» » » » » » Pro dan Kontra Banjarbaru jadi Ibu Kota Kalimantan Selatan

Pro dan Kontra Banjarbaru jadi Ibu Kota Kalimantan Selatan

Penulis By on Minggu, 20 Februari 2022 | No comments

 Migo Berita - Banjarmasin - Pro dan Kontra Banjarbaru jadi Ibu Kota Kalimantan Selatan. Jadi ingat, ketika pak Presiden Republik Indonesia Jokowidodo mengumumkan bahwa ibu kota negara pindah dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur dengan nama baru yaitu NUSANTARA, banyak yang nyinyir hingga menghubungkan pemindahan Ibu Kota dari DKI Jakarta, karena pendukung Anies Baswedan Gubernur DKI yang tinggal beberapa bulan lagi akan berakhir tahun 2022 ini tidak akan demo-demo lagi buat menjagokan Anies sebagai Presiden 2024 (ini sih biasa komen warga +62), kita tahu bersama pendukung Anies memang banyak yang "Anti Pemerintah Pusat", seperti ormas terlarang HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam) serta ormas-ormas turunannya 212 hingga grup wahabi salafi takfiri. Nah, salah satu Partai yang juga berada diluar Koalisi Pemerintah adalah Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dimana saat dulu kita tahu bersama bahwa Walikota Banjarmasin adalah kader potensial dari PKS yang ketika pencalonan untuk menjadi Walikota Banjarmasin periode berikutnya Pak Ibnu Sina Walikota Banjarmasin tidak mendapat dukungan PKS, namun dengan "Lobby Serius" Partai Demokrat akhirnya bisa menjadikan Ibnu Sina menjadi Pimpinan di Partai Demokrat KalSel, sehingga gaung atau harapan untuk Calon Gubernur atau Wakil Gubernur KalSel tahun 2024 terbuka kembali. Lalu apa hubungannya, momennya sama dengan DKI Jakarta yang tidak lagi menjadi Ibu kota NKRI, melainkan NUSANTARA yang menjadi Ibu Kota Negara Baru, Banjarmasin pun sama tidak lagi menjadi ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan, namun Kota Banjarbaru lah yang terpilih dengan berbagai alasan pendukung. Intinya, apakah ini tanda-tanda, bahwa ambisi Calon Gubernur atau Wakil Gubernur KalSel tahun 2024 dari Partai Demokrat yang tertuju kepada sosok pak Ibnu Sina akan hanya menjadi IMPIAN, kita tunggu saja tahun 2024. Setelah Tim Sukses berhasil memenangkan PRABOWO pada PILPRES 2014 dan 2019 di KalSel, namun menurut rakyat kebanyakan di KalSel tidak ada perubahan berarti yang didapat dalam pelayanan publik dan lainnya padahal sudah Otonomi Daerah, artinya kalau memang betul-betul memperjuangan rakyat KalSel tentu akan lebih mudah, semisal tentang Masalah JHT (Jaminan Hari Tua), Guru-guru P3K yang "terkesan dipersulit" dengan menggulirkan bahwa penggajihan apakah dengan APBN atau APBD tanpa ada keberpihakan kepada para Guru Honor SD yang sudah lulus dan melakukan pemberkasan, padahal untuk Dana PILKADA di Kalsel untuk tahun 2024 sudah dianggarkan dana 100 Milyar pertahun dari tahun 2022, 2023 hingga tahun 2024. Lalu mana keberpihakan Pemerintah Daerah kepada warganya, khususnya warga Kalimantan Selatan. Jangan Hanya menyalahkan kepada Pemerintah Pusat, padahal Pemerintah Daerah sendiri terkesan LAMBAT memperjuangkan Aspirasi masyarakat Banua Banjar. Belum lagi Kasus "Jembatan Basit" ketika "orang-orang Kaya" bisa melintas di Jembatan tersebut padahal masyarakat yang memerlukan masih belum bisa padahal pengerjaan sudah selesai, itu sampai terdengar ke Istana Presiden dan akhirnya langsung memerintahkan Jembatan tersebut dibuka untuk masyarakat dan beliau pun tetap datang untuk meresmikan, namun Anehnya hingga hari ini peristiwa "Orang-orang Kaya" yang bisa melinatas jembatan tersebut seperti "TakTersentuh Hukum". Belum lagi permasalah Sampah Sungai, koq bisa cuman MENYEWA Kapal Sapu-sapu, apakah tidak ada kepedulian pemerintah daerah khususnya Kota Banjarmasin untuk menganggarkan Membeli dan mempunyai sendiri Kapal Keruk sampah tersebut, aneh kan??? dimana keberpihakan pemerintah Daerah yang sudah di Menangkan Rakyat KalSel dengan TANPA MEMENANGKAN Jokowi pada PilPres 2014 dan 2019, Jangan Rakyat Banua Banjar hanya diberi "Janji-janji SURGA, namun akhirnya orang yang tidak dipilih (Pak Presiden Jokowi) Malah yang lebih optimal memperhatikan dan mengayomi Masyarakat Banua Banjar. (Jadi ingat LOMBOK yang ssekarang terkenal dengan sirkuit MANDALIKA yang mayoritas juga tidak memilih pak Jokowi, namun sangat diperhatikan pembangunannya... hemmm..Apakah nanti ada kejutan tahun 2024, siapakah pimpinan Banua Banjar Kalsel nantinya ?? Yang jelas Rakyat banua Banjar sudah mulai paham, kemana para "Rakus Berkuasa" berpihak...??!!!??

 Agar tidak gagal paham dalam membaca artikel, terus membaca hingga Tuntas. Selamat Membaca.









Incar 8 Kursi DPRD Di Pemilu 2024, Demokrat Dorong Ibnu Sina Maju Di Pilgub Kalsel

PARTAI Demokrat mendorong Walikota Banjarmasin Ibnu Sina maju dalam pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur (Pilgub) Kalimantan Selatan pada 2024 nanti.

KELAYAKAN Ibnu Sina yang sebelumnya mantan Ketua DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kalsel ini, karena telah dua periode memimpin Pemkot Banjarmasin. Sebelumnya, pada periode pertama 2016-2021, Ibnu Sina berduet dengan kader PDIP, Hermansyah. Kini, Ibnu Sina menggandeng mantan birokrat Pemprov Kalsel dan Pemkot Banjarmasin, Arifin Noor memimpin Balai Kota.

“Kami yakin Pak Ibnu Sina sudah layak ikut dari pilkada mendatang di tingkat provinsi. Tentu saja, Partai Demokrat harus menang dalam Pemilu 2024 mendatang,” kata Kepala Badan Pembina Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan (BPOKK) DPP Partai Demokrat Herman Khaeron, saat membuka Musyawarah Cabang IV Partai Demokrat se-Kalsel di Hotel Best Western Kinday, Banjarmasin, Senin (21/2/2022).

Menurut anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Demokrat ini, saat ini berdasar hasil Pemilu 2019 lalu, ada tiga anggota DPRD Kalsel. “Harapannya pada Pemilu 2024 nanti, Partai Demokrat bisa merebut tujuh kursi di DPRD Kalsel,” kata Herman.

Mengenai target raihan kursi parlemen di DPRD kabupaten dan kota di Kalsel, Herman juga mematok minimal bisa merebut 8 kursi. “Saat ini, di DPRD Banjarmasin baru mendapat lima kursi, jadi minimal dapat delapan kursi. Ke depan, Partai Demokrat harus bisa mengusung kader terbaik untuk bersaing di pilkada,” ucapnya.

Untuk diketahui, pada pemilihan Walikota-Wakil Walikota Banjarmasin pada 2020 berpasangan dengan Arifin Noor merebut 89.378 suara. Total suara ini merupakan akumulasi dari pemungutan suara pada pilkada serentak 9 Desember 2020 dan pemungutan suara ulang (PSU) pada 28 April 2021.

Ibnu Sina-Arifin Noor diusung tiga koalisi partai. Yakni, PKB dengan lima kursi, Partai Demokrat dengan lima kursi dan lima kursi dari PDIP di DPRD Banjarmasin. Total saat ini, ada 15 kursi parpol pendukung pemerintahan Ibnu Sina-Arifin Noor di parlemen kota.

Didukung DPP Partai Demokrat, Ibnu Sina menyatakan siap untuk maju berlaga dalam Pilgub Kalsel 2024 mendatang. Walikota Banjarmasin ini mengakui optimistis bisa mewujudkan tambahan kursi parlemen serta menggenjot suara Partai Demokrat Kalsel. Dengan catatan, Ibnu Sina meminta seluruh jaringan Partai Demokrat benar-benar solid dan militan.

Mengenai pencalonannya sebagai kandidat Gubernur Kalsel ke depan, Ibnu Sina pun menyatakan dukungan dari DPP Partai Demokrat merupakan sebuah harapan dan kehormatan bagi dirinya. “Ya, minimal ada 11 kursi parpol pengusung untuk bisa mengusung calon Gubernur Kalsel pada pilkada 2024 nanti,” kata Ibnu Sina.

Perhitungan 11 kursi ini didasari saat ini komposisi 55 wakil rakyat di DPRD Provinsi Kalsel. Nah, jika memenuhi 11 kursi berarti mencapai ambang batas (parliamentary threshold) parpol pengusung duet calon Gubernur-Wakil Gubernur Kalsel berdasar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut dia, kemungkinan besar jika Partai Demokrat menjadi parpol pengusung dirinya sebagai calon Gubernur Kalsel maka harus berkongsi dengan parpol lainnya. “Kita pasti akan berkoalisi. Namun, jika saya diperintahkan maju (sebagai calon Gubernur Kalsel), saya pasti akan maju,” tandas Ibnu Sina.

Sementara itu, Musyawarah Cabang (Muscab) IV Partai Demokrat se-Kalsel dihelat dengan menerapkan protokol kesehatan (prokes). Agenda muscab menjadi ajang konsolidasi pemantapan Partai Demokrat dalam menghadapi Pemilu 2024.

“Saya minta agar seluruh pengurus dan kader Demokrat di Kalsel tetap menjaga keharmonisan. Ini merupakan tahapan untuk mengokohkan dan meraih kemenangan pada Pemilu 2024 nanti,” kata Herman Khaeron lagi.
Ibnu Sina
Ketua DPD Partai Demokrat Kalsel Ibnu Sina bersama sekretarisnya, Bambang 
Yanto Permono saat memimpin rapat persiapan muscab.

Jika Jembatan ‘Basit’ Masih Gelap Gulita, Rosehan Ancam Ajak Warga Pasang Petromaks

TERHITUNG hampir sebulan, Jembatan Sei Alalak yang popular dengan Jembatan Basit menghubungkan Jalan Brigjen H Hasan Basry Kayutangi ke Handil Bakti, gelap gulita.

DIDUGA karena jaringan kabel utilitas listrik Jembatan Sei Alalak itu telah dicolong maling, hingga Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Kalsel mengklaim mengalami kerugian mencapai Rp 131 juta. Pencurian oleh oknum tak bertanggungjawab itu telah dilaporkan BPJN Kalsel ke Polda Kalsel, karena aki dan kabel tenaga surya telah digondong maling.

Ternyata, hingga kini, Jembatan Sei Alalak masih gelap gulita. Belum ada upaya untuk memasang penerangan jembatan yang telah menelan dana Rp 278 miliar lebih, digarap konsorsium PT Wijaya Karya-PT Pandji Bangun Persada. Dana ini bersumber dari ‘utang’ Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) tahun anggaran 2018-2021.

Jembatan Sei Alalak alias Jembatan Basit ini diresmikan Presiden Joko Widodo pada Jumat (22/2/2022) lalu. Hampir sebulan, panorama indah Jembatan Sei Alalak disuguhkan dengan lampu warna-warni.

“Kalau dihitung sampai sekarang berarti sudah 27 hari Jembatan Basit atau Sei Alalak ini gelap gulita, karena pada Minggu (24/1/2022) diketahui adanya dugaan pencurian aki dan kabel listrik tenaga surya. Tapi, ironisnya sampai sekarang belum ada upaya dari pihak BPJN Kalsel untuk segera menerangi jembatan itu,” kata Wakil Ketua Komisi III DPRD Kalsel HM Rosehan Noor Bachri kepada jejakrekam.com, Senin (21/2/2022).

Menurut Rosehan, meski sudah ada pemasangan penerangan jalan umum (PJU) di kawasan Handil Bakti dan media jalan di Kayutangi, namun di bentang utama Jembatan Basit masih gelap gulita.

“Seharusnya pihak BPJN Kalsel sebagai empunya jalan mencari alternatif, jangan hanya bisa menunggu,” cetus mantan Wakil Gubernur Kalsel ini.

Wakil Ketua Komisi III DPRD Kalsel dari Fraksi PDIP, HM Rosehan Noor Bachri. (Foto Dokumentasi JR)

Masih menurut Rosehan, jika belum ada upaya serius dri BPJN Kalsel, maka dirinya bersama warga Banjarmasin akan mengambil tindakan.

“Kami akan ramai-ramai pasang lampu petromaks di Jembatan Basit. Saya akan buktikan itu akan terjadi, jika jembatan ini masih dibiarkan gelap gulita. Hal ini membuktikan jika warga Banjarmasin peduli dengan fasilitas publik, bukan dibiarkan berlangsung lama gelap gulita,” ucap Ketua Fraksi PDIP DPRD Kalsel ini.

