» » » » » Jangan Salahkan ANIES, tapi salahkan Pemilihnya ..yang Benar nih kalimat ^_^

Jangan Salahkan ANIES, tapi salahkan Pemilihnya ..yang Benar nih kalimat ^_^

Penulis By on Rabu, 10 November 2021 | No comments

 


Migo Berita - Banjarmasin - Jangan Salahkan ANIES, tapi salahkan Pemilihnya ..yang Benar nih kalimat ^_^. Jangan pake lama, terus baca berbagai artikel yang telah kita kumpulkan hingga tuntas agar tidak gagal paham.

Anies: Jakarta Telah Mengambil Keputusan Fatal

Perjalanan hidup setiap insan itu memang selalu penuh misteri. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok. Mujur atau malang yang didapat bisa jadi itu merupakan buah atau hasil dari perbuatannya pada masa silam. Ada yang bilang itu hukum tabur-tuai atau karma.

Anies Baswedan saat ini sedang menjadi bahan perbincangan, namun bukan dalam arti yang baik. Maka lebih tepat bila dikatakan bahwa gubernur DKI Jakarta ini tengah menjadi obyek cibiran khalayak.

Terpilih sebagai pimpinan kota terbesar dan terpenting di Indonesia, nasib Anies memang tragis. Timingnya sepertinya kurang pas sebab dia harus menggantikan era gubernur yang sangat hebat dan fenomenal. Pada era itu (2012-2017) Ibu Kota secara bergantian dikelola oleh Jokowi - Ahok - Djarot.

Pada era itu Jakarta diakui sedang dalam geliat menuju kota dunia modern dan terkemuka. Nama Ahok dalam hal ini sangat menonjol, sebab di tangan dia banyak terjadi perubahan yang mengundang decak kagum. Ketika itu Jakarta bersiap menuju kota dunia: modern dan berkelas.

Tapi untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Ahok harus lengser sebelum habis masa jabatan, dan dituntaskan wakilnya, Djarot. Bahkan dia harus kalah dalam pilkada karena diserang kekuatan politik yang tidak bermoral dan tidak beradab. Yang lebih mengenaskan dia harus masuk penjara untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu diganjar sedemikian.

Di saat pertarungan politik yang panas itulah muncul sosok Anies Baswedan yang menjadi penantang utama. Sebelumnya dalam putaran pertama, si AHY sudah tersingkir secara telak karena memang tidak layak dari segala segi.

Anies disokong oleh kekuatan yang membawa-bawa agama. Namun sayang, mereka menyalahgunakan agama, sebab lebih banyak digunakan untuk mengintimidasi, mengancam bahkan mempersekusi pihak lawan. Untuk membenarkan ancaman itu, mereka mengutip ayat-ayat dari kitab suci.

Sejumlah oknum yang sehari-hari dibalut jubah agama, ketika itu tanpa risih menciptakan horor dan teror di tengah masyarakat pemilih. Mereka antara lain mengancam tidak akan "mengurusi" mayat orang dan sanak keluarganya apabila memilih Ahok dalam pilkada yang panas itu. Itulah mengapa dikatakan bahwa dalam pilkada itu ayat dan mayat dimainkan untuk meraih kemenangan. Segala cara dihalalkan, meniru komunis.

Di saat simpatisannya giat dan bersemangat melakukan banyak hal, terutama persekusi dan semacamnya, Anies dalam menyampaikan program juga tampil "beda". Dalam suatu kesempatan terlontarlah sebuah statemennya, yang belakangan malah terdengar lucu. Kemungkinan statemen itu akan menjadi trade mark Anies hingga akhir masanya.

"Jakarta telah mengambil keputusan fatal!" Demikian statemen Anies yang kini terdengar sangat lucu saat ditirukan orang-orang untuk mengolok-olok.

Statemen lucu itu terlontar dari mulut Anies tatkala dia menjelaskan bagaimana air banjir di Jakarta seharusnya diatasi sesuai sunnatullah. Menurutnya, mengalirkan air ke laut -- apalagi menggunakan gorong-gorong raksaksa -- itu melanggar sunnatullah. Yang benar, menurut Anies, harus dimasukkan ke dalam tanah.

Maka, kata Anies, selama ini Jakarta telah mengambil keputusan fatal, sebab air banjir diatasi dengan menormalisasi sungai, dan mengalirkannya pakai pompa. Padahal yang betul, menurut Anies, adalah memasukkan air itu ke dalam tanah.

Kini Anies benar-benar hancur-lebur dengan statemennya yang asbun (asal bunyi) itu. Setiap kata-kata itu ditirukan untuk mengolok-olok, orang-orang yang mendengarnya pasti tergelak-gelak, atau minimal tersenyum kecut. Apalagi bahwa dia sendiri tidak bisa membuktikan bahwa air banjir dapat dimasukkan ke tanah.

Statemen asbun Anies itu bahkan masih jauh kalah bobot dibandingkan corat-coret Ahok di draf RAPBD yang bunyinya: Pemahaman nenek Lu! Mendengar ucapan ini kita memang senyum. Namun yang muncul di bayangan adalah sosok Ahok sebagai ksatria pengawal uang rakyat DKI Jakarta, supaya tidak digarong oleh maling-maling berdasi.

Sebaliknya, jika kita mendengar orang mengatakan bahwa "Jakarta telah mengambil keputusan fatal", yang terbayang adalah wajah cemberut Anies. Mutung, karena dari hari ke hari dia hanya melakukan blunder yang sangat memalukan.

Di lain pihak, ucapan Anies itu ternyata menohok sendiri para pemilihnya yang jumlahnya 58 persen. Sebab mereka telah mengambil keputusan salah dan fatal dalam Pilkada 2017 karena memilih Anies Baswedan yang berpasangan dengan Sandiaga Uno, yang juga lucu. Coba mereka memilih Ahok - Djarot, maka Jakarta saat ini seharusnya sudah hebat dan modern, sebagaimana sesumbar Anies-Sandi dulu: maju kotanya bahagia warganya.

Namun apa hendak dikata. Ucapan Anies bahwa Jakarta telah mengambil keputusan fatal, telah dibuktikan sendiri oleh pendukungnya yang 58 persen itu. Empat tahun doi cuma menata kata, wajar tidak ada pekerjaannya yang benar. Tak usah diperinci lagi.

Kita lihat apa yang terjadi saat ini saja: banjir yang penanganannya tidak semakin baik. Padahal pihaknya sudah dibantu pemerintah pusat dengan proyek-proyek pengendali banjir di luar Jakarta.

Namun yang paling fatal adalah soal Formula E. Ada banyak misteri di sini yang membuat Anies mati kutu. Selain Formula E tidak ada manfaatnya sama sekali bagi warga, uang rakyat yang dihambur-hamburkan ke sana juga sangat besar: Rp 500 miliar lebih untuk apa yang disebut sebagai commitmen fee. Bahkan konon sudah digelontorkan sebesar triliunan rupiah?

KPK dikabarkan sedang mengusut kasus yang sangat memalukan ini. Harapan kita, semoga KPK tidak malu-maluin. Sebab ada banyak hal yang harus diungkap ke publik. Misalnya di negara-negara lain, Formula E tidak sampai memakan biaya ratusan mliar rupiah. Paling banter belasan miliar rupiah, bahkan gratis.

Mengapa DKI Jakarta justru membobol ratusan miliar rupiah uang rakyat untuk acara yang tidak bermanfaat ini? Memangnya uang nenek lu?

Mari awasi KPK supaya tidak ikut-ikutan mengambil keputusan fatal!

Anies: Jakarta Telah Mengambil Keputusan Fatal

Sumber Utama : https://seword.com/politik/anies-jakarta-telah-mengambil-keputusan-fatal-b6ETA4s8yR

 

Wow! Komentar di Akun IG Anies Dibayar Rp 1000

Sudah tak diragukan lagi jika media sosial memang memiliki impact yang luar biasa di era sekarang. Dalam sisi apapun. Maka tak berlebihan jika orang pun berlomba-lomba memanfaatkan media sosial untuk sebuah kepentingan.

Seperti tak mau ketinggalan tokoh-tokoh politik di Indonesia pun sudah mulai ikut ambil kesempatan. Bahkan beberapa sudah memulai sejak beberapa tahun yang lalu.

Nah, membicarakan sosial media ini ada sebuah temuan menarik yang diungkap oleh salah satu kader PSI, Guntur Romli. Ternyata berkomentar bisa dapat bayaran. Dan rupanya konon akun Instagram Gubernur DKI Jakarta memanfaatkan hal ini atau dengan kata lain ia menggunakan buzzer.

Seperti yang telah beritakan oleh awak media sebagai berikut. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan konon mengerahkan Buzzer bayaran di media sosial. Hal itu diungkapkan Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Mohamad Guntur Romli.

Guntur Romli mengatakan Anies membayar Rp1000 untuk setiap komentar positif di akun Instagramnya. Guntur Romli membagikan tangkapan layar salah satu web yang diduga dikelola oleh buzzer Anies Baswedan.

Dalam tangkapan layar itu terlihat tulisan yang mengatur tentang syarat dan ketentuan untuk berkomentar di akun Instagram Anies.

Disebutkan bahwa komisi per komentar di Instagram Anies Baswedan yakni Rp1000. Syarat umum: Panjang komentar minimal 10 kata. Komentar bersifar positif atau kritik yang membangun. Komentar tidak mengandung kata-kata yang menyinggung SARA.

Syarat khusus: Komentar dukungan ke Anies Baswedan, good bener atau gubernur yang mengayomi, dll, bebas, yang penting dukungan positif dan minimal 10 kata.

“Pengerahan buzzer-buzzer buat komen-komen positif di akun IG @aniesbaswedan, tiap komen dibayar Rp 1000,” kata Guntur Romli dalam unggahannya di akun Twitternya pada Minggu (7/11)..

Pakar Media Sosial Ismail Fahmi turut mengomentari cuitan Guntur Romli. Ia menganggap pola kampanye buzzer seperti yang diungkap Guntur Romli itu cukup menarik.

“Mas @GunRomli maaf mau tanya. Pola ini menarik. Itu situs layanan apa ya? Ada URL lengkap untuk dapat halaman tersebut yang bisa saya lihat?,” tanya Ismail Fahmi,

Founder Drone Emprit Media Kernels Indonesia menanyakan apakah seseorang bisa memasang iklan untuk Instagram orang lain.

“Bisa ndak seseorang pasang iklan untuk IG orang lain? Bagaimana bisa yakin dan lihat bukti kalau yang bikin iklan itu timnya Anies, bukan siapapun?,” tandas Ismail Fahmi.

Jika memang benar maka cukup bagus juga terobosannya, membuka peluang bagi masyarakat. Dapat dijadikan sampingan. Lumayan, 100 komentar dapat transferan 100.000 ribu. Kalau kuat 1000 komentar berarti dapat bayaran 1.000.000 juta, dan seterusnya. Haha

Syukur-syukur seluruh Capres di Indonesia lakukan yang sama malah bagus sepertinya. He...

Sejujurnya saya sendiri baru tahu soal ini. Barangkali para pembaca seword jauh lebih tahu. Pasalnya selama ini yang ada membeli followers.

Jika melihat ambisi Anies Baswedan selama ini yang ditangkap oleh publik barangkali ada benarnya. Jika yang bersangkutan kemudian menggunakan buzzer bayaran Rp 1000 per komentar. Barangkali ada team khusus. Atau misal saja ada anggota TGUPP dikerahkan. May be.

Ini makin menarik ketika banyak tokoh oposisi baik politisi, pengamat dan simpatisan mereka justru menuduh masyarakat yang membela pemerintah disebut pendengung pemerintah atau dituduh buzzeRp.

Padahal kebanyakan penggiat sosial media yang kerap membela pemerintah berangkat dari niat tulus dengan tujuan mengcounter narasi yang sengaja diputar balikkan oleh para simpatisan oposisi.

Pembela pemerintah atau biasa mereka menyebut diri buzzer NKRI juga tak membabi-buta dalam membela, bahkan tak sedikit pula yang mengkritik pemerintah atau jajaran pemerintah yang memang patut dikritik.

Apa yang telah diungkap Guntur Romli di atas seperti mengungkap sebuah fakta di mana ternyata yang selama ini menuduh buzzerRp kepada pihak lain, justru buzzerRp itu sendiri.

Jika memang benar temuan di atas, tentu sangat memalukan. Anies Baswedan sepertinya menggunakan berbagai cara agar profile dirinya dipandang istimewa oleh masyarakat.

Jadi apa yang dilakukan oleh Anies Baswedan seperti hukum cermin. Jika komentar yang diperbolehkan hal-hal yang positif untuk menaikkan citra dirinya maka yang terjadi sebenarnya adalah sebaliknya. Artinya Anies penuh pencitraan yang dibuat-buat atau dengan kata lain negatif.

Jika melihat faktanya selama ini ada benarnya. Ia memang gila akan pujian dan sorot lampu yang gemerlap. Padahal kopong mlompong!

Atas temuan di atas, bagaimana menurut Anda?

Wow! Komentar di Akun IG Anies Dibayar Rp 1000

Sumber Utama : https://seword.com/politik/wow-komentar-di-akun-ig-anies-dibayar-rp-1000-OblUnNHo50

Pengakuan Luhut di Podcast Dedy Membingungkan

Melihat komentar yang muncul di kanal youtube Dedi Corbuzier saat mendatangkan Luhut, rupanya banyak orang percaya bahwa Luhut tidak ambil untung dari bisnis PCR. Luhut mengaku bahwa dirinya punya bisnis yang cukup bagus, dan tidak perlu sampai harus membisniskan alat tes di masa pandemi.

Tapi kalau mau kita perhatikan dari pengakuan Luhut, sebenarnya ada beberapa hal yang cukup janggal.

Pertama, Luhut mengaku dia memberikan sejumlah dana kepada perusahaan untuk diputar dan dibisniskan. Luhut sendiri tidak mengambil untung dari pemberian dana tersebut. Tapi keuntungan dari bisnis pengadaan alat tes itu memang ada, dan diputar kembali untuk kepentingan perusahaan agar keuangannya sehat.

Alasan Luhut membuat perusahaan dan bukan yayasan, ya supaya ada transaksi bisnis dan dana yang dia sumbangkan itu bisa diputar untuk keuangan perusahaan. Beda kalau yayasan, Luhut harus beri dana secara berkala dan terus menerus.

Jika dilihat dari pernyataannya, maka jelas bisnis PCR itu memang ada dan memang mencari keuntungan.

Bahwa kemudian Luhut mengaku tidak mendapatkan keuntungan, mungkin itu benar secara hitungan uang. Tapi kalau dari sisi fasilitas bagaimana? Masih perlu dibuktikan.

