» » » » » AHY atau Gibran, momentum di Solo hingga di Pilpres 2024

AHY atau Gibran, momentum di Solo hingga di Pilpres 2024

Penulis By on Jumat, 24 Juli 2020 | No comments


Migo Berita - Banjarmasin - AHY atau Gibran, momentum di Solo hingga di Pilpres 2024.
Kita tahu bersama AHY adalah anak mantan Presiden RI SBY, sedangkan Gibran adalah anak Presiden RI Jokowidodo.
Kedua-duanya memiliki momentum untuk bisa berlaga di Pilpres 2024, namun hanya waktu yang membuktikan, apakah keduanya bisa membuat Indonesia Lebih Maju.. Semoga

Jika Menang di Solo, Gibran Capres 2024

Majunya Gibran di Pilkada Solo disambut dengan isu politik dinasti. Apalagi, menantu Presiden Jokowi juga maju di Pilkada Medan. Makin kencanglah isu politik dinasti ini.
Sebagian orang mengungkit pernyataan Presiden beberapa tahun lalu. Yang menganggap anaknya, Gibran, belum tertarik masuk ke politik. Sementara menantunya, Boby, memang sudah diprediksi akan masuk politik.
Lalu mereka sekarang bertanya, katanya ngga tertarik politik?
Padahal pernyataan tersebut disampaikan beberapa tahun yang lalu. Artinya apa? saat itu mungkin memang tidak tertarik dan fokus di bisnis. Dan orang bisa berubah. Seperti Prabowo misalnya, yang dulu mendukung Jokowi Ahok di Pilkada Jakarta, kemudian menjadi rival Jokowi di Pilpres dua kali berturut-turut. Aneka narasi negatif pernah disampaikan Prabowo, mulai dari boneka hingga asal santun. Tapi sekarang? Prabowo menjadi menteri, pembantu Jokowi.
Begitu juga dengan Anies Baswedan. Yang dulu begitu gencar menyerang Prabowo, kini menjadi Gubernur Jakarta berkat restu Prabowo.
Hidup ini dinamis. Penilaian, pemikiran dan keputusan kita berubah-ubah. Menyesuaikan. Dan isu yang ada hari ini, akan datang dan pergi, berganti-ganti.
Tapi isu politik dinasti ini nampaknya akan bertahan cukup lama. Dulu sudah pernah dibahas, sekarang muncul lagi. Satu-satunya isu yang bisa dibangun untuk menyerang Gibran, bahkan mungkin juga dianggap sebagai senjata ampuh untuk mengalahkannya.
Namun yang harus kita sadari dan pahami, bahwa semua isu itu seperti pisau bermata dua. Jika suatu isu tak mampu menjatuhkan, maka isu itu memberikan kekuatan dan simpati. Ambil contoh Jokowi yang diserang isu keturunan PKI, sampai orang tuanya difitnah. Pada akhirnya isu tersebut tak mampu dibuktikan, dan Jokowi bertahan sebagai pribadi yang tenang lalu menunjukkan jati dirinya sebagai muslim jawa. Seperti sungkem pada ibunda, atau tradisi adat saat menikahkan anak-anaknya.
Isu PKI itu membuat pendukung Jokowi semakin solid dan loyal. Dari sekian banyak faktor pendukung untuk menang di Pilpres, salah satunya pasti karena sebagian masyarakat merasa tak terima ada orang difitnah china padahal mukanya sangat jawa sekali. Selain itu juga karena faktor Prabowo yang cukup abu-abu. Semisal keluarganya mayoritas non muslim dan keturunan china.
Tapi bisa juga sebaliknya. Seperti contoh kekalahan Ahok di Jakarta. Isu china dan kafir sangat terkonfirmasi. Ditambah dengan blunder pernyataan Ahok yang digoreng geng 212. Kebetulan lawannya adalah Anies Baswedan, keturunan Arab dan muslim. Akhirnya seperti yang kita tahu, isu tersebut berhasil menjatuhkan Ahok.
Nah, isu politik dinasti ini mungkin terlihat mudah dipahami. Meski sebenarnya, semakin kuat isu ini dibahas, yang terlihat jelas justru AHY dan Demokrat. Ibaratnya, niat nyerang Gibran dan Jokowi, yang malu malah AHY dan SBY.
Sementara bagi Gibran, ini soal pembuktian dan pengendalian. Kemenangan Gibran di Solo mungkin akan berlangsung lancar. Asal tidak ada kejadian luar biasa seperti blunder dan diserang 212.
Pertanyaannya, setelah menang, mampukah Gibran membuktikan kemampuannya? Kalau hasilnya hanya seperti Anies, yang sibuk membuat pernyataan tapi tak bisa bekerja, Gibran tak akan mendapat apresiasi.
Tapi misal Gibran sukses membuat terobosan-terobosan baru, kreatif dan menggugah masyarakat, hampir pasti Gibran akan langsung menjadi sorotan sebagai Calon Presiden 2024.
Memang, sebagian orang akan bilang terlalu prematur. Terlalu terburu-buru. Tapi bukankah kita juga pernah mendengar alasan yang sama di Jakarta 2014 lalu? Semakin Jokowi bilang “ndak mikir” soal pencapresan, semakin gencar media memberitakan dan penasaran. Jokowi yang dianggap terlalu terburu-buru, tidak mau menunggu 2019 dan menyelesaikan masa jabatannya sebagai Gubernur, nyatanya menang dengan sangat meyakinkan pada 2014 lalu. Mengalahkan Prabowo yang sudah bertahun-tahun bersiap menyambut Pilpres.
Politik yang dinamis ini sangat bergantung pada momentum. Misalkan Jokowi baru dimajukan pada 2019, itu artinya dia akan melawan pertahana siapapun pemenang Pilpres 2014. Peluang menangnya jelas lebih kecil.
Begitu juga dengan Gibran. Kalau ada yang bilang lebih baik menunggu Jokowi menyelesaikan kepemimpinannya, itu artinya sudah kehilangan momentum. Dan lagi-lagi, itu artinya Gibran harus melawan pertahana.
Selain itu, peta politik di Solo bisa berubah. Saat ini memang saat yang terbaik bagi PDIP untuk mengusung Gibran, dengan modal 30 kursi DPRD. Tepat di bawahnya, PKS hanya 6 kursi. Lalu PAN, Golkar dan Gerindra masing-masing cuma 3 kursi. Lalu PSI 1 kursi.
Karena kalau PDIP mau menerima Purnomo-Teguh, maka Gibran pasti diusung oleh PKS bersama PAN dan Gerindra. Ini bukan sekedar menang kalah Pilkada, tapi mempertahankan suara dan kursi DPRD Solo. Kalau skenario ini yang terjadi, pemilu selanjutnya PDIP bisa goyah.
Jadi, pencalonan Gibran di Solo juga ada unsur mempertahankan momentum dan kekuatan partai. Selain itu, PDIP sebagai partai senior pasti sudah memperhitungkan survei Gibran. Kalau memang tak punya elektabilitas bagus, tak mungkin diusung.
Terakhir, ada satu kunci yang bisa membuat Gibran menang di Pilpres 2024. Mungkin nanti akan saya bahas di lain kesempatan.
Jika Menang di Solo, Gibran Capres 2024
Sumber Utama : https://seword.com/politik/jika-menang-di-solo-gibran-capres-2024-JNeaWUSbTH

Celana Dalam Kosong vs Otak Kosong, Mencuat dalam Isu Pencalonan Gibran

Berbicara tentang pilkada serentak, pemilihan rangkaian kata yang dilakukan Yunarto Wijaya sebagaimana gambar capture ini seperti sebuah ketidaksengajaan namun sangat telak melukiskan kondisi faktual seorang Rocky Gerung. Cermati saja narasi yang digunakan Yunarto : “Khan ga mungkin juga bilang RG ‘Celana dalam kosong...”.

Article

Mudah diduga maksud Yunarto adalah untuk menjawab narasi RG tentang potensi munculnya calon tunggal dalam pilwalkot Solo. Seperti pemberitaan yang sedang ramai, Gibran kemungkinan besar tidak akan mendapatkan lawan dalam pilwalkot Solo, dan ini berarti lawannya adalah kotak kosong. Lalu Rocky Gerung mengomentarinya dengan narasi : "Jadi meme sekarang kalau kotak kosong yang kalah di Solo yang menang apa? Otak kosong? Jadi otak kosong versus kotak kosong."
Dalam kesempatan lain, Sekjen Pea 212, Novel Bamukmin turut pula berkomentar. Menurut dia, pencalonan Gibran sangat terkesan dipaksakan, lantaran kemampuan dan kopetensinya belum teruji. "Sangat- sangat dipaksakan," ucapnya kepada wartawan, Kemarin, baca : Warta ekonomi.
Seolah sedang musim angin kencang, satu atau dua komentar miring di media baik mainstream maupun medsos, menggelinding menjadi aliran deras. Dalam acara Rossi Silalahi Kompas TV, aktifis ICW Donal Paris tak kurang kerasnya menanggapi munculnya putra Presiden dalam ajang pilwalkot. Yang dipersoalkan Donal adalah tersalipnya Wakil Walikota, Achmad Purnomo yang sebelumnya merupakan calon terkuat dari PDI-P, oleh pendatang yang kebetulan berasal dari partai yang sama.
Menurut Donal, nuansa dinasti politik dari pencalonan Gibran terasa sangat kental, lebih-lebih bakal calon gagal, Achmad Purnomo dicurigai sedang dielus-elus oleh ayah Gibran sendiri, terbukti dia diundang ke istana meskipun tidak tahu undangan itu untuk urusan apa.
Kalau kita terus memikirkan nada-nada miring di luaran, barangkali seluruh ruang di dalam pikiran kita tak akan pernah kosong dari rasa gamang, khawatir atau bahkan frustrasi, dan seluruhnya bermakna tidak produktif atau bahkan cenderung menghancurkan.
Bayangkan dampaknya jika Gibran atau Jokowi urung menapaki langkah lebih jauh dalam ajang politik tersebut, karena langkah awal sudah diambil dan kita berharap tidak surut hanya gara-gara maraknya serangan para pengritik. Disamping karena tak kurang juga suara dukungan, yang jauh lebih diutamakan seharusnya adalah pilihan rakyat sendiri. Sebagaimana aturan mainnya menetapkan, kalau rakyat menjatuhkan pilihan kepada kotak kosong, berarti mereka memang tak menghendaki sang calon tunggal menduduki jabatan yang diincarnya. Sebaliknya kalau suara mereka telah menetapkan pilihannya pada si calon, maka siapapun tak bisa menghalang-halangi.
Mungkin ada benarnya apa yang disampaikan Novel Bamukmin bahwa Gibran belum teruji kompetensinya, namun lepas dari persoalan kompetensi, Jokowi atau banyak kandidat pemimpin lain juga menghadapi masalah yang sama ketika mereka belum memulai kiprahnya. Kalau terus menerus kita mengungkit kompeten atau tidaknya seseorang, yakinlah kita tak akan kunjung beranjak dari titik awal, lebih-lebih pendapat itu berasal dari mereka yang secara tradisional memang tak suka dengan kalangan dekat Jokowi.
Mari kita melompat jauh ke belakang, ketika para pemimpin bangsa kita memutuskan untuk memberi kepercayaan kepada dwi tunggal, Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama. 
Jika saja mereka melihat aspek kompetensi atau jam terbang yang belum teruji dari kedua sosok itu, niscaya kita tak bakalan pernah memiliki seorang pemimpin pun.
Lebih tragis lagi jika kita berkaca dari pengalaman era Orde Baru yang melihat penggantian pemimpin sebagai tabu politik, bahkan ada anekdot bahwa syarat menjadi pemimpin haruslah berpengalaman sebagai pemimpin. Pikiran seperti itulah yang sedang kita perbaiki pada era reformasi ini. Yang seharusnya kita kedepankan adalah sebanyak apa dukungan yang diberikan kepada seseorang, dan bukannya berasal dari mana sosok tersebut berasal.
Betapa mirisnya nasib para calon pemimpin jika hanya karena dia keturunan langsung seseorang, maka dia layak atau tak layak dicalonkan. Selain tidak ada aturan tertulisnya, pikiran semacam itu sama saja dengan melanggar hak politik dan bahkan hak azasi seseorang. Maka ketika banyak suara penentangan atas majunya Gibran, yang muncul di benak kita justru kesan cemburu atau iri dari kalangan tertentu.
Singkatnya, biarkan saja mekanisme politik berjalan seperti apa adanya, dan jangan ributkan soal sosok mana yang sebaiknya muncul atau siapa yang seharusnya tidak muncul, sejauh pemilih menentukan sesuai suara hati mereka tanpa sedikitpun unsur pemaksaan.
Cerita berbeda muncul dari pihak yang mendukung, mereka percaya trah Jokowi sebagai sosok bersih akan mempengaruhi gaya kepemimpinan Gibran kelak. Namun lagi-lagi kita tak boleh terjebak dengan pendekatan yang tak terkait langsung dengan fakta. Maka sebaiknya kita berikan saja ruang kepada Gibran sebagai ajang pembuktian, bahwa dirinya layak menjadi penerus trah Jokowi, baik di Solo maupun di kancah nasional.
Celana Dalam Kosong vs Otak Kosong, Mencuat dalam Isu Pencalonan Gibran
Sumber Utama : https://seword.com/politik/celana-dalam-kosong-vs-otak-kosong-mencuat-dalam-EMBmdJOhGz 

Gibran Bikin Demokrat Terlihat Menyedihkan

Majunya Gibran di Pilkada Solo, bagi sebagian orang agak mengejutkan. Karena PDIP yang dianggap kaku dalam hal hirarki politik, senioritas, biasanya akan memprioritaskan kadernya sendiri, atau orang yang lebih dulu bergabung dengan partai dan sudah melakukan sesuatu. Sementara Gibran, baru. Baru mendaftar jadi kader, dan belum menjalani sekolah kader.
Tapi bagi saya, pengumuman pencalonan Gibran sebagai Walikota Solo hanya sebuah konfirmasi. Di saat DPC Solo sudah mengusulkan calon Purnomo-Teguh, dan menutup pintu bagi Gibran untuk maju di Pilkada, saya malah menulis PDIP pasti mencalonkan Gibran.
Bisa dilihat di artikel 8 Oktober 2019 https://seword.com/politik/pdip-pasti-usung-gibran-sebagai-calon-walikota-QHpP9UgXgz
Jadi kalau hari ini masih ada yang bertanya kenapa PDIP mencalonkan Gibran, saya sudah menjawabnya tahun lalu.
Sebenarnya saya ingin merayakan dan menuliskan ini saat pengumuman. Tapi karena waktu itu masih di perjalanan, jadi tak sempat menulis dengan tenang.
Yang paling terusik dengan pencalonan Gibran jelas adalah Demokrat. Meskipun di Solo mereka menyatakan berkoalisi. Sebenarnya bukan karena benar-benar mendukung, tapi emang Demokrat tidak bisa berbuat apa-apa.
Demokrat di Solo hanya tim hore, partai degradasi yang tak punya kursi. Senasib dengan PPP dan Hanura. Demokrat bahkan kalah dengan partai baru PSI, punya 1 kursi. Jadi kalau mereka mengklaim sudah mendapat restu SBY untuk mendukung Gibran, sebenarnya tidak ada pengaruhnya. Apa yang bisa diharapkan dari partai tanpa kursi?
PDIP dan Demokrat punya sejarah panjang. Dari kudatuli hingga lebaran kuda. Maka kini ketika Gibran dicalonkan sebagai Walikota Solo, ini bukan sekedar urusan menang kalah di Pilkada. Ini tentang pelajaran demokrasi dan politik dari PDIP pada Demokrat. Pelajaran yang mungkin akan terasa sangat menyinggung.
Gibran menjadi sebuah contoh sempurna dalam proses dan karir politik. Tidak mentang-mentang anak Presiden dua periode, lalu langsung mau maju di Pilkada Jakarta. Gibran mau menjalani prosesnya. Benar-benar dari awal, dari tingkat kota.
Bandingkan dengan AHY. Kalah di Pilkada Jakarta pada putaran pertama, malah sekarang dipilih menjadi ketua umum partai. Orang kalah kok disuruh jadi ketum?
Saya yakin, sebagian besar kader Demokrat pasti sedang menatap kosong melihat kegigihan Gibran. Sebaliknya, malu melihat kondisi partainya yang dipimpin oleh AHY, tanpa pengalaman politik dan tanpa jenjang karir. Tiba-tiba mundur dari TNI, tiba-tiba jadi Calon Gubernur di Pilkada DKI, setelah kalah kok tiba-tiba jadi ketum. Lebih ajaib dari kerang ajaib spongebob. Di mata Demokrat, Gibran menang atau kalah, dia sudah memberikan pelajaran yang menyakitkan. Tentang proses dan kemauan untuk memulai dari bawah. Dua sikap yang tak dimiliki oleh ketum Demokrat saat ini.
Selain itu, saya masih ingat betul bagaimana orang-orang Demokrat begitu membanggakan SBY. Presiden dua periode hasil pemilu era demokrasi. Sambil berpikir pencapaian itu akan sulit diulangi oleh siapapun.
Tapi kini, Jokowi dari sipil dan dulu diyakini hanya akan bertahan setahun, malah terpilih dua periode. Euforia kebanggan pada SBY sudah luntur. Klaim SBY yang mengatakan rakyat masih menginginkan dirinya maju lagi di Pilpres, dijawab dengan telak dengan kekalahan AHY di Jakarta, bahkan di putaran pertama. Telak dan jauh sekali.
Sementara Jokowi masih belum. Gibran baru akan berlaga. Jika menang di Solo, itu akan jadi penanda betapa warga sangat mengidolakan Jokowi. Sehingga percaya dan memilih anaknya sebagai pemimpin. Tapi jikapun kalah, Gibran sudah bersedia menjalani prosesnya dari bawah. Dan sekali lagi, itu tidak pernah bisa dilakukan oleh AHY.
Gibran sedang menjalani kenyataan. Kalau menang dia akan melanjutkan karirnya, naik ke Gubernur dan mungkin Presiden. Tapi kalau kalah, mungkin akan kembali fokus pada bisnisnya atau mencoba lagi di Pilkada selanjutnya.
Sementara AHY sedang menempuh jalan ninja. Kalah di Pilkada DKI, kini jadi ketua umum partai Demokrat. Selanjutnya bermimpi jadi Capres atau Wapres. Agak tak masuk akal memang. Kalah di Pilkada Jakarta kok berharap menang di Pilpres? hahaha
Walau bagaimanapun, AHY tetaplah ketum partai. Di tangannya, dia bisa merekomendasikan dirinya sendiri sebagai Calon Presiden 2024 mendatang. Tak ada urusan dengan logika dan hitung-hitungan, sebab Demokrat punya hitungannya sendiri.
Gibran Bikin Demokrat Terlihat Menyedihkan

Kenapa Langkah Gibran Dianggap Bermasalah?

Mestinya tidak ada yang aneh jika seorang bapak ingin anaknya sesukses dirinya. Jadi, kenapa masuknya Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution ke politik bikin orang tidak suka?
Gibran positif maju sebagai calon wali kota Surakarta. Hampir semua partai mendukungnya, selain PKS. Sejengkal lagi putra sulung Presiden Jokowi ini bakal menjadi wali kota Solo karena besar kemungkinan dia hanya akan berhadapan dengan kotak kosong. Akhirnya, Gibran mengikuti jejak sang Bapak. Memulai karier politik di Surakarta, menjabat sebagai wali kota.
Bayangkan jika Anda seorang Bapak. Pada posisi tertentu di hidup Anda, maka yang Anda harapkan, walaupun dengan diam-diam, adalah anak Anda bakal punya posisi yang lebih baik dari diri Anda. Tapi bagaimana jika Anda menjadi orang tertinggi di satu bidang? Mungkin harapan Anda sedikit digeser, setidaknya mencapai apa yang telah Anda capai. Dari logika sederhana seperti itu saja, kita bisa mengerti kenapa seorang pengusaha sukses menginginkan anaknya menjadi pengusaha yang tak kalah sukses; seorang profesor ingin anaknya menjadi profesor juga; seorang pengacara kondang ingin anaknya menjadi pengacara tak kalah kondang; dan mungkin berawal dari logika ini pula, timbul istilah dinasti politik.
Dinasti politik tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara bertebaran model seperti ini, bahkan di negara yang konon dianggap sebagai moyangnya demokrasi: Amerika Serikat. Di Indonesia, kita juga mengenal dinasti Sukarno, yang sekarang ini sudah sampai pada generasi ketiga: Puan Maharani. Soeharto juga sebetulnya menginginkan jejak yang sama, kita pasti ingat betul bagaimana Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dipersiapkan Soeharto untuk menjadi politikus, termasuk sang menantu saat itu, yaitu Prabowo Subianto. SBY pada akhirnya juga memberikan tampuk kepemimpinan Partai Demokrat kepada Agus Harimurti Yudhoyono, setelah sebelumnya sang adik, Ibas Yudhoyono, berkecimpung dulu dalam dunia politik mendahului sang kakak. Kita juga tahu bahwa Almarhum Gus Dur punya anak yang sebetulnya berbakat dan digadang-gadang dapat meneruskan jejak langkah sang bapak dalam bidang politik, yakni Yenny Wahid.
Maka sebetulnya, tidak ada yang aneh sejauh ini kenapa Jokowi misalnya, menginginkan anak dan menantunya menjadi politikus. Lalu di mana letak kejanggalan, ketika Gibran Rakabuming (32 tahun) dan Bobby Nasution (29 tahun) mesti mengikuti jejak politik Presiden Jokowi? Kenapa publik mesti ramai memperbincangkannya? Kenapa ini sampai menambah daftar kekecewaan publik kepada Presiden Jokowi?
Hemat saya, itu dimulai dari hal sederhana. Terpilihnya Presiden Jokowi punya semacam modal emosional bahwa dia bagian dari rakyat jelata, orang biasa saja sebagaimana 98 persen orang di seluruh Indonesia. Sentimen memilih pimpinan yang bukan dari kalangan elite politik ini mampu diartikulasikan dalam berbagai citra yang kelak dilengketkan pada Presiden Jokowi: bajunya, sepatunya, roman mukanya, caranya berbicara, hobinya, dll. Jadilah dia presiden pilihan rakyat, dalam satu babak politik yang monumental di tahun 2014. Tahun 2019, tentu sebetulnya situasi emosi kolektif sudah berbeda. Presiden Jokowi terpilih lagi karena murni kemenangan elektoral, bukan kemenangan psikologis. Calon hanya ada dua. Musuhnya masih sama. Dan dia petahana, Itu yang menyebabkan tidak ada gairah luar biasa dari masyarakat dalam mengelu-elukan kemenangan kedua tersebut.
Dalam kurun kemenangan Presiden Jokowi yang pertama itulah, mau tidak mau sosok Gibran muncul. Orangnya terkesan cuek dengan politik dan berkali-kali menyatakan ke publik bahwa dia tidak mau terjun ke dunia politik. Pada titik inilah, deposito politik Presiden Jokowi bertambah, sebab dia tidak sedang mempersiapkan seorang putra mahkota. Jokowi menjadi pembeda dibanding presiden-presiden pendahulunya. Dia bukan dari kalangan darah biru elite politik dan tidak mau membuat dinasti politik.
Maka, jika ada suara kekecewaan dari arus bawah mengenai majunya Gibran sebagai calon wali kota Solo, jejak kekecewaan itu sebetulnya bisa ditarik dari sana. Jadi, ini problemnya bukan salah atau benar, melainkan kenapa bisa terjadi majunya Gibran dianggap sebagai masalah bagi sebagian publik. Sebab antara harapan dengan kenyataan, tidak jumbuh. Pada akhirnya, alat operasi emosi yang bisa diberikan untuk menerima kenyataan itu adalah pemakluman. Terlebih, dalam proses menjadi calon wali kota, ada proses yang berbau drama. Misalnya dengan tersingkirnya calon wali kota pilihan DPC PDIP Surakarta, Achmad Purnomo. Dan Achmad Purnomo pada pernyataannya termutakhir, saat dia dipanggil oleh Presiden Jokowi, menyatakan ke publik bahwa bagaimanapun Gibran anak presiden.
Tentu setiap generasi kedua selalu mendapatkan “rival” sejati dari generasi pertama. Mau tidak mau Megawati selalu dibandingkan dengan Sukarno. AHY selalu dibandingkan dengan SBY. Gibran, pastilah kelak akan dibandingkan dengan Jokowi. Publik bisa saja membayangkan kelak Gibran setelah menjadi wali kota Solo akan menjadi gubernur DKI atau gubernur Jawa Tengah, lalu menjadi wakil presiden, lalu menjadi presiden. Bayangan apa pun bisa dilekatkan kepada Gibran.
Namun, persoalannya bukan di sana. Persoalan terbesar Gibran adalah bagaimana kelak anak muda yang dianggap belum punya pengalaman politik dan pemerintahan ini bakal sanggup memimpin Kota Surakarta. Untuk tahu kesanggupan dan kemampuan Gibran memimpin, tentu saja butuh waktu. Yang jelas tidak butuh waktu adalah maju dan direkomendasikannya Gibran sebagai calon wali kota Surakarta karena dia adalah anak dari seorang presiden. Itu jelas sekali. Sejelas kenapa AHY dulu bisa mendapat tiket bertarung di pilkada DKI, tentu karena dia anak SBY. 
Lalu apa pelajaran penting bagi publik? Manusia berubah, kekuasaan itu menggiurkan. Sayangnya, setiap kali kita mau memilih apa pun, dua hal itu selalu kita lupakan. Memang sih, manusia itu tempat salah dan lupa. Dan yang paling sering kita lupakan adalah seolah setiap perubahan penting bakal terjadi hanya karena ada pilihan presiden sampai wali kota. Bukan perubahan karena ikhtiar bersama dalam menggeser relasi dan bobot kuasa.
gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea
Sumber Utama : https://mojok.co/pea/komen/kepsuk/kenapa-langkah-gibran-dianggap-bermasalah/

Waspada! Amien Rais Terapkan Gaya Politik Terzalimi Ala SBY untuk Memajukan PAN Reformasi

Politik tentu tidak lepas dari yang namanya kekuasaan. Sedangkan kekuasaan itu ada banyak macamnya. Seperti presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota, kepala desa, dll.
Termasuk juga menjadi ketua umum partai juga merupakan bagian dari kekuasaan itu sendiri.
Untuk mendapatkan kekuasaan pun ada banyak metodenya.
Misal, ada yang dikenal dengan istilah money politik. Yakni memberikan sejumlah uang kepada calon pemilih agar mau memberikan suaranya. Sehingga si pemberi uang tersebut bisa menduduki jabatan politik tertentu, seperti anggota legeslatif, bupati dan gubernur.
Kemudian, ada juga cara untuk mendapatkan kekuasaan yang bisa dibilang tidak sehat, yakni dengan menerapkan politik terzalimi.
Beberapa politisi pernah ketahuan menerapkan cara berpolitik ini. Seperti yang paling terkenal dilakukan oleh SBY.
Si SBY ini bisa dibilang terpilih jadi presiden karena memakai gaya politik terzalimi lho.
Bayangkan saja, sebelum Pilpres 2004 digelar, ia hanya seorang menteri Megawati. Tidak punya partai. Serta prestasinya saat menjadi pembantu presiden juga biasa-biasa saja.
Tapi berkat kepiawaiannnya memainkan drama seoalah-olah ia telah dizalimi oleh Megawati saat itu, si SBY yang awalnya kurang terkenal ini, mampu meraih simpati masyarakat.
Dan kemudian dia terpilih jadi presiden.
Awalnya Mega bertanya dengan baik-baik kepada SBY, "apakah dia mau mencalonkan diri sebagai presiden di Pilpres 2004 atau tidak?"
Karena sebelumnya, memasuki tahun 2004, wajah si ESBEYE ini kerap muncul di layar kaca terkait sosialisasi Pemilu 2004.
Tapi lantaran acara itu terhendus sebagai kampanye terselubung, yakni ESBEYE memanfaatkan jabatannya untuk bisa dikenal oleh masyarakat luas, acara itu pun distop oleh KPU.
Mega pun menggunakan taktik untuk mengetahui belang menterinya tersebut, yakni dengan mengucilkannya.
Saat rapat kabinet SBY tidak diundang.
Dan, pancingan itu pun berhasil membongkar siapa SBY yang sebenarnya.
Yakni, pasca ia mengundurkan diri dari kursi menteri, dua hari kemudian do'i langsung berkampanye untuk Partai Demokrat di Banyuwangi, Jawa Timur.
Logikanya, SBY berkampanye itu tentu tidak digoreng dadakan. Pasti sudah dipersiapkan jauh hari.
Sehingga jadi ketahuan, saat ia masih menjabat sebagai menteri Megawati, si purnawirawan TNI itu sebenarnya sudah mempersiapkan diri untuk menantang Mak Banteng tersebut.
Jadi, persoalan di sini bukan karena Mega takut tersaingi oleh SBY. Tapi lebih kepada bapak AHY itu yang tidak mau jujur dan berterus terang.
Coba kalau do'i jujur dengan mengatakan mau melawan Megawati di Pilpres, tentu tidak akan jadi masalah.
Palingan do'i hanya diminta untuk mundur dari kursi menteri. Selesai urusan.
Ironisnya, SBY pun bermain cantik dengan memanfaatkan kekecewaan Mega terhadap dirinya tersebut. Ia yang tidak jujur, ia pula yang memposisikan diri sebagai orang yang terzalimi.
Yang mana hal itu tujuannya tidak lain tidak bukan untuk menarik simpati masyarakat.
Hebatnya lagi, kubu Mega tidak sadar kalau sedang dimasukkan ke perangkap tikus oleh SBY kala itu. Hal ini tercermin dari penyataan-pernyataan mereka yang cenderung menyerang mantan Ketua Umum Partai Demokrat tersebut.
Dan SBY pun berhasil mengelabuhi masyarakat serta media.
Hingga saat masa kampanye tiba, ia selalu mendapat sambutan yang hangat dan meriah dari masyarakat yang telah menganggapnya sebagai pahlawan baru yang baru saja dizalimi oleh penguasa otoriter yang bernama Megawati itu.
-o0o-
Tidak hanya sekali itu saja lho SBY memainkan politik terzalimi ini, tapi berkali-kali.
Tentu kita masih ingat pada 2018 lalu, saat bendera dan baliho Partai Demokrat dirobek oleh orang tidak dikenal di Riau. SBY pun langsung tampil di hadapan publik sebagai korban kala itu, dengan mengatakan aksi perusakan itu telah benar-benar menyayat hatinya.
"Menyayat hati, ini ulah pihak-pihak tertentu, atau saudara-saudara kami masyarakat Riau sudah berubah?" ujar SBY kala itu, (15/12/2018).
Tapi sepertinya, politik terzalimi ala SBY menjelang Pemilu 2019 itu tidak berhasil. Buktinya, perolehan suara Partai Demokrat malah merosot. Dari yang awalnya berada di peringkat ke-4, menjadi posisi ke-7 pada Pemilu 2019.
-o0o-
Nah, gaya politik terzalimi ini, baru-baru ini juga mau dimainkan oleh Amien Rais lho.
Tidak ada angin tidak ada hujan dan tidak ada badai tidak ada petir, tiba-tiba Amien mengatakan kalau dirinya telah dipecat dari PAN.
Alasan pemecatan itu pun cukup menggelikan keluar dari mulut Amien Rais, yakni karena dia tidak setuju PAN bergabung dengan koalisi pengusung pemerintah.
"Saya sudah tidak di PAN lagi. Saya sudah dikeluarkan sama anak buah saya karena saya tidak setuju dengan rezim yang sudah tidak ketulungan itu. Sementara, mereka tetap yakin bahwa bergabung rezim Jokowi akan dapat logistik, akan dapat segala macam," ujar Amien dengan nada sedih.
Tapi pertanyaannya, apakah pernyataan yang disampaikan oleh Sengkuni itu benar adanya dan bisa dipercaya?
Bukankah dia dulu pernah nazar jalan kaki dari Jogja ke Jakarta jika Jokowi terpilih jadi presiden di Pilpres 2014 lalu? Dan nazarnya itu belum ditepati.
Karena logikanya, gak mungkinlah Zulkifli Hasan mau memecat Amien Rais.
Besannya sendiri kok. Dan Mbah Mien jauh lebih senior di PAN dibandingkan dia.
Lagian pula, beberapa elit PAN seperti Yandri Susanto, Viva Yoga Mauladi dan Eddy Soeparno sudah membantan pernyataan Amein Rais tersebut kalau dia dipecat dari PAN
"Jangankan mengeluarkan (memecat Amien Rais), berpikir ke sana saja sudah tidak berani", ujar Eddy yang juga menjabat sebagai Sekjen PAN itu.
Jadi sebenarnya, tidak ada cerita kalau Amien Rais itu dipecat dari PAN. Dia saja yang mengaku-ngaku seolah-olah seperti kakek tua yang terzalimi.
Pertanyaannya, apa tujuan Amien Rais memposisikan diri sebagai orang yang terzalimi tersebut?
Tentu tidak lain tidak bukan, tidak jauh dari urusan yang namanya politik dan kekuasaan.
Karena sebagaimana kita ketahui bahwa si Amien Rais ini sebenarnya berniat mendirikan partai baru. Dan partai yang digagasnya itu pun bahkan sudah ada nama, yakni PAN Reformasi.
Dan untuk menari simpati publik, khsusunya kader PAN agar mau berbondong-bondong pindah ke partai barunya itu, dibuatlah skenario seolah-olah ia telah dizalimi oleh Ketua Umum PAN saat ini, Zulkifli Hasan.
Politik memang kejam ferguso!
Bahkan sesama besan pun saling sikut demi kekuasaan.
Sumber :
http://12122am.blogspot.com/2013/06/awal-mula-konflik-megawati-sby.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Demokrat
https://jambiekspres.co.id/read/2020/07/23/33709/pan-bantah-pecat-amien-rais-berfikir-ke-sana-saja-sudah-tidak-berani
Image : seriau.com
Waspada! Amien Rais Terapkan Gaya Politik Terzalimi Ala SBY untuk Memajukan PAN Reformasi
Sumber Utama : https://seword.com/umum/waspada-amien-rais-terapkan-gaya-politik-20pjVegJh3

Viral, Cuitan Tifatul Sembiring (Mantan) Presiden PKS Yang Mendadak Hilang!

Apa yang terlintas di pikiran Anda ketika mendengar nama Tifatul Sembiring?
Menteri yang ketahuan follow akun porno?
Penyebar hoax tentang Palestina?
Penyebar hoax tentang Aleppo (Suriah)?
Penyebar hoax tentang Rohingnya?
Penyebar hoax tentang Banser (NU)?
Mantan Menkominfo yang malah bertanya internet cepat buat apa?
Jawabannya semua benar!
Tifatul Sembiring dan Akun Porno
Tifatul Sembiring yang merupakan mantan Presiden PKS, yang katanya partai Islam, yang katanya partai dakwah ini pernah ketahuan follow (mengikuti) akun porno! Sumber
Article
Lalu Tifatul Sembiring “ngeles” dengan mengatakan bahwa dia tidak sengaja mengikuti follow akun porno tersebut?
Ada yang percaya jika Tifatul Sembiring tidak sengaja follow akun porno tersebut?
Apakah seorang Tifatul Sembiring yang saat itu menjabat sebagai Menkominfo tidak bisa membedakan mana akun biasa dan mana akun porno???
Tifatul Sembiring Penyebar Hoax
Tifatul Sembiring ini sudah beberapa kali terbukti menyebar berita hoax di Indonesia tanpa merasa malu. Berikut ini adalah salah satu contoh berita hoax tentang Palestina yang disebarkan oleh Tifatul Sembiring:
Article
Tifatul Sembiring juga pernah menyebarkan berita hoax tentang Aleppo (Suriah): Sumber
Article
Tifatul Sembiring juga pernah ketahuan menyebar berita hoax tentang Muslim Rohingnya seperti terlihat berikut ini:
Article
Setelah menyebarkan hoax, lalu Tifatul Sembiring hanya minta maaf???
Article
Kita juga masih ingat bagaimana “kejinya” Tifatul Sembiring ini menyebarkan berita hoax tentang Banser (NU)! Article
Article
Dan setelah cuitannya untuk menjelekkan Banser (NU) viral, Tifatul Sembiring tanpa malu atau memang sudah tidak tahu malu lagi, hanya menghapus cuitannya tanpa minta maaf kepada Banser yang merupakan bagian dari NU yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia!
Article
Article
Jadi tidak heran jika orang-orang PKS ini “menyerang” Banser (NU) karena salah seorang petinggi NU pernah mengatakan jika PKS ini adalah “mainan” Amerika dan pihak NU juga sudah pernah meminta warga NU untuk berhati-hati kepada maneuver politik PKS seperti yang dimuat dalam situs resmi NU.
Article
Dan rakyat Indonesia juga tidak akan pernah lupa jika ada seorang Menkominfo yang bernama Tifatul Sembiring malah bertanya, internet cepat buat apa?
Article Sudah kelihatan “kualitas” Tifatul Sembiring…
Dan beberapa hari yang lalu, Tifatul Sembiring ini juga ikutan komentar terkait kasus klepon yang dikatakan sebagai jajanan tidak Islami. Dengan gampangnya, Tifatul Sembiring menyalahkan PKI?
Penulis langsung ngakak melihat ocehan Tifatul Sembiring tersebut. Tifatul Sembiring sok omong PKI (komunis), tetapi anaknya sendiri yang bernama Fathan Asaduddin Sembiring malah kuliah di China! Wkwkwkwk
Article
Tifatul Sembiring dan orang-orang PKS jangan sok teriak PKI, Komunis karena faktanya PKS akrab dengan Partai Komunis China!
Article
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sendiri lho yang mengakui jika **PKS berhubungan baik dengan Partai Komunis China (PKC). Bahkan PKS juga pernah mengikuti agenda lain PKC di China dan sebaliknya. Sumber
Sok teriak PKI, sok komunis tapi PKS akrab dengan Partai Komunis China (PKC), bahkan anak Tifatul Sembiring yang bernama Fathan Asaduddin Sembiring malah kuliah di China atas beasiswa pemerintah China!
Dan tadi penulis tidak sengaja melihat screen shot cuitan Tifatul Sembiring yang sudah viral di media sosial seperti yang terlihat berikut ini:
Article
Dalam cuitan di atas terlihat seseorang pemilik akun Sastroutomo @sastropwr mengatakan:
“Ente ngomong klepan klepon kek gitu tapi masih jualan komunis, ama aja lu ngaku alim tapi suka buka situs bokep.”
Lalu dibalas oleh Tifatul Sembiring dengan mengatakan:
“Bapakmu itu yg suka bokep, ngerti njing”.
Balasan tersebut ditulis oleh Tifatul Sembiring yang akun twitternya sudah diverikasi (warna biru) pada tanggal 22 Juli 2020 ja, 15.59 dari iPad.
Wah sungguh sangat santun ya bahasa Tifartul Sembiring…
Inikah bahasa Tifatul Sembiring yang pernah menjadi Presiden PKS?
Inikah bahasa orang PKS yang katanya partai Islam? Partai dakwah?
Ngerti Njing itu bahasa dakwah ya Tifatul Sembiring?
Dan lucunya, cuitan Tifatul Sembiring tersebut sudah tidak bisa ditemukan lagi, tetapi jejak digitalnya masih disimpan oeh pemilik akun Sastroutomo yang bisa dilihat di https://twitter.com/sastropwr/status/1285849455049060353
Article
Article
Article
Logika sederhana…
Bahasanya mantan Presiden PKS yang katanya partai Islam (dakwah) saja seperti itu, apalagi simpatisan dan kader PKS lainnya?
Setelah cuitan "caci maki" Tifatul Sembiring viral, lalu hilang, akankah Tifatul Sembiring akan ngeles mengatakan dia tidak sengaja menuliskan cuitan tersebut seperti dia ngeles setelah ketahuan follow akun porno?
Atau dia mungkin akan mengatakan akunnya di hack? Wkwkwkw
Yang jelas penulis sudah lama diblokir oleh Tifatul Sembiring setelah penulis mengangkat jejak digital anaknya yang kuliah di China beberapa tahun lalu.
Article
Jadi...
Masih percaya PKS partai Islam?
Masih percaya PKS Partai dakwah?
Wassalam,
Nafys
Tulisan sebelumnya https://seword.com/politik/ada-jk-dibalik-pencitraan-anies-baswedan-xzHcVM9kyE
Viral, Cuitan Tifatul Sembiring  (Mantan) Presiden PKS Yang Mendadak Hilang!
Sumber Utama : https://seword.com/umum/viral-cuitan-tifatul-sembiring-mantan-presiden-VDMMon8NzL 

Viral! ASN Asal Mojokerto Penjual Onde-Onde Mencaci Pemerintah!

Seorang ASN yang sejatinya mendukung pemerintah malah memberi contoh buruk dengan mengolok pemerintah. Bukannya ia digaji negara untuk membantu pekerjaan pemerintah? Sejelek-jeleknya kinerja pemerintah, masih banyak cara untuk mengkritik secara bijak tanpa menyerang secara personal. Tapi, begitulah kenyataannya meski sering terdengar ASN yang diberi sanksi karena berulah, kembali lagi ASN lain bikin ulah lagi.
Hal ini berawal dari salah satu unggahan netizen di twitter yang menyebut akunnya.
"Kok tweet yg ini di hapus bu @WidaCookies , anda PNS tapi mulut kayak vag1na ... | cc. @tjahjo_kumolo" tulis @dhyansabilla_
Article
Article
Tak sampai disitu, warganet lain yang sempat melakukan screenshot sebelum akunnya dinonaktifkan kembali mengunggah cuitan sang ASN.
Article
Article
Ternyata dari salah satu cuitannya didapat pekerjaan sampingan sang ASN adalah jualan onde-onde.
Article
Dari sana, warganet yang gercep langsung mencari toko online hingga diperoleh alamat tokonya.
Article
Inilah kejamnya media sosial, gara-gara umpatan kasar seorang ASN, kini ia mulai dicari banyak orang. Meski akunnya dinonaktifkan, netizen sudah mengantongi alamat toko hingga mencocokkan dengan google map. Kalau sudah begini, akan ada kisah termehek-mehek merasa diteror dan sebagainya. Padahal ia sendiri yang memulai keresahan di tengah masyarakat melalui cuitannya.
Para ASN itu kemungkinan berdalih ingin menyuarakan kebebasan pendapat, tapi lupa statusnya sebagai ASN yang dilarang mencaci maki atasannya. Hal ini juga dijelaskan oleh ahli hukum menganai status ASN beserta konsekuensinya.
"Dengan status kepegawaian yang melekat, setiap pegawai ASN, baik Pegawai Negeri Sipil maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) terikat dengan perjanjian antara pemerintah dan pegawai ASN yang disebut contract sui generis yang di dalamnya terkandung hubungan dinas publik (openbare diensbetrekking)," kata ahli hukum kepegawaian, Dr Tedi Sudrajat, saat berbincang dengan detikcom, Rabu (23/10/2019).
Artinya, pola hubungan ini menciptakan kedudukan yang subordinatif antara pemerintah dan pegawai ASN. Di mana pegawai ASN harus tunduk taat pada setiap pengaturan yang dibuat oleh pemerintah selaku atasannya.
"Implikasi dari hubungan ini menciptakan pembatasan hak asasi bagi setiap pegawai ASN," cetus Tedi.
Menurut Tedi, kebebasan yang dibatasi di medsos bagi ASN bisa dilihat lewat 6 rambu-rambu. Pertama, menyampaikan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah. Kedua, menyampaikan pendapat lewat media sosial yang mengandung ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan antargolongan.
"Menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian di atas melalui media sosial, seperti share, broadcast, upload, retweet, repost Instagram dan sejenisnya," kata Tedi menegaskan.
Keempat, mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah. Kelima, mengikuti atau menghadiri kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, dan memprovokasi, serta membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
"Menanggapi atau mendukung sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana pada poin di atas dengan memberikan likes, dislike, love, retweet, atau comment di media sosial," cetus Tedi.
Lalu apa hukuman ke ASN yang melanggar rambu-rambu di atas?
"Dapat dilakukan penjatuhan hukuman disiplin terhadap pegawai ASN oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di masing-masing instansi. Hukuman disiplin ini diberikan dengan mempertimbangkan latar belakang dan dampak perbuatan yang dilakukan ASN tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, hukuman disiplin terdiri atas hukuman disiplin ringan, hukuman disiplin sedang, dan hukuman disiplin berat," jelas tenaga ahli Komite 4 DPD itu.
Semoga artikel ini dibaca para ASN yang hobi nyinyir. Jangan sampai ketika sudah mendapat sanksi berupa pemecatan baru sadar akan kesalahannya. Kita mengkasihani status mereka sebagai ASN sekaligus ibu rumah tangga. Apalagi memiliki pekerjaan sampingan yang halal. Jangan sampai kebencian dan kebodohannya mengubur masa depan keluarganya.
Apalagi kalau sampai viral seperti kasus ASN Mojokerto di atas. Dia tak tahu kalau cuitannya sampai ditanggapi komunitas di Jakarta. Kalau nanti dia sampai dipecat atasan, bisa dibayangkan bagaimana sakit hatinya bertambah pada pemerintah. Padahal ia sendiri yang tidak bersyukur atas pekerjaannya selama ini.
Bandingkan dengan pekerjaan sebagai buruh apalagi honorer di mana tak memiliki gaji dan tunjangan sebanyak ASN. Dirinya yang seharusnya duduk manis bekerja sambil terima gaji tiap bulan, kini harus merelakan nikmatnya pekerjaan lantaran kebodohan dirinya. Semoga tidak ada ASN ceroboh yang meniru langkahnya di masa mendatang. Media sosial milik semua orang, baik yang kontra maupun pro pemerintah. Lebih baik hati-hati dengan jari jemari sebelum akhirnya sakit hati.
Begitulah kura-kura
Referensi:
https://m.detik.com/news/berita/d-4756431/ahli-hukum-ini-beberkan-alasan-asn-tidak-boleh-nyinyir-ke-pemerintah
Viral! ASN Asal Mojokerto Penjual Onde-Onde Mencaci Pemerintah!
Sumber Utama : https://seword.com/umum/viral-asn-asal-mojokerto-penjual-onde-onde-UCYO0CmQWy 

Rini Soemarno, Saksi Kunci Kasus Jiwasraya?

Rini Soemarno sebagai pelapor adanya dugaan fraud di Jiwasraya harusnya bisa dihadirkan sebagai saksi kunci. Pengadilan harus mendalami motif Rini yang melapor 3 hari sebelum jelang pelantikan Jokowi di periode kedua. Apalagi Rini tampil bak pahlawan dengan menyebut nama penyebab kerugian Jiwasraya, yakni Benny Tjokro dan Heru Hidayat. Padahal faktanya ada puluhan perampok Jiwasraya lain yang mungkin nilainya jauh lebih fantastis.
Ada rumor yang beredar kalau pelaporan Rini jelang pelantikan presiden agar dirinya kembali dipakai sebagai menteri di kabinet periode kedua. Memang pemilihan menteri saat itu sangat tidak terduga dan hanya Jokowi sendiri yang tahu. Karena ketidakbecusannya dalam mengurus BUMN, Rini mau menunjukkan seolah-olah dirinya berhasil menemukan penjahat Jiwaraya. Tapi, sayang Jokowi tak sedikitpun melirik Rini apalagi memakainya kembali.
Akibat laporan Rini, Jiwasraya yang sekarat akibat pengumuman gagal bayar oleh Hexana semakin hancur namanya karena tersangkut kasus hukum. Harusnya Rini juga bisa dihadirkan sebagai saksi kunci. Karena kenyataannya Jiwasraya tidak hanya dirugikan oleh Bentjok dan Heru Hidayat saja. Ada banyak puluhan nama lain yang terseret skandal Jiwasraya. Mulai dari direksi lama, puluhan manajer investasi, pejabat OJK, hingga nama politisi ternama seperti Abu Rizal Bakrie, Dato Sri Tahrir hingga Erick Tohir.
Tahukah Rini tentang hal ini? Apakah ini yang membuatnya kini bak menghilang di telan bumi. Padahal Rini orang pertama yang melapor. Apakah ia takut dirinya digantung Bakrie kalau sampai menampakkan diri? Ini artinya pertarungan mafia verus mafia. Seperti yang diketahui, kakak Rini alias Ari Soemarno juga merupakan mafia migas.
Padahal tanpa gangguan Hexana dan Rini, kita yakin Jiwasraya sampai hari ini akan jalan terus. Tak akan ada isu kerugian hingga 16.8 triliun. Ini semua terjadi akibat ulah Hexana. Fakta persidangan mengungkap akibat pengumuman gagal bayar, semua nasabah menarik polisnya. Pertanggungan Jiwasraya membengkak dari 802 Milyar menjadi 16.8 triliun. Selain itu saham-saham yang terafliasi Jiwasraya ikutan ambles hingga 50 persen lebih.
Saat ini Hexana sebagai penyebab keruntuhan Jiwasraya masih berstatus saksi. Kejaksaan masih berkutat pada isu adanya aliran dana maupun dana dari pengusaha ke direksi Jiwasraya, tapi tak mau menguak awal kejatuhan JS. Harusnya Hexanalah yang dijadikan terdakewa. Wajahnya yang seperti orang tertekan saat memberi kesaksian menyiratkan kalau dirinya merasa bersalah.
Kini tinggal sang master mind, Rini Soemarno sebagai menteri yang mengangkat Hexana secara tidak wajar juga harus dihadirkan dalam persidangan. Apa alasannya memberi kursi Direktur Utama pada Hexana yang saat itu baru 5 bulan menjabat sebagai kepala divisi investasi di JS? Kenapa ia memilih menempatkan Hexana yang tidak memiliki keahlian asuransi kuat seperti Hendrisman? Kenapa ia tak menegurnya saat mengumumkan gagal bayar setelah hanya sebulan menjabat?
Meski telah bekerja selama 18 tahun di Bank BRI, faktanya Hexana tak memiliki kemampuan di perusahaan asuransi. Buktinya ia melihat potensi kerugian akibat penurunan saham serempak di 2018 sebagai suatu fakta. Akibatnya secara sembrono Hexana mengumumkan gagal bayar. Harusnya saat itulah Rini tampil melaporkan kerugian Jiwasraya, kenapa harus menunggu setahun kemudian.
Rini harus bertanggung jawab karena menempatkan orang yang salah saat perusahaan dalam kondisi kritis. Ia juga harus tampil sebagai saksi kunci di persidangan Jiwasraya karena merupakan pelapor. Rini harus bisa menjelaskan kerugian Jiwasraya karena siapa dan faktor apa?
Belakangan diketahui kalau manajer investasi sebenarnya tak berperan pada kerugian di Jiwasraya begitupun saham milik Bentjok dan Heru Hidayat. Langkah Dirut Hendrisman menerbitkan produk JS Saving plan dengan bunga tinggi juga merupakan langkah rektrurisasi dalam jangka waktu tertentu. Ini semua karena Jiwasraya telah merugi di era Bakrie menanamkan reponya hingga 4 triliuan lebih. Nanti tahun 2026 dikabarkan bunga JS saving plan kembali ke normal lagi yakni kisaran 6.5 persen dan sebenarnya tahun 2018 sudah dimulai.
Jadi, kalau mau menyeret penjahat Jiwasraya sesungguhnya jangan nanggung-nanggung. Sudah ada puluhan nama termasuk kelas kakap. Tinggal Hexana dan Rini Soemarno sebagai dalang penyebab keruntuhan JS. Hexana sudah beberapa kali tertekan dalam persidangan akibat ulahnya sendiri, kini kita nantikan Rini dipanggil sebagai saksi kuncinya.
Rini Soemarno, Saksi Kunci Kasus Jiwasraya?
Sumber Utama : https://seword.com/politik/rini-soemarno-saksi-kunci-kasus-jiwasraya-JmBwuTz67r 

Re-post by MigoBerita / Jum'at/24072020/10.22Wita/Bjm
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya