» » » Film The Santri & Film My Flag : Merah Putih Vs Radikalisme VS Film Khilafah versi Ormas Terlarang HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)

Film The Santri & Film My Flag : Merah Putih Vs Radikalisme VS Film Khilafah versi Ormas Terlarang HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)

Penulis By on Selasa, 27 Oktober 2020 | No comments


 

Migo Berita - Banjarmasin - Film The Santri & Film  My Flag : Merah Putih Vs Radikalisme VS Film Khilafah versi Ormas Terlarang HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Film The Santri lebih mengetengahkan kepada ajakan TOLERANSI sedangkan Film My Flag adalah Film yang lebih bernuansa Cinta Tanah Air NKRI dan Jangan tertipu dengan simbol-simbol agama yang sebenarnya hanya ingin Indonesia bisa dikuasai faham Radikal dengan berlindung wajah atau simbol agama. Sedangkan Film Jejak Khilafah di Nusantara Jelas ingin membuat PEMBENARAN bahwa Ormas Terlarang HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) adalah BENAR sesuai sejarah versi HTI. Tentu setiap pembuatan Film ada Pro dan Kontra dan agar lebih jernih melihat permasalahannya adalah dengan menonton penuh film tersebut dan menganalisa apa yang mesti diperbaiki atau bahkan apa yang merupakan kelebihan dari film tersebut dan tentunya kita harus tahu apa niat awal dari pembuatan film-film tersebut, agar kita semua tidak gagal paham.

sumber youtube di https://www.youtube.com/watch?v=R9d5-QY0ZBw

FILM TENTANG MERAH PUTIH VS RADIKALISME. YANG DIPERANKAN OLEH GUS MUWAFFIQ DAN PARA SANTRI NUTALENT DAN DI PRODUKSI OLEH NU CHANNEL

Dapatkan informasi terbaru PBNU di NU Channel dengan mengikuti : Website : http://nuchannel.tv/ Instagram : https://www.instagram.com/nu.channels/ Twitter : https://twitter.com/nuchannels Facebook : https://www.facebook.com/nuchanneloff... Telegram : https://t.me/nuchannels #HariSantri #NUChannel #MYFLAGMerahPutih #GusMuwafiq 



Menyoal HTI dalam Film "Jejak Khilafah di Nusantara"

Ancaman perpecahan di Indonesia semakin terlihat. Eks-Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kembali berulah dengan tingkah polanya memanipulasi fakta sejarah melalui film 'Jejak Khilafah di Nusantara' (JKDN) yang ditayangkan pada 1 muharam 1442, bertepatan jumat, (20/8/20). Klaim dan doktrinisasi dusta ini juga dikonsumsi oleh anak-anak Indonesia. Sungguh sebuah situasi yang amat memprihatinkan di tengah pandemi Covid-19 melanda.

Film tersebut menuai polemik hingga banyak tanggapan serius dari para pakar sejarah, termasuk pakar Sejarah Modern Indonesia utamanya Jawa, Prof. Peter Carey dari Inggris. Prof. Carey kembali membantah film yang sempat mencatut Namanya itu. 

"Tidak ada bukti dan dokumen-dokumen di Arsip Turki Utsmani yang menunjukkan bahwa 'negara' Islam pertama di Jawa, Kesultanan Demak (1475-1558), utamanya raja pertamanya, Raden Patah (bertakhta, 1475-1518), memiliki kontak dengan Turki Utsmani." Katanya dalam tulisan yang disampaikan oleh asistennya, Christopher Reinhart yang diterima detik.com jumat, (21/8/20). Sebelumnya, eks-HTI sempat mencatut Prof. Peter Carey dalam video talk show film JKDN, melalui live streaming youtube di Khilafah Channel minggu, (2/8/20).

Tanggapan lain juga datang dari Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Azyumardi Azra. Rektor UIN Jakarta tahun 1998-2006 itu menegaskan bahwa tidak ada khilafah di Nusantara ini, yang ada adalah dinasti. "Mana ada jejek khilafah dengan Indonesia. Abbasiyah itu bukan khilafah, tapi dinasti, Ottoman juga dinasti. Ini terjadi manipulasi fakta dan diromantikkan saja." dalam keterangannya secara tertulis, Sabtu (22/8/20), melalui indopolitika.com.

Di dalam film JKDN, Nicko Pandawa berperan sebagai director sekaligus script writer. Nicko Pandawa adalah alumnus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora. 

Pada acara talk show film JKDN minggu (2/8/20), Pandawa menjelaskan bahwa film yang ia buat berasal dari dari penelitian akhir (skripsi) dengan judul Khilafah di Nusantara. Yang jadi pertanyaan besar adalah kenapa bisa skripsi tersebut diluluskan? Jangan-jangan dosen pembimbing, dan penguji skripsi Pandawa menyetujui gagasan khilafah? Ini yang perlu kita investigasi bersama.

Jika kita lihat fakta sejarah, selepas era Khulafa al-Rasyidin 660M, sistem dinasti dalam kekhalifahan di mulai ketika Hasan Bin Ali  dibaiat sebagai khalifah kelima oleh Qois Bin Saad, komandan perang pasukan Ali Bin Abi Thalib yang diikuti oleh seluruh penduduk Kufah. Sejak saat itulah mode pembaiatan khalifah secara personal dan kemudian diikuti jamaah penduduk setempat di masjid, sebagai format yang digunakan. Tidak ada lagi musyawarah secara demokratis ketika Nabi wafat.

Bahkan kekuasaan Yazid bin Muawiyah, melalui mekanisme penunjukkan oleh ayahnya. Hal tersebut telah melanggar kesepakatan antara Hasan Bin Ali dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, di mana seharusnya memakai mekanisme dewan syura seperti yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab saat memilih khalifah. Muawiyah telah mengabaikan kesepakatan itu dengan menunjuk putranya sendiri sebagai khalifah.

Saat Husein Bin Ali mendapat dukungan dari penduduk Kufah, kekhawatiran Yazid dalam menghadapi oposisi kekuasaan dinastinya, ditunjukkan dengan mengirim empat ribu pasukan yang dikomandani oleh Umar bin Sa'd bin Abi Waqash untuk mencegah Husein dari Makkah menuju Kufah di Karbala. Imam Suyuthi menulis dalam Tarikh al-Khulafa: "Husein dibunuh dan kepalanya diletakkan di bejana dan dibawa ke hadapan Ibnu Ziyad. Semoga Allah melaknat mereka yang membunuhnya, begitu juga dengan Ibnu Ziyad dan Yazid. Husein telah dibunuh di Karbala. 

Dalam peristiwa pembunuhan ini terdapat kisah yang begitu memilukan hati yang tidak sanggup kita menanggungnya. Innaa lilahi wa innaa ilaihi raajiun. Terbunuh bersama Husein 16 orang lainnya dari anggota keluarganya." Rezim khalifah Yazid bin Muawiyah membunuh dengan kejam cucu Rasulullah SAW. Buah hati Siti Fatimah az-Zahro. Sungguh bengis dan kejam, jauh dari ajaran Islam.

Dikatakan dalam film JKDN, bahwa pada era dinasti kekhalifahan Abbasiyah, tepatnya saat Khalifah Al Mustashim memimpin, pusat ibu kota Baghdad diserang oleh pasukan Ilkhanate Mongol yang terjadi pada tahun 1258. Terjadi pengepungan dan penghancuran, dan keluarga bani Abbasiyah berdiaspora ke nejd, negeri hijaz, termasuk ke Aceh. Klaim dan romantisme yang begitu menarik demi mendulang dukungan khilafah. 

Yang jadi pertanyaan, mengapa imperium sebesar Abbasiyah itu bisa hancur berkeping-keping oleh pasukan mongol? Bahkan khalifah sendiri dibunuh. Ini adalah sebuah tragedi politik dinasti yang tetap mencoba mempertahankan kekuasaannya dengan tidak memperhatikan pertahanan sebuah negara.

Demikian pula ketika Hizbut Tahrir di Indonesia (HTI) dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 2017 yang lalu, anggota HTI berdiaspora melalui Yayasan-yayasan, majelis-majelis, media-media dan banyak tempat lainnya yang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Bahkan belum lama ini, Barisan Ansor Sebaguna Nahlatul Ulama (Banser NU) Bangil Pasuruan, Jawa Timur, menggruduk Yayasan yang menjadi markas HTI, kamis (20/8/20) dengan tujuan tabayyun atas penghinaan terhadap Habib Luthfi Bin Yahya melalui pemilik akun facebook Abdul Halim. Rabu (19/8/20). 

Dalam aksinya tersebut, Banser menemukan foto Presiden Joko Widodo di coret-coret kumis, terkesan bullying terhadap presiden. Banyak pula ditemukan buletin terbitan HTI, serta tidak adanya bendera merah putih dalam Yayasan itu. Padahal baru tiga hari sebelumnya merayakan hari kemerdekaan Indonesia.

Kembali ke era khalifah Al Mutashim. Sang Khalifah menunjuk wazir (menteri) seorang yang beragama Kristen bernama al-Fadl bin Marwan. Imam Thabari mencatat bahwa banyak urusan departemen dibawah kontrol Fadl, keuangan negara pun menjadi stabil dibawah kontrolnya. 

Tapi seperti yang lain, ia di penjara akibat tidak mengikuti perintah Khalifah ketika khalifah ingin memberi sejumlah harta pada seniman, dengan alasan ingin menghemat kas negara. Apakah jika khilafah diterapkan, sistem yang dijalankan akan demikian juga? Siapa yang menentang khalifah, akan dipenjara, atau dibunuh.

Fakta sejarah tersebut tentu saja tidak bisa ditutup-tupi, jelas, terang benderang bahwa kekuasaan politik dinasti khilafah pada contoh di atas adalah dinasti yang tidak semulus mereka pikirkan, dan bukanlah solusi terbaik seperti yang selalu dikampanyekan pejuang khilafah. Masih banyak contoh tragedi politik dan kekejaman serupa yang dilakukan oleh khalifah di era khilafah. Kenyataan tersebut bukan lagi sebuah misteri dan rahasia bagi umat Islam, jelas tertulis dalam tinta sejarah.

Dengan demikian, penulis mengingatkan semua, penegakkan sistem khilafah di Indonesia, maupun di seluruh dunia adalah sebuah kerja sia-sia, tidak akan bisa diterima oleh masyarakat, pemerintah, dan akan dimusuhi oleh negara. Era kekhalifahan tidak seromantis film JKDN. Sejarah mencatat, tidak ada jejak khilafah ala Hizbut Tahrir di Nusantara. 

Itu sebuah pendustaan sejarah. Yang ada adalah jejak khilafah di Nusantara pada abad 20-21, era digitalisasi revolusi industri 4.0 sekarang ini, jejak khilafah di Nusantara mungkin sudah banyak tersebar dengan provokasi, kelicikan, klaim, kebohongan, produksi hoaks, pengkafiran, propaganda, dan adu domba umat Islam di Indonesia. Hal itu bisa kita perhatikan saat momentum politik berlangsung, terutama pilkada dan pilpres. (https://www.kompasiana.com/emaminullah/5f464c5c097f364c91038b92/kadrun-adalah-jejak-khilafah-di-nusantara?page=all0)

Yang jadi pertanyaan, mengapa imperium sebesar Abbasiyah itu bisa hancur berkeping-keping oleh pasukan mongol? Bahkan khalifah sendiri dibunuh. Ini adalah sebuah tragedi politik dinasti yang tetap mencoba mempertahankan kekuasaannya dengan tidak memperhatikan pertahanan sebuah negara.

Demikian pula ketika Hizbut Tahrir di Indonesia (HTI) dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 2017 yang lalu, anggota HTI berdiaspora melalui Yayasan-yayasan, majelis-majelis, media-media dan banyak tempat lainnya yang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Bahkan belum lama ini, Barisan Ansor Sebaguna Nahlatul Ulama (Banser NU) Bangil Pasuruan, Jawa Timur, menggruduk Yayasan yang menjadi markas HTI, kamis (20/8/20) dengan tujuan tabayyun atas penghinaan terhadap Habib Luthfi Bin Yahya melalui pemilik akun facebook Abdul Halim. Rabu (19/8/20). 

Dalam aksinya tersebut, Banser menemukan foto Presiden Joko Widodo di coret-coret kumis, terkesan bullying terhadap presiden. Banyak pula ditemukan buletin terbitan HTI, serta tidak adanya bendera merah putih dalam Yayasan itu. Padahal baru tiga hari sebelumnya merayakan hari kemerdekaan Indonesia.

Kembali ke era khalifah Al Mutashim. Sang Khalifah menunjuk wazir (menteri) seorang yang beragama Kristen bernama al-Fadl bin Marwan. Imam Thabari mencatat bahwa banyak urusan departemen dibawah kontrol Fadl, keuangan negara pun menjadi stabil dibawah kontrolnya. 

Tapi seperti yang lain, ia di penjara akibat tidak mengikuti perintah Khalifah ketika khalifah ingin memberi sejumlah harta pada seniman, dengan alasan ingin menghemat kas negara. Apakah jika khilafah diterapkan, sistem yang dijalankan akan demikian juga? Siapa yang menentang khalifah, akan dipenjara, atau dibunuh.

Fakta sejarah tersebut tentu saja tidak bisa ditutup-tupi, jelas, terang benderang bahwa kekuasaan politik dinasti khilafah pada contoh di atas adalah dinasti yang tidak semulus mereka pikirkan, dan bukanlah solusi terbaik seperti yang selalu dikampanyekan pejuang khilafah. Masih banyak contoh tragedi politik dan kekejaman serupa yang dilakukan oleh khalifah di era khilafah. Kenyataan tersebut bukan lagi sebuah misteri dan rahasia bagi umat Islam, jelas tertulis dalam tinta sejarah.

Dengan demikian, penulis mengingatkan semua, penegakkan sistem khilafah di Indonesia, maupun di seluruh dunia adalah sebuah kerja sia-sia, tidak akan bisa diterima oleh masyarakat, pemerintah, dan akan dimusuhi oleh negara. Era kekhalifahan tidak seromantis film JKDN. Sejarah mencatat, tidak ada jejak khilafah ala Hizbut Tahrir di Nusantara. 

Itu sebuah pendustaan sejarah. Yang ada adalah jejak khilafah di Nusantara pada abad 20-21, era digitalisasi revolusi industri 4.0 sekarang ini, jejak khilafah di Nusantara mungkin sudah banyak tersebar dengan provokasi, kelicikan, klaim, kebohongan, produksi hoaks, pengkafiran, propaganda, dan adu domba umat Islam di Indonesia. Hal itu bisa kita perhatikan saat momentum politik berlangsung, terutama pilkada dan pilpres.

detik.com

Sumber Utama : https://www.kompasiana.com/emaminullah/5f464c5c097f364c91038b92/kadrun-adalah-jejak-khilafah-di-nusantara?page=2 

Pro Kontra Film Jejak Khilafah di Nusantara

Jakarta, SERU.co.id – Peluncuran film Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN), di kanal Youtube Khilafah channel mendapat respons antusias dari masyarakat, Kamis (20/8/2020). Namun, film menyambut Tahun Baru Islam 1442 Hijriah tak berjalan mulus, lantaran ditengah penayangannya terhenti, diduga diblokir oleh pemerintah.

Film dokumenter yang dibuat oleh Nicko Pandawa dengan Komunitas Literasi Islam JKDN ini, menceritakan tentang hubungan Nusantara jaman dahulu dengan khilafah Islamiyah pada jaman Khalifah Utsman.

Saat penayangan secara live, film ini ditonton oleh 63 ribu penonton mulai pukul 10.00 WIB. Namun, tak lama setelah itu, link yang dibagikan untuk menonton film tersebut tak dapat diakses. Link tidak dapat diakses dengan keterangan ‘Konten ini tidak tersedia di domain negara ini karena ada keluhan hukum dari pemerintah’.

Kanal Ade Jawabi kemudian mengunggah kembali film tersebut dengan judul berbeda, FANS PAGE – JEJAK KHILAFAH DI NUSANTARA (UNOFFICIAL) pukul 11.48 WIB. Hal yang sama terjadi pada kanal ini, yaitu tidak dapat diakses

Tindakan pemblokiran ini mendapatkan kecaman dari beberapa pihak. Termasuk dari Wasekjen MUI, Tengku Zulkarnain, yang geram dan meminta presiden untuk memberikan alasan atas pemblokiran yang dilakukan.

“Dengan ini saya meminta jawaban resmi dari pak @jokowi sebagai Presiden RI, yai Maruf Amin dan pak @mohmahfudmd: ‘Apa alasan keluhan pemerintah atas video Jejak Khilafah sebagai sejarah? Apakah ada hukum negara yang dilanggar? NKRI negara hukum, tidak boleh sewenang-wenang,” tulis Tengku.

Sebelumnya, film ini mendapatkan respons dari sejumlah sejarahwan yang namanya dicantumkan dalam film. Prof Peter Carey misalnya, yang keberatan namanya tercantum di film tersebut. Ia merasa pihaknya tidak diberitahu, bahwa wawancara yang pernah dilakukan mengenai Perang Diponegoro akan diangkat dalam film.

Peter, melalui asistennya, Christopher Reinhart, memberikan klarifikasi. Peter mengirimkan surel kepada ahli sejarah hubungan Utsmaniyah – Asia Tenggara, Dr Ismail Hakki Kadi, yang isinya terdapat tiga poin penting.

Pertama, tidak ada bukti dokumen-dokumen yang menunjukkan, negara Islam pertama di Jawa adalah Kesultanan Demak, memiliki kontak dengan Turki Utsmani.

Kedua, Kesultanan di Pulau Jawa tidak dianggap di bawah naungan Turki Utsmani. Ketiga, tidak ada bukti adanya hubungan antara Turki Utsmani dengan Kesultanan Yogyakarta. (hma/rhd)

Sumber Utama : https://seru.co.id/pro-kontra-film-jejak-khilafah-di-nusantara/

NU Buka Suara Tentang Kontroversi 'The Santri'

Dyah Paramita Saraswati - detikHot
Rabu, 18 Sep 2019 08:39 WIB"
 
Jakarta -Tak lebih dari seminggu trailer film garapan Nahdlatul Ulama (NU), 'The Santri', diunggah ke YouTube. Namun trailer tersebut telah menuai sejumlah kontroversi.

Mereka yang tidak setuju dengan keberadaan film tersebut menilai dari trailer-nya bahwa film itu tak sesuai dengan kehidupan para santri di pesantren yang sebenarnya.
Salah satu yang melayangkan protes terhadap film itu adalah Ketua Umum Front Santri Indonesia (FSI), Hanif Alathas, yang juga menantu Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab.

