Migo Berita - Banjarmasin - Bulan Maulid & "Noda" Kartun Nabi Muhammad di Perancis. Kita tahu bersama, sekarang di bulan Oktober tahun 2020 ini kita tengah masuk dalam Bulan Maulid (Rabiul Awwal) / Bulan Kelahiran Nabi Muhammad SAWW. Akan tetapi, ditengah pro dan kontra Acara peringatan Maulid Nabi Muhammad tersebut, ada semacam "Pesan Terselubung" dari Negara Perancis yang selalu di demo warganya karena menganggap pemerintah Perancis tidak berhasil dalam menghadapi pandemi Covid 19 dan terjadinya pengangguran besar di negara tersebut. Apakah ini semacam pengalihan isu atas "ketidakberhasilan" Pemerintah Perancis yang dianggap negara maju saat ini dalam mensejahterakan masyarakatnya sehingga sentimen "Anti Islam" digaungkan kembali agar terlihat "membela" warga negaranya. Dan nanti mereka (Pemerintah Perancis) menginginkan warganya akan lebih focus kepada keberadaan "warga Islam" yang ada di Perancis dengan Isu Terorisme. Allahu'allam, semoga saja semua warga dunia tidak hanya di Perancis tapi diseluruh dunia bisa lebih bijak dalam menghadapi masalah "Penistaan" kepada Nabi Muhammad Saww ini. Sehingga tetap focus untuk memperjuangkan kemajuan dan kesejahteraan warga negara terhadap bangsa / negaranya masing-masing, tanpa ada indikasi mengkhianati bangsanya sendiri, sehingga Warga Negara disuatu Negara bahkan antar negara bisa hidup berdampingan dengan Damai dan saling tolong-menolong tanpa ada permusuhan. SEMOGA. Nah..untuk berbagai artikel tentang "Kontroversi" seputar lukisan/potret/foto/kartun Nabi Muhammad , silahkan pembaca Migo Berita untuk membaca artikel yang telah kami kumpulkan hingga tuntas, agar tidak gagal paham.
Usai Pemenggalan Guru, Wali Kota Prancis Diancam Akan Dipenggal
Paris -Seorang Wali Kota di wilayah Prancis menerima sejumlah ancaman yang menyatakan kepalanya akan dipenggal. Ancaman itu diterima sekitar sepekan setelah seorang guru sejarah bernama Samuel Paty tewas dipenggal oleh seorang pemuda 18 tahun.
Seperti dilansir Reuters, Sabtu (24/10/2020), Wali Kota Bron, Jeremie Breaud, menuturkan bahwa beberapa ancaman disampaikan dalam bentuk coretan grafiti. Via Twitter, dia memposting foto yang menunjukkan grafiti di sebuah tembok di kota Bron yang berbunyi: "Jeremy Breaud, kami akan memenggal kepala Anda."
"Ancaman-ancaman ini harus ditangani secara serius," ucap Breaud kepada media lokal, BFM TV.
Tidak diketahui secara jelas motif di balik ancaman tersebut. Pihak kepolisian setempat tengah menyelidiki ancaman tersebut dan mencari tahu dalangnya.
Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin, menyatakan dukungan untuk Breaud via Twitter. Dia juga menyatakan sang Wali Kota akan mendapatkan perlindungan kepolisian. Breaud menambahkan bahwa dirinya telah menerima tawaran perlindungan polisi.
Ancaman terhadap Breaud ini diterima setelah pada 16 Oktober lalu, seorang guru bernama Samuel Paty tewas dipenggal di luar sekolah tempatnya mengajar di pinggiran Prancis. Pelaku pemenggalan yang merupakan seorang pemuda keturunan Chechnya, tewas ditembak polisi usai beraksi
Disebutkan otoritas Prancis bahwa pelaku menyerang Paty setelah dia menggunakan karikatur Nabi Muhammad saat membahas soal kebebasan berekspresi dalam salah satu kelasnya.
(nvc/rdp)
Sumber Utama :https://news.detik.com/internasional/d-5226922/usai-pemenggalan-guru-wali-kota-prancis-diancam-akan-dipenggal?tag_from=wp_nhl_29
Kala Majid Majidi, Sineas Iran, Menafsirkan Nabi Muhammad
Sepenting apa film Muhammad the Messenger of God (2015) ini, dan mengapa film ini kurang disambut secara komersail, bahkan tak masuk seleksi unggulan Film Asing Terbaik Academy Awards?
Kisahnya bermula dari semangat dakwah di industri film global dan melawan Islamofobia di Barat, khususnya sesudah kasus kartun Denmark—yang membuat Majidi menarik film Willow Tree (2005) dari festival film di Denmark sebagai aksi protes. Majidi, yang filmnya Children of Heaven masuk nominasi Film Asing Terbaik Academy Awards, ingin menggarisbawahi bahwa Nabi Muhammad adalah sosok yang welas asih, bahkan jauh sebelum Ia menikah pada usia 25 tahun dan diangkat menjadi Nabi pada umur 40 tahun.
Untuk tujuan itulah Majidi membentuk tim impian kelas dunia: Vittorio Storaro (Sinematografer peraih Oscar untuk Apocalypse Now, 1979; Reds, 1981; dan The Last Emperor, 1987) dan musisi andal AR Rahman (peraih Oscar, Grammy Awards, dan Golden Globe untuk film Slumdog Millionaire, 2009).
Republik Islam Iran pun mendukung penuh ide Majidi. Ia pun mulai menyiapkan produksi film ini sejak 2007 dan selesai menulis naskahnya—bersama Kambuzia Partovi—dua tahun kemudian. Pada 2011, Shahrak Sinamai Nour, sebuah daerah di antara jalan tol Teheran-Qum, disulap menjadi Mekkah (dan Madinah) tahun 570-an (sebagian kecil lain disyut di Afrika Selatan).
Pembangunan set yang dirancang semirip mungkin dengan situasi zaman Muhammad hidup ini tak lepas dari peran tim internasional, perancang produksi Miljen Kreka Kljakovic, serta perancang kostum Michael O’Connor dan Seyed Mohsen Shahebrahimi. Hasilnya, film ini menjadi film termahal dalam sejarah sinema Iran dalam 5 tahun terakhir, dengan ongkos produksi sekitar 50 juta dolar AS.
Untuk mendapatkan ide tentang masa lalu sang Nabi, dan menyamakan persepsi demi menghindari konflik, Majidi meminta masukan para ulama Syiah dan Sunni sebagai penasihat, dari Aljazair, Maroko, Lebanon, dan Irak. Pada tahap akhir, Majidi juga berkonsultasi dengan Ayatullah Ali Khamenei (pemimpin spiritual tertinggi Iran), Ali Al-Sistani, Ayatullah Wahid Khorasani, dan filsuf Iran Ayatullah Jawadi Amuli, serta kalangan Sunni seperti Hayrettin Karaman dari Turki.
Namun, tetap saja, fatwa yang melarang film ini bermunculan.
Dekan Fakultas Teologi Universitas Al-Azhar, Kairo, Abdulfatah Al-Awari, misalnya, melarang film ini karena dianggap "merendahkan" kesucian sang utusan tuhan. Mufti Agung Arab Saudi Abdul Aziz ib Abdullah Al-Shaykh mengutuk film ini karena terkesan "menghina" nabi dan dan "melemahkan peran penting" yang dimainkannya dalam Islam. Organisasi Liga Muslim Dunia, yang diwakili Abdullah bin Abdulmohsen Al-Turki, juga mengkritisi penggambaran fisik Nabi. Di India, Raza Academy juga mengeluarkan fatwa melarang film ini. Walhasil, film ini agak susah di pasaran, tetapi versi ilegalnya muncul di dunia maya sejak beberapa pekan lalu.
Jadi, kembali ke pertanyaan awal, bagaimana kisah seorang Nabi Besar, bukan rakyat biasa, hadir dalam semesta pikiran dan karya Majid Majidi?
Nabi Muhammad dalam film pertama dari trilogi ini dikisahkan dari baru lahir dan berakhir saat Ia berusia sekitar 13 tahun kala berdagang ke Syria dan bertemu Pendeta Bahira. Spesialisasi Majidi membuat film ini lihai mengemas kisah dan bahasa audio visual seorang Muhammad kecil. Karena ada larangan penggambaran Nabi, maka tiap adegan Muhammad kecil, wajah dan tubuhnya dibaluri cahaya yang menyilaukan mata, kecuali bagian kaki dan tangan.
Saat balita dan menjelang remaja, Nabi tak pernah diperlihatkan wajahnya, hanya dari belakang terlihat sosoknya yang berambut gondrong dan berbusana serba putih cemerlang. Untuk suara, ada sedikit dialog yang diucapkan, yang tak terdengar tapi digantikan dengan teks. Namun, khusus untuk suara, ada beberapa bagian yang bisa multitafsir, yaitu saat surat Al-Fil (Gajah) dilantunkan dan menjadi pengantar untuk kilas-balik ke era kelahiran. Apakah itu suara sang Nabi ataukah sang narator, Abu Thalib?
Sebagai sineas yang karya-karyanya kental dengan pendekatan neorealis, Majidi acap memunculkan karakter-karakter sederhana dari kalangan rakyat jelata. Tak terkecuali dalam film yang dinarasikan oleh karakter Abu Thalib ini. Selain menceritakan narasi besar, seperti serangan Pasukan Gajah dari Abrahah (Pasukan Gajah) Sang Penguasa Habasyah (Etiopia), Majidi juga mengisahkan narasi kecil dari manusia-manusia biasa di sekitarnya. Misalnya, kisah Halimatus Sa’diah dan suaminya Hamzah sang inang (wet nurse) asal Badui, dan Tsuwaibah (budak milik Abu Lahab yang dilarang menyusui bayi Muhammad).
Bahkan kisah Aminah, sang Bunda, diceritakan secara manusiawi yang merasakan kesengsaraan, misalnya saat ia kebingungan tak bisa memproduksi ASI dan tak boleh mendapatkan inang karena dilarang iparnya, Abu Lahab dan sang istri, Jamilah. Aminah juga harus terpisah dari anaknya untuk dibawa ke dusun Badui, menghindari ancaman kaum Yahudi pimpinan Samuel. Dan, saat ada serangan Pasukan Gajah, pada saat mengungsi dan panik, Aminah yang hamil tua tetap bertahan walau terlihat cemas, meski sudah diajak Fathimah binti Asad, istri Abu Thalib.
Penafsiran Sejarah Nabi
Sebagaimana misi utamanya mempromosikan Rasulullah yang welas asih, film berdurasi nyaris 3 jam ini pun menggambarkan Muhammad kecil sebagai sosok penuh kasih sayang, khususnya kepada para budak dan golongan tertindas.Ia dikisahkan mencegah seorang ayah yang hendak menguburkan hidup-hidup putrinya yang baru lahir—sebuah tradisi yang wajar saat itu. Muhammad kecil bahkan berdialog dengan Abu Lahab—paman dan orang yang paling memusuhinya—agar Tsuwaibah, budaknya yang sempat menyusuinya, untuk dibebaskan dan berjanji bahwa kelak ia akan membayar tebusannya.
Sifat mulia ini, sepertinya, diturunkan dari kakeknya, sang pemimpin Bani Hasyim dan Penjaga Kakbah yang, seperti direpresentasikan dalam film, tak hanya mengundang orang kaya dan kaum elite tapi memberi makan fakir-miskin untuk menyambut kelahiran sang cucu, walaupun hal ini melawan arus tradisi saat itu.
Majidi memang punya tafsiran yang agak berbeda dari arus utama seputar tokoh-tokoh utama di sekitar Nabi.
Pertama, bukan karena tradisi Arab saat itu yang mengirim bayi-bayi mereka ke dusun untuk disusui, tapi kondisi Aisyah yang tak punya ASI-lah yang menjadi alasan Muhammad harus mendapatkan ibu susu. Dengan begitu, Aminah terasa sangat manusiawi, ditambah ia terlihat berat hati melepas anaknya ke kampung halaman Halimah.
Kedua, Abdul Muthalib dan Abu Thalib digambarkan sebagai sosok yang hanif (lurus, masih menganut monoteisme), tak menyembah berhala, dan sangat saleh. Dalam upacara menamakan cucunya, ia lebih memilih memegang Hajar Aswad, bukan berhala. Bahkan sang Kakek mengajarinya bertawaf mengitari Kakbah sambil menegaskan niatnya lurus untuk tak menyembah berhala. Hal ini secara tak langsung menegasikan pendapat banyak kalangan yang menyatakan Abdul Muthalib (dan Abu Thalib) mati dalam keadaan kafir karena belum sempat bersyahadat.
Kisah lain yang baru saya tahu adalah kisah Tsuwaibah. Bagaimana Nabi mengobati sang ibu susu Halimah dan menyingkirkan dukun musyrik, yang menyebabkannya menjadi target penculikan. Juga soal panen di Yastrib dan Muhammad cilik yang sakit panas.
Saya juga baru ngeh bahwa Nabi sering menghabiskan waktunya di Yastrib, yang kelak menjadi pusat pemerintahan umat Islam era itu, demi menghindari kejaran Rahib Yahudi. Peristiwa lain yang saya baru tahu adalah tentang kunjungan ke sebuah desa nelayan penyembah berhala. Dikisahkan, dengan ijin Tuhan, ombak seperti mengamuk, tetapi membawa rezeki dari laut.
Versi Majidi juga menggarisbawahi salah satu pusat cerita adalah kisah intrik keluarga besar, atau katakanlah, sibling rivalry—di samping persaingan antar-klan antara Bani Hasyim dan Bani Umaiyah.
Abu Lahab, Abu Jahal, Abu Sufyan sesungguhnya adalah paman-paman Nabi alias saudara Abdullah sang ayah, sama seperti Hamzah dan Abu Thalib. Dikisahkan bagaimana mereka cemburu dengan Aminah, sang janda dari anak emas Abdul Muthalib bernama Abdullah, apalagi saat itu ia sedang hamil tua. Sebagai para tetua, paman-paman Nabi menolak mengakui kekuasaan ilahiah sang Nabi, walau dalam hatinya mengakui kebenaran risalahnya.
Kedengkian ini pun diakibatkan oleh rasa sebal Abu Lahab yang dianaktirikan karena menikah dengan wanita dari Bani Umaiyah, dan karenanya menolak mengirimkan budaknya untuk meneteki sang keponakan.
Dan tentu saja, urusan dapur alias perekonomian yang menjadi penghambat. Bagaimana mungkin berhala-berhala yang menjadi sumber uang mereka harus dicoret dari ritual keagamaan? Embargo ekonomi yang diprakarsai Abu Sofyan—yang dikenal dengan istilah “Tahun Duka Cita” karena wafatnya dua tokoh penting dalam dakwah awal Rasulullah—makin menggarisbawahi perkara politik dan ekonomi. Dan akhirnya, serangan Pasukan Gajah untuk menghancurkan Kakbah juga menggarisbawahi urusan perebutan kekuatan ekonomi berskala global.
Tak Sekadar Fatwa
Bagi saya, Muhammad the Messenger of God adalah kompromi yang sempurna antara daya kreatif seni dan hukum syariat. Apalagi Majid Majidi sudah terlatih sejak 1980-an untuk mengakali film agar tidak melanggar aturan agama yang ketat. Sebuah film yang tak hanya puitis, melainkan membuat haru karena kita ditarik ke semesta lain: Mekkah pada 570-an; era kanak-kanak Rasulullah.Seperti saya tuliskan di awal, beragam reaksi yang mengharamkan film ini dengan pelbagai pertimbangan. Dan, fakta bahwa pembuatnya adalah seorang warga Iran yang Syiah dan didukung penuh oleh negaranya, seakan-akan makin menambah daftar “dosa” film ini.
Namun, membaca beberapa ulasan, tak sedikit pula yang tersentuh. Muhammad the Messenger of God adalah film Muhammad pertama sejak Ar-Risalah (The Messenger) yang disutradarai Moustapha Akkad pada 1976. Beberapa resensi menyatakan Muhammad the Messenger of God begitu puitis dan emosional, khususnya bagi pencinta Nabi, melihat junjungannya dipresentasikan secara visual, meski tetap tak memperlihatkan wajah, tak sekadar huruf “Muhammad” dalam lingkaran.
Perbedaan pandangan yang melahirkan fatwa ini terjadi karena, mengutip Lesley Hazleton (penulis The First Muslim), kaum Sunni punya aturan lebih ketat soal penggambaran Rasulullah.
Muhammad the Messenger of God akhirnya berbuah balasan. Seperti dilansir Hollywood Reporter dan The Guardian pada 2013, Alnoor Holdings, sebuah tim dari Qatar, menggandeng produser The Lord of the Rings dan Matrix Barrie Osborne untuk membuat film tandingan, di bawah pimpinan ulama besar Yusuf Qardhawi. Film berbujet 150 juta dolar AS ini untuk sementara berjudul The Messenger of Peace, dan akan mengangkat sisi manusiawi sang Nabi.
Syukurlah balasannya adalah film juga, bukan sekadar protes dan fatwa.
=======
Penulis bisa dikontak di @ekkyij
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.
Lukisan Nabi Muhammad dalam Lintasan Sejarah
Sebuah medali perunggu tersembunyi di suatu tempat di Tropenmuseum di Amsterdam menampilkan seorang pria mulia yang tampak sedang memegang sebuah buku. Iluminasi dan janggut membuat sosok pria itu menyerupai Yesus – tetapi rapalan Islami yang melingkari tepiannya menunjukkan bahwa ini adalah sosok Nabi Muhammad dengan Al-Quran.
Pada saat dibeli pada tahun 1976, si penjual dari Iran bersikeras bahwa itu memang Muhammad. Namun kurator Tropenmuseum meragukan: seperti banyak orang lain, kurator meyakini bahwa Islam tidak menyukai seni figuratif secara umum dan melarang keras gambar sang Nabi. Medali itu kemudian disimpan. Hanya sekarang, 40 tahun kemudian, setelah membandingkannya dengan lukisan Nabi pada abad ke-19, Tropenmuseum baru mengakui kejujuran si penjual.
Lambatnya pengakuan atas keberadaan gambar-gambar semacam itu juga dipersulit oleh kontroversi belakangan ini. Sejak protes tahun 2006 terhadap surat kabar Denmark, Jyllands-Posten dan serangan pembunuhan terhadap majalah Prancis Charlie Hebdo pada tahun 2015, yang keduanya telah menayangkan karikatur Nabi, para kurator menjadi semakin cemas tentang apa yang tersimpan di koleksi mereka.
Padahal, visualisasi Nabi di kalangan Islam secara mengejutkan sudah lazim terjadi, terutama dalam kitab-kitab penuh gambar yang dicetak di Persia dan Ottoman, baik Sunni dan Syiah, antara 1300 dan 1800.
Dalam kitab sejarah dunia karya wazir Ilkhanid Rashid ad-Din tahun 1314, ada beberapa contoh yang menarik. Tetapi ketika University of Edinburgh menggelar pameran pada tahun 2014, gambar-gambar Nabi itu hilang secara misterius. Di tengah suasana panas pasca Charlie Hebdo, The Victoria and Albert Museum bahkan menghapus sebuah poster Iran yang menggambarkan sosok muda Muhammad dari database daringnya. Juru bicara museum mengklaimnya sebagai “keputusan dari tim keamanan museum kami”.
Stefano Carboni, direktur Galeri Seni Australia Barat di Perth, telah berusaha mengadakan pameran supaya berlangsung secara paralel dengan peluncuran antologi esai berjudul The Image Debate: Figural Representation in Islam and Across the World. Carboni menginformasi bahwa sejumlah lembaga Australia, Asia dan AS tidak mau berkomitmen pada proyek tersebut sebab “risiko yang akan dirasakan, bagaimana bagian dari pameran, termasuk gambar Nabi Muhammad, akan diterima khususnya oleh komunitas Muslim.”
Ini masih menjadi asumsi umum bahwa karena Islam pada dasarnya ikonoklastik, setiap gambar figuratif Nabi – bahkan jika diciptakan oleh internal muslim – akan memicu kekerasan. Oleh sebab itu, karya-karya seperti itu sering ditambahi penjelasan – bahwa itu bukan Nabi – atau disembunyikan oleh kurator, agar masyarakat umum tidak menghakimi.
