Migo Berita - Banjarmasin - AHY atau Gibran, momentum di Solo hingga di Pilpres 2024.
Kita tahu bersama AHY adalah anak mantan Presiden RI SBY, sedangkan Gibran adalah anak Presiden RI Jokowidodo.
Kedua-duanya memiliki momentum untuk bisa berlaga di Pilpres 2024, namun hanya waktu yang membuktikan, apakah keduanya bisa membuat Indonesia Lebih Maju.. Semoga
Jika Menang di Solo, Gibran Capres 2024
Majunya
Gibran di Pilkada Solo disambut dengan isu politik dinasti. Apalagi,
menantu Presiden Jokowi juga maju di Pilkada Medan. Makin kencanglah isu
politik dinasti ini.
Sebagian
orang mengungkit pernyataan Presiden beberapa tahun lalu. Yang
menganggap anaknya, Gibran, belum tertarik masuk ke politik. Sementara
menantunya, Boby, memang sudah diprediksi akan masuk politik.
Lalu mereka sekarang bertanya, katanya ngga tertarik politik?
Padahal
pernyataan tersebut disampaikan beberapa tahun yang lalu. Artinya apa?
saat itu mungkin memang tidak tertarik dan fokus di bisnis. Dan orang
bisa berubah. Seperti Prabowo misalnya, yang dulu mendukung Jokowi Ahok
di Pilkada Jakarta, kemudian menjadi rival Jokowi di Pilpres dua kali
berturut-turut. Aneka narasi negatif pernah disampaikan Prabowo, mulai
dari boneka hingga asal santun. Tapi sekarang? Prabowo menjadi menteri,
pembantu Jokowi.
Begitu
juga dengan Anies Baswedan. Yang dulu begitu gencar menyerang Prabowo,
kini menjadi Gubernur Jakarta berkat restu Prabowo.
Hidup
ini dinamis. Penilaian, pemikiran dan keputusan kita berubah-ubah.
Menyesuaikan. Dan isu yang ada hari ini, akan datang dan pergi,
berganti-ganti.
Tapi
isu politik dinasti ini nampaknya akan bertahan cukup lama. Dulu sudah
pernah dibahas, sekarang muncul lagi. Satu-satunya isu yang bisa
dibangun untuk menyerang Gibran, bahkan mungkin juga dianggap sebagai
senjata ampuh untuk mengalahkannya.
Namun
yang harus kita sadari dan pahami, bahwa semua isu itu seperti pisau
bermata dua. Jika suatu isu tak mampu menjatuhkan, maka isu itu
memberikan kekuatan dan simpati. Ambil contoh Jokowi yang diserang isu
keturunan PKI, sampai orang tuanya difitnah. Pada akhirnya isu tersebut
tak mampu dibuktikan, dan Jokowi bertahan sebagai pribadi yang tenang
lalu menunjukkan jati dirinya sebagai muslim jawa. Seperti sungkem pada
ibunda, atau tradisi adat saat menikahkan anak-anaknya.
Isu
PKI itu membuat pendukung Jokowi semakin solid dan loyal. Dari sekian
banyak faktor pendukung untuk menang di Pilpres, salah satunya pasti
karena sebagian masyarakat merasa tak terima ada orang difitnah china
padahal mukanya sangat jawa sekali. Selain itu juga karena faktor
Prabowo yang cukup abu-abu. Semisal keluarganya mayoritas non muslim dan
keturunan china.
Tapi
bisa juga sebaliknya. Seperti contoh kekalahan Ahok di Jakarta. Isu
china dan kafir sangat terkonfirmasi. Ditambah dengan blunder pernyataan
Ahok yang digoreng geng 212. Kebetulan lawannya adalah Anies Baswedan,
keturunan Arab dan muslim. Akhirnya seperti yang kita tahu, isu tersebut
berhasil menjatuhkan Ahok.
Nah,
isu politik dinasti ini mungkin terlihat mudah dipahami. Meski
sebenarnya, semakin kuat isu ini dibahas, yang terlihat jelas justru AHY
dan Demokrat. Ibaratnya, niat nyerang Gibran dan Jokowi, yang malu
malah AHY dan SBY.
Sementara
bagi Gibran, ini soal pembuktian dan pengendalian. Kemenangan Gibran di
Solo mungkin akan berlangsung lancar. Asal tidak ada kejadian luar
biasa seperti blunder dan diserang 212.
Pertanyaannya,
setelah menang, mampukah Gibran membuktikan kemampuannya? Kalau
hasilnya hanya seperti Anies, yang sibuk membuat pernyataan tapi tak
bisa bekerja, Gibran tak akan mendapat apresiasi.
Tapi
misal Gibran sukses membuat terobosan-terobosan baru, kreatif dan
menggugah masyarakat, hampir pasti Gibran akan langsung menjadi sorotan
sebagai Calon Presiden 2024.
Memang,
sebagian orang akan bilang terlalu prematur. Terlalu terburu-buru. Tapi
bukankah kita juga pernah mendengar alasan yang sama di Jakarta 2014
lalu? Semakin Jokowi bilang “ndak mikir” soal pencapresan, semakin
gencar media memberitakan dan penasaran. Jokowi yang dianggap terlalu
terburu-buru, tidak mau menunggu 2019 dan menyelesaikan masa jabatannya
sebagai Gubernur, nyatanya menang dengan sangat meyakinkan pada 2014
lalu. Mengalahkan Prabowo yang sudah bertahun-tahun bersiap menyambut
Pilpres.
Politik
yang dinamis ini sangat bergantung pada momentum. Misalkan Jokowi baru
dimajukan pada 2019, itu artinya dia akan melawan pertahana siapapun
pemenang Pilpres 2014. Peluang menangnya jelas lebih kecil.
Begitu
juga dengan Gibran. Kalau ada yang bilang lebih baik menunggu Jokowi
menyelesaikan kepemimpinannya, itu artinya sudah kehilangan momentum.
Dan lagi-lagi, itu artinya Gibran harus melawan pertahana.
Selain
itu, peta politik di Solo bisa berubah. Saat ini memang saat yang
terbaik bagi PDIP untuk mengusung Gibran, dengan modal 30 kursi DPRD.
Tepat di bawahnya, PKS hanya 6 kursi. Lalu PAN, Golkar dan Gerindra
masing-masing cuma 3 kursi. Lalu PSI 1 kursi.
Karena
kalau PDIP mau menerima Purnomo-Teguh, maka Gibran pasti diusung oleh
PKS bersama PAN dan Gerindra. Ini bukan sekedar menang kalah Pilkada,
tapi mempertahankan suara dan kursi DPRD Solo. Kalau skenario ini yang
terjadi, pemilu selanjutnya PDIP bisa goyah.
Jadi,
pencalonan Gibran di Solo juga ada unsur mempertahankan momentum dan
kekuatan partai. Selain itu, PDIP sebagai partai senior pasti sudah
memperhitungkan survei Gibran. Kalau memang tak punya elektabilitas
bagus, tak mungkin diusung.
Terakhir, ada satu kunci yang bisa membuat Gibran menang di Pilpres 2024. Mungkin nanti akan saya bahas di lain kesempatan.Sumber Utama : https://seword.com/politik/jika-menang-di-solo-gibran-capres-2024-JNeaWUSbTH
Celana Dalam Kosong vs Otak Kosong, Mencuat dalam Isu Pencalonan Gibran
Berbicara tentang pilkada serentak, pemilihan rangkaian kata yang dilakukan Yunarto Wijaya sebagaimana gambar capture
ini seperti sebuah ketidaksengajaan namun sangat telak melukiskan
kondisi faktual seorang Rocky Gerung. Cermati saja narasi yang digunakan
Yunarto : “Khan ga mungkin juga bilang RG ‘Celana dalam kosong...”.
Mudah
diduga maksud Yunarto adalah untuk menjawab narasi RG tentang potensi
munculnya calon tunggal dalam pilwalkot Solo. Seperti pemberitaan yang
sedang ramai, Gibran kemungkinan besar tidak akan mendapatkan lawan
dalam pilwalkot Solo, dan ini berarti lawannya adalah kotak kosong. Lalu
Rocky Gerung mengomentarinya dengan narasi : "Jadi meme sekarang kalau
kotak kosong yang kalah di Solo yang menang apa? Otak kosong? Jadi otak
kosong versus kotak kosong."
Dalam
kesempatan lain, Sekjen Pea 212, Novel Bamukmin turut pula berkomentar.
Menurut dia, pencalonan Gibran sangat terkesan dipaksakan, lantaran
kemampuan dan kopetensinya belum teruji. "Sangat- sangat dipaksakan,"
ucapnya kepada wartawan, Kemarin, baca : Warta ekonomi.
Seolah
sedang musim angin kencang, satu atau dua komentar miring di media baik
mainstream maupun medsos, menggelinding menjadi aliran deras. Dalam
acara Rossi Silalahi Kompas TV, aktifis ICW Donal Paris tak kurang
kerasnya menanggapi munculnya putra Presiden dalam ajang pilwalkot. Yang
dipersoalkan Donal adalah tersalipnya Wakil Walikota, Achmad Purnomo
yang sebelumnya merupakan calon terkuat dari PDI-P, oleh pendatang yang
kebetulan berasal dari partai yang sama.
Menurut
Donal, nuansa dinasti politik dari pencalonan Gibran terasa sangat
kental, lebih-lebih bakal calon gagal, Achmad Purnomo dicurigai sedang
dielus-elus oleh ayah Gibran sendiri, terbukti dia diundang ke istana
meskipun tidak tahu undangan itu untuk urusan apa.
Kalau
kita terus memikirkan nada-nada miring di luaran, barangkali seluruh
ruang di dalam pikiran kita tak akan pernah kosong dari rasa gamang,
khawatir atau bahkan frustrasi, dan seluruhnya bermakna tidak produktif
atau bahkan cenderung menghancurkan.
Bayangkan
dampaknya jika Gibran atau Jokowi urung menapaki langkah lebih jauh
dalam ajang politik tersebut, karena langkah awal sudah diambil dan kita
berharap tidak surut hanya gara-gara maraknya serangan para pengritik.
Disamping karena tak kurang juga suara dukungan, yang jauh lebih
diutamakan seharusnya adalah pilihan rakyat sendiri. Sebagaimana aturan
mainnya menetapkan, kalau rakyat menjatuhkan pilihan kepada kotak
kosong, berarti mereka memang tak menghendaki sang calon tunggal
menduduki jabatan yang diincarnya. Sebaliknya kalau suara mereka telah
menetapkan pilihannya pada si calon, maka siapapun tak bisa
menghalang-halangi.
Mungkin
ada benarnya apa yang disampaikan Novel Bamukmin bahwa Gibran belum
teruji kompetensinya, namun lepas dari persoalan kompetensi, Jokowi atau
banyak kandidat pemimpin lain juga menghadapi masalah yang sama ketika
mereka belum memulai kiprahnya. Kalau terus menerus kita mengungkit
kompeten atau tidaknya seseorang, yakinlah kita tak akan kunjung
beranjak dari titik awal, lebih-lebih pendapat itu berasal dari mereka
yang secara tradisional memang tak suka dengan kalangan dekat Jokowi.
Mari
kita melompat jauh ke belakang, ketika para pemimpin bangsa kita
memutuskan untuk memberi kepercayaan kepada dwi tunggal, Soekarno-Hatta
sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama.
Jika saja mereka melihat
aspek kompetensi atau jam terbang yang belum teruji dari kedua sosok
itu, niscaya kita tak bakalan pernah memiliki seorang pemimpin pun.
Lebih tragis lagi jika kita berkaca dari pengalaman era Orde Baru yang melihat penggantian pemimpin sebagai tabu
politik, bahkan ada anekdot bahwa syarat menjadi pemimpin haruslah
berpengalaman sebagai pemimpin. Pikiran seperti itulah yang sedang kita
perbaiki pada era reformasi ini. Yang seharusnya kita kedepankan adalah
sebanyak apa dukungan yang diberikan kepada seseorang, dan bukannya
berasal dari mana sosok tersebut berasal.
Betapa
mirisnya nasib para calon pemimpin jika hanya karena dia keturunan
langsung seseorang, maka dia layak atau tak layak dicalonkan. Selain
tidak ada aturan tertulisnya, pikiran semacam itu sama saja dengan
melanggar hak politik dan bahkan hak azasi seseorang. Maka ketika banyak
suara penentangan atas majunya Gibran, yang muncul di benak kita justru
kesan cemburu atau iri dari kalangan tertentu.
Singkatnya,
biarkan saja mekanisme politik berjalan seperti apa adanya, dan jangan
ributkan soal sosok mana yang sebaiknya muncul atau siapa yang
seharusnya tidak muncul, sejauh pemilih menentukan sesuai suara hati
mereka tanpa sedikitpun unsur pemaksaan.
Cerita
berbeda muncul dari pihak yang mendukung, mereka percaya trah Jokowi
sebagai sosok bersih akan mempengaruhi gaya kepemimpinan Gibran kelak.
Namun lagi-lagi kita tak boleh terjebak dengan pendekatan yang tak
terkait langsung dengan fakta. Maka sebaiknya kita berikan saja ruang
kepada Gibran sebagai ajang pembuktian, bahwa dirinya layak menjadi
penerus trah Jokowi, baik di Solo maupun di kancah nasional.
Sumber Utama : https://seword.com/politik/celana-dalam-kosong-vs-otak-kosong-mencuat-dalam-EMBmdJOhGz
Gibran Bikin Demokrat Terlihat Menyedihkan
Majunya
Gibran di Pilkada Solo, bagi sebagian orang agak mengejutkan. Karena
PDIP yang dianggap kaku dalam hal hirarki politik, senioritas, biasanya
akan memprioritaskan kadernya sendiri, atau orang yang lebih dulu
bergabung dengan partai dan sudah melakukan sesuatu. Sementara Gibran,
baru. Baru mendaftar jadi kader, dan belum menjalani sekolah kader.
Tapi
bagi saya, pengumuman pencalonan Gibran sebagai Walikota Solo hanya
sebuah konfirmasi. Di saat DPC Solo sudah mengusulkan calon
Purnomo-Teguh, dan menutup pintu bagi Gibran untuk maju di Pilkada, saya
malah menulis PDIP pasti mencalonkan Gibran.
Bisa dilihat di artikel 8 Oktober 2019 https://seword.com/politik/pdip-pasti-usung-gibran-sebagai-calon-walikota-QHpP9UgXgz
Jadi kalau hari ini masih ada yang bertanya kenapa PDIP mencalonkan Gibran, saya sudah menjawabnya tahun lalu.
Sebenarnya
saya ingin merayakan dan menuliskan ini saat pengumuman. Tapi karena
waktu itu masih di perjalanan, jadi tak sempat menulis dengan tenang.
Yang
paling terusik dengan pencalonan Gibran jelas adalah Demokrat. Meskipun
di Solo mereka menyatakan berkoalisi. Sebenarnya bukan karena
benar-benar mendukung, tapi emang Demokrat tidak bisa berbuat apa-apa.
Demokrat
di Solo hanya tim hore, partai degradasi yang tak punya kursi. Senasib
dengan PPP dan Hanura. Demokrat bahkan kalah dengan partai baru PSI,
punya 1 kursi. Jadi kalau mereka mengklaim sudah mendapat restu SBY
untuk mendukung Gibran, sebenarnya tidak ada pengaruhnya. Apa yang bisa
diharapkan dari partai tanpa kursi?
PDIP
dan Demokrat punya sejarah panjang. Dari kudatuli hingga lebaran kuda.
Maka kini ketika Gibran dicalonkan sebagai Walikota Solo, ini bukan
sekedar urusan menang kalah di Pilkada. Ini tentang pelajaran demokrasi
dan politik dari PDIP pada Demokrat. Pelajaran yang mungkin akan terasa
sangat menyinggung.
Gibran
menjadi sebuah contoh sempurna dalam proses dan karir politik. Tidak
mentang-mentang anak Presiden dua periode, lalu langsung mau maju di
Pilkada Jakarta. Gibran mau menjalani prosesnya. Benar-benar dari awal,
dari tingkat kota.
Bandingkan
dengan AHY. Kalah di Pilkada Jakarta pada putaran pertama, malah
sekarang dipilih menjadi ketua umum partai. Orang kalah kok disuruh jadi
ketum?
Saya
yakin, sebagian besar kader Demokrat pasti sedang menatap kosong
melihat kegigihan Gibran. Sebaliknya, malu melihat kondisi partainya
yang dipimpin oleh AHY, tanpa pengalaman politik dan tanpa jenjang
karir. Tiba-tiba mundur dari TNI, tiba-tiba jadi Calon Gubernur di
Pilkada DKI, setelah kalah kok tiba-tiba jadi ketum. Lebih ajaib dari
kerang ajaib spongebob.
Di mata Demokrat, Gibran menang atau kalah, dia sudah memberikan
pelajaran yang menyakitkan. Tentang proses dan kemauan untuk memulai
dari bawah. Dua sikap yang tak dimiliki oleh ketum Demokrat saat ini.
Selain
itu, saya masih ingat betul bagaimana orang-orang Demokrat begitu
membanggakan SBY. Presiden dua periode hasil pemilu era demokrasi.
Sambil berpikir pencapaian itu akan sulit diulangi oleh siapapun.
Tapi
kini, Jokowi dari sipil dan dulu diyakini hanya akan bertahan setahun,
malah terpilih dua periode. Euforia kebanggan pada SBY sudah luntur.
Klaim SBY yang mengatakan rakyat masih menginginkan dirinya maju lagi di
Pilpres, dijawab dengan telak dengan kekalahan AHY di Jakarta, bahkan
di putaran pertama. Telak dan jauh sekali.
Sementara
Jokowi masih belum. Gibran baru akan berlaga. Jika menang di Solo, itu
akan jadi penanda betapa warga sangat mengidolakan Jokowi. Sehingga
percaya dan memilih anaknya sebagai pemimpin. Tapi jikapun kalah, Gibran
sudah bersedia menjalani prosesnya dari bawah. Dan sekali lagi, itu
tidak pernah bisa dilakukan oleh AHY.
Gibran
sedang menjalani kenyataan. Kalau menang dia akan melanjutkan karirnya,
naik ke Gubernur dan mungkin Presiden. Tapi kalau kalah, mungkin akan
kembali fokus pada bisnisnya atau mencoba lagi di Pilkada selanjutnya.
Sementara
AHY sedang menempuh jalan ninja. Kalah di Pilkada DKI, kini jadi ketua
umum partai Demokrat. Selanjutnya bermimpi jadi Capres atau Wapres. Agak
tak masuk akal memang. Kalah di Pilkada Jakarta kok berharap menang di
Pilpres? hahaha
Walau
bagaimanapun, AHY tetaplah ketum partai. Di tangannya, dia bisa
merekomendasikan dirinya sendiri sebagai Calon Presiden 2024 mendatang.
Tak ada urusan dengan logika dan hitung-hitungan, sebab Demokrat punya
hitungannya sendiri.Kenapa Langkah Gibran Dianggap Bermasalah?
Mestinya tidak
ada yang aneh jika seorang bapak ingin anaknya sesukses dirinya. Jadi,
kenapa masuknya Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution ke politik bikin
orang tidak suka?
Gibran positif maju sebagai calon wali kota Surakarta. Hampir semua partai mendukungnya, selain PKS. Sejengkal lagi putra sulung Presiden Jokowi ini bakal menjadi wali kota Solo karena besar kemungkinan dia hanya akan berhadapan dengan kotak kosong. Akhirnya, Gibran mengikuti jejak sang Bapak. Memulai karier politik di Surakarta, menjabat sebagai wali kota.
Bayangkan jika Anda seorang Bapak. Pada posisi tertentu di hidup Anda, maka yang Anda harapkan, walaupun dengan diam-diam, adalah anak Anda bakal punya posisi yang lebih baik dari diri Anda. Tapi bagaimana jika Anda menjadi orang tertinggi di satu bidang? Mungkin harapan Anda sedikit digeser, setidaknya mencapai apa yang telah Anda capai. Dari logika sederhana seperti itu saja, kita bisa mengerti kenapa seorang pengusaha sukses menginginkan anaknya menjadi pengusaha yang tak kalah sukses; seorang profesor ingin anaknya menjadi profesor juga; seorang pengacara kondang ingin anaknya menjadi pengacara tak kalah kondang; dan mungkin berawal dari logika ini pula, timbul istilah dinasti politik.
Dinasti politik tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara bertebaran model seperti ini, bahkan di negara yang konon dianggap sebagai moyangnya demokrasi: Amerika Serikat. Di Indonesia, kita juga mengenal dinasti Sukarno, yang sekarang ini sudah sampai pada generasi ketiga: Puan Maharani. Soeharto juga sebetulnya menginginkan jejak yang sama, kita pasti ingat betul bagaimana Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dipersiapkan Soeharto untuk menjadi politikus, termasuk sang menantu saat itu, yaitu Prabowo Subianto. SBY pada akhirnya juga memberikan tampuk kepemimpinan Partai Demokrat kepada Agus Harimurti Yudhoyono, setelah sebelumnya sang adik, Ibas Yudhoyono, berkecimpung dulu dalam dunia politik mendahului sang kakak. Kita juga tahu bahwa Almarhum Gus Dur punya anak yang sebetulnya berbakat dan digadang-gadang dapat meneruskan jejak langkah sang bapak dalam bidang politik, yakni Yenny Wahid.
Maka sebetulnya, tidak ada yang aneh sejauh ini kenapa Jokowi misalnya, menginginkan anak dan menantunya menjadi politikus. Lalu di mana letak kejanggalan, ketika Gibran Rakabuming (32 tahun) dan Bobby Nasution (29 tahun) mesti mengikuti jejak politik Presiden Jokowi? Kenapa publik mesti ramai memperbincangkannya? Kenapa ini sampai menambah daftar kekecewaan publik kepada Presiden Jokowi?
Hemat saya, itu dimulai dari hal sederhana. Terpilihnya Presiden Jokowi punya semacam modal emosional bahwa dia bagian dari rakyat jelata, orang biasa saja sebagaimana 98 persen orang di seluruh Indonesia. Sentimen memilih pimpinan yang bukan dari kalangan elite politik ini mampu diartikulasikan dalam berbagai citra yang kelak dilengketkan pada Presiden Jokowi: bajunya, sepatunya, roman mukanya, caranya berbicara, hobinya, dll. Jadilah dia presiden pilihan rakyat, dalam satu babak politik yang monumental di tahun 2014. Tahun 2019, tentu sebetulnya situasi emosi kolektif sudah berbeda. Presiden Jokowi terpilih lagi karena murni kemenangan elektoral, bukan kemenangan psikologis. Calon hanya ada dua. Musuhnya masih sama. Dan dia petahana, Itu yang menyebabkan tidak ada gairah luar biasa dari masyarakat dalam mengelu-elukan kemenangan kedua tersebut.
Dalam kurun kemenangan Presiden Jokowi yang pertama itulah, mau tidak mau sosok Gibran muncul. Orangnya terkesan cuek dengan politik dan berkali-kali menyatakan ke publik bahwa dia tidak mau terjun ke dunia politik. Pada titik inilah, deposito politik Presiden Jokowi bertambah, sebab dia tidak sedang mempersiapkan seorang putra mahkota. Jokowi menjadi pembeda dibanding presiden-presiden pendahulunya. Dia bukan dari kalangan darah biru elite politik dan tidak mau membuat dinasti politik.
Maka, jika ada suara kekecewaan dari arus bawah mengenai majunya Gibran sebagai calon wali kota Solo, jejak kekecewaan itu sebetulnya bisa ditarik dari sana. Jadi, ini problemnya bukan salah atau benar, melainkan kenapa bisa terjadi majunya Gibran dianggap sebagai masalah bagi sebagian publik. Sebab antara harapan dengan kenyataan, tidak jumbuh. Pada akhirnya, alat operasi emosi yang bisa diberikan untuk menerima kenyataan itu adalah pemakluman. Terlebih, dalam proses menjadi calon wali kota, ada proses yang berbau drama. Misalnya dengan tersingkirnya calon wali kota pilihan DPC PDIP Surakarta, Achmad Purnomo. Dan Achmad Purnomo pada pernyataannya termutakhir, saat dia dipanggil oleh Presiden Jokowi, menyatakan ke publik bahwa bagaimanapun Gibran anak presiden.
Tentu setiap generasi kedua selalu mendapatkan “rival” sejati dari generasi pertama. Mau tidak mau Megawati selalu dibandingkan dengan Sukarno. AHY selalu dibandingkan dengan SBY. Gibran, pastilah kelak akan dibandingkan dengan Jokowi. Publik bisa saja membayangkan kelak Gibran setelah menjadi wali kota Solo akan menjadi gubernur DKI atau gubernur Jawa Tengah, lalu menjadi wakil presiden, lalu menjadi presiden. Bayangan apa pun bisa dilekatkan kepada Gibran.
Namun, persoalannya bukan di sana. Persoalan terbesar Gibran adalah bagaimana kelak anak muda yang dianggap belum punya pengalaman politik dan pemerintahan ini bakal sanggup memimpin Kota Surakarta. Untuk tahu kesanggupan dan kemampuan Gibran memimpin, tentu saja butuh waktu. Yang jelas tidak butuh waktu adalah maju dan direkomendasikannya Gibran sebagai calon wali kota Surakarta karena dia adalah anak dari seorang presiden. Itu jelas sekali. Sejelas kenapa AHY dulu bisa mendapat tiket bertarung di pilkada DKI, tentu karena dia anak SBY.
Lalu apa pelajaran penting bagi publik? Manusia berubah, kekuasaan itu menggiurkan. Sayangnya, setiap kali kita mau memilih apa pun, dua hal itu selalu kita lupakan. Memang sih, manusia itu tempat salah dan lupa. Dan yang paling sering kita lupakan adalah seolah setiap perubahan penting bakal terjadi hanya karena ada pilihan presiden sampai wali kota. Bukan perubahan karena ikhtiar bersama dalam menggeser relasi dan bobot kuasa.
Sumber Utama : https://mojok.co/pea/komen/kepsuk/kenapa-langkah-gibran-dianggap-bermasalah/
Gibran positif maju sebagai calon wali kota Surakarta. Hampir semua partai mendukungnya, selain PKS. Sejengkal lagi putra sulung Presiden Jokowi ini bakal menjadi wali kota Solo karena besar kemungkinan dia hanya akan berhadapan dengan kotak kosong. Akhirnya, Gibran mengikuti jejak sang Bapak. Memulai karier politik di Surakarta, menjabat sebagai wali kota.
Bayangkan jika Anda seorang Bapak. Pada posisi tertentu di hidup Anda, maka yang Anda harapkan, walaupun dengan diam-diam, adalah anak Anda bakal punya posisi yang lebih baik dari diri Anda. Tapi bagaimana jika Anda menjadi orang tertinggi di satu bidang? Mungkin harapan Anda sedikit digeser, setidaknya mencapai apa yang telah Anda capai. Dari logika sederhana seperti itu saja, kita bisa mengerti kenapa seorang pengusaha sukses menginginkan anaknya menjadi pengusaha yang tak kalah sukses; seorang profesor ingin anaknya menjadi profesor juga; seorang pengacara kondang ingin anaknya menjadi pengacara tak kalah kondang; dan mungkin berawal dari logika ini pula, timbul istilah dinasti politik.
Dinasti politik tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara bertebaran model seperti ini, bahkan di negara yang konon dianggap sebagai moyangnya demokrasi: Amerika Serikat. Di Indonesia, kita juga mengenal dinasti Sukarno, yang sekarang ini sudah sampai pada generasi ketiga: Puan Maharani. Soeharto juga sebetulnya menginginkan jejak yang sama, kita pasti ingat betul bagaimana Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dipersiapkan Soeharto untuk menjadi politikus, termasuk sang menantu saat itu, yaitu Prabowo Subianto. SBY pada akhirnya juga memberikan tampuk kepemimpinan Partai Demokrat kepada Agus Harimurti Yudhoyono, setelah sebelumnya sang adik, Ibas Yudhoyono, berkecimpung dulu dalam dunia politik mendahului sang kakak. Kita juga tahu bahwa Almarhum Gus Dur punya anak yang sebetulnya berbakat dan digadang-gadang dapat meneruskan jejak langkah sang bapak dalam bidang politik, yakni Yenny Wahid.
Maka sebetulnya, tidak ada yang aneh sejauh ini kenapa Jokowi misalnya, menginginkan anak dan menantunya menjadi politikus. Lalu di mana letak kejanggalan, ketika Gibran Rakabuming (32 tahun) dan Bobby Nasution (29 tahun) mesti mengikuti jejak politik Presiden Jokowi? Kenapa publik mesti ramai memperbincangkannya? Kenapa ini sampai menambah daftar kekecewaan publik kepada Presiden Jokowi?
Hemat saya, itu dimulai dari hal sederhana. Terpilihnya Presiden Jokowi punya semacam modal emosional bahwa dia bagian dari rakyat jelata, orang biasa saja sebagaimana 98 persen orang di seluruh Indonesia. Sentimen memilih pimpinan yang bukan dari kalangan elite politik ini mampu diartikulasikan dalam berbagai citra yang kelak dilengketkan pada Presiden Jokowi: bajunya, sepatunya, roman mukanya, caranya berbicara, hobinya, dll. Jadilah dia presiden pilihan rakyat, dalam satu babak politik yang monumental di tahun 2014. Tahun 2019, tentu sebetulnya situasi emosi kolektif sudah berbeda. Presiden Jokowi terpilih lagi karena murni kemenangan elektoral, bukan kemenangan psikologis. Calon hanya ada dua. Musuhnya masih sama. Dan dia petahana, Itu yang menyebabkan tidak ada gairah luar biasa dari masyarakat dalam mengelu-elukan kemenangan kedua tersebut.
Dalam kurun kemenangan Presiden Jokowi yang pertama itulah, mau tidak mau sosok Gibran muncul. Orangnya terkesan cuek dengan politik dan berkali-kali menyatakan ke publik bahwa dia tidak mau terjun ke dunia politik. Pada titik inilah, deposito politik Presiden Jokowi bertambah, sebab dia tidak sedang mempersiapkan seorang putra mahkota. Jokowi menjadi pembeda dibanding presiden-presiden pendahulunya. Dia bukan dari kalangan darah biru elite politik dan tidak mau membuat dinasti politik.
Maka, jika ada suara kekecewaan dari arus bawah mengenai majunya Gibran sebagai calon wali kota Solo, jejak kekecewaan itu sebetulnya bisa ditarik dari sana. Jadi, ini problemnya bukan salah atau benar, melainkan kenapa bisa terjadi majunya Gibran dianggap sebagai masalah bagi sebagian publik. Sebab antara harapan dengan kenyataan, tidak jumbuh. Pada akhirnya, alat operasi emosi yang bisa diberikan untuk menerima kenyataan itu adalah pemakluman. Terlebih, dalam proses menjadi calon wali kota, ada proses yang berbau drama. Misalnya dengan tersingkirnya calon wali kota pilihan DPC PDIP Surakarta, Achmad Purnomo. Dan Achmad Purnomo pada pernyataannya termutakhir, saat dia dipanggil oleh Presiden Jokowi, menyatakan ke publik bahwa bagaimanapun Gibran anak presiden.
Tentu setiap generasi kedua selalu mendapatkan “rival” sejati dari generasi pertama. Mau tidak mau Megawati selalu dibandingkan dengan Sukarno. AHY selalu dibandingkan dengan SBY. Gibran, pastilah kelak akan dibandingkan dengan Jokowi. Publik bisa saja membayangkan kelak Gibran setelah menjadi wali kota Solo akan menjadi gubernur DKI atau gubernur Jawa Tengah, lalu menjadi wakil presiden, lalu menjadi presiden. Bayangan apa pun bisa dilekatkan kepada Gibran.
Namun, persoalannya bukan di sana. Persoalan terbesar Gibran adalah bagaimana kelak anak muda yang dianggap belum punya pengalaman politik dan pemerintahan ini bakal sanggup memimpin Kota Surakarta. Untuk tahu kesanggupan dan kemampuan Gibran memimpin, tentu saja butuh waktu. Yang jelas tidak butuh waktu adalah maju dan direkomendasikannya Gibran sebagai calon wali kota Surakarta karena dia adalah anak dari seorang presiden. Itu jelas sekali. Sejelas kenapa AHY dulu bisa mendapat tiket bertarung di pilkada DKI, tentu karena dia anak SBY.
Lalu apa pelajaran penting bagi publik? Manusia berubah, kekuasaan itu menggiurkan. Sayangnya, setiap kali kita mau memilih apa pun, dua hal itu selalu kita lupakan. Memang sih, manusia itu tempat salah dan lupa. Dan yang paling sering kita lupakan adalah seolah setiap perubahan penting bakal terjadi hanya karena ada pilihan presiden sampai wali kota. Bukan perubahan karena ikhtiar bersama dalam menggeser relasi dan bobot kuasa.
Sumber Utama : https://mojok.co/pea/komen/kepsuk/kenapa-langkah-gibran-dianggap-bermasalah/
Waspada! Amien Rais Terapkan Gaya Politik Terzalimi Ala SBY untuk Memajukan PAN Reformasi
Politik
tentu tidak lepas dari yang namanya kekuasaan. Sedangkan kekuasaan itu
ada banyak macamnya. Seperti presiden, menteri, gubernur,
bupati/walikota, kepala desa, dll.
Termasuk juga menjadi ketua umum partai juga merupakan bagian dari kekuasaan itu sendiri.
Untuk mendapatkan kekuasaan pun ada banyak metodenya.
Misal, ada yang dikenal dengan istilah money politik.
Yakni memberikan sejumlah uang kepada calon pemilih agar mau memberikan
suaranya. Sehingga si pemberi uang tersebut bisa menduduki jabatan
politik tertentu, seperti anggota legeslatif, bupati dan gubernur.
Kemudian, ada juga cara untuk mendapatkan kekuasaan yang bisa dibilang tidak sehat, yakni dengan menerapkan politik terzalimi.
Beberapa politisi pernah ketahuan menerapkan cara berpolitik ini. Seperti yang paling terkenal dilakukan oleh SBY.
Si SBY ini bisa dibilang terpilih jadi presiden karena memakai gaya politik terzalimi lho.
Bayangkan
saja, sebelum Pilpres 2004 digelar, ia hanya seorang menteri Megawati.
Tidak punya partai. Serta prestasinya saat menjadi pembantu presiden
juga biasa-biasa saja.
Tapi
berkat kepiawaiannnya memainkan drama seoalah-olah ia telah dizalimi
oleh Megawati saat itu, si SBY yang awalnya kurang terkenal ini, mampu
meraih simpati masyarakat.
Dan kemudian dia terpilih jadi presiden.
Awalnya
Mega bertanya dengan baik-baik kepada SBY, "apakah dia mau
mencalonkan diri sebagai presiden di Pilpres 2004 atau tidak?"
Karena sebelumnya, memasuki tahun 2004, wajah si ESBEYE ini kerap muncul di layar kaca terkait sosialisasi Pemilu 2004.
Tapi
lantaran acara itu terhendus sebagai kampanye terselubung, yakni ESBEYE
memanfaatkan jabatannya untuk bisa dikenal oleh masyarakat luas, acara
itu pun distop oleh KPU.
Mega pun menggunakan taktik untuk mengetahui belang menterinya tersebut, yakni dengan mengucilkannya.
Saat rapat kabinet SBY tidak diundang.
Dan, pancingan itu pun berhasil membongkar siapa SBY yang sebenarnya.
Yakni,
pasca ia mengundurkan diri dari kursi menteri, dua hari kemudian do'i
langsung berkampanye untuk Partai Demokrat di Banyuwangi, Jawa Timur.
Logikanya, SBY berkampanye itu tentu tidak digoreng dadakan. Pasti sudah dipersiapkan jauh hari.
Sehingga
jadi ketahuan, saat ia masih menjabat sebagai menteri Megawati, si
purnawirawan TNI itu sebenarnya sudah mempersiapkan diri untuk menantang
Mak Banteng tersebut.
Jadi,
persoalan di sini bukan karena Mega takut tersaingi oleh SBY. Tapi
lebih kepada bapak AHY itu yang tidak mau jujur dan berterus terang.
Coba kalau do'i jujur dengan mengatakan mau melawan Megawati di Pilpres, tentu tidak akan jadi masalah.
Palingan do'i hanya diminta untuk mundur dari kursi menteri. Selesai urusan.
Ironisnya,
SBY pun bermain cantik dengan memanfaatkan kekecewaan Mega terhadap
dirinya tersebut. Ia yang tidak jujur, ia pula yang memposisikan diri
sebagai orang yang terzalimi.
Yang mana hal itu tujuannya tidak lain tidak bukan untuk menarik simpati masyarakat.
Hebatnya
lagi, kubu Mega tidak sadar kalau sedang dimasukkan ke perangkap tikus
oleh SBY kala itu. Hal ini tercermin dari penyataan-pernyataan mereka
yang cenderung menyerang mantan Ketua Umum Partai Demokrat tersebut.
Dan SBY pun berhasil mengelabuhi masyarakat serta media.
Hingga
saat masa kampanye tiba, ia selalu mendapat sambutan yang hangat dan
meriah dari masyarakat yang telah menganggapnya sebagai pahlawan baru
yang baru saja dizalimi oleh penguasa otoriter yang bernama Megawati
itu.
-o0o-
Tidak hanya sekali itu saja lho SBY memainkan politik terzalimi ini, tapi berkali-kali.
Tentu
kita masih ingat pada 2018 lalu, saat bendera dan baliho Partai
Demokrat dirobek oleh orang tidak dikenal di Riau. SBY pun langsung
tampil di hadapan publik sebagai korban kala itu, dengan mengatakan aksi
perusakan itu telah benar-benar menyayat hatinya.
"Menyayat
hati, ini ulah pihak-pihak tertentu, atau saudara-saudara kami
masyarakat Riau sudah berubah?" ujar SBY kala itu, (15/12/2018).
Tapi
sepertinya, politik terzalimi ala SBY menjelang Pemilu 2019 itu tidak
berhasil. Buktinya, perolehan suara Partai Demokrat malah merosot. Dari
yang awalnya berada di peringkat ke-4, menjadi posisi ke-7 pada Pemilu
2019.
-o0o-
Nah, gaya politik terzalimi ini, baru-baru ini juga mau dimainkan oleh Amien Rais lho.
Tidak
ada angin tidak ada hujan dan tidak ada badai tidak ada petir,
tiba-tiba Amien mengatakan kalau dirinya telah dipecat dari PAN.
Alasan
pemecatan itu pun cukup menggelikan keluar dari mulut Amien Rais, yakni
karena dia tidak setuju PAN bergabung dengan koalisi pengusung
pemerintah.
"Saya
sudah tidak di PAN lagi. Saya sudah dikeluarkan sama anak buah saya
karena saya tidak setuju dengan rezim yang sudah tidak ketulungan itu.
Sementara, mereka tetap yakin bahwa bergabung rezim Jokowi akan dapat
logistik, akan dapat segala macam," ujar Amien dengan nada sedih.
Tapi pertanyaannya, apakah pernyataan yang disampaikan oleh Sengkuni itu benar adanya dan bisa dipercaya?
Bukankah
dia dulu pernah nazar jalan kaki dari Jogja ke Jakarta jika Jokowi
terpilih jadi presiden di Pilpres 2014 lalu? Dan nazarnya itu belum
ditepati.
Karena logikanya, gak mungkinlah Zulkifli Hasan mau memecat Amien Rais.
Besannya sendiri kok. Dan Mbah Mien jauh lebih senior di PAN dibandingkan dia.
Lagian
pula, beberapa elit PAN seperti Yandri Susanto, Viva Yoga Mauladi dan
Eddy Soeparno sudah membantan pernyataan Amein Rais tersebut kalau dia
dipecat dari PAN
"Jangankan
mengeluarkan (memecat Amien Rais), berpikir ke sana saja sudah tidak
berani", ujar Eddy yang juga menjabat sebagai Sekjen PAN itu.
Jadi
sebenarnya, tidak ada cerita kalau Amien Rais itu dipecat dari PAN.
Dia saja yang mengaku-ngaku seolah-olah seperti kakek tua yang
terzalimi.
Pertanyaannya, apa tujuan Amien Rais memposisikan diri sebagai orang yang terzalimi tersebut?
Tentu tidak lain tidak bukan, tidak jauh dari urusan yang namanya politik dan kekuasaan.
Karena
sebagaimana kita ketahui bahwa si Amien Rais ini sebenarnya berniat
mendirikan partai baru. Dan partai yang digagasnya itu pun bahkan sudah
ada nama, yakni PAN Reformasi.
Dan
untuk menari simpati publik, khsusunya kader PAN agar mau
berbondong-bondong pindah ke partai barunya itu, dibuatlah skenario
seolah-olah ia telah dizalimi oleh Ketua Umum PAN saat ini, Zulkifli
Hasan.
Politik memang kejam ferguso!
Bahkan sesama besan pun saling sikut demi kekuasaan.
Sumber :
Image : seriau.com
Viral, Cuitan Tifatul Sembiring (Mantan) Presiden PKS Yang Mendadak Hilang!
Apa yang terlintas di pikiran Anda ketika mendengar nama Tifatul Sembiring?
Menteri yang ketahuan follow akun porno?
Penyebar hoax tentang Palestina?
Penyebar hoax tentang Aleppo (Suriah)?
Penyebar hoax tentang Rohingnya?
Penyebar hoax tentang Banser (NU)?
Mantan Menkominfo yang malah bertanya internet cepat buat apa?
Jawabannya semua benar!
Tifatul Sembiring dan Akun Porno
Tifatul Sembiring yang merupakan mantan Presiden PKS, yang katanya partai Islam, yang katanya partai dakwah ini pernah ketahuan follow (mengikuti) akun porno! Sumber
Lalu Tifatul Sembiring “ngeles” dengan mengatakan bahwa dia tidak sengaja mengikuti follow akun porno tersebut?
Ada yang percaya jika Tifatul Sembiring tidak sengaja follow akun porno tersebut?
Apakah
seorang Tifatul Sembiring yang saat itu menjabat sebagai Menkominfo
tidak bisa membedakan mana akun biasa dan mana akun porno???
Tifatul Sembiring Penyebar Hoax
Tifatul
Sembiring ini sudah beberapa kali terbukti menyebar berita hoax di
Indonesia tanpa merasa malu. Berikut ini adalah salah satu contoh berita
hoax tentang Palestina yang disebarkan oleh Tifatul Sembiring:
Tifatul Sembiring juga pernah menyebarkan berita hoax tentang Aleppo (Suriah): Sumber
Tifatul Sembiring juga pernah ketahuan menyebar berita hoax tentang Muslim Rohingnya seperti terlihat berikut ini:
Setelah menyebarkan hoax, lalu Tifatul Sembiring hanya minta maaf???
Kita juga masih ingat bagaimana “kejinya” Tifatul Sembiring ini menyebarkan berita hoax tentang Banser (NU)!
Dan
setelah cuitannya untuk menjelekkan Banser (NU) viral, Tifatul
Sembiring tanpa malu atau memang sudah tidak tahu malu lagi, hanya
menghapus cuitannya tanpa minta maaf kepada Banser yang merupakan bagian
dari NU yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia!
Jadi
tidak heran jika orang-orang PKS ini “menyerang” Banser (NU) karena
salah seorang petinggi NU pernah mengatakan jika PKS ini adalah “mainan”
Amerika dan pihak NU juga sudah pernah meminta warga NU untuk
berhati-hati kepada maneuver politik PKS seperti yang dimuat dalam situs
resmi NU.
Dan
rakyat Indonesia juga tidak akan pernah lupa jika ada seorang
Menkominfo yang bernama Tifatul Sembiring malah bertanya, internet cepat
buat apa?
Sudah kelihatan “kualitas” Tifatul Sembiring…
Dan
beberapa hari yang lalu, Tifatul Sembiring ini juga ikutan komentar
terkait kasus klepon yang dikatakan sebagai jajanan tidak Islami. Dengan
gampangnya, Tifatul Sembiring menyalahkan PKI?
Penulis
langsung ngakak melihat ocehan Tifatul Sembiring tersebut. Tifatul
Sembiring sok omong PKI (komunis), tetapi anaknya sendiri yang bernama
Fathan Asaduddin Sembiring malah kuliah di China! Wkwkwkwk
Tifatul Sembiring dan orang-orang PKS jangan sok teriak PKI, Komunis karena faktanya PKS akrab dengan Partai Komunis China!
Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) sendiri lho yang mengakui jika **PKS
berhubungan baik dengan Partai Komunis China (PKC). Bahkan PKS juga
pernah mengikuti agenda lain PKC di China dan sebaliknya. Sumber
Sok
teriak PKI, sok komunis tapi PKS akrab dengan Partai Komunis China
(PKC), bahkan anak Tifatul Sembiring yang bernama Fathan Asaduddin
Sembiring malah kuliah di China atas beasiswa pemerintah China!
Dan tadi penulis tidak sengaja melihat screen shot cuitan Tifatul Sembiring yang sudah viral di media sosial seperti yang terlihat berikut ini:
Dalam cuitan di atas terlihat seseorang pemilik akun Sastroutomo @sastropwr mengatakan:
“Ente ngomong klepan klepon kek gitu tapi masih jualan komunis, ama aja lu ngaku alim tapi suka buka situs bokep.”
Lalu dibalas oleh Tifatul Sembiring dengan mengatakan:
“Bapakmu itu yg suka bokep, ngerti njing”.
Balasan
tersebut ditulis oleh Tifatul Sembiring yang akun twitternya sudah
diverikasi (warna biru) pada tanggal 22 Juli 2020 ja, 15.59 dari iPad.
Wah sungguh sangat santun ya bahasa Tifartul Sembiring…
Inikah bahasa Tifatul Sembiring yang pernah menjadi Presiden PKS?
Inikah bahasa orang PKS yang katanya partai Islam? Partai dakwah?
Ngerti Njing itu bahasa dakwah ya Tifatul Sembiring?
Dan
lucunya, cuitan Tifatul Sembiring tersebut sudah tidak bisa ditemukan
lagi, tetapi jejak digitalnya masih disimpan oeh pemilik akun
Sastroutomo yang bisa dilihat di https://twitter.com/sastropwr/status/1285849455049060353
Logika sederhana…
Bahasanya mantan Presiden PKS yang katanya partai Islam (dakwah) saja seperti itu, apalagi simpatisan dan kader PKS lainnya?
Setelah
cuitan "caci maki" Tifatul Sembiring viral, lalu hilang, akankah
Tifatul Sembiring akan ngeles mengatakan dia tidak sengaja menuliskan
cuitan tersebut seperti dia ngeles setelah ketahuan follow akun porno?
Atau dia mungkin akan mengatakan akunnya di hack? Wkwkwkw
Yang
jelas penulis sudah lama diblokir oleh Tifatul Sembiring setelah
penulis mengangkat jejak digital anaknya yang kuliah di China beberapa
tahun lalu.
Jadi...
Masih percaya PKS partai Islam?
Masih percaya PKS Partai dakwah?
Wassalam,
Nafys
Viral! ASN Asal Mojokerto Penjual Onde-Onde Mencaci Pemerintah!
Seorang
ASN yang sejatinya mendukung pemerintah malah memberi contoh buruk
dengan mengolok pemerintah. Bukannya ia digaji negara untuk membantu
pekerjaan pemerintah? Sejelek-jeleknya kinerja pemerintah, masih banyak
cara untuk mengkritik secara bijak tanpa menyerang secara personal.
Tapi, begitulah kenyataannya meski sering terdengar ASN yang diberi
sanksi karena berulah, kembali lagi ASN lain bikin ulah lagi.
Hal ini berawal dari salah satu unggahan netizen di twitter yang menyebut akunnya.
"Kok tweet yg ini di hapus bu @WidaCookies , anda PNS tapi mulut kayak vag1na ... | cc. @tjahjo_kumolo" tulis @dhyansabilla_
Tak
sampai disitu, warganet lain yang sempat melakukan screenshot sebelum
akunnya dinonaktifkan kembali mengunggah cuitan sang ASN.
Ternyata dari salah satu cuitannya didapat pekerjaan sampingan sang ASN adalah jualan onde-onde.
Dari sana, warganet yang gercep langsung mencari toko online hingga diperoleh alamat tokonya.
Inilah
kejamnya media sosial, gara-gara umpatan kasar seorang ASN, kini ia
mulai dicari banyak orang. Meski akunnya dinonaktifkan, netizen sudah
mengantongi alamat toko hingga mencocokkan dengan google map. Kalau
sudah begini, akan ada kisah termehek-mehek merasa diteror dan
sebagainya. Padahal ia sendiri yang memulai keresahan di tengah
masyarakat melalui cuitannya.
Para
ASN itu kemungkinan berdalih ingin menyuarakan kebebasan pendapat, tapi
lupa statusnya sebagai ASN yang dilarang mencaci maki atasannya. Hal
ini juga dijelaskan oleh ahli hukum menganai status ASN beserta
konsekuensinya.
"Dengan
status kepegawaian yang melekat, setiap pegawai ASN, baik Pegawai
Negeri Sipil maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)
terikat dengan perjanjian antara pemerintah dan pegawai ASN yang
disebut contract sui generis yang di dalamnya terkandung hubungan dinas
publik (openbare diensbetrekking)," kata ahli hukum kepegawaian, Dr Tedi
Sudrajat, saat berbincang dengan detikcom, Rabu (23/10/2019).
Artinya,
pola hubungan ini menciptakan kedudukan yang subordinatif antara
pemerintah dan pegawai ASN. Di mana pegawai ASN harus tunduk taat pada
setiap pengaturan yang dibuat oleh pemerintah selaku atasannya.
"Implikasi dari hubungan ini menciptakan pembatasan hak asasi bagi setiap pegawai ASN," cetus Tedi.
Menurut
Tedi, kebebasan yang dibatasi di medsos bagi ASN bisa dilihat lewat 6
rambu-rambu. Pertama, menyampaikan pendapat yang bermuatan ujaran
kebencian terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah. Kedua, menyampaikan
pendapat lewat media sosial yang mengandung ujaran kebencian terhadap
salah satu suku, agama, ras, dan antargolongan.
"Menyebarluaskan
pendapat yang bermuatan ujaran kebencian di atas melalui media sosial,
seperti share, broadcast, upload, retweet, repost Instagram dan
sejenisnya," kata Tedi menegaskan.
Keempat,
mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut,
memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika,
NKRI, dan pemerintah. Kelima, mengikuti atau menghadiri kegiatan yang
mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, dan memprovokasi, serta
membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan
pemerintah.
"Menanggapi
atau mendukung sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana pada poin di
atas dengan memberikan likes, dislike, love, retweet, atau comment di
media sosial," cetus Tedi.
Lalu apa hukuman ke ASN yang melanggar rambu-rambu di atas?
"Dapat
dilakukan penjatuhan hukuman disiplin terhadap pegawai ASN oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian (PPK) di masing-masing instansi. Hukuman disiplin
ini diberikan dengan mempertimbangkan latar belakang dan dampak
perbuatan yang dilakukan ASN tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor
53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, hukuman disiplin
terdiri atas hukuman disiplin ringan, hukuman disiplin sedang, dan
hukuman disiplin berat," jelas tenaga ahli Komite 4 DPD itu.
Semoga
artikel ini dibaca para ASN yang hobi nyinyir. Jangan sampai ketika
sudah mendapat sanksi berupa pemecatan baru sadar akan kesalahannya.
Kita mengkasihani status mereka sebagai ASN sekaligus ibu rumah tangga.
Apalagi memiliki pekerjaan sampingan yang halal. Jangan sampai kebencian
dan kebodohannya mengubur masa depan keluarganya.
Apalagi
kalau sampai viral seperti kasus ASN Mojokerto di atas. Dia tak tahu
kalau cuitannya sampai ditanggapi komunitas di Jakarta. Kalau nanti dia
sampai dipecat atasan, bisa dibayangkan bagaimana sakit hatinya
bertambah pada pemerintah. Padahal ia sendiri yang tidak bersyukur atas
pekerjaannya selama ini.
Bandingkan
dengan pekerjaan sebagai buruh apalagi honorer di mana tak memiliki
gaji dan tunjangan sebanyak ASN. Dirinya yang seharusnya duduk manis
bekerja sambil terima gaji tiap bulan, kini harus merelakan nikmatnya
pekerjaan lantaran kebodohan dirinya. Semoga tidak ada ASN ceroboh yang
meniru langkahnya di masa mendatang. Media sosial milik semua orang,
baik yang kontra maupun pro pemerintah. Lebih baik hati-hati dengan jari
jemari sebelum akhirnya sakit hati.
Begitulah kura-kura
Referensi:
Rini Soemarno, Saksi Kunci Kasus Jiwasraya?
Rini
Soemarno sebagai pelapor adanya dugaan fraud di Jiwasraya harusnya bisa
dihadirkan sebagai saksi kunci. Pengadilan harus mendalami motif Rini
yang melapor 3 hari sebelum jelang pelantikan Jokowi di periode kedua.
Apalagi Rini tampil bak pahlawan dengan menyebut nama penyebab kerugian
Jiwasraya, yakni Benny Tjokro dan Heru Hidayat. Padahal faktanya ada
puluhan perampok Jiwasraya lain yang mungkin nilainya jauh lebih
fantastis.
Ada
rumor yang beredar kalau pelaporan Rini jelang pelantikan presiden agar
dirinya kembali dipakai sebagai menteri di kabinet periode kedua.
Memang pemilihan menteri saat itu sangat tidak terduga dan hanya Jokowi
sendiri yang tahu. Karena ketidakbecusannya dalam mengurus BUMN, Rini
mau menunjukkan seolah-olah dirinya berhasil menemukan penjahat
Jiwaraya. Tapi, sayang Jokowi tak sedikitpun melirik Rini apalagi
memakainya kembali.
Akibat
laporan Rini, Jiwasraya yang sekarat akibat pengumuman gagal bayar oleh
Hexana semakin hancur namanya karena tersangkut kasus hukum. Harusnya
Rini juga bisa dihadirkan sebagai saksi kunci. Karena kenyataannya
Jiwasraya tidak hanya dirugikan oleh Bentjok dan Heru Hidayat saja. Ada
banyak puluhan nama lain yang terseret skandal Jiwasraya. Mulai dari
direksi lama, puluhan manajer investasi, pejabat OJK, hingga nama
politisi ternama seperti Abu Rizal Bakrie, Dato Sri Tahrir hingga Erick
Tohir.
Tahukah
Rini tentang hal ini? Apakah ini yang membuatnya kini bak menghilang di
telan bumi. Padahal Rini orang pertama yang melapor. Apakah ia takut
dirinya digantung Bakrie kalau sampai menampakkan diri? Ini artinya
pertarungan mafia verus mafia. Seperti yang diketahui, kakak Rini alias
Ari Soemarno juga merupakan mafia migas.
Padahal
tanpa gangguan Hexana dan Rini, kita yakin Jiwasraya sampai hari ini
akan jalan terus. Tak akan ada isu kerugian hingga 16.8 triliun. Ini
semua terjadi akibat ulah Hexana. Fakta persidangan mengungkap akibat
pengumuman gagal bayar, semua nasabah menarik polisnya. Pertanggungan
Jiwasraya membengkak dari 802 Milyar menjadi 16.8 triliun. Selain itu
saham-saham yang terafliasi Jiwasraya ikutan ambles hingga 50 persen
lebih.
Saat
ini Hexana sebagai penyebab keruntuhan Jiwasraya masih berstatus saksi.
Kejaksaan masih berkutat pada isu adanya aliran dana maupun dana dari
pengusaha ke direksi Jiwasraya, tapi tak mau menguak awal kejatuhan JS.
Harusnya Hexanalah yang dijadikan terdakewa. Wajahnya yang seperti orang
tertekan saat memberi kesaksian menyiratkan kalau dirinya merasa
bersalah.
Kini
tinggal sang master mind, Rini Soemarno sebagai menteri yang mengangkat
Hexana secara tidak wajar juga harus dihadirkan dalam persidangan. Apa
alasannya memberi kursi Direktur Utama pada Hexana yang saat itu baru 5
bulan menjabat sebagai kepala divisi investasi di JS? Kenapa ia memilih
menempatkan Hexana yang tidak memiliki keahlian asuransi kuat seperti
Hendrisman? Kenapa ia tak menegurnya saat mengumumkan gagal bayar
setelah hanya sebulan menjabat?
Meski
telah bekerja selama 18 tahun di Bank BRI, faktanya Hexana tak memiliki
kemampuan di perusahaan asuransi. Buktinya ia melihat potensi kerugian
akibat penurunan saham serempak di 2018 sebagai suatu fakta. Akibatnya
secara sembrono Hexana mengumumkan gagal bayar. Harusnya saat itulah
Rini tampil melaporkan kerugian Jiwasraya, kenapa harus menunggu setahun
kemudian.
Rini
harus bertanggung jawab karena menempatkan orang yang salah saat
perusahaan dalam kondisi kritis. Ia juga harus tampil sebagai saksi
kunci di persidangan Jiwasraya karena merupakan pelapor. Rini harus bisa
menjelaskan kerugian Jiwasraya karena siapa dan faktor apa?
Belakangan
diketahui kalau manajer investasi sebenarnya tak berperan pada kerugian
di Jiwasraya begitupun saham milik Bentjok dan Heru Hidayat. Langkah
Dirut Hendrisman menerbitkan produk JS Saving plan dengan bunga tinggi
juga merupakan langkah rektrurisasi dalam jangka waktu tertentu. Ini
semua karena Jiwasraya telah merugi di era Bakrie menanamkan reponya
hingga 4 triliuan lebih. Nanti tahun 2026 dikabarkan bunga JS saving
plan kembali ke normal lagi yakni kisaran 6.5 persen dan sebenarnya
tahun 2018 sudah dimulai.
Jadi,
kalau mau menyeret penjahat Jiwasraya sesungguhnya jangan
nanggung-nanggung. Sudah ada puluhan nama termasuk kelas kakap. Tinggal
Hexana dan Rini Soemarno sebagai dalang penyebab keruntuhan JS. Hexana
sudah beberapa kali tertekan dalam persidangan akibat ulahnya sendiri,
kini kita nantikan Rini dipanggil sebagai saksi kuncinya.
Re-post by MigoBerita / Jum'at/24072020/10.22Wita/Bjm