Viral Percakapan KPK Sumbang Logistik Buat Demonstran
KPK Taliban bukan
sekedar cerita. Itu nyata ada. Sebelumnya, sudah bocor video briefing
kepada mahasiswa agar turun ke jalan. Melakukan pergerakan dengan
cara-cara radikal elegan. Belakangan diketahui nama orang yang
memberikan briefing tersebut adalah Bachtiar Firdaus.
Lalu
hari ini, tersebar viral percakapan di grup Wadah Pegawai yang pada
intinya laporan-laporan terkait aksi demonstrasi di beberapa wilayah. Ya
wajar, namanya grup kan bisa membahas apa saja. Tak ada yang salah.
Tapi
jika diperhatikan, ada permasalahan yang sangat fundamental di sana.
Pembicaraan dalam grup tersebut ada bahasan sumbangan. Orang-orang di
KPK menyumbang uang secara tunai untuk diberikan pada mahasiswa. Salah
satu dari mereka meminta agar sumbangan dilakukan cash agar tidak ada
jejak transaksi. Luar biasa! ya iyalah, orang KPK pasti lihai soal ini.
KPK
juga diintruksikan mengenakan batik hitam selama aksi demo 23 dan 24
September, sebagai solidaritas atas aksi demo. Mengajak pegawai KPK
untuk menggelorakan demo-demo di daerah. mengajak setiap orang yang ada
di KPK untuk ikut terlibat, mengajak dan menggerakkan adek-adek angkatan
organisasinya. Pada intinya, grup WA pegawai KPK sudah jadi grup
konsolidasi pergerakan atau demonstrasi. Menyediakan dukungan logistik.
Luar
biasa. satu persatu kebusukan KPK terbongkar. Kita harapkan orang-orang
di KPK yang selama ini ditindas oleh kesewenang-wenangan, mau membuka
suara, mau memberikan cerita utuh tentang apa yang terjadi di dalam
sana.
Bagi saya, penyebaran capture percakapan
grup WA KPK ini adalah satu catatan pembenaran, terkait kebenaran
lainnya tentang briefing mahasiswa atau demonstran.
Dengan
begini, KPK sebagai lembaga negara, terbukti tidak mau menempuh jalur
konstitusi. Kemudian memilih untuk mengerahkan massa turun ke jalan,
mewakili tuntutan dan aspirasi orang-orang KPK yang menolak adanya
pengawasan dan sistem penegakan hukum yang lebih transapran.
Massa
dikerahkan untuk menuntut Presiden mengeluarkan Perpu pembatalan UU KPK
yang baru. Wajar kalau Mengkumham Yassona mengatakan bahwa aksi-aksi
ini bukan tentang RKUHP seperti yang digembar-gemborkan media, atau
tuntutan-tuntutan mahasiswa. Karena semua pasal yang mereka protes itu
sejatinya tak pernah ada. Itu hanya propaganda media. Selain itu, RKUHP
pun sudah ditunda pengesahannya oleh Presiden 5 hari sebelum demo. Lalu
kenapa masih demo menolak RKHUP?
Kini semakin
jelas. Video briefing serta capture percakapan dukungan dan sumbangan
untuk aksi-aksi demo itu menunjukkan, bahwa yang punya kepentingan
sebenarnya adalah orang-orang KPK. Merekalah yang memprovokasi dan
mengajak mahasiswa turun ke jalan. Tapi supaya tidak ketara, tuntutan
mahasiswa tidak fokus pada UU KPK, tapi juga pada soal RUU KUHP sampai
soal kebakaran hutan. Tujuannya jelas, pengaburan masalah dan tuntutan.
Kalau
mahasiswa difokuskan untuk menolak UU KPK, maka permainan mereka akan
mudah tertebak. Publik akan bertanya, kenapa baru protes setelah
diundangkan? bukankah ada tahapan yang cukup panjang? Dan narasi KPK
taliban yang sudah bergaung cukup keras selama ini akan langsung
menunjuk KPK sebagai biang kerok kerusuhan ini. Maka dari itu dibutuhkan
isu-isu lain untuk mengelabuhi. Selain itu, semakin banyak isu, semakin
besar pula massa yang bisa diprovokasi dan diajak turun ke jalan.
Sehingga
wajar kalau mahasiswa yang turun ke jalan dengan tujuan menyampaikan
aspirasi, nyatanya setelah diterima oleh BALEG DPR justru tidak
menyampaikan apa-apa. Emosi karena surat yang sudah diterima beberapa
hari sebelumnya oleh staf DPR, rupanya tidak sampai. Setelah itu
beberapa ketua BEM hanya berteriak cempreng mengatakan tidak percaya
pada DPR. Lengkap dnegan hastag mosi tidak percaya.
Wajar
juga kalau hari ini mahasiswa yang diundang Presiden Jokowi, untuk
bertemu dan menyampaikan aspirasinya secara langsung, menolak undangan
tersebut.
Karena tujuan mereka bukan untuk
mencari solusi ataupun menyampaikan aspirasi. Mereka hanya membela
majikannya, KPK. Menggonggong dan rusuh sesuai intruksi atau briefing
radikal elegan.
Pada akhirnya ini bukan tentang
demokrasi lagi. Ini tentang pemaksaan dan penolakan jalur
konstitusional. Menolak sistem. Sangat ideologis. Sehingga pada akhirnya
saya pikir percuma kita berdebat soal pro kontra pasal yang ada di UU
KPK ataupun RKUHP. Karena masalahnya bukan di sana, masalahnya ada pada
ideologi dan menolak sistem yang ada di NKRI. Begitulah kura-kura.
Sumber Opini : https://seword.com/politik/viral-percakapan-kpk-sumbang-logistik-demonstrasi-QV9vUm7BUt
AMBULANS SEBAGAI SENJATA PERANG
DennySiregar.id, Jakarta - Alih fungsi ambulans
sebagai bagian dari senjata perang itu bukan barang baru.
Dalam perang
Suriah, ambulans bukan saja mengangkut batu dan bom molotov seperti disini,
tetapi bahkan difungsikan sebagai pengangkut senjata berat untuk kelompok pemberontak.
Ambulans
adalah penyamaran yang sempurna, karena ia dilindungi oleh Konvensi Jenewa
tahun 1949 sebagai objek yang tidak boleh diperangi oleh kedua belah pihak.
Selain itu ia juga berfungsi sebagai "tempat aman" bagi para
pemberontak untuk berlindung dan mengungsi ke tempat lain.
Di Suriah,
model penyamaran dengan menggunakan medis ini dilakukan oleh organisasi
propaganda berbaju kemanusiaan bernama White Helmets.
Dalam
beberapa demo di Indonesia, kita melihat model penyamaran yang sama dengan menggunakan
ambulans.
Saat aksi 22
Mei lalu, polisi menangkap ambulans dengan logo Gerindra yang membawa batu.
Supirnya mengaku dibayar 1,2 juta untuk mengangkut batu, membagikan amplop
berisi uang ditengah kerumunan massa bayaran.
Itulah kenapa
saat demo aksi 22 Mei lalu saya menulis untuk mengawasi petugas medis swasta
yang sudah standby di sekitar lokasi.
Ada ACT yang
setahu saya pernah melakukan demonstrasi kekejaman perang Suriah dengan membawa
bendera pemberontak Suriah atau FSA. Ada juga dompet dhuafa yang sudah ada
disana. Ngapain dompet dhuafa ngurusin demo segala, bukannya sibuk membantu
fakir miskin?
Dari sini
kita bisa lihat bahwa bukan salah polisi ketika mencurigai ambulans berlogo
Pemprov DKI dan PMI membawa batu - dan molotov.
Pengakuan PMI
sih, kardus berisi batu dan molotov itu titipan demonstran. Dan dari situ saya
bisa mengambil kesimpulan, bahwa ambulans disaat tidak mengambil orang sakit,
bisa juga dipakai untuk membawa barang titipan saat senggang.
Sejenis JNE
lah gitu..
Dan dari
video ini kita bisa melihat fungsi lain ambulans saat ada di aksi demo..
Saya seruput kopi dulu. Mumpung masih pagi.
"Mari Limpahkan Semua Beban pada Jokowi!"
Menjelang
pelantikannya sebagai Presiden pada masa jabatan keduanya, Pak Jokowi
dihantam bertubi-tubi persoalan. Yang seolah menempatkannya pada posisi
yang seorang diri. Sendiri terpojokkan. Sendiri semakin
dipersalahkan.
Tentu aneh ketika hal itu
menimpa beliau di saat setelah memenangkan sebuah pertarungan. Sebagai
pemenang, Pak Jokowi malah mengalami posisi sulit.
Sewajarnya
saja bila posisi sulit itu diakibatkan karena ulah para lawan-lawannya.
Para penentangnya. Para penentang kebijakannya.
Tapi
ini tidak! Seakan seragam, semua punya andil dalam mempersulit posisi
Pak Jokowi. Posisi sulit yang selalu dipersalahkan. Posisi yang
sebelumnya hanya menjadi kenikmatan semu bagi mereka para kaum Salawi. Kaum "semua salah Jokowi".
Untuk
mereka ini, dengan sifat alamiahnya itu, sepertinya tak perlu dibahas
lagi. Karena juga akan terasa sangat sulit bagi mereka untuk mengerti
dan memahami siapa dan bagaimana Pak Jokowi yang sebenarnya. Jadi, ya
biarkan saja!
Yang terasa menyesakkan adalah
ketika posisi sulit Pak Jokowi itu dikarenakan oleh sikap para rekan
pendukungnya. Entah sengaja atau tidak?
Mundur
sejenak, Pak Jokowi mulai dibuat harus terbebani saat pemilihan wakil
presiden. Waktu itu ada dua pilihan. Akhirnya seperti diketahui, Kyai
Ma'ruf Amin yang menjadi pendamping Pak Jokowi.
Setelah
menang, beban Pak Jokowi tetap belum berkurang. Babak baru ini adalah
kompensasi atas dukungan yang sebelumnya telah mereka berikan. Return atas investasi dalam mendukung dan memenangkan Pak Jokowi ditagih. Yaitu jatah jabatan.
Friksi
mulai nampak ketika para petinggi parpol pendukung--minus
PDIP--mengadakan pertemuan. Diperkirakan pertemuan tersebut terkait
dengan jatah jabatan dan kursi kabinet.
Menjadi
lebih panas ketika Pak Jokowi bertemu dengan Prabowo. Yang dilanjutkan
juga dengan pertemuan Bu Mega dengan Prabowo. Yang memanaskan adalah
pernyataan Pak Prabowo yang bisa saja membantu Pak Jokowi.
Panasnya
situasi koalisi semakin terlihat saat di waktu yang bersamaan, ketika
Bu Mega makan-makan dengan Prabowo, Surya Paloh bertemu dengan Anies
Baswedan. Perseteruan ini masih terlihat saat Bu Mega tak bersalaman
dengan Surya Paloh baru-baru ini.
Beban Pak
Jokowi berlanjut dan bertambah ketika DPR merevisi UU KPK. Ditambah
dengan akan disahkannya RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU
Pemasyarakatan.
Demonstrasi
penolakan terjadi. Oleh mahasiswa. Juga anak-anak SMK(?). Walaupun
pada kenyataannya yang di demo adalah DPR, namun Presiden sebagai
eksekutif tetap penanggung beban yang paling berat. Terbukti untuk UU
KPK yang baru, berlaku maupun tidaknya UU revisi tersebut tergantung
dari dikeluarkannya atau tidak Perppu KPK oleh Presiden Jokowi.
Kesemuanya itu membuat beban Pak Jokowi menjadi sangat berat. Bahkan serasa sendirian.
Lalu, apa yang membuat itu semua bisa terjadi? Yang membuat seakan mereka semuanya bersikap "seenaknya" pada Pak Jokowi?
Yang
pertama tentu saja adanya perbedaan kepentingan. Keinginan Pak Jokowi
untuk menjadi politisi semata-mata demi pengabdian. Tidak ada
kepentingan lainnya, selain tentu saja kepentingan negara. Karena
itulah, Pak Jokowi selalu menempatkan dirinya sebagai seorang negarawan.
Kepentingan Pak Jokowi yang adalah demi negara
itu, dapat terlihat dari apa yang telah dilakukannya selama periode
pertamanya. Dan dengan segala resikonya, apa yang dilakukannya, semua
hanya demi kepentingan jangka panjang Indonesia dalam bernegara.
Berbeda
dengan mereka para partai politik itu. Mereka politisi saja. Tulen.
Hitung-hitungannya hanya kepentingan partai dan karir politik
anggotanya. Hanya menang-kalah dan dapat apa. Itu saja dan tidak
lebih.
Mereka melihat Pak Jokowi hanya sebagai bagian dari kepentingan jangka pendeknya saja. Paling banter
lima tahun lagi. Kepentingan yang membawa kemenangan dan posisi
jabatan. Kepentingan jangka pendek yang menjadi penyambung dan jalan
bagi kepentingan jangka panjang mereka, yaitu kekuasaan dan tetap eksis.
Kedua, Pak Jokowi pada kenyataannya bukanlah
berasal dari elit. Baik elit partai maupun kalangan "tinggi" lainnya.
Pengurus partai pun bukan. Kader biasa saja. Juga hanya rakyat biasa.
Kenyataan
ini telah membuat Pak Jokowi tanpa beking kuat di belakangnya. Pak
Jokowi adalah pejuang tunggal. Sehingga para penikmat oligarki itu
terkesan begitu leluasa dalam "mempermainkan" Pak Jokowi. Membuat "mari
limpahkan semua beban pada Jokowi!"
Akhirnya,
dua keadaan itu--perbedaan kepentingan dan Pak Jokowi yang bukan
elit--lah yang telah membuat Pak Jokowi begitu harus menerima beban
berat dalam menjalankan perannya sebagai Presiden. Menjadi terlalu
berat untuk bergerak lincah. Menjadi tersandera oleh kepentingan para
parpol pendukungnya.
Tapi…, Pak Jokowi masih punya rakyat! Yakinlah!!!....
PR Besar Jokowi, Memberantas Gerakan dan Ideologi Khilafah
Suatu kesempatan
salah seorang teman cerita, pada intinya dia mulai merasa bahwa
keberagaman yang ada di Indonesia semakin hari kian terkikis.
Orang-orang mulai seragam.
Kalau dipikir-pikir,
benar juga. Kalau kita lihat orang-orang jaman dulu, begitu beragam dan
bebas. Cara memakai kerudung pun masih terlihat asal-asalan. Asal
nempel di atas kepala. Tak menutupi semua rambut dan hanya menyisakan
wajah. Malah lebih banyak yang tak pakai kerudung.
Tapi
hari ini, kita melihat para perempuan cenderung mengenakan kerudung.
Mulan Jamila, makluk tuhan paling seksi itu pun pakai kerudung. Rina
Nose, sempat pakai kerudung. Lalu dicaci setelah tak pakai kerudung
lagi. Bahkan lebih dari itu, kerudung pun ada tingkatan keimanannya.
Yang paling bagus adalah kerudung syarie, yang besar menjuntai menutupi
bokong dan tangan.
Jadi ini bukan lagi soal
kerudungan atau tidak, bahkan yang kerudunganpun masih dipertanyakan
apakah sudah syarie apa belum? Kalau belum menutupi bokong dan tangan,
seolah belum sesuai dengan ajaran Islam.
Tidak
hanya soal pakaian, bahkan gaya bahasa sampai idola, mereka
mengarahkannya ke bangsa-bangsa arab. Sebutan akhi ukhti di Indonesia
sudah hampir terdengar biasa. Saya yakin sebagian besar pembaca Seword
sudah pernah dengar istilah tersebut, atau bahkan pernah dipanggil akhi
atau ukhti saat bertemu dengan orang-orang tertentu.
Ya
memang masih banyak juga yang manggil mas, bang, om dan lain-lain. Tapi
kehadiran panggilan akhi ukhti ini mulai terdengar. Sebuah panggilan
yang beberapa tahun yang lalu masih terdengar sangat asing.
Pertanyannya kemudian, ini sebenarnya ada apa? siapa yang membawa istilah kearab-araban tersebut?
Jika
ditelusuri lebih dalam, sebenarnya cerita masuknya budaya asing (arab)
serta ideologi non Pancasila ke Indonesia adalah lewat
mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di timur tengah. Persoalan
soal ukuran kerudung, panggilan akhi ukhti, itu hal remeh temeh.
Maksudnya, tak masalah kalaupun itu menjamur di negara kita.
Yang
menjadi masalah adalah mereka tak hanya membawa model pakaian dan
bahasa, tapi juga ideologi sebuah negara yang benar menurut mereka. Ini
memang klasik, masalah semua mahasiswa luar negeri, punya kecenderungan
menyanjung tempat baru mereka. Namanya juga tempat baru, segalanya
terlihat luar biasa. Samalah seperti gebetan. Terlihat indah karena
belum tau seluk beluknya.
Masalahnya,
setelah beberapa tahun di negara timur tengah, mereka pulang ke
Indonesia masih dengan suasana ‘bulan madu.’ Dan inilah yang sedang
terjadi di negara kita sekarang ini. Mulai dari urusan kerudung, akhi
ukhti bahkan sampai ideologi khilafah.
Meskipun
Presiden Jokowi sudah membubarkan HTI sang pengasong khilafah, tapi
tetap saja tak secara otomatis menghilangkan gerakan khilafah. Kenapa?
Karena proses pengkaderan dan doktrin sudah terjadi puluhan tahun lalu.
Jadi mana bisa dibalikkan hanya sehari dua hari?
Pembubaran
HTI yang dilakukan oleh pemerintah, hanya terhitung satu langkah.
Selanjutnya adalah mengambil alih pos-pos yang sudah diduduki oleh
mereka yang menganut paham anti Pancasila. Dari kampus-kampus, institusi
lembaga negara, sampai masjid-masjid pelosok desa.
Pertanyaannya kemudian, kita mau mulai dari mana?
Bagi
Jokowi dan jajaran kabinet barunya nanti, harus berani mengambil
langkah kongkrit. Pemecatan terhadap orang-orang yang dinilai memiliki
paham khilafah. Karena kita tahu, di lingkungan kementerian atau lembaga
negara, masih banyak diisi oleh orang-orang yang pro khilafah, anti
riba dan sebagainya. Tertibkan masjid-masjid BUMN dan kementerian. Geser
para ustad dan penceramah anti Pancasila.
Karena
orang-orang pemerintahan yang pro khilafah ini sangat berbahaya.
Keberadaan mereka bukan hanya bisa mendukung pendanaan atau logistik
kegiatan, tapi juga dapat mempengaruhi orang-orang di sekitarnya.
Memang
agak lucu. Mereka menolak Pancasila, menolak NKRI, tapi mencari nafkah
dengan menjadi ASN. Itu sama seperti cerita para pegawai bank yang
sangat anti riba. Ini bukan cerita katanya, ini fakta dan memang terjadi
di banyak daerah. Dan itu harus kita tertibkan.
Di
lingkungan kampus, organisasi nasionalis harus dibantu mengambil alih
kekuasaan kelompok Ikhwanul Muslimin. Partai-partai nasionalis jangan
lagi segan mengulurkan tangan, karena lawan kita juga melakukan hal yang
sama.
Sementara untuk masjid dan mushalla
desa-desa, ustad pro merah putih perlu diberi ruang lebih luas dibanding
IM, wahabi dan sejenisnya. Saya tak tau ini tugas siapa, tapi rasanya
NU bisa ambil misi ini.
Jika semua bergerak
serentak, insyaallah ancaman khilafah dan paham timur tengah bisa kita
tekan dan usir dari bumi Indonesia. Dari pemerintah, partai sampai
ormas, semua harus bergerak bersama-sama. Petakan, monitor dan eksekusi.
Begitulah kura-kura.
Tempo Akan Merugi Jika Presiden Jokowi Menertibkan Buzzer
Media Tempo dulu
lain dengan Media Tempo sekarang. Terutama di jaman Orba. Berapa kali
Media Tempo dibredel oleh rezim Orba? Dua kali! Tahun 1982, Majalah
Tempo diberedel untuk pertama kalinya. Tahun 1994, Tempo kembali di
bredel oleh rezim Orba dengan alasan yang berbeda. Setelah pemberedelan
kedua yang dialaminya, Tempo sempat berhenti beroperasi selama empat
tahun. Sebelum akhirnya bangkit kembali setelah lengsernya Presiden
Soeharto pada Mei 1998. Tepat 12 Oktober 1998.
Sekilas
Tempo terlihat konsisten selalu menjadi ‘pengkritik’ pemerintah.
Bedanya, sekarang dalam ‘mengkrtitik’ pemerintah, Tempo berkubu dengan
keturunan rezim Orba. Semakin hari, Tempo semakin mesra bahkan tidak
ragu lagi untuk memperlihatkan dukungannya terhadap kelompok Orba. Jari
tangan kita rasanya kurang untuk menghitung berapa kali Tempo
menerbitkan tulisan yang senyawa dengan media Obor Rakyat, menyerang
pemerintah dengan pemberitaan yang kebenarannya sangat diragukan.
Bagusnya,
para pendukung pemerintah dan pendukung Jokowi, memiliki tingkat
sensitivitas yang sangat tinggi. Sehingga, tulisan Tempo yang ngaco tak
bisa bertahan lama, karena dihantam balik hingga akhirnya berita Tempo
tak lagi menjadi bacaan yang ditunggu oleh pembaca Indonesia. Bahkan
tulisan Tempo terakhir, mampu membuat Rating Tempo terjun bebas, karena
para pendukung pemerintah dan Jokowi tidak membiarkan tulisan Tempo
terus mengumbar berita-berita yang kebenarannya disangsikan. Karena
keberpihakannya pada Kubu Orba, Tempo sekarang tampil tak ubahnya media
buzzer lawan pemerintah.
Merasa kalah telak
dalam persaingan media di dunia maya, pada tanggal 1 Oktober 2019
kemaren Tempo meluncurkan sebuah tulisan dengan judul “Saatnya
Menertibkan Buzzer”. Lucunya, isi artikel tidak singkron dengan judul.
Pada badan tulisan, apa yang dituangkan oleh Tempo tak lebih dari
rengekan, iya rengekan meminta Presiden Jokowi untuk menertibkan buzzer
Jokowi yang dianggapkan sebagai produk gagal dari era kebebasan
berpendapat.
Saya kok bingung yah dengan logika
Tempo. Bukankah ‘era kebebasan berpendapat’ adalah produk suksesnya
dari apa yang diperjuangkan oleh mahasiswa di tahun 1998? Saking
suksesnya para Pejuang 1998 menghadiahkan kebebasan berpendapat,
sampai-sampai mampu menciptakan jenis usaha baru, yaitu usaha jasa
pembuat hoax seperti Trio Macan, Saracen hingga Muslim Cyber Army.
Kemudian jasa penjual ‘like’, ‘follower’ dan ‘share’. Siapa yang
menggunakan jasa dari Saracen dan MCA?? Tempo bisa menjawabnya sendiri.
Dan kedua kelompok ini siapa? Ya Buzzer kawannya Tempo…
Soal
tuduhan Tempo bahwa ada kedekatan antara Buzzer dan Penguasa, itu
rengekan murahan. Karena kedekatan itu terjalin tak selalu berarti
‘dekat secara pisik’. Kedekatan bisa terjalin secara batin. Setiap orang
yang mengidolakan, memuja dan mendukung seseorang lain, mereka pasti
dekat pada orang yang didukungnya, dipujanya, diidolakannya. Itu
sebabnya ada istilah ‘Fans Club’. Kalau tidak ada kedekatan batin, karir
para selebrities di Indonesia akan nyungsep. Tidak akan ada istilah
‘figur publik’ lagi.
Tulisan Tempo berjudul
“Saatnya Menertibkan Buzzer” seakan mengemis-ngemis meminta pada
Presiden Jokowi untuk menertibkan para Buzzernya. Tapi permintaan Tempo
ini malah menjadi blunder sendiri. Karena permintaan Tempo ini ditujukan
kepada PRESIDEN JOKOWI, dan bukan kepada Jokowi pribadi. Artinya, jika
Presiden Jokowi menerima permintaan tersebut, maka dia akan
menanggapinya pada kapasitas dia sebagai Presiden Indonesia. Dan jika
permintaan itu dikabulkan, niscaya, Tempo sendiri yang akan menjadi
pihak yang dirugikan!! Loh kenapa begitu??
Karena
sebagai Presiden Indoensia, Bapak Jokowi, tidak mungkin membuat sebuah
aturan penertiban Buzzer yang hanya berlaku bagi sebagian rakyat
Indonesia saja. Presiden sebagai kepala eksekutif, akan mengajukan RUU
Penertiban Buzzer (.) (baca : RUU Penertiban Buzzer titik, tidak ada
embel-embel Buzzernya siapa).
Tempo ‘sok’
kura-kura dalam perahu, padahal kura-kura ninja hitam, bahwa di
Indonesia sekarang ini, jasa Buzzer bayaran yang nyata-nyata sudah
disewa oleh Kubu lawannya Jokowi terbukti ada 2, Saracen dan MCA. Tempo
membutakan diri bahwa di Indonesia hampir setiap tokoh yang memiliki
massa, pasti memiliki tim buzzer, baik secara natural maupun bentukan.
Contoh pada perseteruan KPK vs Negara, memangnya KPK tidak punya tim
buzzer? Menggalang jutaan massa turun ke jalan dalam waktu singkat,
kalau bukan karena tim buzzer yang membuat konten-konten penyesatan,
mustahil demo mahasiswa akan ada. Tempo pikir demo mahasiswa kemaren itu
sebuah demo yang normal??? Naïve sekali jika ada orang berpikir demo
mahasiswa kemaren adalah sebuah gerakan yang normal dan wajar.
Selain
itu, permintaan penertiban buzzer, terutama buzzer natural, hanya bisa
dilakukan jika pemerintah menerbitkan sebuah peraturan. Tidak bisa dong
menertibkan buzzer hanya dengan omongan, memangnya Anies Baswedan? Ini
Indonesia, bukan Jakarta, dan pemimpin Indonesia itu orangnya bekerja
bekerja bekerja dan sangat sedikit bicara. Keluhan atau masukan dari
rakyat dia tanggapi dengan tindakan bukan dengan ocehan seperti gubernur
Jakarta.
Ingat! Tempo meminta PRESIDEN JOKOWI untuk menertiban buzzer.
Tapi
Erika, Tempo kan minta Presiden Jokowi menertibkan buzzer Jokowi saja
tidak semua buzzer? Ya itu masalahnya, Tempo ga mikir kalau hanya untuk
menertibkan buzzer Jokowi, dia kan bisa minta ke Jokowi pribadi, kenapa
harus minta ke Presiden Jokowi. Kecuali Tempo memang sedang
termehek-mehek, merengek-rengek minta Presiden Jokowi untuk menertiban
Buzzer Jokowi karena Tempo merasa kalah persaingan usaha atau kalah
dalam mendapatkan perhatian pembaca.
Hhmm…. Kok
jadi kayak mental Orba yah, yang sedikit-sedikit ngadu ke Soeharto,
dengan harapan besoknya orang atau pihak yang diadukan hilang, dibredel
atau dimatikan.
Dan yang saya bayangkan langkah
untuk menertibkan Buzzer ini, pemerintah bersama-sama dengan DPR akan
menerbitkan sebuah undang-undang atau peraturan tentang Buzzer dan
kegiatan Buzzer. Kemudian setelah UU terbentuk, pemerintah akan
melibatkan 2 kementerian plus lembaga Yudikatif. Pertama adalah
kementerian Hukum dan HAM yang bertugas untuk mengeluarkan ijin dari
wadah yang akan menampung setiap orang yang ingin menjadi ‘Buzzer’. Ya,
Buzzer-Buzzer ini wajib diwadahi, agar mereka tidak liar. Artinya, jika
ditemukan sebuah hoax yang diunggah oleh sebuah Akun, si pemilik akun
itu harus menjadi anggota kelompok Buzzer yang berijin. Jika tidak, maka
setiap unggahan yang mengandung konten ‘buzz’, tidak akan bisa tayang
di media sosial ataupun di media. Nah, Kemeninfo yang terlibat untuk
urusan akses ke dunia maya. Kalau masih ada unggahan yang diunggah oleh
Buzzer illegal, maka siapapun berhak melaporkan ke pihak yang berwenang,
dalam hal ini kepolisian. Kalau ada unggahan yang menyalahi peraturan,
walaupun diunggah oleh Buzzer yang terdaftar, maka wadah si Buzzer yang
harus bertanggung jawab. Jika ditemukan lebih dari tiga menayangkan
Hoax, maka perijinan dari wadah Buzzer itu akan dicabut atau dibekukan.
Kalau
sudah begini, yakin deh, akan lebih banyak lagi akun-akun yang dibredel
karena sudah bertindak liar dan melanggar peraturan. Dengan langkah
seperti ini, Insya Allah, Indonesia akan terhidar dari pengaruh-pengaruh
radikal. Dan Tempo, yang hobi melansir berita-berita plintiran, juga
akan terseok-seok mengakali peraturan. Dan kalau pemerintah melindungi
Buzzer-Buzzernya, itu adalah sebuah kewajaran. Rezim Orba saja tidak
sungkan menculik dan menghilangkan nyawa rakyat demi untuk melindungi
kekuasaan. Itu sebabnya, turunan Orba berjuang mati-matian untuk merebut
kembali kekuasaan yang sudah pernah mereka rasakan keenakkannya.
Semuanya masuk akal, bukan???
Sumber Opini : https://seword.com/umum/tempo-akan-merugi-jika-presiden-jokowi-menertibkan-zOzdngmkCC
ILC Mulai Tidak Bermutu Lagi, Undang Pengkhianat Negara Sebagai Narasumber
Baru saja Indonesia
Lawyer Club sempat waras, dengan menyajikan banyaknya pakar hukum saat
membahas RKUHP. Pakar hukum tersebut meluruskan salah persepsi yang
timbul di kalangan masyarakat, termasuk mahasiswa yang kebanyakan
mengetahui RKUHP hanya dari berita-berita di media sosial yang
kebanyakan telah dipelintir. Terbukti kebanyakan dari mahasiswa tersebut
tidak paham yang menjadi tuntutan mereka.
Tidak
berselang lama, kali ini ILC kembali turun level lagi dengan
menghadirkan narasumber seorang pengkhianat negara bernama Abdullah
Kamekameha. Walaupun penulis akui acara kali ini masih layak untuk
ditonton, karena orang-orang sakit jiwa macam Ridwan Saidi, Fadli Zon,
Rocky Garong tidak hadir kemarin. Yang ada hanya Fahri Hamzah yang
tampaknya sudah mulai aga waras karena mungkin lupa minum obat (kalau
minum obat dia malah tidak waras). Sekalian promosi, kenapa mereka yang
penulis sebut dianggap tidak waras, silakan baca artikel berikut ini.
Berbicara
soal Abdullah Kamekameha, penulis tidak bosan-bosan mengingatkan bahwa
beliau adalah orang yang katanya mau membawa masalah kecurangan pemilu
ke pengadilan internasional. Jika sampai saat ini hal tersebut belum
beliau lakukan, berarti beliau bukan orang yang bisa kita percaya.
Oleh
karena itu ketika beliau menyangkal keberadaan KPK Taliban dengan
menuduh hal tersebut adalah isu yang dihembuskan komunis, penulis
langsung tahu bahwa beliau sedang mengatakan dusta. Termasuk saat beliau
menyangkalnya dengan alasan bahwa selain pengajian, di KPK juga ada
kebaktian. Lah apa urusannya, kebaktian kan di tempat berbeda, kalau
pengajian diisi dengan pengajaran kaum-kaum radikal dengan mendatangkan
ustad macam Abdullah Kamekameha dan Tengku Zulkarnaen, tentu tidak akan
diketahui, termasuk oleh yang melaksanakan kebaktian.
Abdullah
Kamekameha adalah ustad radikal yang melarikan diri pada era Soeharto
bersama ustad radikal lainnya Abu Bakar Baasyir karena menolak pancasila
sebagai asas tunggal, dia melarikan diri ke Malaysia. Dan di sana dia
mengucapkan kalimat yang sangat menghina Indonesia, "Negara ini adalah bencana", katanya.
Jadi
tidak perlu kita tanyakan lagi, nyata sudah beliau adalah pengkhianat
negara. Lalu kenapa dia kembali ke Indonesia, jelas karena dia punya
misi dan misi beliau yang sudah terbukti berhasil adalah membuat wadah
pegawai KPK menjadi radikal dengan ceramah-ceramahnya, kini beliau sudah
mempunyai penerus yang melakukan tersebut, siapa lagi kalau bukan
Tengku Zulkarnaen yang kedapatan sedang mengisi ceramahnya di KPK.
Jadi
di sini penulis sangat menyayangkan kenapa ILC mengundang pengkhianat
negara sebagai narasumber, penulis akan protes seandainya yang melakukan
hal tersebut acara dari stasiun televisi mana juga. Karena yang namanya
pengkhianat negara, ucapannya tentu tidak dapat dipercaya dan hanya
bertujuan untuk merusak negara kita. Jadi ILC sungguh sayang sekali
kualitasnya menurun kembali.
Walaupun begitu
penulis tetap apresiasi acara ILC kali ini, karena kesalahan mereka
mendatangkan pengkhianat negara dibayar oleh aksi bang Karni yang sempat
mempermalukan pengkhianat negara tersebut.
Bagi
yang belum menonton, penulis sedikit ceritakan lagi saat-saat bang
Karni menghajar Abdullah Kamekameha si pengkhianat negara.
Jadi
sebelumnya Masinton Pasaribu menjelaskan bahwa DPR dan pemerintah
akhirnya sepakat karena mereka semua menemukan bahwa KPK memiliki
kelemahan, akhirnya dibuatlah RUU KPK yang baru untuk menutup kelemahan
tersebut. Abdullah Kamekameha menyetujui bahwa memang KPK memiliki
kelemahan-kelemahan.
Sampai
sini penulis mau tegaskan, jika para pembela KPK saja sudah mengakui
kalau KPK memiliki kelemahan, kenapa masih banyak yang ngotot kalau KPK
itu lembaga suci yang tidak boleh disentuh sama sekali? Silakan
direnungkan lagi, kalau memang tidak setuju UU KPK yang baru, bantah
dengan alasan yang logis bukan merasa benar sendiri dan menuduh yang
mendukung UU KPK baru sebagai antek koruptor yang berusaha melemahkan
KPK!!
Setelah mengakui adanya kelemahan pada
KPK, si pengkhianat negara malah menyalahkan presiden negara ini sebagai
yang menyebabkan adanya kelemahan pada KPK. Penulis tidak aneh karena
namanya pengkhianat negara tentu akan berusaha melawan negara, maka
tidak aneh ketika beliau malah menyalahkan Jokowi yang adalah pemimpin
negara ini. Untung bang Karni akhirnya menghajar si pengkhianat negara
dengan telak sampai membuatnya malu.
"KPK kan tidak di bawah presiden katanya. tidak di bawah presiden, lembaga independen," ujar Karni Ilyas.
Kerja yang bagus bang Karni, karena hal ini penulis
memaklumi kesalahan ILC dengan mengundang pengkhianat negara. Apalagi
dengan aksi Ngabalin yang berhasil membuat si pengkhianat negara
benar-benar dipermalukan.
Si pengkhianat negara
menyindir Ngabalin yang dulunya adalah lawan Jokowi kini menjadi pembela
Jokowi. Untuk Ngabalin penulis pernah menuliskan artikelnya di sini,
walaupun pernah menjadi lawan Jokowi, bagi penulis kesalahan Ngabalin
masih biasa saja dan ketika dia bertobat mendukung Jokowi penulis
menghargai beliau.
Tentu sangat berbeda dengan
si pengkhianat negara yang tidak malu kembali ke negara ini setelah
menghina negara ini sebagai bencana. Karena itu penulis sangat bahagia
ketika Ngabalin "menghajar" si pengkhianat negara dan bersedia
membongkar semua kemunafikan-nya. Sayang sekali si pengkhianat negara
keburu takut dan malu setengah mati, kalau tidak habislah beliau sama
Ngabalin.
Begitulah kura-kura.
Sumber :
Ferdinand Hutahaean Serang Anies Baswedan
Kita tau lah ya
gimana vokalnya seorang Fendinan Hutahaean dimana lampau dalam
"mengkritisi" kepemimpinan Presiden Jokowi, dan saat ini atau sejak
beberapa waktu yang lalu tiada angin tiada hujan tiba-tiba saja beliau
berbalik arah, seolah berhenti menyerang pemerintah dan sekarang mulai
vokal mengkritisi yang memang sudah seharusnya dikritisi.
Ferdinand
Hutahaean sebagai salah satu kader dari Partai Demokrat memberikan
komentar terkait keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang
menawarkan pekerjaan pada mahasiswa yang menjadi korban saat demo di
depan Gedung DPR beberapa waktu lalu. Menurutnya, sikap dari pak Anies
ini merupakan sebuah isyarat bagi para mahasiswa untuk terus melakukan
demo, kemudian jika mereka menjadi korban, maka mereka akan mendapat
pekerjaan dengan cara yang mudah tanpa perlu melalui proses seleksi
sebagaimana mestinya.
Selain
itu, Ferdinand juga mempertanyakan mengapa hanya satu orang yang
ditawari oleh pak Anies untuk bekerja di kepemerintahan, sedangkan
korban demo ada banya jumlahnya. Hal ini seperti dalam unggahan di akun
twitternya kemarin, Kamis (3/10/2019).
FERDINAND
HUTAHAEAN@FerdinandHaean2 Gubernur koq begini sih? Pendemo ditawari
pekerjaan? Ckckck apakah ini isyarat agar semua demo terus? Krn kalau jd
korban akan kerja di Pemda DKI. Korban kan banyak, knp cm 1?
-
-
-
Nies...!! Jd Gubernur jgn begitu..!!
(siap2 dibully kamprabud)
Dan
kali ini saya setuju dengan Ferdinand, karena secara logika bagi
orang-orang yang akalnya sehat, apa yang dilakukan oleh pak Anies ini
sangat tidak masuk akal, dia bertindak layaknya pahlawan kesiangan bagi
para pendemo tapi abai bagi aparat yang juga menjadi korban kebrutalan
para demonstran. Dari sekian kali terjadinya demo di DKI Jakarta pak
Anies tidak pernah terlihat hadir untuk berdialog dengan para demonstran
tapi dia selalu ada saat jatuh korban dari kubu pendemo.
Menawarkan
pekerjaan untuk mahasiswa Universitas Al Azhar Indonesia, yang bernama
Fasial Amir, di Biro Hukum Balai Kota itu adalah sebuah tindakan yang
bodoh, sekalipun pak Anies mau ngeles bahwa tawaran pekerjaan tersebut
hanyalah sebuah alasan agar dapat memacu semangat Faisal agar segera
pulih dengan membicarakan tentang rencana masa depan, tetap saja alasan
tersebut adalah alasan yang konyol dan tidak mendidik.
Tapi
tentu saja bukan Anies Baswedan namanya kalau sampai dia pro
Pemerintah, selama ini semua kebijakan-kebijakannya tidak pernah sejalan
dengan pemerintah, bahkan dia juga menegaskan bahwa pihaknya tidak akan
memutus hak Kartu Jakarta Pintar (KJP) bagi pelajar yang bermasalah
karena ikut aksi demonstrasi di depan gedung DPR RI.
Bahkan
pak Anies malah meminta pemerintah untuk bertanggung jawab dan
memastikan pendidikan setiap anak, jika ada anak bermasalah seharusnya
anak itu dididik lebih baik di sekolahnya, bahkan pak Anies menyebut
bahwa dengan mengeluarkan siswa dari sekolah dan mencabut KJP-nya
merupakan konsep yang salah.
Anak-anak penerima
KJP itu adalah anak yang sulit sekolah karena tidak ada biaya, negara
sudah melakukan tanggungjawabnya untuk mendidik semua anak, tapi kenapa
sekarang malah mereka diajari untuk berkhianat pada negara kadruuuunn,
aarrhhh f*ck. Seharusnya cabut saja KJP dari semua siswa yang ikut demo
kemaren, supaya mereka sadar dan tau bagaimana caranya berterima kasih.
Bahkan
Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Ratiyono juga mengatakan bahwa
pelajar bisa dikenakan sanksi berupa pemberhentian KJP jika pelajar yang
bersangkutan terbukti bersalah dan melakukan tindak kriminal saat
demonstrasi, tapi jika hanya sekadar ikut-ikutan, pelajar hanya akan
dinasihati.
Tentu saja si wan abud malah ngeles,
apabila siswa tersebut terbukti melakukan tindak kriminal hal itu
merupakan tanggung jawab pihak kepolisian. Bukan menjadi kewenangan
dirinya memutus pendidikan siswa yang bersangkutan. Semuanya dilimpahkan
pada pihak lain, terus tugasmu itu apa wan abuuudd???
KJP
itu program Pemprov DKI untuk membiayai pelajar yang kurang mampu dalam
mengenyam pendidikan hingga tamat SMA/SMK. Biayanya diambil dari
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta, yang artinya
pendidikan mereka itu dibiayai negara lalu disaat mereka mulai belajar
untuk bikin rusuh di negara ini, sudah sewajarnya jika mereka diberi
sanksi dan pelajaran yang setimpal agar anak-anak itu bisa menggunakan
otaknya dengan benar dan tidak asal ikut demo-demoan lagi.Tercyduk! Pelaku Penculikan Ninoy Karundeng, Sementara LSM Kemanusiaan Masih Bungkam
Penulis pikir, pasca
Orba tumbang pada 1998 silam tidak akan ada lagi yang namanya kasus
penculikan. Tapi ternyata itu salah. Kasus penculikan masih ada. Hanya
saja penculikan di jaman now pelakunya beda.
Jika
dulu yang melakukan penculikan adalah militer, yakni Tim Mawar yang
merupakan sebuah tim kecil dari kesatuan Kopassus Grup IV, TNI AD.
Sekarang, yang melakukan penculikan justru kelompok masyarakat sipil.
Dan
korbannya pun, bukan lagi orang-orang yang kritis terhadap pemerintah,
melainkan pendukung pemerintah itu sendiri, yakni Ninoy Karundeng.
Sebagaimana
kita ketahui bahwa Ninoy adalah relawan Jokowi. Bahkan, pada 19 Mei
2015 lalu, ia tercatat sebagai salah satu dari 13 penulis yang diundang
oleh Presiden Jokowi ke Istana Negara.
Selain
itu, Ninoy juga pernah tercatat sebagai penulis Seword. Walau sekarang,
ia tidak lagi aktif menulis di portal opini terbesar di Indonesia itu.
Diketahui, Ninoy diculik oleh sekelompok orang tidak dikenal di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat pada 30 September 2019.
Saat
itu, di dekat masjid di Pejompongan sedang ada demo. Entah apa
tujuannya, Ninoy pun berada di tengah-tengah sekumpulan Macan yang lagi
marah itu. Ia kemudian memotret-motret di sana. Hingga akhirnya
dicurigai oleh para pelaku sebagai penyusup.
Melihat
Ninoy mengambil gambar inilah yang membuat massa menjadi marah. Ninoy
lantas dibawa ke masjid yang ada di Pejompongan itu untuk kemudian
diintrogasi.
Mengetahui kalau yang memoto mereka adalah relawan Jokowi, masa yang kontra Jokowi itu pun kian marah.
Mereka berusaha lagi untuk memastikan kalau Ninoy itu benar-benar relawan Jokowi dengan cara mencari Facebooknya.
Dan,
jejak digital memang tidak bisa dibohongi, kalau Ninoy itu memang
benar-benar loyalis Jokowi sejati. Jadilah, dia langsung dihajar babak
belur oleh massa yang tidak dikenalinya tersebut.
Selain digebukin, ternyata Ninoy juga diintrogasi dan disekap semalaman oleh pelaku.
Barang-barang miliknya pun turut diperiksa.
Dan yang bikin lebih malu lagi, videonya saat diintrogasi dengan muka babak belur disebarkan ke media sosial oleh pelaku.
Tapi,
patut disukuri juga bahwa Ninoy saat ini sudah pulang ke rumah dengan
selamat. Nasibnya bisa dikatakan lebih baik daripada Wiji Thukul dkk,
yang diculik oleh Tim Mawar dari Kopassus itu, yang hingga saat ini
tidak pulang-pulang.
Selain itu, Ninoy juga
mendapat dukungan dari teman-temannya sesama relawan Jokowi. Diantaranya
yang turut memberi support kepadanya adalah Jack Lapian.
Dan Jack inilah yang meyakinkan Ninoy agar mau melaporkan kasusnya ke polisi.
"Iya
akhirnya dia mau lapor, karena aku coba yakinkan untuk tidak takut dan
aku bilang nanti bakal ada Ninoy Ninoy lainnya jika tidak melapor," ujar
Jack.
Polisi
pun cepat tanggap merespon laporan kasus penculikan terhadap Ninoy
tersebut. Tidak menunggu waktu lama, petugas berhasil menangkap 2
pelaku. Mereka ditangkap di Jakarta pada Rabu malam, (02/10).
"Setelah
kita melakukan penyelidikan dan tim bergerak dari Polda Metro Jaya dan
tadi malam kita amankan 2 pelaku yang diduga pelaku itu inisial RF dan
S," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono, (03/10).
Menurut pengakuan Argo, ternyata pengeroyok Ninoy tersebut berasal dari kalangan anggota Ormas.
Hanya
saja ia belum mau mengungkap identitas Ormas mana pelaku berasal.
Apakaha dari kalangan Ormas yang izinnya sudah expired itu atau Ormas
lainnya yang kalau setiap demo selalu berbuat anarkis?
Aktivis kemanusiaan bungkam
Sebenarnya
kasus penculikan yang dialami Ninoy ini merupakan kasus yang cukup
serius. Apalagi pelakunya adalah oknum yang berasal dari kalangan
Ormas. Akan tetapi, tidak ada suara nyaring dari LSM dan aktivis-akvitis
kemanusiaan, seperti Kontras, LBH Jakarta, Haris Azhar dan lain-lain,
termasuk juga Komnas HAM yang membelanya.
Pertanyaannya, apakah mereka menganggap Ninoy itu bukan manusia, sehingga tidak layak untuk dibela? Atau karena ada faktor lain?
Kalau
perusuh yang berbuat anarkis saat demo menolak RUU KUHP dan UU KPK
ditangkap polisi, LBH Jakarta cepat banget bereaksi. Termasuk juga si
provokator Dandhy Laksono dan Ananda Badudu yang menggalang dana untuk
bikin kerusuhan di depan Gedung DPR itu, ditangkap polisi, cepat banget
mereka bela.
Padahal Dandhy dan Badudu hanya
sebatas dimintai keterangan lho oleh polisi. Setelah itu, keduanya
diperbolehkan pulang. Dan, kalau seandainya kasus mereka masuk ke
pengadilan, mereka masih bisa membela diri.
Sedangkan Ninoy, babak belur di hajar oleh anggota Ormas. Tanpa mampu memberikan perlawanan sedikitpun.
Di mana hati kalian wahai para LSM kemanusiaan?
Sumber :
- Image : https://arrahmahnews.com
Gagal Lagi Menghancurkan Indonesia, Menumbangkan Jokowi: Demo Rusuh Tak Berkesudahan
Sejak perhelatan
Pilpres 2019 usai, tak setiap bulan kita dihadapkan pada situasi hampir
keos di NKRI. Mata kita dibukakan bahwa ada pihak-pihak yang memang
dengan sengaja menimbulkan keributan untuk memecah-belah bangsa ini
entah demi kekuasaan entah demi keuntungan pribadi.
Pada
kerusuhan 22-23 Mei 2019, kita jelas-jelas menyaksikan bahwa ada
sekelompok orang yang menginginkan kekuasaan dengan menggunakan
tangan-tangan yang murahan, yang mungkin saja tidak sanggup menerima
kekalahan pada Pilpres tetapi juga yang kesempatannya berkuasanya hilang
karena pilihannya kalah.
Selain
itu ada juga kelompok kadal gurun yang memanfaatkan situasi mewujudkan
agenda khilafahnya, yang kebetulan berada dalam satu perahu yang sama,
melawan Jokowi dan para pendukungnya.
Korban
luka berjatuhan, fasilitas publik dirusak dan dibakar, kegaduhan pun tak
terhindarkan. Kalau bukan karena kejelian dan kesigapan petugas
keamanan, bukan tidak mungkin kerusuhan yang lebih besar akan terjadi
kala itu. Semua itu terjadi hanya karena mereka membenci Jokowi.
Pada
Agustus 2019, kita kembali dikejutkan dengan peristiwa rasial di
Surabaya yang mengakibatkan kerusuhan di Papua. Motivasinya sama,
merongrong keutuhan NKRI. Pihak-pihak terkaitnya yang ikut terlibat pun
sama saja, barisan sakit hati, kadal gurun ditambah SJW pendukung
kemerdekaan Papua Barat. Dan ketiganya bekerja secara mandiri tetapi
seperti terorkestrasi sedemikian rupa saling mendukung.
Di
Surabaya, kadal gurun dan barisan sakit hati karena kalah dalam politik
menjadi pemicu terjadinya peristiwa rasial. Pada saat yang sama
agen-agen SJW pro-referendum Papua menjadi sarana untuk memancing
kemarahan warga Papua. Provokasi melalui media daring menjadi sarana
paling murah dan efektif untuk meletuskan kerusuhan di Papua.
Korban
lagi-lagi berjatuhan. Perpecahan di antara anak bangsa di suatu daerah
tak bisa dihindarkan. Perseteruan, perdebatan dan bahkan saling hina pun
seolah menjadi jalan paling suci mencapai tujuan. Lagi-lagi, Jokowi
menjadi sasaran tembak empuk karena dianggap tidak sanggup mengelola
negara.
Tetapi lagi-lagi usaha memecah-belah
bangsa ini gagal untuk kedua kalinya. Semua ini tentu hasil dari usaha
seluruh elemen pemerintahan dan masyarakat dengan caranya masing-masing.
Sampai di sini, kita kembali membuktikan bahwa kekuatan Indonesia itu
adalah persatuan dan kesatuan.
Pada September
2019, kegaduhan di negeri ini kembali terjadi. Mulai dari kasus Papua
yang sudah terjadi lebih dahulu, kemudian maraknya kebakaran hutan di
berbagai daerah, kontroversi UU, pembantaian di Papua sampai pecah demo
mahasiswa.
Lagi-lagi provokasi, kerusuhan sampai
pembantaian ini terjadi bagai gayung bersambut. Kasus Papua, kebakaran
hutan dan kontroversi UU menjadi alasan mahasiswa untuk turun ke jalan
di berbagai daerah.
Kalau Anda jeli, Anda akan
menyaksikan bahwa demo mahasiswa terkait kebakaran hutan di Riaulah yang
menjadi awal mula demonstrasi. Provokasi di media sosial memancing Gejayan Memanggil. Gejayan Memanggil menggerakkan mahasiswa di berbagai daerah.
Akhirnya
demonstrasi berlangsung hampir satu minggu penuh. Kerusuhan tidak
terhindarkan. Lagi-lagi kerusakan fasilitas umum dirusak begitu saja.
Perusuh pun dibayar untuk memperparah situasi. Korban pun berjatuhan dan
kegaduhan pun menjadi keseharian.
Penyampaian
aspirasi yang awalnya berlangsung damai, berakhir rusuh. Kalau bukan
karena adanya penumpang gelap, kerusuhan itu tidak akan terjadi. Kalau
bukan karena kegigihan dan kesabaran TNI-Polri, bukan tidak mungkin
kota-kota tempat demo itu akan berubah menjadi lautan kerusuhan yang
begitu masif.
Dan
pada saat yang sama kita tahu sekelompok orang berencana membakar
Indonesia ala teroris yang dipimpin seorang dosen universitas negeri.
Lagi-lagi kepolisian berhasil menggagalkan agenda bejat sekelompok
orang. Apa pun alasannya, membakar Indonesia untuk mendapatkan
keuntungan tidak bisa dibenarkan.
Khusus
pembantaian di Papua, terjadi begitu cepat. Hanya dalam waktu sehari,
tiga ratusan ruko dibakar, ratusan rumah dibakar, dan puluhan fasilitas
umum lainnya lenyap entah ke mana dilahap si jago merah. Puluhan nyawa
pun melayang. Semua itu terjadi hanya karena isu rasial seorang guru
yang juga ternyata hoaks. Tidak terbayangkan betapa hoaks mampu
dijadikan alat untuk menghancurkan satu kota.
Jika
kita perhatikan lebih jauh, hanya ada dua tujuan dari semua peristiwa
itu sebenarnya: menghancurkan Indonesia dan kemudian menyingkirkan
Jokowi. Keduanya harus berurut dan saling berhubungan. Tidak mungkin
menyingkirkan Jokowi tanpa alasan. Hanya dengan menghancurkan Indonesia
terlebih dahulu baik ekonomi dan kamtibmasnya, maka Jokowi bisa
disingkirkan. Tetapi lagi-lagi gagal.
Anda jangan salah. Jangan dikira bahwa tulisan ini demi Jokowi semata. Nanti dibilang buzzer Jokowi die heart. Kalau itu yang ada dalam benak Anda, maka Anda salah.
Ini
tentang Indonesia dan demi Indonesia. Akibat demo, fasilitas umum
rusak, pemerintah kehilangan fokus, keamanan dan ketertiban nasional
terganggu, para investor lari dan Papua terancam raib dari peta kita.
Ujung-ujungnya, bangsa ini yang akan rugi. Itukah yang Anda inginkan?
Tentu tidak.
Anda harus sadar bahwa korupsi –
walaupun berbahaya dan kita harus melawannya – tidak akan mampu
menghancurkan Indonesia. Sejarah sudah membuktikan itu. Tetapi kalau
persatuan dan kesatuan Indonesia hancur, maka negara ini dalam waktu
sesingkat-singkatnya pun akan hancur.
BTW, hanya
kali ini saya menyaksikan FPI, HTI dan konservatif-radikalis mendukung
demonstrasi yang salah satu tuntutannya memperjuangkan kumpul kebo. Aneh
kan?
Sumber Opini : https://seword.com/politik/gagal-lagi-menghancurkan-indonesia-menumbangkan-Mh27dI06Uw
Tengku Zulkarnain Minta Tuhan Hanya Mendengar do'a Orang Islam.
Kalau pernyataan
ustadz Tengku ini benar sesuai faktanya, kita bisa simpulkan negara ini
adalah milik Ulama. Betapa sangarnya fatwa yang merekomendasikan kaum
muslim membubarkan diri dari sebuah acara do’a.
Jika
kita mengacu kepada hadits rasulullah SAW, yang justru meninggikan
toleransi, tak bakalan kita temukan rekomandasi seperti yang disebutkan
oleh sang ustadz. Kira-kira maksud apa yang ada di balik fatwa versi
ustadz Tengku ?
Kita
curiga bahwa maksudnya untuk melecehkan sebuah acara do’a, yang dia
anggap tak bakalan dikabulkan oleh Tuhan yang sama dengan Tuhannya sang
ustadz, semata-mata karena mereka memiliki iman yang berbeda.
Sesuai dgn FATWA pada MUNAS MUI tahun 2005 ttg DOA BERSAMA, kami ingatkan bahwa HARAM HUKUMNYA Umat Islam mengikuti dan mengaminkan doa yg dipimpin oleh NON MUSLIM.— tengkuzulkarnain (@ustadtengkuzul) October 2, 2019
Oleh krn itu MUSLIM wajib BUBARKAN diri jika hal itu terjadi dlm upacara apapun di negeri ini
(Tengku Zulkarnain) pic.twitter.com/lvuHAb5hEH
Jika kita analogikan dengan sebuah cerita, yang
sarat dengan pesan humanisme, niscaya kita akan berpikir keras tentang
validitas cuitan ustadz. Dikisahkan seorang atheis sedang memberi makan
kepada burung-burung liar yang singgah di depan rumahnya.
Ketika
menjumpai perilaku sang atheis, seorang muslim bertanya, apa manfaatnya
kamu berlaku sebaik itu kepada burung ? Toh Tuhan tidak akan mencatat
amal seperti itu, karena kamu bahkan tidak mempercayai Tuhan.
Suatu
ketika keduanya berjumpa di Mekah dalam rangka ibadah haji, tentu saja
sang tetangga muslim tadi terkejut menjumpai tetangganya yang atheis,
sedang menjalankan ritual ibadah yang hanya dikenal oleh penganut Islam.
Dengan
ringan si tetangga tadi mengungkapkan, “Inilah buah dari amalan yang
aku lakukan kepada burung-burung itu. Tuhan telah mengaruniakan kepadaku
keimanan yang sama dengan kamu !”
Dengan
melukiskan kisah ini, maka bisa disimpulkan cara pandang Ustadz Tengku
sungguh menyesatkan. Bagaimana mungkin Tuhan mengabaikan sebuah do’a
hanya karena mereka bukan seorang muslim ? Lalu ke mana larinya
do’a-do’a yang mereka panjatkan ? Apakah ada dzat lain selain Tuhan yang
mau mendengar do’a serupa itu ?
Ustadz tengku
sungguh telah berprasangka buruk kepada Tuhan yang Maha Mendengar do’a
makhluknya. Padahal Al-qur’an sendiri telah memuat banyak pesan dari
Tuhan, bahwa ada sebagian di antara ayat-ayatnya yang ditujukan kepada
Bani Adam, atau Manusia secara umum, selain kepada kaum muslim sendiri.
Jika
Al-Qur’an itu dimaksudkan untuk dibaca hanya oleh kalangan muslim saja,
dalam arti yang berhak berdo’a kepada Tuhan adalah hanya kaum muslim,
menurut ustadz, bagaimana caranya mereka yang non muslim akan menerima
Islam sebagai jalan kepada Tuhan ? Berbeda soal, ketika mereka diberi
akses untuk menelaah kitab suci itu secara bebas, tentu kesempatan
mereka untuk mengerti paham Islam akan sangat besar.
Barangkali
kekeliruan ustadz Tengku ini senada dengan kekeliruan para pemuka Islam
lainnya. Mereka membuat pagar yang tegas, bahwa tanah suici Mekah dan
Madinah hanya boleh diinjak oleh mereka yang menganut Islam sebagai
agamanya. Sementara sejak nabi Ibrahim, tidak ada larangan untuk
mengunjungi Ka’bah bagi kaum manapun.
Bahkan di
zaman rasulullah SAW sendiri, Mekah adalah tanah yang dihuni oleh
berbagai suku sebelum dikenalnya Islam, lalu bagaimana bisa, pemuka
Islam dan pemerintah Arab membatasi Ka’bah dan Mekah hanya bagi muslim
saja ?
Jika mereka tidak mendapatkan akses
mengunjungi tempat suci itu, maka sangat kecil peluang para pencari
kebenaran untuk merasakan suasana spiritual para peziarah tanah suci.
Hal inilah yang sangat disesalkan. Dan dengan cara itu pula, bisa
diartikan mereka telah menghalangi manusia yang tidak sama keimanannya,
untuk mendapatkan karunia Tuhan melalui ziarah ke tempat suci Mekah dan
Madinah.
Sikap mereka bahkan kalah oleh agama
Hindu, yang membolehkan penganut agama lain berziarah ke Benares,
sementara tempat itu hanya diperuntukkan bagi penganut Hindu. Adakah
mereka memperlakukan Islam hanya sebagai alat politik ? Sungguh
aniayanya sikap yang mengkultuskan dirinya sebagai yang paling berhak
memanjatkan do’a kepada Tuhan.
Sumber Opini : https://seword.com/spiritual/tengku-zulkarnain-minta-tuhan-hanya-mendengar-doa-9AFlZjOpgs
Ditolak Keraton Yogya, Harusnya Abdul Somad And Friend Ditolak Seluruh Indonesia
Yogyakarta itu
spesial, walaupun merupakan bagian dari Indonesia tapi Yogyakarta adalah
provinsi yang mempunyai kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri,
karena itu Yogyakarta mempunyai rajanya sendiri yang dipilih sesuai
dengan tradisi keraton. Hal tersebut sudah berlangsung lama, bahkan
spesial-nya Yogyakarta sudah ada sejak era penjajahan.
Keraton
Yogyakarta begitu menjunjung nilai-nilai budaya mereka dan rakyatnya
sangat menghormati sang raja, bagi rakyat Yogyakarta sang raja sejajar
kedudukannya dengan presiden republik Indonesia sekalipun. Karena itu
jika ada kelompok yang mengancam kelestarian budaya keraton Yogyakarta
akan mereka lawan dan tolak mentah-mentah.
Jadi
ketika Abdul Somad dan para ustad-ustad radikal pemuja Khilafah ala HTI
mau memasukan pengaruhnya kepada rakyat Yogyakarta, dengan sigap
keraton Yogyakarta menolaknya walaupun secara halus, dengan alasan agar
Yogyakarta tetap kondusif.
Karena mereka sadar
sesadar-sadarnya bahwa pelan-pelan apa yang diajarkan para ustad radikal
tersebut akan memberangus budaya mereka, dengan mengharamkan segala
sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan para pemuja khilafah, apalagi
saat ini kondisi Indonesia sedang panas dengan adanya demo dimana-mana,
sehingga saat-saat emosional seperti ini sangat mudah untuk memasukkan
paham-paham kebencian terhadap negara dan sistem yang dianut bangsa ini.
Toleransi
hanya ketika mereka masih minoritas, ketika mereka sudah berkembang
biak dan pahamnya merajalela, maka mereka tidak akan segan-segan
mengharamkan segala sesuatu dan mengganti kesultanan Yogyakarta dengan
sistem khilafah ala HTI.
Semua di awal dari
hal-hal kecil seperti mengharamkan menonton acara non islami, lalu
melarang mengantar makanan yang dipesan oleh non muslim melalui ojek online,
lama-lama kita tahu arah dari semua ini, semua budaya Indonesia akan
diharamkan, lalu terakhir pancasila yang akan mereka haramkan
terang-terangan agar diganti dengan Khilafah.
Seharusnya
yang dilakukan oleh keraton Yogyakarta ini diikuti oleh wilayah
lainnya, termasuk yang mayoritas beragama Muslim. Karena muslim di
Indonesia ini begitu spesial, muslim di Indonesia adalah bukti nyata
bahwa Islam adalah rahmat bagi alam semesta, walaupun mayoritas tapi
sanggup mengayomi dan menjaga minoritas untuk beribadah dengan tenang di
negara kita.
Hal tersebut mulai bergeser
dengan munculnya ustad-ustad yang mengajarkan paham radikal, yang
mengharamkan segala sesuatu, mengajarkan membenci semua yang berbeda
dengan mereka, bahkan ada yang melarang untuk berteman dengan yang
berbeda agama, ini terjadi pada teman-teman penulis yang kini hanya mau
bergaul dengan yang memiliki paham sama, walaupun kepada sesama muslim
tapi jika memiliki paham yang beda, mereka akan menjaga jarak. Pembaca
ada yang pernah mengalami? Ceritakan di kolom komentar ya.
Sesungguhnya
Abdul Somad dan kawan-kawan ini hanya memanfaatkan agama demi
kepentingan mereka, jangankan untuk memanipulasi rakyat Indonesia, kitab
suci Alquran saja mereka akali agar sesuai keinginan mereka. Contohnya
adalah ketika dia mengakali aturan poligami yang maksimal hanya 4
menjadi unlimited, berikut artikelnya.
Contoh lainnya adalah ketika Abdul Somad dengan bangganya melawan
al-anam 108 dengan alasan internal hanya karena beliau tidak berani
mengakui kesalahan, padahal kata beliau sendiri kalau yang tidak mau
mengakui kesalahan itu seperti firaun.
Jadi
sudah sepantasnya semua muslim merenungkan kembali apa yang Abdul Somad
ajarkan, jangan sampai citra agama Islam di bumi Indonesia yang penuh
toleransi dan kedamaian dirusak oleh oknum-oknum ustad yang mengajarkan
kebencian, jangan sampai ajaran Islam yang sempurna dimanfaatkan untuk
kepentingan golongan mereka, yaitu kepentingan untuk menguasai negara
ini dengan embel-embel Khilafah.
Selain
Abdul Somad, penceramah radikal yang akan berceramah di Masjid Gedhe
Keraton juga antara lain : Abdul Somad, Bachtiar Nasir, Felix Siauw,
Ahmad Heryawan, dan Arie Untung.
Felix Siaw
adalah ustad HTI yang melarang hormat pada sang saka merah putih.
Bachtiar Nasir adalah buronan yang entah kenapa bisa kembali dengan aman
setelah terkena kasus pencucian uang. Ahmad Heryawan adalah gubernur
JABAR yang mengatasi banjir katanya hanya cukup dengan doa, maka akan
surut sendiri. Lalu ada Arie Untung, yang baru saja hijrah namun merasa
sudah hebat sehingga nekad berceramah, kira-kira ceramah apa yang akan
diucapkan seorang yang pernah memelintir ucapan bapa Habibie?
Jadi
kesimpulannya, sudah sangat tepat keraton Yogyakarta melarang Abdul
Somad dan kawan-kawan ini melakukan ceramah di wilayah mereka saat
Indonesia sedang panas-panasnya menjelang pelantikan presiden, karena
berpotensi terjadi provokasi kepada masyarakat dengan dalil-dalil agama.
Semoga
Abdul Somad tidak hanya ditolak di Yogyakarta, namun juga seluruh
Indonesia. Jika pemerintah tidak berani memproses kasusnya, maka
penolakan di seluruh Indonesia akan menjadi pelajaran berharga bagi
Abdul Somad agar tidak menebar kebencian dan menghina orang-orang di
luar kelompoknya yang berpotensi memecah belah kerukunan umat beragama
di negara ini.
Begitulah kura-kura.
Sumber :
Mahasiswa Demo Sebagai Perpanjangan Partai, Karena Rakyat Tak Pernah Minta Diwakili.
Sejak era Orde Baru,
PK atau PKS sudah mulai menjejakkan kekuatannya di kampus-kampus
ternama, dan ketika sebagai partai politik telah berhasil mendudukkan
wakilnya di parlemen, kekuatan PKS di kampus-kampus pun semakin kuat
pula.
Cukup dimengerti jika saat ini Badan
Eksekutif Mahasiswa ditengarai sebagai sarangnya kader PKS, bayangkan
saja, untuk kalangan yang baru memasuki usia dewasa yang pertama kali
mengenal dunia politik, di depan mereka tersaji ideologi partai yang
terlihat segar dan menarik. Maka bukan hal yang aneh kalau mahasiswa
terbius oleh angan-angan surgawi.
Itulah
yang kita jumpai, kenapa BEM sudah bisa disebut merepresentasikan
partai politik. Sangat masuk akal pula, ketika mereka melakukan
perlawanan kepada pengesahan UU KPK yang baru, yang mana di parlemen
tidak kuasa melawan derasnya aspirasi dari pengambil keputusan. Jalan
terakhir yang mereka tempuh adalah menggunakan tangan mahasiswa, yang
secara de facto telah dicengkramnya sejak lama.
BEM Berunjuk rasa Bukan Wakili Rakyat
Hal
yang berbeda dengan aspirasi dari mahasiswa yang demikian kuat
dilesakkan kepada pemerintah dan DPR, survei membuktikan bahwa publik
menyetujui diperkuatnya dewan pengawas di KPK. Tentu saja tujuan
pembentukan dewan pengawas adalah sangat konstruktif, lalu kenapa hal
ini ditentang ? Jelas sekali, bahwa internal KPK akan merasa kekuatannya
dipreteli.
Mereka tak suka diawasi, karena akan
membatasi praktik-praktik tebang pilih, tawar menawar dengan pelaku
korupsi, yang ketika dibawah pengawasan ketat, hal itu tak mungkin bisa
dilakukan dengan sekehendak hati.
Kalaupun
mahasiswa diberi pengertian tentang perlunya pengawasan diperkuat,
mereka tentu saja tidak bakalan menerima, karena secara ideologi sudah
mendapatkan tune up dari pembina mereka yang nota bene adalah politisi yang menginginkan KPK tetap berstatus quo.
Gerakan
perlawanan dari massa yang anti kepada unjuk rasa, kini mulai tampak di
media-media sosial. Netizen menganggap mahasiswa tidak layak
mengatasnamakan rakyat, karena telah terendus indikasi kuat, bahwa suara
partai politik lah yang diusung para mahasiswa tersebut.
Seolah
menjadi pasukan garda terdepan, sejatinya mahasiswa adalah senjata
pamungkas partai politik, yang ketika dalam perimbangan suara di
parlemen mereka kalah kuat. Siapakah yang menggunakan tangan mahasiswa,
guna melawan disahkannya UU KPK ? Meskipun kita tidak menyebutkannya,
tentu saja mudah ditebak.
Jadi publik perlu
mamahami peta kekuatan politik baik di parlemen maupun di jalanan.
Ketika mereka kalah bertempur di parlemen, mau tidak mau mereka
memaksakan kehendak dengan memakai tangan orang lain, yang mana telah
dicengkram dengan ideologi politik tertentu.
Bersikaplah
kritis, meskipun kepada kalangan yang merasa memiliki massa sangat
militan, berbasis luas dan semangat perjuangan yang tinggi. Lebih-lebih
di dadanya tersemat predikat sebagai kalangan intelektual.
Meskipun
pengunjuk rasa menolak anggapan bahwa mereka ditunggangi kekuatan
politik, mudah dipahami karena mereka bukan lagi ditunggangi melainkan
mereka juga sebagai penunggang kepentingan rakyat. Rakyat yang tidak
bermaksud melawan kesepakatan antara DPR dan pemerintah pun dipelintir
seolah-olah bersepakat dengan mahasiswa.
Ironisnya,
anak-anak bau kencur sampai dilibatkan sedemikian rupa, melalui cara
tipu-tipu anak sekolah dimobilisasi untuk turut serta dengan mengusung
agenda yang sebenarnya tidak mereka pahami sedikit pun.
Beruntung
pemerintah bergandengan tangan dengan pihak keamanan, berhasil
mengungkap skenario keji, ketika ditemukan gelagat tak baik justru di
kampus ternama. Maka semakin jelas pula, siapa yang berada di balik demo
besar-besaran, yang digalang di kota-kota besar dan melibatkan kampus
besar.
Tak ada lagi yang bisa mereka
sembunyikan, kolaborasi politisi dengan kalangan kampus, seolah-olah
kini menjadi buku terbuka di hadapan publik. Kita bisa membacanya
halaman demi halaman, bahkan kalimat demi kalimat.
Perjuangan
lama yang sampai saat ini terus diwariskan kepada adik-adik angkatan
mereka, merupakan konsep dan strategi efektif dalam merekrut kader-kader
baru partai di kalangan mahasiswa. Dan bukan hanya dalam agenda kali
ini saja aspirasi mereka ditawarkan, bahkan dalam mengusung propaganda
negara khilafah, aromanya cukup kuat tercium di kalangan aktivis kampus.
Jika sudah sebenderang itu gejala keterlibatan
mahasiswa dalam aktifitas politik, maka jelas pula arah mana yang
sedang dituju oleh politisi yang berasal dari kalangan mahasiswa ini.
Waspada adalah kalimat yang paling tepat untuk mengimbangi suara
mahasiswa, lebih-lebih jika gelagatnya menghadang kebijakan pemerintah
dan legislatif.
Sumber Opini : https://seword.com/politik/mahasiswa-demo-sebagai-perpanjangan-partai-karena-mt29ebkr3M
Re-post by MigoBerita /Jum'at/04102019/10.41Wita/Bjm