Kedua, klaim Luhut soal sumbangan sekian miliar itu cukup membingungkan. Karena kalau dia menyumbang untuk perusahaan, ya jelas itu bukan sumbangan untuk masyarakat.

Jadi salah kalau dia merasa berjasa dan sudah menyumbang untuk masyarakat lewat pengadaan alat PCR ini. Dan sumbangan ke perusahaan itu sifatnya sebagai modal awal untuk bertransaksi atau jualan PCR.

Kalau dengan ini kemudian Luhut merasa dia sudah membantu masyarakat, sudah ikut menyumbang di tengah pandemi, ya mungkin benar juga dari sisi Luhut. Tapi sekali lagi, sumbagan Luhut adalah untuk menghidupi keuangan perusahaan yang berbisnis alat tes PCR.

Ketiga, Luhut juga cerita bahwa dirinya mendapatkan sumbangan dari temannya dari luar negeri. Sekian puluh miliar jumlahnya. Lalu dengan begitu, Luhut mengklaim bahwa itu dapat menyelamatkan banyak nyawa.

Klaim ini juga agak membingungkan. Karena sumbangan dari luar negeri itu jumlahnya banyak sekali. Yang didapat Luhut mungkin salah satunya. Tapi apakah sumbangan itu diberikan kepada Luhut atas nama pribadi? Saya meragukannya.

Logikanya, sumbangan itu diberikan kepada Indonesia. Bahwa sumbangan tersebut melalui jalur Luhut, ya itu wajar saja. Sebab Luhut adalah Menteri di negeri ini. Logis. Yang aneh kalau sumbangannya malah lewat saya, bisa menimbulkan banyak tanda tanya.

Lalu kalau ini kemudian dianggap sebagai bagian dari jasa Luhut untuk negeri ini. Mungkin itu ada benarnya. Tapi sumbangan tersebut tetaplah sumbangan dari pihak asing kepada Indonesia. Bukan kepada Luhut.

Saya memang belum selesai menonton video Luhut. Tapi sampai di sini saja, aneh rasanya kalau Luhut dan stafnya merasa sangat berjasa sekali untuk menangani pandemi di Indonesia.

Aneh kalau Luhut merasa tidak berbisnis, padahal faktanya, dana yang disumbangkan untuk perusahaan tersebut memang untuk kepentingan bisnis dan memang mengambil untung. Jadi bukan seperti klaim para pembantu Luhut yang mengatakan dalam penjualan PCR tidak ambil untung.

Lalu terakhir, saya cukup heran kalau Luhut mengklaim Indonesia berhasil menangani Pandemi ini karena kepatuhan masyarakat. Karena aturan PPKM dan disiplin yang sudah dijalankannya.

Karena kalau Luhut mau coba jalan-jalan ke daerah, dia akan melihat bahwa semua klaimnya di dunia internasional ataupun di hadapan Deddy Corbuzier sama sekali berbeda dengan kenyataannya.

Selain itu, agak lucu juga ketika Luhut merasa bahwa di Natal dan Tahun Baru nanti akan berpotensi terjadi gelombang ketiga atau keempat. Karena itu dia ingin melakukan PCR untuk semua moda transportasi sebagai antisipasi.

Sekali lagi, mestinya Luhut hari ini keluar rumah dan jalan-jalan ke daerah. setidaknya ikutlah saat Presiden Jokowi blusukan. Jangan hanya mau jalan ke luar negeri saja. Lihatlah kerumunan, lihatlah masyarakat yang sama sekali tidak disiplin.

Supaya ke depan Luhut bisa berpikir. Bahwa kerumunan dan aktifitas masyarakat itu sudah terjadi sejak beberapa bulan lalu. Terus kenapa gelombang ketiga masih nunggu Natal dan Tahun Baru? supaya virusnya dapat bingkisan?

Pengakuan Luhut di Podcast Dedy Membingungkan

Sumber Utama : https://seword.com/politik/pengakuan-luhut-di-podcast-dedy-membingungkan-BRWbq2Qbmc

Ijtima Ulama Nongol Berebut Capres, Gerindra: PS Vs Sandi, PDIP: GP Vs Puan

Ijtima Ulama sebuah istilah yang tak asing. Istilah ini muncul santer kala pilpres 2014 dan 2019 yang lalu. Pemahaman kita mungkin sebagai orang awam ada sekelompok orang yang mengaku ulama lalu mendukung tokoh tertentu dengan sebutan hasil Ijtima Ulama.

Nah, gambarannya begitu sakral sekali sampai-sampai ulama pun lakukan Itjima segala untuk mendukung tokoh tertentu. Dulu istilah Ijtima Ulama itu pasti merujuk ke sosok Prabowo Subianto, karena saat itu ormas-ormas semacam FPI kala masih gagah kerap membuat panggung Ijtima Ulama di mana-mana.

Ironis sekaligus miris. Sejak baju agama menjadi trend di era 90an. Ulama saat ini diseret-seret ke dalam politik untuk mencapai tujuan tertentu. Lebih dalam apakah Ijtima itu sama tidak dengan Ijma?

Barangkali ada suatu kekhawatiran ketika urusan-urusan politik lalu diputuskan melalui apa yang disebut sebagai “ijma’” (konsensus) ulama, maka boleh jadi penggunaan istilah “ijtima’” (berkumpul) para “ulama” lebih didasarkan atas suatu kesepakatan politik. Memang, kita harus lebih teliti membedakan istilah ijtima’ dan ijma’ ulama karena kedua istilah ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Istilah “ijtima’” sendiri memiliki konotasi atas “suatu pertemuan antara satu orang atau kelompok dengan lainnya dalam suatu tempat atau waktu tertentu”. Bahkan, ijtima’ dalam tradisi ilmu pengetahuan seringkali terkait dengan “ilmu sosial” (ijtima’iyyah) yang membicarakan soal tradisi, adat, kebiasaan, atau nilai-nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat.

Itulah kenapa, istilah ijtima ulama ini tampak menjadi perbincangan publik belakangan yang tampak kontras dengan suatu kenyataan bahkan dukungan-dukungan bersifat politik. Namun demikian, seolah ada semacam persepsi dalam sebagian orang bahwa yang dimaksud “ijtima’” itu sama halnya dengan “ijma’” ulama yang memiliki konotasi dogmatis bahkan “kebenaran” teologis. Suatu persepsi yang sangat keliru, sebab ijma’ ulama merupakan istilah teknis dalam lingkup ortodoksi Islam untuk menyatakan “persetujuan” para ulama terhadap segala hal yang memiliki konotasi hukum. Bahkan lebih jauh, Ignaz Goldziher, menyebutnya sebagai “kata kunci untuk memahami evolusi sejarah Islam dalam aspek politik, teologi, dan hukum”.

Nah, terlepas dari itu semua ada sikap apatis dari masyarakat atas fenomena di atas. Dan saya ingat salah satu Kyai sepuh nasional selama ini tak mau melibatkan dan dilibatkan dirinya ke dalam pusaran politik, pernah menyindir sekumpulan orang-orang yang menamakan dirinya Ulama tersebut yaitu Gus Mus, statementnya saat itu konteksnya di 2014. Dengan nada bercanda dan bertanya, "Apakah kita tahu itu ulama? Sebab orang yang hadir sebelumnya didandani baju agamis pakai jubah atau koko, sorban lalu foto bersama kan bisa saja begitu?", kata Gus Mus.

Menarik ya? Tapi bisa saja keresahan Gus Mus saat itu mewakili masyarakat awam pada umumnya. Buktinya akhirnya menjadi bergaining power. Ulama dijadikan daya tawar. Mungkin yang dikenal satu dua ulama tapi yang lainnya? Gelap.

Lantas bagaimana dengan 2024? Tak jauh beda buktinya sudah ada. Sejumlah ulama yang tergabung dalam Forum Ijtima Ulama dan Pemuda Islam Indonesia mendeklarasikan dukungan kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno menjadi calon presiden (capres) pada Pilpres 2024. Meskipun begitu, Partai Gerindra mengaku tetap mendukung Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto sebagai capres di 2024.

Ini sama saja membenturkan Prabowo Subianto dengan Sandiaga Uno karena keduanya berasal dari partai yang sama, Gerindra. Ini semakin menarik saja rasanya. Ada sekelompok masyarakat dengan baju Ijtima Ulama mendukung Sandiaga Uno di lain sisi Partai Gerindra memajukan Prabowo Subianto sebagai Capres.

Kondisi Partai Gerindra tak ubahnya PDIP yang juga mengalami hal yang sama. Derasnya dukungan masyarakat terhadap Ganjar Pranowo sedang elit PDIP yang digawangi Bambang Pacul yang sekarang ngumpet dicari Teddy, memunculkan Puan Maharani.

Dua partai besar yang terbelah soal dukungan calon presiden. Pandangan mata rakyat berbeda dengan pandangan mata partai atau kader partai.

Pandangan rakyat cenderung melihat kinerja dari sosok yang diinginkan sedang partai atau kader melihat keuntungan atau berdasarkan kepentingan perut mereka.

Maka dengan demikian dapat secara umum diambil sebuah kesimpulan rakyat menginginkan seorang Capres yang digambarkan dapat mengangkat harkat dan derajat rakyat, sedang elit partai yang memperjuangkan sosok pilihan mereka kelak melihat bahwa keringat dan perjuangannya berharap diganti dengan jabatan yang enak.

Pada akhirnya, apakah pilihan rakyat atau pilihan elit partai yang menang? Atau akhirnya Ganjar dan Sandi dalam satu kapal? Melawan elit partai mereka sendiri, jika untuk rakyat kenapa tidak?

Bagaimana menurut Anda?

Ijtima Ulama Nongol Berebut Capres, Gerindra: PS Vs Sandi, PDIP: GP Vs Puan

Sumber Utama : https://seword.com/politik/ijtima-ulama-nongol-berebut-capres-gerindra-ps-AKwIxTfGDF

Bukan Erick dan Luhut, Ini Dia Pemain Besar di Pusaran Bisnis PCR!

Belakangan ini publik dikejutkan dengan berita kompor dari media tempe yang mengungkit keterlibatan dua menteri Jokowi di pusaran bisnis PCR. Namun, gilanya media tempe pula yang menutup keterlibatan pihak lain yang jelas-jelas menjadi pemain besar. Mengutip pernyataan Arya Sinulingga, PT GSI yang dikaitkan dengan PCR ternyata hanya mengambil 2,5 persen dari porsi keseluruhan. Lantas yang lainnya ke mana?

Akhirnya kita baru tahu kalau memang ada skenario pembunuhan karakter jahat pada dua menteri Jokowi. Makanya saya menahan diri tak berkomentar awal munculnya isu ini. Jangan samakan dengan kasus stafsus milenial yang mengundurkan diri lantaran ketahuan ikut proyek kartu pra kerja, karena jelas di sana ia adalah CEOnya. Sangat berbeda dengan kasus PCR. Meski kadang ada kebijakan Erick dan Luhut yang tak bisa diterima akal, tapi kita tak boleh memberi penilaian subyektif apalagi bermodal data media tempe.

Sebelumnya diberitakan bahwa Bisnis tes Polymerase Chain Reaction atau PCR menjamur di tengah pandemi Covid-19. Perusahaan penyedia tes PCR ini menangguk keuntungan yang tak sedikit.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Katadata.co.id, perusahaan besar tes PCR menjalankan skema bisnis kerja sama dengan pemerintah atau memberikan layanan umum secara mandiri.

Dalam catatan Katadata.co.id, ada dua perusahaan besar yang menjalankan bisnis melalui skema kerja sama dengan pemerintah, yakni PT Daya Dinamika Sarana Medika (DDSM) dan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI).

Adapun perusahaan-perusahaan besar tes PCR yang menyasar kalangan umum di antaranya Bumame Farmasi yang dikelola PT Budimanmaju Megah Farmasi, SwabAja, dan Quicktest.

Direktur Business Development DDSM Wahyu Prabowo mengakui sebagian besar klien mereka merupakan pemerintah. DDSM semula dimiliki oleh Yayasan Dompet Dhuafa, tetapi mereka kemudian membuat entitas bisnis sendiri.

Sejak awal pandemi Covid-19 pada Maret 2020, DDSM diminta pemerintah untuk membantu dalam test sampel Covid-19. Awalnya DSDM hanya memiliki satu laboratorium, yang terus berkembang hingga kini memiliki tujuh laboratorium.

Wahyu menggambarkan pada saat kasus naik menjelang akhir 2020, DDSM menerima sampel sekitar 65 ribu per hari dari pemerintah. Mereka menerima sampel dari berbagai puskesmas.

Jumlah tes sampel yang dikirim menyusut seiring dengan penurunan kasus Covid-19. Kini, DDSM menerima permintaan uji sampel sekitar 4.500 per hari. "Bagi kami mengambil untung Rp 45 ribu juga sudah alhamdulilah. Kuota kami besar, jadi tetap untung," ujar Wahyu.

Wahyu mengatakan selain DSDM, perusahaan tes PCR yang kerap bekerja sama dengan pemerintah adalah PT GSI. GSI tengah ramai diperbincangkan karena kedekatannya dengan dua pejabat pemerintah yakni Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir.

Baik Luhut maupun Erick sudah membantah keras jika mereka mengambil keuntungan melalui bisnis tes PCR. PT GSI yang diinisiasi oleh perusahaan yang terkait dengan mereka yakni PT Adaro Energy dan PT Toba Bumi Energi.

Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga memaparkan dari jumlah total tes PCR yang mencapai 28,4 juta, PT GSI hanya melakukan tes sebanyak 700 ribu. "Jadi kalau dikatakan bermain, kan lucu ya, 2,5% gitu. Kalau mencapai 30%, 50% itu oke lah bisa dikatakan bahwa GSI ini ada bermain-main," ujarnya.

Arya mengatakan, Yayasan Adaro yang dikaitkan dengan Erick Thohir hanya memegang saham 6% di GSI. Menurutnya, sangat minim perannya di tes PCR. Arya juga bilang, sejak jadi menteri, Erick Thohir tidak lagi aktif di urusan bisnis dan yayasan itu.

Selain DSDM dan GSI, perusahaan-perusahaan tes PCR lain menyasar konsumen dari kalangan masyarakat umum. Salah satunya SwabAja yang dimiliki oleh Erwin Aksa, pengusaha yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin).

Saat ini Swab Aja memiliki 33 outlet yang tersebar mulai dari Jakarta, Makassar, Batam, Bali, Yogyakarta, Surabaya, hingga Semarang.

Erwin Aksa mengatakan berdirinya Swab Aja dilatarbelakangi kebutuhan tes internal Grup Bosowa yang dimiliki ayahnya, Aksa Mahmud. “Kami memiliki ribuan karyawan yang tersebar di berbagai daerah. Kami membutuhkan screening tes PCR karyawan itu tiap minggu,” kata Erwin kepada Katadata.co.id.

Kemudian, Erwin melihat ada peluang bisnis dari tes PCR karena ketika itu jumlah pemeriksaan dan fasilitasnya masih minim. Kebutuhan masyarakat pun sangat tinggi. “Jadi deteksi bisa dilakukan di seluruh daerah,” katanya.

Erwin juga yakin kebutuhan PCR tak akan berkurang meski pandemi tengah surut. Ini lantaran tes serupa diperlukan untuk banyak deteksi penyakit, seperti Tuberkulosis hingga kanker. “Bahkan bisa digunakan industri makanan dan minuman untuk tes makanan halal karena bisa memeriksa DNA babi. Jadi bisa multipurpose,” katanya.

Perusahaan yang berbisnis tes PCR lainnya adalalah Bumame Farmasi. Perusahaan tes PCR ini memiliki 41 cabang yang tersebar dari Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Malang, Palembang, Yogyakarta dan Bali.

Mayoritas saham PT Budimanmaju Farmasi dimiliki oleh PT Bumame Jakarta Indonesia. Adapun pemilik mayoritas Bumame Jakarta adalah pengusaha Jack Budiman.

Selain pemain besar tersebut, ada juga PT Quicktest Laboratorium Indonesia yang merupakan lab milik Avisha Group.

Pemiliknya adalah Irawati Muklas. Ia membangun kerajaan bisnisnya Avisha Group pada 2002 saat masih berusia 26 tahun. Perusahaan ini bergerak di bidang sumber daya manusia dan tenaga alih daya (outsourcing).

Saat pandemi Covid-19 masuk Indonesia, bisnis Avisha ikut terpukul. Namun, Ira justru melihat peluang baru. Pada 18 Februari 2021, ia menggandeng dokter muda Haekal Anshari mendirikan lini bisnis layanan kesehatan.

Lini usaha baru itu menggunakan bendera PT Quicktest Laboratorium Indonesia yang berbasis di Tebet, Jakarta Selatan. Dalam situs perusahaan disebutkan perusahaan menyediakan layanan swab PCR, swab antigen, rapid test, dan tes isothermal.

Hanya dalam beberapa bulan, brand Quicktest berkembang pesat. Saat ini perusahaan sudah memiliki 28 cabang di kawasan di Jabodetabek. Saat awal berdiri, Quicktest mematok harga Rp 700.000 untuk swab PCR dengan hasil 24 jam dan Rp 180.000 untuk swab antigen.

Irawati mengatakan, kala itu Quicktest bisa melayani lebih dari 500 sampel per hari. “Selain masyarakat umum, segmen pasar yang dibidik Quicktest adalah klaster perkantoran,” ujarnya, Maret silam, dikutip dari Antara.

Dari berita ini jelas bisa mengungkapkan siapa saja yang terlibat langsung dan melihat peluang bisnis dibalik pengadaan PCR. Jadi bisa kita analisa bahwa permintaan Jokowi meminta penurunan harga PCR membuat panas beberapa pihak. Termasuk yang sudah punya pangsa pasar dan cakupannya di atas 25 persen. Entah kenapa media tempe tak mengulas keterlibatan mereka semua? Atau memang sengaja media tersebut dibayar untuk menjatuhkan dua nama dampak dari penurunan harga PCR?

Masyarakat harus bisa berpikir kritis dan terus mencari tahu seluk beluk sesungguhnya. Karena kalau tidak kritis, bisa jadi kemarin kita yang menjadi pengkitik media tempe, kini malah ikut terprovokasi dan jadi obor mereka. Ulasan keterlibatan Bosowa dan Dompet Dhuafa juga sempat dibahas akun digeeembok. Beruntungnya sudah ada media katadata yang memberi ulasan lebih detail lagi. Jadi kita tahu siapa yang bermain di sini dan siapa media yang ditunjuk jadi provokator utama.

Bukan Erick dan Luhut, Ini Dia Pemain Besar di Pusaran Bisnis PCR!

Sumber Utama : https://seword.com/politik/bukan-erick-dan-luhut-ini-dia-pemain-besar-di-2oiVwwvT2Y

Sehari Ganjar Gaet Investor 6 T, Anies Sukses Utang untuk Formula E

Singgung sedikit tentang utang, sebelum sesuai tema. Ini ngeri-ngeri sedap. Para pembenci Jokowi atau pemerintah paling hobi bicara soal ini. Mereka bicara utang negara dengan gambaran yang cetek, mirip utang dia kepada temannya atau bank titil untuk hal konsumtif, besar pasak dari pada tiang. Begitulah, orang yang biasa berpikiran negatif mencerminkan dirinya.

Apa yang salah dengan utang? Tentu saja tak ada yang salah. Dalam dunia bisnis utang bisa untuk tambah modal dengan berbagai tujuan misal agar kapasitas produksi lebih besar, pembaharuan mesin, buka cabang baru dan lain sebagainya.

Nah kalau utang pemerintah atau negara bagaimana? Ya tak ada yang salah juga. Negara mana yang tak punya utang? Rata-rata menggantungkan diri dengan utang untuk bangun negeri mereka.

Secara sederhana mekanismenya hampir sama. Selagi utang itu untuk hal produktif tentu tak ada masalah juga semisal bangun infrastruktur, pinjaman lunak, dll. Yang penting batas rasio utang terhadap PDB tidak lebih dari ketentuan.

Produk domestik bruto atau PDB adalah salah satu indikator penting dalam mengukur perekomian suatu negara, terutama dalam kaitannya dengan ekonomi secara makro. Apa itu PDB?

Dikutip dari laman Badan Pusat Statistik (BPS), PDB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi.

Secara sederhana definisi PDB, PDB adalah total nilai produksi dan jasa yang dihasilkan semua orang atau perusahaan dalam satu negara, termasuk nilai tambah, dalam kurun waktu tertentu, biasanya satu tahun.

Nah, utang negara kita tergolong masih aman. Kendati jumlah utang pemerintah terus meningkat setiap tahun, dimana sebelumnya rasio utang ada di bawah 30% terhadap PDB dan kini sudah menembus 40%. Perlu digaris bawahi, batas rasio utang berdasarkan UU Keuangan Negara telah ditetapkan 60%.

Jika dibandingkan negara lain negara kita jauh lebih rendah. Sebagai contoh Singapura negeri tetangga ini mencatat rasio utang 150%, Malaysia 62%, Filipina 54% dan Thailand 44%.

Apalagi bila dibandingkan dengan sejumlah negara maju yang mencapai rasio utang terhadap PDB di atas 100%, Indonesia cenderung konservatif dalam soal utang. Apalagi batas rasio utang berdasarkan UU Keuangan Negara telah ditetapkan 60%.

Wah jadi melantur kemana-mana, meski masih ragu mereka yang hobi ngomongin utang negara paham atau tidak.

Menyambung soal di atas, lantas kalau utang Anies Baswedan ke bank DKI bagaimana?

Pada dasarnya hampir sama lihat dulu utang dia untuk apa? Apakah buat kepentingan rakyat, golongan, pribadi atau apa?

Berdasarkan pengakuan pemrov DKI Jakarta, utang mereka kepada Bank DKI Jakarta itu untuk membayar commitment fee di awal untuk penyelenggaraan ajang kebut Formula E. Oke, lantas sampai di sini Anda bisa lihat itu untuk kepentingan siapa dan feedback yang diharapkan seperti apa dan bagaimana?

Masing-masing dari kita bebas berasumsi dan beropini. Kalau saya sih Anies itu pintar kok, saking pintarnya jadi puinter. Pintar memanfaatkan event dibalut untuk kepentingan warga DKI Jakarta dengan segala macam kajiannya tapi sejatinya muaranya untuk panggungnya. Haha.

Utang Anies atau pemprov DKI Jakarta kepada Bank DKI Jakarta untuk kepentingan commitment fee jangan dibandingkan dengan kondisi saat ini yang sedang dihadapi warga DKI Jakarta seperti pandemi, banjir dan lainnya. Anies tak akan melihat itu pasalnya Formula E gaungnya secara nasional dan international dalam pandangan Anies jauh lebih menjanjikan.

Beda Anies beda pula Ganjar Pranowo. Kalau Anies utang untuk panggung dirinya sedang Ganjar gaet investor untuk membangun wilayahnya dan secara tidak langsung untuk nasional.

Di situasi pandemi seperti ini tak mudah menarik investor. Tapi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bisa menggaet 26 investor dengan total investasi sebesar Rp6 triliun dalam gelaran hari pertama ajang Central Java Investment Business Forum (CJIBF) di Semarang, Jawa Tengah.

CJIB tahun ini digelar secara hybrid dan diikuti 265 peserta yang berasal dari 10 negara, seperti Amerika Serikat, China, Australia, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Jerman, India, hingga Spanyol.

Menurut dia, beberapa perusahaan bahkan langsung melakukan penandatanganan kerja sama investasi di beberapa daerah di Jawa Tengah.

Jadi dari sini ini kita bisa simpulkan sendiri, cara Ganjar dan Anies sama-sama untuk meraih panggung bagaimana? Ganjar memilih jalur yang tidak populis untuk kalangan masyarakat awam, sedang Anies memilih panggung yang bermuatan "gebyar" dan populis agar dilihat masyarakat awam mengandung "wow".

Sudah sering rasanya disinggung banyak pihak. Anies itu paling hobi gemerlap sorot lampu. Saya rasa wajar mengingat Anies berlatar belakang seorang dosen yang biasa di depan dan terbiasa didengarkan bukan mendengarkan.

Sedang Ganjar latar belakang sebagai Marhaen yang biasa bergelut dengan rakyat kecil yang tertindas dan memperjuangkan hak-hak mereka.

Demikian, salam

Sehari Ganjar Gaet Investor 6 T, Anies Sukses Utang untuk Formula E

Sumber Utama : https://seword.com/umum/sehari-ganjar-gaet-investor-6-t-anies-sukses-WDzYqWdOwP

Masihkah Pak Jokowi Fokus Jadi Presiden Buat Rakyat Kecil???

Dari 9 agenda Jokowi dalam Nawa Cita, ada 3 agenda yang saya harapkan terwujud.

Pertama, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Kedua, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.

Dan ketiga, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Kenapa?

Karena tiga agenda ini sangat bersentuhan dengan kehidupan rakyat kecil.

Harapan saya, dengan terwujudnya 3 agenda ini, maka hal-hal ini bisa terwujud.

Pertama, bangkitnya desa-desa sebagai pusat-pusat perkembangan ekonomi baru. Sehingga perkembangan ekonomi tak melulu terpusat di perkotaan saja.

Terciptanya usaha-usaha baru dan lapangan kerja di desa-desa akan mengurangi arus urbanisasi dan masalah yang menyertainya.

Kedua, bangkitnya UMKM-UMKM baru di kalangan rakyat menengah bawah.

Yang kalau bisa, dijalankan dalam bentuk koperasi-koperasi.

Dengan negara sebagai inkubator dan pembimbing.

Yang bisa membantu dari segi permodalan. Yang memberikan proteksi ekonomi dari serangan impor dan persaingan predatorik perusahaan gede. Dan yang terus membimbing selama pertumbuhan.

Sampai satu saat di mana industri-industri rakyat ini sudah tumbuh besar dan kuat. Maka, negara bisa secara bertahap melepas mereka untuk bersaing di kancah nasional dan dunia.

Ketiga, industri-industri strategis dalam negeri kita dikembangkan.

Bukan hanya dengan meningkatkan kemampuan perusahaan-perusahaan industri strategis dalam negeri, terutama BUMN.

Tapi juga dengan memastikan agar perusahaan-perusahaan yang sudah mapan dalam industri strategis ini bermitra dengan UMKM-UMKM.

Dengan begini, rakyat kecil, baik di kota maupun di desa, bisa membangkitkan sendiri ekonominya.

Mereka tak perlu harus tergantung sama konglomerat dan investor-investor gede untuk mengucurkan duit biar ada lapangan kerja baru.

Kenapa? Karena rakyat kecil juga bisa ciptakan lapangan kerja mereka sendiri. Terutama kalau bisa menciptakan koperasi produksi atau koperasi pekerja.

Maka, saya harap agar Jokowi tetap ingat agenda-agenda merakyat ini. Dan jangan sampai belok dari arah semula, hanya karena ketemu mainan baru yang lebih menarik, canggih, dan mentereng.

Dan menteri-menteri yang ngurusin beginian musti ditinjau lagi satu per satu.


Apa kabarnya kementrian desa kita?

Program Dana Desa dan Bumdes itu keren. Dan kita udah liat desa-desa yang sukses.

Tapi gimana dengan desa yang nggak punya potensi tambang, hasil alam, atau wisata?

Ada ide industri yang mereka bisa mulai? Misalnya manufaktur, perakitan, startup apps, atau apa gitu?

Okelah. Mereka memang harus gerak nyari ide.

Tapi realistis ajalah. Nggak semua kepala desa itu pinter atau berinisiatif tinggi. Ada yang tulus bekerja, tapi mungkin kurang idenya.

Jadi, kementrian desa juga kan bisa bantu. Kemendes bisa bikin program kerjasama kampus dengan desa, misalnya.

Kampus yang sediakan riset dan pengembangan produk. Desa yang jadi investor dan produsennya nanti.

Dan masih ada ide-ide lainnya.

Mana nih kemendes???

Coba disentil dulu pak. Kalo masih males-malesan, mending ganti menterinya.


Startup gede dan investasi luar itu bukan cara utama memajukan ekonomi rakyat

Jangan terlalu terkesima dan teralihkan perhatiannya sama unicorn decacorn teknologi "karya anak bangsa" itu pak.

Mereka memang canggih dan gede.

Tapi apakah manfaatnya buat rakyat banyak sebesar penampilan mereka yang mentereng itu?

Belum tentu.

Kita boleh bangga akan kemampuan orang kita bikin perusahaan-perusahaan teknologi gede.

Tapi jangan lupa.

Sekarang perusahaan-perusahaan teknologi kita ini sudah dicaplok investor Singapore. Jadi nggak bisa dibilang milik anak bangsa lagi.

Lebih jauh lagi, prioritas perusahaan-perusahaan teknologi ini disetir investor-investor luar itu, pak.

Bohong kalau dibilang bahwa prioritas mereka adalah untuk rakyat kecil.

Rakyat kecil kita cuma jadi pasar mereka. Driver-driver kita jadi kuli lepasan mereka. Dan UMKM-UMKM kita cuma jadi penyewa lapak online yang kerap mereka sunat pendapatannya.

Jadi jangan ketipu sama jargon-jargon njelimet mereka kayak konektivitas, revolusi 4.0, atau sharing economy.

Intinya, mereka itu sekarang bisnis gede yang ingin masuk ke berbagai sudut kehidupan dan privasi orang Indonesia. Awasi algoritma dan penggunaan data pelanggan mereka.

Memang ada dari mereka-mereka ini yang dibeli balik sama perusahaan Indonesia, Telkomsel, yaitu Gojek Tokopedia (GoTo).

Tapi pembelian ini sudah terindikasi sebagai cawe-cawe Thohir bersaudara, biar geng mereka cuan gede waktu IPO nanti.

Dalihnya sih nasionalis, demi merebut kembali perusahaan karya anak bangsa. Tapi ujungnya tetap aja konflik kepentingan si pak menteri.

Boleh saja bangga bahwa anak bangsa kita mampu bikin perusahaan teknologi yang gede. Tapi ingat, yang begituan itu mainan horang kayah kelas paus.

Mereka ga usah dibantuin juga bisa makin kaya sendiri kok. Jadi nggak usah terlalu diprioritaskan. Malah mereka-mereka ini harus diawasi.

Sama halnya dengan investor-investor gede dari luar. Bagus aja kalau kita bisa bawa masuk investasi dari luar.

Kalau bisa, justru kita manfaatkan mereka untuk alih teknologi. Agar nantinya, orang kita juga bisa bikin produk serupa melalui perusahaan milik rakyat kita sendiri.

Tapi juga bukan berarti mereka lantas dikasih karpet merah sehingga bisa semaunya. Justru mereka harus terus diawasi.

Startup-startup gede dan investasi luar ini juga sebaiknya jangan dijadikan solusi utama cipta lapangan kerja.

Kenapa?

Karena ini hanya akan mendidik rakyat kita untuk tidak mandiri.

Ini hanya akan membentuk mentalitas buruh, pekerja lepas, dan penyewa lapak buat usaha sampingan aja. Yang pinternya cuma mengharapkan orang lain menciptakan kesempatan usaha atau lapangan kerja buat mereka.

Dan ini bukan mentalitas wiraswasta sejati.

Padahal, kita justru ingin rakyat mampu berwiraswasta kalau mau menciptakan lebih banyak lapangan kerja.


Gimana dengan UMKM?

Rakyat kecil kita harus dididik dan diperkuat agar bisa ciptakan lapangan kerja sendiri.

Pak Jokowi harus lebih banyak fokus ke UMKM milik rakyat kecil yang bergelimpangan sekarat di masa pandemi ini.

Subsidi per bulan ya bolehlah jalan terus.

Tapi mana pendampingan buat mereka?

Mana perlindungan buat mereka dari badai impor? Gimana dengan akses mereka buat ekspor?

Terus, gimana dengan akses lapak jualan online? Nggak ada yang gratis yang bisa disediakan negara untuk bantu UMKM?

Apalagi di masa pandemi gini, mereka pasti butuh banget, pak.

Masak pilihan mereka cuma platform online macam GoFood atau Shopee, yang kerap semena-mena menyunat profit kecil pengusaha UMKM ini?

Kasian amat. Udah susah dapat duit, kena sunat gede pula.

Nggak ada alternatif lain? Ciyus? Menteri koperasi sama menteri BUMN ngapain aja?

Gimana dengan akses permodalan yang dipermudah buat UMKM? Yang nggak musti njelimet kayak bank, atau kelewat memeras darah kayak pinjol? Ada nggak?

Kalau semua ini udah ada, gimana dengan sosialisasinya? Udah merata?

Masih banyak yang belum ngeh, pak. Sosialisasinya musti dikencangin, gas pol.

Dan omong-omong, bursa urun dana itu sebenarnya ide yang ciamik. Buat saya, ini konsep yang jauh lebih mantaps dibanding fintech.

Cuma kalo bisa, syarat buat UMKM yang mau IPO bisa dipermudah. Batas pinjaman minimalnya juga diturunkan dong. Dan juga, sosialisasinya diperkuat.

Dengan demikian, makin banyak UMKM yang bisa dapat manfaat dari akses permodalan ini.


Gimana soal koperasi?

Koperasi itu mustinya jadi sokoguru perekonomian rakyat, pak.

Rakyat mustinya bisa memperkuat perekonomian mereka sendiri dengan berkoperasi. Asal ngerti caranya berkoperasi dengan benar.

Lah ini rakyatnya masih banyak yang bodoh soal koperasi, pak Jokowi.

Alumni kampus saya aja banyak yang masih mikir kalau koperasi itu tengkulak. Bikin malu.

Kementrian koperasi ini gimana kerjanya? Coba disepak dikit biar gerak lebih gesit, pak.

Pendidikan dan pendampingan bagi masyarakat soal koperasi yang benar ini musti dikencangin. Gas pol.

Rakyat harus dididik bahwa mereka pun, kalau bergabung kekuatan, bisa bikin perusahaan atawa lapangan kerja sendiri. Jadi mereka mandiri secara ekonomi. Nggak perlu nunggu investor.

Mereka harus tahu caranya bikin koperasi yang benar. Dan akses untuk membentuk koperasi itu harus dipermudah.

Kalau mereka tau soal koperasi simpan pinjam yang benar, misalnya, mereka ga bakal kejerat pinjol. Karena koperasi simpan pinjam yang benar juga akan mendidik anggotanya agar hanya menggunakan pinjaman untuk tujuan produktif.

Aturan soal koperasi ini masih bisa ditinjau lagi. Semua bidang usaha apapun harusnya bisa dilakukan koperasi.

Kalau PT bisa menjalankan bisnis rumah sakit, misalnya, maka koperasi mustinya harus bisa juga.

Fasilitas-fasilitas bisnis yang diberikan negara kepada perseroan harusnya juga diberikan kepada koperasi. Koperasi tidak boleh dianaktirikan terus.

Kalau bank, misalnya, dapat fasilitas penjaminan simpanan oleh negara, maka koperasi simpan pinjam juga harus dapat. Sehingga jangan kolaps kalau tetiba dananya ditarik gede-gedean sama anggota pas lagi panik.

Harus adil.


Gimana dengan ekonomi kerakyatan?

Selain dididik soal berkoperasi, rakyat itu mustinya dididik untuk tidak konsumtif, tapi harus displin dan produktif.

Ini langkah awal agar rakyat kita mandiri secara ekonomi, dan ekonomi kerakyatan kita bangkit.

Sayangnya, kita malah berjalan ke arah sebaliknya saat ini.

Mau ngutang yang konsumtif, dipermudah. Tadinya dengan kartu kredit. Belakangan, dengan pinjol.

Tapi mau mulai usaha, sulit. Mau dapat pinjaman modal usaha aja susahnya minta ampun.

Jadinya orang kita tambah doyan ngutang. Konsumtif pula.

Mana orang kita banyak yang dari sononya doyan ngutang tapi nggak hobi bayar pula. Ya tambah jadi deh.

Dan bukan rahasia kalau ada banyak kepentingan dan nama besar di balik maraknya pinjol dan fintech belakangan ini.

Kredivo baru saja salaman dengan DBS Indonesia. Akulaku dengan Bank Neo Commerce. Investree dengan Bank Mandiri dan BRI.

Amartha - yang foundernya pernah jadi staf khusus presiden dan kirim surat bermodus pendataan Covid-19 ke kecamatan - dengan Bank Mandiri dan UOB.

Bahkan GoTo pun ada pinjolnya.

Horang-horang kayah ini tambah sugih. Rakyat kecil tambah kecekik.

Ini kan sebenarnya nggak mendidik, karena mendorong mereka untuk berhutang konsumtif. Dan tidak produktif.

Padahal yang bener itu, harus belajar hemat, sisihkan duit, dan nabung.

Uang yang kekumpul, sebagian buat simpanan darurat, dan sebagian buat simpanan untuk musim paceklik.

Terus sebagiannya lagi buat investasi atau usaha. Entah usaha sampingan, atau usaha sepenuh waktu. Yang bisa dilakukan melalui koperasi misalnya.

Walau ini logis, tapi apa semua rakyat kita tahu? Saya yakin enggak. Itu makanya pendidikan ekonomi buat mereka ini penting.

Jangan promosikan fintech, pinjol, atau utang, pak. Tapi promosikan cara hidup produktif.

Juga, ciptakanlah kebijakan yang memacu produktivitas: lapangan kerja yang banyak dan layak, keadilan akses permodalan, dan kemudahan berusaha bagi masyarakat kecil.


Gimana soal kemitraan industri strategis dengan UMKM?

Terakhir, anak-anak buah kesayangan pak Jokowi ini musti disisir lagi. Terutama yang duduk di sektor-sektor basah seperti BUMN.

Cek siapa-siapa aja yang terindikasi cawe-cawe. Kalau salah, sikat pak. Biar siapapun orangnya, sedekat apapun dia sama pak Jokowi.

Cek aja siapa yang main di infrastruktur, di IPO, di pabrik pupuk, di bansos, di vaksin, di PCR, di senjata, di menara telekomunikasi, di perubahan iklim, di SUKUK, di Lembaga Pengelola Investasi, di big data, di pengadaan barang-jasa pemerintah, dan di pembayaran digital.

Kalau nama-nama perusahaan yang menang grupnya yang itu-itu melulu, pasti ada mainan orang dalam. Sikat aja.

Karena pengadaan-pengadaan ini, sesuai dengan UU Cipta Kerja, mustinya memprioritaskan kemitraan dengan usaha rakyat dalam negeri.

Tapi kalo yang dapet bisnisnya geng penggede-penggede terus, rakyat dapat apaan?

Jadi, pastikan terlaksananya kemitraan pelaku-pelaku besar industri strategis ini dengan UMKM.

Selanjutnya, sikat geng begundal ini. Bersihkan kabinet bapak. Kirim Kejaksaan, KPK, dan BPK buat mengusut dan menangkap geng curut-curut perampok rakyat ini.

Nggak jauh-jauh kok orangnya.

Biasanya, makin dekat orangnya dengan pak Jokowi, makin gede potensi dosanya. Mulai aja dari mereka-mereka dulu. Entar efeknya pasti merembet, kalau Kejaksaan dan KPK kerjanya bener.


Penutupan

Saya pendukung yang kritis, bukan nyinyir.

Saya tulis uraian ini karena saya lihat pak Jokowi seperti disesatkan dan diperalat oleh orang-orang terdekat di Ring 1. Sehingga mulai teralihkan fokusnya dari rakyat kecil.

Pak Jokowi terlalu terlena dengan bualan sharing economy, revolusi ajaib 4.0, unicorn, decacorn, atau istilah apapun yang njelimet-njelimet rekaan para penggede itu. Yang pada prakteknya, lebih banyak cuma direkayasa buat bikin kesempatan mereka meraup cuan gede lagi dengan mengerjai rakyat kecil.

Harapan saya, pak Jokowi bisa tetap fokus membela dan meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil.

Dan bukannya malah dijadikan alat memperkaya para penggede sekutu politik pak Jokowi yang sudah horang kayah itu.


Tony Gede, 10 November 2021

Masihkah Pak Jokowi Fokus Jadi Presiden Buat Rakyat Kecil???

Sumber Utama : https://seword.com/ekonomi/masihkah-pak-jokowi-fokus-jadi-presiden-buat-F5mOL3I5Bo

Wagub Riza Ternyata Semakin Kocak Cara Berpikirnya, Simak Komentarnya Soal Banjir Jakarta

Ahmad Riza Patria, yang kadang mendapat julukan "Wan Bemper" karena perannya sejak menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta yang kerap menjadi bemper atas kebijakan atau program dari Pemprov DKI Jakarta yang dipimpin oleh Anies Baswedan ... ternyata kocak juga ya, cara berpikirnya

Selain ucapan agar warga Jakarta diminta bersabar menghadapi ujian musim penghujan yang biasa membawa limpahan air hingga ke dalam rumah mereka, lalu warga Jakarta diminta berdoa agar tidak terjadi banjir ... ternyata ada lagi setidaknya dua pernyataan seru bin kocak dari seorang Riza Patria, seperti saya baca dari dua sumber berita di bagian akhir tulisan ini.

Ucapan pertama seperti ini:

"Teman-teman lihat banjir ini tidak cuma di Jakarta tapi di seluruh Indonesia bahkan di Kalimantan yang tidak padat seperti Jakarta pun ada banjir. Negara-negara maju sekalipun mau di Eropa, Amerika, Tiongkok, masih ada banjir," kata Riza di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (1/11/2021), seperti dilansir dari laman beritasatu.com.

Ini kan seperti "mencari teman" dalam kesusahan, biar bisa dimaklumi bahwa banjir di Jakarta tak perlu dibesar-besarkan atau dipermasalahkan, karena di negara maju pun juga mengalami masalah serupa.

Bagi kita yang berlogika waras, tentu masalahnya bukan di banjirnya ya, kan? Namun, apa yang dilakukan oleh otoritas terkait untuk kebijakan macam apa yang dapat dilakukan supaya banjir tidak berulang, atau kalah bisa malah berhenti sekalian banjirnya. Bukannya berharap hujan yang berhenti, karena kalau beneran tanpa hujan bisa masuk musim kemarau panjang. Nanti alasan apa lagi yang akan diajukan? Hahaha ...!


Komentar kedua ini tak kalah serunya, saya kutip dari rri.co.id yang bagi saya agak lebay dengan mencantumkan judul "Banjir Lama Surut, Wagub DKI: Airnya Kebanyakan."

Mungkin maksud jurnalisnya ingin mengutip perkataan Riza Patria yang bagian ini, karena kalau saya baca tidak ada pernyataan asli yang berkata soal kebanyakan air itu. Menurut berita yang sama lho ya, Riza cuma bilang begini:

"Kalau intensitasnya lebih dari daya tampung, itu membutuhkan waktu ya, terkait surutnya air. Sejauh ini secara umum Itu bisa dipenuhi sebelum enam jam. Kalau ada yang lebih (dari enam jam) itu dicek. Tidak banyak, di daerah yang memang sangat rendah dan intensitas (hujan) tinggi lebih dari 100," jelasnya.


Apa pun itu pernyataan Riza yang kurang mencerminkan komentar seorang Wagub soal penanganan dan antisipasi banjir bagi saya tetap menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Pernyataan yang lahir dari cara berpikir out of the box, tak beda jauh sama Anies Baswedan yang sukar dipahami oleh masyarakat awam seperti kita ini.

Namun yang jelas, dari situasi banjir kali ini kita semakin mengerti bagaimana "duo pemimpin lawak" itu memang tak becus kerja, minim rencana soal penanganan dan antisipasi banjir, dan terkesan menyalahkan pihak lain ... karena menyalahkan Tuhan rasanya mereka tidak berani. Betul?

Nanti kalau misalnya dihadapkan dengan data sungguhan, misalkan cara beberapa negara di Eropa dan Amerika tadi dalam menangani banjir, pasti akan muncul kata-kata ngeles lainnya, yang intinya tetap sama ... tidak mau disalahkan dan tidak mau dianggap gagal mengantisipasi atau setidaknya berikhtiar mencegah agar banjir tidak berulang.

Saya yakin di negara semaju apa pun, dengan cara berpikir masyarakatnya yang sudah lebih maju, kalau kebanjiran setiap tahun dengan air yang keruh dan berpotensi membawa penyakit gitu, ya pasti mereka protes keraslah. Duo Anies-Riza masih untung karena warga Jakarta terbilang masih relatif kalem dalam menerima nasib buruk yang menguji kesabaran dan keuangan mereka setiap tahun ini.


Salah sendiri sih terbuai janji palsu dari mulut manis yang katanya akan serius dalam mengatasi banjir selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta 20217 lalu. Salah sendiri sih kok meyakini kalau rezim penguasa di Pemprov DKI Jakarta kali ini diyakini akan mampu menyelesaikan masalah banjir ... lha wong barusan ditemukan fakta dana yang seharusnya buat pembebasan lahan di sekitar sungai di Jakarta saja dibatalkan demi Formula E!

Mengharapkan sumur resapan bekerja optimal? Kalau kata Riza tadi, kalau curah hujannya nggak keterlaluan (alias nggak kebanyakan air) ya masih bisa diharapkan. Lha kalau curah hujan gila-gilaan, ditambah banjir rob dan kiriman air dari hulu sungai ... hancur sudah harapan itu. Malah yang ada anggaran APBD DKI Jakarta yang meresap dengan cepat, lalu menguap entah ke mana ... yang mungkin baru bisa terkuak kalau KPK masuk!


Saran saya buat Pak Wagub ... kalau airnya memang kebanyakan, ya tinggal kerahkan saja teman-teman dari Gubernur-mu yang dulu menang Pilkada 2017 bersama Sandiaga Uno karena ada dukungan 7 juta orang yang kumpul di Monas. Tinggal dikemas saja airnya dalam botol seliteran atau pakai galon, lalu dijual lewat prograk Jakpreneur dengan disertai kata-kata manis seperti:

(1) Dijual air berkhasiat!

(2) Dijual air dengan doa dari pemimpin hebat!

(3) Siapa beli air ini, bonus kavling surga

Silakan teruskan sendiri dengan ide-ide cemerlang lainnya. Siapa tahu kalau tulisan ini tayang di YouTube akan dilihat, lalu bisa menjadi kesempatan untuk membuka bisnis baru ... sebelum dianggap sebagai solusi brilian lalu diakui sebagai program dari Anies-Riza lho!

Bagaimana menurut Anda soal Wagub DKI Jakarta yang lucu ini dengan semua pernyataan yang kita bahas kali ini?

Wagub Riza Ternyata Semakin Kocak Cara Berpikirnya, Simak Komentarnya Soal Banjir Jakarta

Sumber Utama : https://seword.com/politik/wagub-riza-ternyata-semakin-kocak-cara-berpikirnya-hikrDp2dMh

Poros Prabowo-Puan, Poros Setengah Putus Asa

Bisa dimengerti, karena Prabowo yang sudah biasa, dan bila kemudian dikawin-silangkan dengan ramai-ramai pesimisme "teh botol Soto beberapa waktu yang lalu.

Di tengah menjamurnya deklarasi dan dukungan oleh para relawan untuk capres, di antaranya deklarasi untuk Ganjar, Anies, Puan, atau Prabowo, ada satu yang nyelip tapi menarik: deklarasi dukungan pasangan capres-cawapres sekaligus. Menarik karena sepaket, menarik karena tidak biasa.

Seperti diberitakan Suara.com, sekelompok orang diketahui telah mendeklarasikan diri sebagai relawan Poros Prabowo-Puan, pada Rabu (3/11/2021) lalu. Kelompok ini menyatakan dukungan terhadap Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai calon Presiden, sepaket dengan Ketua DPR RI Puan Maharani sebagai calon wakil presiden dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024 mendatang.

Andianto, sebagai Koordinator Poros Prabowo-Puan mengatakan bahwa alasan mereka memberi dukungan pada kedua tokoh tersebut adalah karena faktor elektabilitas.

"Di antara tokoh bangsa dan tokoh politik yang muncul dan memiliki elektabilitas tinggi adalah sosok bapak Prabowo Subianto," kata Andianto.

Andianto melanjutkan jika diusungnya kedua tokoh tersebut juga karena faktor latar belakangnya. Prabowo yang menurutnya mempunyai visi besar dalam membangun bangsa dan Puan yang dinilai telah memiliki jam terbang serta matang di dunia politik Indonesia.

"Atas dasar latar belakang tersebut, maka kami terpanggil untuk menghimpun dan menyatukan visi, misi dan tekad untuk tampil dan bergerak bersama dalam mengambil bagian untuk mendorong agar terwujudnya kedua tokoh bangsa tersebut," tutupnya.

Korban gertakan elektabilitas

Benar bahwa mayoritas survei mendapati bahwa Prabowo memang diunggulkan, tapi keadaan yang seperti demikian itu jelas bukan barang baru. Menjelang 2014 lalu, posisi yang sama juga ditempati oleh Prabowo.

Tapi unggul di awal tidak menjamin menjadi pemenang di akhir. Kubu Prabowo harus kalah menyakitkan.

Kenyataan yang seperti itu tentu harus menjadi pelajaran. Menjadi pengingat dan untuk mencari penyebabnya.

Satu penyebab yang bisa dikemukakan adalah, agaknya persentase tinggi Prabowo dalam survei diperoleh hanya dari tingkat keterkenalan dan karisma saja. Sebagai sosok bukan orang baru, elit, dan bercitra tegas, nama Prabowo memang paling gampang diingat, dan itu yang menjadi kelebihannya.

Tapi sayangnya kelebihan tersebut tidak bisa diimbangi dengan kemampuan untuk mengejawantahkan visinya menjadi hal yang mudah dipahami dan dibutuhkan oleh rakyat Indonesia kebanyakan. Prabowo yang "tegas" terasa jauh dengan kebutuhan dan keinginan sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagiannya lagi menganggap bahwa Prabowo terlalu "kemarin" untuk saat itu.

Akibatnya, prosentase tinggi hasil survei tidak bisa terdongkrak maksimal karena terhalang oleh keterbatasan kemampuannya tersebut. Prabowo gagal.

Lalu bagaimana dengan Puan?

Mengandalkan elektabilitas sementara dari Puan, jelas sama saja dengan bunuh diri. Penyebaran baliho sama sekali belum mampu mampu mengerek elektabilitasnya.

Bilapun pasangan tersebut nanti akhirnya sepakat, beban berat tentu ada pada partai pengusungnya. Terutama PDIP.

Betul karena PDIP harus memaksimalkan predikatnya sebagai partai pemenang. Dan itu tidak ringan, karena ada dua beban sekaligus yang harus dipikulnya. PDIP harus "menggendong" Puan, sekaligus juga harus "menggotong" Prabowo.

Setengah putus asa

Bila dicermati, pengusung pasangan ini bisa disebut poros setengah putus asa. (Poros putus asa adalah mereka yang mengusulkan Jokowi tiga periode, atau mereka yang berkeinginan adanya pasangan Jokowi-Prabowo.)

Ke-setengahputusasa-an mereka ini ditunjukkan dalam sikap yang seperti luput untuk melihat potensi dari sekian banyak putra-putri terbaik Indonesia yang sesuai dengan tuntutan kekinian dan masa depan. Mereka yang ini hitung-hitunganya terlalu pragmatis-matematis. Akhirnya menurut mereka; ya sudah Prabowo-Puan saja, daripada tidak?!?!?...

Mereka kurang cermat dalam hal bagaimana cara mengangkat kedua tokoh tersebut, agar mendapat simpati dan dukungan dari mayoritas masyarakat Indonesia ke depannya. Memang, bisa saja dengan seiring berjalannya waktu, serta dengan sedikit polesan, menjadikan mereka terlihat merakyat. Tapi, sekali elitis ya tetaplah elitis. Keduanya tetap akan "tinggi, jauh, dan takut panas-takut tanah".

Akhirnya, memang menjadi hak siapapun untuk mendeklarasikan siapapun. Harus dihormati karena hal tersebut merupakan bagian dari penghormatan kepada kebebasan berekspresi. Nikmati saja bahwa kelompok-kleompok itu sedang bersuka-cita karena berkesempatan mengajukan siapa-siapa yang diinginkannya. Pada ujungnya, masyarakat jugalah sebagai penilai akhir akan kepantasan dan kesesuaian dengan apa yang menjadi harapannya.

(Di balik bermunculannya berbagai deklarasi capres, sepertinya ada yang sedang tes ombak….)

Poros Prabowo-Puan, Poros Setengah Putus Asa

 Sumber Utama : https://seword.com/umum/poros-prabowo-puan-poros-setengah-putus-asa-KkLi1UXO2h

Satgas BLBI Sita Aset Pengutang, Bungkam Para Bohir

Ternyata Satgas BLBI yang dibentuk Jokowi bukan cuma sekadar pencitraan atau alat gertak sambal. Paling tidak hingga saat ini Satgas BLBI tampak benar-benar bekerja untuk menarik kembali piutang negara yang jumlahnya seratusan triliun rupiah itu.

Pada tahun 1998, saat krisis keuangan melanda negeri, ada puluhan pengusaha yang disuntikkan dana BLBI, supaya bank atau perusahaan mereka tidak bangkrut. Namun di kemudian hari ada penerima dana pinjaman itu yang nakal, sebab tidak punya itikad baik untuk mengembalikan dana talangan itu ke pemerintah.

Salah satunya yang paling menarik perhatian publik adalah Tommy Soeharto. Putra bungsu mantan presiden Soeharto itu mendapatkan bantuan dana untuk menyelamatkan PT Timor Putra Nasional miliknya.

Pertimbangannya mungkin karena perusahaan itu disebut-sebut sedang merintis produksi mobil nasional (mobnas). Tapi isunya, Tommy tidak pernah melaksanakan kewajibannya itu sekalipun sudah ditagih berkali-kali?

Para pengutang BLBI yang tidak memiliki niat baik, mungkin masih bisa bermain-main dan mengelak pada masa SBY atau pemerintahan sebelumnya. Maka selama belasan tahun tidak tersentuh, bisa saja mereka merasa aman dan nyaman, sehinggga mulai menganggap bahwa dana BLBI tidak usah dikembalikan lagi?

Tapi di era Jokowi mereka harus gigit jari, sebab satgas yang dibentuk pemerintah ini ternyata tidak main-main. Buktinya sebagian lahan luas miliki Tommy sudah disita dan siap dilelang. Satgas juga melakukan hal yang sama terhadap pengutang lain. Tetapi hal-hal yang menyangkut Tommy Soeharto selalu spesial untuk dipublikasikan.

Kini uang negara yang harus dibayarkan Tommy sebesar Rp 2,61 triliun. Bukan jumlah yang sedikit. Tapi bukan pula yang terbesar dari antara pengutang BLBI, sebab masih ada yang jauh lebih besar dari itu. Namun nama Tommy menjadi lebih "merdu" terdengar di telinga publik karena sosoknya yang lebih mentereng dibanding debitur/obligor BLBI lainnya.

Tommy memang bukan sembarang orang. Sebagai putra mantan penguasa 32 tahun republik dia tentunya masih memiliki banyak simpatisan dan pengaruh. Partai Berkarya yang dia dirikan, pada Pemilu 2019 lalu dipilih sebanyak 2.929.495 orang (2,09 persen). Partai baru ini bahkan mengungguli partai-partai "senior" sekelas Hanura, PBB, dan PKPI.

Maka memperlakukan Tommy harus serba ekstra, sebab bisa-bisa dia menggerakkan simpatisannya untuk beraksi. Apalagi bukan rahasia lagi tentang kedekatannya dengan pimpinan ormas-ormas keagamaan yang bisa dia ajak bekerja sama.

Di medsos pernah viral foto Tommy tengah bersantap dengan sejumlah sosok berjubah dan bersorban. Salah satunya Rizieq Shihab. Pada kesempatan lain, tampak pula Tommy satu meja perjamuan dengan Rizieq dan Anies Baswedan.

Seperti kata perumpamaan, "tak ada makan siang gratis". Maka acara makan-makan Tommy bersama tokoh-tokoh yang memiliki masa bejibun itu kemungkinan besar bukan santap siang biasa. Bisa jadi sedang dibicarakan "kerja sama" yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Tak jauhlah dari soal pengerahan massa.

Kira-kira apa gerangan yang bisa dimanfaatkan oleh Pangeran Cendana dari para penggerak umat itu? "Jutaan" massa untuk berdemo. Kisah sukses aksi demo di Monas pada Oktober dan Desember 2016, pasti menyadarkan banyak pihak bahwa massa itu ternyata sangat berharga jika bisa digiring ke satu lokasi.

Aski 212 memang sukses memaksa pemangku hukum supaya Ahok divonis dua tahun penjara. Selanjutnya aksi-aksi sejenis dicoba lagi untuk tujuan-tujuan politis, utamanya menekan penguasa supaya menuruti kemauan mereka. Bila perlu menjatuhkan pemerintah.

Bukan rahasia jika Presiden Jokowi tidak disukai banyak pihak, karena kenyamanan dan keamanan oknum-oknum itu terusik oleh sepak terjang pemerintah ini. Para oknum itu antara lain adalah koruptor, politikus busuk, barisan sakit hati, pengusaha hitam, pemain agama yang ingin mengubah ideologi bangsa, dan sebagainya.

Bagi mereka, Jokowi itu ibarat mimpi buruk. Semakin lama Jokowi berkuasa, semakin memperpanjang derita mereka. Mereka pun mencoba menurunkan Jokowi sebelum tiba waktunya. Aksi demo besar yang melibatkan "jutaan" massa, merupakan pilihan termudah.

Para bohir yang memiliki modal besar tidak akan segan-segan mengeluarkan dana berlimpah supaya terjadi aksi besar. Para bohir tinggal berkoordinasi dengan pemilik atau penggerak massa, termasuk pentolan mahasiswa.

Sementara orang-orang kere dan dungu semacam Rocky Gerung, secara rutin meramaikan dan memanas-manasi dengan narasi-narasi ngawur ala jurus pendekar mabok. Disusul oleh si Rizal Ramli, si Refly Harun dan sejenisnya.

Gelagat ini semakin nyata ketika dalam aksi-aksi demo terakhir selalu terselip narasi: "turunkan Jokowi". Entah ada kaitannya atau tidak, aksi-aksi itu terjadi dengan semakin aktifnya Satgas BLBI menyita lahan pengutang?.

Kabar terbaru, satgas telah menyita aset Tommy berupa lahan seluas 124 hektar di Cikampek, Karawang, Jawa Barat. Nilainya sekitar Rp 600 miliar. Jumlah ini masih sangat jauh dibandingkan kewajiban yang keseluruhannya berjumlah Rp 2,61 triliun tersebut.

Kita berharap Satgas BLBI tidak hanya berhenti sampai di situ. Satgas ini harus menuntaskan pekerjaan sebelum Jokowi lengser pada Oktober 2024, sehingga piutang negara semuanya tertagih dengan utuh. Sebab tidak ada yang menjamin jika sosok yang akan datang punya kepedulian dan semangat yang sama dengan Jokowi bukan?

Keteguhan dan keseriusan atau konsistensi Satgas BLBI ini dalam menjalankan amanat rakyat itu akan membungkam para bohir yang selama ini ditengarai berada di balik aksi-aksi demo -- yang tidak ada angin tidak ada hujan kok malah menuntut presiden mundur?

Satgas BLBI Sita Aset Pengutang, Bungkam Para Bohir

Sumber Utama : https://seword.com/umum/blbi-sita-aset-pengutang-bungkam-para-bohir-tyE4ZnYxrg

HRS Seperti Anak Saya

Setiap orang memang mempunyai karakternya masing-masing. Ada yang pemalu, tak tahu malu, agresif, pendiam, pemarah, penyabar dan lain sebagainya. Tentu kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk mempunyai karakter yang kita inginkan. Jangankan orang lain, anak kita pun, hanya sebatas mendidik, sedangkan hasilnya terserah Allah SWT. Apapun karakter yang dimiliki anak kita, mereka tetap keturunan kita.

Karakter anak bungsu saya berbeda dengan anak pertama. Si bungsu cenderung agresif, tidak patuh kepada orang dan cenderung melawan. Dan hasilnya rumah sering berantakan tak karuan karena keinginan si bungsu yang sulit kendalikan.

Ketika main ingin membawa air dalam baskom. Sudah diperingatan jangan dilakukan biar ayah yang bawa airnya. Tetapi seperti biasa si bungsu keukeuh tidak mau dan malah tetap melaksanakan apa yang dia mau. Dan benar saya, air itu tumpah ke lantai. Hasilnya lantai jadi basah dan kotor bercampur dengan mainan yang lain.

Karakter bandel ini sulit diubah. Perkataan orang tua agar tidak makan es, permen karena tidak baik, susah untuk ditaati. Hasilnya dia sering batuk dan giginya pun roheng (jelek). Sampai saat ini karakternya belum berubah dan keukeuh pada keinginannya, tidak mau mendengarkan orang lain. Kami anggota keluarga lain harus sering mengalah dan bersiap (walau dengan berat hati) menyelesaikan masalah yang dia timbulkan.

Ketika batuk ya kita bawa ke dokter. Padahal dia yang memakan es yang berlebihan. Begitu juga ketika sakit tenggorokan. Karena sering permen giginya pun sakit dan harus di bawa ke dokter.

Dan sepertinya, karakter anak saya agak mirip dengan HRS. Bandel (wkwk). Ya mungkin bagi pengikutnya sosok HRS merupakan sosok yang baik, ulama yang wajib dituruti segala ucapannya. Dan itu adalah hal wajar. Namanya juga pengagum. Saya juga tidak menapik bahwa seorang HRS merupakan seorang ulama bahkan keturunan langsung teladan umat Islam yaitu Nabi Muhammad SAW.

Tapi ada beberapa karakter HRS yang saya kira menjengkelkan seperti anak saya (wkwkw). Semoga HRS dan anak saya bisa menjadi orang yang lebih baik. Amien.

HRS sebelumnya berhasil mendirikan organisasi masyarakat yang populer, yaitu Front Pembela Islam (FPI). FPI katanya sering terjun langsung ke daerah bencana membantu mereka yang membutuhkan sebelum bantuan lain datang. Tentu jika ini benar harus kita apresiasi dan beri penghargaan.

Tetapi FPI pula terdengar melakukan hal-hal yang membuat masyarakat terkadang resah. Seperti razia minuman keras, razia orang tidak puasa dan sedang makan di warung makan pada bulan Ramadhan dan sebagainya. Razia-razia seperti ini sering menimbulkan pertengkaran, pertengkaran dan kegaduhan.

Ulama merupakan warisan nabi, oleh karena itu ulama harus menebarkan kebaikan dan kedamaian. Ulama adalah tempat untuk mengadukan persoalan yang berpotensi menimbulkan pertengkaran supaya bisa menjadi keberkahan dan saling memaafkan.

FPI sekarang ini dibubarkan oleh pemerintah karena tidak mempunyai kedudukan hukum sebagai organisasi masyarakat. Selain itu FPI dinilai bersebrangan dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Tindakan-tindakan HRS memang sering membuat geleng-geleng kepala beberapa pihak termasuk saya. Kabar terbaru, Habib Rizieq Shihab (HRS) menyerukan pemboikotan terhadap Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran dan Pangkostrad Letjen Dudung Abdurachman.

Seruan itu disampaikan Habib Rizieq dari tahanan. Salah satu kuasa hukum Habib Rizieq, Ichwan Tuankotta, mengungkap soal seruan itu. Ichwan menyampaikan seruan itu disampaikan Habib Rizieq saat dirinya menjenguk Habib Rizieq di Rutan Bareskrim. Seruan itu dibuat dalam bentuk poster. Ada foto Habib Rizieq, Irjen Fadil, dan Letjen Dudung dalam poster berisi seruan boikot itu.

HRS menyebut Fadil dan Dudung sebagai "penjahat HAM" terlibat penyiksaan dan pembantaian 6 Laskar FPI pengawal IB HRS di rumah penyiksaan.

Walaupun kini HRS di tahanan tetapi jiwa menyerangnya tidak luntur. Dan menurut saya tindakan ini mencari masalah saja. Seperti anak bungsu saya yang keukeuh ingin membawa baskom berisi air dengan tangan sendiri.

Tuduhan ini tentu saja cari masalah. Saya memuji HRS karena energinya begitu besar untuk melakukan hal seperti ini. Jika Fadil dan Dudung merespon dengan menempuh jalur hukum tentu semakin menambah banyak perkara yang dihadapi HRS. Tapi saya kira Dudung dan Fadil akan merespon biasanya saja. Responnya akan sama dengan saya ketika menghadapi si bungsu keukeuh ingin membawa air di baskom dengan tangan sendiri.

Semoga Indonesia semakin damai. Begitu saja.

HRS Seperti Anak Saya

Sumber Utama : https://seword.com/politik/hrs-seperti-anak-saya-4e7FtDHcI5

Anies Tak Peduli Julukan Mbah Google Gubernur Terbodoh, Ia Melaju Terus, Formula-E Lewat!

Anies malah makin suka diroasting. Bahkan beberapa video yang menyebar dan diduga adalah gaya kedunguan yang dilakukan Anies, justru malah seperti disengaja. Misalnya ada video yang diduga Anies turun di daerah banjir sambil berkoar-koar untuk waspada banjir dengan menggunakan toa. Padahal banjir sudah tinggi dan para penonton menyaksikan betapa dungunya aksi itu, sudah banjir baru teriak-teriak.

Tidak mengherankan sebenarnya ketika Anies muncul di acara trans7 “Lapor Pak!” dan diroasting oleh Kiki. Anies tidak akan pernah malu, justru ia memperlihatkan dirinya bahwa inilah politik kawan, apa saja yang kalian ingin perjuangkan maka lakukanlah secara totalitas, jangan setengah-tengah, meski “urat kemaluanmu” sudah putus berkali-kali.

Meski di mesin pencarian Anies menduduki peringkat pertama atau paling banyak menghiasi mesin pencari google hanya dengan menulis “Gubernur Terbodoh”, rupanya itu malah menjadi keuntungan bagi Anies, dan ia tak gentar, semakin mendekati masa jabatannya mau habis dan juga akan masuk pada pertarungan pilpres 2024, Anies malah makin sering tampil. Dan bisa jadi kasus-kasus seperti Formula-E itu adalah cara yang dilakukannya untuk mengejutkan masyarakat, artinya, ketika Anies lolos dari jeratan kasus ini, ia pun dengan enteng berkata “Tidak terbukti kan itu perbuatan ilegal? Jadi saya masih bersih dong, calon presiden dambaan ummat kan? Kan? Kan?”

Dan semakin dibicarakan soal Anies, semakin eksis dia. Rumusnya adalah kontroversi yang berbeda dengan Ahok. Jika Ahok juga bisa ngetop, bukan saja karena karakternya yang keras, tapi melawan arus birokasi yang sudah membosankan masyarakat. Nah, ketika masa kenyamanan warga di masanya Ahok mulai ada gelagak terbuai, maka untuk menumbangkan Ahok, selain memakai tema agama atau SARA, juga Anies melakukan kebijakan yang selalu menjadi ledekan para pendukung Ahok. Nama Anies sampai sekarang makin eksis.

Anies dan timnya tahu betul bahwa rakyat Indonesia masih banyak yang terpuruk pendidikannya, dan sudah kecanduan dengan agama, karena itulah tim Anies terus merawatnya dengan doktrin-doktrin yang menimbulkan fanatisme, karena dengan cara itu, bisa menguasai massa. Seperti kata Ibnu Rusyd bahwa jika ingin menguasai orang bodoh maka bungkuslah kebatilan dengan kemasan agama. Hal ini sangat terbukti ketika pilkada DKI 2017 berlangsung. Perkataan Ibnu Rusyd masih sangat terbukti hingga di abad ini.

Mungkin di Jakarta tidak seberapa jumlahnya orang-orang yang mabuk agama itu, paling ex FPI dan sekutunya, tapi bisa jadi diberbagai daerah mungkin masih banyak. Perhitungan itu didasarkan pada masih banyaknya kasus intoleransi yang terjadi, dan adanya aksi persekusi terhadap orang-orang yang berbeda agama dan keyakinan adalah potensi yang sangat menguntungkan Anies. Tapi Anies sangat licik, disamping maraknya aksi intoleransi, dia pun berlagak moderat atau toleran dengan aktingnya mengunjungi rumah-rumah ibadah lain, seperti Gereja, Vihara, Klenteng dan lainnya. Ingin menghapus kesan bahwa ia tokoh intoleran.

Harus diakui memang Anies masih punya daya tawar terhadap pentas pilpres 2024 mendatang, ia sangat gigih bahkan sampai urat malunya putus berkali-kali. Politik memang tidak pernah mengenal apa itu malu, meski di panggung tampak seperti berwibawa dengan setelan jas atau bahkan tatanan rambut dan jenggot yang agak mahal biaya salonnya, seperti Ahy misalnya. Banyak politisi tidak mementingkan malu. Beberapa politisi tidak mau mengakui dirinya tidak bisa membuat Indonesia menjadi maju. Tujuan mereka tetap satu, yaitu apapun caranya, posisi dan status kekuasaan harus semakin kuat dan besar.

Jadi sangat mengherankan kok Anies tetap pede tampil meski menurut sebagian besar pendukung Jokowi adalah memalukan. Anies dan tim-nya sudah punya rumusan, sama halnya dengan kasus lem aibon dan yang lainnya yang kini sudah tenggelam. Kasus-kasus seperti itu seperti menarik perhatian saja, tidak pernah ditindaklanjuti lebih dalam lagi, muncul tenggelam lalu digantikan dengan kasus lain, dan selalu ada cara Anies pasti bisa lolos.

Jika nanti di kasus Formula-E Anies pun lolos, yahh wassallam. Kasus rumah DP nol Rupiah saja yang kena anak buahnya Anies kan? Artinya apa yang dilakukannya selama ini, dengan mudah ia bisa lolos dari segala jeratan, kecuali jeratan Tuhan. Dan entah apakah para anak buahnya itu rela kena getah busuknya atau memang lagi apes dan sial saja karena menjadi anak buah Anies? Berbeda halnya dengan orang-orang yang sudah membaca gelagak itu, orang yang dulu bekerja profesional di bawah arahan Ahok, mereka buru-buru mengundurkan diri dari premprov DKI dan akhirnya aman-aman saja, tidak menjadi tersangka.

Segala yang telah dilakukan Anies meski tampak sangat dungu atau bahkan dijuluki dengan Gubernur Terbodoh sepanjang sejarah, ia tetap melanggeng saja, tak terbebani, hal ini sudah menjadi rumusan Anies dan tim-nya, karena tidak mungkin ia akan lebih baik dari Ahok atau pun Jokowi, maka harus memainkan cara lain, bahkan cara yang paling sangat licik sekalipun.

Anies Tak Peduli Julukan Mbah Google Gubernur Terbodoh, Ia Melaju Terus, Formula-E Lewat!

Sumber Utama : https://seword.com/politik/anies-tak-peduli-julukan-mbah-google-gubernur-FtsZsR2Yn4

Andika-kah Orangnya, Tahun 2024?

Hari-hari ini ada peristiwa penting di negeri kita, yang diprediksi berdampak jauh ke depan. Ini menyangkut nasib dan masa depan RI yang ber-Pancasila, dan bhinneka tunggal ika.

Komisi I DPRI, pada Sabtu 6 November 2021 sudah menerima dengan baik pemaparan Jenderal TNI Andika Perkasa dalam rangkaian fit and proper test calon panglima TNI. Beberapa waktu sebelumnya Presiden Jokowi mengajukan nama KSAD ini ke DPR RI sebagai calon tunggal.

Dan sebagaimana diperkirakan acara berlangsung mulus. Andika pun disetujui para anggota Dewan menjadi calon panglima TNI menggantikan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto yang akan pensiun per Desember 2021 ini.

Banyak isu seputar pengajuan Andika ini. Misalnya pasca-Hadi Tjahjanto, jabatan itu mestinya jatuh ke calon dari matra laut. Sebab matra darat sudah dua kali berturut-turut mendapatkan kehormatan itu sebelum Marsekal Hadi.

Setelah Laksamana TNI Agus Suhartono pensiun pada 30 Agustus 2013, dia digantikan oleh Jenderal TNI Moeldoko hingga 8 Juli 2015. Selepas Moeldoko datanglah Jenderal TNI Gatot Nurmantyo yang dipensiunkan pada 8 Desember 2017. Hadi Tjahjanto yang berasal dari matra udara itu menggantikan Gatot Nurmantyo hingga Desember 2021 nanti.

Maka berdasarkan siklus itu, pengganti Hadi mestinya dari AL. Tetapi Jokowi malah mencalonkan Andi Perkasa, dan sudah di-acc DPR pula. Maka klir sudah bahwa per Desember 2021 nanti TNI kembali dipimpin jenderal angkatan darat.

Semua pihak pasti mafhum dengan langkah catur Jokowi ini. Sebab bagaimanapun juga negeri ini sedang kurang baik-baik saja. Ideologi negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, terancam semenjak era reformasi bergulir. Kaum radikalis intoleran tidak pernah diam untuk memaksakan sistem khilafah. Kelompok ini bertumbuh subur di era SBY (2004 - 2014).

Pemerintah Jokowi yang hendak memulihkan negeri ini pasti mendapatkan sandungan yang cukup kuat, sebab keberadaan kelompok yang tega menghalalkan segala cara ini sudah kadung menggurita selama sepuluh tahun SBY. Sulit dienyahkan segera.

Di era Soeharto mereka sama sekali tidak berkutik. Di masa Jokowi, pada periode kedua, kelompok ini baru bisa dibasmi secara organisasi. HTI dan FPI dilarang. Tetapi terasa bodong juga, sebab oknum-oknum pentolan atau simpatisan musuh negara ini masih bebas bebas saja berteriak-teriak dan beraksi.

Misalnya saja, Novel Bamukmin, mantan sekjen FPI yang terus giat berkata-kata sekalipun junjungannya Rizieq Shihab sudah dipenjara untuk beberapa tahun ke depan. Belum lama ini, Bamukmin seperti tidak punya rasa takut sama sekali, terang-terangan menggagas rencana berlangsungnya "reuni" 212 di Monas Jakarta, 2 Desember nanti.

Oknum yang sepertinya berambisi mengisi kekosongan yang ditinggalkan Rizieq Shihab ini, kabarnya sudah melayangkan proposal ke berbagai pihak untuk mendapatkan dana? Untuk menyelenggarakan acara kumpul-kumpul yang dihadiri "jutaan" massa memang butuh uang yang tidak sedikit.

Dana itu akan digunakan untuk mengadakan nasi bungkus berkaret yang diselipkan uang transportasi antara Rp 50 ribu - Rp 100 ribu. Ini memang menjadi magnet bagi orang-orang untuk datang. Tanpa itu, siapa peduli?

Tetapi yang perlu dicermati di sini adalah kenekadan dan keberanian oknum-oknum itu untuk mengadakan acara kumpul massa dalam jumlah besar di tengah pandemi yang belum sepenuhnya selesai. Bahkan diperkirakan negeri ini diancam oleh gelombang ketiga setelah jeda Natal dan tahun baru?

Tapi Bamukmin seolah tiada peduli dan mulai memprovokasi massa untuk datang pada "reuni" tersebut. Ini sekaligus menjadi bukti betapa negeri ini sama sekali tidak dianggap oleh kaum kadal gurun yang merasa bisa berbuat apa saja. Hanya ketegasan pemerintah dan aparatnya yang bisa membungkam oknum-oknum semacam ini, yang tujuannya cuma menciptakan kisruh sambil menantang dan memancing emosi pemerintah.

Maka ke depan sangat diharapkan hadirnya sosok yang sangat kompeten untuk menggantikan Jokowi pada 2024 nanti. Yang terutama diharapkan dari sosok dimaksud adalah komitmen nasionalismenya yang tinggi, serta keberanian dan ketegasan memberantas radikalis sampai habis tanpa bekas. Jokowi telah memulainya dengan baik, dan wajib dituntaskan atau disukseskan oleh suksesornya, jika ingin NKRI tetap utuh.

Tetapi siapa gerangan sosok itu? PDIP sebagai partai yang saat ini bisa menentukan arah bangsa ini, atau hidup-matintya republik ini, tampak masih gamang dan bingung soal ini. Padahal saat ini mereka punya stok yang bagus yakni Ganjar Pranowo, gubernur Jawa Tengah.

Survei-survei secara konsisten menempatkannya di jajaran pemuncak. Partai tinggal memolesnya supaya benar-benar jadi dan memenangkan pertarungan. Tapi entah apa yang sedang dinantikan Megawati selaku pengambil kebijakan di sana. Belum lama ini diberitakan bahwa dirinya sedang berdoa minta petunjuk soal siapa yang akan menggantikan Jokowi?

Munculnya nama Andika yang segara menjadi panglima TNI ini tentu membuat banyak pihak berandai-andai. Diakah gerangan yang disebut sebagai satio piningit itu. Pengangkatan Andika memang menimbulkan banyak tanya atau teka-teki.

Dari segi usia, doi sudah harus pensiun Desember 2022. Artinya dia hanya akan menjabat panglima satu tahun saja. Pihak-pihak yang paham ranah kemiliteran mengatakan bahwa waktu setahun tidak cukup bagi seorang panglima untuk berbuat sesuatu bagi TNI. Kecuali masa aktifnya diperpanjang Presiden?

Tapi yang jelas, menyandang status sebagai (mantan) panglima TNI akan memiliki nilai tawar politis yang sangat tinggi kelak. Apalagi jika mengingat rekam jejak Andika yang sangat kondusif bagi NKRI. Dia tidak seperti Gatot yang langsung bikin gebrakan membangkitkan PKI yang padahal sudah tiada. Atau membandingkan dengan AHY yang "cuma" mayor purnawirawan itu? Masih muda kok sudah menyandang status purnawirawan?

Kini tidak sedikit yang mulai menaruh harapan dan perhatiannya pada sosok Andika ini. Sangat tepat jika misalnya dia dikombinasikan dengan figur muda nasionalis yang mencuat di survei-survei.

Andika-kah Orangnya, Tahun 2024?

Sumber Utama : https://seword.com/politik/andika-kah-orangnya-tahun-2024-Fp26iM3j3r

Menanti Puan Sindir Andika Perkasa, "Pemimpin Itu Ada di Lapangan, Bukan di Sosmed"

Saya sedang bersungguh-sungguh dengan pernyataan di judul di atas. Puan Maharani yang merupakan Ketua DPR dan juga Ketua DPP PDIP itu memang sosok yang mengidealkan seorang pemimpin mesti berada di lapangan. Itu terlihat pada pernyataannya sediri, Mei silam.

"Pemimpin menurut saya, itu adalah pemimpin yang memang ada di lapangan dan bukan di sosmed," kata Puan seperti dikutip dari Antara, Minggu (23/5). Sebagai latar, ucapan itu dilontarkannya tatkala memimpin rapat pengarahan dan konsolidasi persiapan Pilpres 2024 di markas DPD PDIP Jawa Tengah.

Acara itu sendiri mengundang polemik sebab diketahui bahwa acara itu diniatkan untuk undang seluruh kepala daerah di Jawa Tengah yang diusung PDIP pas Pilakada penentu keterpilihan mereka.

Sumber polemiknya adalah dalam surat undangan untuk acara tersebut tersurat dengan jelas diksi "kecuali gubernur" yang dibuat dalam kurung padahal semua juga tahu bahwa Gubernur Jawa Tengah yakni Ganjar Pranowo juga merupakan kader PDIP.

Pernyataan Puan dalam pidatonya tersebut ditambah lagi dengan diksi undangan yang sedemikian itu, seketika disimpulkan oleh para netijen kalau Puan sedang menyindir Ganjar Pranowo.

Maklum, Ganjar memang termasuk salah satu sosok kepala daerah yang suka mengabadikan momen-momen penting kehidupannya selaku pejabat dalam berbagai platform media sosial yang dimilikinya baik facebook, IG, youtube, tiktok maupun twitter.

Pada halaman facebooknya misalnya. Di situ, ia seringkali mengabadikan momen kebersamaannya dengan masyarakat dalam bentuk konten video pada halaman tersebut. Catatan: kini halaman tersebut sampai saat tulisan ini dibuat telah memiliki pengikut 1.486.511. Anda sekalian bisa simak halaman tersebut pada alamat ini :

Laman Ganjar Pranowo Official.

Misalkan pernyataan Puan benar merupakan sindiran untuk Ganjar, pertanyaannya adalah: Apakah bila sering mengabadikan momen kesehariannya selaku Gubernur di medsos sudah otomatis Ganjar jarang ke lapangan? Tak bisa begitu! Karena apa yang dimaksudkan dengan lapangan dalam pernyataan Puan adalah sesuatu yang absurd, tak jelas apa yang dia maksudkan.

Sementara, bisa saja konten di medsosnya malah merupakan momen saat tengah berada di lapangan bila yang dimaksudkan dengan lapangan di sini adalah wilayah pelayanan pada masyarakat yang dipimpin.

Maka, sampai di sini pernyataan Puan tentang pemimpin mesti berada di lapangan adalah pernyataan yang tak punya tanggung jawab rasional sama sekali.

Puan Butuh Literasi Digital

Karena tak ada basis rasional dalam pernyataannya itu maka pernyataan itu masuk dalam katagori pernyataan bodoh. Sebab, terlepas dari maksud pernyataannya ditujukan untuk menyindir Ganjar atau tidak, pernyataan itu bagai ingin mengelak laju perubahan zaman.

Peralihan dari konvensional ke digital sedang berlangsung saat ini. Pelahan tapi pasti pekerjaan-pekerjaan manual satu per satu digantikan oleh kecanggihan tekhnologi. Yang tidak setuju dengan ini, jelas munafik.

Iya, munafiklah kalian yang meremehkan peran sosmed dalam berinteraksi sosial. Puan dan para fansboy/fasngirl-nya perlu diruqiyah agar sadar bahwa dunia interaksi sosial saat ini sudah beralih menuju serbadigital seluruhnya.

Apapun sekarang ini sedang diupayakan untuk sepenuhnya dikendalikan oleh kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).

Berinteraksi sosial hanyalah salah satunya. Tak perlu bertatap muka langsung, sosmed saja sudah cukup. Itulah kecerdasan buatan untuk mewakili manusia per manusia dalam berinteraksi. Tak siap menerima perubahan itu, jangan lantas menyindir mereka yang telah siap.

Oh, maksud Puan adalah terjun langsung di lapangan secara fisik, begitu? Jika balik kutanya, apa jaminannya bahwa terjun langsung di lapangan itu lebih efektif dibandingkan dengan memantau lewat aplikasi saja, kira-kira Puan bisa jawab gak risetnya kapan dan di mana?

"Program QLUE Smart City yang dibuat Ahok di DKI dulu fakta efektifitasnya gimana?", kutanya. Itu kalah efektifkah dengan cara Anies Si Pengganti Ahok yang kembali ke pakem lama, tinggalkan cara-cara inovatif cetusan Ahok-Jokowi?

Jabatan sekelas kepala daerah pun presiden adalah jabatan manajerial eksekutif, pengatur, penentu dan pemutus keputusan bertindak demi kepentingan publik. Di jalur militer dan kepolisian, mereka adalah komandan. Di bawah kendali mereka ada anak buah dalam struktur organisasi kebirokrasian pemerintahan yang masih lebih wajib untuk terjun langsung.

Masa untuk memahami itu Puan sampai tidak tahu?

Di sinilah pada akhirnya Puan mesti sadar bahwa literasi digital itu sangat penting bagi seorang pejabat. Bila melek digital, pejabat bisa memanfaatkan kecanggihan tekhnologi untuk menggantikan kehadiran dirinya secara langsung di tengah masyarakat yang dilayani.

Jika Puan tak terima dengan kenyataan seperti itu, Puan mesti siap-siap sindir Andika Perkasa pula kelak. Kenapa?

Menanti Puan Sindir Andika Perkasa, "Pemimpin Itu Ada di Lapangan, Bukan di Sosmed"

Sumber Utama : https://seword.com/umum/menanti-puan-sindir-andika-perkasa-pemimpin-itu-6oxIvg7RJU

Andika Perkasa Melek Digital, Puan Apa Berani Menyindirnya?

 Sebelum menjawab pertanyaan tadi di sebelah, ingin kupertegas lagi dulu bahwa dunia saat ini sedang beralih menuju serba digital. Kehadiran langsung seorang pejabat eksekutif baik sipil pun militer tidaklah wajib karenanya memanfaatkan tekhnologi untuk menggantikan kehadiran langsung sudahlah cukup.

 Jadi, sebetulnya malah bila dibandijg-bandingkan nih, justru Puanlah yang mesti sering terlihat dan terlibat /terjun langsung. Sebab Puan adalah anggota DPR yang mana antara lain tugasnya adalah mengawasi kinerja kepala pemerintahan seperti Ganjar, dll. Puan, dkk di DPRlah yang berkewenangan memastikan bahwa sebuah kebijakan kepala pemerintahan menjawab kebutuhan masyarakat.

Sederhananya begini: kepala pemerintahan itu ibarat nahkoda dari sebuah kapal. Di laut, nahkoda ini tidak perlu terjun sendiri ke ruang mesin untuk memantau kinerja mesin penggerak kapal karena ada juru mesin.

Dia juga tak perlu ke dapur untuk memastikan pasokan persediaan makanan cukup buat seluruh penumpang dan kru kapal selama sekian lama di lautan lepas karena dia ada juru masak. Dia pun tak perlu memantau sendiri navigasi ke arah mana kapal hendak dia kemudikan karena ada petugas navigator.

Dia cukup tanya laporan dari masing-masing pengurus itu untuk memastikan kapal di tangannya itu bakal selamat sampai di tujuan atau tidak.

Sekarang, bila bidang-bidang itu diambil alih oleh aplikasi kecerdasan buatan yang tingkat akurasi laporannya setara dengan manusia, wajibkah kehadiran manusia langsung di bidang-bidang itu? Bodohlah kalau bilang iya.

Kehadiran wajib seorang manusia di bidang-bidang itu, gaji dari harian hingga tahunan mesti dikeluarkan untuknya. Sedang jika hanya dengan memasang aplikasi, kita cukup keluar duit sekali saja saat membeli dan instal aplikasinya.

Manusia bodoh mana yang masih mau wajibkan kehadiran manusia langsung jika ada aplikasi untuk gantikan kehadiran manusia melakukan pekerjaan yang sama?

Itulah alasan mengapa kubilang pernyataan Puan kemarin itu pernyataan bodoh.

Sedang untuk kalian yang membela pernyataannya tersebut kusarankan untuk ikut program Literasi Digital yang dibuat oleh Kementerian Kominfo, apalagi itu gratis. Kenapa? Biar pada melek digital.

Lebih dari itu, biar siap terhadap laju perubahan dunia. Industri 4.0 itu telah dimulai. Industri ini sebagian besar ditentukan oleh keberhasilan digital. Jika kita tak siap ya kita tak akan bisa mengecap nikmatnya kue industri itu.

Andika Perkasa Melek Digital, Puan Berani Menyindirnya?

Sekarang kita sorot Panglima TNI kita yang baru terplih, Jenderal Andika Perkasa. Bagi yang belum tahu, saya kasih tahu ya kalau jenderal ini termasuk tokoh yang kerap mengabadikan momen keseharian hidupnya di medsos.

Dia, Ganjar, Dedi Mulyadi, Ridwan Kamil dan bahkan Presiden Jokowi adalah sosok-sosok yang sadar betul laju perubahan dunia kini sedang menuju ke mana. Sisi lain, mengedukasi, membimbing, memimpin, dan menginformasikan adalah antara lain bidang tugasnya selaku kepala pemerintahan.

Dalam melaksanakan itu, memanfaatkan sarana digital patut dilihat sebagai ciri pemimpin yang siap hadapi perubahan zaman. Apa yang mereka tampilkan dalam konten-konten unggahannya dengan sendirinya mutlak dilihat sebagai literasi publik. Platform medsos (digital) yang dipakai hanyalah soal sarana, esensinya sama: dia hadir.

Karenanya, seorang pejabat tetap wajib disebut sebagai pemimpin justru karena kerap mengunggah konten baru yang perlihatkan interaksinya dengan masyarakat yang dilayani. Ukuran kepemimpinannya kan tidak terletak pada sering-jarangya seorang pejabat bermain sosmed melainkan puas tidaknya rakyat yang dipimpin.

Makanya, jika Puan berniat menyindir Ganjar kemarin, harusnya mengambil tingkat kepuasan masyarakat Jawa Tengah kepada Ganjar sebagai basis argumentasi, bukan keseringannya bermain sosmed.

Namun jika hanya hendak persoalkan keseringan bermain sosmed, maka Puan pun nantinya mesti berani sindir Jenderal Andika Perkasa. Kenapa?

Karena, saya amat yakin, beliau nanti akan tetap konsisten memanfaatkan aplikasi media sosial dalam berinteraksi selaku Panglima TNI. Saat menjadi KASAD, sudah beliau tunjukkan dan itu efektif.

Anda bisa cek postingan-postingan dengan tajuk Buletin TNI AD di Facebook dan Instagram, di sana konten-kontennya kerap berisikan sosok jenderal humble satu ini.

Namun, bila Puan tak mau terlihat bodoh lagi, sebaiknya jangan sungkan untuk memanfaatkan program Literasi Digital yang diselenggarakan Kominfo. Manfaatnya banyak kok.

Saya sendiri sedang cari jadwal yang pas untuk bisa mengikutinya di link ini https://event.literasidigital.id/. Ya, biar bisa terus melek tekhnologi, Bu.

Andika Perkasa Melek Digital, Puan Apa Berani Menyindirnya?

Sumber Utama : https://seword.com/umum/andika-perkasa-melek-digital-puan-apa-berani-BY7RxWWluC

Novel Bikin KPK Mandul?

Peristiwa teranyar di mana KPK sedang "serius" mengusut Formula E yang melibatkan Pemda DKI, mau tak mau kini membuat kita berpikiran bahwasanya dulu Novel Baswedan justru membuat KPK mandul?

Selama ini Novel santer disebut-sebut sebagai "pengendali" di lembaga anti-rasuah itu. Hal itu bisa terjadi karena ada wadah pegawai di mana Novel sebagai pimpinannya. Kelompok inilah yang katanya menentukan arah lembaga ini. Apa yang dapat dilakukan dan siapa yang boleh disidik?

Bahkan isunya, para komisioner yang ditempatkan sebagai pimpinan KPK setelah melalui proses berliku, terakhir harus lulus fit and proper test DPR, tidak berkutik.

Tapi datangnya Firli Bahuri di KPK, yang adalah petinggi kepolisian berpangkat komisaris jenderal (komjen), membuat Novel seperti cemas. Mungkin dia sudah mengenal sosok ini sewaktu masih aktif di kepolisian?

Maka banyak berita tentang bagaimana sengitnya penolakan dari intern KPK terhadap Firli sewaktu dia maju sebagai calon komisioner. Penolakan itu termasuk dari Novel sendiri.

Namun bagaimanapun kerasnya penolakan terhadap Firli, dirinya tetap melaju hingga lulus fit and proper test dari Komisi 3 DPR RI. Dia bahkan terpilih sebagai ketua KPK. Derita para pecinta KPK sistem lama makin membesar ketika UU KPK hasil revisi akhirnya diberlakukan.

Amanat UU revisi itu antara lain menjadikan para pegawai KPK yang jumlahnya seribu lebih itu harus memiliki status yang jelas. Tidak seperti sebelum revisi. Memang aneh saja sih, mereka digaji oleh negara lewat APBN tetapi tidak berstatus pegawai pemerintah. Pantas saja khalayak menduga jika kesetiaan mereka lebih condong ke pimpinan kepegawaian ketimbang pada negara. Dan ini amat berbahaya!

Maka dengan UU revisi itu mereka diharuskan jadi abdi negara atau ASN. Tetapi harus lewat tes wawasan kebangsaan (TWK) dulu. Semakin terbukti betapa tes ini sangat urgen, sebab nyatanya ada puluhan yang tidak lolos. Padahal bukan tes yang sulit, sebab hanya menguji bagaimana sikap mereka terhadap bangsa dan negara.

Maka peserta yang memperlihatkan gelagat lebih cinta pada bendera HTI ketimbang "sang merah putih", ya wajar dipinggirkan. Sebenarnya masih diberi opsi agar mereka bersedia dibina ulang, namun banyak yang menolak. Ini semakin mengerikan.

Tapi bukan berarti mereka yang kini sudah anteng dengan status ASN-nya itu semuanya sudah steril sama sekali. Ingat, selama belasan tahun mereka dicekoki pemahahan agama ala penceramah agama radikal intoleran semacam Tengku Zulkarnain (almarhum).

Maka wajar saja jika banyak suara bernada pesimis dan sinis di kalangan rakyat bahwa pengaruh Novel cs belum hilang sama sekali. Hal itu dilatari lambannya lembaga ini menangani kasus-kasus yang melibatkan nama Anies Baswedan, gubernur DKI Jakarta.

Memang banyak selentingan bahwa keberadaan Novel di KPK itu menjadi tameng bagi Anies Baswedan. Mungkin benar bahwa si Novel selama ini dikenal sebagai penyidik profesional dan berintegritas. Tetapi yang namanya manusia, bisa saja berubah jika harus berhadapan dengan saudara sendiri. Itu lumrah.

Di dunia nyata ini, tidak bakal ada petugas hukum versi film India semacam Amitabachan, aktor terkenal film India tahun 1980-an. Sebagai polisi dalam film, dia tegas menangkap saudaranya sendiri yang terlibat kejahatan besar.

Inspektur Amitabachan jelas bukan Komisaris Novel Baswedan. Apalagi selama Anies menjabat gubernur, instansi ini hampir tidak pernah sepi dari kasus-kasus keuangan yang sangat mencurigakan. Seperti anggaran membeli bolpen dengan nilai Rp 125 miliar. Aibon Rp 75 miliar, dan banyak lagi. Mestinya KPK bergerak, tetapi seperti tidak tahu-menahu ada kakap di depan mata.

KPK diam saja? Ini yang membuat warga merasa gregetan. Sementara OTT atau operasi tangkap tangan dengan hasil tangkapan ala kadarnya memang terus terjadi. Bahkan harus terbang ke Makassar Sulawesi Selatan, meski belakangan jadi bahan pergunjingan sebab yang ditangkap itu oknum gubernur yang sedang tidur. Berapa uang yang diamankan pun kurang diketahui publik.

Sementara di depan mata sendiri, di Jakarta, ada potensi besar mengamankan uang negara sebesar puluhan atau ratusan miliar. Sebagai perbandingan, ketika Ahok menelisik RAPBD DKI 2015 dan mencoret banyak angka-angka siluman, belasan triliun rupiah uang rakyat diselamatkan. Maklum, besar APBD ibu kota negara ini bisa mencapai Rp 70 triliun. Maling mana yang tidak ngiler?

Ketika berdasarkan TWK Novel cs harus diberhentikan, bersahut-sahutanlah narasi bahwa KPK sedang dilemahkan, dsb. Bahkan aksi demo diperlukan menuntut Novel cs dikembalikan ke KPK, ke posisi semula. Hebat sekali, seolah-olah hanya Novel seorang yang bisa melawan korupsi di negeri ini. Seolah Novel itu KPK, dan tanpa dia KPK tidak berbentuk lagi.

Oktober 2021, sesuai aturan kepegawaian, Novel cs keluar dari KPK. Tapi apakah KPK lantas bubar atau tidak berkegiatan sama sekali? Nyatanya justru sebaliknya. Kini mereka mulai tampak aktif menelisik kasus-kasus yang sejak lama mengitari Pemda DKI Jakarta, khususnya yang menyangkut Anies Baswedan. Sesuatu hal yang dianggap mustahil terjadi apabila Novel masih di KPK

Yang paling menggetarkan Anies tentu Formula E, yang selain kurang relevan di masa pandemi, juga diduga hanya membuang uang rakyat hingga triliunan rupiah. Yang lebih mengerikan adalah jika uang rakyat itu menjadi ajang korupsi. Gambaran ke sana sudah jelas. Sekarang tergantung KPK apakah masih mandul?

Buktikan. Sebab kini sudah tidak ada alasan lagi yang membuat KPK mandul!

Novel Bikin KPK Mandul?

Sumber Utama : https://seword.com/umum/novel-bikin-kpk-mandul-qubr1g4R0T

Jokowi Bersinar di FFI : Indonesia Menuju Korsel

Pandemi masih melanda di negara kita. Tapi patut kita syukuri atas kerjasama semua pihak, pemerintah dan masyarakat Indonesia yang patuh protokol kesehatan dan atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa, Indonesia berhasil mengendalikan penyebaran COVID-19. Di saat negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, China sedang berjibaku untuk mengendalikan COVID-19, Indonesia Alhamdulillah secara umum sedang level 1.

Tetapi kita harus tetap waspada, dan berhati-hati karena COVID-19 sepenuhnya belum musnah dari muka bumi. Kemungkinan gelombang seterusnya sangat mungkin terjadi.

Tanggal 10 November 2021 kemarin Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Kita harus menghormati para pahlawan kita yang berjuang mengorbankan segalanya termasuk nyawa demi kemerdekaan Republik ini. Untuk itu kita wajib mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang positif dan meninggalkan yang negatif. Seperti tawuran, narkoba dan lain-lain.

Spesial hari Pahlawan tahun ini, juga dilaksanakan Festival Film Indonesia (FFI) yang dilaksanakan di JCC Senayan Jakarta pusat Rabu 10 November 2021. Karena pagelaran FFI 2021 diselenggarakan bertepatan dengan Hari Pahlawan. Untuk itulah FFI mengusung tema Sejarah Film dan Media Baru.

Presiden Jokowi datang ke perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) 2021, Rabu (10/11/2021) malam. Sang Presiden turut didampingi Ketua Komite FFI, Reza Rahadian. Presiden Jokowi tampak gagah dengan setelan batik berwarna cokelat. Senyuman terpancar saat Jokowi menyapa awak media yang sudah berada di area red carpet FFI

Selain Presiden Jokowi dan Reza Rahadian, hadir pula Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Kedatangan Presiden Jokowi mendapat sambutan meriah dari hadirin berupa standing ovation dengan riuh.

Presiden Joko Widodo mengapresiasi perfilman Tanah Air yang tetap menunjukkan prestasinya di tengah pandemi. Dia bangga bahwa sejumlah film produksi anak bangsa memenangkan penghargaan di kancah internasional.

Film yang mendapatkan penghargaan internasional di antaranya film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, Yuni, Laut Memanggilku, dan Dear To Me. Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Edwin menjadi pemenang Golden Leopard Locarno Film Festival, film Yuni karya Kamila Andini meraih Platform Prize Toronto International Film Festival, Film Laut Memanggilku karya Tumpal Tampubolon memenangkan Sonje Awards Busan International Film Festival, kemudian Dear to Me, film karya Monika Tedja yang menerima Junior Jury Award, Special Mention Open Doors Shorts Locarno Film Festival.

Kita tentu sangat bangga dengan pencapaian ini. Kita lelah melihat berbagai film Indonesia yang digarap asal-asalan seperti halnya membuat sinetron. Ide cerita yang begitu kaku, gampang di tebak dan terkesan serampangan.

Saya sekarang ini sudah males melihat acara-acara di layar televisi nasional. Sudah sangat jarang melihat sinetron di layar kaca. Karena sinetron-sinetron Indonesia sudah tidak layak tonton.

Saya sangat setuju dengan pendapat Presiden Jokowi yang bangga karena jalan cerita film yang beranekaragam dan sudut pandang yang berbeda-beda. Bukan hanya mengisahkan percintaan belaka, cinta monyet apalagi cinta-cinta anak remaja yang tidak karuan.

Mungkin kita harus termotivasi dengan para sineas Korea Selatan. Perfilman Korea masin populer semenjang film fenomenalnya yaitu Parasite menjadi film yang mendapat Oscar. Keren sekali. Bahkan drama korea pun (drakor) sudah lebih dulu populer di dunia termasuk Indonesia.

Pengerjaan drama korea atau sinetron versi Indonesia dikerjakan seperti menggarap sebuah film. Sehingga kualitasnya sangat bagus tidak asal-asalan. Bahkan jalan ceritanya sangat unik dan beraneka ragam. Mulai masalah perusahaan rintisan (Startup), politik, sekretaris pintar, masa kerajaan seperti Joseon dan Goryeo atau masa peralihan Joseon ke demokrasi.

Penyajian yang total, akting yang memukau, penggarapan yang habis-habisan dan skenario yang matang melahirkan karya berupa film atau drama korea yang asyik di tonton. Unsur percintaan masih ada tetapi tidak norak untuk dionton orang dewasa. Bahkan semua unsur disatukan dalam cerita yang membuat emosi penonton diaduk-aduk.

Tertawa terbahak-bahak, menangis berurai air mata. Begitulah keberhasilan drama korea mampu menyihir penontonnya. Kita memimpikan jika suatu hari nanti, sinetron dan film Indonesia akan mampu mengejar kualitas para sineas Korea Selatan.

Kita yakin bisa.

Jokowi Bersinar di FFI : Indonesia Menuju Korsel

Sumber Utama : https://seword.com/umum/jokowi-bersinar-di-ffi-indonesia-menuju-korsel-6M35aZ78r3

Re-post by MigoBerita / Kamis/11112021/13.06Wita/Bjm

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya