yaman ini kita bisa lihat bahwa polarisasinya sama sekali bukan Sunni-Syiah. Pada 2011, seiring dengan gelombang Arab Spring, rakyat Yaman (dari berbagai suku dan mazhab) bangkit berdemo menuntut pengunduran Saleh yang telah berkuasa 33 tahun. Ia melarikan diri pada November 2011 ke Arab Saudi, dan digantikan oleh Mansur Hadi. Namun yang berkuasa di Yaman adalah elit-elit lama, termasuk anasir Al Qaida. Faksi-faksi yang banyak berjuang dalam upaya penggulingan Saleh justru disingkirkan, termasuk gerakan Ansarullah (yang beranggotakan berbagai faksi, baik Syiah Zaidi maupun Sunni). Ini memunculkan ketidakpuasan rakyat yang semula berharap terjadinya reformasi dan gerakan Ansarullah meneruskan demo melawan pemerintah. Akhirnya, Mansur Hadi memilih lari ke Arab Saudi dan sejak 26 Maret 2015, Arab Saudi dibantu AS, negara-negara Teluk, dan Israel, membombardir Yaman, hingga hari ini.
Ada hal penting yang terlewat dalam dinamika politik Yaman. Menjelang serangan Arab Saudi, faksi-faksi di Yaman sudah hampir menandatangani kesepakatan damai dan pembagian kekuasaan di antara 12 faksi, termasuk suku Houthi. Hal ini disampaikan oleh mantan utusan khusus PBB di Yaman, Jamal Benomar. Seandainya Saudi tidak menyerang Yaman, kemungkinan besar pemerintahan demokratis saat ini telah terbentuk di Yaman. Serangan ke Yaman menunjukkan bahwa Saudi, AS, Inggris, sama sekali tidak menghendaki proses demokratis terjadi di Yaman. Tuduhan bahwa Iran berada di balik suku Houthi sebenarnya sudah dibantah oleh intel AS sendiri. Bernadette Meehan, Dewan Keamanan AS mengatakan bahwa Iran tidak memiliki komando dan kontrol atas kelompok Houthi. [2]
Perang adalah sebuah aktivitas yang sangat mahal. Karena itu potensi ekonomi dan geopolitik yang sangat besarlah yang menjadi pivotal factor (penyebab utama) bagi negara-negara kuat untuk menggelontorkan dana sangat besar untuk membiayai faksi-faksi yang berseteru di Yaman. Aktor asing terkuat di Yaman, tentu saja AS, yang sejak 2001 menggelontorkan ratusan juta dollar (dana total sejak 2008 hingga 2010 yang diterima rezim Saleh dari AS mencapai 500 juta dollar). AS juga menginvestasi dana dan perlengkapan militer tercanggihnya di Pulau Socotra. Di saat yang sama, AS meraup untung besar dari perdagangan senjata ke negara-negara Arab dan Teluk. Kemudian ketika pemerintahan boneka terbentuk, perusahaan-perusahaan AS pula yang dipastikan akan mendapatkan berbagai kontrak infrastruktur dan minyak (seperti yang terjadi di Libya dan Irak).
Pada Maret 2015, konsultan militer AS dan NATO, Anthony Cordesman dari Center for Strategic and International Studies menjelaskan bahwa, “Yaman memiliki nilai yang sangat penting dan strategis bagi AS, dan penting bagi stabilitas Arab Saudi di tengah negara-negara Teluk. Wilayah Yaman dan pulau-pulaunya memainkan peran kritis dalam keamanan lalu-lintas global, Bab el-Mandab.”
Selat Bab el-Mandeb adalah “a chokepoint” antara tanduk Afrika dan Timur Tengah dan penghubung strategis antara Laut Mediterrania dan Laut Hindia, yang membawa hampir semua ekspor dari Teluk Persia menuju terusan Suez dan jalur minyak Suez-Mediterranean (SUMED).
“Keberadaan kekuatan ‘kasar’ di Yaman akan mengancam seluruh lalu lintas yang melewati terusan Suez, temasuk minyak dan produk turunannya,” kata Cordesman.
Mimpi Pembangunan Pipa Minyak Yaman
Pengamat geopolitik Nafeez Ahmed, menjelaskan bahwa ada tujuan besar lain di balik serangan Saudi ke Yaman, yaitu upaya membangun jalur pipa migas baru agar “ketergantungan pada Selat Hormuz dapat dialihkan.” Hal ini diketahui dari kabel rahasia dari Kedubes AS di Yaman kepada Menlu AS tahun 2008, yang menginformasikan bahwa Saudi berniat membangun jalur pipa migas yang sepenuhnya dikuasai dan dioperasikan Arab Saudi, melewati Hadramaut (salah satu provinsi di Yaman) hingga ke Teluk Aden. Namun rencana ini ditolak Presiden Saleh.
Tak heran dalam aksi bombardir Yaman ini, provinsi Hadramaut tidak pernah jadi sasaran. Hadramaut adalah provinsi terbesar di Yaman yang sangat kaya sumber daya migas. Rencana pembangunan pipa migas ini tidak pernah diangkat oleh pejabat Barat, mereka selalu mengedepankan konflik proxy Saudi-Iran sebagai alasan perang di Yaman.
Pada 2 June 2015, Joke Buringa, staf ahli Timur Tengah di Kemenlu Belanda menulis bahwa AS selalu menekan negara-negara Teluk agar membangunan jalur alternatif pipa migas. Pada 2007, Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, Oman, dan Yaman bersama-sama meresmikan proyek bersama Trans-Arabia Oil Pipeline. Proyek ini direncanakan dibangun dari Saudi (Ras Tannurah) dan UEA menuju Teluk Oman, dan menuju Teluk Aden. Pada 2102, jalur Abu Dhabi-Fujairah (UEA) telah beroperasi, namun di saat yang sama Oman justru menandatangani kerjasama pembangunan pipa migas dengan Iran. Karena itulah opsi pipa migas Saudi-Hadramaut semakin diprioritaskan Saudi, kata Buringa.
Namun, Presiden Saleh menolak adanya pipa migas yang di wilayahnya yang dikontrol langsung oleh Saudi. Saudi pun selama bertahun-tahun telah memberikan dana kepada suku-suku di Yaman, berharap agar ketika Saleh tidak lagi menjadi presiden, suku-suku itu mau mendukung proyek Saudi. Gelombang Arab Spring dan proses demokratisasi di Yaman jelas menghalangi rencana ini, demikian tulis Buringa dalam artikel di website pribadinya.
Menariknya, tulisan Buringa yang mengungkap informasi penting ini, sekaligus website-nya, telah dihapus. Namun beberapa web telah meng-copy tulisan ini. Patut diduga hal ini disebabkan karena banyak perusahaan Belanda yang beroperasi di Arab Saudi, antara lain Shell. Selain itu, tingkat ekspor-impor kedua negara juga sangat tinggi. [3]
Terungkapnya rencana rahasia ini sekaligus memberi jawaban, mengapa Al Qaeda tiba-tiba muncul di Yaman, seiring dengan bangkitnya rakyat Yaman melawan rezim Saleh.
Seperti ditulis Buringa, “Pelabuhan dan airport internasional al-Mukalla di Hadramaut sama sekali terbebas dari bombardir Saudi dan berada di bawah kontrol Al Qaeda. Arab Saudi juga mengirimkan senjata kepada Al Qaeda.”
Aliansi antara Arab Saudi dan Al Qaida dalam agenda penguasaan Yaman terungkap jelas ketika bulan Juni 2016, pemerintahan Mansur Hadi (pemerintahan transisi pasca Saleh) mengirim utusannya ke Jenewa dalam perundingan di kantor PBB. Sang utusan, Abdulwahab Humayqani, tak lain adalah tokoh yang terdaftar di list anggota teroris internasional. Ia aktif merektrut dan mendanai Al Qaeda Yaman. Humayqani juga dicurigai berada di balik pengeboman Al Qaeda di markas militer Yaman pada 2012.
Semua ini kembali menjadi bukti, yang diinginkan AS dan sekutunya bukanlah demokrasi, melainkan penguasaan sumber daya migas. Dan rakyat Yaman yang selama ini sudah berada dalam kondisi miskin dan terpinggirkan, semakin mengalami nestapa. Namun mereka tetap teguh melawan, hingga hari ini.
*Direktur Indonesia Center for Middle East Studies (ICMES)
[1] https://www.theguardian.com/world/2016/jan/15/british-us-military-in-command-room-saudi-strikes-yemen
[2]http://www.huffingtonpost.com/2015/04/20/iran-houthis-yemen_n_7101456.html
[3]http://web.archive.org/web/20150701113930/http:/www.jokeburinga.com/divide-and-rule-saudi-arabia-oil-and-yemen-3/
Sumber Utama : https://ic-mes.org/politics/perang-di-yaman-untuk-apa-dan-untuk-siapa/
“Black Lives Matters”, Demikian Pula dengan Nyawa Bangsa Yaman
Oleh: Redaksi ICMESPerhatian dunia saat ini tersedot oleh aksi demo besar-besaran di AS, memrotes tindakan polisi Minnesota yang membunuh seorang warga kulit hitam, George Floyd. Mereka bergerak antara lain dengan slogan “Black Lives Matters” (Nyawa Orang Kulit Hitam Berharga).
Bukankah demikian pula dengan nyawa orang Yaman? Sayangnya, dunia tidak banyak peduli. Media mainstream sangat minim meliput konflik di Yaman. Kini, setelah virus Corona merebak, tiba-tiba saja PBB yang selama ini terlihat pasif, bersama Arab Saudi, yang selama 5 tahun membombardir Yaman, merasa perlu untuk mengadakan konferensi penggalangan dana “penanggulangan Covid di Yaman”.
Konferensi virtual itu direncanakan tanggal 2 Juni dengan target mengumpulkan dana 2,4 miliar USD. Pada 28 Mei 2020, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengumumkan bahwa kota Aden di Yaman selatan memiliki tingkat kematian tertinggi di dunia akibat COVID-19, dimana 70 persen dari penduduk yang terinfeksi virus ini meninggal dunia. Guterres mengatakan bahwa situasi di Yaman sangat “tragis” dan menyeru komunitas internasional untuk menunjukkan solidaritas kepada bangsa Yaman, dengan cara memberikan dana bantuan. [1]
Berapakah jumlah kematian akibat covid di Yaman?
Data tanggal 1 Juni: ada 323 infeksi, 80 meninggal, dan 14 sembuh. Sementara itu, akibat bombardir yang dilakukan Arab Saudi dan UAE terhadap Yaman selama lima tahun terus-menerus, angka kematian mencapai lebih dari 10.000 orang. Belum lagi bila dihitung angka kematian sebagai akibat tidak langsung dari bombardir tersebut, misalnya hancurnya infrasktruktur membuat sistem sanitasi sangat buruk dan wabah cholera merebak sehingga mengakibatkan kematian banyak orang. Diperkirakan, jumlah kematian akibat penyakit dan kelaparan, mencapai lebih dari seratus ribu (100.000) jiwa, sebagian besarnya anak-anak.
Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dengan restu dari negara-negara Barat, telah mengakibatkan penderitaan besar bagi penduduk lokal serta memperpanjang teror dan ketakutan di wilayah tersebut. Selain korban langsung (akibat bom-bom yang diledakkan oleh pesawat tempur Saudi), Arab Saudi juga melakukan berbagai pelanggaran HAM. Salah satu laporan dari Human Rights Watch (HRW) menunjukkan bahwa Arab Saudi melakukan pelanggaran hak asasi penduduk Yaman, terutama di wilayah al-Mahrah, sejak akhir Juni tahun lalu.
Direktur HRW untuk Timur Tengah, Michael Page, dalam wawancara dengan Press TV mengatakan sebagai berikut.
“Pasukan Saudi dan sekutu Yaman-nya melakukan pelanggaran serius pada penduduk lokal Al-Mahrah, ini adalah satu ketakutan lain yang menambah daftar perilaku ilegal koalisi yang dipimpin Saudi di Yaman. …Arab Saudi sangat merusak reputasinya di hadapan bangsa Yaman saat melakukan tindakan kekerasan dan tak ada pihak yang mau bertanggung jawab atas tindakan tersebut”.
Menurut laporan HRW, di antara tindakan kekerasan yang dilakukan Saudi adalah penahanan ilegal, penyiksaan, penculikan, dan mewajibkan pemindahan tahanan ke Arab Saudi. Sebelumnya, HRW juga sudah melaporkan kejahatan internasional lain yang dilakukan oleh koalisi Amerika dalam menghadapi kebangkitan Houthi di wilayah itu, antara lain pengeboman terhadap rumah-rumah, area bisnis, dan rumah sakit. Pada Februari, setidaknya 30 penduduk Yaman tewas dalam serangan udara yang dilakukan militer Saudi di wilayah Utara, di distrik Jawf al-Maslub. Dikatakan bahwa serangan dilakukan sebagai balasan atas jatuhnya pesawat Saudi oleh pasukan Houthi.
Menurut juru bicara Houthi, Yahya Saree, “Seperti biasa, saat agresi paling brutal AS-Saudi memperoleh balasan menyakitkan di medan perang, mereka akan melakuan serangan balik dengan menargetkan warga sipil.”
Pada bulan Maret, armada kapal berisi 450 tentara Amerika mendarat di Yaman, sebagai tambahan untuk jumlah tak pasti dari pasukan gabungan Inggris, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Berdasarkan informasi dari al-Mashhad, ini adalah tahap pertama proyek pengiriman 3000 pasukan AS dan Inggris ke Yaman, yang nantinya akan mendarat di wilayah Aden, Lahai, Saqtari, Shabweh dan al-Mohreh, melengkapi pengepungan sesungguhnya pada negara itu dari berbagai penjuru geografis.
Sebagai tambahan, dua kapal perang AS bersandar di Balhaf, pelabuhan utama ekspor gas alam Yaman. AS mengklaim bahwa gerakannya di wilayah itu adalah “memerangi terorisme”, namun beberapa pengamat politik menjelaskan bahwa AS berkeinginan untuk mengintervensi pemerintahan Yaman, dengan menyiapkan basisnya di wilayah itu, untuk “menstabilkan” situasi negara itu.
Krisis di Yaman adalah bencana kemanusiaan nyata, dalam dimensi yang sama dengan perang sipil di Suriah. Namun begitu, perhatian yang diberikan untuk negara termiskin di wilayah Timur Tengah ini sangat minim, terutama di masa pandemi. Kini, Covid-19 dijadikan sebagai sarana untuk mengaburkan akar masalah dan mengalihkan perhatian dunia dari berbagai pergerakan ilegal pasukan imperialis, yaitu ribuan pasukan AS yang tiba di Yaman dan semakin agresifnya tentara Israel di Tepi Barat.