Hal senada juga dilontarkan anggota Komisi III DPRD Banjarmasin dari Fraksi Golkar, Sukhrowardi. Ia mengaku bingung karena pihak BPJN Kalsel sebenarnya sudah menjalin nota kesepahaman (MoU) dengan Pemkab Barito Kuala dan Pemkot Banjarmasin soal PJU pada Selasa (21/9/2022) lalu.

“Jika berdasar kontrak kerja dengan PT Wika dan PT Pandji, jelas status Jembatan Sei Alalak atau Basit ini masih dalam tahap pemeliharaan kontraktor pelaksana. Ini harus ada penegasan,” kata Sukhrowardi.

Menurut dia, dengan adanya MoU dengan Pemkab Batola-Pemkot Banjarmasin, pihak BPJN Kalsel bisa saja menggandeng pemerintah daerah dalam penanganan utilitas jembatan, khususnya PJU.

“Bukan membiarkan Jembatan Basit ini gelap gulita hampir sebulan. Ini jelas merugikan masyarakat, khususnya pengguna jalan. Apalagi, Jembatan Sei Alalak ini menjadi ikon Kalsel yang berada di Banjarmasin dan Batola,” papar Sukhrowardi.

Jembatan Basit

Jembatan Sei Alalak alias Jembatan Basit yang masih gelap gulita di malam hari.

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2022/02/21/jika-jembatan-basit-masih-gelap-gulita-rosehan-ancam-ajak-warga-pasang-petromaks/

Kiprah Cina Banjar, Liem Koen Hian Dalam Pusaran Politik Indonesia Yang Terlupakan

Oleh : Iberahim

“SELURUH tanah Malaya saja ketahui hendak bersatu dengan daerah jang delapan. Dimanakah suara tuan Hadji Agus Salim, anak Riau Semenandjung Malaka; tuan Dahler jang telah minum air Minangkabau tanah Bangkinang; tuan Lim Koen Hian, anak Bandjar (Banjar) pengembaraan Sumatera, keluarkanlah pendapat tuan-tuan!

TUAN Harahap, pengarang buku dari Pantai Kepantai” manakah sumbangan hati tuan. Alim-ulama, lupakah tuan-tuan akan persatuan daerah Islam, dan lupakah tuan-tuan, bahwa pemuda-pemuda Malaya itu bersatu dengan pemuda tuan di Mekkah dan Mesir? Rombongan Indonesia ke Nippon! Nama-nama tuan-tuan sangat dihargakan oleh orang Malaya, tanda persatuan. Dan tuan penganjur Drs Muhammad Hatta dan Ir Soekarno, nama tuan-tuan sangat harum sampai ke Borneo Utara, Indonesia Timur dan seluruh Malaya, harum semerbak karena percaya akan politik kebangsaan tuan, yang berdasarkan persatuan daerah dan bangsa, yang luas dan ichlas. Jangan putuskan harapan Malaya, dan penuhilah harapan angkatan muda Indonesia!”.

Demikian ucapan ini tercantum dalam Himpunan Risalah Sidang-Sidang Dari: Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 29 Mei 1945 — 16 Juli 1945.  Dan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18-19 Agustus 1945 yang berhubungan dengan Penyusunan UUD 1945. Kutipan ini diambil dari buah tulisan Prof Mr Haji Muhammad Yamin, jilid pertama tahun 1959.

Dalam narasi di atas tersebut nama Tuan Lim Koen Hian, anak Bandjar (Banjar) pengembaraan Sumatera.

Permintaan Mr. Muhammad Yamin tegas agar Lim Koen Hian yang disebut mengeluarkan pendapat sehubungan dengan kabar Tanah Malaya hendak bergabung dengan daerah yang delapan (Sumatera, Jawa, Borneo (Kalimantan(, Malaja, Selebes (Sulawasei), Sunda-Kecil, Maluku dan Papua).

Koran Soeara Publiek, Senin 14 Maret 1927. (Foto Dokumentasi Pribadi)

Menurut buku berjudul Tokoh -Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia Bagian I terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Tahun 1993 bahwa Liem Koen Hian dilahirkan di Banjarmasin pada 1896. Ayahnya seorang pedagang kecil yang kemudian menjadi pegawai Hindia Belanda. Dengan latar pendidikan dasar ELS dan mencoba kuliah di RHS di Jakarta, Liem banyak berkecimpung di bidang kewartawanan dan persuratkabaran.

Ia memulai pekerjaannya sebagai staf majalah Penimbangan yang terbit di Banjarmasin masa itu. Pada tahun 1915 -1916, ia memimpin surat kabar Tjhoen Tjhioe. Tahun berikutnya ia memimpin sendiri mingguan miliknya bernama Sao Lim Poo. Mingguan itu tidak berumur lama, karena itu Liem kemudian menjadi editor kepala Sinar Soematra yang terbit di Padang dalam tahun 1918-1921. Ketika Kwee Hing Tjiat, editor kepala Pewarta Soerabaya, pergi ke Eropa (1921), Liem ditunjuk sebagai penggantinya sampai tahun 1925 .

Tambahan informasi oleh Leo Suryadinata dalam The search for national identity of an Indonesian Chinese : a political biography of Liem Koen Hian disebutkan bahwa Liem Koen Hian adalah anak sulung dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Liem Ke An, adalah seorang pengusaha. Seperti biasa di antara beberapa keluarga peranakan kaya, Liem dikirim ke sekolah Belanda di kota kelahirannya untuk pendidikan dasar tetapi tidak lulus.

Setelah lulus sekolah, ia sempat bekerja di Shell Oil Company di Balikpapan, tetapi pekerjaan administrasi tidak menarik baginya. Ia meninggalkan Balikpapan dan kembali ke Banjarmasin di mana ia mulai mengembangkan minat jurnalisme, bekerja untuk Penimbangan, sebuah surat kabar peranakan, sebelum ia ternama dalam jurnalisme di Jawa.

Kembali ke buku Tokoh -Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia Bagian I terbitan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI Tahun 1993, dinamika pergerakan nasional Indonesia tahun 1920-an nampaknya berpengaruh pada diri Liem.

Koran Sin Tit Po, Rabu 6 Mei 1931. (Foto Dokumentasi Pribadi)

Pada tahun-tahun itu, Liem mulai melepaskan nasionalis Cinanya dan memilih bergabung ke dalam pergerakan nasional Indonesia. Ide-ide Liem tentang nasionalisme Indonesia bagi peranakan Cina terus berkembang sejalan dengan jabatan-jabatan editor yang dipegangnya pada surat kabar Soeara Poebliek/ Swara Publiek (Surabaya, 1925-1929); Sin Jit Po / Sin Tit Po (Surabaya, 1929 -1939) dan Kong Hoa Po (Jakarta, 1937 – 1938).

Dalam buku 1907-2007 Seabad Pers Kebangsaan disebutkan bahwa Swara Publiek adalah harian yang dikelola peranakan. Fungsi koran ini sangat penting , sebab berada dalam satu gerak menabalkan semangat nasionalitas dengan jalan terus memberitakan makna -makna penting nasionalisme Cina.

Ulasannya pada 1926 atas kisah hidup Sun Yat Sen serta guratan idenya ihwal tiga asas kerakyatan yang meliputi Nasionalisme (Kebangsaan), Demokrasi, dan Sosialisme (Kesejahteraan Rakyat). Kemudian diketahui menjadi salah satu penyumbang besar dalam konfigurasi susunan sila-sila Pancasila yang pertama kali secara terbuka dan formal dikemukakan Soekarno pada 1 Juni 1945.

Pidato politik Liem Koen Hian dimuat dalam di Sin Jit Po edisi 2 Desember 1929 dengan judul “Darah Tionghoa ”. Di surat kabar Sin Jit Po Liem menjabat sebagai Hoofdredactuer. Yang menjadi penting dalam pidato Liem adalah pemikirannya yang menyeru tentang nationaliten peranakan.

Di tahun itu pula, Liem Koen Hian menjadi directeur-hoofdredacteur surat kabar Swara Publiek yang memberi ruang sendiri untuk nasionalisme. Swara Publiek adalah harian yang diterbitkan N.V. Swara Publiek. Terbit dalam dua lembar di bawah kepemimpinan Liem Koen Hian, Swara Publiek banyak menyuguhkan berita yang mendukung nasionalisme. Nasionalisme yang dibangun di altar nasionalisme asing yang di kemudian hari disadari punya ekses besar terhadap kesadaran nasionalisme kebangsaan Indonesia.

Dalam buku Tokoh -Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia Bagian I terbitan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI Tahun 1993, konsep Liem tentang Hindia Belanda adalah tanah air dari kaum peranakan Tionghoa.

Oleh karena itu masyarakat Tionghoa mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan penduduk pribumi. Ada beberapa faktor yang mendorongnya berpandangan seperti itu. Pertama, munculnya partai-partai nasionalis Indonesia dalam tahun 1920-an mendorong Liem sadar bahwa peranakan Tionghoa harus memilih antara berdampingan dengan Belanda atau dengan Indonesia.

Kedua, perkembangan yang menunjukkan bahwa semua orang yang memandang Indonesia sebagai tanah airnya dan secara aktif berperanserta untuk mewujudkannya merupakan kesempatan yang baik bagi peranakan Cina untuk bergabung dalam perjuangan mendapatkan kemerdekaan Indonesia itu.

Suasana Kampung Pecinan di Banjarmasin pada tahun 1910-1911. (Foto Dokumentasi Pribadi)

Pada September 1932, bersama dengan kawan-kawannya serta dukungan kaum nasionalisme Indonesia di Surabaya, Liem mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Melalui wadah ini mereka percaya bahwa peranakan Tionghoa tidak hanya dapat menjadi bangsa Indonesia dalam arti politik, melainkan juga harus berjuang bersama-sama dengan kaum nasionalis dalam mencapai kemerdekaan Indonesia. Karenanya, PTI lebih cenderung pada perjuangan untuk menentang penjajahan Belanda, karena merasa senasib dengan penduduk pribumi.

Dalam De Chineezen In Nederlandsch 0ost-Indiê Door karya J. Moerman J  terbitan tahun 1933, disebutkan dalam perjalanan tahun 1932 didirikan sebuah perkumpulan yang menyandang nama Partai Tionghoa Indonesia. Partai ini telah memiliki tiga divisi/perwakilan, yaitu : Surabaya, Malang dan Semarang. Pemrakarsanya adalah Tuan: Liem Koen-hian, Tn. Ong Liang-kiok dan Tn. Ko Kwat-ting.

Tujuan dari perkumpulan ini adalah untuk menjaga kepentingan orang Tionghoa India (Peranakan) dalam arti yang seluas-luasnya. Tujuannya adalah untuk bergabung dengan partai-partai Nasionalis Sejati.

Kemudian dalam Overzicht van de Inlandsche en Maleisch-Chineesche Pers edisi Sabtu, 1 Oktober 1932 No. 39 disebutkan Sin Tit Po dan Soeara Umoum (26 September) merekam laporan pertemuan pendirian Partai Tionghoa Indonesia Bpk. Liem Koen Hian (pemimpin redaksi majalah lama — Rapp.) dikenal dari gerakan boikot. Soeara Ummum melihatnya sebagai ekspresi semangat yang telah lama bertakhta di kalangan orang Tionghoa yang lahir di sini.

Aksi (14 September) hanya melihat semangat Pak. Liem dkk., yang di Indonesia, ingin bergabung menjadi satu kelompok, dan lebih merasakan penggabungan terpisah antara orang Indonesia dan Cina. Namun, bagi orang Indo-Cina, sudah tiba waktunya untuk mengorganisir diri, antara lain untuk melawan Chung Hwa Hui.

Gerbang kampung Pecinan di Banjarmasin dengan pose foto para pejabat Belanda dan Tionghoa. (Foto Wikiwand)

Di tahun 1932 ini juga, Liem Koen Hian bertemu dengan Abdul Rahman Baswedan atau A.R. Baswedan (kakeknya Anies Baswedan), seorang tokoh Arab pada zaman pergerakan. Dalam buku Abdul Rahman Baswedan, Karya dan Pengabdiannya karangan Suratmindikisahkan awal pertemuan itu. Ketika A.R. Baswedan memenuhi permintaan mertuanya yang mulai membuka usaha rokok kretek, ia pergi ke Surabaya untuk pemasarannya.

Suatu pekerjaan yang sama sekali tidak menarik hatinya yang tetap bercita-ita untuk pergerakan. Namun secara kebetulan ia berjumpa dengan Liem Koen Hian, pemimpim redaksi harian Tionghoa Melayu. Saat itu, Liem menawarkan kepada AR. Baswedan bekerjasama dalam staf redaksi surat kabarnya.

Tak ayal, A.R. Baswedan menerima tawaan tersebut. Esoknya, ia mulai bekerja dalam haian Sin Tit Po yang pro pergerakan nasional. Kemudian persahabatan dua anak manusia dari keturunan Arab dan Cina banyak dibahas dalam tulisan-tulisan lainnya di kancah nasional. Mereka saling menginspirasi dan saling membela satu sama lainnya. Pertemanan dengan Liem Koen Hian, inilah kmenginspirasi A.R. Baswedan yang berikutnya mendirikan Partai Arab Indonesia pada 1934.

Kembali ke buku Tokoh -Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan mengacu kepada gerakan PTI yang ia dirikan, Liem membenarkan banyaknya tantangan dan perlawanan di kalangan Tionghoa tersebut.

Perbantahan yang sering dikemukakan adalah bagaimanakah pemerintah kebangsaan Tiongkok. Dalam hubungan ini, Liem menegaskan bahwa bangsa Tionghoa sudah tidak ada lagi. Dalam arti kultural memang masih diakui dan bisa saja ada, tetapi buat peranakan Tionghoa di tanah Jawa ini, arti kultural tidak bisa dipakai lagi.

Sebab, menurut Liem, begitu ada predikat bangsa Indonesia dan pasal yang menyebutkan kewarganegaraan (warganegara Indonesia), maka peranakan Tionghoa bisa menggunakannya. Dalam menjelaskan idenya itu, Liem melihat bahwa hambatan ke arah itu pasti muncul, apalagi Pemerintah Belanda tidak suka melihat persatuan bangsa Tionghoa dengan bangsa Indonesia. Itu terlihat ketika PTI dimusuhi pemerintah kolonial.

Gereja Katolik di Kampung Kelayan, kini di Jalan Pekauman yang merupakan kampung Tinghoa Banjar. (Foto KITLV)

Liem juga bersikap keras dalam menentang pemerintah pendudukan Jepang. Ia sempat ditawan oleh pemerintah pendudukan itu. Hal yang menarik perhatian karena setelah dilepaskan dari tahanan, ia kemudian diangkat sebagai anggota BPUPKI mewakili masyarakat Tionghoa .

Dalam rapat besar pada 11 Juli , setelah Badan Penyelidik menetapkan bentuk negara dan daerah negara, Liem membicarakan pentingnya soal warga atau rakyat Negara Indonesia. Dalam konteks soal warga negara itu, Liem menegaskan tentang kewarganegaraan orang keturunan Tionghoa. Meskipun benar bahwa orang Tionghoa tidak mengenal wadah bangsa, menurut Liem mudah saja memberikan ukurannya. Yaitu bahwa  sebagai orang yang berada di luar negara (Tiongkok ), orang Tionghoa itu bekerjasama di mana ia dilahirkan dan dibesarkan”.

Pembuktian bahwa usaha -usaha PTI mendapat dukungan suara dari orang peranakan Tionghoa, diketengahkan Liem dalam sidang BPUPKI itu. Pada 1934, untuk pertama kali partai ini ikut dalam pemilihan di Kota Surabaya. Kelima kursi yang disediakan untuk golongan Timur Asing dapat direbut oleh PTI. Begitu pula dalam Volksraad, PTI mempunyai wakilnya .

Apa yang diinginkan oleh Liem ialah bahwa dalam hati kebanyakan orang peranakan Tionghoa di Jawa mendukung tujuan PTI, meskipun masih banyak pula yang tidak berani menyatakan pendapatnya. Di berbagai tempat seperti Bandung, Surabaya dan Malang, Liem meminta melalui Badan Penyelidik, supaya mereka lebih baik menjadi rakyat Indonesia saja. Sedangkan bagi yang tidak suka boleh menyatakan pendapatnya. Mengapa masih ada yang keberatan? Dalam kemungkinan adanya penolakan itu, Liem menjelaskan bahwa berkesan Peranakan Tionghoa tidak pernah memikirkan hal politik. Padahal sewaktu Liem menjadi mahasiswa hukum, pada suatu pertemuan perjamuan Cap Go Meh, seorang mahasiswa kedokteran membuka acara tersebut dengan suatu pidato.

Ia memperingatkan tentang kewajiban sebagai mahasiswa untuk,” bekerja goena negeri ini boekan sadja karena kita telah dilahir kan dan mendjadi besar, tetapi dimana kita mendapat peladjaran sehingga mendjadi seperti sekarang ini ” . Liem sangatsenang mendengar pidato mahasiswa itu.

Dalam sidang 15 Juli yang masih membicarakan hukumdasar (grondrechten ) seperti diusulkan oleh Hatta dan Yamintentang hak bersidang dan berkumpul, Liem menambahkanjuga hak kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Menurut Liem, kemerdekaan pers akan berfungsi sebagai alatpengontrol kejelekan -kejelakan di dalam masyarakat.

Sekolah Katolik untuk wrga Belanda dan Tionghoa di Banjarmasin. (Foto KITLV Leiden)

Soal warga negara bagi peranakan Tionghoa nampaknyatetap menjadi obsesi Liem. Masih dalam sidang BPUPKI itu, ia kembali membahas urusan warga negara. Atas dasar permintaan -permintaan orang Tionghoa di Surabaya, Bandung,dan Malang, yang mewakili beberapa ratus penduduk Tionghoadi sana, Liem minta supaya dalam Undang-Undang Dasarditetapkan saja bahwa, “semoea orang Tionghoa mendjadi warga negara Indonesia , tetapi diberi kemerdekaan bagi mereka jang tidak soeka boleh menolak ”.

Liem berkeyakinan bahwa akan banyak orang PeranakanTionghoa yang memilih menjadi warga negara Indonesia. Liemjuga mengemukakan bahwa mereka mempunyai rasa rindukampung halaman (Tiongkok), tetapi jangan lupa bahwa orang Tionghoa terkenal praktis.

Mari kita perhatikan ungkapan tokohini dalam sidang itu.” Jikalau praktische zin soedah bekerdja, maka segala pertimbangan , segala perasaan , instrincten , aanhankelijkheid, toen doek kepada praktische zin . Saja mansoedkan begini : Di Negeri Filipina dahoeloe, sebeloem perang Asia Timur Raja , ada oendang-oendang negeri jang maksoedkan bahwa hanja rakjat Filipina boleh memboeka waroeng, orang asing tidak boleh. Orang Tionghoa totok jang hidoep di Filipina dan perloe mentjari penghidoepan dengan memboeka waroeng, meloepakan boekan sadja aanhankelijkheid kepada Tiongkok, tetap poela anak-isteri jang masih tinggal di Tiongkok dan masoek mendjadi rakjat Filipina ”.

Kenasionalan Liem diperlihatkannya ketika ia terus ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Liem Koen Hian diangkat menjadi anggota KNIP dan pada konferensi Persetujuan Renville (1948), ia menjadi salah seorang anggota delegasi Republik Indonesia.

Pada tahun 1951, Liem ditahan dalam razia Agustus yang terkenal itu oleh pemerintah di bawah Sukiman dengan tuduhan menjadi agen Republik Rakyat Cina. Menurut Leo Suryadinata dalam The Search for National Identity of an Indonesian Chinese: a Political Biography of Liem Koen Hian, pada pertengahan tahun 1951, pemerintahan Sukiman berkuasa. Khawatir akan terjadi Peristiwa Madiun Kedua, Sukiman melancarkan pembersihan sebelum Hari Kemerdekaan dan banyak pemimpin sayap kiri dan Komunis ditangkap.

Suasana Sekolah Katolik di Kampung Pecinan Banjarmasin. (Foto KILTV Leiden)

Sehubungan dengan pembersihan ini, Liem ditahan pada 16 Agustus. Ini adalah pertama kalinya ia dipenjara oleh rekan senegaranya. Dikatakan bahwa perawatan di penjara buruk dan Liem yang sudah sakit menjadi sangat sakit. Akibatnya, ia dibebaskan pada 29 Oktober 1951. Liem mengalami semacam shock emosional di penjara dan menolak kewarganegaraan Indonesia ketika masa opsi hampir berakhir. Ia kemudian menjadi warga negara Republik Rakyat Tiongkok.

Peristiwa ini menarik perhatian pers Indonesia. Liem kemudian diwawancarai oleh seorang reporter Indonesia Raya dan hasil wawancara tersebut (secara luas) dibahas baik di pers Indonesia maupun peranakan Tionghoa. Liem memberikan alasan berikut untuk membenarkan penolakannya terhadap kewarganegaraan Indonesia. Pertama, dia membenci penahanan, karena dia tidak bersalah, dan fakta bahwa pemerintah menolak untuk mengakui kesalahannya.

Kedua, dia dirugikan oleh praktik diskriminasi rasial terhadap orang-orang keturunan Tionghoa. Ia secara khusus menyebut kasus Dr. Tjoa Sik Ien, pemilik percetakan. Dikatakannya, Dr Tjoa tidak diberikan kredit oleh Direktur Bank Negara Indonesia hanya karena dia orang Cina.

Ketiga, ia kecewa dengan Soekarno dan Hatta yang keduanya mulai menunjukkan bias rasial. Ia menyebutkan pidato Soekarno pada Hari Pahlawan (10 November 1951) yang menganjurkan kebencian rasial. Begitupula, pidato Hatta di Bandung juga membuat Liem kesal karena Hatta menyatakan bahwa jika terjadi perang, Indonesia akan berdiri dengan blok anti-Cina.

Surat kabar sayap kiri dan Komunis mengkritik Liem, karena mengambil langkah yang salah. Mereka berpendapat bahwa adalah tugasnya untuk melanjutkan perjuangannya menghapus diskriminasi rasial tetapi dengan menolak kewarganegaraan Indonesia, ia tidak lagi dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik. Salah satu surat kabar peranakan juga menyayangkan keputusan Liem.

Kondisi Pasar Baru Banjarmasin yang sebagian besar toko-tokonya dimiliki Tionghoa atau Cina Banjar. 
(Foto KILTV Leiden)

Seorang penulis berpendapat bahwa “walaupun penangkapan Liem jelas berkontribusi pada keputusannya untuk menolak kewarganegaraan Indonesia, dia juga semakin tertarik, dan dipengaruhi oleh, perubahan politik di daratan Cina.”

Namun, aktivitas Liem selama dua puluh tahun terakhir, dapat dikatakan bahwa Liem terus-menerus memperhatikan perubahan politik di Tiongkok dan kekagumannya terhadap Komunis Tiongkok dimulai jauh sebelum mereka berkuasa. Namun demikian, ia tidak menganjurkan kewarganegaraan Tionghoa bagi orang Tionghoa Indonesia. Bahkan setelah berdirinya Republik Rakyat Cina, ia masih mendakwahkan nasionalisme Indonesia dan mendirikan Persatuan Tenaga Indonesia.

Apa yang membuatnya meninggalkan keyakinan politiknya yang telah ia pelihara selama 20 terakhir? Penahanan selama dua setengah bulan itu rupanya tak hanya membuat dia kehilangan kewarganegaraan Indonesia, tapi juga menghancurkan keyakinan politiknya.

Dia meninggalkan arena politik dan menjadi pengusaha. Dia menjalankan sebuah apotek di Tanah Abang (Jakarta) dan berniat membuka cabang di Medan. Dalam perjalanan bisnis ke Medan, ia menderita serangan jantung dan meninggal pada tanggal 5 November 1952. Jenazahnya yang rencananya akan dimakamkan di Jakarta, justru dimakamkan di Medan.(jejakrekam)

Penulis adalah Pemerhati Sejarah Banjar

Ketua Lembaga Adat Kerajaan Pulau Laut Korwil Banjarmasin

Sekretaris Syarikat Adat, Sejarah dan Budaya (SARABA) Hulu Sungai

Liem Koen Hian

Tokoh Cina Banjar, Liem Koen Hian dalam potret lawas.

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2022/02/03/kiprah-cina-banjar-liem-koen-hian-dalam-pusaran-politik-indonesia-yang-terlupakan/

Menolak Ibukota Kalsel Ke Banjarbaru, Syaifullah Ingatkan Rosehan Soal Visi-Misi 2R!

TERPILIH sebagai pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin-HM Rosehan Noor Bachri dengan ikon 2R pada Pilgub Kalsel 2005, ada visi-misi yang telah tertuang dalam dokumen negara.

VISI-MISI 2R diusung koalisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini merebut 469.362 suara atau 32,36 persen dalam Pilgub Kalsel pada akhir Juni 2005.

Rudy Ariffin-Rosehan NB (2R) ditetapkan sebagai Gubernur-Wakil Kalsel periode 2005-2010, dan mengalahkan rivalnya. Yakni, duet Ismet Ahmad-Habib Aboe Bakar Alhabsyi, Gusti Iskandar Sukma Alamsyah-Abdul Hafiz Anshary, Sjachriel Darham-Noor Aidi dan Ramlan-Baderani.

Nah, dalam visi-misi 2R salah satunya adalah pemindahan ibukota Provinsi Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru. Hingga visi-misi ini terealisasi pada periode kedua, Gubernur Rudy Ariffin bersama Wakil Gubernur Kalsel Rudy Resnawan periode 2010-2015. Hal ini sejalan dengan UU Provinsi Kalsel yang baru yang menempatkan Banjarbaru sebagai ibukota provinsi menggantikan Banjarmasin.

“Fakta hukum ini harus diingat oleh Pak Rosehan Noor Bachri. Jadi, saya minta Pak Rosehan konsisten dengan visi, misi dan program saat 2R menyampaikan hal itu di hadapan rapat paripurna DPRD Kalsel ketika menjadi pasangan calon gubernur-wakil gubernur pada 2005 silam,” kata Ketua Bidang Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan (OKK) DPP PPP, H Syaifullah Tamliha kepada jejakrekam.com, Minggu (20/2/2022).

Ketua DPP PPP yang juga anggota DPR RI dari Fraksi PPP, H Syaifullah Tamliha. (Foto Istimewa)

Pernyataan Syaifullah Tamliha ini menyikapi statement Ketua Fraksi PDIP DPRD Kalsel HM Rosehan Noor Bachri yang juga eks wakil gubernur yang akan siap pasang badan untuk menolak pemindahan ibukota provinsi dari Banjarmasin ke Banjarbaru.

“Saya ingatkan kembali bahwa janji-janji politik 2R ketika itu masih terekam dengan sebagai dokumen negara,” kata Syaifullah Tamliha.

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PPP ini mengakui ketika 2R terpilih sebagai pasangan kepala-wakil kepala daerah Kalsel periode 2005-2010, saat itu dirinya terpilih sebagai anggota DPRD Kalsel hasil Pemilu 2004.

“Saat kami menjadi anggota DPRD Kalsel memang hanya menyetujui istilah sementara ketika itu. Yakni, pemindahan pusat pemerintahan dari Banjarmasin ke Banjarbaru,” kata Syaifullah Tamliha.

Saat itu, Syaifullah merupakan Ketua Fraksi PPP DPRD Kalsel ingat betul jika rencana pemindahan ibukota provinsi sebenarnya sudah lama digaungkan khususnya di awal pemerintahan Rudy-Rosehan.

“Apa yang diterapkan di Kalsel sebenarnya meniru keberhasilan pemindahan pusat pemerintahan administrasi federal Malyasia dari Kuala Lumpur ke Putrajaya (Selangor),” papar Syaifullah.

Mantan Sekretaris DPW PPP Kalsel ini menegaskan posisi Banjarmasin sebagai pusat kota perdagangan dan bisnis di Kalsel memang patut dipertahankan. Ini terkait dengan sejarah panjang Banjarmasin sejak era Kesultanan Banjar, kolonial Belanda hingga masa kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

“Sedangkan, Banjarbaru tentu sangat layak sebagai ibukota Provinsi Kalsel yang baru, karena merupakan kota baru dengan ketersediaan lahan yang sangat memadai,” kata Syaifullah.

Dia mengingatkan kondisi Banjarbaru memang telah disusun dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 100 tahun sebagai pusat pemerintahan Provinsi Kalsel.

“Makanya, di Banjarbaru harus diatur dan perlu pembatasan terhadap pendirian pusat perbelanjaan dan hotel berbintang. Kebijakan ini telah diterapkan di ibukota Australia khususnya Canberra,” pungkas Syaifullah.

Pusat Perkantoran

Pusat pemerintahan Pemprov Kalsel di Jalan Aneka Tambang Banjarbaru.

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2022/02/20/menolak-ibukota-kalsel-ke-banjarbaru-syaifullah-ingatkan-rosehan-soal-visi-misi-2r/

Koq di KALSEL terkesan LAMBAT dapat SK P3K !!?? bisa klik disini

UU Provinsi Kalsel Baru Disahkan Rentan Digugat Ke Mahkamah Konstitusi

Oleh : Dr Muhammad Pazri

MEMANG kita sangat sepakat keberadaan Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 1956 jo UU Nomor 21 Tahun 1958 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957, menjadi dasar pembentukan Daerah Swantara (Provinsi) Tingkat I Kalimantan Selatan, harus direvisi atau diubah.

SECARA historis, Provinsi Kalsel berdiri pada 1 Januari 1957 dengan dasar UU Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Sebelumnya, tiga provinsi menjadi satu di bawah satu Provinsi Kalimantan, hingga pada 23 Mei 1957, Provinsi Kalimantan Selatan pun dipecah menjadi Provinsi Kalsel dan Provinsi Kalimantan Tengah dengan dasar terbitnya UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang  Pembentukan Daerah Swantara Provinsi Kalteng.

Sebab, secara yuridis, dasar pembentukan Provinsi Kalsel dinilai telah kedaluwarsa (out of date),karena dibentuk menggunakan UUDS Tahun 1950, sehingga muatannya dianggap tak sesuai dengan perkembangan ketatanegara terkini.

Namun setelah mencermati dan membaca UU Provinsi Kalsel yang baru disahkan tanggal 15 Februari 2022, selain banyak  menuai polemik seperti Pasal 4 Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di  Kota Banjarbaru, dalam UU Kalsel yang baru disahkan terkesan tidak mengakomodir landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan yuridis, kebutuhan Kalsel dan sangat tidak lengkap serta ke depan akan menimbulkan ketidak pastian hukum.

UU yang baru disahkan hanya 8 Pasal dan terdiri dari Bab I Ketentuan Umum,Bab II Cakupan wilayah,ibu kota dan karakteristik dan Bab III ketentuan Penutup.

Ini menjadi catatan kritis saya dalam setiap Bab dan Pasal:

-Bab Ketentuan Umum  tidak menguraikan secara lengkap istilah-istilah

-Asas dan tujuan dalam Undang-Undang  tidak ada

-Posisi, batas ,pembangunan wailayah dan tujuan Provinsi tidak jelas  secara detail menyebutkan lintang, derajat serta batas-batas,ketika sengketa batas antar provnisi akan jadi maslah baru

-Karaketristik Provinsi Kalsel masih belum  jelas karena tidak melihat kearifan lokal,nilai budaya sebenarnya

-Kewenangan dan Pembagian Urusan Pemerintah Provnisi dalam UU tidak ada

-Perencanaan pembanguan tidak ada, padahal pindah ibukota dari Banjarmasin ke Banjarbaru

-Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP) tidak dimuat

-Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP) tidak ada

-Pola dan pembangunan Provinsi Kalsel tidak ada

-Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kabupaten/ Kota tidak ada

-Pedoman penyusunan dokumen pembangunan tidak ada

-Pedoman Pendekatan Pembangunan tidak ada

-Bidang Prioritas tidak ada

-Pembangunan Perekonomian dan  Industri tidak ada

-Sistem Pemerintah berbasis elektoronik tidak ada padahal seharusnya sejalan dan bekesesuaian dengan rencana Pemerintah Pusat

-Pendanaan,pendapatan dan alokasi dana perimbangam tidak ada.

-Bab Partisipasi Masyarakat tidak ada

Yang jadi pertanyaan saya dimana posisi tawar  Pemprov Kalsel  dan DPRD Provinsi Kalsel Kalsel pada saat proses pembentukan UU tersebut seperti apa kajian teoritik dan praktik empirik itu dimasukkan?

Apakah sudah diakomodir juga masukan masing-masing daerah dan sejauh mana pastisipasi masyarakat? UU tersebut sangat prinsip dan sangat serius. Saya menjadi khawatir pembentukan undang-undang hanya berpikir bahwa membentuk undang-undang merupakan kewenangannya saja tanpa memikirkan keinginan masyarakat sebenarnya. Padahal seharusnya rakyat juga memiliki hak untuk mengetahui proses legislasi yang berlangsung di DPR RI.

Ingat kondisi Kalsel sangat ironis. Kaya sumber daya alam (SDA) namun listrik sering padam, jalan dan sarana prasarana tidak memadai, masyarakat belum sejahtera hignga lapangan kerja sulit.

Sehingga kesimpulan saya, UU Provinsi Kalsel yang baru sahkan harus dikaji lebih mendalam perlu di ji publik. Ini karena saya menganggap sangat rentan UU Provinsi Kalsel tersebut digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), diuji dengan ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.

Kalaupun mau gugat bisa melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi. Dasarnya adalah Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Dan Pasal 9 ayat (1) UU  Nomor  12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan berbunyi dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Seharusnya  perlu diingat dalam membuat Perundang-undangan yang baik berdasarkan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, harus memperhatikan dan memuat asas, kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan. 

Penulis adalah Presiden Direktur Borneo Law Firm (BLF) Banjarmasin

Pemerhati Kebijakan Publik

Gubernuran Kalsel

Kantor Gubernur Kalsel atau Gubernuran di Titik 0 Km Jalan Sudirman Banjarmasin/

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2022/02/20/uu-provinsi-kalsel-baru-disahkan-rentan-digugat-ke-mahkamah-konstitusi/

Dibanding Banjarmasin, Ketua DPRD Kalsel Nilai Banjarbaru Jauh Lebih Layak Ibukota Provinsi

LEGALITAS Banjarbaru sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan telah dikuatkan dengan UU baru. Belied ini pun disahkan DPR RI dalam rapat paripurna di Senayan Jakarta pada Jumat (18/2/2022).

“KAMI tentu menyambut positif pemindahan ibukota Provinsi Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru yang telah disahkan melalui UU Pembentukan Provinsi Kalsel oleh DPR RI,” ucap Ketua DPRD Provinsi Kalsel H Supian HK kepada jejakrekam.com, Minggu (20/2/2022).

Menurut dia, perbanding luas wilayah antara Banjarmasin dengan Banjarbaru juga sangat jauh terpaut. Saat ini, Banjarmasin hanya memiliki luas wilayah 98,46 kilometer persegi (km2) dibanding Banjarbaru dengan 371,4 km².

“Jadi, dalam pengembangan ibukota Provinsi Kalsel jauh lebih layak Banjarbaru dibandingkan Banjarmasin,” ucap Sekretaris DPD Partai Golkar Kalsel.

Supian menyebut dengan pindahnya ibukota Provinsi Kalsel ke Banjarbaru, maka Banjarmasin bisa ditata ulang dan fokus menjadi kota perdagangan (niaga), bisnis dan jasa, apalagi ditopang Pelabuhan Trisakti.

Dari segi jumlah penduduk, Supian mengatakan Banjarmasin juga terbilang padat. Berdasar data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tahun 2020, total penduduk Banjarmasin sebanyak 671.690 jiwa dengan kepadatan 6.822 jiwa/km².

Sementara, Banjarbaru berdasar data BPS tahun 2020 berjumlah 247.802 jiwa, terdiri dari lima kecamatan dan 20 kelurahan.

“Dengan kondisi, penduduk Banjarmasin sudah terlalu padat. Apalagi, secara geografis berada di bawah permukaan laut sehingga ketika hujan turun bersamaan dengan air pasang beberapa kawasan jadi terendam dan lambat pengeringannya,” beber Supian.

Atas kondisi geografis berada di dataran rendah dan rawa berpaya-paya itu, wakil rakyat asal dapil Kalsel V (Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tabalong) memandang Banjarmasin sudah kurang layak sebagai ibukota provinsi.

“Bandingkan dengan Banjarbaru secara geografis berada di dataran tinggi, sehingga lebih mudah untuk penataan pembangunan. Apalagi, lahan di Banjarbaru juga luas, sehingga sangat dibutuhkan dalam pengembangan wilayah ke depan,” papar Supian.

Ketua DPRD Provinsi Kalsel H Supian HK, mendukung pemindahan ibukota Provinsi Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru. (Foto Dokumentasi JR)

Ia mengingatkan dalam kajian historis pemindahan pusat pemerintahan atau ibukota Provinsi Kalsel juga telah dijalankan di masa Gubernur Kalimantan periode 1950-1953 Dr Murdjani.

“Jadi, Banjarmasin itu sudah selayaknya sebagai kota bandar karena itu memang sejarahnya. Sedangkan, Banjarbaru sangat layak jadi ibukota Kalsel, apalagi beberapa kantor pemerintah provinsi juga sudah berkedudukan di Banjarbaru,” tegas Supian.

Dia menegaskan rencana pemindahan ibukota Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru yang diwujudkan Gubernur Rudy Ariffin dalam dua periode 2005-2010 dan 2010-2015, juga didukung penuh Paman Birin.

Bahkan, menurut Supian, Gubernur Kalsel dua periode Sahbirin Noor saat berpasangan dengan Rudy Resnawan periode 2015-2020 dan kini dengan Wagub H Muhidin periode 2021-2026 juga mendukung belied tersebut.

“Jangan tak perlu lagi menyoal pemindahan ibukota Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru, karena sudah dikuatkan dengan UU Pembentukan Provinsi Kalsel. Bahkan, saya yakin 13 kabupaten dan kota di Kalsel pun akan mendukung itu,” tegas Supian.

Masih menurut dia, saat ini dengan 4 juta penduduk Kalsel yang tersebar dari 2 kota dan 11 kabupaten bisa lebih fokus menyongsong sebagai pintu gerbang ibukota negara Nusantara di Kalimantan Timur.

“Mari kita fokus membangun Banua Kalsel agar semakin maju. Apalagi, jarak Banjarmasin dengan Banjarbaru juga tidak terlampau jauh hanya kurang lebih 35 kilometer. Saat ini juga telah terkoneksi dengan jaringan moda transportasi Banjarbakula,” papar Supian.

Ia pun mengajak agar bisa menggali potensi positif dibalik pemindahan ibukota Provinsi Kalsel ke Banjarbaru. “Ya, ketimbang kita menonjolkan hal-hal negatif justru bisa menghambat pembangunan Kalsel ke depan yang lebih mapan,” pungkas politisi senior beringin ini.

Pintu gerbang

Pintu gerbang kawasan perkantoran Pemprov Kalsel di Banjarbaru.

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2022/02/20/dibanding-banjarmasin-ketua-dprd-kalsel-nilai-banjarbaru-jauh-lebih-layak-ibukota-provinsi/

Banjarbaru Resmi Ibukota Banua! Rifqinizamy Klaim UU Provinsi Kalsel Sudah Serap Aspirasi Publik

DIUSULKAN pada 1 September 2021 dan masuk program legislasi nasional (prolegnas) lima tahunan, kini Rancangan Undang-Undang Provinsi Kalimantan Selatan telah disahkan menjadi UU.

UU Provinsi Kalsel ini merupakan usul inisiatif dari Komisi II DPR RI hingga dibawa ke rapat paripurna dengan mengumpulkan pendapat fraksi-fraksi DPR RI pada 7 Oktober 2021.

Sebab sebelumnya, langkah harmonisasi dilakukan oleh panitia kerja (panja) atas RUU Provinsi Sulawesi Selatan, Utara, Tengah dan Tenggara dan RUU Provinsi Kalbar, Kalsel dan Kaltim pada 21-23 September 2021. Termasuk, penjelasan dari pengusul pimpinan Komisi II DPR RI atas 4 RUU tersebut pada 16 September 2021. Hal ini dilansir dari rekam jejak RUU Provinsi Kalsel dari laman dpr.go.id.

Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDIP Muhammad Rifqinizamy Karsayuda mengatakan RUU Pembentukan Provinsi Kalsel telah disahkan DPR RI dalam rapat paripurna dipimpin Wakil Ketua DPR RI Lodewijk Freidrich Paulus di Senayan Jakarta pada Jumat (18/2/2022) lalu. Hal ini diambil parlemen usai melalui tahapan pembahasan tingkat I dan tingkat II.

“Pasca disahkan UU Pembentukan Provinsi Kalsel memang salah satu muatannya adalah perpindahan ibukota Provinsi Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru,” ucap Rifqinizamy Karsayuda kepada jejakrekam.com, Minggu (22/2/2022).

Dia menegaskan belied baru ini menggantikan UU Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Provinsi Kalbar, Kalsel dan Kaltim. UU lama ini lahir berdasar konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS).

“Terpenting sekarang adalah sinergi antara Banjarbaru dan Banjarmasin. Terutama Banjarmasin yang harus ditata sebagai pusat perdagangan, termasuk pariwisata sungai ke depan untuk menunjang Ibukota negara Nusantara di Kaltim, dan juga Banjarbaru karena secara geografis lebih luas,” papar Rifqi.

Mantan dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini menegaskan dalam proses penyusunan UU Provinsi kalsel juga telah melalui tahapan diseminasi publik melalui berbagai cara sejak lebih dari setahun yang lalu.

“Diseminasi tersebut dengan cara bertemu langsung dengan berbagai akademisi dan secara resmi dimintakan pendapat ke masing-masing pemerintah daerah,” papar Rifqi, sapaan akrabnya.

Termasuk, masih menurut dia, kunjungan kerja (kunker) DPR RI yang terakhir bertemu dengan Gubernur Kalsel diwakili Sekdaprov Roy Rizali Anwar di Banjarbaru. Termasuk ke provinsi tetangga; Kalbar dan Kaltim.

“Jadi, dalam draf RUU Provinsi Kalsel diusulkan berdasar aspirasi mengenai perpindahan ibukota Kalsel tersebut,” paparnya.

Rifqi juga menyebut melalui kanal media sosial (medsos) juga dijaring aspirasi publik, hingga RUU Provinsi Kalsel disahkan menjadi UU.

“Dengan begitu, ibukota resmi Kalsel berpindah dari Banjarmasin ke Banjarbaru. Jadi, saya kira ini bagian dari kita mendesiminasikan pembangunan di Kalsel. Apalagi, secara eksisting pusat perkantoran sudah pindah lama ke Banjarbaru,” pungkasnya.

Rifqi dan Rektor
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDIP Muhammad Rifqizamy Karsayuda bersama Rektor ULM Prof Sutarto Hadi.

Foto : I

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2022/02/20/banjarbaru-resmi-ibukota-banua-rifqinizamy-klaim-uu-provinsi-kalsel-sudah-serap-aspirasi-publik/

Sekdaprov Roy Rizali Anwar Sebut Gubernur Dukung Penuh UU Provinsi Kalsel

UU Pembentukan Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) telah disahkan DPR RI dalam rapat paripurna di Jakarta pada Selasa (15/2/2022). UU ini disahkan parlemen bersama 6 UU provinsi lainnya di Indonesia.

ITEM pemindahan ibukota Provinsi Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru pun menjadi pasal dalam UU yang baru menggantikan UU Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), Kalsel dan Kalimantan Timur (Kaltim), paling disorot publik.

“Bagi kami hadirnya UU Provinsi Kalimantan Selatan yang baru dan telah disahkan DPR RI sangat penting, khususnya sebagai landasan pembangunan daerah,” ucap Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Kalsel Roy Rizali Anwar kepada jejakrekam.com, Minggu (20/2/2022).

Menurut dia, dengan adanya UU Pembentukan Provinsi Kalsel yang baru, maka landasan pembangunan daerah yang diselenggarakan secara terpola, terencana, terarah,menyeluruh dan terintegritas dalam satu kesatuan wilayah NKRI untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

“Inilah mengapa Pak Gubernur (Sahbirin Noor) juga mendukung UU Pembentukan Provinsi Kalsel menggantikan UU yang lama. Hal ini semata-mata agar menjadi pedoman dalam memetakan dan memaksimalkan peran dan potensi Kalsel,” ucap Roy.

Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Kalsel ini mengatakan potensi yang bisa digali di Banua adalah terkait kekayaan budaya ,kearifan lokal, kondisi geografis dan demografis serta tantangan yang dihadapi dalam dinamika masyarakat dalam tataran lokal, nasional dan global.

“Bagi Pemprov Kalsel, UU yang baru itu merupakan bagian penting bagi perjalanan panjang Kalimantan Selatan sebagai provinsi tertua di pulau Kalimantan,” katanya.

Sekdaprov Kalsel
Sekdaprov Kalsel Roy Rizali Anwar saat diwawancara awak media beberapa waktu lalu.

Foto : Do

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2022/02/20/sekdaprov-roy-rizali-anwar-sebut-gubernur-dukung-penuh-uu-provinsi-kalsel/

Dibuka Anggota DPR Syaifullah Tamliha, KBB Se-Jabotabek Dipimpin Eks Wakil Menlu AM Fachir

ANGGOTA Komisi I DPR RI dari Fraksi PPP Syaifullah Tamliha membuka Musyawarah Wilayah (Muswil) I Kerukunan Bubuhan Banjar se-Jabodetabek.

SEJUMLAH tokoh Bubuhan Banjar berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) menghadiri Muswil I KBB yang berlangsung di Aula Kantor Badan Penghubung Pemprov Kalsel di Jalan Biliton, Jakarta, Sabtu (19/2/2022).

Muswil I KBB se-Jabodetabek ini pun memilih ketua umum yang baru. Karena sebelumnya, Ketua Umum KBB se-Jabodatebek H Ardiansyah Parman (mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan) mengundurkan diri. Mayoritas peserta muswil pun menampilkan identitas sebagai Urang Banjar dengan mengenakan setelan pakaian sasirangan serta mengenakan laung.

Mayoritas tokoh dan peserta Muswil I  KBB se-Jabodetabek sepakat untuk memilih mantan Wakil Menteri Luar Negeri, Abdurrahman Mohammad Fachir sebagai ketua umum ambassador yang baru. Diplomat senior yang pernah menjadi Duta Besar RI di Mesir dan Arab Saudi ini dipilih karena tergolong aktif dalam organisasi kemasyarakatan etnis Banjar di perantauan ini.

Anggota DPR RI dari Fraksi PPP, H Syaifullah Tamliha saat membuka Muswil I KBB Se-Jabodetabek di Aula Kantor Badan Penghubung Pemprov Kalsel di Jakarta. (foto Istimewa)

Ketua Bidang Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan (OKK) DPP PPP Syaifullah Tamliha merasa terhormat karena bisa membuka acara Muswil KBB se-Jabodetabek. Sebagai wakil rakyat Kalsel di Senayan Jakarta, Syaifullah Tamliha mengatatakan perhelatan Muswil I KBB se-Jabodetabek merupakan momentum penting bagi masyarakat Banjar di perantauan.

“Sebab, Ketua Umum KBB se-Jabodatabek sebelumnya telah mengundurkan diri. Apalagi, dalam Muswil I KBB se-Jabodetabek kali ini dipilih seorang tokoh Banjar yang pernah menjadi Wakil Menteri Luar Negeri di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo periode 2014-2019,” ucap Syaifullah Tamliha kepada jejakrekam.com, Sabtu (19/2/2022).

Menurut dia, Muswil I KBB se-Jabodetabek merupakan bagian dari rangkaian persiapan permusyawaratan KBB Sedunia yang saat ini dipimpin mantan Gubernur Kalsel H Rudy Ariffin.

“Jadi, dengan terisinya kepengurusan KBB Se-Jabodatabek yang baru menggantikan ketua umum yang mengundurkan diri, maka Musyawarah KBB Sedunia akan bisa digelar pada November 2022 nanti,” kata Syaifullah.

Dia berharap agar kegiatan muswil KBB bisa dihelat secara virtual per zona. Ini karena saat ini Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19 dengan merebaknya kasus varian Omicron.

Muswil KBB Se-Jabodatabek

Muswil I KBB Se-Jabodatabek saat memilih eks Menlu AM Fachir sebagai ketua umum.

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2022/02/19/dibuka-anggota-dpr-syaifullah-tamliha-kbb-se-jabotabek-dipimpin-eks-wakil-menlu-am-fachir/

Tahun Ini : Jembatan Sulawesi Dan Pasar Pagi Digarap, 2023 : Giliran Pramuka-Sei Gampa

SEJUMLAH jembatan menjadi penghubung antar-kawasan masuk dalam Perda Rencana Tata Wilayah Tata Ruang (RTRW) Kota Banjarmasin tahun 2021-2041 Nomor 6 Tahun 2021.

BELEID ini pun merevisi Perda RTRW tahun 2013-2032 Nomor 5 Tahun 2014. Nah, dalam perda yang lawas dicantumkan beberapa pembangunan jembatan baru.

Yakni, Jembatan Barito III, Jembatan Sei Jingah, Jembatan Alalak 2-4, Jembatan HKSN, Jembatan Semwangi, Jembatan Sungai Gampa, Jembatan Sungai Belitung, Jembatan Pramuka Ujung, Jembatan Outer Ring Road (Sungai Gampa, Sungai Semwangi dan Sungai Belitung), Jembatan Kelayan 5 (Jalan Gerilya ke Kelayan A) dan Jembatan Sungai Awang.

Lantas apa saja jembatan baru yang akan dibangun berdasar Perda RTRW Banjarmasin yang baru, karena beberapa rencana lawas tetap diakomodir? Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Banjarmasin, Rini Subantari mengungkapkan usai Jembatan HKSN rampung pada Maret nanti, maka dilanjutkan program pembangunan jembatan baru.

“Pada tahun 2022 ini, kami akan membangun dua jembatan lagi. Yakni, Jembatan Sulawesi 2, setelah jembatan pertama telah rampung pada 2017 silam,” ucap Rini Subantari kepada jejakrekam.com, Minggu (20/2/2022).

Untuk diketahui, pada APBD Banjarmasin 2020 dialokasikan dana Rp 12,5 miliar. Namun, proyek Jembatan Sulawesi menggantikan jembatan kayu ulin yang menghubungkan Jalan Sulawesi-Pasar Lama dengan Jalan Masjid Jami-Surgi Mufti gagal lelang pada 20 Februari 2020.

Plt Kepala Dinas PUPR Kota Banjarmasin, Rini Subantari. (Foto Abdipersada)

Atas dasar itu dikeluarkan Surat Kuasa Pengguna Anggaran Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Nomor : 600/402.2-Set/DPUPR/III/2020 tanggal 27 Maret 2020 perihal Pengehentian Proses Pengadaan Barang/Jasa Dana Alokasi Khusus (DAK) TA 2020.

Nah, Rini menyebut pada tahun ini penggarapan konsep jembatan kembar di Jalan Sulawesi-Masjid Jami akan dilanjutkan, karena sudah dialokasikan anggarannya di APBD Banjarmasin tahun 2022.

“Berbarengan dengan itu, proyek Jembatan Pasar Pagi di Teluk Kelayan akan digarap. Saya lupa berapa persis anggarannya,” ucap Rini yang juga Sekretaris Dinas PUPR Banjarmasin ini.

Berdasar skedul perencanaan, Rini menyebut pada 2023 akan dilanjutkan dengan pembangunan konstruksi Jembatan Pramuka-Sungai Gampa. Ini karena, rencana pembangunan jembatan yang membentang di atas Sungai Martapura sudah dikuatkan dengan studi kelayakan dan detail engineering design (DED) atau perencaan detail berupa gambar kerja.

“Nah, mengenai rencana pembanguna Jembatan Sei Jingah-Sei Bilu, terpaksa kita review ulang desainnya. Sebab, studi kelayakan maupun dokumen DED sudah terlalu lama karena dikerjakan pada 2016 lalu. Nah, kalau sudah direvisi, kami akan melakukan pembebasan lahan untuk merealisasikan pembangunan Jembatan Sei Jingah-Sei Bilu,” papar Rini.

Dia beralasan mengapa rencana proyek Jembatan Pramuka-Sei Gampa didahulukan, karena hal itu sudah termaktub dalam Perda RTRW Kota Banjarmasin Nomor 6 Tahun 2021.

“Makanya, Jembatan Pramuka-Sungai Gampa yang dulu kita bangun. Saya tegaskan, rencana ini bukan tiba-tiba muncul, tapi memang sudah tercantum dalam Perda RTRW Banjarmasin,” tegas Rini.

Jembatan Sulawesi
Jembatan kembar Jalan Sulawesi-Jalan Sungai Jingah yang telah digarap termasuk kawasan trotoar.

Fot

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2022/02/20/tahun-ini-jembatan-sulawesi-dan-pasar-pagi-digarap-2023-giliran-pramuka-sei-gampa/

Digelontor Rp 31 Miliar, Lahan Untuk Rumjab Walikota Banjarmasin Segera Dibebaskan

LAHAN bekas kafe remang-remang di Jalan Jenderal Sudirman, Antasan Besar, bersebelahan dengan Kantor Gubernur Kalsel di Banjarmasin segera dibebaskan.

LAHAN itu pun sudah dipagar seng oleh Satpol PP Banjarmasin untuk pengamanan. Rencananya di atas lahan itu akan dibangun rumah jabatan (rumjab) Walikota Banjarmasin.

“Untuk pembebasan lahan di bekas kafe itu telah disiapkan dana sebesar Rp 31 miliar. Dana itu telah dialokasikan dalam APBD Perubahan 2021 dan dilanjutkan dalam APBD murni tahun anggaran 2022,” ucap Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Banjarmasin, Rini Subantari kepada jejakrekam.com, Minggu (20/2/2022).

Menurut dia, pelunasan harga lahan itu agar sepenuhnya tanah itu bisa menjadi milik Pemkot Banjarmasin, sehingga aspek legalitasnya bisa dikuatkan dengan sertifikat kepemilikan pemerintah kota.

Rini merincikan dari besaran dana sebesar Rp 31 miliar itu berasal dari Rp 19,9 miliar dari APBD Perubahan 2021 dan dilanjutkan sisanya dalam APBD Banjarmasin murni tahun anggaran 2022. Kisarannya, sebesar Rp 10 miliar lebih.

“Besaran angka untuk dana pembebasan lahan di bekas kafe di Jalan Sudirman itu sudah sesuai dengan perhitungan. Bahkan, hal itu juga telah sesuai dengan perhitungan dari tim appraisal,” tutur Rini.

Sekretaris Dinas PUPR Banjarmasin ini mengatakan dengan dibebaskan lahan tersebut, maka proyek pembangunan rumjab Walikota Banjarmasin bisa dijalankan. Apalagi, posisinya persis berada di kawasan titik nol kilometer Banjarmasin atau pusat kota yang menghadap Sungai Martapura.

“Untuk diketahui, satu-satunya kepala daerah di Kalsel yang belum memiliki rumjab hanya Walikota Banjarmasin. Inilah mengapa program ini menjadi skala prioritas bagi Pemkot Banjarmasin,” ucapnya.

Untuk diketahui, saat ini, Walikota Ibnu Sina menempati rumah mewah di kawasan Jalan Dharma Praja yang merupakan komplek perumahan pejabat Pemprov Kalsel. Informasinya, rumah ini berstatus sewa.

Sementara di masa Walikota Sofyan Arpan periode 1999-2004 sempat dibangun rencana rumjab kepala daerah di kawasan Pulau Insan, Jalan Jafri Zamzam, Teluk Dalam, Banjarmasin.

Sayangnya, rumah yang didesain gedung bertingkat itu gagal konstruksi, akibat status lahan merupakan milik Pemprov Kalsel. Apalagi, posisinya juga berseberangan dengan Stadion 17 Mei Banjarmasin, sehingga ketika itu dianggap cukup berisiko bagi rumah jabatan seorang kepala daerah.

Lahan Rumjab
Lahan Rumjab Walikota Banjarmasin yang telah dibersihkan di Jalan Jenderal Sudirman bekas kafe remang-remang.

Foto 

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2022/02/20/digelontor-rp-31-miliar-lahan-untuk-rumjab-walikota-banjarmasin-segera-dibebaskan/

Tolak Ibukota Provinsi Pindah Ke Banjarbaru, Eks Wagub Kalsel Siap Pasang Badan

MANTAN Wakil Gubernur HM Rosehan Noor Bachri siap pasang badan untuk mempertahankan status Banjarmasin sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan.

HAL ini menyusul adanya item pasal dari RUU Provinsi Kalimantan Selatan yang tengah digodok DPRI, usai disetujui bersama pemerintah pusat era Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menggantikan UU yang lama, UU Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Nah, dalam RUU Provinsi Kalsel terutama di Pasal 4 ditegaskan ibukota berkedudukan di Kota Banjarbaru.

“Setahu saya apalagi menyangkut Pasal 4 RUU Provinsi Kalsel yang akan menggantikan UU Nomor 25 Tahun 1956, tidak ada pemindahan ibukota dari Banjarmasin ke Banjarbaru,” ucap HM Rosehan Noor Bachri kepada jejakrekam.com, Sabtu (19/2/2022).

Sebagai wakil rakyat di DPRD Kalsel, Rosehan memastikan akan memperjuangkan dari aspek historis, legalitas dan lainnya bahwa Banjarmasin merupakan ibukota Kalsel.

“Sewaktu saya menjabat Wakil Gubernur Kalsel periode 2005-2010 bersama Gubernur Rudy Ariffin juga tidak pernah disinggung soal pemindahan ibukota dari Banjarmasin ke Banjarbaru. Waktu itu, hanya disepakati jika Banjarbaru menjadi pusat perkantoran Pemprov Kalsel saja,” kata Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kalsel ini.

Mantan Wakil Gubernur Kalsel HM Rosehan NB yang kini Ketua Fraksi PDIP DPRD Banjarmasin. 
(Foto Dokumentasi JR)

Dia memastikan akan siap pasang badan bahkan menggalang penolakan bersama 7 anggota DPRD Kalsel asal dapil Banjarmasin mengenai rencana pemindahan ibukota provinsi ke Banjarbaru.

“Saya akan pasang badan dan cari solusinya, benang merahnya selama ini jelas selama ini bahwa ibukota Kalsel tetap berada di Banjarmasin,” tegas Rosehan.

Ia hakkul yakin rakyat Banjarmasin pun akan sepakat dengan penolakan pemindahan ibukota provinsi ke Banjarbaru. “Bisa saja nanti lewat diskusi atau gerakan lainnya untuk mempertahankan Banjarmasin sebagai ibukota Provinsi Kalsel. Saya yakin rekan-rekan di DPRD Kalsel pun akan mendukung hal serupa,” cetus Rosehan.

Menurut dia, pernyataan dari Walikota Banjarbaru HM Aditya Mufti Ariffin dengan adanya RUU Provinsi Kalsel menempatkan Banjarbaru sebagai ibukota provinsi yang baru menggantikan Banjarmasin, hanya sekadar statement. “Saya tidak pernah mendengar hal itu secara langsung,” tegas Rosehan.

Sekadar diketahui, dalam RUU Provinsi Kalsel yang telah disetujui untuk dibahas DPR RI bersama pemerintah pusat ini memuat 8 Pasal dan 3 bab yang diajukan Presiden Joko Widodo.

Dengan adanya UU baru ini akan mencabut UU Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Termasuk, UU Nomor 21 Tahun 1958 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah dan Perubahan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan Dan Kalimantan Timur (Lembaran-Negara Tahun 1957 Nomor 83).

Kantor Gubernur Kalsel

Kantor Gubernur Kalsel di Jalan Jenderal Sudirman, Banjarmasin.

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2022/02/19/tolak-ibukota-provinsi-pindah-ke-banjarbaru-eks-wagub-kalsel-siap-pasang-badan/

Pasal 4 RUU; Ibukota Kalsel Di Banjarbaru, Walikota Banjarmasin Ibnu Sina: Uji Publik Dulu!

ADA yang mengejutkan dalam Rancangan Undang-Undang Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) yang akan menggantikan UU Nomor 25 Tahun 1956. Jika selamanya ibukota Kalsel berpusat di Banjarmasin, direncanakan bakal dipindah ke Banjarbaru.

DALAM UU yang ditetapkan pada 29 November 1956 dan diundangkan pada 7 Desember 1956, ditetapkan ibukota Kalsel berada di Banjarmasin.

UU yang dibuat di masa Presiden Soekarno merupakan dasar hukum bagi tiga provinsi di Kalimantan. Selain Kalsel, UU Nomor 25 Tahun 1956 juga menjadi dasar bagi Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur (Kaltim).

Menariknya, dalam UU era Orde Lama ini, wilayah Provinsi Kalsel terdiri dari Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Utara (HSU), Kabupaten Barito, Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Waring (dua kabupaten ini telah bergabung ke Provinsi Kalimantan Tengah), Kabupaten Kotabaru dan Kota Besar Banjarmasin. Waktu UU ini ditetapkan, jumlah penduduk Kalsel ketika itu sebanyak 1.932.616 orang.

Begitu lahir UU Darurat Nomor 25 Tahun 1956 dibentuk Daerah Swatantra Provinsi Kalimantan Tengah diundangkan pada 23 Mei 1957, hingga dibentuk lagi UU Nomor 10 Tahun 1957 yang mengubah UU Nomor 25 Tahun 1956, kelahiran Kalteng dan dua kabupaten; Kapuas dan Kotawaringin berpisah dari Kalsel.

Nah, di masa Presiden Joko Widodo, DPR RI pun mengesahkan RUU 7 Provinsi, termasuk Kalsel pada Selasa (15/2/2022). Menariknya, dalam Pasal 4 RUU Kalsel itu ditetapkan ibukota Provinsi Kalsel berkedudukan di Kota Banjarbaru.

Wilayah Kalsel dalam RUU baru ini ditetapkan terdiri dari 2 kota dan 11 kabupaten yakni Banjarmasin dan Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Barito Kuala (Batola), Kotabaru, Tanah Laut, Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HSS), Hulu Sungai Utara (HSU), Tapin, Tabalong, Tanah Bumbu dan Balangan.

Apa tanggapan Walikota Ibnu Sina dengan pemindahan ibukota dari Banjarmasin ke Banjarbaru? Kepada awak media usai mengikuti pelantikan Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia (ISORI) Kota Banjarmasin, Walikota Ibnu Sina mempertanyakan hal itu.

“Pemindahan ibukota Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru mendadak, apalagi dalam visi-misi Gubernur Kalsel (Sahbirin Noor) tidak dicantumkan pemindahan ibukota,” kata Ibnu Sina di Balai Kota Banjarmasin, Sabtu (19/2/2022).

Menurut Ibnu Sina, sewaktu dirinya duduk sebagai anggota DPRD Kalsel di masa Gubernur Kalsel dua periode, Rudy Ariffin pada 2005-2010 dan berlanjut pada 2010-2015, disepakati hanya pemindahan pusat perkantoran dari Jalan Jenderal Sudirman Banjarmasin ke Jalan Aneka Tambang, Banjarbaru.

“Dalam rancangan pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) Provinsi Kalsel di masa Gubernur Rudy Ariffin hanya disepakati pemindahan pusat perkantoran dari Banjarmasin ke Banjarbaru,” ucap Ketua DPD Partai Demokrat Kalsel ini.

Ibnu Sina mengaku tidak mengetahui ihwal pengusulan RUU Kalsel hingga dalam salah satu pasalnya diputuskan ibukota dipindah ke Banjarbaru. “Itu usulan siapa? Saya akan klarifikasi kebenaran informasi yang beredar baik kepada anggota DPD maupun DPR RI,” kata Ibnu Sina.

Menurut dia, jika RUU Kalsel bersama 6 RUU lainnya telah disetujui DPR RI untuk digodok bersama pemerintah pusat, apakah hal itu mengakomodir aspirasi masyarakat Kalsel.

“Apakah ada usulan dari DPRD Kalsel atau ada kesepakatan? Hal itu juga bisa ditanyakan ke pemerintah kabupaten dan kota yang ada di Kalsel,” cetus Ibnu Sina.

Mantan Ketua DPW PKS Kalsel ini menegaskan dirinya tak menyoal pemindahan ibukota Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru. Hanya saja, Ibnu Sina meminta harus ada pembicaraan yang melibatkan seluruh pemerintah daerah dan masyarakat Kalsel.

“Tentu saja, memindah ibukota itu merupakan hal biasa, tetapi harus dengan perencanaan yang baik. Sebab, hal itu akan mengubah rencana pembangunan jangka menengah maupun panjang Provinsi Kalsel. Ini bikin UU, bikin peraturan daerah (perda) saja harus ada uji publik, seperti apa aspirasi masyarakat,” tegas Ibnu Sina.

Kantor Gubernur Kalsel

Kantor Gubernur Kalsel di Jalan Sudirman yang menjadi bukti ibukota Kalsel masih di Banjarmasin.

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2022/02/19/pasal-4-ruu-ibukota-kalsel-di-banjarbaru-walikota-banjarmasin-ibnu-sina-uji-publik-dulu/

Kenangan Bersama Mantan Gubernur Kalsel Ir HM Said, Bapak Infrastruktur Banua

Oleh : Sukhrowardi

JULUKAN Bapak Infrastruktur Banua layak disematkan kepada Ir H Muhammad Said. Gubernur Kalimantan Selatan periode 1984-1995 ini merupakan sosok insinyur yang telah melahirkan banyak karya bagi Banua.

WAJAR saja, karena Gubernur Kalsel ke-8 jika mengacu pada lahirnya Pemprov Kalsel pada 1957 atau gubernur ke-11 mengacu dari Gubernur Pertama Kalimantan Ir HM Pangeran Muhammad Noor merupakan insinyur teknis sipil dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Bahkan, usai mengabdi dua periode menjadi Gubernur Kalsel, HM Said pernah menjadi senator Banua di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) utusan Kalsel pada periode 2004-2009 dengan merebut 249.888 suara pada Pemilu 2004. Jujur saja, banyak kenangan dengan sosok Pak Said-begitu begitu kami memanggilnya, karena penuh inspirasi.

Sebagai pemimpin daerah, Pak Said terkenal sangat disiplin bahkan mau membuka diri saat mengepalai Pemprov Kalsel, terutama berdialog dengan kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), intelektual kampus serta elemen masyarakat lainnya.

Ini pengalaman saya ketika memimpin koran kampus Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) lewat Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kinday. Ketika itu, kami berjanji untuk bertemu Pak Said di Gubernuran Kalsel, Jalan Sudirman Banjarmasin pada pukul 07.00 pagi.

Tepat, Pak Said hadir sudah di ruang kerjanya pada pagi hari. Sesuai janji pukul 07.00 pagi, benar-benar Pak Said mau menemui kami. Ini kesan pertama kami sebagai mahasiswa sangat kagum dengan kedisiplinan seorang Pak Said, Gubernur Kalsel ketika itu yang sempat menjadi Wakil Gubernur pendamping Gubernur Mistar Cokrokusomo terhitung sejak 9 Agustus 1981 hingga 25 Februari 1985. memimpin pada periode 9 Agustus 1981.

Saat itu, kami bersama aktivis kampus mendesak agar Pemprov Kalsel melalui tangan Gubernur HM Said segera menghentikan peredaran Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB), kupon berhadiah yang menjadi pengganti Porkas. Ketika itu, porkas alias buntut atau SDSB yang beredar di tengah masyarakat sangat meresahkan. Kami pun mendesak Pak Said yang ketika menjabat Gubernur Kalsel untuk segera menyetop SDSB di Kalsel.

Para aktivis kampus Unlam seperti Desmond J Mahesa, Budairi (almarhum) dan Alimun Hakim, termasuk saya dan beberapa teman lainnya bersuara keras dan kritis di hadapan Pak Said. Saat dialog yang berlangsung panas, Pak Said pun tetap menunjukkan sosok kepemimpinan yang kebapakan. Tak ada kalimat emosional yang ditunjukkan Pak Said saat menghadapi para aktivis kampus ketika itu.

Saat itu, muncul pernyataan dari Pak Said bahwa dirinya mendukung penyetopan peredaran SDSD, walaupun saat itu di masa beliau Indonesia menerapkan sistem sentralistik, sehingga kebijakan itu pun berada di tangan pemerintah pusat di Jakarta. “Saya setuju jika SDSB itu disetop, tapi perlu kehati-hatian karena peredaran kupon berhadiah itu merupakan kewenangan pemerintah pusat. Itu program pusat,” ucap Pak Said, yang saya ingat ketika itu.

Benar saja, begitu tingginya arus penolakan terhadap kupon berhadiah atau buntut itu, bahkan ada reaksi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga benar-benar dihentikan peredaran pada 24 November 1993 melalui keputusan penghapusan undian berhadiah oleh Menteri Sosial Endang Kusuma Inten Soewono di hadapan anggota DPR RI, ketika itu.

Memasuki awal reformasi 1998, kami pun membuat banyak agenda reformasi bersama teman-teman aktivis kampus dan pergerakan NGO. Ternyata, semangat reformasi ini juga ditangkap Pak Said, hingga menyodorkan konsep apa saja yang bisa diterapkan di Banua.

Bukti Pak Said mendukung gerakan reformasi adalah menyediakan kediamannya untuk dijadikan wadah diskusi, pertemuan hingga merumuskan agenda reformasi di Banua. Bahkan, makan dan minum atau konsumsi disediakan Pak Said bagi para aktivis yang menggaungkan spirit reformasi 1998. Hal ini dilakoni Pak Said, semata-mata agar tokoh reformasi asal Kalsel bisa berkumpul dan memberi kontribusi pemikiran serta lainnya kepada Banua.

Bukti Pak Said sangat perhatian dengan kalangan akademisi dan aktivis adalah ketika menjenguk anak Prof Ersis Warmansyah Abbas (dosen FKIP Unlam). Saat itu, Ersis memang tengah menulis buku mengenai rekam jejak seorang HM Said, Gubernur Kalsel yang dikenal terbuka dan tak anti kritik ini.

Tak hanya menjenguk, Pak Said pun bersedia menanggung segala biaya perawatan dan pengobatan anak Prof Ersis yang saat itu dirawat di RSUD Ulin Banjarmasin. Tindakan serupa juga diambil Pak Said saat membantu keluarga besar kami. Saat itu, ibu saya, Hj Endang Rahman yang merupakan perintis TK Budi Mulia Banjarmasin tengah terbaring sakit di RS Islam Banjarmasin, turut dibantu biaya pengobatannya.

Itu hanya secuil kisah dari jiwa sosial seorang Pak Said. Selama menjabat Gubernur Kalsel pun, banyak warisan infrastuktur dan bangunan yang telah diberikan Pak Said. Sebut saja, pembangunan Gedung Bundar Sultan Suriansyah di Jalan Brigjen H Hasan Basry, Kayutangi, Banjarmasin, walau saat itu sempat ditentang sejumlah seniman dan budayawan, arsitek dan lainnya, toh sekarang gedung yang menjadi salah satu ikon Banua, bisa dinikmati masyarakat.

Di masa Pak Said menjadi Gubernur Kalsel pun dikenalkan motode pengaspalan jalan yang jauh lebih cepat, efektif dan kuat menggantikan model lama. Aspal hotmix, begitu masyarakat mengenalnya telah digunakan dalam proyek infrastruktur khususnya jalan di Kalsel. Jika selama ini, aspal goreng selalu dipakai, telah tergantikan dengan terobosan metode pengaspalan yang lebih maju dan mutakhir, yakni aspal hotmix. Di masa kepemimpinannya, ruas jalan hingga pelosok desa di Kalsel pun diaspal mulus dengan hotmix.

Tak mengherankan, jika di masa Pak Said yang berlatar belakang seorang insinyur teknik sipil ini menjadi sang pelopor kemajuan pembangunan Kalsel. Jadi, sangat wajar jika Pak HM Said dinobatkan sebagai Bapak Infrastruktur Banua. Selamat Jalan Pak Said, amal ibadah dan rekam jejaknya yang baik bagi generasi Banua akan selalu dikenang.(jejakrekam)

Penulis adalah Anggota DPRD Kota Banjarmasin dari Fraksi Golkar

Gubernur HM Said

Mantan Gubernur Kalsel HM Said

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2022/02/18/kenangan-bersama-mantan-gubernur-kalsel-ir-hm-said-bapak-infrastruktur-banua/

Dari Catatan Sejarah; Pemukim Bakumpai Pionir Pembukaan Wilayah Aluh-Aluh Dan Podok (1)

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

KECAMATAN Aluh-Aluh secara administratif berada di wilayah Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Kecamatan ini terdiri dari 19 desa; Aluh-Aluh Besar, Aluh-Aluh Kecil, Aluh-Aluh Kecil Muara, Bakambat, Balimau, Bunipah, Handil Baru, Handil Bujur, Kuin Besar, Kuin Kecil, Labat Muara, Pemurus, Podok, Pulantan, Simpang Warga, Simpang Warga Dalam, Sungai Musang, Tanipah serta Terapu.

DARI sumber lisan yang beredar di masyarakat Kabupaten Banjar khususnya, terdapat interpretasi bahwa asal mula nama Aluh-Aluh. Aluh-Aluh dipersepsikan berasal dari nama aluh yakni nama gelaran bagi perempuan Banjar. Menurut catatan Sutamin Hamzah (2015) bahwa terdapat versi dari masyarakat bahwa asal mula nama kecamatan Aluh-Aluh, pernah ada pahlawan wanita di sebut Aluh.

Memang tidak ada catatan resmi yang mencatat hal tersebut. Tetapi Informasi mengenai asal-usul AluhAluh ini dapat ditelusuri cerita lisan generasi tua. Astutik S, dkk dalam Perempuan Banjar Dalam Dekapan Penyakit Kelalah: Etnik Banjar (2016) menuturkan keberadaan nama wilayah Aluh Aluh menurut tokoh masyarakat di Desa Podok, Kecamatan Aluh Aluh, H. Nanang, Menurut dia, nama Aluh-Aluh berasal dari kata lebu kuning atau labu kuning – yang dalam bahasa lokal disebut juga sebagai waluh.

Jadi asal-usul Aluh Aluh awalnya adalah kampung waluh, karena banyak tanaman waluh di daerah tersebut. Penyebutan Kampung Waluh kemudian berkembang menjadi Kampung Aluh-Aluh. Terdapat versi lain berhubungan asal-usul penamaan Aluh-Aluh, menurut tokoh masyarakat H. Miftah kata Aluh-Aluh itu berasal dari nama ikan yang besar yang bernama Haluh-Haluh.

Keberadaan penduduk di wilayah Aluh Aluh tidak terlepas dari area sekitarnya yakni Desa Podok. Desa ini sekarang termasuk wilayah Kecamatan Aluh Aluh. Pasalnya, penghuni awal mula Aluh-Aluh yang awalnya hanya menjadi sebuah kampung adalah orang yang berasal Podok.

Peta kawasan Aluh-Aluh di tepian Sungai Barito pada 1893. (Foto Koleksi KITLV Leiden)

Sementara asal usul orang Podok sendiri berdasarkan versi cerita lisan di masyarakat adalah orang bahari (terdapat interpretasi orang bahari dimaknai sebagai suku Dayak pantai/pesisir). Versi lainnya urang Bakumpai dari Banjarmasin bagian Utara.

Orang Bakumpai lah yang membuka wilayah Podok dan Aluh-Aluh. Menurut keterangan Diham, pananambaan di Desa Podok, bahwa asal-usul orang Podok adalah orang bahari atau Dayak Pantai, yaitu Dayak yang masuk Islam. Dari penduduk yang tinggal di Podok adalah orang bahari Bakumpai atau Dayak Muslim, yang terucap adalah Aluh-Aluh. Jadi, orang Bakumpai atau orang bahari adalah penduduk Podok, yang sebagian kecil juga menghuni Aluh-Aluh. Aluh-Aluh saat itu masih sunyi dan belum ada penghuni.

Sementara penamaan wilayah Kampung Podok, berasal dari deretan atap atap pondok (rumah) yang berjejer di sepanjang sungai. Desa Podok saat ini terbagi dalam tiga dusun, yaitu Podok Darat, Podok Tengah, dan Sakajarak Sakamangkok. Desa yang berbatasan langsung dengan desa Podok adalah Desa Terapu. Menurut sesepuh Desa Podok, H. Rahman atau dikenal sebagai Kai (kakek) Rahman, bahwa di Podok ini asalnya hanyalah tujuh rumah yang akhirnya berkembang menjadi satu desa.

Kapal uap berbahan batubara milik Belanda saat melintas di perairan Sungai Barito, termasuk ke Aluh-Aluh. (Foto KITLV Leiden)

Tujuan awal tujuh keluarga ini ke daerah Podok adalah untuk mencari daun nipah yang dianyam sebagai atap rumah. Lama-kelamaan karena banyak lahan nipah ditebang, maka lahan pertanian terbuka. Keberadaan lahan pertanian ini menjadikan tujuh rumah tangga ini memutuskan tinggal di Podok.

Tujuh rumah awal ini terletak di tepian sungai di dusun Podok Tengah. Sehingga asal masyarakat Podok saat ini adalah dari dusun Podok Tengah. Sementara masyarakat di dusun yang lain yaitu Podok Darat adalah perluasan dari Podok Tengah. Kemudian penduduk Dusun Sakajarak serta Sakamangkok merupakan masyarakat pendatang yang umumnya beretnis Bugis.

Aktivitas warga Banjar dengan mengayuh sampan atau jukung diduga di perairan Sungai Barito dekat Aluh-Aluh. (Foto KITLV Leiden)

Lebih lanjut, menurut H. Miftah, asal penamaan Podok ada 2 (dua) versi, yaitu masyarakat awal Podok pernah melihat makhluk yang tidak kasat mata yang terlihat seperti orang yang duduk. Penglihatan masyarakat atas makhluk tidak kasat mata yang duduk ini sering terjadi. Kata “puduk” bermakna orang yang sedang duduk.

Berikutnya, atap dari daun nipah yang dianyam dan ditumpuk. Kata “tumpukan” dalam bahasa Bakumpai disebut dengan “Podok”. Dari dua versi asal penamaan desa, kebanyakan masyarakat lebih mengenal nama Podok dari tumpukan atap daun nipah yang dalam Bahasa Bakumpai disebut dengan “Podok”.

Dari keterangan masyarakat tentunya belum bisa menjawab, mengapa ada migrasi penduduk “orang bahari” atau Dayak pantai, yaitu Dayak yang masuk Islam atau Dayak Muslim di daerah Aluh Aluh dan Podok.

Diperkirakan tidak terlepas dari kondisi politik Kesultanan Banjar era itu yang rawan sekali terjadi intrik kekuasaan di dalam istana yang berdampak hingga ke masyarakat di luar Istana Sultan Banjar di Kuin.(jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan

Dosen Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat

Kampung Banjar
Gambaran Kampung Banjar di tepian Sungai Barito dan anak sungainya dengan rumah lanting.

Foto : K

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2022/02/05/dari-catatan-sejarah-pemukim-bakumpai-pionir-pembukaan-wilayah-aluh-aluh-dan-podok-1/

Intrik Kesultanan Banjar Dan Pembunuhan Kiai Di Daerah Podok (2-Habis)

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

BERDASAR sumber-sumber sejarah mengenai wilayah Podok dan Aluh Aluh yang sekarang menjadi wilayah Kecamatan Aluh-Aluh, ternyata memiliki catan sejarah panjang.

ADAPUN wilayah Podok, terdapat beberapa kali disinggung dalam Hikayat Banjar. Setidaknya, sejak abad ke-16, wilayah Podok sudah termaktub dalam catatan sejarah. Terutama sejak era Sultan Banjar ketiga Sultan Hidayatullah (1570-1595) dan Sultan Banjar keempat, Sultan Musta’ainu-Billah (1595-1642). Sementara wilayah Aluh Aluh, catatan sejarahnya cukup minim.

Dalam Hikayat Banjar dituliskan bahwa Sultan Banjar ketiga Sultan Hidayatullah (1570-1595) yang memerintah di Keraton Kuin, menikahi putri dari Kiai di Podok yang melahirkan Raden Bagus bergelar Ratu Bagus (calon Putra Mahkota) dan Putri Hayu.

Kemudian berikutnya, Sultan Banjar keempat, Sultan Musta’ainu-Billah (1595-1642), memiliki saudara bernama Raden Bagus mendapat gelar Ratu Bagus sebagai calon Putra Mahkota, kemungkinan karena dukungan politik dari putra-putra Kiai di Podok yang menjabat menteri kerajaan yaitu Kiai Wangsa dan Kiai Warga.

Pemukiman warga di bantaran Sungai Barito dan Martapura, termasuk di kawasan Aluh-Aluh dan Podok. 
(Foto KILTV Leiden)

Selain itu, menurut Hikayat Banjar Resensi I, bahwa Sultan Banjar ketiga, Sultan Hidayatullah (1570-1595) telah berwasiat kepada saudaranya yang juga sebagai besannya Pangeran Demang dan mangkubumi Kiai Anggadipa agar menyuruh putranya Raden Rangga Kasuma membawa segenap pasukan orang-orang Biaju untuk membunuh putra-putra Kiai di-Podok yaitu Kiai Wangsa dan Kiai Warga serta kemenakan Kiai di-Podok yaitu Kiai Kanduruwan, Kiai Jagabaya dan Kiai Lurah Sanan.

Apabila membandingkan nama wilayah Podok di area Kecamatan Aluh Aluh sekarang dengan yang tertulis dalam Hikayat Banjar memiliki kesamaan toponim. Bahkan sama persis. Muncul pertanyaan, apakah Desa Podok (Kecamatan Aluh Aluh) sekarang sama dengan yang tertulis dalam Hikayat Banjar, tentunya perlu riset lebih mendalam.

Setelah era pemerintahan Sultan Banjar ketiga Sultan Hidayatullah (1570-1595) dan Sultan Banjar keempat, Sultan Musta’ainu-Billah (1595-1642), daerah Podok pun “gelap”. Tidak ada catatan apapun tentang daerah ini. Hingga memasuki era pemerintahan Hindia Belanda.

Suasana perairan Sungai Barito yang tenang, namun penuh buaya. (Foto KILTV Leiden Belanda)

Pada era ini, hanya muncul catatan mengenai wilayah Aluh Aluh. Terdapat sumber sejarah berupa peta masa Hindia Belanda yang bisa dijadikan dasar dalam menentukan keberadaan wilayah ini maupun wilayah sekitarnya. Pada peta berjudul Bandjermasin, terbitan Stemler, tahun 1893 menuliskan adanya wilayah Aloe Aloe (Aluh-Aluh), yakni Sungai Aluh Aluh Kecil (Aloe Aloe Ketjil) dan Sungai Aluh-Aluh Besar (Aloe Aloe Besaar). Diantara kedua sungai tersebut terdapat wilayah Kampung Aluh Aluh (Kampoeng Aloe-Aloe).

Setelah pembukaan wilayah Podok dan Aluh Aluh, dalam perkembangan berikutnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda, diperkirakan Kampung Aluh Aluh sudah mulai didiami pendatang yakni migran dari hulu sungai untuk bertani. Walaupun demikian keberadaan kampung tersebut masih berupa kampung kecil, belum begitu dikenal, sehingga yang muncul di peta Hindia Belanda hanyalah wilayah Kampung Aluh Aluh yang sudah menjadi kampung yang penduduknya agak padat di area wilayah Afdeeling Bandjermasin en Ommelandan (Banjarmasin dan sekitarnya).

Model perahu tambangan yang menjadi moda transportasi warga, termasuk ke Aluh-Aluh dan Podok. (Foto KILTV Leiden)

Wilayah Aluh Aluh ini pada masa Hindia Belanda banyak ditempati habitat buaya, sehingga kadang kadang banyak mengganggu kelangsungan aktivitas masyarakat di sungai. Menurut keterangan dari Surat Kabar De Indische Courant edisi tanggal 2 November 1925, setelah harga kulit buaya mulai mahal, warga lokal di wilayah Aloeh-Aloeh di Bandjermasin sering menangkap buaya berukuran besar.

Satu di antaranya buaya yang panjangnya enam meter. Umumnya, masyarakat menggunakan cara menangkap secara tradisional. Buaya ditangkap dengan cara kail besar yang diberikan umpan ayam hidup, menempel pada kail.

Setelah buaya ditangkap, Ketika perut binatang dibuka, ditemukan sepasang gelang emas, sepasang perak, sepasang alas kaki perak, pin perak, sepasang koin emas Inggris, cincin perak, dan tembaga. Dari temuan ini orang dapat menyimpulkan bahwa buaya itu telah memangsa setidaknya dua wanita, sementara perhiasan menunjukkan bahwa para korban adalah wanita. Namun sejauh ini, dalam koran yang dimaksud, seseorang tidak dapat mengetahui siapa orang yang malang itu.

Penangkapan buaya muara di perairan Sungai Barito dilakukan paaliran dan warga di masa kolonial Belanda. 
(Foto KILTV Leiden)

Tingginya intensitas gangguan buaya inilah yang membuat urang Banjar di Banjarmasin serta daerah lainnya, membuat teknik penangkapan buaya yang dinamakan maalir buaya. Dari beberapa sumber dipaparkan bahwa maalir ini sebenarnya seperti memancing buaya dengan pancing yang besar. Ini dilakukan oleh paaliran atau seorang pawang buaya yang mempunyai ilmu khusus dalam menguasai atau menundukkan buaya.

Penangkapan buaya ini, biasanya dilakukan ketika ada orang yang dimangsa buaya atau peristiwa terdapat buaya yang mengganggu orang-orang di suatu kampung. Dengan berbagai alat yang digunakan ini dilaksanakan baik berupa peralatan untuk menangkap buaya maupun peralatan magis yang menyertainya, agar buaya tersebut dapat ditangkap.

Paaliran tersebut biasanya berpakaian yang berwarna kuning khusus untuk paaliran tersebut ketika maaliri buaya tersebut lengkap dengan laung dan sebagainya. Alir atau pancing yang diberi umpan makanan buaya tersebut ditempatkan di dalam rakit kecil yang dipasang/diletakkan di sungai tempat buaya itu berada.

Paaliran ini merupakan pemimpin dalam menangkap buaya dengan alir tersebut dan dibawa bersama beberapa orang di dalam perahu ketika memasang dan juga menyeret buaya yang telah kena alir tersebut.

Aktivitas para paaliran di perairan Sungai Barito untuk menangkap buaya untuk selanjutnya kulitnya dijual. 
(Foto KITLV Leiden)

Jika buaya telah menyambar alir yang diberi umpan itu dan kena maka pangaliran tadi bersama rombongan menarik tali alir tadi dengan perahu dan menyeret buaya itu yang kemudian dibunuh. Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang biasanya harus dikerjakan dan dipimpin oleh paaliran atau pawang buaya tadi, karena dialah yang mempunyai ilmu untuk menundukkan buaya tersebut, yang lain hanya membantu.

Selain data tersebut, sangat minim data tentang wilayah Kampung Aluh Aluh pada masa Hindia Belanda. Kemungkinan karena wilayah ini terisolir dan jaraknya cukup jauh dari Kota Banjarmasin. Selain itu belum ada jalan darat, hanya terdapat angkutan sungai yang dapat ditempuh dengan jarak yang lama ke wilayah Banjarmasin.

Wilayah Aluh Aluh, pada tahun 1890 termasuk dalam administratif pemerintahan wilayah Afdeeling Bandjermasin en Ommelandan (Banjarmasin dan sekitarnya) dengan Kota Banjarmasin sebagai ibukota. Pada wilayah ini terdapat 32 buah kampung, di antaranya adalah Kampung Lupak, Tabunganen, Aluh-aluh, Tamban, Mantuil, Banyiur-Basirih, Kalayan, serta kampung-kampung lainnya.

Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan

Dosen Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat

Rumah Banjar
Model rumah Banjar di tepi Sungai Martapura dan Barito yang dihuni para keturunan bangsawan.

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2022/02/14/intrik-kesultanan-banjar-dan-pembunuhan-kiai-di-daerah-podok-2-habis/

Beredar Surat Kepala SMAN 7 Banjarmasin Soal Kewajiban Tes Swab PCR, Kadisdikbud Kalsel Pastikan Hoaks!

SURAT edaran yang dikeluarkan Kepala SMAN 7 Banjarmasin H Arusliadi bernomor 421.3/043-SMA7/disdikbud/2022, tertanggal 18 Februari 2022, jadi buah pembicaraan di jagat media sosial Banua.

SURAT edaran yang memuat pemberitahuan pembelajaran tatap muka (PTM) ditujukan kepada Dewan Guru, orangtua siswa/wali peserta didik hingga peserta didik kelas X, XI dan XII SMAN 7 Banjarmasin ini mendadak viral. Apalagi, surat itu bertandatangan dengan stempel basah serta menggunakan logo Pemprov Kalimantan Selatan.

Ini karena, dalam item surat edaran itu mencantumkan syarat bagi yang mengikuti PTM dimulai pada Senin (21/2/2022) diharuskan atau diwajibkan ada hasil tes swab PCR untuk menentukan PTM. Untuk diketahui, SMAN 7 Banjarmasin merupakan salah satu sekolah unggulan di Kalsel terletak di Jalan Dharma Praja V Nomor 47 Banjarmasin.

Dari lima item surat edaran ini, soal tes swab PCR atau tes usap itu berlaku hanya dua hari. Ini yang menjadi pertanyaan publik apakah pada hari ketiga, murid diharuskan lagi tes swab PCR. Sedangkan, biaya tes usap ini dianggap cukup memberatkan bagi siswa, khususnya dari keluarga miskin, serta mengenai sanksi apa yang dikenakan ketika murid tak bisa menjalankan tes swab PCR, khususnya bagi yang tak mampu.

Untuk diketahui, atas perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 27 Oktober 2021 lalu, biaya tes PCR untuk luar Bali dan Jawa dibanderol seharga Rp 300 ribu. Nah, tes PCR ini pun hanya berlaku 3×24 jam, khususnya bagi calon penumpang pesawat.

Benarkah surat edaran dari Kepala SMAN 7 Banjarmasin yang dinilai memberatkan bagi siswa untuk mengikuti PTM? Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Kalsel H Muhammad Yusuf Effendi memastikan surat edaran yang beredar di medsos itu hoaks.

“Saya sudah konfirmasi kepada yang bersangkutan (Kepala SMAN 7 Banjarmasin mengenai beredarnya surat edaran itu. Jawaban yang bersangkutan mengaku tidak menerbitkan surat edaran semacam itu,” kata Yusuf Effendi kepada jejakrekam.com, Minggu (20/2/2022).

Demi meredam kegaduhan di tengah masyarakat, Yusuf menginstruksikan agar Kepala SMAN 7 Banjarmasin segera menelusuri oknum yang membuat surat edaran hingga beredar di platform media sosial.

“Memang, surat edaran pernah dibuat Kepala SMAN 7 Banjarmasin pada tanggal 7 Februari 2022 lalu. Hanya saja, isi dan redaksi jelas berbeda dengan surat edaran yang beredar di media sosial,” kata mantan Kepala Disdikbud Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) ini.

Dia menegaskan dengan adanya SE diduga hoaks atau palsu itu bisa segera diusut, sehingga tidak lagi membuat warga khususnya para orangtua atau wali siswa kebingungan.

“Sebab, Kepala SMAN 7 Banjarmasin menegaskan bahwa setelah membuat surat edaran terakhir pada 18 Februari 2022 lalu, tak pernah lagi dibuat surat edaran serupa atau surat apapun,” tandas Yusuf.

SE SMAN 7 Banjarmasin
Surat edaran yang dibuat Kepala SMAN 7 Banjarmasin dan Kepala Disdikbdu Kalsel HM Yusus Effendi.

Foto : 

Sumber Utama : https://jejakrekam.com/2022/02/21/beredar-surat-kepala-sman-7-banjarmasin-soal-kewajiban-tes-swab-pcr-kadisdikbud-kalsel-pastikan-hoaks/

Re-post by MigoBerita / Senin/21022022/13.29Wita/Bjm

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya