» » » » » » » » 10 Muharram antara Bubur Asyura dan Sejarah dimutilasinya al Husain sang Penghulu Pemuda Surga

10 Muharram antara Bubur Asyura dan Sejarah dimutilasinya al Husain sang Penghulu Pemuda Surga

Penulis By on Jumat, 21 September 2018 | No comments

Hari Asyura dalam Sejarah Islam: Tentang Kesyahidan Cucu Nabi dan Puasanya Nabi Musa


BANJARMASNPOST.CO.ID - Mendengar kata 'Asyura' bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Kalimantan Selatan, selalu indentik dengan pembuatan bubur.
Karena itulah sering dinamakan bubur Asyura.
Pelaksanaannya setiap tanggal. 10 Muharram.


Namun sebenarnya makna bubur Asyura sendiri diiringi dengan pelaksanaan puasa sunat, bubur tersebut dimasak untuk menu berbuka puasa.
Hari Asyura sendiri dalam Islam mengandung sejarah yang erat kaitannya dengan cucu Nabi Muhammad.
Dikutip dari Wikipedia, Hari Asyura (عاشوراء ) adalah hari ke-10 pada bulan Muharram dalam kalender Islam. Sedangkan asyura sendiri berarti kesepuluh.
Hari ini menjadi terkenal karena bagi kalangan Syi'ah dan sebagian Sufi merupakan hari berkabungnya atas kesyahidan Husain bin Ali, cucu dari Nabi Islam Muhammad pada Pertempuran Karbala tahun 61 H (680).
Akan tetapi, Sunni meyakini bahwa Nabi Musa berpuasa pada hari tersebut untuk mengekspresikan kegembiraan kepada Tuhan karena Bani Israil sudah terbebas dari Fira'un (Exodus).
Menurut tradisi Sunni, Nabi Muhammad berpuasa pada hari tersebut dengan jumlah dua hari dengan tujuan menyelisihi umat Yahudi dan Nasrani, dan meminta orang-orang pula untuk berpuasa.
Pada masa pra-Islam, 'Asyura diperingati sebagai hari raya resmi bangsa Arab.
Pada masa itu orang-orang berpuasa dan bersyukur menyambut 'Asyura.
Mereka merayakan hari itu dengan penuh suka cita sebagaimana hari Nawruz yang dijadikan hari raya di negeri Iran.
Dalam sejarah Arab, hari 'Asyura (10 Muharram) adalah hari raya bersejarah.
Sekelompok bangsa Arab, yang dikenal sebagai kelompok Yazidi, merayakan hari raya tersebut sebagai hari suka cita.

Asyura Sunni
Sebelum Islam, Hari Asyura sudah menjadi hari peringatan dimana beberapa orang Mekkah biasanya melakukan puasa.
Ketika Nabi Muhammad melakukan hijrah ke Madinah, ia mengetahui bahwa Yahudi di daerah tersebut berpuasa pada hari Asyura - bisa jadi saat itu merupakan hari besar Yahudi Yom Kippur.
Saat itu, Muhammad menyatakan bahwa Muslim dapat berpuasa pada hari-hari itu.
Di kalangan suku Banjar yang merupakan muslim Sunni di Kalimantan, Hari Asyura dirayakan ekspresi kegembiraan dengan membuat bubur Asyura yang terbuat dari beras dan campuran 41 macam bahan yang berasal dari sayuran, umbi-umbian dan kacang-kacangan.
Bubur Asyura tersebut akan disajikan sebagai hidangan berbuka puasa sunat Hari Asyura.

Asyura Syi'ah
Syahidnya Husain bin Ali
Tanggal 10 Muharram 61 H atau tanggal 10 Oktober 680 merupakan hari pertempuran Karbala yang terjadi di Karbala, Iraq sekarang.
Pertempuran ini terjadi antara pasukan Bani Hasyim yang dipimpin oleh Husain bin Ali beranggotakan sekitar 70-an orang melawan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Ibnu Ziyad, atas perintah Yazid bin Muawiyah, khalifah Umayyah saat itu.
Pada hari itu hampir semua pasukan Husain bin Ali, termasuk Husain-nya sendiri syahid terbunuh, kecuali pihak perempuan, serta anak Husain yang sakit bernama Ali zainal abidin bin Husain.
Kemudian oleh Ibnu Ziyad mereka dibawa menghadap Khalifah di Damaskus, dan kemudian yang selamat dikembalikan ke Madinah.
(Sumber: Wikipedia)
Hari Asyura dalam Sejarah Islam: Tentang Kesyahidan Cucu Nabi dan Puasanya Nabi Musa
banjarmasinpost.co.id/abdul ghanie
Warga membuat bubur Asyura menggunakan beberapa kawah di Antasan Senor Martapura, Selasa (11/10/2016)
Sumber Berita : http://banjarmasin.tribunnews.com/2017/09/29/hari-asyura-dalam-sejarah-islam-tentang-kesyahidan-cucu-nabi-dan-puasanya-nabi-m?page=all

Fakta Sunni Di Negeri Syiah

Sunni dan Syiah merupakan dua mazhab besar Islam di dunia. Baik Sunni (Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali) maupun Syiah (Ja’fari/Itsna ‘Asyariyah, Ismailiyah dan Zaidiyah) diakui sebagai bagian tak terpisahkan dari Islam sehingga meniscayakan terciptanya hubungan harmonis yang dilandasi sikap saling penghormatan satu sama lain antara keduanya. Hal ini pun telah dikuatkan dalam sebuah kesepakatan bersama yang dikenal dengan Risalah Amman. Risalah itu merupakan hasil konferensi persatuan umat Islam di Amman, Yordania tahun 2005 silam yang dihadiri oleh 200-an ulama Muslim dari 50 negara.
Hubungan harmonis antar mazhab tentu akan memberikan dampak positif bagi perkembangan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dengan menjadi agama penebar cinta kasih, keadilan dan persaudaraan, dimungkinkan Islam bakal menjadi salah satu agama dengan pemeluk terbanyak di dunia. Tak heran, jika usaha memecah-belah umat Islam selalu dilakukan oleh kelompok yang tidak suka dengan perkembangan pesat agama yang satu ini.
Bentuk adu-domba bisa bermacam-macam. Namun yang popular hingga saat ini adalah kampanye negatif tentang Sunni dan Syiah yang selalu dikesankan saling bermusuhan. Sebut saja misalnya pemberitaan tentang pembantaian pihak Syiah terhadap Sunni di Iran, Irak, Suriah, dan sebagainya, yang secara faktual jauh panggang dari api. Atau tuduhan klise bahwa akidah Syiah bertentangan dengan Islam, Syiah punya Al-Quran sendiri, Syiah mengkafirkan sahabat dan istri Nabi dan seterusnya. Bagi kalangan awam, isu yang sangat potensial dikonsumsi tanpa konfirmasi itulah yang kemudian dapat menjadi ancaman bagi persatuan umat Islam.
Bagaimanakah kondisi riil hubungan antar pengikut kedua mazhab besar Islam ini di berbagai negara, terutama di Timur Tengah yang selama ini selalu menjadi bahan acuan pemberitaan media pengadu-domba antar sesama Muslim di Tanah Air?
Untuk itu, tim ABI Press mulai menggali informasi dari beberapa Muslim Sunni yang pernah berhubungan langsung dengan Muslim Syiah di negeri Iran. Mengingat, Iran merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim Syiah.
Salah satunya adalah Muhammad Zuhdi Zaini. Pendiri Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Iran ini termasuk salah seorang Muslim Sunni yang telah sekian lama hidup di negeri mullah itu. Kehadirannya di Iran dapat dimaknai mewakili Muhammadiyah sebagai ormas Islam Sunni terbesar ke dua di Indonesia.
Saat kami konfirmasi, benarkah isu yang selama ini beredar bahwa kalangan Muslim Sunni di Iran diperlakukan dengan cara yang tidak semestinya oleh pemerintah setempat? Jika benar, kenapa bisa ormas Sunni bisa berdiri dengan aman tanpa halangan di sana?
Kepada ABI Press Zuhdi menegaskan bahwa isu penindasan Sunni di Iran hanyalah kabar yang kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. “Bahkan di sana, setiap komunitas memiliki perwakilan di parlemen, termasuk Sunni,” ungkapnya. Berbeda dengan Indonesia, menurut Zuhdi, moralitas dan intelektualitas di Iran sangat tinggi sehingga di sana lebih toleran. “Berbeda dengan Indonesia yang moralitas dan intelektualitasnya rendah sehingga menyebabkan intoleransi di mana-mana,” tambahnya.
Terkait berdirinya PCIM di Iran sejak 2005 lalu, lazimnya perwakilan atau cabang ormas dari negara lain, ia mengakui ada sedikit kendala pada awalnya. Namun, setelah dia kenalkan ormas Muhammadiyah lebih jauh kepada pemerintahan Iran, Muhammadiyah menjadi satu-satunya organisasi Sunni dari Indonesia yang diterima di sana.

Adakah cerita terkait hubungan tidak harmonis antara penganut Sunni-Syiah di sana?
Ditanya soal itu, Zuhdi justru menceritakan pengalaman pribadi yang menurutnya sangat menarik saat menyelesaikan disertasi S3-nya tahun 2004 silam sebelum PCIM berdiri di sana. “Anehnya, ulama yang menjadi dosen pembimbing datang ke rumah saya, bukan saya yang mendatanginya. Dan ketika dia tahu printer saya rusak, besoknya dia pula yang membawakan printer dari rumahnya. Tidak hanya itu, waktu komputer saya rusak pun, besoknya dia bawakan teknisi juga. Itu yang membuat saya heran,” ungkapnya.
Selain Zuhdi, Fulan, salah seorang pelajar Iran asal Indonesia juga menegaskan bahwa selama dia berada di negeri itu, tidak pernah sekalipun dirinya menemukan Muslim Sunni dikucilkan di sana. “Di sini semuanya dianggap sama, tidak ada yang dibeda-bedakan,” tuturnya.
Setidaknya, penuturan dua orang Indonesia yang sudah sekian lama hidup dan bergaul secara langsung dengan masyarakat Syiah di Iran, dapat menjadi data pelengkap dari informasi terkait perkembangan masjid Sunni yang berhasil kami dapat dari buku berjudul “Khidmat Republik Islam Iran terhadap Minoritas Ahlusunnah” terbitan Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta, 2012 lalu.
Buku itu menyebut pengaruh signifikan kemenangan Revolusi Islam Iran terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat di sana, tak terkecuali di bidang agama. Dalam hal ini, khususnya perlindungan terhadap hak-hak minoritas yang mengalami kemajuan pesat sejak awal tumbangnya rezim otoriter Syah Reza Pahlevi yang dibekingi Amerika itu.
Misalnya tentang perkembangan jumlah masjid Sunni di Iran. Dari data yang diambil dari buku terbitan ICC tersebut, tercatat ada 12.222 masjid Sunni di sana. Angka itu jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah masjid Sunni sebelum Revolusi Islam Iran. Salah satu contohnya di Provinsi Kermanshah yang jumlah masjidnya sekarang ada 420, padahal sebelum Revolusi Islam hanya berjumlah 123.
Tidak hanya masjid, jumlah pengikut Ahlusunnah, guru agama dan pelajar Sunni di sana pun mengalami peningkatan. Masih di Provinsi Kermanshah, setelah Revolusi Islam, pengikut Ahlusunnah mengalami peningkatan tiga kali lipat dari yang awalnya 123 jiwa menjadi 420 jiwa. Peningkatan itu pun adalah salah satu bukti tak terbantah bahwa hak-hak Muslim Sunni di negeri berpenduduk mayoritas Syiah ini juga sangat diperhatikan.
Nampaknya, isu permusuhan Sunni-Syiah sedikit demi sedikit mulai terbantah, dan harapan baru terwujudnya persatuan umat Islam mulai menampakkan titik terang.
Hal itu yang setidaknya dirasakan oleh Dr. Suryadinata, Pembantu Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia adalah salah satu akademisi Islam bermazhab Sunni yang ingin menghadiri Haul Imam Khomeini (ulama Syiah) di Iran akhir bulan ini.
Dalam perbincangan dengan ABI Press ia mengaku, kehadirannya ke Iran adalah bentuk penghormatannya sebagai sesama Muslim kepada tokoh besar pemimpin Revolusi Islam itu sekaligus ingin menjawab rasa penasaran atas isu yang selama ini berkembang, yang mengatakan bahwa Sunni selalu ditindas di negeri yang penduduknya mayoritas Syiah itu. Itulah menurutnya salah satu bentuk upaya tabayyun seorang Muslim agar tidak mudah percaya begitu saja dengan kabar yang beredar tanpa konfirmasi, melainkan berupaya optimal mencari tahu sendiri kebenarannya. (Malik/Yudhi)
Fakta Sunni Di Negeri Syiah
Sumber Berita : https://www.ahlulbaitindonesia.or.id/berita/index.php/s13-berita/fakta-sunni-di-negeri-syiah/

Merah Putih Karbala

Karbala, kita mengenalnya sebagai medan pertempuran antara kebenaran dan kebatilan. Tempat itu mendulang kisah epik Al-Husein, kisah cucu kesayangan Nabi Muhammad yang memperjuangkan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Pengorbanan dirinya merupakan pembebasan bagi seluruh umat manusia dari ketidakadilan.
Al-Husein menjadi martir di Karbala setelah dibantai oleh pasukan Yazid karena telah mewariskan karakter kakeknya dalam melawan kebatilan. Padang Karbala menjadi saksi pengkhianatan terbesar sepanjang sejarah umat Islam yang dilakukan oleh Yazid bin Muawiyyah terhadap Nabi Muhammad Saw.
Heroisme Al-Husein di Padang Karbala menginspirasi banyak orang di seluruh dunia, khususnya bagi orang-orang yang mempunyai jiwa merdeka. Sebuah perjuangan inspiratif, membangunkan emosi orang-orang tertindas, membuat mereka berani menghadapi ketidakadilan. Bersama dengan Al-Husein jiwa mereka terlepas dari belenggu-belenggu kemunafikan untuk menegakkan keadilan.
Kisah epik ini ternyata telah membangun peradaban baru bagi para visioner yang anti terhadap penindasan, diktator, koruptor, intoleran, radikalisme dan segala macam bentuk kezaliman yang dilakukan oleh rezim di negerinya. Mereka bangkit melawan rezim tiran di negerinya atas kesadaran menjunjung tinggi nilai keadilan demi mencari kemuliaan dan integritas.
Mega tragedi Karbala mengajarkan kepada kita bahwa tujuan mulia itu memerlukan pengorbanan. Al-Husein mengorbankan dirinya untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut dengan menjaga kehormatan, kesetiaan dan segenap keberaniannya. Diluar menjaga eksistensi kemurnian agama kakeknya dari tangan orang lalim, Yazid bin Muawiyah, Al-Husein telah mengajarkan sebuah falsafah pengorbanan kepada kita. Dari pengorbanan inilah yang menjadi api dalam membangun peradaban manusia.
Keberanian Al-Husein memberi pengaruh kepada Soekarno, Che Guevara, Ghandi dan Imam Khomaini untuk merevolusi negerinya dari penjajahan kapitalisme. Revolusi mental yang diusung oleh Presiden Jokowi juga merupakan rentetan dari revolusi yang dibangun oleh Soekarno. Hikmah dari revolusi mental tersebut untuk mengajak kita berpikir terbuka dalam kemajemukan, membangun peradaban bangsa yang lebih baik, membebaskan skat-skat perbedaan dengan merangkul semua agama, suku, ras dan antar golongan ke dalam bentuk Bhinneka Tunggal Ika.
Al-Husein tidak pernah tunduk maupun iba di hadapan pasukan Yazid, sebagaimana Soekarno pantang menyerah menghadapi ancaman maupun gertakan para penjajah. Bung Karno membakar semangat rakyat agar terbebas dari ketertindasan dan perbudakan demi memuliakan bangsa Indonesia. Begitu pula bagi para revolusioner lainnya, demi mengangkat derajat bangsanya mereka berani melawan orang-orang lalim yang ingin menguasai negerinya.
Bendera Merah Putih yang melambangkan kemerdekaan Indonesia terdapat kesamaan filosofis dengan perjuangan Al-Husein di Karbala. Dalam perjuangan tersebut, terdapat bukti filosofis yang sama, bagaimana gairah seseorang saat menemukan jati dirinya untuk berkorban demi kemerdekaan. Sebagaimana kutipan terkenal mengenai perjuangan Al-Husein, semua hari adalah Asyura dan semua tempat adalah Karbala.
