» » » » » » » » » Semua Salah Jokowi..!! Koq bisa..??? Benarkah Mayoritas atau Minoritas tidak ada dalam Kamus Islam, yang ada Kesetaraan atau Keadilan

Semua Salah Jokowi..!! Koq bisa..??? Benarkah Mayoritas atau Minoritas tidak ada dalam Kamus Islam, yang ada Kesetaraan atau Keadilan

Penulis By on Jumat, 24 Agustus 2018 | No comments

PRESIDEN GUA... !

"Cool..."
Kata anak perempuanku saat menonton pembukaan Asian Games 2018 kemarin malam. Anak perempuanku berusia 18 tahun, generasi milenial yang juga pemilih pemula di Pilpres 2019 nanti.
Jarang dia memberikan apresiasi. Standar generasi milenial terhadap sesuatu sudah sangat tinggi, karena mereka berinteraksi dengan dunia internet yang penuh dengan tayangan berkelas internasional.
Pemilih milenial yang berusia 17-29 tahun, berjumlah sekitar 15-20 persen dari jumlah pemilih nasional. Merebut perhatian mereka tidak mudah, karena banyak dari mereka yang apatis terhadap politik.
Bahkan salah seorang teman pemilik jaringan media radio besar di Jakarta berkata, "Jangan bicara politik ke anak muda. Buat mereka politik itu identik dengan rusuh dan kebencian, karena itu mereka menolak. Mereka ingin yang fun..".
Karena apatis inilah, pemilih milenial cenderung mengikuti apa kata orangtua maupun teman. Mereka dikategorikan "pemilih galau". Besarnya prosentase pemilih milenial, membuat mereka menjadi rebutan dalam pilpres sebentar lagi.
Saya harus angkat secangkir kopi terhadap usaha cerdas Jokowi menggaet pemilih milenial. Dia menggunakan ajang Internasional sebagai sebuah cara untuk menggaet mereka.
Dan Jokowi berhasil.
Pemilih milenial banyak yang melihat Korea Selatan sebagai patokan. Itu berkaitan dengan budaya K-Pop yang fenomenal. Dan ketika Korsel memuji Jokowi, bahkan acara pembukaan Asian Games menjadi trending topik disana, itu sangat mempengaruhi pemilih milenial di Indonesia.
Mereka bangga ketika nama Indonesia disebut, dan Jokowi menjadi pusat perhatian dengan aksi dramatisnya naik motor layaknya film kelas mahal. Jokowi menjadi "sangat milenial" dengan gayanya itu. Ia menjadi antitesa dari gaya Presiden di banyak negara yang cenderung tampil kaku dan "tidak muda".
Keberhasilan team acara dalam pagelaran Asian Games yang memadukan budaya dan teknologi, membuat pemilih milenial di Indonesia mulai melirik Jokowi sebagai wakilnya karena ia menunjukkan "bahasa" yang sama dengan mereka.
Jokowi memang pintar memilih tema dalam membangun panggung dirinya. Dan ini bukan yang pertama. Saat dia menjadi Walikota Solo, dia berhasil merebut hati banyak pemilih dengan membuat acara arak-arakan bergaya festival jalanan saat memindahkan pedagang dari taman Banjarsari.
Dengan model arak-arakan bergaya keraton itu, Jokowi sekali menepuk dapat dua lalat. Pertama, ia berhasil memindahkan pedagang yang sudah puluhan tahun berada disana dengan kebanggaan. Dan kedua, ia berhasil menarik perhatian nasional.
Jokowi memang bukan tokoh baliho, yang mengangkat citra diri dengan wajah dimana-mana berharap itu mempunyai pengaruh besar orang untuk memilih. Ia seorang "story teller" pencerita yang baik yang membangun brandnya dengan kreatif.
Motor besar dipilih - bukan kuda dan kereta kencana - sebagai pemikat, karena menggambarkan sosok "gagah, muda dan kekinian". Masih ditambah atraksi lompat tinggi untuk menambah daya dorong terhadap citra diri. Ia adalah seorang entertainer sekaligus seorang pemimpin yang bervisi.
Selain Soekarno, belum ada pemimpin yang multitalenta seperti Jokowi.
Ini semua memang tentang "bagaimana bercerita". Sesuatu yang banyak dilupakan oleh banyak tokoh yang ingin merebut simpati dengan gaya lama, tampil dengan bahasa iklan. Jokowi memainkan model komunikasi marketing dengan handal.
Perhatikan, pernahkah kita menemui foto wajahnya di baliho di titik- titik strategis yang berharga mahal ? Tidak pernah, karena itu memang bukan gaya dirinya. Ia memanfaatkan momen yang ada dan mengemasnya dengan gaya berbeda.
Dan ketika ia membangun panggung, ia harus memastikan semua mata memandang kepadanya..
Para tokoh politik harus banyak belajar pada Jokowi. Meski tampilannya ndeso, ia berhasil memikat kaum urban perkotaan yang terbiasa dengan gemerlapnya lampu kota metropolitan.
Gaya marketing Jokowi di dunia politik seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi akademisi dan praktisi dibidang pemasaran atau komunikasi, untuk menulis bagaimana menjual diri lewat sebuah atraksi..
Prabowo jelas kalah disini, karena ia tampak "oldschool" dengan gaya berkuda dan keris yang tidak sesuai dengan zamannya. Sudah bukan masanya lagi menjual "gagah dengan seragam tentara". Ini masa teknologi sudah menjadi candu bagi generasi muda.
Sekarang ini, menyebut nama Jokowi sebagai "Presiden gua !" adalah kebanggaan bagi generasi milenial ketika teman-teman onlinenya di dunia internasional memuji, "Gilaaa. Presiden lu keren abesss.."
Seruput dulu kopinya..
Jokowi Jokowi