NU Buka Suara Tentang Kontroversi The Santri

Foto: (dok.trailer 'The Santri')
1.NU Buka Suara Tentang Kontroversi 'The Santri'
 
Menanggapi hal itu, Wakil Sekjen Pengurus Besar NU (PBNU) yang juga sekaligus eksekutif produser dari 'The Santri', Imam Pituduh, akhirnya buka suara. Menurutnya, sebaiknya mereka yang kontra tidak langsung menilai keseluruhan film hanya dari trailer.Saya ingin ngajak semuanya tunggu dan tonton 'The Santri', tapi setelah produksi. Setelah nanti selesai, kita tonton, baru kita lihat, film itu ada yang bertentangan atau tidak," kata dia saat ditemui di Kantor PBNU, Kenari, Jakarta Pusat.

Imam juga sekaligus mengajak mereka yang kontra agar terlibat langsung dalam film itu untuk membuktikan bahwa di dalamnya tidak ada hal yang baginya berlawanan dengan tradisi santri dan ajaran islam.

"Saya justru ingin ngajak teman-teman yang bertentangan, ayo casting, ikut main bareng untuk merasakan di sini nggak ada hal-hal yang bertentangan sama sekali, malah kami ingin mengajak untuk bisa memahami agama bisa membumi," jelasnya.
 
2. NU Rencanakan Bedah Adegan dan Skenario 'The Santri'

Agar tidak ada yang salah sangka, dalam waktu dekat ini, NU tengah merencanakan diskusi yang membahas adegan dan cerita di film 'The Santri'.

"Nanti kalau masih penasaran, kita bedah scene dan plot-nya. Kita diskusikan bareng-bareng, hukum agamanya seperti apa. Jangan dihakimi dulu, wong masih trailer," tuturnya lagi.

'The Santri' bakal digarap oleh Livi Zheng selaku sutradara bersama adiknya, Ken Zheng. Sedangkan Purwacaraka akan menjadi penata musik dari film itu.Secara singkat, Imam Pituduh menjelaskan, film ini berkisah tentang kehidupan para santri di pesantren yang sedang mempersiapkan hari santri.

Enam orang santri terbaik dijanjikan akan diberangkatkan ke Amerika Serikat.

Selain itu, Imam juga menjelaskan di dalam filmnya bakal ada budaya yang dinamai ater ater. Tradisi tersebut biasa dilakukan santri menjelang Ramadhan ketika mereka mengirimkan makanan ke tetangga sekitar tanpa melihat latar belakang ras dan agama.

"Spirit santri adalah spirit toleransi, kebhinnekaan, kebangsaan, yang sudah ada sedari dulu. Maka Santri ini harus diangkat ke publik menjadi semangat warga Indonesia," ujarnya.

(srs/doc)

NU Buka Suara Tentang Kontroversi The Santri
Foto: Executive Producer 'The Santri', Imam Pituduh (Saras/detikcom)

Sumber Utama: https://hot.detik.com/movie/d-4710678/nu-buka-suara-tentang-kontroversi-the-santri/2 

'The Santri' Tuai Kontroversi

Nugraha - detikHot
Kamis, 19 Sep 2019 07:35 WIB

Jakarta - Tak lebih dari seminggu trailer film garapan Nahdlatul Ulama (NU), 'The Santri', diunggah ke YouTube. Namun trailer tersebut telah menuai sejumlah kontroversi.

Mereka yang tidak setuju dengan keberadaan film tersebut menilai dari trailer-nya bahwa film itu tak sesuai dengan kehidupan para santri di pesantren yang sebenarnya.

1.'The Santri' Tuai Kontroversi

Salah satu yang melayangkan protes terhadap film itu adalah Ketua Umum Front Santri Indonesia (FSI), Hanif Alathas, yang juga menantu Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab. Menanggapi hal itu, Wakil Sekjen Pengurus Besar NU (PBNU) yang juga sekaligus eksekutif produser dari 'The Santri', Imam Pituduh, akhirnya buka suara. Menurutnya, sebaiknya mereka yang kontra tidak langsung menilai keseluruhan film hanya dari trailer. "Saya ingin ngajak semuanya tunggu dan tonton 'The Santri', tapi setelah produksi. Setelah nanti selesai, kita tonton, baru kita lihat, film itu ada yang bertentangan atau tidak," kata dia saat ditemui di Kantor PBNU, Kenari, Jakarta Pusat.

The Santri Tuai Kontroversi

Foto: (dok.trailer 'The Santri'

Imam juga sekaligus mengajak mereka yang kontra agar terlibat langsung dalam film itu untuk membuktikan bahwa di dalamnya tidak ada hal yang baginya berlawanan dengan tradisi santri dan ajaran islam."Saya justru ingin ngajak teman-teman yang bertentangan, ayo casting, ikut main bareng untuk merasakan di sini nggak ada hal-hal yang bertentangan sama sekali, malah kami ingin mengajak untuk bisa memahami agama bisa membumi," jelasnya. 

The Santri Tuai Kontroversi

Foto: (dok.trailer 'The Santri')
2.'The Santri' Gaet Sutradara Livi Zheng

Agar tidak ada yang salah sangka, dalam waktu dekat ini, NU tengah merencanakan diskusi yang membahas adegan dan cerita di film 'The Santri'.

"Nanti kalau masih penasaran, kita bedah scene dan plot-nya. Kita diskusikan bareng-bareng, hukum agamanya seperti apa. Jangan dihakimi dulu, wong masih trailer," tuturnya lagi.

'The Santri' bakal digarap oleh Livi Zheng selaku sutradara bersama adiknya, Ken Zheng. Sedangkan Purwacaraka akan menjadi penata musik dari film itu. Agar tidak ada yang salah sangka, dalam waktu dekat ini, NU tengah merencanakan diskusi yang membahas adegan dan cerita di film 'The Santri'.

"Nanti kalau masih penasaran, kita bedah scene dan plot-nya. Kita diskusikan bareng-bareng, hukum agamanya seperti apa. Jangan dihakimi dulu, wong masih trailer," tuturnya lagi.

'The Santri' bakal digarap oleh Livi Zheng selaku sutradara bersama adiknya, Ken Zheng. Sedangkan Purwacaraka akan menjadi penata musik dari film itu. Selain itu, Imam juga menjelaskan di dalam filmnya bakal ada budaya yang dinamai ater ater. Tradisi tersebut biasa dilakukan santri menjelang Ramadhan ketika mereka mengirimkan makanan ke tetangga sekitar tanpa melihat latar belakang ras dan agama.

"Spirit santri adalah spirit toleransi, kebhinnekaan, kebangsaan, yang sudah ada sedari dulu. Maka Santri ini harus diangkat ke publik menjadi semangat warga Indonesia," ujarnya.

(nu2/doc)

Sumber Utama : https://hot.detik.com/movie/d-4712253/the-santri-tuai-kontroversi/2 

Menakar Kontroversi Film The Santri

Saat ini jagat media sosial kita diriwehkan dengan penolakan terhadap film The Santri karya Livi Zheng (Livi) yang baru rilis film trailernya beberapa waktu lalu. Film Livi sebelumnya Bali: Beats Of Paradise juga sempat dihujat dengan berbagai kritiktetapi tidak semasif film The Santri tersebut.

Bahkan, sampai opini ini ditulis, berbagai perang tagar semakin banyak bermunculan untuk mereduksi dan mengikis para peminat  film The Santri yang akan dirilis pada 19 September 2019.

Para pemain inti film The Santri adalah Emil Dardak, Muhammad Ulul Azmi, Veve Zulfikar, Wirda Mansur yang menjadi ikon kesantrian kalangan Nahdliyyin dan ikon pemuda Islam milenial. Terlepas pendapat pro dan kontra ketika film The Santri rilis, jauh sebelum itu Livi sudah menjadi isu kontroversi media sosial yang mempertanyakan prestasinya dalam bidang persutradaraan film di Hollywood.

Sejatinya, melihat film The Santri ini harus dipandang dari pendekatan apa dan bagaimana untuk menilainya? Sebab hal ini juga berpengaruh pada hasil pendapat dan kritik yang dihasilkan. Jika kita melihat trailer film ini dengan pendekatan retorik dan tekstual, maka hasilnya akan mudah menghujat dan cenderung melarang film ini. Tetapi jika kita melihat dari sudut pandang yang kontekstual, maka akan dihasilkan pendapat yang baik dan penuh apresiatif terhadap karya anak bangsa.

Film The Santri sebenarnya masih merilis trailer film yang saat ini menyebar ke media sosial, tetapi kemudian hujatan dan kritik terlalu terburu-buru dimunculkan oleh para netizen. Fatwa-fatwa berbau agama juga semakin massif muncul dari Ustad Virtual sebagai legitimasi penolakan terhadap film tersebut.

Film The Santri dianggap melanggar syariah dan sama sekali tidak mencerminkan khas santri yang sejati. Konsep pesantren dan santri yang dimunculkan dalam trailer film bagi mereka (yang menolak) merupakan realitas yang keliru, mereka mengkritik adanya adegan santri yang berpacaran dan berkumpulnya santri putra dan putri dalam satu majelis ilmu bagi mereka sama sekali tidak menampilkan wajah pesantren yang sesungguhnya.

Sepertinya, kalangan yang mengritik itu tidak banyak tahu dengan beberapa model pesantren dan bahkan perkembangan pola dan model pesantren itu sendiri. Sedangkan, menurut Zamakhsyari Dhofier (2011) model pesantren yang khas di Indonesia ada yang bercorak tradisional, semi-Modern dan Modern.

Di antara tiga model pesantren tersebut terdapat pola yang berbeda-beda. Terdapat pesantren yang memang benar-benar memisahkan santri putra dan putri dalam studinya serta ada pula yang menggabungkan antara santri putra dan santri putri dalam satu atap majelis ilmu, yang biasanya hal tersebut dilatarbelakangi oleh kurangnya pembangunan insfratruktur pesantren.

Kemudian berbicara tentang pacaran dalam trailer film yang banyak menjadi hujatan netizen, bahwa kalau boleh jujur realitas hubungan romantisme dua jenis di pesantren sejatinya bukan hanya dilakukan antara laki-laki dengan perempuan, tetapi juga antara sesama jenis baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini sudah terjadi sejak lama di pesantren dan bahkan menjadi realitas yang meng-ada sepanjang waktu, terkhusus pesantren yang memisahkan laki-laki dan perempuan dalam satu madrasah atau sekolah.

Bahkan terdapat  sebutan yang khas bagi tiap wilayah pesantren serta memiliki perbedaan dalam menjuluki fenomena ini. Penulis sekitar 4 tahun yang lalu juga nyantri di Jember, Jawa timur. Ketika penulis dulu sekolah baik formal dan non-formal (madrasah) terdapat kelas yang bercampur dengan santri putri, hal ini sudah menjadi fenomena biasa. Dalam prakteknya, kami tidak ada yang melakukan perbuatan yang bagi mereka melanggar syariah dan terbukti aman-aman saja sebagai bagian dari realitas modern.

Melihat kontroversi film yang akan segera tayang ini, seharusnya kita lebih bijak dan apresiatif dalam menilai, jangan sampai gegabah dalam menilai suatu karya film tanpa tahu semua isi karyanya secara komprehensif.

Apalagi kita sebagai warga media sosial seringkali langsung mengikuti pendapat suatu ustad Virtual, yang secara retorik langsung menjawab pertanyaan jamaahnya sebagai pemuas belaka, tanpa secara logis dan kontekstual dalam memandang sebuah karya. Sehingga seringkali jawaban saat ini akan berubah, ketika nanti secara langsung melihat karya tersebut.

Kita lupa bahwa dalam Islam sendiri terdapat banyak cerita romantisme, dan kisah-kisah yang penuh dengan kekuatan imajinasi yang tinggi. Seharusnya sebagai sesama anak bangsa kita mengapresiasi karya tersebut, terlepas pro dan kontra yang menjadi bagian dari realitas keseharian. Sehingga kita tidak menjadi bangsa yang hanya suka mengomentari, tetapi menjadi bangsa yang memilik karya dan prestasi.


Sumber Utama : https://geotimes.co.id/op-ed/menakar-kontroversi-film-the-santri/ 

Apa Beda Habib, Sayyid, Dzuriyah, Alawiyin, dan Ahlulbait

Terjadi pencampuradukan makna dan fungsi sejumlah kata “Ahlulbait”, “Dzuriyah”, “Habib”, “Sayyid”, dan “Alawi”, secara sengaja ataupun tidak sengaja, yang bisa menimbulkan kesalahpahaman. Hadis Tsaqalain (bahasa Arab: حديث الثقلين) adalah sebuah hadis yang sangat masyhur dan mutawatir dari Nabi Muhammad Saw. yang bersabda, “Sesungguhnya kutinggalkan dua pusaka bagi kalian, Kitab Allah (Al-Qur’an) dan itrahku (Ahlulbait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat.”

Hadis ini diterima oleh seluruh kaum Muslimin, baik Syiah maupun Sunni, dan termaktub dalam kitab-kitab hadis dari kedua mazhab besar tersebut. Dalam Kamus-Kamus Abad Pertengahan, Bahasa Arab Kontemporer, Al-Ra’id, Lisan Al-Arab, Kamus Sekitarnya disebutkan bahwa “Al-Itrah” adalah keturunan.

Ahlulbait adalah sebutan khusus bagi orang-orang tertentu yang telah ditetapkan secara eksplisit berdasarkan banyak riwayat mutawatir, yang diterima seluruh umat Islam, antara lain Hadits Kisa’. Dari sini kata Ahlulbait dipastikan sebagai sebutan untuk Nabi Saw., Ali bin Abi Thalib, Fatimah serta kedua putranya, Al-Hasan dan Al-Husain.

Dzurriyah

Keturunan Nabi kerap disebut “Dzurriyah Rasul”. Kata dzurriyah berasal dari dzarrah yang bisa berarti “benih” atau “benda sangat kecil”. Dzurriyah berarti benih manusia alias keturunan. Kata ini mengandung makna general yang meliputi setiap orang yang lahir dari keturunan Nabi. Secara primer, kata dzurriyah bersifat netral tidak memuat makna penghormatan karena bisa digunakan untuk setiap keturunan. Dalam al-Qur’an kata dzurriyah digunakan dalam banyak ayat.

Habib

Kata lain yang kerap diidentikkan dengan “Ahlulbait” adalah sebutan Habib. Habib serumpun dengan Hubb, kata bahasa Arab yang bermakna “cinta”. Habib adalah kata Arab semakna dengan mahbub yang berarti “dicintai”. Pada makna primer, Tuhan adalah Yang Dicintai. Dialah Pemilik Tunggal sifat Habib. Inilah makna “Tauhid fil Mahabbah”. 

Secara ontologis cinta hanyalah bermakna hubungan vertikal. Cinta dengan makna hubungan horisontal bersifat metafora dan tak sejati. Cinta vertikal bermakna kebergantungan akibat (makhluk, hamba) kepada Tuhan dan hamba-hamba suci pilihan-Nya. Cinta horisontal bermakna saling membutuhkan antar sesama makhluk. Cinta horisontal bermakna saling membutuhkan antar sesama makhluk.

Cinta vertikal dari sisi Tuhan sebagai Kausa Prima, dan entitas termulia di bawah-Nya, berupa pelimpahan cahaya dalam kewenangan mutlak. Dari sisi hamba, cinta vertikal berupa pencerapan cahaya dalam kepatuhan mutlak karena cahaya Allah hanya dipancarkan oleh cahaya terdekat.

Nabi Saw., adalah entitas termulia setelah Allah SWT. Sebagai pribadi yang memperoleh kewenangan dari Allah, ia wajib dicintai. Dialah habib kedua (dalam makna vertikal) setelah Allah SWT sekaligus habib pertama di antara semua hamba-Nya. Pemilik berikutnya hak dipatuhi dan dicintai adalah manusia-manusia suci yang ditetapkan sebagai pengawal ajarannya. 

Dengan kata lain, habib adalah predikat dzati (li nafsihi) bagi Allah, dan predikat arazhi (li ghairihi) bagi Nabi Saw., kemudian bagi orang-orang suci secara gradual yang ditetapkan oleh Nabi sebagai pemegang kewenangan vertikal. Pemegang wewenang adalah panutan yang dicintai karena wajib dipatuhi.

Nab Saw. sang habib utama adalah album semua budi pekerti. Dia bukan hanya tak suka disanjung, tapi selalu tenggang rasa dan rendah hati. “Hai orang-orang beriman, jika kau diundang (Nabi), masuklah. Dan setelah makan, pulanglah tanpa asyik memperpanjang obrolan. (Karena) sesungguhnya itu merepotkan Nabi, tapi ia malu (menyuruhmu pulang)…” (QS 33:53).

Sedangkan orang-orang yang secara determinan terlahir dalam garis biologis yang bersambung dengan Habib Muhammad Saw. bukanlah habib sejati. Mereka adalah habib i’tibari, yang dipanggil habib bukan karena kewenangan, tapi karena “diharapkan” mengikuti jejak Nabi dan para manusia suci yang terhubung secara nasab dengannya.

Dalam tradisi umat semula predikat habib hanya disematkan pada sebagian keturunan Nabi yang dinilai berperan penting di tengah masyarakat alim, guru agama, pendakwah, pesuluk dan tokoh masyarakat, seperti Habib Husin Luar Batang, Habib Idrus Aljufri Palu dan Habib Lutfi bin Yahya. Artinya, tak semua orang yang dikenal sebagai cucu Nabi Saw. digelari dan dipanggil habib.

Dalam sejarah Indonesia sebelum dan setelah kemerdekaan banyak tokoh dzuriryah yang sukses menjaga kehormatan gelar habib dalam pandangan dan tindakan. Masyarakat mencintai mereka karena keteladanan mereka. Tapi kini ia menjadi semacam gelar massal untuk setiap Alawi sehingga kerap menimbulkan kebingungan dan kesemrawutan.

Sayyid

Serumpun dengan habib adalah gelar “sayyid”, sebuah kata yang berasal dari kata baku (mashdar) siyadah atau kata kerja lampau sada (dengan fathah dan alif setelah huruf sin), berarti “menguasai” dan “memimpin”.

Karena penghargaan abadi kepada para tokoh Ahlul-Bait itulah, setiap alawi atau yang memiliki garis keturunan yang terbukti membimbing umat juga dipanggil dengan predikat “sayyid”. Artinya, gelar ini bukanlah semata-mata penghargaan dan pemujaan simbolik, namun juga isyarat dan mekanisme alami untuk senantiasa mengingatkan mereka yang merasa berasal dari garis nasab Ahlul-Bait untuk senantiasa mewakafkan diri sebagai abdi dan pemandu umat.

Sayyid sejati sangat berjiwa rakyat, peka terhadap derita umat, dan pantang dilayani, apalagi minta disanjung. Penghormatan dan pengistimewaan umat terhadap para alawi karena kontribusi dan pengorbanan mereka demi umat.

Alawi

Kata-kata “Alawi” dan “Alawiyin” juga kerap dikaitkan dengan Ahlulbait oleh banyak orang. Kata ini adalah kata nisbah yang dikaitkan dengan nama Ali bin Abi Thalib. Seseorang disebut alawi karena lahir dari keturunan menantu Nabi itu juga sebutan bagi orang yang dikenal sebagai orang yang meyakini Ali sebagai juru bicara Nabi Saw., alias Syiah.

Kini gelar-gelar mulia itu seolah menjadi sarana meraih kekuasaan dan alat mengais harta bagi segelintir orang yang tak memenuhi syarat keteladanan dan tak punya kiprah positif di tengah masyarakat. Beberapa pemajang gelar habib bukan hanya tak layak menyandangnya, tapi juga tak layak disebut Ahlulbait dan itrah (karena itu sebutan khusus). Juga tak layak digelari sayyid dan habib karena gagal menjaga kehormatan gelar dan atribut habib, sayyid, dan dzurriyah Nabi, meski secara genetik tetaplah dzurriyah.

Apabila peran dan kontribusi nirlaba ini tidak lagi diberikannya, maka seorang Alawi tidak patut menunggu orang memanggilnya dengan “sang pemimpin” (sayyid). Artinya, ada kalanya seorang Alawi tidak menyandang predikat “Sayyid”. Banyak orang berhak dipanggil Sayyid dan Habib, namun menyembunyikannya karena menganggapnya sebagai beban moral yang berat. 

Memperlakukan beberapa orang yang namanya tak tercantum sebagai anggota Ahlulbait sebagai Ahlulbait hanya karena dipanggil dengan sebutan mulia yang kerap tak harmonis dengan pandangan, pernyataan dan perilakunya mendelegitimasi posisi sakral, sentral dan ekseklusif figur-figur suci Ahlulbait yang dimuliakan oleh umat Islam dengan ragam kelompok dan alirannya generasi demi generasi sebagai teladan, model dan kader-kader utama Nabi Saw. Penghuni rumah tentulah lebih memahami isi rumahnya.

Di sisi lain, penyalahgunaan gelar dan posisi juga kegemaran pamer adalah perilaku purba sebelum kesayyidan dikenal. Perilaku negatif ini juga tak hanya terjadi dalam urusan kesayyidan. Tak sedikit Sayyid yang berperilaku rasional dan anti pamer justru mengalami diskriminasi dan perlakuan rasial yang menimbulkan trauma sekeluarga berkepanjangan. Generalisasi adalah falasi paling jorok dan membinasakan.

Gelar nasab berbeda dengan gelar pendidikan. Ia adalah sesuatu yang determinan. Ia bukanlah prestasi dan bukan pula gawang aneka cemooh berbalut kritik. Siapa pun, bergelar Sayyid, atau tak bergelar, tak perlu disanjung juga tak usah disinggung. Yang bergelar berpotensi sombong, dan tak bergelar berpeluang dengki.


Sumber Utama : https://geotimes.co.id/komentar/apa-beda-habib-sayyid-dzuriyah-alawiyin-dan-ahlulbait/ 

Mengapa Pancasila Membolehkan Paham Ateisme?

Dalam pasal 156a KUHP disebutkan bahwa “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan kepada suatu agama yang dianut di Indonesia, b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Poin pertama pasal di atas jelas bahwa seseorang tak boleh melakukan penghinaan atau penodaan terhadap agama dan keyakinan tertentu yang dapat menimbulkan kemarahan dan kegaduhan secara luas di masyarakat. Munculnya pasal ini untuk memastikan agar setiap penganut agama tertentu dapat mengekspresikan keyakinannya dengan penuh hikmat tanpa ada gangguan dari penganut agama lainnya.

Mari kita perhatikan poin kedua pasal ini, yakni adanya larangan untuk mengeluarkan perasaan dan melakukan perbuatan yang bermaksud agar seseorang tidak menganut agama apapun, sesuai dengan sikap berketuhanan pada sila pertama. Pasal ini mengindikasikan bahwa setiap warga negara tak boleh menyebarluaskan secara sengaja paham-paham yang masuk kategori ateisme.

Jika agnostisisme merupakan paham yang menarik diri pada hal-hal yang serba tahu akan eksistensi Tuhan dan mencoba skeptis terhadapnya, maka ateisme adalah paham yang tidak mengakui adanya eksistensi Tuhan. Di Indonesia, paham ateisme umumnya disematkan pada mereka yang menganut ideologi komunis, meski dua paham ini sebenarnya tidak identik satu sama lain.

Paham agnostis mempertahankan suatu pendirian bahwa manusia memiliki keterbatasan pengetahuan atau kemampuan rasional untuk membuat pertimbangan tentang kebenaran tertinggi. Ateisme lebih ekstrem daripada itu, yakni dengan menegasikan sama sekali terhadap eksistensi dan kebenaran tertinggi yang disebut Tuhan.

Butir-butir Pancasila pada dasarnya tidak selalu mencerminkan sikap warga negara secara langsung, terbukti tidak semua agama yang disahkan oleh Undang-undang menganut paham Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi sebagai ideologi pemersatu, Pancasila dimaksudkan untuk menghimpun dan mempersatukan segala jenis perbedaan dan bahkan pertentangan dalam masyarakat.

Sebagai ideologi, Pancasila tidak akan pernah menjadi suatu ketetapan yang baku sampai ada Undang-undang yang mengatur secara jelas dan tegas tentang implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Undang-undang pada prinsipnya adalah kepanjangan dan tafsir implementatif dari ideologi pemersatu.

Kembali ke soal awal, benarkah Pancasila membolehkan ateisme? Pertanyaan ini terasa sulit dan menjadi kontroversial ketika dihadapkan pada butir pertama Pancasila dan sebuah penafsiran dari Notonagoro bahwa Pancasila itu bersifat hierarkis, yakni urutan bertingkat-tingkat di mana setiap butir memberi nafas dan mengiringi butir-butir lainnya, sehingga Pancasila dipahami secara tunggal dan tak terpisah-pisah, maka ateisme adalah ketidakmungkinan.

Secara tidak langsung, bentuk normatif dari pasal 156a justru menyatakan sebaliknya, bahwa setiap individu bebas menganut agama dan keyakinan tertentu bahkan ia bebas untuk tidak menganut agama apapun selama ia tidak menganggu umat lain berupa menyebarkan paham yang tidak meyakini agama apapun seperti ateisme.

Mahfud MD pernah mengatakan bahwa tidak ada satu pasal pun yang melarang seseorang menganut paham ateis, bahkan ia menambahkan bahwa orang yang mengaku sebagai ateis dan komunis tidak pernah bisa dipidanakan. Itu artinya seseorang bebas untuk bertuhan sekaligus tidak bertuhan selama ia tak menganggu kebebasan orang lain dalam beragama.

Jika kita menarik diri pada penasfiran Pancasila yang bersifat hirarkis, maka kebolehan ateisme itu-di samping belum ada Undang-undang yang mengaturnya-bisa dilihat secara jelas melalui butir sila kedua dan keempat. Esensi dari sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah sikap humanisme yang tinggi.

Humanisme adalah paham yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik berdasarkan asas kemanusiawian. Kendati humanisme bukanlah aliran yang disepakati dalam arti yang sangat luas-sebagaimana dalam aliran filsafat-tetapi sikap humanis menjadi ciri khas manusia Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemakmuran dan kebersamaan atas nama kemanusiaan.

Sikap humanis mengandaikan bahwa manusia dapat secara independen melakukan apapun dan memperjuangkan setiap cita-cita tanpa pada saat yang sama ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Dalam hidup berbangsa dan bernegara, sikap humanis inilah yang menjadi tolak ukur untuk sampai pada harapan-harapan di masa depan. Sehingga watak humanisme bisa dikembangkan secara alami tanpa seseorang harus memiliki keyakinan terhadap Tuhan.

Sampai di sini, kita sudah dapat meraba-raba betapa dibolehkannya ateisme tidak melalu berasal dari ketiadaannya Undang-undang secara jelas, tetapi bahkan butir Pancasila menegaskan soal itu. Tentu banyak perselisihan tentang ini, tetapi kita harus tahu bahwa Pancasila selalu multi-tafsir dan ada banyak cara memahaminya selama tidak ada ketetapan pasti Undang-undang yang mengaturnya.

Butir keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawartan/Perwakilan adalah bentuk lain dari demokrasi. Jika humanisme adalah keyakinan di mana manusia dapat mencapai cita-citanya secara independen, maka demokrasi adalah mekanisme di mana manusia dapat sampai pada cita-cita itu.

Demokrasi merupakan gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Dalam sistem pemerintahan, demokrasi mengandaikan bahwa seluruh rakyat dapat berpartisipasi dan ikut serta dalam berjalannya roda pemerintahan, maka demokrasi adalah dari rakyat dan untuk rakyat. Tuhan lalu tak mendapat tempat pada sistem ini.

Pemberlakuan sistem demokrasi dalam suatu pemerintahan sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya, keadaan di mana rakyat sebagai tolak ukur dalam menetapkan setiap kebijakan menjadikan hukum agama tak berlaku menentukan kebijakan praktis, meski fungsinya masih eksis dalam hukum keperdataan.

Sekali lagi, sistem demokrasi memudahkan seseorang untuk bertuhan dan tidak sama sekali. Sebab kedaulatan ada di tangan rakyat dan bukan Tuhan. Sehingga siapapun bebas untuk memilih keyakinan mana yang menurutnya cocok dan sesuai dengan sesuatu yang telah disepakati secara bersama seperti demokrasi.

Dalam banyak bentuknya, ideologi dan sistem yang diberlakukan di negeri ini sangat membolehkan seseorang untuk menjadi ateis. Bahkan itu menjadi pilihan bebas sebagai hak yang dilindungi oleh Undang-undang. Tidaklah mungkin di atas sendi demokrasi keyakinan seseorang diintervensi oleh kelompok dan keyakinan tertentu.

Jika kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain, maka ateisme tidaklah menganggu kebebasan orang lain sebab ia bukan ancaman sebagaimana ajaran yang dianggap sesat dan memiliki misi untuk mempengaruhi orang lain. Ateisme memiliki kekuatan argumentatif untuk mempertahankan kebenarannya yang sama sekali tidak berangkat dari normativitas dan doktrinasi agama, sehingga ia bukanlah semacam keyakinan yang berbahaya. 


Sumber Utama : https://geotimes.co.id/opini/mengapa-pancasila-membolehkan-paham-ateisme/ 

“Islam Kaffah” yang Bagaimana?

Sebuah buletin baru “Buletin Dakwah Kaffah” terbit pada 18 Dzulqa’dah 1438 H/11 Agustus 2017. Judul “Islam Kaffah” mengingatkan kita kembali slogan Hizbut Tahrir Indonesia dan berbagai ormas dan juga penceramah di mana-mana. Tulisan di bawah ini membahas kedangkalan pemaknaan Islam Kaffah sebagian orang, khususnya yang diuraikan buletin ini.


Dalam edisi ini, Islam Kaffah diartikan Islam yang syamil (meliputi segala sesuatu) dan kamil (sempurna). Sebagai agama yang syamil, Islam menjelaskan semua hal dan mengatur segala perkara: akidah, ibadah, akhlak, makanan, pakaian, muamalah, uqubat (sanksi hukum), dll. Tak ada satu perkara pun yang luput dari pengaturan Islam. Lalu ayat-ayat dikutip (an-Nahl: 89, al-Maidah: 3).

Frase “Islam Kaffah” diambil dari Surat al-Baqarah: 208, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam (al-silm) secara keseluruhan (kafah), dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.”

Kaffah di sini diartikan: secara keseluruhan, atau semua umat Islam. Maka, tulisan buletin melanjutkan, “tak sepatutnya kaum Muslim mempraktekkan aturan-aturan lain yang bersumber dari Barat….”. “Dengan demikian haram bagi kaum Muslim untuk mengingkari atau mencampakkan sebagian syariah Islam dari realitas kehidupan dengan mengikuti prinsip sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan) sebagaimana yang dipraktikkan oleh negara saat ini.”

Dicontohkan, Abdullah bin Salam, orang Yahudi yang masuk Islam, dilarang mengikuti sebagian ajaran taurat, seperti puasa di hari Sabtu, dan keharaman makan daging.

Disebutkan, sistem negara dan sistem politik tidak dicantumkan secara tekstual dalam al-Qur’an. Poin ini hampir semua Muslim setuju. Poin berikutnya, bahwa as-Sunnah dan ijma’ sahabat sepakat tentang sistem negara dan politik, tidak ada persetujuan di dalamnya.

Jika al-Qur’an dan Sunnah Nabi dijadikan rujukan utama tentang sistem negara dan sistem politik, maka para pejuang sistem Negara Islam membayangkan kehidupan pada masa Nabi dan para sahabat itu.

Jika setiap praktik kehidupan zaman Nabi dan sahabat yang direkam al-Qur’an dan banyak hadis itu diwajibkan apa adanya secara formal dan harfiah, maka, misalnya, praktik perbudakan masih bisa diterapkan di sini dan sekarang. Bagaimana menyikapi ayat “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki (al-Mukminun: 5-6, juga al-Ma’arif: 29-30)?

Bukan perbudakannya, tapi semangat al-Qur’an-lah dan Sunnah yang membebaskan budak-budak dan menjadikan pembebasan budak sebagai kebajikan, itulah norma yang universal yang relevan dan diwujudkan di sini dan sekarang.

Jika Islam Kaffah semata-mata dalam hal bentuk, maka pembagian warisan, poligami, hukum qishash, jihad dalam arti qital atau perang dalam beberapa ayat, transaksi ekonomi dengan mata uang dinar, dan berbagai rincian lain dalam al-Qur’an dan kebanyakannya dalam kitab-kitab hadis dan fiqih itu (baca misalnya Kitab Fiqh Al-Sunnah karya As-Sayyid Sabiq, jilid 2, bab al-jinayat, al-jihad, al-jizyah, al-ghana’im), maka itu semua wajib diterapkan, dan tanpa pilih-pilih.

Jika “Islam Kaffah” mengikuti ijma’ sahabat, maka ijma’ sahabat yang manakah yang harus diterapkan di sini dan di zaman kita sekarang dan ijma’ mana yang sudah tidak relevan lagi? Bagaimana dengan beberapa kaum Syiah yang tidak menerima banyak sahabat dan hanya menerima hadis dari jalur-jalur mereka sendiri? Apakah Islam Kaffah tidak memasukkan golongan-golongan selain golongan yang mereka anggap Ahlus Sunnah?

Jika kita membaca kumpulan hadis Bukhari dan Muslim, misalnya, kita akan dapati betapa sulitnya kita, sebagai Muslim di Indonesia, Saudi, Iran, atau di Amerika saat ini, menjalankan semua isi hadis-hadis itu dalam bentuk praktiknya persis seperti dulu. Banyak sekali rincian yang tidak lagi relevan, dan kita, tidak sadar atau sadar, menjadikan hadis-hadis ini sebagai hapalan atau rujukan pengetahuan dan bacaan tanpa tahu atau mau atau bisa menjalankannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Rincian-rincian yang termuat dalam kitab-kitab hadis–apakah yang Sunni atau yang Syiah atau yang tidak terkait langsung dengan mazhab teologis tertentu–tidak semuanya bisa diterapkan, dan memang tidak semuanya dianjurkan, apalagi diwajibkan, untuk diterapkan secara tekstual, literal, atau harfiah.

Kenyataan bahwa al-Qur’an tidak memuat secara tegas dan eksplisit tentang sistem negara seharusnya membuat mereka berpikir bahwa sistem politik bukan sistem yang universal; bukan sistem yang wajib diwujudkan setiap waktu dan tempat; bukan sistem yang menyangkut masalah fundamental (aqidah dan ibadah) jika kita ikut kategorisasi Islam arus utama itu.

Sarjana dan mujtahid Islam perlu mempelajari ayat-ayat al-Quran, Sunnah, dan juga ayat-ayat sosial, sejarah, dan alam semesta. Perlu diakui, banyak umat non-Muslim lebih maju dalam membaca ayat-ayat sosial, sejarah, dan alam semesta itu. Ulama dan umat Islam harus berpikir dan berijtihad menemukan mana yang universal dan mana yang partikular, mana nilai-nilai dalam rincian-rincian doktrin dan praktik di tempat asing dan di waktu dulu itu.

Kenyataan lain, pejuang Islam Kaffah yang meliputi sistem ekonomi, politik, sosial, dan semua aspek kehidupan, ternyata tidak benar-benar hidup dalam sistem yang terpisah dari sistem global dan wilayah di mana mereka hidup dan berkiprah sepanjang tahun mereka.

Islam Kaffah tidak perlu diartikan sebagai mencukur kumis dan memelihara jenggot, memakai hijab ala istri-istri Nabi, menyikat gigi dengan siwak, memakan kurma, dan sisi-sisi lain itu, yang bisa diterapkan dan bisa juga tidak diterapkan.

Islam Kaffah yang lebih tepat menurut pemahaman al-Qur’an adalah Islam yang terpadu dalam keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Islam yang tidak hanya mengutamakan aspek spiritual tapi juga aspek material, Islam yang mengutamakan ilmu pengetahuan (az-Zumar: 9; yang tidak membeda-bedakan asal usul ilmu pengetahuan dan teknologi, dari timurkah, atau dari baratkah, dari selatan atau dari utarakah), Islam yang memadukan masa lalu, masa sekarang dan masa depan, Islam yang mengakui dan menghargai tempat di mana umat Islam berpijak.

Islam Kaffah adalah Islam yang memperjuangkan nilai-nilai yang menyeluruh seperti keadilan, kemanusiaan, dan keragaman umat manusia dan alam semesta. Islam Kaffah adalah Islam yang mengutamakan keyakinan dan akhlak atau perilaku yang mengasihi sesama Muslim dan semua umat manusia, tumbuhan, hewan, dan alam semesta.

Islam Kaffah bukan berarti tidak kritis terhadap sistem-sistem yang berlaku di zaman sekarang seperti demokrasi, kapitalisme, neo-imperialisme, sosialisme, Pancasila, UUD 1945, dan sebagainya. Gagasan dan sistem ini pun tidak tunggal dan tidak tetap. Umat Islam, pada gagasan dan kenyataan mereka saat ini, memahami dan menjalankan sisi-sisi tertentu saja dari demokrasi, kapitalisme, dan sosialisme, sebagaimana juga sisi-sisi dari syariah Islam, sadar atau tidak, eksplisit atau tidak.

Islam Kaffah seharusnya berarti Islam yang mensetarakan setiap insan, terlepas dari orientasi jender mereka, setiap mereka menanamkan dan menjalankan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Mengenai “barat” sebagai lawan, barat bukanlah entitas yang tunggal. Kristen tidak tunggal. Yahudi tidak serupa. Kapitalisme tidak tunggal. Sosialisme tidak tunggal. Keberagamaan Islam pun tidak satu. Umat Islam pun, meskipun disebut umat Islam, tidaklah tunggal. Islam Kaffah bukan berarti menolak belajar dari berbagai sumber ilmu dan teknologi. Islam Kaffah bukan berarti tidak mau berdialog, saling belajar, saling memperkaya, dan bahkan bekerja sama.

Yang juga disayangkan, Islam sebagai sikap hidup yang inklusif menjadi terpinggirkan oleh sebagian gerakan Islam Kaffah ketika ia diwujudkan dengan menolak pemahaman Islam lainnya yang dituduh “tidak kaffah” karena mereka menerima demokrasi atau republik.

Gerakan Islam Kaffah pun menjadi salah satu golongan saja di kalangan umat Islam, sedangkan umat-umat Islam lainnya dianggap sebagai “yang lain”. Gerakan Islam Kaffah menjadi gerakan mengkafir-kafirkan dan menyesat-nyesatkan golongan-golongan atau individu-individu Muslim lain yang berbeda pemahamannya atau berbeda strategi perjuangannya.

Pejuang Islam Kaffah tidak bisa meninggalkan perintah ayat al-Qur’an yang terang benderang “lita’arafu” (Q.S. al-Hujurat: 13), untuk saling kenal mengenal antara suku dan bangsa. Pendukung slogan Islam Kaffah juga tidak bisa melupakan perintah untuk fastabiqul khairat (berkompetisi dalam kebaikan-kebaikan, al-Baqarah: 148). Kebaikan (khairat dan ma’ruf) itu tidak tunggal, bukan milik orang Islam saja, tapi kebajikan itu majemuk, beragam, dan ada di mana dan dari mana saja.

Singkatnya, Islam Kaffah yang lebih tepat adalah pemaknaan dan perwujudan Islam yang menyeluruh dalam nilai-nilai dan prinsip-prinsip, seperti keadilan (an-Nahl: 90; an-Nisa: 58), perdamaian (al-Anfal: 61), keamanan (al-Nur: 55), kesejahteraan (an-Nisa: 9), bukan semata-mata dalam bentuk lahiriah, formal, atau aspek-aspek instrumental yang bisa berubah sesuai perkembangan waktu dan tempat.

Pada kenyataannya, setiap Muslim, setiap manusia, selalu memilih mana yang cocok dan membuang mana yang tidak cocok. Selalu mencampur banyak hal dari berbagai sumber, terlepas dari klaim-klaim identitas yang seolah-olah hanya memakai sistem dan produk dari umat seagama kita saja, seolah-olah kita tidak pernah dan tidak menggunakan gagasan dan sistem lain dalam kehidupan nyata kita.

Menggunakan penanggalan 11 Agustus 2017 dalam buletin ini menunjukkan bahwa Islam Kaffah mereka pun harus menggunakan sistem penanggalan Masehi (Yesus Kristus) yang sudah lama mengglobal. Salah satu bentuk konkrit kebudayaan yang hibrid, yang sering kita tidak mau mengakui dan menghargainya.


Sumber Utama : https://geotimes.co.id/kolom/agama/islam-kaffah-yang-bagaimana/ 

Gerakan Mahasiswa, Belum Beranjak dari Utopia?

Sampai hari ini retorika gerakan mahasiswa agaknya belum beranjak dari utopia yang meyakini perannya sebagai agen revolusioner yang mendorong perubahan. Sering kali retorika tersebut lupa melihat jarak (gap) objektif antara kapasitas gerakan mahasiswa dengan tantangan nyata yang dihadapi.

Retorika gerakan mahasiswa yang tidak melihat gap antara idealisme utopis dan kenyataan yang dihadapi tak jarang pada akhirnya menjadi halusinasi dan bombasme semata. Meskipun sesungguhnya utopia gerakan mahasiswa diperlukan sebagai imajinasi gerakan yang memang bersandar pada nilai-nilai ideal. Maka yang diperlukan sebenarnya adalah merawat imajinasi dan intuisi gerakan mahasiswa dengan terus-menerus menjawab tantangan nyata yang dihadapi untuk kemudian direfleksikan pada nilai ideal yang diutopiakan.

Dengan demikian utopia gerakan mahasiswa akan tetap relevan dan tidak hanya menjadi wacana yang mengawang tanpa menjejak di bumi kenyataan sehingga jatuh menjadi halusinasi semata. Premis yang semestinya berlaku pada gerakan mahasiswa adalah bagaimana menjawab tantangan nyata (materil) baru kemudian secara dialektis direfleksikan pada nilai-nilai ideal yang diutopiakan bukan sebaliknya. Pertanyaan yang utama adalah bagaimana merawat secara konsisten dialektika antara nilai ideal (utopia) dan dinamika kenyataan yang dihadapi gerakan mahasiswa.

Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut, gerakan mahasiswa harus selesai dengan urusan internalnya sendiri dengan terus-menerus mengupayakan otokritik terhadap gerakan. Sebab dialektika antara idealisme dan tantangan yang dihadapi hanya akan menemukan jawaban legitimate jika gerakan mahasiswa mempunyai kecukupan kapasitas dan tidak mudah terpolarisasi serta terpecah-belah.

Jika kita lihat satu aspek saja mengenai polarisasi gerakan mahasiswa yang menandakan bahwa mereka tidak mempunyai narasi realitas yang kuat dalam merumuskan perkembangan secara organik sehingga cenderung menjadi pengikut dari narasi yang dibentuk orang lain. Absennya narasi realitas yang organik dari mahasiswa telah mengaburkan dan membiaskan idealisme gerakan mahasiswa sehingga utopia gerakan mahasiswa sebagai agen perubahan cenderung hanya menjadi slogan dan jargon bombasme semata.

Polarisasi gerakan mahasiswa juga tak jarang mengakibatkan mereka sekedar sebagai tools (alat) dari kepentingan politik golongan tertentu. Sehingga kini gerakan mahasiswa semakin terombang-ambingkan serta tidak mampu memainkan perannya sebagai eksponen independen yang punya peluang membikin perubahan sosial baru. Jika gerakan mahasiswa tidak cukup memiliki legitimasi dan independensi karena terlalu terpolarisasi maka utopia gerakan mahasiswa sebagai agen perubahan hanya akan menjadi bahan olok-olok semata karena terlalu jauh dari kenyataan.

Gerakan Mahasiswa Hari ini, What Is to be Done?

Jika kita mengandaikan gerakan mahasiswa hari ini bersatu minimal dalam persepsi mengenai demokrasi Indonesia maka apa yang seharusnya dilakukan hari ini? Persatuan (bukan penyeragaman) gerakan mahasiswa adalah prasyarat mutlak menggapai cita-cita perubahan. Mengingat keterbatasan sumberdaya yang ada, sulit sekali, apabila gerakan mahasiswa bergerak maju secara sporadis tanpa arah dan jaringan persatuan di antara mereka.

Egosentrisme di antara mereka, seyogyanya tidak lagi ditonjolkan. Persatuan perjuangan, independensi gerakan serta pembenahan internal gerakan mahasiswa adalah syarat mutlak yang harus dimiliki apabila gerakan mahasiswa tidak mau cita-cita pembaruan sosial mereka hanya menjadi utopia semata. Agar tidak terus tenggelam dalam ilusi romantisme dan utopia semata, gerakan mahasiswa dalam konteks negara demokrasi di Indonesia hari ini, pada level arus bawah, seyogyanya segera mengupayakan pendidikan cara berpikir kritis kepada rakyat. Gerakan mahasiswa dapat mengupayakan pendidikan politik terkait kesadaran rakyat sebagai warga negara.

Melalui kampanye gerakan literasi politik (melek politik) bagi warga khususnya mengenai relasi kuasa antara negara dan rakyat yang timpang. Pendidikan politik yang dikampanyekan terutama mengenai dekonstruksi cara berpikir dan pola komunikasi yang keliru antara rakyat dan negara namun dianggap lazim (biasa) padahal sangat merugikan rakyat.

Misalnya diksi frasa “bantuan negara” yang keliru karena seharusnya sebagai negara republik demokrasi, dengan slogan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, diksi frasa istilah yang tepat adalah redistribusi negara bukan bantuan negara.

Sama halnya diksi kata “pemerintah” yang bermakna sumbang karena dalam kondisi normal, aparatur negara yang kini masih menyebut dirinya pemerintah, dalam sebuah negara demokrasi seharusnya lebih berperan sebagai pengurus kepentingan administratif warga negara daripada berposisi sebagai pemerintah yang berkonsekuensi timpang dalam relasi kuasa yang tidak setara dengan rakyat karena tindakannya yang bersifat perintah (amar) yang memaksa. Kecuali jika keadaan darurat maka aparatur negara baru berhak secara legal melalui persetujuan dewan rakyat menyebut dirinya pemerintah sesuai nomenklatur.

Output dari gerakan pendidikan politik bagi rakyat ini jika berhasil diwujudkan adalah perubahan konkret cara berpikir dalam bernegara yang pada akhirnya akan merombak kebijakan negara menjadi lebih rasional sesuai khittah bernegara yang sejati yang mendudukkan rakyat sebagai tuan di negaranya dan pemerintah sebagai pelayannya.

Pendidikan politik bisa direalisasikan melalui berbagai saluran media berkolaborasi dengan lembaga pers mahasiswa misalnya atau melalui kampanye di media sosial maupun dikampanyekan secara langsung kepada masyarakat. Namun upaya tersebut hanya akan terwujud apabila gerakan mahasiswa tidak menjadi bagian dari kultur cara berpikir yang korup dan sedang dominan (mainstream) saat ini.

Independensi gerakan mahasiswa dari kultur yang korup tentu merupakan sebuah tantangan bagi eksistensi dan relevansi gerakan dalam lapangan perjuangan agar tidak mudah bergantung kepada siapapun selain pada kewarasan gerakannya. Mahasiswa sebagai pelopor pemuda intelektual seharusnya juga mampu menjadi contoh bagi rakyat bahwa lapangan perjuangan baru yang menganut kultur independen sesungguhnya masih bisa bertahan dan berkembang dengan baik.

Maka gerakan mahasiswa hari ini semestinya mempunyai kemampuan yang paripurna. Gerakan mahasiswa hari ini dapat belajar dan mengambil sisi positif dari kakak angkatan mereka dari generasi mahasiswa 1966 yang mempunyai kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi dengan para elit maupun eksponen masyarakat. Gerakan mahasiswa hari ini juga harus tampil dengan otentisitas (kejujuran) aspirasi atau amanat gerakannya serta sifat non-partisannya sebagaimana angkatan 1974 dan 1978.

Gerakan mahasiswa hari ini juga seyogyanya mempunyai kemampuan dan kemauan untuk terjun langsung melakukan aksi-aksi pemberdayaan dan advokasi konkret di masyarakat sebagaimana gerakan mahasiswa angkatan 1980-an. Melalui gerakan aksi-refleksinya dengan kedalaman pemikiran intelektual dalam diskusi publik di kampus-kampus dan aksi nyata di lapangan. Serta yang terakhir ialah keterbukaan gerakan serta kepemimpinan kolegial sebagaimana dimiliki gerakan mahasiswa angkatan 1998. 

Sumber Ilustrasi: www.cnnindonesia.com

Sumber Utama : https://geotimes.co.id/opini/gerakan-mahasiswa-belum-beranjak-dari-utopia/ 

Di Bawah Erdogan Turki Lebih Tidak Demokratis dari Indonesia

Turki di bawah kepemimpinan Erdogan sering dibanding-bandingkan dengan Indonesia di bawah Jokowi. Perbandingan dan penghadap-penghadapan antara Erdogan dan Jokowi yang sering dilakukan oleh kelompok Islamis ini karena keduanya memang memimpin dua negara Muslim terbesar dalam waktu yang sama.

Indonesia memiliki penduduk mayoritas Muslim (87 %) dan Turki memiliki penduduk Muslim 96 %. Keduanya adalah negara yang tidak menganut sistem syariah sebagai sistem negaranya. Bahkan Turki sampai sekarang masih menjadi negara yang secara resmi menganut pemisahan antara urusan agama dan politik, atau populer dengan sebutan sekularisme.

Namun semenjak Erdogan memimpin Turki —sebenarnya berganti-ganti posisinya antara presiden dan perdana menteri—kalangan Islamis Indonesia –kalangan yang menginginkan Indonesia menggunakan sistem politik Islam– seringkali mengungkapkan bahwa Turki di bawah Erdogan jauh lebih sukses dibandingkan Indonesia di bawah Jokowi.

Dalam catatan kali ini, saya ingin menyoroti benarkan benarkah Turki dalam kepemimpinan Erdogan itu lebih sukses, katakanlah lebih demokratis dan terbuka pada rakyatnya, dibandingkan Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi?

Seringkali kampanye keberhasilan kepemimpinan Erdogan di Turki yang dibandingkan Indonesia di bawah Jokowi didasarkan pada asumsi-asumsi ideologis. Ternyata, dalam soal kebebasan dan demokratisasi, Erdogan banyak membuat kebijakan yang tidak memberi ruang kebebasan dan demokrasi kepada rakyatnya.

Sejak zaman Kemal Attaturk sampai sekarang, Turki masih setia dengan konsep pemilahan urusan agama dan politik. Konsep pemerintahan sekularisme ini tetap menjadi pilihan Turki. Bagaimana dengan Erdogan?

Erdogan secara formal tidak memiliki keberanian untuk mengubah sistem ini, namun secara diam-diam kebijakan dia sering bernuansa pengutamaan pada aspirasi kaum Islamis di Turki. Menurut catatan Ahmet T. Kuru Erdogan dianggap sebagai pemimpin Turki yang mencoba membangun negerinya di atas ideologi Islamis-populis (lihat buku, Ahmet T. Kuru, Islam, Authoritarianism and Underdevelopment; Global and Historical Comparison, Cambridge University Press, 2019).

Jika demikian yang terjadi, maka Ketika Indonesia berusaha mati-matian mempertahankan bentuk negara Pancasila dari serangan bertubi-tubi dari kelompok khilafah dan Islamis, Erdogan berkeinginan untuk melakukan perubahan diam-diam atas pembentukan negara yang berbeda dengan aspirasi para pendiri Republik Turki, yakni mengubah Turki dari negara berprinsip sekuler ke negeri yang berdasar pada Islam. Inikah yang dianggap sebagai kelebihan Erdogan?

Beberapa hal yang sering dikemukakan oleh para Islamis dalam menggunggulkan Turki di bawah Erdogan atas Indonesia di bawah Jokowi adalah keleluasaan yang diberikan kepada kalangan agamawan. Indonesia dianggap oleh kalangan Islamis Indonesia banyak melakukan kriminalisasi ulama, menciptakan kasus hukum bagi kalangan agamawan yang kritis dlsb, Erdogan sebaliknya. Apakah benar demikian adanya? Mari kita lihat cara Erdogan menangangi kehidupan beragama, katakanlah Islam.

Di dalam sistem ketatanegaraan Turki, lembaga yang mengurusi soal keagamaan disebut dengan Diyanet. Lembaga Direktorat Urusan Keagamaan ini memang disusun berdasar pada prinsip sekularisme, di mana urusan agama memang secara khusus dibuatkan tempat tersendiri dan terlepas dari politik. Urusan masjid terutama menjadi wilayah Diyanet.

Bagaimana pada masa Erdogan ini dalam mengatur masalah masjid dan kaitannya dengan klaim kaum Islamis atas sikap demokratis dan keterbukaan Erdogan ini?

Ternyata, Diyanet digunakan oleh Erdogan untuk lebih mengontrol kehidupan keagamaan di Turki daripada membebaskannya. Bayangkan, ada 100,000 masjid yang masih dikontrol untuk menyuarakan aspirasi rezim populis-islamis ini. Seluruh masjid di Turki, setiap Jumat tiba harus menunggu teks resmi yang diedarkan oleh Diyanet untuk materi khutbah-khutbah para imam mereka. Bayangkan kalau itu dilakukan oleh Jokowi di Indonesia di mana teks khutbah dikontrol oleh Kementerian Agama, pasti kaum Islamis yang menyanjung Erdogan langsung mengatakan Jokowi anti-umat Islam.

Bahkan, Erdogan menggunakan kekuasaannya atas masjid untuk turut berkampanye mendukung dia. Jangankan mengontrol khutbah Jumat seluruh Indonesia seperti Erdogan pada Diyanet, mengusulkan adanya sertifikasi dakwah yang bertujuan meningkatkan literasi pendakwah, Jokowi langsung mendapat protes. Sertifikasi dakwah dianggap sebagai bentuk pembungkaman atas suara dan kebebasan kaum agamawan di Indonesia.

Dalam catatan Ahmet T. Kuru, model kepemimpinan Erdogan di atas telah mengadopsi sejumlah daftar dari cara kepemimpinan otoriter termasuk penguasan properti (kekuasaan) ribuan warga negara dan juga pemenjaraan ribuan orang dengan menggunakan sanksi teroris.

Tindakan-tindakan yang demikian ini dimana kalangan Islamis yang memuji Erdogan dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Jika itu terjadi, maka mereka mencarikan argumen bahwa apa yang dilakukan Erdogan adalah untuk Islam. Namun jika itu terjadi pada Jokowi, meskipun levelnya jauh sekali di bawah Erdogan, maka kaum Islamis Indonesia akan mengatakan Jokowi bengis dan menindas umat Islam.

Masih banyak contoh-contoh yang lain sebenarnya yang menyebabkan kemimpinan Erdogan di Turki tidak lebih baik dari kepemimpinan Jokowi di Indonesia saat ini. Perburuan Erdogan yang sampai saat ini terjadi atas ribuan aktivis dan juga politis Kurdhi dan juga kaum Gulen, sebuah organisasi yang dulu merupakan teman Erdogan, yang pimpin Futhullah Gulen. Dari kawan karib menjadi musuh utama. Jika ini terjadi pada Jokowi, maka jelas kaum Islamis akan mengatakan Jokowi melakukan kriminalisasi ulama, Erdogan melakukan perlindungan diri atas kepemimpinan syah dia di Turki.

Sebagai catatan, klaim-klaim Turki di bawah Erdogan lebih unggul dari Indonesia di bawah Jokowi adalah klaim-klaim yang seringkali didasarkan pada sikap inkonsisten dan cara pandang kaum Islamis. Jika mereka konsisten bagi Turki di bawah Erdogan sebenarnya tidak lebih demokratis dan terbuka dibandingkan Indonesia di bawah Jokowi saat ini.

Ilustrasi: Liputan6

Sumber Utama : https://geotimes.co.id/catatan-syafiq-hasyim/di-bawah-erdogan-turki-lebih-tidak-demokratis-dari-indonesia/ 

Cuplikan Screenshoot Film My Flag : Merah Putih Vs Radikalisme :

 






































Re-post by Migo Berita / Rabu/28102020/12.41Wita/Bjm

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya