Migo Berita - Banjarmasin - MAFIA BANJAR : Sineas Banjar "Kalau Tidak Bisa Taklukan Ibukota, paling Tidak Taklukan Banua Banjar". Ternyata anak Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan ternyata bisa menghasilkan Film-film yang mudah dimengerti publik, baik dari sisi cerita maupun kualitas peran. Nah, seharusnya hal tersebut membuka wawasan kita, bahwa ternyata anak muda Banua Banjar tidak hanya bisa "Demo", tetapi juga bisa mengeluarkan ide kreatifnya demi kepentingan Banua Banjar khsususnya dan Demi Indonesia pada umumnya. (Pic Youtube Courtesy)
Pic courtesy apahabar.com yg di screenshoot
FSB: Film Lokal Kalsel Belum ‘Bicara’ di Level Festival dan Luar Daerah
BANJARMASIN, Film lokal karya sineas Kalimantan Selatan (Kalsel) tidak pernah tercatat masuk di dalam festival atau bahkan dikenal oleh masyarakat di luar Kalimantan. Setidaknya, itulah yang didapat oleh Ade Hidayat, pembina Forum Sineas Banua (FSB) saat melakukan penelitian di Yogyakarta dan Jakarta.
Ade tidak menemukan satu pun data yang menyebutkan bahwa ada filmmaker dan film Banjar yang melalang buana di festival film hingga ke layar lebar. Hal ini berbeda hal dengan Jogja, Aceh, Babel, Jayapura dan kota-kota di pulau Jawa yang di mana sudah banyak naik ke festival-festival film seperti Europe On Screen, Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF).
Bahkan ada satu film dari Makassar yang berjudul Uang Panai (2016), meski dimodali oleh India dengan dana sebesar Rp 450 juta, yang mampu meraup untung hingga total Rp 19 miliar.
Hasil dari keuntungan film tersebut memang lebih banyak masuk ke kantong investor dan si pembuat film hanya mendapat 10 persen. Tapi Ade berfokus pada output yang didapat oleh film lokal tersebut. Uang Panai, sebagai film lokal berhasill merahi piala Festifal Film Indonesia (FFI) sebagai Film Daerah terbaik.
Hal ini menurut Ade, bahwa para fillmaker Kalsel masih belum mempunyai wadah unjuk gigi dan konten filmnya yang masih sangat jauh dari kedekatan Kalsel itu sendiri. Untuk itulah FSB hadir menjadi wadah apresiasi dan tempat untuk mempertemukan para filmmaker dan penonton.FSB hadir sebagai apresiator. Oleh sebab itu FSB banyak hasilkan program seperti Ngobrol Film (Ngofi) yang sudah berlangsung sebanyak 26 kali, melaukan pemutaran film alternatif, Festival Aruh Film Kalimatan, hingga Layar Film Banjar.
“Jika tidak ada festival film, saya takut filmmaker kita hanya berani di kandang. Festival bukan sekadar lomba, tapi perayaan. Layar Film Banjar juga merupakan ruang temu filmmaker dan penonton. Media sosial memang ada (untuk filmmaker menanyangkan film), tapi feedback tidak terjadi, makanya kami buat ekosistemnya,†tutur Ade.
Namun tidak semua film lokal yang bisa mereka berikan jalan kepada penonton. Menurutnya jika si pembuat film merupakan orang Kalimantan tapi tidak film berbicara tentang Kalimantan, bahkan tidak mewakilkan Kalimantan sama sekali, untuk apa film tersebut dipertemukan dengan penonton.
Pendekatan filmmaker dengan konten apa yang ingin disampaikan merupakan hal penting. Ade mengaku resah jika ia menemukan film Banjar tapi bahasa di dalam film tersebut menggunakan Bahasa Indonesia.
“Ini kenapa orang Kalimantan yang sehari-hari pakai Bahasa Banjar malah bikin film (Banjar) pakai Bahasa ‘lo gue’. Ada yang salah dengan seniman kita, atau seniman kita yang terlalu memanjakan mereka (filmmaker),†ungkap Ade.
Atas dasar itulah yang membuat Ade yakin bahwa belum ada ekosistem di Banjarmasin khususnya, yang berbicara soal edukasi film dan mengajarkan ihwal mengangkat kebudayaan sendiri ke dalam film.  “Kan seniman membicarakan kejujuran dan keresahannya. Kalau ada seniman tidak bicara tentang kejujuan, kedekatan dengan kontennya. Pasti akan terasa (perbedaannya),†lanjutnya.
Ade mengambil contoh tentang sebuah film dokumenter tentang kerusuhan yang pernah terjadi di Banjarmasin pada tanggal 23 Mei 1997. Ya, film documenter Jumat Kelabu. Film tersebut merupkan langkah yang baik menurut Ade, meski secara teknis si filmmaker tidak mengalami kejadian tersebut.
“Menurut saya itu langkah yang baik. Anak muda yang hanya tahu cover masalah yang hingga hari ini tidak terselesaikan, dia bertanya kemana-mana pun tidak ada yang tahu, akhirnya ya sudah bikin film saja,†jelasnya.
Dijelaskannya lebih lanjut bahwa narasumber yang diambil untuk film dokumenter tersebut tidaklah valid. Kenapa? Karena tidak seimbang. Sebab jika film dokumenter yang berbicara, harus menliput dua sisi sudut pandang. Namun, Ade mengatakan film dokumenter yang hanya mengkover satu sis jugai merupakan satu hal yang wajar.
“Selalu ada pro dan kontra. Kalau salah satunya saja yang diambil dalam film dokumenter, ini akan jadi subjektif. Tapi menurut saya tidak masalah. Mau tidak mau film dokumenter sifatnya propaganda,†ungkapnya.
Sexy Killers
Berbicara film dokumenter, tentu pembahasannya tidak akan lepas dengan salah satu film yang beredar di ranah internet dan melahirkan banyak respon masyarakat pada masa-masa menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 17 April lalu. Sexy Killers merupakan satu dari 12 film karya Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta, dari perjalanannya mengelilingi Indonesia dalam ekspedisi Indonesia Biru, yang dilakukan sejak tahun 2015.
Sebelum merilis di YouTube, film tersebut telah diputar terlebih dulu di 476 titik Nobar (nonton bareng), pada tanggal 5-11 April 2019. Film ini juga ditayangkan di Banjarmasin. Beberapa hari sebelum Sexy Killers siap ditayangkan, Ade yang kenal dekat dengan sang sutradara pun dihubungi. Tidak hanya Ade, Dandhy menghubungi seluruh wadah pemutaran film alternatif.
Sebelumnya FSB pernah memutar salah satu film yang masuk dalam ekspedisi Indonesia Biru, yaitu Asimetris, sebuah film tentang dampak perkebunan kelapa sawit. Ade mengatakan bahwa sang sutradara Sexy Killer ini memang sangat subjektif dalam membuat film dokumenter tersebut, tapi menggunakan data yang sangat valid. Sexy Killers sendiri bukan sesuatu yang baru, ujarnya. Karena sejak awal sudah dipersiapkan untuk ekspedisi Indonesia Biru.
Melalui Ade, Manajer Data dan Kampanye Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA), Budi Kurniawan mengatalan bahwa memang sudah sewajarnya keterkaitan antara satu dan hal lainnya saling berhubungan ketika kapitalis berbicara di dalam sebuah negara. Namun, yang jadi poin masalahnya adalah dampak Indonesia ke depannya.
Oleh sebab itu, jika sedikit mengarah ke pengaruh suara politik di Kalsel, tentu Sexy Killers mempunyai dampaknya, terhadap hasinya, terang Ade. Film Dokumenter Sexy Killers telah ditonton lebih dari 1,2 juta kali, selama dua hari penayangannya di situs berbagi video YouTube, sejak tanggal 13 April 2019 kemarin.(mario)
Editor:Cell
apahabar.com, BANJARMASIN – Dunia perfilman daerah perlahan mulai bangkit. Mafia Banjar 2, salah satu film produksi Anak Banua (KAB), bisa jadi mampu mengembalikan gairan sineas Banua dalam berkarya. Banyak pihak melontarkan aspirasi dan dukungan terhadap film ini.
“Aku salut melihat perjuangan mereka mau menyisihkan waktu di antara padatnya pekerjaan masih menyempatkan membuat film,” ungkap pegiat film Kalsel, Munir Sadikin kepada apahabar.com belum lama ini.
Anak muda, kata dia, patut meniru semangat berkarya bukan hanya menjadikan patokan film tersebut laku atau tidaknya.
“Film itu luas. Nanti saja membicarakan kualitas baik atau jeleknya,” katanya
Tak hanya memberikan apreasiasi, guru SMKN 3 Banjarmasin ini menilai, Mafia Banjar2 dapat menjadi perputaran ekonomi daerah. Wajar kata dia, sebab dengan mengundang massa otomatis para investor akan melibatkan diri dalam proyek ini.
“Ini pertanda yang baik untuk ekosistem. Paling tidak ada film yang bisa dinikmati dari kelas bawah sampai kelas menengah,” tuturnya.
Karenanya, anak muda diharap tidak menjadikan Mafia Banjar 2 sebagai patokan kesuksesan film daerah. “Jangan jadikan patokan capaian karyanya saja tetapi semangatnya. Lebih mandiri,” tuturnya
Tidak berkomentar banyak mengenai isi film, namun melihat animo masyarakat yang mulai antusias akan naiknya film indie. “Mereka mampu menggaet penonton yang jarang ke bioskop. Apalagi setelah mendengar berita juragan bawang yang memborong tiket itu,” sebut dia.
Ini membuktikan KAB mampu menjamah pasar film lokal yang tidak terjamah oleh sineas-sineas sebelumnya. “Mereka bahkan menggaet pak walikota untuk menjadi cameo dan memasang beberapa titik baliho juga spanduk untuk promosi,” ungkapnya
Reporter: Musnita Sari Editor: Syarif
Sumber Utama : https://apahabar.com/2019/11/belajar-dari-mafia-banjar-2-anak-muda-wajib-tiru-semangat-sineas-banua/
apahabar.com, BANJARMASIN – Sukses dengan film Mafia Banjar 1 dan 2, melecut motivasi Kreasi Anak Banua untuk kembali menggarap film dengan judul yang sama.
Dikemukakan Penanggung Jawab Produksi, M Risky Ariandy, dengan adanya peningkatan dari jumlah penonton di film pertama Mafia Banjar 1 ke Mafia Banjar 2, membuat pihaknya terus berkreatifitas.
“Untuk Mafia Banjar 3 kami sudah ada rencana. Nantinya Mafia Banjar 3 tidak akan jauh dari ceritanya dunia sindikat atau dunia kejahatan,” jelas Risky di sela nonton bareng film Mafia Banjar 2 di Aula Kayuh Baimbai Balai Kota, Sabtu (07/12) malam.
Risky menambahkan, kalau di Mafia Banjar 1 ceritanya adalah tentang sindikat pertambangan dan di Mafia Banjar 2 sindikat narkoba dan premanisme di Banjarmasin, di Mafia Banjar 3, Risky mengungkap akan ada kejutan lainnya yang tidak jauh dari dunia hitam.
“Kalau melihat keberhasilannya dari Mafia Banjar 1 dan Mafia Banjar 2 yang cukup drastis, dari pemain, pengambilan gambar, kami harap nanti di Mafia Banjar 3 akan lebih baik lagi menutup apa yang menjadi kekurangan di Mafia Banjar 2,” tukasnya.
Sementara sutradara film Mafia Banjar, Fin Lee Neo, menceritakan kesulitan dalam penggarapan film yang sudah lama ditanganinya ini.
“Sebenarnya waktu menjadi kendala, filmnya ini kan sudah lama, tapi karena ada suatu faktor dari profesi masing-masing pemain sehingga membuat penggarapan film dari Mafia Banjar 1 ke Mafia Banjar 2 jadi sangat lama,” tuturnya.
Fin Lee yang juga bermain sebagai pemeran utama di Mafia Banjar 2 sebagai Ipunk mengatakan, film Mafia Banjar 1 ke Mafia Banjar 2 terjeda selama empat tahun dari 2015 dan baru di 2019 Mafia Banjar 2 rampung sehingga bisa ditayangkan.
“Karena waktu itu juga ada kerusakan, maka film ini waktu itu kami pending hingga baru sekarang bisa tayang,” pungkasnya.
Pada malam nonbar film Mafia Banjar 2 bersama masyarakat dan crew film, juga terlihat hadir pejabat lingkup pemko Banjarmasin dan pengacara kondang Denny Indrayana. Dalam kesempatan nonbar, Denny ikut membagikan doorprize yang sudah disediakan para crew untuk para penonton.
Reporter: Ahya Firmansyah Editor: Syarif
Sumber Utama : https://apahabar.com/2019/12/kreasi-anak-banua-siap-garap-lanjutan-film-mafia-banjar/