BANJARMASNPOST.CO.ID - Mendengar kata 'Asyura' bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Kalimantan Selatan, selalu indentik dengan pembuatan bubur.
Karena itulah sering dinamakan bubur Asyura.
Pelaksanaannya setiap tanggal. 10 Muharram.
Karena itulah sering dinamakan bubur Asyura.
Pelaksanaannya setiap tanggal. 10 Muharram.
Namun sebenarnya makna bubur Asyura sendiri
diiringi dengan pelaksanaan puasa sunat, bubur tersebut dimasak untuk
menu berbuka puasa.
Hari Asyura sendiri dalam Islam mengandung sejarah yang erat kaitannya dengan cucu Nabi Muhammad.
Dikutip dari Wikipedia, Hari Asyura (عاشوراء ) adalah hari ke-10 pada bulan Muharram dalam kalender Islam. Sedangkan asyura sendiri berarti kesepuluh.
Hari ini menjadi terkenal karena bagi kalangan Syi'ah dan sebagian Sufi merupakan hari berkabungnya atas kesyahidan Husain bin Ali, cucu dari Nabi Islam Muhammad pada Pertempuran Karbala tahun 61 H (680).
Akan tetapi, Sunni meyakini bahwa Nabi Musa berpuasa pada hari tersebut untuk mengekspresikan kegembiraan kepada Tuhan karena Bani Israil sudah terbebas dari Fira'un (Exodus).
Menurut tradisi Sunni, Nabi Muhammad berpuasa pada hari tersebut dengan jumlah dua hari dengan tujuan menyelisihi umat Yahudi dan Nasrani, dan meminta orang-orang pula untuk berpuasa.
Pada masa pra-Islam, 'Asyura diperingati sebagai hari raya resmi bangsa Arab.
Pada masa itu orang-orang berpuasa dan bersyukur menyambut 'Asyura.
Mereka merayakan hari itu dengan penuh suka cita sebagaimana hari Nawruz yang dijadikan hari raya di negeri Iran.
Dalam sejarah Arab, hari 'Asyura (10 Muharram) adalah hari raya bersejarah.
Sekelompok bangsa Arab, yang dikenal sebagai kelompok Yazidi, merayakan hari raya tersebut sebagai hari suka cita.
Asyura Sunni
Sebelum Islam, Hari Asyura sudah menjadi hari peringatan dimana beberapa orang Mekkah biasanya melakukan puasa.
Ketika Nabi Muhammad melakukan hijrah ke Madinah, ia mengetahui bahwa Yahudi di daerah tersebut berpuasa pada hari Asyura - bisa jadi saat itu merupakan hari besar Yahudi Yom Kippur.
Saat itu, Muhammad menyatakan bahwa Muslim dapat berpuasa pada hari-hari itu.
Di kalangan suku Banjar yang merupakan muslim Sunni di Kalimantan, Hari Asyura dirayakan ekspresi kegembiraan dengan membuat bubur Asyura yang terbuat dari beras dan campuran 41 macam bahan yang berasal dari sayuran, umbi-umbian dan kacang-kacangan.
Bubur Asyura tersebut akan disajikan sebagai hidangan berbuka puasa sunat Hari Asyura.
Asyura Syi'ah
Syahidnya Husain bin Ali
Tanggal 10 Muharram 61 H atau tanggal 10 Oktober 680 merupakan hari pertempuran Karbala yang terjadi di Karbala, Iraq sekarang.
Pertempuran ini terjadi antara pasukan Bani Hasyim yang dipimpin oleh Husain bin Ali beranggotakan sekitar 70-an orang melawan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Ibnu Ziyad, atas perintah Yazid bin Muawiyah, khalifah Umayyah saat itu.
Pada hari itu hampir semua pasukan Husain bin Ali, termasuk Husain-nya sendiri syahid terbunuh, kecuali pihak perempuan, serta anak Husain yang sakit bernama Ali zainal abidin bin Husain.
Kemudian oleh Ibnu Ziyad mereka dibawa menghadap Khalifah di Damaskus, dan kemudian yang selamat dikembalikan ke Madinah.
(Sumber: Wikipedia)
Sumber Berita : http://banjarmasin.tribunnews.com/2017/09/29/hari-asyura-dalam-sejarah-islam-tentang-kesyahidan-cucu-nabi-dan-puasanya-nabi-m?page=all
Sumber Berita : https://www.ahlulbaitindonesia.or.id/berita/index.php/s13-berita/fakta-sunni-di-negeri-syiah/
Hari Asyura sendiri dalam Islam mengandung sejarah yang erat kaitannya dengan cucu Nabi Muhammad.
Dikutip dari Wikipedia, Hari Asyura (عاشوراء ) adalah hari ke-10 pada bulan Muharram dalam kalender Islam. Sedangkan asyura sendiri berarti kesepuluh.
Hari ini menjadi terkenal karena bagi kalangan Syi'ah dan sebagian Sufi merupakan hari berkabungnya atas kesyahidan Husain bin Ali, cucu dari Nabi Islam Muhammad pada Pertempuran Karbala tahun 61 H (680).
Akan tetapi, Sunni meyakini bahwa Nabi Musa berpuasa pada hari tersebut untuk mengekspresikan kegembiraan kepada Tuhan karena Bani Israil sudah terbebas dari Fira'un (Exodus).
Menurut tradisi Sunni, Nabi Muhammad berpuasa pada hari tersebut dengan jumlah dua hari dengan tujuan menyelisihi umat Yahudi dan Nasrani, dan meminta orang-orang pula untuk berpuasa.
Pada masa pra-Islam, 'Asyura diperingati sebagai hari raya resmi bangsa Arab.
Pada masa itu orang-orang berpuasa dan bersyukur menyambut 'Asyura.
Mereka merayakan hari itu dengan penuh suka cita sebagaimana hari Nawruz yang dijadikan hari raya di negeri Iran.
Dalam sejarah Arab, hari 'Asyura (10 Muharram) adalah hari raya bersejarah.
Sekelompok bangsa Arab, yang dikenal sebagai kelompok Yazidi, merayakan hari raya tersebut sebagai hari suka cita.
Asyura Sunni
Sebelum Islam, Hari Asyura sudah menjadi hari peringatan dimana beberapa orang Mekkah biasanya melakukan puasa.
Ketika Nabi Muhammad melakukan hijrah ke Madinah, ia mengetahui bahwa Yahudi di daerah tersebut berpuasa pada hari Asyura - bisa jadi saat itu merupakan hari besar Yahudi Yom Kippur.
Saat itu, Muhammad menyatakan bahwa Muslim dapat berpuasa pada hari-hari itu.
Di kalangan suku Banjar yang merupakan muslim Sunni di Kalimantan, Hari Asyura dirayakan ekspresi kegembiraan dengan membuat bubur Asyura yang terbuat dari beras dan campuran 41 macam bahan yang berasal dari sayuran, umbi-umbian dan kacang-kacangan.
Bubur Asyura tersebut akan disajikan sebagai hidangan berbuka puasa sunat Hari Asyura.
Asyura Syi'ah
Syahidnya Husain bin Ali
Tanggal 10 Muharram 61 H atau tanggal 10 Oktober 680 merupakan hari pertempuran Karbala yang terjadi di Karbala, Iraq sekarang.
Pertempuran ini terjadi antara pasukan Bani Hasyim yang dipimpin oleh Husain bin Ali beranggotakan sekitar 70-an orang melawan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Ibnu Ziyad, atas perintah Yazid bin Muawiyah, khalifah Umayyah saat itu.
Pada hari itu hampir semua pasukan Husain bin Ali, termasuk Husain-nya sendiri syahid terbunuh, kecuali pihak perempuan, serta anak Husain yang sakit bernama Ali zainal abidin bin Husain.
Kemudian oleh Ibnu Ziyad mereka dibawa menghadap Khalifah di Damaskus, dan kemudian yang selamat dikembalikan ke Madinah.
(Sumber: Wikipedia)
banjarmasinpost.co.id/abdul ghanie
Warga membuat bubur Asyura menggunakan beberapa kawah di Antasan Senor Martapura, Selasa (11/10/2016)
Fakta Sunni Di Negeri Syiah
Sunni
dan Syiah merupakan dua mazhab besar Islam di dunia. Baik Sunni
(Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali) maupun Syiah (Ja’fari/Itsna
‘Asyariyah, Ismailiyah dan Zaidiyah) diakui sebagai bagian tak
terpisahkan dari Islam sehingga meniscayakan terciptanya hubungan
harmonis yang dilandasi sikap saling penghormatan satu sama lain antara
keduanya. Hal ini pun telah dikuatkan dalam sebuah kesepakatan bersama
yang dikenal dengan Risalah Amman. Risalah itu merupakan hasil
konferensi persatuan umat Islam di Amman, Yordania tahun 2005 silam yang
dihadiri oleh 200-an ulama Muslim dari 50 negara.
Hubungan harmonis antar mazhab tentu akan memberikan dampak positif bagi perkembangan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Dengan menjadi agama penebar cinta kasih, keadilan dan persaudaraan,
dimungkinkan Islam bakal menjadi salah satu agama dengan pemeluk
terbanyak di dunia. Tak heran, jika usaha memecah-belah umat Islam
selalu dilakukan oleh kelompok yang tidak suka dengan perkembangan pesat
agama yang satu ini.
Bentuk
adu-domba bisa bermacam-macam. Namun yang popular hingga saat ini
adalah kampanye negatif tentang Sunni dan Syiah yang selalu dikesankan
saling bermusuhan. Sebut saja misalnya pemberitaan tentang pembantaian
pihak Syiah terhadap Sunni di Iran, Irak, Suriah, dan sebagainya, yang
secara faktual jauh panggang dari api. Atau tuduhan klise bahwa akidah
Syiah bertentangan dengan Islam, Syiah punya Al-Quran sendiri, Syiah
mengkafirkan sahabat dan istri Nabi dan seterusnya. Bagi kalangan awam,
isu yang sangat potensial dikonsumsi tanpa konfirmasi itulah yang
kemudian dapat menjadi ancaman bagi persatuan umat Islam.
Bagaimanakah
kondisi riil hubungan antar pengikut kedua mazhab besar Islam ini di
berbagai negara, terutama di Timur Tengah yang selama ini selalu menjadi
bahan acuan pemberitaan media pengadu-domba antar sesama Muslim di
Tanah Air?
Untuk itu, tim ABI Press mulai
menggali informasi dari beberapa Muslim Sunni yang pernah berhubungan
langsung dengan Muslim Syiah di negeri Iran. Mengingat, Iran merupakan
negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim Syiah.
Salah satunya
adalah Muhammad Zuhdi Zaini. Pendiri Pimpinan Cabang Istimewa
Muhammadiyah (PCIM) Iran ini termasuk salah seorang Muslim Sunni yang
telah sekian lama hidup di negeri mullah itu. Kehadirannya di Iran dapat
dimaknai mewakili Muhammadiyah sebagai ormas Islam Sunni terbesar ke
dua di Indonesia.
Saat kami
konfirmasi, benarkah isu yang selama ini beredar bahwa kalangan Muslim
Sunni di Iran diperlakukan dengan cara yang tidak semestinya oleh
pemerintah setempat? Jika benar, kenapa bisa ormas Sunni bisa berdiri
dengan aman tanpa halangan di sana?
Kepada ABI Press Zuhdi
menegaskan bahwa isu penindasan Sunni di Iran hanyalah kabar yang
kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. “Bahkan di sana, setiap
komunitas memiliki perwakilan di parlemen, termasuk Sunni,” ungkapnya.
Berbeda dengan Indonesia, menurut Zuhdi, moralitas dan intelektualitas
di Iran sangat tinggi sehingga di sana lebih toleran. “Berbeda dengan
Indonesia yang moralitas dan intelektualitasnya rendah sehingga
menyebabkan intoleransi di mana-mana,” tambahnya.
Terkait
berdirinya PCIM di Iran sejak 2005 lalu, lazimnya perwakilan atau cabang
ormas dari negara lain, ia mengakui ada sedikit kendala pada awalnya.
Namun, setelah dia kenalkan ormas Muhammadiyah lebih jauh kepada
pemerintahan Iran, Muhammadiyah menjadi satu-satunya organisasi Sunni
dari Indonesia yang diterima di sana.
Adakah cerita terkait hubungan tidak harmonis antara penganut Sunni-Syiah di sana?
Ditanya soal
itu, Zuhdi justru menceritakan pengalaman pribadi yang menurutnya sangat
menarik saat menyelesaikan disertasi S3-nya tahun 2004 silam sebelum
PCIM berdiri di sana. “Anehnya, ulama yang menjadi dosen pembimbing
datang ke rumah saya, bukan saya yang mendatanginya. Dan ketika dia tahu
printer saya rusak, besoknya dia pula yang membawakan printer dari
rumahnya. Tidak hanya itu, waktu komputer saya rusak pun, besoknya dia
bawakan teknisi juga. Itu yang membuat saya heran,” ungkapnya.
Selain Zuhdi,
Fulan, salah seorang pelajar Iran asal Indonesia juga menegaskan bahwa
selama dia berada di negeri itu, tidak pernah sekalipun dirinya
menemukan Muslim Sunni dikucilkan di sana. “Di sini semuanya dianggap
sama, tidak ada yang dibeda-bedakan,” tuturnya.
Setidaknya,
penuturan dua orang Indonesia yang sudah sekian lama hidup dan bergaul
secara langsung dengan masyarakat Syiah di Iran, dapat menjadi data
pelengkap dari informasi terkait perkembangan masjid Sunni yang berhasil
kami dapat dari buku berjudul “Khidmat Republik Islam Iran terhadap
Minoritas Ahlusunnah” terbitan Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta,
2012 lalu.
Buku itu
menyebut pengaruh signifikan kemenangan Revolusi Islam Iran terhadap
berbagai aspek kehidupan masyarakat di sana, tak terkecuali di bidang
agama. Dalam hal ini, khususnya perlindungan terhadap hak-hak minoritas
yang mengalami kemajuan pesat sejak awal tumbangnya rezim otoriter Syah
Reza Pahlevi yang dibekingi Amerika itu.
Misalnya
tentang perkembangan jumlah masjid Sunni di Iran. Dari data yang diambil
dari buku terbitan ICC tersebut, tercatat ada 12.222 masjid Sunni di
sana. Angka itu jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah masjid Sunni
sebelum Revolusi Islam Iran. Salah satu contohnya di Provinsi
Kermanshah yang jumlah masjidnya sekarang ada 420, padahal sebelum
Revolusi Islam hanya berjumlah 123.
Tidak hanya
masjid, jumlah pengikut Ahlusunnah, guru agama dan pelajar Sunni di sana
pun mengalami peningkatan. Masih di Provinsi Kermanshah, setelah
Revolusi Islam, pengikut Ahlusunnah mengalami peningkatan tiga kali
lipat dari yang awalnya 123 jiwa menjadi 420 jiwa. Peningkatan itu pun
adalah salah satu bukti tak terbantah bahwa hak-hak Muslim Sunni di
negeri berpenduduk mayoritas Syiah ini juga sangat diperhatikan.
Nampaknya, isu
permusuhan Sunni-Syiah sedikit demi sedikit mulai terbantah, dan
harapan baru terwujudnya persatuan umat Islam mulai menampakkan titik
terang.
Hal itu yang
setidaknya dirasakan oleh Dr. Suryadinata, Pembantu Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia adalah salah satu
akademisi Islam bermazhab Sunni yang ingin menghadiri Haul Imam Khomeini
(ulama Syiah) di Iran akhir bulan ini.
Dalam perbincangan dengan ABI Press ia
mengaku, kehadirannya ke Iran adalah bentuk penghormatannya sebagai
sesama Muslim kepada tokoh besar pemimpin Revolusi Islam itu sekaligus
ingin menjawab rasa penasaran atas isu yang selama ini berkembang, yang
mengatakan bahwa Sunni selalu ditindas di negeri yang penduduknya
mayoritas Syiah itu. Itulah menurutnya salah satu bentuk upaya tabayyun seorang
Muslim agar tidak mudah percaya begitu saja dengan kabar yang beredar
tanpa konfirmasi, melainkan berupaya optimal mencari tahu sendiri
kebenarannya. (Malik/Yudhi)
Merah Putih Karbala
Karbala, kita mengenalnya sebagai medan
pertempuran antara kebenaran dan kebatilan. Tempat itu mendulang kisah
epik Al-Husein, kisah cucu kesayangan Nabi Muhammad yang memperjuangkan
nilai-nilai luhur kemanusiaan. Pengorbanan dirinya merupakan pembebasan
bagi seluruh umat manusia dari ketidakadilan.
Al-Husein menjadi martir di Karbala
setelah dibantai oleh pasukan Yazid karena telah mewariskan karakter
kakeknya dalam melawan kebatilan. Padang Karbala menjadi saksi
pengkhianatan terbesar sepanjang sejarah umat Islam yang dilakukan oleh
Yazid bin Muawiyyah terhadap Nabi Muhammad Saw.
Heroisme Al-Husein di Padang Karbala
menginspirasi banyak orang di seluruh dunia, khususnya bagi orang-orang
yang mempunyai jiwa merdeka. Sebuah perjuangan inspiratif, membangunkan
emosi orang-orang tertindas, membuat mereka berani menghadapi
ketidakadilan. Bersama dengan Al-Husein jiwa mereka terlepas dari
belenggu-belenggu kemunafikan untuk menegakkan keadilan.
Kisah epik ini ternyata telah membangun
peradaban baru bagi para visioner yang anti terhadap penindasan,
diktator, koruptor, intoleran, radikalisme dan segala macam bentuk
kezaliman yang dilakukan oleh rezim di negerinya. Mereka bangkit melawan
rezim tiran di negerinya atas kesadaran menjunjung tinggi nilai
keadilan demi mencari kemuliaan dan integritas.
Mega tragedi Karbala mengajarkan kepada
kita bahwa tujuan mulia itu memerlukan pengorbanan. Al-Husein
mengorbankan dirinya untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut dengan
menjaga kehormatan, kesetiaan dan segenap keberaniannya. Diluar menjaga
eksistensi kemurnian agama kakeknya dari tangan orang lalim, Yazid bin
Muawiyah, Al-Husein telah mengajarkan sebuah falsafah pengorbanan kepada
kita. Dari pengorbanan inilah yang menjadi api dalam membangun
peradaban manusia.
Keberanian Al-Husein memberi pengaruh
kepada Soekarno, Che Guevara, Ghandi dan Imam Khomaini untuk merevolusi
negerinya dari penjajahan kapitalisme. Revolusi mental yang diusung oleh
Presiden Jokowi juga merupakan rentetan dari revolusi yang dibangun
oleh Soekarno. Hikmah dari revolusi mental tersebut untuk mengajak kita
berpikir terbuka dalam kemajemukan, membangun peradaban bangsa yang
lebih baik, membebaskan skat-skat perbedaan dengan merangkul semua
agama, suku, ras dan antar golongan ke dalam bentuk Bhinneka Tunggal
Ika.
Al-Husein tidak pernah tunduk maupun iba
di hadapan pasukan Yazid, sebagaimana Soekarno pantang menyerah
menghadapi ancaman maupun gertakan para penjajah. Bung Karno membakar
semangat rakyat agar terbebas dari ketertindasan dan perbudakan demi
memuliakan bangsa Indonesia. Begitu pula bagi para revolusioner lainnya,
demi mengangkat derajat bangsanya mereka berani melawan orang-orang
lalim yang ingin menguasai negerinya.
Bendera Merah Putih yang melambangkan
kemerdekaan Indonesia terdapat kesamaan filosofis dengan perjuangan
Al-Husein di Karbala. Dalam perjuangan tersebut, terdapat bukti
filosofis yang sama, bagaimana gairah seseorang saat menemukan jati
dirinya untuk berkorban demi kemerdekaan. Sebagaimana kutipan terkenal
mengenai perjuangan Al-Husein, semua hari adalah Asyura dan semua tempat
adalah Karbala.
Putih yang melambangkan tujuan suci atau
kebenaran dan merah sebagai darah atau keberanian para pejuang, terdapat
jejak yang sama dengan para pejuang di Karbala. Jejak keberanian dan
niat tulus para pejuang di Karbala mempunyai implementasi yang sama yang
dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia. Mereka mengorbankan
dirinya menjaga tanah air demi memuliakan rakyat kecil yang ditindas
oleh para penjajah. Hal itu pula yang akhirnya membentuk ideologi
berbangsa dan bernegara.
Merah Putih di Karbala merupakan misi
suci dan darah Al-Husein sebagaimana jasmani dan rohani para pejuang
Indonesia yang dilambangkan ke dalam Bendera Merah Putih. Kesucian jiwa
membuat para pejuang tak gentar menghadapi pasukan penjajah, sedangkan
pengorbanan dirinya merupakan keberanian untuk membela kemerdekaan
Indonesia. Gugurnya Al-Husein di Karbala dengan gugurnya para pejuang
Indonesia mempunyai nilai yang sama dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Kesamaan dari kisah perjuangan Al-Husein
di Karbala dan perjuangan kemerdekaan Indonesia disimbolkan oleh
masyarakat Jawa. Sejak sebelum kemerdekaan masyarakat Jawa sudah
mengenal dengan tradisi Bubur Syura. Bubur ini disajikan tepat pada peringatan Asyuraan, yang
dikaitkan dengan peristiwa gugurnya Al-Husein, cucu Rasulullah, di
Padang Karbala. Bubur ini, umumnya, dihidangkan bersamaan dalam sebuah
piring kecil yang porsinya dibagi dua, yakni setengah untuk bubur merah,
setengah lagi untuk bubur putih, tradisi ini persis seperti
membentangkan Bendera Merah Putih.
Setelah kemerdekaan Indonesia tradisi itu
tetap berlangsung untuk mengenang para pejuang yang gugur. Umumnya
Bubur Merah Putih ini disajikan pada hari ke-10 bulan Muharram, namun
setiap tanggal 17 Agustus di beberapa daerah juga menyajikan Bubur yang
sama. Tradisi yang juga dikenal dengan Bubur Syura ini merupakan sajian untuk mengenang para pejuang yang memiliki keberanian menjunjung tinggi nilai kebenaran.
Bubur ini juga disimbolkan kepada para
pejuang yang membela Al-Husein di Karbala. Selain itu, di beberapa
daerah di Jawa Timur misalnya, tradisi Bubur Syura ini terdapat
kandungan filosofi lain, yaitu sebagai penghormatan kepada Al-Husein
yang telah membangunkan jiwa para pejuang bangsa Indonesia.
Bubur Merah Putih itu menjadi tradisi
penghormatan bagi para pejuang pemberani yang gugur di Indonesia maupun
di Karbala. Namun pada keyakinan kejawen Bubur Merah Putih ini diyakini
juga sebagai simbol kehidupan baru, umumnya bagi anak yang baru lahir
orangtuanya menyajikan Bubur ini.
Dengan demikian, filosofi Merah dan Putih
melambangkan kedaulatan bangsa Indonesia, yaitu lahirnya kehidupan baru
dengan kemerdekaan, makna lainnya merupakan lambang penghormatan
terhadap tujuan suci dan keberanian para pejuang penegak keadilan, dan
hal yang sama juga dilakukan oleh para pejuang di Karbala.
Sumber Berita : http://ikmalonline.com/merah-putih-karbala/
Re-Post by MigoBerita / Sabtu/23092018/12.45Wita/Bjm