Tempo Mengancam! Pro Radikalis Agama?
Sudah baca edisi majalah Tempo yang beredar hari ini? Seakan belum puas dengan mengekspos ketidaksejalanannya dengan pemerintah dalam beberapa edisi minggu-minggu sebelumnya, hari ini Tempo datang dengan ancaman baru. Tak tanggung-tanggung, kejatuhan pemerintahan yang sah pula topik yang diusung!
Menjadikan Mesir sebagai rujukan yang coba dibanding-bandingkan dengan negara kita, Tempo terkesan ingin menggiring pembacanya (secara umum lebih mapan dari segi ekonomi dan usia) bahwa Indonesia sekarang berpotensi akan seperti Mesir situasinya. Sekaligus dengan ancaman apa yang akan terjadi jika mengambil tindakan yang mirip dengan Mesir. Memang yang ditakut-takuti adalah kita sebagai suatu bangsa, namun dengan mudah pulalah kita memahami bahwa sebenarnya arahnya adalah ke pemerintah yang sedang berkuasa sekarang.
Dua pekan terakhir, rakyat Mesir berbondong-bondong turun ke jalan, berdemonstrasi menuntut Presiden As-Sisi mundur. Pemerintah merespons unjuk rasa dengan keras. Polisi menangkap lebih dari 2.800 orang, termasuk pegiat politik, aktivis hak asasi manusia, pengacara, dan jurnalis. Banyak di antara mereka dituding menjadi bagian dari gerakan politik Al-lkhwan al-Muslimun, yang dilarang sejak 2014.
Gelombang demonstrasi itu sendiri dipicu kemarahan rakyat menyaksikan korupsi parah di pucuk pemerintahan Mesir. Semua bermula dari serangkaian video yang diunggah ke Internet oleh seorang kontraktor yang 15 tahun bekerja sama dengan militer, Mohamed Ali. Video tersebut antara lain mengungkap bagaimana As-Sisi menghamburkan jutaan dolar uang rakyat untuk membangun istana, hotel, dan vila.
Dimulai dengan adanya demo, tuntutan presiden untuk mundur, dan respon pemerintah yang keras dan tuduhan organisasi terlarang, korupsi di pemerintahan, penghamburan uang rakyat yang memicu demo di seluruh Mesir, Tempo menggiring kita bahwa Indonesia juga sudah seperti itu. Tentu saja beda! Jokowi terpilih melalui pemilu demokratis (bukan kudeta seperti Mesir), anti korupsi, dan membangun infrastruktur yang memang dibutuhkan masyarakat.
Pengambilalihan kekuasaan ini didukung sebagian rakyat Mesir yang gerah melihat Mursi dan partainya, Al-Ikhwan al-Muslimun, memaksakan penerapan syariat Islam di sana. Sejak itu, As-Sisi selalu menggunakan hantu Islam garis keras untuk membenarkan semua tindakan politiknya. Media sosial dikontrol dengan ketat. Pengadilan Keamanan Darurat — lembaga yang tidak mengenal upaya hukum banding — dihidupkan untuk mengadili tahanan politik. Para pembangkang disingkirkan dengan label islamis atau teroris.
Sejenak khalayak Mesir terlena. Ketika KPU Mesir menggelar referendum pada April lalu, mayoritas pemilih menyetujui perubahan konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden dari empat tahun menjadi enam tahun. Kemenangan itu membuat As-Sisi bisa berkuasa selama nyaris 30 tahun secara konstitusional. Baru setelah ada pengungkapan korupsi di level elite pemerintahan Mesir, publik tersadar dan bergerak. Namun semua sudah terlambat.
Penggiringan tentang ketakutan berlebihan terhadap Islam radikal ditiupkan di sini. Tempo menganggap masyarakat Indonesia adalah bodoh seakan tidak bisa membedakan bahwa perubahan konstitusi di Mesir adalah untuk memperpanjang kekuasaan presiden, sedangkan Jokowi adalah presiden yang patuh pada konstitusi, bahkan mempercepat pelantikannya satu hari saja pun tidak bersedia …
*Jika masyarakat sipil di Indonesia tidak waspada, apa yang terjadi di Mesir bisa dengan mudah terulang di negeri ini. Ketakutan atas ancaman radikalisme bisa membuat sebagian orang memaklumi tindakan otoriter penguasa. Tak banyak dari kita yang memprotes kebijakan Presiden Joko Widodo menerbitkan PERPPU tentang Ormas pada 2017, yang membuat pembubaran organisasi bisa dilakukan tanpa proses pengadilan. Radikalisme agama berbahaya, tapi menggunakan hantu radikalisme agama untuk membenarkan korupsi dan memberangus demokrasi tidak kalah berbahayanya.
Kini sebagian dari kita juga enggan menolak langkah pemerintah dan DPR merevisi UU KPK, yang pada dasarnya memberangus independensi dan kewenangan KPK. Banyak orang percaya ada kelompok Islam radikal — yang kerap disebut kubu Taliban — yang konon menguasai lembaga antirasuah itu.*
Kasus Mesir seharusnya menyadarkan kita. Jangan sampai kekhawatiran terhadap Islam radikal membuat kita diam saja ketika berbagai basil gerakan Reformasi 1998 dilucuti satu per satu.
Nah, ancaman dan rasa takut mulai ditebar Tempo. Tak usah takut terhadap hantu radikalisme agama, katanya. Lalu “protes” terhadap pelarangan ormas radikal oleh pemerintah, yang dihubungkan dengan “tuduhan” adanya Taliban di KPK. Sangat jelas bahwa Opini Tempo ini sangat tendensius. Dan berbahaya, karena berpotensi membangkitkan rasa marah, suatu hal yang seringkali dilakukan provokator yang terbukti kemudian membangkitkan rasa permusuhan sesama anak bangsa yang kemudian menimbulkan tindakan anarkis.
‘Gimana menurutmu, kawan-kawan sesama orang waras?
Feature photo:
Sumber:
Cita-cita Negeri Kecil Bernama KPK Raya: Bebas Korupsi Asal Sekubu
Beberapa tahun yang lalu, salah seorang politisi senior sempat mengajak saya makan malam. Bertukar cerita dan kenalan. Seperti kebanyakan para tokoh, dia juga lebih sering bercerita tentang sebuah kejadian dengan alasan-alasan tak terekam media. Sampai akhirnya kami membahas tentang KPK.
Tentu saja waktu itu saya sangat pro dengan KPK. Karena lembaga ini saya anggap bisa menyelamatkan negara dari korupsi. Dan keyakinan saya cukup sampai di situ.
“Oh ya. Pesan saya tetap berkarya Mas Alif. Tapi tetap selalu ingat, bahwa orang-orang di KPK itu juga manusia yang terdiri dari daging dan tulang,” katanya.
Daging dan tulang. Daging dan tulang. Ucapan tersebut terus terngiang di telinga saya bahkan hingga sekarang. Sebuah pesan yang kadang menghentikan pikiran-pikiran liar saya dari banyak kecurigaan ataupun pujian.
Hari ini, setelah beberapa tahun berlalu, akhirnya saya paham bagaimana hebatnya KPK. Pengalaman tersebut dapat saya rasakan langsung. Beberapa hari lalu saat muncul video briefing terhadap ketua-ketua BEM di dalam kantor KPK, saya langsung menuliskannya di Seword. Dan hanya jarak sekitar 1 sampai 1.5 jam, KPK sudah membantahnya di Kompas dan menyebut video yang dimaksud adalah video yang saya bagikan di artikel Seword.
Luar biasa. anggapan lembaga negara yang biasanya sangat lamban merespon isu, karena penuh pertimbangan dan koordinasi berderet, atau karena tak memantau secara intens sosial media, berhasil dipatahkan oleh KPK. Bagaimanapun itu hal yang positif, tapi melihat jaraknya yang sangat pendek, saya jadi curiga ada tim pemantau khusus. Pertanyaannya kemudian, KPK ini lembaga pemberantasan korupsi atau gudang isu?
Dari pengalaman tersebut nampak jelas betapa KPK sangat menjaga citra atau kesuciannya.
Tak heran kalau media partnernya, Tempe, yang sudah bekerja sama selama bertahun-tahun, belakangan ini ikut menghajar relawan Jokowi yang pro dengan UU KPK. Melabelinya dengan buzzer dan konsisten membahasnya dalam beberapa kali berita.
Tempe tahu betul bahwa isu buzzer ini tak banyak menarik perhatian pembaca. Hanya rame di kalangan elite dan twitter. Sementara mayoritas masyarakat sudah merasa biasa saja dengan isu ini. Karena isu lama. Kalaupun ada beberapa yang buzzer, masyarakat sudah memaklumi. Apa bedanya dengan iklan? Bukankah semua perusahaan dan produk sudah pasang iklan online dan membayar akun-akun sosmed? Selain itu relawan Jokowi ada banyak, tak mungkin semuanya dibayar dan dilabeli buzzer.
Segala kesimpulan para pakar yang dulu menyebut pendukung Jokowi itu fiktif, bot dan sebagainya, hari ini harus menelan ludahnya kembali. Karena bahkan setelah kampanye pun pendukung Jokowi tetap aktif mendukung.
Lalu hari ini saya sadar. Ternyata inilah kekuatan terbesar KPK, citra media. Yang selama bertahun-tahun berhasil menutupi kebusukannya, dan publik begitu terpesona dengan semangat pemberantasan korupsi.
Yulianis, dalam sidang pansus angket menyebut komisioner KPK mendapat aliran dana sebesar 1 miliar rupiah dari karyawan Nazaruddin.
Kemudian ada juga pengakuan dari Niko Panji Tirtayasa, terkati janji bagi-bagi aset 50:50 dari total aset sitaan KPK, asalkan Akil Mukhtar dan Mukhtar Efendi masuk penjara. Bahkan bulan lalu Niko kembali membuat video pengakuan, bahwa dirinya pernah dipaksa memberikan saksi palsu oleh Novel Baswedan untuk menguatkan bukti korupsi seseorang. Niko mengaku dibayar oleh KPK agar mau memberikan kesaksian palsu.
Pengakuan Niko ini sebenarnya sudah muncul sejak tahun 2017 lalu. Saat itu Niko juga menunjukkan adanya rumah sekap milik KPK kepada saksi-saksi yang akan dimunculkan di pengadilan.
Tapi, karena citra KPK di media begitu sempurna, maka kita tak terlalu mendengar pernyataan tersebut. Media pun tak mengangkatnya lagi karena tak ada respon dari masyarakat.
Tuduhan KPK tebang pilih kasus, menetapkan tersangka dulu baru mencari kesalahannya, sudah terlalu sering kita dengar. Tapi sekali lagi, citra KPK terlalu baik dipoles oleh media. Terutama oleh partner media sehidup sekorupsinya, Tempe.
Tapi, kesalahan demi kesalahan terus terjadi. Menumpuk. Terlalu banyak. Sehingga publik pun kini bertanya, ada apa dengan KPK?
Sabagai warga biasa, saya melihat KPK sudah terlalu jauh menancapkan kekuatannya. KPK bukan lagi sebagai lembaga pemberantasan korupsi, tapi sudah menjelma seperti negara kecil. Negara dalam negara.
Demo berjilid-jilid yang digiring untuk menolak UU KPK itu adalah contoh betapa busuknya orang-orang KPK. Mereka tak mau melalui jalur konstitusional, malah memilih menekan lewat demonstrasi dan kerusuhan. Kini anak-anak asuh mereka, yang telah dibriefing dari dalam kantor KPK, sedang menagih, menekan Presiden agar segera menerbitkan Perpu. Mengancam akan turun ke jalan lagi bila Presiden tak menerbitkan Perpu.
Sementara penerbitan Perpu tak semudah menerbitkan sprindik. Harus ada persetujuan DPR. Kalau nantinya DPR tidak setuju dengan Perpu, bisa ditebak, mereka akan turun ke jalan lagi. Begitu terus sampai keinginan para preman KPK ini terpenuhi, agar bisa tetap mempertahankan kekuasaannya.
Para taliban itu masih ingin melakukan penangkapan dan lobi-lobi tukar guling kasus. Pemerasan kepada para tersangka. Suka-suka menghadirkan saksi palsu. Bergerak liar menyadap demi kepentingan politiknya.
Tak heran juga kalau Jakarta dalam beberapa tahun ini sangat aman dari KPK. Tak tersentuh, bahkan tak terkomentari sedikitpun. Tak peduli anggaran terus membengkak tak wajar.
Korupsi besar-besaran bisa dilakukan dan aman di Jakarta. Bisa untuk modal kampanye, ataupun modal Nyapres. Partai-partai bisa ditekan habis untuk memberikan dukungan politik, atau kadernya akan ditangkap-tangkapi dengan saksi-saksi rekayasa lagi.
Saya tak dapat membayangkan jika sosok yang selama ini tak bisa bekerja, hanya menghabiskan anggaran dan angka-angka fantastisnya, punya kontrol terhadap media, mampu memoles kata-kata, nantinya bisa menguasai Indonesia. Maka mungkin rekor korupsi era Soeharto akan terlampaui.
KPK sebagai lembaga penegak korupsi hanya akan diarahkan pada lawan politiknya, sementara dia bisa bebas korupsi demi melanggengkan kekuasaannya. Bayar Tempe agar diam dan fokus pada isu lain.
Untuk itu, pada akhirnya saya berkesimpulan agar UU KPK harus dipertahankan. Tak perlu ada Perpu. Mari kita selamatkan negeri ini dari niat jahat orang-orang yang ingin berkuasa dan berlaku semena-mena dengan kekuasaannya. Begitulah kura-kura.
Nasdem Pekok! Anies Tidak Punya Wagub, Kok Anggaran TGUPP yang Dinaikkan?
Sejak Sandi meninggalkan kursi Wagub DKI Jakarta, sampai sekarang tak ada kabar beritanya Anies akan diberikan wakil gubernur pengganti Sandiaga Uno. Tak alang kepalang sudah memasuki bulan ke-14 Anies single fighter tanpa wakil gubernur.
Memang sejak semula Partai Gerindra sudah memberikan jatah kursi Wagub DKI Jakarta ini kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan PKS pun sudah menyetorkan dua nama untuk menggantikan Sandiaga Uno.
Kedua kandidat dari PKS itu adalah Ahmad Syaikhu dan Agung Yulianto. Namun sampai sekarang kedua calon Wagub DKI pengganti Sandi itu tak juga ditetapkan menjadi Wagub DKI. Tak Ahmad tak juga Agung, kedua-duanya masih digantung oleh DPRD DKI Jakarta. Bahkan ketika anggota DPRD DKI Jakarta sudah berganti dengan yang baru.
Memang seharusnya Wagub DKI pengganti Sandi ini adalah jatah dari PKS sesuai dengan komitmennya dengan Partai Gerindra ketika mengizinkan Sandiaga Uno untuk maju sebagai cawapres Prabowo pada Pilpres 2019 lalu.
Namun seiring perjalanan waktu, dan pasangan Prabowo-Sandi kalah dari Jokowi-Amin, maka ada wacana Wakil Gubernur DKI Jakarta ini akan dikembalikan kepada Sandiaga Uno. Tetapi kita tidak tahu apakah PKS akan ikhlas jikalau kursi yang sudah ditinggalkan Sandiaga Uno itu, kemudian diserahkan kembali kepada Sandiaga Uno.
Yang sangat mengherankan adalah kenapa sampai sekarang setelah Sandi meninggalkan kursi Wagub tidak juga ditetapkan pengganti Sandiaga Uno. Bukankah sudah lewat dari 14 bulan? Dan waktu 14 bulan itu bukan waktu yang pendek. Tapi kenapa tak juga ditetapkan pengganti Sandi? Ini sungguh sangat mengherankan.
Dan sekarang Pemprov DKI Jakarta malah ingin menaikkan anggaran TGUPP DKI Jakarta untuk tahun 2020 akan dinaikkan menjadi sebesar Rp 21 miliar dari tahun sebelumnya sebesar Rp 18,99 miliar. Jadi ada kenaikan sekitar Rp 2 miliar.
Padahal kita tahu bahwa TGUPP Anies Baswedan selama ini tidak memberikan kontribusi positif kepada Pemprov DKI Jakarta. Tak ada terobosan yang signifikan dari TGUPP untuk memajukan Ibu Kota Jakarta ini. Dan kita lihat perkembangan DKI Jakarta bukannya lebih maju dari zaman Ahok tetapi justru semakin menurun.
Jika tidak ada kontribusi dari TGUPP DKI Jakarta, kenapa anggarannya justru dinaikkan? Apa tidak salah? Tetapi menurut fraksi Nasdem kenaikan anggaran TGUPP DKI Jakarta ini sudah sewajarnya. Kenapa? Karena Anies selama ini sudah bekerja sendirian tanpa didampingi oleh wakil gubernur.
"Karena juga permasalahannya enggak sesederhana itu. Hari ini gubernur sendirian enggak punya wakil gubernur, dia harus kerja sendiri. Sehingga pak gubernur akhirnya berpikir untuk meningkatkan anggaran TGUPP untuk timnya. Tapi daripada itu semua fraksi nasdem berpikir marilah kita lihat apa yang dihasilkan dari gubernur," kata Ketua fraksi Nasdem Wibi Andrino saat dihubungi, Senin (7/10/2019).
"Problem-problem di Jakarta yang luar biasa kompleksitasnya pasti membutuhkan anggaran lebih, tapi haruslah disusun dengan kebijaksanaan. Dan anggaran TGUPP itu sendiri kan sudah melalui konsultasi ke Kemendagri," ujarnya.
Sungguh mengherankan pendapat dari fraksi Nasdem di DPRD DKI Jakarta ini. Selama ini kita sudah tahu bahwa TGUPP tidak memberikan kontribusi positif kepada Pemprov DKI Jakarta kenapa anggarannya malah dinaikkan? Dan fraksi Nasdem justru menganggap ini wajar-wajar saja dan sudah seharusnya karena TGUPP membantu Anies selama DKI belum mempunyai wakil gubernur.
Jika dikatakan bahwa TGUPP sekarang ini sudah sangat membantu tugas Anies, dan kontribusi TGUPP tidak kelihatan seperti yang dikatakan oleh Ketua Fraksi Nasdem DPRD DKI Jakarta. Dan kontribusi TGUPP terlihat dari kinerja Anies Baswedan. Justru yang mau kita tanyakan adalah apakah kinerja Anies untuk Jakarta sudah kelihatan?
Seharusnya bukan anggaran TGUPP yang dinaikkan. Tetapi Anies diberikan wakil gubernur pengganti Sandiaga Uno. Karena sudah terlalu lama Anies bekerja sendirian. Dan kita lihat bahwa Anies sudah kedodoran dalam menata Ibu Kota Jakarta ini.
Jadi, sangat keliru jika fakrsi Nasdem DPRD DKI Jakarta justru menganggap wajar-wajar saja kenaikan anggaran TGUPP ini. Harusnya fraksi Nasdem DPRD DKI Jakarta ini mendorong fraksi-fraksi lain di DPRD DKI Jakarta untuk segera memilih wakil gubernur DKI Jakarta yang sudah lama kosong itu.
Sumber Opini : https://seword.com/politik/nasdem-pekok-anies-tidak-punya-wagub-kok-TonljSRqTB
Tempo Dulu dan Sekarang: Idealisme dan Dapur Harus Ngebul
Ada dua petuah lama
yang cukup familiar terkait perkembangan zaman dan informasi.
"Pandai-pandailah membaca gejala zaman," dan "siapa menguasai informasi
maka dia menguasai dunia".
Kedua petuah tersebut
sepertinya sangat dipahami dan benar-benar diaplikasikan dalam ekspresi
Tempo selama puluhan tahun lamanya. Bahkan media tersebut bisa tetap
eksis meski pernah mengalami tekanan rezim diktator orde baru sekalipun.
Kepekaan
Tempo di masa lalu dalam membaca gejala zaman tak perlu diragukan.
Konon mereka terlebih dulu harus mengamati dinamika politik yang ada
sebelum menerbitkan majalahnya. Pada saat pemerintah melunak,
diputuskanlah menyerang dengan kolom investigasi yang menjadi ciri
khasnya. Sebaliknya, ketika Soeharto cs tengah mengintai, Tempo memilih
cooling down.
Jatuh bangun adalah hal biasa bagi
Tempo, itu bagian dari dinamika. Justru itulah salah satu kelebihannya.
Mereka bisa survive di medan yang tidak mudah. Nyatanya hingga saat
ini, kita semua masih bisa menyaksikannya berkibar dengan segenap
ekspresi kemediaan yang dimiliki. Tempo pun sudah dicap sebagai media
massa papan atas yang kalangan pembaca atau konsumennya juga rata-rata
kelas menengah ke atas yang berpendidikan.
Berikutnya
tentang menguasai informasi. Sudah selayaknya media massa menguasai
informasi. Apalagi sekelas Tempo yang secara jam terbang terbilang di
atas rata-rata media arus utama lainnya. Maka wajar jika Tempo dengan
penguasaan informasinya relatif bisa menguasai dunia isu yang tengah
berkembang di Indonesia. Ia mampu menciptakan sebuah isu hingga berhasil
menjadi isu nasional. Kemampuan framingnya tak bisa diragukan.
Yang
paling menarik dari Tempo di masa lalunya adalah label media independen
yang melekat padanya karena kemampuan menjaga idealismenya. Dan karena
itu pulalah media tersebut disegani. Tokoh-tokohnya pun diperhitungkan,
baik di pemerintahan, lebih-lebih di internal pergaulan media.
Belakangan
kita kembali dipertontonkan aksi Tempo yang dengan kemampuannya sedikit
banyak berhasil menguasai isu nasional. Diantaranya yang paling
mengemuka adalah soal isu RUU KPK dan RKUHP.
Ada
perbedaan mencolok yang dilakukan Tempo dulu dan sekarang. Jika dulu
mereka berhadapan dengan pemerintah atau rezim orde baru yang otoriter
dan secara otomatis didukung rakyat, maka sekarang lain lagi. Lawannya
adalah rakyat sendiri yang sebagian besarnya adalah pembaca dan
pelanggan setianya.
Karena itulah kemudian
ratingnya di Play store dan App Store anjlok hingga di titik parah. Hal
itu membuat investor maupun pengiklan mulai berpikir ulang untuk
bekerjasama dengan Tempo. Dan fenomena ini oleh banyak pengamat dinilai
sebagai awal kehancuran Tempo.
Di
sinilah kemudian Tempo tampak kewalahan dan tidak jelas dalam
ekspresinya. Langkahnya seperti tak tentu arah. Mereka seperti penjudi
yang kehilangan banyak uang sementara stok dikantongnya mulai menipis.
Akibatnya
Tempo mulai bermain di isu-isu receh yang sebenarnya membuat masyarakat
makin tidak respek. Dengan mengangkat isu Buzzer Bayaran sebagai
headline, media itu pun bukan hanya membuat pembacanya memilih putus
hubungan melainkan juga membuat mereka melakukan perlawanan secara
masif.
Lihatlah
bagaimana sekarang nama Tempo diplesetkan menjadi Tempe. Narasi-narasi
yang bertebaran di media sosial cukup kuat melawan isu yang dimainkan
Tempo.
Pada akhirnya ada tiga pertanyaan yang
ada di benak saya terkait ini.
Pertama apakah Tempo masih bisa menguasai
informasi di era media sosial yang juga menjadi rujukan informasi
masyarakat?
Kedua, apakah mereka masih memiliki kepekaan membaca gejala
zaman sehingga tak terbawa arusnya?
Dan yang ketiga, apakah sebenarnya
mereka masih menguasai informasi dan masih pandai membaca gejala zaman
tetapi sengaja menampilkan diri seolah tak menguasai dan tak peka zaman?
Saya belum menemukan jawaban pasti dari ketiganya.
Tapi ada beberapa kemungkinan yang sepertinya mendekati.
Pertama
Tempo mungkin saja sudah tak berdaya untuk menguasai informasi.
Perkembangan tekhnologi informasi berikut produk turunannya yang begitu
cepat membuat mereka kewalahan. Akibatnya mereka tak mampu bersaing
dengan yang lain. Bisa keliru menganalisa informasi. Dan kekeliruan itu
membuat mereka salah menempatkan diri di kasus RUU KPK dan RKUHP. Jika
kemungkinan ini benar, maka tentunya Tempo sekarang sudah tak lagi
pandai membaca gejala zaman.
Tetapi sebaliknya,
Tempo mungkin saja mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Lagi-lagi
prihal RUU KPK dan RKUHP ini, Tempo sebenarnya tahu betul bahwa revisi
memang dibutuhkan. Mereka pun sangat mungkin paham bahwa rakyat banyak
yang menginginkannya. Tapi kenapa mereka juatru memilih memborbardir
dengan berita adanya pelemahan KPK melalui revisi?
Dalam
sejarahnya, eksistensi Tempo adalah sebagai "media oposisi." Artinya,
kemampuan sekaligus kelebihannya adalah menyerang pemerintah dengan
berita-berita yang dirilisnya. Jadi jika pasca reformasi dia tampak
melunak, sebenarnya itu sudah keluar dari ciri khasnya. Dan boleh jadi
melunaknya berakibat pada dapur mereka. Eksistensinya memudar.
Tempo
tentu tak ingin dapurnya berhenti ngebul. Wartawan dan karyawannya
butuh gaji untuk menghidupi anak istri. Melihat gelagatnya sekarang,
menjadi "media oposisi" sepertinya memang pilihan. Mungkin Tempo hendak
mengikuti jejak TV One yang bisa dibilang lebih dulu memulai dan
berhasil merebut segmen pasar. Lagipula, keduanya memang perusahaan
media yang tentu punya hitung-hitungan bisnis di dalamnya.
Prabowo Siap Jadi Menteri Pertahanan? Jangan Pelihara Macan!
Beberapa hari
terakhir kita diributkan oleh isu buzzer. Semua media mengangkat soal
ini. ada yang mengirat karena Tempe balas dendam terhadap pendukung
Jokowi yang membuat rating appsnya anjlok, dan harapan suntikan dana 200
miliar jadi ragu-ragu.
Saya sendiri paham bahwa
ini isu di kalangan elite saja. Masyarakat tak tertarik dengan isu ini.
Tak ada goalnya. Jokowi sudah menang, UU KPK sudah selesai. Apa tujuan
menyerang buzzer? Mau dibubarkan? Ya gimana caranya? Wong para pendukung
Jokowi yang disebut buzzer itu memang sudah ada sejak 2012, bahkan
sebagian besar belum pernah bertemu Jokowi. Lalu gimana caranya
membubarkan atau menertibkan?
Kita
juga bingung kenapa para tokoh yang dulunya begitu ceriwis, kini nyaris
tak terdengar. Bahkan saat ada demo dan rusuh, mereka menjauh dari
jangkauan media. Kalau bagi kubu pemenang, mungkin mereka sedang
merayakan pesta. Atau lobi-lobi posisi dan jabatan 5 tahun mendatang.
Tapi kalau bagi yang kalah? ke mana mereka?
Ternyata
yang kalah juga sedang melangsungkan lobi jabatan. Gerindra menargetkan
3 kursi menteri. Mungkin ini tindak lanjut potre kedekatan Prabowo dan
Megawati serta pertemuan Jokowi dengan Prabowo. Berbagi kekuasaan.
Mungkin ini juga yang membuat Surya Paloh mengamuk melakukan manuver
politik.
Sebagai warga biasa, saya pikir
sebagian kita akan terhenyak kaget kalau Prabowo bahkan sudah menyatakan
bergabung ke koalisi dengan syarat menjadi Menteri Pertahanan. Bukan
apa-apa, berbulan-bulan kita perang narasi, meluapkan emosi dan tenaga,
demi membela masing-masing sosok yang dinilai terbaik bagi Indonesia.
Masa sekarang jadi satu kubu?
Bukan hanya warga
biasa saja, bahkan internal partai koalisi juga pasti bergolak.
Partai-partai yang selama berbulan-bulan bekerja keras di lapangan, demi
memenangkan pasangan Jokowi Amin, bertahan dari serangan partai
pendukung Prabowo, menyerang wilayah pemilih lawan, masa sekarang mereka
para lawan itu diberi jatah menteri?
Bahkan
partai Gerindra pun dikabarkan tergoncang. Dengan tidak ditunjuknya lagi
Fadli Zon sebagai pimpinan DPR oleh Gerindra, padahal menyandang status
caleg dengan perolehan terbanyak seperti halnya Puan Maharani, semakin
menunjukkan bahwa pro kontra posisi Menhan untuk Prabowo itu memang ada.
Sebagian sumber menyebut internal Gerindra menolak keputusan tersebut
karena dapat mengurangi militansi pemilih, yang sudah terlanjur benci
dengan PDIP dan Jokowi. Kalau sampai bergabung, maka suara Gerindra
pasti terkikis, minimal militansinya.
Tapi
saya bisa paham. Prabowo sudah tak muda lagi. kalau ada satu permintaan
terakhir, pasti Prabowo ingin berpulang dengan nama baik. Dan itu bisa
didapatkannya jika menjabat sebagai Menhan. Status Prabowo sebagai
pecatan TNI nantinya akan otomatis pulih jika menempati posisi Menhan,
karena akan mendapat gelar Jenderal Kehormatan. Gelar yang dulu pernah
diterima oleh SBY dan Agum Gumelar saat menjabat Mehan.
Bagi
Prabowo itu jelas perhitungan realistis. Sebagai tentara, dia pasti
menolak bergabung dengan kelompok radikal semacam 212, HTI ataupun FPI.
Dan demi nama baiknya, demi sejarah yang akan ditinggalkannya, wajar
saja kalau Prabowo siap menjadi Menhan di kabinet Jokowi.
Sementara
bagi kita, jika benar nantinya Prabowo menjadi Menteri Pertahanan, ini
akan jadi pelajaran politik lagi. Bahwa memang politik itu cair. Ma’ruf
Amin yang memimpin MUI keluarkan fatwa, hingga lahir gerakan demo
berjilid-jilid, ketika ditetapkan sebagai Cawapres, saya sampai
menyatakan rehat sejenak dari Seword dan bahkan sempat ingin mundur dari
rangkaian kampanye.
Lalu kini Prabowo? hmmm
Saya
tak yakin Presiden Jokowi akan memberikan posisi Menhan pada Prabowo.
Karena ini krusial. Bukan hanya bisa membuat internal koalisi tidak
solid, tapi juga ibarat memelihara macan. Karena bagaimanapun Prabowo
ini sudah terlanjur punya komunikasi yang baik dengan kelompok radikalis
itu. Sudah pernah juga kita lihat Prabowo menggebu-gebu mengklaim
kemenangan Pilpres, memaksakan kehendak ingin jadi Presiden.
Jadi
kalau tujuannya untuk menciptakan kondisi yang damai, pemahaman
tersebut perlu dikoreksi. Justru dengan menempatkan Prabowo sebagai
Menhan, malah bisa bikin kondisi nasional semakin rame.
Tapi,
pada akhirnya itu hanyalah sudut pandang sebagai rakyat jelata. Yang
sampai hari ini belum menemukan alasan positif kenapa Prabowo harus jadi
Menhan. Begitulah kura-kura.
Demi Membela Oknum KPK, ICW Pun Rela Tolol!!
Sebelum saya menulis apa yang ingin saya tuliskan, saya ingin meminta kawan-kawan pembaca untuk mencatat sama-sama bahwa :
Pertama,
kita harus membedakan antara KPK sebagai sebuah lembaga, dan
orang-orang KPK yang selama beberapa bulan terakhir ini mengibarkan
bendera perang pada Negara. Kenapa hal ini wajib kita bedakan?
Karena
KPK sebagai sebuah lembaga, adalah lembaga Negara yang berdiri
berdasarkan Undang-Undang, diperlukan dan harus didukung oleh rakyat
Indonesia. Tetapi saat ini ada orang-orang KPK yang menyerang Negara dan
pemerintahan dengan tuduhan-tuduhan seakan-akan KPK dilemahkan dengan
adanya revisi UU KPK, padahal revisi UU KPK itu melemahkan
keSEwenang-wenangan orang-orang itu di dalam tubuh KPK. Jadi untuk
kelompok orang-orang KPK ini, kita sebut OKNUM KPK.
Catatan
kedua adalah, menyamakan pemahaman apa yang disebut ‘Negara’.
Ya saya
tahu, pembaca Seword yang setia semuanya sudah pintar dan cerdas, pasti
paham dan bahkan lebih paham dari para penulis Seword, tentang pemahaman
kata ‘Negara’. Ini hanya untuk mereka yang belum saja…
Negara
adalah satu wadah, tempat, wilayah, dimana di dalamnya terdapat 5
unsur, yaitu sistem, peraturan dan undang-undang, pemerintahan yang sah
berdasarkan konstitusi, aparat dan rakyat. Jadi ketika saya mengatakan
di tulisan sebelumnya bahwa Oknum KPK menantang Negara, artinya
orang-orang yang disebut oknum di dalam tubuh KPK itu telah keluar dari
sistem, menentang apa yang sudah diundangkan oleh pemerintah yang secara
langsung atau tidak langsung berhadapan dengan aparat dan mengakibatkan
kerugian pada rakyat Indonesia.
Nah, sekarang kita sudah mencatat 2 hal tersebut di atas. Mari kita mulai…
Usaha
para Oknum KPK untuk mendiskreditkan Negara dan Pemerintahan demi untuk
menolak adanya revisi di dalamUndang-Undang KPK, ternyata tidak hanya
dengan mendokrin mahasiswa dan pihak-pihak lain yang selama ini menjadi
musuh Negara, dengan dokrin “Pemerintah telah melemahkan KPK dengan
revisi UU KPK”. Para Oknum ini juga bekerja sama dengan entity lain yang
dipandang memiliki pengaruh besar di masyarakat, seperti Indonesian
Corruption Watch atau ICW.
Kita bisa melihat
kegigihan para Oknum KPK ini dalam usaha menantang Negaranya. Namun
sejauh ini, usaha pertama mereka yaitu menggerakan mahasiswa untuk
melakukan demo penolakan atas UU KPK yang sudah disahkan, bisa
dipastikan akan terpatahkan oleh sistim konstitusi kita, mereka pun
kemudian mencantolkan isu-isu lain seperti isu RKUHP, isu kebakaran
hutan, dan isu-isu yang selama ini masih dalam pengerjaan dan belum
selesai.
Para Oknum KPK yang sekarang sudah
merasa di-back-up oleh kelompok sayap kanan, sadar, saya yakin mereka
sadar dan paham bahwa mengajukan gugatan uji materi UU KPK sudah pasti
ditolak MK, lalu mereka memplintir kalimat Presiden Indonesia “Baru
mempertimbangan untuk menerbitka PERPPU UU KPK” seakan Presiden sudah
memberikan janji dan kepastian akan menerbitkan PERPPU UU KPK, hingga
tanpa muka dan rasa malu, para mahasiswa berani mengancam Negara, yang
jika PERPPU KPK ini tidak segera diterbitkan sampai tanggal 14 Oktober
ini, maka mahasiswa akan demo lebih besar lagi. Demi untuk membela para
Oknum KPK, para mahasiswa ini mengorbankan diri mereka dengan merubah
diri menjadi MAHAKAMPRET.
Apakah ancaman para
MAHAKAMPRET ini akan berhasil?? Secara logika tidak mungkin berhasil,
karena rakyat Indonesia tidak mendukung mereka. Bahkan sebagian dari
para mahasiswa, yang bukan mahakampret pun, tidak setuju dengan ancaman
yang dilakukan.
Eeeh tiba-tiba, kemaren saya
melihat sebuah video yang menayangkan acara konferensi pers dimana
orang-orang ICW, entity yang mendapatkan suntikan CSR dari oknum KPK,
membuat pernyataan bahwa Penghargaan Bung Hatta Antikorupsi Award yang
diterima Jokowi pada tahun 2010 harus dicabut karena PRESIDEN JOKOWI
sekarang dipandang tidak menampilkan sosok yang pro anti korupsi.
Halllaaw ICW waras??? Kebanyakan di glonggong uang yah sama oknum KPK??
“Jangan
lupa kalau PRESIDEN Jokowi pada tahun 2010 pernah mendapatkan Bung
Hatta Anticorruption Award, saat yang bersangkutan menjadi WALI KOTA
Solo.
DAN KALAU PERPPU tidak dikeluarkan, maka menjadi wajar jika
masyarakat meminta agar Bung Hatta Anticorruption Award yang diberikan
kepada PRESIDEN Jokowi itu ditarik saja, karena tidak terlihat lagi
sosok anti korupsi di diri PRESIDEN Jokowi, karena tidak menyelamatkan
KPK, di akhir pemerintahan Jokowi-JK dan saat kita menaruhkan harapan
kita pada yang bersangkutan untuk memimpin lima tahun ke depan.” Kata
Fajri Nursyamsi, Direktur Jaringan & Advokasi PSHK.
Kita
wajib menggaris bawahi bahwa ini adalah pernyataan TERTOLOL yang pernah
kita dengar dari seseorang yang menjabat sebagai DIREKTUR Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan Indonesia. Demi dukungannya kepada para oknum KPK,
Fajri Nursyamsi rela mentololkan dirinya.
Kenapa
saya menggunakan kata ‘tolol’? Karena Fajri Nursyamsi adalah seorang
yang pintar dan cerdas, hingga dia berhasil meraih jabatan sebagai
direktur di sebuah entiti penting seperti PSHK. Tapi dirinya tidak
mampu memahami arti pemberian sebuah Award.
Saya
mau tanya, pernahkah kalian mendengar ada sebuah award yang diberikan
dimuka sebelum mengetahui seseorang dinilai telah melakukan tindakan
nyata atas award yang diberikan? Jawabnya mudah dan cepat, tidak ada!
Ada award kok diberikan dimuka, lalu bisa dicabut kemudian...
Artinya,
jika Bung Hatta Anticorruption Award diberikan pada Jokowi pada tahun
2010, itu karena komite dari Bung Hatta Anticorruption Award
mengevaluasi komitmen Jokowi sebagai Wali Kota Solo dari sejak tahun
2005 hingga tahun 2010!!! Itu nomor satu.
Nomor
dua, si Fajri Nursyamsi ini kemudian menjadikan tidak terbitnya PERPPU
KPK sebagai alasan permintaan dicabutnya Bung Hatta Anticorruption Award
pada tahun 2019 atau 9 tahun setelah 2 tahun Jokowi menjabat sebagai
Wali Kota Solo, 2 tahun menjabat sebagai Gubernur Jakarta, dan 5 tahun
menjabat sebagai Presiden Indonesia. Hubungannya apa?? Dikatakan Jokowi
mendapatkan award yang sama untuk kali kedua pada tahun 2015 pun, tetap
saja tidak bisa dicabut!
Award itu sifatnya HIBAH. Hibah hanya bisa
dilakukan atas kesadaran, kerelaan, tanpa paksaan dan tidak bisa
diganggu gugat lagi. Dan orang memberikan hibah karena melihat dan
menilai seseorang lain atas sesuatu yang baik.
lalu
Fajri Nursyamsi mengatakan "WAJAR jika masyarakat MEMINTA agar Bung
Hatta Anticorruption Award yang diberikan kepada PRESIDEN Jokowi itu
ditarik saja.." Masyarakat yang mana yang mau dicatut namanya? Memang
ada yang masyarakat yang mau tolol berjamaah?
Kalau
sudah begini, yang tidak wajar sekarang siapa? Apakah permintaan Fajri
Nursyamsi yang mengatas namakan masyarakat untuk meminta dirtariknya
award tersebut, atau pemberian award pada Jokowi di tahun 2010?
Yang
tidak wajar adalah jabatan yang diberikan pada Fajri Nursyamsi sebagai
direktur Jaringan & Advokasi PSHK. Bagaimana dia akan membuat studi
dan memberikan advokasi ketika untuk hal yang sangat super sederhana
sekali semacam memahami alasan dan waktu mengapa sebuah award diberikan,
tidak dia ketahui???!!
Catatan ketiga dari saya
bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat istilah bodoh, dungu, bloon, bego
(saya tidak yakin ‘ bloon dan bego’ termasuk bahasa Indonesia,
sepertinya lebih ke bahasa kiasan) dan tolol. Karena masing-masing kata
itu memiliki peruntukannya masing-masing.
Orang
disebut bodoh, karena dia tidak tahu dan menjadi pintar setelah tahu.
Orang disebut dungu karena dia tahu karena melihat, mendengar dan
membaca sebuah ilmu pengetahuan tetapi tidak ditanamkan di dalam
pikirannya. Orang disebut tolol karena dia sudah diajari berkali-kali
sudah membaca, melihat dan mendengar tetapi tetap tidak paham dan tidak
menjadi pintar. Dan Fajri Nursyamsi, untuk pernyataan yang dia buat,
adalah tolol, karena dia seorang yang pintar bahkan cerdas, tahu dan
paham, tetapi tetap membuat pernyataan seakan-akan dia tidak tahu dan
tidak paham tentang makna seseorang mendapatkan sebuah penghargaan.
Yang
lebih gilanya, dia jadikan sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan
baik dari sisi waktu dan kejadian, menjadi alasan atas pernyataan
tololnya itu.
Masya Allah….
Kebijakan Ngawur Menaikkan Iuran BPJS
Pada tanggal 01
Januari 2020, iuran BPJS akan mengalami kenaikan iuran. Pemerintah
melalui Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Mardiasmo mengatakan bahwa
penyebab utama yang membuat BPJS Kesehatan defisit adalah mereka yang
masuk kelompok peserta bukan penerima upah (PBPU) atau yang biasa
disebut sebagai kelompok mandiri.
"Sebenarnya
yang membuat bleeding itu PBPU 23 juta orang, yang lain itu tidak
membuat bleeding," kata Mardiasmo di acara FMB9, Jakarta, Senin
(7/10/2019).
"Nah
ini lah sumber BPJS defisit. Karena dia mendaftar pada saat sakit,
setelah mendapat layanan kesehatan dia berhenti," jelas dia.
Hingga
saat ini, Pemerintah menyebut bahwa potensi defisit BPJS Kesehatan
hingga akhir tahun 2019 sebesar Rp 32 triliun. Salah satu upaya
mengatasi defisit dengan menyesuaikan iuran yang dimulai awal tahun
2020.
Adapun kenaikan iuran BPJS tersebut adalah sebagai berikut :
- PBI pusat dan daerah Rp 42.000 dari Rp 23.000 per bulan per jiwa
- Kelas I menjadi Rp 160.000 dari Rp 80.000 per bulan per jiwa
- Kelas II menjadi Rp 110.000 dari Rp 51.000 per bulan per jiwa
- Kelas III menjadi Rp 42.000 dari Rp 25.500 per bulan per jiwa
Akhirnya pemerintah menyalahkan masyarakat bahwa
kebangkrutan BPJS karena masyarakat tidak taat untuk membayar iuran
BPJS. Lalu apakah langkah pemerintah dengan menaikkan iuran akan membuat
masyarakat tertib untuk membayar iurannya ?
Mengapa
pemerintah tidak mencoba menggali dan mencari tahu perihal masyarakat
tidak taat membayar iuran BPJS ? Apakah pengguna kartu BPJS mandiri
memang benar-benar mampu untuk membayar iuran setiap bulannya ?
Seperti
telah diketahui bahwa jenis kepesertaan BPJS sebanarnya dibagi menjadi
beberapa kategori kepesertaanyaitu peserta BPJS PBI (Penerima bantuan
iuran) dan Non PBI (non penerima bantuan iuran), Peserta BPJS PBI
disebut juga sebagai peserta penerima bantuan iuran dari pemerintah yang
iuran bulanannya dibayarkan oleh pemerintah, sedangkan Non-PBI adalah
peserta BPJS yang iuran bulanannya dibayarkan oleh sendiri.
Nah,
pemerintah mengambil sikap menaikkan iuran BPJS pada kategori BPJS
Non-PBI atau biasa disebut BPJS Mandiri. Permasalahannya adalah mengapa
peserta BPJS Non-PBI tidak taat dalam melakukan pembayaran iuran ?
Bila
benar pihak BPJS mau turun ke lapangan dan bertanya langsung kepada
masyarakat, apakah BPJS saat ini memang membantu masyarakat atau tidak ?
Mengapa peserta BPJS Non-PBI tidak membayar iuran secara teratur setiap
bulannya ? Maka akan ditemukan masih banyak warga masyarakat yang
kurang mampu tidak mendapatkan kartu BPJS PBI. Justru kartu BPJS PBI
lebih banyak dipegang oleh masyarakat menengah ke atas.
Karena
ketidakteraturan dan tidak tepatnya penerima kartu BPJS PBI
mengakibatkan masyarakat terpaksa mendaftar BPJS mandiri ketika mereka
sakit. Ketika masa sakit tadi telah berlalu (apakah sehat atau
meninggal) mereka akhirnya tidak mampu lagi untuk meneruskan iuran yang
wajib dibayarkan setiap bulannya.
lalu, apakah
dengan menaikkan tariff iuran BPJS akan membuat masyarakat tertib ?
Apakah dengan meletakkan beban dipundak masyarakat merupakan jawaban ?
Menteri Keuangan (Wamenkeu) Mardiasmo mengatakan bahwa masyarakat
mendaftar pada saat sakit, setelah mendapat layanan kesehatan dia
berhenti. Apakah Wamenkeu Mardiasmo mengetahui dengan jelas mengapa
mereka berhenti membayar iuran BPJS ?
menaikkan
iuran BPJS bukanlah jawaban dari krisis keuangan di BPJS. Seharusnya
pemerintah bersikap tidak semakin membebankan kepada masyarakat selaku
pengguna BPJS. Seharusnya pemerintah mau merombak dan merestrukturisasi
manajamen BPJS. Bukan menambah beban masyarakat dengan menaikkan tarif
iuran BPJS.
Lebih ideal sebaiknya BPJS itu tidak
perlu di beri tingkatan atau kelas-kelas pada iurannya. Pemerintah
bisa menghitung dengan besaran jumlah penduduk Indonesia dengan jumlah
pelayanan kesehatan baik rumah sakit, puskesmas, klinik-klinik.
Setelah
menemukan semuanya itu, kemudian dihitung besaran yang bisa dibayar
oleh Pemerintah dan berapa yang harus dibayar oleh masyarakat, tentunya
besaran biaya dari pemerintah harus lebih besar daripada yang dibayarkan
oleh masyarakat.
Pemerintah hanya perlu
membuat satu iuran saja untuk setiap masyarakat dengan kelas perawatan
kelas III. Jadi tidak ada perbedaan dari kelas 1, kelas 2 dan kelas 3.
Tidak akan ada kecemburuan social. Dengan demikian siapapun masyarakat
Indonesia yang sakit bisa dilayani dengan baik.
Perbedaan
kelas-kelas ketika melakukan pembayaran iuran bukanlah solusi, tapi
semakin membuat perbedaan yang cukup luar biasa dalam lingkungan social
masyarakat.
Saran buat Pak Jokowi, sebaiknya
BPJS di revisi ulang. Mohon dibuatkan satu system dimana seluruh
masyarakat BPJS Non – PBI membayar dengan system satu harga, tidak ada
perbedaan antara kelas 1, kelas 2 dan kelas 3.
Warga BAB Sembarangan, Anies Sibuk Pencitraan, Pemerintah Pusat Terpaksa Turun Tangan?
Mungkin kita tak
akan percaya, kalau DKI Jakarta masih menerapkan ‘jamban terpanjang di
dunia’, yaitu buang kotoran di sungai, padahal provinsi tersebut adalah
kota besar dan merupakan ibu kota negara Indonesia. Ketikdapercayaan itu
pun karena Gubernur DKI Jakarta yang sekarang kerap dikatakan sebagai
goodbener. Terkadang juga dipuja oleh pengikutnya sebagai gubernur
Indonesia.
Puja dan puji kepada Gubernur DKI
Jakarta Anies Baswedan ternyata tak serta merta menyelesaikan masalah
DKI Jakarta. Dari banjir hingga warga yang buang air besar di sungai.
Meskipun
jika mengikuti peraturan otonomi daerah, masalah ‘jamban terpanjang’ di
dunia tersebut seharusnya diselesaikan oleh pemprov DKI, tetapi mau gak
mau pemerintah pun harus turun tangan menanggulangi hal tersebut.
"Kalau
menurut undang-undang otonomi daerah itu kewajiban urusan pemerintah
daerah, tapi kita pemerintah pusat juga membantu baik program stimulan,
baik program hibah. Ini nggak cuma bicara DKI, bicara Indonesia," terang
Direktur Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR) Danis H Sumadilaga.
Kementerian
PUPR melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya bekerjasama dengan Japan
International Cooperation Agency (JICA) memberikan dukungan Pemerintahan
Provinsi DKI Jakarta dengan membangun sistem pengelolaan air limbah
domestik terpusat yang terdiri instalasi pengolah air limbah domestik
dan jaringan perpipaan yang dinamakan JSDP," bunyi keterangan dalam
video profil proyek yang digagas oleh pemerintah pusat bekerja sama
dengan Jepang seperti yang dilansir detik.com. Nama proyek tersebut adalah Jakarta Sewerage Development Project (JSDP).
"Pembangunan
JSDP zona 1 akan dimulai prakontrak tahun ini dan konstruksi dimulai
tahun selanjutnya, yang ditargetkan untuk selesai dan berfungsi pada
akhir tahun 2025 dan melayani 1 juta jiwa," kata Direktur Jenderal Cipta
Karya Kementerian PUPR Danis H Sumadilag.
Jika
kita lihat ke belakang, kemungkinan besar hal seperti ini bisa teratasi
jika pemukiman kumuh dipinggir aliran sungai yang biasanya berkontribusi
dengan hal tersebut direlokasi pada tempat yang lebih layak. Ini tentu
saja terkait program normalisasi yang dulu pernah dilakukan oleh pemprov
DKI Jakarta pada zaman Ahok.
Selain untuk
menanggulangi banjir, normalisasi sungai kemungkinan besar dapat menjadi
solusi masalah ini. Ketika normalisasi berlanjut, tentu pemerintah
pusat pun tak akan pusing-pusing sampai kerja sama dengan Korea Selatan
untuk menanggulangi banjir di DKI Jakarta.
Ketika
Jakarta masih banyak masalah, Anies pun terkesan tak ada gebrakan.
Bahkan Anies pun sampai dikritik oleh Fahri Hamzah karena lebih suka
pidato ketimbang memberikan arahan secara teknis kepada bawahannya.
Fahri pun mengkritik Anies untuk mencontoh Ahok yang lebih mengutamakan
membicarakan hal teknis untuk pengarahan dalam menyelesaikan masalah
yang ada di DKI Jakarta.
Mungkin
para pengikut Anies justru bisa nyinyirin Jokowi terkait masalah DKI
Jakarta yang gak kelar. Mereka bisa nyinyirin Jokowi yang pernah
berjanji bahwa dengan menjadi Presiden, masalah banjir DKI Jakarta akan
mudah diselesaikan dan lain sebagainya.
Sebenarnya,
apa yang dijanjikan oleh Jokowi sudah mulai dilakukan dengan kerjasama
yang baik dengan pemprov di era Ahok. Normalisasi sungai tentu saja
salah satu bentuk kerjasama antara pemprov dan pemerintah pusat, karena
secara tanggung jawab, pemprov yang harus mengurusi sekitar aliran
sungai, sedangkan untuk aliran sungai itu sendiri adalah bagian dari
pemerintah pusat.
Ketika
pemerintah pusat ingin mewujudkan programnya, tetapi tak dapat support
dari pemprov, maka berpotensi menimbulkan jalan buntu. Kita bisa
bayangkan, jika pemerintah pusat memaksaskan normalisasi sungai, maka
kemungkinan besar pemerintahan Jokowi bisa diserang menggunakan
permainan kata keberpihakan Anies. Tetapi giliran Anies dipinta konsep
naturalisasi sebagai pengganti normalisasi, terkesan bingung dan
menghindar ketika diundang untuk memberi penjelasan.
Pemerintah
pusat sangat serba salah terkait masalah di DKI Jakarta. Di satu sisi,
pemerintah harus ikut campur tangan, tetapi di satu sisi, ada Anies
Baswedan yang dianggap sebagai Gubernur Indonesia sudah siap untuk
ancang-ancang dengan permainan kata-kata, seperti yang pernah terjadi
ketika peresmian tol, dimana Anies Baswedan mempertanyakan Amdal dan
lain sebagainya kepada Jokowi.
Jika TGUPP yang
dibiayai oleh APBD itu jumlahnya banyak tetapi tak terlihat hasilnya,
tetapi para pendukung Anies tak mengkritisi, hal ini kemungkinan besar
para pendukung Anies Baswedan ini bahagia di bawah kepemimpinan Anies
Baswedan meskipun kotoran manusia mengambang dimana-mana. Udah ah, itu aja…
Cak Anton
Sumber pendukung opini:
Ditanya Wartawan Soal Isu Sanitasi, Kok Walikota Jakarta Barat Marah-Marah?
Siapa walikota Jakarta Barat yang sekarang? Namanya adalah Rustam Effendi. Masih ingat dengan nama ini?
Kalau
pembaca sering mengikuti kiprah Ahok selama menjabat sebagai gubernur
DKI Jakarta, nama ini sangat familiar bagi kita. Dia pernah menjadi Wali
Kota Jakarta Utara setelah dilantik Ahok pada 2 Januari 2015 silam.
Rustam
sempat jadi bahan pembicaraan karena pernah berseteru dengan Ahok pada
2016 lalu. Ahok sering menugaskannya untuk melakukan penertiban di
Jakarta Utara, di antaranya adalah kawasan Kalijodo, Pasar Ikan, Jalan
Tubagus Angke, Kali Karang, Kali Cakung Lama, dan Anak Kali Ciliwung
Ancol.
Perseteruan antara Rustam dengan Ahok
bermula saat Ahok mengkritik keras Rustam pada rapat penanganan banjir
di Balai Kota Jakarta. Ahok telah menyuruh Rustam berkali-kali untuk
menggusur warga yang tinggal di bawah jembatan layang Ancol, yang
dikenal dengan Bottle Neck, yang merupakan saluran air untuk penanganan
banjir. Akan tetapi setahun telah berlalu, Rustam masih tidak
menjalankan perintah itu.
Ahok yang kemudian
emosi, lantas menyindir keberpihakan Rustam kepada Yusril Ihza Mahendra
yang saat itu adalah bakal calon Gubernur DKI Jakarta. Rustam merasa
sakit hati dan kemudian curhat lewat media sosial. Dan tidak lama
kemudian Rustam mengajukan permintaan pengunduran diri ke Ahok.
Sudah?
Ternyata
nama ini belum tenggelam. Usai Anies dan Sandiaga memenangkan Pilkada
DKI Jakarta, Rustam kembali ditarik. Wakil Gubernur DKI Jakarta saat itu
Sandiaga Uno mengangkat Effendi sebagai staf khusus bidang pelayanan
masyarakat.
Kemudian setelah itu, Anies
melantik Rustam jadi Wali Kota Jakarta Barat, menggantikan Wali Kota
Jakarta Barat sebelumnya Anas Effendi.
Beberapa
waktu lalu muncul berita heboh di yang menyebut warga Tanjung Duren
tidak punya WC yang layak, buang hajat langsung mengalir ke kali karena
tidak adanya septic tank. Kawasan yang dihuni sekitar 30 Kepala Keluarga
ini terpaksa harus bergantian menggunakan lima unit WC yang terletak di
pinggir Kali Sekretaris Jakarta Barat.
Kelima
WC itu pun jauh dari kata layak karena luasnya tak sampai satu meter
persegi, kloset tipe jongkok, ada keran, satu ember, gayung, dan paku
yang menancap di dinding untuk menggantungkan pakaian. Dinding berkerak
dan tumbuh jamur di beberapa sudut. Sekitar 150 orang berebut
menggunakan WC tersebut. Tinja langsung meluncur mulus tanpa hambatan ke
Kali Sekretaris, sehingga kali menjadi sangat bau.
Saya
hanya bisa prihatin. Masih ada warga di ibukota yang BAB-nya tidak
layak. Kota metropolitan macam apa yang kalinya dijadikan sebagai tempat
pembuangan tinja? Memalukan sekali sebenarnya.
Karena wilayah tersebut masuk dalam kawasan Jakarta Barat, maka selain Anies maka Wali Kota menjadi sasaran empuk wartawan.
Baru-baru
ini Rustam Effendi marah-marah kepada wartawan saat hendak ditanya
persoalan tersebut. Dia mengaku sedang sakit dan tidak bisa dimintakan
keterangan.
Sejumlah
wartawan di Balai Kota DKI Jakarta beberapa kali mencoba menghubungi
Rustam lewat telepon. Selain lewat telepon, beberapa wartawan juga
mencoba lewat pesan singkat.
Semuanya tidak
mendapat respons dari Rustam. Suatu hari, Rustam mengangkat telepon
salah satu wartawan. "Kamu itu kalau enggak diangkat jangan telpon lagi
dong, saya sakit kamu tahu enggak? Sudah berkali-kali enggak diangkat
masih ditelpon juga! Kamu cari informasi saya lagi di mana?" katanya
sambil mengakhiri pembicaraan.
Hmmm, kenapa
harus marah-marah ya? Apakah karena sakit lantas mudah marah? Kalau
memang sakit, ya beritahu wartawan kalau sedang sakit supaya jangan
dihubungi (meski tidak dijamin sih hehehe). Kalau tidak merespons saat
dihubungi, pasti makin penasaran dong dan memicu pemikiran serta
spekulasi apakah yang bersangkutan mau lepas tanggung jawab atau takut
harus merespons apa kepada wartawan.
Bukankah
saat ditanya Anies apakah dirinya siap menjabat sebagai Wali Kota, dia
jawab siap? Namanya juga kepala daerah, ibu kota pula, sudah pasti akan
terus dikejar media untuk ditanyai isu-isu yang sedang hot.
Kalau
menurut saya sih, marah-marah model begini bukan respons yang bijak,
malah bisa menjadi blunder dan dikomentari secara liar. Jadi teringat
dengan capres gagal yang pernah menyemprot dan marah ke media, menuding
wartawan sedang menunggu dia silap bicara.
Silakan nilai sendiri deh.
Bagaimana menurut Anda?
Sumber Opini : https://seword.com/politik/ditanya-wartawan-soal-isu-sanitasi-kok-walikota-nfIp8Y2VWV
Dewan Pengawas KPK Memang Butuh “Anjing Penjaga” Seperti AHOK!
Belum lama ini,
beredar kabar nama Basuki Tjahaja Purnama a.k.a. AHOK sebagai Dewan
Pengawas KPK bersama Antazari Azhar. Seperti dilansir laman KOMPAS,
disebutkan bahwa foto yang beredar disertai pesan bertuliskan, “Selamat
dan Sukses Kami Ucapkan atas Terpilihnya Basuki Tjahaja Purnama dan
Antasari Azhar Sebagai Dewan Pengawas KPK. Musnahkan Kelompok Taliban di
tubuh KPK Agar tidak dijadikan untuk kepentingan politik."
Buat
orang yang waras, informasi palsu yang beredar tahu mudah ditebak
sebagai hoaks. Mana mungkin sudah diumumkan, meskipun sebatas bocoran
mengenai posisi yang masih menjadi polemik dan masih menunggu keputusan
Presiden, mengenai terbitnya atau tidaknya Perppu terkait KPK?
Namun,
yang namanya negeri berflower dengan kecepatan share dan mempercayai
informasi lebih daripada kecepatan berpikir dan berlogika, pastilah
lantas ada orang yang percaya, lalu ikut membagikan informasi hoaks
tadi. Kalau saya, jelas tidak percaya. Namun, saya rasa menarik untuk
dibahas mengapa sosok AHOK muncul sebagai nama yang dianggap pantas
untuk menjadi dewan pengawas.
Masih ingatkan
kita dengan pernyataan AHOK yang menganggap dirinya sebagai ANJING
PENJAGA UANG RAKYAT selaku Gubernur DKI Jakarta. Gubernur yang
sebenarnya, bukan Gabener lho ya. Hehehe....
Hari
itu, AHOK mengibaratkan dirinya sebagai anjing penjaga yang galak,
bahkan siap mati mengamankan harta yang ada di rumahnya ketika ada
maling yang mencoba mencurinya. Tak heran jika masih menjabat, AHOK
dengan galak dan tegas melawan setiap upaya “pembegalan” APBD DKI
Jakarta yang ingin merampok uang rakyat untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya.
Tulisan “Pemahaman Nenek Lo!” tentu
menjadi yang paling keren dari aksi perlawanan AHOK terhadap oknum yang
mencoba mempermainkan kepercayaan rakyat, dengan program yang terkesan
mengada-ada. Sederhananya, yang penting dananya keluar, ada rencana dan
realisasinya, meski hasilnya amburadul dan unfaedah, bahkan merugikan
rakyat. Mana mau peduli?
*Terkait Dewan Pengawas KPK ... *
Kita
tahu bersama tujuan awal KPK dibuat seperti apa. Lalu, apa yang terjadi
dengan KPK belakangan ini, dimana ada sebagian pihak meragukan
profesionalisme kinerja dan produktivitas KPK. Konflik internal hingga
upaya mengamankan marwah KPK sebagai lembaga antirasuah yang super,
tanpa ada pengawasan dari siapa pun, belakangan ramai dibahas.
Wacana
bahwa KPK perlu semacam Dewan Pengawas pun rasanya perlu untuk
dibentuk. Dengan komposisi orang yang tepat, demi memaksimalkan fungsi
KPK sebagai “penjaga uang rakyat” dari incaran para tikus-tikus koruptor
yang ingin merampok uang rakyat dengan berbagai cara.
Saya
yakin, entahkah AHOK atau siapapun orangnya, diperlukan jiwa pemberani,
galak dan tegas, tanpa kenal takut, dan tanpa kenal ampun untuk
mengawasi kinerja KPK supaya benar-benar bekerja untuk kepentingan
rakyat Indonesia.
Beberapa kasus besar, dengan
kerugian yang jauh lebih besar daripada yang pernah diungkap KPK,
disebut-sebut masih mengantri untuk dituntaskan, tapi masih kabur
realisasinya sampai hari ini. Saya pernah tuangkan pada artikel https://seword.com/politik/ditunggu-sangarnya-kpk-yang-bisa-bikin-koruptor-malu-dan-jera-saat-pakai-rompi-oranye-6DxHc7hIQf mengenai beberapa kasus yang masih terbilang makrak dan belum tersentuh oleh KPK:
- Kasus Bank Century
- Kasus Wisma Atlet di Hambalang
- Kasus Suap Pemilihan Deputi Gubernur BI
- Kasus Proyek SKRT Kementrian Kehutanan
- Kasus hibah kereta dari Jepang di Kementrian Perhubungan
- Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
Dari enam kasus itu saja, kalau beneran
diselesaikan oleh KPK, di bawah pengawasan Dewan Pengawas untuk
memastikan misi memburu 6 kasus tadi tuntas, rasanya sudah lumayan untuk
memberi energi positif bagi KPK. Kepercayaan masyarakat pun akan dengan
sendirinya pulih, jika KPK berani menyentuh keenam kasus tadi.
Jadi,
siapakah menurut SEWORD-ers orang yang nantinya cocok untuk duduk di
Dewan Pengawas KPK? AHOK? Mungkin tepat, tapi akan berisiko mengingat
masih banyak orang menjadikan AHOK sebagai “target buruan” yang tak lagi
boleh berkiprah di dunia politik, terlebih pemberantasan korupsi yang
masih menjadi “lahan pertempuran” yang seru di negeri ini.
Namun
yang jelas, orang yang terpilih dan dipercaya sebagai Dewan Pengawas
nantinya sekali lagi harus punya kualitas dan mentalitas “anjing
penjaga” yang tak takut mati untuk melawan setiap upaya “perampokan”
uang rakyat yang terbukti membuat negeri ini sengsara selama puluhan
tahun!
Begitulah kura-kura
Sumber berita:
sinarharapan.net (Gambar)
Alasan Jokowi Harus Tolak Keinginan Prabowo jadi Menteri Pertahanan
Desas desus lama
yang menyebut Prabowo akan dijadikan Wantimpres Jokowi diperiode kedua
rupanya tak memuaskan Prabowo dan Gerindra. Mantan pecatan kopassus satu
ini ternyata mengincar posisi Ryamizad Ryacudu sebagai menteri
pertahanan. Tapi, Jokowi tahu memasukkan Prabowo sebagai menteri
pertahanan justru berarti kemunduran bagi bangsa Indonesia.
Sebelumnya seperti diberitakan merdeka.com,
tiga kursi menteri telah disiapkan oleh Jokowi untuk Gerindra. Prabowo
Subianto diganjar jabatan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dari
lawan tandingnya di Pilpres 2019. Selanjutnya, dua menteri atau pejabat
setingkat menteri dalam kabinet.
Sumber merdeka.com
dari elite Gerindra menyebut, Jokowi awalnya menawarkan menteri
pertanian dan kepala badan koordinasi penanaman modal atau BKPM. Kursi
untuk oposisi demi menjaga stabilitas politik kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf
lima tahun ke depan.
Jokowi menilai hal ini
sesuai dengan apa yang sering difokuskan oleh Gerindra dan Prabowo. Di
antaranya kedaulatan pangan dan ekonomi kerakyatan. Edhy Prabowo menjadi
orang yang disebut paling pantas disorongkan jadi Mentan. Bahkan,
sambil berkelakar, sudah ada pembicaraan 'Sertijab' antara Mentan Amran
Sulaiman dan Edhy Prabowo.
Namun Gerindra,
merasa tak tertarik dengan tawaran itu. Apalagi posisi Wantimpres,
disebut bukan posisi yang strategis untuk Prabowo.
"Wantimpres
itu tugasnya hanya menasihati presiden. Belum tentu juga nasihatnya
diterima oleh presiden," kata sumber yang juga dekat dengan Prabowo ini.
Gerindra
lebih tertarik posisi Menteri Pertahanan dalam kabinet. Bukan tanpa
alasan, Prabowo selama ini juga memiliki perhatian besar pada bidang
pertahanan. Dalam beberapa debat Capres misalnya, Prabowo menyoroti soal
pertahanan. Mulai dari persediaan amunisi, hingga lemahnya pertahanan
nasional.
Kalau dilihat-lihat jabatan menteri
pertahanan lebih menggiurkan dari segi finansial. Tapi, Prabowo harus
mengaca kalau kualitas dirinya belum mumpuni untuk jabatan sekelas
menteri. Apalagi saat debat pilpres terlihat Jokowi lebih mengerti soal
pertahanan Indonesia ketimbang Prabowo. Memalukan!
Prabowo
menyoroti anggaran pertahanan Indonesia yang jauh lebih kecil ketimbang
Singapura. Padahal posisi anggaran kementrian pertahanan menempati
posisi kedua setelah kementrian PUPR dengan alokasi 107 triliun atau
0.8% dari APBN.
Prabowo menginginkan anggaran
pertahanan Indonesia seperti Singapura yakni 30% dari APBN. Padahal
Indonesia memiliki kuantitas TNI yang jauh lebih besar ketimbang
Singapura. Apalagi pembelian kapal selam mewah yang langsung dibantah
oleh Jokowi kalau negara Indonesia bisa membuat sendiri dengan join
dengan negara lain atau sistem TOT (transfer of technology).
Indonesia
memiliki PT PAL yang bisa membuat berbagai jenis kapal mulai kapal
perang hingga kapal selam. Saya sendiri sempat bekerja sebagai subcon PT
PAL selama 3 tahun dalam pembuatan kapal PKR (Perusak Kapal Rudal) di
bawah perusahaan Romania (Maritime Interior Romania). PT PAL memiliki
galangan kapal terbesar di Indonesia. Ada divisi kapal niaga, kapal
perang hingga divisi baru khusus kapal selam. Setiap divisi memiliki
bangunan sendiri dan luasan total seperti satu kelurahan.
Untuk
persenjataan, Indonesia memiliki PT Pindad yang diakui dikancah
Internasional. Juga Dirgantara Indonesia untuk pembuatan pesawat
terbang. Jokowi berniat baik untuk menggerakkan perusahaan-perusahaan
nasional alias BUMN ini agar mandiri dalam memproduksi alutista bagi
pertahanan. Ini sungguh berbanding terbalik dengan keinginan Prabowo
yang malah ingin Indonesia ekspor kapal selam dari luar negeri dengan
harga mahal seperti Singapura.
Terakhir
pernyataan Prabowo yang takut terjadi perang saat debat yang justru
ditertawakan penonton. Prabowo ngamuk bukan main karena ia disepelehkan
dan mengaku lebih TNI ketimbang TNI. Prabowo bahkan menyudutkan Jokowi
tak tahu menahu soal pertahanan karena menerima informasi tak aman
terjadi peperangan selama 20 tahun kedepan. Prabowo rupanya memiliki
halusinasi yang sama seperti Tengku Zulkarnain soal perpindahan Ibukota
ke Kalimantan membuat rudal Cina tegak lurus menghantam Kalimantan.
Sama-sama edan!
Jokowi sudah menjelaskan secara
epik bagaimana sistem pertahanan luar yang memperkuat 4 titik penting.
Beliau juga menggelar pasukan terintegrasi yaitu di Natuna sebelah
barat, di Morotai sebelah timur, kemudian di Samlaki di dekat Masela itu
di sebelah selatan, dan kemudian di Biak.
Jokowi
mengatakan bahwa keamanan udara dan laut di Indonesia sudah terpantau
oleh radar. Ia mengklaim kebutuhan radar udara dan laut Indonesia kini
sudah 100 persen.
Pantas saja kalau Jokowi
menolak Prabowo melamar sebagai menteri pertahanan, lah wong saat
wawancara debat pilpres saja sudah keok. Sebagai seorang bos, Jokowi tak
mau rugi merekrut karyawan dalam hal ini menteri yang tak menguasai
bidangnya. Meski Prabowo mantan TNI ternyata dia tak lebih dari seorang
kadal gurun ayah naen.
Begitulah kura-kura.
Referensi:
https://m.merdeka.com/politik/prabowo-siap-gabung-jokowi-jika-diberi-jabatan-menteri-pertahanan.html
Sumber Opini : https://seword.com/politik/alasan-jokowi-harus-tolak-keinginan-prabowo-jadi-bjHX8DkjMz
Keunggulan Ganjar Pranowo Sanggup “Bungkam” Kata-Kata Manis Anies!
Sebagai kepala
daerah ibu kota, Anies memang lebih banyak terekspos pemberitaan
ketimbang kepala daerah lainnya. Segala tindak tanduk, kelakuan, dan
kebijakannya selalu disorot. Ya, ini konsekuensinya jadi Gubernur DKI
Jakarta. Yang memang “dimanfaatkan” Anies untuk ambisi politik
pribadinya, maupun juga jadi senjata makan tuan. Jadi pemujanya juga
nggak boleh marah ya kalau Anies dibandingkan dengan kepala daerah lain,
dari segi kinerja maupun prestasinya. Biasanya saya bandingkan Anies
dengan Ibu Risma, Wali kota Surabaya. Kali ini saya bandingkan Anies
dengan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Mereka
berdua ini sama-sama alumni UGM di tingkat S1. Bedanya, Ganjar tidak
punya gelar Doktor, apalagi dari Amerika Serikat seperti Anies. Bedanya
lagi, Ganjar tidak punya para pendukung dan pemuja militan yang katanya
ahli sorga, seperti Anies. Oleh sebab itu, Ganjar nyaris dituduh menista
agama gara-gara membaca sebuah puisi oleh para pemuja Anies. Terus yang
menuduh jadi malu ketika tahu puisi itu yang bikin siapa hehehe…
Kalau
digali lebih dalam, akan ada banyak keunggulan Ganjar ketimbang Anies.
Yang saya paparkan di sini sebagian di antaranya saja. Menurut saya
keunggulan ini harus disebarluaskan. Ya kalau ada kadrun yang panas
dingin membacanya, kembali lagi, itu konsekuensinya Anies jadi figur
publik. Kalau nggak mau kelihatan jeleknya ya jangan jadi gubernur.
Pertama,
Ganjar menyatukan warga, sementara Anies punya kecenderungan untuk
memecah belah. Ingat, pidato pertama Anies ketika baru diangkat jadi
Gubernur DKI. Yang dia sebut adalah “pribumi”. Kata ini memicu
kontroversi di kalangan warga dan warganet. Spanduk yang digelar para
pemuja Anies di depan Balai Kota di hari pelantikannya juga mendukung
apa yang disebut Anies.
(Sumber: Twitter.com)
Kedua,
ketika ada demo mahasiswa yang baru saja terjadi beberapa hari lalu,
Ganjar terjun langsung ke tengahnya dan berkomunikasi langsung dengan
para pendemo. Anies? Awalnya hilang, begitu muncul malah menyerahkan
urusan pelajar ikut demo ke kepala sekolah masing-masing, bukannya
langsung melarang. Dia tidak mau ikut campur dalam konten demo. Cari
aman? Anies lepas tangan dan melempar urusan demo ke pihak kepolisian.
Dia hanya turun buat menengok yang katanya korban demo di rumah sakit.
Sampai-sampai para netizen hapal dengan pola kelakuan Anies mengurusi
demo ini hehehe…
Ketiga, Ganjar dengan tegas
mengatasi paham radikal dan pengusung khilafah. Dia telah memecat 7
kepala sekolah di Jawa Tengah yang terindikasi menganut paham
radikalisme. Ganjar dengan tegas menyampaikan langsung bahwa musuh
Pancasila adalah paham radikalisme dan pengusung khilafah. Sedangkan
Anies? Eh dia malah menyebut ancaman komunis itu nyata terhadap
Pancasila. Buktinya apa ya? Sementara Anies sama sekali tidak menyebut
pengusung khilafah alias HTI sebagai ancaman bagi Pancasila. Apakah di
Jakarta banyak warga yang terang-terangan mengusung paham komunisme
gitu? Tanyakan lah pada bambu dan batu di Bundaran HI hehehe….
Keempat,
walaupun Ganjar tidak sesering Anies melakukan kunker ke luar negeri,
namun Ganjar secara transparan bicara di depan publik mengenai biaya dan
pertanggungjawaban kunjungannya itu. Waktu itu di tahun 2015, Ganjar
dan rombongan (jadi rame-rame ya) melakukan kunjungan ke 3 negara:
Suriname, Belanda dan Jerman selama 10 hari. Menurut Ganjar biaya
kunjungan ini mencapai Rp 2 miliar, yang dia pertanggungjawabkan dan
diaudit oleh BPK. Sesudah lawatan itu, Ganjar juga mendapat tawaran
untuk mengunjungi Italia, diminta untuk bicara di Forum PBB, dan apa
kata Ganjar? "Saya nanti akan pidato di sidang PBB di Italia. Akhir
bulan ini undangannya. Namun, berangkat atau tidak akan menunggu respons dari publik, apakah masyarakat mengizinkan gubernurnya bicara di sana atau tidak," ujarnya Sumber.
Saya tidak akan berpanjang lebar soal kunker Anies ke luar negeri yang
nggak ada “sisanya” itu. Cukup dengan 1 pertanyaan, apakah Anies pernah
bicara seperti Ganjar, di bagian yang saya bold itu?
Menutup tulisan ini, berikut antara lain berbagai prestasi Ganjar yang juga sanggup “membungkam” kata-kata manis Anies :
Tahu
kah para pembaca bahwa capaian zakat dari Baznas Jawa Tengah adalah
yang tertinggi jumlahnya secara nasional? Zakat itu kemudian digunakan
untuk sektor produktif, misalnya permodalan usaha tanpa bunga lewat
Baznas Micro Finance, beasiswa dan renovasi rumah tidak layak huni.
Semua ini memberi dampak pada penurunan angka kemiskinan. Buktinya, di
semester pertama tahun 2019, angka kemiskinan di Jateng turun mencapai
124.200 jiwa Sumber.
Selama
setahun memimpin Jateng di periode keduanya, ada sekitar 40 penghargaan
skala nasional yang sudah didapatkan oleh Ganjar. Pemprov Jateng juga
diapresiasi karena telah berhasil menghemat anggaran
sebesar Rp 1,2 triliun. Sekali lagi, menghemat ya! Birokrasi Jateng yang
berjalan baik juga mendapat pujian dari Kementrian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta akan dijadikan sebagai role model bagi daerah lain Sumber.
Kementrian
Pertanian menobatkan program Kartu Tani Jawa Tengah menjadi yang
terbaik secara nasional. Dari segi implementasi penyaluran, penggunaan
hingga manajemen database kartu tersebut Sumber.
Bupati
dan Wali Kota se-Jawa Tengah sepakat menerapkan pendidikan antikorupsi
di sekolah, dari jenjang SD hingga SMA. Kesepakatan ini ditandatangani
pada bulan September lalu di depan inisiator program ini, Ganjar sendiri
dan KPK yang diwakili oleh Alexander Marwata Sumber.
Nggak
heran lah dengan komitmen itu, Ganjar sendiri dikenal sederhana.
Contohnya kebiasaannya duduk di kelas ekonomi jika bepergian menggunakan
pesawat udara. Malah pernah ada kejadian, di dalam pesawat yang sama,
pejabat daerah Jateng lain duduknya di kelas Bisnis, dan jadi malu
sendiri ketika tahu gubernurnya duduk di kelas ekonomi Sumber.
Anies mana kata-kata manisnya? Di ibu kota negara kok ada masalah tidak
adanya anggaran buat WC Umum ya? Hehehe…. Demikian kura-kura….Solusi Jitu Pemberantasan Korupsi adalah Ahok Jadi DP KPK?
Oke, saat ini saya
mulai membahas sesuatu dengan sangat rinci dan detail. Mulai sekarang,
penulis mencoba untuk membagikan apa yang sudah penulis meditasikan
selama beberapa hari ini. Ada juga beberapa bagian penting yang perlu
penulis sajikan di sini.
Selama ini kita
melihat korupsi sebagai sebuah tindakan yang seperti tidak ada hentinya.
Mulai dari era bapak terkorup di abad ke-20, sampai ke sekarang ini.
Korupsi tetap berjalan.
Korupsi adalah sebuah kejahatan super, yang bisa disebut sebagai extraordinary crime yang sangat sulit diberantas. Mengapa? Ada beberapa hal yang bisa kita lihat.
Pertama,
sulit diberantas karena ada sistem budaya dan kearifan lokal yang
muncul di dalamnya. Misalnya di tradisi kami, ada seserahan dan
sebagainya di acara pernikahan. Ada juga tradisi bagi-bagi uang di
berbagai daerah, untuk sekadar menyatakan kebaikan kepada mereka.
Dan
hal ini mengalami akulturasi di dalam kebudayaan kerja. Asimilasi
semacam ini dilakukan untuk apa? Untuk mendapatkan perkenanan. Mereka
bisa berdalih bahwa mereka tidak memiliki niat untuk korupsi dan
sebagainya.
Ya, ini memang harus
disosialisasikan sepanjang waktu. Jadi aspek kebudayaan ini membuat
korupsi sulit sekali diberantas. Maka apa yang menjadi tugas dari
penegak hukum khususnya dalam bidang anti korupsi?
Mereka
harus rajin memberi sosialisasi, bahwa tradisi yang mereka anggap
“biasa saja”, adalah pelanggaran di mata hukum. Tapi apa yang KPK
kerjakan?
Mereka hanya OTT, OTT dan OTT. Biji
mata gue baca berita gituan udah ketutup otomatis. Ya. Biji mata gue
yang ketutup. Kelopak mata gue gak keburu tutup.
Kedua, korupsi ini sangat sulit diberantas karena aftermath
atau akibat dari era kepemimpinan sebelumnya. Seperti yang sudah saya
katakan sebelumnya di atas, kita ini hidup mewariskan tradisi.
Tradisi
Soeharto, yang tuliskan oleh Republika sebagai Bapak Terkorup di Abad
21, masih ada sampai sekarang. Pergantian pemerintahan iya. Tapi apakah
pergantian pemerintahan ini sampai ke bawah-bawah dan ke PNS? Rasanya
tidak.
Masih ada orang-orang lama yang ada di dalam kursi-kursi mediocre
yang duduk di pemerintahan saat ini. Pengaruh mereka justru sangat
besar. Pengaruh mereka sudah kronis. Kronis artinya sudah berperiode.
Bertahun-tahun. Berdekade mungkin?
Atasan yang
baru-baru, sungkan untuk turun ke bawah. Mereka banyak yang berpolitik.
Apalagi ada kepentingan partai juga yang berpotensi menyusup di
kementerian dan posisi-posisi strategis negara ini.
Ketiga,
lembaga anti korupsi atau lembaga anti rasuah ini pun sudah berpolitik.
Nah. Kalau urusan begini ya susah lah. Sini saya jelaskan apa yang
dimaksud dengan KPK yang saya nilai sebagai lembaga politik. Komisi
Politik Korupsi? Hahaha. Kira-kira begini. KPK saat ini sudah
berpolitik.
Mengingat orang-orang yang ada di
dalamnya, yakni mereka yang diposisikan di antara yang rendah dan
tinggi. Mereka lagi-lagi orang mediocre yang sudah bertahun-tahun ada di lembaga tersebut. Awalnya mungkin idealisme mereka tinggi.
Akan
tetapi, sekarang kita melihat bagaimana Neta S Pane, mengatakan bahwa
KPK sudah disusupi dua polisi. Yakni polisi Taliban yaitu kubu Novel,
dan kedua polisi India, yang datang selalu terlambat. Kedua jenis polisi
ini saling bersinggungan satu sama lain di dalam internal KPK.
Tidak harus gesekan panas, tapi bisa juga gesekan ahay-ahay.
Mereka berdua ini ada di dalam KPK. Artinya, dua jenis kepolisian ini
memang gak becus. Yang satu radikal, yang satu selalu datang terlambat
setelah aksi terjadi.
Jadi apa solusinya?
Artikel tanpa solusi, memang rasanya seperti kurang mantap. Hambar,
bosan. Syahdu, dan seperti Gabrun si Gabener Gurun itu.
Solusinya sederhana. Ada dua.
Pertama.
Bubarkan KPK. KPK sudah berpenyakit. Sudah sakit keras. Tidak bisa lagi
memberantas korupsi. Kalau hanya mengandalkan OTT, jangan-jangan benar
kata si sinterklas hutan itu… Bahwa pejabat bakalan habis. Eh ingat ya,
saya tidak pernah setuju korupsi. Saya benci korupsi juga.
Tapi ya benarkan apa yang cacat dalam penanganannya. Uang gue juga yang dipertaruhkan, man. Ganti dengan Satgas anti korupsi bentukan Polri! Saya lebih percaya sama Polisi ketimbang KPK.
Kedua,
ikuti UU KPK yang sudah disahkan versi Jokowi. Bukan versi DPR.
Tambahkan dewan pengawas KPK. Beredar kabar Ahok dan Antasari jadi Dewan
Pengawasan KPK.
Dan tahukah kalian? Kubu
Taliban mulai kepanasan. Mereka ketakutan! Loh? Ngapain takut? Takut
korupsi di tubuh KPK dibongkar sama Ahok dan Antasari?
Begitulah takut-takut.
Sumber Opini : https://seword.com/umum/solusi-jitu-pemberantasan-korupsi-adalah-ahok-jadi-7vgXZRAANV
SJW (Koman-Badudu-Dandhy) Bungkam Warga Wamena Dibantai Separatis Dengan Sadis-Mengerikan
“Awalnya kita
upacara seperti biasa hari Senin. Setelah itu kita masuk kelas dan ibu
guru membagikan soal ujian. Disaat kita mau isi nama dan tanggal lalu
ada lemparan dan kaca sekolah pecah. Kelas lain yang dilempar semuanya
keluar. Lalu saya keluar kelas dan lihat mereka lempar sekolah. Saya
mendekati gerbang dan lihat anak-anak SMA dan campuran merusak gerbang
dan masuk sekolah. Kemudian saya kembali ke kelas dan dengar ada yang
berteriak yang merasa monyet keluar. Mereka masuk ke kelas menyuruh yang
merasa monyet keluar. Saya keluar dan lihat di pintu gerbang terlalu
banyak orang dan saya takut. Setelah itu guru-guru buka gerbang
belakang. Saya lari ke belakang dan ketemu kakak 2 orang dan ada yang
membawa bensin. Mereka tanya ko monyet ka bukan? Saya jawab tidak kaka,
saya mau pulang ke rumah. Lalu mereka bilang tidak bisa, kamu harus ikut
kita. Saya berontak, saya bilang malas. Kemudian saya lari dan mereka
langsung siram saya dengan bensin lalu ambil korek dan bakar saya.”
klik videonya disini https://youtu.be/yJAfaEmfaLo
Klik
Demikianlah secuil kisah pilu seorang Frans Tabuni
(14) korban keganasan pembunuh di Wamena. Dia asli Papua. Dia tidak
bersalah. Dia hanya seorang anak kecil yang menolak dijadikan alat
provokasi. Dia hanya menolak diajak membantai orang lain.
Dia
hanya salah satunya. Seorang dokter yang sudah mengabdikan hidupnya di
Papua selama belasan tahun pun dibakar hidup-hidup. Ada lagi anak kecil
kepalanya dikapak. Yang lain lagi dipanah, ditikam dan dipenggal
kepalanya.
Sementara itu para warga pendatang
yang selamat, sebagian dari mereka diselamatkan dari kekejaman
pembunuhan. Ada yang di lehernya sudah dihunus pedang, ada yang dadanya
sudah terbuka menanti busur menghujam. Kalau saja warga Wamena tidak
menyelamatkan warga pendatang, bukan hanya 32 saja korban kekejaman OPM,
melainkan seluruhnya. Bukan tidak mungkin Wamena akan menjadi lautan
darah. Mengerikan sekali.
Ternyata ada manusia
sekeji itu. Bukan hanya ISIS saja di jaman sekarang yang membunuh
manusia dengan sangat kejinya, para pembunuh di Wamena juga melakukan
yang sama. Rasanya mereka ini bukan manusia lagi.
Apakah
para perusuh dan pembunuh itu adalah warga asli Wamena – yang setiap
hari hidup bersama dengan para korban yang mengungsi – atau yang lain?
Sangat tidak masuk akal rasanya kalau orang yang kemarin hidup bersama
kita, lalu tega membakar mereka hidup-hidup.
Saya
tidak menyaksikan langsung. Tetapi cerita dari para korban membuka mata
kita bahwa kejadian yang sesungguhnya pasti jauh lebih mengerikan
daripada apa yang kita dengar dari media kalau korban meninggal sampai
tiga puluhan orang dan warga pendatang sampai mengungsi keluar kota.
Saya tidak tahu apakah hanya saya yang merasakan kengerian ini. Semoga
saja tidak.
Sementara korban tak bersalah berjatuhan dan dibunuh secara keji, apakah kita mendengar SJW (social justice warrior)
mengeluarkan kutuk sebagaimana mereka selalu lontarkan ketika ada yang
meninggal dari OPM? Tidak ada. Hanya OPM-kah yang punya hak untuk hidup
dan hak untuk membunuh?
Adakah teriak HAM dari
SJW terhadap korban meninggal yang dibunuh secara keji itu? Juga tidak
ada. Lalu sebenarnya mereka ini memperjuangkan kemanusiaan siapa? OPM?
Jika
memang mereka memperjuangkan HAM OPM, maka seharusnya mereka juga
memperjuangkan HAM warga Wamena yang nyawanya dicabut, rumahnya dibakar,
dan hartanya hangus tak berbekas. Sebab tidak ada HAM yang berlaku
hanya untuk satu kalangan saja, melainkan berlaku secara universal.
Jangan
ketika orang yang kita bela mendapat perlakuan yang tidak pantas -
menurut kita - kita kecam sementara ketika orang yang selama ini kita
bela melakukan kekejian yang jauh lebih mengerikan terhadap orang lain
yang tak bersalah, kita diamkan. Betapa busuklah pikiran orang seperti
itu. Betapa egoisnya manusia seperti itu.
Diamnya
SJW ini terhadap tragedi kemanusiaan di Wamena mengokohkan posisi
mereka sebagai pengkhianat bangsa yang menjadi alat asing untuk
menghancurkan Indonesia. Benarlah sebutan SJW sebagai manusia yang hanya
tampil kontra terhadap pemerintah untuk mencari perhatian dan kemudian
makan dari perhatian itu sekalipun harus mengorbankan nyawa orang lain.
Wamena bergolak hanya karena provokasi SJW seperti Koman, Dandhy, Badudu
dan yang lainny.
Sebagai
WNI, saya tentu pasti akan membela bangsa ini. Tetapi bukan berarti
saya membenarkan andai ada tindakan TNI yang main bantai OPM saja. Saya
tetap mendukung pendekatan dialog dan damai dari pada kekerasan selama
OPM belum menyatakan perang terhadap Indonesia. Artinya, selama ada opsi
damai, kenapa harus perang.
Tetapi kalau OPM
mau merebut kemerdekaan, perjuangkanlah dengan mengorbankan diri
sendiri, jangan membantai orang tak bersalah. Jangan jadikan orang tak
bersalah jadi korban dari ambisi dan kesok-pahlawananmu. Nyatakan
perang, agar statusmu jelas dan mari saling unjuka kekuatan.
Jangan
nanti OPM menyerang dan membunuh anggota TNI-Polri, mereka anggap itu
perjuangan. Lalu setelah TNI-Polri menembak mati anggota OPM, mereka
katakana itu sebagai kejahatan HAM. Enak saja jadi manusia.
OPM
ini kek banci kaleng. Ketika mereka menyerang TNI dengan senjata, lalu
dibalas TNI dengan senjata, mereka teriak soal kemanusiaan. Emank OPM
saja yang punya hak untuk menyerang. Katanya pejuang kemerdekaan, tapi
mentalnya mental tempe. Kalau perlu, nyatakan perang terhadap Indonesia.
Setelah itu mari kita buktikan siapa yang menang.
Saya
memang sangat mengusulkan agar OPM menyatakan perang. Karena mereka ini
selalu mengatasnamakan HAM atas korban di pihak mereka. Tetapi tak
pernah menganggap korban meninggal dari TNI sebagai pelanggaran HAM.
Kalau sudah dinyatakan perang, maka kedua belah pihak bisa menentukan
sikap dan tindakan yang harus dilakukan.
Kalau
dilihat lebih jauh dan teliti, sudah tidak ada jalan lain bagi OPM
selain perang. Karena Papua adalah Indonesia menurut UU Indonesia dan UU
internasional. Maka kalau mau merebut Papua, OPM harus melawan
Indonesia. Papua tidak sama dengan Timor Leste. Jadi jangan ngimpi
melaksanakan referendum.
Inilah mungkin yang
tak dipahami SJW bayaran asing. Mereka pikir melepaskan Papua dari
Indonesia itu seperti putus dengan pacar. Makanya mereka mencari-cari
alasan yang buruk terhadap pemerintah Indonesia di Papua.
Mereka
tidak tahu bahwa tragedi kemanusiaan di suatu negara yang sudah sah
menurut UU negara tersebut dan UU internasional bukan kemerdekaan atau
pemisahan solusinya. Kalau ada masalah kemanusiaan, ya selesaikan
masalah kemanusiaannya, bukan mengajukan kemerdekaan. Itu aja masa gak
paham?
Jadi jangan marah atau berontak ketika
dikatakan SJW bayaran. Sebab SJW sejati – sebelum pemahaman SJW menjadi
negatif – tidak akan menggunakan cara-cara berat sebelah dalam
perjuangannya. Hanya SJW bayaran – yang dianggap negatif – yang akan
memperjuangkan target sesuai pesanan pembayarnya.
BBM Satu Harga, Sumbangsih Jokowi Yang “Dikhianati” Mahasiswa!
Kenapa saya sebut
sebagai “sumbangsih”, bukan program atau prestasi? Karena kalau bukan
Jokowi presidennya, nggak bakalan ada program semacam ini. Soal harga
BBM mahal di daerah 3T (terdepan, terluar dan terpencil) itu sudah
terjadi puluhan tahun lamanya. Mungkin ya selama Indonesia ini merdeka.
Namun hanya di masa Presiden Jokowi ada inisiatif untuk menyamakan
harganya. Hanya Jokowi yang memikirkan rakyat sampai sejauh
wilayah-wilayah Indonesia yang terdepan, terluar dan terpencil itu. Saya
tidak melebih-lebihkan, ini fakta!
Sebuah fakta
yang sayangnya “dikhianati” oleh para mahasiswa yang berdemo beberapa
hari lalu. Mereka sibuk ngurusin KPK dan RUU KUHAP yang tidak mereka
baca isinya. Tapi mereka lupa bahwa jauh di daerah pedalaman, banyak
rakyat yang tertolong dengan adanya BBM Satu Harga. Yang dulu membeli
bensin atau pun solar dengan harga selangit hingga Rp 100.000 per
liternya. Sekarang mereka menikmati harga yang sama dengan saudara
sebangsanya di daerah lain, yakni Rp 6.450 per liter untuk bensin
premium dan Rp 5.150 per liter untuk solar. Jadi jangan heran, wahai
para mahasiswa, ketika rakyat di luar sana justru tidak bersimpati
dengan demo-demo kalian. Apalagi demonya sampai merusak fasilitas
pemerintah. Sampai menurunkan dan merobek foto Presiden Jokowi. Rakyat
di luar sana sangat berterima kasih pada Presiden Jokowi karena banyak
yang sudah dilakukan Jokowi buat rakyat. Walaupun tidak semuanya bisa
mencapai target, paling tidak rakyat sudah merasakan perhatian nyata
dari orang nomor satu di Indonesia ini. Perhatian yang dulunya belum
pernah mereka rasakan.
Saat ini program BBM Satu Harga sudah melampaui targetnya. Selama 3 tahun perjuangan
Pertamina telah menghasilkan BBM Satu Harga di 161 titik. Per 1 Oktober
2019, BBM Satu Harga yang telah dioperasikan Pertamina tersebar mulai
dari Papua (33 titik), Maluku (17 titik), Nusa Tenggara (25 titik),
Sulawesi (18 titik), Kalimantan (35 titik) Sumatera (28 titik) dan Jawa –
Bali (5 titik) Sumber.
Kata “perjuangan” itu perlu digarisbawahi. Karena ada banyak kendala
besar yang dihadapi dalam mewujudkan program BBM Satu Harga.
Misalnya kendala dari kepala daerah sendiri. Menurut BPH Migas, ada beberapa kepala daerah yang mempersulit
penerapan program tersebut di daerahnya. "Bupatinya sudah izin misalnya.
Pas mau bangun, malah bupatinya mempersulit. Kan mestinya mendukung,"
ujar Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa (Ifan) dilansir kompas.com.
Di salah satu kabupaten, proses izin pembangunan SPBU BBM satu harga
sempat terganjal. Sebab, Bupati setempat enggan bertemu dengan BPH Migas
maupun Pertamina. Kemudian mereka dioper ke Sekretaris Daerahnya yang
juga enggan menerima mereka. "Kita ngerasa dipingpong. Ada lagi daerah
yang lain. Ini jelas menghambat," kata Ifan. Menurut dia, semestinya
semua pihak mendukung program tersebut karena sangat membantu masyarakat
setempat. Hingga akhir 2018, sekitar 421.955 kepala keluarga dapat
merasakan manfaat BBM satu harga. Selain itu juga program ini membuat
barang pokok menjadi lebih stabil sehingga menumbuhkan ekonomi di daerah
itu. "Padahal ini amanah pemerintah dalam hal Migas untuk mewujudkan
keadilan sosial. Ini amanah undang-undang," kata Ifan Sumber.
Kendala
lain diceritakan oleh VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah
Usman. “Tantangannya tidak sedikit… menjadi motivasi untuk secara total
melayani saudara-saudara kami yang berada di ujung negeri. Karena mereka
juga memilik hak yang sama untuk menikmati BBM dengan harga terjangkau
sebagai bentuk keadilan energi,” ujar Fajriyah. Pertama adalah pencarian
investor. Kebijakan BBM Satu Harga yang jauh dari keuntungan membuat
investor enggan berinvestasi. Selain itu, ada juga kendala dari
status-status lahan untuk pembangunan lembaga penyalur BBM Satu Harga.
Hal ini ditambah dengan perizinan yang rumit di daerah. Kemudian kendala
dalam proses pembangunan hingga operasi penyaluran. Rintangannya mulai
dari konflik wilayah, kondisi cuaca dan tentu saja geografis daerah yang
tak mudah dijangkau. Namun itu semua telah dilewati dengan sukses dan
mencapai target, 3 bulan sebelum tutup tahun 2019 Sumber.
Sudah
berapa juta rakyat yang merasakan manfaat program BBM Satu Harga ini?
Di lain pihak, sudah berapa juta rakyat yang dibantu oleh demo
mahasiswa? Oleh sebab itu saya memakai kata “dikhianati” untuk judul
tulisan ini. Karena saya merasa bahwa para mahasiswa yang berdemo itu
sangat keterlaluan pekoknya. Idealisme macam apa yang mereka
perjuangkan, jika mereka sendiri tidak paham dengan apa yang mereka
tuntut. Padahal pemerintah sudah susah payah bekerja keras dalam hal
pemerataan kesejahteraan dan pembangungan ekonomi di seluruh pelosok
negeri. Ini lebih realistis membantu rakyat.
Harusnya
para mahasiswa itu menggelar kegiatan anti-korupsi di daerah
masing-masing. Turut mengawasi para pejabat daerah dan menolong banyak
permasalahan warga terkait suap dan korupsi. Yang saya yakin masih
banyak di berbagai daerah. Para mahasiswa juga bisa mengawal anggota DPR
dalam melaksanakan tugasnya. Soal undang undang, revisi dan judicial
review itu kan sudah ada mekanismenya. Demikian kura-kura….
(Sekian)Polisi Tangkap 8 Tersangka Kasus Penculikan dan Penyekapan Ninoy Karundeng
Arrahmahnews.com, Jakarta – Pegiat
media sosial, Ninoy Karundeng, sempat diculik dan dianiaya sekelompok
orang di Masjid Al-Falah, Pejompongan, Jakarta Pusat. Dewan Masjid
Indonesia (DMI) menyesalkan peristiwa tersebut.
Polisi kembali menangkap para pelaku
penculikan dan penganiayaan terhadap pegiat medsos atas nama Ninoy
Karundeng. Saat ini, total sudah ada 8 tersangka yang diamankan Polda
Metro Jaya.
“Saat ini sudah 8 tersangka diamankan,”
kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Suyudi Ario
Seto, kepada wartawan, Minggu (6/10/2019).
Baca: Kronologi Penyekapan dan Penculikan Super Sadis Ninoy Karundeng Mirip ISIS
Suyudi tidak menjelaskan detail kapan
dan di mana 3 tersangka baru itu diamankan polisi. Namun dia menyebut
peran masing-masing tersangka berbeda-beda.
“Tersangka yang diamankan ABK, RF, dan IA. Perannya masing-masing ada,” jelas Suyudi
Pelaku yang ditangkap pertama kali
berinisial RF dan S asal Jakarta, yang disebut polisi sebagai anggota
sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas).
Sebelumnya, anggota Dewan Kemakmuran
Masjid (DKM) Al-Falah, Iskandar, angkat bicara soal Ninoy. Iskandar
mengatakan jemaah dan pengurus masjid menyelamatkan Ninoy ketika tahu
ada pemukulan.
Baca: Pegiat Medsos Ninoy Karundeng Diculik dan Disiksa oleh Orang Tak Dikenal
“Secara langsung saya tidak melihat.
Kondisi beliau (Ninoy) ada di depan sini (di depan masjid), dipukuli
massa. Kita tidak tahu apa penyebabnya tiba-tiba ada pemukulan. Kami
dari jemaah masjid dan sekaligus pengurus DKM untuk menyelamatkan beliau
kita masukan ke dalam pintu yang terbuka separuh,” kata Iskandar saat
ditemui di Masjid Al-Falah, Jalan Pejompongan Dalam, Bendungan Hilir,
Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (4/10).
Jack Lapian mengatakan akan mengawal
kasus tersebut hingga putusan tetap dari majelis hakim. Dia menuturkan
bukti dan fakta di persidangan akan mengungkap kebenaran kasus itu.
“Kasus ini akan kita kawal sampai
putusan tetap majelis hakim. Bukti dan fakta di persidangan akan membuka
semua ini termasuk soal DKM, pengeroyokan, dan penyekapan di dalam
masjid yang diceritakan oleh korban Ninoy,” jelasnya.
Baca: Polisi Tangkap 2 Pelaku Penculikan Pegiat Medsos Ninoy Karundeng
Jack Lapian sendiri meyakini Ninoy
benar-benar mengalami penyekapan saat berada di dalam masjid. Dia
menyebut sudah ada pengakuan dari para tersangka yang sudah tertangkap.
“Para tersangka infonya sudah mengakui perihal penyekapan dan pengeroyokan di dalam masjid,” tuturnya.
Sekjen DMI Imam Addaruqutni pun menyebut
tindakan kelompok yang melakukan aksi kekerasan itu sebagai kezaliman.
Ia menegaskan masjid seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi
umat Islam.
“Kalau orang beda kelompok lalu ada
pengadilan kekerasan fisik seperti pengeroyokan, itu adalah sebuah
kezaliman. Apalagi dibawa ke masjid, itu kezaliman. Jadi mereka yang
membawa ke masjid itu orang-orang zalim,” ujarnya. (ARN)
Sumber Berita : https://arrahmahnews.com/2019/10/06/polisi-tangkap-8-tersangka-kasus-penculikan-dan-penyekapan-ninoy-karundeng/
“Habib” Disebut dalam Penculikan Ninoy Karundeng, Jubir 212 Novel Bamukmin Dipanggil Polisi
Arrahmahnews.com, Jakarta –
Novel Bamukmin dipanggil sebagai saksi oleh kepolisian Polda Metro
Jaya. Pemanggilan ini dinyatakan oleh pihak pengacara terkait
penculikan dan penganiayaan pegiat medsos Ninoy Karundeng.
Surat Panggilan pertama itu bernomor
S.Pgl/9902/X/RES.1.24/2019/Ditresrimum. Nama yang dipanggil adalah
“Habib” Novel Chaidir Hasan, atau biasa diketahui sebagai Novel Bamukmin
yang juga sebagai Jubir 212.
Karena kita ketahui bersama bahwa dia bukanlah seorang Habib atau ada darah keturunan dari Nabi Muhammad SAW.
Baca: Polisi Tangkap 8 Tersangka Kasus Penculikan dan Penyekapan Ninoy Karundeng
Dalam surat itu tercantum tanda tangan
Kasubdit 3 Resmob Komisaris Polisi Handik Zusen atas nama Dirreskrimum
Polda Metro Jaya. Di situ juga tercantum nomor konfirmasi Bripda Ray
Nandimas selaku penyidik pembantu. Saat dihubungi, Bripda Ray
membenarkan surat ini.
“Benar,” kata Ray.
Novel dipanggil untuk hadir pada Kamis,
10 Oktober 2019, pukl 14.00 WIB ke Polda Metro Jaya, Jalan Jenderal
Sudirman, Jakarta Selatan. Dia dipanggil sebagai saksi oleh penyidik.
Baca: Kronologi Penyekapan dan Penculikan Super Sadis Ninoy Karundeng Mirip ISIS
“… dalam perkara turut serta melakukan
dan atau membantu melakukan tindak pidana dengan terang-terangan dan
dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang dan atau
tindak pidana secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan
dengan memakai kekerasan atau dengan memakai ancaman kekerasan terhadap
orang lain dan atau tindak pidana pencurian dengan kekerasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 333 KUHP dan atau Pasal 335 KUHP dan atau Pasal
365 KUHP yang terjadi pada hari Senin, 30 September 2019 di Masjid Jami
Al Falah, Pejompongan, Jakarta Pusat,” demikian bunyi surat panggilan
itu. Ray menyatakan surat itu sudah diterima pihak Novel.
(ARN/DetikNews)
Sumber Berita : https://arrahmahnews.com/2019/10/07/habib-disebut-dalam-penculikan-ninoy-karundeng-jubir-212-novel-bamukmin-dipanggil-polisi/
Dilema Tempo: Berita atau Opini! Tersebab Info Palsu Opini Banyak Duitnya?
Ketenangan
Pemerintah (dalam hal ini Jokowi), kalau tidak bisa disebut
ketidakpedulian, atas model pemberitaan majalah Tempo yang beberapa
waktu ini sering meliputnya secara tendensius, menjadi berkah tersendiri
bagi majalah Tempo. Dengan diamnya Jokowi, tidak membuat perhitungan
balik, tidak berniat menggugat, mendiamkan saja para penyerangnya mulai
mendewakan majalah Tempo, maka dengan itu dapur Tempo kembali ngebul.
Memang
pahit bagi majalah Tempo, kenyataan sekarang ini, karena pilihannya,
kalau tidak bisa menjangkau segmen pasar kaum demokratis yang mayoritas,
paling tidak, bisa menjaga para pembaca yang datang dari kelompok kecil
kaum pembenci pemerintah agar mau dan rela mengeluarkan sedikit uang
untuk menjaga operasional majalah Tempo tetap berjalan. Idealisme bisa
ditawar, dapur tidak ngebul bisa berantakan.
Pilihan
itu menjadi sangat kentara. Ada kesan keterpaksaan majalah Tempo harus
mengulik apapun yang menjadi nilai negatif dari seorang Jokowi. Kalaupun
itu tidak negatif, dibuat seolah tetap agar kesannya benar negatif.
Lihat
saja bagaimana prakata yang di tampilkan di salah satu sampul majalah
Tempo edisi terbaru, "perpu, tidak, perpu, tidak... Jokowi tak kunjung
ambil keputusan perihal pembatalan revisi undang-undang KPK. Tersebab
informasi palsu komisi menyadap pejabat negara?" Dilengkapi dengan
karikatur Jokowi yang sedang menghitung kancing baju.
Pertama,
mereka mengesankan Jokowi tidak punya evaluasi kuat, pertimbangan yang
tegas, selain coba-coba saja membuat keputusan. Digambarkan dengan cara
mengambil keputusan dengan sistem hitung kancing. Lalu mereka
menyematkan potensi opini liar dengan membuat kalimat pertanyaan,
'Tersebab informasi palsu komisi menyadap pejabat negara?'
Trik
jorok sebenarnya, karena mereka bukan majalah opini, melainkan majalah
berita. Walau benar mereka punya kolom opini, tapi pasti tidak beretika
kalau kolom opini itu diekspos di cover majalah, yang notabene mengaku
sebagai majalah berita. Hal seperti ini seharusnya sudah menjadi
pegangan bagi majalah berita manapun. Kalau memang tidak bisa jadi
pegangan, ya, jangan mengaku majalah berita.
Majalah
Tempo seharusnya tidak melakukan trik-trik seperti media lain, yang
mengaku sebagai harian berita, namun isinya hanyalah gosip dan kejadian
rekaan semata. Kalau sudah seperti itu, apa bedanya majalah Tempo dengan
harian Lampu Merah, Kuning, Hijau, misalnya.
Tapi,
dibalik itu, saya mulai bisa memahami seorang Jokowi. Ini hanya salah
satu bentuk betapa bermanfaatnya beliau bagi seluruh lapisan masyarakat.
Beliau bermanfaat bagi pendukungnya, karena program yang positif dapat
dijalankan bersama-sama. Beliau juga bermanfaat bagi kelompok
pembencinya, karena keberadaannya dapat menumbuhkan kembali asa mereka,
untuk mengais rejeki lain dari konsep hidup yang lain. Membuka ruang
bagi mereka untuk tetap berkumpul, bersilaturahmi, terlepas dari apa
yang akan dibahas dalam perkumpulan, silaturahmi itu sendiri.
Namun,
sikap Jokowi tentu tidak sepenuhnya cerminan sikap pendukungnya. Jelas,
apa yang telah coba ditebar oleh majalah Tempo, harus menjadi
perhitungan balik oleh pendukung Jokowi. Apakah untuk membela Jokowi?
Mungkin sebagian kecil seperti itu. Tapi pada prinsip besarnya
perlawanan pendukung Jokowi terhadap majalah Tempo, lebih cenderung
untuk menempatkan logika masyarakat tetap di garis lurus. Tidak mencla mencle, tidak munafik.
Kalau
majalah Tempo ingin masuk ke bisnis media opini, silahkan saja dengan
terus terang, lewat pintu depan. Jangan pernah mengaku majalah berita
tapi kontennya cenderung opini pribadi dari pewartanya. Hal seperti itu
dapat sesat dan menyesatkan para pembacanya.
Masyarakat
harus paham tulisan apa yang sedang mereka hadapi, apalagi untuk
majalah sekelas Tempo, jangan sampai opini liar dianggap fakta, dan
sebaliknya fakta dianggap hoaks.
Kita sebagai
pelaku media tulisan, bertanggung jawab secara etika dan moral
memberikan pembelajaran yang mencerahkan untuk pembaca.
Pesan
saya kepada majalah Tempo, silahkan saja kalau Anda memang ingin
mengais rejeki dengan memposisikan berada di seberang kebijakan Jokowi,
kami tidak akan mengusik Anda selama Anda mau jujur mengakui bahwa media
Anda sudah bukan media berita, melainkan media opini.
Kami
menantikan keputusan Anda, dengan sejujurnya dan dalam waktu yang
secepatnya, jangan sampai kami berbalik berkata, "opini, berita, opini,
berita... Tempo tak kunjung ambil keputusan perihal sifat medianya,
opini atau berita. Tersebab informasi palsu media opini banyak duitnya?"
Jokowi Tokoh Muslim Berpengaruh, Kalau Abdul Somad Apa Ya?
Bahagia rasanya
mengetahui Jokowi masuk sebagai tokoh muslim paling berpengaruh no. 13
di dunia, sama bahagianya ketika penulis mengetahui beliau berangkat
naik haji dan masuk ke dalam tempat suci umat Islam bersama guru
ngaji-nya. Jauh berbeda dengan guru ngaji Prabowo yang hanya dianggap
sebagai pembantu bagian angkat koper dan barang-barang keperluan
Prabowo.
Jokowi masuk sebagai tokoh muslim
paling berpengaruh karena alasan-alasan yang dikemukakan Pusat Studi
Strategi Islam sebagai berikut :
Presiden Widodo disebutkan di sana sebagai presiden
Indonesia pertama yang bukan berasal dari militer atau elit politik. Ia
berasal dari latar belakang keturunan Jawa yang rendah hati.
Selain itu, Jokowi juga dituliskan sebagai seorang politisi yang bersih dan sukses.
Lalu, Jokowi juga dinilai sukses memperbaiki sistem transportasi, kesehatan, dan hubungan bisnis dengan masyarakat.
Lembaga
ini juga menyoroti "Tradisi Blusukan" yang dilakukan Jokowi sehingga
mampu membuatnya menjadi sosok yang dekat dengan rakyat.
Fakta-fakta di atas jelas semakin tidak
terbantahkan, kadal gurun mau bantah? Silakan berdebat dengan para
pemikir-pemikir muslim di Pusat Studi Strategi Islam, namun sebelumnya
berlatih dulu berdebat dengan Abu Janda, karena jika debat sama Abu
Janda saja kelabakan sampai membuat tagar #BlokirAbuJanda, maka penulis
melihat peluang kadal gurun untuk berdebat dengan pemikir-pemikir muslim
di Pusat Studi Strategi Islam adalah mustahil.
Dan
lagi siapa sih kadal gurun? Pasti tidak akan dianggap oleh mereka yang
terbiasa dengan data dan fakta, kalau adu membuat hoax mungkin kadal
gurun tidak terkalahkan? Eh tapi buktinya Prabowo kalah ya? Padahal
sudah dibantu hoax buatan kadal gurun yang cetar membahenol. Hahaha
Selain
Jokowi, tokoh muslim yang berpengaruh lainnya adalah Said Aqil dan
Habib Luthfi. Yang hebat dari beliau adalah Habib Luthfi sudah
mendirikan ribuan sekolah dan masjid di Indonesia dan memiliki jutaan
pengikut. Luar biasa, ternyata Habib Luthfi diam-diam adalah tokoh yang
berperan dalam perkembangan umat islam di Indonesia, tidak hanya dari
segi kuantitas tapi juga dari segi kualitas karena beliau mendirikan
sekolah yang merupakan lembaga pendidikan untuk menimba ilmu.
Ini
membuktikan kalau untuk menjadi muslim yang hebat tidak perlu banyak
gaya seperti misalnya menaiki motor gede buatan "kafir" yang biasa dia
hina. Lalu pura-pura menangis di depan dua handphone seperti berikut ini
:
Jika
Jokowi yang terbiasa blusukan sejak menjadi walikota dianggap
pencitraan, maka yang di atas bolehkah kita sebut lebih pencitraan
daripada pencitraan? Jangan lupa sebelumnya minta izin sama Prabowo,
karena template kalimat tersebut sudah menjadi hak paten dari beliau.
Yang
jadi pertanyaan penulis kemana ustad kebanggaan kadal gurun seperti
Abdul Somad dan Rizieq Shibab? Nama yang terakhir penulis sebut sih
tidak perlu diceritakan lagi, beliau sudah memecahkan rekor yang semua
muslim mungkin akan sulit memecahkannya, yaitu umrah terlama, tiga kali
puasa tiga kali lebaran tidak pulang-pulang seperti bang toyib dan
tampaknya akan terus bertambah.
Kalau
Abdul Somad, tampaknya penulis mengetahui kenapa beliau tidak ada di
daftar tokoh muslim paling berpengaruh, alasannya karena memang beliau
tidak punya nilai lebih yang layak disandingkan dengan tokoh-tokoh
muslim yang masuk ke dalam daftar.
Prestasi
Somad yang pertama adalah menghina ciptaan Allah dengan sebutan hidung
pesek, kalau soal hina menghina sih netizen jauh lebih jago dari Abdul
Somad, jadi tidak ada yang spesial dari hal ini. Abdul Somad tampaknya
harus belajar ilmu agama dasar lagi, bahwa menghina ciptaan Tuhan sama
dengan menghina si pencipta itu sendiri.
Prestasi
berikutnya adalah mengharamkan segala sesuatu, nonton drama korea
haram, mengantar makanan untuk non muslim haram bagi driver ojek online,
naik ambulans haram, nonton the santri haram padahal film tersebut
buatan PBNU yang ketuanya masuk tokoh muslim berpengaruh ke 19, lalu
haram pergi ke bioskop kecuali nonton film hayya buatan kelompoknya
sendiri. Setelah mengharamkan hal-hal di atas, Abdul Somad menganggap
kafir semua yang melakukan hal di atas, intinya kalau tidak setuju Somad
kafir.
Ini juga tidak cukup menjadikan beliau
tokoh muslim berpengaruh, karena kalau cuma pintar teriak ini kafir, itu
kafir, ini haram dan itu haram sih tukang obat di pinggir jalan penulis
yakin jauh lebih ahli daripada Abdul Somad.
Prestasi
yang terakhir adalah memelintir ajaran islam, seperti tidak boleh
menghina Tuhan agama lain, perintah ini dipelintir menjadi boleh kalau
dilakukan di internal, nanti tinggal disebarkan di media sosial, begitu
heboh langsung alasan internal. Lalu memelintir aturan poligami yang
dibatasi maksimal empat menjadi unlimited, berikut artikelnya.
Dari
prestasi-prestasi Abdul Somad di atas memang beliau tampaknya belum
pantas menjadi tokoh muslim berpengaruh. Kalau untuk menjadi provokator
agar timbul kebencian kepada yang berbeda golongan tampaknya Abdul Somad
adalah ahlinya, apalagi beliau juga memiliki banyak pengikut yang
kelakuannya sama, seperti para kadal gurun contohnya.
Oh
iya lupa, ada satu kelebihan Abdul Somad yaitu beliau lucu dalam
berceramah. Namun lagi-lagi ini juga tampaknya tidak cukup membuat
beliau menjadi tokoh muslim berpengaruh, kalau cuma lucu sih para komika
banyak yang lebih lucu dari beliau.
Sumber Opini : https://seword.com/politik/jokowi-tokoh-muslim-berpengaruh-kalau-abdul-somad-ES0ZbBdnsJ
Jokowi "Anti" Islam dan Dunia Mengakuinya !!!
As always
alias Seperti biasanya, justru orang luar negeri jauh lebih menghormati
dan mengapresiasi Pak Jokowi dari pada sebagian kecil rakyatnya sendiri,
yaah kita tau lah ya siapa saja yang menjadi sebagian kecil itu, mereka
adalah Sebagian rakyatnya yang justru sombong dengan kebodohannya,
hingga berani mencaci presidennya sendiri.
Kalau
orang bisa berfikir dengan jernih, pasti akan menerima bahwa pak Jokowi
berada di urutan ke 13 dunia sebagai "tokoh muslim paling berpengaruh
di dunia". Tapi karena mereka alias para kampret dan kadrun sudah tidak
bisa berfikir lagi, maka mereka menjadi ngawur setiap buka mulut dan
sulit menerima realita yang ada.
Amaziiiiing our President,
Di tengah tekanan dan serangan yang datang dari berbagai lini, Presiden
Joko Widodo (Jokowi) tetap disegani dunia, bahkan pak Jokowi secara
berturut-turut kembali masuk di deretan 'Top 50' dalam daftar 500 muslim
paling berpengaruh di dunia, tentu saja ada sejumlah nama lain dari
Indonesia yang juga masuk dalam Top 50.
Pihak
penyelenggara pemilihan daftar 500 tokoh muslim berpengaruh di dunia
adalah Pusat Studi Strategi Islam Kerajaan (The Royal Islamic Strategic
Studies Centre/RISSC), yang merupakan lembaga riset independen yang
terafiliasi dengan Institut Aal Al Bayt Kerajaan untuk Pemikiran Islam,
yang berkedudukan di Amman, Yordania.
Buku The
Muslim 500 : The World's 500 Most Influental Muslims 2020, didapat dari
situs resmi The Muslim 500, yang menyatakan pemilihan orang dalam
publikasi daftar 500 tokoh muslim berpengaruh ini bukan berarti dalam
rangka mendukung pandangan mereka. RISCC hanya mengukur sejauh mana
pengaruh dari orang-orang tersebut.
Tokoh muslim
berpengaruh yang berada di urutan pertama adalah Syekh Muhammad Taqi
Usmani. Disusul di posisi kedua oleh Ayatollah Haji Sayyid Ali Khamenei.
Sementara itu, Raja Salman bin Abdul-Aziz Al-Saud berada di urutan
keempat dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berada di posisi enam.
Sedangkan pak Jokowi menempati urutan ke-13.
Nama
lain dari Indonesia yang masuk dalam daftar 50 muslim berpengaruh yakni
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj di posisi 19, dan Habib Luthfi bin
Yahya berada di urutan 33.
Betapa bodohnya
mereka yang selalu saja menghina, mencaci hingga memfitnah Pak Jokowi,
dari sini kita bisa melihat bahwa dunia sangat menghormati beliau, tapi
di negeri sendiri beliau malah dihujat, dicaci maki, difitnah yang tiada
henti oleh balakurawa kadal gurun. Otaknya ada tapi sudah tak dipakai
lagi. Yang tersisa hanyalah hati yang sudah terbungkus awan kedengkian.
Jadi begitu disatukan dengan kebodohannya, maka mulut dan jari-jariya
sudah tidak bisa dikendalikan lagi dengan logika yang normal..
Apa
yang dicapai oleh pak Jokowi benar-benar Membanggakan sekali, tapi
sayang seribu kali sayang, sebagian rakyatnya masih terlalu bodoh untuk
paham sepertu apa presidennya. Kepemimpinan pak Jokowi terus bertumbuh
di dunia, sayang sekali sebagian rakyat tak mampu mengenalnya.
Nah
jika dunia saja mengakui beliau, kecuali segelintir orang Australia dan
Amerika yang memiliki kepentingan politik, tentu sangat aneh bin ajaib
bila masih ada warga masyarakat Indonesia yang membencinya tanpa alasan
yang jelas. Bahkan menganggap bahwa Indonesia sedang dalam keadaan
darurat hingga perlu muncul tagar-tagar lucu macam SOS pembersih lantai.
Saya
merasa sebenarnya Indonesia dalam keadaan baik-baik saja, diluar
masalah-masalah individual dan golongan, nggak ada carut marut berarti
kecuali bagi mereka yang hidupnya nggak tenang karena kebencian dan
nggak bisa menerima kenyataan. Toh seribu kemajuan pun yang akan tampak
di mata kampret DNA kadruun adalah satu kerusuhan yang diartikan
kehancuran Indonesia.
Maaf,
sekali lagi, buat saya Indonesia memang baik-baik saja dan saya merasa
damai hidup di Negeri ini. Kalaupun sengsara itu karena diri saya
sendiri. Justeru yang bermasalah di Negara ini adalah hati dan kelakuan
orang-orangnya. Yang bermasalah itu sikap saya, kaku dan kita semua.
Kalian yang bikin rusuh tapi kalian juga yang melimpahkan semua
kesalahan pada satu orang yaitu pak Jokowi.
Jangan
berpikir bahwa seorang manusia bisa menyelesaikan seluruh permasalahan
satu Negara dan mengendalikan ratusan jutaan rakyatnya, ketika
kebanyakan dari kalian mengendalikan diri sendiri saja susah payah.
Kalian memang hanya jago dalam menggoyang lidah. Paling gampang soalnya
karena tidka perlu memeras otak untuk berpikir. Hahaha
Kalaupun
sebuah pemerintah bermasalah, kalaupun sebuah Negara punya banyak
masalah, toh memang nggak ada Negara yang sempurna. Kita bisa melihat ke
Negara-Negara lain yang bahkan menurut kalian sudah oke banget. Makmur
banget. Tetap saja negara tersebut selalu punya cela dan cacat yang
harus terus diperbaiki.
Re-Post by MigoBerita / Senin/07092019/18.16Wita/Bjm