Migo Berita - Banjarmasin - Tuhan begitu sayang pada Indonesia, dan juga kepada Presiden Jokowi, apa alasannya, tentu ini bisa jadi debatable, namun dari Posisi Jokowi Naik menjadi Presiden NKRI dari Pilpres 2014 dan 2019 menghadapi Pak Prabowo yang di back-up "Orang-orang Kaya", sepertinya Jokowi "Pasti Kalah", namun Allah berkehendak lain, Pak Jokowilah yang terpilih.
Ditengah itu semua di masa Pilpres seakan bangsa Indonesia terbelah 2 (dua) dan masing-masing anak bangsa seperti hendak "Berperang", namun kembali Alhamdulillah, Allah SWT menolong Bangsa Indonesia dengan membuat anak bangsa NKRI kembali bersatu, apalagi ditandai dengan bergabungnya Pak Prabowo menjadi Menteri di Kabinet Pak Presiden Jokowi.
Sungguh Kita sebagai bangsa Indonesia harus mengucapkan dan memanjatkan Puji Syukur kepada Allah SWT.
Wahai Anak Bangsa , kembalilah bersatu untuk kemajuan bangsa Indonesia yang dapat jadi contoh kehidupan bagi semua bangsa didunia..semoga.
MERETAS JEJAK JOKO WIDODO
Ronaldo hanya butuh waktu enam tahun kerja bersama Manchester United sebelum akhirnya memilih kerja bareng dengan Real MadridBukan masalah MU kalah hebat dibanding Madrid, ini adalah masalah keputusan logis Ronaldo pribadi. Dia melakukan sebuah keputusan profesional bagi perkembangan karir pribadinya
Demikianlah Indonesia di jaman Jokowi, bukan masalah Amerika lebih buruk dibanding China, namun arah perkembangan dunia tak mungkin berpihak kepada Indonesia bila terus menempel AS. Dunia sedang berubah
Sama dengan Ronaldo, Jokowi hanya berpikir secara logis dari pertimbangan profesionalnya semata bukan soal suka dan tidak suka
Bahwa keberadaan Indonesia sangat-sangat dibutuhkan dan menguntungkan bagi AS, maka wajar bila segala daya upaya akan dilakukan AS demi Indonesia tak hengkang
Bila cara halus tak lagi membuahkan hasil, cara kasarpun akan dilakukan. Ini sangat normal melihat bagaimana AS sangat diuntungkan sejak 1965. Ini juga sangat normal karena potensi besar yang dimiliki oleh Indonesia di masa depan
Ingat jaman Soekarno ? Soekarno dijatuhkan tahun 1965 karena tak mau didikte. Soekarno tak berpihak ke barat dan juga ke timur Non Blok adalah pilihan logis Soekarno demi masa depan Indonesia
Isu seolah Soekarno lebih berpihak kepada PKI dan dekat dengan China, adalah cara Presiden pertama dijatuhkan. Barat tidak suka Soekarno dan pandangan politiknya. Ya.., sejak saat itu Orde Baru mendapat panggung dan sejak saat itu pula Indonesia tunduk dan patuh kepada AS
Saat ini, Indonesia adalah aset yang harus tetap dipertahankan. Jokowi yang kemudian terpilih sebagai presiden sejak lima tahun lalu dinilai membahayakan posisi AS
Tanda-tandanya sangat jelas. Freeport, blok Rokan, Newmont di Nusa Tenggara, semua milik AS dan diambil alih
Sama seperti Soekarno, Jokowi harus dibuat jatuh bila tak ingin posisi AS di Indonesia terganggu. Ciptakan isu bahwa China berada di balik semua ini. Familiar ? Yup…
Jokowi sedang tidak memilih akrab dengan AS atau ingin bermesra dengan China. Jokowi sedang berusaha keras membuat Indonesia menjadi lebih dan lebih lagi
Segala potensi dimiliki negara ini. Wilayah yang sangat luas, posisi strategisnya, kekayaan alam tak tertandingi hingga jumlah rakyat yang memungkinkan kita tinggal landas ada dan semua terpenuhi di sana
Hanya pemimpin yang bodoh dan mau santai saja yang tak mampu melihat seluruh potensi tersebut. Jokowi datang sebagai presiden yang ingin merubah paradigma santai itu
Kerja, kerja dan kerja jelas adalah slentingan keras bagi bangsa dan rakyat yang lama telah terlena dengan segala kelebihan alam yang dinikmati
Terlalu lama kita santai dan berpuas diri dengan hasil alam yang dikelola asing dan merasa cukup hanya dengan menerima royalti yang mereka berikan
Terlalu lama petinggi negara ini berebut kursi kekuasaan hanya demi keterlibatannya sebagai kasir atas kue royalti asing
Demikianlah bertahun tahun sistem sudah berjalan dengan teratur dan tiba-tiba muncul pengacau yang sok bersih, sok ga mau terlibat dalam bagi-bagi kue itu
Bukan hanya sok tak mau terlibat, bahkan pabrik kuenyapun kini diambil dan dikuasai sehingga rutinitas mengasikkan itu tiba-tiba hilang. Pemilik dan kontributor menjadi terganggu dan marah
Itulah sebab kekacauan, dan itulah awal dari perlawanan mereka yang terusik. Kekacauan marak, demo digelar bak dagangan di pasar pinggir jalan tanpa ada hari libur. Pesan yang ingin disampaikan adalah mereka ingin masa indah itu kembali
Jokowi bergeming. Dia tidak peduli dengan seluruh protes itu. Cukup adalah cukup..! itu tekad bulat Jokowi. Mundur berarti hancur..!!
Sungguh tak berlebihan bila pernyataan bahwa Tuhan begitu sayang pada Indonesia, dan juga kepada Presiden
Melalui sebuah bencana global yakni Covid-19, alam menata ulang dunia. Ibarat sebuah lomba, yang sudah berlangsung lama, perlombaan itu untuk sesaat dihentikan. Semua diam, dan untuk sesaat semua berhenti
Pemilik pabrik kue pun berhenti marah. Mereka, para kontributor menjadi bingung dan mulai frustasi
Berita BEM teriak ingin demo dalam kondisi negara darurat, pun demikian dengan KSPI, dan usaha kampungan 3 orang Profesor kasak kusuk berbau busuk mepet meja MK adalah bentuk rasa frustasi itu
Alam tak peduli dengan urusan itu. Sebentar lagi bel sebagai tanda start akan tetap dibunyikan. Siapa paling siap, merekalah yang akan memimpin
Di manakah posisi Indonesia ?
Bukti bahwa Indonesia benar disayang Tuhan seolah bukan basa basi. Lima tahun sebelum alam mengambil alih dunia dengan Covid-19 ini, Jokowi sebagai presiden terpilih, telah bekerja seperti kesetanan
Seolah telah mendapat bisikan, Presiden tahu hal utama apa yang harus dikerjakan demi masa sulit nanti. Infrastruktur..! Dan benar, itu menjadi andalan bagi start sempurna saat peluit dibunyikan
Ibarat mobil, Indonesia adalah Maserati. Bahwa China dan India adalah Ferrari, itu tak akan mengurangi rasa percaya pasar terhadap kita. Kita memiliki mesin mobil yang sama dengan China dan India, mesin Ferrari. Kita siap melaju secepat yang diinginkan
Itu bukan kita yang Ge-Er atau halusinasi, itu adalah penilaian para pelaku pasar. Itu juga apa kata majalah The Economist Intellegence dari Inggris yang terang-terangan menyebut Indonesia, China dan India adalah tiga negara yang bertahan di antara seluruh negara-negara yang tergabung dalam G-20
Bukti lain bahwa Indonesia dianggap lebih siap dibanding banyak negara lain adalah tanggapan positif pasar. Hal ini tercermin dari menguatnya nilai rupiah secara konstan dalam beberapa hari terakhir Ini. Ini parameter, bukan lantas disandingkan dengan awal tahun yang masih Rp 14 ribuan
Ya…, seluruh dunia sedang menunggu peluit itu ditiup. Sama saperti Ronaldo memilih Madrid dan meninggalkan MU adalah 100% demi perkembangan karirnya dan bukan karena sebab dia lebih cinta yang mana, Indonesiap demikian
Dunia akan dan sedang berubah. Tak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri. Maka, bukan tentang China yang kita pilih jadi partner kita dan AS kita tinggalkan, ini adalah tentang di mana dunia sedang berubah arah dan China adalah siapa yang diprediksi akan menjadi juara di kemudian hari
Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi sedang membuat arah ekonomi Indonesia baru, arah yang juga dipilih oleh banyak negara lain di dunia. Di jalur itu ada termasuk China dan India
Benar kita sudah mendapat keuntungan saat start karena hasil sempurna kerja lima tahun Presiden, namun tanpa dukungan semua pihak, tentu akan sia-sia
Butuh 55 tahun bagi Indonesia mencari dan menemukan jalan itu. Kemana arah harus ditempuh, sudah semakin jelas. Dana, juga sudah kita miliki
Tak ada lagi alasan gagal. Presiden yang baik ini adalah orang benar pada waktu yang tepat bagi awal kebangkitan Indonesia.


Sumber: https://www.facebook.com/mbah.kartoboogle.1
Sumber Berita : https://oneindonesiasatu.com/2020/05/20/meretas-jejak-joko-widodo/SELAIN JOKOWI HADAPI WABAH CORONA INDONESIA BERUNTUNG PUNYA ORANG-ORANG INI
Menghadapi wabah Covid-19 bukan perkara gampang. Kata Bima Arya Walikota Bogor wabah Corona adalah tentang ujian kepemimpinan. Tanpa kepemimpinan yang mumpuni tentu akan porak-poranda. Keberuntungan Indonesia pertama adalah Indonesia dipimpin oleh JokowiJokowi menghitung berbagai aspek. Politik dan bukan politik. Sosial dan ekonomi. Faktor politik menjadi pertimbangan yang paling berat. Kenapa? Karena Jokowi sudah tidak maju lagi di 2024. Maka tak mengherankan seolah Jokowi berjalan sendiri. Para parpol di DPR seakan membiarkan Jokowi berjalan sendirian
Untungnya Jokowi mengikuti instink politik hebat, sebelum virus merebak. Saat pendukung dan penentang Jokowi ingin menjauhkan rekonsiliasi politik. Jokowi tetap menginginkan Prabowo menjadi bagian dari pemerintahan
Lewat KaBIN Budi Gunawan, Mas Pram, Budi Karya akhirnya Prabowo masuk ke pemerintahan. Dengan perjuangan alot – termasuk revival of Perjanjian Batutulis. Prabowo-Puan. Itu urusan politik yang menjadi blessing in-disguise
Tanpa Prabowo di pemerintahan, yang suka tak suka masih cukup berpengaruh di militer dan purnawirawan, saat ini akan sangat sulit bagi Jokowi untuk menyeimbangkan kepentingan kompleks: politik dan kepentingan
Hiruk-pikuk internal TNI yang didiamkan oleh Jokowi ternyata kini menjadi berkat kuat. Bagi Jokowi. Bagi Indonesia. Jokowi mengangkat Jenderal (Purn.) Terawan Agus Putranto sebagai Menkes. Tak terbayangkan jika posisi ini tidak di bahwah tentara. Pertimbangan kebijakan Menkes memberikan data konkrit tentang lockdown kepada Jokowi membuat Jokowi menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBBPSBB). Bukan lockdown
Lockdown di Wuhan Provinsi Hubei dengan penduduk 58 juta (4% penduduk China) dikabarkan telah menghabiskan dana US$180 milyar. Kalau Indonesia menerapkan lockdown – artinya seluruh kebutuhan masyarakat dipenuhi negara – hanya dalam dua minggu Indonesia akan bangkrut
Strategi isolasi dan penetapan rumah sakit Covid-19 yang didukung oleh TNI, c.q. KASAD Jenderal Andika Perkasa memimpin pemanfaatan RSPAD dan RSAD di berbagai daerah. Doni Monardo didukung oleh Menkes Terawan menerapkan fungsi rumah sakit pemerintah dan swasta sebagai garda depan penanganan Covid-19, dengan subsidi khusus. Itupun Menkes baru menggunakan tak lebih dari Rp 25 triliun dari dana Rp 70 triliun
Dan, membangun tempat isolasi Covid di Wisma Atlet dan pulau galang: jadi murah, karena bukan di rumah sakit. Untung ada Basoeki Hadimoeljono yang sigap membangun fasilitas kesehatan
(Ini yang menyebabkan Daeng M. Faqih dari IDI berteriak tak karuan karena justru penanganan Covid-19 menjauhkan peran para mafia kesehatan. Berisik tidak karuan padahal dia bukan Jubir Covid-19. Akhirnya kini dia diam)
Jokowi pun didukung penuh Luhut Binsar Pandjaitan yang senior Prabowo. Ditambah soliditas BIN di bawah pimpinan Budi Gunawan yang mendapat dukungan penuh dari Guru Intelijen Jenderal (Purn) AM Hendropriyono, menjadikan fungsi intelijen sepenuhnya di tangan Jokowi
Keputusan Jokowi memberhentikan dan mengangkat Tito Karnavian juga sangat tepat. Instink yang luar biasa. Di bawah Tito, kepala daerah cenderung diam. Sistem kerja strategis Satgas meredam kegilaan dan kengawuran para kepada daerah. Yang bandel jadi bulan-bulanan media sosial
Rekan Tito Karnavian, Jenderal Idham Aziz dipilih sendiri oleh Jokowi. Hasilnya? Penyeimbangan kekuatan di Polri. Komjen Listyo Sigit Prabowo pun dipasang di Bareskrim. Dari Korlantas Polri pun Irjen Istiono muncul mengamankan kebijakan. Tak berhenti di situ, ada Firli Bahuri Ketua KPK yang menghindari kegaduhan. Pasokan kebutuhan makanan dipegang oleh Budi Waseso
Puan Maharani dan Bambang Soesatyo pun menjaga di DPR/MPR. Tenang. Tidak berisik. Ditambah dengan keberuntungan mengangkat Erick Thohir di BUMN yang berani melawan mafia. Tingkat kebijkan energi untuk rakyat ada di Pertamina dan PLN juga aman. Ada Ahok di Pertamina dan Darmawan Prasodjo di PLN sebagai pelapis kebijakan
Untuk meredam berisik dua gubernur cari sensasi Jabar dan DKI Jakarta – tidak usah sebut nama ikuti gerakan Lockdown dia di media – ada Ganjar Pranowo, Risma, Khofifah. Gubernur Jatim mengirimkan bantuan sampai ke Kepulauan Kangean yang posisinya kalau ditarik garis lurus di utara Karangasem Bali
Beruntunglah Jokowi masih memiliki orang-orang tersebut. Tanpa mengecilkan peran siapa pun. Yang akhirnya rakyat Indonesia mengikuti aturan. Melihat kesungguhan mengatasi Corona wabah Covid-19
Dengan strategi awal social distancing dan PSBB yang tidak membangkrutkan, namun menenangkan rakyat Indonesia. Indonesia kini melihat wujud asli Jusuf Kalla dan Susilo Bambang, hanya politikus dan bukan negarawan sama sekali. Kalau Presiden Habibie masih ada pasti telpon-telponan dengan Jokowi, memberi dukungan
Beruntung. Indonesia punya Jokowi. Bukan Bolsonaro. Bukan Trump. Relawan dan rakyat Indonesia yang waras mendukung kepemimpinan Jokowi

Sumber Berita : https://oneindonesiasatu.com/2020/05/18/selain-jokowi-hadapi-wabah-corona-indonesia-beruntung-punya-orang-orang-ini/
FIX ANIES BASWEDAN BOHONG LAGI
Fix ya Anies Baswedan ini memang cari sensasi tapi enggak bisa kerja. Bahkan mau berbohong demi mendapatkan popularitas seolah paling benarFaktanya bulan Jannuari WHO dan China yg terdampak parah masih bingung mau test covid pake apa. Makanya larangan itu datang dari WHO, bukan dari negara
Tidak ada larangan nasional, yang melarang WHO karena laboratorium milik DKI baru standard BSL 2, harus dinaikan kapasitas nya jadi BSL 2 Plus dan ini baru bisa Maret
Sebagai info, bulan Januari Lab BSL 3 itu baru ada di Balitbangkes, Eijkman dan ITD Unair (DKI belum punya)
Jadi kalo dilarang WHO, ya iya wajar karena DKI tidak memiliki sarana laboratorium untuk test. Ini ibarat Anies bilang mau test drive mobil truk tapi dilarang, iya dilarang karena Anies cuma punya mobil kijang, belum sesuai. Beli truk dulu baru boleh
Ini juga tandanya Anies Baswedan tidak mengerti dan tidak tau apa yg dimiliki Pemdanya.
Fakta lain, jika benar Pak Anies berniat tes swab bulan Januari, maka seharusnya Labkesda DKI sudah siap
Realitanya…Tgl 16 Maret, Labkesda DKI dpt SK Kemenkes untuk tes swab. Tapi ternyata Labkesda belum siap. Bahkan baru AKAN beli reagen

Sumber: twitter.com/thedufresne

Sumber: twitter.com/thedufresne

Sumber: twitter.com/thedufresne

ANIES BASWEDAN BOHONG SOAL DATA COVID-19 SERANG TERAWAN DAN JOKOWI
Menarik manuver Anies Baswedan lewat wawancara dengan media Sydney Morning Herald. Kelakuan Anies ini harus dilawan. Pasalnya Anies menyatakan kasus Covid-19 sudah ada sebelum 2 Maret 2020. Pernyataan Anies ini jelas menantang otoritas kesehatan Indonesia. Bukan hanya melakukan tuduhan tetapi mendelegitimasi terhadap Presiden Jokowi selain terhadap Menteri Kesehatan TerawanPilihan menyerang Menteri Kesehatan Letjen TNI (Purn.) Terawan karena didasari oleh beberapa hal secara subyektif. Saran dan masukan Terawan untuk Presiden Jokowi untuk tidak melakukan lockdown telah menghambat Anies untuk menggunakan dana APBD tanpa persetujuan dari menteri keuangan. Dana yang sudah masuk ke DKI dengan seenak perutnya, menggunakan APBD seperti kasus Formula-E. Bebas
Penerapan PSBB telah membuat para politikus anti Jokowi blingsatan. Proxy Anies berteriak. Jusuf Kalla. Agus SBY. Bahkan cucunya si Almira. Berteriak lockdown. Tujuannya sama. Agar kuasa untuk menggunakan anggaran tak terbatas bisa dilakukan. Pemberlakukan lockdown menyebabkan setiap kejahatan tidak bisa dipantau secara maksimal. Chaos dipastikan akan terjadi
Ternyata di belakang Jokowi ada bemper. Terawan Agus Putranto. PSBB pun yang diberlakukan. PSBB hanya mengatur soal kuasa anggaran untuk penanganan Covid-19. PSBB membuat negara melindungi dan memenuhi rakyat Indonesia sepanjang untuk penanganan wabah Covid-19
Maka negara pun memberi bantuan berupa aneka subsidi seperti listrik, air, gas dan pengaturan pembayaran hutang yang terkait dampak Covid-19. Akibat tidak bisa mencari nafkah karena pemberlakukan PSBB
Pernyataan Anies di Sydney Morning Herald ini menunjukkan kegoblokan dan kebahlulan. Anies berbicara tanpa data sama sekali. Jika memang telah melakukan pemantauan. Mana datanya ? Siapa yang dipantau ? Name by name ? Tunjukkan data pemantauan. Tidak ada sama sekali. Bohong
Persis sama dengan kebohongan Anies untuk memberikan bantuan Rp 1 juta selama PSBB. Zonk. Menteri Sosial Batubara dan Menkeu Sri Mulyani pun menuduh Anies bohong. M. Taufik tampil membela Anies
Nah, motif Anies menyerang Terawan adalah karena Terawan-lah yang mendorong PSBB diberlakukan. Berbeda dengan motif Anies dan konco-konconya geng pemohon lockdown. Tujuan akhirnya menggoyang dan merecoki Jokowi. Dan, sekali lagi yang diserang penyebab kegagalan niatan busuk Anies, Terawan.

Sumber Berita : https://oneindonesiasatu.com/2020/05/16/anies-baswedan-bohong-soal-data-covid-19-serang-terawan-dan-jokowi/
DAHSYAAAAAAAT !!! Jam 2 Pagi Bahar bin Smith Dijemput Polisi dan Kembali Ditahan
Sebagaimana telah diketahui bersama, pada hari Selasa tanggal 19 Mei 2020 pukul 02:00 WIB mantan terpidana kasus kekerasan terhadap anak, yaitu Bahar bin Smith, kembali ditangkap polisi, karena Bahar bin Smith mengundang massa saat berceramah dan tidak mematuhi physical distancing pada hari dia keluar dari penjara (tepatnya pada hari Sabtu tanggal 16 Mei 2020)Saat itu Bahar bin Smith dijemput oleh petugas Kementerian Hukum dan HAM dan didampingi oleh petugas kepolisian dari Polda Jawa Barat
Kabar penangkapan Bahar bin Smith tersebut dibenarkan oleh Ketua Persaudaraan Alumni 212 Slamet Maarif yang menyatakan bahwa Bahar bin Smith ditangkap pada hari Selasa tanggal 19 Mei 2020
“Ya benar, kembali ditangkap tadi sekitar pukul 02.00 WIB,” ungkap Slamet Maarif pada hari Selasa tanggal 19 Mei 2020
Meski demikian, Slamet Maarif belum mau menjelaskan secara rinci mengapa Bahar bin Smith kembali ditangkap, walaupun baru bebas berkat asimilasi
“Saya mau tanya ke pengacara pagi ini,” tutup Slamet Maarif
Sementara itu, Imam Front Pembela Islam (FPI) DKI Jakarta Habib Muchsin Alatas sempat mengunggah status berisi pesan singkat dari Bahar bin Smith terkait penangkapannya, dimana Bahar bin Smith mengaku bahwa dirinya menulis pesan singkat tersebut dalam perjalanan menuju lapas
Dalam pesan singkat tersebut, Bahar bin Smith mengaku bahwa dirinya dijemput pada pukul 02.00 WIB untuk kembali masuk tahanan, namun dia tidak dibawa ke Lapas Pondok Rajeg, Cibinong (tempat sebelumnya dia menjalani masa hukuman), melainkan ke Lapas Gunung Sindur
“Karena ceramah saya waktu malam saya bebas,” kata Bahar lewat pesan singkat yang diunggah oleh Habib Muchsin Alatas
Di tempat terpisah, Kepala Divisi Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat Abdul Aris mengungkapkan bahwa suasana penjemputan Bahar bin Smith berlangsung sunyi dan tidak ada keramaian yang berpotensi melanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
“Aman di sini, Alhamdulillah tidak ada murid-murid dia datang ramai-ramai gitu. Dan murni hanya pengacara ada tiga orang pakai baju putih dan satu orang pakai batik kemudian beberapa keluarganya dia, ada adiknya,” ungkap Abdul Aris
Sebagai info tambahan, Bahar bin Smith bebas dari tahanan dan dijemput oleh pengacara Aziz Yanuar dan Ketua Persaudaraan Alumni 212 Slamet Maarif serta beberapa orang lainnya
Bahar bin Smith langsung menuju kediamannya di Pondok Pesantren Tajul Aliwiyin yang berlokasi di kawasan Kampung Kemang, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
Kedatangan Bahar bin Smith disambut oleh banyak orang, terutama para santri yang selama ini menuntut ilmu di Pondok Pesantren Tajul Aliwiyin tersebut, namun mereka yang menyambut Bahar bin Smith tersebut tidak mematuhi himbauan physical distancing di tengah wabah virus Corona (Covid-19), dimana tidak ada yang menjaga jarak satu dengan lainnya saat menyambut kedatangan Bahar bin Smith tersebut
Bahar bin Smith kemudian mendapat peringatan dari petugas pemasyarakatan, karena Bahar bin Smith langsung menggelar kegiatan di Pondok Pesantren Tajul Alawiyyin, Kampung Kemang, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat setelah bebas bersyarat lewat program asimilasi dan hal tersebut dinilai melanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
“Setelah kejadian itu maka saya perintahkan petugas (pemasyarakatan) untuk menelepon yang bersangkutan. Mengingatkan bahwa bagaimana pencegahan Covid-19 saat masa PSBB, jadi tidak boleh mengumpulkan massa yang banyak,” jelas Abdul Aris pada hari Senin tanggal 18 Mei 2020, sebagaimana dikutip dari Antara
Abdul Aris mengaku bahwa pihaknya telah mengingatkan Bahar bin Smith agar tidak membuat kegiatan yang mengundang massa di pondok pesantrennya tersebut dan juga meminta agar Bahar bin Smith menghimbau para jemaahnya untuk turut membantu pencegahan wabah virus Corona (Covid-19)
Meski demikian, pada malam harinya, Bahar bin Smith justru menggelar kegiatan yang mengundang banyak orang dan menyampaikan ceramah di hadapan banyak orang yang jumlahnya lebih banyak lagi. Mereka yang datang tersebut tidak menjaga jarak satu sama lain.

Sumber Berita : https://oneindonesiasatu.com/2020/05/19/dahsyaaaaaaat-jam-2-pagi-bahar-bin-smith-dijemput-polisi-dan-kembali-ditahan/
Mungkinkah Kita “Berdamai” dengan Covid?
Sudah…sudah..…nggak
usah sinis dan nyinyirin ucapan Pakde Jokowi. Kita semua se-Indonesia
tahu perjuangan Presiden Joko Widodo melawan Covid dengan caranya.
Yup,
caranya yang tetap prioritaskan rakyat Indonesia terbebas dari Covid,
tetapi juga masih bisa beraktivitas. Mengambil contoh memilih PSBB
ketimbang lockdown.
Hhheemmm…penulis
nggak perlu bahas lagi yah bagaimana sejumlah anggaran digelontorkan
pemerintah pusat untuk menyelamatkan rakyat dari pandemi, sekaligus juga
dari lapar dan ekonomi yang dikhawatirkan ikut sekarat. Pertanyaan
besarnya, mau sampai kapan rakyat disuapi, jika roda ekonomi terpaksa
terhenti?
Pandemi
ini berawal sejak 2 Maret 2020, ketika Jokowi resmi mengumumkan ada 2
kasus positif terjangkit virus Corona. Berarti, kurang lebih sudah
berjalan 3 bulan negeri ini menyatakan perang terhadap Covid. Beberapa
langkah medis, edukasi Covid dan bantuan sosial pun sudah dilakukan
selama ini.
Tetapi,
tolong diingat, hidup kita ini ada ditangan kita sendiri! Kitalah yang
mengontrol kehidupan kita. Mau maju, nyamping, serong atau mundur
sekalian! Maksudnya, nggak bisa kita ini terus menerus mengeluh
mengenai dampak Covid! Saatnya diam, dan bangkit!
Berdamai
dengan Covid jelas artinya bukan bernego dengan Covid seperti jual beli
di pasar dan cari kesepakatan! Mikir saja, memangnya bisa kita
bersepakatan dengan virus, dan bertanya baik-baik, “Vid, ente mau sampai
kapan di Indonesia?”
Wkwkwk…maaf,
dungu banget kalau kita menelan bulat-bulat kata berdamai yang dimaksud
Jokowi! Bandingkan dengan arti ungkapan makan teman. Apakah kita
artikan kita makan teman kita itu? Mikir!
Jelas
banget disini maksud Pakde Jokowi bahwa ini saatnya kita melanjutkan
kehidupan kita. Cukup selama ini kita sama-sama mengenal Covid, dan
diajarkan cara hidup di masa pandemi ini. Berarti bukan waktunya lagi
kita menunggu kapan Covid berakhir, tetapi kapan manusia bisa berubah
dan beradaptasi hidup normal dengan standar anti Covid.
Sebenarnya,
manusia itu mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungannya. Contoh keseharian saja, maaf masih banyak
saudara-saudara kita yang hidup di daerah pembuangan sampah. Nggak
kebayang aroma menyengat dan standar kesehatan disana. Tetapi nyatanya
mereka bisa hidup dengan kondisi miris seperti itu. Hidup normal
ditengah kondisi yang sebenarnya tidak dapat dikatakan normal.
Salah
jika menyimpulkan ini sikap pasrah! Picik dan dangkal jika berpikir
seperti itu! Faktanya, manusia sudah lama kok hidup dengan virus
lainnya, seperti Tipus, TBC, Malaria, atau bahkan DBD yang juga penyebab
kematian tertinggi di Indonesia bahkan.
Memang,
belum ada anti-virus untuk Covid. Tetapi, kita semua sudah diajarkan
dan diberikan pengertian kesehatan dan kebersihan, misalnya melakukan
hal sederhana memakai masker, cuci tangan dan menjaga jarak. Nah, kita
jadikan itu sebagai gaya hidup kita yang baru, seperti juga misalnya
ketika kita waspada terhadap DBD dengan memperhatikan tempat
bersarangnya nyamuk.
Mungkin membandingkan DBD dengan Covid tidak sebanding, tetapi yang ingin penulis angkat adalah membangun awareness
atau kesadaran dan tanggungjawab pribadi! Dimulai dari saya, lalu
menjadi kamu, kalian dan berakhir di kita semua bertanggungjawab!
Berpikirlah,
nggak mungkin selamanya kita ini ngumpet dan mengunci diri di rumah.
Lalu berisik, ngedumel, teriak-teriak salahkan si ono dan si anu!
“Woi…kami lapar, kapan ini virus berakhir!”
Wkwkwk…mikir,
memangnya ada negara yang sengaja ternak virus supaya warganya habis?
Nggak sekalian ledakan diri saja, lebih cepat selesai, daripada seperti
ini menghabiskan waktu dan juga biaya.
Itu
sebabnya, jangan berpikir negatif seakan negeri ini cuek, dan sabodo
amat dengan mulai melonggarkan beberapa kebijakan. Ini bukan karena
tidak peduli, dan seolah membiarkan rakyatnya musnah.
Negeri
ini harus berjalan, ekonomi harus berputar, dan rakyat harus kembali
beraktivitas dengan beradaptasi tentunya bermodal edukasi selama ini.
Kembali berkreativitas dan bekerja! Jangan terlena dengan mental (maaf)
ngemis mengharapkan bantuan pemerintah.
Adaptasi adalah senjata yang ampuh, dengan meningkatkan kualitas hidup pastinya.
Kita
mulai kehidupan yang baru ini dengan mengubah gaya hidup kita.
Makanlah makanan yang bergizi, sayur dan buah-buahan! Tinggalkan gaya
makan asal kenyang tapi tidak bergizi! Lalu biasakan menjaga
kebersihan, dan mematuhi kebijakan protokol yang mengatur “new normal”
nantinya.
Paham yah, apa dan kenapa berdamai dengan Covid-19.
Covid-19
musuh kita bersama, dan saat ini tanggungjawab serta kedisiplinan kita
menentukan bangkitnya rakyat Indonesia, yang juga bangkitnya negeri ini.
Kita harus melawan Covid-19 dengan berubah menjadi manusia yang lebih
baik. Menjaga diri sendiri, yang sekaligus juga artinya menjaga orang
lain.
Artikel mpok lainnya bisa dinikmati di @mpokdesy
Ilustrasi: Imgur

Situasi Gawat Butuh Tindakan Nekat!
Ya!
Ini gawat! Paling tidak mulai menuju ke arah sana. Tapi kalau dibiarkan,
pasti akan menjadi lebih gawat. Tidak. Saya tidak sedang menebar
ketakutan, atau rasa pesimisme.
Tak
ada waktu untuk khawatir, takut, atau menyerah dan bilang terserah.
Mereka yang bilang demikian, sudah kehilangan semangat. Patah hati,
kecewa, yang nantinya akan mengeringkan badan.
Sedangkan
kita yang masih waras, harus menolak untuk menyerah. Tak gampang
memang, saat semakin banyak hal yang tidak masuk logika kita.
Seperti,
sekali lagi, pelaksanaan PSBB yang serba nanggung. Yang tetap tak
berhasil melandaikan, apalagi menurunkan kurva. Karena sudah ada
contohnya, yang melakukan Lockdown saja tak berhasil menihilkan
penderita yang baru.
Kecuali
mungkin di Wuhan. Yang sekarang muncul lagi pasien positif di sana,
saat sudah sekian waktu tak ada pasien baru. Banyak yang selama ini
koar-koar, agar Presiden Jokowi melakukan hal yang sama.
Tapi
mungkin mereka lupa, atau pura-pura tak tahu, bagaimana sifat dan
karakter masyarakat Indonesia. Yang punya semboyan, “Mangan ora mangan
ngumpul,” di warung kopi.
Pandemi Corona ini memang jahat. Tak hanya mengancam nyawa, tapi juga mengancam ekonomi, keamanan, dan stabilitas negara.
Terlalu
lebay menurut anda? Mungkin saja, tetapi, mendingan-mendingan
daripada-daripada. Mendingan lebay sekarang, daripada menyesal nantinya.
Kalau
masalah ekonomi, sudah jelas. Keuangan negara sedang berdarah-darah.
Keamanan, walaupun belum kentara, tapi kemungkinan rusuh akan lebih
besar, bila banyak orang yang perutnya lapar.
Stabilitas
negara, sedikit banyak juga terancam. Sejujurnya, sejak Pak Jokowi
menang periode kedua. Gerombolan kamvret yang bermutasi menjadi kadrun,
tak lelah mencoba mendiskreditkan pemerintah yang sah. Dengan cara
apapun.
Apapun
bisa dijadikan bahan. Perbedaan mudik pulang kampung, iuran BPJS yang
kembali naik, harga BBM yang tak turun-turun. Sekarang ditambah yang
terserah-terserah itu.
Saya
tak mau terlalu berkomentar soal gerakan tagar yang dilakukan oleh
segelintir tenaga medis tersebut. Kali ini, saya mungkin akan mengutip
Pak Mahfud MD, kalau ributnya hanya di media sosial.
Bu
Inem yang jualan terong di pasar, tak paham apa itu Twitter. Pak Joko
yang jualan soto, lebih memikirkan sotonya yang tak laku dibanding
memikirkan nasib para dokter.
Seperti yang kakak pembina bilang, semua ada kesulitannya sendiri-sendiri. Sekarang siapa yang mau dijadikan prioritas?
Tenaga
medis? Atau rakyat yang tetap ngeyel melanggar penerapan PSBB? Para
penjual sayur seperti Bu Inem dan kawan-kawan, abang-abang penjual
makanan seperti Pak Joko, atau para buruh pabrik? Siapa? Kalau ditanya,
semua akan berpendapat merekalah yang terpenting.
Belum
lagi para politisi yang punya agenda politik. Serta para influencer
yang sedang mencari panggung. Berlomba-lomba menggiring narasi yang
menyesatkan. Agar terkenal.
Apa
pemerintah selalu benar? Tidak juga. Banyak blundernya. Saya kasihan
pada Pak Jokowi, bagai berjuang sendirian demi semuanya.
Lalu, harus bagaimana enaknya? Coba kita analisa sebentar.
Yang
berhasil melakukan pembatasan, selalu ada unsur ketegasan di dalamnya.
Apakah tegas berarti memukuli mereka yang masih berkeliaran seperti di
India? Itu bukan tegas, tapi kasar.
Seperti
yang pernah saya tulis, kita ini serba nanggung. Jumlah yang dites,
nanggung. Sebentar di sini, nanti di sana. Demikian pun penerapan PSBB.
Bagai tak ada bedanya.
Ini
yang harus dirubah. Upaya harus difokuskan pada salah satu dahulu.
Seperti cahaya matahari yang difokuskan dengan menggunakan kaca
pembesar.
Fokusnya
apa, dan dimana? Presiden Jokowi sudah memberi petunjuk. RT dan RW.
Saya sudah menuliskan ini sekitar seminggu yang lalu. Bisa dibaca di sini.(https://seword.com/umum/please-stop-basa-basi-yMsukrImQO)
Tapi,
apa yang perlu dilakukan oleh para ketua RT dan RW itu? Juklak
juklisnya? Bagaimana mereka mengawasi daerahnya? Bagaimana mendata
warganya? Bagaimana membuat pelaporan yang up to date?
Mereka
perlu contoh, perlu petunjuk. Jangan dibiarkan berjalan, atau
menerka-nerka sendiri. Buat prosedur yang simpel, mudah untuk dimengerti
dan dilakukan.
Mungkin
bisa dimulai dengan mendata. Sekaligus melakukan sensus nasional yang
belum selesai itu. Kali ini harus dipaksa memang. Semua masyarakat yang
berada dalam sebuah Rukun Tetangga (RT), harus didata.
Sangat
bagus bila ada aplikasi yang dipakai untuk mengetahui keberadaan warga
lewat GPS. Tapi jangan aplikasi Lindungi Peduli. Banyak orang hebat di
Menristek, atau Menkominfo yang bisa punya jawaban.
Lalu dari sana, dilakukan tes. Kalau ada yang bilang bakal butuh biaya besar, ada metode pool test yang dilakukan di Sumbar.
Lalu
berjalan, ke RT yang berikutnya, dan yang berikutnya. Lalu naik ke RW,
hingga seluruh RW. Lalu naik ke satu kelurahan, kecamatan, lalu
kabupaten kota. Hingga akhirnya provinsi, dan satu negara.
Dan saya juga mau bikin tagar. Semoga bisa viral. #IndonesiaTaat #IndonesiaHebat

Corona, Kita, Dan Perubahan
Panggung
teror virus corona awalnya terlansir di Wuhan November 2019. Maret 2020
Indonesia resmi mengonfirmasi tertular. Hanya butuh empat bulan corona
menjadi teror skala global. Per 18 Mei, lebih 313 ribu meninggal dan
dunia pun kini merana. Alih-alih mampu menghajar virusnya, dunia keburu
diterjang dampak pantulannya, persoalan ekonomi.
Dalam
sebuah geliat bersadar, virus corona ini mengelabatkan temalinya dengan
SEMESTA - planet bumi (dunia) – Indonesia menjadi KITA (seluruh umat
manusia). Virus ini seperti menggeret sebuah layar maha tak terukur. Di
dalamnya tertampil siluet piksel tersamar tentang keberadaan dan
ketidakberdayaan KITA di dalam ruang dan waktu perubahan maha universe.
“Kehebatan”
kita telah usai ditakar dan diukur oleh alam semesta. Ternyata tidak
seberapa yang sudah mampu terindra. “Kehebatan” kita hanya sebersit tahu
dan sekedar terlintas di dalam jagat pengetahuan tak bertepi. Dalam
bingkai aktifitas dan dinamika jagat raya itu, apa yang kita yakini
sebagai mengetahui hanya sebuah dengung dari maha sesuatu yang
sesungguhnya belum kita kenal sama sekali. Seperti bunyi batuk tersedak
di sela-sela gugus galaksi.
Terasa
ketidaksanggupan pikiran cetek kita untuk mengelana di dalamnya.
Seperti upaya tolol untuk menimba segala samudera ke dalam gelas. Sebab,
sudah enam bulan, umat manusia sejagat raya dengan tehnologi
laboratorik sepanjang peradaban bahkan belum mampu menjawab pertanyaan
paling dasar, mengapa ada virus corona. Ada ketidaktahuan tak terbatas
antara kita dengan virus corona.
Jangan
bicara skenario dalam teori konspirasi. Terlalu spekulatif, meski tidak
perlu menggembok pintu praduga untuk itu. Kita hanya tergelak, lalu
memampangkan secuil kesadaran atas soal-soal kemendasaran kita di dalam
perubahan. Sekedar ikut mempertebal tanda petik tentang
ketidakberpengetahuan kita soal perubahan yang tersembul karena wabah
corona.
Usaha
bersadar diri yang kemudian dengan terpaksa harus menerima posisi kita
tidak lebih sebagai objek evolusi semesta alam. Meski sekedar tersenggol
oleh evolusi semesta, kita justru harus mengambil reaksi dan
sikap-sikap yang mungkin revolutif. Kenapa ? Karena kita bukan
siapa-siapa di semesta. Seperti kerikil yang terlempar di kerumunan
semut yang membuatnya panik dan bubar.
Yap,
revolusi memang telah tercatat secara berulang dalam rentang sejarah
kehidupan manusia oleh geliat semesta. Karakter semesta yang dinamis
merupakan tandanya bahwa semesta terus hidup berubah. Kehidupan manusia
di dalam planet ini seperti bukan apa-apa dalam perut semesta yang tidak
berukuran ini. Hanya seiris dari sebuah gerakan kemenjadian semesta.
Memang
tak terhingga banyaknya faktor yang dapat menyulut sebuah perubahan
(revolusi). Fisikawan akan menjelaskan revolusi dalam aktifitas alam.
Ilmu sosial dalam konteks revolusi sosial budaya. Hukum, ekonomi,
kedokteran, industri, politik, farmasi, biologi, sistem pemerintahan,
tehnologi komunikasi, kepercayaan, etika, agama, filsafat, termasuk
virus corona yang saat ini.
Tetapi,
beberapa hal telah meyakinkan untuk dapat kita terima, bahwa kita harus
ikut terpaksa berubah. Fix, bahwa status quo hanya seumur sebelum ada
perubahan. Tidak ada kemapanan yang kekal. Kemelekatan hanya sekedar
pembangkangan yang sangat konyol. Penyangkalan tak lebih dari kenakalan
tak beralasan di hadapan alam semesta.
Jika
masih ada orang yang belum sadar bahwa wabah ini bukan sebagai bagian
dari sistem pertarungan hukum alam, itu hanya sebuah kebebalan yang
tidak layak dihitung. Virus corona telah memaksa kita untuk melakukan
pemikiran mendasar atas banyak hal. Istilah “new normal” yang kembali
diwacanakan Pak Jokowi, harus dapat diterima sekaligus ‘bebas’
ditasrifkan, baik secara pribadi, komunitas bahkan negara.
Paradigma
tentang bagaimana kita akan hidup selanjutnya sedang direka ulang. Kita
tidak akan bisa lama hidup dalam kegentaran, persoalan lain akan lebih
mematikan. Kita mesti segera siuman dari ketakutan kemenjadiberanian.
Pilih, “berdamai” atau “berperang” atau kombinasinya tidak sekedar
pekikan dan siasat pada tataran nyata. Sebab esensinya kita bertarung.
Virus
ini telah merontokkan tatanan status quo kita selama ini. Kita
membutuhkan tatanan lain. Tatakan etika, sistem budaya, definisi
kesombongan dan kesalahan mesti dan memang sedang diformulasi ulang.
Reformulasi terhadap banyak langgam sedang dimulai. Bersalaman dengan
orang saat ini menjadi tidak baik dan tidak tepat.
Menjadi tidak salah dan tidak sombong, bila tidak mau menerima tamu.
Kita dipaksa beringsut, “mengecut” dan hanya menyeka gordyn jendela
rumah kita untuk mengintip ribuan jasad yang dikubur a la pemulasaran
protokeler korban Covid-19.
Revolusi
beragama menjadi kemungkinan rasional. “Rumus” doa dengan perkabulan
mungkin sedang mendapat gugatan paling sinis dan serius saat ini.
Seluruh orang yang percaya dan beragama telah berdoa agar virus corona
berlalu. Namun dikabulkan atau tidak atau kapan dikabulkan, hanya
Pengabul yang tahu ?
Meski
revolusinya mungkin berdua-arah. Sebagian mungkin justru semakin hebat
kepasrahannya. Sebagian lagi kepasrahan tidak lain hanya sebagai bentuk
kompensasi apologis. Mungkin ada yang sebelumnya cukup pongah akan
kekuatannya sendiri sampai tidak begitu peduli dengan doa, bisa jadi
menjadi pendoa.
Kebanggaan
perkembangan ilmu kedokteran kini telah disudahi. Istirahat dalam
nelangsa. Satu virus berhadapan dengan seluruh laboratorium, ahli medis,
semua kepala negara dan segala manusia di bumi. Siapa yang akan menang ?
Pernyataan WHO bahwa virus corona diduga kuat tidak akan lenyap,
membuat kita bergidik terenyuh. Sepertinya untuk menang masih mustahil.
Dua
arah revolusi ternyata tidak selalu harus menuju yang lain yang baru.
Sebab ia bisa berusaha meninggalkan cara-cara kemapanan kini untuk
berubah ke depan (cara baru), tetapi bisa mengembalikan kita ke awal
yang paling dasar (cara kuno). Untuk beberapa aspek seperti etika dan
budaya, kita sedang mencipta atau merekayasa perilaku baru. Tetapi pada
aspek lain kita justru sedang dibawa menuju awal tentang hukum hidup
paling purba (hukum survival).
Semua
kepala negara, ahli dan pelaku ekonomi dengan segala turunannya serta
rakyat, sejatinya tidak lagi membicarakan pertumbuhan ekonomi. Tetapi
hanya bagaimana agar manusia bisa bertahan hidup bulan ke bulan ke depan
itu sudah hebat. Ancaman potensi kelaparan menjadi sentral ilmu ekonomi
dengan segala cabangnya. Sekuno ilmu tentang hidup atau mati.
Dalam
konteks Indonesia, situasi saat ini akan semakin kompleks dan rapuh
dalam hitungan bulan ke bulan depan. Problem ekonomi akan menjadi bagian
dari isu dan manuver politik. Bahkan tarian kebinalan poitik itu sudah
mulai ditabuh dan merengsek. Kreatifitas jahat dari para perompak
politik akan semakin mengeras. Penderitaan rakyat akan dijual dan akan
diframing sebagai ketidakbecusan pemerintah.
Penyesatan
logika sudah sedang dimainkan. Logika dan fakta sebenarnya wabah telah
menyebabkan ekonomi hancur. Fakta ini akan diubah dengan cara
propaganda secara terbalik. Dimulai dengan narasi bahwa pemerintah sejak
awal telah salah mengambil keputusan karena tidak melakukan lockdown.
Penyesatan logika ini akan terus dilakukan sampai akhirnya seolah-olah
guncangan ekonomi bukan lagi karena wabah, tetapi disebabkan oleh
ketidakmampuan pemerintah.
Sebagian
masih belum mudeng dan masih berpikir bahwa seandainya pemerintah
melakukan lockdown, maka kemungkinan tidak akan seperti saat ini
kondisinya. Kata siapa dan apa jaminannya? Baiklah, mari kita susun
logikanya.
Katakanlah sejak awal Maret di lockdown. Berapa lama ? Sebulan, dua
bulan atau tiga bulan ?
Mengandaikan
pemerintah punya kemampuan finansial dan segala sumber untuk
menanggulangninya. Akhirnya lockdown, entah berapa lama pun, akhirnya
akan membuka lockdown juga. Lalu semua bebas kemana saja, maka virus itu
akan tetap mulai juga, bukan? Soal kapan akan menjadi wabah tetap tidak
ada bedanya. Jadi, ini bukan soal lockdown atau tidak sejak awal.
Keberadaan
hukum terkait Covid-19 pun memerlukan perspektif baru yang lebih
mendalam. Jika ada kelonggaran soal PSBB misalnya, lalu orang mulai
berkerumun. Kemudian ada yang menyalahkan pemerintah. Sikap ini muncul
karena pemikirannya masih belum mudeng. Pertanyaan dasar kembali
diajukan, apa itu hukum? Tidak perlu ahli hukum untuk menjawabnya. Sebab
hukum telah dimengerti sebagai aturan (tertulis dan tidak).
Mengapa
perlu hukum ? Banyak pendapat bertebaran sehamparan perjalanan sejarah
hukum. misalnya, untuk mencapai keadilan, kata seseorang atau banyak
orang. Agar tertib, sebagian mengajukan pendapat ini. Demi kebaikan,
kesejahteraan, kebahagiaan, kata yang lainnya. Macam-macam.
Tapi
hukum telah “dimengerti” secara umum dan praksis. Dan seharusnya untuk
banyak hal penting, pengertian ini telah memadai. Sesederhana, bahwa
semua ini boleh, semua itu dilarang, tepati janji, bayar utangmu,
bekerja dapat upah, dll.
Lalu,
dimana ada hukum? Di mana saja. Meski bukan berarti ia mengendap-endap
dari kehampaan. HUKUM ADA DI DALAM DIRI MU SENDIRI. PSBB itu aturan.
Untuk apa ? Untuk membatasi aktifitas pergerakan orang agar mata rantai
penyebaran virus corona dapat diputus. Hasil yang diharapkan
keselamatan.
Hukum
negara dalam konteks tertentu sebenarnya tidak diperlukan. Karena cukup
dengan memakai akal sehat. Apakah anda masih membutuhkan Kitab Pidana
supaya tidak mencuri, memperkosa dan membunuh ? “Hukum” yang ada dalam
dirimu sendiri tercukupkan untuk tidak melakukan hal-hal semacam itu.
Ketika
anda sudah mengetahui dengan baik, apa itu virus corona, bagaimana ia
menyebar dan tingkat resiko yang akan dihadapi bila tertular, bagaimana
mungkin anda masih membutuhkan tetek bengek aturan terkait dengan itu ?
Jangankan aturan (hukum), pemerintah sekalipun sebenarnya tidak lagi
anda butuhkan untuk mengatur diri anda sendiri bagaimana agar terhindar
dari serangan virus ini.
Ini
agak ekstrem. Anda tidak membunuh yang lain, bukan karena itu ada
aturan hukumnya lagi. Anda tidak membunuh karena anda telah menaati
hukum-hukum moral yang sudah ada di dalam diri anda sendiri. Buktinya,
meskipun ada aturan hukum dan hukuman berat soal membunuh, tetap aja ada
pembunuhan.
Apakah masih perlu hukum untuk itu ? Sangat perlu, tetapi titik beratnya
tidak lagi pada “dilarang membunuh”. Hukum itu ada, hidup di dalam dan
untuk dirimu sendiri.
Gambar diambil dari: harapanrakyat.com

Sumber Utama : https://seword.com/umum/corona-kita-dan-perubahan-dc7YvVfc87
Bahar Bin Smith Terpenjara Oleh Arogansi
Bahar
bin Smith yang sudah dibentuk pikirannya membenci pemerintah atau dalam
hal ini adalah Jokowi hanya mengandalkan massa dari ummat. Berbicara
tentang kezoliman tetapi ternyata ia telah melakukan kezoliman dengan
menganiaya anak remaja tanggung sampai babak belur. Tentu saja bagi
pengikut dan fans si Bahar menilai tindakan itu adalah heroik, padahal
itu tindakan pengecut. Hanya berani pada anak kecil. Duh pengen lihat
adu tarung antara Jenrix VS Bahar Smith.
Kasihan
umat yang jumlahnya banyak ini hanya dijadikan komoditas pergerakan
politik meraih kekuasaan. Apa yang dilakukan si Bahar, itu bukanlah
keberanian. Ia bisa bringas dan arogan karena merasa mendapatkan
dukungan penuh oleh segelintir orang elit. Tidak banyak umat tahu akan
hal ini. Bagi umat yang polos, meihat ini adalah perjuangan.
Kemampuan
menggalang massa memang itulah yang dilirik oleh segelintir elit
politikus yang tiap hari atau bahkan tiap menit hanya memikirkan
kekuasaan. Dan melalui Rizieq hal itu mereka ingin wujudkan. Namun
karena Rizieq tidak berhasil maka kini si Bahar dipaksa melebihi Rizieq.
Atau katakanlah ada penerus Rizieq. Tapi sayangnya, orang seperti Bahar
ini senang dipuja-puja dan bangga dengan dirinya.
Umat
harus cerdas agar tidak menjadi korban dari orang-orang yang
menggunakan agama demi tuannya meraih kekuasaan. Rizieq atau pun si
Bahar ini hanya memanfaatkan kepolosan umat. Coba lihat saja betapa
mereka tidak diajak cerdas atau berpikir, justru diajak meluapkan
kebencian. Ceramah si Bahar tidak jauh beda dengan rockers yang lagi
konser, hanya saja berbeda tema, kalau rocker metal memang jujur dan
tidak munafik, sementara si Bahar memakai bungkus agama demi tuannya.
Ketika
Bahar berkata melawan kezaliman, tetapi ternyata itu untuk menutupi
dirinya yang dekat dengan orang-orang yang selama beberapa periode
adalah akar dari kezoliman. Bayangkan kalau akrab dengan orang-orang
yang dulu pernah berkuasa dan telah membuat negeri ini hampir dikuasai
asing?
Bahar
dan Rizieq mungkin memang ada garis keturunan dari Nabi, namun perlu
diingat bahwa itu bukan jaminan orang-orang ini bisa mengikuti ajaran
nabi secara baik. Justru iblis atau setan akan sangat senang dekat dan
menggoda orang-orang seperti ini. Keturunan Nabi yang sejati itu
cara-cara dakwahnya tidaklah melontarkan kata-kata yang penuh kebencian,
apalagi sampai provokasi melakukan tindakan yang anarkis. Justru nabi
dikenal sangat santun, etika berpolitiknya pun sungguh indah.
Jadi
orang-orang seperti si Bahar ini justru sangat bisa dikuasai iblis.
Ketika pengetahuan agama yang selama ini didapatkannya dianggap sebagai
kebenaran mutlak, maka siapa saja yang tidak setuju dengan pendapatnya,
maka akan dibenci bahkan dimakinya, seperti yang kita sudah saksikan.
Kebenciannya
kepada Jokowi dilontarkannya dengan kata-kata yang tidak pantas. Mana
ada ajaran nabi yang berkata “Buka celananya, bengcong apa bukan”.
Kalimat ini adalah kalimat preman pasar yang pernah saya dapatkan di
Makassar.
Entah
bagaimana tanggapan Nabi di sana menyaksikan orang-orang yang menyebut
nama beliau namun melakukan tindakan-tindakan arogan. Mengaku sedang
membela kebenaran sampai sesumbar berkata tidak akan pernah takut, tapi
ternyata kalau intelejen mau buka-bukaan data bagaimana hubungan
orang-orang ini dengan segelintir elit, maka kita bisa tahu dengan
jelas. Tapi itu tak perlu. Kita yang berakal sehat bisa membacanya
dengan seksama.
Setidaknya
orang-orang yang belajar agama Islam dengan baik dan runut serta
pondasi tauhid yang kuat, tidak akan tertarik mendengarkan ceramah si
Bahar atau Si Rizieq. Atau setidaknya orang-orang yang menggunakan akal
sehatnya, akan jeli melihat perbedaan antara tuntunan nabi dan yang
bukan ajaran nabi.
Orang
yang berakal sehat tidak mungkin akan menjadi atau bergabung di barisan
si Bahar. Bahkan mereka berharap, jenis makhluk seperti ini semoga
cepat punah, atau setidaknya sadar dan tidak arogan lagi.
Jadi
sudah sangat membosankan memang wajah si Pirang ini nongol di
media-media. Dan sudah membosankan kata-katanya yang terlontar dan
mengatasnamakan nabi serta perjuangan agama. Semua ini akan basi dengan
sendirinya. Umat akan muak melihat model orang-orang yang menggunakan
agama sebagai topeng saja.
Lawan
kita sejatinya bukan orang Arab, bukan orang Cina, bukan si Bahar,
bukan Si Rizieq, tapi lawan kita adalah kebodohan dan arogansi yang
melahirkan intoleransi. Maka yang harus dilakukan adalah melatih atau
senantiasa menyebarkan kepada rakyat atau umat cara berpikir yang baik
dan benar sehinggga tidak salah pilih ustad atau habib. Tidak asal
patuh, tetapi patuh kepada orang yang patut dipatuhi, bukan kepada
orang-orang yang hanya menjual agama demi kekuasaan tuannya seperti si
makhluk ini.

#IndonesiaTerserah : Yang Oon Pol Siapa???
Saya
penasaran, yang menciptakan tagar “Indonesia Terserah” ini siapa sih?
Yang pasti, video yang tersebar di media dan media sosial memberikan
kesan bahwa tagar “Indonesia Terserah” diciptakan oleh para Tenaga
Medis.
Sebagian
media dan pesan yang tersebar di media sosial dan whatsapp menambahkan
keterangan bahwa #IndonesiaTerserah itu adalah kritikan untuk pemerintah
atas apa yang terjadi di Bandara Soekarno Hatta beberapa hari
sebelumnya sebagai akibat dari kebijakan yang diterapkan pemerintah. Ada
juga yang menambahakan keterangan bahwa tagar tersebut ditujukan pada
masyarakat yang tidak melakukan protokl kesehatan di Bandara Soekarno
Hatta. Dari kedua keterangan tambahan tersebut, tagar Indonesia Terserah
itu seperti memiliki dua sisi, mengkritik pemerintah dan masyarakat
dalam kondisi di tengah wabah Pandemi Covid-19.
Pertanyaannya,
“Tenaga Medis sendiri paham tidak dengan tagar yang dibuatnya?”. Dan
pertanyaan kedua saya adalah, “Kalau sudah begini yang tolol siapa?”
Dalam
kondisi se-ekstrim sekarang, menghadapi wabah penyakit dengan tingkat
penularan yang sangat rapid jika manusia tidak melakukan
‘kehati-hatian’, maka semua “perjanjian dan peraturan” tidak bisa
dilakukan dengan normal. Setiap sisi, sudut dan lini masyarakat dituntut
untuk memahami keadaan secara rapid pula.
Sementara
Negara, sebagai pelindung bangsa, harus sangat hati-hati dan bijaksana
dalam mengambil keputusan. Karena apapun keputusan dalam keadaan ekstrim
seperti sekarang, akan mengikat 275 juta jiwa manusia. Mulai dari
Presiden sampai orang yang sakit gangguan mental atau orang gila.
Sejauh
ini, Negara sudah dan sedang melakukan kewajibannya dengan baik.
Kewajiban Negara di saat Pandemi Covid-19 hanya ada 2 : Memperingatkan
dan Membantu Bangsa.
Dan
tanggal 2 Maret 2020, adalah titik tumpu dimana Negara, dengan segala
analisa dan penelitiannya, menyatakan dengan resmi dan MEMPERINGATKAN
BANGSA bahwa Covid-19 SUDAH MASUK di Indonesia dengan ditemukannya 2
kasus positif Covid-19. Disusul dengan diumumkannya PROTOKAL KESEHATAN
secara resmi oleh Negara pada tanggal 5 Maret 2020., yang di dalamnya
memuat informasi penting yang wajib diperhatikan dan dilakukan oleh
seluruh Bangsa Indoensia. Dan pada tanggal 1 April 2020, Negara
menyatakan pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Itu dari sisi kewajiban Pertama Negara pada Bangsa, yaitu
MEMPERINGATKAN.
Apa
kewajiban Bangsa terhadap kewajiban yang sudah dilakukan oleh Negara?
Jawabannya sederhana, tapi Bangsa Indonesia tak mampu melakukannya!
Yaitu, MEMATUHI, MENTAATI dan MENJALANKAN SELURUH PERINGATAN yang sudah
diumumkan TANPA mempertanyakan apa, mengapa, siapa, bagaimana dan lain
sebagainya atas peraturan yang telah diputuskan. Peraturan dibuat dengan
mempertimbangkan KONDISI SETARA bagi seluruh Bangsa. Ke 275 juta
manusia yang menjadi Bangsa Indonesia. Bang Indonesia TIDAK BOLEH dan
TIDAK BISA mengajukan usulan untuk mendapatkan keringanan dalam
mematuhi, mentaati dan penjalankan seluruh peraturan yang sudah
diputuskan oleh Negara, kecuali melalui gugatan uji materi ke Mahkamah
Konstitusi.
Kewajiban
kedua Negara pada Bangsa dalam masa Pendemi Covid-19 adalah MEMBANTU.
Sejauh ini, Negara telah melakukan kewajiban kedua ini. Presiden Jokowi
sebagai Kepala Negara telah membuat kebijakan-kebijakan untuk membantu
rakyat selama menghadapai, memerangani dan memutus penyebaran virus yang
menular secara cepat dan mematikan. Dan bantuan dari Negara ini adalah
HAK bangsa Indonesia.
Pertanyaannya,
“Sudahkan Bangsa Indonesia memenuhi kewajibannya terhadap Negara
sebelum mereka menuntut hak atas bantuan Negara?”. Yang terjadi sekarang
adalah Bangsa hanya tahu menuntut hak berupa bantuan dari Negara tapi
tidak mau melakukan kewajibannya untuk mematuhi, mentaati dan
melaksanakan Protokol Kesehatan.
Lalu
apa maksud dari munculnya tagar #TerserahIndonesia yang digaungkan oleh
Tenaga Medis? Ini yang wajib dipertanyakan. Para Tenaga Medis yang
menggaungkan tagar #Indonesiaterserah, dia berteriak “Indonesia
Terserah” dalam kapasitasnya sebagai apa? Kalau dalam kapasitasnya
sebagai Tenaga Medis, maka pertanyakan tanggungjawab moral mereka
sebagai tenaga medis di Indonesia! Jika tak mau memenuhi tanggung jawab
itu, maka mereka harus menanggalkan predikatnya sebagai dokter dan
suster atau perawat. Jadi rakyat biasa saja. Yang pasti, dokter atau
suster, haram hukumnya mengorbankan pasien covid-19 gara-gara sebagian
bangsa melakukan pembangkangan terhadap aturan Negara!
Pada kejadian penumpukan penumpang di Bandara Soekarno Hatta, 1000% Negara tidak bisa dipersalahkan.
Kenapa
tidak bisa dipersalahkan? Karena, semua Bangsa Indonesia sudah
diperingatkan tentang adanya dan bahayanya covid-19, sudah diberi
petunjuk protokol kesehatan. Negaratidak berkewajiban ngejar-ngejar
Bangsa untuk patuh. Kepatuhan harus muncul dari itikad Bangsa untuk
memutus rantai penyebaran virus corona. Anies Baswedan saja yang membuat
peraturan sanksi bagi warga Jakarta yang melanggar protokol kesehatan,
tidak mampu melaksanakan apa yang dia putuskan.
Lagi
pula, membangkangnya bangsa atas peraturan yang diberikan oleh Negara,
bukan urusan para Tenaga Medis. Urusan Tenaga Medis itu hanya melakukan
pertolongan penyembuhan yang menjadi tanggungjawab moral semua Tenaga
Medis di Indonesia.
Waktu
Perang Dunia I dan II, apa kita dengar tenaga medis mengatakan “Dunia
terserah!” lalu mereka ongkang-ongkang kaki saja? Jelas tidak!
Dari
penjelasan di atas, jelas kita bisa melihat hubungan antara kewajiban
Negara, kewajiban Bangsa dan Kewajiban para Tenaga Medis dalam
menghadapi covid-19. Kalau kemudian muncul tagar #IndonesiaTerserah,
saya jadi bertanya, “Yang oon pol di sini siapa?”

Pengikut Bikin Ulah, Bahar Pindah ke Nusakambangan, Bisa Demo Bareng Buaya
Penjerumusan
perdana Bahar si terdakwa penganiayaan anak ini membuat para
pengikutnya marah dan menjerit-jerit tak karuan, karena “sang kebenaran”
itu dianggap mendapatkan perlakuan kriminalisasi. Berita-berita hoax
pun dimunculkan dan membuat framing bahwa doi digebukin rame-rame di
penjara.
Tujuannya
sebenarnya mudah dipahami. Untuk menyulut amarah yang lebih lagi. Gak
heran muncul gelar “sumbu pendek” yang disematkan kepada mereka. Wajah
Bahar yang diedit seperti habis dipukuli pun muncul dengan narasi bahwa
dia diperlakukan tidak baik di penjara.
Tapi
ternyata polisi pun membantah hal tersebut. Bahkan Bahar di dalam
tahanan pertamanya, selama 6 bulan mendapatkan status orang baik. Jadi
sebenarnya si terdakwa penganiayaan anak di bawah umur itu, bisa jadi
orang baik, kalau bukan ketakutan sama polisi ya. Hahaha. Dia itu
sebenarnya takut sendiri.
Kelihatan
dan terbukti bahwa 6 bulan ia dipenjara, ia tidak berani macam-macam.
Saat Covid 19 ini, sebenarnya merupakan saat-saat terbaik bagi Bahar
Smith ini untuk berubah dan bertobat, kembali ke jalan yang benar,
ketimbang merasa diri benar dan mengatakan kebenaran.
Usulan
asimilasi yang dimunculkan oleh Kemenkumham alias Kementerian Hukum dan
HAM, di bawah Yasonna Laoly yang merupakan orang baik di dalam
pemerintahan Joko Widodo ini, sebenarnya memberikan sebuah kesempatan
bagi para narapidana untuk menghirup udara segar dan tidak mengulangi
perbuatannya.
Payung
hukum Asimilasi pun dibentuk dengan cepat, dengan tujuan utama
mengurangi potensi penularan Covid 19 di lapas, dengan kapasitas yang
terlalu penuh. Kapasitas lapas di negara yang berpenduduk 267 juta orang
Indonesia ini, rasanya masih kurang dan memang mau tidak mau,
kemenkumham harus mengambil langkah ini.
Dan
dari banyak orang yang mendapatkan hak asimilasi, mereka malah bikin
onar dan harus kembali ke lapas dengan pengawasan yang lebih ketat,
karena ketahuan tidak tahu diri, gak punya rasa syukur, ndablek dan gak ada indikasi pertobatan sama sekali. Termasuk si Bahar.
Bahar merasa dirinya adalah the conveyor and the bringer of the truth.
Awalnya dia juga dinarasikan untuk tidak mau mendapatkan program
asimilasi dari menkumham, karena sedang membina napi-napi lainnya. Akan
tetapi orang ini malah mendadak diberitakan bebas dari penjara.
Merasa
diri bebas dari penjara, tapi dia lupa bahwa dirinya masih narapidana.
Statusnya masih napi, hanya diberikan keringanan karena Covid 19 ini
harus dikalahkan. Menkumham melihat nyawa napi lebih penting ketimbang
kesalahan mereka. Menkumham Yasonna Laoly pun memberikan keringanan.
Daripada
mati kena Covid di penjara, komnas HAM bisa mencak-mencak nanti. KPAI
juga bisa ngamuk-ngamuk. Maka untuk menghindari itu, Yasonna memilih
jalan ninja yang berat untuk memberikan semacam “grasi” bagi mereka.
Tapi Bahar lagi-lagi gak punya rasa thankful dan graceful
karena mendapatkan anugerah yang baik. Setelah dibebaskan, dia malah
menguapkan terima kasih kepada Rizieq Shihab karena doanya dijawab
Tuhan. Tapi dia gak sadar, doa Rizieq mungkin terlalu jauh sehingga
butuh waktu dari Arab sampai ke Indonesia. Belum lagi doanya harus
ngantri karena kebijakan banyak negara yang membatasi transportasi Eh
termasuk doa ya?
Akhirnya,
dia bikin ulah dan melanggar aturan asimilasi. Dan hari ketiga hirup
udara bebas, dia malah dijemput lagi di dalam waktu yang sangat mantap.
Jam 2 pagi. Waktu yang tepat saat Fadli Zon dan santri-santrinya masih
tidur.
Dalam
video yang beredar, Bahar terlihat sedang dikawal. Tapi ternyata,
pengawalannya pun gak berani macam-macam. Polisi datang, menjemput
Bahar. Dia pun langsung bikin modus mau ngerokok. Padahal di balik
ngerokok sebatang dua batang, sudah ada jempol-jempol yang siap mengirim
WA ke berbagai pengikutnya, termasuk orang-orang yang mungkin ada di
elemen pemerintahan oposisi.
Tapi
Tuhan memang berikan bijaksana yang jauh lebih tinggi kepada polisi.
Jam 2 adalah jam tidur. Belum mulai sahur. Beberapa HP pendukung Bahar
pun, mungkin saat itu sudah dikembalikan ke mamaknya. Pesan berantai
untuk lindungi Bahar pun dibaca telat. Mereka pun akhirnya keduluan oleh
Polisi. FZ pun mencuitkan di Twitternya telat.
Pasca
terciduknya si Bahar, dari pagi sampai sore, mereka ramai-ramai ke
lapas Gunung Sindur, di depan gerbang koar-koar bebaskan Bahar. Bahar
mungkin dengar seruan sayup-sayup. Dia merasa penting dan tersenyum
kemudian berpikir “Yes! Bentar lagi gue bebas!"
Tapi
ternyata, polisi gercep. Bahar dijemput dari selnya, lalu dibawa ke
Lapas Nusakambangan. Hore! Bahar naik kelas. Pendukungnya yang masih mau
demo, silakan berenang. Adu cepat dengan buaya dan bonus hiu. Pulau
hadap Samudera. Epic. Kalau pakai cara Anies, kalian ajak bicara hiu and
buaya lapar, untuk demo bebaskan Bahar. Kali aja predator lapar itu
bisa dapat nasi bungkus.
NB:
Harus diperjelas ini... Bahar ditangkap lagi karena melanggar aturan
asimilasi, bukan sekadar ceramahnya. Dia itu langgar PSBB yang paling
resehnya. Terus makin dibuat panjang karena pendukungnya yang gak rela
gitu dan demo-demo. Malah jadi ke Nusakambangan deh.
Begitulah nasi bungkus.

Kenapa "Kompas.com" Pakai Judul yang Ambigu untuk Kematian Eks Pasien Covid-19 di NTB?
Membaca berita yang dilansir oleh laman Kompas.com pada Rabu (20/5/20) dengan judul “Seorang Mahasiswi Meninggal 6 Hari Setelah Dinyatakan Sembuh dari Covid-19” membuat saya ingin meng-klik, lalu membaca isi beritanya sambil bertanya-tanya: “Kenapa
pasien itu bisa meninggal setelah dinyatakan sembuh? Apakah terkena
Covid-19 lagi t’rus meninggal atau karena ada penyebab lainnya?”
Setelah
saya baca, ternyata kasus yang menimpa Iko Rahmawati (selanjutnya saya
sebut IR), perempuan asal Kecamatan Soromandi, Kabupaten Bima tersebut
tak seratus persen terkait virus Corona yang sempat menjangkiti wanita
berusia 21 tahun itu.
Jadi ceritanya ...
Setelah
dirawat dan dinyatakan sembuh dari Covid-19, berdasarkan tes swab dari
pihak rumah sakit (RSUD Bima), IR dipulangkan kembali ke rumah, tetapi
enam hari setelah dipulangkan, Iko Rahmawati dikabarkan meninggal dunia
pada Senin (18/5/20).
Esoknya,
Rifai selaku Kabid P2PL Dinas Kesehatan yang juga tim Percepatan
Penanganan Covid-19 Kabupten Bima, memberi keterangan pers yang
menyebutkan bahwa **IR meninggal karena mengidap penyakit ginjal, bukan
karena virus Corona. Hal itu diperkuat dengan hasil tes swab oleh pihak
RSUP sebelum jenazah dipulangkan ke Bima. Dari tes swab itu, Iko negatif
Covid-19.
Tak
dijelaskan apakah penyakit ginjal itu berapa lama diidap oleh IR, juga
apakah virus Corona memperparah kondisi kesehatan IR terkait dengan
ginjalnya, tetapi keterangan Rifai rasanya sudah cukup jelas, yakni IR tidak meninggal karena Covid-19.
Membaca judul berita dan mencermati isinya, yang saya baca beberapa kali, terus terang saya menyayangkan kenapa jurnalis Kompas
kok memilih diksi yang membuat judul menjadi ambigu seperti ini, dengan
efek samping: salah tafsir, salah pengertian, hingga potensi untuk
berita menjadi kontroversi di media sosial ketika netizen hanya membaca
judulnya, lalu menyimpulkan isi berita dan menyebarkannya?
Sekadar memperjelas, kata "ambigu" menurut KBBI -> bermakna lebih dari satu (sehingga kadang-kadang menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan, dan sebagainya); bermakna ganda; taksa
Fakta
bahwa pasien yang meninggal masih berusia muda (21 tahun), dengan
status mahasiswi, juga bisa menjadi semacam “bumbu penyedap” sehingga
berita yang dilansir oleh Kompas tadi berpotensi menimbulkan
keresahan dan kekhawatirkan, karena usia semuda itu, juga status “sembuh
dari Covid-19” ternyata belum sepenuhnya aman, karena bisa meninggal
dunia dalam waktu kurang dari seminggu. Kan gawat!
Saya
mencoba memahami bahwa si penulis berita tak bermaksud menebarkan
kekhawatiran atau keresahan dengan menayangkan berita itu, tetapi mbok ya
ingat bahwa di negeri ini, ada sebagian masyarakat yang kecepatan
jarinya lebih cepat dibandingkan kemampuan berpikirnya, juga tak sedikit
yang merasa paham isi berita hanya dari membaca judulnya secara
sekilas.
Mungkin judul tadi bisa sedikit dikemas, misalnya tiga contoh berikut ini:
(1) Mahasiswi di Bima Meninggal 6 Hari Setelah Sembuh dari Covid-19, tetapi karena Penyakit Ginjal
(2) Sembuh dari Covid-19, Mahasiswi Asal Bima Meninggal karena Mengidap Penyakit Ginjal
(3) Lolos dari Sergapan Covid-19, Wanita 21 Tahun Ini Meninggal karena Penyakit Ginjal
Tiga contoh judul yang menurut saya masih ada unsur Covid-19, tetapi juga memberi informasi pada pembaca bahwa orang ini meninggal karena penyakit ginjal, bukan karena terserang Covid-19 lagi setelah dinyatakan sembuh.
Maaf, saya tak bermaksud menggurui si penulis berita itu, apalagi editor dan redakturnya. Saya hanya orang awam yang kebetulan senang menulis, sekaligus cukup sering terganggu dengan berita-berita yang terindikasi “clickbait”, menimbulkan kesan ambigu, atau yang berpotensi menjadi berita kontroversial di media sosial di negeri ini.
Seperti misalnya belum lama ini laman joglosemar.com
mengangkat judul berita yang menurut saya “click bait” banget, dengan
memakai nama Joko Widodo yang diberitakan dilarikan ke rumah sakit,
tepatnya dengan judul ”Kondisi Kesehatan Memburuk, Jokowi Dilarikan ke RSUD dr Soehadi Prijonegoro Sragen dengan Ambulans.”
Meski
benar bahwa di berita itu pasien yang dimaksud bernama “Joko Widodo”
(Jokowi), lalu pada awal berita juga dituliskan “Seorang pria bernama
sama persis dengan Presiden RI, Joko Widodo” tetapi kita tahu singkatan
“Jokowi” terlanjur melekat pada Presiden Indonesia. Tentu efeknya akan
berbeda kalau judul berita tadi hanya menyebut “Seorang Pria Dilarikan
ke RSUD ...” tanpa menyebut nama yang terkenal hingga ke dunia
internasional itu.
Saya
menganggap tulisan tersebut hanya ingin menggoda netizen untuk
meng-klik link berita, lalu menyerahkan respons selanjutnya kepada
pembaca: merasa ditipu oleh judul, merasa mendapat guyonan yang tak
lucu, atau mungkin misuh-misuh karena merasa terjebak.
“Lha sampeyan kok meng-klik berita itu kalau menganggap clickbait?”
Santai,
Kawan. Jangan ngegas dulu. Saya ngerti banget kalau berita itu
tergolong “clickbait”, tapi saya sengaja ingin tahu isinya untuk
“kulakan bahan artikel” yang akhirnya hari ini berguna untuk pelengkap
tulisan ini. Gitu loh!
Jadi, menurut SEWORD-ers apakah judul yang dipilih Kompas
tadi masih bisa diterima atau menimbulkan kesan ambigu seperti
penilaian saya? Silakan berkomentar dengan memberikan alasannya ya.
Thanks! Salam sehat dan bebas Corona...!
Begitulah kura-kura ...
Sumber berita:

Tesis-tesis Besar Untuk Indonesia
Bismillahirrohmanirrohim.
Demokrasi
yang diperjuangkan di Indonesia sejak kurun waktu medio tahun 70an dan
baru tercapai pada tahun 1998 dengan mundurnya Soeharto dan “musnah”nya
Orde Baru, dimana saat ini beberapa pelaku sejarahnya ada yang masih
hidup, dan bahkan beberapa di antaranya sekarang ada yang duduk di
pemerintahan, membuat kita mungkin harus belajar mengingat kembali apa
yang dulu di perjuangkan pada waktu itu dan selama itu.
Demokrasi
yang pada awalnya diperjuangkan dengan membawa semangat perubahan dan
diharapkan bisa menjadi “alat” baru untuk mewujudkan cita-cita
kemerdekaan sepertinya telah kehilangan roh di era sekarang yang
dinamakan era keterbukaan. Saya tak menampik jika di era Soeharto dengan
Orde Baru-nya semuanya serba tertutup atau ditutupi, kebebasan
berbicara di era Soharto adalah barang langka dan barang mewah, tak
semua orang bisa mendapatkannya, tapi sekarang, di era pasca refomasi
ini, di era yang namanya demokrasi, semua boleh berbicara “apapun”.
Kemerdekaan dan kebebasan berpendapat sekarang bukanlah barang langka
dan mewah lagi, sekarang menjadi barang yang biasa, barang yang bahkan
diobral kesama kemari.
Perubahan
yang diharapkan oleh reformasi dengan mengusung doktrin demokrasi
sampai saat ini belumlah bisa tercapai, mendekati 50 persen saja belum,
dan bahkan tidak akan bisa tercapai jika kita hanya terus begini-begini
saja dalam mengurus sebuah negara. Ingat, ini negara, bukan perusahaan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan malah keadilan
sosial bagi segelintir pemodal kaya.
Di
zaman Orde Baru memang korupsi, kolusi dan nepotisme menjamur dan
mengakar dimana-mana, lalu dengan membawa semangat perubahan dengan
memperjuangkan demokrasi melalui reformasi kita ingin agar korupsi,
kolusi dan nepotisme bisa hilang dari atas bumi Indonesia agar
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa terwujud. Tapi
kenyataannya sekarang apa? Korupsi, kolusi dan nepotisme bukannya
hilang, tapi malah semakin mengakar. Bagi saya, hanya ada dua hal yang
menjadi sumber dari masalah KKN di Indonesia ini, yaitu integritas dan
feodalisme. Dua masalah ini, integritas dan feodalisme, harus di urus
dengan serius, karena kedua hal tersebut menjadi kunci agar KKN bisa
lenyap. Di urusnya dengan membentuk sebuah sistem yang holistik, visinya
bisa diwujudkan dengan undang-undang yang tegas dan jelas, koruptor
hukum mati dan misinya bisa diwujudkan dengan pembenahan birokrasi
secara menyeluruh dan pada kesempatan pertama. Ini tesis pertama saya
untuk Indonesia.
Tesis kedua saya adalah mengenai energi dan pangan. “Kuasai energi maka kita akan kuasai sebuah negara, dan kuasai pangan maka kita akan menguasai seseorang”.
Indonesia itu memiliki sumber daya energi yang sangat melimpah,
Indonesia itu sumber energi. Untuk masalah minyak bumi mungkin kita
memang bukan yang nomor satu di dunia, tapi untuk masalah sumber daya
energi yang lain saya rasa kita itu adalah sumbernya. Mau tidak mau, ada
corona atau tidak, seharusnya mulai dari tahun ini arah kebijakan
energi kita harus sudah bisa membuat dan memberikan gambaran yang jelas
dari hulu sampai ke hilir potensi energi kita, kata lainnya adalah
jangan hanya jual hasil kerukan tambang saja, kita harus bisa menjual
barang yang sudah jadi.
Daulat
pangan adalah satu-satunya kunci jika ingin Indonesia tidak di
ombang-ambingkan kepentingan luar. Tidak ada satu manusiapun di atas
bumi yang bisa hidup tanpa makan, sudah menjadi kodrat alami manusia
bahwa manusia harus makan. Komoditi pangan yang kita punyai itu sangat
besar sekali. Bahan-bahan pokok pangan ada di Indonesia. Indonesia punya
modal lahan yang subur, mau tanam apa juga pasti tumbuh, ibarat tanam
batupun pasti akan menghasilkan. Selain lahan yang subur, Indonesia juga
di anugerahi lautan yang luas dan kaya, itulah kenapa ikan-ikan yang
ada di lautan Indonesia banyak yang dicuri oleh kapal-kapal asing, mau
cari hasil laut konsumsi apa saja pasti ada di lautan kita.
Daulat
pangan akan bisa terwujud jika petani dan nelayan kita diberikan
prioritas paling utama ketika akan membuat sebuah kebijakan tentang
pangan. Akses untuk mendapatkan alat-alat pertanian dan alat-alat
perikanan harus dipermudah dan diprioritaskan. Akses yang saya maksud
adalah ketersediaan barang yang memadai, harga yang terjangkau,
tekhnologi yang adaptif dan pembiayaan yang mudah, sedangkan alat-alat
yang saya maksudkan adalah mencakup seluruh kebutuhan petani dan
nelayan, termasuk pupuk dan benih-benih ikan. Jangan malah ketika petani
dan nelayan kecil mengajukan kredit untuk membeli peralatan pertanian
dan perikanan dipersulit, tapi ketika kalau perusahaan besar yang
mengajukan pembiayaan malah sangat dipermudah. Petani dan nelayan kecil
itu tahunya kalau mau cari modal ya ke bank, tapi kalau perusahaan besar
mau cari modal sudah banyak instrumennya, tidak hanya lewat bank.
Petani, nelayan dan UMKM adalah faktor penentu kemajuan sebuah ekonomi
kerakyatan.
Tesis
ketiga adalah tentang perdagangan dan investasi. Kita tahu jika
Indonesia ini merupakan negara yang terdiri atas banyak pulau, mayoritas
wilayah kita itu adalah laut, kita itu negara maritim. Secara garis
besar di dunia ini ada sebanyak 7 selat utama yang digunakan sebagai
jalur perhubungan dunia, dan beruntungnya Indonesia dari tujuh selat
tersebut empat di antaranya ada di wilayah perairan Indonesia, yaitu
selat sunda, selat malaka, selat lombok dan selat makassar. Perdagangan
besar internasional antar negara pasti melewati salah satu selat yang
ada di Indonesia, tapi mayoritas ada di jalur selat makassar. Jika kita
bisa memanfaatkan anugerah geoekonomi tersebut, tidak mustahil Indonesia
akan menjadi pusat perdagangan internasional. Kita yang punya jalan
kok, masa ya cuma dilewati begitu saja, ya minimal orang yang lewat
suruh bayar lah, atau bahkan orang yang saling dagang itu kita suruh
buat pabrik saja di Indonesia, di sisi mereka bisa untuk menghemat biaya
produksi, di sisi kita bisa menjadi sumber investasi baru, jadi ndak
cuma ngutang saja kesana kemari.
Tesis
keempat adalah masalah terorisme. Mungkin anda bertanya-tanya kenapa
dari tesis pertama tentang demokrasi, tesis kedua tentang daulat pangan,
tesis ketiga tentang perdagangan dan investasi, lalu ujug-ujug tesis
keempat tentang masalah terorisme? Terorisme itu sebenarnya adalah
tentang masalah hukum, pertahanan dan keamanan. Terorisme di era yang
sekarang ini sudah tidak bisa lagi selalu diidentikan dengan pemboman
bunuh diri dan penyerangan terhadap pejabat dan aparat.
Terorisme
juga ikut berkembang seiring dengan kemajuan jaman, bahkan penyusupan
ideologi selain Pancasila di Indonesia pun saya anggap itu sebagai salah
satu tindakan terorisme. Sekarang sudah saatnya militer masuk ambil
bagian dalam pemberantasan terorisme, karena bagi saya terorisme
merupakan salah satu bentuk extraordinary crime. Terorisme adalah sebuah bentuk pelanggaran terhadap nation right suatu negara, teroris atau pelaku terorisme harus diambil tindakan tegas pada kesempatan pertama. Extraordinary crime
tidak akan bisa di lawan hanya dengan menggunakan pidana atau pro
yustisia semata yang mengharuskan adanya dua alat bukti dulu baru
kemudian bisa di proses. Misalkan ada orang mau ngebom bunuh diri, masa
baru bisa di proses hukum jika bomnya sudah diledakkan dulu? Seharusnya
kan adalah di ambil tindakan tegas pada kesempatan pertama ketika
didapatkan informasi mengenai hal tersebut, maka dari itu militer harus
masuk dalam pemberantasan terorisme.
Jika
nanti ada orang yang mengaku sebagai aktifis HAM koar-koar dimana-mana
menolak militer masuk dalam dunia pemberantasan terorisme, ya jawabnya
gampang, tanya aja ke dia emangnya teroris kalau mau ngebom itu mikir
HAM orang lain dulu? Tanya juga sama dia tinggian mana derajat antara nation right dan human right dalam sebuah perspektif bernegara? Kalau orang waras dan berjiwa nasionalisme pasti akan menjawab derajat nation right lebih tinggi dari human right, tapi kalau dia jawab sebaliknya ya anda simpulkan sendiri saja orang itu nasionalismenya dimana, jangan-jangan ndak ada.
Satu
lagi, walaupun sedikit melenceng dari beberapa hal di atas, tapi ini
penting. Di masa pandemi Covid 19 ini, anda para pembaca jangan mudah
dihasut oleh media atau orang dengan berbagai macam
propaganda-propagandanya, media apapun itu atau siapapun itu, karena
sekarang ada indikasi mulai dikembangkan narasi dua “madzab” mengenai
Covid 19, yaitu madzab kesehatan dan madzab ekonomi. Percayalah, orang
yang membuat istilah dua “madzab” itu punya kepentingan tersendiri di
Indonesia dengan sengaja menciptakan dua istilah tersebut. Kesehatan dan
ekonomi itu sama pentingnya, tidak boleh dipetak-petakan
sendiri-sendiri, ilmu tidak boleh berdiri sendiri, akan sesat jadinya
kalau ilmu hanya berdiri sendiri tanpa di dasari keilmuan lain. Percuma
anda banyak harta kalau anda mati, begitupun juga dengan sebaliknya.
Hati-hati, setiap agitasi dan propaganda itu pasti ada maksud dan
tujuannya, kalau mau tahu siapa user propaganda itu ya tinggal cari tahu saja siapa yang akan paling diuntungkan dari agitasi dan propaganda itu, simple.
Sekian.
Jayalahh Indonesiaku.
Merdeka!

Logika Sesat JK: Kalau Virusnya Nggak Mau Damai Gimana?
JK
oh JK, orang satu ini rupanya belum menyerah dari dunia politik. Ya
wajar saja dia belum nyerah, dinasti politik dari turun temurun memang
tetap harus ia jaga. Kalau tidak bagaimana anak cucu cicitnya bakal
sejahtera?
JK
adalah wajah penikmat kue sedari ORBA ada, usaha Mobil dari penjajah
jepang itu memang laris manis di Indonesia, Jepang memperbudak Indonesia
lewat JK yang terus memanjakan kita dengan alat transportasi dari
negara sakura itu.
Usahanya
makin membesar berkat mobil, JK menjadi pengusaha dalam bayang-bayang
ribuan politikus ternama. Kedekatan dengan Cendana sudah tersemat sejak
lama, karir politik JK dalam partai beringin adalah contoh yang fakta.
Harusnya
JK sudah tamat sedari awal dia membangkang dihadapan SBY 2009 silam.
Sayangnya, nama JK kembali terangkat di tahun 2014 karena butuh
sistemnya JK.
Tapi
itulah titik kesalahan pemerintahan kita di periode awal, JK yang
kembali berkuasa tak punya prestasi apa-apa, dia memang tak banyak
bersuara di media, dia tak lagi terlihat seperti matahari kembar saat
bersama SBY, namun tetap saja usaha JK kian meningkat dengan pesat,
pertumbuhan saham dari banyak rintisan usaha lainnya pun tetap
terangkat.
JK membangun pondasi kuat untuk permodalan. Modal buat dia menguasai Indonesia dalam 1 cengkramannya.
Di
akhir jabatannya JK tak bersuara, dia membisu, menghilang begitu saja.
Lalu siapa yang menyangka, dikala Indonesia sedang terkena musibah besar
soal wabah Corona, dia muncul dengan PMInya berlagak punya jutaan
solusi sembari terUs mengkritik dengan membabi buta kepada Pemerintah.
Lihat saja pembangkangan JK si tua bangka terbaru soal dia membantah
Jokowi untuk berdamai dengan Corona. JK: Kalau Virusnya Nggak Mau Damai Gimana?
Menurut
JK, istilah yang lebih pas diungkapkan adalah perubahan pola hidup. JK
mengajak masyarakat hidup dengan menerapkan protokol kesehatan di tengah
pandemi Corona.
"Jadi
tidak ada ya, kita gencatan senjata nanti tahun depan lagi mulai. Nggak
ada istilahnya. Perdamaian gitu. Mungkin yang ada kebiasaan kita yang
harus berubah. Itu mungkin ingin dianggap bahwa kita hidup berbarengan,
tetap pakai masker terus, cuci tangan terus, apa terus. Tidak berarti
kita berdamai, karena risikonya mati," ujar dia.
Pernyataan
kecil asal-asalan JK ini adalah olokan darinya dan upaya permainan
framing media, ditujukan untuk mengumpulkan sebagian masyarakat yang
sudah kecewa, apalagi termakan narasi Indonesia terserah.
Tujuannya apa? Layaknya ILC. Memberi masalah tanpa solusi, menebar ketakutan tanpa alternatif cara menyelesaikan
Sedari
awal kalau dipikir, JK ini tidak punya solusi apa-apa, tapi terkesan
sangat haus akan proyek pemerintah untuk PMInya. Penemu Plasma darah
adalah Dokter Monica dari Seword. Lalu kemudian yang tetap dapat
panggung adalah mereka para penguasa yang jadi pengusaha, JK satu
diantaranya, bisnis kesehatan PMInya langsung mengklaim di garda
terdepan yang memproduksinya
Jusuf
Kalla (JK) menyampaikan jika obat virus covid-19 telah disiapkan oleh
Palang Merah Indonesia (PMI). Obat tersebut termasuk dalam antibodi bagi
para pasien covid-19. Obat antibodi itu, lanjut JK yang merupakan Ketua
PMI, dibentuk melalui sususan dasar plasma darah yang diambil dari
spesimen penderita virus covid-19.
Hebat
dia main klaim, atas plasma darah. Tak hanya itu, JK juga haus akan
proyek, JK mengkode Jokowi lewat sindiranya "Indonesia harus punya
kontribusi terhadap dunia bidang sains untuk penanganan COVID-19."
Ketawa cacing diperut ini, selama JK jadi wakil Presiden ngapain aja?
Kenapa baru sekarang?
Kalau
dipikir juga, JK juga terlibat dalam fatwa MUI soal Sholat di rumah
khususnya saat jumatan. Tapi yang terjadi diluarsana, Pemerintah yang
dapat citra seolah melarang orang sholat dimesjid tapi di mall tidak.
Lagi-lagi,
Pemerintah yang selalu jadi bahan bacotan kadrun dan oposisi, tapi
masalah utama itu sebenarnya disebabkan oleh siapa? Ya mereka para biang
kerok masalah. Lihat Indonesia terserah gara-gara Soetta. Tapi Anies
selaku Gubernur kaki tangan JK kemana? Bukannya dia yang bertanggung
jawab atas Jakarta? Tapi tetap Jokowi yang jadi sasaran utama.
Intinya
sih Covid ini sudah bukan lagi untuk urusan menyelamatkan para warga
dan bersatu, tapi mereka saling adu untuk menjatuhkan Jokowi dengan
segala cara sembari tetap mengumpulkan modal untuk persiapan perang di
masa yang akan datang.
Logika
sesat JK yang membantah Jokowi adalah salah satunya, bentuk kecil
pengkudetaan padahal WHO juga mengikuti Jokowi untuk berdamai dari
Corona. Kenapa JK tak protes ke WHO? Karena JK tak peduli, dia cuma
peduli untuk membangun framing bersama kelompok militannya.
Begitulah analisa ini selesai, hati-hatilah dengan segala ucapan JK dan perilakunya.

Mungkinkah Kita “Berdamai” dengan Covid?
Sudah…sudah..…nggak
usah sinis dan nyinyirin ucapan Pakde Jokowi. Kita semua se-Indonesia
tahu perjuangan Presiden Joko Widodo melawan Covid dengan caranya.
Yup,
caranya yang tetap prioritaskan rakyat Indonesia terbebas dari Covid,
tetapi juga masih bisa beraktivitas. Mengambil contoh memilih PSBB
ketimbang lockdown.
Hhheemmm…penulis
nggak perlu bahas lagi yah bagaimana sejumlah anggaran digelontorkan
pemerintah pusat untuk menyelamatkan rakyat dari pandemi, sekaligus juga
dari lapar dan ekonomi yang dikhawatirkan ikut sekarat. Pertanyaan
besarnya, mau sampai kapan rakyat disuapi, jika roda ekonomi terpaksa
terhenti?
Pandemi
ini berawal sejak 2 Maret 2020, ketika Jokowi resmi mengumumkan ada 2
kasus positif terjangkit virus Corona. Berarti, kurang lebih sudah
berjalan 3 bulan negeri ini menyatakan perang terhadap Covid. Beberapa
langkah medis, edukasi Covid dan bantuan sosial pun sudah dilakukan
selama ini.
Tetapi,
tolong diingat, hidup kita ini ada ditangan kita sendiri! Kitalah yang
mengontrol kehidupan kita. Mau maju, nyamping, serong atau mundur
sekalian! Maksudnya, nggak bisa kita ini terus menerus mengeluh
mengenai dampak Covid! Saatnya diam, dan bangkit!
Berdamai
dengan Covid jelas artinya bukan bernego dengan Covid seperti jual beli
di pasar dan cari kesepakatan! Mikir saja, memangnya bisa kita
bersepakatan dengan virus, dan bertanya baik-baik, “Vid, ente mau sampai
kapan di Indonesia?”
Wkwkwk…maaf,
dungu banget kalau kita menelan bulat-bulat kata berdamai yang dimaksud
Jokowi! Bandingkan dengan arti ungkapan makan teman. Apakah kita
artikan kita makan teman kita itu? Mikir!
Jelas
banget disini maksud Pakde Jokowi bahwa ini saatnya kita melanjutkan
kehidupan kita. Cukup selama ini kita sama-sama mengenal Covid, dan
diajarkan cara hidup di masa pandemi ini. Berarti bukan waktunya lagi
kita menunggu kapan Covid berakhir, tetapi kapan manusia bisa berubah
dan beradaptasi hidup normal dengan standar anti Covid.
Sebenarnya,
manusia itu mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungannya. Contoh keseharian saja, maaf masih banyak
saudara-saudara kita yang hidup di daerah pembuangan sampah. Nggak
kebayang aroma menyengat dan standar kesehatan disana. Tetapi nyatanya
mereka bisa hidup dengan kondisi miris seperti itu. Hidup normal
ditengah kondisi yang sebenarnya tidak dapat dikatakan normal.
Salah
jika menyimpulkan ini sikap pasrah! Picik dan dangkal jika berpikir
seperti itu! Faktanya, manusia sudah lama kok hidup dengan virus
lainnya, seperti Tipus, TBC, Malaria, atau bahkan DBD yang juga penyebab
kematian tertinggi di Indonesia bahkan.
Memang,
belum ada anti-virus untuk Covid. Tetapi, kita semua sudah diajarkan
dan diberikan pengertian kesehatan dan kebersihan, misalnya melakukan
hal sederhana memakai masker, cuci tangan dan menjaga jarak. Nah, kita
jadikan itu sebagai gaya hidup kita yang baru, seperti juga misalnya
ketika kita waspada terhadap DBD dengan memperhatikan tempat
bersarangnya nyamuk.
Mungkin membandingkan DBD dengan Covid tidak sebanding, tetapi yang ingin penulis angkat adalah membangun awareness
atau kesadaran dan tanggungjawab pribadi! Dimulai dari saya, lalu
menjadi kamu, kalian dan berakhir di kita semua bertanggungjawab!
Berpikirlah,
nggak mungkin selamanya kita ini ngumpet dan mengunci diri di rumah.
Lalu berisik, ngedumel, teriak-teriak salahkan si ono dan si anu!
“Woi…kami lapar, kapan ini virus berakhir!”
Wkwkwk…mikir,
memangnya ada negara yang sengaja ternak virus supaya warganya habis?
Nggak sekalian ledakan diri saja, lebih cepat selesai, daripada seperti
ini menghabiskan waktu dan juga biaya.
Itu
sebabnya, jangan berpikir negatif seakan negeri ini cuek, dan sabodo
amat dengan mulai melonggarkan beberapa kebijakan. Ini bukan karena
tidak peduli, dan seolah membiarkan rakyatnya musnah.
Negeri
ini harus berjalan, ekonomi harus berputar, dan rakyat harus kembali
beraktivitas dengan beradaptasi tentunya bermodal edukasi selama ini.
Kembali berkreativitas dan bekerja! Jangan terlena dengan mental (maaf)
ngemis mengharapkan bantuan pemerintah.
Adaptasi adalah senjata yang ampuh, dengan meningkatkan kualitas hidup pastinya.
Kita
mulai kehidupan yang baru ini dengan mengubah gaya hidup kita.
Makanlah makanan yang bergizi, sayur dan buah-buahan! Tinggalkan gaya
makan asal kenyang tapi tidak bergizi! Lalu biasakan menjaga
kebersihan, dan mematuhi kebijakan protokol yang mengatur “new normal”
nantinya.
Paham yah, apa dan kenapa berdamai dengan Covid-19.
Covid-19
musuh kita bersama, dan saat ini tanggungjawab serta kedisiplinan kita
menentukan bangkitnya rakyat Indonesia, yang juga bangkitnya negeri ini.
Kita harus melawan Covid-19 dengan berubah menjadi manusia yang lebih
baik. Menjaga diri sendiri, yang sekaligus juga artinya menjaga orang
lain.
Artikel mpok lainnya bisa dinikmati di @mpokdesy
Ilustrasi: Imgur

JK Versus JKW, Ada Gejala Mantaningitis?
Ada
penyakit yang kerap diidap oleh mantan penguasa di negeri kita ini.
Penyakit aneh, tapi nyata. Tidak menular, tapi gampang menghinggapi para
mantan. Dari tingkatan terendah sampai tingkatan tertinggi, bahkan
sampai tingkat presiden. Kalau sudah tidak menjabat lagi alias tidak
punya kuasa sebagai bagian dari pemerintahan, para mantan itu punya
kelakuan sangat jauh dari sikap kenegarawanan. Bahkan ada kemungkinan
juga menghinggapi keluarga terdekatnya. Juga kroni-kroninya yang mungkin
dulu sama-sama ikut menikmati gurihnya kekuasaan, dan atau sekarang
berharap bisa kembalinya kekuasaan tersebut. Banyak cara dilakukan para
mantan ini.
Sebut
sajalah mantan presiden yang terkenal dengan tingkat “keprihatinannya”
sangat tinggi itu. Hampir semua yang terjadi di negeri ini selalu
dikomentari dengan sikap “prihatin”. Tapi hanya hal yang ‘nggak cocok
dengan keinginan dan seleranya saja, walau seringkali tanpa sadar apa
yang diprihatinkan tersebut malah jadi bumerang baginya.
Hebatnya
sang mantan tersebut masih banyak dikerubuti oleh simpatisannya yang
siap sedia membela, pasang badan, rame-rame kayak laron mengerumuni
cahaya lampu teplok. Sudah mulai redup, namun karena ‘nggak ada cahaya
lain, maka apa boleh buat tetap dikerubuti. Seakan menjadi suatu
keharusan agar tetap dianggap loyal.
Ada
juga mantan menteri, mantan pejabat di kementerian di bawah menteri.
Baik yang habis periode menjabatnya, apalagi yang pecatan, ini lebih
galak dalam melakukan perlawanan. Merasa kerjanya paling oke saat
menjabat, setelah tidak menjabat malah menyinyiri pemerintah yang
berkuasa secara sah.
Kebanyakan
mereka adalah para mantan pejabat yang miskin prestasi. Atau malah bisa
dikategorikan nirprestasi. Saking nihilnya prestasi, kita sampai ‘nggak
sadar bahwa dia pernah menjabat suatu jabatan yang sebenarnya mampu
memperbaiki negara ini. Yahhh … paling tidak, perubahan yang bisa
memperbaiki sebatas ruang lingkup kekuasaannya sajalah.
Jusuf
Kalla alias JK punya kecenderungan seperti para mantan pendahulunya
itu. Layaknya virus korona yang cepat hinggap dan menginfeksi banyak
orang, sikap “ingin berbeda dengan pemerintah” terlihat juga menggoda
dirinya. Sebagai mantan wakil presiden (dan lebih satu periode pula!)
sudah sewajarnya JK punya jiwa negarawan yang juga jauh di atas
rata-rata.
Siapa
pun tahu bahwa JKW jauh lebih baik daripada SBY. Dari sudut prestasi
ya, bukan dari sudut yang lain, menghasilkan album lagu misalnya.
Apalagi kalau dibandingkan dengan lamanya menjabat sebagai Presiden,
tentulah bak langit dan bumi. Tapi itu tidak menyurutkan JK untuk
menunjukkan ketidakberpihakannya dengan pemerintah JKW sekarang ini.
Seringkali terkesan mencari celah untuk menyerang JKW, atau berupaya
agar terlihat berbeda.
Di
saat pemerintah memulai pendekatan baru terhadap pandemi korona yakni
berupaya menjalankan aktivitas sehari-hari dengan disiplin menjalankan
protokol kesehatan, JK muncul dengan pernyataan ketidaksetujuan. Bukan
hal substansial, melainkan sebatas istilah. Bisa dipahami bahwa JKW
menggunakan kata “berdamai” untuk strategi terkini menghadapi virus
tersebut, yakni untuk penyederhanaan agar lebih mudah dipahami dan tidak
lagi begitu meneror masyarakat yang tentu sangat takut pada kematian.
"Kalau
namanya berdamai itu kalau dua-duanya ingin berdamai, kalau kita hanya
ingin damai tapi virusnya ndak bagaimana? Jadi istilah damai itu agak
kurang pas karena damai itu harus kedua belah pihak. Tidak ada kedamaian
bagi mereka. You kena youbisa sakit bisa mati," kata JK dalam Webinar
UI seperti dilihat, Selasa (19/5/2020).
Menurut
JK, istilah yang lebih pas diungkapkan adalah perubahan pola hidup. JK
mengajak masyarakat hidup dengan menerapkan protokol kesehatan di tengah
pandemi Corona.
‘Nggak jauh beda dengan penjelasan resmi pemerintah tentang pengertian berdamai dengan korona berikut ini, ‘kan?
Ya
artinya jangan kita menyerah, hidup berdamai itu penyesuaian baru dalam
kehidupan. Ke sananya yang disebut the new normal, tatanan kehidupan
baru,
Yang
mau aku garis bawahi adalah penyataan sang mantan yang mengatakan bahwa
damai itu harus kedua belah pihak. Siapa bilang? Apakah sang mantan
tidak pernah dengar istilah “berdamai dengan diri sendiri?” Termasuk di
dalamnya adalah sadar diri pada posisi terkininya yang seharusnya lebih
bersikap negarawan daripada oposisi, mengakui nirprestasi di masa lalu
para mantan umumnya dan tidak bisa diubah lagi olehnya, usia senja yang
harus disepadankan dengan ambisi, dan sebagainya.
Jangan-jangan,
“mantaningitis” alias “infeksi” karena sudah mantan yang didasari
ketidakmampuan berdamai dengan diri sendiri inilah yang banyak
menjangkiti para mantan di negeri ini sehingga berperilaku yang jauh
dari harapan rakyat banyak yang masih waras di republik ini.
Sumber:

Terkuak 3 Siasat Busuk Bahar Smith Memfitnah Pemerintah, Tapi Gagal!
Bahar
Smith langsung jadi berita, ketika dia dibebaskan dari tahanan pada
hari Sabtu lalu (16/5). Sambutan massa ketika Bahar Smith sampai di
Pondok Pesantren Tajul Alawiyyin, Bogor pun juga jadi berita. Videonya
beredar banyak di media sosial. Seakan menjadi penegasan bahwa Bahar
Smith ini adalah seorang ulama penting, tanpa cacat , yang baru keluar
dari dipenjarakan oleh pemerintah. Kurang lebih sama lah dengan yang
mengaku punya visa unlimited di Mekkah sana, tapi kerap teriak minta
pulang. Ya, mereka memang sealiran, aliran yang bertentangan dengan
pemerintah.
Memang
Bahar Smith ini punya modal buat populer. Masih muda, penampilan dengan
rambut panjang berwarna pirang dan nampaknya ahli dalam berkelahi. Bagi
kita yang waras ini sih, nggak akan masuk itu sebagai kriteria yang
menyebabkan seseorang dijadikan panutan, sebagai ustadz. Apalagi kalau
mendengar ceramahnya dia. Apalagi kalau melihat kelakuan dia menganiaya
secara fisik anak-anak di bawah umur. Ustadz? I don’t think so!
Saya males juga membahas asal usul gelar “habib”-nya. Saya punya
kenalan bisnis bermarga sama yang kelakuannya jauh sekali dari Bahar
ini. Jadi apa yang kita bahas? Tidak lain menguak siasat busuk yang
dipakai Bahar Smith buat melontarkan fitnah terhadap pemerintah. Tapi
gagal hehe… Apa saja?
Katanya Menolak Bebas Karena Asimilasi, Nyatanya…
Dilansir tribunnews.com, kuasa hukum Bahar Smith, Aziz Yanuar mengatakan bahwa bebasnya Bahar Smith pada hari Sabtu lalu itu bukan karena asimilasi atau pun remisi. "Memang sudah waktunya bebas”, ujar Aziz. Sementara pada bulan April lalu, dilansir suara.com, pengacaranya yang lain, Ichwan Tuankotta, menyatakan bahwa Bahar menolak tawaran program asimilasi karena tidak mau merasa berutang budi kepada pemerintah Sumber Sumber.
Ngakunya
nggak mau dikasih asimilasi. Ngakunya bebas karena sudah waktunya.
Ternyata, kebebasan Bahar Smith itu adalah karena program asimilasi.
Seperti yang ditegaskan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
Cibinong Ardian Nova Christiawan. "Iya benar (bebas) karena memang sudah
waktunya (asimilasi) sesuai prosedur dan merujuk pada aturan
Permenkumham Nomor 10 tahun 2020 (Program Pembebasan Bersyarat Asimilasi
Kementerian Hukum dan HAM terkait Covid-19)," kata Ardian, dilansir tribunnews.com.
Jadi,
sebenarnya Bahar Smith ini berutang budi dong ke pemerintah. Yeeeeee,
ngeles aja. Seakan dirinya berharga terlalu tinggi, nggak mau mengakui
kebaikan pemerintah. Pas dikasih bebas ya diterima juga! Apa ini
namanya? Menjilat ludah sendiri? Soal asimilasi ini sudah ditulis di
banyak media, semua orang sudah tahu kok.
Katanya Ditangkap/Dipenjara Demi Berjuang Untuk Rakyat, Nyatanya…
Entah
apa yang ada di kepala orang-orang yang memuja Bahar Smith. Ngakunya
habib tapi kelakuan jauh sekali dari Nabi Muhammad. Jauh sekali dari
sosok Nabi Muhammad yang lembut dan baik hati tiada cela.
Kalau
dilihat dari ceramah-ceramahnya, isinya sangat keras dan penuh
provokasi. Sama saja dengan ceramahnya pasca dibebaskan pada hari Sabtu
lalu itu. Bahkan sampai pakai sumpah-sumpah dan tentu saja fitnah.
Berikut kutipan ceramahnya seperti dilansir republika.co.id.
“…Saudara-saudara, saya baru tadi sore keluar dari penjara… saya telah
bersumpah di pengadilan… saya Bahar bin Smith, bersumpah demi Allah,
selama kedua mata saya masih terbuka untuk melihat kemungkaran melihat
penderitaan rakyat, melihat kesusahan rakyat maka selama itu tidak ada
satu pun yang bisa menghentikan membungkam mulut saya... Sore ini saya
keluar, besok pagi saya ditangkap lagi, demi berjuang untuk rakyat,
berjuang untuk Indonesia, berjuang untuk rakyat susah yang sengsara
di-lockdown, dimatikan di rumahnya sendiri… terus berjuang saya tak
pernah kapok”. Sumber.
Ehh??
Berjuang untuk rakyat? Apa hubungannya dengan menghajar dan memukul
anak-anak di bawah umur? Hehehe… Udah dehh, fitnahnya keterlaluan,
seakan rakyat Indonesia ini semuanya buta huruf dan tidak bisa membaca
berita tentang vonis pengadilan terhadap Bahar Smith. Ah…sudahlahh…
Modus “Merokok Sebentar”, Nyatanya…
Nah,
ini yang baru diungkap oleh pihak kepolisian yang kembali menangkap
Bahar Smith tadi malam. Bahar Smith memang kembali dipenjarakan sejak
tadi malam, karena melanggar aturan asimilasi dan PSBB. Ceramahnya di
atas yang dilansir republika.co.id itu, isinya provokatif dan
menyebarkan rasa permusuhan dan kebencian terhadap pemerintah. Video
ceramahnya yang viral akhirnya meresahkan masyarakat. Ini tentu saja
melanggar syarat khusus asimilasi, sehingga asimilasinya dicabut.
Sementara soal PSBB, karena Bahar mengumpulkan massa dalam kegiatan
ceramahnya Sumber. Jelas ya kesalahannya apa.
Kasat
Reskrim Polres Bogor, AKP Benny Cahyadi turun langsung dalam proses
penangkapan Bahar tadi malam. Menurut AKP Benny, saat hendak dibawa,
Bahar meminta waktu untuk merokok. Ternyata itu hanya akal-akalan Bahar
saja. "Terkait kejadian dia mau ngerokok dulu, mau ketemu istri, mau
ambil pakaian, itu modus mengulur waktu untuk mengumpulkan massa," kata
Benny. "Prinsipnya ajak ngerokok itu, itu modus dia. Kan dia sengaja
memancing polisi untuk masuk ke dalam, tempat ibadah, gitu. Jadi dijebak
lah. Kita kan berseragam semua, kita nggak mau masuk ke tempat ibadah
karena kita menghargai kan," tutur Benny kepada para wartawan Sumber.
Owwww…
Jadi rencananya Bahar ini ngakalin para polisi. Dia mau kumpulin massa
dan memancing para polisi masuk ke dalam masjid. Nanti, ketika massa
sudah terkumpul, dan polisi memaksa untuk membawanya, sementara
kejadiannya di dalam masjid, maka dengan gampang Bahar melempar fitnah
lagi soal kriminalisasi dan penindasan ulama oleh pemerintah. Gitu tho
modusnya? Tapi gagal lagi, karena sudah tercium oleh pihak kepolisian.
Ada
orang mengaku ulama, berencana mau memfitnah pihak yang benar, di bulan
puasa? Sungguh kelakuan yang sangat tercela. Bahkan sebelumnya di dalam
ceramahnya itu, jelas sekali fitnah yang dilancarkan oleh Bahar soal
alasan dia dipenjarakan. Masih di bulan Puasa juga. Segitunya ya. Tapi
ya, gagal semua. Mungkin ini sebuah teguran dari Allah di bulan yang
suci ini. Terserah Bahar Smith saja. Kalau masih mengaku sebagai cucu
Nabi, harusnya dia peka terhadap teguran-teguran dari Allah. Kalaupun
enggak merasa, ya sudah lah. Toh publik sudah tahu kok fitnah-fitnahnya.
Re-post by MigoBerita / Rabu/20052020/11.55Wita/Bjm