Migo Berita - Banjarmasin - Apapun pasti menyalahkan Jokowi..??!!! Sejak tahun 2014 dan 2019, bagi para "Pembenci Jokowi" presiden SAH NKRI, mereka merasa tidak ada yang BENAR yang dilakukan Jokowi dan pemerintahannya, semuanya SALAH. Inilah yang membuat mereka seakan jalan ditempat, tanpa ada ide atau kritikan yang berarti untuk kemajuan Indonesia dan kesejahteraan Indonesia. Hati selalu berfikir Negatif, sehingga Nyinyir tanpa arti dan bukti yang Nyata. Apalagi bicara Kalimantan Selatan, daerah ini yang merupakan daerah kelahiran para / Tim penulis Migo Berita, dianggap unik. Kenapa?? sudah dua kali yaitu tahun 2014 dan tahun 2019 Jokowi kalah disini, dan selalu Prabowo yang memenangkan pertarungan politik disini, namun bla..bla..bla... banyak cerita unik dan menarik di Banua Banjar ini, Semoga Banua Banjar nanti bisa terus berpartisipasi untuk kemaslahatan warga Kalsel khususnya dan Indonesia pada umumnya. NKRI Harga Mati, Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda Tetap Satu Jua).
Parah, PNPK Rupanya Laporkan Ahok ke KPK Tanpa Bukti Baru
Poros Nasional Pemberantasan Korupsi (PNPK) melaporkan sejumlah tokoh politik ke KPK. Salah satu nama yang dilaporkan adalah Ahok. Ada tujuh kasus yang dilaporkan, yang salah satu di antaranya adalah RS Sumber Waras, lahan di Taman BMW, lahan Cengkareng Barat, dana CSR, reklamasi teluk Jakarta, dana non-budgeter, dan penggusuran.
Mau tahu sesuatu yang ngeselin? PNPK tidak membawa bukti baru atas dugaan keterlibatan Ahok saat menyampaikan laporannya ke KPK. Ternyata Presidium PNPK Adhie M Masardi mendatangi KPK hanya untuk memverifikasi nama-nama capres yang punya potensi untuk maju Pilpres 2024.
Hal ini terungkap saat Rosianna Silalahi bertanya sebanyak tiga kali kepada Adhie dalam program Rosi di KOMPAS TV kemarin.
“Kita kan mau verifikasi, apa salahnya sih calon-calon presiden diverifikasi oleh KPK. Ini bagian dari penegakan demokrasi, Joko Widodo saja kemarin waktu mau ngambil kabinetnya saja minta verifikasi ke KPK. Apa salahnya calon-calon presiden, calon pemimpin diverifikasi dulu oleh KPK, di mana salahnya,” katanya.
Rosi mempertanyakan bukti baru karena mantan pimpinan KPK, Agus Raharjo mengatakan sudah memanggil sejumlah ahli namun tidak ditemukan mens rea dalam kasus Sumber Waras. Mantan pimpinan KPK lainnya, Basaria Pandjaitan, juga menyatakan tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan adanya dugaan korupsi pada kasus Sumber Waras.
Ini benar-benar konyol dan kurang kerjaan. Melaporkan orang lain tanpa bukti baru, sama saja membuat masalah dan bikin gaduh. Memang tidak ada yang salah nama-nama yang dilaporkan diverifikasi. Tapi itu, kan, kerjaan KPK. Lucunya orang ini kurang kerjaan menambahi masalah. Berarti dia ini bukan melaporkan tapi sekadar mengingatkan saja.
Inilah politik kita yang masih belum matang, banyak orang yang baperan dan tidak dewasa. Hak berdemokrasi tapi disalahgunakan untuk bikin acara demo sampah tak berguna sambil teriak turunkan presiden. Hak melaporkan orang lain dikacaukan oleh laporan-laporan tak jelas yang bermuatan politis. Hak mengkritik dianggap sebagai hak untuk mencaci maki, provokasi, menghasut dan menebar kebencian.
Jadi saya anggap mereka ini hanya cari sensasi murahan. Atau mungkin ada niat politis di balik semua ini. Soalnya ada rumor taktik politik gaya baru di mana tokoh politik potensial dilaporkan ke KPK untuk keperluan penggiringan opini dan persepsi publik. Ini juga berkaitan dengan banyaknya masyarakat yang gampang membuat kesimpulan secara sembrono. Dilaporkan artinya kemungkinan besar bersalah. Kalau pun tidak bersalah, banyak yang tetap berpikir aneh-aneh bahwa yang bersangkutan pasti ada salahnya tapi lolos entah bagaimana caranya.
Saya pribadi bisa menebak siapa yang ada di balik ini semua. Tapi masih terlalu dini. Tunggu saja, nanti semuanya akan terbongkar siapa yang diuntungkan dari semua ini.
Ini mirip dengan dosen dari UNJ yang melaporkan Gibran dan Kaesang atas dugaan KKN, tapi dosen ini rupanya memuja Rizal Ramli. Dia sebut Rizal Ramli calon pemimpin 2024 yang hebat gitu lah.
Lagipula Ahok mau calonkan diri jadi capres? Dia pernah tersangkut kasus hukum yang bakal menghalanginya menjadi capres. Lagian, kalau pun Ahok mau nyapres, malah lawan politiknya senang karena lebih mudah mengalahkannya. Pasalnya, demokrasi di negara ini masih belum dewasa dan matang. Masih banyak orang bodoh yang memilih pemimpin karena dijanjikan surga. Banyak yang ketakutan dihadiahi neraka dan mayat disuruh mandi dan kubur diri sendiri. Saat ini, mau ngalahin Ahok sangat gampang. Cukup jualan agama dan demo berjilid-jilid, beres.
Saya sampai sekarang belum paham otak kelompok sebelah. Kenapa mereka begitu takut dengan Ahok. Dengar namanya saja seolah mendengar berita kiamat mau datang. Dengar isu Ahok nyapres, banyak yang langsung gemetar dan terguncang hebat. Gimana kalau beneran jadi presiden? Mungkin mereka bisa kena darah tinggi dan gagal jantung.
Ke depan mungkin harus dipertegas hukum bagi orang yang melaporkan orang lain secara sembarangan, apalagi tanpa bukti yang jelas. Biar mereka rasakan gimana rasanya dilaporkan balik. Jangan berlindung di balik demokrasi, lantas bikin kegaduhan yang berlebihan.
Bagaimana menurut Anda?
Sumber Utama : https://seword.com/politik/parah-pnpk-rupanya-laporkan-ahok-ke-kpk-tanpa-BZU6efEoku
Setelah Fenomena Trading, Kini NFT dan Kripto
Jauh sebelum muncul berita Ghozali Everyday yang berhasil menjual foto-foto selfie nya, saya sudah sempat berdiskusi dengan seorang teman soal fenomena NFT.
Saya menanyakan hal yang sama seperti yang ditanyakan banyak orang hari ini. Masa gambar begitu aja harganya milyaran?
Tapi fenomena ini terus berlanjut dan akhirnya sampai pada cerita seorang mahasiswa bernama Ghozali.
Dan bisa dibilang, Ghozali ini adalah babak baru NFT di Indonesia, karena kini semua orang membicarakannya. Sampai-sampai, ada orang terobsesi untuk menjual foto ketiak dan lubang hidungnya. Mungkin mereka pikir, yang penting aneh.
Soal laku dan tidaknya, ya kita lihat nanti. Yang penting semua jadi coba jualan NFT.
Di tengah maraknya berita Ghozali Everyday ini, saya coba tanya beberapa teman yang sangat suka berinvestasi. Sebagian menjawab mereka tidak ikut karena NFT dan Kripto ini tidak ada fundamentalnya. Sebagian lagi ternyata ikut beli, sekedar iseng-iseng seperti beli nomer togel. Kalau lagi hoki, untung Gede. Kalau ngga pun, ya hilang begitu saja anggap kayak lagi hura-hura atau belanja barang ga penting.
Karena Bagi mereka, orang-orang kaya Jakarta, uang sepuluh dua puluh juta itu bukan nominal yang besar. Dan mereka memang biasa habiskan sekedar untuk makan atau kasi uang jajan ke orang-orang yang mereka kehendaki.
Jadi misal ada token yang di kemudian hari nilainya bisa menjadi miliaran rupiah, mereka akan beli. Misal nanti malah ga jadi apa-apa, ya ga masalah. Lah wong cuma sepuluh dua puluh juta.
Tentu saja pemikiran mereka ini jauh berbeda dengan masyarakat menengah bawah, terutama yang penghasilannya masih berdasarkan UMR.
Maka cerita soal NFT ini berpotensi bermasalah kalau mereka yang bergaji UMR ikut-ikutan beli NFT. Karena jelas secara motivasi dan niatnya sudah berbeda jauh.
Pertanyaannya apakah ada juga dari kalangan menengah bawah yang ‘berinvestasi’ di NFT? Ini yang perlu kita cari tau dan selidiki.
Karena jika belajar dari pengalaman, kita pernah menghadapi maraknya trading saham. Gara-gara hebohnya drama korea berjudul Start Up. Situasi itu kemudian didukung oleh PPKM yang mengharuskan orang untuk diam di rumah.
Lalu sebagian orang bertanya-tanya, bagaimana caranya tetap di rumah tapi punya uang? Trading saham lah jawabannya.
Tapi kemudian orang awam tak terlalu paham bedanya trading saham, trading forex dan trading komuditas. Pokoknya yang ada chart itu namanya trading. Titik sampai di sana.
Selanjutnya, banyak orang bermasalah karena yang terjadi di lapangan, banyak orang justru pinjam uang, atau jual aset nya, demi bisa trading.
Padahal trading adalah level tertinggi dari orang yang belajar ekonomi dan fundamental.
Selain itu, aturan main soal margin call, trade limit dan potongan penalti di setiap jenis trading akan berbeda. Begitu juga dengan platform yang digunakan, akan berbeda lagi.
Tapi banyak orang tak sempat berpikir atau belajar. Karena mereka sudah dituntut oleh kebutuhan yang harus dicukupi. Harus dapat uang cepat dan kayaknya kalau lihat-lihat postingan orang, gampang aja dapat cuan.
Sehingga akhirnya banyak orang yang coba bunuh diri gara- gara gagal di trading. Entah itu saham, forex atau komuditas. Pun banyak yang tiba-tiba terlilit hutang dan tidak bisa bayar. Atau dampak lainnya adalah banyak sekali penipuan dengan kedok investasi. Dan kita bisa lihat nominalnya sangat-sangat fantastis, triliunan rupiah.
Jika melihat fenomena NFT dimana seorang mahasiswa bisa mendapat miliaran rupiah hanya dengan foto selfie, dengan pemberitaan yang sangat massif dan media menjadi corong utama untuk mempopulerkannya, terus terang saya agak khawatir apa yang terjadi pada saham, juga akan terjadi pada NFT.
Dan lagi-lagi, negara tak berdaya membendung arus besar ini. Sehingga dana triliunan rupiah akan begitu saja berputar tanpa arah fundamental yang jelas. Atau bahkan mengakibatkan masalah sosial baru yang berkepanjangan.
Pemerintah kita terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Tidak sempat melihat fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat dan tidak tahu sebab asal usulnya. Sehingga beberapa kementerian hanya ikut-ikutan arus, tanpa arah kebijakan yang jelas.
Meski di sisi lain saya juga maklum. Karena Jangankan pemerintah. Kita saja, kalau setiap hari bekerja, berangkat pagi pulang sore, rasanya juga tak akan sempat menganalisa fenomena NFT dan Kripto ini.
Idealnya, kita hanya bisa melindungi keluarga sendiri. Agar punya pemahaman yang baik soal apapun yang lagi dibicarakan orang. Tapi ini juga berpotensi masalah. Karena Bisa saja keluarga kita sudah dengan pendapatnya sendiri, atau bisa juga sudah membuktikan bahwa mereka berhasil dapat uang beneran dari Kripto dan NFT.
Lalu bagaimana? Ya kembali pada diri sendiri saja. Selamatkan diri, buka pemikiran dan jangan takut untuk belajar. Kenali, pahami. Bahwa teori ekonomi dari jaman dulu sampai nanti mestinya akan sama saja: supply demand.
Sumber Utama : https://seword.com/umum/setelah-fenomena-trading-kini-nft-dan-kripto-3osZ2U99NH
Kebiasaan Buruk di Palang Perlintasan KA, Menunggu Jan Ethes Jadi Presiden Baru Berubah?
Masa akhir pekan seperti Sabtu ini (15/1/21), kurang afdol rasanya kalau saya tidak meninggalkan setidaknya satu catatan hasil pengamatan dari jalan raya, seperti yang beberapa kali sudah saya lakukan sebagai pengguna jalanan umum dengan sepeda motor trayek antarkota antar provinsi di Jawa Tengah hingga tembus ke provinsi DIY.
Meski saat ini tidak setiap hari saya menggunakan sepeda motor untuk jarak jauh, sejak adanya KRL rute Solo-Jogja (PP), tapi rasanya situasi di jalan raya lintas provinsi itu dengan perilaku pengendara sepeda motor khususnya, masih belum berubah kok. Salah satunya terkait kebiasaan buruk saat mengantre di palang pintu perlintasan kereta api.
Kebiasaan yang dikeluhkan oleh seorang rekan kerja pula ketika dalam perjalanan pulang kantor dan harus berhenti di perlintasan kereta api, lalu difoto, diunggah dan diberi komentar dengan isi yang sepenuhnya saya setuju. Bisa tebak kan kira-kira caption yang diberikannya berisi kalimat seperti apa? Yap, tak jauh dari kebiasaan pengendara sepeda motor menunggu kereta lewat di jalur kanan!
Kira-kira gambarannya seperti gambar pelengkap yang saya pakai sebagai ilustrasi pada tulisan kali ini. Kita yang melintas di perlintasan kereta api setiap hari pasti dengan mudahnya melihat kebiasaan semacam ini, karena jamak terjadi di mana-mana, tak hanya di daerah tertentu, juga tidak hanya didominasi oleh emak-emak yang kerap diberi stigma negatif dengan perilaku ngawur-nya saat berkendara.
Tenang, kaum emak-emak. Kali ini saya berada di barisan pembela kalian. Kalau sudah bicara soal perilaku di sekitar palang perlintasan kereta api, pelakunya sangat beragam kok. Harga dari sepeda motornya juga belum tentu menentukan perilaku pengendara sepeda motornya kok, tenang saja.
Saya tidak tahu persis kapan perilaku seperti itu dimulai, juga siapa yang memulai, membiasakan, bahkan menularkannya tanpa sengaja, hanya dengan melihat kebiasaan di jalanan umum. Namun yang jelas, kalau diperas atau diperinci untuk mencari penyebabnya, rasanya kondisi ini bisa mewakili: kesadaran akan tertib berlalu-lintas yang masih kurang!
Yap, semuanya dimulai dari kesadaran akan tertib berlalu lintas. Kan di sekitar perlintasan kereta api itu, jalur untuk berkendara tidak hanya menjadi milik rombongan sepeda motor dari satu sisi perlintasan kereta api itu, bukan? Masih ada rombongan lain dari arah sebaliknya yang juga memiliki hak yang sama, dengan mengingat aturan di jalanan umum yang ada di Indonesia, yakni menggunakan lajur sebelah kiri, kecuali untuk mendahului.
Bayangkan saja apa yang terjadi seandainya rombongan pengendara sepeda motor nekat berhenti di lajur sebelah kanan, dari kedua arah, lalu begitu palang pintu perlintasan dibuka, mereka lantas berebut untuk menjadi yang paling dulu meloloskan diri dari kawasan tersebut. Masih untung jika masih ada pengendara “waras” yang sedikit mengalah dan memberi jalan. Lha kalau semua nekat “gas pol rem blong” apa yang kira-kira akan terjadi?
Cumaaaa … saya menyadari pula bahwa mengubah perilaku berkendara, yang lahir dari kesadaran akan tertib berlalu lintas tadi sama sekali tidak mudah. Butuh waktu bertahun-tahun, tetapi tanpa disertai membangun kesadaran bagi para pengguna jalan, sama saja percuma semua upaya itu. Impian untuk melihat semua pengguna jalan tertib berhenti di lajur yang seharusnya, tanpa harus membunyikan klakson ketika pintu perlintasan sudah terangkat, mungkin hanya akan menjadi impian di siang bolong … yang entah kapan bisa terwujud.
Mungkin sampai Jan Ethes jadi Presiden RI kebiasaan yang menjadi bahasan kita kali ini baru akan terwujud. Hahahaha …!
Lho ini serius, meskipun saya sampaikan dengan sedikit guyonan, karena mengubah perilaku berkendara itu tidak semudah membuat seorang Ngabalin menyeberang dan kini menjadi orang penting di sekitar Presiden Jokowi. Mengubah perilaku berkendara masyarakat juga tidak semua memasukkan Prabowo dan Sandiaga Uno menjadi menteri pada era Presiden Jokowi.
Jadi …. sambil menunggu Jan Ethes menjadi besar, tertarik di dunia politik, lalu mungkin menjadi kader PDI Perjuangan seperti kakek dan ayahnya, mari bersabar menanti perubahan perilaku berkendara di sekitar perlintasan kereta api. Setidaknya, kita bisa mulai dari perilaku kita sendiri setiap kali berada di sana.
Simpel kok caranya, cukup berhenti saja di lajur yang seharusnya, lalu sebelum pintu perlintasan dibuka, jangan pernah mencoba untuk melaju. Santai saja, pelan-pelan … karena jalurnya bergantian dengan pengendara lain. Kalau beruntung, sesekali kita bersandingan atau berpapasan dengan wanita cantik atau pria tampan, meski sementara ini hanya terlihat lewat sorotan mata dan jidatnya karena banyak yang pakai masker. Kalau tidak pakai masker, ya keberuntungan Anda bisa dibilang berlipat ganda. Hahahaha…!
Sumber Utama : https://seword.com/umum/kebiasaan-buruk-di-palang-perlintasan-ka-menunggu-xoJoX87NX9
Era Jokowi, Dilarang Iri Kalau Ada Tetangga Menerima Bantuan!
Pagi ini (15/1) mumpung akhir pekan, saya mencoba sedikit bersanta di rumah sambil meluangkan waktu untuk mengetik beberapa tulisan karena selama dua minggu ini saya terbilang "kurang menulis" untuk rekan-rekan pembaca SEWORD yang saya banggakan.
Nah, di sela-sela menulis saya mendengar cerita dari seorang saudara yang baru saja membantu proses pencairan dana bantuan yang diperoleh atas nama ibu saya, seorang lansia dalam kondisi terbaring alias sakit dan tidak bisa berjalan seperti orang normal, dengan nominal yang lumayan.
Kabarnya, masih dari orang yang sama, saya mendengar bahwa bantuan uang tunai itu sebenarnya bantuan edisi 2021, tapi baru dicairkan dan diberikan kepada penerimanya awal Januari 2022 ini. Ya sudah, namanya uang denga nominal lumayan, kami anggap sebagai "berkat Tuhan" yang kami terima dengan ucapan syukur.
Jujur saja, saya tak sekalipun mencoba mengurus dana bantuan ini dan itu, sejak sebelum pandemi maupun ketika pandemi berlangsung. Rupanya pihak kelurahan setempat yang proaktif dengan mencari tahu, lalu mendata siapa saja warganya *yang memenuhi syarat untuk menerima bantuan, lalu mengurus segala sesuatu, dan memberikan kepada para warganya tidak hanya sesuai dengan hak mereka, tetapi agar tepat sasaran.
Tepat sasaran di sini berarti warga yang memang tidak memenuhi syarat, ya tidak bisa memperoleh bantuan yang dimaksud. Sekalipun tetangga yang ibaratnya satu tembok dengan satu keluarga misalnya dapat bantuan, belum tentu tetangganya di tembok sebelahnya itu dapat ... karena tidak memenuhi syarat!
Serunya, rupanya bantuan yang diterima oleh ibu saya, juga oleh beberapa orang lain dalam lingkup satu RT (tidak sampai 10 orang), memantik rasa iri sekaligus tidak puas dari beberapa orang, Ada yang memandang dengan sinis, berkomentar ini dan itu, atau yang lebih parah tentu saja ... menjadikannya semacam gosip ala infotainment, tak peduli mereka belum jelas memperoleh informasi yang valid atau tidak!
Untuk kisah ibu saya, sempat terdengar obrolan yang kurang sedap diarahkan kepada saudara yang mencoba membantu mengurus, meski prosedur yang ditempuh juga sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan surat kuasa yang diberikan oleh pihak kelurahan, dengan cap atau stempel resmi, tanpa bisa diwakili siapa pun, kecuali yang namanya sesuai dengan yang tertera di surat kuasa itu.
Menariknya, setelah beberapa waktu didiamkan saja, saudara saya akhirnya buka suara dengan berkata bahwa bantuan itu bukanlah untuk dirinya, melainkan untuk ibu saya, seorang lansia berusia 72 tahun yang sedang menderita sakit dan tidak bisa ke mana-mana secara mandiri itu.
"Ooooh, ternyata buat Simbah toooh," komentar itu pun meluncur.
Singkat, padat, tapi kalau diteruskan kira-kira isinya bisa saya tebak. Bantuan itu pasti mereka kira diterima oleh saudara saya, yang masih terhitung muda (usia belum 40 tahun), ibu dari dua anak, dengan kondisi ekonomi yang terbilang biasa saja.
Dugaan saya, kebiasaan iri hati ketika ada tetangga menerima bantuan semacam ini tidak muncul secara kebetulan. Bukankah sudah menjadi rahasia umum pada masa lalu (termasuk saat era Presiden SBY) bahwa setiap kali bantuan diberikan, semacam ada aturan tak tertulis bahwa kalau satu orang dapat, maka semua juga dapat?
Namun, era Presiden Jokowi berbeda, terlebih saat Mensos-nya sudah dipercayakan kepada sosok yang tepat seperti Bu Risma. Sosok yang saya percaya memegang sumpah jabatan dengan amanah, tidak "dimakan sendiri" seperti eks Mensos yang sebelumnya.
Ya, saya amati pada era Jokowi ini setiap kali bantuan diberikan, diupayakan agar penerima bantuan itu tepat sasaran. Masih ingat kan dengan bantuan untuk karyawan bergaji maksimal Rp. 3.500.000 pada akhir tahun lalu? Kan juga ada syarat yang kudu dipenuhi, berdasarkan verifikasi dari pihak BPJS Ketenagakerjaan dan Kementerian Tenaga Kerja.
Bagi yang tidak memenuhi syarat itu, meskipun berada satu kantor dengan kursi bersebelahan sekalipun, ya tetap tidak dapat. Kecuali ada aturan nyeleneh dari manajemen perusahaan bahwa bantuan akan dikelola lalu dibagikan dengan asas adil dan merata.
Hal yang sama berlaku di tingkat kelurahan hingga tingkat desa. Bantuan memang diberikan, tapi warga yang tidak memenuhi syarat, ya memang seharusnya tidak dapat. Kalau sampai ada warga yang tidak memenuhi syarat, pasti ada kekeliruan atau malah permainan dari oknum tertentu, dengan perilaku yang jelas tidak sejalan dengan pemikiran Presiden Jokowi.
Ah, jadi semakin bangga saya dengan Presiden Jokowi ini. Beliau mengerti betul betapa rakyat memang memerlukan bantuan ini dan itu dalam kondisi susah seperti era pandemi begini, tetapi ada syarat yang ditetapkan dan harus dipenuhi supaya bantuan jangan sampai salah sasaran. Mampukah The Next Indonesia President meneruskan hal yang sangat baik ini? Semoga saja ya ...!
Sumber Utama : https://seword.com/politik/era-jokowi-dilarang-iri-kalau-ada-tetangga-AjdCE07ZEx
Miris! 3 Kepala Daerah Alumni Monaslimin 212 dan 411 Tersandung Kasus Korupsi
Dalam sebuah artikel di Seword, penulis pernah mengatakan yang ikut aksi 212 dan 411 kala itu ada 3 kelompok.
Pertama, kelompok yang benar-benar meyakini bahwa Ahok telah menista agama lantaran terprovokasi oleh pernyataan Buni Yani "dibohongi surat Al Maidah".
Kedua, kelompok yang yakin banget kalau Ahok itu tidak menista agama. Tapi mereka coba memanfaatkan postingan Buni Yani untuk menjatuhkan mantan Bupati Belitung Timur tersebut.
Kita perhatikan saja peserta yang hadir di demo 212 dan 411 waktu itu, banyak banget politisi. Padahal sebelumnya mereka gak religius-religius amat. Kok ujug-ujug ikut aksi bela Islam?
Dan setelah ditelusuri, ternyata mereka adalah kader partai yang mengusung lawan Ahok di Pilgub DKI 2017 yakni AHY serta Anies.
Dengan kata lain mereka-mereka ini menjual agama demi Cagub yang didukungnya menang.
Hal ini yang turut menguatkan pernyataan Buni Yani pada 2014 silam bahwa 'jual agama itu paling gampang, maklum rakyat masih bego-bego. Gampang ditipu'.
Ketiga, kelompok yang punya visi lebih besar lagi, yakni mereka yang berusaha menjatuhkan Presiden Jokowi lewat kasus Ahok.
Kita perhatikan saja pernyataan-pernyataan peserta aksi. Tidak jarang mereka menyeret nama Jokowi.
Padahal orang nomor satu di Indonesia itu gak ada hubungannya sama sekali dengan kasus Ahok.
Ibarat Rizieq tersandung chat seks. Masa Menteri Agama yang disalahkan? Kan jaga sembung bawa golok alias gak nyambung Lu tong.
Kelompok ketiga ini ada juga yang terlibat secara tidak langsung seperti menjadi donatur.
Dan mereka juga terbagi menjadi dua regu yakni orang-orang yang merasa dirugikan oleh kebjakan Jokowi serta orang-orang yang ingin berkuasa lewat jalur inkonstitusional.
"Kalau di Pemilu kita gak mampu menyaingi mantan walikota solo itu, jatuhkan dia di tengah jalan dan rebut kekuasaan darinya", kura-kura begitu yang ada di benak kelompok ini.
Dan sekarang justru yang lagi meroket adalah kelompok kedua yakni orang-orang yang coba memanfaatkan agama lewat unggahan Buni tersebut.
Terbukti mereka sebenarnya tidak benar-benar bela agama, tapi bela kepentingan kelompoknya.
Lantas, apa buktinya?
Masa bela agama tapi korupsi?
Kan gak lucu. Hehehe
Tidak tanggung-tanggung, tiga orang sekaligus kepala daerah Alumni 212 dan 411 tersebut yang ternyata koruptor kelas kakap.
Siapa sajakah mereka?
Berikut penulis coba paparkan.
1. Zumi Zola
Politisi muda ini bisa dibilang cukup beruntung. Pasalnya hidupnya lancar-lancar saja.
Pertama, ia terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Bapaknya, Zulkifli Nurdin merupakan pengusaha dan juga mantan Gubernur Jambi.
Kedua, masa remajanya banyak dihabiskan dengan menjadi aktor dengan membintangi beberapa film di Indonesia.
Banyak lho orang yang pengen jadi artis tapi tidak kesampaian. Sementara Zumi mendapatkan itu.
Ketiga, pasca pensiun dari artis ia terjun ke dunia politik. Dan dua kali ikut Pilkada (Pilbup TanjabTim dan Pilgub Jambi) selalu menang.
Masih muda sudah jadi bupati dan gubernur. Siapa coba yang tidak mau?
Tapi karir politiknya itu hancur seketika pasca ia tersandung kasus korupsi pada 2018 silam.
Saat ini Zumi tengah meringkuk di ruang tahanan menghabiskan sisa waktu vonis yang diberikan hakim yakni 6 tahun penjara.
Kala itu ia ikut aksi 212 di Kota Jambi. Saat orasi dengan pedenya Zumi mengatakan,
"Tentu kita sebagai umat muslim, sebagai umat Islam, ketika agama kita diserang, ketika agama kita dicoba untuk dinodai oleh pihak-pihak tertentu, wajib hukumnya kita untuk membela,"
Padahal membela Islam itu sebenarnya cukup gampang. Dengan tidak korupsi saja kita sudah bisa disebut membela agama Allah.
2. Zainudin Hasan
Sama seperti besannya Amien Rais, Zulkifli Hasan ternyata cukup piawai membangun dinasti. Kalau Amien yang diajaknya bergabung ke PAN adalah anak-anaknya, sementara Zulkifli Hasan saudara-saudaranya.
Terhitung ada 4 saudaranya yang ditunjuk menjadi pengurus PAN. Uniknya, 3 diantaranya pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Dan salah seorangnya adalah Zainudin Hasan.
Si Zainudin ini sebelumnya menjabat sebagai Bupati Lampung Selatan hingga 2021. Tapi karena korupsi, ia hanya menjadi Bupati sampai 2018 saja.
Pada 2016 silam ia bela-belain datang ke Jakarta dan meninggalkan tugasnya sebagai Bupati demi untuk ikut aksi 212 di Monas.
Dua tahun kemudian kedoknya terbongkar. Gayanya saja pakai baju putih-putih, ternyata koruptor juga.
3. Abdul Gafur Mas'ud
Persis seperti Zumi Zola, ia juga politisi muda. Abdul Gafur dipercaya oleh masyarakat untuk menjadi Bupati Kabupaten Penajam Paser Utara periode 2018-2023. Tapi masa jabatan itu sepertinya tidak akan dia selesaikan.
Karena saat ini ia tengah meringkuk di ruang tahanan KPK. Gafur terlibat dalam praktek suap terkait kegiatan pekerjaan pengadaan barang dan jasa di Penajem Paser Utara.
Karena korupsi itu juga ia diskakmat oleh Abu Janda dengan mengatakan "Bupati Penajam Abdul Gafur Mas'ud yang dulu teriak TAKBIR di aksi 'bela Islam' 411 212, ditangkap KPK".
Hahaha
Itu baru sebagian lho alumni Monaslimin yang tersandung kasun hukum. Masih banyak lagi yang lain.
Ada yang tersandung kasus chat asausila, ngegebukin anak dibawah umur hingga kasus narkoba seperti Rio Reifan.
Lantas, kader partai apakah si Abdul Gafur tersebut?
Kader partai apa lagi kalau bukan yang 'katakan tidak pada (HAL) korupsi'.
Sumber Utama : https://seword.com/umum/miris-3-kepala-daerah-alumni-monaslimin-212-dan-6yhEQBoD0D
Masih Soal Duet Capres-Cawapres 2024 yang Humoris menurut Waketum Gerindra
Mendengar pengakuan Waketum Gerindra, Habiburrokhman, merespons munculnya deklarasi dukungan terhadap Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin), terus terang masih membuat saya tak habis pikir. Masih mending ya, kalau pernyataan itu misalnya terkait (potensi) kemampuan keduanya seandainya benar-benar disandingkan sebagai duet Capres dan Cawapres yang akan mencoba peruntungan pada Pilpres 2023 mendatang.
Atau setidaknya, bilang sajalah bahwa kalau kedua tokoh tersebut diduetkan, maka Indonesia dapat meneruskan apa yang sudah dilakukan Joko Widodo sejak 2014 sampai 2024 nanti. Itu kan jauh lebih baik daripada mengomentari bahwa Prabowo-Cak Imin disebut dapat mencairkan suasana karena keduanya dianggap sosok yang humoris.
Hanya, mengamati beberapa tahun terakhir apa yang terjadi dengan perpolitikan di negeri ini membuat saya kembali “menjejak bumi” alias menyadari bahwa harapan terhadap calon penerus Pak Jokowi nantinya memang tidak bisa dilambungkan terlalu tinggi. Minimal jika kita melihat nama-nama yang santer diberitakan berdasarkan hasil survei berbagai lembaga, baik yang kredibel maupun yang terbilang abal-abal hingga yang disebut melakukan survei berdasarkan subyektivitas pada nama tertentu.
Ø Tak bisa dipungkiri juga kalau bursa Capres pada 2024 nanti akan diramaikan oleh nama-nama yang diprediksi hanya ingin berkuasa untuk menggolkan tujuan atau rencana besar dari kelompok tertentu, atau bisa dikatakan bahwa nama-nama tersebut ibarat “Capres Boneka” karena membawa misi tertentu, yang bisa jadi bertolak belakang dengan visi dan misi yang telah susah payah dicanangkan dan mulai diwujudkan oleh Presiden Jokowi saat ini.
Ada yang diperkirakan akan memperjuangkan tegaknya sistem khilafah dengan memberlakukan segala sesuatu berdasarkan satu keyakinan saja. Ada pula yang diyakini akan membawa misi untuk kembali membangkitkan masa-masa seperti era presiden-presiden sebelumnya. Tak usah menyebut nama, pastilah SEWORD-ers bisa menerka siapa saja sosok yang dimaksud, bukan?
Jika ada yang bisa sehati, sepemikiran, setujuan, dan siap melanjutkan seluruh rangkaian program dan pembangunan, bahkan mewujudkan apa yang sudah dimulai oleh Pak Jokowi tapi belum tuntas karena terbatasnya periode waktu sebagai Presiden RI, rasanya tak lebih dari dua orang yang memiliki kriteria semacam itu. Meski saat ini yang santer disebut paling mendekati kriteria itu adalah Ganjar Pranowo, tapi rasanya kita butuh setidaknya satu orang lagi sebagai pembanding, supaya nantinya sosok yang dianggap paling baik yang akan dimajukan sebagai kandidat Capres oleh PDI Perjuangan.
Mengharapkan bahwa semua nama yang akan meramaikan bursa Capres pada 2024 nanti hanya akan diisi oleh para calon yang berjiwa nasionalis dan bersedia maju demi kepentingan bangsa dan negara, rasanya menjadi perkara yang mustahil, jika melihat situasi politik di negeri ini pada 10 tahun terakhir. Strategi memasukkan muatan agama dalam upaya memenangkan pertarungan pada Pilpres 2024 nanti rasanya masih akan dipakai, minimal oleh salah satu kandidat Capres dan Cawapres.
Ø Bagi mereka kesempatan untuk sekali lagi mencoba memegang kendali kekuasaan akan datang pada Pilpres 2024 nanti. Mumpung sudah tidak ada lagi Jokowi, lalu kursi RI-1 dan RI-2 akan terbuka untuk diperebutkan oleh siapa pun kandidatnya, akan menjadi pertaruhan terakhir karena kalau sampai gagal, maka harus menunggu setidaknya 10 tahun lagi, karena di negeri ini biasanya presiden yang terpilih minimal akan berkuasa sepuluh tahun, jika kita berkaca pada era dua presiden terakhir sejak masa SBY.
Jadi, mari lupakanlah komentar asal njeplak mengenai duet calon pemimpin RI yang humoris ala Waketum Gerindra tadi. Kita anggap saja orang itu sedang bercanda, karena kalau sampai syarat humoris yang dikedepankan, masa’ nanti kertas suara kita akan disuguhi nama-nama pelawak yang mendadak hijrah ke dunia politik sebagai Capres maupun Cawapresnya? Mau jadi apa negeri ini pada masa mendatang, ya kaaaan?
Bagi Partai Gerindra, selamat berpetualang selama waktu masih ada. Kalau nanti sekiranya sudah putus asa, atau bahkan menilai kans menjadi Capres 2024 semakin menipis, jangan dipaksakanlah. Mungkin Pak Prabowo bisa mencoba untuk sowan ke Ibu Megawati, siapa tahu beliau bersedia menerima dan setidaknya mempertimbangkan nama Pak Prabowo sebagai Cawapres … karena kalau Capresnya pasti PDI Perjuangan akan mengusung kader sendirilah.
Kalau itu yang terjadi, semoga bukan Puan yang maju sebagai Capres ya, kecuali PDI Perjuangan rela melepaskan kans untuk memenangi Pilpres 2024 guna meneruskan tradisi selalu menang pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. Mbak Puan, maaf, belum pantas dicalonkan sebagai Capres, baik pada kontestasi 2024 maupun 2029 nanti. Mendingan legowo saja, lalu serahkan tiket pada Ganjar Pranowo atau sosok lain dari kader internal partai jika ada yang lebih baik daripada Gubernur Jawa Tengah itu.
Sumber Utama : https://seword.com/politik/masih-soal-duet-capres-cawapres-2024-yang-humoris-m0eCU61KLY
Sudahlah, Biarkan Warga Jakarta Tersenyum Bahagia pada Oktober 2022 Nanti
Sekitar sembilan bulan lagi masa jabatan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Ahmad Riza Patria sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta akan berakhir. Kondisi yang seharusnya sudah diketahui oleh Anies-Riza, sehinggga akan sangat lucu jika lantas ada pernyataan yang diduga keluar dari Wagub Riza yang menghendaki agar Presiden Joko Widodo melakukan intervensi dengan tetap membiarkan mereka memimpin di DKI Jakarta sampai terpilihnya DKI-1 dan DKI-2 pada Pilkada Serentak pada November 2024 mendatang.
Apa hebatnya DKI Jakarta, yang statusnya sama dengan banyak daerah lain yang juga kudu merasakan “kehilangan” sementara pada 2022 dan 2023, yang menurut informasi yang saya peroleh dari laman CNN Indonesia akan ada 272 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023.
Kebutuhan 271 daerah lain akan kepala daerah sebenarnya juga sama pentingnya dengan kebutuhan masyarakat DKI Jakarta akan pemimpin sampai terpilihnya pemimpin yang baru. Kan, Indonesia tidak cuma Jakarta? Jadi apa spesialnya daerah itu, ya kaaan?
Lagipula, apa sih hebatnya duet Anies-Riza selama memimpin Jakarta, sehingga Riza kok sepertinya kepedean mengusulkan agar masa jabatan mereka diperpanjang sekitar dua tahun lagi? Kok bisa seyakin itu warga Jakarta masih berharap dua orang itu tetap memimpin Ibu Kota Indonesia setelah masa jabatan mereka seharusnya berakhir?
Seandainya saya warga Jakarta, dengan cara kampanye yang luar biasa buruknya sebelum duet Anies-Sandiaga bisa menduduki singgasana empuk sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, sejak hari pertama mereka dilantik kalau bisa kalender di-skip langsung saja menuju Oktober 2022, karena saat itu selesailah masa jabatan DKI-1 dan DKI-2 hasil Pilkada 2017 silam. Eh, lha kok ini ujug-ujug berharap masa jabatan itu diperpanjang? Mau bikin sebagian warga Jakarta marah besar ya!
Bayangkan saja betapa tidak enaknya menjadi warga Jakarta, karena hampir selam empat tahunan terakhir ini, selalu saja ada bahasan mengenai hal-hal negatif, yang jauh lebih dominan dibandingkan dengan hal-hal positif mengenai Jakarta. Belum lagi kalau dilihat dari tingkat kebahagiaan yang sebelum ini diukur indeksnya, lalu didapati warga Jakarta menempati urutan kedelapan dari seluruh provinsi di Indonesia sebagai warga yang dinyatakan paling tidak bahagia.
Indeks kebahagiaan yang kabarnya terus menurun sejak 2017 sampai hari ini, yang bisa jadi salah satunya disebabkan karena perasaan ngenes tapi ibarat pepatah nasi sudah menjadi bubur, eh mau dijadikan bubur ayam, sudah terlanjur basi. Menyesal juga percuma karena penyesalan tak bisa mengembalikan keadaan seperti sebelum Pilkada 2017 digelar. Masa’ mau minta pertolongan Doktor Strange buat memutar kembali waktu supaya pada masa kini orang tak lagi mengingat nama “Anies Baswedan”, bahkan kalau perlu nama Rizieq Shihab sekalian tidak usah diingat!
Jangan pula berani menyebut bahwa Presiden Jokowi sengaja membuat aturan supaya Anies terganjal karir politiknya. Apa hebatnya sih orang itu, sampai hanya karena dia, maka Presiden RI harus intervensi begitu rupa dengan mencoba mengubah peraturan yang sudah diresmikan bersama DPR lalu dibuat undang-undangnya?
Harap diingat juga bahwa peraturan itu dibuat jauh sebelum Pilkada 2017 menghasilkan pemimpin dengan sosok seperti sekarang. Jadi, semisal kala itu pemenangnya Ahok-Djarot, ya mereka tetap hanya akan memimpin sampai Oktober 2022, lalu kekosongan posisi yang ada sampai Pilkada Serentak 2024 akan diisi oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kemendagri.
Ingat, Presiden Jokowi itu sosok yang taat dan patuh pada hukum dan aturan yang berlaku. Posisi sebagai Presiden RI tidak menjadikan beliau semena-mena mengubah ini dan itu, hanya karena ingin memuluskan ambisi politiknya. Sungguh mustahil rasanya mengharapkan agar Presiden Jokowi tiba-tiba “bertingkah aneh” dengan mengubah aturan yang sudah disahkan oleh undang-undang.
Jadi, lebih baik tidak ada lagi omong kosong dari siapa pun untuk meminta atau berharap agar masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta diperpanjang. Biarlah warga Jakarta sejenak merasa bahagia karena masa jabatan Anies-Riza berakhir pada Oktober 2022 nanti, seraya berharap pejabat yang ditunjuk oleh Kemendagri bisa mengembang tugas dengan baik..
Khusus buat Anies-Riza ... beresin saja tuh Formula E, tanpa kudu ngerecokin pemerintah pusat. Lumayan kalau sukses bisa bikin “kado perpisahan” buat warga DKI Jakarta. Kalau gagal … ya santai saja. Bukankah selama ini jurus rai gedeg alias tak tahu malu sudah cukup ampuh diterapkan menghadapi segala polemik di Jakarta?
Sumber Utama : https://seword.com/politik/sudahlah-biarkan-warga-jakarta-tersenyum-bahagia-pS6FSMbAsJ
Keturunan Jokowi Memang Kaya Gini
Karakter merupakan pembawaan seseorang yang sudah secara alami ada dalam diri manusia. Sifat penyabar, pemarah, teliti dan sebagainya merupakan sifat atau karakter seseorang. Bisa saja seorang yang pemarah berubah menjadi penyabar, tapi sulit untuk bertahan lama.
Bersyukurlah jika kita dikarunia para pemimpin dengan karakter alamiah yang baik-baik. Misalnya seorang Bupati yang teliti, Gubernur yang telaten dan Presiden yang mudah akrab dengan rakyat. Jika karakter ini alamiah, maka bagaimana pun keadaannya tidak akan berubah.
Sebaliknya jika karakternya berubah karena ada suatu peristiwa, misalnya karena akan Pemilu, kampanye dan sebagainya, maka sesungguhnya karakter tersebut tidaklah alamiah.
Misalnya seorang calon bupati, mendadak sering mengunjungi rakyat, berkomunikasi, memberikan sembako dan sebagainya. Padahal sebelumnya jangankan ngobrol, memberikan sembako, bertemu juga tidak pernah.
Di masa kampanye sering terdengar cerita politikus yang bertindak lucu tapi juga menyebalkan. Supaya dipilih rakyat, dia banyak menyumbang seperti memberi karpet ke masjid, memberikan semen kepada masyarakat yang membangun dan sebagainya.
Ternyata kemudian setelah Pemilu berlangsung dirinya tidak menang alias kalah. Lucunya sekaligus menyebalkan, karpet dan semen yang telah diberikan, eh diminta kembali. Dasar otak tak ikhlas ya seperti itu.
Joko Widodo yang sekarang ini menjadi Presiden Republik Indonesia memiliki karakter sangat unik dan antik. Beliau memiliki karir politik yang boleh dibilang ajaib. Asalnya hanya seorang tukang kayu, mebelair, Walikota Solo dua periode, Gubernur DKI Jakarta 2 tahun, eh sekarang jadi Presiden RI 2 periode.
Di banyak kesempatan, khususnya ketika belum ada pandemi Corona, Presiden Jokowi sangat sering terlibat langsung, berbicara langsung dengan masyarakat. Pembicaraan Presiden dan rakyatnya begitu cair, penuh canda tawa.
Tak heran masyarakat pun begitu ingin bertemu dengan Jokowi karena keramahannya terhadap orang kecil. Sehingga tak heran jika Presiden Jokowi berkunjung ke daerah manapun, masyarakat begitu antusias menyambut. Bahkan ketika Jokowi sekedar berbelanja di mall masyarakat begitu antusias ingin foto bersama dan melihat Presiden secara langsung.
Karakter antik Jokowi ini rupanya menurun terhadap anak-anaknya, khususnya Kaesang dan Gibran Rakabuming. Kaesang walaupun masih muda dan jadi pengusaha sukses, gayanya ya begitu seperti biasa saja. Hobi bercanda, ngobrol ceplas ceplos sehingga mudah akrab dengan siapapun.
Putra Sulung Presiden Jokowi Gibran Rakabuming yang sekarang jadi Walikota Solo, karakternya ya begitu. Hobi terjun langsung ke masyarakat, ngobrolnya santai dan penuh etika. Sehingga banyak orang yang tersihir dan menyukainya.
Tak heran walaupun baru seumur jagung jadi Walikota Solo, konon PDIP berencana mengajak Gibran untuk mau jadi Calon Gubernur DKI Jakarta. Wow keren.
Sekarang ini Kaesang dan Gibran dilaporkan ke KPK dengan tuduhan Korupsi, cuci muka, eh dugaan cuci uang dan sebagainya. Pelapornya adalah Ubedilah Badrun yang merupakan seorang dosen dari UNJ.
Jokowi Mania yang merupakan relawan pendukung Jokowi berencana melaporkan balik Ubedilah Badrun. Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka merespons langkah Jokowi Mania yang berencana melaporkan balik dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang juga aktivis '98, Ubedilah Badrun ke polisi.
"Rasah, tekne wae (tidak usah, biarkan saja)," kata Gibran di Solo, Jawa Tengah, Jumat (14/1/2022). Alasan dirinya meminta Jokowi Mania tidak melaporkan balik Ubedillah Badrun ke polisi karena tuduhan dosen UNJ kepada dirinya dan adik kandungnya Kaesang Pangarep tidak terbukti. Karena itu, suami Selvi Ananda itu meminta kepada Jokowi Mania untuk fokus bekerja dan tidak menanggapi laporan dosen UNJ terhadap dirinya.
"Lha laporan ora enek buktine (lha laporan tidak ada buktinya). Tidak usah fokus nyambut gawe (tidak usah fokus bekerja)," ungkap Gibran. Disinggung mengenai laporan dosen UNJ tersebut telah mencemarkan nama baiknya, Gibran mengaku tidak merasa namanya dicemarkan dengan laporan itu.
"Saya tidak merasa tercemar kok. Nak aku nyolong ya tercemar. Aku ra nyolong," kata dia. Sejauh ini, Gibran juga belum melakukan langkah hukum terkait laporan dosen UNJ terhadap dirinya. "Koyo ra duwe gawean," ungkapnya.
Keturunan Jokowi memang kaya gini. Hati mereka tidak dendaman, cuek, santai dan tidak mau punya musuh. Walaupun ada orang yang menghina, menghujat, tetap santuy. Tidak menanggapi malah seperti jamu. Membuat badan mereka makin sehat.
Mantap memang…. jan…
Sumber Utama : https://seword.com/politik/keturunan-jokowi-memang-kaya-gini-VxQV238Dxx
Aneh, Sekda DKI Tak Mau Beberkan Tunjangan Operasional Gubernur dan Wagub
Anggaran tunjangan anggota DPRD DKI Jakarta naik menjadi Rp 177,37 miliar. Angka itu mengalami kenaikan 26,42 miliar dari tahun sebelumnya. Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi menyebut anggaran tersebut layak dinaikan.
Seperti yang kita ketahui, berita soal kenaikan gaji, bonus, tunjangan atau sejenisnya dari anggota DPR atau DPRD kebanyakan akan ditanggapi sinis oleh masyarakat. Gaji banyak tapi kurang banyak, tunjangan gede tapi masih kurang gede. Begitulah anggapan masyarakat saat ini.
Prasetio awalnya keberatan jika hanya Dewan yang disalahkan atas kenaikan tunjangan anggota. Saya tak tahu masalah sebenarnya gimana, mungkin ini terkait protes kenaikan tunjangan. Prasetio kemudian mengatakan Gubernur dan Wakil Gubernur juga mendapat tunjangan operasional setiap bulan.
Prasetio kemudian meminta Sekda DKI Jakarta Marullah Matali membeberkan jumlah tunjangan operasional Gubernur dan Wakil Gubernur, dalam rapat Badan Anggaran membahas soal hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri terhadap Raperda APBD Tahun 2022.
"Di dalam forum ini, tolong, Pak Sekda, melalui BPKD, jelaskan berapa sih operasional Gubernur biar masyarakat juga tahu. Gubernur dan Wagub, dan perangkatnya semua. Selalu yang disalahkan DPRD lagi, DPRD lagi. Jadi dalam forum ini, saya mau dengarkan. Itu saja, Pak," katanya.
Kalau soal gaji dan tunjangan anggota dewan, sudahlah, tak usah dibahas. Tak ada gunanya juga. Misalnya mau protes pun percuma juga, kan? Tak akan serta merta dibatalkan.
Tapi ada satu hal yang menarik. Ketidaktransparan Pemprov DKI soal tunjangan operasional gubernur dan wakil gubernur.
Marullah ternyata tidak membawa data yang diminta Prasetyo soal tunjangan Gubernur. Rapat sempat diskors 30 menit. Setelah itu, Prasetyo menagih lagi data tersebut.
"Pak Sekda tolong jawab, apa sudah ada jawabannya? Kalau belum saya skors lagi Pak, tunjangan Gubernur dan Wakil Gubernur," kata Prasetyo.
Terjadilah tanya jawab dan penjelasan yang bertele-tele, muter-muter seperti orang yang tersesat dan tak tahu arah, tak punya kompas atau Google Maps.
Marullah menyebut operasional kepala daerah tahun 2020 pernah dimuat di salah satu harian berita, tapi dia tidak menyebut nomilanya. Dia hanya menegaskan hitung-hitungan tunjangan dan gaji kepala daerah tercantum dalam PP 109 Tahun 2020, maksimal 0,15 persen dari pendapatan asli daerah. Kata dia, Pemprov DKI belum pernah mengambil angka maksimal.
Ketua Fraksi PAN DPRD DKI Bambang Kusumanto juga meminta anggaran tunjangan Gubernur dan Wagub dibuka.
"Sebenarnya angkanya memang persentase sesuai dengan PP," jawab Sekda Marullah.
"Kenapa sih Pak? Ini sudah saatnya transparansi jadi masyarakat bisa lihat dan menilai ini uang rakyat semua lho. Saya tanyakan sebagai wakil rakyat. Tolong dijelaskan. Contohkan aja PAD-nya berapa, biar clear saja dulu Pak. Normatif silakan, tapi jangan kayak kita diakal-akalin saja, kayak anak kecil aja," sahut Prasetyo.
Marullah tetap tidak menyebutkan angka pasti. Dia kembali mengungkit soal hitung-hitungan 0,15 persen dari PAD.
Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono kemudian meminta menyebutkan dana tunjangan Gubernur dan Wagub tahun 2020, tapi Marullah tetap tutup mulut.
Artinya ini apa? Tidak transparan.
Di sini kita bisa menilai bahwa Pemprov DKI era Anies sangat tidak transparan. Gubernur dulu berani terbuka, bahkan menantang pihak lain transparan. Sekarang, gubernurnya suka tertutup dan tidak mau jujur. Transparansi hanyalah wacana omong kosong. Tak perlu pikir panjang kenapa Sekda DKI tutup mulut meski dicecar berkali-kali soal besaran tunjangan gubernur dan wakil gubernur DKI. Tidak mungkin dia tidak tahu. Alasan paling logis adalah karena ada yang disembunyikan. Kalau tidak ada apa-apa, kenapa takut dipublikasikan?
Di era Anies, warga seolah tidak boleh tahu urusan dapur Pemprov DKI. Warga tak boleh tahu uang mereka dipakai buat apa.
Gak gubernurnya, gak bawahannya, gak ada yang berani transparan. Rahasia banget. Bayangkan kalau sampai Anies jadi presiden, bisa gawat. Jadi gubernur aja udah main sembunyi-sembunyi. Bisa hancur negara ini kalau jadi presiden. Semua serba senyap dan diam-diam. Kalau diam-diam tapi jadi, masih mending. Ini diam-diam malah hancur dan kelebihan bayar.
Yang penting masuk surga, hehehe. Betul gak nih JKT58?
Bagaimana menurut Anda?
Sumber Utama : https://seword.com/politik/aneh-sekda-dki-tak-mau-beberkan-tunjangan-0vrfSVP1Dk
Yang Perlu Diperpanjang Itu Masa Jabatan Presiden Jokowi, Bukan Gubernur DKI
Ada kabar bahwa gubernur DKI Jakarta dan wakilnya meminta agar masa jabatan diperpanjang? Itu berkaitan dengan masa jabatan mereka yang akan berakhir pada Oktober 2022, sesuai UU yang diputuskan oleh pemerintah dan DPR pada tahun 2016 lalu.
Peraturan ini dibikin sebelum Anies Baswedan jadi gubernur. Ini perlu ditekankan sebab ada kasak-kusuk bahwa kaum kadrun mulai memainkan isu ini untuk membuat situasi tidak kondusif. Sebenarnya kadrun tahu soal peraturan itu, namun seperti biasa mereka akan selalu berupaya memainkan isu apa pun, memutarbalikkan fakta apa saja demi kepentingan mereka.
Misalnya saja, jika ditanyakan kepada Refly Harun -- yang katanya adalah seorang profesor doktor ilmu hukum tatanegara -- tentang masa jabatan gubernur DKI yang akan berakhir pada tahun ini, dan posisinya akan diganti oleh pejababat yang ditunjuk Mendagri. Kemungkinan besar jawaban Refly Harun akan ngambang, atau muter-muter ke segala penjuru.
Jika ada pihak-pihak atau kepala daerah itu sendiri yang tidak nyaman dengan aturan ini, tentu dapat dimaklumi. Sebab memang tidak ada yang namanya keputusan politik atau peraturan pemerintah yang akan membuat semua orang -- 260 juta rakyat Indonesia -- merasa puas serentak.
Tapi yang namanya peraturan yang dibuat pemerintah untuk tujuan efesiensi dalam banyak hal. Bagi kepala daerah yang masih punya jatah satu periode lagi, silakan bersabar menanti tahun 2024 untuk mencalonkan diri lagi. Kalau memang jodoh, tak kan lari ke mana.
Soal adanya upaya oknum-oknum kepala daerah yang masih ngeyel ingin masa jabatannya diperpanjang, itu hanya memancing timbulnya sikap pro-kontra di masyarakat. Tabiat oknum kepala daerah semacam ini sungguh sangat disesalkan, sebab niatnya hanya bikin sensasi tanpa mau mengukur diri dan kemampuan.
Dan khusus DKI Jakarta, berakhirnya kepemimpinan gubernur dan wakilnya, adalah sesuatu hal yang dinantikan banyak orang. Sebab selama empat atau lima tahun terakhir ini, kita hanya dipertontonkan berbagai kebijakan dan pekerjaan yang tidak jelas arahnya.
Mau tak mau kita harus mengungkit lagi soal penggunaan anggaran yang acak-adut, amburadul, seperti rencana membeli Aibon sebesar Rp 75 miliar, bolpen Rp 125 miliar, rumah DP Rp 0, dan banyak lagi. Belum lagi pekerjaan yang bongkar-pasang, namun akhirnya tidak menjadi solusi juga. Belum lagi Formula E yang habiskan ratusan miliar rupiah.
Dan yang terbaru adalah sumur resapan yang kabarnya menyedot dana yang tidak sedikit? Yang juga dipertanyakan adalah efektivitasnya dalam menanggulangi banjir? Yang banyak kita dengar soal sumur-sumur resapan itu hanya cibiran dan cemoohan. Sampai di mana kelanjutan sumur-sumur resapan itu nanti?
Kabarnya direncanakan ratusan ribu sumur sejenis akan dibikin. Padahal dari ratusan yang sudah saja sudah menimbulkan masalah. Apakah masih dilanjutkan juga? Sebab jika ada ratusan ribu yang akan dibuat, ini akan menjadi beban bagi gubernur-gubernur yang akan datang.
Sebab sumur-sumur itu harus dipelihara secara berkala. Bila tidak, lubang-lubang itu akan kembali dangkal, dan akhirnya tidak berfungsi. Gubernur mana kira-kira yang mau memelihara sumur-sumur resapan yang jumlahnya ratusan ribu itu nantinya?
Maka jika masa jabatan Gubernur DKI dan wakilnya diperpanjang hingga 2024, siapa yang percaya bahwa semua akan berubah menjadi baik-baik saja? Justru semakin dipercepat penggantiannya, maka akan semakin baik bagi kota dan warganya.
Sebab pemerintah tentu sudah banyak belajar menyangkut kasus-kasus DKI Jakarta selama lima tahun terakhir ini. Pemerintah pasti tahu siapa kira-kira yang cocok untuk diangkat jadi pejabat sementara di Ibu Kota ini.
Lain halnya ketika ada banyak pihak yang mengusulkan agar masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang. Apakah dengan cara menunda pilpres hingga 2027, atau amandemen UU supaya masa jabatan presiden bisa 3 periode.
Masa jabatan Jokowi memang urgen diperpanjang mengingat pencapaian gemilang selama tujuh tahun terakhir ini. Di dalam negeri sudah terbukti bagaimana pemerintah melakukan banyak terobosan besar yang akan membuat bangsa dan negara ini akan maju.
Ketegasan pemerintah menangkal laju radikalisme dengan membubarkan ormas-ormas pendukungnya, serta menangkapi oknum-oknum penjual agama yang berpotensi membuat kerusakan di negeri ini, telah memberikan harapan tentang Indonesia yang jaya, maju, beradab, dan dihormati dunia di masa depan.
Dan yang juga perlu dijamin keberlangsungannya adalah kebijakan soal kesinambungan pembangunan. Misalnya, Jokowi ingin agar kita sendiri yang mengelola kekayaan sumber daya sendiiri di dalam negeri dan menyetop ekspor.
Jokowi bergeming dengan putusannya, tidak mundur dengan ancaman luar. Itu dilakukan Jokowi demi masa depan bangsa dan negaranya. Dia ingin negeri ini sejajar dengan bangsa yang sudah maju.
Dengan semua fakta ini, adalah masuk akal dan memang sangat urgen jika masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang. Paling tidak agar dasar-dasar yang sudah dia letakkan itu kuat sehingga suksesornya hanya perlu melanjutkan saja.
Tidak bisa dibayangkan apabila nanti sosok yang datang itu justru anti-klimaks, dan malah merusak semua. Indonesia bisa kembali ke masa-masa lalu.
Nasib DKI Jakarta yang terjun bebas setelah pergantian gubernur tahun 2017 lalu, telah menjadi contoh buruk. Jangan sampai terjadi lagi. Maka memang ada baiknya jabatan Jokowi diperpanjang.
Sumber Utama : https://seword.com/politik/yang-perlu-diperpanjang-itu-masa-jabatan-presiden-Xk8uAhlwBt
Laporkan Kaesang dan Gibran, Alasan Yang Tak Nyambung, Mau Seret Presiden Juga?
Aktivitas lapor melapor yang mengarah ke beberapa tokoh politik tampaknya bisa menjadi indikasi kalau tahun politik sudah dimulai meski masih ada waktu 2 tahun lebih.
Beberapa waktu lalu, beberapa pejabat seperti Erick Thohir, Luhut, Ganjar, Ahok, Airlangga Hartarto dan Anies dilaporkan ke KPK oleh Poros Nasional Pemberantasan Korupsi (PNPK).
Dan sekarang dua anak
Jokowi, Kaesang dan Gibran juga dilaporkan ke KPK oleh seorang dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang juga aktivis 98, Ubedilah Badrun,
Gibran dan Kaesang dilaporkan terkait dugaan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan berkaitan dengan dugaan KKN.
Ubedilah meminta KPK untuk memanggil Presiden Jokowi guna menjelaskan keterkaitan dua anaknya dalam dugaan tersebut. “Kami minta kepada KPK untuk menyelidiki dan meminta kepada KPK agar menjadi terang benderang dan bagaimana kemudian bila perlu Presiden dipanggil untuk menjelaskan posisi ini,” kata Ubedilah.
Apakah pembaca mencium bau politik dalam pelaporan ini?
Apa urusannya presiden pun minta dipanggil?
Laporan ke KPK ini karena masalah relasi bisnis anak Presiden dengan grup bisnis yang diduga terlibat pembakaran hutan, PT SM yang sudah menjadi tersangka pembakaran hutan dan sudah dituntut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dengan nilai Rp 7,9 triliun Tapi MA hanya mengabulkan tuntutan sebesar Rp 78 miliar.
"Itu terjadi pada Februari 2019 setelah anak Presiden membuat perusahaan gabungan dengan anak petinggi perusahaan PT SM," kata Ubedilah. Menurut dia, dugaan KKN tersebut sangat jelas melibatkan Gibran, Kaesang, dan anak petinggi PT SM karena adanya suntikan dana penyertaan modal dari perusahaan ventura.
"Dua kali diberikan kucuran dana. Angkanya kurang lebih Rp 99,3 miliar dalam waktu yang dekat. Dan setelah itu kemudian anak Presiden membeli saham di sebuah perusahaan yang angkanya juga cukup fantastis, Rp 92 miliar,” kata Ubedilah.
“Dan itu bagi kami tanda tanya besar, apakah seorang anak muda yang baru mendirikan perusahaan dengan mudah mendapatkan penyertaan modal dengan angka yang cukup fantastis kalau dia bukan anak Presiden," kata dia.
Menurut saya, dasar pelaporan tersebut sangat aneh. Masa bawa bukti data perusahaan dan penyertaan modal ventura dijadikan bukti dugaan korupsi? Gak nyambung banget.
Lagipula kalau mudah dapat modal karena anak presiden, apakah salah? Kalau tidak ada pelanggaran, mau anak siapa pun rasanya tidak ada salahnya, kan? Kebetulan aja mereka anak presiden, terkenal dan lebih dipermudah.
Ibarat saya masuk ke bank, dilayani bersama dengan nasabah lain, lalu ada nasabah VIP yang diperlakukan lebih istimewa dari saya dan saya ngamuk dan menuding ada unsur KKN antara nasabah tersebut dan pihak bank. Masuk akal gak?
Soal modal pembelian saham, ini sudah dijelaskan oleh Ade Armando. Bukan Kaesang yang beli, tapi perusahaan di mana Kaesang sebagai CEO dan Co-founder. Modal didapat bukan dari kantong pribadi Kaesang, melainkan diperoleh melalui utang pada perusahaan private equity di Singapura bernama Walker Strategic Investment.
Paham, gak?
Jadi, kalau ada yang melaporkan Kaesang dan Gibran ke KPK, saya rasa salah alamat. Entah karena mau cari sensasi atau ada hal lain di balik itu. Pakai minta presiden dipanggil pula.
Saya rasa tidak ada salahnya kalau kita menduga ada permainan politik di balik ini. Maklum, ini sudah tahun 2022. Banyak yang mau cari perhatian. Diproses atau tidak, terbukti atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting laporkan dulu dan bikin persepsi publik sedari awal.
Lagipula orang ini dosen UNJ, kenapa tidak melihat yang paling dekat dulu, yaitu Formula E dan banyak kasus kelebihan bayar dari gubernur DKI? Kenapa tidak laporkan ke KPK? Jauh amat lihat kesalahan orang lain padahal di wilayah sendiri banyak dugaan yang bisa dilaporkan juga.
Tidak apa-apa sih laporkan siapa pun. Itu hak warga negara. Hanya saja tolong, kalau nanti misalkan tak terbukti, dan dilaporkan balik, jangan marah apalagi play victim. Jangan kayak dua orang pengecut yang tuding Luhut tapi dilaporkan balik malah mewek dan play victim kayak orang munafik.
Bagaimana menurut Anda?
Sumber Utama : https://seword.com/politik/laporkan-kaesang-dan-gibran-alasan-yang-tak-mOf8wx7Uy2
Re-post by MigoBerita / Sabtu/15012022/13.06Wita/Bjm