Kata anak perempuanku saat
menonton pembukaan Asian Games 2018 kemarin malam. Anak perempuanku berusia 18
tahun, generasi milenial yang juga pemilih pemula di Pilpres 2019 nanti.
Jarang dia memberikan apresiasi.
Standar generasi milenial terhadap sesuatu sudah sangat tinggi, karena mereka
berinteraksi dengan dunia internet yang penuh dengan tayangan berkelas
internasional.
Pemilih milenial yang berusia
17-29 tahun, berjumlah sekitar 15-20 persen dari jumlah pemilih nasional.
Merebut perhatian mereka tidak mudah, karena banyak dari mereka yang apatis
terhadap politik.
Bahkan salah seorang teman
pemilik jaringan media radio besar di Jakarta berkata, "Jangan bicara
politik ke anak muda. Buat mereka politik itu identik dengan rusuh dan
kebencian, karena itu mereka menolak. Mereka ingin yang fun..".
Karena apatis inilah, pemilih
milenial cenderung mengikuti apa kata orangtua maupun teman. Mereka
dikategorikan "pemilih galau". Besarnya prosentase pemilih milenial,
membuat mereka menjadi rebutan dalam pilpres sebentar lagi.
Saya harus angkat secangkir kopi
terhadap usaha cerdas Jokowi menggaet pemilih milenial. Dia menggunakan ajang
Internasional sebagai sebuah cara untuk menggaet mereka.
Dan Jokowi berhasil.
Pemilih milenial banyak yang
melihat Korea Selatan sebagai patokan. Itu berkaitan dengan budaya K-Pop yang
fenomenal. Dan ketika Korsel memuji Jokowi, bahkan acara pembukaan Asian Games
menjadi trending topik disana, itu sangat mempengaruhi pemilih milenial di
Indonesia.
Mereka bangga ketika nama
Indonesia disebut, dan Jokowi menjadi pusat perhatian dengan aksi dramatisnya
naik motor layaknya film kelas mahal. Jokowi menjadi "sangat
milenial" dengan gayanya itu. Ia menjadi antitesa dari gaya Presiden di banyak
negara yang cenderung tampil kaku dan "tidak muda".
Keberhasilan team acara dalam
pagelaran Asian Games yang memadukan budaya dan teknologi, membuat pemilih
milenial di Indonesia mulai melirik Jokowi sebagai wakilnya karena ia
menunjukkan "bahasa" yang sama dengan mereka.
Jokowi memang pintar memilih tema
dalam membangun panggung dirinya. Dan ini bukan yang pertama. Saat dia menjadi
Walikota Solo, dia berhasil merebut hati banyak pemilih dengan membuat acara
arak-arakan bergaya festival jalanan saat memindahkan pedagang dari taman
Banjarsari.
Dengan model arak-arakan bergaya
keraton itu, Jokowi sekali menepuk dapat dua lalat. Pertama, ia berhasil
memindahkan pedagang yang sudah puluhan tahun berada disana dengan kebanggaan.
Dan kedua, ia berhasil menarik perhatian nasional.
Jokowi memang bukan tokoh baliho,
yang mengangkat citra diri dengan wajah dimana-mana berharap itu mempunyai
pengaruh besar orang untuk memilih. Ia seorang "story teller"
pencerita yang baik yang membangun brandnya dengan kreatif.
Motor besar dipilih - bukan kuda
dan kereta kencana - sebagai pemikat, karena menggambarkan sosok "gagah,
muda dan kekinian". Masih ditambah atraksi lompat tinggi untuk menambah
daya dorong terhadap citra diri. Ia adalah seorang entertainer sekaligus seorang
pemimpin yang bervisi.
Selain Soekarno, belum ada
pemimpin yang multitalenta seperti Jokowi.
Ini semua memang tentang
"bagaimana bercerita". Sesuatu yang banyak dilupakan oleh banyak
tokoh yang ingin merebut simpati dengan gaya lama, tampil dengan bahasa iklan.
Jokowi memainkan model komunikasi marketing dengan handal.
Perhatikan, pernahkah kita
menemui foto wajahnya di baliho di titik- titik strategis yang berharga mahal ?
Tidak pernah, karena itu memang bukan gaya dirinya. Ia memanfaatkan momen yang
ada dan mengemasnya dengan gaya berbeda.
Dan ketika ia membangun panggung,
ia harus memastikan semua mata memandang kepadanya..
Para tokoh politik harus banyak
belajar pada Jokowi. Meski tampilannya ndeso, ia berhasil memikat kaum urban
perkotaan yang terbiasa dengan gemerlapnya lampu kota metropolitan.
Gaya marketing Jokowi di dunia
politik seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi akademisi dan praktisi dibidang
pemasaran atau komunikasi, untuk menulis bagaimana menjual diri lewat sebuah
atraksi..
Prabowo jelas kalah disini,
karena ia tampak "oldschool" dengan gaya berkuda dan keris yang tidak
sesuai dengan zamannya. Sudah bukan masanya lagi menjual "gagah dengan
seragam tentara". Ini masa teknologi sudah menjadi candu bagi generasi
muda.
Sekarang ini, menyebut nama
Jokowi sebagai "Presiden gua !" adalah kebanggaan bagi generasi
milenial ketika teman-teman onlinenya di dunia internasional memuji,
"Gilaaa. Presiden lu keren abesss.."
Seruput dulu kopinya..
Sumber Opini : https://www.dennysiregar.com/2018/08/presiden-gua.html
BENCANA NASIONAL GEMPA LOMBOK, PERLUKAH ?
"Bagaimana menetapkan status
Bencana Nasional?"
Coba lihat peristiwa tsunami di
Aceh tahun 2004. Pada peristiwa mengerikan itu, seluruh organ pemerintah daerah
lumpuh total. Hampir tidak ada yang tersisa.
Karena lumpuhnya pemda Aceh, maka
pusat menetapkan status "bencana nasional". Dengan begitu pemerintah
pusat mengambil alih penuh penanganan bencana, baik secara bantuan, pendanaan,
maupun pemulihan kembali.
Jadi penetapan status bencana
nasional, bukan hanya dilihat dari jumlah korban dan total kerusakan akibat
bencana saja. Tetapi juga melihat secara keseluruhan, apakah Pemda setempat
masih mampu atau tidak dalam penanganan bencana ? Tentu pemerintah pusat juga
akan membantu sepenuhnya..
Ini menjelaskan, kenapa bencana
di Lombok tidak dalam status bencana nasional. Karena pemerintah daerah bersama
pemerintah pusat, masih mampu untuk menangani situasi.
Bahkan menurut Sri Mulyani,
pemerintah pusat menyiapkan dana 4 triliun rupiah khusus untuk penanganan gempa
Lombok..
Jika kita masih bisa menangani,
untuk apa menetapkan bencana nasional pada suatu daerah, yang akan membuka
akses bantuan asing kesana ? Kita masih belum perlu bantuan asing, karena masih
bisa ditangani sendiri..
"Lalu, apa yang terjadi jika
Pemerintah pusat menetapkan gempa Lombok sebagai bencana nasional ?"
Yang pasti, travel warning dari
negara-negara akan keluar. Dan travel warning ini akan berpengaruh besar pada
daerah sekitar yang tidak terkena bencana.
Kegiatan ekonomi Lombok - dan juga
berdampak pada Bali - yang tergantung pada pariwisata akan terhenti. Wisatawan
tidak ada. Bencana yang tadinya terlokalisir di daerah bencana, meluas dalam
bentuk bencana lain yaitu bencana ekonomi.
Dan jika begitu, jelas kerugian
akan lebih besar bagi pemerintah Indonesia, karena bencana jadi tidak lagi
terkonsentrasi di Lombok. Pemerintah akan jadi lebih sibuk karena selain
menangani bencana alam, juga menangani dampak ekonomi di daerah sekitar..
Jadi gak mudah menetapkan status
"Bencana nasional" semudah nyocot di medsos seakan-akan simpati
padahal niatnya cuman ingin menyalahkan Jokowi karena dianggap tidak perduli..
Ibarat yang luka di jari, tapi
yang dipotong seluruh kaki. Lihat darah mengucur karena ibu jari terantuk batu
kali, langsung teriak, "amputasi !!"
Saya kembali berdoa malam ini,
"Ya Tuhan, bisakah para kampret dikasih kepintaran, sedikitttttt saja
?"
Kudengar jawaban, "Denny
boy, cuci kaki dan bobok sana. Mbok kalau minta itu yang pasti-pasti.. Minta
bagaimana Raisa bisa jatuh cinta padamu, itu jauh lebih mudah bagiku.."
Secangkir kopi tertawa
terbahak-bahak melihat keluguanku..
KURBAN
"Kita kadang masih sulit
menempatkan secara tepat antara nilai spiritual dan nilai ritual.."
Temanku membuka pembicaraan sore
ini, saat kami bertemu di sebuah warung kopi.
"Kadang sesuatu yang
sifatnya spiritual menjadi berkurang nilainya ketika kita menjadikannya ritual.
Naik haji, contohnya. Ini perintah yang mempunyai nilai spiritual yg sangat
tinggi. Sebuah penyerahan total, sebuah penghambaan, melepaskan diri dari hal-hal
yang bersifat duniawi.
Tapi banyak kita lihat perintah
ini menjadi sebuah ritual untuk menggugurkan kewajiban. Ketika sudah ber-haji,
kita merasa selesai sudah melaksanakan semua perintah Tuhan. Balik ke rumah,
hilang semua nilai spiritualnya, yang tertinggal hanya gelar..."
Aku menyimak dengan baik sambil
sesekali menyeruput kopi panasku. "Apa yang membedakan antara seseorang
yang mengerjakan perintah dengan nilai spiritual dan ritual ?" Tanyaku.
"Ahlak.." Jawab temanku
dgn lugas. "Ketika seseorang sudah mampu secara total melepaskan baju
duniawinya dan menghamba kepada Tuhan, maka secara otomatis perilakunya
berubah. Dan perilaku itu sudah seharusnya tampak jauh sebelum ia ber-haji,
bukan sesudahnya."
"Maksudnya ?" Tanyaku
heran.
"Kita melihat ada konsep
jika mampu dalam berhaji, maka kita jangan batasi mampu dalam sifat materi,
tetapi lebih jauh lagi, yaitu mampu secara spiritual.
Orang yang sudah pada taraf mampu
secara spiritual, berarti ia sudah mampu meninggalkan sifat duniawinya. Ia akan
melihat dulu dirinya sendiri, sudah mampukah saya menghamba. Dan ia akan
melihat orang di sekitarnya, sudah mampukah saya menolong mereka.
Jangan sampai ia mampu berhaji
tapi orang sekitarnya kelaparan dan butuh bantuan. Ia bahkan tidak mau menolong
mereka, karena ia mendahulukan dirinya sendiri. Ketika hasrat berhaji itu lebih
mendesak daripada kewajibannya menolong orang lain, maka ia belum mampu
meninggalkan sifat duniawinya yang egois..."
Tercekat rasanya tenggorokan
mendengar kalimat itu. Rasanya kopi menjadi begitu pahit.
"Menolong orang lain yang
membutuhkan itu adalah sebuah kewajiban bagi manusia yang beriman. Nilai
spiritualnya sangat tinggi, karena disitu-lah terletak ketakwaan kepada Tuhan
dan keadilan kepada sesama manusia..."
Semakin menarik pembahasan ini.
Temanku menarik kursinya ke belakang dan mengambil kopinya, sambil tersenyum
dan melanjutkan.
"Jadi, temanku.. Semoga ini
bisa menjawab pertanyaanmu, yang mana harus kamu dahulukan antara menolong
saudaramu yang sedang membutuhkan atau membeli hewan kurban...
Lihat dulu dirimu, apakah kamu
punya hutang kepada seseorang? Bayarlah, jangan sampai ia marah kepadamu
karena kamu bisa membeli hewan kurban tapi tidak bisa membayar hutangmu,
berarti kamu tidak adil kepadanya. Atau jika kamu menemukan orang yg sangat membutuhkan
uangmu, bantulah ia terlebih dahulu.
Kemampuanmu membantunya dengan
mengurbankan kurbanmu adalah kurban atas kurban itu sendiri...."
Saatnya saya mengangkat cangkir
kopi ini untuknya.
Sumber Opini : https://www.dennysiregar.com/2018/08/kurban.html
HAJI POLITIK
Apakah sebenarnya makna Haji itu?
Haji bermakna penghambaan total.
Melepas seluruh sifat keduniawian.
Itulah kenapa disebut "bila
mampu" di dalam berhaji. 'Mampu' bukan hanya dalam soal materi dan
kesehatan waktu melakukan perjalanan, tetapi 'mampu' melepaskan diri dari
keterikatan penghambaan nafsu.
Haji itu sangat berat, itulah
kenapa ia ditaruh pada ibadah terakhir dalam agama Islam.
Lalu, bagaimana dengan mereka
yang berhaji sambil membawa-bawa maksud politik ke tempat dimana semua orang
sedang khusuk beribadah?
Mereka jelas belum terlepas dari
nafsu dunia. Bahkan bisa dikatakan belum 'mampu' berhaji, tetapi memaksakan
diri karena merasa sudah cukup dengan materi. Yang tinggal hanyalah gelar tanpa
arti.
Dan ketika nafsu dunia saja
mereka bawa ke tempat ibadah, bayangkan apa yang terjadi ketika mereka menjabat
nanti? Tentu jabatan akan mereka anggap sebagai bagian dari dunia, bukan
ibadah, bukan amanah.
Mungkin mereka harus belajar pada
secangkir kopi, yang menghamba pada kenikmatan supaya bisa berguna pada
manusia.
Sumber Opini : https://www.dennysiregar.com/2018/08/haji-politik.html
Mayoritas & Minoritas, Konsep Yang Menjijikkan di Negeri Ini
"Bang, kenapa minoritas di
negeri ini masih ditekan?"
Aku menoleh kepada seseorang yang
bertanya. Heran. "Minoritas? Siapa yang dimaksud minoritas?"
Tanyaku. Dia kaget dengan pertanyaanku. "Ya kami inilah. Ras Tionghoa.
Yang beragama Kristen dan sebagian Budha.." Jawabnya.
Ahh, minoritas mayoritas. Entah kenapa
manusia tanpa sadar sudah mengkotakkan dirinya melalui ras dan agama. Yang
merasa kuat melakukan propaganda, "Kami mayoritas!". Dan yang merasa
lemah termakan propaganda, "Memang kami minoritas..".
Padahal hukum kita tidak
membedakan warga negara berdasarkan apa agama dan rasnya. Tetapi ada manusia
yang merasa menang karena jumlahnya banyak, dan ada manusia yang sudah kalah
sejak dalam pikiran. Mereka inilah yang terkontaminasi konsep mayor dan minor.
Onani dengan pikirannya sendiri..
Jika yang disebut mayoritas itu
adalah muslim, tentu yang harus mengaku bahwa mereka mayoritas itu adalah
Nahdlatul Ulama.
Kenapa ? Karena jumlah komunitas
mereka saja diperkirakan 80 juta dari 260 juta warga Indonesia. Tapi apakah
mereka pernah berkata, kamilah mayoritas? Tidak pernah. Bahkan Gus Yaqut,
ketua GP Ansor yang mewakili pemuda NU, selalu mengumandangkan tagar
#Kitainisama.
Lalu siapa yang sibuk
berkumandang "Kami muslim, kami mayoritas.."? Lha, ya gerombolan
kecil para pemabuk agama yang selalu sibuk mengkafir2kan itu. Anehnya, banyak
yang percaya propaganda mereka, terutama non muslim yang lemah dan selalu
menganggap bahwa, "Iya, kami ini minoritas.."
Kelompok kecil bergamis yang
jumlahnya gak ada puluhan ribu, supaya mereka terlihat besar memang selalu
berkoar, "Kami mayoritas !". Padahal oleh mayoritas muslim di
Indonesia, mereka cuman diketawain aja. "Elu sendiri minoritas dikalangan
muslim, eh sok teriak mayoritas segala.."
"Terus gimana dong nasib
Meiliana yang divonis penjara 18 bulan, hanya karena menegur kerasnya Azan. Itu
kan karena dia minoritas ??" Sanggah orang tadi..
Ah, minoritas lagi. Entah kenapa
lagu "minoritas" ini seperti lagu Rinto Harahap, yang nuansanya
selalu sedih dan liriknya bikin mata bengap. Kadang saya heran, kenapa sih kok
nyaman bersembunyi dalam konsep bahwa, "Aku minoritas, dia
mayoritas.."
Seorang teman bernama Dr. Otto
Radjasa, adalah korban permasalahan di pengadilan, sebelum kasus Ahok bergema.
Dia dihukum 2 tahun penjara di Balikpapan karena mengungkapkan kekritisan
pikirannya lewat media sosial. Dia didemo dan akhirnya jadi terdakwa.
Padahal dia seorang muslim
sejati. Rasnya pun bukan Tionghoa. Tapi dia dihukum karena "menghina
agama" dimana yang dikritisi adalah agamanya sendiri..
Apakah ini berarti masalah mayoritas
minoritas ??
Bukan. Ini masalah subjektifitas
di pengadilan yang rentan terhadap tekanan dari gerombolan yang merasa
berkuasa. Mungkin saja pengadilan itu terkontaminasi virus mabuk agama. Tapi
itulah masalah besar kita. Sekian tahun kelompok radikal ini menyebar dan
dibiarkan, bukan tidak mungkin infiltrasi mereka sudah masuk ke pengadilan.
Karena itulah kita berjuang
supaya mereka tidak makin besar di negeri ini. Dengan melakukan tekanan dan
gerakan sosial, baik melalui media maupun melalui media sosial. Kita lawan
pikiran-pikiran ini dengan pikiran juga. Kita hancurkan konsep mereka bahwa mereka
mayoritas di negeri ini.
Butuh perjuangan panjang memang.
Dan juga pasti ada korban seperti yang dialami Dr. Otto, Meiliana dan tentunya
Ahok yang dituding penista agama. Tapi mereka adalah martir yang membuka tabir
bahwa "ada masalah" didalam sistem pengadilan kita. Situasi yang
harus dibenahi oleh internal pengadilan itu sendiri..
Tapi bagaimana bisa berjuang,
jika terus merengek, "Kami minoritas.." ?
Kekalahan utama dari orang waras
di negeri ini, adalah karena banyak dari kita sudah kalah sejak dalam pikiran.
Dan kelemahan itu dimanfaatkan oleh kelompok "tukang stempel kafir"
itu untuk terus menekan. Karena dengan menekan itulah mereka tumbuh besar..
Belajarlah dari sesendok gula. Ia
tidak disebut dalam kenikmatan secangkir kopi. Tapi ia tidak pernah merengek
bahwa, "Kami minoritas. Kami minta diakui..".
Sesendok gula adalah penyeimbang
dari pahitnya situasi dan memberikan kenikmatan dalam mencecap sehingga satu
cangkirpun tidak cukup, harus tambah lagi...
"Bu, kopinya lagii..."
Teriakku kesal.
"Yang kemarin hutangnya
sudah dibayar ?" Terdengar suara menyeramkan dari balik dinding dapur yang
akhirnya muncul dengan segagang sapu tanda bahwa aku harus segera menyingkir
sebelum teriak-teriak dizolimi..
Seruputtt.
Sumber Opini : https://www.dennysiregar.com/2018/08/mayoritas-minoritas-konsep-yang.htmlWahai Yang Merasa Minoritas, Belajarlah Pada Mazhab Syiah
Jika ingin tahu bagaimana rasanya
kaum minoritas, tanya pada mereka yang bermazhab Syiah. Di Indonesia ini,
banyak yang tidak mengakui bahwa mereka muslim. Padahal mazhab Syiah, adalah
mazhab dalam Islam terbesar kedua di dunia sesudah sunni. Merekapun shalat,
puasa dan berhaji seperti muslim lainnya.
Tapi disini, mereka terus menerus
dipersekusi. Dipinggirkan. Dihantam. Bahkan dibubarkan ketika mengadakan hari
besar. Di Sampang, bahkan mereka diusir dari tanah kelahiran. Sejak tahun 2012,
mereka hidup dalam pengungsian. Jangan tanya penderitaan dan rasa kehilangan
mereka. Kalian gak akan kuat, percayalah.
Tapi apakah mereka cengeng dan
selalu mengeluh, "Kami minoritas.." dengan airmata bercucuran dan
perasaan yang tertekan?
Saya pernah ngobrol dengan salah
satu warga Syiah di Sampang. Dia tersenyum walau hatinya pasti pahit dengan
rasa kehilangan.
"Bagi kami, semua itu adalah
kenikmatan dalam perjuangan. Karena tanpa perjuangan, kami bukan apa-apa. Jika
semua sempurna, kami tidak akan ada. Apa yang kami dapatkan sekarang, tidak ada
artinya dengan apa yang didapatkan Imam Hussain, saat ia dan keluarganya diburu
dan dibantai oleh puluhan ribu pasukan yang mengaku mengikuti agama kakeknya,
Nabi Muhammad SAW.."
Saya tercengang mendengarnya.
Bagaimana bisa ada orang yang menikmati kesulitan disaat orang lain
menghindarinya? Ternyata kesulitan itu bukan melemahkan mereka, tetapi justru
menguatkan. Karena itulah namanya perjuangan. Bukan hasilnya yang dinilai
Tuhan, tetapi usahanya. Prosesnya. Dan disanalah nilainya.
Dan dalam setiap perjuangan,
tentu ada korban, ada kegagalan juga keberhasilan..
Seandainya negeri ini menerima
mereka dengan tangan terbuka, tentu mereka tidak akan pernah merasakan
kenikmatan dalam perjuangan. Dahsyat, bukan?
Obrolan pendek itu menginspirasi
saya dalam menulis. Makanya saya tidak cengeng ataupun baper karena terus
menerus dihina, dilecehkan. Bahkan ketika sudah terbiasa, saya menganggap itu
guyonan. Namanya perjuangan harus keras. Kalau lembek namanya ketidakngacengan.
Jadi, jangan sedikit-sedikit
berkata, "Kami minoritas..". Itu desahan anak manja. Nikmati semua
kesulitan sebagai bagian dari perjuangan. Dan bergeraklah bukan karena kamu
minoritas, tetapi karena tanggung jawabmu sebagai anak bangsa. Konsep minoritas
itu adalah kekalahan dalam pikiran.
Hukum di negeri ini memang sedang
sakit karena sudah lama terjadi pembiaran. Yakin bahwa pengadilan kita bersih
dan suci dari bibit intoleransi ? Untuk menyembuhkannya, tentu butuh pengobatan
bertahap. Bergeraklah, desak pihak-pihak terkait untuk mulai membenahi internal
mereka.
Tahukah kalian, bahwa pahit dalam
secangkir kopi itu justru adalah pusat kenikmatan? Tanpa rasa pahitnya, kopi
tentu tidak akan seterkenal ini sampai dijadikan filosofi segala.
Seruput kopinya, wahai para
pejuang?
KANG HASAN OFFSIDE?
Jujur saya bingung dengan
pernyataan kang Hasan ini.
Kasus begal Bekasi setahu saya
belum masuk pengadilan. Anggap saja pernyataan Mahfud MD di ILC bahwa pakde
Jokowi intervensi kesalahan polisi adalah benar. Jika masih dibawah kepolisian,
Jokowi masih bisa telpon karena kepolisian dibawah Presiden.
Tapi kalau sudah masuk ke pengadilan,
apa Jokowi bisa intervensi? Wah, kalau Presiden bisa intervensi Pengadilan,
gawat dong. Lembaganya saja sudah beda, Presiden di Eksekutif dan Pengadilan
yang mengawasi lembaga Yudikatif. Harusnya kang Hasan protes dong ke Komisi
Yudisial. Kan yang ketuk palu hakim.
Nah seandainya kemarin masih di
kepolisian, kenapa tidak ada orang spt Mahfud MD yang mengingatkan beliau? Kalau
apa-apa harus ngadu ke Jokowi, bs dibayangkan berapa juta pengaduan yang harus
ia terima?
Jadi, mbok ya jangan selalu
dilarikan ke Jokowi kalau ada apa-apa. Apalagi membawa-bawa konsep minoritas segala.
Koreksi jika saya salah.
Tapi saya tetap mau seruput kopi
sama Kang Hasan, kelak kalau ketemu bersama.
Sumber Opini : https://www.dennysiregar.com/2018/08/kang-hasan-offside.html
SISI LEMAH GOPAY
Siang tadi saya kebetulan ada di
daerah Mampang dan hendak berangkat ke suatu tempat. Seperti biasa saya pesan
pake aplikasi Gojek, dan memesan Go BlueBird. Saya jarang pake uang cash karena
terbiasa pake GoPay. Semua itu memudahkan saya selama di Jakarta, jadi tidak
perlu lagi bawa mobil kemana-mana. Pusing ada ganjil genapnya.
Tunggu punya tunggu, ternyata
taksi BlueBird yang saya pesan tidak datang, bahkan tidak ada komunikasi. Saya
mengalah, oke saya telepon. Ternyata nomer telepon pun tidak aktif.
Ketika melihat aplikasi, saya
kaget, karena di aplikasi sudah tertera bahwa taksi itu sudah "berjalan
bersama saya". Lah, taksi dimana, saya dimana, kok bisa saya sudah
diangkut oleh pengemudi? Dan saya lihat di aplikasi Gojek, taksi tidak beranjak
ditempatnya, tetap disitu saja.
Karena terburu-buru, saya cegat
taksi lain dan saya berangkat ke tujuan.
Dalam perjalanan saya cek isi
GoPay saya, ternyata sudah berkurang. Yah, sebenarnya tidak seberapa, tapi bagi
saya ini pencurian. Inilah kelemahan GoPay, tidak mampu mencegah ketika driver
sudah menyedot isi GoPay.
Saya yakin banyak orang yang
seperti saya. Hanya mungkin karena jumlah yang disedot tidak seberapa, jadi
malas komplainnya. Saya juga begitu awalnya, tapi mikir, ah siapa tahu saya
bisa berbagi pengalaman serupa.
Itu pengalaman hari ini, jadi
was-was kalau ada driver nakal yang melakukan hal yang sama. Untuk sementara
saya pakai cash dululah, biar aman. Masih untung cuman kena 23 ribu, bayangkan
kalau saya pake ke Bandara, yang bisa habis lebih dari 100 ribu rupiah.
Tadinya mau salahin Jokowi, biar
kekinian. Kan enak, lempar ke Jokowi, habis perkara.
Udah ah, tidur dulu. Pengen gaya
terbalik mirip kampret malam ini, tapi kok susah. Apalagi terbalik sambil
seruput kopi, lebih parah.
Heran, para kampret kok jagoan
yaaa.
Sumber Opini : https://www.dennysiregar.com/2018/08/sisi-lemah-gopay.html
ADA HTI DIBELAKANG KASUS MEILIANA
Permasalahan kasus Meiliana
sebenarnya bukan semata masalah speaker. Bahkan jika dia kentut pun saat
berjalan di depan masjid, vihara akan tetap dibakar dan Meiliana akan terkena
hukuman penjara.
Permasalahan utamanya ada
kelompok ormas berbaju agama sedang mencari isu dan terus menerus menekan
dengan kekuatan massa.
Dalam laporan penelitian
"Rekayasa Kebencian dalam Konflik Agama: Kasus Tanjung Balai" yang
dibuat oleh Siswo Mulyartono, Irsyad Rafsadi dan Ali Nursahid dari Pusat Studi
Agama dan Demokrasi, Yayasan Paramadina, disebutkan masyarakat setempat
sebenarnya tidak ada masalah dengan itu.
Seperti ditulis Tirto id ada
tekanan dari ormas seperti FUI, HTI dan pesantren Al Wasliyah disana. Inilah
penyebab utamanya. Loh, kok masih ada HTI? Ya, HTI baru dibubarkan Juli 2017,
sedangkan ini kasus 2016.
Meiliana kemudian dilaporkan atas
"penistaan agama" pada Desember 2016. Ingat, peristiwa pada bulan
yang sama kelompok ormas ini juga mendemo Ahok atas penistaan agama. Dan bukan
hanya laporan saja, tekanan demi tekanan massa datang ke MUI Sumatera Utara
untuk keluarkan fatwa.
Sesudah MUI kalah suara, tekanan
berikutnya datang ke kepolisian untuk segera memproses berkas dan menjadikan
Meiliana tersangka. Polisi lalu mentersangkakan Meiliana, dan melemparkannya ke
pengadilan.
Dan dalam setiap sidang di
pengadilan, massa dari kelompok ormas itu terus datang dan menekan, sehingga
hakim menjatuhkan keputusan yang sangat tidak berkeadilan . Itupun mereka belum
puas, "Kurang lama.." Katanya.
Jadi inti permasalahannya adalah
di beringasnya ormas yang menekan alat negara demi tujuan mereka. Ndilalah,
alat negara daerah kalah karena tekanan itu. Mulai polisi sampai pengadilan
tidak kuasa untuk menjaga hukum sebagai panglima, karena mengikuti tekanan arus
massa.
Kenapa ormas yang membawa massa
itu bisa menang dan alat negara bisa kalah? Karena situasi itu sudah
berlangsung selama puluhan tahun lamanya.
Bibit-bibit radikalisme melalui
ormas-ormas ini yang dipaparkan HTI sudah mendekam begitu lama dan mempengaruhi
banyak elemen masyarakat dan pemerintahan. Bisa juga aparat dan kehakiman. Wong
di beberapa universitas negeri saja Guru Besarnya sudah keracunan.
Jadi tidak mudah memang untuk
memberantas mereka. Ibarat kanker, Indonesia sudah berada di stadium 4.
Menyembuhkannya tidak bisa langsung sikat, harus bertahap. Di kemo istilah
mudahnya.
Apa yang dilakukan Jokowi dengan
membubarkan HTI itu sudah langkah sangat maju. Diketahui dulu virusnya, baru
tetapkan pengobatannya. Tapi bukan kemudian serta merta Indonesia sehat. Butuh
waktu untuk membersihkan virus yang sudah kadung menyebar.
Jadi jangan dikit-dikit salahkan
Jokowi. Lihat masalah lebih luas, kita baru bisa mengerti.
Ibaratnya, elu datang ke dokter
dengan penyakit sudah parah. Dokter baru ngobatin sekali, eh gak terima. 'Kok
gak langsung sembuh?? Dokternya payah!!' Ngeselin kan?
Bagaimana supaya Indonesia bisa
sembuh dari radikalisme?
Jangan mikir sembuh dulu, lihat
dimana virus itu bersembunyi. Lihat dimana HTI berpihak, disanalah mereka
berkembang biak.
Dan bayangkan jika mereka menang
dan berkuasa, mereka akan menggerakkan ormas-ormas berbaju agama dan
mengerahkan massa untuk menekan lebih kuat. Habis kita semua. Meliana-Meliana
baru akan bermunculan. Bisa anda, saya dan kita semua yang kena.
Jalan satu-satunya biarkan Jokowi
menuntaskan pekerjaan rumahnya. Pembubaran HTI itu sudah jadi ukuran, bahwa
dialah dokternya. Berikan kesempatan dia untuk obati penyakit ini setahap demi
setahap, dan kita dibelakang memberikan dukungan bukan malah menyalahkan dan
mencaci makinya.
Seruput kopinya?
Re-Post by MigoBerita / Jum'at/24082018/16.34Wita/Bjm