Untungnya, pemikiran seperti itu sekarang mulai dipertanyakan. Christiane Gruber, seorang profesor seni Islam di University of Michigan, adalah pakar dalam bidang ini. Buku terbarunya, The Praiseworthy One: The Prophet Muhammad in Islamic Texts and Images (Indiana University Press) adalah yang pertama dari tema terkait. Dia juga menyusun esai di antologi The Image Debate.Ketika penulis bertemu dengannya di London pada bulan Juni 2019, dia mengatakan bahwa kurator harus lebih berani. “Setahu saya,” katanya, “tidak pernah ada reaksi keras atau negatif terhadap pameran publik Muhammad di Museum.” Gruber percaya bahwa kurator yang memilih menutup mata terhadap tradisi figuratif ini hanya akan memperkuat kaum fundamentalis: “Itu semacam echo chamber Orientalis- Salafi […] yang menurut saya sangat merusak warisan peradaban Islam.”
Sebagian masalah ini mengarah pada kekacauan. Karikatur Charlie Hebdo tidak memancing kemarahan karena gambar Nabi semata – melainkan lebih kepada bentuk pelecehan yang disengaja. Cemoohan seperti yang dilakukan Charlie Hebdo memang mengakar dalam budaya Barat. Pada abad pertengahan Eropa, sosok Nabi adalah tokoh cemoohan. Buku baru John Tolan, Faces of Muhammad (Princeton University Press) menggambarkan ulang ilustrasi mengerikan dari manuskrip panjang John Lydgate, The Fall of Princes, abad ke-15 , yang menggambarkan “ The false Machomeete (Muhammad palsu)”. Sementara di dunia pasca 9/11, gambar provokatif Nabi dibangkitkan kembali, tidak hanya untuk menyerang agama tetapi juga untuk mengejek minoritas muslim yang tinggal di Barat.
Kita hidup di tengah apa yang Gruber sebut sebagai dunia ‘pasca-kartun’. Tapi setidaknya kita bisa mencoba membongkar budaya modern kita. “Bagaimana jika kita mundur 30 tahun, atau mundur ke abad ke-16?” dia bertanya. “Bagaimana kita menempatkan diri kita ke dalamnya?”
Demi analisis sejarah yang lebih bernuansa, kita perlu melupakan masalah-masalah modern seperti kebebasan berbicara dan terorisme, dan membayangkan diri kita berada dalam lingkungan para sufi dan seniman Muslim yang memuliakan Nabi melalui lukisan.
Coba kunjungi gereja dan Anda akan melihat Kristus, tetapi Muhammad tidak pernah muncul di masjid manapun. Al-Qur’an telah menuduh orang Kristen salah mendewakan Yesus, dan dengan jelas menggambarkan Nabi sebagai ‘pemberi peringatan’. Penyembahan berhala juga menjadi perhatian Al-Quran. Tapi tidak ada tempat di mana Al-Qur’an melarang lukisan figuratif; bahkan, dalam ayat-ayat yang dikutip oleh seniman-seniman muslim belakangan, diceritakan Yesus membentuk seekor burung tanah liat dengan tangannya sebelum menghembuskan kehidupan ke dalamnya.
Belakangan, kisah-kisah biografis Nabi Muhammad menyiratkan cerita yang beragam. Setelah menaklukkan Mekkah, Nabi mencopot patung-patung berhala dari Ka’bah – tetapi konon membiarkan ikon Maria dan Yesus. Versi cerita lain, Nabi menegur Aisyah karena memasang tirai yang dihiasi gambar binatang; meskipun demikian, Nabi mengatakan tidak keberatan mengubah tirai tersebut menjadi sarung bantal.
Ketidaksetujuan resmi tentang gambar –meskipun tidak pernah ditegakkan secara universal– mulai tercatat dua abad setelah wafatnya Nabi pada tahun 632 M. Sejarawan seni Mika Natif berpendapat bahwa aturan ini semakin kuat di era Abbasiyah sebagai cara menegur dinasti pendahulunya, Umayyah, yang seleranya dalam seni gambar dianggap sebagai gejala kemunduran. Abbasiyah mungkin benar. Dinding-dinding pemandian Umayyah yang dipengaruhi Yunani di Qasr Amra (sekarang Yordania), dihiasi dengan gambar raja-raja berjubah, wanita-wanita telanjang dan hewan-hewan pertunjukan, seperti beruang.
Hiasan gambar sebagai hiburan pribadi khalifah adalah satu hal; gambar-gambar publik tentang Nabi adalah hal lain. Namun sosok Nabi Muhammad kemungkinan pernah muncul di koin Umayyah 60 tahun setelah wafatnya. Pada tahun 690-an, khalifah Abdul Malik mencetak dinar emas yang menggambarkan sosok berdiri dengan janggut panjang, memegang pedang t(satu yang dikoleksi oleh British Museum.) Untuk waktu yang lama, sosok ini diasumsikan sebagai diri khalifah sendiri. Tetapi komparasi baru-baru ini dengan koin Bizantium sezaman yang menampakkan gambar Yesus berjanggut telah mengubah konsensus terhadap koin tersebut. Sosok yang berdiri di koin tembaga itu memiliki nama ‘Muhammad’ jelas tertulis di sampingnya. Ini kemungkinan besar bukan potret dari kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, ini adalah model kepemimpinan yang populer selama penaklukan Islam. Jadi, jika sosok itu adalah Nabi, itu tetap saja sosok kepemimpinan khalifah.
Koin seperti itu lantas menghilang dari kelaziman, dan tidak ada gambar Nabi yang bertahan selama lima abad berikutnya. Gambar Nabi Muhammad muncul kembali, secara tidak lazim, dalam karya yang sebenarnya bukan tentang dirinya. Sebuah roman Persia, Varqa wa Golshah, memberi sentuhan religius di ujungnya ketika sepasang kekasih yang malang secara ajaib dibangkitkan oleh Nabi. Kisah yang dibuat di Konya, Anatolia Tengah, antara tahun 1200 dan 1250 ini menggambarkan Nabi Muhammad duduk bersila di atas takhta hijau yang didampingi oleh empat khalifah penerusnya. Dengan tampilan bergaya Turki dan rambut ikal hitam panjang, ini jelas seorang nabi dengan gaya raja Seljuk. Dia bahkan lebih diagungkan dalam prolog dari puisi epik Ferdowsi Shahnameh abad ke-14, di mana dia dibayangkan sebagai prototipe ideal untuk raja-raja Persia kuno yang pemerintahannya digambarkan puisi tersebut.
Satu subjek yang sangat populer menjadi ilustrasi adalah kisah naiknya Nabi ke langit atau Miraj-nameh dalam bahasa Persia. Disadur dari beberapa ayat Al-Quran pendek, narasi diuraikan menjadi petualangan yang hidup. Nabi menunggang kuda terbang yang disebut Buraq melalui surga, di mana ia menjadi imam nabi-nabi terdahulu dan berdialog dengan Tuhan. Kisah magis ini mengakomodasi ikonografi pra-Islam. Dua buku tentang Mi’raj yang dibuat di Herat pada abad ke-15 masa Dinasti Timuriyah menampilkan malaikat bersayap putih yang menyerukan syahadat ke penjuru langit, dan sesosok malaikat seperti Buddha dengan wujud setengah api, setengah salju. Muhammad bertemu Tuhan di tengah awan emas yang beterbangan. Bersujud dalam shalat, Nabi Muhammad tidak bisa melihat kemuliaan-Nya yang menyala-nyala. Penonton juga tidak dapat melihat: Tuhan memang tidak pernah digambarkan secara visual dalam Islam.
Menanggapi ilustrasi ini, seniman Iran kontemporer Shahpour Pouyan mereproduksi satu halaman dari kitab tentang Mi’raj di masa Timuriyah tahun 1436-37, tetapi mengosongkan baik gambar Nabi maupun pancaran cahaya ilahi. Yang tersisa hanyalah bentuk kotak-kotak berwarna biru tua – penuh teka-teki tentang sikap Muslim modern untuk memvisualisasikan Nabi.
Pada akhir Abad Pertengahan, dalam karya-karya Sunni dan Syiah, menunjukkan wajah Nabi menjadi tidak lazim. Dalam satu biografi Ottoman terkenal yang dititahkan oleh Murad III, bahkan wajah bayi Muhammad ditutupi. Kekhawatiran atas penyembahan berhala masih ada. Sebuah manuskrip Persia abad ke-16 yang dibuat di Shiraz memperlihatkan Muhammad yang wajahnya terselubung dan menantunya Ali, di pundaknya, mencopot berhala berbentuk monyet dari Ka’bah. Namun kita tidak bisa dengan gampang merujuk ini sebagai ikonoklasme. Perhatikan bahwa penghancuran berhala itu sendiri dirayakan dengan gambar.
Tabir wajah Nabi sendiri bertuliskan ‘yaa Muhammad‘ dengan tinta emas. Jika Anda melihat cukup dekat pada nama, ilustrasi kubisme memunculkan bentuk seperti wajah – dua huruf mim menyerupai mata, ha hidung dan dal mulut. Apakah ini puzzle piktogram yang mengharuskan pemirsa menggunakan imajinasi mereka sendiri?Sementara itu, gambar wajah Ali telah rusak, ini bisa karena eskpresi pemujaan orang terhadap wajah Ali dengan menggosok, mencium atau bahkan sampai menjilatinya.
“Kita butuh mencari saluran belas kasih, emosi cinta,” Gruber menekankan kepada penulis, “sebagai perlawanan terhadap kebencian.” Para Sufi, misalnya, menekankan keintiman mereka dengan Nabi. Dalam miniatur Bukhara yang sangat indah yang dibuat pada tahun 1530-an, tiga sufi memunculkannya dalam pikiran mereka. Sebuah Qur’an di dekat mereka meledakkan nyala api yang menyalakan gambar Muhammad mengendarai Buraq. Pelukis itu menggambarkan para Sufi membayangkan Nabi sebagai kehadiran yang jasmani, tampilannya yang lembut menawarkan model yang sempurna untuk seorang mistikus yang welas asih.
Sosok panglima, raja, petualang langit dan Sufi – ini hanya empat gambaran Muhammad yang populer. Di zaman sekarang, kemungkinan besar anda akan melihat representasi abstrak dari Muhammad seperti jejak terompah atau bunga mawar. Penggambaran ini, perlu kita perhatikan, tidak lantas jadi kurang bermakna untuk menjadi non-figural.
Salah satu kurator seni Islam di koleksi pribadi di London, yang ingin tetap anonim, mengatakan kepada penulis bahwa pembingkaian proyek Gruber semata bertujuan untuk “mengembalikan kepada Islam warisan artistiknya yang kaya”, seperti yang dikemukakan oleh The Praiseworthy One memilikinya, bermasalah. “Semua orang tahu betapa pentingnya Muhammad bagi umat Islam […] dan Islam tidak perlu budayanya dikembalikan kepadanya.”
Gruber mengakui keberatan ini. “Ini bukan tentang gambar yang diambil, dan kemudian diberikan kembali kepada umat Islam,” katanya padaku. “Ini tentang mengembalikan wacana yang tepat di sekitar gambar dengan cara yang bebas dari jenis agenda lainnya.” Ia menaggapi. Itu hanya bisa terjadi, tentu saja, jika kita dapat melihat lukisan ini dalam konteks yang tepat – bukan pada website anti-Muslim tempat gambar-gambar Nabi sering muncul.
Untungnya, semuanya berubah. The Rietberg Museum Zurich sedang mengorganisir sebuah acara di musim gugur 2020 tentang ikonoklasme dan ikonografi, di mana gambar Nabi akan disertakan. Pameran Stefano Carboni yang tertunda, hampir pasti akan diadakan di sebuah lembaga Amerika Utara tahun depan. Di Frieze Masters Oktober tahun 2019, Francesca Galloway menjual folio dari tahun 1460-an era Timur Lenk yang menggambarkan peristiwa Mi’raj; Rumah Lelang Christie’s punya dua dari folio yang sama untuk dilelang pada bulan yang sama.
Beberapa muslim tidak akan pernah ingin melihat Nabi digambarkan. Itu hak mereka. Tapi kita tidak bisa berpura-pura bahwa gambar seperti itu tidak pernah ada. Para cendekiawan dan kurator harus memainkan peran mereka dalam memungkinkan umat Islam dan orang lain untuk berbicara satu sama lain sepanjang waktu tentang beragam cara bagaimana pribadi Nabi digambarkan. Karena kepribadian Muhammad yang mengubah dunia ini selalu tercermin pada mata yang melihatnya.
Diterjemahkan oleh Rifqi Fairuz dari artikel bahasa Inggris berjudul “Eye of the beholder – how the Prophet Muhammad has been depicted through the centuries” oleh Sameer Rahim di Apollo-magazine.com pada tanggal 18 Desember 2019. Link: https://www.apollo-magazine.com/prophet-muhammad-depictions-art/
Sumber Utama : https://alif.id/read/redaksi/lukisan-nabi-muhammad-dalam-lintasan-sejarah-b225990p/
Melukis Nabi Muhammad
Dalam hukum Islam, gambar dan menggambar merupakan isu yang sensitif. Hingga hari ini tak ada hukum yang final tentang kebolehan dan keharamannya. Di satu sisi, Islam mengapresiasi segala bentuk seni, namun di sisi lain juga memberikan batasan.
Wilayah sensitif ini telah memberikan keluasan pada para pelukis Muslim untuk mencari bentuk lukisan yang tidak menyimpang dari hukum. Salah satunya lewat lukisan miniatur, lukisan yang dipakai sebagai ilustrasi tulisan, yang berkembang di abad pertengahan.
Berbagai miniatur tersebut juga mencoba menggambarkan sosok Nabi Muhammad. Salah satu yang paling awal adalah ilustrasi tentang kisah Isra’ dan Mi’raj untuk memperjelas dan memudahkan setiap pembaca memahami bagaimana peristiwa suci tersebut berlangsung.
Lukisan pertama yang menggambarkan peristiwa tersebut adalah sebuah buku yang ditulis pada abad 14. Untuk menghindari gambaran yang eksplisit akan wajah Muhammad, beliau digambar dengan aureole berupa lingkaran cahaya yang kelihatan bersinar dari kepala, dengan awan yang menggumpal yang menyertai beliau.
Dalam lukisan-lukisan yang lain, wajah Muhammad digambar samar dengan ditutupi kabut. Para pelukis setelah abad 14 menggambarnya dengan kabut warna putih yang menyelubungi sinar wajah, dengan turban (penutup kepala) berwarna putih. Yang lebih belakangan, gambaran Rasulullah tidak difokuskan secara detil.
Jika lukisannya mengilustrasikan medan perang, sosok Nabi Muhammad berada di tempat yang lebih tinggi dan digambar secara lanskap. Jika berada di dalam kerumunan prajurit, sosok Nabi Muhammad ditandai dengan lingkaran cahaya dan wajahnya yang dikaburkan. Jika dalam kondisi duduk melingkar, sosok beliau ditempatkan di posisi vital dari gambar.Di dalam gambar yang lain, sosok Nabi Muhammad selalu berada di antara para malaikat yang bertindak sebagai penjaga dari bahaya, mengawalnya, atau berkomunikasi dengan beliau. Dalam beberapa gambar, para malaikat diposisikan melayang seakan-akan turun dari langit.
Ibnu Wahab menyebutkan, manuskrip yang ditemukan paling pertama menggambar Rasulullah adalah sebuah buku yang ditulis oleh sekertaris kerajaan China. Nabi Muhammad digambarkan sedang duduk di atas unta bersama Nabi Nuh, Musa dan Isa.
Ilustrasi yang lain adalah buku yang mengisahkan hubungan cinta Warka dan Kulshah yang ditulis oleh Abdul Mu’min bin Muhammad. Di dalam buku ini terdapat dua ilustrasi Nabi.
Pertama, Nabi Muhammad sedang menghadap Khalifah Syam bersama Abu Bakr, Umar, Usman dan Ali. Kedua, ketika Nabi Muhammad mengembalikan Warka dan Gulshah ke dunia setelah keduanya meninggal. Tak ada pembedaan sosok Nabi dengan sosok yang lain, kecuali dengan ditambahi keterangan nama.Sepanjang abad 14 sampai 16, penggunaan miniatur untuk mengilustrasikan sosok Nabi Muhammad berkembang pesat. Beberapa diambil dari tradisi Kristen, namun disesuaikan dengan tradisi Islam agar tidak melenceng dari keharaman gambar. Buku-buku tersebut terutama buku sirah (riwayat hidup) Nabi yang berkembang pada masa itu. Salah satunya adalah salah satu versi Tarikh al-Kabir karya at-Tabari yang manuskripnya masih bisa dijumpai di museum Freer Gallery of Art di Washington.Sebuah buku berjudul Siyer-I Nebi yang ditulis oleh Dariri dalam bahasa Persia merupakan buku yang paling banyak memuat miniatur Nabi Muhammad. Buku tersebut ditulis pada abad 14, yang kemudian digandakan oleh Sultan Murad III dari Ottoman pada akhir abad 16.
Sultan Murad III lalu membentuk tim besar untuk membuatkan ilustrasi buku tersebut dengan mengundang seluruh miniaturis terkenal di masa itu. Karena tebalnya buku tersebut, proyek itu baru selesai di masa Sultan Mehmed III di tahun 1594-95 dengan enam jilid yang memuat 349 bagian dann 810 ilustrasi.
Sumber Utama : https://alif.id/read/muhammad-aswar/melukis-nabi-muhammad-b212731p/
Film Muhammad Rasulullah: Gambaran Nabi yang Welas Asih
Teheran, pertengahan musim gugur November 2018. Museum Film Teheran terlihat lebih syahdu dipayungi langit abu-abu. Hujan yang turun sedari pagi seperti enggan berhenti. Di sebuah ruangan galeri, poster-poster film dari masa ke masa seperti memberi kehangatan di tengah cuaca dingin.
Sejarah panjang perfilman Iran terekam apik dalam ruangan museum ini. Tak terbilang jumlahnya para sutradara yang telah melahirkan karya-karya mendunia, begitu juga fim-film yang bernafas religi.
Ingatan saya langsung terbawa pada film “Muhammad Rasulullah” yang dirilis tahun 2015. Sebulan setelah penayangan perdana, film ini masih bertengger di bioskop-bioskop Teheran. Berkali-kali saya gagal nonton, karena tiket selalu terjual habis.
Pernah suatu malam, setelah mengantri cukup panjang, saya harus pulang dengan tangan kosong karena hanya tersisa tiket yang tayang pukul 12 malam. Sementara durasi film hampir 3 jam. Terbayang, bisa-bisa saya tidur di bioskop. Untunglah, beberapa hari kemudian saya mendapat tiket dengan membeli secara online.
Malam itu, saat duduk di teater 10 Koroush, saya menikmati jejak-jejak Nabi yang penyayang.
***
Muhammad kecil tak dapat memejamkan mata, lantaran suara rintihan para budak yang kehausan. Tangan kaki dirantai, sementara pakaian mereka kumal dan tubuh menggigil. Muhammad yang tak kuasa menyaksikan pemandangan itu menghabiskan malamnya dengan mengisi gerabah air dan menuangkannya ke dalam mulut-mulut kering mereka. Dari balik tabir tenda, Aminah, sang bunda, menyaksikan dengan mata berkaca-kaca.
Di bagian lain, terlihat saat Muhammad yang mulai beranjak remaja tengah menggembalakan kambing-kambing di padang sabana. Suara gaduh pertengkaran perempuan dan laki-laki menggelisahkannya. Berjalanlah ia mendekati arah suara.
Ternyata, mereka pasangan suami istri yang sedang meributkan kelahiran bayi perempuan. Si ayah yang merasa itu aib ingin menguburkan bayi hidup-hidup, namun sang Ibu yang susah payah mengandung dan melahirkannya tak rela dengan perbuatan si suami. Muhammad datang menggendong bayi perempuan cantik yang hampir di kubur hidup-hidup. Dengan lemah lembut, ia menunjukkan kepada si ayah betapa cantik bayi perempuannya itu. Ajaib, amarah lelaki itu mulai mereda.
Dua potongan film “Muhammad Rasulullah” (Muhammad: The Messenger of God) ini, seperti mewakili janji Majid Majidi, sang sutradara, untuk menampilkan kehidupan Rasulullah yang welas asih. Bertahun lalu ia merasa terluka oleh penayangan film yang menghina Nabi Muhammad di Denmark. Ia pun tak memenuhi undangan festival film di kota itu, karena penghormatannya kepada baginda Nabi.Saat itu, ia berjanji untuk membuat film sisi kehidupan Nabi Muhammad yang tak banyak diketahui dunia Barat. Setelah melakukan riset selama tiga tahun melalui berbagai sumber sejarah, baik dari kalangan sunni maupun syiah, serta empat tahun pengambilan gambar, film ini akhirnya bisa dinikmati masyarakat luas.
Film tentang Nabi Muhammad ini termasuk salah satu film relijius dengan kemasan sekelas Hollywood. Di beberapa bagian kita akan melihat perpaduan gambar dan musik yang luar bisa, seperti saat penyerangan pasukan Gajah ke kota Mekkah, saat melukiskan suasana khidmat kelahiran Nabi Muhammad, atau episode menjelang akhir, saat para sahabat berjalan membawa lampu-lampu tempel dengan latar suara wahyu dari langit. Benar-benar membawa emosi kita seolah masuk dan menjadi bagian dari potongan film itu.
Majid Majidi tidak bekerja sendiri, ia menggandeng beberapa sineas internasional yang pernah memenangkan Academy award dan Oscar seperti, Vittorio Storaro dan AR Rahman sebagai sinematografer dan penata musik.
Tempat pengambilan gambar juga dibangun khusus selama hampir satu tahun. Kota Mekkah dan Madinah buatan itu benar-benar terlihat seperti di kawasan jazirah Arabia, padahal lokasinya di wilayah Iran, dekat jalan tol antara Teheran-Qom. Film ini diperkirakan menelan biaya sekitar US$40 juta (Rp560 miliar lebih) sekaligus menjadi film termahal dalam sejarah Iran.
Di sisi lain membuat film dengan latar sejarah Nabi memang tidak mudah. Adegan-adegan dalam film akan dengan mudah tertebak oleh penonton. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi sutradara. Namun, Majid Majidi menyiasatinya dengan membuat alur flashback. Film diawali dengan makar kaum Quraisy yang ingin mendesak Abu Thalib agar berpihak pada mereka dalam peristiwa pemboikotan ekonomi di Syi’ib. Di tengah kegalauan itulah Abu Thalib, yang diperankan oleh Mehdi Pakdel, teringat berbagai mukjizat Nabi sebelum kelahiran hingga masa remaja.Potongan-potongan kehidupan Nabi Muhammad kecil pun mengalir dalam layar, sejak kehadiran sosok Halimah Sadiyah yang sangat signifikan dalam sejarah sampai ramalan sang pendeta Bukhara Kristen tentang kenabian beliau. Bahkan, berbagai ekspresi kesedihan maupun kebahagiaan Aminah yang sulit kita resapi saat membaca buku sejarah, tergambar secara utuh dalam film ini. Atau bagaimana welas asih yang ditunjukkan oleh kakek beliau, Abdul Muthalib, bisa kita rasakan secara jelas. Sulit mendeskripsikan potongan-potongan ini kecuali Anda menyaksikannya sendiri.
Dari
seluruh bagian film, saya menangkap pesan humanistik menjadi benang
merah yang merekatkan episode demi episode. Dan memang begitulah
kehidupan nyata Nabi yang kerap disalahpahami oleh media Barat. Sejak
kecil ia telah memiliki rasa empati yang dalam agar kelak saat diangkat
menjadi Nabi mampu memimpin umat dengan cinta, menjadi pelindung dan
rahmat bagi seluruh alam.
***
Sayangnya, tak semua jerih payah mereka ini menuai pujian. Kehadiran film Muhammad Rasulullah sendiri sempat menuai kecaman, terutama dari para ulama konservatif di beberapa negara Arab.
Di antara alasan yang kerap dilontarkan adalah munculnya sosok Nabi Muhammad dalam film itu, dianggap mengurangi kesakralan Nabi. Walaupun sebenarnya, kekhawatiran itu tidak terlalu mendasar, karena meskipun sosok kanak-kanak Nabi ditampilkan, hanya tampak belakang dan samping, sementara bagian muka tetap tidak diperlihatkan.
Sumber Utama : https://alif.id/read/afifah-ahmad/film-muhammad-rasulullah-gambaran-nabi-yang-welas-asih-b213084p/
Maulid Nabi Muhammad dan Suka Cita
Bila sampai bulan Rabiul Awal di kalender Hijriyah, maka berbondong-bondong orang berkumpul dan mengingatinya sebagai bulan yang mulia.
Mulia, karena pada bulan ini lahir Junjungan Yang Mulia bagi umat Islam. Meski ada juga perdebatan tentang tanggal kelahiran Nabi Saw, mayoritas ulama kita sepakat ia lahir pada 12 Rabiul Awal.
Peringatan kelahiran Nabi, atau yang umum disebut Maulid Nabi, tidak hanya diperingati sebagaimana di tempat kita. Di antero penjuru dunia ini ada beragam cara menghidupkan bulan maulid. Dari yang tradisional-konservatif hingga modern kontemporer-inovatif.
Klik saja Google atau Youtube, Anda akan lihat bagaimana orang Arab, Turki, Iran, Melayu, punya ragam cara meramaikan suasana.
Yang jelas, yang diharapkan adalah hadirnya kembali kesadaran tentang peran Junjungan (Rasulullah) bagi alam semesta ini, terutama untuk hati kita: Berkah.
Apakah berkah itu?
Ada yang
menyebutnya, bertambahnya sesuatu yang membawa manfaat bagi diri
manusia. Bisa berupa materi (lahiriyah), bisa nonmateri (ruhaniyah),
bisa juga keduanya. Saya pribadi lebih senang menyebutnya munculnya
kembali kesadaran akan sesuatu yang penting bagi diri kita. Dan ini
lebih bersifat kejiwaan atau spiritual. Jika yang bertambah bersifat
material, maka ia menambah kesyukuran dan semangat pengabdian.
Schimmel (dalam Cahaya Purnama Kekasih Tuhan) melaporkan pengamatannya tentang peristiwa maulid yang spektakuler di beberapa negara kaum muslimin. Ribuan orang ikut serta mengungkapkan kecintaan mereka yang mendalam kepada Nabi. Kota-kota dan desa-desa yang dihiasi dengan bendera-bendera, umbul-umbul, karangan bunga, dan pita-pita tampak semarak dan meriah, dan pesona ini semakin bertambah dengan lampu-lampu yang terang benderang pada malam hari.
Suatu muktamar Seerat, berkenaan dengan maulid Nabi, dibuka oleh Presiden Pakistan, dan berlangsung banyak sekali mahfil (perkumpulan). Radio dan televisi pun menyiarkan program-program khusus yang sesuai dengan peristiwa ini. Hari itu dimulai dengan tembakan senjata ke udara sebanyak 31 kali, dan 21 kali di ibukota-ibukota provinsi. Bendera nasional dikibarkan di berbagai gedung pemerintah dan nonpemerintah.Namun pada tahun itu juga, dikeluarkan fatwa dari ketua Rabithah yang berkedudukan di Makkah, sebuah organisasi muslim ortodoks, yang menyatakan perayaan-perayaan maulid sebagai “bid’ah yang sesat”. Pernyataan ini mengundang kritik tajam dari berbagai penjuru dunia muslim, dari Afrika Selatan sampai Iran.
Ilustrasi seperti dipaparkan Schimmel di atas terjadi pada tahun 1982. Yang terjadi hingga kini, perayaan-perayaan serupa itu terus berlangsung, bertambah meriah dengan ragam acara kekinian. Ada orkestra musik, pembacaan puisi-puisi modern, dan aksi-aksi teatrikal lainnya, sementara yang tradisional dengan “dangdut arab” (istilah Ali Mustafa Yaqub) pun terus hikmat beriringan.
Sayyid Muhammad bin Alwy al-Maliki (dalam Haul al-Ihtifal bi-Dzikri Maulid al-Nabiy al-Syarif) menyebut bahwa tak ada ketentuan baku bagaimana memperingati Maulid Nabi Saw, sementara Nabi sendiri memperingatinya dengan shiyam (puasa), ini dikembalikan kepada umat. Bagaimana upaya (ijtidah) dan pandangan mereka sesuai dengan keadaannya, yang mengungkapkan kebahagiaan dan sukacita atas kelahiran Nabi saw.
Dalam masyarakat Banjar biasanya orang-orang diundang ke langgar, masjid kecil dan masjid besar, ke rumah-rumah pribadi, dibacakan “riwayat” maupun “hikayat” Nabi Saw melalui syair-syair yang dikarang oleh ulama-ulama salaf yang tawaduk, dari kalangan ‘Alawiyyin (keturunan Nabi melalui Ali dan Fatimah) maupun para masyâyikh yang lembut hatinya. Ditambah lagi dengan ceramah-ceramah dari tuan-tuan guru dan para habaib.
Di wilayah Hulu Sungai atau Banua Anam sekarang, satu kampung merayakan maulid dengan mengundang orang ke rumah masing-masing bergiliran setiap hari. Di beberapa daerah membaca al-Barzanji sementara di sebagian tempat membaca ad-Diba’i, dan adapula yang membaca Syarafal Anam.
Di Banua Halat (kabupaten Tapin) ada tradisi Baayun Mulud, di mana bayi dan anak-anak diayun dengan tapih bahalai, sarigading dan kain kuning, dihias berenda-renda dan ornamentik dengan disyairkan Asyrakal dan bermacam selawat Nabi.
Bias-bias tasawuf, dari para muhibbin yang merindukan kasih dan cinta Sang Khalik, menjadi bagian dari budaya Islam yang niscaya. Niscaya dalam pengertian, menjadi sesuatu yang melekat dalam sikap pengabdian, adab yang meneladani Rasulullah, tidak secara tekstual belaka.
Niscaya karena, seperti pendapat sebagian ahli sejarah Islam, bahwa Islam yang masuk ke bumi nusantara ini awalnya adalah Islam yang bercorak tasawuf. Artinya, Islam yang penuh keilmuan dan cenderung kepada hal-hal yang bersifat kejiwaan, atau memiliki aspek kebatinan yang mendalam. Atau dalam bahasa lain, Islam yang mengedepankan ilmu dan amal, lebih-lebih akhlak yang baik.
Sumber Utama : https://alif.id/read/hajriansyah/maulid-nabi-muhammad-dan-suka-cita-b213082p/
Sajian Khusus: “Menonton” Film Iran
Beberapa netizen mengira judul “Menonton” Film Iran semacam program menonton film Iran. Mohon maaf, yang tertera di flyer yang kami edarkan kemarin adalah program tiap pekan Alif.ID: Sajian Khusus, yang disajikan dalam bentuk esa-esai serial. Namun siapa tahu, di kemudian hari, setelah pandemi “dianggap” selesai, kami bisa menggelar Sajian Khusus berupa apresiasi film.
Kami tidak menyalahkan mereka yang keliru membaca. Kami mengartikan itu semacam kerinduan menonton film Iran secara bersama-sama, berkumpul, berdiskusi, sambil menyuruput teh atau kopi. Penjarakan fisik dan sosial sejak pertengahan Maret lalu memang bikin kita rindu banyak hal, salah satunya nobar film bermutu.
Kami memilih kata “menonton” dengan beberapa alasan. Pertama, enam dari sekitar delapan esai yang akan kami sajikan berisi ulasan film Iran. Enam esai tersebut semacam rekomendasi subyektif dari dua penulis kami yang tinggal di Teheran/Tehran: Afifah Ahmad dan Purkon Hidayat.
Kedua, film Iran terasa pas ditonton di rumah masih-masing bersama keluarga tercinta di masa pandemi ini. Film ini tidak saja mengaduk-aduk emosi kita, namun diharapkan memupuk empati kita di masa pandemi. Ya, empati harus dipupuk, dengan ikhtiar, seperti juga iman yang harus dijaga dengan melaksanakan rukun-rukun agama. Empati, sebagaimana juga keimanan, sesungguhnya bukan sesuatu yang given. Ia perlu dipelajari, dipupuk, dirawat.
Dan film-film Iran yang mulai diperbincangkan tahun 1990an di negeri ini, serasa pas kita tonton. Kenapa film iran digemari di sini?“Keberpihakan pada kemanusiaan (utamanya masyarakat kelas bawah) seperti ini banyak pendukungnya karena sangat berkorelasi dengan kehidupan di Indonesia, yang juga membutuhkan keperpihakan banyak pihak,” tulis Ivvaty saat menyinggung sineas besar Iran bernama Majid Majidi, yang sangat terkenal di publik kita.
Sarujuk dengan Ivvaty, dua penulis kita –Afifah Ahmad dan Purkon Hidayat– dalam enam esainya juga menonjolkan sisi kemanusiaan film-film Iran, mulai dari film lama berjudul Karkheh to Rhein karya Ebrahim Hatamikia (Hatamikia tahun lahirnya sama dengan sineas kita Garing Nugroho, 1961) hingga film karya teranyar sutradara besar Majid Majidi (Majidi lahir tahun 1959, dua tahun lebih muda dari Hatamika dan Garin) yang berjudul The Sun (2019). The Sun diganjar sebagai film terbaik dalam festival Festival Film Fajr ke-38. Festival ini diadakan Februari 2020, kira-kira sepekan setelahnya, Iran lockdown. Mengharukan!
Sebagai penutup, Alif.ID akan menyajikan tulisan seorang esais dan sutradara muda berlatar belakang santri: Nurman Hakim. Apa yang ia kemukakan? Tunggu saja.Tidak seperti Sajian Khusus, sebelumnya yang ditayangkan Rabu saja, kali ini kami akan menayangkan dari Rabu ini hingga Jumat. Akhirul kalam, kami mengucapkan terima kasih banyak buat para penulis, Afifah Ahmad, Purkon Hidayat, Susi Ivvaty, dan Nurman Hakim, juga pada ilustrator Alif Nurul Fajri.
Kepada para pembaca, semoga dapat menikmati sajian ini. Dan semoga berfaedah!Salam takzim.
Sumber Utama : https://alif.id/read/redaksi/sajian-khusus-menonton-film-iran-b229969p/
Mencari Titik Temu Islam Nusantara dengan Islam Persia
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno dalam pidato bersejarahnya pada 17 Agustus 1966 mengatakan, “Abraham Lincoln berkata: ‘One cannot escape history, orang tak dapat meninggalkan sejarah’, tetapi saya tambah: ‘Never leave history’ (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah); inilah sejarah perjuangan, inilah sejarah, history-mu. Peganglah teguh sejarahmu itu, never leave your own history! Peganglah yang telah kita miliki sekarang, yang adalah akumulasi dari pada hasil semua perjuangan kita di masa lampau,”.
Bagi saya, statemen bapak proklamator kemerdekaan Indonesia tersebut relevan dengan pembahasan kita mengenai urgensi studi khazanah Nusantara di tanah Persia. Saya mencoba menelisik masalah ini dengan menggunakan pisau analisis hermeneutika sejarah, terutama dari filsuf Jerman Wilhelm Dilthey(1833–1911) untuk menemukan konteks kebaruannya saat ini.
Pertama, khazanah Nusantara sebagai sumber “tambang” penggalian nilai, tujuan dan makna. Saya memandang sejarah bukan sebagai disiplin ilmu tentang rangkaian peristiwa masa lalu yang bersifat partikular semata. Tapi, ilmu kemanusiaan yang mengandung nilai, tujuan dan makna sebagai “tambang” pengetahuan yang harus terus digali hingga kini.
Mengamini Louis Gottschalk (1969), kebenaran dan makna hidup dapat ditemukan di dalam sejarah. Sebab di dalamnya terdapat unsur-unsur universal yang bisa diperoleh melalui proses pengalian yang kontinyu. Sejarah harus menjadi sebuah usaha untuk menggali nilai-nilai yang memberikan pedoman hidup masa kini. Dalam perspektif hermeneutika sejarah Dilthey, sebuah karya yang berisi nilai, tujuan dan makna tidak bisa dilepaskan dari penulisnya sebagai para pelaku sejarah, dan juga konteksnya yang dinamis. Dari sini, penggalian khazanah Nusantara sebagai tambang pengetahuan menemukan konteksnya.
Kedua, Khazanah Nusantara sebagai “benteng”. Sejarah dalam perspektif Dilthey tidak bisa dilepaskan dari Weltanschauung atau pandangan dunianya. Dalam konteks kewargaan, penggalian khazanah Nusantara sebagai bagian penting dari ketahanan nasional. Sebab, ketahanan nasional juga membutuhkan kekuatan diskursus yang matang dan kuat. Isu terorisme dan radikalisme misalnya, bisa ditangkal dengan penguatan wacana sebagai bentuk peningkatan kesadaran tentang ketahanan nasional.
Selama ini wacana transnasional, termasuk dari Timur Tengah begitu deras memasuki Tanah Air. Tapi, pada saat yang sama relatif kurang diimbangi dengan diskursus pengimbangnya. Meskipun masuknya wacana transnasional memberikan kontribusi positif, namun acapkali berdampak sebaliknya. Penggalian Khazanah Nusantara sebagai “benteng” penguatan ketahanan nasional untuk menangkal dampak negatifnya.
Ketiga, Khazanah Nusantara sebagai “jembatan”. Manusia dalam hermeneutika sejarah Dilthey, memiliki kesadaran yang tidak bersifat mekanistik, sebagaimana penjelasan ilmu alam, karena keduanya berbeda. Studi kebudayaan, terutama sejarah, tidak akan bisa meraih pengetahuan yang dicari tanpa das verstehen, pemahaman yang mencakup kesadaran diri.
Pemahaman terhadap sebuah karya tokoh tertentu tidak hanya cukup dengan membaca baris perbaris tulisannya, atau kata-katanya saja. Tapi perlu mengungkap pikiran, perasaan dan keinginannya, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai karya tersebut. Dengan cara ini orang tidak akan tergesa-gesa memberikan label-label tertentu yang mungkin cenderung bersifat pejoratif terhadap pihak lain.Bagi saya, das verstehen yang dikemukakan Dilthey sebagai basis teori yang memadai untuk menempatkan posisi kita terhadap Khazanah Nusantara. Sebab di dalamnya membuka ruang yang luas bagi interaksi gagasan dari peristiwa sejarah yang kompleks dan global.
Di satu sisi, penggalian khazanah Nusantara sebagai langkah penting untuk memperkuat posisi “daya tawar wacana” Indonesia di Timur Tengah. Selama ini para tokoh nasional Indonesia tidak banyak dikenal di Iran, bahkan Timur Tengah.Tapi belakangan mulai terlihat perkembangan yang optimistis, terutama setelah Prof Quraish Shihab mendapat bintang tanda kehormatan dari Mesir baru-baru ini.
Di Iran sendiri sejak beberapa tahun lalu sudah mulai dilakukan kajian serius mengenai tokoh Nusantara dan Asia Tenggara, sebagaimana dilakukan lembaga riset seperti Ensiklopedia Dunia Islam. Fenomena penting juga terlihat dari dibukanya program studi Asia Tenggara di pascasarjana fakultas Ilmu politik dan hukum Universitas Tehran dan pengajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi terkemuka Iran ini. Beberapa tesis sudah menggali isu tentang Indonesia, meskipun kebanyakan masih berada di ranah ekonomi dan politik. Selain itu, orang-orang Iran juga cukup antusias mengikuti program bahasa dan budaya Indonesia melalui program Darmasiswa dan lainnya.
Tidak hanya itu, dalam dua tahun terakhir, para pemikir kontemporer Indonesia seperti KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur Dur dan Nurcholis Madjid maupun Hamka mulai dipresentasikan oleh para mahasiswa Indonesia program doktoral di Universitas Al-Mustafa Tehran, dan Universitas Studi Agama dan Mazhab Qom. Meskipun agak terlambat dan intensitasnya masih relatif kecil. tapi pergerakannya semakin meningkat, sehingga diharapkan akan menjadi bola salju dari kecil membesar yang terus menggelinding kencang.
Di sisi lain, penggalian nilai universal sejarah sebagai usaha membangun jembatan yang menjadi “titik temu” dan “interaksi kontruktif” antarbudaya dan peradaban.
Barangkali, salah satu contoh terbaik dari titik temu peradaban Timur dan Barat bisa ditemukan dalam karya sastra penyair terkemuka Jerman, Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) dengan magnum opusnya “West–östlicher Divan”, sajak Barat-Timur.
Pada awalnya, Goethe mengenal karya puisi Hafez melalui terjemahan Divan Hafez oleh Joseph von Hammer Purgstall. Tapi kemudian, ia merasa perlu memperlajari bahasa Persia demi mendukung pemahamannya lebih utuh terhadap karya Hafez. Interaksi kontruktif secara timbal balik disumbangkan Goethe dengan karyanya yang menginspirasi banyak pemikir Muslim, termasuk Muhammad Iqbal Lahore.
Interaksi konstruktif ini juga terjadi dalam konteks interaksi budaya Nusantara dan Persia. Ulama terkemuka Nusantara abad ke-16, Hamzah Fansuri, yang disebut sebagai bapak sastra Melayu klasik, dalam berbagai syairnya banyak dipengaruhi oleh sastra Persia. Tapi pengaruh ini bersifat positif dan terbukti memperkaya Khazanah Nusantara.Tidak salah jika sejumlah sarjana mengungkapkan hubungan erat antara bahasa Farsi dan Melayu juga Indonesia. Persoalannya studi tentang masalah ini masih sangat minim.
Indonesianis asal Belanda, Martin Van Bruinnessen dalam berbagai karyanya mengungkapkan interaksi yang terjalin kuat antara ulama Kurdi dan Persia dengan Nusantara. Bagi saya, benang merah jaringan ini penting digali untuk menemukan nilai, makna dan tujuan sebagai peta jalan membangun peradaban baru.
Para pemikir besar dunia, semacam Goethe hingga Fansuri berhasil menelorkan karya monumentalnya yang terinspirasi dari pemikir lain dengan menyerap spirit das verstehen, memahami dengan tulus dan utuh. Pemikiran mereka juga melahirkan reaksi positif dari pemikir lainnya, hingga terbangun peradaban baru. Sayangnya, interaksi wacana seperti ini mulai memudar di tengah meningkatnya unilateralisme kekuatan dominan global.
Dalam konteks hubungan budaya Nusantara dan Persia, persoalan yang terjadi saat ini cenderung masih searah. Padahal, jembatan perlu dibangun dari dua arah. Menggali dan mengenalkan Khazanah Nusantara di Iran adalah upaya melanjutkan pembangunan jembatan budaya yang separuhnya sudah terbangun.
Sumber Utama : https://alif.id/read/ph/khazanah-nusantara-sebagai-tambang-benteng-dan-jembatan-b226410p/
Apa Itu “Islam Kaffah”?
Kita sering mendengar istilah “Islam Kaffah”. Belakangan, istilah ini lebih dipahami sebagai ajakan untuk mendirikan khilafah islamiyah (Negara Islam). Islam Kafah (KBBI menulis dengan “kafah”) berarti Islam yang menyeluruh (total).
Tidak dianggap kafah jika belum bisa mewujudkan syari’ah Islam di tengah kehidupan, dan hal itu hanya bisa ditegakkan dengan sistem khilafah islamiyah. Pengertian seperti ini muncul secara serampangan, dan jauh dari semangat pengertian yang sesungguhnya.
Istilah “Islam Kafah” disebut dalam QS al-Baqarah; 208, yaitu “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah”. Untuk mendapatkan pengertian yang benar, maka kita sejatinya merujuk kembali pada pengertian ayat tersebut. Bagaimana pengertiannya yang benar?
Ibnu Asyur, dalam kitab tafsirnya at-Tahriri wat-Tanwir, menjelaskan bahwa ayat 208 dari QS al-Baqarah tersebut tidak dapat dipisahkan dari konteks ayat sebelumnya. Ayat ini disebut setelah ayat sebelumnya menjelaskan tentang macam-macam sikap manusia terhadap agama (Islam); ada orang mukmin yang lisannya fasih syahadat kepada Allah tetapi perilakunya membuat kerusakan dan menyakiti apa yang ada di sekitarnya; sebagian yang lain mengabdikan dirinya untuk mendapat keridhoan Allah. Tindakan merusak dan menyakiti ini tentu dapat mengancam orang-orang yang damai. Oleh karena itu, ayat ini hadir mengajak orang-orang mukmin untuk masuk ke dalam as-silm. Lalu apa pengertian as-silm?
Jika merujuk pada beberapa tafsir, maka kata as-silm dipahami dalam dua pengertian yaitu kedamaian (keselamatan) dan agama Islam.
Kata as-silm memiliki arti kedamaian atau keselamatan. Ayat “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah” mengandung pengertian bahwa “wahai orang-orang yang beriman masuklah kedalam kedamaian (keselamatan) secara penuh”.
Pengertian as-silm dengan kedamaian ini diambil dari konteks kesesuaian ayat sebelumnya. Memang, sebagian mufasir memandang bahwa ayat “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah” merupakan kalimat pembuka (jumlah isti’nafiyah), tetapi tidak bisa dilepaskan dari konteks ayat sebelumnya.
Ketika kata as-silm diartikan sebagai kedamaian (keselamatan), maka ayat “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah” mengisyaratkan kepada kita bahwa kita sebagai orang yang beriman hendaklah memasukkan dirinya kedalam kesadamaian (keselamatan). Seorang mukmin tidak boleh menyakiti dan mengganggu orang lain sehingga terjadi pertengkaran, permusuhan atau bahkan peperangan.Sejatinya, keimanan itu harus total. Tidak setengah-setengah. Tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Ada orang mukmin yang antara perkataan dan perbuatannya, saling berlawanan.
Lisannya menyatakan syahadat kepada Allah, tetapi perbuatannya merusak dan mengancam orang lain atau lingungan sekitarnya. Atau ada seorang mukmin yang secara lahir dan batin, mampu memegang teguh keimanan dan mempraktikkan dalam kehidupan.
Jenis yang pertama masuk dalam kategori munafik karena perkataannya melenceng dengan perbuatannya, sedangkan jenis yang kedua masuk kategori mukmin sejati.
Dalam konteks orang munafik, ajakan untuk masuk kedalam as-silm memberikan pengertian bahwa hendaklah mereka bersikap total kepada kedamaian; selaraskan perkataan dengan perbuatan. Jangan berskasi kepada Allah, tetapi perbuatannya menyakiti dan mengancam keberadaan orang lain. Pengertian ini selaras dengan maksud empat ayat (yaitu ayat 204 – 207) sebelum ayat “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah”.
Sedangkan dalam konteks orang mukmin sejati, pengertian as-silm berarti hendaklah mengabdikan diri pada kedamaian sebagai buah dari keimanan kepada Allah. Ajakan ini menjadi penegasan kembali kepada orang-orang mukmin bahwa dirinya harus merelakan dirinya untuk kedamaian (kesalamatan) bagi yang lain. Menurut Ibn Asyur, pengertian as-silm seperti ini bisa dihubungkan dengan ayat sebelumnya, yaitu wa qatilu fi sabilillah al-ladzina yuqatilunakum (QS al-Baqarah: 190).
Lebih rinci Ibnu Asyur menjelaskan bahwa ayat wa qatilu fi sabilillah al-ladzina yuqatilunakum (QS al-Baqarah: 190) menyerukan umat Islam untuk memerangi kaum musyrik Quraisy dan larangan untuk saling bermusuhan, setelah mereka (musyrik Quraisy) memerangi kaum muslimin dan mengusir paksa dari rumahnya.
Kemudian ayat selanjutnya menjelaskan tentang hukum haji dan umroh serta amal ibadah yang perlu dilakukan sesuai anjuran agama. Maka, ayat “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah” menjelaskan kepada kaum muslimin untuk merelakan diri dengan kedamaian, yaitu berdamai dengan penduduk (musyrik) Mekkah, karena setelah Rasulullah saw mengadakan perjanjian Hudaibiyah tidak semua kaum muslimin menerima perjanjian itu.Sebagian besar sahabat masih menaruh dendam dengan kaum musyrik Mekkah sehingga tidak rela berdamai dengannya. Atas dasar konteks kesesuaian ayat ini, maka makna as-silm mengandung pengertian perdamaian. Yakni, bahwa orang-orang mukmin diperintah oleh Allah untuk memasukkan dirinya pada kedamaian.
Sementara itu, jika makna as-silm dimaknai sebagai agama Islam, maka pengertian ayat “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah” menjadi “wahai orang-orang mukmin masuklah kedalam agama Islam secara penuh. Artinya, bahwa seorang mukmin harus memiliki ketaatan penuh terhadap agama Islam.
Wujud ketaatanya adalah “berdamai” dengan Allah dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Pengertian seperti ini sekaligus mengingatkan kepada orang-orang mukmin agar saling berdamai antar sesama; tidak kembali terjebak pada saling memusuhi (berperang) sebagaimana kebiasaan mereka pada saat masih Jahiliyah.
Menurut Ibnu Asyur, ayat ini seolah menjadi penyempurna bagi tananan nilai yang terkait dengan upaya untuk mendamaikan masyarakat Arab (pada saat itu) yang selalu terjebak dengan permusuhan dan peperangan. Karena watak permusuhan ini menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jahiliyah, maka tidak heran jika Rasulullah saw pernah mengingatkan: “Setelahku, kalian jangan kembali menjadi orang-orang yang ingkar (kuffar) yang sebagian kalian memukul tengkok yang lain”.
Sampai di sini dapat diambil benang merah bahwa makna as-silm terkait dengan nilai moralitas. Dalam pengertian perdamaian (keselamatan), kata as-silm mengisyaratkan pentingnya untuk memasukkan diri kedalam keseimbangan; keseimbangan antara syahadat ketauhidan dengan kenyataan amal perbuatan di satu sisi, dan keseimbangan untuk berdamai dengan antar sesama manusia di sisi lain.Sedangkan dalam pengertian agama Islam, kata as-silm menjelaskan bahwa seorang mukmin harus memiliki kepasrahan (ketaatan) total dalam beragama Islam. “Udkhulu fissilmi kaffah” berarti perintah untuk memasukkan diri kedalam totalitas beragama Islam; memegang teguh kepasrahan dalam konteks hablum minallah dan ketaatan dalam konteks menjaga antarsesam (hablum minnas).
Sejak awal, Rasullah saw meneguhkan bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan akhlak. Innama bu’itstu li utammima makarim al-akhlaq (Saya hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak). Bukan untuk kepentingan politik (baca: mendirikan Khilafah Islamiyah). Persoalan akhlak jauh lebih penting dalam membangun tatanan masyarakat katimbang kepentingan politik.
Alquran sendiri mendefinisikan dirinya sebagai mau’idzah (nasehat), furqan (pembeda), dan dzikr (pengingat). Ini artinya, bahwa risalah yang diwahyukan kepada Rasulullah saw memperbaiki kebobrokan moral yang mendera masyarakat, yang berbasis pada ketauhidan. Jadi, konsep “Islam Kafah” itu lebih terkait dengan cara setiap mukmin untuk berdamai; berdamai dengan Allah (dengan tunduk pada-Nya) dan berdamai dengan sesama manusia.Menjadi seorang muslim itu harus total; total dalam berhubungan dengan Allah (hablum minallah) dan total dalam berhubungan dengan sesama (hablum minanas) serta lingkungannya. Islam itu adalah akidah dan moral (akhlak), bukan akidah dan politik (khilafah). Totalitas dalam berislam (Islam Kaffah) akan dapat mewujudkan misi kerahmatan Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Wallahu a’lam.
Sumber Utama : https://alif.id/read/m-faisol-fatawi/apa-itu-islam-kaffah-b215494p/
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Guru Dipenggal karena Tunjukkan Karikatur Nabi Muhammad, Ini Kata Presiden Perancis", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/global/read/2020/10/17/171637470/guru-dipenggal-karena-tunjukkan-karikatur-nabi-muhammad-ini-kata-presiden?page=all.
Penulis : Ardi Priyatno Utomo
Editor : Ardi Priyatno Utomo
Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L
Dewan Cendekiawan Senior Saudi: Menghina Nabi Muhammad Hanya Melayani Ekstremis
Guru Dipenggal karena Tunjukkan Karikatur Nabi Muhammad, Ini Kata Presiden Perancis
Kompas.com - 17/10/2020, 17:16 WIB
Penulis Ardi Priyatno Utomo | Editor Ardi Priyatno Utomo PARIS, KOMPAS.com - Presiden Perancis Emmanuel Macron bereaksi menyusul kabar seorang guru dipenggal karena menunjukkan karikatur Nabi Muhammad. Dalam serangan yang terjadi pada pukul 17.00 waktu setempat di sekitar sekolah, si pelaku ditembak mati oleh polisi yang datang ke lokasi. Kepada awak media di lokasi seperti dilansir BBC Jumat (16/10/2020), Macron menyebut kasus itu merupakan serangan yang dilakukan teroris. Baca juga: Tunjukkan Karikatur Nabi Muhammad, Guru di Perancis Dibunuh "Salah satu dari warga kami dibunuh pada hari ini (Jumat) karena dia tengah mengajar, dia sedang mengajar kebebasan berekspresi," ujar dia. Dalam pertemuan parlemen Perancis, wakil ketua kemudian berdiri dan mengheningkan cipta untuk menghormati guru yang dibunuh itu. Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin yang tengah melakukan kunjungan ke Maroko dilaporkan langsung pulang menyusul insiden tersebut. Menteri Pendidikan Jean-Michel Blanquer mengunggah kicauan di Twitter, di mana dia menyebut pembunuhan guru itu adalah serangan terhadap negara. Blanquer menyampaikan dukacita kepada korban dan keluarganya, dan menyerukan persatuan serta keteguhan adalah senjata melawan ekstremis ini. Baca juga: Majalah Charlie Hebdo Umumkan Bakal Cetak Ulang Karikatur Nabi Muhammad
Seperti apa kejadiannya?
Semua berawal ketika si pelaku, sambil membawa pisau besar, menyerang si guru di jalanan kota Conflans-Sainte-Honorine, di mana si pendidik dipenggal. Berdasarkan laporan Reuters, sumber polisi mengungkapkan bahwa si pelaku sempat berteriak sesuatu, sebelum melarikan diri. Aksinya bisa diketahui polisi setelah mendapat laporan warga, di mana penegak hukum menghadapi pria itu di jalanan distrik Eragny. Ketika aparat berteriak supaya tersangka menyerahkan diri, si pelaku merespons dengan mengancam mereka, dan membuatnya ditembak mati. Kepada media setempat, sumber dari departemen kehakiman menerangkan sembilan orang, termasuk anak di bawah umur, ditangkap berkenaan penyerangan tersebut. Mereka yang diduga dibekuk adalah kerabat dari si penyerang dan orangtua dari murid yang diajar si guru sebelum dibunuh.
Media lokal Le Monde memberitakan, si pendidik merupakan guru bidang Sejarah dan Geografi, di mana saat kejadian dia mengajar kebebasan berpendapat. Dia mengajar dengan mengaitkannya kepada karikatur Nabi Muhammad, yang dirilis oleh majalah satir Charlie Hebdo dan menuai kemarahan Muslim global. Si pendidik yang tak disebutkan identitasnya itu sudah meminta siswa Muslim meninggalkan kelas jika mereka merasa tersinggung dengan pengajarannya. Kemudian pada awal Oktober ini, sejumalh orangtua Muslim melayangkan keluhan kepada sekolah atas keputusan si guru menggunakan kartun itu. "Berdasarkan pengakuan anak saya, dia adalah sosok yang super menyenangkan, super ramah, dan gemar berteman," kata orangtua murid, Nordine Chaouadi, kepada AFP. Merespons pembunuhan itu, Charlie Hebdo menyatakan intoleransi sudah mencapai batas baru dan teror tidak akan bisa dihentikan di Perancis. "Negeri Anggur" mengalami gelombang kekerasan karena ekstremis sejak serangan terhadap Charlie Hebdo pada 2015, di mana 12 orang tewas.
Sumber Utama : https://www.kompas.com/global/read/2020/10/17/171637470/guru-dipenggal-karena-tunjukkan-karikatur-nabi-muhammad-ini-kata-presiden?page=all
Arab Saudi, dan Lelucon Isu HAM PBB
LiputanIslam.com –Barangkali ini menjadi salah satu lelucon dari PBB di tahun ini: Arab Saudi kembali berniat menjadi anggota Dewan HAM PBB (United Nations Human Rights Council, UNHCR). Untung saja, Arab Saudi gagal mendapatkan suara yang diperlukan, yaitu 127 suara persetujuan, atau 2/3 dari 190 anggota PBB. Arab Saudi hanya mendapatkan 90 suara.
Reputasi Arab Saudi di bidang HAM sebenarnya memang sangat buruk, dan semakin buruk sejak naiknya Mohamed bin Salman (MbS) sebagai menteri pertahanan tahun 2015, lalu menjadi putera mahkota tahun 2017. Selama puluhan tahun, Arab Saudi dikenal sebagai negara yang sangat tertutup dalam hal penegakan hukum dan HAM.
Indonesia sebagai negara penyuplai tenaga kerja wanita, berkali-kali menjadi korban kejahatan HAM di negara tersebut. Ada yang dihukum mati tanpa notifikasi, ada yang diperkosa lalu pulang dalam keadaan hamil, juga banyak di antara TKW yang disekap di rumah-rumah majikan mereka, mendapatkan siksaan yang sangat memilukan. Atas dasar pertimbangan situasi itulah, pemerintah RI secara resmi telah memberlakukan moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi. Artinya, pemerintah Indonesia memang melihat betapa sangat buruknya kondisi hukum dan HAM di Arab Saudi, yang sangat tidak setara dengan besarnya devisa yang didapat RI dari pengiriman TKI ke negara tersebut.
Dalam konteks internasional, catatan HAM Arab Saudi juga sangat buruk. Pembunuhan dan mutilasi terhadap jurnalis Jamal Khassogi adalah kasus paling akhir yang memantik kecaman luar biasa dari masyarakat internasional. Arab Saudi juga menjadi pihak yang paling bertanggung jawab terhadap tragedi kemanusiaan di Yaman, sejak negara ini memimpin koalisi Arab Teluk dalam invasi ke negara di selatan Semenanjung Arab itu.Dengan semua track-record seperti itu, adalah sangat aneh ketika Arab Saudi mengajukan diri menjadi anggota Dewan HAM PBB. Juga menjadi aneh bahwa masih ada saja negara yang memberikan persetujuannya, walaupun jumlah negara yang memberikan persetujuan masih belum cukup untuk mendudukkan Arab Saudi sebagai anggota Dewan HAM PBB.
Secara umum, isu HAM di dunia memang absurd dalam praktik implementasinya. Isu HAM berkali-kali menjadi standar ganda negara-negara kuat dunia, dan hanya dijadikan sebagai alat politik untuk menekan negara manapun yang resisten terhadap negara imperium dunia (AS dan Barat). HAM adalah salah satu isu “andalan” AS dalam memberlakukan sanksi terhadap negara negera seperti Irak, Iran, Suriah, dan lain-lain. Dalam kasus Irak, misalnya, AS menumbangkan rezim Saddam Husein dengan alasan HAM. Akan tetapi, di saat yang sama, AS mendirikan penjara paling mengerikan dan paling melanggar HAM di dunia bernama Guantanamo.
Dalam kasus Israel, dunia sudah mafhum bahwa Zionis adalah negara yang paling sering melanggar HAM dunia. Israel juga menjadi satu-satunya negara di dunia yang masih melakukan penjajahan, yaitu terhadap Palestina. Tapi, sebagaimana yang kita ketahui bersama, Israel adalah sekutu utama AS.
Jadi, sebenarnya, ketika Arab Saudi tetap dengan percaya diri mencalonkan diri sebagai anggota Dewan HAM dunia, kita mestinya tak perlu heran. Isu HAM dunia memang absurd. (os/editorial/liputanislam.com)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/dari-redaksi/arab-saudi-dan-lelucon-isu-ham-pbb/
Pemuda Lebanon Bakar Bendera Prancis Protes Penghinaan atas Nabi Muhammad
Lebanon, ARRAHMAHNEWS.COM – Para pemuda Lebanon membakar bendera nasional Prancis untuk menunjukkan kemarahan atas proyeksi kartun ofensif Nabi Muhammad (SAW) di gedung-gedung pemerintah di negara Eropa itu.
Mereka membakar bendera Perancis dalam demonstrasi yang digelar di luar kedutaan Prancis di ibu kota Lebanon, Beirut, pada hari Jumat (24/10).Demonstrasi itu terjadi dua hari setelah kartun penghinaan terhadap Nabi Muhammad (SAW), yang diterbitkan oleh surat kabar satir Prancis Charlie Hebdo, dipajang di balai kota di Montpellier dan Toulouse selama beberapa jam.
Baca: Balas Hinaan Charlie Hebdo atas Nabi Muhammad, Iran Bakal Gelar Pameran Kartun Holocaust
Tindakan tersebut diklaim sebagai bagian dari penghormatan kepada guru sejarah Samuel Paty, yang menimbulkan kontroversi dan memicu kemarahan dengan menunjukkan sketsa penghinaan oleh Charlie Hebdo itu kepada murid-muridnya.
Ia dibunuh di luar sekolahnya di pinggiran kota Paris pada 16 Oktober oleh seorang penyerang berusia 18 tahun, yang diidentifikasi sebagai warga Chechnya, Abdullakh Anzorov, yang kemudian ditembak mati oleh polisi segera setelah pembunuhan itu.
Sejak itu, polisi Prancis telah menggerebek rumah dan masjid Muslim serta menangkap lebih dari selusin orang sebagai bagian dari penyelidikan atas insiden tersebut. (ARN)
Sumber Utama : https://arrahmahnews.com/2020/10/25/video-pemuda-lebanon-bakar-bendera-prancis-protes-penghinaan-atas-nabi-muhammad/
Re-post by Migo Berita / Senin/26102020/13.43Wita/Bjm