BENCANA NASIONAL GEMPA LOMBOK, PERLUKAH ?

"Bagaimana menetapkan status Bencana Nasional?"
Coba lihat peristiwa tsunami di Aceh tahun 2004. Pada peristiwa mengerikan itu, seluruh organ pemerintah daerah lumpuh total. Hampir tidak ada yang tersisa.
Karena lumpuhnya pemda Aceh, maka pusat menetapkan status "bencana nasional". Dengan begitu pemerintah pusat mengambil alih penuh penanganan bencana, baik secara bantuan, pendanaan, maupun pemulihan kembali.
Jadi penetapan status bencana nasional, bukan hanya dilihat dari jumlah korban dan total kerusakan akibat bencana saja. Tetapi juga melihat secara keseluruhan, apakah Pemda setempat masih mampu atau tidak dalam penanganan bencana ? Tentu pemerintah pusat juga akan membantu sepenuhnya..
Ini menjelaskan, kenapa bencana di Lombok tidak dalam status bencana nasional. Karena pemerintah daerah bersama pemerintah pusat, masih mampu untuk menangani situasi.
Bahkan menurut Sri Mulyani, pemerintah pusat menyiapkan dana 4 triliun rupiah khusus untuk penanganan gempa Lombok..
Jika kita masih bisa menangani, untuk apa menetapkan bencana nasional pada suatu daerah, yang akan membuka akses bantuan asing kesana ? Kita masih belum perlu bantuan asing, karena masih bisa ditangani sendiri..
"Lalu, apa yang terjadi jika Pemerintah pusat menetapkan gempa Lombok sebagai bencana nasional ?"
Yang pasti, travel warning dari negara-negara akan keluar. Dan travel warning ini akan berpengaruh besar pada daerah sekitar yang tidak terkena bencana.
Kegiatan ekonomi Lombok - dan juga berdampak pada Bali - yang tergantung pada pariwisata akan terhenti. Wisatawan tidak ada. Bencana yang tadinya terlokalisir di daerah bencana, meluas dalam bentuk bencana lain yaitu bencana ekonomi.
Dan jika begitu, jelas kerugian akan lebih besar bagi pemerintah Indonesia, karena bencana jadi tidak lagi terkonsentrasi di Lombok. Pemerintah akan jadi lebih sibuk karena selain menangani bencana alam, juga menangani dampak ekonomi di daerah sekitar..
Jadi gak mudah menetapkan status "Bencana nasional" semudah nyocot di medsos seakan-akan simpati padahal niatnya cuman ingin menyalahkan Jokowi karena dianggap tidak perduli..
Ibarat yang luka di jari, tapi yang dipotong seluruh kaki. Lihat darah mengucur karena ibu jari terantuk batu kali, langsung teriak, "amputasi !!"
Saya kembali berdoa malam ini, "Ya Tuhan, bisakah para kampret dikasih kepintaran, sedikitttttt saja ?"
Kudengar jawaban, "Denny boy, cuci kaki dan bobok sana. Mbok kalau minta itu yang pasti-pasti.. Minta bagaimana Raisa bisa jatuh cinta padamu, itu jauh lebih mudah bagiku.."
Secangkir kopi tertawa terbahak-bahak melihat keluguanku..
PKS Hidayat Nur Wahid mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

KURBAN

"Kita kadang masih sulit menempatkan secara tepat antara nilai spiritual dan nilai ritual.."
Temanku membuka pembicaraan sore ini, saat kami bertemu di sebuah warung kopi.
"Kadang sesuatu yang sifatnya spiritual menjadi berkurang nilainya ketika kita menjadikannya ritual. Naik haji, contohnya. Ini perintah yang mempunyai nilai spiritual yg sangat tinggi. Sebuah penyerahan total, sebuah penghambaan, melepaskan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi.
Tapi banyak kita lihat perintah ini menjadi sebuah ritual untuk menggugurkan kewajiban. Ketika sudah ber-haji, kita merasa selesai sudah melaksanakan semua perintah Tuhan. Balik ke rumah, hilang semua nilai spiritualnya, yang tertinggal hanya gelar..."
Aku menyimak dengan baik sambil sesekali menyeruput kopi panasku. "Apa yang membedakan antara seseorang yang mengerjakan perintah dengan nilai spiritual dan ritual ?" Tanyaku.
"Ahlak.." Jawab temanku dgn lugas. "Ketika seseorang sudah mampu secara total melepaskan baju duniawinya dan menghamba kepada Tuhan, maka secara otomatis perilakunya berubah. Dan perilaku itu sudah seharusnya tampak jauh sebelum ia ber-haji, bukan sesudahnya."
"Maksudnya ?" Tanyaku heran.
"Kita melihat ada konsep jika mampu dalam berhaji, maka kita jangan batasi mampu dalam sifat materi, tetapi lebih jauh lagi, yaitu mampu secara spiritual.
Orang yang sudah pada taraf mampu secara spiritual, berarti ia sudah mampu meninggalkan sifat duniawinya. Ia akan melihat dulu dirinya sendiri, sudah mampukah saya menghamba. Dan ia akan melihat orang di sekitarnya, sudah mampukah saya menolong mereka.
Jangan sampai ia mampu berhaji tapi orang sekitarnya kelaparan dan butuh bantuan. Ia bahkan tidak mau menolong mereka, karena ia mendahulukan dirinya sendiri. Ketika hasrat berhaji itu lebih mendesak daripada kewajibannya menolong orang lain, maka ia belum mampu meninggalkan sifat duniawinya yang egois..."
Tercekat rasanya tenggorokan mendengar kalimat itu. Rasanya kopi menjadi begitu pahit.
"Menolong orang lain yang membutuhkan itu adalah sebuah kewajiban bagi manusia yang beriman. Nilai spiritualnya sangat tinggi, karena disitu-lah terletak ketakwaan kepada Tuhan dan keadilan kepada sesama manusia..."
Semakin menarik pembahasan ini. Temanku menarik kursinya ke belakang dan mengambil kopinya, sambil tersenyum dan melanjutkan.
"Jadi, temanku.. Semoga ini bisa menjawab pertanyaanmu, yang mana harus kamu dahulukan antara menolong saudaramu yang sedang membutuhkan atau membeli hewan kurban...
Lihat dulu dirimu, apakah kamu punya hutang kepada seseorang? Bayarlah, jangan sampai ia marah kepadamu karena kamu bisa membeli hewan kurban tapi tidak bisa membayar hutangmu, berarti kamu tidak adil kepadanya. Atau jika kamu menemukan orang yg sangat membutuhkan uangmu, bantulah ia terlebih dahulu.
Kemampuanmu membantunya dengan mengurbankan kurbanmu adalah kurban atas kurban itu sendiri...."
Saatnya saya mengangkat cangkir kopi ini untuknya.
Idul Adha Hewan Qurban

HAJI POLITIK

Apakah sebenarnya makna Haji itu?
Haji bermakna penghambaan total. Melepas seluruh sifat keduniawian.
Itulah kenapa disebut "bila mampu" di dalam berhaji. 'Mampu' bukan hanya dalam soal materi dan kesehatan waktu melakukan perjalanan, tetapi 'mampu' melepaskan diri dari keterikatan penghambaan nafsu.
Haji itu sangat berat, itulah kenapa ia ditaruh pada ibadah terakhir dalam agama Islam.
Perhatikan pakaian saat orang sedang beribadah haji. Mereka hanya berlilitkan ikhram. Penggambaran pelepasan aksesoris dunia yang selama ini banyak melilit manusia. Haji bukan sekedar ibadah. Ia adalah konsep penyerahan diri yang paling tinggi kepada sang Khalik, pencipta semesta.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang berhaji sambil membawa-bawa maksud politik ke tempat dimana semua orang sedang khusuk beribadah?
Mereka jelas belum terlepas dari nafsu dunia. Bahkan bisa dikatakan belum 'mampu' berhaji, tetapi memaksakan diri karena merasa sudah cukup dengan materi. Yang tinggal hanyalah gelar tanpa arti.
Dan ketika nafsu dunia saja mereka bawa ke tempat ibadah, bayangkan apa yang terjadi ketika mereka menjabat nanti? Tentu jabatan akan mereka anggap sebagai bagian dari dunia, bukan ibadah, bukan amanah.
Mungkin mereka harus belajar pada secangkir kopi, yang menghamba pada kenikmatan supaya bisa berguna pada manusia.
Politik Haji Politik

Mayoritas & Minoritas, Konsep Yang Menjijikkan di Negeri Ini

"Bang, kenapa minoritas di negeri ini masih ditekan?"
Aku menoleh kepada seseorang yang bertanya. Heran. "Minoritas? Siapa yang dimaksud minoritas?" Tanyaku. Dia kaget dengan pertanyaanku. "Ya kami inilah. Ras Tionghoa. Yang beragama Kristen dan sebagian Budha.." Jawabnya.
Ahh, minoritas mayoritas. Entah kenapa manusia tanpa sadar sudah mengkotakkan dirinya melalui ras dan agama. Yang merasa kuat melakukan propaganda, "Kami mayoritas!". Dan yang merasa lemah termakan propaganda, "Memang kami minoritas..".
Padahal hukum kita tidak membedakan warga negara berdasarkan apa agama dan rasnya. Tetapi ada manusia yang merasa menang karena jumlahnya banyak, dan ada manusia yang sudah kalah sejak dalam pikiran. Mereka inilah yang terkontaminasi konsep mayor dan minor. Onani dengan pikirannya sendiri..
Jika yang disebut mayoritas itu adalah muslim, tentu yang harus mengaku bahwa mereka mayoritas itu adalah Nahdlatul Ulama.
Kenapa ? Karena jumlah komunitas mereka saja diperkirakan 80 juta dari 260 juta warga Indonesia. Tapi apakah mereka pernah berkata, kamilah mayoritas? Tidak pernah. Bahkan Gus Yaqut, ketua GP Ansor yang mewakili pemuda NU, selalu mengumandangkan tagar #Kitainisama.
Lalu siapa yang sibuk berkumandang "Kami muslim, kami mayoritas.."? Lha, ya gerombolan kecil para pemabuk agama yang selalu sibuk mengkafir2kan itu. Anehnya, banyak yang percaya propaganda mereka, terutama non muslim yang lemah dan selalu menganggap bahwa, "Iya, kami ini minoritas.."
Kelompok kecil bergamis yang jumlahnya gak ada puluhan ribu, supaya mereka terlihat besar memang selalu berkoar, "Kami mayoritas !". Padahal oleh mayoritas muslim di Indonesia, mereka cuman diketawain aja. "Elu sendiri minoritas dikalangan muslim, eh sok teriak mayoritas segala.."
"Terus gimana dong nasib Meiliana yang divonis penjara 18 bulan, hanya karena menegur kerasnya Azan. Itu kan karena dia minoritas ??" Sanggah orang tadi..
Ah, minoritas lagi. Entah kenapa lagu "minoritas" ini seperti lagu Rinto Harahap, yang nuansanya selalu sedih dan liriknya bikin mata bengap. Kadang saya heran, kenapa sih kok nyaman bersembunyi dalam konsep bahwa, "Aku minoritas, dia mayoritas.."
Seorang teman bernama Dr. Otto Radjasa, adalah korban permasalahan di pengadilan, sebelum kasus Ahok bergema. Dia dihukum 2 tahun penjara di Balikpapan karena mengungkapkan kekritisan pikirannya lewat media sosial. Dia didemo dan akhirnya jadi terdakwa.
Padahal dia seorang muslim sejati. Rasnya pun bukan Tionghoa. Tapi dia dihukum karena "menghina agama" dimana yang dikritisi adalah agamanya sendiri..
Apakah ini berarti masalah mayoritas minoritas ??
Bukan. Ini masalah subjektifitas di pengadilan yang rentan terhadap tekanan dari gerombolan yang merasa berkuasa. Mungkin saja pengadilan itu terkontaminasi virus mabuk agama. Tapi itulah masalah besar kita. Sekian tahun kelompok radikal ini menyebar dan dibiarkan, bukan tidak mungkin infiltrasi mereka sudah masuk ke pengadilan.
Karena itulah kita berjuang supaya mereka tidak makin besar di negeri ini. Dengan melakukan tekanan dan gerakan sosial, baik melalui media maupun melalui media sosial. Kita lawan pikiran-pikiran ini dengan pikiran juga. Kita hancurkan konsep mereka bahwa mereka mayoritas di negeri ini.
Butuh perjuangan panjang memang. Dan juga pasti ada korban seperti yang dialami Dr. Otto, Meiliana dan tentunya Ahok yang dituding penista agama. Tapi mereka adalah martir yang membuka tabir bahwa "ada masalah" didalam sistem pengadilan kita. Situasi yang harus dibenahi oleh internal pengadilan itu sendiri..
Tapi bagaimana bisa berjuang, jika terus merengek, "Kami minoritas.." ?
Kekalahan utama dari orang waras di negeri ini, adalah karena banyak dari kita sudah kalah sejak dalam pikiran. Dan kelemahan itu dimanfaatkan oleh kelompok "tukang stempel kafir" itu untuk terus menekan. Karena dengan menekan itulah mereka tumbuh besar..
Belajarlah dari sesendok gula. Ia tidak disebut dalam kenikmatan secangkir kopi. Tapi ia tidak pernah merengek bahwa, "Kami minoritas. Kami minta diakui..".
Sesendok gula adalah penyeimbang dari pahitnya situasi dan memberikan kenikmatan dalam mencecap sehingga satu cangkirpun tidak cukup, harus tambah lagi...
"Bu, kopinya lagii..." Teriakku kesal.
"Yang kemarin hutangnya sudah dibayar ?" Terdengar suara menyeramkan dari balik dinding dapur yang akhirnya muncul dengan segagang sapu tanda bahwa aku harus segera menyingkir sebelum teriak-teriak dizolimi..
Seruputtt.
Minoritas Dokter Otto
Sumber Opini : https://www.dennysiregar.com/2018/08/mayoritas-minoritas-konsep-yang.html

Wahai Yang Merasa Minoritas, Belajarlah Pada Mazhab Syiah

Jika ingin tahu bagaimana rasanya kaum minoritas, tanya pada mereka yang bermazhab Syiah. Di Indonesia ini, banyak yang tidak mengakui bahwa mereka muslim. Padahal mazhab Syiah, adalah mazhab dalam Islam terbesar kedua di dunia sesudah sunni. Merekapun shalat, puasa dan berhaji seperti muslim lainnya.
Tapi disini, mereka terus menerus dipersekusi. Dipinggirkan. Dihantam. Bahkan dibubarkan ketika mengadakan hari besar. Di Sampang, bahkan mereka diusir dari tanah kelahiran. Sejak tahun 2012, mereka hidup dalam pengungsian. Jangan tanya penderitaan dan rasa kehilangan mereka. Kalian gak akan kuat, percayalah.
Tapi apakah mereka cengeng dan selalu mengeluh, "Kami minoritas.." dengan airmata bercucuran dan perasaan yang tertekan?
Saya pernah ngobrol dengan salah satu warga Syiah di Sampang. Dia tersenyum walau hatinya pasti pahit dengan rasa kehilangan.
"Bagi kami, semua itu adalah kenikmatan dalam perjuangan. Karena tanpa perjuangan, kami bukan apa-apa. Jika semua sempurna, kami tidak akan ada. Apa yang kami dapatkan sekarang, tidak ada artinya dengan apa yang didapatkan Imam Hussain, saat ia dan keluarganya diburu dan dibantai oleh puluhan ribu pasukan yang mengaku mengikuti agama kakeknya, Nabi Muhammad SAW.."
Saya tercengang mendengarnya. Bagaimana bisa ada orang yang menikmati kesulitan disaat orang lain menghindarinya? Ternyata kesulitan itu bukan melemahkan mereka, tetapi justru menguatkan. Karena itulah namanya perjuangan. Bukan hasilnya yang dinilai Tuhan, tetapi usahanya. Prosesnya. Dan disanalah nilainya.
Dan dalam setiap perjuangan, tentu ada korban, ada kegagalan juga keberhasilan..
Seandainya negeri ini menerima mereka dengan tangan terbuka, tentu mereka tidak akan pernah merasakan kenikmatan dalam perjuangan. Dahsyat, bukan?
Obrolan pendek itu menginspirasi saya dalam menulis. Makanya saya tidak cengeng ataupun baper karena terus menerus dihina, dilecehkan. Bahkan ketika sudah terbiasa, saya menganggap itu guyonan. Namanya perjuangan harus keras. Kalau lembek namanya ketidakngacengan.
Jadi, jangan sedikit-sedikit berkata, "Kami minoritas..". Itu desahan anak manja. Nikmati semua kesulitan sebagai bagian dari perjuangan. Dan bergeraklah bukan karena kamu minoritas, tetapi karena tanggung jawabmu sebagai anak bangsa. Konsep minoritas itu adalah kekalahan dalam pikiran.
Hukum di negeri ini memang sedang sakit karena sudah lama terjadi pembiaran. Yakin bahwa pengadilan kita bersih dan suci dari bibit intoleransi ? Untuk menyembuhkannya, tentu butuh pengobatan bertahap. Bergeraklah, desak pihak-pihak terkait untuk mulai membenahi internal mereka.
Tahukah kalian, bahwa pahit dalam secangkir kopi itu justru adalah pusat kenikmatan? Tanpa rasa pahitnya, kopi tentu tidak akan seterkenal ini sampai dijadikan filosofi segala.
Seruput kopinya, wahai para pejuang?
Syiah Syiah Sampang

KANG HASAN OFFSIDE?

Jujur saya bingung dengan pernyataan kang Hasan ini.
Kasus begal Bekasi setahu saya belum masuk pengadilan. Anggap saja pernyataan Mahfud MD di ILC bahwa pakde Jokowi intervensi kesalahan polisi adalah benar. Jika masih dibawah kepolisian, Jokowi masih bisa telpon karena kepolisian dibawah Presiden.
Tapi kalau sudah masuk ke pengadilan, apa Jokowi bisa intervensi? Wah, kalau Presiden bisa intervensi Pengadilan, gawat dong. Lembaganya saja sudah beda, Presiden di Eksekutif dan Pengadilan yang mengawasi lembaga Yudikatif. Harusnya kang Hasan protes dong ke Komisi Yudisial. Kan yang ketuk palu hakim.
Nah seandainya kemarin masih di kepolisian, kenapa tidak ada orang spt Mahfud MD yang mengingatkan beliau? Kalau apa-apa harus ngadu ke Jokowi, bs dibayangkan berapa juta pengaduan yang harus ia terima?
Jadi, mbok ya jangan selalu dilarikan ke Jokowi kalau ada apa-apa. Apalagi membawa-bawa konsep minoritas segala. Koreksi jika saya salah.
Tapi saya tetap mau seruput kopi sama Kang Hasan, kelak kalau ketemu bersama.
Minoritas Cuitan Kang Hasan

SISI LEMAH GOPAY

Siang tadi saya kebetulan ada di daerah Mampang dan hendak berangkat ke suatu tempat. Seperti biasa saya pesan pake aplikasi Gojek, dan memesan Go BlueBird. Saya jarang pake uang cash karena terbiasa pake GoPay. Semua itu memudahkan saya selama di Jakarta, jadi tidak perlu lagi bawa mobil kemana-mana. Pusing ada ganjil genapnya.
Tunggu punya tunggu, ternyata taksi BlueBird yang saya pesan tidak datang, bahkan tidak ada komunikasi. Saya mengalah, oke saya telepon. Ternyata nomer telepon pun tidak aktif.
Ketika melihat aplikasi, saya kaget, karena di aplikasi sudah tertera bahwa taksi itu sudah "berjalan bersama saya". Lah, taksi dimana, saya dimana, kok bisa saya sudah diangkut oleh pengemudi? Dan saya lihat di aplikasi Gojek, taksi tidak beranjak ditempatnya, tetap disitu saja.
Karena terburu-buru, saya cegat taksi lain dan saya berangkat ke tujuan.
Dalam perjalanan saya cek isi GoPay saya, ternyata sudah berkurang. Yah, sebenarnya tidak seberapa, tapi bagi saya ini pencurian. Inilah kelemahan GoPay, tidak mampu mencegah ketika driver sudah menyedot isi GoPay.
Saya yakin banyak orang yang seperti saya. Hanya mungkin karena jumlah yang disedot tidak seberapa, jadi malas komplainnya. Saya juga begitu awalnya, tapi mikir, ah siapa tahu saya bisa berbagi pengalaman serupa.
Itu pengalaman hari ini, jadi was-was kalau ada driver nakal yang melakukan hal yang sama. Untuk sementara saya pakai cash dululah, biar aman. Masih untung cuman kena 23 ribu, bayangkan kalau saya pake ke Bandara, yang bisa habis lebih dari 100 ribu rupiah.
Tadinya mau salahin Jokowi, biar kekinian. Kan enak, lempar ke Jokowi, habis perkara.
Udah ah, tidur dulu. Pengen gaya terbalik mirip kampret malam ini, tapi kok susah. Apalagi terbalik sambil seruput kopi, lebih parah.
Heran, para kampret kok jagoan yaaa.
Bluebird Bluebird

ADA HTI DIBELAKANG KASUS MEILIANA

Permasalahan kasus Meiliana sebenarnya bukan semata masalah speaker. Bahkan jika dia kentut pun saat berjalan di depan masjid, vihara akan tetap dibakar dan Meiliana akan terkena hukuman penjara.
Permasalahan utamanya ada kelompok ormas berbaju agama sedang mencari isu dan terus menerus menekan dengan kekuatan massa.
Dalam laporan penelitian "Rekayasa Kebencian dalam Konflik Agama: Kasus Tanjung Balai" yang dibuat oleh Siswo Mulyartono, Irsyad Rafsadi dan Ali Nursahid dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi, Yayasan Paramadina, disebutkan masyarakat setempat sebenarnya tidak ada masalah dengan itu.
Seperti ditulis Tirto id ada tekanan dari ormas seperti FUI, HTI dan pesantren Al Wasliyah disana. Inilah penyebab utamanya. Loh, kok masih ada HTI? Ya, HTI baru dibubarkan Juli 2017, sedangkan ini kasus 2016.
Meiliana kemudian dilaporkan atas "penistaan agama" pada Desember 2016. Ingat, peristiwa pada bulan yang sama kelompok ormas ini juga mendemo Ahok atas penistaan agama. Dan bukan hanya laporan saja, tekanan demi tekanan massa datang ke MUI Sumatera Utara untuk keluarkan fatwa.
Sesudah MUI kalah suara, tekanan berikutnya datang ke kepolisian untuk segera memproses berkas dan menjadikan Meiliana tersangka. Polisi lalu mentersangkakan Meiliana, dan melemparkannya ke pengadilan.
Dan dalam setiap sidang di pengadilan, massa dari kelompok ormas itu terus datang dan menekan, sehingga hakim menjatuhkan keputusan yang sangat tidak berkeadilan . Itupun mereka belum puas, "Kurang lama.." Katanya.
Jadi inti permasalahannya adalah di beringasnya ormas yang menekan alat negara demi tujuan mereka. Ndilalah, alat negara daerah kalah karena tekanan itu. Mulai polisi sampai pengadilan tidak kuasa untuk menjaga hukum sebagai panglima, karena mengikuti tekanan arus massa.
Kenapa ormas yang membawa massa itu bisa menang dan alat negara bisa kalah? Karena situasi itu sudah berlangsung selama puluhan tahun lamanya.
Bibit-bibit radikalisme melalui ormas-ormas ini yang dipaparkan HTI sudah mendekam begitu lama dan mempengaruhi banyak elemen masyarakat dan pemerintahan. Bisa juga aparat dan kehakiman. Wong di beberapa universitas negeri saja Guru Besarnya sudah keracunan.
Jadi tidak mudah memang untuk memberantas mereka. Ibarat kanker, Indonesia sudah berada di stadium 4. Menyembuhkannya tidak bisa langsung sikat, harus bertahap. Di kemo istilah mudahnya.
Apa yang dilakukan Jokowi dengan membubarkan HTI itu sudah langkah sangat maju. Diketahui dulu virusnya, baru tetapkan pengobatannya. Tapi bukan kemudian serta merta Indonesia sehat. Butuh waktu untuk membersihkan virus yang sudah kadung menyebar.
Jadi jangan dikit-dikit salahkan Jokowi. Lihat masalah lebih luas, kita baru bisa mengerti.
Ibaratnya, elu datang ke dokter dengan penyakit sudah parah. Dokter baru ngobatin sekali, eh gak terima. 'Kok gak langsung sembuh?? Dokternya payah!!' Ngeselin kan?
Bagaimana supaya Indonesia bisa sembuh dari radikalisme?
Jangan mikir sembuh dulu, lihat dimana virus itu bersembunyi. Lihat dimana HTI berpihak, disanalah mereka berkembang biak.
Dan bayangkan jika mereka menang dan berkuasa, mereka akan menggerakkan ormas-ormas berbaju agama dan mengerahkan massa untuk menekan lebih kuat. Habis kita semua. Meliana-Meliana baru akan bermunculan. Bisa anda, saya dan kita semua yang kena.
Jalan satu-satunya biarkan Jokowi menuntaskan pekerjaan rumahnya. Pembubaran HTI itu sudah jadi ukuran, bahwa dialah dokternya. Berikan kesempatan dia untuk obati penyakit ini setahap demi setahap, dan kita dibelakang memberikan dukungan bukan malah menyalahkan dan mencaci makinya.
Seruput kopinya?
Meiliana Meiliana
 
Re-Post by MigoBerita / Jum'at/24082018/16.34Wita/Bjm 
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya