Visi 'Nawacita' Diplesetkan, Oposisi Mentahkan Faktanya Sendiri.
Dengan kreatifitas yang terlampau dangkal, tema kampanye menyebarkan berita bohong alias h o a x adalah cara yang paling mudah dan disukai, namun menyesatkan, lebih-lebih bagi mereka yang miskin pengalaman.
Mereka yang ingin mendapatkan respon positif, didukung mayoritas (kalau pendukungnya minoritas, capeknya dapat, hasilnya nol),
tapi dengan sedikit menggunakan akal bulus. Masalahnya, bagaimana kalau
cara tipeng-tipengnya ketahuan ? Bukankah harus ditutup dengan
tipeng-tipeng berikutnya ? Atau paling tidak beri alibi yang kira-kira
masuk akal.
Sekarang tentu kita harus menampilkan fakta sebenarnya, agar berita mentah dan alot itu (tahu kan, apapun yang konotasinya mentah pasti masih alot..), dimentahkan dengan data faktual itu.
Sebagai jawabnya, tampak dari fakta sesungguhnya dapat ditampilkan data yang bersumber dari pemilik informasi resmi yakni BPS (Badan Pusat Statistik) :
Mari kita bahas berurutan dari poin no. 01 hingga terakhir 09, sesuai dengan urutan yang dibawa oleh pasukan Nawa Duka.
Hoax 01: 100 Juta penduduk miskin
Fakta :
Badan Pusat Statistik ( BPS) mencatat Indonesia mengalami titik
terendah dalam hal persentase kemiskinan sejak tahun 1999, yakni sebesar
9,82 persen pada Maret 2018. Dengan persentase kemiskinan 9,82 persen,
jumlah penduduk miskin atau yang pengeluaran per kapita tiap bulan di
bawah garis kemiskinan mencapai 25,95 juta orang. Sumber : Tingkat Kemiskinan 2018 Terendah.
Hoax 02 : 1% penduduk menguasai 50 % kekayaan negara.
Fakta :
Bank Dunia mengukur ketimpangan distribusi pendapatan suatu negara
dengan melihat besarnya kontribusi dari 40% penduduk termiskin.
Apakah
angka penguasaan 50% oleh 1% penduduk ada buktinya ? sulit dibuktikan,
karena tidak ada metode yang disebutkan. Tetapi untuk mengukur tingkat
ketimpangan versi ilmiah adalah dengan menggunakan Gini Ratio.
Dari
data survei BPS, angka ketimpangan pada tahun ini sebesar 0,389,
mengalami penurunan dibanding 0,391 pada tahun 2017. Metodenya jelas,
pemilik datanya pun jelas lembaga resmi.
Hoax 03 : Demokrasi terancam.
Fakta :
The Economist Intelligence Units (The EIU), sebuah perusahaan riset
bisnis dan ekonomi yang berbasis di Inggris, mempublikasikan hasil
survei mereka terkait indeks demokrasi di sejumlah negara di dunia pada
2017. Indeks demokrasi Indonesia pada 2017 menurun sangat signifikan.
"(Indeks demokrasi) Indonesia turun ke posisi 68 dari posisi
(sebelumnya) 48. Demokrasi Indonesia mengalami kemunduran setelah Pilkada Jakarta,"
demikian bunyi keterangan tertulis The EIU. Pertanyaan yang akan
menggugah kesadaran publik sebagai penyebab kemunduran tersebut :
Siapakah yang memicunya ? Dan apa yang terjadi di sekitar pilgub DKI
Jakarta ? Silakan berimajinasi.
Hoax 04 : Utang negara meroket.
Fakta :
Berdasarkan data Bank Indonesia utang luar negeri Indonesia pada akhir
April 2018 turun US$ 1,43 miliar (Rp 19,99 triliun) menjadi US$ 356,95
miliar (Rp 4.997,23 triliun) dari bulan sebelumnya. Untuk utang
pemerintah turun US$ 856,7 juta menjadi US$ 183,83 miliar dan swasta
turun US$ 570,97 juta menjadi US$ 173,12 miliar.
Yang
perlu diperhatikan adalah rasio utang terhadap PDB. Meskipun mengalami
kenaikan, rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih sekitar 34% dan jauh di bawah rasio utang pada 2005 yang mencapai 46%. Kesimpulannya, pemerintahan lalu lebih buruk dari era Jokowi dalam rasio utang terhadap PDB.
Hoax 05 : Pembangunan manusia merosot.
Fakta :
BADAN Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) Indonesia periode 2017 sebesar 70,81. Capaian itu meningkat 0,63
poin atau tumbuh 0,90% jika dibandingkan denganperiode 2016. "Dalam
kategori yang dibuat UNDP (United Nations Development Programme), IPM
Indonesia tahun 2017 dikategorikan tinggi karena berkisar antara 70
sampai 79,99," ujar Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di
Jakarta, Senin (16/4).
Mari kita bandingkan dengan masa pemerintahan SBY. Namun
yang paling mengejutkan adalah HDR 2011, yang menunjukkan bahwa
Perkembangan Pembangunan Indonesia mengalami kemrosotan secara drastic,
yaitu berada di peringkat 124. Padahal HDR 2010 menunjukkan bahwa
Indonesia berada di peringkat ke 108. sumber : Pembangunan Manusia Merosot.
Hoax 06 : Tingkat kebahagiaan anjlok.
Mengingat ada perubahan parameter pengukuran, BPS
melakukan survei menggunakan dua metode yang berbeda antara survei 2014
dengan tahun 2017. Dengan metode yang sama seperti di tahun 2014, indeks
kebahagiaan masyarakat Indonesia ditemukan sebesar 69,51. Sementara
pada 2014, indeks kebahagiaan sebesar 68,28. "Terjadi peningkatan indeks
sebesar 1,23 poin," tulis BPS.
Nah, setelah
diukur dengan metode tahun 2017 yakni memasukkan Dimensi Kepuasan Hidup,
Dimensi Perasaan (affect) dan Dimensi Makna Hidup (Eudaimonia), Indeks
Kebahagiaan Indonesia tahun ini sebesar 70,69 pada skala 0–100. Angka
ini diukur berdasarkan hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan
(SPTK). Sumber : Hasil Pengukuran Tingkat Kebahagiaan Meningkat.
Hoax no. 07 : Korupsi Merajalela
Fakta : Ruang untuk penanganan
korupsi porsinya merupakan kewenangan KPK, meskipun demikian pemerintah
mengambil peran sebagai katalisator dalam pencegahan korupsi. Fakta yang
ditemukan, menurut penelitian dilaporkan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
kembali dinilai menjadi lembaga yang paling korup oleh
publik. Setidaknya itu yang tertuang dari hasil survei yang dirilis
oleh Transparency International Indonesia (TII). Dari data Global
Corruption Barometer (GCB) 2017 versi Indonesia yang diterbitkan TII,
ada 54 persen responden yang menilai lembaga yang mewakili rakyat itu
sebagai lembaga terkorup. Survei GCB 2017 versi Indonesia dilakukan
dengan mewawancarai 1.000 responden usia 18 tahun ke atas yang tersebar
di 31 provinsi.
Penyebutan isu korupsi
seolah-olah menjadi dosa pemerintah, merupakan anggapan tendensius
mengingat lembaga di luar eksekutif terbukti menjadi lembaga yang paling
koruptif.
Hoax no. 08 : Perekonomian lesu.
Fakta : Pertumbuhan ekonomi yang
menurun bukan berarti turunnya perekonomian, jadi tidak tepat kalau
oposisi mengatakan ekonomi lesu. Indikasi tersebut bisa terjadi karena
untuk negara maju sendiri, ketika perekonomian masuk dalam tahap
ekuilibrium atau keseimbangan, maka pertumbuhannya akan melambat. Dan
penjelasan pemerintah untuk kasus pelambatan pertumbungan ekonomi, bisa
menggunakan anggapan seperti itu.
Boleh
dibandingkan, pada tahun 2009 yang mereka tidak lihat sebagai kelemahan,
justru pertumbuhannya di bawah era Jokowi, yakni sebesar 4,7 persen.
Sementara pada tahun 2014 di sana masih ada andil pemerintahan lama yang
perolehan pertumbuhannya juga berkisar di 5,03 yang lebih rendah dari
tahun-tahun berikutnya.
Hoax no. 09 : Oligarki meluas.
Fakta : Kalau oposisi
mengungkit-ungkit oligarki, bukankah mbahnya oligarki adalah Presiden
Soeharto yang tidak bisa dipisahkan dengan partai-partai pendukung
oposisi ?
Disampaikan profesor politik dari
Northwestern University Cichago, AS itu dalam ceramah 'Demokrasi Tanpa
Hukum: Indonesia Menghadapi Oligarki', di Ruang Senat Universitas
Hasanuddin, Makassar, Senin (18\/4\/2011). Menurut Winters, sistem
oligarki pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1970 yang dibangun
oleh Soeharto. Untuk memimpin sistem oligarki yang dibentuknya, Soeharto
berlagak layaknya seorang The Godfather yang membagi-bagi kekayaan alam
Indonesia pada kelompok-kelompok tertentu, sumber : Oligarki Marak di Masa Orba.
Jelas daftar tudingan yang disampaikan oleh oposisi melalui plesetan yang cukup sinis itu, kini berbalik menjadi serangan bagi dirinya sendiri.
Sumber Opini : https://seword.com/politik/visi-nawacita-diplesetkan-oposisi-mentahkan-faktanya-sendiri-SI_y5yMZi
Re-Post by MigoBerita / Sabtu/08092018/11.20Wita/Bjm