Nadiem Makarim Sebutkan 50 Persen Dana BOS bisa Digunakan untuk Guru Honorer, Ini Syaratnya
TRIBUNBATAM.id - Nadiem Makarim,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan jika dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) dapat digunakan untuk meningkatan kesejateraan
guru honorer.Hal ini disampaikan Kemendikbud yang didampingi oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian di Kantor Kementrian Keuangan, Jakarta, Senin (10/2/2020).
Kemendikbud menegaskan jika Dan Bos bisa digunakan hingga 50 persen.
"Penggunaan BOS sekarang lebih fleksibel untuk kebutuhan sekolah. Melalui kolaborasi dengan Kemenkeu dan Kemendagri, kebijakan ini ditujukan sebagai langkah pertama untuk meningkatan kesejahteraan guru-guru honorer dan juga untuk tenaga kependidikan," ujar Mendikbud Nadiem.
Di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (10/2/2020), Mendikbud kemudian menegaskan, "Porsinya hingga 50 persen."
Syarat dana BOS untuk guru honorer“Ini merupakan langkah pertama untuk memperbaiki kesejahteraan guru-guru honorer yang telah berdedikasi selama ini,” ujar Nadiem.
Pembayaran honor guru honorer dengan menggunakan dana BOS dapat dilakukan dengan beberapa persyaratan, yaitu:
- Guru bersangkutan sudah memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK)
- Belum memiliki sertifikasi pendidik
- Sudah tercatat di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) sebelum 31 Desember 2019
Bagi sekolah dengan kondisi jumlah guru PNS sudah mencukupi, penggunaan otonomi dana BOS sepenuhnya berada di tangan kepala sekolah.
Syarat transparansi dan akuntabilitasDalam kebijakan ketiga Merdeka Belajar ini, Kemendikbud berfokus pada meningkatkan fleksibilitas dan otonomi kepala sekolah untuk menggunakan dana BOS sesuai dengan kebutuhan sekolah yang berbeda-beda.
Namun, hal ini diikuti dengan pengetatan pelaporan penggunaan dana BOS agar menjadi lebih transparan dan akuntabel.
“Karena kita sudah memberikan otonomi dan fleksibilitas kepada sekolah dan kepala sekolah, maka kita juga memerlukan transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana BOS,” tutur Mendikbud.
“Dengan begitu, Kemendikbud bisa melakukan audit secara maksimal dalam upaya perbaikan kebijakan pendanaan sekolah,” tambahnya.
Di antaranya, penyaluran dana BOS tahap ketiga hanya dapat dilakukan jika sekolah sudah melaporkan penggunaan dana BOS untuk tahap satu dan tahap dua.
Sekolah juga wajib memublikasikan penerimaan dan penggunaan dana BOS di papan informasi sekolah atau tempat lain yang mudah diakses masyarakat.
Dana BOS merupakan pendanaan biaya operasional bagi sekolah yang bersumber dari dana alokasi khusus (DAK) nonfisik.
Dalam kebijakan baru, percepatan proses penyaluran dana BOS dilakukan dengan melalui transfer dana langsung dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ke rekening sekolah.
Sebelumnya, penyaluran harus melalui Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Provinsi. Tahapan penyaluran dilaksanakan sebanyak tiga kali setiap tahunnya dari sebelumnya empat kali per tahun.
(*)
jefrima/tribunnews
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim memberikan
kata sambutan usai serah terima jabatan (sertijab) di Gedung
Kemendikbud, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (23/10/2019). Nadiem Makarim
resmi ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Pendidikan,
Kebudayaan, dan Pendidikan Tinggi (Mendikbud Dikti) pada Kabinet
Indonesia Maju 2019-2024. Tribunnews/Jeprima
Di Era Nadiem Makarim, Penggunaan Dana BOS Lebih Fleksibel, Bisa Bayar Guru Honorer
JAKARTA, TRIBUNBATAM.id - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim membuat terobosan penggunaan dana Bantuan Operasional (BOS) lebih fleksibel.Nadiem Makarim menyebutkan perubahan kebijakan penyaluran dan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebagai langkah awal untuk meningkatkan kesejahteraan guru- guru honorer.
Perubahan penyaluran dan penggunaan dana BOS, lanjut Nadiem, merupakan kebijakan Merdeka Belajar episode ketiga yang membuat penggunaan dana BOS lebih fleksibel.
"Penggunaan BOS sekarang lebih fleksibel untuk kebutuhan sekolah. Melalui kolaborasi dengan Kemenkeu dan Kemendagri, kebijakan ini ditujukan sebagai langkah pertama untuk meningkatan kesejahteraan guru-guru honorer dan juga untuk tenaga kependidikan. Porsinya hingga 50 persen," kata Nadiem dalam siaran pers yang diterima Kompas.com.
Nadiem menjelaskan setiap sekolah memiliki kondisi yang berbeda sehingga kebutuhan di tiap sekolah juga berbeda-beda.
“Dengan perubahan kebijakan ini, pemerintah memberikan otonomi dan fleksibilitas penggunaan dana BOS,” tambah Nadiem.
Pembayaran honor guru honorer dengan menggunakan dana BOS dapat dilakukan dengan persyaratan yaitu guru yang bersangkutan sudah memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), belum memiliki sertifikasi pendidik, serta sudah tercatat di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) sebelum 31 Desember 2019.
“Ini merupakan langkah pertama untuk memperbaiki kesejahteraan guru-guru honorer yang telah berdedikasi selama ini,” ujar Nadiem.
Kebijakan ini merupakan bagian dari kebijakan Merdeka Belajar yang berfokus pada meningkatkan fleksibilitas dan otonomi bagi para kepala sekolah untuk menggunakan dana BOS sesuai dengan kebutuhan sekolah yang berbeda-beda.
Namun, hal ini diikuti dengan pengetatan pelaporan penggunaan dana BOS agar menjadi lebih transparan dan akuntabel.
Penyaluran Makin Cepat dan Tepat Sasaran
Dana BOS merupakan pendanaan biaya operasional bagi sekolah yang bersumber dari dana alokasi khusus (DAK) nonfisik. Percepatan proses penyaluran dana BOS ditempuh melalui transfer dana dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) langsung ke rekening sekolah.
Sebelumnya penyaluran harus melalui Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Provinsi. Tahapan penyaluran dilaksanakan sebanyak tiga kali setiap tahunnya dari sebelumnya empat kali per tahun.
“Kami membantu mengurangi beban administrasi Pemerintah Daerah dengan menyalurkan dana BOS dari Kemenkeu langsung ke rekening sekolah sehingga prosesnya lebih efisien,” kata Nadiem.
Adapun dana BOS dicairkan dalam 3 tahap tahun 2020 ini yaitu pada Tahap I; 30 persen, tahap II; 40 persen dan tahap III; 30 persen dengan syarat pencairan mengikuti ketentuan Kemendikbud.
Baca juga: Ini Penggunaan Dana BOS SD hingga SMK, Berikut Alurnya
Penetapan surat keputusan (SK) sekolah penerima dana BOS dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), kemudian disusul dengan verifikasi oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota.
Sekolah diwajibkan untuk melakukan validasi data melalui aplikasi Dapodik sebelum tenggat waktu yang ditentukan. Batas akhir pengambilan data oleh Kemendikbud dilakukan satu kali per tahun, yakni per 31 Agustus. Sebelumnya dilakukan dua kali per tahun, yaitu per Januari dan Oktober.
Selain kebijakan penyaluran dan penggunaan, pemerintah juga meningkatkan harga satuan BOS per satu peserta didik untuk jenjang sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA) sebesar Rp100.000 per peserta didik.
Untuk SD yang sebelumnya Rp 800.000 per siswa per tahun, sekarang menjadi Rp 900.000 per siswa per tahun. Begitu juga untuk SMP dan SMA masing-masing naik menjadi Rp 1.100.000 dan Rp 1.500.000 per siswa per tahun.
Sumber Berita : https://batam.tribunnews.com/2020/02/11/di-era-nadiem-makarim-penggunaan-dana-bos-lebih-fleksibel-bisa-bayar-guru-honorer?page=all
Nasib Guru Honorer, Dijanjikan Kesejahteraan Tapi Harus Punya NUPTK
Awal
tahun 2020, pelaku pendidikan khususnya guru dengan status honorer
diresahkan dengan berbagai pemberitaan yang menyebutkan 3 syarat utama
pembayaran honorer yang bersumber dari dana BOS yakni, guru terdaftar
di dapodik, memiliki NUPTK, dan belum memiliki sertifikat pendidik. https://batam.tribunnews.com/2020/02/11/nadiem-makarim-sebutkan-50-persen-dana-bos-bisa-digunakan-untuk-guru-honorer-ini-syaratnya
Dari
ketiga syarat tersebut, kewajiban memiliki Nomor Unik Pendidik Tenaga
Kependidikan (NUPTK) menjadi sorotan utama. Mengapa? karena dari sekian
banyak guru honorer yang mengabdi baik di sekolah negeri maupun swasta,
belum semuanya memiliki NUPTK. https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/MkMG6gEN-banyak-guru-honorer-belum-kantongi-nuptk, dan https://fajar.co.id/2020/02/12/nuptk-jadi-syarat-guru-honorer-dapat-gaji-dari-bos-bikin-resah/
Penulis
mencatat ada tiga kendala utama yang membuat guru honorer belum
memiliki NUPTK walaupun sudah resmi terdaftar di dapodik sekolah.
Pertama, berdasarkan pengalaman penulis sebagai operator dapodik,
kepengurusan NUPTK melalui aplikasi verval GTK pada tahun – tahun
kemarin dirasa lamban karena harus melalui serangkaian tahapan
pemrosesan mulai dari input data dan pengecekan kembali oleh operator,
dilanjutkan dengan verfikasi dan aproval oleh pemangku kepentingan
seperti dinas pendidikan kabupaten/kota, hingga sistem data base pusat.
Keterlambatan pemrosesan dapat disebabkan karena beberapa hal seperti,
dinas pendidikan kabupaten/kota terlambat melakukan verifikasi, data tak
kunjung diaproval oleh sistem pusat dan yang terakhir NUPTK tidak
terbit atau terlambat terbit meskipun keseluruhan proses kepengurusan
telah selesai dilakukan.
Kedua,
kepengurusan NUPTK terbentur syarat utama untuk memiliki NUPTK yakni
guru honorer harus memiliki ijasah S1. Artinya mereka yang belum
berkualifikasi S1 jangan bermimpi untuk memiliki NUPTK. Pertanyaannya,
apakah masih ada guru honor di Indonesia yang saat ini mengajar dengan
ijasah SMA atau diploma? jawabannya, Iya, masih ada. Di kampung –
kampung, di desa terpencil, di pinggiran kota, guru honor seperti itu
masih ada, bahkan tak terhitung jumlahnya.
Apakah
stok guru dengan kualifikasi S1 di negara kita ini masih sangat
terbatas?. Tidak!. Negara kita berkelimpahan guru – guru dengan
kualifikasi S1 dan S2. Yang menjadi persoalan adalah dari sekian banyak
guru dengan kualifikasi S1, hanya sedikit yang terpanggil untuk mau
mengabdi di desa, di daerah pinggiran, bahkan jauh ke pedalaman. Keadaan
sekolah – sekolah di pedalaman yang kekurangan bahkan ada yang tidak
memiliki tenaga pendidik sama sekali membuat rekan – rekan guru yang
hanya lulus SMA dan diploma ini terpanggil untuk membaktikan diri
walaupun untuk itu mereka rela dibayar dengan Rp 150.000 sampai dengan
Rp. 300.000 per bulan.
Ada
begitu banyak guru honorer lulusan SMA dan diploma yang saat ini
berstatus mahasiswa dan sedang menyelesaikan studi S1 sambil tetap
mengajar. Pemberitaan yang menyebutkan kepemilikan NUPTK sebagai salah
satu syarat pembayaran guru honor dari dana BOS, jelas sangat
meresahkan. Mereka dihadapkan pada tiga permasalahan baru yakni
keberlangsungan pendidikan siswa, keberlangsungan hidup sendiri, dan
kelanjutan studi S1 mereka.
Yang
terakhir, mengurus NUPTK tersendat karena keterbatasan sumber daya dan
tidak tersedianya jaringan teknologi informasi dan komunikasi. Akses
jaringan dewasa ini merupakan kebutuhan vital, contohnya penggunaan
jaringan internet untuk penginputan data pokok pendidikan. Hal ini
membuat guru honorer yang mengabdi di pedalaman terlambat mengakses
informasi dan kesulitan mengurus NUPTK. Selain prosesnya berbelit –
belit, mereka harus berjalan kaki ke kota untuk mendapatkan jaringan
internet. Penulis sampai dengan hari ini masih diminta bantuan oleh
rekan – rekan guru honorer di daerah pedalaman untuk mengerjakan
aplikasi dapodik sekolahnya. Persoalannya bukan karena mereka tidak
bisa, tetapi karena di tempat mereka tidak tersedia jaringan.
Jika
wacana NUPTK menjadi syarat utama pembayaran gaji honorer ini benar –
benar terlaksana, dan menilik kendala yang dihadapi guru honorer dalam
memperoleh NUPTK, maka pemerintah dalam hal ini Mendikbud Nadiem
Makarim, perlu membuat pertimbangan ulang. Bisa jadi Mas Menteri pada
waktu merumuskan wacana syarat pembayaran gaji honorer, perhatiannya
lebih fokus pada situasi guru honorer dan lingkungan pendidikan di kota
yang tentunya sudah maju dan berbasis IT, sehingga Mas Nadiem lupa
kalau rumusan tersebut tidak dapat diterapkan pada guru honorer yang
hanya lulusan SMA dan diploma, yang saat ini mengabdi di sekolah
terpencil, jauh dari jangkauan transportasi teknologi dan jaringan.
Jika
pada akhirnya NUPTK mutlak dipakai sebagai syarat pembayaran gaji guru
honorer, maka harapan Mas Menteri, penggunaan dana BOS yang katanya
untuk kesejahteraan guru honorer, sama sekali tidak memberi manfaat apa –
apa bagi para guru, khususnya guru honorer yang pontang panting
mengabdi di pedalaman, meskipun hanya lulus SMA dan diploma.
Sumber Berita : https://seword.com/pendidikan/nasib-guru-honorer-dijanjikan-kesejahteraan-tapi-ytOV9JZRmD
Tak Paham Tentang NUPTK, Pengamat yang Usul Guru Honorer Dipecat Sebaiknya Diam
Usulan
pemecatan guru honorer tanpa NUPTK (Nomor Unik Pendidik dan Tenaga
Kependidikan) disampaikan oleh pengamat pendidikan Indra Charismiadji
kepada Komisi X DPR RI, Rabu (12/2/2020). Menurut Indra, guru honorer
yang tidak memiliki NUPTK berarti tidak berkualitas dan layak
diberhentikan.https://www.jpnn.com/news/pengamat-guru-honorer-layaknya-diberhentikan
Pernyataan
ini menurut penulis adalah sebuah pernyataan yang dangkal dan asal
bunyi. Dasar apa yang menjadi acuan pengamat sehingga menyebutkan guru
honorer tanpa NUPTK tidak berkualitas? Perlu diketahui bahwa NUPTK
bukanlah sejenis ijasah kualifikasi yang menjadi tolok ukur yang
dipakai untuk menilai berkualitas atau tidaknya seorang guru. NUPTK itu
singkatan dari Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang
merupakan Nomor Induk bagi seorang Pendidik atau Tenaga Kependidikan.
Jadi katakan saja bahwa NUPTK itu adalah KTP nya para guru.
NUPTK
diberikan kepada seluruh PTK baik PNS maupun Non-PNS sebagai Nomor
Identitas yang resmi untuk keperluan identifikasi dalam berbagai
pelaksanaan program dan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan.
Artinya dengan memiliki NUPTK, guru baik PNS maupun honorer memiliki
semacam kepastian hukum jati dirinya sebagai pendidik. Selain itu NUPTK,
mempermudah pemerintah dalam hal proses pendataan, dan juga membantu
guru untuk ikut ambil bagian dalam seluruh program pemerintah terkait
kesejahteraan dan kegiatan peningkatan kualitas guru.
Lebih
lanjut, pengamat tersebut menyatakan "Kok ada guru honorer bisa tanpa
NUPTK, tidak tahu di lapangan pada seenaknya saja. Jumlah mereka banyak
banget memang dan mereka memang tidak layak,"https://www.jpnn.com/news/pengamat-guru-honorer-layaknya-diberhentikan
Yang menjadi pertanyaan penulis adalah, “manakah yang lebih dahulu
ada, “punya NUPTK dulu baru menjadi seorang guru, atau menjadi guru dulu
baru memiliki NUPTK?”.
Pernyataan
pengamat di atas menyiratkan bahwa dia sebenarnya tidak paham apa itu
NUPTK dan bagaimana mekanisme kepemilikan NUPTK itu. Proses untuk
memiliki NUPTK adalah dengan terlebih dahulu menjadi guru dan terdaftar
di dapodik sekolah. Setelah terdata, maka guru baik honorer maupun PNS,
melalui operator sekolah mengajukan pendaftaran untuk memperoleh NUPTK.
Dan
apabila kemudian ditemukan ada guru honorer tanpa NUPTK, maka
kemungkinan yang terjadi adalah proses pengajuan belum selesai, atau
terbentur syarat kepemilikan NUPTK, misalnya harus punya SK pengangkatan
sebagai guru, yang bersangkutan belum terdata di dapodik, dan belum
berkualifikasi S1. Kendala lainnya yaitu masalah keterbatasan jaringan
internet sehingga guru – guru yang mengabdi di pedalaman kesulitan
mengajukan permohonan penerbitan NUPTK. Jadi jangan asal nyeplak
memvonis guru tanpa NUPTK itu tidak berkualitas.
Salah
satu syarat untuk memiliki NUPTK adalah guru harus memiliki ijasah
dengan kualifikasi S1. Jika pengamat, misalnya menyatakan begini “guru
honorer yang tidak memiliki NUPTK karena tidak punya ijasah S1 itu tidak
berkualitas” maka pernyataan itu bisa diterima. Namun pertanyaan kita
sekarang adalah, “bagaimana dengan guru dan tenaga kependidikan yang
berijasah SMA yang sudah memiliki NUPTK sebelum tahun 2015? waktu itu
belum ada ketentuan mengurus NUPTK wajib berijasah S1. Apakah mereka
tetap disebut guru berkualitas karena sudah memiliki NUPTK atau
sebaliknya?”
NUPTK
tidak digunakan untuk menentukan berkualitas atau tidaknya seorang
guru. Jika memang ukuran kualitas itu diperlukan untuk membangun SDM
Unggul, maka yang dipakai sebagai alat ukur adalah kualifikasi
pendidikan guru, bukan NUPTK. Manfaat NUPTK untuk guru dan tenaga
kependidikan itu sudah jelas, yaitu agar mereka bisaberpartisipasi dalam
proses/mekanisme pendataan secara nasional, serta dapat mengikuti
berbagai program/kegiatan yang diselenggarakan pemerintah.
Lebih
lanjut pengamat juga mengatakan "Guru honorer memang tidak bisa
menopang SDM unggul jadi layak diberhentikan,". Yang penulis tangkap
dari pernyataan ini adalah pengamat gagal paham tentangdeinisi guru
honorer. Guru honorer adalahguru tidak tetap yang belum berstatus
minimal sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil, dan digaji per jam
pelajaran. Guru honorer umumnya berpendidikan S1 dan melamar sebagai
guru sesuai dengan mata pelajaran yang menjadi keahliannya. Jadi tidak
asal – asalan menjadi guru.
Guru
honorer dalam pikiran pengamat adalah orang yang tidak berpendidikan
dan terpaksa melamar menjadi guru supaya ada kerjaan. Karena itu jangan
heran diamelontarkan pernyataan – pernyataan yang ngawur, tidak tepat
sasaran dan tidak berkualitas!
Sumber Berita : https://seword.com/pendidikan/tak-paham-tentang-nuptk-pengamat-yang-usul-guru-7FNRXBWybC
Tuntaskan Guru Honorer, Mendikbud Jangan Lupa Operator Sekolah
Geliat
pendidikan Indonesia saat ini disibukkan dengan wacana kenaikan gaji
guru honorer yang bersumber dari dana BOS sebesar 50%. Namun hanya guru
honorer yang memenuhi syarat saja yang boleh menerima pembayaran dari
dana BOS. Salah satu syarat yang membuat resah guru honorer adalah wajib
punya Nomor Unik Pendidik Tenaga Kendidikan (NUPTK). Persoalan sekarang
adalah mayoritas guru honorer di negara kita belum memiliki NUPTK. https://fajar.co.id/2020/02/12/nuptk-jadi-syarat-guru-honorer-dapat-gaji-dari-bos-bikin-resah/
dan https://batam.tribunnews.com/2020/02/11/nadiem-makarim-sebutkan-50-persen-dana-bos-bisa-digunakan-untuk-guru-honorer-ini-syaratnya
Ada
banyak kendala yang menyebabkan guru honorer tidak punya NUPTK,
diantaranya tidak terdata di aplikasi dapodik, sudah membuat pengajuan
namun belum diaproval oleh pemangku kepentingan, sudah melaksanakan
semua proses pengajuan namun NUPTK tak kunjung terbit, dan yang paling
fenomenal adalah guru honorer yang ingin mendapatkan NUPTK harus
memiliki ijasah dengan kualifikasi S1. Persoalan terkait kepengurusan
NUPTK sudah pernah penulis ulas sebelumnya di https://seword.com/pendidikan/nasib-guru-honorer-dijanjikan-kesejahteraan-tapi-ytOV9JZRmD
Pihak
yang dianggap paling bertanggung jawab atas tidak terbitnya NUPTK yaitu
operator sekolah dalam hal ini operator dapodik. Operator dituding
tidak melakukan proses pengajuan walaupun sudah dijelaskan berkali –
kali bahwa masih menunggu proses verifikasi dinas, dan aproval dari
sistem pusat. Ada kasus dimana operator dianggap tidak becus menjalankan
tugasnya, padahal sebenarnya tidak demikian. Operator tersendat
melakukan pengajuan karena guru tidak memiliki SK, belum berkualifikasi
S1, dan belum memberikan data – data yang diminta untuk proses
pengajuan.
Media
saat ini lebih banyak memberitakan tentang Mendikbud, Nadiem Makarim
yang lagi gencar – gencarnya mengupayakan kesejahteraan guru honorer.
Terlalu gencar sehingga Mas Menteri mungkin lupa dengan nasib puluhan
ribu operator sekolah yang saat ini jungkir balik, babak belur, pontang
panting dikejar tuntutan guru honorer agar segera mengupayakan NUPTK.
Lebih menyedihkan lagi, operator sekolah yang diberi predikat “Jantung
Sekolah” ini bekerja full time dengan gaji berkisar antara Rp. 300.000
sampai dengan Rp. 500.000.
Tidak
ada upaya Mendikbud terdahulu dalam memberikan penghargaan atau
kesejahteraan bagi operator sekolah. Bahkan sampai dengan hari ini
status operator sekolah belum memiliki payung hukum yang jelas. Kalaupun
ada itu pun terkesan formalitas, sehingga nasib operator benar - benar
kurang diperhatikan, dan keberadaan mereka pun sepertinya antara ada dan
tiada.
Kapan
kesejahteraan operator sekolah menjadi perhatian pemerintah?, ini
pekerjaan rumah buat Mas Menteri. Sebab kesejahteraan di dunia
pendidikan tidak hanya milik guru PNS dan Guru Honorer saja, tetapi
operator sekolah pun perlu diberi prioritas. Tugas operator itu berat.
Semua pekerjaan administrasi ditanggung oleh operator sekolah. Siang
input data, malam begadang mengurus proses sinkronisasi,atau memastikan
bahwa data sekolah sudah 100% terkirim ke server. Mengapa harus malam?,
karena lalu lintas pengiriman data selalu padat di siang hari, dan
server biasanya lancar pada waktu malam, bahkan menjelang subuh.
Operator
digaji dengan Rp. 300.000. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan
dengan beban kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Dibalik itu ada
konsekuensi yang harus dihadapi operator jika data terlambat kirim,
bermasalah atau gagal sinkron.Pernah ada kasus dimana operator sekolah
dipecat karena data tidak sinkron dan sekolah tidak menerima dana BOS.
Umumnya
operator sekolah digaji tergantung kondisi keuangan sekolah, sehingga
tidak sedikit operator yang terpaksa mencari penghasilan tambahan di
luar jam sekolah. Ada juga yang rangkap tugas menjadi guru dan dibayar
Rp. 10.000 per jam. Bahkan ada yang tidak punya waktu untuk mencari
pekerjaan tambahan mengingat padatnya pekerjaan serta konsekuensi yang
bakal dihadapi jika lalai atau terlambat memproses data.
Kapan
nasib para operator sekolah tidak ditentukan lagi oleh kondisi keuangan
sekolah? pertanyaan ini penulis kira tidak perlu Mas Menteri jawab
sekarang. Masih banyak hal yang perlu Mas Menteri tuntaskan, misalnya
kesejahteraan guru honorer. Mas Menteri masih punya banyak rencana yang
harus direalisasikan. Tapi perlu penulis ingatkan, apapun gebrakan Mas
Menteri, “jangan sampai melupakan peran operator sekolah”.
Sudah
sepantasnya operator sekolah diberi gaji yang pantas, tidak hanya
diberi gaji yang tergantung kondisi keuangan sekolah. Intinya harus ada
kepastian gaji. Operator sekolah punya kedudukan yang setara dengan guru
honorer. Itu bukan berarti mereka meminta untuk diangkat menjadi PNS,
tidak!. Kalaupun nanti suatu saat Mas Menteri mengeluarkan kebijakan
untuk mengangkat operator sekolah menjadi PNS, maka mewakili rekan –
rekan operator sekolah, penulis mengucapkan “terima kasih Mas Menteri”,
puji syukur, alhamdulilah.
Sumber Berita : https://seword.com/pendidikan/tuntaskan-guru-honorer-mendikbud-jangan-lupa-k6221unbZM
Re-post by MigoBerita / Senin/17022020/11.55Wita/Bjm