Faktor lain yang benar-benar diabaikan, lebih serius dari agresi militer, adalah krisis kesehatan masyarakat dan kerawanan pangan. Menteri Kesehatan Yaman, Saif al-Haidri, baru-baru ini mengingatkan dampak dari pengabaian masyarakat international atas kondisi Yaman:
“Setidaknya lima setengah juta anak-anak di bawah usia 5 tahun menderita kekurangan gizi. …seorang anak tewas tiap sepuluh menit di Yaman. …80 persen anak-anak di Yaman berada dalam kondisi kerdil/stunting dan kurang darah akibat kurang gizi. …dua ratus ribu wanita pada usia subur atau mereka hamil atau melahirkan anak yang kurang gizi, ini mengancam kehidupan anak-anak.”
Begitulah, saat perhatian dunia teralihkan pada virus Corona, kejahatan kemanusiaan terus dilakukan AS dan sekutunya, Inggris, Saudi, dan UAE, tanpa mendapat hukuman. Ratusan ribu orang Yaman menderita sakit dan kelaparan tanpa ada pertolongan kemanusiaan. Kasus Covid memang menambahkan penderitaan yang sudah ada. Namun, ketika PBB justru bekerja sama dengan pelaku kejahatan perang di Yaman dengan kedok “menggalang dana untuk Covid”, adakah harapan yang masih tersisa bagi bangsa Yaman?
(Diadaptasi dari tulisan Lucas Lairoz, peneliti Hubungan Internasional di Universitas Federal Rio de Janeiro, Brasil)
—
[1] https://sputniknews.com/middleeast/202005281079447862-yemen-city-of-aden-leads-world-with-highest-covid-19-mortality-rate-of-70—un-chief
Sumber Utama : https://ic-mes.org/politics/black-lives-matters-demikian-pula-dengan-nyawa-bangsa-yaman/
Gagal Fokus Covid
Mengapa sih Dr. Judy (video Plandemic) naik daun, videonya viral luar biasa?Jelas karena Covid. Kalau tidak ada Covid, ga bakal viral.
Maka, fokus utama orang saat menonton Plandemic seharusnya adalah pernyataan dia soal Covid.
Tapi para “pemeriksa fakta”, bekerja sama
dengan Big Tech, langsung melabeli video itu hoaks dengan cara menshare
link media di Barat yang menjelek-jelekkan kredibilitas Dr. Judy. Kill
the messenger.
Padahal, untuk masalah Covid, bukankah di video ada
dokter-dokter AS lain yang juga dikutip pendapatnya? Jawab: POKOKNYA
hoaks.
Video Dr. Erickson, juga disebut hoaks
oleh “pemeriksa fakta” yang rupanya lebih dokter daripada dokter.
Padahal, klinik dokter ini sudah mengetes ribuan orang sehingga dia
mendapatkan data dengan tangannya sendiri lalu mengambil kesimpulan
berbasis data itu. Tapi, POKOKNYA hoaks!
Video Dr. Siti Fadilah Supari yang
diwawancarai Deddy Corbuzier juga diserang oleh gerombolan netizen sok
tau dengan argumen “dia kan pelaku korupsi”, bahkan pekoknya, ada yang
berusaha menjatuhkan SFS dengan menyebutnya HTI.
Padahal, bukankah Dr
Siti “naik daun” lagi karena pandangannya soal Covid?
Emang DC mau
mewawancarai Dr. SFS kalau selama ini dia diam aja di penjara, ga nulis
surat terbuka soal Covid yang viral itu?
Jadi, seharusnya yang dibahas pandangan
Dr. SFS soal Covid, virus, vaksin, dimana Dr. SFS memang punya
background keilmuan dan pengalaman di situ.
Ada juga netizen yang mengata-ngatai bahwa
klaim Dr. Siti soal melawan WHO itu bohong.
Padahal baca saja bukunya,
di situ nama diplomat senior dan diplomat muda disebut, diceritakan
dengan detil proses sidang-sidang di Jenewa, dimana Indonesia menuntut
agar mekanisme pengiriman virus dilakukan transparan dan negara pengirim
virus mendapatkan benefit.
Btw, salah satu materi perkuliahan yang
saya ajarkan adalah health security, dan untuk bahan kuliah, antara lain
saya pakai artikel jurnal dari Aldis 2008, yang mengkonfirmasi bahwa
memang Indonesia pernah mengajukan tuntutan perubahan mekanisme WHO tsb.
Soal Suriah dan Israel juga begini.
Kepada
penulis yang membongkar kedok “jihad” Ikhwanul Muslimin, HTI, Al Qaida,
ISIS, dll, di Suriah, ada saja yang menyerang dengan label-label yang
berupaya mengalihkan fokus.
Kalau penulisnya orang Barat, dan dia
menyebut keterlibatan Israel dalam agenda penggulingan Assad, dia akan
dicap “anti-Semit” atau “pendukung teori konspirasi”. Argumen tidak
perlu, hantam saja dengan label.
Kalau
yang nulis Muslim, gampang, kafir-kafirin aja, sebut 3 S
(Syiah-Syiah-Syiah), yakin pasti banyak yang gagal fokus. Bahkan aktivis
(mengaku) anti hoaks pun cuma bisa bawa argumen 3 S gini.
Dari kejadian-kejadian ini, orang yang mau mikir pasti bisa lihat polanya:
1. apa informasi yang sedang diperdebatkan
2. siapa yang berkepentingan agar informasi itu tidak meluas.
1. apa informasi yang sedang diperdebatkan
2. siapa yang berkepentingan agar informasi itu tidak meluas.
Kalau ujung-ujungnya kalian temukan pihak
yang sama: ada Big Tech dan MSM yang terlibat (mereka “komandan” dalam
pemberangusan info-info tsb; dan kroco-kroconya di Indonesia bergerak
sejalan, baik gratisan maupun bayaran, baik lembaga resmi, maupun
netizen yang sedang pansos), maka plis deh, jangan naif dan ikut-ikutan
mengejek “teori konspirasi”! Label “teori konspirasi” itu juga upaya
untuk membuat orang gagal fokus.
Di Indonesia, sudah ada dokter-dokter yang
berani memberikan perspektif yang berbeda (dari narasi mainstream) soal
Covid. Awalnya ada drh Indro Cahyo yang viral (FB: https://www.facebook.com/moh.i.cahyono ).
Eh, argumennya dibantah dengan ejekan “dokternya hewan, bukan dokternya manusia”.
Lalu, ada Dr. Agni Bonendasari, bisa cek di fbnya:
https://www.facebook.com/agni.sugiyatmo/videos/10213178412454578/ (soal pro-kontra anak sekolah/tidak sekolah).
https://www.facebook.com/agni.sugiyatmo/videos/10213178412454578/ (soal pro-kontra anak sekolah/tidak sekolah).
Lalu bisa disimak Dr. Lalu Herman (Direktur RSUD Mataram) https://www.facebook.com/cerdasgeopolitik/videos/305629583794356/
Jangan gagal fokus ala-ala mereka yang demen (atau dibayar untuk) gagal fokus, fokuslah pada apa argumen mereka.
Berpikir tenang dan mau terus belajar akan
menghilangkan rasa takut yang tidak rasional; rasa takut yang memang
ingin ditanamkan oleh media tertentu (atas perintah pemodal tertentu).
—
Disclaimer: saya tetap patuh pada protokol kesehatan ya: keluar rumah pake masker, mengantongi hand sanitizer, rajin cuci tangan, jaga jarak, di rumah pakai desinfektan, minum vitamin, dll.
Disclaimer: saya tetap patuh pada protokol kesehatan ya: keluar rumah pake masker, mengantongi hand sanitizer, rajin cuci tangan, jaga jarak, di rumah pakai desinfektan, minum vitamin, dll.
Keyakinan Presiden Jokowi yang Harus Selalu Kita Amini
Sekali
lagi, keputusan Presiden Jokowi dalam menghadapi pandemi Covid-19
mengundang keraguan. Setelah sebelumnya keputusan pemberlakuan
Pembatasan Sosial Berskala Besar dianggap terlambat dan tidak tepat
karena tidak memilih opsi Lockdown, kini sebagai kelanjutannya, pemberlakuan New Normal
atau tatanan normal baru juga mendatangkan ketidaksetujuan. Dengan
berbagai alasannya, mulai dari ketidaksiapan hingga alasan kebingungan
dari istilah tersebut.
Sah-sah
saja. Tapi bukankah selalu seperti itu. Keputusan dan kebijakan
Presiden Jokowi, sangat sering direspon dengan keraguan. Keyakinan dan
kepercayaan diri yang dicerminkan dan coba dibangkitkan oleh Presiden
Jokowi, selalu tidak serta-merta mendapatkan sambutan positif.
Tidak
salah bila memang ada (dan banyak) pihak yang meragukan kemampuan
Presiden Jokowi. Harap maklum, karena Pak Jokowi bukanlah berasal dan
bagian dari elit Indonesia. Baik secara ekonomi maupun politik. Atau
dari keduanya.
Apalagi penampakan beliau yang cungkring dan sering terlihat santuy, memang terkesan tidak meyakinkan.
Pak Jokowi memang pengusaha, tapi bukan kelas konglomerat. Secara politik, beliau juga hanya kader partai biasa.
Pak
Jokowi membangun usahanya terlebih dahulu. Setapak demi setapak. Baru
kemudian menjalani debutnya di dunia politik dari level terbawah,
menjadi walikota Surakarta. Hingga berlanjut menjadi Gubernur DKI
Jakarta, dan berpuncak ketika memenangi perebutan sebagai RI-1 pada 2014
lalu.
Pak
Jokowi bukanlah seperti JK atau Surya Paloh. Contoh nyata orang yang
secara simultan piawai menyandingkan dua posisi sekaligus, sebagai
politisi dan pengusaha, menjadi sukses dua-duanya.
Pada
puncak karir politiknya, yaitu menjadi Presiden Republik Indonesia,
ketidakyakinan sebagian rakyat Indonesia tetap saja ada. Terlebih saat
itu Pak Jokowi terpilih setelah mengalahkan calon kuat dan favorit, yang
dengan segala daya upayanya, yaitu Prabowo Subianto.
Pemerintahan
periode pertamanya bisa dikatakan berhasil. Siapa yang mengira sosok
kurus itu berhasil menyikat mafia migas yang biasa menari-nari di atas
curahan subsidi yang seharusnya menjadi bagian rakyat yang lebih berhak.
Belum lagi keberhasilannya menyambungkan sebagian besar wilayah
Indonesia lewat pembangunan jalan tol, tol laut, dan tol langit, yang
diharapkan bisa menjadi urat nadi Indonesia di masa depan.
Padahal,
pemerintahannya waktu itu terus digoyang berbagai dari manuver lawan
politik dan mereka yang kegerahan terhadap sepak-terjang Pak Jokowi yang
tidak pandang bulu, termasuk politisasi kasus yang menimpa BTP.
Jokowi
terus melaju. Periode kedua pemerintahannya tak kalah menantang. Baru
memasuki tahun pertamanya, banjir besar melanda di awal tahun 2020.
Beberapa bulan berikutnya, serangan virus Corona mengganas.
Indonesia
seakan berjalan di tempat. Bergerak hanya untuk bertahan hidup.
Sekali lagi, kepemimpinan dan kenegarawanan seorang Jokowi menghadapi
ujian.
Pemilihan
PSBB menjadi sebuah pertaruhan baru bagi Presiden Jokowi. Karena PSBB
jelas memerlukan partisipasi aktif dari seluruh masyarakat. Peran
mereka menjadi kunci.
Tidak seperti pemberlakuan Lockdown
yang menempatkan negara menjadi begitu sentral agar penularan Covid-19
bisa terkendali, dalam PSBB masyarakatlah yang menjadi kunci
pengendalian penularan. Dalam aktivitasnya yang dibatasi, mereka harus
disiplin menjaga jarak, terbiasa mencuci tangan, dan menunda berbagai
kepentingannya dulu. Mereka juga harus memaksakan diri untuk lebih
banyak beraktivitas di rumah, termasuk pembelajaran anak sekolah dan
kegiatan bekerja.
Tentu
itu merupakan suatu hal yang sama sekali baru bagi sebagian masyarakat
Indonesia. Baik secara sosio kultural maupun secara kebiasaan. Budaya
kebersamaan masyarakat Indonesia dan kebiasaan "semau gue dan ndablek"
pastilah yang mendatangkan timbulnya keraguan itu.
Pasca PSBB, keraguan terhadap Presiden Jokowi datang pada keinginannya untuk memulai New Normal.
Tatanan Normal Baru. Alasannya masih sama. Terkait dengan kebiasaan
"semau gue dan ndablek" yang umum di masyarakat Indonesia.
Presiden Jokowi keukeuh.
Karena Indonesia harus bergerak beranjak. Banyak tantangan, tapi juga
ada peluang. Dan tanpa bergerak, peluang itu hanya akan menjadi
terbuang. Menjadi sia-sia atau bahkan diambil pihak lain.
Tapi seperti biasa, Presiden Jokowi yakin dan percaya diri. Yakin bahwa segala ke-ndableg-an
yang identik jadi sifat negatif masyarakat Indonesia bisa dirubah
menjadi sifat peduli dan disiplin. Pak Jokowi juga percaya diri bahwa
Indonesia bisa bagus atau bahkan lebih baik dari negara lain dalam
menghadapi pandemi Covid-19 ini.
Akhirnya
satu hal yang penting, keyakinan dan kepercayaan diri dari Presiden
Jokowi kepada masyarakat Indonesia adalah sebuah wujud penghargaan.
Harapan dan pengakuan bahwa sudah saatnya masyarakat Indonesia bisa
menjadi baru. Yakin dan tanpa minder. Percaya bisa lebih baik dari
siapa dan negara manapun. Dan, itukah Revolusi Mental?
(Analisa) Rizieq Dipelihara Siapa?
Status
Rizieq di Arab Saudi sudah jelas, kabur. Jadi kalau pengikutnya masih
ada yang percaya bahwa Rizieq umroh atas undangan Raja Salman, bisa
dipastikan mereka adalah orang gila.
Alasan
Rizieq kabur juga sudah jelas. Menghindari kasus mesum dari Firza. Yang
kalau berdasarkan rekamannya, nampak ada janji yang belum ditepati.
Sehingga Firza jadi membuka aib ketua FPI tersebut.
Tapi
kita selama ini masih kurang jelas soal siapa yang menanggung biaya
hidup Rizieq di Arab sana bersama keluarganya. Karena jelas, sebagai
manusia, kita harus bekerja untuk mendapat uang. Sementara Rizieq di
Arab tidak bisa demo, tidak bisa leluasa ceramah seperti di Indonesia.
Memang,
pemuja Rizieq di Indonesia selalu mengagungkan. Bahwa Rizieq itu kaya
raya, ummat siap menanggung biaya hidupnya dan bla bla bla. Padahal
sejatinya, mereka ini hanya hidup dari demo ke demo. Dari sweeping ke
sweeping. Miskin-miskin.
Jangankan
mau membiayai hidup Rizieq di Arab sana, bahkan untuk biaya hidup para
pemujanya sendiri di sini mereka harus hemat-hemat. Karena jualan
kencing onta tidak terlalu laku. Seminar poligami pun hanya ramai di
permukaan tapi yang daftar sangat sedikit.
Selama
ini Rizieq selalu memposisikan dirinya untuk melawan Jokowi. Melawan
rezim. Dan di Pilpres 2019 lalu dia mendukung Prabowo. Bahkan saat
Prabowo mengklaim menang, Rizieq juga ikut meminta agar Prabowo
dinyatakan menang.
Tapi
belakangan setelah Prabowo tak berkutik, dan Jokowi dinyatakan menang,
Rizieq meminta pemujanya untuk mengawal. Lalu yang menarik saat Prabowo
sudah menjadi Menteri, preman 212 meminta Prabowo untuk menepati
janjinya memulangkan Rizieq dari Arab.
Gerindra
sempat menghindar dan mengatakan Prabowo tak pernah berjanji begitu.
Janjinya kan kalau menang Pilpres. Bukan jadi menteri. Sementara Prabowo
sempat mengklaim sedang mempelajari kepulangan Rizieq.
Sampai
di sini mungkin akan ada yang bertanya, berarti Rizieq dibiayai
Prabowo? Apakah kedatangan Fadli Zon ke Arab sana adalah simbol dukungan
logistik?
Jika
pertanyaannya sesederhana itu, jawabannya bisa jadi. Tapi saya meyakini
bahwa Rizieq tidak hanya ‘dipelihara’ oleh satu orang.
Apalagi
kalau kita melihat betapa mulusnya kepergian Rizieq ke Arab. Lalu
bertahan bertahun-tahun di sana tanpa ada masalah visa atau ijin
tinggal. Saya meyakini ada pihak atau oknum pemerintah yang ikut
‘memelihara’ agar Rizieq tetap di Arab sambil berharap Jokowi kalah di
Pilpres 2019.
Tapi siapa?
Untuk
menjawab secara pasti, pasti masih jauh. Masih perlu bukti tambahan.
Tapi jika melihat pernyataan Rizieq terakhir, yang berpendapat bahwa
cara untuk menghentikan PKI adalah dengan membubarkan PDIP dan Jokowi
harus lengser, maka nampaknya, unsur pejabat pemerintah yang ikut
memelihara Rizieq ini sangat tidak suka dengan PDIP.
Pejabat
tersebut bisa dari kalangan partai lawan PDIP, bisa juga non partai
tapi tidak suka dengan PDIP. Kriteria lainnya, bermain dua kaki di
Pilpres 2019.
Sebenarnya saya sudah punya prediksinya. Tapi karena katanya kebenaran harus lebih terang dari cahaya, maka kita tunggu saja.
Biarkan
Rizieq jadi kodok yang direbus dengan api kecil. Perlahan-lahan Rizieq
akan bersuara tentang kriteria majikannya. Awalnya hanya menyerang
Jokowi, sekarang juga menyerang PDIP. Selanjunya apa lagi?
Semakin
Rizieq bersuara, semakin jelas saja majikan pemeliharanya. Sehingga
kalaupun pada akhirnya kita belum menemukan satu nama, minimal kita tahu
bahwa Rizieq hidup di Arab sebagai buzzer politik. Bergantung hidup
dari logistik orang-orang yang butuh suaranya. Sesuai narasi, sesuai
pesanan.
Dan
nampaknya Rizieq terbuka pada siapa saja. Menerima siapapun yang
membutuhkan jasanya. Apa buktinya? Rizieq pernah sepakat untuk mengawal
Jokowi jika memang menang Pilpres secara sah.
Dan
suara Rizieq yang hanya terdengar di momen tertentu, tidak di banyak
isu, menunjukkan betapa orang ini sangat oportunis. Nol dalam perjuangan
dan ideologi.
Pada
akhirnya saya berharap Rizieq semakin semangat bersuara. Karena dengan
begitu, kita bisa melihat dan memetakan para pemelihara di belakangnya.
Minimal, sekali lagi, para pemujanya sadar bahwa Rizieq hanya manusia
biasa yang bergantung hidup dari pihak-pihak yang membutuhkan. Begitulah
kura-kura.
Dicari Penyiyir-Pengecut Yang ‘Hilang’, Rizal Ramli
Enak
memang jadi tukang nyinyir. Yang penting mbacot dan sedikit tampak ahli.
Begitu saja terus sampai lebaran onta. Kalau diminta mempertanggung
jawabkan mbacotan, yang tinggal ngeles saja sambil tetap sok jago.
Begitulah
yang terjadi dengan Rizal Ramli (RR). Terus-menerus nyinyiri pemerintah
Jokowi. Ngomong itu, ngomong ini. Serang menteri yang satu, serang lagi
menteri yang lainnya. Begitu terus sampai hari kemarin ketika RR tidak
nongol kepalanya di kantor Menko Kemaritiman Maves Luhut Binsar
Pandjaitan.
Seperti
biasa, RR ngeles dengan berbagai alasan. Anehnya dia malah mengajukan
syarat-syarat tertentu yang sangat tidak masuk akal dan sangat kurang
ajar. Ya biasalah khas RR. Mari kita bahas syarat yang ia ajukan.
Debat terbuka
RR
ini meminta debat dilakukan secara terbuka. Maklum dia sebenarnya bukan
sedang memberikan sumbangsih kepada bangsa melainkan mencari panggung.
Jadi tidak heran kalau dia tidak mau melakukan diskusi tertutup dengan
LBP.
"Kalaupun harus berdebat harus dilakukan secara terbuka untuk publik dan harus dengan tim ekonomi." (Adhi Massardi, Tribunnews)
Saya
sendiri sudah lebih setuju kalau diskusi itu dilakukan secara tertutup.
Apa yang mereka diskusikan kemudian diutarakan ke publik. Entah sepakat
atau tidak. Mereka bisa konferensi pers. Yang penting bukan apakah
disaksikan banyak orang melainkan seberapa urgen kritikan RR itu bagi
pemerintah.
Harus dengan tim ekonomi pemerintah
Sudahlah
dia bukan siapa-siapa, masih sok mau mengatur pemerintah. Diberi
kesempatan untuk berdiskusi saja sudah syukur dari pada koar-koar di
media sosial, eh malah mau mengatur lawan debat. Ini mau apa toh?
"Kalaupun harus berdebat harus dilakukan secara terbuka untuk publik dan harus dengan tim ekonomi." (Adhi Massardi, Tribunnews)
Maka
masuk akal apa yang LBP katakan bahwa tim ekonomi Jokowi itu sedang
bekerja. Lebih tepatnya LBP mau mengatakan, sudahlah tidak usah banyak
bacot, langsung saja. Sok jagonya RR ditanggapi LBP dengan menghempaskan
RR sampai ke jurang terdalam: RR itu pengangguran, jadi banyak waktu
untuk debat, sementara tim ekonomi pemerintah sedang bekerja untuk
negara.
Sistem kalah menang dan konsekuensinya
Semakin
RR mengajukan syarat semakin tampaklah dia sebenarnya tidak sedang
mengkritik demi bangsa dan negara melainkan demi diri sendiri. Dia
mengininkan adanya menang dan kalah adalah cara untuk unjuk diri dan
sekaligus menjatuhkan kredibilitas pemerintah. Apalagi dia menginginkan
kalah dan menang itu ada konsekuensinya.
"Kemudian
ada mekanisme kalah dan menang sebagai pendidikan kematangan dalam
berdemokrasi, baik bagi masyarakat dalam hal ini pengkritik maupun
pembuat kebijakan untuk memahami konsekuensinya." (Adhi Massardi, Tribunnews)
Konsekuensinya apa menurut mereka: “a)
DR Rizal Ramli akan berhenti mengeritik kebijakan ekonomi pemerintahan
Joko Widodo (meskipun selama ini yang disampaikan Bang RR sebenarnya
bukan kritik tapi tawaran solusi), dan b) Jenderal (Purn) Luhut
Panjaitan dan Tim Ekonomi pemerintahan Joko Widodo mengundurkan diri
dari dari jabatannya.” (Adhi Massardi, RMOL)
Sudah
Anda baca? Berhenti atau tidak RR mengkritik kebijakan Jokowi itu tidak
ada artinya. Karena bagi pemerintahan Jokowi, RR tidak lain tidak bukan
hanyalah sampah pemerintahan. Karena dia sudah dibuang Jokowi. Biasanya
orang yang dipecat itu adalah orang yang memang sudah tidak dipakai
lagi. Bisa jadi karena memang tidak mampu atau malah merusak apa yang
sudah baik di dalam kabinet.
Enak
aja mau minta orang lain mundur dari jabatan. Lagian tidak masuk akal
kalau pecatan mendebat menteri aktif. Dari mana ceritanya itu? Maksudnya
kalau LBP dan tim ekonominya mundur, lalu mau diisi dengan RR dan
barisan sakit hatinya. Sudah ke laut saja.
Apa
pun yang RR syaratkan dan bacotkan semua itu hanya cara saja untuk
ngeles, menjebak dan mempermainkan. Apalagi yang jadi promotor itu
adalah ProDem. Haha…. Makin halu. ProDem itu tidak punya kapabilitas dan
kualitas menjadi promotor debat.
Siapa
yang akan menilai? Siapa menentukan menang dan kalah? Siapa yang
mengatur jalanya debat? ProDem gituh? Sudahlah, kalau mau ngelawak dan
ngeles, jangan gunakan debatlah. Di saat negara sedang berjuang
menghadapi tantangan besar, malah ada sekelompok orang berkompetisi
debat. Dan dipanggil diskusi tidak mau, eh malah sok beri syarat segala.
Paling
LBP dan Djamester kemarin itu bertanya-tanya, ‘ke mana nih yang katanya
lantang mengkritik pemerintah, kog gak kelihatan batang kemaluannya….
Eh batang hidungnya…?’
Jangan Sok Tahu! Adian Dipanggil Jokowi Bukan Karena Kritik Erick
Adian
Napitupulu hari ini dipanggil ke istana, dan diframing oleh beberapa
media dan para SJW gak jelas bahwa ini terkait dengan kritikannya kepada
Erick Thohir di dalam tulisannya. Bahkan media-media berita pun
memberitakan kronologi yang gak ada hubungannya sama sekali. Dan banyak
orang sotoy.
Kenapa
saya katakan gak ada hubungan antara kritikan Adian Napitupulu ke Erick
Thohir, dengan pemanggilannya ke istana oleh Joko Widodo? Saya punya
beberapa alasan kuat yang sepertinya akan membuat para SJW
kejang-kejang. Kita tahu narasi “Jokowi Represif” sudah dimainkan. Dan
adudomba Jokowi dengan PDI-P sedang dilangsungkan...
Adian
Napitupulu bukan orang yang bisa disetir. Setiap kalimat yang ia
keluarkan, sebelas duabelas dengan Budiman Sudjatmiko, memang sering
frontal. Sebagai orang yang ada di luar pemerintahan eksekutif, Adian
Napitupulu bebas dan memang seperti sejatinya dirinya, ia adalah orang
yang bersuara demi rakyat.
Sebagai
anggota DPR-RI di Senayan, Adian Napitupulu menjalankan fungsi kontrol
terhadap eksekutif dengan baik. Kalau pun bahkan harus memberikan kritik
kepada pemerintah pusat, itu ya kritikan yang pastinya menyehatkan.
Meski pahit, itu dianggap obat. Karena niat Adian adalah untuk
memberikan masukan kepada pemerintah.
Tidak
seperti rekan-rekan di partai nganu, anu dan ngambekan kayak sapi.
Adian sebagai kader Banteng tahu betul caranya dalam berpolitik, bukan
berpolemik. Kalimatnya yang tajam itu ibarat obat pahit yang
menyembuhkan. Adian Napitupulu, sahabat pejuang dan aktivis 98 pun
menjalankan kebaikan.
Ketika
saya melihat sosok Adian Napitupulu dan Budiman Sudjamiko yang liar
seperti itu, saya melihat di Seword juga ada penulis yang saya hormati,
berteriak dengan keras, meski tidak terlalu dikenal di dunia politik.
Dia adalah Kajitow Elkayeni. Pemikirannya bebas melanglang buana tanpa
adanya ikatan kepartaian.
Meski
Adian Napitupulu dan Budiman Sudjatmiko ada di partai PDI-P, tidak
serta merta membuat orang-orang ini terikat dan tidak bebas. Mereka ini
orang-orang yang sejatinya bebas. Dan PDI-P adalah partai yang menerima
mereka yang bebas tanpa harus mengikat mereka.
PDI-P
adalah salah satu partai nasionalis yang menjadi oposisi yang sehat.
Selama 10 tahun menjalankan posisi sebagai berseberangan dengan
pemerintahan Demokrat di bawah SBY, PDI-P tidak main perasaan dan tidak
main isu SARA untuk menghancurkan pemerintahan SBY.
Mereka
mengedepankan azas kebangsaan yang luhur, karena di dalam PDI-P masih
mengalir darah Soekarnois, melalui anak kandungnya, Ibu Megawati
Soekarnoputri. Megawati Soekarnoputri adalah sosok mak banteng yang sangat bersahaja. Dia memiliki loyalis-loyalis yang bisa dipercaya untuk mengawal negara ini.
Joko
Widodo adalah sosok negarawan yang luar biasa dalam mengambil
kebijakan. Tapi sehebat-hebatnya Jokowi, dia adalah manusia yang punya
kelemahan. Dan kelemahan itu, bisa dilindungi oleh para
malaikat-malaikat pelindungnya, yakni Adian Napitupulu.
Jokowi
sadar betul keberadaan Adian Napitupulu di kursi legislatorial
sangatlah penting. Sebagai pelaksana pemerintahan di lembaga eksekutif,
Joko Widodo sering berbincang-bincang dengan Adian Napitupulu. Dan Adian
sudah beberapa kali diundang oleh Joko Widodo ke istana untuk sekadar ngobrol.
Apa
yang di-obroli, sampai saat ini tidak ada yang tahu. Apakah terkait
kritikannya kepada Erick Thohir yang ia tulis beberapa waktu silam? Bisa
saja iya. Namun bisa juga tidak. Dan saya cukup yakin, kedekatan Joko
Widodo dan Adian Napitupulu, jauh lebih erat ketimbang kedekatan
Presiden dengan beberapa menterinya.
Namun
jika saya ingin jujur, saya hanya bisa mengatakan bahwa yang mengetahui
isi perbincangan Jokowi dan Adian adalah mereka dan Tuhan. Namun dalam
analisis yang saya miliki, saya bisa menyimpulkan bahwa dalam kondisi
seperti ini, Adian dipanggil ke istana, bukan untuk ngegosipin Erick Thohir.
Dan
beberapa teman yang memiliki akses ke orang-orang dekat Adian pun
mengatakan bahwa pemanggilannya ke istana bukan terkait kritikannya
kepada Erick Thohir. Makanya saya curiga, orang-orang yang menggoreng
bahwa Jokowi mau bungkam Erick Thohir, itu SJW kampret yang dungu.
Jokowi
ingin dibenturkan dengan kader banteng. Ada upaya membuat Jokowi
tersendiri. Tapi percayalah, selama ada Adian di dekat Jokowi, Indonesia
baik-baik saja. Karena Indonesia saat ini, mau tidak mau, nasibnya
bergantung kepada Tuhan dan pemerintahan yang dipercayakan-Nya, lewat
Jokowi dan Banteng.
Lagipula,
kalau kritik Erick dan kemudian Adian dipanggil Jokowi, emangnya
kenapa? Biasa-biasa aja kan? Tapi saya yakin bukan karena itu.
Tunggu klarifikasi langsung saja lah dari Jokowi atau Adian. Jangan sok kait-kaitin sesuatu yang gak jelas.
Begitulah banteng-banteng.
Diskusi Tertutup Dengan LBP, Djamester Simarmata Pun Dihantam Kadrun & Oposisi Di Medsos
Diskusi
Djamester dengan LBP soal hutang sudah selesai dilaksanakan. Diskusi
tersebut dilaksanakan di kantor LBP. Djamester pun merasa sudah
menyelesaikan tugasnya sebagai akademisi untuk menjadi pemberi masukan
kepada pemerintah mengenai hutang negara berdasarkan kajian ilmiah
dengan dasar yang jelas.
Jika
diskusi sudah usai, meski persoalan mungkin belum selesai, tetapi
tujuan kedua belah pihak sudah terpenuhi. Iya, persoalan tidak akan
selesai dengan hanya diskusi. Diskusi perlu dilanjutkan dengan eksekusi.
Dan itu akan menjadi tugas LBP selanjutnya. Kalau kemudian LBP ternyata
tidak menindaklanjuti hasil diskusi, maka Djamester tinggal menagih
saja.
Namun
ternyata bukan hasil dari diskusi antara Djamester dan LBP yang penting
bagi kadrun dan oposisi. Mereka hanya mempermasalahkan diskusi
dilaksanakan secara terbuka atau tertutup. Maka ketika diskusi
dilaksanakan secara tertutup, yang tadinya mereka sudah orgasme menanti
keganasan Djamester, mereka pun kecewa.
Mereka
kecewa karena tidak bisa menyaksikan kegaduhan antara Djamester dan
LBP. Yang ada dalam pikiran mereka, diskusi yang dimaksud itu seperti
main tinju adu jotos di ring sampai ada yang menang dan kalah. Mereka
sudah sangat riang gembira berharap LBP terpojokkan sampai tidak
berkutik ditekuk Djamester. Maklum mereka terkesima dengan gelar
Djamester. Mereka kira, Djamester akan memenuhi hasrat mereka, gak gaduh
gak asyik. Ternyata Djamester malah bersikap sebaliknya, dan itu dia
sampaikan di media sosial:
“Diskusi
ilmiah tidak harus terbuka, terminologi juga tidak dimengerti umum.
Dalam situasi saat ini yang sangat ribut sperti ini, perlu tenang,
ilmiah itu perlu begitu!” (Djamester Simarmata)
Cuitan Djamester di atas memang memunculkan kecurigaan. Positif thingking, Djamester sudah menyampaikan masukan kepada pemerintah dan pemerintah sudah menanggapi masukan Djamester. Tetapi secara negathif thingking,
Djamester mungkin sudah dibungkam dengan cara LBP sendiri. Namun
sepertinya, Djamester bukan tipe orang yang gampang dibungkam. Dia hanya
orang yang tidak mau ribut tentang apa yang sedang didiskusikan. Hal
ini tampak dari rekam jejak cuitannya selama ini.
Djamester
ini bukan tipe orang cari perhatian di panggung politik. Dia tidak
seperti Rizal Ramli nantang-nanting hanya untuk menjatuhkan dan berharap
dilirik penguasa. Djamester memang tipikal akademisi yang sangat fokus
dengan diskusi ilmiahnya.
Tetapi
kadrun dan oposisi pembenci pemerintah mah tidak peduli dengan diskusi
ilmiah. Itulah sebabnya kadrun dan oposisi pembenci Pemerintah terutama
LBP langsung menghajar habis-habisan Djamester di akun Twitternya. Bukan
hanya kejam, tetapi sadis. Coba perhatikan cuitan-cuitan tersadis
berikut ini:
“Ternyata
hanya berperan sbg peredam ya... Dikira beneran masyarakat ilmiah punya
kewajiban mencerdaskan bangsa. Dr komunikasi bikin gaduh, Dr ekonomi yg
meredam. Mahasiswanya cukup demo isu parkir kampus. Selamat ya
@univ_indonesia” (@vampire_jalu)
“tua3
cuman jd pelacur ilmiah. malu woy sama gelar. malu woy sama asal
kampus!!! Dosen kok bisa3nya jd pelacur ilmiah gmn mahasiswanya?” (@NNdrae)
“Ingat,
TERIAK KARENA LAPAR, DIAM SETELAH KENYANG. politisi sangat faham,
orang2 model gini. Dulu si fajrul gimana ga ganas akhirnya kenyang
nyembah2” (@summa_isme)
“Sy
curiga sdh dr awal strategi LBP .kok tiba2 undang dosen UI jg. Sdgkan
tantangan ditrima RR @RamliRizal. ternyata diarahkan tertutup. Giliran
byr utang negara suruh rame2 byr.ayo pak arahkan terbuka ini akan lbh
BURUK CITRA UI.khususnya pak @DSimarmata yg mengarahkan ini semua.” (@kodimbardo1)
Mereka
yang kecewa ini adalah orang-orang yang mengharapkan Djamester
mempermalukan LBP. Harapan mereka terlalu besar kepada Djamester
sehingga ketika tidak terpenuhi nafsunya, mereka langsung balik
menyerang Djamester. Ini memang khas kadrun dan oposisi pembenci
pemerintah. Niat mereka bukan untuk memperbaiki bangsa ini melainkan
untuk melampiaskan kebencian mereka terhadap LBP dan pemerintahan
Jokowi. Itu sakitnya kalau sudah terdorong kebencian yang mendalam,
susah untuk menerima kenyataan, sekalipun kenyataan itu baik bagi bangsa
dan negara.
Kalau
tanpa pemikiran negatif, seharusnya kita mengapresiasi keberanian
Djamester untuk mengkritik pemerintah dan langsung berhadapan dengan
orang yang menantangnya. Ini memang belum pernah terjadi. Keterbukaan
pemerintah dan keberanian akademisi ini perlu dijadikan contoh bagaimana
menjadi pengelola negara dan bagaimana menjadi pengkritik.
Benar
bahwa mengkritik pemerintah itu tidak harus ribut-ribut dan diskusi
ilmiah – berbasis data dan keilmuan yang jelas – tidak selalu perlu
dipertontonkan kepada publik. Buktinya, pada masa kampanye Pilpres 2019,
perdebatan mengenai ekonomi dan hutang negara ini hampir setiap hari
dipertontonkan ke publik, tetapi tetap saja tidak ada faedahnya kepada
kadrun dan oposisi pembenci pemerintah. Karena bagi mereka, tidak ada
yang baik datang dari rezim Jokowi, sekalipun faktanya baik, mereka
tidak akan akui.
Kadrun
dan oposisi pembenci pemerintah seperti itu enaknya diabaikan saja oleh
pemerintah. Sudah terbukti junjungan mereka tidak mau diajak diskusi,
malah balik menyalahkan menyerang orang yang berani berdiskusi. Inilah
khas eks kampret, pemikiran selalu terbalik.
Sumber Utama : https://seword.com/politik/diskusi-tertutup-dengan-lbp-djamester-simarmata-p3sOFJl9Y4
Puji Tuhan! Pasien Corona Sembuh Berkat Terapi Plasma Segera Tayang Di TV Nasional
Hari
ini saya sangat bersyukur dan bersukacita saat membaca sebuah kabar
gembira yang ditulis di akun Instagram sewordofficial_ . Dengan
menyertakan sebuah foto gelap hitam putih, postingan akun resmi Seword
di Instagram tersebut menulis sebagai berikut:
“Kebenaran itu seperti cahaya. Tak ada gelap yang mampu menutupinya.
Pasien
sembuh covid berkat vaksin pasif (Terapi Plasma Konvalesens), akhirnya
ada yang berani buka suara. Dokter dan pasien bersedia diwawancara.
Ini adalah pasien ke-2, jalur autonomi pasien yang sembuh dengan TPK. Dirawat di salah satu RS Swasta di Indonesia.
Segera tayang di salah satu stasiun teve nasional.
Berani bersuara karena benar. Berani melawan jika memang dibutuhkan. Mafia alkes dan PSBB ke laut saja.”
Sekarang mari kita bahas satu persatu per paragraf.
Pertama. Kebenaran itu seperti cahaya. Tak ada gelap yang mampu menutupinya.
Sejak
awal saya sudah menuliskan jika tujuan Dok Mo selaku penggagas TPK ini
tulus ingin mempersembahkan salah satu solusi jangka pendek bagi
Indonesia yang sedang menghadapi corona, sampai obat dan vaksin aktif
covid 19 nantinya ditemukan.
Sekalipun
Dok Mo sudah tahu bakal melalui rangkaian perjuangan berat yang
menguras energi, pikiran, biaya bahkan makan hati berkorban perasaan,
air mata bahkan nyawa demi terlaksananya TPK di Indonesia, Dok Mo justru
ikhlas tidak menerima bayaran sepeserpun. Dengan kesadaran dan
kerelaannya sendiri Dok Mo meminta bayarannya diserahkan pada
orang-orang yang membutuhkan. Dok Mo mengatakan dirinya sudah dibayar
oleh Bapa di surga.
Saya
juga tahu persis tak ada ambisi pribadi apapun dalam diri Dok Mo selain
ingin melihat Indonesia segera bebas dari serangan corona.
Berbekal
ketulusan inilah Dok Mo bisa tetap berdiri tegak sampai hari ini
menghadapi semua rintangan yang menghadang dan menghalangi perjalanan
TPK.
Dalam
satu kesempatan saat saya begitu mengkhawatirkan keselamatan jiwa Dok
Mo, saya sempat menuliskan sebuah ayat Alkitab buat Dok Mo. Amsal 14:32
yang berbunyi:
“Orang fasik dirobohkan karena kejahatannya, tetapi orang benar mendapat perlindungan karena ketulusannya.”
Saya
mengaminkan ayat Firman Tuhan ini. Saya percaya yang namanya ketulusan
adalah perisai perlindungan yang sangat kokoh, yang mampu melindungi
kita dari segala macam mara bahaya.
Yang
namanya Firman Tuhan adalah kebenaran. Dan kebenaran itu seperti
cahaya. Tak ada gelap yang mampu menutupinya seperti baris pertama dalam
kabar gembira yang dituliskan IG Seword hari ini.
Ketulusan
Dok Mo dan semua pihak yang tulus mendukung TPK akhirnya membuahkan
hasil positif nan menggembirakan berupa kesembuhan yang akan terus
menyebar dari satu kesembuhan pada banyak kesembuhan lainnya.
Terima kasih Tuhan untuk kebenaran firmanMU. Tuhan Maha Besar. Amin.
Kedua.
Pasien sembuh covid berkat vaksin pasif (Terapi Plasma Konvalesens),
akhirnya ada yang berani buka suara. Dokter dan pasien bersedia
diwawancara.
Tak
mudah bagi kita untuk menerima sesuatu yang baru apalagi hal baru
tersebut adalah metoda pengobatan. Sekalipun TPK sudah pernah diterapkan
untuk mengatasi wabah SARS, Ebola, H1N1 dan MERS, tetap saja mau
menerima TPK untuk pengobatan corona selaku virus baru yang sampai
sekarang belum ada obat dan vaksin aktifnya ini bukanlah keputusan yang
mudah baik bagi dokter yang menjalankannya juga bagi pasien yang
menerimanya. Butuh keberanian ekstra tentunya.
Di
bagian ini keberanian yang dimaksud memang berhubungan dengan nyawa.
Jika karena satu atau banyak hal yang berhubungan dengan kondisi bawaan
pasien ternyata TPK nya tidak bekerja sesuai harapan, resiko terburuk
pasiennya ya kehilangan nyawa. Jika ada oknum-oknum yang tak
menginginkan TPK, baik dokter yang menjalankan TPK maupun pasien TPK
juga bisa kehilangan nyawa gara-gara “dikondisikan”. Entahlah. Segala
kemungkinan bisa terjadi. Namanya juga mafia.
Makanya
tak berlebihan jadinya jika di bagian ini salut dan hormat
setinggi-tingginya saya berikan pada dokter, pasien, pewawancara dan
semua pihak yang terlibat dalam keberhasilan TPK ini. Kalian
manusia-manusia pemberani. Dan itu keren.
Ketiga. Ini adalah pasien ke-2, jalur autonomi pasien yang sembuh dengan TPK. Dirawat di salah satu RS Swasta di Indonesia.
Just
info untuk menambah pengetahuan. Jalur autonomi adalah keputusan yang
diambil sendiri oleh pasien atau keluarga pasien covid 19 untuk
menjalani TPK. Adapun urutan prosedurnya adalah sebagai berikut:
Satu. Pasien dan atau keluarga pasien meminta dokter untuk terapi plasma. .
Dua. Dokter juga menyetujui.
Tiga. Dokter yang merawat kontak RSPAD. Kalau diacc berarti lancar.
Empat. Kirimkan contoh darah pasien berikut surat nomer 5.
Lima. Direktur RS membuat surat permintaan plasma.
Enam. Ambil plasma.
Tujuh. Masukkan plasma.
Delapan. Monitoring.
Yang
harus diingat adalah: antibodi dalam plasma itu hanya untuk membasmi
virus covidnya. Bukan untuk memperbaiki kerusakan yang sudah ada. Jadi,
memberikan TPK sedini mungkin sebelum kondisi pasien parah jelas lebih
baik.
Semoga
informasi ini berguna bagi para pembawa Seword sekalian. Dan jangan
kuatir. Info yang saya berikan ini valid kebenarannya, bukan opini.
Wekekekeke…..
Keempat. Segera tayang di salah satu stasiun teve nasional.
Di
bagian ini jujur saya deg-degan serasa hendak ketemu pacar. Senang,
bahagia, resah dan gelisah semuanya campur jadi satu. Mari kita doakan
agar semuanya berjalan lancar hingga kesaksian dokter dan pasien yang
bersedia diwawancara tersebut bisa segera tayang menyebarkan semangat
dan harapan kesembuhan ke seluruh pelosok Nusantara. God bless
Indonesia. Amen.
Kelima Berani bersuara karena benar. Berani melawan jika memang dibutuhkan. Mafia alkes dan PSBB ke laut saja.
Di
bagian ini hitam putihnya manusia akan terlihat dengan sendirinya.
Siapa-siapa yang tulus mengutamakan rakyat banyak dan siapa sajakah yang
mengutamakan kepentingan diri sendiri dan golongan akan terbukti dengan
sendirinya.
Musuh
TPK memang mafia alat kesehatan dan mafia jahat yang tak menginginkan
PSBB segera berlalu. Merekalah yang paling mencak-mencak dengan adanya
TPK ini.
Sampai
di titik ini saya jadi teringat pada rentetan kejadian tidak
menyenangkan yang saya alami gara-gara mendukung TPK. Sampai sekarangpun
saya masih mengalaminya. Tragisnya, beberapa pelaku justru dari sesama
barisan sendiri. Saya yakin Dok Mo dan rekan-rekan yang mendukung TPK
juga pasti mengalaminya dalam bermacam bentuk dan cerita.
Saya punya 1 pengalaman yang saya tuliskan di FB saya. Saya akan bagikan juga di sini untuk para pembaca Seword sekalian.
“Curhatku hari ini.
Saya
benar-benar tak habis pikir saat ada mulut-mulut nyinyir yang
mengatakan jika program Terapi Plasma Konvalesen terlalu
dilebih-lebihkan bahkan overclaim.
Sebab
setahu saya, yang namanya melebih-lebihkan sesuatu itu artinya kita
sedang menceritakan tentang sesuatu itu secara heboh hiperbola tidak
sesuai fungsinya. Misalnya begini. TPK yang adalah vaksin/imunisasi
pasif dipromosikan ke masyarakat sebagai vaksin aktif. Itu namanya
melebih-lebihkan. Sama juga dengan berbohong.
Sementara
yang kami lakukan sejak awal adalah mengedukasi rakyat jika TPK ini
adalah vaksin/imunisasi pasif sebagai solusi sementara yang bersifat
jangka pendek sambil menunggu obat dan vaksin aktif Covid 19 ditemukan
dan dinyatakan layak dipakai di seluruh dunia. Kami tak pernah
melebih-lebihkan apapun tentang keberadaan TPK yang memang akan
tenggelam dengan sendirinya saat obat dan vaksin aktif covid 19
ditemukan nantinya.
Jika
selama ini kami gencar mempromosikan TPK, itu semua kami lakukan dengan
tujuan agar banyak pasien covid 19 yang sudah sembuh mau jadi pendonor
yang menyumbangkan plasmanya. Sebab tanpa adanya pendonor, TPK takkan
mungkin berjalan dengan lancar. Itu artinya virus corona akan terus
berpesta pora menjangkiti bahkan membunuh manusia tanpa ada solusinya.
Di
sinilah saya jadi ngelus dada dengan komentar-komentar negatif yang
nyinyirin TPK. Saat ucapan nyinyir itu diucapkan warga biasa yang tidak
mengerti dunia medis, kita semua pasti bisa maklum. Namanya juga ngga
ngerti. Saya awalnya juga ngga ngerti.
Tapi
jika komentar miring tentang TPK ini diucapkan oleh orang yang
berprofesi sebagai dokter, di situlah saya merasa sangat sedih. Tragis.”
Demikianlah
curhat itu saya tulis pada tanggal 6 Juni 2020 barusan dengan perasaan
yang sangat sedih. Sebab tahukah kalian jika dokter yang saya maksud di
atas adalah sahabat baik yang selama ini saya pikir berhati tulus
seperti malaikat. Ternyata di belakang saya dia sibuk bercerita jika TPK
ini overclaim. Sampai saat ini dia belum tahu jika saya sudah tahu
semua ucapannya di belakang saya. Entah dia iri atau menjadi bagian dari
mafia alkes saya juga tak tahu dan tak mau tahu. EGP. Anjing
menggonggong TPK tetap berlalu.
Sebagai
penutup akhirnya saya bisa mengambil kesimpulan. Janganlah nyinyir pada
orang yang sedang bekerja, sementara engkau sendiri belum mengerjakan
apa-apa. Di bagian inilah Seword akan terus berani bersuara karena
benar. Berani melawan jika memang dibutuhkan. Begitulah kura-kura.
Salut! Sri Mulyani Banggakan 3 Jagoannya, Oposisi Ketahuan Modal Nyinyir!
Siapa
yang tak kenal beasiswa LPDP? Beasiswa yang dikelola Kemenkeu ini
membiayai penuh program S2 dan S3 di dalam dan luar negeri. Beasiswa ini
cukup terkenal hingga artis Tasya Kamila juga ikut berpartisipasi dan
lolos S2 di Colombia University, USA.
Awal
dari didirikannya Lembaga Pengelola Dana Pendidikan yang disingkat LPDP
adalah cita-cita Sri Mulyani Indrawati, yang saat itu menjabat sebagai
Menteri Keuangan. Sri Mulyani ingin sekali memperbaiki Sumber Daya
Manusia Indonesia dari ketertinggalan, agar SDM yang dimiliki Indonesia
semakin baik dan mampu bersaing, serta tidak kalah dengan negara
lain. Tahun 2012 Ia mendirikan LPDP yang terus konsisten memberi
beasiswa hingga saat ini.
Inilah
bukti kuat komitmen seorang Sri Mulyani bagi bangsa. Meski posisinya
sebagai menteri keuangan, tapi ia berkontribusi besar bagi dunia
pendidikan dalam negeri. Kelasnya jauh di atas Rizal Ramli atau oposisi
lain yang sering mengatainya hanya bisa berhutang. Nyatanya di bawah Sri
Mulyani, pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk yang terbaik. Kini
iapun menuai kebanggaan lain karena jagoan-jagoannya menunjukkan
taringnya di kancah internasional.
Seperti dilansir dari cnbcindonesia.com,
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan jika
generasi muda adalah kunci bagi masa depan bangsa. Dari 65 juta generasi
muda saat ini, ia menyebutkan setidaknya ada tiga orang yang baru saja
lulus dari salah satu universitas terbaik dunia dan membanggakan
Indonesia.
Lanjutnya,
yang membuatnya lebih bangga adalah, ketiganya merupakan para penerima
beasiswa LPDP yang baru saja lulus dari Harvard University dengan
prestasi yang sangat baik.
"Kepada
tiga LPDP awardee ini, saya ucapkan selamat atas prestasi yang sangat
membanggakan Indonesia. Teruskan perjuangan kalian dalam memberikan
manfaat bagi Indonesia," tulis Sri Mulyani di akun instagram pribadinya,
Jumat (12/6/2020).
Ia
pun mengajak semua generasi muda Indonesia agar terus semangat dan
melangkah maju untuk menciptakan prestasi sehingga bisa membanggakan
Indonesia.
"Kepada
semua generasi muda Indonesia, pupuk selalu semangat selalu ingin
belajar, ingin maju, haus akan prestasi, dan daya juang yang tidak
pernah luntur," kata dia.
Adapun ketiga mahasiswa penerima beasiswa LPDP tersebut adalah:
1.Nadhira
Nuraini Afifa, mahasiswi S2 jurusan Kesehatan Masyarakat, Harvard T. H.
Chan School of Public Health, memenangkan Grand Prize Winner of MIT
Innovation in Global Health Systems Hackathon dengan topik mengurangi
kasus malnutrisi di Indonesia melalui Artificial Intelligence
menggunakan aplikasi smartphone. Ia juga terpilih untuk mengikuti
program peningkatan nutrisi anak usia 5-10 tahun di Tanzania.
Atas
prestasinya yang outstanding, Nadhira juga memperoleh kehormatan
sebagai commencement speaker pada wisuda kelulusan Angkatan tahun 2020
di Harvard University.
"Semangat
Nadira mengajak generasi muda untuk terus berkontribusi dan memberikan
dampak kepada dunia, serta keinginannya untuk membantu pemerintah
melawan Covid19 di Jakarta setelah kelulusannya ini sangat
menginspirasi," tulis Sri Mulyani.
2.Andhika
P. Sudarman, mahasiswa S2 jurusan Hukum, Harvard Law School.
Ia
memperoleh predikat Dean's Award for Community Leadership. Andhika
memenangkan MIT FinTech Hackaton Challenge 2020 dan menjadi pembicara
HLS APALSA's American Democrat Presidential Debate.
"Andhika merupakan pemuda Indonesia pertama yang terpilih untuk memberikan pidato pada wisuda kelulusannya," puji Sri Mulyani.
3.Jane
Tjahjono, mahasiswi S2 jurusan Kebijakan Publik, Harvard Kennedy
School.
Tesisnya yang berjudul "Improving Household Organic Waste
Management in Jakarta, Indonesia" memperoleh kategori "Distinction" top
5-10% tesis di Harvard.
Prestasi-prestasi
yang ditunjukkan oleh seorang Sri Mulyani bahkan bisa dikatakan yang
terbaik dari seluruh menteri Jokowi. Di bawahnya ada Erick Thohir yang
konsisten membenahi BUMN dan juga menteri Basuki yang fokus penyelesaian
infrastruktur hingga tak sempat update HP jadulnya.
Saat
oposisi memainkan media untuk pencitraan mereka dan survei
elektabilitas untuk pamor DKI 1, para menteri Jokowi tetap bekerja dalam
senyap. Meski tak dilirik lembaga survey, nyatanya hasil kinerja mereka
nyata dan mampu mengangkat harkat martabat bangsa.
Para
alumni LPDP yang menjadi pembicara saat wisuda sunggu suatu prestasi
yang luar biasa. Tidak salah langkah Sri Mulyani menggelontorkan
milyaran hingga trilyunan APBN untuk mereka. Inilah prestasi
sesungguhnya Sri Mulyani yang tak dimiliki oposisi.
Saat
Rizal Ramli membiayai media RMOL untuk menaikkan pamornya, Sri Mulyani
memilih membiayai anak bangsa yang berprestasi. Saat DKI 1 sibuk
konferensi pers, Sri Mulyani tinggal update instagram memamerkan hasil
kinerja dan pemikirannya yang brilian tanpa perlu membayar wartawan.
Inilah
bedanya brilian di antara tumpukan sampah. Meski tak banyak kata-kata,
konferensi pers apalagi membiayai media, Sri Mulyani mampu membuktikan
dirinya sebagai menteri terbaik. Semoga nanti setelah Jokowi tak lagi
menjabat, dirinya masih menjadi Menkeu bagi negeri ini. Kalau bisa naik
kelas jadi RI 1 atau RI 2 akan lebih baik lagi.
Begitulah kura-kura.
Referensi:
Teknologi China vs Teknologi Amerika
Oleh: Ricky Suwarno
30 Maret 2019
Dari belajar 'mengopi', sampai bangkitnya teknologi China hari ini, hingga mulai menempati panggung utama di dunia. Bila dibandingkan dengan Amerika Serikat, posisi seperti apa tingkat teknologi China dewasa ini? mari kita simak Teknologi China vs Teknologi Amerika secara detail
Kebangkitan perusahaan teknologi China dalam beberapa tahun terakhir sangatlah cepat. Pada tahun 2016, New York Times secara khusus membuat video berdurasi 5 menit untuk memperkenalkan WeChat. The super app ini seperti oksigen yang telah berpenetrasi dalam segala segi kehidupan orang China, dengan pengguna lebih dari 1 miliar.
ADVERTISEMENT
Video ini bahkan tidak hanya menjadi topik pembahasan paling hot di media sosial Tiongkok, tetapi juga menimbulkan dampak luar biasa di luar negeri.
Dalam dua tahun terakhir, bidang e-commerce dan pembayaran seluler China telah memimpin dunia. Lalu, jika dibandingkan dengan teknologi terkuat si Amerika serikat, bagaimana tingkat teknologi China?
Dari Murid sampai melampaui Guru
Artikel ini menggabungkan data dari banyak organisasi serta pasar peneliti kelas dunia. Termasuk McKinsey, Goldman Sachs, maupun Bloomberg. Yang bisa membantu menjawab pertanyaan ini dengan lebih baik.
Galapagos, suatu nama tempat di kepulauan Ekuador, Amerika Selatan, juga dikenal sebagai Kepulauan Cologne. Tempat ini terkenal dalam sejarah sains dunia karena memiliki ekologi spesies yang unik.
ADVERTISEMENT
Ketika Darwin tiba di Kepulauan Galapagos di Beagle, baru muncul istilah "The Origin of Species" yang sangat terpopuler di dunia. Teori evolusi artikel tersebut menggambarkan lingkungan teknologi China sebagai teknologi Galapagos.
Dalam 20 tahun terakhir, Amerika Serikat terus-menerus dikejar dan dilampaui China dalam semua aspek. Pada 2007, Amerika Serikat telah dilampaui China dalam hal ekspor. Pada tahun 2011, China juga telah melampaui Amerika Serikat di bidang manufaktur.
Diperkirakan, pada tahun 2030, Gross Domestic Product (GDP) China akan melampaui Amerika Serikat menjadi perekonomian terbesar di alam semesta ini. Dari perspektif infrastruktur seperti jalan, kereta api, bandara pembangunan perkotaan, dan fasilitas perangkat keras sekolah.
Jika anda pernah ke Amerika Serikat, anda akan tahu bahwa infrastruktur ini benar-benar tidak sebagus banyak kota di China yang berkembang pesat. Infrastruktur Amerika Serikat sangat tua dan terbelakang.
Saat ini, seluruh dunia bagian barat bahkan Amerika Serikat sendiri, sudah mulai mengakui bahwa Amerika Serikat memang sedikit lebih buruk. Namun yang dapat dibanggakan Amerika Serikat hari ini, yaitu bidang militer dan pertahanan, pendidikan tinggi, dan keuangan. Intinya pada bidang teknologi, tetapi rasa superioritas mereka tidak sekuat dulu lagi.
Silicon Valley adalah sejarah
Hasil penelitian menunjukkan, selama 20 tahun terakhir, orang Amerika telah mengalami tiga tahap perubahan mental. Dalam menghadapi pertumbuhan teknologi China.
Pertama, orang Amerika tidak percaya bahwa China bisa memiliki teknologi hebat, sampai mereka merasa bahwa China cuma bisa menduplikat teknologi Amerika. Namun akhirnya, hari ini orang Amerika mulai mengakui dan mengenali teknologi orang China sendiri. Mereka sangat takut bahwa tingkat teknologi China akan setara dengan Amerika Serikat.
Dari perspektif nilai pasar tersendiri, sebenarnya raksasa teknologi China seperti Tencent dan Alibaba sudah berada pada tingkat yang setara dengan Google dan Facebook.
Di bidang e-commerce, total penjualan China telah melampaui lebih dari dua kali lipatnya Amerika Serikat. Perubahan ini juga dapat dilihat dari sikap pengusaha China. Saat ini, pengusaha China masih terus mengunjungi Silicon Valley, dan akan berpartisipasi dalam investasi mereka.
Tetapi mereka bukan lagi dengan cara mengagumi, atau selalu berpikir bahwa Silicon Valley adalah terhebat. Pikiran itu telah menjadi sejarah.
Silicon Valley bukan lagi Silicon Valley yang dulu, yang selalu menjadi idola atau pujaan dunia, Karena China sendiri telah menciptakan Silicon Valley-nya sendiri. Orang dalam industri Silicon Valley sendiri mengatakan bahwa dominasi teknologi Amerika di masa lalu sudah tidak ada lagi.
Kemajuan teknologi di China dicapai dalam lingkungan yang sangat berbeda dari Amerika Serikat, seperti kata kunci diatas, teknologi Galapagos. Ekologi teknologi yang sama sekali tidak bisa dipahami orang Amerika atau dunia luar lainnya, sehingga orang Amerika merasa panik.
Suatu hal yang pasti, kebangkitan teknologi China, adalah hal yang sangat menyakitkan bagi Amerika Serikat. Mengapa? karena kebangkitan teknologi China memukul langsung titik keunggulan Amerika Serikat, yang membuat Amerika Serikat harus menyadari, tidak ada hal yang abadi di dunia ini. Tidak ada orang yang selalu berada di atas angin.
Amerika Serikat telah memonopoli banyak kepentingan di dunia, seperti keuntungan di bidang sains dan teknologi. Perusahaan teknologi AS menciptakan lebih dari 7 juta lapangan pekerjaan, yang di mana pekerjaan ini dua kali lipat lebih tinggi dari gaji rata-rata di industri lain.
Menurut McKinsey, bahkan perusahaan non-teknologi di Amerika Serikat, pendapatannya 50 persen jauh lebih tinggi dibanding perusahaan digital di Eropa.
AS adalah setter standar teknologi global dari USB sampai ke teknologi jaringan. AS adalah yang pertama memberikan standar, dan kemudian dunia mengikutinya. Hal tersebut membuat perusahaan teknologi AS dapat memperoleh keuntungan mutlak, lebih dari 180 miliar dolar AS dari pasar luar negeri setiap tahun.
Teknologi adalah senjata ajaib Amerika Serikat, seperti lampu aladin. Maka dari itu sekarang anda bisa mengerti mengapa Trump selalu menjelekkan dan begitu khawatir tentang kebangkitan Huawei dan teknologi China lainnya.
Pada dasarnya, teknologi China masih tertinggal di banding Amerika Serikat. Tetapi momentum ke atasnya juga sangat cepat. Dan kedua belah pihak memiliki keunggulan tersendiri.
Tingkat teknologi China, secara keseluruhan saat ini sekitar 42 persen dari Amerika Serikat. Sedangkan, pada tahun 2012, enam tahun yang lalu, tingkat teknologi China hanya 15 persen dari Amerika Serikat.
Aspek yang lebih lemah dari China adalah teknologi semikonduktor. Dan perangkat lunak untuk industri. Dua sektor ini sangat ketinggalan dibanding Amerika Serikat. Tingkat elektronikisasi perusahaan non-teknologi di China hanya mencapai 26 persen dibanding Amerika Serikat.
Dalam Sektor investasi, sekitar 30 persen dari perusahaan teknologi AS. Dan kesenjangan dalam pengembalian pasar luar negeri bahkan lebih besar. Tidak sampai 18 persen dari perusahaan teknologi AS.
Misalnya, Apple hanya perlu tiga hari untuk mendapat keuntungan uang dari pasar luar negeri. Dibanding Tencent yang harus menggunakan waktu satu tahun di pasar luar negeri untuk memperoleh keuntungan yang sama.
tahun 2030
China memang lebih kuat dibidang e-commerce dan bidang digital internet. Dalam dua aspek ini, China hampir mencapai 53 persen dari total pendapatan AS.
Perusahaan unicorn teknologi China memiliki penilaian total 69 persen dari total AS. Sedangkan, Di bidang modal ventura, tingkat teknologi China telah mencapai 85 persen dari Amerika Serikat dan akan terus meningkat, karena pasaran China lima kali lipat lebih besar di banding AS.
Saat ini, yang paling dominan di China adalah bidang teknologi terobosan, bidang artificial intelligence atau kecerdasan buatan.
Maka dari itu kecerdasan buatan yang diterbitkan oleh para ilmuwan China, dan di jurnal inti telah mencapai 89 persen dibanding Amerika Serikat.
Menurut prediksi, China dapat melampaui Amerika Serikat. Sebagai pemimpin global, dalam bidang kecerdasan buatan pada tahun 2030.
Sedangkan, di sektor smart city atau kota cerdas, maupun mobil tanpa pengemudi, China sangat berpotensi menjadi setter atau pembuat standar teknologi dunia.
Just like grandma says, in the old days, all American tech execs had to do to see the world’s cutting edge was just to walk out the door. Now they must fly to China, too (by the economist).
untuk mempelajari teknologi terbaru, silahkan telusuri:
Sumber Berita : https://kumparan.com/ricky-suwarno/teknologi-china-vs-teknologi-amerika-1qmwFkCGyB3/full
Asal Mula Hegemoni Dolar
Asal mula Hegemoni Dolar AS dan pengaruhnya terhadap ekonomi Dunia. Pepatah Tiongkok mengatakan,”不谋万世者,不足谋一时; 不谋全局者,不足谋一域. Artinya,
Mereka yang tidak memiliki pemikiran panjang, Dia tidak akan dapat
melihat masalah di depannya. Mereka yang tidak dapat melihat situasi
sepenuhnya, dia juga tidak akan bisa menangani masalah secara spesifik.
“Jika Anda ingin memperoleh hasil yang baik, Anda harus mempertimbangkan semua aspek. Jika Anda ingin memperoleh hasil terbaik dari suatu hal yang spesifik, Anda harus dapat melihat situasi secara menyeluruh.”
Sistem Bretton Woods, adalah Asal Mula Hegemoni Dolar yang ditetapkan sesuai keinginan Amerika. Tetapi, setelah penerapan lebih dari 27 tahun dari tahun 1944-1971 belum benar-benar mengkukuhkan kedudukan Hegemoni Dolar Amerika.
Apa yang menghalangi Hegemoni Dolar saat itu?
Jawabannya “Emas.”
Pada awal berdirinya sistem Bretton Woods, Pemerintah Amerika berjanji dan membuat komitmen kepada dunia, yakni mata uang seluruh negara terkunci dengan Dolar AS. Dolar AS sendiri akan diikatkan dengan logam “Emas.”
Bagaimana cara menguncinya?
“Menukarkan satu ons emas untuk setiap $35.”
Dengan komitmen dolar AS kepada dunia, pemerintah Amerika tidak boleh mencetak uang sesuka hatinya. Sederhananya, setiap 35 dolar AS dapat ditukar dengan 1 ons emas. Setiap kelebihan 35 dolar AS yang dicetak, Amerika harus membayar dan menyimpan 1 ons emas dalam lemari besi.
Mengapa Amerika Serikat memiliki kepercayaan diri membuat komitmen kepada dunia?
Karena Mereka memiliki lebih dari 80% cadangan emas Dunia pada waktu itu. Amerika percaya bahwa dengan banyaknya emas di tangan, tidak ada masalah untuk mendukung kredit dolar AS. Namun, harapan selalu lebih indah dari kenyataan. Situasi sebenarnya tidak sesederhana yang dipikirkan orang Amerika. Setelah Perang Dunia II, kesalahan terbesar yang dibuat Amerika Serikat adalah melibatkan diri dalam Perang Korea dan Perang Vietnam. Kedua perang ini merupakan Trauma terbesar bagi Gedung Putih yang belum hilang sampai saat ini.
Selama Perang Vietnam, Amerika Serikat telah menghabiskan pengeluaran militer sebesar US$800 Miliar. Ketika biaya perang semakin besar, membuat Amerika Serikat semakin kewalahan.
Karena sesuai dengan janji Amerika Serikat, setiap konsumsi $35 berarti AS harus membayar satu ons emas.
Sampai Bulan Agustus 1971, emas yang tersisa di tangan Amerika sekitar 8.800 ton. Untuk mempertahankan Kredit Dolar sebagai Mata Uang dunia semakin tidak memungkinkan. Karena, AS telah terbiasa mencampuri urusan dalam negeri orang lain, sehingga selalu terlibat dalam peperangan. Hingga Suatu saat, Presiden Prancis Charles de Gaulle yang memiliki tinggi badan 196cm itu tidak percaya dengan Dolar Amerika lagi. Presiden Charles, memerintahkan semua cadangan Dolar Perancis sebanyak 23 Miliar harus diserahkan ke Amerika dan diganti kembali dengan emas.
Serangan Prancis terhadap Amerika memiliki efek pencontohan bagi negara-negara lain. Semakin banyak negara lain berikutan menuntut pengembalian emas mereka. Pada akhirnya, membuat Amerika sakit kepala tanpa ada pilihan lain.
Akhirnya, pada tanggal 15 agustus 1971 Presiden AS Richard Nixon mengumumkan penutupan jendela emas. Dolar secara resmi decoupling dengan emas. Ini adalah awal Runtuhnya sistem Bretton Woods. Suatu Tindakan pengkhianatan pemerintah Amerika terhadap kepercayaan dunia.
Sebenarnya, banyak orang di dunia masih belum sepenuhnya memahami situasi saat itu. Masyarakat Dunia percaya terhadap dolar AS dikarenakan pengikatan Logam emas di belakang dolar AS. Dolar AS menjadi mata uang internasional, mata uang penyelesaian segala perdagangan dunia, atau mata uang cadangan lebih dari 20 tahun. Sehingga, Orang-orang sudah terbiasa menggunakan dolar AS. Sekarang, Dolar tidak lagi mengikat emas sebagai jaminan di belakangnya. Secara teori, Uang kertas Dolar telah menjadi kertas hijau biasa, tidak ada bedanya dengan kertas biasa. Apakah, kita masih akan menggunakannya?
Jika kita tidak menggunakannya, lalu apa yang bisa digunakan untuk mengukur nilai barang dalam penyelesaian perdagangan internasional?
Dapatkah kita mempercayai mata uang lain, selain Dolar AS?
Jika tidak, kita hanya dapat terus menggunakan dolar AS sebagai media pertukaran antara Negara. Oleh karena itu, Amerika menggunakan kelembaman dan ketidakberdayaan dunia. Dengan persenjataan Militernya yang kuat, Amerika memaksa Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menerima tuntutan Amerika pada Oktober 1973. Yaitu, semua Transaksi minyak global harus diselesaikan dalam Mata Uang Dolar AS.
Sebelumnya, transaksi minyak global dapat diselesaikan dengan berbagai mata uang internasional pada saat itu. Tetapi, setelah Oktober 1973, semuanya berubah. OPEC mengumumkan semua negara harus menggunakan Dolar AS dalam setiap transaksi minyak global.
Setelah memisahkan Dolar dengan logam Emas, sebaliknya Dolar akan diikatkan dengan dengan Produk komoditas, Minyak. Mengapa?
Karena Amerika melihat dengan jelas, Anda boleh tidak menyukai Dolar, tetapi Anda tidak dapat menolak Minyak. Karena, untuk membangun dan berkembang semua negara memerlukan minyak. Dalam hal ini, jika Anda membutuhkan minyak, Anda memerlukan Dolar. Ini adalah langkah yang sangat cerdas oleh Pemerintah Amerika. Dolar AS dipatok dengan minyak pada tahun 1973. Setelah dolar dipisahkan dari emas ditahun 1971, Dolar memulai perjalanan baru sebagai Alat Hegemoni Amerika Serikat memonopoli Ekonomi Dunia.
Pada saat itu, Hanya sedikit orang di dunia yang bisa melihat jelas cara Amerika ini, termasuk para Pakar Ekonomi dan Keuangan. Mereka tidak mengetahui peristiwa terpenting Di abad ke-20 sebenarnya, bukan Perang Dunia I, Perang Dunia II, ataupun Runtuhnya Uni Soviet pada awal tahun 90an. Peristiwa paling penting di abad 20 adalah Decoupling logam Emas dengan Dolar pada tanggal 15 Agustus 1971.
Sejak itu, seluruh umat manusia di dunia baru benar-benar melihat munculnya kekaisaran keuangan atau Financial Empire AS. Financial Empire ini telah mengintegrasikan seluruh umat manusia ke dalam Monopoli Sistem Keuangannya.
Hari ini Hegemoni Dolar telah berlangsung lebih dari 40 tahun. Kita semua telah memasuki Era Uang kertas nyata. Tidak ada lagi logam mulia di belakang dolar AS. Semuanya hanya didukung oleh kredit pemerintah AS dan kepercayaan Dunia terhadapnya. Dan tentu saja, AS mendapat keuntungan terbesar oleh karenanya.
Sederhananya, Amerika dapat memperoleh kekayaan fisik apapun dari seluruh dunia hanya dengan mencetak selembar kertas hijau. Tidak pernah ada hal seperti itu dalam sejarah manusia.
“Jika Anda ingin memperoleh hasil yang baik, Anda harus mempertimbangkan semua aspek. Jika Anda ingin memperoleh hasil terbaik dari suatu hal yang spesifik, Anda harus dapat melihat situasi secara menyeluruh.”
Asal Mula Hegemoni Dolar
Pada bulan Juli 1944, AS mengambil alih Hegemoni Mata Uang dari tangan Kerajaan Inggris. Presiden Roosevelt segera membentuk tiga sistem dunia, seperti sistem politik Dunia yatu lahirnya PBB, Sistem perdagangan Dunia WTO, dan sistem moneter keuangan, yaitu terbentuknya sistem Perjanjian Bretton Woods.Sistem Bretton Woods, adalah Asal Mula Hegemoni Dolar yang ditetapkan sesuai keinginan Amerika. Tetapi, setelah penerapan lebih dari 27 tahun dari tahun 1944-1971 belum benar-benar mengkukuhkan kedudukan Hegemoni Dolar Amerika.
Apa yang menghalangi Hegemoni Dolar saat itu?
Jawabannya “Emas.”
Pada awal berdirinya sistem Bretton Woods, Pemerintah Amerika berjanji dan membuat komitmen kepada dunia, yakni mata uang seluruh negara terkunci dengan Dolar AS. Dolar AS sendiri akan diikatkan dengan logam “Emas.”
Bagaimana cara menguncinya?
“Menukarkan satu ons emas untuk setiap $35.”
Dengan komitmen dolar AS kepada dunia, pemerintah Amerika tidak boleh mencetak uang sesuka hatinya. Sederhananya, setiap 35 dolar AS dapat ditukar dengan 1 ons emas. Setiap kelebihan 35 dolar AS yang dicetak, Amerika harus membayar dan menyimpan 1 ons emas dalam lemari besi.
Mengapa Amerika Serikat memiliki kepercayaan diri membuat komitmen kepada dunia?
Karena Mereka memiliki lebih dari 80% cadangan emas Dunia pada waktu itu. Amerika percaya bahwa dengan banyaknya emas di tangan, tidak ada masalah untuk mendukung kredit dolar AS. Namun, harapan selalu lebih indah dari kenyataan. Situasi sebenarnya tidak sesederhana yang dipikirkan orang Amerika. Setelah Perang Dunia II, kesalahan terbesar yang dibuat Amerika Serikat adalah melibatkan diri dalam Perang Korea dan Perang Vietnam. Kedua perang ini merupakan Trauma terbesar bagi Gedung Putih yang belum hilang sampai saat ini.
Selama Perang Vietnam, Amerika Serikat telah menghabiskan pengeluaran militer sebesar US$800 Miliar. Ketika biaya perang semakin besar, membuat Amerika Serikat semakin kewalahan.
Karena sesuai dengan janji Amerika Serikat, setiap konsumsi $35 berarti AS harus membayar satu ons emas.
Sampai Bulan Agustus 1971, emas yang tersisa di tangan Amerika sekitar 8.800 ton. Untuk mempertahankan Kredit Dolar sebagai Mata Uang dunia semakin tidak memungkinkan. Karena, AS telah terbiasa mencampuri urusan dalam negeri orang lain, sehingga selalu terlibat dalam peperangan. Hingga Suatu saat, Presiden Prancis Charles de Gaulle yang memiliki tinggi badan 196cm itu tidak percaya dengan Dolar Amerika lagi. Presiden Charles, memerintahkan semua cadangan Dolar Perancis sebanyak 23 Miliar harus diserahkan ke Amerika dan diganti kembali dengan emas.
Serangan Prancis terhadap Amerika memiliki efek pencontohan bagi negara-negara lain. Semakin banyak negara lain berikutan menuntut pengembalian emas mereka. Pada akhirnya, membuat Amerika sakit kepala tanpa ada pilihan lain.
Akhirnya, pada tanggal 15 agustus 1971 Presiden AS Richard Nixon mengumumkan penutupan jendela emas. Dolar secara resmi decoupling dengan emas. Ini adalah awal Runtuhnya sistem Bretton Woods. Suatu Tindakan pengkhianatan pemerintah Amerika terhadap kepercayaan dunia.
Sebenarnya, banyak orang di dunia masih belum sepenuhnya memahami situasi saat itu. Masyarakat Dunia percaya terhadap dolar AS dikarenakan pengikatan Logam emas di belakang dolar AS. Dolar AS menjadi mata uang internasional, mata uang penyelesaian segala perdagangan dunia, atau mata uang cadangan lebih dari 20 tahun. Sehingga, Orang-orang sudah terbiasa menggunakan dolar AS. Sekarang, Dolar tidak lagi mengikat emas sebagai jaminan di belakangnya. Secara teori, Uang kertas Dolar telah menjadi kertas hijau biasa, tidak ada bedanya dengan kertas biasa. Apakah, kita masih akan menggunakannya?
Jika kita tidak menggunakannya, lalu apa yang bisa digunakan untuk mengukur nilai barang dalam penyelesaian perdagangan internasional?
Dapatkah kita mempercayai mata uang lain, selain Dolar AS?
Jika tidak, kita hanya dapat terus menggunakan dolar AS sebagai media pertukaran antara Negara. Oleh karena itu, Amerika menggunakan kelembaman dan ketidakberdayaan dunia. Dengan persenjataan Militernya yang kuat, Amerika memaksa Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menerima tuntutan Amerika pada Oktober 1973. Yaitu, semua Transaksi minyak global harus diselesaikan dalam Mata Uang Dolar AS.
Sebelumnya, transaksi minyak global dapat diselesaikan dengan berbagai mata uang internasional pada saat itu. Tetapi, setelah Oktober 1973, semuanya berubah. OPEC mengumumkan semua negara harus menggunakan Dolar AS dalam setiap transaksi minyak global.
Setelah memisahkan Dolar dengan logam Emas, sebaliknya Dolar akan diikatkan dengan dengan Produk komoditas, Minyak. Mengapa?
Karena Amerika melihat dengan jelas, Anda boleh tidak menyukai Dolar, tetapi Anda tidak dapat menolak Minyak. Karena, untuk membangun dan berkembang semua negara memerlukan minyak. Dalam hal ini, jika Anda membutuhkan minyak, Anda memerlukan Dolar. Ini adalah langkah yang sangat cerdas oleh Pemerintah Amerika. Dolar AS dipatok dengan minyak pada tahun 1973. Setelah dolar dipisahkan dari emas ditahun 1971, Dolar memulai perjalanan baru sebagai Alat Hegemoni Amerika Serikat memonopoli Ekonomi Dunia.
Pada saat itu, Hanya sedikit orang di dunia yang bisa melihat jelas cara Amerika ini, termasuk para Pakar Ekonomi dan Keuangan. Mereka tidak mengetahui peristiwa terpenting Di abad ke-20 sebenarnya, bukan Perang Dunia I, Perang Dunia II, ataupun Runtuhnya Uni Soviet pada awal tahun 90an. Peristiwa paling penting di abad 20 adalah Decoupling logam Emas dengan Dolar pada tanggal 15 Agustus 1971.
Sejak itu, seluruh umat manusia di dunia baru benar-benar melihat munculnya kekaisaran keuangan atau Financial Empire AS. Financial Empire ini telah mengintegrasikan seluruh umat manusia ke dalam Monopoli Sistem Keuangannya.
Hari ini Hegemoni Dolar telah berlangsung lebih dari 40 tahun. Kita semua telah memasuki Era Uang kertas nyata. Tidak ada lagi logam mulia di belakang dolar AS. Semuanya hanya didukung oleh kredit pemerintah AS dan kepercayaan Dunia terhadapnya. Dan tentu saja, AS mendapat keuntungan terbesar oleh karenanya.
Sederhananya, Amerika dapat memperoleh kekayaan fisik apapun dari seluruh dunia hanya dengan mencetak selembar kertas hijau. Tidak pernah ada hal seperti itu dalam sejarah manusia.
Seperti kita ketahui, untuk mendapatkan kekayaan baik dari dalam
maupun luar negeri, kita perlu menggunakan emas, perak atau Mata Uang
untuk saling menukar. Ataupun, melalui cara peperangan seperti yang
dipraktikkan Imperialis Barat untuk memperoleh sumber daya alam negara
lain.
Ketika Dolar AS tidak lagi diikatkan dengan logam emas, dan berubah
menjadi selembar kertas hijau, biaya Produksi AS dapat dikatakan paling
rendah di dunia. Emas tidak lagi menyeret dan menjadi halangan bagi
Dolar. Amerika Serikat dapat mencetak Dolar sesuka hati.
Sebagai akibatnya, jika terlalu banyak Dolar dicetak dan hanya bersikulasi di Amerika Serikat, akan membawa dampak inflasi dalam Negeri Amerika. Sehingga, mereka harus mengekspor Dolar. Akibatnya, Dunia akan menanggung inflasi dari Amerika Serikat. Itulah sebabnya, mengapa tingkat inflasi Dolar tidak pernah tinggi.
Dengan kata lain, ketika AS mengekspor Dolar ke dunia, inflasi akan melemah di AS. Tetapi setelah Dolar AS diekspor ke dunia, menyebabkan orang Amerika sendiri akan kekurangan uang. Pada saat itu, jika The Fed terus mencetak mata uang, Dolar AS akan terus terdepresiasi.
Sehingga, tentu saja tidak menguntungkan Amerika sendiri. Karena itu, The Fed bukanlah bank sentral yang menyalahgunakan pencetakan uang semaunya seperti yang dipikirkan kebanyakan orang.
The Fed sebenarnya tahu persis apa itu pengekangan diri. Dari munculnya The Fed pada tahun 1913 hingga 100 tahun kemudian di tahun 2013, tahukah Anda berapa Dolar yang telah di cetak The Fed?
Jawabannya, “10 Triliun Dolar.”
Untuk menghindari penyalahgunaan hak mencetak uang sesuka hati, dalam mengatasi kekurangan uang setelah Dolar di ekspor keluar negeri, The Fed menerbitkan obligasi negara. Dengan cara ini, The Fed dapat menarik kembali Dolar yang diekspor.
The Fed mulai memainkan permainan mencetak uang dengan satu tangan, dan meminjam uang dengan tangan lainnya. Dengan Mencetak uang, mereka dapat menghasilkan uang. Meminjam uang dengan menerbitkan obligasi juga dapat menghasilkan uang.
The Fed mendapatkan keuntungan dengan sangat mudah lewat cara Finansial, dibanding cara ekonomi riil. Karena tidak ada yang bersedia bekerja keras di Industri manufaktur yang terkadang disertai dengan polusi tinggi dan merusak kesehatan, tetapi dengan nilai perolehan yang sangat rendah?
Sejak 15 Agustus 1971 kemudian, Amerika secara perlahan meninggalkan industri ekonomi riil, memasuki ekonomi virtual. Secara bertahap berubah menjadi cekungan negara.
Sebagai akibatnya, jika terlalu banyak Dolar dicetak dan hanya bersikulasi di Amerika Serikat, akan membawa dampak inflasi dalam Negeri Amerika. Sehingga, mereka harus mengekspor Dolar. Akibatnya, Dunia akan menanggung inflasi dari Amerika Serikat. Itulah sebabnya, mengapa tingkat inflasi Dolar tidak pernah tinggi.
Dengan kata lain, ketika AS mengekspor Dolar ke dunia, inflasi akan melemah di AS. Tetapi setelah Dolar AS diekspor ke dunia, menyebabkan orang Amerika sendiri akan kekurangan uang. Pada saat itu, jika The Fed terus mencetak mata uang, Dolar AS akan terus terdepresiasi.
Sehingga, tentu saja tidak menguntungkan Amerika sendiri. Karena itu, The Fed bukanlah bank sentral yang menyalahgunakan pencetakan uang semaunya seperti yang dipikirkan kebanyakan orang.
The Fed sebenarnya tahu persis apa itu pengekangan diri. Dari munculnya The Fed pada tahun 1913 hingga 100 tahun kemudian di tahun 2013, tahukah Anda berapa Dolar yang telah di cetak The Fed?
Jawabannya, “10 Triliun Dolar.”
Untuk menghindari penyalahgunaan hak mencetak uang sesuka hati, dalam mengatasi kekurangan uang setelah Dolar di ekspor keluar negeri, The Fed menerbitkan obligasi negara. Dengan cara ini, The Fed dapat menarik kembali Dolar yang diekspor.
The Fed mulai memainkan permainan mencetak uang dengan satu tangan, dan meminjam uang dengan tangan lainnya. Dengan Mencetak uang, mereka dapat menghasilkan uang. Meminjam uang dengan menerbitkan obligasi juga dapat menghasilkan uang.
The Fed mendapatkan keuntungan dengan sangat mudah lewat cara Finansial, dibanding cara ekonomi riil. Karena tidak ada yang bersedia bekerja keras di Industri manufaktur yang terkadang disertai dengan polusi tinggi dan merusak kesehatan, tetapi dengan nilai perolehan yang sangat rendah?
Sejak 15 Agustus 1971 kemudian, Amerika secara perlahan meninggalkan industri ekonomi riil, memasuki ekonomi virtual. Secara bertahap berubah menjadi cekungan negara.
Saat ini, PDB AS telah mencapai 20 Triliun Dolar. Kontribusi Ekonomi
riil terhadap PDB-nya belum sampai 5 Triliun. Sebagian besar didominasi
oleh ekonomi virtual.
Banyak orang berpikir bahwa setelah kejatuhan Kerajaan Inggris, sejarah penjajahan Dunia pada dasarnya berakhir.
Sebaliknya, AS dengan menggunakan Dolar memulai ekspansi kolonial implisit. Menggunakan Dolar secara diam-diam mengendalikan ekonomi Dunia, menjadikan semua negara di dunia ke dalam Koloni keuangannya.
Sebaliknya, AS dengan menggunakan Dolar memulai ekspansi kolonial implisit. Menggunakan Dolar secara diam-diam mengendalikan ekonomi Dunia, menjadikan semua negara di dunia ke dalam Koloni keuangannya.
Just like grandma says, setelah memahami asal mula hegemoni Dolar, walaupun Hari ini kita melihat banyak negara berdaulat dan merdeka, termasuk Indonesia. Kita dapat memiliki kedaulatan, konstitusi, dan pemerintah sendiri. Tetapi kita tidak dapat melepaskan diri dari Imperialis Hegemoni Dolar AS.Sumber Berita : https://artificialintelligenceindonesia.com/asal-mula-hegemoni-dolar/
Semua kekayaan kita atau Negara kita pada akhirnya, akan dinyatakan dalam Dolar AS dengan berbagai cara. Melalui pertukaran Dolar, semua Kekayaan fisik kita terus menerus dihisap ke Amerika Serikat.
Akhir Hegemoni Dolar Amerika
Akhir Hegemoni Dolar Amerika telah dimulai. Hal ini mulai terlihat
dalam beberapa tahun terakhir. Kemarin Ricky pas membaca sebuah artikel
situs China US focus khusus membicarakan masalah ini. Ricky merasa ada
beberapa titik menarik yang pantas dibagikan dengan teman-teman.
Menurut kebanyakan orang, Basis Utama hegemoni Amerika didasarkan pada kekuatan militernya. Namun kenyataannya, sumber nyata kekuatan Amerika didasarkan pada mata uangnya. Dolar AS. Dengan hegemoni dolar, Amerika Serikat dapat meminjam uang tanpa batas dari seluruh dunia. Sebaliknya, Akhir dominasi dolar akan memotong sumber kredit AS. Dalam hal ini pengeluaran Departemen pertahanan AS dan biaya program pemerintah utama lainnya akan ditanggung sepenuhnya oleh pemilih Amerika. Rakyat AS sendiri. Ini akan menyebabkan perubahan besar dalam prioritas budget pemerintahnya nanti.
Pertama, mengharuskan negara-negara lain untuk menggunakan dolar AS sebagai mata uang solusi perdagangan.
Kedua, mengendalikan aturan akses untuk sistem pembayaran global. Ketiga, status primer dolar AS sebagai mata uang cadangan global.
Keempat, dan mungkin poin terpenting adalah sifat dolar AS sebagai mata uang fiat.
Tapi semua ini mulai tergoyang. Dunia terus berputar dan berubah dengan cepat. Penurunan Hegemoni Dolar AS mungkin tidak perlu waktu puluhan tahun. Banyak pakar berspekulasi proses ini mungkin hanya butuh beberapa tahun. Perkembangan terakhir menunjukkan pengaruh dolar AS cenderung menurun.
Amerika Serikat telah memaksa negara-negara didunia untuk menggunakan dolar sebagai penentu harga barang dan jasa. Menciptakan permintaan besar untuk mata uangnya. AS mengharuskan pembeli di dunia dengan berbagai cara untuk mendapatkan dolar. Untuk membayar produk yang ingin mereka beli. Karena fungsi dolar AS sebagai mata uang fiat Dunia, Amerika Serikat dapat mencetak Dolar semaunya sambil berbaring. Dengan tangan kosong. Tanpa memberikan jaminan apa pun yang berharga sebagai pengganti dolar baru.
Pada tahun 1970-an, hegemoni Dolar diperkuat karena Arab Saudi setuju untuk menggunakan dolar AS sebagai penentu harga minyak. Sebagai imbalannya, kedua belah pihak sepakat untuk memberikan perlindungan militer dan pembelian obligasi pemerintah AS. Namun, pada awal bulan Maret tahun 2018 situasi mulai berubah. Bursa berjangka minyak Renminbi (Yuan China) didirikan di Shanghai. Telah membentuk persaingan yang kuat untuk sistem penyelesaian Dolar minyak. China telah menjadi importir minyak terbesar di dunia saat ini. China memiliki banyak alasan dan dukungan untuk menolak penggunaan Dolar. Baik Ekonomi maupun militer. Apalagi Dengan perkembangan hubungan China-Rusia yang semakin dekat. Perdagangan minyak antara China dan Rusia (pengekspor minyak kedua terbesar Dunia) dengan mata uang RMB. Momentum RMB sebagai ukuran nilai global telah dikonsolidasikan.
Layanan Informasi Keuangan dari Asosiasi Telekomunikasi Keuangan Antar Bank Global (SWIFT) adalah sarana utama transfer antar negara. SWIFT berkantor pusat di Belgia. Asosiasi keanggotaan ini menghubungkan lebih dari 11.000 bank. Lembaga keuangan. Dan perusahaan lebih dari 200 negara dan wilayah di seluruh dunia. Pusat dari sistem keuangan global.
Karena itu, jika hubungan antara bank suatu negara dan SWIFT terputus, maka tidak akan dapat melakukan pengiriman lintas batas. Meskipun SWIFT terlihat seperti lembaga multilateral yang independen, penampilannya sering membingungkan. Buktinya, AS dapat mengancam SWIFT dengan memaksanya untuk memutuskan hubungan dengan lembaga-lembaga yang bertentangan dengan kehendak pemerintah AS (baca: Yurisdiksi lengan panjang AS). Yang merupakan alat utama untuk mempertahankan hegemoni dolarnya. Akan tetapi, pada 28 Juni yang lalu, Prancis, Jerman dan Inggris mengumumkan sistem pembayaran lain yang disebut “Instex” sudah mulai beroperasi. Sistem impas ini memungkinkan perusahaan-perusahaan Eropa untuk berdagang dengan Iran tanpa menggunakan SWIFT. Mengingat semakin banyak negara seperti China, Rusia, Iran, Venezuela dan lainnya yang sering diancam oleh provokasi ekonomi Amerika Serikat, sehingga sistem pembayaran Instex pasti akan disambut baik.
Sigal Mandelker, Wakil Menteri Keuangan AS untuk Terorisme dan Kecerdasan Finansial, seperti biasanya memperingatkan Presiden Instex Per Fischer: “Saya minta Anda harus serius mempertimbangkan sanksi apa yang mungkin dihadapi Instex. Terlibat dalam pelanggaran sanksi AS dapat menyebabkan konsekuensi serius. Seperti ditendang keluar dari sistem keuangan AS. Namun, negara-negara Uni Eropa memilih untuk mengeluarkan pernyataan pada tanggal 28 Juni, mengindikasikan bahwa ada aliansi nasional yang cukup kuat untuk melawan atau menghentikan ancaman AS terhadap Instex. Selain itu, para pendukungnya mungkin percaya bahwa serangan balasan AS hanya akan memacu negara lain untuk mengadopsi alternatif pengganti SWIFT lebih cepat.
Dua fase Dolar AS:
Dari mata uang cadangan global ke mata uang fiat
Bila kita melihat kembali ke sejarah, Sebelum 13 Agustus 1971, harga dolar AS selalu dikaitkan dengan emas. Tetapi pada hari yang menentukan, Presiden Richard Nixon mengumumkan bahwa dolar AS harus dipisahkan dari emas atau aset cadangan lainnya. Dolar AS mulai dikonversi menjadi uang fiat (mata uang tanpa nilai intrinsik).
Untuk mempertahankan permintaan dunia terhadap dolar, Amerika Serikat juga membuat kesepakatan pada tahun 1970-an. Tidak peduli siapapun atau di manapun pembeli berada, ekspor minyak Arab Saudi harus dan hanya akan menerima dolar.
Karena minyak adalah komoditas paling bernilai di dunia, tindakan ini memastikan bahwa negara-negara di seluruh dunia membutuhkan akses ke dolar AS untuk membayar transaksi minyak. Hasilnya, AS dapat Melakukan lindung nilai atas perubahan harga minyak dan mengelola nilai mata uang mereka.
Hal-hal ini telah menjadikan Amerika Serikat sebagai unit akun global. Ditambah dengan kemampuan mencetak uang, keduanya mendukung konsumsi AS semaunya tanpa batas. Dan akhirnya, mengkonsolidasikan hegemoni AS. Shanghai Petroleum Futures Exchange didirikan pada tahun 2018. Futures Exchange ini tidak hanya menggunakan Renminbi untuk penentuan harga, tetapi juga menukar Renminbi dengan emas. Mata uang yang didukung oleh komoditas fisik berharga mungkin lebih menarik daripada mata uang tanpa nilai intrinsik. Itulah sebabnya tidak mengherankan, volume perdagangan berjangka China ini meningkat pesat sejak pendiriannya setahun yang lalu.
Selain itu, semakin banyak bank sentral di dunia meningkatkan kepemilikan emas mereka daripada dolar AS. Sehingga, semakin mengurangi pentingnya dolar AS sebagai mata uang cadangan global. Akhir Hegemoni Dolar Amerika telah dimulai. The clock is ticking now.
Baik Iran (pengekspor minyak ketiga terbesar dunia) atau Rusia yang selalu dianggap Amerika Serikat sebagai musuh utama, atau sekutunya yang dangkal seperti Prancis, Jerman, dan Inggris, mereka semua mempunyai alasan mendesak untuk menghilangkan hegemoni dolar.
Menurut kebanyakan orang, Basis Utama hegemoni Amerika didasarkan pada kekuatan militernya. Namun kenyataannya, sumber nyata kekuatan Amerika didasarkan pada mata uangnya. Dolar AS. Dengan hegemoni dolar, Amerika Serikat dapat meminjam uang tanpa batas dari seluruh dunia. Sebaliknya, Akhir dominasi dolar akan memotong sumber kredit AS. Dalam hal ini pengeluaran Departemen pertahanan AS dan biaya program pemerintah utama lainnya akan ditanggung sepenuhnya oleh pemilih Amerika. Rakyat AS sendiri. Ini akan menyebabkan perubahan besar dalam prioritas budget pemerintahnya nanti.
Akhir Hegemoni Dolar Amerika
Posisi hegemoni dolar AS memiliki empat keunggulan yang saling terkait.Pertama, mengharuskan negara-negara lain untuk menggunakan dolar AS sebagai mata uang solusi perdagangan.
Kedua, mengendalikan aturan akses untuk sistem pembayaran global. Ketiga, status primer dolar AS sebagai mata uang cadangan global.
Keempat, dan mungkin poin terpenting adalah sifat dolar AS sebagai mata uang fiat.
Tapi semua ini mulai tergoyang. Dunia terus berputar dan berubah dengan cepat. Penurunan Hegemoni Dolar AS mungkin tidak perlu waktu puluhan tahun. Banyak pakar berspekulasi proses ini mungkin hanya butuh beberapa tahun. Perkembangan terakhir menunjukkan pengaruh dolar AS cenderung menurun.
Amerika Serikat telah memaksa negara-negara didunia untuk menggunakan dolar sebagai penentu harga barang dan jasa. Menciptakan permintaan besar untuk mata uangnya. AS mengharuskan pembeli di dunia dengan berbagai cara untuk mendapatkan dolar. Untuk membayar produk yang ingin mereka beli. Karena fungsi dolar AS sebagai mata uang fiat Dunia, Amerika Serikat dapat mencetak Dolar semaunya sambil berbaring. Dengan tangan kosong. Tanpa memberikan jaminan apa pun yang berharga sebagai pengganti dolar baru.
Pada tahun 1970-an, hegemoni Dolar diperkuat karena Arab Saudi setuju untuk menggunakan dolar AS sebagai penentu harga minyak. Sebagai imbalannya, kedua belah pihak sepakat untuk memberikan perlindungan militer dan pembelian obligasi pemerintah AS. Namun, pada awal bulan Maret tahun 2018 situasi mulai berubah. Bursa berjangka minyak Renminbi (Yuan China) didirikan di Shanghai. Telah membentuk persaingan yang kuat untuk sistem penyelesaian Dolar minyak. China telah menjadi importir minyak terbesar di dunia saat ini. China memiliki banyak alasan dan dukungan untuk menolak penggunaan Dolar. Baik Ekonomi maupun militer. Apalagi Dengan perkembangan hubungan China-Rusia yang semakin dekat. Perdagangan minyak antara China dan Rusia (pengekspor minyak kedua terbesar Dunia) dengan mata uang RMB. Momentum RMB sebagai ukuran nilai global telah dikonsolidasikan.
Layanan Informasi Keuangan dari Asosiasi Telekomunikasi Keuangan Antar Bank Global (SWIFT) adalah sarana utama transfer antar negara. SWIFT berkantor pusat di Belgia. Asosiasi keanggotaan ini menghubungkan lebih dari 11.000 bank. Lembaga keuangan. Dan perusahaan lebih dari 200 negara dan wilayah di seluruh dunia. Pusat dari sistem keuangan global.
Karena itu, jika hubungan antara bank suatu negara dan SWIFT terputus, maka tidak akan dapat melakukan pengiriman lintas batas. Meskipun SWIFT terlihat seperti lembaga multilateral yang independen, penampilannya sering membingungkan. Buktinya, AS dapat mengancam SWIFT dengan memaksanya untuk memutuskan hubungan dengan lembaga-lembaga yang bertentangan dengan kehendak pemerintah AS (baca: Yurisdiksi lengan panjang AS). Yang merupakan alat utama untuk mempertahankan hegemoni dolarnya. Akan tetapi, pada 28 Juni yang lalu, Prancis, Jerman dan Inggris mengumumkan sistem pembayaran lain yang disebut “Instex” sudah mulai beroperasi. Sistem impas ini memungkinkan perusahaan-perusahaan Eropa untuk berdagang dengan Iran tanpa menggunakan SWIFT. Mengingat semakin banyak negara seperti China, Rusia, Iran, Venezuela dan lainnya yang sering diancam oleh provokasi ekonomi Amerika Serikat, sehingga sistem pembayaran Instex pasti akan disambut baik.
Sigal Mandelker, Wakil Menteri Keuangan AS untuk Terorisme dan Kecerdasan Finansial, seperti biasanya memperingatkan Presiden Instex Per Fischer: “Saya minta Anda harus serius mempertimbangkan sanksi apa yang mungkin dihadapi Instex. Terlibat dalam pelanggaran sanksi AS dapat menyebabkan konsekuensi serius. Seperti ditendang keluar dari sistem keuangan AS. Namun, negara-negara Uni Eropa memilih untuk mengeluarkan pernyataan pada tanggal 28 Juni, mengindikasikan bahwa ada aliansi nasional yang cukup kuat untuk melawan atau menghentikan ancaman AS terhadap Instex. Selain itu, para pendukungnya mungkin percaya bahwa serangan balasan AS hanya akan memacu negara lain untuk mengadopsi alternatif pengganti SWIFT lebih cepat.
Dua fase Dolar AS:
Dari mata uang cadangan global ke mata uang fiat
Bila kita melihat kembali ke sejarah, Sebelum 13 Agustus 1971, harga dolar AS selalu dikaitkan dengan emas. Tetapi pada hari yang menentukan, Presiden Richard Nixon mengumumkan bahwa dolar AS harus dipisahkan dari emas atau aset cadangan lainnya. Dolar AS mulai dikonversi menjadi uang fiat (mata uang tanpa nilai intrinsik).
Untuk mempertahankan permintaan dunia terhadap dolar, Amerika Serikat juga membuat kesepakatan pada tahun 1970-an. Tidak peduli siapapun atau di manapun pembeli berada, ekspor minyak Arab Saudi harus dan hanya akan menerima dolar.
Karena minyak adalah komoditas paling bernilai di dunia, tindakan ini memastikan bahwa negara-negara di seluruh dunia membutuhkan akses ke dolar AS untuk membayar transaksi minyak. Hasilnya, AS dapat Melakukan lindung nilai atas perubahan harga minyak dan mengelola nilai mata uang mereka.
Hal-hal ini telah menjadikan Amerika Serikat sebagai unit akun global. Ditambah dengan kemampuan mencetak uang, keduanya mendukung konsumsi AS semaunya tanpa batas. Dan akhirnya, mengkonsolidasikan hegemoni AS. Shanghai Petroleum Futures Exchange didirikan pada tahun 2018. Futures Exchange ini tidak hanya menggunakan Renminbi untuk penentuan harga, tetapi juga menukar Renminbi dengan emas. Mata uang yang didukung oleh komoditas fisik berharga mungkin lebih menarik daripada mata uang tanpa nilai intrinsik. Itulah sebabnya tidak mengherankan, volume perdagangan berjangka China ini meningkat pesat sejak pendiriannya setahun yang lalu.
Selain itu, semakin banyak bank sentral di dunia meningkatkan kepemilikan emas mereka daripada dolar AS. Sehingga, semakin mengurangi pentingnya dolar AS sebagai mata uang cadangan global. Akhir Hegemoni Dolar Amerika telah dimulai. The clock is ticking now.
Baik Iran (pengekspor minyak ketiga terbesar dunia) atau Rusia yang selalu dianggap Amerika Serikat sebagai musuh utama, atau sekutunya yang dangkal seperti Prancis, Jerman, dan Inggris, mereka semua mempunyai alasan mendesak untuk menghilangkan hegemoni dolar.
Just like grandma says, Meskipun dolar mungkin tampaknya sempurna, namun sebaliknya, mungkin jauh lebih rentan daripada yang diketahui banyak orang. Laporan dari media bisnis Barat hanya akan memperkuat kesalahpahaman ini. Karena mereka yang melaporkan hegemoni Dolar AS tampaknya kurang memiliki pemahaman yang cukup tentang prinsip-prinsip akuntansi dan ekonomi dasar yang mendukung hegemoni dolar.Hal-hal ini mungkin menunjukkan Akhir Hegemoni Dolar Amerika telah dimulai. Apalagi percepatan kemajuan teknologi, sosial dan politik memungkinkan Dolar AS berakhir lebih cepat dari harapan dunia.Sumber Berita : https://artificialintelligenceindonesia.com/akhir-hegemoni-dolar-amerika/
Re-post by MigoBerita / Sabtu/13062020/10.54Wita/Bjm
1 komentar:
suka sekali baca berita disni
berat excavator pc 200