Putih yang melambangkan tujuan suci atau kebenaran dan merah sebagai darah atau keberanian para pejuang, terdapat jejak yang sama dengan para pejuang di Karbala. Jejak keberanian dan niat tulus para pejuang di Karbala mempunyai implementasi yang sama yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia. Mereka mengorbankan dirinya menjaga tanah air demi memuliakan rakyat kecil yang ditindas oleh para penjajah. Hal itu pula yang akhirnya membentuk ideologi berbangsa dan bernegara.
Merah Putih di Karbala merupakan misi suci dan darah Al-Husein sebagaimana jasmani dan rohani para pejuang Indonesia yang dilambangkan ke dalam Bendera Merah Putih. Kesucian jiwa membuat para pejuang tak gentar menghadapi pasukan penjajah, sedangkan pengorbanan dirinya merupakan keberanian untuk membela kemerdekaan Indonesia. Gugurnya Al-Husein di Karbala dengan gugurnya para pejuang Indonesia mempunyai nilai yang sama dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Kesamaan dari kisah perjuangan Al-Husein di Karbala dan perjuangan kemerdekaan Indonesia disimbolkan oleh masyarakat Jawa. Sejak sebelum kemerdekaan masyarakat Jawa sudah mengenal dengan tradisi Bubur Syura. Bubur ini disajikan tepat pada peringatan Asyuraan, yang dikaitkan dengan peristiwa gugurnya Al-Husein, cucu Rasulullah, di Padang Karbala. Bubur ini, umumnya, dihidangkan bersamaan dalam sebuah piring kecil yang porsinya dibagi dua, yakni setengah untuk bubur merah, setengah lagi untuk bubur putih, tradisi ini persis seperti membentangkan Bendera Merah Putih.
Setelah kemerdekaan Indonesia tradisi itu tetap berlangsung untuk mengenang para pejuang yang gugur. Umumnya Bubur Merah Putih ini disajikan pada hari ke-10 bulan Muharram, namun setiap tanggal 17 Agustus di beberapa daerah juga menyajikan Bubur yang sama. Tradisi yang juga dikenal dengan Bubur Syura ini merupakan sajian untuk mengenang para pejuang yang memiliki keberanian menjunjung tinggi nilai kebenaran.
Bubur ini juga disimbolkan kepada para pejuang yang membela Al-Husein di Karbala. Selain itu, di beberapa daerah di Jawa Timur misalnya, tradisi Bubur Syura ini terdapat kandungan filosofi lain, yaitu sebagai penghormatan kepada Al-Husein yang telah membangunkan jiwa para pejuang bangsa Indonesia.
Bubur Merah Putih itu menjadi tradisi penghormatan bagi para pejuang pemberani yang gugur di Indonesia maupun di Karbala. Namun pada keyakinan kejawen Bubur Merah Putih ini diyakini juga sebagai simbol kehidupan baru, umumnya bagi anak yang baru lahir orangtuanya menyajikan Bubur ini.
Dengan demikian, filosofi Merah dan Putih melambangkan kedaulatan bangsa Indonesia, yaitu lahirnya kehidupan baru dengan kemerdekaan, makna lainnya merupakan lambang penghormatan terhadap tujuan suci dan keberanian para pejuang penegak keadilan, dan hal yang sama juga dilakukan oleh para pejuang di Karbala.

Re-Post by MigoBerita / Sabtu/23092018/12.45Wita/Bjm 
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya