Migo Berita - Banjarmasin - Pendukung ERDOGAN Turki KECEWA, ternyata Turki Bekerjasama dengan Zionis Israel sudah lama !!! Emang apa kaitannya dengan Indonesia, khususnya Warga Indonesia Pecinta Erdogan Presiden Turki yang tidak tahu, kalau sebenarnya Turki itu cuma "Pura-pura" mendukung Palestina, buktinya suka atau tidak suka dengan Menerima kedatangan Presiden Zionis Israel adalah berarti menganggap Israel adalah suatu Negara, Padahal Palestina jelas-jelas tidak mengakuinya dikarenakan PENCAPLOKAN tanah Palestina oleh Penjajah Zionis Israel yang didukung Amerika Cs. Sementara di Tanah Air, khususnya di KalSel ada Pergerakan yang mengidolakan Erdogan ketimbang Presiden Indonesia sendiri hingga mempunyai atau bergabung di IG @SahabatErdogan, dimana ternyata fansnya ada kaitannya juga dengan Partai Penentang atau lebih halusnya Partai Opisisi Pemerintah yaitu PKS (Partai Keadilan Sejahtera) KalSel, agar tidak gagal paham, silahkan baca hingga tuntas berbagai artikel yang telah kita kumpulkan hingga screen shoot nya. Selamat MEMBACA...
Mau Foto-foto MESRA Turki & Zionis Israel lainnya, silahkan lihat dibawah ini :
Sambut Kunjungan Presiden Israel, Erdogan Jadi Sasaran Caci Maki Warganet Arab
Kairo, LiputanIslam.com – Sambutan Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan atas kunjungan Presiden Rezim Zionis Israel Isaac Herzog memancing kecaman, ledekan dan amarah dari warganet Arab, yang antara lain meluncurkan tagar “khalifah Muslimin”, Rabu (9/3).
Sebagian warganet menganggap perkembangan dalam hubungan Turki dengan Israel ini membongkar kedok Erdogan yang selama ini getol mengumandang slogan kepedulian kepada urusan umat Islam di seluruh penjuru dunia timur maupun barat.
Seorang pengusaha Mesir, Ashraf Al-Saad, di Twitter memosting gambar-gambar Erdogan dan Herzog disertai komentar tentang Erdogan; “Dia menyantap mangsa bersama srigala dan menangis bersama gembala. Erdogan menyambut saudaranya, Presiden Israel, di Turki, dan menjalin kesepahaman untuk penguatan kerjasama antara keduanya.”
Al-Saad menambahkan, “Berapa banyak negara yang bangsanya telah dihasut oleh Erdogan dan Ikhwan (kelompok Ikhwanul Muslimin – red.) dengan dalih bahwa bangsa-bangsa ini menjalin hubungan dengan Israel, dan betapa saya adalah orang bodoh pertama yang sempat bersama kelompok yang dipimpin Erdogan ini.”
Namun Al-Saad dibalas oleh para pengkritiknya dengan menyebarkan foto-foto pertemuan Presiden Mesir Abdul Fattah El-Sisi dengan Benjamin Netanyahu di sela-sela sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, AS, pada tahun 2018, ketika Netanyahu menjabat sebagai perdana menteri Israel.
Warganet lain, Abdullah Mohammad Al-Naimi juga memosting gambar-gambar Erdogan dan Herzog disertai catatan; “Erdogan dan entitas Zionis bergandeng tangan berpelukan satu sama lain…. Tiba saatnya realitas terungkap… Inilah khalifah Muslimin, yang pekikan Ikhwan tentangnya selalu memekakkan telinga kita.”
Sebagian warganet menyebutkan bahwa Erdogan sebagai orang yang plin-plan dan tak bisa dipegang omongannya.
Pemilik akun Twitter Abnalmasira mencuit; “Apa yang terjadi di dunia ini? Mana otak kalian? Bukankah ini adalah khalifah Muslimin kemarin dan hari ini memulihkan hubungan dengan Yahudi? Segala puji bagi Allah yang telah menguak kedok mereka (Ikhwan) di masa penyingkapan fakta. Ya Allah, kami berlepas diri kepadamu dari mereka yang bersimpuh kepada Yahudi itu”.
Jurnalis Iran Mohammad Gharawi turut mencuit dengan bahasa dan menyatakan; “Inilah khalifah Muslimin, sedang menyambut presiden negara pendudukan, ada banyak orang yang tertelan oleh lidah panjangnya. Mengapa?”
Amar Nasri mengomentari cuitan ini dengan menyatakan; “Dia telah banyak membohongi Muslimin dengan pembelaan atas Palestina.”
Para pegiat medsos Arab juga membuat tagar “normalisasi (hubungan dengan Israel – red.) adalah pengkhianatan”, yang juga sekaligus sebagai reaksi atas normalisasi hubungan beberapa rezim Arab dengan rezim Zionis penjajah Palestina tersebut.
Dr. Mahmoud Al-Qaud menegaskan bahwa bagaimanapun juga Palestina “tetap merupakan kompas bagi kita”, dan bahwa normalisasi adalah tindakan “terkutuk dan tak dapat diterima, baik dilakukan oleh para penguasa Arab maupun Erdogan”, karena “prinsip tak akan berantakan meskipun ada berbagai pembenaran.”(mm/railayoum/twitter)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/internasional/timur-tengah/sambut-kunjungan-presiden-israel-erdogan-jadi-sasaran-caci-maki-warganet-arab/
Kelompok Takfiri dan White Helmets, Para Teroris Bayaran Nirperbatasan
LiputanIslam.com-Direktur White Helmets, Raed Saleh mengatakan, kelompoknya siap mengirim relawannya ke Ukraina untuk “membantu saudara dan saudari Ukraina mereka.”
Hal ini diutarakan Saleh saat diwawancarai harian AS, Washington Post. Ia menjustifikasi ‘simpatinya’ untuk Ukraina dengan mengatakan bahwa “Tentara Rusia tidak punya prinsip, tak menghormati HAM, dan tidak memiliki orientasi moral.”
Kabar pengiriman relawan White Helmets dipublikasikan setelah tersiarnya berita pemindahan kelompok bersenjata takfiri pro-Turki dari Idlib dan utara Suriah ke Ukraina. Tujuan mereka adalah bergabung dengan “legiun internasional” yang dibentuk Presiden Ukraina. Pasukan asing ini meliputi 16 ribu antek dari seluruh dunia untuk memerangi Tentara Rusia.
Apa yang diungkap media-media Barat soal pemindahan kelompok bersenjata dan White Helmets dari Suriah ke Ukraina menunjukkan, kelompok-kelompok teroris ini, yang selama 11 tahun menyengsarakan Suriah, tidak lebih dari antek-antek bayaran yang dipekerjakan biro intelijen AS, Barat, dan Israel. Tujuannya adalah untuk mewujudkan ambisi-ambisi mereka, bukan hanya di Suriah, Irak, Azerbaijan, Libya, dan Yaman saja, tapi juga di Eropa.
Guna mengenal lebih baik jati diri para antek, petempur, dan White Helmets ini, yang disebut Barat sebagai “revolusioner dan lembaga pertahanan sipil”, kami akan menyinggung apa yang dibeberkan media-media Barat tentang mereka.
White Helmets dibentuk di tahun 2013 dari anggota Jabhat al-Nusra (cabang al-Qaeda) oleh seorang perwira intelijen Inggris bernama James Le Mesurier, yang dibunuh di Turki tahun 2019 silam. White Helmets melakukan aktivitasnya di kawasan-kawasan yang dikuasai Jabhat al-Nusra dan kelompok-kelompok Takfiri lainnya.
Setelah kemenangan-kemenangan Tentara Suriah di Ghouta Timur, Daraa, Qunaitera, dan selatan Damaskus atas terorisme, Rezim Zionis lalu mengevakuasi 800 anasir White Helmets ke Tanah Pendudukan, dan setelah itu ke Yordania, Kanada, Jerman, dan Inggris.
PM Israel saat itu, Benyamin Netanyahu mengklaim bahwa tindakan ini dilakukan atas permintaan AS dan demi “alasan kemanusiaan.”
Dalam sebuah wawancara televisi, Saleh membocorkan bahwa White Helmets dibiayai oleh AS, Prancis, Inggris, Jerman, dan Qatar.
Dia mengaku bahwa dirinya “terpaksa” bekerja sama dengan Rezim Zionis, namun lupa bicara bahwa ratusan teroris yang terluka dibawa ke rumah-rumah sakit Israel dan Netanyahu pun datang menjenguk mereka.
Jelas bahwa White Helmets dan kelompok-kelompok bersenjata di Suriah telah berubah menjadi fenomena yang lebih dari Arab-arab yang bertempur di Afghanistan. Bias dikatakan, mereka lebih mirip “pasukan bayaran nirperbatasan”, sebab mereka saat ini dipekerjakan di Irak, Libya, Azerbaijan, Yaman, Ukraina, dan besok di titik-titik lain dunia. Orang-orang ini digunakan untuk bertempur menggantikan tentara negara-negara yang membiayai mereka. (af/alalam)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/fokus/kelompok-takfiri-dan-white-helmets-para-teroris-bayaran-nirperbatasan/
Pertama Pasca-Invasi, Menlu Ukraina-Rusia Bertemu di Turki
TEMPO.CO, Jakarta -Menteri luar negeri Rusia dan Ukraina akan bertemu di Turki pada Kamis 10 Maret 2022 dalam pembicaraan tingkat tinggi pertama antara kedua negara sejak Moskow menginvasi tetangganya.
Seperti dilansir Reuters, Ankara berharap kedua menlu dapat mencapai titik balik dalam konflik yang berkecamuk.
Kendati demikian, Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba mengakui tidak berharap banyak dalam pertemuan dengan menlu Rusia Sergei Lavrov, di provinsi selatan Turki, Antalya.
Kuleba mendesak Lavrov untuk mendekati pembicaraan dengan itikad baik, bukan dari perspektif propaganda. "Kami tertarik pada gencatan senjata, membebaskan wilayah kami dan poin ketiga adalah menyelesaikan semua masalah kemanusiaan,” kata Kuleba dalam sebuah pernyataan video pada Rabu.
Invasi Rusia telah menyebabkan lebih dari 2 juta orang mengungsi, dalam apa yang disebut PBB sebagai krisis kemanusiaan tercepat di Eropa sejak Perang Dunia II.
Turki, anggota NATO, telah berulang kali menawarkan untuk menengahi antara kedua pihak dan akan menjadi tuan rumah bagi dua diplomat teratas mereka setelah berminggu-minggu upaya mediasi oleh kekuatan dunia.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan baik Lavrov dan Kuleba telah meminta agar dia menghadiri pembicaraan pada hari ini.
Menyatukan Lavrov dan Kuleba menandai langkah maju dan dapat meningkatkan diplomasi di tingkat yang lebih tinggi di Moskow, kata Mustafa Aydin, profesor di Universitas Kadir Has di Istanbul.
"Rusia belum mendekati perdamaian, meskipun perlahan-lahan mengubah pendiriannya," ujar Aydin. "Posturnya yang awalnya tanpa kompromi perlahan-lahan berubah menjadi sikap negosiasi, meskipun belum cukup untuk hasil yang konkret."
Moskow telah mengatakan siap untuk melakukan pembicaraan dengan Ukraina, tetapi semua tuntutannya - termasuk bahwa Kyiv mengambil posisi netral dan membatalkan aspirasi untuk bergabung dengan aliansi NATO - harus dipenuhi untuk mengakhiri serangannya.
Delegasi dari kedua negara telah mengadakan tiga putaran pembicaraan sebelumnya, dua di Belarusia dan satu di Ukraina. Meskipun ada tanda-tanda positif pada pengaturan kemanusiaan, negosiasi tersebut berdampak kecil terhadap berakhirnya perang.
Moskow menyebut serangannya sebagai "operasi militer khusus" untuk melucuti senjata Ukraina dan mengusir para pemimpin yang disebutnya "neo-Nazi." Sedangkan Kyiv dan sekutu Baratnya menganggap itu sebagai dalih tak berdasar untuk perang tak beralasan melawan negara demokratis berpenduduk 44 juta orang.
Turki berbagi perbatasan maritim dengan Rusia dan Ukraina di Laut Hitam dan memiliki hubungan baik dengan keduanya. Ankara menyebut invasi Rusia tidak dapat diterima dan menyerukan gencatan senjata mendesak, tetapi menentang sanksi terhadap Moskow.
Sementara menjalin hubungan dekat dengan Rusia pada energi, pertahanan, dan perdagangan, dan sangat bergantung pada turis Rusia, Turki juga telah menjual drone ke Ukraina, membuat marah Moskow. Turki juga menentang kebijakan Rusia di Suriah dan Libya, serta pencaplokan Krimea pada 2014.
Sumber Utama : https://dunia.tempo.co/read/1569232/pertama-pasca-invasi-menlu-ukraina-rusia-bertemu-di-turki/full&view=ok
Jihad Islam Palestina: Terima Kunjungan Presiden Israel, Erdogan Telantarkan Quds dan Palestina
Gaza, LiputanIslam.com – Gerakan Jihad Islam Palestina (PIJ) mengecam keras sambutan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan atas kunjungan Presiden Israel Isaac Herzog ke Turki, Rabu (9/3).
PIJ dalam sebuah statemennya mengingatkan bahwa kunjungan ini dilakukan justru disaat kaum Zionis Israel sedang meningkatkan agresinya terhadap orang-orang Palestina penduduk kota Quds (Yerussalem) dan ketika Israel sedang sibuk dengan perencanaannya untuk judaisasi tempat-tempat suci dan terus terjadi serbuan-serbuan pemukim Zionis ke komplek Masjid Al-Aqsa di Quds.
PIJ menegaskan bahwa kunjungan Herzog “merepresentasikan keberpihakan (Turki) kepada musuh dalam menghadapi jihad bangsa Palestina”.
PIJ menekankan bahwa pemulihan hubungan dengan Israel atas dalih demi kemaslahatan negara merupakan tindakan “menelantarkan Quds dan Palestina”.
Meski demikian, PIJ memuji rakyat Turki “yang menolak kunjungan yang melompati darah para martir Turki yang telah tumpah demi mendobrak blokade terhadap Gaza”.
Mengacu pada adanya aksi demo protes rakyat Turki atas kunjungan Herzog, PIJ menegaskan bahwa kesediaan Erdogan menyambut kunjungan Herzog telah melangkahi pendirian rakyat Turki yang gigih mendukung hak bangsa Palestina. (mm/alalam)
Krisis Ukraina, Momentum Perlawanan terhadap Imperialisme
LiputanIslam.com –Perang, pada dasarnya, tak akan pernah bisa disebut sebagai kebaikan. Manusia adalah makhluk mulia yang diberi anugerah berupa akal dan hati nurani. Penyelesaian atas setiap konflik yang terjadi antara sesama manusia mestinya mengedepankan pendekatan akal dan hati, ketimbang kekerasan dan adu kekuatan. Jika kita masih mengedepankan pendekatan kekuatan, artinya kita masih berada di level binatang, di mana kemenangan dan kebenaran ditentukan oleh siapa yang paking kuat di antara kita. Jika demikian, kita artinya masih menggunakan apa yang selama ini dikenal dengan hukum rimba.
Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa sampai sekarang pun, kekerasan dan perang sering dijadikan sebagai prioritas dalam menyelesaikan perselisihan dan persengketaan. Terkadang, pihak-pihak yang sebenarnya konsisten berada di jalan kebenaran pun sering menghadapi peperangan yang dipaksakan oleh pihak lain. Palestina, Suriah, dan Yaman adalah contoh-contoh paling mutakhir terkait dengan bagaimana rakyat dari negara-negara tersebut dipaksa untuk berjuang menghadapi peperangan yang dipaksakan oleh sejumlah pihak lain, dalam hal ini masing-masing adalah: Zionis Israel, koalisi teroris, dan koalisi militer pimpinan Arab Saudi. Akan tetapi, simpul dari berbagai pihak yang menciptakan krisis di tiga kawasan yang terletak di Timur Tengah itu adalah Amerika Serikat.
Di saat konflik di tiga kawasan di atas hingga kini masih terus berlangsung, dunia dikejutkan dengan munculnya konflik lain di kawasan Eropa timur, yaitu operasi militer yang dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina.
Tentu ada situasi yang sangat berbeda kalau kita membandingkan antara krisis di Ukraina dengan krisis di Palestina, Suriah, dan Yaman (kita sebut saja krisis di ketiga negara itu sebagai krisis Timur Tengah). Perbedaan pertama, pada krisis Timur Tengah, terjadi blaming of the victim, alias menyalahkan atau menyudutkan korban. Perhatikan, bagaimana para pejuang HAMAS, pemerintahan Bashar Assad, dan juga milisi Houthi, dicap sebagai teroris. Adapun Zionis Israel, jihadis teroris, dan koalisi militer pimpinan Saudi disebut sebagai pejuang dan pahlawan. Situasi Ukraina berbeda. Kiev sebagai pihak yang menjadi objek operasi militer digambarkan sebagai korban kekerasan dari Rusia yang digambarkan sebagai agresor bengis.
Kemudian, perbedaan kedua adalah: pada krisis Timur Tengah, AS dan sekutunya berada di pihak yang menggelar operasi militer, sedangkan pada krisis Ukraina, kita bisa melihat menggelegaknya euforia dukungan kepada Ukraina yang digalang oleh AS dan negara-negara Barat (Uni Eropa). Negara-negara tersebut berlomba-lomba menyatakan dukungan kepada Ukraina dengan mengirimkan bantuan kemanusiaan, militer, hingga media. Di sisi lain, Rusia dikenai berbagai sanksi bertubi-tubi dan dihajar dengan pencitraan luar biasa negatif oleh jaringan media milik Barat.
Kedua perbedaan di atas memunculkan perbedaan situasi yang ketiga, yaitu bahwa jika pada krisis Timur Tengah, AS dan Barat seakan begitu superior, maka dalam krisis Ukraina, AS dan Barat menghadapi ‘lawan’ yang sangat tangguh. Bagaimanapun juga, Rusia adalah pemilik kekuatan militer kedua terbesar di dunia setelah AS. Di sisi lain, kekuatan ekonomi Rusia juga sangat besar, jauh lebih superior dibandingkan dengan Palestina, Suriah, dan Yaman. Dan yang juga menjadi faktor perimbangan lainnya adalah adanya dukungan kepada Rusia dari China sebagai raksasa ekonomi dunia.
Dalam konteks perlawanan dan resistensi terhadap imperialisme dunia pimpinan AS, krisis Ukraina ini bisa menjadi momentum baru perlawanan terhadap imperialisme AS dan sekutu-sekutunya. Krisis Ukraina pastilah sudah banyak menguras energi AS dan sekutu-sekutunya. Kerugian ekonomi sudah pasti berada di depan mata. Belum lagi ada potensi konflik langsung antara Rusia dan sekutunya melawan AS dan sekutu-sekutunya, yang dipastikan akan menguras energi kedua belah pihak.
Sekali lagi, perang di Ukraina tetaplah hal yang buruk. Akan tetapi, krisis Ukraina ini barangkali menyimpan blessing in disguiss bagi kubu resistensi sebagai momentum baru perlawanan terhadap imperialisme AS dan sekutunya. (os/editorial/li)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/dari-redaksi/editorial/krisis-ukraina-momentum-perlawanan-terhadap-imperialisme/
Menteri Yaman Kritik Negara-negara Arab yang Hapus Visa untuk Orang Ukraina
Sanaa,LiputanIslam.com-Sejumlah negara Arab mencabut kewajiban visa bagi warga Ukraina sebagai bentuk simpati kepada mereka. Tindakan ini dikritik Menteri Informasi Yaman, karena hal serupa tidak diberikan kepada warga Yaman.
“Penghapusan visa bagi orang-orang Ukraina, atau mereka yang hidup dalam situasi perang, adalah sebuah sisi lumrah kemanusiaan. Namun dalam hal ini, kebijakan standar ganda musuh, yang termanifestasikan dalam lobi Zionis dan Pemerintah AS, patut dicermati dan direnungkan,” kata Dhaifullah al-Shami.
Al-Shami, yang sekaligus adalah jubir Pemerintah Yaman, menilai bahwa penghapusan visa bagi warga Ukraina dalam situasi saat ini menguntungkan musuh (AS dan Israel). Sebab itu, wajar jika sebagian negara Arab begitu tanggap dalam melaksanakan instruksi penghapusan visa tersebut.
Ia berpendapat bahwa simpati serupa tak bakal diberikan kepada warga Rusia, karena itu berlawanan dengan kepentingan AS dan Israel.
“Namun terhadap orang-orang Yaman, semua musuh aktif dalam lobi dan Pemerintahan ini adalah musuh langsung Yaman serta rakyatnya. Musuh-musuh ini jatuh dari aspek nilai, moral, dan kemanusiaan. Meski sebenarnya warga Yaman, kecuali para antek dan pengkhianat, tidak membutuhkan simpati musuh ini, sebab dengan adanya agresi dan blokade, tidak ada pencari suaka atau gelombang pengungsi internasional di Yaman,”tandas al-Shami. (af/fars)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/internasional/menteri-yaman-kritik-negara-negara-arab-yang-hapus-visa-untuk-orang-ukraina/
Takut Prancis Sengsara, Le Pen Tolak Embargo Minyak Rusia
Paris,LiputanIslam.com– Anggota Parlemen dan kandidat Pilpres Prancis, Marine Le Pen, mengemukakan pendapatnya dalam wawancara Kanal 2 Prancis mengenai rencana mengembargo minyak Rusia. Ia berkata, tindakan ini sama saja dengan bunuh diri.
Menanggapi Eropa yang mengusulkan hal tersebut, Le Pen berkata”Upaya seperti itu adalah cara yang sangat lemah dan merupakan tindakan bunuh diri. Ekonomi Paris akan mengalami kesulitan jika itu terjadi”.
Menurutnya, jika Paris ikut menjatuhkan embargo, itu sama saja dengan mengembargo lembaga-lembaga, ekonomi, dan rakyat Prancis sendiri. Le Pen menambahkan, dibutuhkan waktu lama untuk bisa memperbaiki kondisi kritis semacam itu.
Menurut Le Pen, cara terbaik yang bisa diaplilasikan dalam mengatasi situasi ini adalah jalur diplomatik.
Sampai saat ini, Jepang, Inggris, dam negara-negara AS telah mengembargo impor dan komoditas minyak dari Rusia. Mereka memang tidak terlalu membutuhkan minyak Rusia jika dibandingkan dengan negara-negara Uni Eropa.
Banyak negara anggota Uni Eropa menyatakan, mereka tidak akan terlibat untuk mengembargo minyak Rusia seperti yang dilakukan oleh AS dan Inggris.
Di sisi lain, perusahaan minyak terbesar Eropa, Shell, minta maaf karena telah membeli minyak dari Rusia sebanyak 100 ribu ton dan mendapatkan diskon.
Permintaan maaf ini diajukan Shell setelah Menlu Ukraina mengkritik pembelian tersebut, meski sebenarnya perusahaan ini tidak melanggar aturan embargo.
Shell sedang memikirkan solusi bagaimana mendapatkan minyak selain dari Rusia. Tentunya tidak mudah, karena minyak Rusia sampai saat ini penting dalam memenuhi kebutuhan pasar dunia. (af/fars)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/internasional/takut-prancis-sengsara-le-pen-tolak-embargo-minyak-rusia/
Ketika Hubungan Diplomatik Israel dengan Rusia di Ambang Kehancuran
LiputanIslam.com –Keputusan Putin untuk mengakui kemerdekaan Republik Donetsk dan Luhansk tanggal 21 Februari 2022 telah memecah dunia menjadi dua kutub: penentang dan pendukung. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, sebagian besar negara Barat secara eksplisit mengutuk semua tindakan Putin dan mengancam Moskow dengan sanksi besar. Sebaliknya, beberapa negara yang dekat dengan Rusia menyambut baik keputusan tersebut.
Di sisi lain, ada juga sejumlah negara yang berada dalam posisi dilematis, antara mendukung Rusia atau mengecamnya. Di antaranya adalah Zonis Israel. Di satu sisi, Israel adalah sekutu terdekat AS. Akan tetapi, di sisi lain, Israel juga tidak bisa dengan mudahnya memutus hubungannya dengan Rusia dengan sejumlah alasan.
Kegalauan Israel dalam menanggapi krisis Ukraina itu bisa dilihat dari pernyataan Menlu Zionis Israel Yair Lapid terkait dengan kemungkinan Israel bergabung dengan aliansi anti-Rusia: “Israel akan mempertimbangkan proses yang harus diadopsi.” Saluran televisi berbahasa Ibrani “Kan” baru-baru ini juga mengungkapkan bahwa mereka sedang “mempertimbangkan” kemungkinan untuk mengutuk Rusia sehubungan dengan konflik dengan Ukraina. Jaringan yang sama telah mengungkapkan bahwa Amerika belum secara resmi meminta Israel untuk mengutuk Rusia, tetapi, penjajakan ke arah sana sudah mulai dilakukan. Para pemimpin partai Demokrat dan Republik juga mengatakan kepada saluran tersebut bahwa Israel diperkirakan akan mengeluarkan pernyataan tentang masalah tersebut.
Rezim Zionis sekarang menghadapi keputusan bersejarah yang dapat sangat mempengaruhi masa depan hubungannya dengan Rusia. Di satu sisi, para pejabat Israel berada di bawah tekanan untuk menunjukkan sikap keras dan tegas terhadap Rusia, sebagaimana tekanan yang dihadapi juga oleh negara-negara Barat. Itu berarti Tel Aviv harus mengutuk keputusan Putin dan bergabung dengan aliansi Barat anti-Rusia. Akan tetapi, mengambil posisi anti-Rusia dan memprovokasi Vladimir Putin nyatanya bukanlah hal yang mudah bagi Israel. Menyatakan kesetiaan kepada Barat atau menjaga kedekatan dengan Rusia adalah sebuah paradoks yang sulit disikapi dengan cepat oleh Tel Aviv.
Bagi Rusia sendiri, konfliknya dengan Ukraina sepertinya sudah menjadi sebuah keputusan yang tak akan disesali apalagi diralat –misalnya dengan cara menarik pasukannya, atau membatalkan pengakuan Moskow atas kemerdekaan Donetsk dan Luhansk, lalu meminta maaf kepada Ukraina dan Barat. Bagi Rusia, keputusan sudah diambil, dan negara-negara dunia, termasuk Zionis Israel, dipersilakan untuk mengambil sikap.
Dihubungkan dengan sikap Rusia terhadap Israel, ada perkembangan menarik ketika Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan, “Kami mengutuk ketas serangan Israel di Suriah, yang dapat meningkatkan ketegangan di kawasan Timur Tengah.” Pernyataan itu disampaikan Lavrov dalam pertemuannya baru-bari ini dengan Menlu Suriah Faisal Miqdad. Pernyataan Lavrov pastilah merupakan pesan yang jelas bagi rezim Zionis di tengah krisis Ukraina, dan ini tentu menjadi salah satu pertimbangan penting Zionis dalam menyikapi krisis Ukraina. Bagaimanapun juga, selama beberapa tahun terakhir, para pejabat rezim Zionis selalu berusaha menampilkan diri mereka sebagai orang yang bersatu dan dekat kembali ke Rusia. Dengan cara ini, Tel Aviv berusaha untuk mendapatkan keuntungan politis di tingkat regional, terutama yang terkait dengan krisis Suriah.
Sejak runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, hubungan antara rezim Zionis dan Federasi Rusia mengalami peningkatan yang signifikan. Kehadiran tenaga kerja Yahudi-Rusia di wilayah pendudukan Palestina memainkan peran paling penting dalam kedekatan kedua belah pihak. Saat ini, diperkirakan ada lebih dari satu juta pekerja dan pemukim Yahudi asal Rusia yang berada di wilayah pendudukan. Kunjungan Vladimir Putin ke kawasan pendudukan Palestina di tahun 2005 (dan mengunjungi Yahudi asal Rusia) sempat disebut-sebut sebagai puncak dari kedekatan tersebut. Sebagian media Rusia saat itu sempat melontarkan pernyataan sinis kepada Putin, dengan mengatakan bahwa Putin menganggap sebagian wilayah Israel sebagai salah satu provinsi Rusia.
Perlu juga dicatat bahwa orang-orang Yahudi asal Rusia menjalankan sekitar 21 lembaga budaya dan seni di kawasan pendudukan. Merea juga menerbitkan beberapa surat kabar dalam bahasa Rusia, dan mengelola sekitar 150 saluran televisi dan stasiun radio. Bahkan selama beberapa dekade terakhir, sejumlah menteri kabinet dalam rezim Zionis adalah keturunan imigran asal Rusia, di antaranya adalah Avigdor Lieberman, pemimpin Partai Our Home dan saat ini menjabat Menteri Keuangan Zionis Israel.
Di tingkat lain, perdagangan antara kedua belah pihak telah tumbuh secara signifikan selama tiga dekade terakhir. Volume hubungan perdagangan antara Rusia dan rezim Zionis, yang berjumlah 12 juta USD (Rp 172 Miliar) pada tahun 1991, meningkat menjadi sekitar 2,8 miliar USD (Rp 40 Trilyun) pada tahun 2008 dan menjadi hampir $ 3,6 miliar (Rp 52 Trilyun) pada tahun 2015. Ekspor Rusia ke Israel mencakup bahan mentah, termasuk produk hidrokarbon seperti berlian, kayu, dan kertas. Rusia, bersama dengan Republik Azerbaijan dan Kazakhstan, adalah pemasok utama minyak mentah Israel. Jadi, bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi kalau kedua negara memutuskan hubungan diplomatiknya.
Dalam situasi saat ini, krisis di Ukraina telah menunjukkan bahwa isu aliansi strategis antara rezim Zionis dan Rusia lebih seperti ilusi yang jauh dari kenyataan di lapangan. Rezim Zionis tidak dapat memihak Moskow tidak hanya dalam masalah Ukraina, tetapi juga dalam setiap krisis lain yang menghadapkan Rusia dengan Barat.
Krisis Ukraina saat ini menjadi sebuah ujian berat buat kedua negara, dan terutama Zionis Israel. Kecenderungan Israel untuk lebih memihak AS dan Barat –terpaksa atau sukarela—dipastikan akan menjadi acuan bagi pemerintah Rusia dan Vladimir Putin untuk mempertimbangkan kembali kebijakan kedekatannya dengan Zionis Israel.
Krisis Suriah selama satu dekade menunjukkan dengan jelas posisi diametral kedua negara. Pada krisis Suriah, perseteruan itu tidak begitu mengemuka karena konfrontasi terjadi di antara proxy. Dalam krisis Ukraina, Rusia berada di jantung krisis. Sepertiny, sekarang aman untuk mengatakan bahwa waktunya telah tiba bagi Vlaidmir Putin untuk mempertimbangkan kembali hubungan antara Moskow dan Tel Aviv. (os/li/alwaght)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/fokus/ketika-hubungan-diplomatik-israel-dengan-rusia-di-ambang-kehancuran/
Absurditas Politisasi Dunia Olahraga pada Kasus Krisis Ukraina
LiputanIslam.com –Ada banyak pembicaraan akhir-akhir ini tentang perang Rusia-Ukraina, dari radio dan televisi hingga situs web, saluran, dan jejaring sosial di seluruh dunia. Sebagaimana yang lazim terjadi, krisis Rusia-Ukraina ini juga merembet hingga dunia olahraga. Dalam beberapa hari terakhir, kita melihat banyak reaksi dan kecaman negatif dari federasi, klub, tim nasional, hingga pesohor olahraga, yang diujukan kepada Rusia. Dalam sejumlah pertandingan, misalnya pertandingan sepakbola, sejumlah tim menyampaikan protesnya atas operasi militer Rusia itu dengan mengibarkan bendera Ukraina.
Jelas sekali bahwa dalam kasus ini, terjadi politisasi dunia olahraga. Maksudnya, event-event olahraga seperti sepakbola telah dipakai untuk menyampaikan aspirasi politik, atau dukungan politik atas sebuah peristiwa, dalam hal ini adalah kasus operasi militer Rusia atas Ukraina.
Tapi pertanyaan pertama yang muncul di benak kita atas fenomena politisasi olahraga ini adalah: bukankah selama ini slogan dunia olahraga internasional adalah “memisahkan politik dari olahraga”? Bukankah selama ini berbagai sanksi telah dijatuhkan untuk para pelaku olahraga (pemain, klub, hingga fans) yang menyampaikan aspirasi politiknya melalui olahraga? Bukankah para olahragawan yang berani menyerempet isu politik langsung berhadapan dengan sanksi, baik dari pihak klub ataupun sponsor?
Ya, jelas sekali bahwa di sini, terjadi apa yang disebut dengan kebijakan standar ganda. Operasi militer Rusia atas Ukraina adalah sebuah kekerasan. Dalam setiap operasi militer, dalam setiap perang, pasti akan jatuh korban jiwa. Faktanya, Barat yang dikomandani AS, memegang kendali atas hampir semua federasi olahraga dunia, menunjukkan sikap yang sangat buruk dan jauh dari keadilan dalam menyikapi kekerasan yang terjadi pada peristiwa perang.
Dalam kasus krisis Ukraina ini, Polandia, Swedia, dan Republik Ceko menyatakan memboikot pertandingan melawan Rusia di pertandingan play-off Piala Dunia 2022. Sebagaimana diketahui, Rusia bersama Polandia, Swedia, dan Republik Republik Ceko berada di grup B play-off Piala Dunia 2022 Zona Eropa. Rusia dijadwalkan bertemu dengan Polandia tanggal 25 Maret mendatang. Pemenangnya akan menghadapi pemenang pertandingan Swedia melawan Republik Ceko.
Dengan adanya pernyataan dari ketiga negara tersebut, bahwa mereka memboikot pertandingan melawan Rusia, maka nasib Rusia menjadi tidak jelas. Secara aturan, mestinya Polandia dinyatakan WO dan Rusia dinyatakan sebagai pemenang. Lalu, ketika Rusia telah dinyatakan menang melawan Polandia, timnas negara ini akan menghadapi pemenang pertandingan Swedia melawan Republik Ceko. Jika Swedia atau Republik Ceko menyatakan diri mundur, Rusia juga seharusnya dinyatakan sebagai pemenang dan maju ke putaran final Piala Dunia di Qatar Desember nanti.
Akan tetapi, tentu saja, tuntutan ketiga negara Eropa di atas kepada FIFA adalah: Rusia yang harus dicoret dari persaingan, dan posisinya digantikan oleh negara lain. Menarik, dan masih harus dilihat, apakah FIFA akan menyetujui permintaan ketiga negara itu? Akankah FIFA pada akhirnya menyerah kepada tuntutan politik?
Sepertinya, FIFA memang akan menyerah, dan akan mencederai makna sportivitas sebagai esensi utama dari olahraga. Lembaga-lembaga olahraga internasional lainnya telah memberikan contoh buruk tentang hal ini. Misalnya saja, pemerintah Inggris telah membatalkan visa tim bola basket Belarusia, dengan dalih Belarusia telah kerja sama dengan Rusia. Dalam hal ini, Federasi Bola Basket Internasional (FIBA) sama sekali tidak menegur Inggris, bahkan cenderung memberikan dukungan.
Dan juga, sebenarnya, FIFA sudah berlaku tidak adil dalam isu konflik Rusia dan Ukraina yang sebenarnya sudah berlangsung beberapa tahun terakhir ini. Misalnya saja, pada bulan Juni tahun lalu, selama pertandingan antara Ukraina dan Makedonia di Euro 2020, fans Ukraina berulang kali mengeluarkan yel-yel penghinaan terhadap Vladimir Putin, di sela-sela dukungan mereka kepada tim sepakbola Ukraina. Federasi Sepakbola Eropa (UEFA) sempat menyatakan akan menjatuhkan sanksi kepada Ukraina. Tetapi, tak pernah ada realisasi apapun atas ancaman tersebut.
Dari Iran, anggota Parlemen Rouhullah Motafaker Azad menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh FIFA membuktikan bahwa federasi ini ikut campur dalam masalah politik, dan bahwa klaim “olahraga harus dipisahkan dari politik” hanyalah omong kosong belaka. Azad mempertanyakan, jika Rusia tidak diperbolehkan hadir di lapangan, kenapa tim-tim sepak bola negara-negara agresor Yaman selama delapan tahun terakhir tidak mendapatkan sanksi apapun.
Dari Mesir, kritikan keras juga disampaikan oleh Universitas Al-Azhar. Dalam sebuah pernyataannya, Al-Azhar menghubungkan sikap FIFA terhadap Rusia itu dengan sikap terhadap agresor Palestina, yaitu Zionis Israel. Al-Azhar menyatakan bahwa kemanusiaan mestinya tak bisa diukur dengan standar ganda. Maksudnya, kalau Rusia dikenai sanksi, Israel juga seharusnya sejak lama dikenai sanksi.
Konflik Rusia-Ukraina nyatanya telah membuka sisi lain kebobrokan sistem dunia, termasuk di bidang olahraga. (os/li/alwaght)
Sumber Utama : https://liputanislam.com/fokus/absurditas-politisasi-dunia-olahraga-pada-kasus-krisis-ukraina/
Coba Perbaiki Hubungan yang Retak, Presiden Israel Berkunjung ke Turki
Yerusalem, Beritasatu.com - Presiden Israel menuju ke Turki Rabu (9/3/2022) untuk bertemu dengan mitranya Recep Tayyip Erdogan. Ini menjadi kunjungan pertama seorang kepala negara Israel sejak 2007, di saat kedua negara berusaha untuk memperbaiki hubungan yang retak.
Kunjungan Presiden Isaac Herzog ke Ankara dan Istanbul ini sebenarnya dijadwalkan sebelum Rusia menginvasi Ukraina. Baik Israel dan Turki juga memainkan peran mediasi konflik di Ukraina dalam beberapa hari terakhir.
Namun pembahasan masalah bilateral kemungkinan akan mendominasi dipertemuan nanti, setelah lebih dari satu dekade hubungan diplomatik retak antara negara Yahudi dan mayoritas Muslim Turki, pendukung perjuangan Palestina. Isu-isu tersebut termasuk penjualan gas ke Eropa, topik yang telah memperoleh urgensi tambahan di tengah konflik Ukraina.
Hubungan kedua negara membeku setelah kematian 10 warga sipil menyusul serangan Israel di kapal Mavi Marmara Turki, bagian dari armada yang dianggap mencoba melanggar embargo dengan membawa bantuan ke Jalur Gaza pada 2010.
Perjanjian rekonsiliasi 2016 yang melihat kembalinya para duta besar kedua negara kembali runtuh pada 2018, setelah bentrokan perbatasan dengan Gaza, yang menyebabkan puluhan orang Palestina terbunuh.
Turki menarik diplomatnya dan memerintahkan utusan Israel keluar dari negara itu.
Namun, dalam beberapa bulan terakhir, kedua negara tersebut telah mencari upaya pemulihan hubungan.
Posisi presiden di Israel secara tradisional merupakan jabatan seremonial tetapi Herzog, seorang veteran dari partai Buruh sayap kiri, telah mengambil peran diplomatik tingkat tinggi.
Erdogan dan Herzog telah berbicara beberapa kali sejak pelantikan Herzog pada bulan Juli.
Para pemimpin Israel juga waspada terhadap jangkauan Turki.Tapi langkah Erdogan untuk mengamankan pembebasan pasangan Israel yang ditangkap di Istanbul pada November atas tuduhan spionase membuktikan "titik balik," kata Gallia Lindenstrauss dari Institut Studi Keamanan Nasional Universitas Tel Aviv.
Masalah tersebut "menghasilkan dialog antara pihak Israel dan Turki, dan pada dasarnya membuka peluang untuk meningkatkan hubungan", kata Lindenstrauss, seorang peneliti senior dan pakar Turki.
Sumber Utama : https://www.beritasatu.com/dunia/900283/coba-perbaiki-hubungan-yang-retak-presiden-israel-berkunjung-ke-turki/?view=all
Kicauan Lawas Presiden Ukraina yang Dukung Israel Viral, Veteran Tentara Pakistan Beri Komentar Pedas
SuaraJogja.id - Invasi Rusia ke Kiev nyatanya membuat nama Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky turut melambung.
Seperti diketahui genderang perang yang ditabuh Rusia tak membuat gentar Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Mantan pelawak itu bahkan menjawab tantangan Rusia dengan mengerahkan tentara dan rakyatnya untuk mengangkat senjata melakukan perlawanan.
Tak hanya itu, demi meraih simpati dunia, ia secara intensif mengabarkan situasi di Ukraina lewat akun Twitternya.
Salah satunya tampak saat Volodymyr Zelensky melakukan komunikasi dengan beberapa pemimpin dunia antara lain Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, PM Inggris Boris Johnson hingga Paus Fransiskus. SuaraJogja.id - Invasi Rusia ke Kiev nyatanya membuat nama Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky turut melambung.
Yang mengejutkan adalah respons netizen Indonesia terhadap cuitan Zelensky. Alih-alih merespon cuitan teranyar Zelensky, netizen Indonesia malah membuat viral cuitan lama si presiden.
Cuitan lama Zelensky dalam akun @ZelenskyyUa tersebut diunggah oleh akun @KangIanBandung pada Minggu, 27 Februari 2022. Dalam cuitannya ternyata terungkap jika Presiden Ukraina ini merupakan pro Israel.
"Langit #Israel dipenuhi dengan rudal. Beberapa kota terbakar. Ada korban. Banyak yang terluka. Banyak tragedi kemanusiaan. Mustahil untuk melihat semua ini tanpa kesedihan. Perlu segera dihentikan eskalasi demi kehidupan masyarakat," cuit Zelensky dalam bahasa Inggris, pada 12 Mei 2021 lalu seperti dikutip dari Hops.id. Akun Twitter @KangIanBandung juga menyertakan balasan komentar dari akun Twitter @BaigHissam milik Hissam Ullah Baig yang merupakan seorang purnawirawan Brigadir dari Angkatan Darat Pakistan.
"Sekali pelawak tetap pelawak. Anda akan belajar dengan cara yang sulit ketika jet Rusia mulai menghancurkan Kiev, Kharkiv, dan Odessa," cuit Hissam dalam bahasa Inggris pada 14 Mei 2021 lalu. Akun @KangIanBandung kemudian turut menuliskan cuitan yang menegaskan jika Presiden Ukraina merupakan pendukung Israel.
"Ketika Presiden Ukraina menyokong Israel semasa perang Gaza Mei tahun lalu," cuitnya.
Sontak banyak netizen Indonesia yang terkejut dengan cuitan Presiden Ukraina di masa lalu. Seperti diketahui Indonesia merupakan negara yang menentang keras agresi Israel terhadap Palestina.
Netizen pun berbondong-bondong memberikan komentarnya, ada yang mendukung invasi Rusia terhadap Ukraina. Ada pula yang mengatakan jika Rusia juga memiliki kepentingannya sendiri.
"Wuih.. Pernah dukung israel? Lanjutkan, Putin..." cuit put*****.
Hubungan Israel-Turki: Berteman, Bermusuhan, Lalu Berteman Lagi
Upaya perubahan nama dimulai pada Desember, setelah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan merilis sebuah memorandum dan meminta publik menggunakan TΓΌrkiye untuk menggambarkan negara itu dalam setiap bahasa.(AFP PHOTO/ADEM ALTAN) Penulis Irawan Sapto Adhi | Editor Irawan Sapto Adhi
YERUSALEM, KOMPAS.com - Setelah lebih dari satu dekade bersitegang, Israel mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki hubungan dengan Turki. Turki menjadi salah satu dari beberapa negara mayoritas Muslim di dunia yang baru-baru ini diincar oleh Turki untuk perbaikan hubungan bilateral. Israel adalah sekutu regional lama Turki, sebelum serangan komando 2010 terhadap armada bantuan menuju Gaza menewaskan 10 aktivis Turki.
Berikut adalah kunci pasang surut hubungan Israel-Turki yang bisa disimak ketika Presiden Israel Isaac Herzog hendak mengunjungi Turki pekan ini:
Kemitraan strategis
Dikutip dari AFP, pada tahun 1996 Israel dan Turki pada kenyataannya sempat menandatangani "kemitraan strategis", di mana angkatan udara mereka dapat berlatih di wilayah udara satu sama lain. Kesepakatan yang diikuti dengan beberapa perjanjian kerja sama senjata itu diketahui mendapat krutikan keras oleh beberapa negara Arab dan Iran.
Hubungan Israel-Turki menurun
Hubungan keduanya menurun ketika Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan keluar dari Forum Ekonomi Dunia di Davos pada Januari 2009. Erdogan melakukan sebagai protes atas serangan besar-besaran Israel di Gaza terhadap gerakan Islam Palestina Hamas. Operasi 22 hari itu menelan korban jiwa 1.440 warga Palestina dan 13 warga Israel.
Armada bantuan Turki diserang
Sebuah krisis besar meletus pada Mei 2010, ketika pasukan komando Israel melancarkan serangan sebelum fajar di kapal Mavi Marmara. Kapal itu adalah bagian dari armada yang mencoba mengangkut bantuan ke Jalur Gaza yang bertentangan dengan blokade angkatan laut. Turki kemudian menarik duta besarnya dan mengurangi hubungan ekonomi dan pertahanan dengan Israel. Pada Maret 2013, di bawah tekanan dari Presiden AS Barack Obama, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu meminta maaf kepada Turki dan mengumumkan kompensasi bagi keluarga mereka yang terbunuh. Erdogan menerima permintaan maaf itu. Namun, pada Juli 2014, Erdogan tetap mempertahankan retorika yang berapi-api, menuduh Israel "menjaga semangat Hitler tetap hidup" atas serangan besar-besaran di Gaza.
Turki membatalkan tuntutan
Israel dan Turki meresmikan proses normalisasi pada Juni 2016 setelah enam tahun terasing. Perjanjian tersebut memberikan Turki 20 juta dollar AS (hampir 18 juta euro) sebagai kompensasi. Sebagai imbalannya, Turki membatalkan tuntutan terhadap mantan panglima militer Israel dan kedua negara menyetujui duta besar baru untuk negara masing-masing.
Ketika Kedutaan AS dipindah dari Tel Aviv ke Yerusalem
Pada Desember 2017, Erdogan yang sekarang menjadi presiden, memimpin oposisi Muslim terhadap rencana presiden AS Donald Trump untuk memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, dan untuk mengakui kota yang disengketakan itu sebagai ibu kota Israel. Pada hari kedutaan baru dibuka di Yerusalem, pada 14 Mei 2018, Erdogan menuduh Israel " negara teroris" dan "genosida" setelah puluhan warga Palestina terbunuh oleh roket Israel. Kedua negara menarik duta besar mereka. Hubungan terus memburuk, terutama setelah undang-undang kontroversial disahkan oleh parlemen Israel pada bulan Juli 2018 yang mendefinisikan negara itu sebagai negara bangsa dari orang-orang Yahudi. Orang-orang Arab Israel -Palestina yang tinggal di tanah mereka setelah pembentukan negara Yahudi pada tahun 1948, dan keturunan mereka- membentuk sekitar 20 persen dari sekitar sembilan juta penduduk negara itu.
Diplomasi gas
Presiden Israel Isaac Herzog (kiri) dan Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab, Sheikh Abdullah bin Zayed Al Nahyan, berbicara saat mereka berjalan melalui bandara di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Minggu (30/1/2022).(Amos Ben-Gershom/Government Press Office (GPO)/Handout via REUTERS)
Pada November 2021, Erdogan mengadakan pembicaraan telepon dengan Presiden Israel Isaac Herzog dan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett. Itu adalah diskusi yang pertama kali diadakan sejak 2013 antara orang kuat Turki dan seorang pemimpin Israel. Turki membebaskan dua turis Israel yang ditahan atas tuduhan spionase. Erdogan menyatakan bahwa Turki sedang mempertimbangkan rekonsiliasi "bertahap" dengan Israel. Pada Januari 2022, Erdogan mengumumkan bahwa Turki siap bekerja sama dengan Israel dalam proyek pipa gas di Mediterania timur. Presiden Israel dilaporkan tengah menuju Turki pada Rabu (9/3/2022) ini, untuk bertemu dengan Recep Tayyip Erdogan. Ini adalah kunjungan pertama oleh seorang kepala negara Israel sejak 2007, ketika negara-negara berusaha untuk memperbaiki hubungan yang retak. Kunjungan Presiden Isaac Herzog ke Turki dan Istanbul dilakukan beberapa minggu setelah Rusia menginvasi Ukraina. Konflik Rusia-Ukraina dapat muncul dalam pembicaraan mereka, dengan Israel dan Turki memainkan peran mediasi dalam beberapa hari terakhir. Tetapi, masalah bilateral kemungkinan akan mendominasi setelah lebih dari satu dekade pecahnya diplomatik antara negara Yahudi dan mayoritas Muslim Turki, pendukung vokal perjuangan Palestina. Isu-isu tersebut termasuk penjualan gas ke Eropa, topik yang telah memperoleh urgensi tambahan di tengah konflik Ukraina.
Sumber Utama : https://www.kompas.com/global/read/2022/03/09/130100570/hubungan-israel-turki--berteman-bermusuhan-lalu-berteman-lagi?page=all
ERA.id - Pegiat media sosial, Permadi Arya atau yang akrab disapa Abu Janda membagikan video pertemuan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dengan Presiden Israel Isaac Herzog di Ankara, Turki, Rabu (9/3).
Abu Janda menyebut bahwa Erdogan yang notabene dikenal sebagai pemimpin umat Islam sedunia bersedia menerima kunjungan Presiden Israel tersebut. Bahkan Erdogan memberikan pawai berkuda sambil kibarkan bendera Israel sejajar dengan bendera Turki."Kadrun kurang piknik di Indonesia tidak tau Turki sudah lama normalisasi hubungan dengan Israel, bahkan punya kedutaan besar Turki di Tel Aviv (saya pernah kesana)," kata Abu Janda di akun Instagramnya, dilihat ERA, Kamis (10/3/2022).
Ia lantas mengatakan bahwa bangsa Turki dan bangsa Israel sebetulnya merupakan keturunan dari Nabi Ibrahim.
"Erdogan menyatakan bangsa Turki dan bangsa Israel adalah anak nabi Ibrahim ❤️ masyaallah takbir π makan tuh drun," kata dia.
Untuk diketahui, kunjungan pemimpin Israel itu adalah yang pertama kali sejak 2007 lalu. Kedatangan Herzog ke Turki bahkan sudah direncanakan beberapa pekan sebelum Rusia menginvasi Ukraina.
Dilansir dari CNN, dalam dialog tersebut terdapat kemungkinan pembicaraan tentang konflik Rusia vs Ukraina. Namun, topik lain yang juga akan menjadi bahan diskusi adalah hubungan bilateral antarkedua negara, terutama terkait Palestina karena Turki secara terbuka mengkritik perlakuan Israel terhadap Palestina.
Postingan Abu Janda itu pun mendapat respons beragam dari warganet hingga disukai sebanyak 4,797 kali.
"Itu hal2 kayak beginian, Kadrun di Indonesia itu diwakilkan dgn emoji; ππ," kata akun @monita_ch*****.
"Kadrun piknik kurang jauh, ngider aja di sktr Monas π," kata @amr*****.
"Kan buka internet dan google haram..πππ wkwkwk..π jadi engga tau inpo..," kata @oct****.
"Kadrun sok pengen jihad ke palestina, tapi takut.. π," ujar akun @deddy15*****.
"Alhamdulillah Mr Erdogan uda jadi Yahudi ππππ," kata @lim_ha*****.
Sumber Utama : https://www.wartaekonomi.co.id/read287076/erdogan-dicap-punya-sikap-mendua-soal-palestina-dan-israel-seperti-apa
Sumber Utama : https://www.msn.com/id-id/berita/dunia/isis-sebut-rusia-ukraina-adalah-perang-salib-muslim-dilarang-memihak/ar-AAURA9P?li=AAuZNMP
Sumber Utama : https://seword.com/politik/kepala-ikn-dilantik-pindah-ibu-kota-semakin-nyata-zHH5cKLkAd
Sumber Utama : https://seword.com/politik/surat-terbuka-dubes-ukraina-shame-on-you-dina-oVLPxR99hu
Sumber Utama : https://seword.com/politik/selamat-kepada-rizieq-yang-gantikan-yaqut-jadi-3f9sTMLUdh
Re-post by Migo Berita / Jumat / 11032022/11.20Wita/Bjm