» » » » » » Belajar Politik dikasus Luar Negeri agar KITA paham artinya KEDAMAIAN..!!!

Belajar Politik dikasus Luar Negeri agar KITA paham artinya KEDAMAIAN..!!!

Penulis By on Rabu, 22 Mei 2019 | No comments

Venezuela dan Pelajaran Buat Indonesia
Rasanya geli sekali kalau membaca jubir lokal AS mengata-ngatai Chavez dan Maduro sebagai hipokrit: teriak-teriak anti-AS tetapi jualan minyak tetap ke AS; sambil menasehati netizen agar selalu berbaik sangka pada Elang Gundul.
Apakah bila suatu negara jual barang ke AS, artinya negara itu harus tunduk pada kemauan politik AS, tanpa syarat? Bahkan harus nurut saja ketika AS mendukung laki-laki-bodoh-entah-siapa-yang-tak-ikut pemilu sebagai presiden? Logika macam apa itu?
Venezuela jual minyak ke AS jelas karena ada kebutuhan dari pihak AS juga. Supply and demand. Ketika AS menolak membeli, dalam kondisi normal, Venezuela bisa cari pasar lain. Tapi situasi berbeda karena AS selalu memberi sanksi semaunya. [Hal serupa terjadi di Iran: AS melarang negara-negara lain –baik dengan bujukan atau ancaman—membeli minyak dan berinvestasi di Iran.]
Dan yang jelas, sanksi yang diberikan Trump adalah KECURANGAN: minyak Venezuela sudah/sedang masuk ke AS, tetapi uangnya tidak dibayarkan. Padahal uang itu sangat dibutuhkan Venezuela untuk membeli pangan dan obat-obatan.
Kisruh di Venezuela tidak bisa direduksi dari sisi perdagangan semata (apalagi diframing sebagai “bukti kemunafikan karena toh tetep jualan minyak ke AS”). 

Venezuela adalah kisah sebuah negara yang berupaya menerapkan sistem sosialisme, antitesis dari sistem kapitalis-neolib yang sedang dipaksakan Imperium (AS dkk) di muka bumi ini.
Tangan kotor AS untuk menggulingkan rezim sosialis Venezuela sudah terlihat sejak era Hugo Chavez. Sepanjang masa jabatan Chavez, kesejahteraan rakyat jelata semakin meningkat. Antara 1998, ketika ia pertama kali terpilih, hingga 2013 ketika ia meninggal, orang-orang yang hidup dalam kemiskinan turun dari 43% menjadi 27%. Kemiskinan ekstrem turun dari angka 16,8% menjadi 7%. Menurut UNESCO, tingkat buta huruf pun berhasil dihapuskan pada era Chavez (saat ia baru menjawab, hampir 10% warga buta huruf). Chavez mengadakan program-program pro rakyat kecil, seperti peningkatan gizi anak-anak, dana pensiun untuk orang tua, serta pendidikan dan kesehatan untuk orang miskin. Tak heran, HDI (Human Development Indeks) Venezuela naik ke kategori ‘tinggi’ pada era Chavez.
Chavez juga menggalang perlawanan negara-negara Selatan. Berbagai negara itu bersama-sama merebut kendali atas kekayaan sumber daya alam mereka dari perusahaan transnasional untuk mendanai program-program bagi orang miskin. Bahkan sejak 2006, Chavez memulai upaya mendirikan Banco del Sur (bank negara-negara Selatan) untuk melawan IMF dan Bank Dunia.
Langkah Chavez merupakan ancaman besar bagi Imperium. Chavez tidak boleh berhasil. Sebagaimana juga pemimpin negara-negara yang berani melawan Imperium, Chavez pun tak luput dari ancaman kudeta, pembunuhan, serta pembunuhan karakter. Pada tahun 2002 AS dengan menggunakan tangan kaum oligarki dan kalangan menengah ke atas Venezuela, menggalang aksi kudeta terhadap Chavez. Kudeta “demokratis” [istilah media Barat] itu berlangsung hanya dua hari. Chávez kembali ke kursi kekuasaan setelah kaum miskin turun ke jalanan memrotes rezim baru.
Wafatnya Chavez pada 2013 (yang kemungkinan besar dibunuh) memberi nafas lega pada Washington. Namun penerusnya, Maduro, rupanya mengikuti jejak Chavez, melanjutkan sistem sosialis dan menolak tunduk pada Barat.
Bulan Januari 2019, menyusul pelantikan Presiden Maduro (yang menang dalam pilpres Mei 2018) AS bermain semakin kasar. Washington secara terbuka mengakui pemimpin oposisi, Juan Guaido yang tak ikut pilpres, sebagai presiden baru dan bahkan merencanakan kudeta militer, di samping memperketat sanksi ekonomi. Alasannya: Maduro diktator dan pilpres dipenuhi kecurangan. Padahal, pemilu diawasi oleh empat komite pengawasan internasional dan media terkemuka AS, Forbes, bahkan menulis “The system Venezuela uses has some of the most advanced and voter-friendly security features in modern elections.”
Bila alasan AS menegakkan demokrasi dan menggulingkan ‘diktator’; mengapa Washington tetap mendukung rezim Saudi yang monarkhi dan memenggal tokoh-tokoh oposisi? FYI, capres lawan Maduro bernama Falcon; dia bebas berkampanye di seluruh pelosok negeri dengan mengata-ngatai kinerja Maduro dan menyebutnya ‘diktator’. Kalau ini terjadi di Saudi, bakal ada Khashoggi kedua.
Bila Maduro yang ‘hanya’ dipilih oleh 31% dari pemilih dianggap tidak dipilih secara demokratis, bagaimana dengan Obama yang dulu tahun 2008 juga hanya meraup 31% suara dan pada 2012 hanya 28%; serta Trump yang hanya mendapatkan 26 % suara pada 2016? Sistem pilpres di AS sama sekali tidak demokratis karena diberlakukan sistem elektoral, sehingga peraih suara mayoritas pun tetap bisa kalah karena kalah di hitungan elektoral.
Setahun sebelum pilpres, AS sudah menghajar Venezuela dengan saksi ekonomi, yang menyebabkan negara sosialis itu mengalami krisis ekonomi yang sangat parah. Ini juga menjadi faktor mengapa suara untuk Maduro relatif kecil.
Skenario sanksi/embargo pernah dilakukan AS di Irak. Bertahun-tahun sebelum AS menginvasi Irak tahun 2003, AS mengenakan sanksi sehingga ratusan ribu anak tewas akibat kekurangan pangan dan obat-obatan. Menlu AS saat itu, Albright, berkomentar bahwa ‘tewasnya 500.000 anak Irak itu ‘setimpal dengan hasil yang hendak dicapai’. Ketika Irak sudah benar-benar limbung, tentara AS pun menyerbu dan bercokol di sana sampai kini.
Kini, arsitek perang Irak, John Bolton, menjabat sebagai Penasihat Keamanan Nasional AS. Dalam wawancara dengan Fox News, ia mengakui bahwa dukungan AS pada kudeta ilegal di Venezuela adalah karena minyak. [FYI, Venezuela dalam pemilik cadangan minyak terbesar di dunia]
Para jubir neolib dan jubir lokal AS di berbagai negara biasanya akan menutup-nutupi peran penting AS dalam konflik ini. Bagi mereka, yang salah tentu saja sistem ekonomi sosialis yang sudah usang, yang tak layak lagi diterapkan di era neolib global ini.
Anggaplah benar Maduro seorang presiden yang tak becus mengurus ekonominya. Tapi bukankah Obama pun dulu menghadapi krisis keuangan yang parah di 2008? Apakah pada saat itu, AS mau terima bila Rusia atau China membiayai kelompok oposisi untuk menggulingkan Obama; untuk mengangkat presiden baru semena-mena tanpa pemilu?
Anggaplah benar, Maduro tak becus mengurus ekonomi. Tapi ketidakbecusan ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menggalang dukungan asing untuk mengkudeta pemerintahan yang sudah dipilih dalam pemilu.
Selain itu, apakah ketidakbecusan dalam mengurus ekonomi bisa disamakan dengan diktator? Mengapa tidak ada yang mengata-ngatai rezim di Yunani yang mengalami krisis ekonomi sangat parah sebagai diktator?
Terakhir, apa hikmahnya buat Indonesia?
Yang jelas, dimana ada pemimpin mulai mbalelo melawan Imperium atau mendekat ke China dan Rusia (padahal seharusnya dilihat dari aspek dagang saja: kalau harga lebih murah, kenapa ditolak?), pastilah ada kelompok tertentu yang nyinyir dan menggalang kekuatan politik untuk melawannya.
Jadi, silahkan lihat siapa yang nyinyir soal divestasi Freeport dan perusahaan-perusahaan minyak yang sebelumnya dikuasai ‘asing’? Soal perjanjian Indonesia-Swiss sebagai upaya agar bisa mengambil lagi uang negara yang dikorupsi? Soal Papua?
Skenario Venezuela bisa dicopas di manapun: bila presiden yang terpilih tak dikehendaki Imperium, lawannya akan heboh memainkan kartu ‘pilpres curang’, sabotase ekonomi agar rakyat menjerit, dan seterusnya. Jadi, ada baiknya kita waspada dan tidak mudah percaya pada kata-kata jubir lokal AS.

(Lagi-Lagi) Ada Israel di Balik Venezuela
Ada berita yang dirilis media Israel sekitar 2 hari yll (dan sudah diberitakan ulang oleh MSM, dan diterjemahkan oleh media-media di Indonesia): “presiden jadi-jadian” Venezuela, Juan Guaido menyatakan akan ‘menstabilkan kembali hubungan Venezuela-Israel’. Israel, yang mengaku negara paling demokratis di Timteng, sudah mengakui Guaido sebagai ‘presiden’ Venezuela, padahal Guaido mendeklarasikan diri sendiri sebagai presiden, tanpa melalui pemilu.
Sungguh ini pembuktian pernyataan saya dan banyak pengamat Timteng lainnya (yang bukan ‘jubir lokal AS&Israel, tentu saja) bahwa dalam banyak sekali konflik di muka bumi ini [termasuk di Indonesia], ada tangan-tangan Israel. Biasanya, pernyataan ini akan segera ditertawakan oleh para jubir lokal AS&Israel, disebut sebagai ‘teori konspirasi’. Padahal yang disebut teori konspirasi itu adalah ketika kita ‘mencocok-cocokan’ tanpa data. Kalau ada data yang valid tentu tidak bisa disebut ‘teori konspirasi’.
Tapi, lagi-lagi, biasanya, apapun data yang kita kasih akan direndahkan, ditolak, atau diabaikan oleh mereka ini, apalagi bila sumber infonya bukan MSM (mainstream media/media arus utama, contoh, CNN, New York Times, Fox, dll). Atau, kalau perlu, sekalian jatuhkan (hina) kredibilitas si penulis yang melawan mereka. Memang demikianlah SOP (standar operating procedur) mereka ini.
[Lucunya, cara mereka ini persis sama seperti kaum radikalis pendukung ‘mujahidin’ Suriah (ISIS, Alqaida, dkk), tanya kenapa?]
Ada sangat banyak informasi yang sengaja tidak diberitakan MSM, tapi diberitakan oleh media alternatif. Adalah sebuah falasi ketika dikatakan “yang memberitakan media tak terkenal, bukan MSM, maka dipastikan tidak valid” (silahkan baca tulisan saya sebelumnya soal falasi). Sudah berkali-kali terungkap berbagai disinformasi, bahkan hoax, yang dilakukan MSM. Bukan berarti kita harus mengabaikan apapun yang ditulis MSM, tetapi kita harus cermati data yang diberikan, siapapun yang memberitakannya. Atas berita dari media alternatif pun perlu sikap kritis. Cross-check berbagai sumber, plus menggunakan logika, adalah cara terbaik dalam menelaah berita.
Nah, kembali ke Venezuela. Mungkin belum banyak yang tahu, mendiang Hugo Chavez adalah umat Kristiani yang teguh membela Palestina. Pada tahun 2009, Venezuela memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel sebagai protes atas “Operasi Menuang Timah” (Cast Lead Operation) Israel, dimana tentara Israel membombardir Gaza selama 3 pekan 27 Des-18 Jan 2009. Menurut B’Tselem (ini lembaga HAM Israel yang mengecam penjajahan Israel atas Palestina), jumlah warga Gaza yang tewas totalnya 1398, di antaranya 345 anak-anak. Selain itu, infrastruktur Gaza juga hancur lebur, termasuk rumah, pabrik, dan sekolah.
Pada tahun 2010, Chavez pernah menyatakan bahwa Israel mendanai kelompok-kelompok oposisi di Venezuela dan bahkan Mossad pernah melakukan percobaan pembunuhan terhadapnya.
Sungguh ini sebuah fakta yang menarik: Venezuela, negara mayoritas Kristiani, memutuskan hubungan dengan Israel, sementara Turki dan negara-negara Arab lainnya malah berbaik-baik dengan Israel [meski Erdogan sering orasi mengecam Israel, tetapi Kedubes Israel tetap aman di Turki].
Di saat yang sama, keberadaan lembaga seperti B’Tselem juga menjadi bukti bahwa (segelintir) orang Israel pun paham bahwa pemerintah mereka melakukan kejahatan kemanusiaan. Inilah salah satu bukti bahwa pembelaan terhadap Palestina adalah masalah nurani, bukan kebencian agama atau radikalisme [seperti ejekan para jubir lokal AS&Israel].
Bahwa ada kelompok-kelompok radikal yang aktif demo dan menggalang dana untuk Palestina, justru harus dikritisi: kalau benar mereka bela Palestina, mengapa mereka malah beramai-ramai ingin menggulingkan pemerintahan yang selama ini terdepan melawan Israel [karena wilayahnya berbatasan langsung dengan Israel], yaitu Suriah? Mengapa mereka juga melakukan aksi-aksi teror di Indonesia dan menyebarkan kebencian kepada golongan yang mereka sebut ‘kafir’?
Jawabannya: elitnya sebenarnya tak lain dari proxy AS-Israel, sementara bawahannya terdoktrin dan tak mampu berpikir kritis. Keberadaan mereka memberi dalih bagi para jubir lokal AS&Israel untuk mendiskreditkan Islam [memframing bahwa kelompok-kelompok teror semata-mata bekerja sendiri karena doktrin agama, dan menutupi peran AS&Israel].
Terakhir, semoga paham ya, mengapa ada banyak orang/netizen yang inkonsisten: ada kubu yang sok-sokan antiradikalisme dan antiterorisme tapi di saat yang sama membela terorisme Israel, bahkan mengecam pemerintah Indonesia yang selalu konsisten membela Palestina; ada pula kubu yang sok-sokan mau jihad membela Palestina, tapi malah dukung teroris di Suriah. Inkonsistensi akut ini menunjukkan siapa mereka sebenarnya.

Catatan:
1.Berita tentang Guaido&Israel: https://www.timesofisrael.com/venezuelan-challenger-guaido-says-hes-working-to-renew-ties-with-israel/
2.Yang menyebut Israel sebagai organisasi teroris paling canggih di dunia adalah penulis&aktivis Israel, Miko Peled. Videonya bisa dilihat di sini: https://www.facebook.com/cerdasgeopolitik/videos/1860912234016687/
3.Peran AS dan Israel dalam konflik Suriah, bisa dibaca di banyak tulisan saya di fanpage ini, atau di buku saya ‘Prahara Suriah’ dan ‘Salju di Aleppo’
4. Mengapa Kita (Indonesia) Harus Membela Palestina, jawabannya ada di sini: https://dinasulaeman.wordpress.com/2017/08/01/tentang-palestina-3-mengapa-orang-indonesia-harus-membela-palestina/
5.FB&Twitter akhir-akhir ini telah memblokir ribuan akun yang aktif melawan Barat [tuduhannya: terlink dengan Iran&Rusia&Venezuela]; jadi kalau sebentar lagi Fanpage ini juga hilang mendadak (setelah akun saya juga hilang misterius), tulisan saya bisa dibaca di blog: http://www.dinasulaeman.wordpress.com.

Israel di Balik Kisruh Venezuela (2)
Kudeta (gagal) di Venezuela awal 2019 ini dipimpin oleh Presidan AS, Donald Trump dan kubu neokonservatif (neocon) AS. Kubu ini awalnya tidak menyukai Trump, namun kini mereka kembali mendominasi arah kebijakan luar negeri AS.
Apa itu kubu neocon? Ini adalah kelompok elit di pemerintahan AS yang punya tujuan ideologis menjaga keamanan Israel. Pakar HI, Robert Gilpin, pernah menulis artikel jurnal berjudul “War is Too Important to Be Left to Ideological Amateurs’ [Perang terlalu penting untuk diserahkan kepada amatir ideologis] blak-blakan menyatakan bahwa arsitek perang Irak adalah kelompok neocon yang bertujuan untuk melakukan “restrukturisasi radikal atas relasi geopolitik di kawasan dengan tujuan untuk menciptakan keamanan jangka panjang bagi Israel.”
Itu kan perang Irak, apa kaitannya dengan Venezuela? Nah, itulah mengapa dipakai istilah ‘ideologi’: ideologi neocon adalah ideologi perang demi Israel, namun sejalan dengan itu, ada uang besar yang bermain dalam industri perang. Kelompok neocon yang berlumuran darah di Irak, Libya, Yaman, dan Suriah, dan sejak 40 thn yll berupaya menumpahkan darah di Iran, adalah kelompok yang sama yang secara terbuka melakukan upaya kudeta di Venezuela.
Peran neocon diungkap oleh media AS, Wall Street Journal (25/1), yang melaporkan bahwa Bolton, Pompeo, dan Pence [tokoh-tokoh neocon] melakukan perundingan dengan kelompok oposisi Venezuela. Malam sebelum Guaido mengangkat dirinya sendiri sebagai ‘presiden interim’, Wapres Pence menelpon Guaido menjanjikan dukungan AS. Esoknya, Guaido (23/1) melakukan deklarasi dan Trump memberikan pernyataan ‘mengakui Guaido sebagai pemimpin sah Venezuela dan Maduro –yang menang pilpres- bukan lagi pemimpin negara itu’.
Selanjutnya, Menlu Pompeo mengumumkan bahwa Elliot Abrams ditunjuk sebagai utusan khusus pemerintah AS untuk menangani krisis Venezuela.
John Bolton, arsitek perang Irak, dan saat ini menjabat sebagai Penasihat Keamanan Nasional AS menulis di Twitternya (25/1), “Pleased to hear that my good friend Elliott Abrams is rejoining State as Special Envoy for Venezuela. Welcome back to the fight.”
Bolton menyebut ‘rejoining’ (bergabung kembali) karena Abrams sebelumnya memang pengkritik Trump. Tapi kini ketika Trump menuruti kemauan neocon, Abrams bersedia bergabung untuk ‘berjuang’ (=berperang).
Pada 28 Jan, Bolton diwawancarai Fox News dan mengatakan: “Kami sedang berbincang dengan perusahaan-perusahaan besar Amerika sekarang… Akan terjadi perubahan besar bagi ekonomi AS jika kita bisa meminta perusahaan-perusahaan Amerika berinvestasi dan memproduksi minyak di Venezuela.”
Artinya: Bolton mengakui bahwa dukungan AS pada kudeta Venezuela adalah karena minyak. [Venezuela dalam pemilik cadangan minyak terbesar di dunia].
Lalu, siapa Abrams? Media Israel menulis, “He is known for his closeness to the Israeli establishment and the pro-Israel community, and is close to Israeli Prime Minister Binyamin Netanyahu.” [Dia dikenal karena kedekatannya dengan Israel dan komunitas pro-Israel, dan dekat dengan Perdana Menteri Israel Binyamin Netanyahu.]
Jadi, selain punya rekam jejak sebagai arsitek genosida Amerika Latin [lihat video yang saya share kemarin], ideologi utama Abrams adalah menjaga keamanan Israel. Pada Des 2016, karena Obama ‘membiarkan’ resolusi anti-Israel lolos di DK PBB, Abrams menulis artikel yang isinya habis-habisan mengecam Obama, menyebut resolusi itu ‘warisan Obama yang memalukan dan berbahaya bagi Israel’. Padahal isi resolusi itu mengecam pembangunan permukiman illegal Israel di atas tanah warga Palestina, yang memang melanggar hukum internasional.
Bahwa Abrams adalah neocon dan mendukung penuh Israel juga ditulis oleh MSM, New York Times, “Mr. Abrams, a neoconservative with strong ties to Mr. Cheney, has pushed the administration to throw its support behind Israel.”
Lalu apa kaitan kubu neocon AS – Israel – Venezuela?
1. Ideologi kubu neocon adalah perang demi Israel, namun seiring dengan itu mereka juga meraup uang dari industri perang. Kubu neocon pada dasarnya berupaya mengeruk uang sebanyak mungkin dari uang pajak rakyat AS untuk membiayai proyek-proyek perang mereka. Tanpa perang di luar negeri, ATM mereka bisa mengering. Seiring dengan itu, perusahaan-perusahaan raksasa yang sahamnya dikuasai Zionis mengambil untung jauh lebih besar lagi dari perang dan minyak.
2. Venezuela, sejak era Chavez telah menjadi pusat perlawanan terhadap imperialisme neocon/Barat. Venezuela menjadi pembela utama Palestina dan menjadi pusat gerakan pro-Palestina di kawasan Amerika Latin. Dampaknya, dalam berbagai pemungutan suara di PBB beberapa tahun terakhir, negara-negara Amerika Latin mendukung keputusan-keputusan yang pro-Palestina. Pada tahun 2009, ketika Israel secara brutal membombardir Gaza, Chavez memutuskan hubungan dengan Israel.
Dalam wawancaranya dengan media Hezbollah, Al Mayadeen, Maduro menegaskan kecintaannya pada Palestina. Ia menyebut Juan Guaido sebagai “agen CIA yang melayani kepentingan Amerika Serikat dan Zionis”.
3. Setelah Netanyahu memberikan dukungan kepada Guaido, Guaido berjanji akan menormalisasi hubungan Venezuela-Israel. Guaido juga mencuit ala ZSM, “74 tahun yang lalu, kamp konsentrasi Auschwitz dibebaskan, dan hari ini, negara kami juga berjuang untuk kebebasan, kami berterima kasih kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu atas pengakuan dan dukungannya.”
Lalu bagaimana sih akhir konflik ini? Sementara ini, bisa disimpulkan bahwa kudeta neocon telah gagal. Penyebab utamanya adalah karena militer Venezuela tetap setia kepada tanah airnya (tidak mau tunduk pada neocon AS dan kompradornya). Tapi krisis ekonomi terus berlanjut. Sementara ini, Venezuela punya teman (Rusia, dll) yang mau memberi bantuan logistik (makanan, obat-obatan). Presiden Maduro sedang mengupayakan dialog nasional dan dikabarkan telah meminta bantuan kepada Paus di Vatikan untuk memediasi. []
dll.
Foto: demo warga Venezuela mendukung Palestina

Diplomasi Zaman Now vs Diplomasi Era Zadoel
Debat Keempat Pilpres kemarin saya ikuti dengan seksama karena temanya cocok dengan bidang studi saya, Hubungan Internasional. Ada hal yang menarik untuk ditelaah, soal diplomasi dan ‘kepentingan nasional’.
Pertanyaan dari panelis adalah, “…Keberhasilan dalam diplomasi internasional tergantung pada kemampuan negara menawarkan keunggulannya kepada negara-negara lain. Keunggulan tersebut bisa dalam bentuk kebudayaan, ekonomi, pertahanan, dan gagasan solutif. …Menurut Bapak apa keunggulan bangsa Indonesia yang akan ditawarkan dalam diplomasi internasional dan bagaimana strategi utk mewujudkannya?
Jawaban Presiden Jokowi, keunggulan kita adalah “Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.”
Hal ini direspon Capres Prabowo bahwa diplomat asing itu “menghitung kekuatan kita”. Yang dimaksud Prabowo adalah kekuatan militer, karena selanjutnya yang disebutnya adalah ‘berapa kapal selam, pesawat, peluru kendali yang kita punya?’
Dalam tulisan singkat ini, saya hanya ingin menjelaskan bahwa secara paradigmatik, kedua tokoh ini berbeda bagai bumi dan langit.
Diplomasi ala Prabowo (yang memandang bahwa kekuatan militer adalah kunci kemenangan diplomasi) adalah diplomasi old school, alias zadoel (zaman-doeloe), atau kalau ini disampaikan para penstudi HI, berarti rujukannya masih buku Morgenthau yang terbit tahun 1948, Politics Among Nations.
Dalam buku itu, Morgenthau memang masih melihat bahwa diplomasi dilakukan untuk mencegah perang; kalau gagal berdiplomasi, resikonya perang. Ya iyalah, tahun 1948, gitu loh. Zaman itu, aktor [=pelaku, bukan ‘bintang film’] diplomasi memang negara saja. Diplomasi zadoel dilakukan oleh sekelompok elit di balik pintu tertutup (istilahnya: club diplomacy, orang elit saja yang bisa gabung). Di balik pintu tertutup, tentu bisa diduga, negara kaya/kuat akan menekan negara miskin/lemah dengan bujukan atau ancaman. Seperti kata Morgenthau: “diplomasi menggunakan kompromi, bujukan, atau bahkan kadang-kadang ancaman kekerasan untuk mencapai tujuannya.”
Seperti ditulis Andre F Cooper dkk (2013), esensi diplomasi sebenarnya menjalin hubungan di antara aktor-aktor internasional dengan cara-cara damai. Menurut Cooper, di zaman now, ketika dunia semakin mengglobal dan semakin border-less (karena manusia sudah sangat mudah berinteraksi satu sama lain), diplomasi sudah tidak lagi melulu urusan perang & damai, tapi sudah meluas ke isu-isu kesehatan, lingkungan, pembangunan, sains&teknologi, pendidikan, hukum, dan bahkan seni.
Aktor diplomasi juga bukan lagi sebatas negara (state), melainkan juga IGO, NGO, MNC, dan civil society. Diplomasi era ini diistilahkan dengan network diplomacy.
Nah, jawaban yang diberikan Presiden Jokowi menunjukkan paradigma diplomasi zaman now ini. Karena fokusnya bukan perang lagi, pilar utama kekuatan diplomasi di era modern ini adalah manusia, bukan senjata.
Kesadaran bahwa Indonesia bangsa yang besar dengan populasi Muslim terbesar di dunia adalah kekuatan yang dahsyat dalam berdiplomasi. Misalnya, di hadapan Saudi dalam kasus-kasus penyiksaan TKW, para diplomat seharusnya bisa menekan Saudi karena “Kami ini negara Muslim terbesar lho, penyumbang devisa yang paling besar untuk Saudi dalam bisnis haji&umroh. Anda yang rugi kalau hubungan kita rusak, jadi hormati warga kami!”
Atau, bisa menekan negara asing produsen makanan untuk memperhatikan kehalalan produk yang akan mereka jual di Indonesia. “Kalau tidak halal, kami larang masuk!” Tidak perlu kapal selam. Ketakutan kehilangan pasar ratusan juta warga Muslim sudah bisa bikin lawan mengkeret.
Kesadaran bahwa Indonesia adalah bangsa Muslim terbesar, dapat menjadi modal besar bagi para diplomat kita saat berbicara di forum OKI dan membantu Palestina, Rohingya, dan Afghanistan. Kita ini punya “legitimasi moral” untuk melawan Israel yang terus melakukan perampasan tanah&rumah, penahanan, bahkan pembunuhan terhadap warga Palestina; untuk membela warga Muslim Rohingya; untuk menjadi mentor bagi Afghanistan dalam upaya penyelesaian konflik internalnya.
Mungkin ada yang bertanya: ah, ngapain bantu negara orang melulu? Yang harus diutamakan itu kepentingan nasional!
Lho, kata siapa membantu Palestina, Rohingya, dan Afghanistan bukan kepentingan nasional kita?
Kepentingan nasional itu, selain itung-itungan keamanan&ekonomi, juga kepentingan memperjuangkan nilai-nilai yang kita anut di kancah internasional. Amanah UUD kita adalah “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Dari upaya menjaga perdamaian dunia itu, peluang keuntungan ekonomi pun bisa didapat. Ibaratnya sebuah perusahaan, ngapain sih harus mengeluarkan dana CSR? Tentu agar tercipta image sebagai perusahaan yang peduli rakyat, bukan perusahaan rakus dan egois. Dampaknya, perusahaan itu akan disukai dan diterima baik oleh publik. Dan dana yang keluar pun akan ‘balik modal’ seiring dengan semakin berkembangnya perusahaan tersebut.
Itu pula di antara kepentingan nasional kita dalam berdiplomasi. Secara teori, negara-negara yang kita bantu akan memberi konsesi ekonomi, ketika badai sudah berlalu.
Khusus untuk Palestina, saya sudah pernah jelaskan, selama Rezim Zionis masih menjajah Palestina, dampak negatifnya (secara ekonomi) pun akan terus dirasakan oleh Indonesia. Baca saja tulisan saya soal ini**, kepanjangan kalau ditulis ulang.
Demikian sedikit ulasan soal diplomasi 🙂

Khilafah, Khalifah, Hoax, dan Terorisme
Saat ada adu tagar pro 01 vs 02 pasca Debat IV Pilpres, di antara berbagai tagar yang trending, saya melihat ada tagar yang beda sendiri: “Islam Damaikan Dunia”. Saya buka cuitan-cuitan dengan tagar ini, ternyata secara bersamaan mereka membawa tagar: Rindu Pemimpin Cinta Islam, Khilafah Ajaran Islam, Haram Pemimpin Anti Islam.
Tak salah lagi, mereka rupanya orang-orang HTI.
Yang menarik di sini: HTI menolak sistem demokrasi (pemilu), tetapi menunggangi pilpres 2019 dengan mendorong para pemilih agar tidak memilih ‘pemimpin yang anti Islam’.
Yang ingin saya bahas kali ini adalah hal-hal fundamental (sangat melibatkan akal sehat/logika) soal jargon-jargon HTI ini.
Begini, ada yang disebut ‘etimologi’ (asal kata), ada ‘terminologi’ (peristilahan).
Beberapa hari yll, Prof Din Syamsuddin bikin press-rilis, yang intinya menyatakan bahwa ‘khilafah adalah ajaran Islam, ada di Quran’. Lalu, dibantah oleh Prof Nadirsyah, intinya,, yang ada di Quran itu ‘khalifah’, bukan ‘khilafah’ dan keduanya adalah kata yang berbeda.
Lalu para netizen pro HTI pun heboh menanggapi, antara lain, “Ya kalo ada khalifah, pasti ada khilafahnya dong!” lalu berbusa-busa menjelaskan makna kata khalifah/khilafah.
Nah, yang kayak gini adalah perdebatan etimologi (asal kata).
Di Quran, menurut banyak ahli tafsir, kata ‘khalifah’ berarti wakil Allah di muka bumi. Yang dimaksud adalah: semua manusia seharusnya berperilaku sebaik-baiknya di muka bumi ini karena ia sejatinya adalah wakil Tuhan.
Sementara ketika kita bilang ‘khilafah’, kita sedang merujuk pada istilah, pada satu sistem tertentu, atau pada ISIS (ISIS juga menyebut diri ‘khilafah’). Ini disebut: terminologi.
Jadi, saat berdiskusi, biar ga pening kepala melawan para anggota/simpatisan HTI, Anda sebaiknya pahami bahwa mereka sedang berusaha memainkan ‘etimologi’ (asal kata) sementara kita (kaum moderat) sedang bicara di tataran terminologi (definisi istilah).
Problemnya, ada orang yang konon pakar filsafat dan punya jargon ‘akal sehat’, hobi sekali membangun terminologi versinya sendiri.
Misalnya, saat dia bilang, “Al Quran itu fiksi”, dia membela diri, “Tapi fiksi menurut makna saya!”
Saat dia bilang “Saya ini ngibul”, dia berdalih, “Ngibul yang saya maksud itu beda!”
Perilaku orang ini diistilahkan ‘mendekonstruksi makna’. Saat mendengar kata ‘fiksi’, manusia normal umumnya akan ingat pada ‘novel’ (kisah khayalan). Jadi ketika ada yang mengatakan ‘Al Quran itu fiksi’, wajar kalau sebagian umat Islam protes, enak saja Kitab Suci kok disebut fiksi!
Nah orang yang suka mendekonstruksi makna seenaknya itu sebenarnya sangat melawan dasar-dasar logika (=akal sehat). Pembahasannya panjang tapi menarik, bisa baca di sini [1].
Jadi, kalau ada yang songong bilang “pakai akal sehat!”, kita perlu tanya, akal sehat yang mana? Oh, ternyata akal sehat menurut terminologinya sendiri… 😀
Melawan orang semacam itu gampang. Anda caci maki saja dia: kamu itu penjahat, maling! Lalu, kalau dia marah, jawab saja, “Lho, sabaaar.. yang saya maksud dengan kata penjahat itu…” (silahkan bikin makna sendiri sengawur-ngawurnya).
Balik lagi ke khilafah.
Jadi, saat kita bicara soal khilafah (dalam kasus pembubaran HTI), kita sedang bicara di tataran terminologi. Kalau pemerintah membubarkan HTI, itu, juga sangat jelas: yang dibubarkan adalah ormas yang menolak sistem NKRI berdasarkan Pancasila&UUD 45. Bukan Islam-nya.
Kita sedang merujuk pada khilafah yang diusung HTI, bukan kata ‘khalifah’ yang ada di Quran. Secara linguistik, khilafah versi HTI itu sudah mengalami proses penyempitan makna, menjadi sebuah ideologi antidemokrasi, menghalalkan radikalisme, mengadopsi takfirisme, dan bahkan dalam banyak kasus, menghalalkan hoax demi mencapai tujuan mereka.
Buktinya? Kalau terkait pilpres Indonesia, sebagian Anda sudah tahulah. Kalau dalam perang Libya dan Suriah, HTI pun sudah membuka topengnya: mengklaim ormas damai tapi mendukung kekerasan untuk menumbangkan pemerintahan dan berupaya mendirikan khilafah versi mereka.
HTI menjadi cheerleader di Indonesia yang sangat aktif dalam menyerukan jihad Libya dan Suriah. Pada Januari 2013, HTI bahkan sangat optimistis menyatakan bahwa “khilafah di Suriah sudah dekat”.
Hafidz Abdurrahman, Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI, menyatakan, proses berdirinya khilafah di Suriah bisa dipercepat dengan “…melumpuhkan kekuasaan Bashar. Bisa dengan membunuh Bashar, seperti yang dilakukan terhadap Qaddafi, atau pasukan yang menopang kekuasaan Bashar.” [2]
Dari sini terlihat bahwa metode yang diusung HTI dalam mendirikan kekhalifahan adalah metode destruktif. Hasilnya sudah kita lihat: Libya & Suriah porak-poranda.
Blog, fanpage, dan buku saya merekam berbagai hoax yang disebarkan anggota/simpatisan HTI dan ormas-ormas lain pro-jihad palsu (antara lain: hoax ‘Sunni dibantai Syiah’).
Gara-gara semua hoax itulah, api kebencian antarumat semakin merajalela sampai sekarang. Lalu, banyak orang terprovokasi untuk bergabung dengan ISIS dan Al Qaida (mungkin saja mereka ini bukan anggota HTI, karena hoaxnya menyebar sangat luas). Bila tidak bisa ke Suriah, bom pun mereka ledakkan di negeri sendiri.
Nah di sini, Anda bisa lihat kan, hoax sangat berkaitan dengan terorisme.
Trus? Ah, sekian dulu deh, udah terlalu panjang 🙂

NB: Sekedar info, banyak yang seiring-sejalan narasi&perilakunya dengan HTI dalam kasus hoax&jihad Suriah. Google saja, ormas/partai/lembaga donasi mana yang suka bawa bendera FSA/AlQaida/ISIS dan memuji ‘mujahidin’.

Foto: anak-anak di Kamp Zaatari (perbatasan Suriah-Yordania)

Khilafah in Context
Salah satu tips penting agar kata-kata Anda berdampak pada audiens: katakan/tulislah sesuatu yang ada konteksnya. Dengan kata lain, hantarkan tulisan dengan konteks yang langsung nyambung dengan audiens.
Misalnya, ibu ingin menasehati anak agar rajin belajar. Nasehati ia saat ada konteksnya, misalnya si anak sedang tergila-gila pada Gundam dan ingin sekali bisa kuliah di Jepang. “Belajar yang rajin dari sekarang, biar dapat beasiswa!”
Sebaliknya, penulis/pembicara pun harus menyadari bahwa audiens akan menangkap perkataan mereka sesuai dengan konteks yang ada. Jangan salahkan kalau tulisan Anda ditangkap berbeda, karena Anda yang tidak sadar konteks.
Contohnya, ada seorang ustadz 212 yang baru-baru ini saja bicara soal jahatnya hoax. Dia juga menyeru kedua kubu baik 01 dan 02 jangan saling ejek atau saling hina. Dia kasih nasehat soal akhlak, dan bahwa perilaku para politisi sekarang ini merupakan pelanggaran atas ayat 11 dan 12 surah Al-Hujurat. Well, perkataannya bagus. Tapi konteksnya sudah telat.
Kemana saja dia, ketika ada kemarin-kemarin ada hoax-hoax jahat tersebar? Setahu saya, dia tidak memberi komentar soal hoax penganiayaan RS atau hoax 7 kontainer.
Akibatnya, kata-katanya yang baik dan benar itu “ke laut aja”, tidak berdampak pada audiens, bahkan diolok-olok.
Nah, soal khilafah.
Ini terkait kasus Prof Din Syamsuddin. Awalnya beliau membuat press-release soal “khilafah itu ajaran Islam, jangan benturkan dengan Pancasila”.
Dalam ‘ruang kosong’, perkataan beliau sangat bagus didiskusikan, “Khilafah mana yang antum maksud Prof?”
Saya pernah berada satu forum dengan beliau (2011). Saat itu juga ada Dubes Iran untuk Indonesia. Kami tertawa-tawa berkat joke Prof Din yang amat jenaka, dalam bahasa Inggris fasih. Saya simpulkan, Prof Din bukanlah seorang radikalis.
Apalagi beberapa hari setelah press-release yang menghebohkan itu, beliau menjelaskan panjang lebar apa khilafah yang beliau maksud dan menurut saya itu pemikiran yang brilian (istilahnya: khilafah cultural-civilizational), bisa baca di sini [1].
Problemnya adalah: pernyataan pertama Prof Din itu ditangkap publik dalam konteks pilpres (dan ini tidak salah, karena memang pernyataan Prof Din terkait pilpres).
Dalam konteks pilpres, sulit untuk ditepis, saat bicara khilafah ya maksudnya HTI. Apalagi press-release itu juga langsung dimanfaatkan rame-rame oleh kubu pro HTI.
Dalam kajian geopolitik pun, sejak 2012 (sejak deklarasi khilafah para ‘jihadis’ di Suriah) kata khilafah akan merujuk pada konteks khilafah ala Suriah (dan salah satu pendukungnya adalah Hizbut Tahrir). Jangan salahkan bila audiens mendengar kata khilafah, pikiran mereka akan tertuju pada khilafah ala kelompok-kelompok teror itu.
Akibatnya, ketika Prof Din memberikan penjelasan yang sangat menarik mengenai khilafah yang beliau maksudkan, penjelasannya menjadi tidak berdampak pada audiens. Beliau kehilangan konteks.
Tentu, siapalah saya dibandingkan Prof Din yang saya hormati. Jadi ini tidak dalam rangka menggurui Prof Din. Saya sekedar sharing pemikian sederhana.
Terakhir, saya ingin cerita. Beberapa waktu yll saya bicara di sebuah forum diskusi anak-anak muda Bandung, saya bilang:
“Di alam demokrasi, ide khilafah itu sebenarnya bebas saja disampaikan. Orang liberalis di Barat, orang Syiah di Iran, orang sosialis di Venezuela, masing-masing punya ide tentang pemerintahan (dan sudah mereka praktekkan). Lalu mengapa para pengusung khilafah dilarang? Harusnya, dalam kondisi normal, ya bebas saja. Adu ide, debat. Justru akan mencerdaskan.
MASALAHNYA: orang-orang Hizbut Tahrir itu mengusung idenya dengan menebar hoax. Mereka provokasi orang-orang di Indonesia untuk mendukung jihad Suriah, padahal yang terjadi di sana adalah upaya penggulingan rezim melalui terorisme.”
Juga masalahnya, mereka menciptakan politik identitas yang jahat di Indonesia. Dulu saat perang Suriah masih panas, mereka memfitnah, bahwa yang antikhilafah adalah Syiah. Sekarang, di masa pilpres, yang antikhilafah difitnah PKI atau anti-Islam.
Artinya apa? Para pemikir, silahkan saja menyampaikan ide mengenai khilafah versi Anda. Karena faktanya, konsep khilafah itu ada banyak versi. Iran dan Vatikan pun, kalau ditelisik bisa disebut berbasih khilafah juga (pemerintahan yang dipimpin ulama). Tapi, jangan lupa menegaskan penolakan pada khilafah yang berbasis fitnah, hoax dan teror karena semua itu jelas bukan ajaran Islam.
Demikian, semoga bermanfaat 🙂
Saran: silahkan baca tulisan saya “Khilafah, Khalifah, Hoax, dan Terorisme” https://www.facebook.com/DinaY.Sulaeman/photos/a.234143183678611/644380929321499/
—-
-foto atas: demo HTI di Jakarta
-bawah: teroris di Suriah kibarkan beberapa bendera, Ahrar Al Sham, FSA, dan Al Nusra.
-samping: screenshot web HTI th 2014

Pembantaian dan Industri Kebencian (1)
Saya sedang berada di pesawat, dari Abu Dhabi menuju Jakarta, saat menonton siaran live CNN dan BBC tentang pembantaian terhadap kaum Muslim di Christchurch, Selandia Baru (SB). Baik host maupun narasumber yang ditampilkan, beberapa kali mengulangi kalimat yang sama: mengapa ini bisa terjadi di SB, yang terkenal sangat damai dan toleran?
Yang menjadi perhatian dunia pada hari-hari selanjutnya adalah respon warga SB yang luar biasa. Tak terhitung bunga yang diantarkan ke lokasi pembantaian. Tangisan orang-orang yang sesungguhnya tak mengenal para korban. Kaum perempuan, apapun agamanya, pada suatu hari sepakat ramai-ramai pakai jilbab. Warga non-Muslim bersama-sama menjaga kaum Muslim saat mereka sholat di masjid.
Bahkan anak-anak sekolah pun turut serta dalam gerakan empati massal yang luar biasa ini dengan beramai-ramai menarikan Haka secara amat khusyuk. Haka adalah tarian tradisional suku Maori, menyimbolkan duka cita sekaligus kemarahan pada kebiadaban itu. Terbayangkah Anda, anak-anak SMA kita bisa secara spontan melakukan gerakan empati seperti itu saat beberapa gereja Surabaya dibom oleh simpatisan ISIS?
Kemarin (21/4), saat umat Kristiani sedunia memperingati Paskah, teroris melakukan aksi bom bunuh diri di gereja St. Sebastian, Sri Lanka. Belum ada yang menyatakan bertanggung jawab. Tapi melihat metode yang dipakai (aksi bom bunuh diri), sepertinya sudah banyak yang menduga, siapa.
Saat sholat Jumat sepekan setelah pembantaian di SB, Gamal Fouda, imam masjid Al Noor, memberikan khutbah, antara lain, mengecam ideologi ‘white supremacist’ (mengagungkan kulit putih, membenci non-kulit putih) dan menyebutnya sebagai ideologi jahat.
Dia menyatakan, “Politik ketakutan [terhadap Muslim] tidak terjadi dalam semalam. Ini adalah hasil dari [politik] anti-Islam dan anti-Muslim yang dilakukan sebagian pemimpin politik, media massa, dan yang lainnya.”
Ya, saya setuju sekali dengan kalimatnya ini. Salah satu contoh teraktual adalah pernyataan-pernyataan Trump yang memfitnah kaum Muslim. Cara media massa dunia memberitakan pembantaian di SB pun terlihat berbeda: si pembunuh ditampilkan sisi ‘kemanusiaan’-nya, dicari-cari sebab psikologis, latar belakang keluarga, dll. Sebaliknya, sedikit yang membahas profil para korban secara detil, yang menampilkan sisi kemanusiaan korban, betapa mereka sama seperti manusia lainnya, berhak hidup, apapun agama dan rasnya.
Jika saja yang terjadi sebaliknya (orang Muslim yang jadi teroris), teknik pemberitaan media mainstream adalah sebaliknya.
Tapi… ada TAPI-nya ya.
Dengarkan pernyataan Ustadz Bakhtiar Nasir (UBN) pasca kejadian SB.
“Perisitiwa ini memberikan pesan kepada dunia bahwa keberadaan umat Islam yang berjumlah mayoritas selalu saja menjadi pengayom dan mengedepankan toleransi tapi sebaliknya jika posisi umat Islam sebagai minoritas selalu menjadi sasaran kezaliman.”
Siapapun yang mengikuti sepak terjang UBN selama perang Suriah dan Pilkada DKI, akan mengerutkan kening mendengarkan kalimatnya.
Toleransi?
UBN menggalang dana untuk Suriah yang kemudian ketahuan berada di gudang makanan yang dikuasai Jaish Al Islam, kelompok teror yang sangat keji di Suriah. Saat menggalang dana pun, UBN mengibarkan bendera FSA, juga kelompok teror [‘pemberontak moderat’, istilah yang dipakai AS dkk].
Tentu saja, UBN dkk tidak menyebut Jaish atau FSA sebagai teroris, tetapi ‘mujahid’ yang sedang berjuang melawan ‘Bashar Assad Syiah yang sedang membantai Sunni’. Apapun bukti dan data yang diberikan untuk membantah pernyataan UBN dkk, tak pernah digubris. Bahkan bantahan yang diberikan Dubes Indonesia untuk Suriah dan ulama-ulama asli Suriah pun tak mereka dengar.
Toleransi?
Omong kosong, dana (donasi) umat ratusan milyar dikeruk dengan menebar kebohongan soal ‘Syiah membantai Sunni’, sambil menciptakan ketakutan dan kebencian di negeri sendiri. Musuh politik akan dituduh Syiah (atau komunis, atau kafir, semua 1 paket).
Toleransi?
Omong kosong. Ratusan ribu orang (diklaim ‘jutaan’) dikerahkan untuk mendemo seorang politisi Nasrani yang salah ucap dan sudah meminta maaf. Alih-alih meneladani Rasulullah yang amat pemaaf, mereka terus berkeras, berdemo dengan kata-kata ‘penggal’, ‘bunuh’, ‘gantung’.
Setelah sang politisi dijebloskan ke penjara, mereka terus bergerak, karena tujuan akhir memang belum tercapai. Pilpres 2019 pun tiba. Mereka membawa klaim-klaim agama.
Toleransi?
Omong kosong. Di mana toleransi ketika mereka mengitimidasi pihak yang berbeda pilihan dengan mereka: disebut tidak taat ulama, bahkan kafir atau prokomunis?
Kini, mereka terus mengulang-ulang kata bohong, curang, dan bahkan perang.
Video seorang ustadz dari kelompok mereka baru-baru ini tersebar di medsos. Ustadz itu mengatakan, “…bila kalian curang, demi Allah, nyawa akan kami berikan untuk menegakkan keadilan.. darah akan kami tumpahkan.. bumi pertiwi akan kami merahkan dengan darah kalian…”
Mengerikan sekali.
White supremacist do kills. Supremasi kulit putih, Islamophobia, memang jahat dan telah membunuh banyak Muslim.
Tapi, kebencian yang diumbar oleh para ustadz Muslim pun membunuh. Siapa yang memprovokasi umat untuk bergabung dengan ISIS dan Al Qaida lalu membunuh diri mereka sendiri? Tak lain para ustadz itu.
Siapa korban terbanyak pembantaian ISIS, Al Qaida, Jaish Al Islam, FSA (dan afiliasi mereka di seluruh dunia)? Muslim. Bila mereka dengan bangga membantai lawannya di depan kamera, lalu mereka unggah ke medsos, lalu muncul Islamophobia, salah siapa? Bila sesama Muslim saja mereka bantai, salahkah bila non-Muslim ketakutan?
Kini, cara-cara perebutan kekuasaan dengan darah ala Timur Tengah dengan bebas dikoar-koarkan oleh sejumlah ustadz. Tidakkah ini mengkhawatirkan sekali?
(bersambung)
Foto: anak-anak sekolah di Selandia Baru menari Haka

Update: karena ada komentator yang tidak terima soal kaitan UBN dan Suriah, silahkan baca link ini: https://dinasulaeman.wordpress.com/2017/04/06/gerak-cepat-para-pengumpul-dana/#more-4563

Pembantaian dan Industri Kebencian (2)
Kebencian yang sifatnya massal disebabkan oleh isu yang difabrikasi (dibuat secara sengaja dengan berbagai metode dan strategi). Memfabrikasi isu yang membangkitkan kebencian jelas butuh dana besar.
Pada tahun-tahun awal Perang Suriah, tiba-tiba saja kebencian kepada penganut Syiah di Indonesia meluas. Buku yang isinya memfitnah Syiah (dan diberi logo MUI, padahal MUI secara lembaga menyatakan tidak menerbitkan buku itu) dicetak jutaan eksemplar lalu dibagikan secara gratis di masjid-masjid. Pengajian dan road show digelar di berbagai penjuru Indonesia, membahas konflik Suriah plus hujatan terhadap Syiah. Ini butuh dana besar, dari mana?
Ada negara-negara tertentu yang dikenal sebagai funding kelompok radikal. Sumber lainnya adalah donasi masyarakat. Para pengunjung majelis taklim atau seminar yang sudah disentuh emosinya atau otak reptil (croc brain)-nya, dibikin ketakutan, akan mudah merogoh kocek.
Saya pernah amati sebuah gerakan donasi online yang ‘menjual’ isu Suriah. Luar biasa, kurang dari sepekan sudah meraup 3 M. Padahal ada banyak lembaga yang menggalang donasi untuk Suriah dengan isu yang berganti-ganti, selama 8 tahun terakhir. Berapa dan kemana uangnya mengalir?
Mereka menjual ‘Aleppo Berdarah’, ‘Pembantaian Ghouta’, atau ‘Madaya menjerit’ (nama-nama kota di Suriah). Coba saja Anda buat penggalangan donasi dengan menyebut nama desa di Indonesia yang butuh dana untuk memperbaiki sekolah yang rusak, tidak akan sebanyak itu hasilnya. Mengapa? Karena info soal sekolah yang rusak tidak menyentuh croc-brain orang Indonesia; tidak akan muncul rasa terancam dan ketakutan.
Manusia-manusia yang sudah kena otak reptilnya, akan menjadi zombie yang mudah digerakkan untuk apapun. Kelompok pro-jihadis Suriah di Indonesia, dalam pilpres dan pilkada mengusung isu pekerja China membanjiri Indonesia, LGBT akan dilegalkan, azan akan dilarang oleh capres tertentu.
Semua isu itu memunculkan ketakutan atas hal-hal asasi (misalnya, keselamatan ekonomi, keselamatan anak, keselamatan ibadah) sehingga mengaktifkan ‘croc brain’ (bagian otak yang bereaksi saat takut). Dan sialnya, ketika ‘croc brain’ seseorang sudah teraktifkan, rasionalitasnya pun hilang. Anda kasih bantahan selogis apapun, dia tidak akan percaya.
Di level global, kebencian ini juga menjadi industri yang mendatangkan uang besar. Misalnya, soal Suriah. Mereka sentuh emosi publik dengan foto dan film anak-anak Suriah korban ‘senjata kimia’ atau ‘bom barel’ dari ‘rezim diktator’. Donasi publik pun mengalir.
Dari mana foto dan film itu didapat? Dari sebuah kelompok yang mengaku tim SAR (Search and Rescue) bernama White Helmets (WH). Boris Johnson (Menlu Inggris) menyatakan telah menggelontorkan dana 32 juta Poundsterling untuk WH. Mark Toner (Jubir Kemenlu AS) mengatakan bahwa AS telah memberikan 23 juta dollar untuk WH.
Media-media mainstream secara masif mempromosikan WH, memunculkan citra betapa WH adalah pejuang kemanusiaan, melawan rezim diktator bengis. Siapa yang mengatur semua upaya promosi ini? Ternyata sebuah perusahaan public relations, Purpose Inc, berkantor di New York. Gratisan? Tentu saja tidak.
ISIS dan Al Qaida (dengan berbagai nama) di Suriah memiliki persenjataan canggih. Para milisinya, yang datang dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia, mendapatkan gaji bulanan ratusan hingga ribuan dollar. Siapa yang menyuplai dananya?
Kembali ke Christchurch, pertanyaan para host dan analis CNN dan BBC yang saya tonton di pesawat adalah ‘mengapa ini terjadi di SB yang dikenal sebagai negara yang damai dan toleran’?
Salah satu jawaban (yang disampaikan PM Jacinda, beberapa hari kemudian): ini adalah aksi individual. Mayoritas warga tidak setuju dengan kejahatan tersebut dan memandang kaum Muslim sebagai saudara sebangsa.
Namun, tak dapat dipungkiri, banyak politisi di negara-negara Barat yang menggunakan kebencian kepada Muslim sebagai jualan politik mereka, dibantu oleh media. Trump salah satunya. Trump menang pilpres karena jualan ketakutan itu.
Sementara itu, data dari Global Terrorism Index (2014) menunjukkan bahwa 78 % kematian akibat terorisme pada 2014 terjadi di negara berpopulasi mayoritas Muslim: Irak, Afghanistan, Nigeria, Pakistan, dan Suriah. Artinya, para ‘jihadis’ lebih suka membunuh sesama Muslim (yang mereka pandang kafir). Siapa yang menanamkan doktrin kebencian kepada mereka? Siapa yang membiayai pengajian, sekolah, dan media berideologi kebencian itu? Tujuannya apa? Apa balik modal yang dicari?
Semua pertanyaan itu terlalu panjang dijawab dalam 1 tulisan ini (tapi berkali-kali saya jelaskan dalam tulisan lain, juga dalam buku saya Prahara Suriah dan Salju di Aleppo).
Yang ingin saya sampaikan di sini adalah pemetaan aktor. Ada 3 kelompok besar dalam kasus terorisme, baik yang dilakukan atas nama Islam atau white-supremacist:
(1) pelaku
(2) korban dan warga biasa pada umumnya
(3) penyuplai dana.
Pemetaan ini juga penting dipahami dalam menyikapi kondisi di Indonesia akhir-akhir ini. Kita jangan melulu fokus pada kelompok-1 lalu terjebak pada generalisasi (misalnya: non-Muslim memandang seluruh Muslim sebagai pendukung teror; atau Muslim memandang bahwa seluruh non-Muslim adalah pembenci Muslim).
Kita perlu menyadari bahwa ada industri, ada uang besar di balik semua virus kebencian ini, agar bijak bersikap, menolak diadu-domba demi kepentingan kelompok-3.
Dan seruan saya kepada negara: kelompok-1 yang aktif menyebarluaskan kebencian (bahkan ancaman pembantaian) perlu ditindak. Tapi, kalau negara hanya fokus di kelompok-1 tanpa menindak kelompok-3, sampai kapan pun kelompok-1 akan terus aktif, silih-berganti.

Catatan Harian Warga AS: “Kelompok Teroris Adalah Sekutu Kita”

Catatan: ada beberapa penambahan tanda kutip “…” untuk membantu pembaca memahami bahwa maksud si penulis adalah sarkasme [untuk menyindir, menunjukkan apa yang ada di benak-pikiran elit AS]. Redaksi juga menambahkan penjelasan dalam […].
Dear Diary,
Aku tak bisa menunjukkan surat ini kepada warga Amerika yang tidak bersalah dan kepada dunia, karenanya ini hanya antara kau dan aku. Bayangkan  keterkejutan dan kemarahan bila aku mengataka, “Negeri kita mendukung terorisme atas nama Islam”! Orang pada umumnya tidak mengerti apa yang dipertaruhkan dan bagaimana seringkali kaum elit mengandalkan  “kekacauan yang dikendalikan” untuk kebaikan yang lebih besar.
Kelompok teror atas nama Islam adalah alat yang hebat untuk digunakan dalam perang proksi [perang dengan menggunakan kaki-tangan pihak lain]. Mereka dengan biaya sedikit mau berperang tanpa rasa takut. Mereka adalah sumber daya global yang dapat dibawa ke dalam konflik lokal manapun. Mereka juga dapat dibuang. Kita dapat menggunakan mereka bila diperlukan dan membunuh mereka bila tak diperlukan.
Jika fakta ini mengejutkan kesadaran manusia, itu artinya mereka belum memperhatikan dengan teliti. Pertihatikan beberapa contoh berikut ini:
  • Thomas Friedman dari New York Times menulis bahwa kita seharusnya tidak menyerang ISIS di Suriah1 dan kita seharusnya mempertimbangkan untuk mempersenjatai ISIS dalam menggulingkan Assad. 2
  • John Kerry mengakui, “AS mencoba menggunakan ISIS untuk memaksa Assad melakukan negosiasi.” 3
  • Kepala Militer Israel menjelaskan, “Israel memilih ISIS daripada Assad.” 4
  • Menteri Pertahanan Israel menjelaskan, “ISIS tidak pernah secara terus-menerus menyerang kami; apabila itu terjadi, ISIS akan segera meminta maaf.” 5
  • Hillary Clinton menulis, “Arab Saudi dan Qatar mendanai dan mempersenjatai ISIS.” 6
  • Jendral Joe Biden, Jendral Martin Dempsey, Wesley Clark semua pernah menyatakan bahwa sekutu AS  di Timur Tengah mempersenjatai dan mendanai Al Qaeda dan ISIS. 789
  • Beberapa pemberitaan dari Departemen Luar Negeri telah menyebutkan dengan jelas Arab Saudi adalah sumber dana utama bagi terorisme di seluruh dunia – tak hanya di Timur Tengah. 10
Tidakkah mengherankan, mengapa [pemerintah] kita tidak pernah pergi memerangi atau memberikan sanksi kepada negara-negara pendukung terorisme ini? Bahkan kita tidak pernah menyalahkan mereka!
Apa yang sampai ke benak pembaca saat mereka melihat sebuah artikel dengan judul “Accepting Al Qaeda”11 yang diterbitkan oleh Council on Foreign Relations (Dewan Hubungan Internasional), sebuah lembaga pemikiran (think tank) di balik Kebijakan Luar Negeri AS? Atau saat Kepala Penasehat Kebijakan Luar Negeri Hillary Clinton, Jake Sullivan, menulis email kepada Clinton, “Al Qaeda ada di pihak kita”? 12
Saya dapat memberi lebih banyak lagi contoh seperti itu, tapi mari kita sejenak melompat ke mesin waktu [masa lalu].
foto2
Afganistan, 1979-1989. Kita menggunakan Mujahidin untuk mengalahkan Uni Soviet. Apakah itu bukan hal yang baik? Ingat bagaimana media dan Hollywood mengagungkan pejuang Afganistan tahun 1980-an? Pemberontak Afganistan bahkan mendapat kesempatan mengunjungi Gedung Putih.
Ada dua faktor yang penting yang sering dilupakan dari kisah Mujahidin: petempur asing yang datang dari berbagai penjuru dunia dan Islam fundmentalis.
Pada tahun 1980-an, lebih dari 35.000 orang yang disebut sebagai Arab-Afghan datang dari berbagai penjuru dunia untuk melawan Rusia13, dan kita tak akan bisa memotivasi mereka untuk melakukan itu tanpa daya tarik konsep Islam, Khalifah atau jihad. “Berjuang untuk Allah” lebih efektif daripada “berjuang untuk negara X.” Para pejuang  dengan motivasi agama sangat berguna di medan perang karena mereka tidak takut kematian. Pemikiran seperti ini diperlukan saat menggunakan bom bunuh diri tanpa harus melakukan banyak pertempuran, bahkan saat perang tidak akan dimenangkan.
Kita juga belajar dari Arab Saudi bahwa indoktrinasi adalah hal yang penting untuk menghasilkan prajurit yang baik. Maka CIA datang dengan buku teks yang ‘cerdas’ untuk anak-anak Afghanistan, di dalamnya memperkenakan mereka pada konsep jihad, aneka senjata, dan kebencian pada Rusia. 14
foto3
(Sejak itu, Arab Saudi telah membelanjakan miliaran dolar untuk pembangunan sekolah-sekolah Islam -madrsah- di seluruh dunia. Sekolah-sekolah ini berperan sebagai lahan mencetak kader aktivis di masa depan, para ekstrimis dan para petempur. Saudi juga mencetak buku teks yang disebar ke seluruh dunia. Anak-anak belajar mencintai pesan-pesan seperti “bunuh Syi’ah, Kristen dan Yahudi.”15 Masjid [yang didanai Saudi] dan para pengajar agama [versi] Saudi di seluruh dunia juga melanjutkan penyebaran pesan-pesan ekstrimis itu.)
foto4
Saat perang Afganistan hampir dimenangkan, menjadi jelas bagi kita bahwa proyek Mujahidin adalah sebuah buku permainan brilian yang dapat direplikasi di bagian bumi yang  lain.
Saat itulah Al Qaeda dibentuk. Dan waktunya sangat tepat.
Anda lihat, Halliburton baru saja menemukan sumber minyak besar di dekat Laut Kaspia, namun negara-negara di sekitar wilayah itu semua pro-Rusia bahkan setelah runtuhya Uni Soviet. 16
Tanpa sepengetahuan publik AS, Mujaidin telah sangat aktif sepanjang tahun 1990 di Bosnia, Kosovo, Azerbaijan, Uzbekistan, Degestan, Chechnya, dan lain-lain. 17 Para petempur ini digunakan untuk tiga tujuan utama:
1. Menggulingkan diktator yang pro-Rusia.
2. Menempatkan pemimpin yang pro-Barat yang dapat membantu kita membangun saluran pipa minyak/gas dan menyetujui penempatan markas militer AS.
3. mengacaukan saluran pipa Rusia dan kepentingan lain.
Azerbaijan adalah satu yang mudah dan kita berhasil menempatkan orang kita di tahun 1993. Georgia memerlukan waktu yang lama, namun George Soros dan “Revolusi Berwarna”-nya akhirnya dapat menempatkan orang kita di sana di tahun 2005. Dalam setahun, kita pun memiliki 1000 mil jalur pipa yang menghubungkan Azerbaijan (Laut Kaspia), Georgia, dan Turki!
Di Chechnya, sebagian sukses. Mereka berjuang untuk merdeka dari Rusia dan dengan senang menerima Mujahidin yang memiliki banyak uang Saudi dan senjata AS. Dalam waktu singkat, kaum Muslim Chechnya yang awalnya antikekerasan dan menganut sufisme, diambil alih oleh [doktrin] Wahabisme [yang disebarkan Saudi].
Al Qaeda mulai meledakkan saluran pipa Rusia. Rusia menyerang Chechnya di tahun 1994, (Rusia) kalah dalam perang dan menarik diri. Sangat menyenangkan melihat berita saat itu. Namun, Putin menjadi Perdana Menteri tiga tahun kemudian, dan menyatakan perang tanpa ampun melawan jihadis. Rusia pun menang telak dan menempatkan orang kuatnya di Chechnya. 18.  Tasawuf (sufisme) bangkit kembali dan orang Chechnya mulai menolak paham Wahabi dan jihadisme Saudi.19
foto5
Al Qaeda amat sangat ‘membantu’ [Amerika] di Bosnia, Albania, Makedonia dan Kosovo. Pada akhir tahun 1990an, kita menggunakan tuduhan palsu dan pengeboman NATO untuk membersihkan orang pro-Rusia di Serbia.
Jauh dari jantung Eurasia, ekstrimisme Islam dan terorisme memainkan peran utama di Afrika, Timur Tengah, dan Asia untuk mengkatalisasi transformasi geopolitik.
Di Libya, Suriah, Yaman, dan Somalia, kita mengandalkan Ikhwanul Muslimin, Al Qaeda, dan Salafi (mereka yang mengikuti ajaran Islam ekstrim).
Di Libya, kita mengerahkan sekutu Al Qaeda yang disebut LIFG (Libyan Islamic Fighting Group, kelompok pejuang Islam Libya). 20 Kami membebaskan pemimpinnya (Belhadj) dari tahanan CIA, mendandaninya dengan setelan pakaian yang bagus, mengaturnya berfoto dengan John McCain, dan dia menjadi pejuang kemerdekaan yang memerangi Qaddafi, seorang “diktator brutal”!
foto6
Di Suriah, puluhan ribu petempur al Qaeda diterbangkan masuk dari berbagai penjuru dunia untuk menumbangkan Assad. 21 Jika bukan karena intervensi “jahat” Putin, kita mungkin kini telah mempunyai jalur pipa Qatar melalui Suriah dan Israel akan mengebor minyak di Dataran Tinggi Golan. 22 Ini memang situasi yang “tragis”.
Di Afrika, Nigeria adalah negara strategis dengan 170 juta orang dan merupakan kawasan yang kaya akan minyak dan sumber daya alam. Di sanalah Boko Haram -ISIS Afrika – datang ikut bermain. Dan mereka telah  mendapat kesuksesan di segala hal. Juga “terima kasih” kepada Boko Haram, setengah Nigeria kini di bawah hukum syariah, dimana ini menjadi alat yang mudah utuk mengendalikan banyak orang.
Di Asia,  kita harus mendukung Thailand, Indonesia, dan Philipina. Tanpa mereka kita akan banyak kehilangan Asia dari China. Hukum Syariah dan Salafisme telah mendapat momentum di Indonesia, dimana ini adalah “tanda yang positif”. 23
Pemimpin “gila” Philipina, Duterte, terlalu bersahabat dengan Rusia dan China. 24 Dia akan kehilangan popularitasnya dan akan digantikan bila afiliasi ISIS -Abu Sayyaf- berhasil membuat banyak masalah. Jika dia melawan ISIS, kita akan berteriak “hak asazi manusia” dan “Islamophobia” di PBB, memaksa PBB agar menjatuhkan sanksi.
Thailand juga telah dengan bodoh masuk ke dalam pengaruh Rusia-China. 25 Begitulah, negara beragama Buddha yang damai ini telah menghadapi ekstrimis Salafi/Wahabi di selatan. Pemimpin Thailand pasti menyadari bahwa secara keseluruhan industri pariwisata menjadi sangat rentan -beberapa bom dan serangan oleh jihadis telah memberikan dampak yang serius.
foto7
Terakhir, mari kita lihat Eropa. Di sana muncul banyak masalah akibat imigrasi massal: terorisme, kriminalisme, dan lain-lain. Bagaimanapun, setiap krisis adalah ‘kesempatan’ [bagi AS]. Beberapa menyebutnya Problem – Reaksi – Solusi.
Terorisme adalah problem, ketakutan adalah reaksi, pemerintah adalah solusi.
Terorisme dan kriminalisme memberikan kita kesempatan untuk memiliterisasi polisi di Uni Eropa, menciptakan “NSA” (badan keamanan nasional AS) di seluruh Eropa, dan  bahkan mementuk “tentara Uni Eropa”.  Beban finansial akibat  pengungsi juga memungkinkan kita [pemerintah AS] untuk menerapkan penghematan dan memangkas dana kesejahteraan yang “sia-sia”. Imigrasi massal juga akan membentuk masyarakat Eropa yang lebih homogen. Dua puluh tahun dari sekarang, tidak akan jauh berbeda antara Prancis dan Jerman. Ini berarti lebih mudah mengelola Uni Eropa.
Lebih jauh, tantangan besar ekonomi kita adalah  Cina. Bagaimanapun, China memiliki kelemahan: populasi di provinsi bagian barat Xinjiang sebagian besarnya Muslim. Dengan dibantu Turki, kita telah menciptakan sebuah gerakan keislaman yang siap untuk memisahkan Xinjiang dari China. 26 Proyek One belt one road(satu sabuk satu jalan) Cina sangat tergantung pada kereta angkut barang yang berjalan secara  aman melintasi wilayah itu dalam perjalanannya ke Eropa. Mujahidin masa depan kita di Xinjiang akan siap bertindak jika China mulai bersikap tidak baik.
Kita membutuhkan sekitar 60 tahun untuk menyatukan Amerika Utara dan Selatan untuk sampai pada tingkat tertinggi, di bawah sistem finansial, kooperasi, ekonomi dan militer bersama. (Venezuela adalah ‘orang aneh’ yang keluar dari kebersamaan ini, namun kita masih bekerja mengatasinya.) Mungkin membutuhkan enam puluh tahun lagi untuk menyatukan Eropa, Rusia, dan China. Kemudian kita akan memiliki Pemerintahan Global dan Tatanan Dunia Baru. Tak ada batasan dan tak ada dinding. Satu dunia. Untuk mewujudkannya dan untuk mendapat hasilnya kita memiliki banyak anak panah di kantong kita: perdagangan, bantuan keuangan dan militer, kudeta, revolusi berwarna, sanksi,  perang, dan lain-lain. Tapi, kelompok-kelompok teroris atas nama Islam [Islam-fundamentalis-Wahhabi] akan terus memainkan peran penting, dan itulah mengapa kita harus menerima mereka dan merangkulnya.
Penulis: Chris Kanthan (penulis buku “Deconstructing the Syrian War”). Penerjemah: Nita H. Sumber.
foto1
Catatan: ada beberapa penambahan tanda kutip “…” untuk membantu pembaca memahami bahwa maksud si penulis adalah sarkasme [untuk menyindir, menunjukkan apa yang ada di benak-pikiran elit AS]. Redaksi juga menambahkan penjelasan dalam […].

Tujuan Trump Akui Golan, Bantu Israel atau Persiapan Hadapi Pemilu?

Amerika Serikat (AS) mengambil langkah mengejutkan dengan mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Israel. Presiden Donald Trump mengubah haluan kebijakan AS yang sebelumnya mempertahankan status quo Golan, hanya lewat cuitan pada Kamis (21/3).
Gayung bersambut. Tak lama setelah itu, Gedung Putih mengeluarkan pernyataan resmi mengamini apa yang disampaikan oleh Trump di media sosial.
Padahal, langkah AS ini jelas melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB. Salah satunya, Resolusi 242 yang mewajibkan Israel menarik mundur pasukannya dari wilayah pendudukan.
Setelah Perang 6 Hari tahun 1967, Israel memang menduduki sejumlah wilayah seperti Dataran Tinggi Golan (Suriah), Tepi Barat (Palestina), Yerusalem Timur (Palestina), Jalur Gaza (Palestina) dan Semenanjung Sinai (Mesir).
Ada juga Resolusi 497 (1981) yang terang-terangan menyatakan keputusan Israel untuk menerapkan hukum, yurisdiksi, dan pemerintahan di Dataran Tinggi Golan, Suriah, batal demi hukum dan tak punya efek hukum internasional apapun.
Meski kontroversial di mata hukum dan juga bisa memicu bertambah panjangnya masa konflik di Timur Tengah, AS tetap bersikukuh menetapkan pengakuan Dataran Tinggi Golan atas Israel.
Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel. Foto: REUTERS/Ammar Awad
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan besar, kenapa AS di era Trump begitu bernyali mengambil langkah tersebut?
AS sendiri melihat ada alasan keamanan di balik keputusan itu. Trump mengklaim, pengambilalihan Dataran Tinggi Golan pada 1967 oleh Israel sebagai upaya untuk mempertahankan negara tersebut dari ancaman eksternal.
"Segala kemungkinan perjanjian perdamaian di masa depan di wilayah tersebut harus memperhitungkan kebutuhan Israel untuk melindungi diri dari Suriah dan ancaman regional lainnya," tulis keterangan Gedung Putih, Senin (25/3).
Namun, pengamat menilai keamanan bukan menjadi alasan utama. Kebijakan terbaru Trump ditengarai berkaitan dengan pemilihan umum di Israel yang berlangsung pada 9 April mendatang.
“Adalah keinginan Trump untuk memberi Netanyahu keunggulan dalam dalam kompetisi pemilu,” ujar Aaron David Miller, pakar Timur Tengah di Woodrow Wilson International Center for Scholars dilansir NPR.
Menurut Miller, Trump dan Netanyahu dilanda masalah yang sama dalam politik. Mereka sama-sama menghadapi situasi permusuhan dengan media massa.
Donald Trump dan Benjamin Netanyahu. Foto: Reuters/Kevin Lamarque
Selama ini keduanya diserang dengan berbagai pemberitaan perihal dugaan skandal atau korupsi. Di samping itu, pengakuan Trump atas Golan diduga erat hubungannya dengan pemilu AS tahun depan.
“Hal ini juga baik bagi Presiden AS jika ingin mencalonkan lagi pada 2020. Dukungan kuat bagi Israel adalah sebuah kabar baik bagi jutaan pemilih Kristen Evangelis, kalangan konservatif (partai) Republik, dan pemilih, yang meskipun sedikit, dari Yahudi Amerika yang memilih (partai) Demokrat,” kata Miller.
Sejalan dengan analisis Miller, Direktur Indonesian Center for Middle East Studies (ICMES), Dina Y. Sulaeman menjelaskan, ada permasalahan mendasar dalam mendefinisikan kepentingan AS terhadap Israel sejak dahulu kala.
“Kebijakan-kebijakan nasional Amerika (terhadap Israel) seringkali, kalau kita lihat, sebenarnya apa sih kepentingannya buat Amerika? Problemnya adalah karena para elite di Amerika Serikat mendefinisikan kepentingannya Israel itu sebagai kepentingannya Amerika,” terang Dina kepada kumparan (3/4).
Turis berfoto di depan mural Trump-Netanyahu Foto: REUTERS/Ammar Awad
Padahal, menurut Dina, permasalahan Dataran Tinggi Golan adalah murni kepentingan Israel. Negara Yahudi itu dinilai punya kepentingan untuk menduduki wilayah tersebut secara permanen karena subur dan merupakan sumber air.
AS pun seperti gelap mata akan kepentingannya sendiri. Sejak Israel berdiri, menurut Dina, presiden-presiden AS sebelumnya sudah kadung menganggap bahwa kepentingan Israel adalah kepentingan negara Paman Sam. Menurutnya, hal itu sudah jadi semacam doktrin luar negeri AS terkait Israel.
Terkait alasannya, Dina berpendapat, karena besarnya lobi. Dalam hal ini, lobi kelompok pro-Israel di lingkaran elite AS.
“Jadi misalnya kayak AIPAC (Komite Urusan Umum Amerika-Israel) itu kan organisasi lobi. Itu kan setiap kandidat yang mau ikut pilpres pasti pidato dulu di situ, dengan tujuan apa? Mencari suara. Ya, kandidat presiden akan selalu pidato di manapun tapi salah satu yang wajib didatangi adalah AIPAC,” tambah Dina.
Konsekuensi terhadap Perdamaian
Demo dilakukan di West Bank, Hebron, Palestina. Foto: REUTERS/Mussa Qawasma
Keputusan AS mengakui Golan sebagai wilayah Israel, tentunya bukan tanpa konsekuensi. Menurut Dina, salah satu efeknya, bisa memperburuk situasi perdamaian di Timur Tengah. Apalagi pada Desember 2017 lalu, Trump membuat keputusan kontroversial serupa dengan mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel.
Dalam hal ini, AS cenderung meminggirkan salah satu pihak yang berkonflik. Bukan mencari cara yang mengarah pada perundingan.
“Yerusalem yang menurut Resolusi PBB itu kan haknya Palestina, malah diambil seluruhnya oleh Israel. Sekarang Golan juga yang sebenarnya milik Suriah juga (bernasib sama), dan Suriah itu sangat pro Palestina. Itu juga Trump lalu melakukan proklamasi sepihak yang akhirnya memperburuk proses negosiasi antara dua pihak yang bertikai ini,” pungkas Dina.
Presiden AS Donald Trump (kiri) dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (ketiga dari kanan) memperlihatkan surat mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan. Foto: REUTERS/Carlos Barria
Re-post by MigoBerita / Rabu/22052019/15.13Wita/Bjm
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya